Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 9

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Faktor Awal Mula Tanam Paksa
VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau persekutuan Dagang
Hindia Belanda yang didirikan pada bulan Maret 1602 menjadi awal penguasaan
Belanda atas Indonesia. VOC berdiri atas kongsi-kongsi dagang dari Belanda yang
berdatangan ke Indonesia dalam kurun waktu tahun 1595 sampai 1600-an. Di akhir
abad ke XVIII, VOC mengalami kemunduran. Moralitas pegawai-pegawai VOC
mulai menurun karena rendahnya kesejahteraan yang mereka terima. Praktik-
praktik korupsi mulai marak dan menggerogoti pondasi kongsi dagang Hindia
Belanda ini. Selain itu, kas negeri Belanda juga sedang mengalami kekosongan
akibat perang. Keuntungan VOC banyak tersedot untuk menutup kesulitan uang ini.
Maka pada tanggal 31 Desember 1799, VOC yang hampir berusia dua abad harus
menerima akhir hidupnya.
Bubarnya VOC bukan berarti berakhir juga penderitaan negara jajahan.
Ekspoitasi terhadap nusantara terus berlanjut. Sistem eksploitasi yang dilakukan
VOC dengan pemerintah colonial memliki persamaan yaitu adanya penyerahan
wajib hasil-hasil pertanian meskipun cara yang agak berbeda. Pemerintah colonial
mengadakan hubungan dengan para petani secara langsung dan lebih intens untuk
menjamin arus tanaman ekspor dalam jumlah yang dikehendaki. Pemerintah
kolonial Belanda yang pertama kali setelah runtuhnya VOC dopompin oleh Dirk
van Hogendorp (1799-1808). Dalam pemikiran kaum liberal kondisi rakyat yang
tertinggal disebabkan oleh sistem feudal yang mematikan potensi rakyat.
Hogendorp mengusulkan agar kedudukan budapti dan penguasa lokal diatur
kembali, penguasaan tanah dicabut dan dikembalikan pada rakyat untuk ditanami
secara bebas (Sartono Kartodirdjo, 1993:290).
Pasca penguasaan Inggris di Hindia Belanda (1811-1816, pemikiran
ekonomi politik di daerah jajahan mulai bergeser dari politik liberal ke pihak
konservatif (Sartono Kartodirdjo, 1993:305). Sistem pajak tanah dan perkebunan
bebas selama tiga puluh tahun banyak mengalami hambatan. Struktur sosial yang
sangat feudal di Jawa menjadi pemicu utamanya. Pada sistem pajak tanah
diberlakukan (1810-1830) dan sistem penyerahan wajib di Jawa dihapuskan, daerah

3
Priangan menjadi daerah perkecualian. Preanger Stelsel berupa wajib tanam kopi
yang dilaksanakan di daerah Priangan membawa keuntungan besar bagi Belanda.
Hal ini kemudian menjadi pilot project bagi pelaksanaan sistem tanam paksa yang
dicetuskan oleh van den Bosch.
Johannes van den Bosch, diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia
belanda pada tahun 1830 sebagai pengganti Du Bud de Gisignies. Bosch mendapa
tugas untuk meningkatkan produksi tanaman ekspor yang tidak dapat dicapai oleh
pemerintahan sebelumnya. Tugas ini sangat mendesak, karena keadaan keuangan
di negara Belanda sangat parah. Satu-satunya jalan terbaik untuk menyelesaikan
beban utang negara yang besar itu ialah memanfaatkan kekayaan di daerah
jajahannya, Hindia Belanda. Solusi yang dicetuskan oleh Bosch ialah pelaksanaan
sistem tanam paksa (Cultuurstelsel). Sejak tahun 1830, sistem tanam paksa mulai
diterapakan sebagai upaya menghidupkan kembali sistem eksploitasi dari masa
VOC yang berupa peneyrahan wajib. Ikatan feudal dan hubungan patron-klien
menunjukkan masih adanya pengaruh yang kuat. Maka Bosch memandang bahwa
proses peningkatan produksi tanaman ekspor dapat dilakukan melalui pemulihan
sistem penyerahan wajib.
Sistem tanam paksa dilaksanakan melalui alat birokrasi pemerintah yang
berfungsi sebagai pelaksana langsung dalam proses mobilisasi sumber
perekonomian berupa tanah dan tenaga kerja. Sistem ini lebih mengutamakan
peningkatan produksi tanaman ekspor yang sangat laku di pasaran Eropa. Untuk itu
pemerintah kolonial memperkenalkan tanaman ekspor kepada patani di Jawa.
Pelaksanaan tanam paksa dalam kenyataannya tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Sistem ini lebih menguntungkan pemerintah kolonial dan semata-mata
sebagai bentuk eksploitasi (Robert van Niel dalam Anne Booth,dkk., 1988:101).
Cultuur Stelsel berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang
sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil
panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa
menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi,
tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan
(minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja
bagi pemerintah.

4
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak
tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak
daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya.
Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber
lain. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai
tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilitasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja
yang serba gratis. Komoditas kopi, the, tembakau, tebu, yang permintaannya di
pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Dalam penyelenggaraan cultuurstelsel pihak Belanda berusaha agar sedapat
mungkin tidak berhubungan langsung dengan petani. Sebab itu
penyelenggaraannya diserahkan kepada para bupati dengan para kepala desa, dan
masyarakat desa sendiri. Kepentingan pemerintah hanya pada hasilnya, yang
dihidungkan dalam pikol (±62kg) yang diterima oleh gudang-gudang pemerintah.
Selain itu penyelenggaraannya juga bervariasi dari satu tempat ketempat lain karena
pemeintah pusat lebih banyak menyerahkan penguasaannya kepada para pejabat
Belanda setempat (para kontolir) yang mempunyai motivasi untuk meningkatkan
produksi karena mereka memperoleh “culturrprocent” prosentase tertentu dari hasil
panen. Untuk itu sampai tahun 1860 dikerahkan tidak kurang 90 orang kontrolir
dan sekitar orang pengawas berkembangsaan Belanda.
Tugas petani bukan sekedar menanam, tetapi juga memproses hasil
panennya untuk diserahkan di gudang-gudang tersebut adalah tugas petani pula.
Terutama produksi kopi seluruhnya dalam tangan petani, dalam hal gula muncul
pabrik-pabrik gula yang dikelola secara modern dengan modal asing (Fasseur,
1993: 33).
2.2 Pelaksanaan Tanam Paksa
Sistem tanam paksa mewajibkan para petani di Jawa untuk menanam
tanaman tanaman dagangan untuk diekspor ke pasar dunia. Walaupun antara sistem
eksploitasi VOC dan sistem tanam paksa terdapat persamaan, khususnya dalam hal
penyerahan wajib, pengaruh sistem tanam paksa atas kehidupan desa di Jawa jauh
lebih mengguncangkan daripada pengaruh VOC selama kurang lebih dua abad. Ciri
utama sistem tanam paksa yang diperkenalkan oleh van den Bosch adalah

5
keharusan bagi rakyat di Jawa untuk membayar pajak mereka dalam bentuk barang,
yaitu hasil hasil pertanian mereka. Van den Bosch berharap agar dengan pungutan
pungutan pajak dalam natura ini tanaman dagangan dapat dikirimkan ke negeri
Belanda untuk dijual disana kepada pembeli pembeli dari Amerika dan seluruh
Eropa dengan keuntungan yang lebih besar bagi pemerintah dan pengusaha
pengusaha Belanda.
Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pihak Belanda antara 1830 hingga
pertengahan abad ke-19 yang diberi nama “cultuurstelsel”. Ketentuan-ketentuan
pokok Sistem Tanam Paksa yang tertera dalam Stadblaad (Lembaran Negara) tahun
1834, No.22 berbunyi sebagai berikut:
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman
dagangan yang dapat dijual dipasar Eropa.
2. Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduka untuk tujuan ini tidak
boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda jika nilai hasil-hasil
tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus
dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan
kepala-kepala mereka,sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya
membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan
pengangkutan tanaman tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada
waktunya.

6
Di atas kertas, ketentuan tersebut memang kelihatan tidak terlampau menekan
rakyat, walaupun orang pada prinsipnya dapat mengajukan keberatan keberatan
mengenai unsur paksaan yang terdapat dalam sistem tersebut. Dalam praktiknya
ternyata banyak hal hal yang menyimpang dari ketentuan pokok sehingga rakyat
banyak yang dirugikan, kecuali mungkin ketentuan ketentuan no 4 dan 7 tersebut
diatas. Berikut adalah contoh dari penyelewengan Sistem Tanam Paksa: menurut
ketentuan Lembaran Negara Tahun 1834 No: 22, setiap persetujuan yang diadakan
pemerintah Hindia-Belanda dengan rakyat mengenai pemakaian sebagaian tanah
pertanian mereka untuk penanaman tanaman dagangan harus didasarkan atas
kerelaan dari pihak rakyat tanpa ada unsur paksaan atau unsuru ketakutan. Akan
tetapi pada kenyataannya ternyata seluruh sistem tanam paksa didasarkan atas unsur
paksaan.
Dibanding dengan penyerahan wajib (contingenngenteringen) yang
dipaksakan VOC kepada penduduk, maka Sistem Tanam Paksa menaruh beban
yang lebih berat diatas pundak rakyat. Jika selama zaman VOC pelaksanaan
penyerahan wajib diserahkan kepada para kepala rakyat sendiri, selama sistem
tanam paksapara pegawai Eropa dari pemerintahan kolonial langsung
melaksanakan dan mengawasi penanaman tersebut. Hal ini sering berarti
peningkatan “efisiensi” dari sistem tanam paksa, dalam arti kata bahwa hasil
produksi tanaman dagangan dapat ditingkatkan berkat pengawasan dan campur
tangan langsung dari pegawai Belanda tersebut. Di lain pihak, peningkatan
“efisiensi” ini berarti penambahan bahan yang harus dipikul rakyat. Untuk
menjamin bahwa para pegawai Belanda maupun para bupati dan kepala desa
menuanaikan “tugas” dengan baik, pemerintah kolonial memberikan perangsang
finansial kepada mereka dengan nama cultuurprocenten, selain pendapatan biasa
mereka. Cultuurprocenten ini merupakan presentase tertentu dari penghasilan yang
diperoleh dari oenjualan penjualan tanaman ekspor tersebut yang diserahkan
kepada pegawai Belanda dan para bupati, dan kepala kepala desa jika mereka
berhasil dalam mencapai atau melampui target produksi yang dibebankan kepada
tiap tiap desa. Cara cara tersebut sangat menekan dan merugikan rakyat.
Penanaman paksa yang hanya dapat dijalankan dengan unsur kekerasan
ditinjau dari segi ekonomis tidak efisien karena banyak pemborosan yang terjadi

7
dalam penggunaan tenaga kerja untuk penanaman paksa. Hal ini dapat dimengerti
karena pemerintahan kolonial dengan mudahnya dapat mengerahkan tenaga tenaga
kerja yang diperlukan dengan cara komando lewat para kepala rakyat. Andaikata
pemerintah kolonial hanya dapat memperoleh tenaga kerja yang diperlukan dengan
cara “membeli” jasa jasa mereka dipasar tenaga kerja yang bebas, artinya jika
mereka harus membayar upah untuk jasa jasa tenaga kerja yang dipekerjakan, sudah
barang tentu pemborosan tersebut diatas sedapat mungkin dihindarkan karena
merugikan pemerintah sendiri. Selain itu, menurut ketentuan resmi mengenai
sistem tanam paksa hanya boleh meliputi seperlima dari tanah tanah milik
penduduk desa. Dalam praktiknya angka tersebut sering dilampui sehingga sering
mencapai separuuh atau lebih dari tanah tanah milik rakyat. Ketentuan untuk
melakukan pekerjaan tanam paksa yang seharusnya tidak boleh melebihi pekerjaan
penanaman padi dalam banyak hal yang tidak ditaati. Para petani biasanya dipaksa
untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanaman tanam paksa daripada untuk
tanaman bahan makanan mereka sendiri. Tekanan atas rakyat memang berbeda
disetiap tempat dan tanamannya. Nemun, pada umumnya rakyat memang dipaksa
untuk bekerja jauh lebih lama untuk penanaman paksa daripada untuk nafkah diri
mereka sendiri. Sedangkan upah dari penanaman tanam paksa tersebut sangatlah
rendah.
Selanjutnya adalah mengenai pembebasan pajak tanah. Menurut ketentuan
resmi, tanah yang disediakan untuk tanm paksa dibebaskan dari pajak tanah.
Namun, dalam prakteknya ternyata banyak penyimpangan. Sehingga petani petani
harus mengannggung dua macam beban, yaitu pekerjaan paksa untuk menanam
tanaman ekspor dan pembayaran pajak tanah. Malahan, penerimaan penerimaan
pemerintah kolonial yang diperoleh dari pajak tanah terus meningkat, seperti dari
angka-angka berikut:
TAHUN PENERIMAAN
1829 f3.305.698
1835 f7.679.359
1840 f9.364.907
Angka angka diatas membuktikan bahwa dalam praktik bukan orang orang
yang melakukan tanam paksa yang dibebaskan dari pembayaran pajak tanah,

8
melainkan tanah yang disediakan untuk penanaman paksa. Ketentuan lain dari
sistem tanam paksa menentukan bahwa selisih positif antara nilai yang ditaksir dari
tanaman dagangan yang dihasilkan dari tanaman dagangan yang dihasilkan dari
penanaman paksa dan jumlah pajak tanah yang harus dibayar oleh rakyat akan
digunakan untuk kepentingan rakyat. Ketentuan ini kedengarannya bagus tetapi
dalam kenyataannya rakyat sama sekali tidak memperoleh keuntungan dari
ketentuan tersebut. Seperti juga halnya dengan ketentuan bahwa kerugian-kerugian
yang diderita akibat kegagalan panen akan ditanggung pemerintah ternyata tidak
ditepati, artinya segala kerugian yang diderita akibat kegagalan panen dibebankan
kepada rakyat.
2.3 Dampak Bagi Indonesia dan Belanda
Dampak Cultuurstelsel bagi Belanda:
Pelaksanaan tanam paksa yang digagas oleh Van Den Bosch telah membawa
berbagai macam keuntungan bagi Negeri Belanda.
1. Keuntungan dari cultuurstelsel berhasil menutup defisit keuangan Belanda
Keruntuhan keuangan Belanda disebabkan berbagai macam peperangan yang
harus dibiayai (terutama dalam perang Napoleon), telah dapat diatasi dengan
cultuurstelsel (Leirissa,2012:58). Perang lain yang juga meguras kas Belanda
adalah perang Perang Dipanegara di Jawa dan Perang pemisahan Belgia. Hasil-hasil
finansial cultuurstelsel bagi Negeri Belanda sangat menguntungkan. Antara tahun
1831 dan 1877 negara menerima dari daerah-daerah kekayaan sebesar 823.000.000
guldens (Kartodirdjo, 2015:17).
2. Keberhasilan dari sistem tanam paksa ikut membawa kemajuan dalam bidang
perdagangan dan pelayaran negeri Belanda
Sistem ini tidak hanya memberi hasil bagi pemerintah, akan tetapi juga
mendorong memajukan perdagangan dan pelayaran Negeri Belanda. Negeri
Belanda menempati kembali posisinya sebagai pusat penjualan bahan mentah dan
armada dagangnya menjadi nomer tiga di seluruh dunia (Kartodirdjo, 2015:17).
3. Munculnya kritikan dari golongan liberal di Negeri Belanda
Sejak semula politik kolonial konservatf ini sudah mendapat kritikan dari
golongan liberal yang menganjurkan suatu sistem pemerintahan secara langsung
berdasarkan prinsip liberal dan perdagangan serta inisiatif partikelir

9
(Kartodirdjo,2015:9). Pemulihan yang pesat di bidang ekonomi itu disertai lahirnya
Partai Liberal yang menggerakkan oposisi yang gigih terhadap olitik kolonial
konservatif pada umumnya dan cultuurstelsel pada khususnya karena dianggap
menyimpang dari prinsip-prinsip ekonomi menurut pemikiran liberal.
Dampak cultuurstelsel bagi masyarakat Indonesia
1. Masuknya ekonomi uang dipedesaan. Sistem tanam paksa telah menciptakan
lalu lintas uang, suatu faktor ekonomi yang dapat mempercepat timbulnya
ekonomi uang di pedalaman. Dengan demikian salah satu dampak dari
cultuurstelsel adalah msuknya ekonomi uang di pedesaan. (dampak positif)
2. Merosotnya produksi beras. Pengerahan tenaga dan lahan untuk mengejar target
ekspor telah membuat tanaman padi terbengkalai. Hal ini terkait pula dengan
penyelewengan-penyelewengan yang terjadi dalam pelaksanaan tanam paksa.
3. Terjadinya kelaparan di Cirebon. Sistem tanam paksa tanpa diketahui oleh
pemerintahan pusat pelaksanaannya dan apakah akibatnya. Baru pada tahun
1843 ada berita tentang kelaparan di Cirebon. Hal ini dikarenakan produksi
untuk ekspor harus memenuhi target, maka baik tanah maupun tenaga
dikerahkan terlebih dulu untuk tanam paksa sehingga produksi pangan sendiri
terbengkalai. Selain di Cirebon kelaparan juga terjadi di Demak tahun 1848 dan
di Grobogan tahun 1850 (Soejono, 2010:365).
4. Terjadinya penurunan jumlah penduduk dengan cepat. Kelaparan yang terjadi
antara tahun 1843-1848 telah menyebabkan penurunan jumlah penduduk
dengan cepat. Penurunan jumlah penduduk diakibatkan oleh kematian dan
perpindahan penduduk untuk mengungsi (Soejono, 2010:365).
5. Pengerahan tenaga untuk pelaksanaan tanam paksa yang melampaui batas. Hal
ini misalnya, rakyat disuruh pergi jauh dari desanya untuk mengerjakan
penanaman indigo selama berbulan-bulan, juga untuk menanam kopi di daerah
yang baru dibuka (Kartodirdjo, 1988:312).
6. Merusak hak milik tanah menurut adat setempat.
7. Berbagai penderitaan yang diakibatkan oleh penyelewengan-penyelewengan
pelaksanaan tanam paksa. Terjadinya berbagai penyelewengan dalam
pelaksanaan sistem ini idak dapat dihindarkan, misalnya : permintaan pegawai-

10
pegawai Belanda yang melampaui batas atau pemerasan dari pembesar-
pembesar pribumi (Kartodirdjo, 1988:312).

11

You might also like