Kumpulan Materi Radiologi

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 311

KUMPULAN MATERI RADIOLOGI

RSUD WALED/FAKULTAS KEDOKTERAN


UNSWAGATI CIREBON 2018

Pembimbing : dr. Hj. Farida Yunus Dahlan, Sp.Rad

Kelompok 7G:

Septian Nikko Perdana, Listio Budi Santoso, Arni Annisa Rochmaniah,


Cantika Widia Astuti, Ira Devi Kania, Magindra Nursani Afifa, Rahdyani
Purwaningrum, Taufik Budi Permana, Teguh Yudha Adiguna, Wilda Iqrima

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT,karena dengan rahmat dan karunia-Nya


Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan referat. Referat ini ditulis untuk menambah
pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran radiologi dan merupakan salah
satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Radiologi Fakultas
Kedokteran Unswagati Cirebon.
Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih kepada
pembimbing, dr. Hj. Farida Yunus Dahlan Sp. Rad yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan
referat ini dari awal hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang
membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang.Semoga referat
ini dapat berguna bagi kita semua.

Cirebon, februari 2018


Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
X-RAY NON CONTRAST ................................................................................................ 2
X-RAY WITH CONTRAST .............................................................................................. 3
REFERAT ........................................................................................................................... 4
HYALIN MEMBRANE DISEAASE ............................................................................. 5
TUMOR PARU ............................................................................................................ 33
TUMOR TULANG ....................................................................................................... 62
GOUT ARTHRITIS.................................................................................................... 140
TUMOR PANKREAS ................................................................................................ 166
GINJAL POLYKISTIK .............................................................................................. 193
MASTOIDITIS AKUT ............................................................................................... 224
Myeloma Multiple ...................................................................................................... 255
TUBERKULOSIS MIILER ........................................................................................ 283
BIODATA....................................................................................................................... 302
LAMPIRAN.................................................................................................................... 305

iii
X-RAY

NON-
CONTRAST
CONTRAST
1. Sialography
1. Kepala
2. Oesophagotraphy
- Foto schedel
3. Cor analisis
- Foto orbita
4. Maagduodenography
- Foto mastoid
5. Hypotonic duodenography
- Sinus Paranasal
6. Barium follow through
- Mandibula
7. Colon in loop
2. Leher
8. Intravenous Pyelography
- Soft tissue cervical
9. Cystography
- Foto vertebra cervical
10. Uretrogram
3. Thorax
11. Uretrocystogram
4. Abdomen
12. Hystosalphynggography
- BNO
- BNO 3posisi
- Foto pelvis
- Vertebra,thotacal, lumbal
sacral
5. Ekstremitas
- Foto manus
- Articulatio genu
- Pedis

1
X-RAY NON
CONTRAST

2
X-RAY WITH
CONTRAST

3
REFERAT

4
REFERAT

HYALIN MEMBRANE DISEAASE


(HMD)

Disusunoleh:

SEPTIAN NIKKO PERDANA


NPM. 110170063

Pembimbing :

dr. Hj. Farida YunusDahlan, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RSUD WALED CIREBON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON

2018

5
KATA PENGANTAR

Pujidansyukurpenulispanjatkankehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena


atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.

Referat ini mengulas tentang hyalin membrane disease (HMD) yang


meliputi anatomi, fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi.
Hyalin membrane disease (HMD) dapat menambah wawasan dan pengetahuan
mahasiswa program pendidikan profesi dokter.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Farida Yunus Dahlan,
Sp. Rad,selaku konsulen yang telah membimbing saya dalam proses diskusi, tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyusun referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmu radiologi sebagai bekal kedepannya.
Dan tentunya referat ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan masukan yang membangun demi perbaikan pembuatan
referat dimasa yang akan datang.

Cirebon, Februari 2018

Penulis

6
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sindrom gawat nafas neonatus (SGNN) merupakan suatu sindrom
yang sering ditemukan pada neonatus dan merupakan penyebab utama
terjadinya mortalitas dan morbiditas pada neonatus.1,2 Sindrom ini paling
banyak ditemukan pada BBLR terutama dengan masa gestasi <28 minggu.2
Angka kejadian SGNN tergantung pada masa gestasi. Menurut laporan
EuroNeo Stat pada 2010 mengatakan bahwa angka kejadian PMH pada bayi
yang lahir dengan masa gestasi 24- 25 minggu sebesar 96%, pada usia 26-
27 minggu sebesar 88%, pada usia kelahiran 28-29 minggu adalah 76%,
sedang pada usia kelahiran 30-31 minggu sebesar 57%, dan pada bayi aterm
jarang dijumpai. Penyebab utama SGNN sendiri adalah hyalin membrane
disease (HMD).3
Hyalin membrane disease adalah suatu kegawatan pada neonatus yang
disebabkan oleh kurang adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru.
Pengurangan jumlah surfaktan didalam paru menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan di alveolus selama ekspirasi, hal ini akan menyebabkan
hipoksia berat dan asidosis pada neonatus. Semakin prematur maka
kemungkinan terjadinya HMD semakin besar, hal ini diakibatkan produksi
surfaktan pada bayi yang preterm jumlahnya tidak adekuat.3Diperkirakan 50
% dari semua kematian neonatus disebabkan oleh HMD dan komplikasinya.
HMD bertanggung jawab atas 10.000-40.000 kematian setiap tahun.2
Sampai saat ini SGNN masih merupakan salah satu faktor penyebab
mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hal ini terutama disebabkan
kompleknya faktor etiologi serta adanya keterbatasan dalam penatalaksanaan
penderita. Akan tetapi dalam dekade akhir ini tampak kemajuan yang sangat
berarti, baik dalam cara diagnostik dini maupun dalam penatalaksanaan
penderita. Sehingga angka kesakitan dan angka kematian penyakit terutama di
negara berkembang telah mengalami penurunan yang cukup bermakna.Meski
demikian pengenalan riwayat kehamilan, riwayat persalinan, serta intervensi

7
dini baik dalam hal pencegahan, diagnostik dan penatalaksanaan penderita
merupakan suatu masalah yang masih perlu diperhatikan mengingat SGNN
masih menjadi penyebab utama kematian pada neonatus.

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan
tentang definisi, epidemiologi, faktor predisposisi, patofisiologi, gejala klinis,
pemeriksaan penunjang, diagnosis, dan penatalaksanaan HMD.

1.3 Manfaat Penulisan


Referat ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam mendiagnosis dan
pengelolaan HMD.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Respirasi

Gambar 1. Anatomi Sistem Pernapasan

Sitem pernafasan dapat dibagi ke dalam sitem pernafasan bagian atas


dan pernafasan bagian bawah.4
1. Pernafasan bagian atas meliputi hidung, rongga hidung, sinus paranasal,
dan faring.
2. Pernafasan bagian bawah meliputi laring, trakea, bronkus, bronkiolus dan
alveolus paru.
2.1.1 Rongga Hidung (Cavum Nasalis)
Udara dari luar akan masuk lewat rongga hidung (cavum
nasalis). Rongga hidung berlapis selaput lendir, di dalamnya terdapat
kelenjar minyak (kelenjar sebasea) dan kelenjar keringat (kelenjar
sudorifera). Selaput lendir berfungsi menangkap benda asing yang
masuk lewat saluran pernapasan. Selain itu, terdapat juga rambut
pendek dan tebal yang berfungsi menyaring partikel kotoran yang
masuk bersama udara. Juga terdapat konka yang mempunyai banyak
kapiler darah yang berfungsi menghangatkan udara yang masuk.Di
sebelah belakang rongga hidung terhubung dengan nasofaring melalui
dua lubang yang disebut choanae.5

9
Pada permukaan rongga hidung terdapat rambut-rambut halus
dan selaput lendir yang berfungsi untuk menyaring udara yang masuk
ke dalam rongga hidung. 5
2.1.2 Faring
Udara dari rongga hidung masuk ke faring. Faring merupakan
percabangan 2 saluran, yaitu saluran pernapasan (nasofarings) pada
bagian depan dan saluran pencernaan (orofarings) pada bagian
belakang. Pada bagian belakang faring (posterior) terdapat laring
(tekak) tempat terletaknya pita suara (pita vocalis). Masuknya udara
melalui faring akan menyebabkan pita suara bergetar dan terdengar
sebagai suara. Makan sambil berbicara dapat mengakibatkan makanan
masuk ke saluran pernapasan karena saluran pernapasan pada saat
tersebut sedang terbuka. Walaupun demikian, saraf kita akan mengatur
agar peristiwa menelan, bernapas, dan berbicara tidak terjadi
bersamaan sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan. Fungsi
utama faring adalah menyediakan saluran bagi udara yang keluar
masuk dan juga sebagi jalan makanan dan minuman yang ditelan,
faring juga menyediakan ruang dengung(resonansi) untuk suara
percakapan.4
2.1.3 Laring
Laring merupakan suatu saluran yang dikelilingi oleh tulang
rawan. Laring berada diantara orofaring dan trakea, didepan
lariofaring. Salah satu tulang rawan pada laring disebut epiglotis.
Epiglotis terletak di ujung bagian pangkal laring.Laring diselaputi oleh
membrane mukosa yang terdiri dari epitel berlapis pipih yang cukup
tebal sehingga kuat untuk menahan getaran-getaran suara pada laring.
Fungsi utama laring adalah menghasilkan suara dan juga sebagai
tempat keluar masuknya udara.Pangkal tenggorok disusun oleh
beberapa tulang rawan yang membentuk jakun. Pangkal tenggorok
dapat ditutup oleh katup pangkal tenggorok (epiglotis). Pada waktu
menelan makanan, katup tersebut menutup pangkal tenggorok dan
pada waktu bernapas katu membuka. Pada pangkal tenggorok terdapat

10
selaput suara yang akan bergetar bila ada udara dari paru-paru,
misalnya pada waktu kita bicara.4
2.1.4 Trakea
Trakea berupa pipa yang panjangnya ± 10 cm, terletak
sebagian di leher dan sebagian di rongga dada (torak). Dinding
tenggorokan tipis dan kaku, dikelilingi oleh cincin tulang rawan, dan
pada bagian dalam rongga bersilia. Silia-silia ini berfungsi menyaring
benda-benda asing yang masuk ke saluran pernapasan.Trakeaterletak
di sebelah depan kerongkongan. Di dalam rongga dada, trakea
bercabang menjadi dua cabang bronkus. Di dalam paru-paru, bronkus
bercabang-cabang lagi menjadi saluran yang sangat kecil disebut
bronkiolus. Ujung bronkiolus berupa gelembung kecil yang disebut
alveolus.6
2.1.5 Bronkus
Trakea bercabang menjadi dua bronkus, yaitu bronkus sebelah
kiri dan sebelah kanan. Kedua bronkus menuju paru-paru, bronkus
bercabang lagi menjadi bronkiolus. Bronkus sebelah kanan(bronkus
primer) bercabang menjadi tiga bronkus lobaris (bronkus sekunder),
sedangkan bronkus sebelah kiri bercabang menjadi dua bronkiolus.
Cabang-cabang yang paling kecil masuk ke dalam gelembung paru-
paru atau alveolus. Dinding alveolus mengandung kapiler darah,
melalui kapiler-kapiler darah dalam alveolus inilah oksigen dan udara
berdifusi ke dalam darah. Fungsi utama bronkus adalah menyediakan
jalan bagi udara yang masuk dan keluar paru-paru.6
2.1.6 Alveolus
Merupakan kantong udara terakhir dimana oksigen dan
karbondioksida dipindahkan dari tempat dimana darah mengalir. Ada
lebih dari 300 juta alveoli di dalam paru-paru manusia bersifat elastis.
Ruang udara tersebut dipelihara dalam keadaan terbuka oleh bahan
kimia surfaktan yang dapat menetralkankecenderunganalveoli untuk
mengempis.6

11
2.1.7 Otot Bantu Pernafasan
Pergerakan dari dalam ke luar paru terdiri dari dua proses,
yaitu inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi adalah pergerakan dari
atmosfer ke dalam paru, sedangkan ekspirasi adalah pergerakan dari
dalam paru ke atmosfer. Agar proses ventilasi dapat berjalan lancar
dibutuhkan fungsi yang baik pada otot pernafasan dan
elastisitas jaringan paru. Otot-otot pernafasan dibagi menjadi dua
yaitu :6
1. Otot-otot ekspirasi adalah rektus abdominis dan interkostalis
internus.
2. Otot inspirasi yang terdiri atas, otot interkostalis eksterna,
sternokleidomastoideus, skalenus dan diafragma.

2.2 Fisiologi Pernapasan


Pernapasan atau respirasi adalah menghirup udara dari luar yang
mengandung oksigen (O2) kedalam tubuh serta menghembuskan udara yang
banyak mengandung karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar
dari tubuh.Sisa respirasi berperan untuk menukar udara ke permukaan dalam
paru- paru.Udara masuk dan menetap dalam sistem pernapasan dan masuk
dalam pernapasan otot sehingga trakea dapat melakukan penyaringan,
penghangatan dan melembabkan udara yang masuk, juga melindungi organ
lembut. Penghisapan ini disebut inspirasi dan penghembusan udara disebut
ekspirasi.4
Respirasi berperan dalam mempertahankan kelangsungan metabolisme
sel sehingga diperlukan fungsi respirasi yang adekuat. Agar sel dapat
melakukan metabolisme hingga mampu menghasilkan energi, sel
membutuhkan adanya suplai oksigen dan nutrisi yang cukup ke dalam tubuh.
Nutrisi diperoleh dari aspuan makanan dan cairan.4
Udara bergerak masuk dan keluar paru-paru karena ada selisih tekanan
yang terdapat antara atmosfir dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.
Seperti yang telah diketahui, dinding toraks berfungsi sebagai penembus.
Selama inspirasi, volume toraks bertambah besar karena diafragma turun

12
dan iga terangkat akibat kontraksi beberapa otot yaitu
sternokleidomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot seratus,
skalenus, dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga.5

Gambar 2. Fisiologi Pernafasan

Selama pernapasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat


elastisitas dinding dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus
relaksasi, dinding dada turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam
rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Pengurangan
volume toraks ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan
intrapulmonal. Selisih tekanan antara saluran udara dan atmosfir menjadi
terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-paru sampai udara dan
tekanan atmosfir menjadi sama kembali pada akhir ekspirasi.5
Tahap kedua dari proses pernapasan mencakup proses difusi gas-gas
melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0,5 µm).
Kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial
antara darah dan fase gas.Tekanan parsial oksigen dalam atmosfir pada
permukaan laut besarnya sekitar 149 mmHg. Pada waktu oksigen
diinspirasikan dan sampai di alveolus maka tekanan parsial ini akan
mengalami penurunan sampai sekitar 103 mmHg. Penurunan tekanan parsial
ini terjadi berdasarkan fakta bahwa udara inspirasi tercampur dengan udara
dalam ruangan sepi anatomik saluran udara dan dengan uap air.Perbedaan
tekanan karbondioksida antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah

13
menyebabkan karbondioksida berdifusi kedalam alveolus. Karbondioksida ini
kemudian dikeluarkan ke atmosfir.5
Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan oksigen
di kapiler darah paru-paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari
total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru-
paru normal memiliki cukup cadangan waktu difusi.Pada beberapa penyakit
misalnya fibosis paru, udara dapat menebal dan difusi melambat sehingga
ekuilibrium mungkin tidak lengkap, terutama sewaktu berolahraga dimana
waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi dapat mendukung terjadinya
hipoksemia, tetapi tidak diakui sebagai faktor utama.5

2.3 Embriologi dan Proses Pematangan Paru


Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3mm.
Pembentukan paru dimulai dari sebuah groove yang berasal dari foregut.
Selanjutnya pada groove ini terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu
jaringan yang disebut primary lungbud. Bagian proksimal foregut membagi
diri menjadi 2 yaitu esophagus dan trakea.7
Pada perkembangan selanjutnya trakea akan bergabung dengan
primary lungbud. Primary lungbud merupakan cikal bakal bronchi dan
cabang-cabangnya. Bronchial-tree terbentuk setelah embrio berumur 16
minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan jumlahnya
terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Ukuran alveoli bertambah
besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan
perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai
pertumbuhan somatic berhenti.7
Sampai bulan ketujuh pranatal, bronkiolus terus bercabang-cabang
menjadi saluran yang semakin banyak dan semakin kecil (periode
kanalikular), dan jumlah pembuluh darah terus meningkat.Pernapasan sudah
dapat berlangsung ketika sebagian dari sel bronkiolus respiratorius yang
berbentuk kuboid berubah menjadi sel gepeng tipis.Sel-sel ini menempel erat
dengan sejumlah besar kapiler darah dan limfe, dan ruang di sekitarnya
sekarang dikenal sebagai sakus terminalis atau alveolus primitif. Selama bulan

14
ketujuh, jumlah kapiler sudah memadai untuk menjamin pertukaran gas yang
adekuat, dan bayi prematur sudah dapat bertahan hidup.7
Selama 2 bulan terakhir kehidupan pranatal dan selama beberapa tahun
selanjutnya, jumlah sakus terminalis terus meningkat.Selain itu, sel-sel yang
melapisi sakus yang dikenal dengan sel epitel alveolus tipe I, menjadi lebih
tipis sehingga kapiler di sekitarnya menonjol ke dalam sakulus
alveolaris.Hubungan erat antara sel epitel dan endotel ini membentuk sawar
darah-udara.Alveolus matur belum ada sebelum lahir. Selain sel endotel dan
epitel gepeng alveolus, pada akhir bulan keenam terbentuk jenis sel lain. Sel
ini, sel epitel alveolus tipe II menghasilkan surfaktan, suatu cairan kaya
fosfolipid yang dapat menurunkan tegangan permukaan dipertemuan udara-
alveolus.7
Sebelum lahir, paru dipenuhi oleh cairan yang banyak mengandung
klorida, sedikit protein, sebagian mukus dari kelenjar bronkus, dan surfaktan
dari sel epitel alveolus tipe II. Jumlah surfaktan dalam cairan meningkat,
terutama selama 2 minggu terakhir sebelum lahir.7
Gerakan bernapas janin dimulai sebelum lahir dan menyebabkan
aspirasi cairan amnion.Gerakan ini penting untuk merangsang perkembangan
paru-paru dan mengkondisikan otot pernapasan. Ketika pernapasan mulai saat
lahir, sebagian besar cairan paru cepat diserap oleh kapiler darah dan limfe,
dan sejumlah kecil mungkin dikeluarkan melalui trakea dan bronkus selama
proses kelahiran. Ketika cairan diserap dari sakulus alveolaris, surfaktan tetap
mengendap sebagai lapisan fosfolipid tipis di membaran sel alveolus. Saat
udara masuk ke alveolus ketika bayi pertama kali bernapas, lapisan surfaktan
mencegah terbentuknya pertemuan antara udara dan air (darah) yang memiliki
tegangan permukaan tinggi. Tanpa lapisan surfaktan yang mengandung lemak
ini alveolus akan kolaps sewaktu ekspirasi (atelektasis).7
Gerakan bernapas setelah lahir mambawa udara masuk ke dalam paru
yang mengembangkan dan mengisi rongga pleura.Meskipun ukuran alveolus
agak bertambah, pertumbuhan paru setelah lahir terutama disebabkan oleh
meningkatnya jumlah bronkiolus respiratorius dan alveolus.Diperkirakan
bahwa saat lahir terdapat hanya 1/6 dari jumlah alveolus dewasa. Alveolus

15
sisanya terbentuk selama 10 tahun pertama kehidupan paskanatal melalui
pembentukan alveolus primitif baru yang berlangsung terus menerus.7

2.4 Definisi Hyaline Membrane Disease (HMD)


Penyakit membrane hialin (PMH) atau dikenal juga dengan hyaline
membranedisease (HMD) adalah penyakit pernafasan akut yang diakibatkan
oleh defisiensi surfaktan pada neonates preterm, yaitu neonates yang lahir
pada umur kehamilan kurang dari 37 minggu.8

2.5 Etiologi Hyaline Membrane Disease (HMD)


Kegagalan mengembangkan functional residual capacity (FRC) dan
kecenderungan dari paru yang terkena untuk mengalami atelektasis
berhubungan dengan tingginya tegangan permukaan dan absennya
phosphatydilglycerol, phosphatydilinositol, phosphatydilserin,
phosphatydilethanolamine dan sphingomyelin.8
Pembentukan surfaktan dipengaruhi pH normal, suhu dan
perfusi.Asfiksia, hipoksemia, dan iskemia pulmonal yang terjadi akibat
hipovolemia, hipotensi dan stress dingin menghambat pembentukan surfaktan.
Epitel yang melapisi paru-paru juga dapat rusak akibat konsentrasi oksigen
yang tinggi dan efek pengaturan respirasi, mengakibatkan semakin
berkurangnya surfaktan.8

2.6 Patofisiologi Hyaline Membrane Disease (HMD)


Imaturitas paru secara anatomis dan dinding dada yang belum
berkembang dengan baik mengganggu pertukaran gas yang
adekuat.Pembersihan cairan paru yang tidak efisien karena jaringan interstitial
paru imatur bekerja seperti spons.Edema interstitial terjadi sebagai resultan
dari meningkatnya permeabilitas membran kapiler alveoli sehingga cairan dan
protein masuk ke rongga alveoli yang kemudian mengganggu fungsi paru-
paru. Selain itu pada neonatus pusat respirasi belum berkembang sempurna
disertai otot respirasi yang masih lemah.8

16
Alveoli yang mengalami atelektasis, pembentukan membran hialin,
dan edema interstitial mengurangi compliance paru-paru dibutuhkan tekanan
yang lebih tinggi untuk mengembangkan saluran udara dan alveoli
kecil.Dinding dada bagian bawah tertarik karena diafragma turun dan tekanan
intratorakal menjadi negatif, membatasi jumlah tekanan intratorakal yang
dapat diproduksi. Semua hal tersebut menyebabkan kecenderungan terjadinya
atelektasis.8
Dinding dada bayi prematur yang memiliki compliance tinggi
memberikan tahanan rendah dibandingkan bayi matur, berlawanan dengan
kecenderungan alami dari paru-paru untuk kolaps. Pada akhir respirasi volume
toraks dan paru-paru mencapai volume residu, cencerung mengalami
atelektasis.9 Kurangnya pembentukan atau pelepasan surfaktan, bersama
dengan unit respirasi yang kecil dan berkurangnya compliance dinding dada,
menimbulkan atelektasis, menyebabkan alveoli memperoleh perfusi namun
tidak memperoleh ventilasi, yang menimbulkan hipoksia. Berkurangnya
compliance paru, tidal volume yang kecil, bertambahnya ruang mati fisiologis,
bertambahnya usaha bernafas, dan tidak cukupnya ventilasi alveoli
menimbulkan hipercarbia.Kombinasi hiperkarbia, hipoksia, dan asidosis
menimbulkan vasokonstriksi arteri pulmonal dan meningkatkan pirau dari
kanan ke kiri melalui foramen ovale, ductus arteriosus, dan melalui paru
sendiri. Aliran darah paru berkurang, dan jejas iskemik pada sel yang
memproduksi surfaktan dan bantalan vaskuler menyebabkan efusi materi
protein ke rongga alveoli.9
Pada bayi imatur, selain defisiensi surfaktan, dinding dada compliant,
otot nafas lemah dapat menyebabkan kolaps alveolar.Hal ini menurunkan
keseimbangan ventilasi dan perfusi, lalu terjadi pirau di paru dengan
hipoksemia arteri progresif yang dapat menimbulkan asidosis
metabolik.Hipoksemia dan asidosis menimbulkan vasokonstriksi pembuluh
darah paru dan penurunan aliran darah paru.Kapasitas sel pnuemosit tipe II
untuk memproduksi surfaktan turun.Hipertensi paru yang menyebabkan pirau
kanan ke kiri melalui foramen ovale dan duktus arteriosus memperburuk
hipoksemia.9 Aliran darah paru yang awalnya menurun dapat meningkat

17
karena berkurangnya resistensi vaskuler paru dan PDA.Sebagai tambahan dari
peningkatan permeabilitas vaskuler, aliran darah paru meningkat karena
akumulasi cairan dan protein di interstitial dan rongga alveolar.Protein pada
rongga alveolar dapat menginaktivasi surfaktan.Berkurangnya functional
residual capacity (FRC) dan penurunan compliance paru merupakan
karakteristik HMD.Beberapa alveoli kolaps karena defisiensi surfaktan,
sementara beberapa terisi cairan, menimbulkan penurunan FRC.Sebagai
respon, bayi premature mengalami grunting yang memperpanjang ekspirasi
dan mencegah FRC semakin berkurang pada compliance paru.9

Gambar 3. Mekanisme HMD

2.7 Penegakan Diagnosis


2.7.1 Anamnesis
 Riwayat kelahiran kurang bulan, ibu DM
 Riwayat persalinan yang mengaalami asfiksia perinatal (gawat
janin)

18
 Riwayat kelahiran saudara kandung dengan penyakit membrane
hialin.
Penyakit membran hialin sering terjadi pada bayi prematur dengan
berat badan 1000-2000 gram atau masa gestasi 30-36 minggu.Jarang
ditemukan pada bayi dengan berat badan lebih dari 2500 gram.Sering
disertai dengan riwayat asfiksia pada waktu lahir atau tanda gawat bayi
pada akhir kehamilan.Tanda gangguan pernafasan mulai tampak 6-8
jam pertama setelah kelahiran dan gejala yang karakteristik mulai
terlihat pada umur 24-72 jam. Bila keadaan membaik, gejala akan
menghilang pada akhir minggu pertama.8
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh
atelektasis dan perfusi paru yang menurun. Keadaan ini akan
memperlihatkan gambaran klinis seperti dispnea atau hiperpnea,
sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi
interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan,
ditemukan gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada
penderita HMD berat), hipotensi, kardiomegali, pitting edema terutama
di daerah dorsal tangan atau kaki, hipotermia, tonus otot yang menurun,
gejala sentral dapat terlihat bila terjadi komplikasi. Scoring system yang
sering digunakan pada bayi preterm dengan HMD adalah Silverman-
Anderson score atau skorDownes.

Gambar 4.Silverman-Anderson scoring system

19
 Skor 10 = Severe respiratory distress
 Skor ≥7 = Impending respiratory failure
 Skor 0 = No respiratory distress

Tabel 1. Skor Downes.


Score 0 1 2
Frekuensi nafas
<60 60 -80 >80
(x/menit)
Sianosis None In room air In 40% oxigen
Moderate-
Retraksi None Mild
severe
Audible
Audible with
Merintih None without
stethoscope
stethoscope
Delayed /
Air entry Clear Barely audible
decrease
Skor :
<6 = Respiratory distress
>6 = Inpending respiratory failure

2.7.2 Pemeriksaan Fisik


a) Gejala biasanya dijumpai dalam 24 jam pertama kehidupan.
b) Dijumpai sindrom klinis yang terdiri dari kumpulan gejala yaitu :
1. Takipnea (frekuensi nafas >60x/menit)
2. Grunting atau nafas merintih
3. Retraksi dinding dada
4. Kadang dijumpai sianosis (pada udara ruangan)
c) Perhatikan tanda prematuritas
d) Kadang ditemukan hipotensi, hipotermia, edema perifer, edema
paru
e) Perjalanan klinis bervariasi sesuai dengan beratnya penyakit,
besarnya bayi, adanya infeksi dan derajat dari pirau PDA

20
f) Penyakit dapat menetap atau menjadi progresif dalam 48-96 jam

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan gas darah
Hasil analisis gas darah menunjukkan asidosis
respiratorik dan asidosis metabolik dengan hipoksia. Asidosis
respiratorik terjadi karena atelektasis dari alveoli dan atau
overdistensi dari bronkiolus (terminal airways).Asidosis
metabolik yang terjadi pada HMD dawali dengan asidosis
laktatsebagai akibat dari menurunnya perfusi ke jaringan
sehingga tubuh menggunakan jalur anaerob untuk
metabolisme.Hipoksia pada HMD ini terjadi dari right-to-left
shunting melalui pembuluh dari pulmonal, patent ductus
artreriosus (PDA), dan atau foramen ovale tidak menutup.9
2. Shake test
Tes kocok (shake test) Dari aspirat lambung dapat
dilakukan tes kocok. Aspirat lambung diambil melalui
nasogastrik tube pada neonatus dengan banyak 0,5 ml. Lalu
tambahkan 0,5 ml alkohol 96%, dicampur di dalam tabung 4
ml, kemudian dikocok selama 15 detik dan didiamkan selama
15 menit.9
Pembacaan :
Neonatus imatur : tidak ada gelembung 60% resiko terjadi
HMD
+1 :gelembung sangat kecil pada meniskus (< 1/3) 20% resiko
terjadi HMD
+2 : gelembung satu derat, >1/3 permukaan tabung.
+3 :gelembung satu deret pada seluruh permukaan dan
beberapa gelembung pada dua deret.
+4 :gelembung pada dua deret atau lebih pada seluruh
permukaan neonatus matur.

21
3. Pulse Oximetry
Pulse oximetry adalah tindakan non-invansif yang digunakan
untuk memantau saturasi oksigen dalam darah, dimana saturasi
dipertahankan pada nilai 90-95%. Akan tetapi alat ini tidak dapat
mendeteksi terjadinya hiperoksia.Pada metode konvensional
digunakan metodemonitoring in-line arterial PaO2 dan monitoring
transkutaneus.Monitoring transkutaneus CO2 seharusnya digunakan
pada infant dengan HMD untuk memonitor ventilasi yang
berhubungan dengan PaCO2.
4. Uji Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru
janin adalah tes kematangan paru yang biasanya dilakukan pada
bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya
Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS).9
5. Rontgen
Diagnosis yang tepat dengan pemeriksaan foto rontgen
toraks. Pemeriksaan ini juga sangat penting untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain yang diobati dan mempunyai gejala
yang mirip penyakit membran hialin misalnya pneumotoraks,
hernia diafragmatika, dan lain-lain.11
a) Foto toraks posisi AP dan lateral (bila diperlukan serial)
Gambaran radiologis memberi gambaran penyakit
membran hialin.Gambaran yang khas berupa pola
retikulogranular, yang disebut dengan ground glass
appearance, disertai dengan gambaran bronkus di bagian
perifer paru (air bronchogram).
Terdapat 4 stadiumyaitu : 11
1. Stadium 1: pola retikulogranular(ground glass
appearance)
2. Stadium 2: stadium 1 + air bronchogram
3. Stadium 3: stadium 2 + batas jantung - paru kabur
4. Stadium 4: stadium 3 + white lung appearance

22
Gambar 5. HMD dengan Gambar 6. HMD dengan granular
granular appearance pada kedua appearance dan air broncogram
paru

Gambar7. HMD dengan gambaran Gambar 8.White ngappearance


batas jantung-paru kabur(kiri) (kanan)

Gambar 9. HMD pada bayi Gambar10.HMD pada bayi yang


premature sudah mendapat terapi surfaktan.
Tampak gambarangelembung
udara pada lobus atas

23
Selama perawatan, diperlukan foto toraks serial dengan
interval sesuai indikasi.Pada pasien dapat ditemukan pneumotoraks
sekunder karena pemakaian ventilator, atau terjadi
bronchopulmonary dysplasia (BPD) setelah pemakaian ventilator
jangka lama.

2.8 Diagnosis Banding


Tabel2. Perbedaan sindrom gawat nafas
Penyakit Gejala Radiologi
Ateletaksis, air
Sianosis, apnea, pernafasan
HMD broncogram, infitrat
cuping hidung
granular
Hiperekspansi perihiler
Transient pulmonal, peningkatan
Takipnea segera setelah lahir,
Tachypnoea of the corakan vaskuler
retraksi, merintih
Newborn (TTN) pulmonal, infitrat sudut
costofrenikus tumpul
Takipnea, nafas cuping
Infitrat kasar bilateral,
Aspirasi Mekonium hidung, retraksi, sianosis,
hiperinflasi paru
mekonium stained skin

1. Transient Tachypnoea of the newborn(TTN)


Peningkatan kadar epinefrin pada fetus pada saat partus umumnya
mengurangi produksi cairan paru dan mengaktivasi channel natrium yang
menimbulkan terjadinya reabsorbsi. Gagalnya untuk membersihkan paru
dari cairan paru ini menyebabkan terjadinya TTN. Faktor risiko terjadi TTN
termasuk kelahiran preterm, kelahiran dengan sectio caesaria, dan bayi
dengan jenis kelamin laki-laki.11
TTN juga dihubungkan dengan maternal asma. Pada gejala awal, TTN
sulit untuk dibedakan dengan penyakit membranhialin. Diagnosis TTN
hanya dapat ditegakkan dengan foto rontgen paru yaitu adanya opasitas paru
yang berbentuk “streaky”, ditemukannya cairan pada fisura transversalis,

24
dan biasanya disertai dengan kardiomegali. TTN terjadi pada 5 dari1000
bayi cukup bulan. Gejala TTN ialah adanya takipnea yang parah (frekuensi
nafas >60x/menit) dan terjadinya hiperinflasi, tetapi jarang disertai dengan
grunting. TTN merupakan diagnosis eksklusi, dimana diagnosis sindrom
gawat nafas, sepsis dan gagal jantung sudah disingkirkan.11

Gambar 11. Transient tachypnoea of the newborn dengan gambaran cairan


pada fisura transversalis dan hiperekspansi paru

2. Meconium aspiration syndrome


Aspirasi mekonium jarang terjadi padabayi kurangbulan. Sindrom
aspirasi mekonium terjadi apabila janin mengeluarkan mekonium ke dalam
cairan amnion ketika masih berada dalam kandungan, dan cairan amnion
yang terkontaminasi mekonium teraspirasi oleh bayi. Aspirasi mekonium
menyebakan obstruksi mekanis pada paru sehingga menyebabkan
terperangkapnya udara dan mengakibatkan atelektasis dan
ketidakseimbangan perfusi-ventilasi. Secara klinis, bayi tampak berwarna
kuning kehijauan atau lebih dikenali sebagai meconium-stained skin.
Penegakkan diagnosis aspirasi mekoneum dapat dilakukan dengan
kombinasi foto rontgen dengan gambaran bercak-bercak konsolidasi atau
atelektasis, infiltrat kasar di kedua lapangan paru, dan hiperinflasi karena
terperangkapnya udara.11

25
Gambar 12. Foto thoraks sindrom aspirasi mekonium
3. Pneumotoraks
Kekurangan surfaktan yang relatif pada bayi yang lahir dengan usia
gestasi 32-34 minggu menghasilkan paru-paru yang kurang
compliancesehingga meningkatkan risiko terjadinya pneumotoraks
danpneumomediastinum. Pneumotoraks kecil umumnya dapat sembuh
secara spontan. Selama ini, oksigen 100% digunakan sebagai penanganan
pneumotoraks kecil, akan tetapi efektivitasnya belum terbukti dan dengan
risiko terjadinya toksisitas oksigen, maka penanganan ini sudah tidak lagi
dilakukan.11
Penanganan yang sedang berkembang ialah penggunaan kateterisasi
pigtail yang dimasukan dengan teknik Seldinger. Keuntungan tindakan ini
ialah tindakannya yang cepat dan mudah, serta sedikitnya skar yang
ditimbulkan dibandingkan dengan traditional chest tubes.

Gambar 13.Pneumotoraks pada Gambar14. Penggunaan kateter


paru sisi kanan pigtail

26
2.9 Terapi
Terapi terutama ditujukan pada pertukaran O2 dan CO2 yang tidak
adekuat di paru-paru, asidosis metabolik dan kegagalan sirkulasi adalah
manifestasi sekunder. Beratnya HMD akan berkurang bila dilakukan
penanganan dini pada bayi BBLR, terutama terapi asidosis, hipoksia,
hipotensi dan hipotermia.9 Kebanyakan kasus HMD bersifat self-limiting,
jadi tujuan terapi adalah untuk meminimalkan kelainan fisiologis dan
masalah iatrogenik yang memperberat. Penanganan sebaiknya dilakukan di
NICU.
2.9.1 Stabilisasi Kamar Bersalin
Bayi dengan defisiensi surfaktan mengalami gangguan
dalam mencapai kapasitas residu fungsional yang adekuat dan
memastikan pengaliran udara di alveolar terus menerus.
Penggunaan oksigen murni 100% tidak lagi diperlukan,
sekarang pencampur oksigen-udara ruangan seharusnya tersedia di
kamar bersalin untuk membolehkan titrasi oksigen sesuai kondisi
bayi. Pemberian rutin ventilasi tekanan positif (bagging) tidak
sesuai bagi preterm yang belum nafas spontan. Jika ventilasi
tekanan positif diperlukan untuk menstabilkan bayi, hindari volume
tidal yang berlebihan dengan menggunakan alat resusitasi yang bisa
mengukur atau melimitasi peak inspiratory pressure(PIP) dan waktu
yang sama dapat mempertahankan positive end-expiratory
pressure(PEEP) semasa ekspirasi. Contoh alatnya adalah Neopuff.
Hanya sebagian kecil bayi memerlukan intubasi di kamar
bersalin.Bayi-bayi ini adalah yang menerima surfaktan dan yang
tidak menunjukkan respon pada pemberian CPAP.Jika intubasi
diperlukan, posisi benar tuba endotrakeal diketahui dengan
menggunakan alat yang mendeteksi CO2 kolorimetrik, sebelum
pemberian surfaktan dan penggunaan ventilator.
2.9.3 Surfaktan Eksogen
Instilasi surfaktan eksogen multidosis ke endotrakhea pada
bayi BBLR yang membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik

27
untuk terapi penyelamatan RDS sudah memperbaiki angka
bertahan hidup dan menurunkan insidensi kebocoran udara dari
paru sebesar 40%, tapi tidak menurunkan insidensi
bronchopulmonary dysplasia (BPD) secara konsisten. Efek yang
segera muncul meliputi perbaikan oksigenasi dan perbedaan
oksigen alveoli-arteri dalam 48-72 jam pertama kehidupan,
menurunkan tidal volume ventilator, meningkatkan compliance
paru, dan memperbaiki gambaran rontgen dada.Pemberian
surfaktan eksogen menurunkan insidensi BPD, namun tidak
berpengaruh terhadap insidensi PDA, perdarahan intrakranial, dan
necrotizing enterocolitis (NEC).Terdapat penigkatan insiden
perdarahan paru pada pemberian surfaktan sintetik sebesar 5%.
Surfaktan dapat diberikan segera setelah bayi lahir (terapi
profilaksis) atau beberapa jam kemudian setelah diagnosa RDS
ditegakkan (terapi penyelamatan). Terapi profilaksis lebih efektif
dibandingkan bila diberi beberapa jam kemudian. Bayi yang
mendapat surfaktan eksogen sebagai terapi profilaksis
membutuhkan oksigen dan ventilasi mekanik lebih sedikit disertai
angka bertahan hidup yang lebih baik.4 Bayi yang lahir kurang dari
32 minggu kehamilan harus diberi surfaktan saat lahir bila ia
memerlukan intubasi. Terapi biasa dimulai 24 jam pertama
kehidupan, melalui ETT tiap 12 jam untuk total 4 dosis. Pemberian
2 dosis atau lebih memberikan hasil lebih baik dibanding dosis
tunggal.Pantau radiologi, BGA, dan pulse oxymetri.
2.9.4 Cairan dan Nutrisi
Kalori dan cairan diberikan secara intravena. Dalam 24 jam
pertama berikan infus glukosa 10% dan cairan melalui vena perifer
sebanyak 65-75 ml/kg/24 jam. Kemudian tambahkan elektrolit,
volume cairan ditingkatkan bertahap sampai 120-150 ml/kg/24
jam. Cairan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya Patent
Ductus Arteriosus (PDA). Pemberian nutrisi oral dapat dimulai
segera setelah bayi secara klinis stabil dan distres nafas

28
mereda.ASI adalah pilihan terbaik untuk nutrisi enteral yang
minimal, serta dapt menurunkan insidensi NEC.

2.10 Komplikasi
Pneumothoraks, pneumomediastinum dan emfisema pulmonal
intertisial dapat terjadi diakibatkan kebocoran udara pada alveolus yang
terlalu mengembang.12
Perdarahan sistem saraf pusat (SSP), perdarahan intraventrikular
(IVH) dan duktus arteriosus paten (PDA) merupakan masalah klinis
signifikan yang mempengaruhi perawatan bayi dengan HMD. Duktus
arteriosus paten dan gagal jantung kongestif serta edema pulmonal
memperburuk fungsi pernafasan dengan lebih lanjut, menurunkan
compliance paru dan mungkin mengnonaktifkan surfaktan paru.12

2.11 Prognosis
Prognosis sindrom ini tergantung dari tingkat prematuritas dan
beratnya penyakit.Pada penderita yang ringan penyembuhan dapat terjadi
pada hari ke-3 atau ke-4 dan pada hari ke-7 terjadi penyembuhan
sempurna.Pada penderita yang lanjut mortalitas diperkirakan 20-40%.
Dengan perawatan yang intensif dan cara pengobatan terbaru mortalitas ini
dapat menurun. Prognosis jangka panjang sulit diramalkan.Kelainan yang
timbul di kemudian hari lebih cenderung disebabkan komplikasi pengobatan
yang diberikan dan bukan akibat penyakitnya sendiri. Pada fungsi paru yang
normal pada kebanyakan bayi yang dapat hidup dari HMD, prognosisnya
sangat baik.9
Prognosis jangka panjang untuk tercapainya fungsi paru yang normal
pada kebanyakan bayi HMD yang bertahan hidup adalah sangat baik.
Namun bayi yang berhasil bertahan hidup dari kegagalan pernapasan
neonatus yang berat dapat mengalami gangguan paru dan perkembangan
saraf yang berarti.9

29
2.12 Pencegahan
2.12.1 Perawatan Antenatal
Intervensi untuk mencegah terjadinya HMD harus dimulai
sebelum kelahiran dan melibatkan bagian anak dan kebidanan. Secara
umum sekresi surfaktan meningkat selama proses persalinan, oleh
karena itu operasi sectio caesaria elektif tidak dianjurkan. Bayi
preterm yang berisiko untuk terjadinya HMD seharusnya dilahirkan di
tempat yang memiliki tenaga ahli dan fasilitas yang dilengkapi dengan
Continuous Positive Airway Pressure(CPAP) dan ventilator mekanik.9
Untuk bayi yang usia gestasi kurang dari 27 minggu,
kemungkinan untuk meninggal pada tahun pertama kehidupan
berkurang bila dilahirkan di rumah sakit yang memiliki Neonatal
Intensif Care Unit (NICU). Pemanfaan obat tokolitik dapat digunakan
untuk menunda persalinan sementara agar ibu dapat dirujuk ke rumah
sakit dengan fasilitas NICU.9
2.12.2 Pemberian Kortikosteroid pada Ibu
Steroid antenatal diberikan pada ibu untuk menurunkan risiko
kematian pada neonatal. Keberhasilan pemberian steroid hanya
terlihat pada bayi preterm yang ibunya menerima dosis pertama
steroid 1-7 hari sebelum persalinan. Betamethason dan dexamethason
digunakan untuk meningkatkan pematangan paru janin. Pemberian
steroid antenatal direkomendasikan pada semua kehamilan yang
berisiko terjadinya persalinan preterm.Dosis tunggal pemberian
betamethason adalah 12 mg. Interval optimal untuk memulai terapi
berdasarkan taksiran persalinan adalah >24 jam dan <7 hari. Tidak
ada bukti yang jelas menunjukkan pemberian dosis ulangan dapat
meningkatkan keberhasilan efek kortikosteroid.10

30
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
HMD merupakan kegawatan pada neonatus yang termasuk kedalam
Sindroma Gawat Nafas (SGP), yaitu gawat napas pada bayi kurang bulan
yang terjadi segera atau beberapa saat setelah lahir, ditandai adanya
kesukaran bernafas, (pernafasan cuping hidung, grunting, tipe pernapasan
dispnea atau takipnea, retraksi dada, dan sianosis) yang menetap atau menjadi
progresif dalam 48 – 96 jam pertama kehidupan.Penyebabnya adalah
kurangnya surfaktan. Gagal nafas dapat didiagnosa dengan analisis gas darah.
Edema sering didapatkan pada hari ke-2, disebabkan oleh retensi cairan dan
kebocoran kapiler.Diagnosa dapat dikonfirmasi dengan foto rontgen.Pada
pemeriksaan radiologist ditemukan pola retikulogranuler yang uniform,
gambaran ground glass appearance dan air bronchogram.
Diagnosispenyakit membrane hialindapatditegakkanberdasarkangejala
dan tandaklinis, pemeriksaan radiologis, dan analisis gas darah.Pemilihan
terapi yang tepat dan pencegahan yang baik dapat menurunkan angka kejadian
morbiditas dan mortilitas pada neonatus dengan HMD.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Lidia G, Francesco M.Hyaline membran disesase or respiratory distress


syndrom. Jpurnal of pediatric and Neonatal individualized medicine.
2014;3(2).1-7.
2. Ramona T. Kelainan Kardiovaskuler pada Sindorm Gawat Nafas
Neonatus. Saripediatri. 2004;3(1).40-46.
3. Glorgia L, Vassilios F and Clara G. Hyaline membran disease: the role of
the perinatal pathologist. 2014;3(2). 1-9.
4. Guyton, Arthur C., and John E. Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran
Edisi ke-9. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2009.
5. Ganong, William F.A Lange Medical Book: Review of Medical
Physiology - 21st Edition, USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 2003.
6. Evelyn and Pearce. Anatomi dan Fisiologi. Jakarta: Gramedia Indo. 2006.
7. Sadler TW. Langman : Embriologi Kedokteran Edisi 10. Jakarta. EGC.
2009
8. Latief Abdul, Napitupulu Partogi, Pudjiadi Antonius, Ghazali Vinci
Muhammad, Putra Tulus Sukman. Penyakit membran hialin. Buku Ilmu
Kesehatan Anak jilid 3. Jakarta :FKUI. 2003
9. Nelson. Ilmu Kesehatan Anak, Bagian I, Edisi 12, Alih Bahasa : Siregar,
M.R. Jakarta; Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012.
10. Pudjiadi antonius. Hegar badriul. Handriastuti S. Idris Salamia.
Gandaputra E. Harmoniati E. “penyakit membran hyalin”, buku pedoman
pelayanan medis IDAI jilid 1
11. Sjahriar Rasad. 2010. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Balai Penerbit
FKUI. Jakarta.
12. Pradip RP. Lectore Notes; Radiologi. Jakarta: Erlangga Medical Series.
2006.

32
REFERAT

TUMOR PARU

Disusun oleh :
Listio Budi Santoso
111170042

Pembimbing :
dr. Hj. Farida Yunus Sp.Rad

Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi

Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon

Fakultas Kedokteran Unswagati

2018

33
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Tumor
Paru” ini selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas di stase Radiologi pada
Kepaniteraan Klinik di RSUD Waled-Cirebon. Saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Hj. Farida Yunus, Sp.Rad selaku dosen
pembimbing sekaligus pengajar di stase Radiologi yang telah banyak memberikan
bimbingannya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan baik. Dan
tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang turut
membantu secara moril maupun spirituil dalam pembuatan referat ini.
Referat ini tentunya tidak luput dari kesalahan ataupun kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang sangat membangun sangat saya harapkan demi perbaikan
kedepannya.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi Fakutas Kedokteran khususnya
dan bagi pembaca serta masyarakat pada umumnya.

Waled, februari 2018

Penyusun

34
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tumor paru adalah tumor pada jaringan paru yang dapat bersifat jinak
maupun ganas atau disebut dengan kanker paru. Tumor paru dapat bersifat
primer maupun sekunder. Prevalensi tumor paru di negara negara maju
seperti Amerika Serikat pada tahun 2001 cukup tinggi, diperkirakan sekitar
13% penyebab kematian disebabkan oleh kanker paru.1
Menurut data WHO tahun 2015, kanker paru termasuk salah satu
penyebab kematian terbesar selain kanker hati, lambung, kolorektal, payudara
dan esofagus yang menyumbang sekitar 1,59 juta kematian tiap tahunnya.
Selanjutnya, hanya 25% dari pasien kanker paru yang mampu bertahan hidup
pada tahun pertama setelah didiagnosis dan 7% pasien yang memiliki rerata
angka tahan hidup 5 tahunan dalam 30 tahun kehidupan tanpa ada perubahan
(Hunt et al, 2009).2
The American Cancer Society memperkirakan pada tahun 2005
terdapat sekitar 12% kasus baru kanker paru berasal dari negara berkembang
namun, di Indonesia data epidemiologi pasti masih belum ada. Berdasarkan
buku pedoman diagnosis dan penatalaksanaan kanker paru di Indonesia oleh
perhimpunan dokter paru Indonesia tahun 2003 dinyatakan bahwa, meskipun
data epidemiologi pasti belum ada, akan tetapi dengan tingginya angka
merokok yang terdapat pada masyarakat sebagai salah satu penyebab utama
kanker paru menjadikan kanker paru sebagai salah satu permasalahan
penyakit memerlukan penanganan dan tindakan cepat serta terarah, sehingga
diperlukan penegakan diagnosis secara tepat dan dini.2,3
Stadium awal keganasan paru biasanya dijumpai dalam bentuk nodul
paru yang soliter pada radiografi polos toraks, namun berdasarkan penelitian
sekitar 30% deteksi nodul di paru-paru ini sering terlewatkan oleh ahli
radiologi karena dipengaruhi oleh pengaburan struktur anatomi disekitarnya

35
dan ukuran nodul yang masih kecil sering memunculkan keputusan subyektif
dengan hasil berbeda-beda. Untuk itu American College of Radiology
merekomendasikan penggunaan CT scan toraks dosis rendah,dan National
Comprehensive Cancer Network di Inggris serta United States Preventive
Services Task Forces juga merekomendasikan penggunaaan MDCT
(Multidetector Computed Tomography) pada pasien beresiko tinggi karena
terbukti memiliki kemampuan mendeteksi secara dini nodul-nodul paru
sehingga memiliki potensi secara bermakna dalam mengurangi kematian
akibat kanker paru.4
Berdasarkan hasil penelitian dari National Lung Screening di Inggris
dengan penggunaan MDCT diperkirakan dapat menurunkan angka kematian
sekitar 20% dibandingkan deteksi dengan radiografi toraks. Yang menjadi
permasalahan kemudian adalah bagaimana membedakan antara tumor jinak
maupun ganas dari tumor paru yang soliter. Banyak penelitian menyatakan
bahwa CT dengan resolusi yang tinggi dapat secara akurat menggambarkan
karakteristik suatu lesi baik dari bentuk luarnya maupun bagian dalam dari
lesi yang berukuran kecil atau kurang dari 1 cm. CT scan juga dapat
dikatakan lebih sensitif dari pada pemeriksaan sputum dan foto toraks.
Literatur yang terakhir menyatakan bahwa peranan CT scan dalam
mendeteksi kanker paru dini serta menganalisis morfologi jinak dan ganas
sangatlah besar.5
CT scan dapat mendeteksi tiga kali lebih tinggi stadium I kanker paru
dibandingkan radiografi toraks, dan CT scan spiral lebih baik dalam
mendeteksi nodul kecil yang berpotensi sebagai stadium I kanker paru.
Dalam hal ini ELCAP tidak memakai kontras media, namun menggunakan
multislice spiral CT scan dengan dosis radiasi yang rendah. Akurasi
diagnostik CT scan toraks dalam mendeteksi stadium tumor (T) dan nodul
(N) pada pasien yang telah didiagnosis kanker paru stadium I-IIIA
mendapatkan hasil sensitivitas 100%, spesifisitas 75% dan akurasi 93,7%
untuk stadium tumor sedangkan deteksi nodul memiliki sensitivitas 90,9%,
spesifisitas 40% dan akurasi 75% (Icksan et al, 2003). CT scan toraks dapat
memberikan kesan yang kuat terdapatnya malignansi atau keganasan pada

36
pasien dengan lesi fokal paru berupa nodul soliter atau massa jika terdapat
gambaran morfologi berupa ukuran lesi >3cm, tepi irregular atau spiculated,
bentuk berlobulasi, air bronchograms, pleural tail, kavitas, nilai atenuasi
lebih 20 HU setelah pemberian kontras, kalsifikasi, ground glass opacity dan
Rigler notch sign.6,7
Komponen morfologi ukuran tumor >3 cm, penyangatan ≥ 24 HU,
tepi irregular spiculated, bentuk berlobulasi, air brochograms dan ground
glass opacity serta densitas heterogen mempunyai sensitivitas yang tinggi
serta dapat dipakai sebagai kriteria diagnosis kanker paru primer pada CT
scan toraks.8

1.2 Tujuan dan Manfaat


1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui tentang gambaran tumor jinak paru dan tumor ganas
paru.
1.2.2 Manfaat
a. Menjadikan bahan pembelajaran pribadi yang menambah
pengetahuan serta wawasan penulis mengenai tumor paru.
b. Pembaca dapat memehami lebih jauh tentang hasil gambaran
radiologi yang berperan dalam pemeriksaan penunjang pada tumor
paru.

37
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Paru merupakan salah satu organ vital yang memiliki fungsi utama sebagai
alat respirasi dalam tubuh manusia, paru secara spesifik memiliki peran untuk
terjadinya pertukaran oksigen (O2) dengan karbon dioksida (CO2). Pertukaran
ini terjadi pada alveolus – alveolus di paru melalui sistem kapiler.5,6
Paru manusia terbentuk setelah embrio mempunyai panjang 3 mm.
Pembentukan paru di mulai dari sebuah Groove yang berasal dari Foregut.
Pada Groove terbentuk dua kantung yang dilapisi oleh suatu jaringan yang
disebut Primary Lung Bud. Bagian proksimal foregut membagi diri menjadi 2
yaitu esophagus dan trakea. Pada perkembangan selanjutnya trakea akan
bergabung dengan primary lung bud. Primary lung bud merupakan cikal bakal
bronchi dan cabang-cabangnya. Bronchial-tree terbentuk setelah embrio
berumur 16 minggu, sedangkan alveoli baru berkembang setelah bayi lahir dan
jumlahnya terus meningkat hingga anak berumur 8 tahun. Alveoli bertambah
besar sesuai dengan perkembangan dinding toraks. Jadi, pertumbuhan dan
perkembangan paru berjalan terus menerus tanpa terputus sampai pertumbuhan
somatic berhenti.9
Paru-paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40m2
untuk pertukaran udara. Setiap paru memiliki bentuk yang menyerupai kerucut,
memiliki puncak yang tumpul yang berbatasan bagian bawah dari kosta
pertama, memiliki dasar cekung yang mengikuti bentuk otot diafragma,
memiliki permukaan kostovertebra yang luas dan mengikuti bentuk dari
dinding thoraks, serta permukaan mediastinal cekung yang menyokong
perikardium.5
Terdapat suatu struktur berupa membran pembungkus yang mengelilingi
paru-paru disebut pleura. Pleura terdiri dari dua lapisan yaitu pleura viseralis
dan pleura parietalis. Pleura viseralis melekat pada paru sedangkan pleura

38
parietalis membatasi aspek terdalam dalam dinding dada, diafragma, serta sisi
perikardium dan mediastinum. Di antara kedua membran ini terdapat rongga
yang disebut sebagai cavum pleura yang berisi cairan pleura. Cairan pleura
berfungsi sebagai pelumas untuk mengurangi gesekan antara kedua pleura.5,6

Gambar 1. Lapisan pembungkus paru

Paru-paru kanan berukuran sedikit lebih besar dari paru-paru kiri. Paru-
paru kanan dibagi menjadi 3 lobus atas, tengah, dan bawah, oleh fisura oblikus
dan fisura horizontal . Sedangkan paru-paru kiri hanya memiliki fisura oblikus
yang membagi paru menjadi 2 lobus, atas dan bawah.5,6

Gambar 2. Lobus paru

Bronki dan jaringan parenkim paru-paru mendapat pasokan darah dari


a.bronkialis –cabang-cabang dari aorta torakalis desendens. v. bronkialis yang
juga berhubungan dengan v. pulmonalis, mengalirkan darah ke v. azigos dan v.

39
hemiazigos. Alveoli mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal
a. pulmonalis dan darah yang teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-
cabang v. pulmonalis. Dua v. pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap
paru ke atrium kiri jantung. Aliran limfe dari paru-paru mengalir kembali dar
perifer menuju kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial hilar dan dari
sini menuju trunkus limfatikus mediastinal.5
Pleksus pulmonalis berasal dari serabut saraf simpatis (dari trunkus
simpatikus) dan serabut parasimpatis (dari N. vagus). Aliran eferen
mempersarafi muskulus bronchial dan menerima aliran aferen dari membran
mukosa bronkiolus dan alveolus.5
Paru memiliki kemampuan recoil, yakni kemampuan untuk mengembang
dan mengempis dengan sendirinya. Elastisitas paru untuk mengembang dan
mengempis disebabkan karena adanya surfaktan yang dihasilkan oleh sel
alveolar tipe dua. Selain itu, mengembang dan mengempisnya paru juga sangat
dibantu oleh otot – otot dinding thoraks dan otot pernafasan lainnya, serta
tekanan negatif yang teradapat di dalam cavum pleura.8
Paru terletak pada sebuah ruangan di tubuh manusia yang di kenal sebagai
cavum thoraks. Karena paru memiliki fungsi yang sangat vital dan penting,
maka cavum thoraks ini memiliki dinding yang kuat untuk melindungi paru,
terutama dari trauma fisik. Cavum thoraks memiliki dinding yang kuat yang
tersusun atas 12 pasang costa beserta cartilago costalisnya, 12 tulang vertebra
thoracalis, sternum, dan otot – otot rongga dada. Otot – otot yang menempel di
luar cavum thoraks berfungsi untuk membantu respirasi dan alat gerak untuk
extremitas superior.8,9
Selain mendapatkan perlindungan dari dinding cavum thoraks, paru juga
dibungkus oleh sebuah jaringan yang merupakan sisa bangunan embriologi
dari coelom extra-embrional yakni pleura. Pleura sendiri dibagi menjadi tiga
yakni pleura parietal, pleura visceral dan pleura bagian penghubung. Pleura
visceral adalah pleura yang menempel erat dengan substansi paru. Sementara
pleura parietal adalah lapisan pleura yang paling luar dan tidak menempel
langsung dengan paru. Pelura bagian penghubung yakni pleura yang melapisi

40
radiks pulmonis, pleura ini merupakan pelura yang menghubungkan pleura
parietal dan pleura visceral.7,9
Pleura parietal memiliki beberapa bagian antara lain yakni pleura
diafragmatika, pelura mediastinalis, pleura sternocostalis dan cupula pleura.
Pleura diafragmatika yakni pleura parietal yang menghadap ke diafragma.
Pleura mediastinalis merupakan pleura yang menghadap ke mediastinum
thoraks, pleura sternocostalis adalah pleura yang berhadapan dengan costa dan
sternum. Sementara cupula pleura adalah pleura yang melewati apertura
thoracis superior. Pada proses fisiologis aliran cairan pleura, pleura parietal
akan menyerap cairan pleura melalui stomata dan akan dialirkan ke dalam
aliran limfe pleura.4,6
Di antara pleura parietal dan pleura visceral, terdapat celah ruangan yang
disebut cavum pleura. Ruangan ini memiliki peran yang sangat penting pada
proses respirasi yakni mengembang dan mengempisnya paru, dikarenakan pada
cavum pleura memiliki tekanan negatif yang akan tarik menarik, di mana
ketika diafragma dan dinding dada mengembang maka paru akan ikut tertarik
mengembang begitu juga sebaliknya. Normalnya ruangan ini hanya berisi
sedikit cairan serous untuk melumasi dinding dalam pleura.7,9

Gambar 3. Segmen Paru Dextra dan Sinistra

41
Gambar 4. Hilus Paru

Gambar 5. Gambaran Radiologi Paru Normal


2.2 Definisi
Tumor adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan jaringan baru
yang abnormal. Paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan letaknya
didalam rongga dada. Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru.
Secara normal, tubuh memelihara suatu sistim dari pemeriksaan-pemeriksaan
(checks) dan keseimbangan-keseimbangan (balances) pada pertumbuhan sel-
sel sehingga sel-sel membelah untuk menghasilkan sel-sel baru hanya jika
diperlukan. Gangguan atau kekacauan dari sistim checks dan balances ini

42
pada pertumbuhan sel berakibat pada suatu pembelahan dan
perkembangbiakan sel-sel yang tidak terkontrol yang pada akhirnya
membentuk suatu massa yang dikenal sebagai suatu tumor.3
Tumor-tumor bisa menjadi jinak atau ganas. Kanker adalah tumor yang
dipertimbangkan sebagai ganas. Tumor-tumor jinak biasanya dapat diangkat
dan tidak menyebar ke bagian-bagian lain tubuh. Tumor-tumor ganas, akan
tumbuh secara agresif dan menyerang jaringan-jaringan lain dari tubuh.
Masuknya sel-sel tumor kedalam aliran darah atau sistim limfatik
menyebabkan menyebarnya tumor ke tempat-tempat lain di tubuh. Proses
penyebaran ini disebut metastasis, area-area pertumbuhan tumor pada tempat-
tempat yang berjarak jauh disebut metastases. Karena kanker paru-paru
cenderung untuk metastase, maka tidak aneh bila kanker paru merupakan
kanker yang sangat mengancam nyawa dan merupakan satu dari kanker-
kanker yang paling sulit dirawat. Kelenjar adrenal, hati, otak, dan tulang
adalah tempat-tempat yang paling sering menjadi tempat metastase untuk
kanker paru.3

2.3 Patofisiologi
Seperti tumor pada umumnya penyebab pasti dari tumor paru belum
diketahui, tapi paparan atau inhalasi berkepanjangan suatu zat yang bersifat
karsinogenik merupakan faktor penyebab utama di samping adanya faktor
lain seperti kekebalan tubuh, genetik dan lain-lain. Dari etiologi yang
menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan silia hilang dan
deskuamasi, sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hiperplasia dan
displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia, hiperplasia dan
displasia menembus ruang pleura, biasanya akan timbul efusi pleura, dan bisa
diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra.8
Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang
terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti
dengan supurasi di bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa

43
batuk, hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat
terdengar pada auskultasi.8
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya
metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur –
struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak,
tulang rangka.8
2.4 Klasifikasi
Pada dasarnya tumor paru dibagi menjadi dua bagian, tumor paru jinak
dan tumor paru ganas.
1. Tumor Jinak Paru
Tumor jinak paru jarang dijumpai, hanya sekitar 2% dari seluruh tumor
paru, biasanya ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin, karena
tumor jinak jarang memberikan keluhan dan tumbuh lambat sekali.

a. Hamartoma
Hamartoma adalah suatu tumor jinak yang terbentuk dari jaringan
normal tetapi tersusun menjadi pola yang kacau, lebih banyak
ditemukan pada perempuan, yaitu 4 kali lebih sering dibandingkan
pada laik-laki. Tumor ini terbentuk sejak stadium embrional, tetapi
penemuannya sering secara kebetulan pada foto toraks normal. Lokasi
kejadiannya sering terletak di perifer, berbatas jelas dalam bentuk
bulat dan berlobus. Pada tomografi, tampak kalsifikasi, walaupun hal
ini bukan patognomonik hamartoma. Hamartoma dapar berkembang
menjadi ganas secra lokal karena mendorong organ sekitarnya.
Setelah dilakukan ekstirpasi, hamartoma tidaka kan tumbuh lagi.2
Hamartoma biasanya asimptomatik, hanya ditemukan secara tidak
sengaja saat pemeriksaan rutin foto thoraks berupa nodul soliter
berbatas tegas yang bervariasi seperti ‘irregular popcorn’(coin
lesion), bergelombang (globulated), atau tampak seperti kurva linear.
10-15% pasien ditemukan kalsifikasi. Ukuran biasanya kecil dengan
diameter 4cm, berbatas tegas, dan lobulated.2 Namun terkadang dapat

44
hadir dengan hemoptisis, obstruksi bronkus dan batu (terutama jenis
endobronkial). 2
b. Kista Paru
Terbentuknya kista paru merupakan hiperinflasi udara ke dalam
parenkim paru melalui suatu celah berupa klep akibat suatu
peradangan kronis. Kista paru dapat pula disebabkan kelainan
kongenital yang secara radiologik tidak dapat dibedakan dengan kista
paru didapat (akibat peradangan).
c. Lipoma
Lipoma adalah tumor endobronkial yang jarang, terdiri dari
jaringan lemak serta mempunyai kaitan dengan fibroma. Tumor ini
sering menembus dinding bronkus dan tumbuh ke parenkim paru.
d. Leimioma
Leimioma terdiri dari jaringan otot yang diselingi jaringan fibrosa.
Tumor ini dapat ditemukan sebagai tumor soliter maupun nodul yang
tersebar di sekitar percabangan pohon bronkus.2
e. Tumor vaskular
Tumor ini kejadiannya jarang. Jika ditemukan dapat berupa fistula
arteriovenosa, hemangioma kavernosa atau endotelioma paru. Fistula
arteriovenosa sering berkaitan dengan telangiektasis.2
f. Mesotelioma
Mesotelioma dapat bersifat maligna tetapi juga benigna.
Mesotelioma benigna biasanaya berasal dari pleura viseralis yang
memiliki lesi setempat (localized) dan tidak tersebar. Tumor ini sering
disebut hipertrofi osteoartropati pulmonar berupa jari tabuh.2

2. Tumor Ganas Paru


a. Kanker paru primer
Memiliki 2 tipe utama, yaitu:
1) Small cell lung cancer (SCLC)
SCLC adalah jenis sel yang kecil-kecil (banyak) dan memiliki
daya pertumbuhan yang sangat cepat hingga membesar. Biasanya

45
disebut “oat cell carcinomas” (karsinoma sel gandum). Tipe ini
sangat erat kaitannya dengan perokok, Penanganan cukup berespon
baik melalui tindakan kemoterapi dan radioterapi.7 Stadium
(Stage) SCLC ada 2 yaitu9:
a) Stage terbatas (limited) jika hanya melibatkan satu sisi paru
(hemitoraks)
b) Stage luas (extensived) jika sudah meluas dari satu hemitoraks
atau menyebar ke organ lain

2) Non-small cell lung cancer (NSCLC).


NSCLC adalah merupakan pertumbuhan sel tunggal, tetapi
seringkali menyerang lebih dari satu daerah di paru-paru,7
mencakup adenokarsinoma, karsinoma sel skuamosa, karsinoma
sel besar (Large Cell Ca) dan karsinoma adenoskuamosa.9
a) Adenokarsinoma
Kasus jenis ini kejadiannya sebanyak 50% dari seluruh tumor
bronkogenik pada perempuan. Biasanya terletak di perifer,
sehingga gejala kliniknya tenang. Gejala yang timbul dapat
berupa batuk, hemoptisis, nyeri dada, dan penurunan berat
badan yang cepat. Pada gambaran radiologi biasanya ditemui di
daerah perifer dekat pleura dan mempunyai diameter kurang
dari 4cm. Biasanya membentuk msuin dan sering tumbuh dari
bekas kerusakan jaringan paru (scar)
b) Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma jenis ini merupakan jenis keganasan paru yang
sering dijumpai, kejadiannya sebanyak 30-60% dari seluruh
kasus tumor bronkogenik. Terdapat asosiasi yang kuat antara
kebiasaan merokok dan karsinoma paru sel skuamosa, jumlah
penderita laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan penderita
perempuan. Umur rata-rata penderita 57 tahun. Gejalanya
berupa batuk berdahak, hemoptisis, nyeri dada, pneumonia, dan
dispnea. Lokasinya sebagian besar terletak di bronkus besar,

46
sehingga secara radiologi akan ditemukan massa perihiler atau
atelektasis dan pneumonia dengan bayangan di tengah. Jika lesi
terletak di perifer dan apikal, lesi ini dapat menyebabkan
sindrom pancoast. Karsinoma sel skuamosa berciri khas proses
keratinisasi dan pembentukan bridge intraseluler. Terapi dapat
berupa pembedahan atau radiasi. Kemoterapi pada tumor jenis
ini tidak memuaskan.
c) Karsinoma Sel Besar
Karsinoma jenis ini didiagnosa melalui proses eliminasi,
yaitu jika bukan karsinoma sel skuamosa atau adenokarsinoma,
diagnosisnya adalah anaplastik dan jika selnya lebih besar
dibanding leukosit, diagnosisnya dalah karsinoma paru
anaplastik sel besar. Pada foto thoraks , lesi terletak di perifer
dan berukuran besar, sedangkan pada adenokarsinoma,
walaupun terletak di perifer diameternya kurang dari 4cm.
Karena terletak di perifer, perkembangan karsinoma ini tenang.
Rasa nyeri dada dan efusi pleura tampak lebih dulu
dibandingkan dengan terjadinya batuk berdahak dan hemoptisis.
Stage NSLCLC dibagi atas : Stage 0, IA, IB, IIA, IIB, IIIA, IIIB
dan IV yang ditentukan menurut International Staging System
for Lung Cancer 1997, berdasarkan sistem TNM. 9
Stadium TNM

Occult carcinoma Tx N0 M0
0 Tis N0 M0
IA T1 N0 M0
IB T2 N0 M0
IIA T1 N1 M0
IIB T2 N1 M0, T3 N0 M0
IIIA T1 N2 M0, T2 N2 M0, T3 N1 M0, T3 N2
M0
IIIB berapapun T N3 M0, T4 berapapun N M0
berapapun T berapapun N M1
IV

Kategori TNM untuk Kanker Paru 9:

47
T : Tumor Primer
To : Tidak ada bukti ada tumor primer
Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari
penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi
tidak tampak secara radiologis atau bronkoskopis.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3 cm,
dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura viseral dan secara
bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus
(belum sampai ke bronkus utama). Tumor sembarang ukuran
dengan komponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang
meluas ke proksimal bronkus utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut: :
a. Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
b. Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari
karina, dapat mengenai pleura visceral
c. Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif
yang meluas ke daerah hilus, tetapi belum mengenai seluruh
paru.
T3 : Tumor sembarang ukuran, dengan perluasan langsung pada
dinding dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura
mediastinum atau tumor dalam bronkus utama yang jaraknya
kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang
berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif
seluruh paru.
T4 : Tumor sembarang ukuran yang mengenai mediastinum atau
jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra,
karina, tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau tumor
satelit nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor
primer.
N : Kelenjar getah bening regional (KGB)
Nx : Kelenjar getah bening regional tak dapat dinilai

48
No : Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
N1 : Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus
ipsilateral, termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral
dan/atau KGB subkarina
N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB
skalenus/supraklavikula ipsilateral/kontralateral
M : Metastasis (anak sebar) jauh
Mx : Metastasis tak dapat dinilai
Mo : Tak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh. Nodul ipsilateral di luar lobus tumor
primer dianggap sebagai M1

b. Kanker Paru Sekunder


Merupakan penyakit kanker paru yang timbul sebagai dampak
penyebaran kanker dari bagian organ tubuh lainnya, yang paling
sering adalah kanker payudara dan kanker usus (perut). Kanker
menyebar melalui darah, sistem limpa atau karena kedekatan organ.7
2.5 Penegakan Diagnosis
1) Anamnesis
a. Gejala awal
Stridor lokal dan dispnea ringan yang kemungkinan disebabkan oleh
obstruksi bronkus.
b. Gejala umum
 Batuk
Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor.
Batuk mulai sebagai batuk kering tanpa membentuk sputum, tetapi
berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang kental dan
purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
 Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor
yang mengalami ulserasi.

49
 Anoreksia
 Berkurangnya berat badan, lelah
Selain gejala klinis yang telah disebutkan di atas, beberapa faktor
perlu diperhatikan pada pasien tersangka tumor paru, seperti faktor
umur, kebiasaan merokok, adanya riwayat tumor dalam keluarga,
terpapar zat karsinogen atau terpapar jamur, dan infeksi yang dapat
menyebabkan nodul soliter paru.
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti.. Tumor
paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran
normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila
disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif,2 pada
50% pasien NSCLC dan 25% pasien SCLC didapatkan adanya sindrom
vena cava.10
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage
kanker, seperti pembesaran KGB (kelenjar getah bening) atau tumor diluar
paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial
dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang. 2
3) Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe).
Dilakukan untuk mengkaji adanya/ tahap karsinoma. Sitologi
sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah.
Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer,
penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan dan pengambilan
sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl
3% untuk merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan.
Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan tersebut di atas
harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk pemeriksaan
sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa

50
fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol
absolut atau minimal alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus
difiksasi dalam formalin 4%.2
Pemeriksaan Cairan Pleura dilakukan apabila ditemukan efusi
pleura. Cairan efusi dapat bersifat transudat maupun eksudat, dan
juga bersifat hemoragik karena dapat dilewati sel-sel darah terutama
eritrosit, kadar glukosa rendah.2
2) Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi
kebutuhan ventilasi
3) Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum
pada kanker paru).

b. Histopatologi.
1) Bronkoskopi
Bertujuan diagnostik sekaligus dapat mengambil jaringan atau
bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan ada
tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas,
seperti terlihat kelainan mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol,
hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah. Tampakan yang
abnormal sebaiknya diikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding
bronkus, bilasan, sikatan atau kerokan bronkus. Memungkinkan
visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan sitologi lesi (besarnya
karsinoma bronkogenik dapat diketahui).2
2) Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer
dengan ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
3) Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik
dengan cara torakoskopi
4) Mediastinosopi.

51
Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening
yang terlibat.
5) Torakotomi.
Torakotomi untuk diagnostik kanker paru dikerjakan bila
bermacam – macam prosedur non invasif dan invasif sebelumnya
gagal mendapatkan sel tumor.

c. Radiologi
1) Rongent thorak
Untuk kanker paru pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan
dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm.
Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit. Pada foto, tumor juga dapat ditemukan
telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi perikard dan
metastasis intrapulmoner.2
2) CT scan
CT-Scan dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik
daripada foto toraks. CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan
ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat. Demikian juga tanda-
tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan
bila terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial,
atelektasis, efusi pleura yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke
mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi
dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk
menentukan stage juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d
N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi
kemungkinan metastasis intrapulmoner. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ
lain dalam rongga perut.2
 Hamartoma

52
Tidak ada daerah spesifik pada lobus paru. Tidak terbentuk
gambaran kavitasi. Apabila tumor terletak di sentral, maka akan
menimbulkan gejala obstruksi.2

Gambar 6. Gambaran Radiologis Hamartoma

Pada pemeriksaan CT-Scan, gambaran hamartoma tidak berbeda


dengan x-ray thorax. Pada prosedur ini, dilakukan pemeriksaan
struktur dalam dan morfologi dari lesi tersebut. Karena komponen
utama hamartoma adalah lemak, maka lemak dan proses kalsifikasi
akan tervisualisasi dengan baik dengan menggunakan CT-Scan.
Penemuan kombinasi lemak dan kalsifikasi adalah spesifik untuk
hamartoma, terutama bila ukuran diameter lesi kecil dari 2,5 cm.
Gambaran kalsifikasinya akan bertambah seiringan dengan
bartambahnya ukuran tumor.2

53
Gambar 7. Axial computed tomography ( CT ) scan tepat di atas
karina menunjukkan hamartoma paru raksasa . Perhatikan popcorn
kalsifikasi karakteristik

Gambar 8. Coronal thorax computed tomography ( CT ) scan tepat


di atasdiafragma kiri menunjukkanhamartomaparudengan popcorn
kalsifikasi

54
 Kista Paru
Gambaran radiologik memberi bayangan bulat berdinding tipis
dengan ukuran bervariasi. Bila kista paru lebih dari satu dan
tersebar di kedua paru dikenal sebagai paru polikistik.2

Gambar 9. Gambaran radiologi Gambar 10. Tomogra phic scan


kista paru memperlihatkan kista berdinding
tipis berukuran 9 cm di lobus atas
 Lipoma kiri

Gambar 11. Gambaran CT scan lipoma

55
 Small cell lung cancer (SCLC)

Gambar 12. gambaran radiologis SCLC. Tampak perselubungan


diperihiler yang meluas kebagian puncak paru kanan curiga massa
pada bagian perihiler

 Adenokarsinoma

Gambar 13. Gambaran radiologis adenokarsinoma

56
 Karsinoma Sel Skuamosa

Gambar 14. Gambaran radiologis karsinoma sel skuamus


dengan cavitas (karsinoma epidermoid)

Gambar 15. Gambaran CT scan karsinoma sel skuamus


(karsinoma epidermoid)

57
2.6 Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari kanker paru antara lain:
1) Kanker Mediastinum
2) Tuberculosis
2.7 Prognosis
Prognosis dari kanker paru merujuk pada kesempatan untuk penyembuhan
dan tergantung dari lokasi dan ukuran tumor, kehadiran gejala-gejala, tipe
kanker paru, dan keadaan kesehatan secara keseluruhan dari pasien.11,12
SCLC mempunyai pertumbuhan paling agresif, dengan suatu waktu
kelangsungan hidup median (angka yang ditengah-tengah) hanya dua sampai
empat bulan setelah didiagnosis jika tidak dirawat. (Itu adalah pada dua
sampai empat bulan separuh dari semua pasien-pasien telah meninggal).
Bagaimanapun, SCLC adalah juga tipe kanker paru yang paling pada terapi
radiasi dan kemoterapi. Karena SCLC menyebar sangat cepat dan biasanya
berhamburan pada saat diagnosis, metode-metode seperti pengangkatan
secara operasi atau terapi radiasi 26ocal berkurang efektif dalam merawat tipe
tumor ini. Bagaimanapun, ketika kemoterapi digunakan sendiri atau dalam
kombinasi dengan metode-metode lain, waktu kelangsungan hidup dapat
diperpanjang empat sampai lima kali.12 Namun, kelangsungan hidup secara
keseluruhan rata-rata pasien dengan pengobatan kombinasi hanya 12 bulan
saja.1
Semua pasien-pasien dengan SCLC, hanya 5%-10% masih hidup lima
tahun setelah diagnosis. Kebanyakan dari mereka yang selamat (hidup lebih
lama) mempunyai tingkat yang terbatas dari SCLC. Pada non-small cell lung
cancer (NSCLC), hasil-hasil dari perawatan standar biasanya keseluruhannya
jelek namun kebanyakan kanker yang terlokalisir dapat diangkat secara
operasi.12
Tingkat I kanker dapat diangkat sepenuhnya, angka kelangsungan hidup
lima tahun dapat mendekati 75%. Terapi radiasi dapat menghasilkan suatu
penyembuhan pada suatu minoritas dari pasien-pasien dengan NSCLC dan
menjurus pada pembebasan gejala-gejala pada kebanyakan pasien-pasien.12

58
Prognosis keseluruhan untuk kanker paru adalah jelek jika dibandingkan
dengan beberapa kanker-kanker lain. Angka-angka kelangsungan hidup untuk
kanker paru umumnya lebih rendah daripada yang untuk kebanyakan kanker-
kanker, dengan suatu angka keseluruhan kelangsungan hidup lima tahun
untuk kanker paru sebesar 16% dibandingkan dengan 65% untuk kanker
kolon, 89% untuk kanker payudara, dan lebih dari 99% untuk kanker
prostat.12

59
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru. Kanker paru


merupakan abnormalitas dari sel – sel yang mengalami proliferasi
dalam paru (Underwood, Patologi, 2007).
Penyebab tumor paru yakni dari etiologi yang menyerang
percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan
deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya
pengendapan karsinogen maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia
dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia,
hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi
pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus
vertebra. Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang
bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi
bronkus dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala –
gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam,
dan dingin.

60
Daftar Pustaka

Kalantari Farhad, Sarami Abdollah, Shahba Nariman, Marashi seyed Kamal, Reza
Shafiezadeh. Prevalence of cancers in the National Oil Company
employees referred to Ahwaz health and industrial medicine in 5 years
(Ministry of oil). Life Science Journal. 2011;8(4):698-700] (ISSN:1097-
8135).
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003. Kanker Paru Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan Di Indonesia. Jakarta
Landis SH, Mliiray T, Bolden S, Wingo PA. Cancer 1998. Ca Cancer J Clin
1998; 48:6-29.
Baron DN. Kapita Selekta Patologi Klinik, EGC, Jakarta, 1995: 227 Stover DE.
Women, smoking and lung cancer. Chest 1998; 113:1-2.
Scottish Intercollegiate Guidelines network. Management of patients with lung
cancer. A national clinical guidelines. SIGN, Eidenburg, 2005.
Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutandio N.
Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil . Pedoman nasional untuk
diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia 2005. PDPI dan POI,
Jakarta, 2005.
Price S.A, Wilson L.M., 1995. Patofisiologi. Buku 2. Edisi 4. EGC Jakarta. Hal.
1049 – 1051
National Collaborating Center for Acute Care. Lung cancer: The diagnosis and
treatment of lung cancer. Clinical Effectiveness Unit, London, 2005.
Division of Thoracic Oncology. Focus on Lung Cancer. 2006.
Suyono, Slamet, (2001), Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3, Balai
Penerbit FKUI,Jakarta
Practice Guidelines in Oncology Non-small Cell Lung Cancer. Version 1.2002.
National Comprehensive Cancer Network (NCCN). 2002.

61
REFERAT

TUMOR TULANG

Disusun oleh :
Arni Annisa Rocmaniah
1111700

Pembimbing :
dr. Hj. Farida Yunus Sp.Rad

Kepaniteraan Klinik Ilmu Radiologi

Rumah Sakit Umum Daerah Waled Kabupaten Cirebon

Fakultas Kedokteran Unswagati

2018

62
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga referat yang berjudul “Tumor
Tulang” ini selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Referat ini disusun untuk memenuhi tugas di stase Radiologi pada
Kepaniteraan Klinik di RSUD Waled-Cirebon. Saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. Hj. Farida Yunus, Sp.Rad selaku dosen
pembimbing sekaligus pengajar di stase Radiologi yang telah banyak memberikan
bimbingannya, sehingga saya dapat menyelesaikan referat ini dengan baik. Dan
tidak lupa pula saya mengucapkan terima kasih kepada pihak yang turut
membantu secara moril maupun spirituil dalam pembuatan referat ini.
Referat ini tentunya tidak luput dari kesalahan ataupun kekurangan, oleh karena
itu kritik dan saran yang sangat membangun sangat saya harapkan demi perbaikan
kedepannya.
Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi Fakutas Kedokteran khususnya
dan bagi pembaca serta masyarakat pada umumnya.

Waled, februari 2018

Penyusun

63
BAB I

PENDAHULUAN

Tumor tulang merupakan tumor yang agak jarang diketemukan..


Insidens dari beberapa neoplasma tulang berkaitan dengan usia,
misalnya Osteosarkoma yang terjadi kebanyakan pada anak dan
dewasa. Namun penanganan penyakit ini belum maksimal karena
penyebabnya belum diketahui secara pasti hingga saat ini. Yang biasa
dilakukan sekarang ini adalah mengobati, mengganti, dan
mengamputasi bagian yang terkena tumor. Berdasarkan penelitian
ditemukan bahwa pemicu terbesar terjadinya tumor tulang adalah
factor genetika. Gejala awal yang umum berupa nyeri berkepanjangan
pada tulang. Nyeri ini bias jadi muncul sebagai akibat trauma
benturan, tetapi bias juga tidak. Tidak jarang ditemukan penderita pada
awalnya justru tidak merasa nyeri, namun terjadi pembengkakan pada
tulang. Uniknya, tumor ini potensial menyerang penderita berusia di
bawah 20 tahun.
Neoplasma benigna tulang ditangani dengan cara eksisi atau
kuretase. Defek tulang ditutup dengan tandur tulang. Neoplasma
musculoskeletal primer yang ganas secara umum ditangani dengan
cara pembedahan yang biasanya disertai radioterapi dan kemoterapi.
Tumor- tumor tulang primer dapat jinak atau ganas, tumor yang
jinak lebih sering terjadi, tetapi tumor – tumor yang ganas seringkali
berakibat fatal. Tumor tumor ganas cenderung tumbuh cepat,
menyebar dan menginvasi secara tidak beraturan. Tumor tumor
semacam ini paling sering terlihat pada anak anak remaja dan dewasa
muda. Sejumlah neoplasma dari jaringan jaringan lain dapat menyebar
ke tulang melalui aliran paru, tiroid, ginjal dan vesika urinaria. Tulang
yang paling sering terkena adalah os vertebra, pelvis, costa, sternum
dan humerus proksimal.

64
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Tulang


Tulang adalah jaringan ikat yang terdiri dari sel, serat, dan
matriks ekstraselular. Tulang berfungsi sebagai kerangka tubuh yang
kaku, dan memberikan tempat perlekatan pada otot dan organ yang
terdapat pada tubuh seseorang. Tulang juga melindungi otak, yang
terletak didalam tengkorak. Tulang melindungi jantung dan paru
didalam rongga dada, dan organ seksual dan urinaria terlindungi oleh
tulang yang disebut tulang pelvis (Snell, 2011).
Selain itu tulang juga berfungsi dalam hemopoiesis (pembentukan
sel darah), dan sebagai reservoir (tempat penyimpanan) kalsium,
fosfat, dan banyak mineral lainnya. Hampir seluruh kalsium (99%)
pada tubuh tersimpan di dalam tulang, dan ketika tubuh butuh
terhadap kalsium, maka kalsium tersebut akan berasal dari tulang
(Snell, 2011).
2.1.2 Bagian-bagian Tulang
Bagian-bagian tulang antara lain :
: suatu lubang tempat dilaluinya pembuluh
Foramen darah, saraf dan
Ligamentum
Fosa : suatu lekukan pada tulang
Processus : Tonjolan
Kondilus : Tonjolan yang berbentuk bundar
Tuberculum : tonjolan kecil
Tuborositas : tonjolan besar
Trokanter : tonjolan besar (pada femur/paha)
Krista : pinggiran atau tepi tulang
Spina : tonjolan yang berbentuk runcing
Kaput : kepala tulang
Kollum : Leher tulang
Korpus : badan tulang

65
2.1.3 Struktur Tulang
Tulang-tulang dalam tubuh membentuk sistem rangka.
Rangka manusia terdiri dari 206 tulang. Sistem rangka ini bersama-
sama menyusun kerangka tubuh. Secara garis besar rangka manusia
yang terdiri dari 206 tulang tersebut dibagi menjadi dua, yaitu
rangka aksial (sumbu tubuh) dan rangka apendikuler (anggota
tubuh) (Snell, 2011).

2.1.3.1 Rangka Aksial

Rangka aksial merupakan kelompok tulang yang terletak di


sumbu tubuh. Rangka aksial berjumlah 80 tulang. Rangka
aksial terdiri atas:
1. Tulang tengkorak (skull)

Tulang tengkorak membentuk kepala seseorang. Tulang ini


merupakan kepingan tulang pipih berongga yang saling
berhubungan. Tulang tengkorak manusia terdiri atas 22 tulang.
Tulang tersebut terbagai menjadi tulang bagian kepala (kranial) dan
bagian wajah (fasial). (Snell, 2011).

Tulang bagian kepala terdiri atas:

a. Tulang kepala belakang (osipital) merupakan tulang kepala


bagian belakang. Tulang ini hanya berjumlah 1.
b. Tulang ubun-ubun (parietal) terletak dibagian atas sampai
kesamping kepala. Tulang ini berjumlah 2 buah.
c. Tulang dahi (frontal) terletak di bagian depan (muka atas).
Tulang ini berjumlah 1 buah.
d. Tulang pelipis (temporal) ulang pelipis terletak di bagian kepala
samping belakang. Tulang ini berjumlah 2 buah.
e. Tulang baji (sphenoid) terletak di bagian kepala samping depang.
Tulang ini berjumlah 1 buah.

66
f. Tulang tapis (ethmoid) terletak di bagian dalam rongga kepala.
Tulang ini berjumlah 1 buah.
Tulang bagian wajah (fasial) terdiri atas atas:

a. Tulang rahang atas (maksila) merupakan tempat terdapatnya gusi


dan gigi bagian atas. Tulang ini berjumlah 2 buah.
b. Tulang rahang bawah (mandibula) berjumlah 1 buah. Dengan
adanya otot rahang, tulang ini dapat bergerak sehingga mulut kita
dapat terbuka dan tertutup.
c. Tulang hidung (nasal) terdapat di rongga hidung dan berjumlah 2
buah.
d. Tulang pipi (zigomatik) membentuk pipi seseorang. Tulang ini
berjumlah 2 buah.
e. Tulang air mata (lakrimal) terdapat di dalam rongga mata.Tulang
ini berjumlah 2 buah.
f. Tulang (vomer) berjumlah 1 buah.
g. Tulang langit-langit rongga mulut (palatin) berjumlah 2 buah.
h. Tulang konka inferior (inferior nasal cocha) terletak di dalam
rongga hidung. Tulang ini berjumlah 2 buah. (Snell, 2011)
. Tulang belakang (vertebra)

67
Gambar 2.4 Os Vertebra (Snell, 2011)

Sebagai anggota vertebrata, manusia memiliki tulang belakang


(vertebra). Tulang belakang terletak di tengah tubuh manusia.
Peran tulang belakang sangat vital karena selain sebagai
penopang tubuh, tulang ini juga merupakan tempat terdapatnya
saraf utama tubuh. Tulang belakang terdiri atas 33 ruas tulang
dan terbagi menjadi 5 bagian, antara lain:

a. Ruas tulang leher (vertebra servik).

Terdapat 7 ruas tulang leher dengan ruas pertama adalah


tulang atlas. Tulang atlas berfungsi untuk menunjang tengkorak.
Ruas kedua adalah tulang pemutar (aksis). (Snell, 2011).

b. Ruas tulang punggung (vertebra torak).

Tulang punggung berjumlah 12 ruas dengan bentuk yang


hampir serupa. Tiap ruas tulang punggung memiliki badan tulang
dengan tonjolan tulang ke kiri dan ke kanan sebagai tempat
persendian dengan tulang-tulang rusuk (ribs (Snell, 2011).

c. Ruas tulang pinggang (vertebra lumbar).

Berjumlah 5 ruas tulang. Tulang pinggang merupakan ruas


tulang belakang yang paling kuat dan besar dibandingkan ruas
tulang belakang lainnya. (Snell, 2011).

d. Ruas tulang kelangkang (sakrum).

Sakrum merupakan gabungan 5 ruas tulang yang bersatu.


Tulang ini bersendian dengan tulang gelang panggul, ruas tulang
pinggang terakhir dan tulang ekor (Snell, 2011).

e. Ruas tulang ekor (coccyx).

Tulang ekor merupakan vertebra terakhir. Tulang ekor atau


coccyx adalah gabungan 4 ruas tulang yang bersatu. (Snell, 2011).

68
3. Tulang rusuk (costa)

Tulang rusuk berbentuk pipih dan panjang melengkung. Bagian


belakang tulang rusuk berhubungan langsung dengan ruas tulang
punggung (vertebra torak). Tulang rusuk berjumlah 12 pasang tulang,
terdiri atas 7 pasang rusuk sejati, 3 pasang rusuk palsu, dan 2 pasang
rusuk melayang (Snell, 2011).
Bagian depan tulang rusuk sejati melekat pada tulang dada
(sternum). Tulang rusuk palsu pada bagian belakang melekat pada tulang
punggung (vertebra torak), sedangkan di bagian depan melekat pada
tulang rusuk diatasnya. (Snell, 2011).
Tulang rusuk melayang hanya bersendian dengan tulang
punggung dan tidak bersendian dengan tulang dada, oleh karena itu
seperti tampak melayang. Ukuran tulang rusuk melayang lebih pendek
dibandingkan dengan rusuk yang lain (Snell, 2011).

4. Sternum

Gambar 2.3 Os Sternum (Snell, 2011)


Tulang dada terletak di bagian depan tubuh dan berjumlah 1 ruas
tulang. Tulang dada terdiri atas bagian hulu, badan dan taju pedang.
Tulang ini merupakan perlekatan bagian depan dari 7 pasang tulang

69
rusuk sejati. Tulang dada, tulang punggung dan tulang rusuk membentuk
rongga dada (ribs cage) dan berfungsi melindungi organ-organ
didalamnya serta membantu dalam pernafasan (Snell, 2011).

2.1.3.2 Rangka Apendikular

Rangka apendikuler merupakan rangka yang menyusun alat gerak,


terdiri atas tungkai atas, tungkai bawah, tulang bahu, dan tulang pinggul.
Tungkai atas terdiri atas tulang lengan, tulang hasta, tulang pengumpil,
tulang pergelangan tangan, tulang telapak tangan, dan tulang jari tangan.
Pangkal lengan berhubungan dengan tulang bahu. Tulang bahu terdiri atas
tulang selangka dan tulang belikat. Tungkai bawah tulang paha
berhubungan dengan tulang gelang panggul. Tulang panggul terdiri atas
tulang duduk, tulang usus, dan tulang kemaluan. (Snell, 2011).

Gambar 2.4 Rangka Apendikular (Snell, 2011)


\
Rangka apendikuler tersusun atas:

1. Anggota gerak atas.

Tulang-tulang pembentuknya antara lain:

a. Tulang gelang bahu

70
Terdiri atas tulang belikat (skapula) dan tulang selangka
(klavikula). Tulang belikat berbentuk seperti segitiga pipih dan
bersendian dengan tulang lengan atas (humerus). Tulang selangka pada
ujung bagian depan melekat pada tulang dada (sternum). Tulang gelang
bahu berjumlah total 4 tulang (Snell, 2011).

b. Tulang lengan atas (humerus).

Berbentuk seperti pipa dengan bonggol di setiap ujungnya. Pada


bagian bawah memiliki dua bonggol yang bersendian dengan tulang
lengan bawah (hasta dan ulna). Pada bagian atas bersendian dengan
tulang belikat (skapula). Terdapat 2 tulang lengan atas pada tubuh
manusia (Snell, 2011).

c. Tulang lengan bawah.

Terdiri atas tulang hasta (ulna) dan tulang pengumpil (radius).


Bagian ujung tulang hasta merupakan siku tangan sedangkan bagian
bawahnya merupakan tempat terdapatnya jari kelingking. Bagian ujung
atas tulang pengumpil bersendian dengan tulang humerus sedangkan
bagian bawahnya merupakan tempat terdapatnya tulang ibu jari (jempol).
Kedua ujung bawah tulang lengan bawah bersendian dengan tulang
pergelangan tangan (karpal). Jumlah total ruas tulang lengan bawah
berjumlah 4 ruas tulang (Snell, 2011).

d. Tulang pergelangan tangan (karpal).

Tulang pergelangan tangan berukuran pendek dan merupakan


penghubung antara tulang lengan bawah dengan tulang telapak tangan
(metakarpal). Tulang pergelangan tangan pada masing-masing tangan
berjumlah 8 ruas tulang (Snell, 2011).

e. Tulang telapak tangan (metakarpal).

Tulang telapak tangan berukuran pendek dan merupakan


penghubung antara tulang pergelangan tangan dengan tulang-tulang jari

71
tangan (phalanges). Tulang telapak tangan pada masing-masing tangan
berjumlah 5 ruas tulang (Snell, 2011).

f. Tulang-tulang jari tangan (phalanges).

Tulang-tulang jari tangan berukuran pendek dan berbonggol. Pada


masing-masing tangan berjumlah 14 ruas tulang (Snell, 2011).

2.4. Anatomi Tulang pada Manusia (Snell, 2011)


2.2 Histologi Tulang

2.2.1 Matriks Tulang

Matriks merupakan gabungan protein dan karbohidrat yang


mengikat sel bersama-sama atau membagi satu jaringan dari yang
lain. Matriks tersusun atas serabu-serabut dan bahan dasar. Matriks
merupakan salah satu jaringan pengikat yang bekerja sinergis dengan
sel-sel tulang dalam pembentukan dan pelekatan antar jaringan tulang.
Matriks tersusun atas air 25 %, mengandung senyawa anorganik
(67%) berupa kalsium, fosfat, Na,Mg, bikarbonat dan sitrat, serta
senyawa organik berupa serabut kolagen (protein) tipe 1, serabut
elastin, serabut retikuler (bakal fibroblast yang juga disebut sel
retikuler), dan mengandung glikosaminoglikan (Eroschenko, 2011).

72
2.2.2 Sel-sel Tulang

1. Osteoprogenitor

Osteoprogenitor terletak di luar membrane (prosteum). Sel-sel


ini berasal dari mesenkim embrio, akan ada sepanjang hidup
pascakelahiran dan dapat mengalami pembelahan mitosis dan
memiliki potensi untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas. Sel-sel ini
paling aktif selama periode pertumbuhan tulang. Selama pertumbuhan
tulang, sel-sel ini akan membelah diri dan menghasilkan sel osteoblas
yang kemudian akan membentuk tulang. Sebaliknya pada permukaan
dalam dari jaringan tulang, sel-sel osteogenik menghasilkan osteoklas
untuk mengikis tulang membentuk rongga rongga (spons)
(Eroschenko, 2011).

2. Osteoblas

Osteoblas berasal dari sel osteoprogenitor dan berkembang


dibawah pengaruh Bone Morphogenic protein (BMP) . Osteoblas
memiliki diameter antara 20-30 μm dan terlihat sangat jelas pada
sekitar lapisan osteoid dimana tulang baru terbentuk. Membran
plasma osteoblas memiliki sifat khas yakni kaya akan enzim alkali
fostatase, yang konsentrasinya dalam serum digunakan sebagai indeks
dari adanya pembentukan tulang. (Eroschenko, 2011).
Juluran ini lebih jelas bila sel itu mulai dikelilingi oleh
matriksnya. Begitu terkurung seluruhnya oleh matriks yang baru
dibentuk ini maka osteoblas itu disebut sebagai osteosit.Lakunan dan
kenalikuli tampak, karena matriks telah dibentuk di sekitar sel dan
juluran sitoplasmanya (Eroschenko, 2011).

3. Osteosit

73
Osteosit merupakan sel tulang yang telah dewasa dan sel utama
pada tulang yang berperan dalam mengatur metabolisme seperti
pertukaran nutrisi dan kotoran dengan darah. Osteosit berasal dari
osteoblas yang berdeferensiasi dan terdapat di dalam lacuna yang
terletak diantara lamela-lamela matriks pada saat pembentukan lapisan
permukaan tulang berlangsung. Jumlahnya 20.000 – 30.000 per mm3
dan sel-sel ini secara aktif terlibat untuk mempertahankan matriks
tulang dan kematiannya diikuti oleh resorpsi matriks tersebut sehingga
osteosit lebih penting saat perbaikan tulang daripada pembentukan
tulang baru. (Eroschenko, 2011).
Osteosit muda lebih menyerupai osteoblas tetapi merupakan
sel dewasa yang memiliki aparatus golgi dan reticulum endoplasma
kasar yang sedikit lebih jelas tetapi memiliki jumlah lisosom yang
lebih banyak (Eroschenko, 2011)

4. Osteoklas

Osteoklas adalah sel raksasa hasil peleburan monosit (jenis sel


darah putih) yang terkonsentrasi di endosteum dan melepaskan enzim
lisosom untuk memecah protein dan mineral di matriks ekstraseluler.
Osteoklas memiliki progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya
karena tidak berasal dari sel mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid
yaitu monosit atau makrofag pada sumsum tulang. Osteoklas bersifat
mirip dengan sel fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses
resorbsi tulang (Eroschenko, 2011).
Osteoklas berfungsi dalam mekanisme osteoklastogenesis,
aktivasi resorpsi kalsium tulang, dan kartilago, dan merespon hormonal
yang dapat menurunkan struktur dan fungsi tulang. Aktifitas osteoklas
dipengaruhi oleh hormon sitokinin (Eroschenko, 2011).
Osteoklas memiliki reseptor untuk kalsitokinin, yakni suatu
hormon tiroid. Akan tetapi osteoblas memiliki reseptor untuk hormon
paratiroid dan begitu teraktivasi oleh hormon ini, osteoblas akan
memperoduksi suatu sitokin yang disebut faktor perangsang osteoklas.

74
Osteoklas bersama hormon parathyroid berperan dalam pengaturan kadar
kalsium darah sehingga dijadikan target pengobatan osteoporosis
(Eroschenko, 2011).

Gambar 2.8 Histologi Tulang (Eroschenko, 2011)

75
Gambar 2.9 Struktur Makroskopis Tulang (Eroschenko,
2011)

2.2.3 Tulang Kompak dan Tulang Berongga


Spons merupakan salah satu dari dua jenis jaringan tulang yang
membentuk tulang. Tulang rawan terdiri atas sel-sel tulang rawan
(kondrosit), serabut kolagen, dan matriks. Sel-sel tulang rawan dibentuk
oleh bakal sel-sel tulang rawan, yaitu kondroblas. Sedangkan sel-sel
tulang rawan di sebut kondrosit (Eroschenko, 2011).
Matriks jaringan tulang rawan terdiri atas kondrin, yaitu zat jernih
seperti kanji yang terbuat dari mukopolisakarida dan fosfat. Oleh karena
itu, sel tulang rawan disebut kondrosit. Kondrosit berfungsi mensintesis
dan mempertahankan matriks yang mengandung serabut kolagen, serabut
elastis, dan serabut fibrosa. (Eroschenko, 2011).
Dibandingkan dengan tulang kompak, tulang spons memiliki luas
permukaan yang lebih luas dan massa jenis yang kurang karena kurang
padat. Struktur seperti itu membuat tulang spons menjadi lebih lembut,
lemah, dan lebih fleksibel. Luas permukaan yang lebih besar
dibandingkan tulang kompak membuat tulang spons cocok untuk
dijadikan tempat metabolisme kalsium. Tulang spons banyak
mengandung pembuluh darah dan seringkali ditemukan sumsum tulang
merah (Eroschenko, 2011).
Tulang spons dapat ditemukan di seluruh tubuh. Tulang spons
biasanya ditemukan di ujung tulang panjang, persendian, dan bagian
dalam tulang belakang. Fungsi tulang spons adalah sebagai peredam kejut
seperti saat melompat, sebagai tempat memproduksi sel darah merah, dan
sebagai tempat terjadinya metabolisme.
Berdasarkan susunan serabutnya, tulang rawan dapat
digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu sebagai berikut.

1) Tulang rawan hialin, mempunyai serabut tersebar dalam


anyaman yang halus dan rapat. Tulang rawan hialin terdapat di
ujung-ujung tulang rusuk yang menempel ke tulang dada

76
2) Tulang rawan elastis, susunan sel dan matriksnya mirip tulang
rawan hialin, tetapi tidak sehalus dan serapat tulang rawan
hialin.

3) Tulang rawan fibrosa, matriksnya tersusun kasar dan tidak


beraturan.
(Eroschenko, 2011)

Berikut Tabel 2.1 Perbedaan Kartilago Hialin, Fibrosa, dan Elastis


(Eroschenko, 2011)

Ciri- Kartilago Hialin Kartilago Fibrosa Kartilago Elastis


ciri

Serabut Serabut kolagen yang halus Serabut kolagen Yang Serabut elastic Dan
padat dan kasar serabut kolagen

Warna Putih kebiruan dan tembus Gelap daan keruh Keruh Kekuning
Matriks cahaya kuningan

teling
Letak Ujung tulang keras, cakram Ruas tulang belakang, Epiglotis. Daun a
epifisis, persendian,dan simfisis pubis, Dan dan bronkiolus
saluran pernapasan Persendian

Memberi fleksibilitas
fungsi Member kekuatan, Menyokong Dan dan
menyokong rangka Melindungi Bagian sebagai penyokong
embrionik, menyokong Didalamnya
bagian rangka dewasa
tertentu, dan Membantu
pergerakan persendian

1. Tulang Keras (Kompak / Osteon)

Tulang terbentuk dari tulang rawan yang mengalami penulangan


(osifikasi). Ketika tulang rawan (kartilago) terbentuk, rongga-rongga

77
matriksnya terisi oleh sel osteoblas. Osteoblas akan menyekresikan zat
interseluler seperti kolagen yang akan mengikat zat kapur. Osteoblas
yang telah dikelilingi zat kapur akan mengeras dan menjadi osteosit (sel
tulang keras). Osteosit terletak di dalam lakuna. Antara satu osteosit
dengan osteosit lainnya di dalam lakuna terhubungkan oleh saluran halus
yang disebut kanalikuli. Lakuna dan osteositnya tersusun secara
konsentris (melingkar) disebut lamela.
Di tengah lamela terdapat saluran sentral mikroskopis disebut
Saluran Havers yang mengandung pembuluh darah (vena, arteri, kapiler),
saraf, dan pembuluh getah bening (limfe).
Tulang kompak tersusun atas periosteum (Luar) dan endosteum
(Dalam) yang berbatasan dengan sumsum tulang. Periosteum berupa
jaringan ikat padat tidak teratur. Endosteum mempunyai komponen-
komponen yang sama dengan periosteum hanya lebih tipis.
Tulang kompak memiliki matriks yang padat dan rapat,
sedangkan tulang spons memiliki matriks yang berongga-rongga.
Sebenarnya, kedua jenis tulang tersebut terdapat di suatu tempat yang
sama. Penamaan diambil hanya dengan melihat bagian mana yang paling
dominan.

Gambar 2.10 Tulang Kompak (Eroschenko, 2011)

2.2.4 Jaringan Tulang

78
Secara histologis tulang dibedakan menjadi 2 komponen utama,
yaitu :

a. Tulang muda/tulang primer

b. Tulang dewasa/tulang sekunder

Kedua jenis ini memiliki komponen yang sama, tetapi tulang


primer mempunyai serabut-serabut kolagen yang tersusun secara acak,
sedang tulang sekunder tersusun secara teratur.

1. Jaringan Tulang Primer

Dalam pembentukan tulang atau juga dalam proses penyembuhan


kerusakan tulang, maka tulang yang tumbuh tersebut bersifat muda atau
tulang primer yang bersifat sementara karena nantinya akan diganti
dengan tulang sekunder (Eroschenko, 2011).
Jaringan tulang ini berupa anyaman, sehingga disebut sebagai
Woven bone. Merupakan komponen muda yang tersusun dari serat
kolagen yang tidak teratur pada osteoid. Woven bone terbentuk pada saat
osteoblast membentuk osteoid secara cepat seperti pada pembentukan
tulang bayi dan pada dewasa ketika terjadi pembentukan susunan tulang
baru akibat keadaan patologis (Eroschenko, 2011).
Selain tidak teraturnya serabut-serabut kolagen, terdapat ciri lain
untuk jaringan tulang primer, yaitu sedikitnya kandungan garam mineral
sehingga mudah ditembus oleh sinar-X dan lebih banyak jumlah osteosit
kalau dibandingkan dengan jaringan tulang sekunder. Jaringan tulang
primer akhirnya akan mengalami remodeling menjadi tulang sekunder
(lamellar bone) (Eroschenko, 2011).

2. Jaringan Tulang Sekunder

Jenis ini biasa terdapat pada kerangka orang dewasa. Dikenal juga
sebagai lamellar bone karena jaringan tulang sekunder terdiri dari ikatan
paralel kolagen yang tersusun dalam lembaran-lembaran lamella. Ciri
khasnya : serabut-serabut kolagen yang tersusun dalam lamellae (lapisan)
setebal 3-7μm yang sejajar satu sama lain dan melingkari konsentris

79
saluran di tengah yang dinamakan Canalis Haversi. Dalam Canalis
Haversi ini berjalan pembuluh darah, serabut saraf dan diisi oleh jaringan
pengikat longgar. Keseluruhan struktur konsentris ini dinamai Systema
Haversi atau osteon (Eroschenko, 2011).

2.2.5 Perkembangan dan Pertumbuhan Tulang


Pada awal perkembangan janin manusia, kerangka seluruhnya
terbuat dari tulang rawan. Tulang rawan yang relatif lunak secara
bertahap berubah menjadi tulang keras melalui osifikasi (Eroschenko,
2011).

Ossifikasi

Proses penulangan tulang dari tulang rawan menjadi tulang keras


disebut osifikasi. Proses ini dibedakan menjadi dua, yaitu osifikasi
intramembranosa dan osifikasi endocondral Osifikasi intramembranosa
disebut juga penulangan langsung (osifikasi primer). Proses ini terjadi
pada tulang pipih, misalnya tulang tengkorak. Penulangan ini terjadi
secara langsung dan tidak akan terulang lagi untuk selamanya.
(Eroschenko, 2011).

Tulang panjang (dan beberapa tulang pendek seperti tulang metakarpal)


dibagi menjadi tiga wilayah topografi: diafisis, epifisis, dan metafisis
(Eroschenko, 2011).
Diafisis merupakan bagian poros tulang. Epifisis tampak di kedua
ujung tulang dan sebagian tertutup oleh tulang rawan artikular. Metafisis
merupakan persambungan antara bagian diafisis dan epifisis. Dalam
perkembangan tulang, proses perkembangannya sendiri dimulai dari
lempeng epifisis (epifisis disk). Di tempat inilah di mana proses osifikasi
endokhondral terjadi, suatu proses pertumbuhan dimana terjadi secara
longitudinal, kolom tulang rawan diganti dengan massa tulang. Ketika
tulang telah mencapai panjang dewasa, proses ini berakhir, dan terjadi

80
penutupan bagian epifisis, sehingga tulang menjadi benar-benar kaku
(Eroschenko, 2011).
a. Ossifikasi Intramembranousa
Merupakan proses pembentukan tulang dari jaringan mesenkim
menjadi jaringan tulang, contohnya pada proses pembentukan tulang
pipih. . Jaringan mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas, lalu
osteoblas mensekresi matriks organik membentuk osteoid dan
terkalsifikasi. Osteoid membentuk tulang spongeus dan berkondensasi
menjadi periosteum. Mesenkim merupakan bagian dari lapisan
mesoderm, yang kemudian berkembang menjadi jaringan ikat dan darah.
Osifikasi intramembranosa, sumber sebagian terbesar tulang
pipih.Osifikasi intramembranosa juga membantu pertumbuhan tulang
pendek dan penebalan tulang panjang. Di dalam lapisan lapisan jatringan
penyambung tersebut, titik permulaan osifikasi disebut sebagai pusat
osifikasi primer. Proses ini mulai ketika kelompok-kelompok sel yang
menyerupai fibroblast muda berdifferensiasi menjadi osteoblas.
Kemudian terjadi sintesa osteoid dan kalsifikasi, yang menyebabkan
penyelubungan beberapa osteoblas yang kemudian menjadi osteosit.
Bagian lapisan jaringan penyambung yang tidak mengalami osifikasi
menghasilkan endosteum dan periosteum tulang intramembranosa.
Osifikasi intramembranosa banyak terjadi pada tulang tengkorak.
b. Ossifikasi Endokhondral
Proses pembentukan tulang yang terjadi dimana sel-sel mesenkim
berdiferensiasi lebih dulu menjadi kartilago (jaringan rawan) lalu berubah
menjadi jaringan tulang, misal proses pembentukan tulang panjang, ruas
tulang belakang, dan pelvis. Proses osifikasi ini bertanggungjawab pada
pemanjangan tulang dan pembentukan sebagian besar tulang manusia.
Pada proses ini sel-sel tulang (osteoblas) aktif membelah dan muncul di
bagian tengah dari tulang rawan yang disbeut center osifikasi. Osteoblas
selanjutnya berubah menjadi osteosit, sel-sel tulang dewasa ini tertanam
dengan kuat pada mtariks tulang (Eroschenko, 2011).

81
Osifikasi endokondral terjadi di dalam suatu potongan tulang
rawan hialin yang bentuknya mirip ukuran kecil tulang yang akan
dibentuk. Jenis osifikasi ini terutama bertanggung jawab untuk
pembentukan tulang pendek dan tulang panjang.
Tulang panjang dibentuk dari model tulang rawan dengan
pelebaran ujung-ujung (epifisis) suatu batang silindris (diafisis).
dengan penjabaran mekanisme berikut :
1) Pada tahap awal proses osifikasi, osteoblas akan membentuk suatu
lapisan kompak sehingga perikondrium berubah menjadi periosteum
(selaput tulang keras), setelah osteoblas mengisi jaringan sekelilingnya
akan membentuk osteosit (sel-sel tulang). Bersamaan dengan proses
tersebut, pada bagian tulang rawan di daerah diafisis atau pusat batang
(pusat osifikasi primer), sel-sel kondrosit membesar akhirnya pecah.
2) Sel-sel tulang dibentuk secara bertahap dari arah dalam ke arah luar
sehingga pembentukannya konsentris. Setiap sel-sel tulang ini melingkari
suatu pembuluh darah dan saraf membentuk suatu sistem yang disebut
sistem havers. Selain itu disekeliling sel-sel tulang ini terbentuk senyawa
protein pembentuk matriks tulang dan akan mengeras karena adanya
garam kapur dan garam fosfat. Hal ini mengganggu komponen nutrisi
bagi sel-sel kondrosit akhirnya mati.
3) Perikondrium yang mengelilingi diafisis di pusat osifikasi berubah
menjadi periosteum. Lapisan osteogenik didalam membentuk kolar
tulang (klavikula), dan kemudian mengelilingi kartilago yang telah
terkalsifikasi.
4) Kondrosit (sel-sel kartilago) yang nutrisinya telah di putuskan oleh kolar
akan berdegenerasi dan kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
matrik kartilago.
5) Kuncup periosteal mengandung pembuluh darah dan osteoblas yang
masuk ke dalam spikula kartilago terkalsifikasi melalui ruang yang di
bentuk osteoklas pada kolar tulang.
6) Jika kuncup periosteal mencapai puncak pertumbuhan akan menyebar
dua arah menuju epifisis.

82
7) Kemudian tumbuh pusat osifikasi sekunder dalam kartilago epifisis pada
kedua ujung tulang panjang.
8) Semua elongasi tulang yang terjadi selanjutnya adalah hasil dari
pembelahan sel-sel kartilago dalam lempeng epifisis. (Eroschenko, 2011)

2.3 Tumor Tulang

2.3.1. Definisi

Tumor tulang adalah istilah yang dapat digunakan untuk pertumbuhan


tulang yang tidak normal, tetapi umumnya lebih digunakan untuk tumor
tulang utama, seperti osteosarkoma, chondrosarkoma, sarkoma Ewing dan
sarkoma lainnya (Sjamsuhidayat).

Tumor Jinak Tumor Ganas


Jenis Insidens Jenis Insidens
Osteoma 39,3% Osteogenik Sarcoma 48,8%
Osteokondroma 32,5% Giant cell Tumor 17,5%
Kondroma 9,8% Kondrosarkoma 10%
DLL 18,4% DLL 23,7%
2.3.2. Insidens

Insiden terjadinya dari seluruh tumor tulang primer : 65,8% bersifat jinak
dan 34,2% bersifat ganas, ini berarti dari setiap tiga tumor tulang terdapat
satu yang bersifat ganas.

Tumor ganas tulang menempati urutan kesebelas dari seluruh tumor


ganas yang ada dan hanya 1,5% dari seluruh tumor ganas organ.
Perbandingan insiden tumor tulang pada pria dan wanita adalah sama. Tumor
jinak tulang primer yang paling sering ditemukan adalah osteoma (39,3%),
osteokondromo (32,5%), kondroma (9,8%) dan sisanya adalah tumor tulang
jinak yang lain.

83
Osteogenik sarkom (48,8%) merupakan tumor ganas primer tulang yang
paling sering ditermukan, diikuti giant cell tumor (17,5%), kondrosarkomo (10%)
dan sisanya adalah tumor tulang ganas yang lain (Sjamsuhidayat, 2014).

2.3.3. Etiologi

Penyebab pasti dari tumor tulang belum diketahui secara pasti.


Tetapi ada beberapa faktor pencetus yang bisa menyebabkan terjadinya
tumor tulang, diantaranya :

1. biasanya berhubungan dengan penyakit paget


2. adanya terapi radiasi pada penyakit lain
3. Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi
4. Keturunan, Contoh faktor genetika yang dapat meningkatkan resiko
kanker tulang adalah:
1. Multiple exostoses
2. Rothmund-Thomson sindrom
3. Retinoblastoma genetik
4. Li-Fraumeni sindrom

5. Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya, seperti : penyakit paget


(akibat pajanan radiasi ). (Sjamsuhidayat, 2014)

2.3.4. Klasifikasi

Klasifikasi menurut WHO ditetapkan berdasarkan atas kriteria histologis,


jenis diferensiasi sel sel tumor yang diperlihatkan dan jenis intraseluler
matriks yang diproduksi. Dalam hal ini dipertimbangkan sifat sifat tumor asal
usul sel serta pemeriksaan histologis menetapkan jenis tumor bersifat jinak
atau ganas. Sel sel dari muskuloskeletal berasal dari mesoderm tapi kemudian
berdeferensiasi memjadi beberapa sel osteoklas, kondroblas, fibroblas dan
mieloblas. Oleh karena itu sebaiknya klasifikasi tumor tulang berdasarkan

84
atas sel, yaitu bersifat osteogenik, kondrogenik atau mielogenik, meskipun
demikian terdapat kelompok yang tidak termasuk dalam kelompk tumor yaitu
kelainan reaktif (reaktif bone) atau harmatoma yang sebenarnya berpotensi
menjadi ganas.

85
Beberapa hal yang penting sehubungan dengan penetapan klasifikasi yaitu
:-

1. jaringan yang mudah menyebar tidak selalu harus merupakan jaringan


asal.

2. tidak ada hubungan patologis atau klinis dalam kategori khusus

3. sering tidak ada hubungan antara kelainan jinak ganas dengan unsur
unsur jaringannya, misalnya ostema dan osteosarkoma.

Beberapa tumor hanya disebut dalam suatu kelompok yang sederhana


misalnya Osteosarkoma. (Sjamsuhidayat, 2014)

2.3.5. Patofisiologi

Gambaran patologik yang penting untuk meramalkan perjalanan klinis dan


menentukan cara penanggulangannya ialah banyaknya mitosis dan banyaknya
nekrosis. Tumor ganas ini dibagi dalam tiga derajat maliknitas. Bila klien
mendapat terapi optimal, prognosis pertahanan hidup setiap lima tahunnya,
berdasarkan derajat keganasan tumor dari derajat I – III adalah 90%, 70%, dan
45%. Banyaknya mitosis dari derajat I – III berturut-turut adalah < 4/2 mml2, 4-
25/2 mm2 (2mm2 artinya banyaknya mitosis pada lapangan mikroskopik 2mm2)
(Sjamsuhidayat, 2014).

Tumor tulang ganas di golongkan berdasarkan TMM (Tumor, Nodus,


Metastasis), yaitu penyebaran setempat dan metastatis. Klasifikasi tumor tulang
menurut Sjamsuhidajat R (1997) sebagai berikut :-

a. T = Tumor Induk

b. TX = Tumor tidak dapat dicapai

c. T0 = Tidak ditemukan tumor primer

d. T1 = Tumor terbatas didalam periosteum

86
e. T2 = Tumor menembus periosteum

f. T3 = Tumor masuk organ atau struktur seputar tulang

g. N = Kelenjar limfe regional

h. N0 = Tidak ditemukan tumor di kelejar limfe

i. N1 = Tumor di kelenjar limfe regional

j. M = Metastatis jauh

k. M0 = Tidak di temukan metastasis jauh

l. M1 = Metastasis jauh

Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh


sel tumor. Timbul reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu
proses destruksi atau penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses
pembentukan tulang. Terjadi destruksi tulang lokal. Pada proses osteoblastik,
karena adanya sel tumor maka terjadi penimbunan periosteum tulang yang
baru dekat tempat lesi terjadi, sehingga terjadi pertumbuhan tulang yang
abortif (Sjamsuhidayat, 2014).

Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh lambat, sehingga tumor
jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel tumor mendesak jaringan
sehat sekitarnya secara serempak sehingga terbentuk simpai (serabut
pembungkus yang memisahkan jaringan tumor dari jaringan sehat). Oleh
karena bersimpai maka pada umumnya tumor jinak mudah dikeluarkan
dengan cara operasi (Sjamsuhidayat, 2014).

Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh cepat, sehingga tumor
ganas pada umumnya cepat menjadi besar. Sel tumor ganas tumbuh
menyusup ke jaringan sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan seperti
kepiting dengan kaki-kakinya mencengkeram alat tubuh yang terkena.

87
Disamping itu sel kanker dapat membuat anak sebar (metastasis) ke bagian
alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan
pembuluh getah bening dan tumbuh kanker baru di tempat lain. Penyusupan
sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat merusak alat tubuh
tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi terganggu (Sjamsuhidayat,
2014).

Genetik Radiasi Bahan Kimia Trauma Limfedema Infeksi


Kronis

Tumbuh dan berkembangnya sel tumor

Tumor

Menginvasi jaringan lunak

Respon osteolitik Respon osteoblastik

Terjadi Penimbunan
destruksi periosteum terbaru
tulang
Pertumbuhan tulang
Rongga sendi yang abortif
sempit, terjadi
erosi. Adanya massa pada
tulang

Nyeri akut Massa membesar

Gangguan Mobilitas
Fisik

88
2.4 Macam-macam tumor pada tulang :

2.4.1. Osteoid Osteoma

a. Definisi

Merupakan tumor osteoblastik jinak terdiri dari inti


osteoid dengan vaskularisasi tinggi dan merupakan tumor jinak
tulang dengan potensi pertumbuhan yang terbatas.

b. Insidens:

Osteoid osteoma adalah tumor jinak, jarang ditemukan


(1,8%), terutama pada umur 10 – 25 tahun. Tumor ini lebih
sering pada laki laki daripada wanita dengan perbandingan
2:1.Pria : Wanita = 2:1 10-25 tahun.

c. Patologi:

Didapat sebagai jaringan yang seluler, banyak


vaskularisasinya. Jika nidus diangkat,terlihat gambaran
lingkaran merah tulang trabekular biasanya kurang dari 1 cm.
Kelainan terdiriatas jaringan seluler dengan tingkat
vaskularisasi yang tinggi dari jaringan tulang yang
belummatang serta jaringan osteoid

d. Lokasi:

Dapat mengenai semua tulang, tetapi biasanya pada tulang


panjang seperti Femur dan Tibia. Caput femur merupakan
salah satu tempat yang paling sering didapat.

e. Anamnesis
Pasien mengeluh nyeri bersifat menetap/putus-putus yang
tidak hilang oleh istirahat. Nyeri biasanya di malam hari. Nyeri
dapat bersifat ringan sampai hebat.

89
f. Gejala Klinis
Nyeri hebat yang dapat berkurang dengan pemberian
aspirin dosis rendah. Range of Motion terbatas
g. Pemeriksaan radiologis

Pada foto rontgen ditemukan adanya daerah yang bersifat


radiolusen yang disebut nidus didaerah diafisis di kelilingi oleh
suatu daerah skerosis yang padat, serta penebalan kortikal yang
merupakan reaksi pebentukan tulang, kadang kadang
pemeriksaan tomogram diperlukan untuk membantu
menegakkan diagnosa.

1) Gambaran X-Ray polos

Gambar 2.13 Nidus radiolusen dikelilingi skelerosis , periosteal jinak menyebabkan


penebalan korteks (Ebrahimzadeh, 2009)

90
Gambar 2.14 Osteoid osteoma pada tulang femur (Ebrahimzadeh, 2009)

Gambar 2.15 Intramedullary osteoid osteoma pada proximal tulang femur (Ebrahimzadeh,
2009)

Gambar 2.16 Osteoid osteoma pada distal humerus fosa olekranon sklerosis
ringan mengelilingi lesi (Ebrahimzadeh, 2009)

91
2.17 Osteoid osteoma pada tulang tibia (Ebrahimzadeh, 2009)

Plain X-Ray:

1. Nidus lusen yand dikelilingi oleh zona yang ditandai dengan sklerosis

2. Nidus yang akan demonstrasikan mineralisasi atau ossifikasi tulang dari


senter ke luar yang akan memberi gambaran zona berdensitas dalam nidus

3. Nidus yang mengalami ossifikasi maksimal mungkin akan diselebungi


sklerosis dan sukar dilihat dari foto x-ray

4. Tulang periosteal pada umumnya solid dan jarang berlammela

5. Kortikal dan subperiosteal osteoid osteoma pada umumnya lebih


berasosiasi dengan sklerosis yang reaktif berbanding dengan tumor
medulla

6. Reaksi periosteal yang bersinambungan akan diperlihatkan sebagai


penebalan korteks

7. Intrakapsular osteoid osteoma sukar untuk diidentifikasi karena tidak ada


periosteum di region intrakapsular maka reaksi periosteal tidak berlaku

CT SCAN

92
Gambar 2.18 Gambaran osteoid osteoma pada ct-scan (Ebrahimzadeh, 2009)

Gambar 2.19 Osteoid osteoma Gambar 2. 20 Osteoid osteoma


pada distal humerus, gambaran tulang tibia (Sjamsuhidayat
nidus dikelilingi mineralisasi 2014)extensive (Sjamsuhidayat
extensive (Sjamsuhidayat 2014). 2014).

Gambar 2.22 Osteoid osteoma pada


Gambar 2.21 Osteoid osteoma pada tibia dan
acetabulum kiri pada gambaran ct –scan
sklerosis yang ekstensif yang merusak kanan
(Burn, 2009)
kanal tibia (Bilgin, 2004)

2014).
2014).
93
CT Scan:

Nidus kelihatan dengan lebih jelas dengan margin perifer yang regular .
gambaran pada ct-scan menunjukkan nidus kelihatan dengan jelas
walaupun diselebungi zona sklerosis

2) MRI

Gambar 2.23 Osteoid osteoma pada MRI (Burn, 2009)

MRI

1. MRI sepatutnya dikerjakan dengan gadolinium karena nidus akan


kelihatan dengan lebih jelas dengan godalinium

2. Osteod osteoma pada MRI mungkin dapat mimik penemuan tumor


maligna seperti Ewing Sarcoma / osteomyelitis disebabkan karena adanya
sum-sum tulang dan soft tissue edema yang ekstensif

3. CT-scan lebih berguna untuk mengidentifikasikan nidus apabila terdapat


edema yang ektensif

4. Osteod osteoma merupakan intensitas mediator pada T1

5. Intensitas tinggi pada area T2 nidus dan edema yang mengelilingnya

6. Reactive marrow edema may obscure the lesion on T2

94
7. MRI bagus untuk mendeteksi synovitis dan effusi pada sendi dan
intraartikular osteoid osteoma

Gambar 2.24 Osteoid osteoma


kelihatan pada acetabulum kiri pada gambaran bone scan (Desen, 2013)

2.4.2 Osteokondroma

a. Definisi

Osteokondroma adalah tumor jinak tulang dengan


penampakan adanya penonjolan tulang yang berbatas tegas
sebagai eksostosis yang muncul dari metafisis, penonjolan tulang
ini ditutupi(diliputi) oleh cartilago hialin. Tumor ini berasal dari
komponen tulang (osteosit) dan komponen tulang rawan
(chondrosit). Osteokhondroma merupakan tumor jinak tersering
kedua (32,5%) dari seluruh tumor jinak tulang dan terutama

95
ditemukan pada remaja yang pertumbuhannya aktif dan pada
dewasa muda.

c. Anamnesis
Pasien merasa nyeri pada daerah sekitar sendi. Sendi yang
sering terkena adalah sendi bahu dan lutut. Nyeri sering
dirasakan ketika beraktivitas. Dan pasien juga mengeluhkan
mati rasa pada ekstremitas yang terkena tumor.
b. Gejala Klinis
c. Tumor terjadi karena pertumbuhan abnormal dari sel-sel
tulang (osteosit) dan sel-sel tulang rawan (kondrosit) di metafisis.
Pertumbuhan abnormal ini awalnya hanya akan menimbulkan
gambaran pembesaran tulang dengan korteks dan spongiosa yang
masih utuh. Jika tumor semakin membesar maka akan tampak
sebagai benjolan menyerupai bunga kol (cauliflower) dengan
komponen osteosit sebagai batangnya dan komponen kondrosit
sebagai bunganya. Tumor akan tumbuh dari metafisis, tetapi
adanya pertumbuhan tulang yang semakin memanjang maka
makin lama tumor akan mengarah ke diafisis tulang. Lokasi
osteokondroma biasanya pada metafisis tulang panjang khususnya
femur distal, tibia proksimal dan humerus proksimal, dapat juga
ditemukan pada tulang scapula dan illium.
d. Gambaran Radiologi Ada 2 tipe osteokondroma yaitu bertangkai
(pedunculated) / narrow base dan tidak bertangkai (sesile) /
broad base. Pada tipe pedunculated, pada foto polos tampak
penonjolan tulang yang menjauhi sendi dengan korteks dan
spongiosa masih normal. Penonjolan ini berbentuk seperti bunga
kol (cauliflower) dengan komponen osteosit sebagai tangkai dan
komponen kondrosit sebagai bunganya. Densitas penonjolan
tulang inhomogen (opaq pada tangkai dan lusen pada bunga).

96
Terkadang tampak adanya kalsifikasi berupa bercak opaq akibat
komponen kondral yang mengalami kalsifikasi.

Gambar 2.24 osteochondroma jinak dengan tonjolan soliter pada femur (Desen, 2013)

Gambar 2.25 Benign solitary sessile osteochondroma of the fibula in a 19-year-


old man (Burn, 2009)

Gambar 2.25 Osteokondroma proximal tibial (Desen, 2013)

97
Gambar 2.26 Proximal fibula osteochondroma (Burn, 2009)

Gambar 2.27 Proximal fibula osteochondroma cortical-medullary continuity , ring and


arc calcification (Burn, 2009)

98
Gambar 2.28 MRI demonstrates stalks and continuity with underlying fibula, thin
cartilaginous cap (Burn, 2009)

Gambar 2.29 Xray-distal femur sessile osteochondroma (Burn, 2009)

Gambar 2.30 MRI distal femur sessile osteochondroma (Desen, 2013)

99
Gambar 2.31 Plain x ray Distal femur osteochondroma (Desen, 2013)

Gambar 2.32 Osteochondroma proximal femur (Burn, 2009)

100
Gambar 2. 33 Xray-left proximal femur osteochondroma (Burn, 2009)

Gambar 2.34 MRI Left proximal femur osteochondroma cortical medullary


continuity and thin cartilage cap (Zileli, 2003)

X-Ray :

1. Lesi geografik litik IA/IB margin sklerosis

2. Pada umumnya eksentrik daripada gambaran sentral dalam tulang

3. Jarang menembusi korteks

4. Kalsifikasi matriks kondroid dalam (30-50)%

5. Periosteal reaction dalam (30-50)% kasus

6. Selalunya berlaku pada tulang diaphysis/metaphysicMRI

7. Lesi geografik lesi berbatas tegas di daerah epifisis

8. Sinyal intermediate pada T1

9. Sinyal tinggi pada T2 bercampur dengan sinyal rendah

10. Volume cairan tampak dalam tumor yang mengalami aneurismal bone
change

11. Edema yang ektensif yang mengelilingi tumor

101
12. Efusi sendi dalam(30-50)% kasus

CT-Scan

1. Amat berguna dalam mendeteksi mineralisasi yang minimum

2. Untuk mengidentifikasi periosteum yang mengelilingi komponen


expansile soft tissue

3. Egg shell rim of calcification

4. Bantu untuk mengidentifikasi tumor dalam kategori jinak

5. Untuk mengevaluasi kualitas tulang

6. Menilai tahap destruksi tulang dan korteks

7. Untuk menilai apakah subkondral plate pada tulang masih utuh pada
kartilago articular

2.4.3. Kondroma

a. Definisi :

Disebut juga enkondroma, merupakan tumor jinak tulang


dengan frekuensi 9,8% dari seluruh tumor jinak tulang, biasanya
ditemukan pada usia dewasa muda tetapi dapat pula pada setiap
umur. Gejalanya biasanya berupa benjolan yang tidak nyeri.

b. Lokasi

Terutama pada os phalanxs, os tarsal, costa dan tulang tulang


panjang yang bersifat soliter tapi dapat juga multiple sebagai
enkondromatosis yang bersifat kongenital (penyakit Ollier).

c. Anamnesis

102
Enkondroma biasanya asimtomatik. Diagnosa baru didapatkan
ketika pemeriksaan radiologi. Nyeri akan terasa apabila enkondroma
beralih kebentuk maligna.
d. Gejala Klinis

Terdapat pembentukan tulang rawan yang matur tanpa tanda


tanda pleimof, mitosis, atau gejala gejala keganasan lainnya. Sering
ditemukan adanya perubahan miksoid pada jaringan lunak, maka
kelainan ini disebut sindroma Maffuci. Perubahan kearah keganasan
pada enkondromatosis (enkondroma multiple) lebih sering dari pada
enkondroma soliter. Tanda tanda keganasan biasanya terjadi setelah
umur 30 tahun dengan gejala gejala berupa nyeri, pembesaran tumor
yang tiba tiba dan erosi korteks tulang.

e. Gambaran Radiologis

Gambaran radiologis memperlihatkan adanya daerah


radiolusen yang bersifat sentral (enkondroma) antara metafisis dan
diafisis. Mungkin dapat ditemukan sedikit ekspansi dari tulang. Pada
tulang yang matur dapat ditemukan adanya bintik bintik kalsifikasi
pada daerah lusen. Kondroma memproduksi satu defek radiolusen
yang terlokalisasi dengan kalsifikasi. Jumlah lusen atau opak
tergantung pada tahap kalsifikasi. Jaid, sesetangah lesi tidak
mungkin ada kalsifikasi yang dapat dilihat pada X-ray.

Pada tulang panjang, kondroma umumnya tidak


mununjukkan kelainan. Ini adalah bertentangan dengan tulang
tubular pendek. Pada gambaran radiologi, dapat dilihat contour
tulang tubular pendek berkembang dengan penipisan kortices.
Sekiranya terdapat “cortical breach”, sesuatu malignancy harus
disuspek.

103
Gambar 2.35 Plain radiograph reveals chondroma in left proximal femur
(Zileli, 2003)

Gambar 2.36 low grade chondrosarcoma in right superior pubic ramus and symphysis (Burn,
2009)

Kondroma adalah sesuatu tumor benign, jadi pada gambaran


radiologic, umumnya tidak kelihatan pertumbuhan atau kelainan pada
orang dewasa. Sekiranya sebarang perubahan ditemui, khususnya
kalsifikasi yang ebrkurang, kondrosarcoma/ transformasi malignant harus
disuspek.

CT Scan dan MRI :

CT Scan sangat berguna karena ia dapat mengenalpasti kelainan


radiographic pada kalsifikasi dengan lebih terperinci dan jugas
transformasi malignancy dapat dilihat dengan jelas.

104
MRI digunakan untuk mengakses lesi kondriod noncalcified
intramedullary. Tumor ini mempunyai sinyal intensitas rendah pada T-1
weighted image dan sinyal intensitas tinggi pada T-2 weighted images.
Dengan kondroma periosteal, MRI dapat menunjukkan “overlying fibrous
periosteum. Sinyal intensitas rendah diharapkan dapat dijumpai pada
gambaran pulsed-sequence MRI di area dimana kalsifikasi matriks
kondriod didemonstrasi pada gambaran radiographic polos.

Gambar 2.37 MRI showing chondroma and low-grade chondrosarcoma (Edge, 2010)

2.4.4 Kondroblastoma

a. Definisi :

Kondroblastoma merupakan sejenis neoplasma kartilago


jinak yang ditandai peninggian pada epiphysis / apophysis pada
tulang panjang dalam kalangan pasien pada usia muda. Ia juga
merupakan salah satu neoplasma epiphyseal jinak yang sering
terjadi pada pasien di usia muda.

b. Epidemiologi

Kasus kondroblastoma mewakili kurang daripada 1% dari


tumor tulang. Sering terjadi di kalangan warga muda (<20 tahun)
dan kondroblastoma sering terjadi pada pria berbanding wanita.
Sering dijumpai pada epifisis pada tulang panjang, dimana 70%

105
pada tulang humerus diikuti dengan tulang femur & tibia, manakala
9 -10% pada extremitas.

c. Anamnesis

Pasien mengeluh nyeri sendi

d. Gejala Klinis

Pembengkakakn pada saat dipalpasi. Serta nyeri tekan positif.


Secara mikroskopik, kondroblastoma terdiri daripada kondroblast,
kondroid matrix dan cartilage yang sering terkait rapat dengan
‘giant multinucleated cells’. Padas el polyhedral mengelilingi
kondroblastoma dan ini adan memberi gambaran “chicken wire”.
Neoplasma jinak ini sering juga bertransformasi menjadi maligna.
Penyakit sekunder untuk kondroblastoma ini adalah aneurysmal
bone cyst.

e. Gambaran Radiografik

Berbentuk huruf ‘C’ dalam fegnomastic mnemonic untuk lesi


kista jinak. Lytic lesions berbatas tegas / bermargin yang berlobul
dengan rim sclerosis yang tipis meninggi pada tulang tubular
panjang di daerah epifisis/apophysis di tulang femur, humerus dan
tibia. Kalsifikasi internal dapat dilihat pada 40% - 60% kasus. Efusi
sendi dapat dilihat pada 1/3 pasien. Ukuran kista kondroblastoma
bervariasi dalam 1-10 cm dan paling banyak adalah 3-4cm ketika
diagnosis.

106
Gambar 2.38 Kondroblastoma pada kaki (Edge, 2010)

Gambar 2.38 Kondroblastoma pada scapula (Burn, 2009)

107
CT Scan

CT scan mendemonstrasi delineasi hubungan antara growth plate


dan articula surface dengan lebih baik. Reaksi periosteal dapat dilihat
dalam kira-kira 50% kasus dan kalsifikasi interna dalam ½ dari seluruh
kasus, “cortical breach” dan “endosteal scalloping” dapat dilihat.

MRI

MRI ideal untuk evaluasi terhadap transphyseal/ ekstensi transkortikal dan


untuk mendemonstrasi area yang berasosiasi pada edema sum sum tulang
yang berlaku dalam proporsi kasus yang banyak.

Lesi kistik pada kondroblastoma mempunyai sinyal tipikal seperti di


bawah :-

T1 : lesion itself is of low to intermediate signal

T2 / STIR : lesion is of intermediate to high signal

Volume cairan dapat dilihat, ini mungkin karena aneurysmal bone cyst.

2.4.5. Kondromiksoid Fibroma

a. Definisi

Fibroma kondromiksoid adalah tumor jinak yang ditandai


dengan sel-sel berbentuk spindle atau stellate berlobulasi dengan
material intaseluler miksoid atau kondroid yang sangat banyak.
Kelainan ini ditemukan terutama ditemukan pada anak-anak dan
dewasa muda usia kurang dari 40 tahun. Tidak terdapat gejala-gejala
yang khas pada tumor dan biasanya ditemukan secara kebetulan saja.
Pertumbuhan tumor ini sangat lambat tetapi mempunyai potensi
untuk menjadi ganas.

b. Etiologi

108
Etiologi fibroma kondromiksoid masih belum diketahui,
namun pada berbagai literatur, anomali kromosom dan faktor
imunologi dikemukakan sebagai faktor etiologi. Analisis sitogenetik
terdahulu telah mengidentifikasi abnormalitas kompleks yang
melibatkan kromosom 6 pada sebagian besar kasus. Tumor ini
dianggap berasal dari kartilago di daerah physis tulang.

c. Lokasi

Lokasi tumor terutama pada daerah metafsis tulang panjang


atau tulang tulang kecil pada tarsal dan metatarsal. Juga terdapat
pada daerah lutut dan pelvis.

d. Patologi
Gambaran patologis sangat khas berupa daerah lobulasi yang
berbentuk spindle atau sel-sel stella dengan jaringan miksoid
dan kondroid interseluler yangdipisahkan dari jaringan yang
mengandung lebih banyak sel dengan bentuk spindle dengan
beberapa sel raksasa multinuklear dengan bentuk yang berbeda.
Mungkin dapat ditemukan sel-sel pleomorf.
e. Anamnesis
Pasien mengeluh nyeri dan terdapat pembengkakakn yang makin
lama makin besar.
f. Gejala Klinis

Gejala klinis pasien fibroma kondromiksoid tidak spesifik,


biasanya terdapat nyeri kronik lokal (85%) dan pembengkakan lokal
(65%) yang tumbuh lambat, nyeri dirasakan rata-rata 22 bulan
sebelum diagnosis. Kadang disertai terabanya massa tumor terutama
pada tumor superfisial yang terdapat pada tulang tangan dan kaki,
dan sebagian besar fibroma kondromiksoid terukur lebih dari 3 cm
pada saat timbulnya gejala klinis. Sering kali pasien bisa pincang dan
merasa sedikit adanya keterbatasan gerakan, tapi tidak ada

109
keterlibatan utama dari sendi. Fraktur patologis ditemukan hanya
pada sekitar 5% kasus. Durasi gejala klinis berkisar dari beberapa
minggu (sering pada pasien yang lebih muda) sampai beberapa tahun
(pada dewasa). Lesi pada kosta maupun ilium bisa diketahui sebagai
temuan kebetulan pada pemeriksaan radiologis.

g. Radiologis

Gambaran radiologik sangat khas berupa daerah radiolusen


yang bulat atau oval terletak eksentris pada metafisis dan dapat
meluas sampai ke diafisis tulang panjang, berbatas tegas dan kadang-
kadang dengan pinggiran sklerotik. Korteks sering menipisakibat
ekspansi dari tumor.

CT memungkinkan untuk identifikasi asal tumor, dan juga


dapat memperlihatkan integritas korteks yang membatasi lesi, tepi
yang sklerotik serta memungkinkan visualisasi kalsifikasi matriks.
Pada fibroma kondromiksoid, deteksi radiologis terhadap kalsifikasi
matriks sangat jarang, meskipun demikian kalsifikasi matriks lebih
lazim pada lesi pada tulang kepala dibandingkan pada tulang
panjang. Pasca pemberian kontras, penyangatan bervariasi
tergantung komponen fibroid dan vaskularisasi tumor.

Gambaran magnetic resonance imaging (MRI) menunjukkan


superioritas pada detail jaringan lunak, sehingga telah dimungkinkan
mengetahui karakteri yang lebih detail dari tumor. Pasca pemberian
kontras gadolinium intravena terdapat penyangatan heterogen.
Keuntungan MRI adalah kemampuan penggambaran multiplanar
dari perluasan lesi yang sesungguhnya sebelum intervensi
pembedahan. Skintigrafi tulang tipikal memperlihatkan peningkatan
uptake radionuklida yang jelas. Tujuan skintigrafi tulang adalah
untuk menyingkirkan lesi multipel sehingga dapat dipertimbangkan
diagnosis alternatif.

110
Gambar 2.39 Fibroma kondromiksoid, tampilan sagital memperlihatkan lesi litik
sedikit lobulasi dengan tepi sklerotik tipis pada metafisis tibia (Burn, 2009)

Gambar 2.40 Radiografi anteroposterior memperlihatkan lesi lusen berlobulasi


pada metadiafisis tibia, memperlihatkan destruksi tulang tipe geografik, tepi
scalloping sklerotik, dan septasi interna (sjamsuhidayat, 2011)

111
Gambar 2.41 Fibroma kondromiksoid, lusensi metafisis ovoid eksentris dengan
penipisan korteks dan batas dalam yang sklerotik (Sjamsuhidayat, 2011)

Gambar 2.42 Fibroma kondromiksoid pada metatarsal 3, tumor litik dan fusiform telah
sangat mengekspansi tulang, tipikal untuk lokasi tulang tubuler kecil pada kaki.
(Sjamsuhidayat, 2011)

2.1.6. Sarkoma Ewing

a. Definisi :

Disebut juga “Small Round Blue Cell”. Menyerang


golongan usia muda, kebanyakan dibawah usia 20 tahun dengan
prevalensi kurang lebih 80%. Lebih banyak didapat pada kaum
pria.

b. Anamnesis

112
Penderita mengeluh nyeri

c. Gambaran Klinis

Teraba benjolan. Kemungkinan ada suhu badan yang meninggi,


berkeringat berlebih, lekositosis dan laju endap darah meningkat.

d. Lokasi
Pada diafsisis tulang-tulang panjang, paling sering pada
femur, humerus, tibia,ulna dan fibula, dapat juga mengenai tulang-
tulang tipis.

e. Patologi

Terdapat gambaran highly cellular, neoplasma infiltrat


dengan bagian yang padat, round cell dengan sitoplasma yang
jernih “ round blue cell tumor”, dan adanyaekstensif nekrosis yang
ditunjukkan dengan gambaran occasional Homer-Wrightrossetes.

f. Radiologi

Tampak proses destruksi tulang dengan batas yang tidak


jelas. Pembentukantulang reaktif baru oleh periosteum bisa
berlapis-lapis yang memberikan gambaran Onion Skin atau tegak
lurus yang nampak sebagai Sunbrust.

113
Gambar 2.43 gambaran radiologis tampak destruksi tulang dengan batas tidak jelas,
gambaran MRI terdapat kerusakan korteks (Sjamsuhidayat, 2011) .

2.4.7 . Sarkoma Osteogenik (Osteosarkoma)

a. Definisi

Osteosarkoma disebut juga osteogenik sarkoma adalah


suatu neoplasma ganas yang berasal dari sel primitif (poorly
differentiated cells) di daerah metafise tulang panjang pada anak-
anak. Disebut osteogenik oleh karena perkembangannya berasal
dari seri osteoblastik sel mesensim primitif. Osteosarkoma
merupakan neoplasma primer dari tulang yang paling sering
terjadi.

b. Epidemiologi

114
Jenis kanker tulang yang paling umum pada anak-anak,
remaja dan dewasa muda.Biasanya terjadi pada tulang panjang
seperti humerus(tangan),femur/tibia(kaki) dan panggul;paling
sering sekitar lutut. Sekitar 75% pasien adalah berumur antara 15-
25 tahun. Pria lebih sering terkena berbanding dengan wanita(
rasio 1.5 : 1). Osteosarcoma jarang terjadi pada pasien yang lebih
muda dari 6 tahun atau lebih tua dari 60 tahun. Tumor pada usia
yang lebih tua biasanya terjadi akibat dari radiasi penyakit Paget
atau chondrosarcomas yang terdiferensiasi.

c. Etiologi

Penyebab osteosarkoma masih belum jelas diketahui.


Adanya hubungan kekeluargaan menjadi suatu predisposisi,
begitu pula adanya hereditary retinoblastoma dan sindrom Li-
Fraumeni. Dikatakan beberapa virus dapa tmenimbulkan
osteosarkoma pada hewan percobaan. Radiasi ion dikatakan
menjadi 3% penyebab langsung osteosarkoma, begitu pula
alkyleting agent yang digunakan pada kemoterapi.

d. Anamnesis

1) Rasa sakit (nyeri)

2) Pembengkakan

3) Keterbatasan gerak

4) Menurunnya berat badan

e. Gejala Klinis:

Teraba massa; lunak dan menetap dengan kenaikan suhu kulit di


atas massa serta distensi pembuluh darah.

f. Gambaran Radiologi

115
X RAY

Penampilan khas dari osteosarcoma konvensional tinggi termasuk:

1. Kerusakan medullar dan kortikal tulang

2. Transisi zona yang lebar, permeative or moth-eaten appearance

3. Reaksi periosteal yang agresif seperti sunburst type dan Codman triangle

Gambar 2.44 femur in a patient with osteosarcoma shows a typical Codman triangle
(arrow) and more diffuse, mineralized osteoid within the soft tissues adjacent to the
bone. (Desen,2009)

116
Gambar 2.45 Anteroposterior (AP) radiograph in a patient with osteosarcoma of the
proximal humerus. Note the extensive soft tissue mass containing a considerable
amount of mineralized osteoid (Burn, 2009)

Gambar 2.46 Sunburst appearance (Burn, 2009)

117
Gambar 2.47 Moth eaten appearance (Burn, 2009)

Gambar 2.48 MRI, coronal view; osteosarcoma of distal femur showing low-intensity signal
(Burn, 2009)

118
Gambar 2.49 Destruksi Kortikal (Burn, 2009)

2.4.8. Kondrosarkoma

a. Definisi

Kondrosarkoma ialah tumor ganas dengan ciri khas


pembentukan jaringan tulang rawan oleh sel-sel tumor dan
merupakan tumor ganas tulang primer terbanyak kedua setelah
osteosarkoma. Kondrosarkoma merupakan tumor tulang yang terdiri
dari sel-sel kartilago (tulang rawan) anaplastik yang berkembang
menjadi ganas. Kondrosarkoma biasanya ditemukan pada daerah
tulang femur, humerus, kosta dan bagian permukaan pelvis.

b. Etiologi

Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti.


Namun berdasarkan penelitian yang terus berkembang didapatkan
bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan tumor-tumor tulang
jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar
kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma.

119
Tumor ini dapat juga terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi
untuk terapi kanker selain bentuk kanker primer. Selain itu, pasien
dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier disease dan Maffucci
syndrome, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma.

c. Anamnesis

Pasien dating dengan keluhan nyeri dan bengkak

d. Gejal Klinis

Teraba masa, nyeri tekan positif

e. Gambaran Radiologi

X RAY :

a. Dilakukan untuk diagnosis awal kondrosarkoma.

b. Gambaran radiolusen pada area dekstruksi korteks. Bentuk


destruksi biasanya berupa pengikisan dan reaksi eksternal
periosteal pada formasi tulang baru.

c. Karena ekspansi tumor, terjadi penipisan korteks di sekitar


tumor yang dapat mengakibatkan fraktur patologis. Scallop
erosion pada endosteal cortex terjadi akibat pertumbuhan
tumor yang lambat dan permukaan tumor yang licin.

120
Gambar 2.50 Frontal radiograph of the left fibula head demonstrates a lucent lesion that
contains the typical chondroid matrix calcification (Burn, 2009)

Gambar 2.51 Frontal radiograph of the left acetabulum demonstrates an expansile lucent
lesion with no internal matrix calcification (Burn, 2009)

CT SCAN

1. Didapatkan hasil lebih sensitif untuk penilaian distribusi kalsifikasi


matriks dan integritas korteks.

2. Endosteal cortical scalloping pada tumor intramedullar juga terlihat lebih


jelas pada CT scan dibandingkan dengan foto konvensional.

121
3. CT scan ini juga dapat digunakan untuk memandu biopsi perkutan dan
menyelidiki adanya proses metastase di paru-paru.

Gambar 2.52 CT scan of the pelvis demonstrates a large soft-tissue mass that contains
calcification arising from a broad-based sessile osteochondroma on the posterior aspect of
the ilium (Burn, 2009)

2.4.9 Aneurysmal Bone Cyst

a. Definisi
Aneurysma Bone Cyst (ABC) adalah tumor jinak, biasanya muncul
sebelum kematangan dari tulang. Penyakit ini tidak pernah menjadi
ganas. ABC sering terjadi melibatkan daerah metafisis tulang panjang
atau vertebra. Secara radiografis, ABC akan tampak gambaran
eksentris, litik, dan ekspansif, dengan karakteristik destruksi kortikal
dan elevasi periosteal (Sjamsuhidayat 2014).

b. Epidemiologi
ABC umumnya dianggap jarang, terhitung hanya 1-6% dari semua
tumor tulang primer. Sebuah kelompok dari Austria melaporkan

122
kejadian tahunan sebesar 0,14 ABC per 100.000 orang. Meskipun
ABC dapat muncul pada orang dari segala usia, umumnya penyakit
yang melibatkan muda (tapi jarang di sangat muda). Sekitar 50-70%
dari ABC terjadi pada dekade kedua kehidupan, dengan 70-86%
terjadi pada pasien lebih muda dari 20 tahun. Usia pasien rata-rata saat
onset adalah 13-17,7 tahun (Sjamsuhidayat 2014).

c. Etiologi
Etiologinya tidak diketahui. Kebanyakan peneliti percaya bahwa
ABC adalah hasil dari suatu malformasi vaskular dalam tulang, namun
penyebab utama dari malformasi adalah topik kontroversi.
Beberapa teori umum diusulkan adalah sebagai berikut :
a. Reaksi sekunder yang lain lesi tulang. Teori ini telah diusulkan
karena tingginya insiden yang menyertai tumor pada 23-32% dari
ABC. ABC dengan adanya lesi lain disebut ABC sekunder.
Pengobatan ABC sekunder berdasarkan apa yang sesuai untuk
tumor yang mendasarinya
b. ABC mungkin timbul di daerah trauma sebelumnya.
(Sjamsuhidayat 2014).
d. Patologi
Patofisiologi dan gambaran patologinya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Tampak seperti hemoragik yang terdiri dari kombinasi jaringan dan
gumpalan darah yang lunak
2. Sering berwarna coklat karena adanya deposisi hemosiderin
3. Biasanya, di pinggiran lesi terdapat lapisan cangkang seperti tulang
periosteal
4. Pada penampakan mikroskopis, tampaknya ada ruang kavernosa
diisi dengan darah

123
5. Dinding ruang mengandung sel-sel fibroblastik, sel-sel raksasa
multinuklear, dan serpihan tulang.
(Sjamsuhidayat 2014).

e. Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan nyeri (biasanya terus menerus dan
tidak menyenangkan), massa, pembengkakan, patah tulang patologis,
atau kombinasi dari gejala-gejala di daerah yang terkena. Gejala-
gejala biasanya terjadi beberapa minggu sampai bulan sebelum
diagnosis dibuat, dan pasien mungkin juga memiliki riwayat
pembesaran massa yang cepat membesar. Gejala neurologis yang
berhubungan dengan Aneurismal Bone Cyst merupakan efek sekunder
akibat tekanan saraf disekitar lesi, biasanya di tulang belakang.
Fraktur patologis terjadi pada sekitar 8% dari Aneurismal Bone
Cyst, tetapi tingkat kejadian mungkin sebanyak 21% di Aneurismal
Bone Cyst pada tulang belakang.

f. Gejala Klinis
1. Deformitas
2. Penurunan rentang gerak, kelemahan, atau kekakuan
3. Reaktif tortikolis
4. Sesekali, bruit pada area yang terinfeksi
5. Daerah yang terkena jika di palpasi terasa hangat.
(Sjamsuhidayat 2014).

g. Gambaran Radiologi
Dari pemeriksaan radiologi X-ray, akan tampak gambaran balloon
expansion yang mengenai tulang. Mineralisasi matriks tidak tampak
pada lesi. Lesi paling sering muncul dan terlihat di region metafisis
dari femur dan tibia serta elemen posterior dari tulang belakang. Yang

124
sering akan terlihat adanya sebuah pinggiran sklerotik atau cangkang
tulang yang halus di periosteal sekitar lesi.

Gambar 2.53. Gambaran ekspansi lesi yang radiolusen pada metafisis di distal kanan Os
tibia. Periosteum dan pinggir tulang tampak intak (Forsyth, 2008) .

Melalui pemeriksaan CT-Scan dapat digunakan untuk menilai lesi


di panggul atau tulang punggung dan lebih akurat dibanding radiografi.
Penggunaan CT-Scan memungkinkan kita untuk menilai secara cermat
keberadaan tepi periosteal tulang disekitar lesi. CT-Scan sering
menunjukkan tingkat cairan dalam lesi.

125
Gambar. 2.54. CT-Scan dari ABC pre surgery. Tampak lesi hipodens pada Os Talus Kanan
(Forsyth, 2008).

Pemeriksaan MRI lebih akurat lagi dibanding penilaian dengan


CT-Scan atau radiologi dari sejauh mana kista tulang aneurisma. MRI
dapat memungkinkan kita mengetahui berapa banyak ekspansi dari
jaringan dan keterlibatan kecil dari lesi yang menekankan sejauh mana
lesinya.

Gambar 2.55. MRI pada ABC, tampak lesi “fluid level” pada distal Os tibia Kanan (Forsyth,
2008).

MRI :

MRI adalah metode pilihan untuk mengklarifikasi perpanjangan


intramedulla dan extraosseous dari sebuah chondrosarcoma.

2.4.10 Giant Cell Tumour


a. Definisi

Giant Cell Tumor atau oesteoclastoma adalah tumor yang relatif


jarang, ditandai dengan adanya sel giant multinuklear . Jenis tumor ini
biasanya dianggap sebagai tumor jinak. GCT, yang paling sering
terjadi pada epiphysis tulang panjang, merupakan tumor jinak yang
meluas kaya akan sel raksasa osteoklastik. Sering terjadi pada usia 20
sampai 40 tahun. Dalam klasifikasi tumor jaringan lunak dan tulang

126
yang diajukan oleh World Health Organization tahun 2002, GCT
jaringan lunak saat ini diklasifikasikan dalam kelompok tersendiri
(Sjamsuhidayat, 2014).

Sebagian besar tumor sel raksasa terjadi pada tulang panjang,


tibia proksimal, distal femur, radius distal, dan humerus bagian
proksimal, meskipun Giant Cell Tumor ini juga telah dilaporkan dapat
terjadi pada sakrum, kalkaneus, serta tulang kaki. Tumor ini biasanya
muncul di metafisis dari lempeng epifisis. Pada umumnya tumor ini
menyebabkan destruksi dari tulang, lokal metastasis, metastasis ke
paru-paru, serta kelenjar getah bening (jarang), atau bertransformasi
kearah keganasan (jarang) (Sjamsuhidayat, 2014) .

b. Epidemiologi

Tumor ini mewakili sekitar 20% dari tumor jinak tulang primer
.Kebanyakan dijumpai pada usia 20-40 tahun jarang ditemukan pada
anak-anak. Insiden di Amerika Serikat dan Eropa, GCT mewakili
sekitar 5% dari seluruh tumor primer tulang dan 21% dari semua tumor
jinak tulang. Di cina, GCT ditemukan 20% merupakan tumor tulang
primer. Wanita lebih sering menderita GCT dibandingkan dengan laki-
laki (Sjamsuhidayat, 2014).

c. Insiden

Jenis tumor tulang primer memiliki bentuk jinak dan ganas. Bentuk
(non-kanker) jinak yang paling umum. Tumor sel raksasa tulang
biasanya mempengaruhi kaki (biasanya dekat lutut) atau tulang lengan
orang dewasa muda dan setengah baya. Mereka tidak sering menyebar
ke tempat yang jauh, tetapi cenderung untuk kembali di mana mereka
mulai setelah operasi (ini disebut kekambuhan lokal). Hal ini dapat
terjadi beberapa kali. Dengan kekambuhan masing-masing, tumor
menjadi lebih mungkin untuk menyebar ke bagian lain dari tubuh.
Jarang, Giant Cell Tumor menyebar ke bagian lain dari tubuh tanpa

127
terlebih dahulu berulang secara lokal. Hal ini terjadi dalam bentuk
(kanker) ganas dari tumor (Sjamsuhidayat, 2014).

d. Patofisiologi

Giant cell tumor pada tulang terjadi secara spontan. Mereka tidak
diketahui apakah terkait dengan trauma, faktor lingkungan, atau diet.
Pada kasus-kasus yang jarang, mereka mungkin berhubungan dengan
hiperparatiroidisme (Sjamsuhidayat, 2014).

Dalam Beberapa penelitian pembentukan GCT ada beberapa


faktor yang menetukan, pertama yaitu adanya perubahan siklin, dimana
siklin memainkan peran penting dalam mengatur perjalanan membagi
sel melalui pos pemeriksaan penting dalam siklus sel. Karena
perubahan dari beberapa siklin, terutama siklin D1, telah terlibat dalam
perkembangan neoplasma, para peneliti memeriksa 32 kasus GCT pada
tulang panjang untuk amplifikasi gen siklin D1 dan overekspresi protein
menggunakan diferensial polymerase chain reaction dan
imunohistokimia, masing-masing (Sjamsuhidayat, 2014).

Kedua, adanya evaluasi Immunohistokimia yang terkait dengan


ekspresi microphtalmia yang merupakan faktor transkripsi dalam lesi
giant cell. Microphtalmia terkait dengan faktor transkripsi (Mitf),
anggota subfamili heliks-loop-helix faktor transkripsi, biasanya
dinyatakan dalam oesteoklas mononuklear dan multinuklear, terlibat
dalam differensiasi terminal oesteoklas. Disfungsi aktivitas oesteoklas
yang menghasilkan ekspresi Mitf yang abnormal serta telah terlibat
oesteoporosis. Sejumlah sel giant lainnya dari berbagai jenis termasuk
oesteoklas seperti sel-sel giant terlihat dalam berbagai tumor, secara
tradisional dianggap berasal monosit, terlihat dalam berbagai tulang dan
lesi extraosseus (Forsyth, 2008).

Ketiga adalah sel stroma. Sel stroma Fibroblastlike, yang selalu


hadir sebagai komponen dari tumor sel raksasa pada tulang (GCT),

128
dapat diamati dikedua sampel in vivo dan kultur. Meskipun mereka
diasumsikan untuk memicu proses kanker di GCT, histogenesis sel
stroma GCT adalah kurang diketahui. Hal ini diketahui bahwa sel
batang mesenchymal (MSC) dapat berkembang ke oesteoblas. Bukti
telah disajikan bahwa sel-sel stroma GCT juga dapat mengembangkan
untuk oesteoblas. Sebuah koneksi antara MSC dan sel stroma GCT
dicari dengan menggunakan 2 pendekatan laboratorium yang berbeda
(Forsyth, 2008).

e. Anamnesis

Anamnesis penting artinya untuk mengetahui riwayat kelainan atau


trauma sebelumnya. Perlu pula ditanyakan riwayat keluarga apakah ada
yang menderita penyakit yang sejenis misalnya diafisial yang bersifat
herediter.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalan anamnesis adalah :

1. Umur : Umur pendertita sangat penting untuk diketahui karena


banyak tumor tulang yang mempunyai kekhasan dalam umur
terjadinya, misalnya giant cell tumor jarang ditemukan dibawah
umur 20 tahun.

2. Lama dan perkembangan (progresifitas) tumor : tumor jinak


biasanya berkembang secara perlahan dan apabila terjadi
perkembangan yang cepat dalam waktu singkat atau suatu tumor
yang jinak tiba-tiba menjadi besar maka perlu dicurigai adanya
keganasan.

3. Nyeri : nyeri merupakan keluhan utama pada tumor ganas. adanya


nyeri menunjukkan tanda ekspansi tumor yang cepat dan
penekanan ke jaringan sekitarnya, perdarahan atau degenerasi.

4. Pembengkakan : kadang-kadang penderita mengeluhkan adanya


suatu pembengkakan dimana pembengkakan ini bisa timbul secara

129
perlahan-lahan dalam jangka waktu yang lama dan bisa juga secara
tiba-tiba.

(Forsyth, 2008)

f. Gambaran Klinis

Gejala utama yang ditemukan berupa nyeri serta pembengkakan


terutama pada lutut dan mungkin ditemukan efusi sendi serta gangguan
gerakan pada sendi. Mungkin juga penderita datang berobat dengan gejala-
gejala fraktur (10%). Dapat juga terjadi pembesaran massa secara lambat.
Lebih dari tiga per empat pasien tercatat mengalami pembengkakan pada
lokasi tumor. Keluhan lain yang jarang terjadi adalah kelemahan,
keterbatasan gerak sendi dan fraktur patologis (Forsyth, 2008).

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan massa yang keras dan


nyeri ditemukan pada lebih dari 80% pasien. Disuse Atrophy , efusi pada
persendian atau hangat pada lokasi tumor (Forsyth, 2008).

Pada GCT dibagi menjadi beberapa grade atau staging :

Stage I :

1) Benign latent dari giant cell tumor.


2) Tidak ada aktivitas agrasif lokal.

Stage II :

1) Benign active giant cell tumor.


2) Pada pencitraan terlihat gambaran alterasi struktur tulang cortikal

Stage III :

1) Tumor lokal agresif.


2) Pada pencitraan terlihat gambaran lesi litik mengelilingi medula
dan korteks tulang.
3) Tumor dapat melewati korteks dan penetrasi ke jaringan lunak.

130
g. gambaran radiologi

Foto Polos X-Ray

Pemeriksaan radiologi merupakan salah satu pemeriksaan yang


penting dalam menegakkan diagnosis pada GCT. Gambaran Radiologi
yang biasa didapatkan pada GCT adalah :

1) Tampak daerah radiolusen pada ujung tulang dengan batas yang tidak
tegas.
2) Ada zona transisi antara tulang normal dan patologik, biasanya
kurang dari 1 cm.
3) Lesi biasanya ekstentrik, bersifat ekspansif sehingga korteks menjadi
tipis.
4) Sebagian besar tumor sel raksasa terjadi pada tulang panjang (lihat
gambar bawah), dan hampir semua berada di akhir artikular tulang.
Keterlibatan metaphyseal dapat terjadi pada pasien skeletally belum
menghasilkan. Situs umum meliputi tibia proksimal, femur distal,
radius distal, humerus proksimal dan, meskipun tumor sel raksasa
juga telah dilaporkan terjadi pada tulang kemaluan, kalkaneus, dan
kaki.

131
Gambar 2.56. AP Proksimal Femur (Forsyth, 2008)

Gambar 2.57. kiri radiograf AP bahu kanan (Forsyth, 2008)

132
Gambar 2.58. radiograf AP lulut (Forsyth, 20008)

Tumor sel raksasa pada tulang belakang (lihat di atas) jarang


terjadi dan hitungan hanya 5% dari tumor sel raksasa. Sakrum adalah
lokasi yang paling umum. Pasien dengan tumor ini cenderung sedikit lebih
muda dibandingkan dengan tumor dalam kerangka apendikular. Lokasi di
tulang belakang dapat bervariasi, tapi tumor yang paling umum melibatkan
tubuh vertebral. Pada radiografi, tumor dapat dilihat di bidang
penghancuran tubuh vertebral dengan invasi elemen posterior. Tumor bisa
menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi tulang belakang, terutama
ketika melibatkan unsur-unsur posterior (Forsyth, 2008).

CT-scan

Pemeriksaan CT-scan meningkatkan deteksi adanya fraktur


kortikal yang menipis, patologis, reaksi periosteal, menetukan lokasi
secara akurat, massa soft tissue. CT juga membantu mengkonfirmasi
adanya mineralisasi di GCT, meskipun pembentukan kalus yang
berhubungan dengan penyembuhan fraktur patologis dapat dilihat.

133
Gambar 2.59. CT scan perut menunjukkan massa berkembang yang muncul dari salah satu
tulang rusuk kiri. Temuan histologis menunjukkan bahwa massa adalah tumor sel raksasa
(Forsyth, 2008).

Gambar 2.60 . CT scan tumor sel raksasa ulna distal potongan koronal. Temuan radiografi
menunjukkan lesi subarticular diperluas (Forsyth, 2008).

MRI

Pemeriksaan MRI ini dapat membantu menentukan tingkat


destruksi tumor, serta dapat diindikasi bila tumor telah mengikis korteks dan
memungkinkan penentuan apakah ada struktur neurovaskular yang terlibat,
dan juga membantu mengevaluasi penetrasi di subkondrial

134
Gambar T1 pada tumor sel raksasa dapat menunjukkan karakteristik sinyal
intensitas heterogen atau homogen. Intensitas sinyal biasanya rendah atau
menengah, tetapi daerah intensitas sinyal tinggi, yang disebabkan oleh
perdarahan.

Gambar T2 memperlihatkan, heterogen rendah ke intensitas sinyal


menengah yang terlihat di daerah padat tumor (lihat gambar di bawah).
Hemosiderin terdeteksi di lebih dari 63% tumor sel raksasa, dan
kehadirannya mungkin adalah hasil dari extravasated sel darah merah
ditambah dengan fungsi fagositik dari sel-sel tumor

Gambar 2.61. T2-potongan koronal MRI pergelangan tangan menunjukkan tumor sel
raksasa terletak di posisi subarticular dalam radius distal. Lesi adalah heterogen dan
hyperintense (Forsyth, 2008).

Daerah kistik yang umum dan dipandang sebagai daerah intensitas


sinyal tinggi di T2-tertimbang gambar. Cairan-cairan tingkat dapat dilihat,
seperti pada gambar di bawah. Edema Peritumoral jarang terjadi tanpa
adanya fraktur. Tumor biasanya heterogen meningkatkan dengan
pemberian intravena bahan kontras (Forsyth, 2008).

135
Gambar 2.62 T2- potongan aksial MRI lutut menunjukkan beberapa cairan-cairan tingkat
dalam tumor sel raksasa dari femur distal (Forsyth, 2008).

2.5 Prognosis
Prognosis untuk tumor jinak pada umumnya baik karena sel tumor belum
merusak jaringan tulang namun apabila tidak ditangani dengan baik maka
dapat menimbulkan kecacatan pada pasien. Sedangkan tumor ganas memiliki
prognosis yang buruk.

136
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan penelusuran tinjauan pustaka tersebut dapat
disimpulkan bahwa tumor merupakan proliferasi sel yang abnormal
yang disebabkan berbagai penyebab seperti genetik dan lingkungan.
Klasifikasi neoplasma tulang berdasarkan asal sel, yaitu: primer
(osteogenik, kondrogenik, fibrogenik, mielogenik, tumor asal vaskuler,
tumor tulang lainnya) dan sekunder/metastatik (tumor yang berasal
dari organ lain yang menyebar ke tulang). Untuk menetapkan diagnosis
tumor tulang diperlukan beberapa hal, yaitu: anamnesis, pemeriksaan
klinik, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan radiologis

137
Daftar Pustaka

1. Barei DP, Moreau G, Scarborough MT, Neel MD. Percutaneous


radiofrequency ablation of osteoid osteoma. Clin Orthop Relat Res.
2000 Apr. 9(2):115-24. [Medline].
2. Bilgin SS, Yildiz Y, Guclu B, Saglik Y. Osteoid osteoma in the
hand: an evaluation of eight patients. Acta Orthop Traumatol Turc.
2004. 38 (3):206-11. [Medline].
3. Burn SC, Ansorge O, Zeller R, Drake JM. Management of
osteoblastoma and osteoid osteoma of the spine in childhood. J
Neurosurg Pediatr. 2009 Nov. 4(5):434-8. [Medline].
4. Ebrahimzadeh MH, Ahmadzadeh-Chabock H, Ebrahimzadeh AR.
Osteoid osteoma: a diagnosis for radicular pain of extremities.
Orthopedics. 2009 Nov. 32(11):821. [Medline].
5. Edge SB, Byrd DR, Compton CC, et al. Bone. AJCC Cancer
Staging Manual. 7th Ed. New York: Springer; 2010. 281-290.
6. Eroschenko, Victor P. 2011. Histologi DiFiore. EGC Jakarta
7. Fletcher CDM, Bridge JA, Hogendoorn P, Mertens F. World
Health Organization Classification of Tumours of Soft Tissue and
Bone. 4th Ed. Lyon, France: IARC; 2013.
8. Kan P, Schmidt MH. Osteoid osteoma and osteoblastoma of the
spine. Neurosurg Clin N Am. 2008 Jan. 19 (1):65-70. [Medline].
9. Marulanda GA, Henderson ER, Johnson DA, Letson GD, Cheong
D. Orthopedic surgery options for the treatment of primary
osteosarcoma. Cancer Control. 2008 Jan. 15(1):13-20. [Medline].
[Full Text].
10. Richard, Snell. 2011. Anatomi Klinik. EGC. Jakarta
11. Sjamsuhidyat. 2014. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
12. Sproule JA, Khan F, Fogarty EE. Osteoid osteoma: painful
enlargement of the second toe. Arch Orthop Trauma Surg. 2004
Jun. 124 (5):354-6. [Medline].

138
13. Sudoyo. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna
Publishing. Jakarta
14. Zileli M, Cagli S, Basdemir G, Ersahin Y. Osteoid osteoma and
osteoblastoma of the spine. Neurosurg Focus. 2003 Nov. 15
(5):E5. [Medline].
15. R G Forsyth, G De Boeck, S Bekaert, dkk. Telomere Biology in
Giant Cell Tumour of Bone. in : J Pathol 2008; 214. h. 555–563.

139
REFERAT

GOUT ARTHRITIS

Disusunoleh:

Ira Devi Kania


NPM. 112170044

Pembimbing :

dr. Hj. Farida Yunus Dahlan, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RSUD WALED CIREBON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON

2018

140
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa
karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas referat ini.

Referat ini mengulas tentang Gout arthritis yang meliputi anatomi,


fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi. Diharapkan
dengan mengetahui tentang Gout arthritis dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa program pendidikan profesi dokter.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Farida Yunus Dahlan,
Sp. Rad, selaku konsulen yang telah membimbing saya dalam proses diskusi, tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyusun referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmu radiologi
sebagai bekal kedepannya. Dan tentunya referat ini masih sangat jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan masukan yang membangun
demi perbaikan pembuatan referat dimasa yang akan datang.

Cirebon, 11 Februari 2018

Penulis

141
BAB I

PENDAHULUAN

Gout merupakan gangguan metabolik yang sudah dikenal oleh hipokrates


pada zaman Yunani kuno. Gout berasal kata gutta, berarti tetesan. Dahulu kala
gout dianggap akibat adanya tetesan jahat yang masuk ke dalam sendi. Pada
waktu itu gout dianggap sebagai penyakit kalangan sosial elite yang disebabkan
karena terlalu banyak makan, minum anggur, dan seks.(1,2,3)
Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi
asamurat didalam cairan ekstraseluler.(3)
Pada keadaan normal kadar urat serum pada laki – laki mulai meningkat
setelah pubertas. Pada perempuan kadar urat serum tidak meningkat sampai
setelah menopause karena estrogen meningkatkan ekskresi asam urat melalui
ginjal. Setelah menopause, kadar urat serum meningkat seperti pada pria. Gout
jarang ditemukan pada perempuan. Sekitar 95% kasus adalah laki – laki. Gout
dapat ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia. Ada prevalensi
familial dalam penyakit gout yang mengesankan suatu dasar genetik dari
penyakit ini. Namun, ada sejumlah faktor yang agak mempengaruhi timbulnya
penyakit ini. Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika Serikat
adalah 13.6/1000 pria dan 6.4/1000 perempuan. Prevalensi gout meningkat
dengan meningkatnya taraf hidup. Di Indonesia belum banyak publikasi
epidemologi tentang arthritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter
kebangsaan Belanda bernama Van der Horst telah melaporkan 15 pasien arthritis
pirai dengan kecacatan (lumpuhkan anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa
Tengah.(1,2,3,4,5)
Masalah akan timbul jika terbentuk kristal – kristal monosodium urat
monohidrat pada sendi – sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal – kristal berbentuk

142
seperti jarum ini mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan
menimbulkan nyeri hebat yang sering menyertai serangan gout.(1)
Gout dapat bersifat primer maupun sekunder. Gout primer merupakan
akibat langsung pembentukan asam urat tubuh yang berlebihan atau akibat
penurunan ekskresi asam urat. Gout sekunder disebabkan karena pembentukan
asam yang berlebihan atau ekskresi asam urat yang berkurang akibat proses
penyakit lain atau pemakaian obat – obat tertentu.(1,2)

143
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI SENDI

1. Anatomi Sendi

Gambar 1. Struktur anatomi tarsals, metatarsals, phalanges (6)

Sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan


tulang – tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, maupun tidak bergerak
satu sama lain. Secara anatomik, sendi dibagi menjadi 3 yaitu : (3)
1. Sinartrosis
Sinartrosis adalah sendi yang tidak memungkinkan tulang – tulang
yang berhubungan dapat bergerak satu sama lain. Diantara tulang yang
bersambungan tersebut terdapat jaringan yang dapat berupa jaringan
ikat (sindesmosis) seperti pada tulang tengkorak dan antara radius dan
ulna, jaringan tulang rawan (sinkondrosis) seperti antara kedua os.

144
pubik pada orang dewasa, dan jaringan tulang (sinostosis) seperti
persambungan antara os.ilium, os ischium dan pubikum.(3)

2. Diartrosis

Gambar 2. Struktur Sendi (7)

Diartrosis adalah sambungan antara 2 tulang atau lebih yang


memungkinkan tulang – tulang tersebut bergerak satu sama lain.
Diantara tulang – tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang
disebut kavum artikulare. Diartrosis disebut juga sendi synovial. Sendi
ini tersusun atas bonggol sendi (kapsul artikulare), bursa sendi dan ikat
sendi (ligamentum). Berdasarkan bentuknya diartrosis dibagi dalam
beberapa sendi, yaitu sendi engsel (interfalang, humeruoulnaris,
talokruralis), sendi kisar (radioulnaris), sendi telur (radiokarpea), sendi
pelana (karpometakarpal I), sendi peluru (glenohumeral), sendi buah
pala (coxae). Pada sendi synovial ini tulang – tulang yang saling
berhubungan dilapisi rawan sendi. Rawan sendi merupakan jaringan
avaskular dan juga tidak memiliki jaringan saraf, berfungsi sebagai
bantalan terhadap beban yang jatuh ke dalam sendi. Membran synovial

145
merupakan jaringan avaskular yang melapisi permukaan rawan sendi.
Membran ini licin dan tidak lunak, berlipat – lipat sehingga dapat
menyesuaikan diri pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan
intra-artikuler.(3)

3. Amfiartrosis
Amfiartrosis merupakan sendi yang memungkinkan tulang – tulang
yang saling berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya
sendi sakroiliaka dan sendi - sendi antara korpus vertebra.(3)

146
BAB III

PEMBAHASAN

A. DEFINISI
Artritis pirai (gout) merupakan kelompok penyakit heterogen sebagai
akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat
supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraseluler. Masalah akan timbul
jika terbentuk kristal – kristal monosodium urat monohidrat pada sendi –
sendi dan jaringan sekitarnya. Kristal – kristal berbentuk seperti jarum ini
mengakibatkan reaksi peradangan yang jika berlanjut akan menimbulkan
nyeri hebat yang sering menyertai serangan gout.(1,3)

B. INSIDEN DAN EPIDEMOLOGI


Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa, sebagaimana yang
disampaikan oleh Hippocrates bahwa gout jarang pada pria sebelum masa
remaja (adolescens) sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause.
Gout jarang ditemukan pada perempuan. Sekitar 95% kasus adalah laki – laki.
Gout dapat ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia. Ada
prevalensi familial dalam penyakit gout yang mengesankan suatu dasar
genetik dari penyakit ini. Namun, ada sejumlah faktor yang agak
mempengaruhi timbulnya penyakit ini.(1,2,3,4,5)
Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika Serikat adalah
13.6/1000 pria dan 6.4/1000 perempuan. Prevalensi gout meningkat dengan
meningkatnya taraf hidup. Di Indonesia, arthritis gout terjadi pada usia yang
lebih muda, sekitar 32% pada pria berusia kurang dari 34 tahun. Pada wanita,
kadar asam urat umumnya rendah dan meningkat setelah usia menopause.
Prevalensi arthritis gout di Bandungan, Jawa Tengah, prevalensi pada
kelompok usia 15-45 tahun sebesar 0,8%; meliputi pria 1,7% dan wanita
0,05%. Di Minahasa (2003), proporsi kejadian arthritis gout sebesar 29,2%

147
dan pada etnik tertentu di Ujung Pandang sekitar 50% penderita rata-rata
telah menderita gout 6,5 tahun atau lebih setelah keadaan menjadi lebih
parah. (3)

C. ETIOLOGI
Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan
hiperurisemia primer, sekunder. Hiperurisemia dan gout primer adalah
hiperurisemia dan gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain.
Hiperurisemia primer terdiri dari kelainan molekuler yang masih belum jelas
dan hiperurisemia karena adanya kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia
kelainan molekular yang belum jelas terbanyak didapatkan yaitu 99% terdiri
dari hiperurisemia karena underexcretion (80 – 90%) dan overproduction (10-
20%). Underexcretion kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan
menyebabkan gangguan pengeluaran AU dan menyebabkan gangguan
pengeluaran AU sehingga menyebabkan hiperurisemia. Hiperurisemia primer
karena kelainan enzim spesifik diperkirakan hanya 1%, yaitu karena
peningkatan aktivitas dari enzim phoribosylpyro-hosphatase (PRPP)
synthetas. (1,2,5)
Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang
disebabkan oleh penyakit lain atau penyebab lain,1,2 seperti penyakit glycogen
storage disease tipe I, menyebabkan hiperurisemia yang bersifat automal
resesif, glycogen storage disease tipe III, V, VI akan terjadi hiperurisemia
miogenik. Hiperurisemia sekunder tipe overproduction disebabkan penyakit
akut yang berat seperti pada infark miokard, status epileptikus.(2,3,5)

D. PATOFISIOLOGI
Onset serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam
urat serum, meninggi atau menurun. Pada keadaan asam urat stabil jarang
mendapat serangan.(2,5)
Perkembangan dari serangan akut gout umumnya mengikuti
serangkaian peristiwa. Mula – mula terjadi hipersaturasi dari urat plasma dan

148
cairan tubuh. Selanjutnya diikuti oleh penimbunan di dalam dan sekeliling
sendi – sendi. Serangan gout seringkali terjadi sesudah trauma local atau
ruptura tofi (timbunan asam urat), yang mengakibatkan peningkatan cepat
konsentrasi asam urat lokal. Tubuh mungkin tidak dapat mengatasi
peningkatan ini dengan baik, sehingga terjadi pengendapan asam urat di luar
serum. Kristalisasi dan penimbunan asam urat akan memicu serangan gout.
Krital – kristal asam urat memicu respon fagositik oleh leukosit, sehingga
leukosit memakan Kristal – Kristal asam urat dan memicu mekanisme respon
peradangan lainnya. Respon peradangan ini diperngaruhi oleh lokasi dan
banyaknya timbunan aam Kristal asam urat. Reaksi peradangan dapat meluas
dan bertambah sendiri, akibat dari penambahan timbuan Krista serum. (2,5)

149
Gambar 3. Patofisiologi Artritis Gout (5)

Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan kristal monodium


urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). (3)
Terdapat peranan temperature, PH dan kelarutan urat untuk timbul
serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperature
lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan
mengapa krital MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi
umum untuk pengendapan kristal MSU metatarsofalangeal-1 (MTP-1).
Berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang – ulang pada daerah
tersebut.(3)

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
a) Anamnesis
1. Stadium hiperurisemia asimtomatik
Nilai normal asam urat serum pada laki-laki adalah 5,1 kurang kebih
1,0 mg/ dl, dan pada perempuan adalah 4,0 kurang 1,0 mg/dl. Nilai-nilai
ini meningkat sampai sampai 9-10 mg/dl pada seseorang dengan gout.
Dalam tahap ini pasien tidak menunjukkan gejala-gejala selain dari
peningkatan asam urat serum. Pada umumnya hiperurisemia secara tidak
sengaja ditemukan pada sat melakukan medical cek-up. Hanya 20% dari
pasien hiperurisemia asimtomatik yang berlajut menjadi serangan gout
akut.(1,3,4) Keadaan hiperurisemia juga dapat berlangsung seumur hidup
tanpa menimbulkan gejala.(3)
2. Stadium artritis Gout Akut

150
Gambar 4. Stadium artritis gout akut (8)

Pada tahap ini terjadinya awitan mendadak pembengkakan dan nyeri


yang luar biasa, biasanya pada ibu jari kaki dan sendi metatarsofalangeal.
Arthritis bersifat monoartikular dan menunjukkan tanda – tanda
peradangan lokal. Mungkin terdapat demam dan peningkatan jumlah
leukosit. Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan,
alcohol, atau stress emosional. Tahap ini biasanya mendorong pasien
untuk mencari pengobatan segera. Sendi-sendi lain dapat terserang,
termasuk sendi jari-jari tangan dan lutut, mata kaki, pergelangan tangan,
dan siku. Serangan gout akut biasanya pulih tanpa pengobatan, tetapi dapat
memakan waktu 10 sampai 14 hari.
Perkembangan dari serangan gout akut umumnya mengikuti
serangkaian peristiwa sebagai berikut. Mula-mula terjadi hipersaturasi dari
urat plasma dan cairan tubuh. Selanjutnya diikuti oleh penimbunan
didalam sekeliling sendi-sendi. Mekanisme terjadinya kristalisasi urat
setelah keluar dari serum masih belum jelas dimengerti. Serangan gout
seringkali terjadi sebuah trauma local atau rupture toffi (timbunan natrium
urat), yang mengakibatkan peningkatan cepat konsentrasi asam urat local.
Tubuh mungkin tidak dapat mengatasi peningkatan ini dengan baik,
sehingga terjadi pengendapan asam urat diluar serum. Kristalisasi dan

151
penimbunan asam urat akan memicu serangan gout. Kristal – kristal asam
urat memicu respon fagositik oleh leukosit, sehingga leukosit memakan
Kristal – kristal urat dan memicu mekanisme respon peradangan lainnya.
Respon peradangan ini dapat dipengaruhi oleh lokasi dan banyaknya
timbunan Kristal asam urat. Reaksi peradangan dapat meluas dan
bertambah sendiri, akibat dari penambahan timbunan Kristal serum. (3,5)
Tofi akan tampak seperti benjolan kecil (nodul) dan berwarna pucat.
Tofi baru ditemukan pada kadar asam urat 10 – 11mg/l. pada kadar
>11mg/dl pembentukan tofi menjadi sangat progresif atau cepat sekali.
Tofi juga bisa menjadi koreng atau ulcerasi atau perlukaan dan
mengeluarkan cairan kental seperti kapur yang mengandung Kristal
MSU.(3,5)

3. Stadium interkritik
Tidak terdapat gejala-gejala pada masa ini, yang dapat belangsung
dari beberapa bulan sampai tahun. Kebanyakan orang mengalami serangan
gout berulang dalam waktu kurang dari satu tahun jika diobati.(3,5)

4. Stadium gout kronik


Timbunan asam urat yang bertambah dalam beberapa tahun jika
pengobatan tidak dimulai. Peradangan kronik akibat Kristal-kristal asam
urat mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku juga pembesaran dan
penonjolan sendi yang bengkak. Serangan akut atritis gout dapat terjadi
dalam tahap ini tofi terbentuk pada masa kronik akibat insolubilitas
relative asam urat. Awitan dan ukuran tofi secara proporsional mungkin
berkaitan dengan kadar asam urat serum. Bursa olekranon tendo Achilles
permukaan extensor lengan bawah bursa infrapatellar dan heliks telinga
adalah tempat-tempat yag sering dihinggapi tofi.secara klinis ini mungkin
sulit dibedakan dengan nodul reumatik. Pada masa kini tofi jarang terlihat
dan akan menghilang dengan terapi yang tepat.(3,5)

152
Gout dapat merusak ginjal, sehingga ekskresi asam urat bertambah
buruk. Kristal-kristal asam urat dapat terbentuk interstitum medulla papilla
dan pyramid, sehingga ginjal asam urat juga dapat terbentuk sebagai akibat
sekunder dari gout. Batu biasanya berukuran kecil bulat dan tidak terlihat
pada pemerikasaan radiografi.(5)

b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksan fisik ditemukan pada stadium gout arthritis akut
seperti:
Inspeksi : pembengkakan, kulit disekitar kemerahan, adanya tofi
Palpasi : nyeri tekan, kekakuan sendi, adanya deformitas, adanya
benjolan tofi
c) Diagnosis
Menurut criteria ACR ( American Collage of Rheumatology )
diagnosis dapat ditegakkan jika:

1. menemukan monosodium urat dalam cairan sinovial atau


2. ditemukan tofus yang mengandung kristal MSU atau
3. ditemukan 6 dari kriteria dibawah ini:
a. inflamasi maksimal hari pertama
b. arthritis monoartikuler
c. kulit diatas sendi kemerahan
d. bengkak + nyeri pada MTP1
e. dicurigai tofi
f. hiperurisemia
g. pembengkakan sebuah sendi asimetrik pada foto roentgen
h. kista subkortikal tanpa erosi pada foto roentgen
i. kultur cairan sendi selama serangan inflamasi negative

153
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Permeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Asam Urat darah (1,3,4)
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita gout
didapatakan kadar asam urat yang tinggi dalam darah.
Hiperurisemia jika kadar asam urat darah diatas 7 mg/dl. Kadar
asam urat normal dalam serum pria diatas 7mg% dan 6 mg% pada
perempuan. Kadar asam urat dalam urin juga tinggi 500 mg%/l per
24 jam. Sampai saat ini, pemeriksaan kadar asam urat terbaik
dilakukan dengan cara enzimatik
b. Pemeriksaan kadar ureum darah dan kreatinin
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan pada penderita gout
didapatakan kadar urea darah normal 5 – 20 mg/dl. Kadar kreatinin
darah normal pria 0,6 - 1,3 mg/dl dan 0,5 - 1 mg/dl pada
perempuan
c. Aspirasi cairan sendi
Merupakan gold standar untuk diagnose gout. Jarum diinsersikan
ke dalam sendi untuk mengambil sampel/jaringan. Pemeriksaan
untuk menemukan adanya Kristal MSU.
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto Konvensional (X-ray)

154
Gambar 5. Artritis gout tampak sclerosis dan penyempitan ruang terlihat di sendi
metatarsophalangeal pertama, serta pada sendi interphalangeal keempat.(9)

Gambar 6. Artritis gout


nampak erosi gout (panah)
terlihat sepanjang margin
medial caput
metatarsophalangeal pertama
pada pasien dengan gout.(10)

b. Pemeriksaan dengan USG

Gambar 7. USG metatarsophalangeal pertama nampak avascular kistik


(edema) dengan serpihan di dalam.(11)

c. Pemeriksaan dengan CT-Scan

155
Gambar 8. nampak deposit asam urat di kedua sendi metatarsophalangeal
pertama kaki kiri dan kanan, serta pengendapan urat di beberapa sendi
pada kaki dan sendi pergelangan kaki. (12)

Gambar 9. CT-Scan 3D volume-rendered dari kaki kanan pasien dengan


gout kronis, menunjukkan deposit tofi yang luas (divisualisasikan dengan
warna merah) – terutama pada sendi phalangeal pertama metatarsal,
midfoot dan tendon achilles. (a) tampak dari dorsal (b) tampak dari lateral.
(13)

d. Pemeriksaan dengan MRI

156
Gambar 10. A. Potongan axial – formasi dengan hyposignal – tophus
(panah) - pada metatarsalphalangeal pertama dengan erosi tulang
(bintang). B. potongan axial T2 – Nampak lesi dengan hypersignal (panah)
dan erosi tulang (bintang) C. potongan sagital – Nampak lesi (panah) (14,15)

G. DIANOSIS BANDING

1. Reumatoid artritis
Artritis reumatoid adalah gangguan kronik yang menyerang berbagai
sistem organ. Penyakit ini adalah salah satu dari sekelompok penyakit
jaringan ikat difus yang diperantarai oleh imunitas dan tidak diketahui
penyebabnya. Sebagian besar pasien menunjukkan gejala penyakit
kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan menyebabkan
terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progresif
yang menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini. (1,3,6)

157
Gambar 11. Artritis reumatoid nampak erosif yang mengenai tulang
karpal dan sendi metakarpofalangs.(16)

Tanda pada foto polos awal dari artritis reumatoid adalah


peradangan periartikular jaringan lunak bentuk fusiformis yang
disebabkan oleh efusi sendi dan inflamasi hiperplastik sinovial. Nodul
reumatoid merupakan massa jaringan lunak yang biasanya tampak
diatas permukaan ekstensor pada aspek ulnar pergelangan tangan atau
pada olekranon, namun adakalanya terlihat diatas prominensia tubuh,
tendon, atau titik tekanan. Karakteristik nodul ini berkembang sekitar
20% pada penderita artritis reumatoid dan tidak terjadi pada penyakit
lain, sehingga membantu dalam menegakkan diagnosis.(6)
2. Osteoartritis
Osteoarthritis atau juga disebut dengan penyakit sendi
degeneratif yaitu suatu kelainan pada kartilago (tulang rawan sendi)
yang ditandai perubahan klinis, histologi dan radiologis. Osteoarthritis

158
secara patologis dicirikan dengan penurunan secara progresif dan
akhirnya hilangnya kartilago sendi dengan perubahan reaktif pada
batas-batas sendi dan pada tulang subkondral
Osteoarthritis merupakan bentuk radang sendi yang serius, salah
satu jenis rematik atau rasa sakit di tulang. Osteoartritis bermula dari
kelainan pada tulang rawan sendi, seperti kolagen dan proteoglikan.
Akibat dari kelainan pada sel-sel tersebut, tulang rawan akhirnya
menipis dan membentuk retakan-retakan pada permukaan sendi.
Rongga kecil akan terbentuk di dalam sumsum dari tulang di bawah
tulang rawan tersebut, sehingga tulang yang bersangkutan menjadi
rapuh. Tubuh kita akan berusaha memperbaiki kerusakan tersebut,
tetapi perbaikan yang dilakukan oleh tubuh tidak memadai,
mengakibatkan timbulnya benjolan pada pinggiran sendi atau osteofit
yang terasa nyeri. Pada akhirnya, permukaan tulang rawan akan
berubah menjadi kasar dan berlubang-lubang sehingga sendi tidak lagi
bisa bergerak secara halus. Semua komponen yang ada pada sendi
mengalami kegagalan dan terjadi kekakuan sendi.
Sendi yang biasanya menjadi sasaran penyakit ini adalah sendi yang sering
digunakan sebagai penopang berat badan seperti sendi lutut, sendi tulang
belakang, dan sendi panggul. Selain itu juga pada sendi tangan/kaki. Jika tidak
diobati, sakit akan bertambah sampai tidak bisa berjalan. Selain itu, tulang bisa
mengalami perubahan bentuk atau deformity. Jika dibiarkan, osteoarthritis dapat
menyebabkan cacat permanen pada tulang. Bentuk tulang bisa berubah menjadi
bengkok baik ke dalam maupun keluar. Untuk itu penyakit tersebut perlu
diwaspadai karena mempunyai dampak jangka panjang. Dampak tersebut baru
dirasakan penderita 10 tahun kemudian. Untuk mengetahui gejalanya, harus
lewat pemeriksaan laboratorium dan rontgen. Bila ada laju endap darah dan
kolesterol meningkat maka dapat diidentifikasi sebagai gejala osteoarthitis
sehingga perlu segera diobati.

159
Gambar 12. Osteoarthritis Adanya pembentukan osteofit dan
penyempitan celah sendi pada sendi tungkai.(16)

Tabel. 1. Diagnosis Banding Gout

OA GOUT RA

DEFINISI Degenerasi Penyakit yang Gangguan autoimun


cartilago sendi terjadi akibat deposit sistemik, ditandai dengan
Kristal monosodium adanya artritis erosif pada
urat di jaringan. sendi sinovial

160
EPIDEMIOLO • Usia >65 • Hampir tidak • Pada usia >40 tahun
GI tahun pernah terjadi • Perbandingan pada usia
• Kecenderun pada wanita 30tahun pria:wanita adalah
gan terjadi pramenopause 10:1
pada wanita • pada wanita <60 • Pada usia 65 tahun 1:1
(10:1) thn
• Pada pria 40-50
thn.

ETIOLOGI  Penggunaan  Semua faktor  Diduga merupakan


sendi yang manifestasi respon imun
berlebihan menyebabkan terhadap antigen asing dari
 luka pada hiperurisemia individu-individu dengan
sendi predisposisi genetik.
 Obesitas

DISTRIBUSI  Bilateral  Unilateral ,  Bilateral simetris


atau tersering pada  Lebih sering pada sendi –
unilateral MT-P 1 sendi kecil seperti
 Sendi yg  Monoartikular carpophalangeal dan
menopang atau poliartikular tarsophalangeal
berat badan  poliartikular

GEJALA  Nyeri sendi  Gout sering  Morning stiffnes > 30


KLINIS  Sakit saat bermula pada menit
bergerak. metatarso-  Edema
Membaik phalangeal joint I  Lesu
saat istirahat  Pembengkakan  Awal  asimetris, akhir
 Morning sendi yang sangat  simetris pada sendi
stiffness < nyeri kecil
30 menit  Gout akut dapat
berlanjut menjadi
gout kronis.

GAMBARAN  Penyempita  Asimetrical peri  Terdapat bone


RADIOLOGI n celah articular swelling displacement
sendi  Punch out areas  Terdapat bone erosion
 Peningkatan di ujung tulang  Celah sendi menyempit
densitas  Amorf
(sklerosis) radioopaque
tulang tophi
subkondral  Ujung tulang
 Osteofit erosi dan lisis
pada pinggir  Celah sendi

161
sendi menyempit

H. PENATALAKSANAAN
Secara umum penanganan arthritis gout adalah memberikan
edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan
dilakukan secara dini agar tidak terjadi kerusakan ataupun komplikasi lain
misalnya pada ginjal. Pengobatan arthritis gout akut bertujuan
menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat – obat,
antara lain kolkisin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS),
kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat seperti
alopurinol atau obat urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut.
Namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat,
sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis standar untuk arthritis
gout akut secara oral 3-4 kali, 0,5-0,6 mg per hari dengan dosis maksimal
6 mg. Pemberian OAINS dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis
OAINS yang dipakai. Disamping efek anti inflamasi obat ini juga
mempunyai efek analgetika. Jenia OAINS yang banyak dipakai pada
arthritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200
mg/hari selama 2 – 3 hari dan dilanjutkan 75 – 100 mg/hari sampai
minggu berikutnya atau sampai nyeri atau peradangan berkurang.
Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak
efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian kortikosteroid pada
gout dapat diberikan secara oral atau parenteral. Indikasi pemberian adalah
pada arthritis gout akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada
stadium interkritik dan menahun tujuan pengobatan adalah untuk
menurunkan kadar asam urat, sampai kadar normal, guna mencegah

162
kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet
rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik yang
lain.(3)
I. KOMPLIKASI

a. Nefrolitiasis urat : insiden terbentuknya kembali batu. Insiden


meningkat dengan peningkatan eksresi asam urat. PH urine menurun,
riwayat keluarga atau diri sendiri pernah memiliki batu asam urat.

b. Gagal ginjal akut : dapat terjadi setelah pelepasan massif asam urat yang
berlansung pada pasien yang telah mengalami pengobatan karena
kelainan mielo- atau limfoproliferatif.

J. PROGNOSIS
Lebih dari 50% orang yang telah terkena serangan artritis gout
akan mucul kembali biasanya dalam waktu enam bulan sampai dua tahun.
Bagi orang-orang dengan penyakit yang lebih berat, pengobatan jangka
panjang pencegahan sangat efektif untuk menurunkan asam urat, yang
dapat mencegah serangan dan, selama bulan sampai tahun, menyebabkan
tophi untuk menyelesaikan.(15)

163
DAFTAR PUSTAKA

1. Price S, Wilson L. 2010. Gout. In buku Patofisiologi. Ed 6 vol.2 Penerbit


buku kedokteran , Jakarta. p: 1402 – 1406
2. Misnadiarly. 2007. Penyakit – penyakit akibat hiperurisemia. Rematik :
asam urat, hiperurisemia, artritis gout. Pustaka Obor Populer. Jakarta. p:
19 – 39
3. Stefanus, E.I., 2006, Arthritis Gout. In Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta,. p:1218 – 1220
4. Mansjoer,A.,dkk, 2004. Reumatologi. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
ketiga Jilid 1 Cetakan Keenam. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. p: 542
– 546
5. Robbins kumar. 2007. Sistem Muskuloskeletal. In Buku Ajar Patologi. Edisi
2. Penerbit buku kedokteran, Jakarta. p: 863 – 869
6. Rozbruch DJ. Orthopaedic Surgery. 2011. Available at
http://www.orthopaedicsurgerynyc.com/default.html. diakses 13 november
2012
7. Sommer OF, Kladosek A, Weiller V, Czembirek H, Boeck M, and Stiskal
S. 2005. Rheumatoid Arthritis: A Practical Guide to State-of-the-Art
Imaging, Image Interpretation, and Clinical Implications. Austria:
RadioGraphics;.p.381-398
8. Efa May. Gambar Artritis Gout. Available at
http://www.orthopaedicsurgerynyc.com/default.html diakses 13 november
2012
9. Smelser C. Gout Imaging. 2011. available at
.http://emedicine.medscape.com/article/389965-overview#a19 diakses
tanggal 13 november 2012
10. Departement of Radiology. Muskuloskeletal Radiology.available at
http://www.rad.washington.edu/academics/academic-

164
sections/msk/teaching-materials/online-musculoskeletal-radiology-
book/appendicular-arthritis diaksestanggal 13 november 2012
11. Dr. Maulik S Patel. Gout. 2010. Available at
http://radiopaedia.org/images/494592 diakses 13 november 2012
12. Sawas N. Dual Source CT - Gout Imaging with Dual Energy. 2007.
Available at http://healthcare.siemens.com/computed-
tomography/case-studies/dual-source-ct-gout-imaging-with-dual-
energy diakses tanggal 13 november 2012
13. Perez-Ruiz. 2009. Arthritis research & therpary. Available at:
http://arthritis-research.com/content/11/3/232/figure/F2?highres=y diakses
13 november 2012

14. Ashman CJ, Klecker RJ, Yu JS. 2001. Forefoot pain involving the
metatarsal region: differential diagnosis with MR imaging. RadioGraphics
p;21: 1425–1440.
15. Yu JS, Tanner JR. 2002. Considerations in metatarsalgia and midfoot
pain: an MR imaging perspective. Semin Musculoskelet Radiol p;6:91–
104.

16. Anonymus. Available at

http://reference.medscape.com/features/slideshow/diseases-plain-
radiography diakses 13 november 2012

17. Shiel CW. Pseudogout. Available at :


http://reference.medscape.com/features/slideshow/diseases-plain-
radiography di akses 13 november 2012

18. Eisenberg RL and Johnson NM, editors. Comprehensive Radiographic


Pathology 4th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2003.p.1134-5

165
REFERAT

TUMOR PANKREAS

Disusunoleh:

Magindra Nursani Afifa


NPM. 110170049

Pembimbing :

dr. Hj. Farida YunusDahlan, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RSUD WALED CIREBON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON

2018

166
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa
karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas referat ini.

Referat ini mengulas tentang Tumor Pankreas yang meliputi anatomi,


fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi. Diharapkan
dengan mengetahui tentang Tumor Pankreas dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa program pendidikan profesi dokter.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Farida Yunus Dahlan,
Sp. Rad, selaku konsulen yang telah membimbing saya dalam proses diskusi, tak
lupa penulis ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyusun referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmuradiologi sebagai bekal kedepannya.
Dan tentunya referat ini masih sangat jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik dan masukan yang membangun demi perbaikan pembuatan
referat dimasa yang akan datang.

Cirebon, Februari 2018

Penulis

167
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tumor pankreas merupakan jenis tumor yang dapat mengenai
pankreas baik jaringan eksokrin maupun endokrin pankreas, serta jaringan
penyangganya yang dapat terjadi jinak ataupun ganas. Kebanyakan untuk
jenis tumor eksokrin pankreas berasal dari sel duktus dan sel asiner, 90%
nya merupakan tumor ganas jenis adenokarsinoma duktal pankreas yang
merupakan neoplasma primer dimana frekuensinya 80% dari semua
keganasan pankreas dan 90% dari keganasan tumor epithelial.1,2,3
Sebagian besar dari karsinoma pankreas terjadi di caput pankreas
(75%), sisanya ditemukan di corpus (15%). Kanker pankreas sangat sulit
untuk didiagnosa pada stadium awal, gejala asimptomatik, lambat dengan
pertumbuhan cepat sehingga disebut silent killer. Karsinoma pankreas
merupakan Janis yang agresif cenderung mengobstruksi duktus yang
berdekatan, pembuluh darah, dan struktur yang berdekatan seperti
perivaskular, perineural, dan penyebaran limfatik. Metastasis juga meluas
sampai ke limfonodi, hepar dan peritoneum. Median survival kira-kira 4
bulan setelah terdiagnosa dengan prognosis buruk. 4,5,6
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan penunjang yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis dari tumor pankreas. Dapat
dilakukan pemeriksaan radiologi mulai dari foto polos abdomen,
ultrasonografi, hingga CT Scan pankreas hingga terdiagnosis nya suatu
kejadian dari tumor pankreas.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran pemeriksaan radiologi dalam mendiagnosis tumor
pankreas

1.3 Tujuan Makalah


Untuk mengetahui gambaran pemeriksaan radiologi dalam mendiagnosis
dari tumor pankreas.

168
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 AnatomiPankreas
Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang dan
tebal sekitar 12,5 cm dan tebal 2,5 cm (pada manusia). Pankreas terbentang
dari atas sampai ke lengkungan besar dari perut dan biasanya dihubungkan
oleh dua saluran ke duodenum (usus 12 jari), terletak pada dinding posterior
abdomen di belakang peritoneum sehingga termasuk organ retroperitonial
kecuali bagian kecil caudanya yang terletak dalam ligamentum
lienorenalis.Strukturnya lunak dan berlobulus.
1. Bagian Pankreas
Pankreas dapat dibagi ke dalam:
a. Caput Pancreatis, berbentuk seperti cakram dan terletak di dalam
bagian cekung duodenum. Sebagian caput meluas di kiri di belakang
arteri dan vena mesenterica superior serta dinamakan Processus
Uncinatus.
b. Collum Pancreatis merupakan bagian pancreas yang mengecil dan
menghubungkan caput dan corpus pancreatis. Collum pancreatis
terletak di depan pangkal vena portae hepatis dan tempat
dipercabangkannya arteria mesenterica superior dari aorta.
c. Corpus Pancreatis berjalan ke atas dan kiri, menyilang garis tengah. Pada
potongan melintang sedikit berbentuk segitiga.
d. Cauda Pancreatis berjalan ke depan menuju ligamentum lienorenalis dan
mengadakan hubungan dengan hilum lienale.

169
Gambar 1. Bagian-bagian Pankreas

2. Hubungan
a. Ke anterior: Dari kanan ke kiri: colon transversum dan perlekatan
mesocolon transversum, bursa omentalis, dan gaster.
b. Ke posterior: Dari kanan ke kiri: ductus choledochus, vena portae
hepatis dan vena lienalis, vena cava inferior, aorta, pangkal arteria
mesenterica superior, musculus psoas major sinistra, glandula
suprarenalis sinistra, ren sinister, dan hilum lienale.
3. Vaskularisasi
a. Arteriae
 A.pancreaticoduodenalis superior (cabang A.gastroduodenalis )
 A.pancreaticoduodenalis inferior (cabang A.mesenterica cranialis)
 A.pancreatica magna dan A.pancretica caudalis dan inferior cabang
A.lienalis
b. Venae
Venae yang sesuai dengan arteriaenya mengalirkan darah ke sistem
porta.
4. Aliran Limfatik
Kelenjar limfe terletak di sepanjang arteria yang mendarahi kelenjar.
Pembuluh eferen akhirnya mengalirkan cairan limfe ke nodi limfe coeliaci
dan mesenterica superiores.

170
5. Inervasi
Berasal dari serabut-serabut saraf simpatis (ganglion seliaca) dan
parasimpatis (vagus).
6. Ductus Pancreaticus
a. Ductus Pancreaticus Mayor (Wirsungi)
Mulai dari cauda dan berjalan di sepanjang kelenjar menuju ke caput,
menerima banyak cabang pada perjalanannya. Ductus ini bermuara ke
pars desendens duodenum di sekitar pertengahannya bergabung
dengan ductus choledochus membentuk papilla duodeni mayor Vateri.
Kadang-kadang muara ductus pancreaticus di duodenum terpisah dari
ductus choledochus.
b. Ductus Pancreaticus Minor (Santorini)
Mengalirkan getah pancreas dari bagian atas caput pancreas dan
kemudian bermuara ke duodenum sedikit di atas muara ductus
pancreaticus pada papilla duodeni minor.
c. Ductus Choledochus et Ductus Pancreaticus
Ductus choledochus bersama dengan ductus pancreaticus bermuara ke
dalam suatu rongga, yaitu ampulla hepatopancreatica (pada kuda).
Ampulla ini terdapat di dalam suatu tonjolan tunica mukosa
duodenum, yaitu papilla duodeni major. Pada ujung papilla itu
terdapat muara ampulla. 7

Gambar 2. Ductus Pancreaticus pada Pankreas

171
II.2 Definisi dan Epidemiologi
Kanker pankreas merupakan neoplasma ganas yang berasal dari
perubahan sel pada jaringan pankreas. Tipe yang paling sering (95%) adalah
adenokarsinoma yang berasal dari komponen eksokrin pankreas. Minoritas
berasal dari sel islet dan diklasifikasikan sebagai tumor neuroendokrin.
Neoplasma dari kelenjar eksokrin seperti pankreas biasanya ganas.8
Insiden karsinoma pankreas 7,6 per 100 ribu pertahun di Eropa
Barat,kira-kira 2,5% dari semua kasus baru yang terdiagnosa tumor dan 5%
dari semua kanker. Kanker pankreas merupakan penyebab nomor empat yang
menyebabkan kematian di Amerika dan ke delapan diseluruh dunia.
Mayoritas berasal dari duktus (85%) dimana pria dibanding wanita 1,5 : 1
dengan usia antara 60-70 tahun. The American Cancer Society mengestimasi
tahun 2010 kira-kira 43.140 kasus baru dari kanker pankreas (21.370 pria dan
21.770 wanita) terdiagnosa dan 36.800 orang meninggal karena kanker
pankreas. Insiden Internasional di dunia menempati urutan ke-13 dan
menempati urutan ke-8 yang menyebabkan kematian. Negara lain 8-12 kasus
per 100.000 orang pertahun. Insiden karsinoma pankreas 7,6 per 100.000
pertahun di Eropa Barat, kira-kira 2,5% dari semua kasus tumor baru yang
terdiagnosa dan 5% dari semua kanker. Lebih sering terjadi pada laki-laki
(1,5: 1) dengan usia antara 60-70 tahun. 4,6

II.3 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari kanker pankreas masih belum jelas.
Penelitian epidemiologik menunjukkan adanya hubungan kanker pankreas
dengan beberapa faktor eksogen (lingkungan ) dan faktor endogen pasien.
Etiologi kanker faktor eksogen contohnya kebiasaan merokok, diet tinggi
lemak, alkohol, kopi, dan zat karsinogen industri. Faktor endogen pasien
seperti usia, penyakit pankreas (pankreatitis kronis dan diabetes mellitus) dan
mutasi genetik. Insiden kanker meningkat pada usia lanjut.8,9

172
II.4 Patofisiologi
Sesuai dengan model patogenetik, normal duktal epitelium dapat
berkembang sampai tahap subsekuen kedalam kanker invasif. Normal sel
kuboid berkembang ke dalam flat hiperplasia (PIN IA) kemudian duktal
hiperplasia dengan pseudostratified arsitektur (PIN IB), hiperplasia dengan
atipia (PIN 2) dan berakhir menjadi karsinoma insitu, (PIN 3). PIN 3
berhubungan dengan suatu resiko tinggi dari perkembangan suatu karsinoma
invasif. Onkogen yang berbeda dapat teraktivasi. Berhubungan dengan suatu
reaksi desmoplastik intense dan meluas mengobstruksi duktus pankreatikus
yang berikut ke hulu terjadi dilatasi duktus dan atrophy parenkim. Jika
berasal dari kaput biasanya duktus biliaris dapat mengalami stenosis, dengan
dilatasi biliari tree. Kanker pankreas mempunyai profil imunohistologi kimia
yang mirip dengan kanker hepatobilier (yaitu cholangiocarcinoma) dan
beberapa kanker lambung, jadi mungkin tidak selalu dapat dipastikan bahwa
tumor yang ditemukan di pankreas muncul dari pankreas itu sendiri. Lesi
pencetus yang berkaitan dengan tumor pankreas , tumbuh dari epitel duktal
pankreas.Bentuk morfologi utama adalah pankreatik intraepitelial neoplasia
(PIN). Lesi ini timbul dari mutasi genetik spesifik dan perubahan seluler yang
semuanya berkontribusi terhadap berkembangnya karsinoma duktal invasif.
Perubahan awal berkaitan dengan mutasi gen KRAS 2 dan pemendekan
telomere. Kemudian P 16/CDKN 2A diinaktifkan, sehingga terjadi inaktivasi
TP53 dan MAD4. Mutasi ini berhubungan dengan perkembangan displasia
dan berkembangnya duktal karsinoma eksokrin pankreas.8,10

II.5 Gejala Klinis

Gejala awal kanker pankreas tidak spesifik dan samar sehingga sering
terlambat didiagnosis, akibatnya penyakit menjadi lanjut, penanganan sulit
dan angka kematian tinggi. Gejala awal dapat berupa rasa penuh, kembung di
ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare dan badan lemah. Keluhan ini tidak
khas, karena dapat dijumpai juga pada pankreatitis dan tumor intraabdominal

173
lainnya. Keluhan awal biasanya lebih dari 2 bulan sebelum didiagnosa
sebagai kanker.1

Gejala klinis awal mulai terlihat pada massa yang berasal dari kaput
pankreas dengan ukuran diameter lebih kecil dari 2-3 cm pada saat
didiagnosis, pada korpus dan tail diameter 5-7 cm. Obstruksi jaundice,
dengan pasase atau aliran urine yang gelap, dan kotoran yang pucat
merupakan gambaran klinis yang sering terjadi pada karsinoma kaput
pankreas, biasanya progresif, pruritus yang mengganggu, kandung empedu
biasanya palpabel, pada pasien dengan dengan obstruktive jaundice,
berhubungan dengan kanker pankreas. Penurunan berat badan bervariasi, bisa
sampai sekitar 44 kg, karena intake yang inadekuat dan malabsorpsi serta
penurunan fungsi liver. Nyeri abdomen kira-kira 70% pada saat
terdiagnosis, infiltrasi dari neoplasma dapat menyebabkan back pain
menunjukkan prognosis yang buruk. Diabetes mellitus atau kelainan glukosa
toleran terdapat pada sepertiga pasien. Terdapat steatore dan kegagalan
absorpsi lemak menyebabkan koagulopathy. 9,11

Tanda klinis sangat tergantung pada letak tumor dan perluasan atau
stadium kanker. Pasien umumnya gizi kurang, anemik, ikterik, teraba tumor
massa padat pada epigastrium, sulit digerakkan karena letak tumor di
retroperitoneum. Dapat dijumpai ikterus dan massa yang dapat dipalpasi di
sekitar kandung empedu pada pasien dengan jaundice diduga sebagai
obstruksi neoplastik pada banyak duktus (Courvoisier Sign) yang disebabkan
oleh kanker pankreas, ditemukan pada separuh kasus, hepatomegali,
splenomegali, ascites. Kelainan lain terdapat nodul periumbilikus (Sister
Mary Joseph’s nodule), trombosis vena danmigratory thrombophlebitis
(Trousseau’s syndrome), perdarahan gastrointestinal dan edema tungkai.1,11

174
II.6 Diagnosis

Diagnosis tumor pankreas dapat dilakukan dengan anamnesa,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan penanda tumor, biopsi
patologi anatomi dan pemeriksaan imaging, seperti maagduodenografi,
ultrasonografi, CT-Scan, skintigrafi pankreas, MRI dan ERCP, endoskopik
ultrasonografi, angiografi, PET.

1. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

Anamnesa pada awal kanker pankreas tidak spesifik dan samar,


sehingga sering terabaikan oleh dokter dan pasien, akibatnya terlambat
terdiagnosis sehingga pengobatan sulit dilakukan dan menyebabkan angka
kematian tinggi. Gejala awal kanker pankreas yaitu rasa penuh, kembung
di ulu hati, anoreksia, mual, muntah, diare (steatore), dan badan lesu.
Gejala awal tersebut tidak khas dan sering dijumpai pada pankreatitis,
tumor intraabdominal lainnya, dan penyakit gangguan saluran pencernaan.
Keluhan utama yang sering dijumpai pada kanker pankreas adalah sakit
perut, berat badan turun (lebih 75% kasus), dan ikterus, keluhan utama ini
mencolok pada stadium lanjut.
a. Sakit perut
Keluhan yang paling sering dijumpai adalah sakit perut,
hampir 90% kasus dengan sakit perut dan 80% kasus sebagai
keluhan utama. Lokasi sakit perut biasanya adalah ulu hati, awalny
difus dan selanjutnya lebih terlokalisir. Skit perut disebabkan oleh
invansi tumor pada pleksus coeliac dan pleksus mesentrik superior.
Rasa sakit dapt menjalar ke belakang punggung pasien karena
invansi ke retroperitoneal dan terjadi infiltasi pada pleksus saraf
splanknikus.
b. Berat badan turun
Penurunan berat badan pad pasien terjadi pada walnya secara
bertahap dan kemudian progresif. Penurunan berat badan dapat

175
disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah asupan makanan
yang kurang, malabsorbsi lemak dan protein, peningkatan kadar
sitokin pro-inflamasi.
c. Ikterus
Ikterus berupa ikterus obstrukstif yang disebabkan oleh
sumbatan saluran empedu oleh tumor, dijumpi pada 80-90% kanker
kaput pankreas dan sering terjadi lebih awal. Pada 6-13% kasus,
ikterus dapat terjadi akibat kanker dibadan dan ekor pankreas
stadium lanjut, akibat metatasis di hati atau limfonodi di hilus yang
menekan saluran empedu. Ikterus obstruktif pada kanker kaput
pankreas biasanya disertai dengan sakit perut, tetapi bukan kolik.
Berbeda dengan ikterus tanpa nyeri yang sering pada kanker duktus
kledukus atau kanker ampula vateri.

Pemeriksaan fisik pada kanker pankreas sangat tergantung pada


letak tumor dan perluasan/stadium kanker. Pasien pada umumnya dengan
gizi kurang, disertai anemik, dan ikterik (terutama pada kanker kaput
pankreas). Pada pemeriksaan abdomen, teraba massa padat pada
epigastrium, sulit digerakkan karena tumor terletak retroperitoneum. Dapat
dijumpai ikterus dan pmebesaran kantung empedu (Courvoisier’s sign),
hepatomegali, splenomegali (karena kompresi atau trombois pada vena
porta atau vena lienalis atau akibat metatasis), asites (karena
invansi/infiltrasi kanker ke peritoneum). Temuan klinis yang kadang dapat
ditemukan adalah hepatomegali yang keras dan berbenjol (metatasis hati),
nodul periumbilikus (Sister /mary Joseph’s nodule), trombosis vena dan
migratory thrombophlebitis (Trousseau’s syndrome), perdarahan
gastrointestinal (karena erosi duodenun atau perdarahan varises), dan
edema tungkai (karena obstruksi vena kava inferior).

Penetuan stadium kanker pankreas juga merupakan faktor yang


sangat penting untuk memilih jenis terapi dan menilai prognosis penyakit.

176
Adapun standarisasi penentuan stadium kanker yang digunakan yaitu
sistem TNM dari The American Joint Committee on Cancer (AJCC). 12
1) Kategori T
a) Tx : Tumor utama tidak dapat dinilai.
b) T0 : Tidak ada bukti adanya tumor primer.
c) Tis :Carsinoma in situ
d) T1 : Kanker belum menyebar keluar pankreas dan ukurannya
kurang dari 2 cm.
e) T2 : Kanker belum menyebar keluar pankreas namun, ukurannya
lebih dari 2 cm.
f) T3 : Kanker telah menyebar keluar dari pankreas ke jaringan
sekitarnya namun, belum sampai ke pembuluh darah besar atau
saraf.
g) T4 : Kanker telah menyebar hingga ke pembuluh darah besar atau
saraf.
2) Kategori N
a) Nx : Pembesaran kelenjar limfe regional tidak dapat dinilai.
b) N0 : Tidak ditemukan pembesaran kelenjar limfe regional.
c) N1 : Kanker telah menyebar ke kelenjar limfe regional.
3) Kategori M
a) M0 : Kanker tidak menyebar ke kelenjar limfe lain atau organ
lain (seperti hepar, paru-paru, otak, dan lain sebagainya).
b) M1 : Ditemukan adanya metastasis.
Penentuan stadium berdasarkan system TNM 12 :
4) Stadium 0 (Tis, N0, M0)
a. Tumor hanya terdapat pada bagian atas sel pankreas dan tidak
menginvasi jaringan yang lebih dalam. Tidak terdapat penyebaran
keluar pankreas.

5) Stadium IA (T1, N0, M0)

177
a. Tumor berukuran kurang dari 2 cm dan tidak terdapat penyebaran
ke kelenjar limfe dan organ lainnya.
6) Stadium IB (T2, N0, M0)
a. Tumor berukuran lebih dari 2 cm dan tidak terdapat penyebaran
ke kelenjar limfe dan organ lainnya.
7) Stadium IIA (T3, N0, M0)
a. Tumor telah menyebar dan berkembang ke bagian luar pankreas.
Tidak ditemukan pembesaran kelenjar limfe regional.
8) Stadium IIB (T1-3, N1, M0)
a. Tumor telah menyebar dan berkembang ke bagian luar pankreas
namun, tidak sampai ke pembuluh darah besar atau saraf terdekat.
Dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe regional.
9) Stadium III (T4, Any N, M0)
a. Tumor telah menyebar dan berkembang ke pembuluh darah besar
atau saraf terdekat. Dapat ditemukan pembesaran kelenjar limfe
regional.
10) Stadium IV (Any T, Any N, M1)
a. Tumor telah menyebar ke berbagai tempat.

2. Pemeriksaan Penunjang
1). Laboratorium
a. CA 19-9 & CEA
Banyak pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan sebagai
petanda kanker pankreas. Namun, oleh karena sensitivitas dan
spesifitas pada pemeriksaan CA 19-9 dan CEA terhadap kanker
pankreas cukup baik maka, kedua pemeriksaan inilah yang sering
digunakan.CA 19-9 merupakan suatu substansi yang dihasilkan oleh
sel-sel kanker kelenjar eksokrin pankreas dan dapat dideteksi pada
pemeriksaan darah. Namun, pemeriksaan CA 19-9 sulit dideteksi pada
kanker stadium dini sehingga tidak direkomendasikan untuk skring
rutin pada penderita yang asimtomatik. Pemeriksaan CA19-9 sering

178
digunakan untuk menilai hasil terapi serta rekurensi kanker pankreas
setelah terapi.12
CEA (Carcinoembryonic antigen) merupakan suatu substansi yang
juga dapat mendeteksi adanya kanker pankreas pada beberapa orang.
Tapi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitive untuk mendeteksi kanker
pankreas pada stadium dini dan juga tidak direkomendasikan sebagai
pemeriksaan untuk skrining. 12
b. Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah didapatkan peningkatan kadar bilirubin
yang diakibatkan adanya massa pada pancreas yang menekan sistem
biliari. Selain itu pada pemeriksaan gula darah, kanker pankreas
dapat menyebabkan kadar gula darah yang tinggi, hal ini disebabkan
oleh kerusakan sel-sel penyekresi insulin. Namun, kadar gula darah
yang tinggi tersebut seringkali tidak memberikan gejala seperti pada
diabetes sehingga baru diketahui pada saat pemeriksaan darah. 9

2). Gambaran Radiologis

a. Oesophagomaagduodenografi (OMD)
Radiografi polos tidak memiliki peran dalam menegakkan
diagnosa tumor pankreas. Kalsifikasi pankreas dapat terlihat
secara bersamaan pada sekitar 2% pasien yang memiliki
pankreatitis kronis yang dipersulit oleh tumor pankreas.
Studi barium atas GI dapat mengungkapkan kesan ekstrinsik
massa pada aspek posteroinferior dari antrum perut. Ini dikenal
sebagai tanda antral pad. Batas medial duodenum turun dapat
ditarik medial pada tingkat ampula, membentuk penampilan
terbalik-3. Ini dikenal sebagai Reversed 3 sign yang terdapat pada
caput pankreas. Infiltrasi mukosa duodenum dapat menyebabkan
munculnya spikulasi dengan ketidakteraturan dan penebalan
mukosa duodenum. Pergeseran gaster jika bergeser >1 vertebra

179
pada cauda pankreas. Massa nodular dengan karsinoma ampulari
dapat diamati.
Studi enema barium dapat menunjukkan hilangnya pola
kelenturan normal dari padatan haustral di sepanjang kolon
transversal. Studi dapat menunjukkan infiltrasi usus besar dengan
kontur yang tidak beraturan atau bergerigi sampai ke batas usus di
sepanjang kolon transversal, sampai tingkat lentur limpa.
Tethering margin usus besar atau kolon kecil yang mengakibatkan
asimetri dapat terjadi akibat pemberian karsinoma pankreas
intraperitoneal.
Pemeriksaan radiologi yang sederhana yaitu
OesophagoMaagDuodenography (OMD). OMD adalah
pemeriksaan secara radiografi dengan menggunakan media
kontras ( positif dan negative ) untuk menampakkan kelainan
pada lambung. Biasanya merupakan pemeriksaan satu paket
dengan Oesophagus dan Duodenum.

b. Ultrasonografi (USG)
Karsinoma pankreas gambarannya berupa massa hipoekoik
dimana morfologi kelenjar menjadi rusak. Massa homogen
biasanya lebih terlihat dibanding massa yang heterogen. Kira-kira
10% tidak menyebabkan abnormalitas kontur kelenjar, dan
tervisualisasi hanya karena ekogenisitas tumor berbeda dari
pankreas normal. Adakalanya karsinoma pankreas hiperekoik.
Lebih dari 60% karsinoma terjadi pada kaput pankreas, 5%
difus dan 35% ditemukan pada tail atau korpus. Kalsifikasi terjadi
5% dari massa, biasanya fokal dan scattered, Kista intralesi yang
kecil terjadi 15% dari pasien. Pseudocyst berhubungan dengan
obstruksi dari suatu duktus pankreas terjadi kira-kira 5-10%
pasien. Atrophy glandular terjadi karena obstruksi yang
disebabkan oleh tumor. 9,13

180
Pada direct sign, Penemuan yang paling sering pada
karsinoma pankreas yaitu poorly defined, massa hipoechoic
homogen atau inhomogen pada pankreas atau fossa pankreas.
Ketika terdapat massa yang isoekoik perhatikan ukuran pankreas
dan adanya nodularitas kontur pankreas. Pada prosessus uncinatus
terdapat suatu massa yang berubah konturnya, adanya gambaran
massa yang berlobulasi dapat membantu. Pada saat didiagnosa
karsinoma pankreas biasanya ukurannya lebih dari 2 cm.
Biasanya ukuran menjadi lebih besar pada hasil operasi dibanding
penemuan ultrasonografi. 13,14

Pada indirect sign terdapat dilatasi dari duktus pankreatikus


proksimal sampai massa pankreas. Duktus pankreas normal
ukurannya kurang dari 2-3 mm dengan dinding paralel dan lurus,
ketika terjadi obstruksi terdapat turtous dan meruncing ke ujung.
Penemuan dilatasi duktus pankreas penting untuk diobservasi
karena dapat mendeteksi adanya kemungkinana kanker pankreas
yang kecil. Dilatasi duktus biliaris biasanya terlihat dengan lesi
pada caput pankreas. Obstruksi bisa terjadi di caput, diatas caput,
atau di porta hepatis, tergantung dari perluasan lesi atau
berhubungan dengan lymphadenopati. Terhentinya secara
mendadak dari dilatasi duktus biliaris diduga kuat sebagai suatu
malignancy. Tebal, ekogenik sludge dalam duktus biliaris
komunis proksimal ke suatu tumor dan bisa terdapat sludge yang
tebal pada gallbladder, massa juga sering meluas ke dalam duktus
biliaris. Pembesaran dari duktus biliaris komunis, duktus
pankreas, atau keduanya. Double duct sign (kombinasi dilatasi
dari duktus pankreas dan duktus biliaris komunis) juga terlihat
pada adenokarsinoma pankreas. Pergeseran dan keterlibatan
struktur vaskuler yang berdekatan mungkin terjadi. Kompresi dari
vena cava inferior oleh kaput pankreas merupakan indikasi
adanya lesi massa. Atrophy dari gland bagian proksimal dengan

181
obstruksi massa pada kaput pankreas hipoekoik atau hiperekoik.
9,13,14

Gambar 3. Gambaran USG pada pankreas normal

Gambar 4. Gambaran USG pada adenokarsinoma pankreas.

c. Endoskopik sonografi
Endoskopik sonografi (EUS) adalah metode pemeriksaan
yang cukup akurat untuk mendiagnosa tumor pankreas dan
stadium lokal. Untuk mendeteksi tumor dengan ukuran < 3cm,
dilaporkan endosonografi ini lebih sensitif daripada CT scan.
Pemeriksaan dilakukan dengan memakai probe 25mm dengan
frekuensi 7,5 –12 MHz. Probe dimasukkan sejauh mungkin
kedalam duodenum dan diposisikan sedemikian rupa untuk dapat
melihat keseluruhan target organ. Saat alat ditarik ke bulbus
duodeni dapat terlihat kaput pankreas, v. porta dan daerah

182
sekelilingnya. Sedangkan untuk melihat korpus, kauda, v. lienalis
dan trunkus coeliakus skanning dilakukan dari korpus dan fundus
gaster. Gambaran yang diperoleh berupa; massa hipoekoik
dengan atau tanpa batas yang jelas, disertai kontur yang irreguler.

Gambar 5. Gambar EUS adenokarsinoma pankreas

Gambar 6.Gambaran EUS pada adenokarsinoma pada saat


pengambilan sampel biopsi dengan panduan EUS.
d. Intravaskular Ultrasonography (IVUS)
Intravascular Ultrasonografi (IVUS) adalah teknik yang
relatif baru, dimana probe USG dengan frekuensi tinggi dalam
kateter dengan diameter kecil dimasukkan kedalam lumen
vaskular. Teknik ini merupakan teknik yang paling sering
digunakan untuk mengevaluasi atherosklerotik pada a. koroner

183
dan arteri-arteri perifer. IVUS dilakukan dengan memakai kateter
berdiameter 6,2F (2mm), transducer 20MHz dengan lapang
pandang 30mm. Tumor dikatakan mengenai v. porta jika tampak
bersatu dengan dinding vena dan/atau menonjol kedalam lumen,
dan jika tumor menempel pada dinding vena tanpa dipisahkan
oleh jaringan normal diantaranya. Pankreas normal tampak
sebagai jaringan dengan intensitas echo sedang, sementara lemak
periporta dan dinding vena porta tampak hiperechoic

e. CT-Scan
Pada pemeriksaan CT yang perlu diperhatikan adalah
perubahan bentuk dan ukuran, perubahan attenuasi, obliterasi
peripankreatik fat serta hilangnya struktur normal disekitarnya.
CT scan juga dapat melihat infiltrasi ke kelenjar getah bening,
dilatasi duktus pankreatikus, kista pankreas dan obstruksi duktus
koledokus. Perubahan bentuk dan kontur tampak pada 95% kasus
keganasan pankreas. Lesi bervariasi bisa berbentuk massa fokal
atau eksentrik, permukaan yang halus atau lobulated dan difus.
Adanya nekrosis pada tumor pankreas harus dibedakan dengan
pseudokista pada pankreatitis. Umumnya pada tumor pankreas,
nekrosis tampak berdinding tebal dengan attenuasi central yang
lebih tinggi. Sementara pada pseudokista pankreatitis, tampak
berbatas tegas dengan attenuasi yang lebih rendah dan homogeny

184
Gambar 7. Gambaran CT scan pada karsinoma pankreas berupa massa
yang hipodens, poorly enhance fokal area dibanding jaringan yang
pankreas normal pada pemberian kontras CT, illdefined, 10-15% isodens
sehingga sulit dideteksi. Tumor ukuran kurang dari 2 cm sulit dideteksi.
Terdapat indirect sign berupa double duct sign, atrophy tail pankreas dan
gambaran caput yang membesar.

II.7 Diagnosis Banding


a. Pancreatic cyst
Pancreatic cyst dapat bersifat neoplastic maupun bukan. Pada kista
yang berukuran <2cm, sering tidak memberikan gejala namun, jika
berukuran besar akan memberikan gejala berupa nyeri abdomen yang
dapat menembus ke belakang. Kista yang berukuran besar pada kaput
pankreas juga memberikan gejala ikterus obstruktif akibat penekanan
pada ductus biliaris. Selain itu, cyst yang besar juga dapat menekan organ
abdomen lainnya yang menyebabkan rasa penuh hingga muntah.
Pancreatic cyst biasanya disebabkan oleh pancreatitis akut. Pancreatic
cyst dapat dibedakan dengan kanker pancreas melalui pemeriksaan EUS,
pemriksaan histopatologi, dan analisa cairan kista. 15

185
b. Choledocholithiasis
Choledocholithiasis memberikan gejala jika batu telah berada pada
common bile duct. Adapun gejala yang ditimbulkan dapat berupa nyeri
kolik dan ikterus obstruktif akibat stagnasi aliran empedu.
Choledocholithiasis yang berlansung lama dapat memicu terjadinya
pancreatitis yang menjadi faktor resiko terjadinya kanker pancreas.
Choledocholithiasis dapat dibedakan dengan kanker pancreas, melalui
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan USG, CT-Scan. 15

c. Kanker hati
Kanker hati seringkali memberikan gejala yang tidak spesifik.
Gejala yang sering tampak adalah kelemahan, fatigue, nyeri abdomen,
penurunan berat badan, dan penurunan nafsu makan. Kanker hati juga
memberikan gejala ikterus, tanda-tanda perdarahan, hipoalbuminemia,
dan lain sebagainya. Selain itu, peningkatan AFP dan CA 19-9 juga
terdapat pada kanker hati. Kanker hati dapat dibedakan dengan
kankerpankreas melalui pemeriksaan fisis, USG abdomen, CT-Scan
abdomen, dan lain sebagainya. 15

II.8 Tatalaksana

Tatalaksana kanker pankreas saat ini memiliki 3 modalitas terapi, yaitu:

1. Bedah

Bedah pada kanker pankreas dapat dilakukan dengan dua cara: bedah
reseksi komplit dan bedah paliatif2. Pilihan reseksi bedah currative untuk
kanker pankreas termasuk pancreaticoduodenectomy (prosedur Whipple),
pancreatectomy distal, dan pancreatectomy total. Pancreatectomy total
adalah terapi yang paling efektif , tetapi hanya dapat diterapkan pada
sekitar 10-20 % kasus saja, yang tidak memiliki bukti metastasis
ditemukan di dada pemeriksaan X-ray dan perut-panggul CT scan.
Metastasis telah terjadi di sebagian besar kasus kanker pankreas saat

186
diagnosis ditegakkan, yaitu 40% telah berada di stadium lanjut secara
lokal, baik dioperasi atau tidak (ada keterlibatan mesenterika arteri
superior, vena mesenterika superior, sumbu celiac, vena cava inferior dan
aorta), 40 % mengalami metastasis visceral. Namun, tingkat 5 tahun
kelangsungan hidup setelah reseksi total hanya 10 % 1. Sebagian besar
pasien (85-90 %) hanya dapat di lakukan bedah paliatif yaitu dengan
membebaskan obstruksi bilier dengan cara bedah pintas bilier,
pemasangan sten perkutan dan perendoskopik.Adenokarsinoma pankreas
tidak direseksi dengan pertinbangan pada kasus dimana invasi
ekstrapankreas dari pembuluh darah mayor seperti arteri celiakus, arteri
hepatika, vena porta, SMA, atau SMV, invasi vena massive dengan
trombosis atau metastasis jauh ke liver, limfonodi regional, dan
peritoneum. Suatu tumor dengan invasi yang terbatas kedalam SMV dapat
diklasifikasikan sebagai resectabel1,2. Pasien dengan metastasis jauh dapat
dipertimbangkan untuk tindakan radiasi dan kemoterapi meskipun regimen
kemoterapi untuk adenokarsinoma pankreas adalah dengan 5 fluorourasil
(5 FU) atau gemcitabine, memberikan hanya sedikit keuntungan dan
memberikan sedikit perbaikan dalam kualitas hidup.

2. Kemoterapi

Kemoterapi pada kasus metastasis luas telah memberikan hasil yang


kurang memuaskan. Kemoterapi tunggal maupun kombinasi tidak berhasil
memperpanjang usia pasien dan atu meningkatkan kualitas hidupnya.
Beberapa agen kemoterapi utama yang telah sering digunakan adalah 5-
fluorouracil (5- FU), mitomisin C dan gemcitabine 1,2. 5-FU adalah analog
pirimidin yang dapat menghambat sintesis asam deoksiribonukleat (DNA)
dan asam ribonukleat (RNA). 5-fluorouracil dan mitomisin C dapat
memperkecil besar tumor, akan tetapi hanya dapat memperpanjang usia
pasien kurang lebih 20 minggu. Gemcitabine adalah deoxycytidine analog
antimetabolit. Saat ini, gemcitabine adalah kemoterapi standar pilihan
untuk kanker pankreas. Gemcitabine dapat mengurangi keluhan (kontrol

187
rasa nyeri), meningkatkan penampilan dan berat badan pasien, akan tetapi
perpanjang usia pasien hanya bertambah sedikit (1-2 bulan) 1.

3. Radioterapi

Pemberian radioterapi tealh dicobakan dengan berbagai cara antara lain:


kombinasi 5 fluorourasil (5 FU) dengan radioterapi, kemoradioterapi pre-
operasi, atau waktu operasi (intraoperative elektron beam radiation), masih
dalam eksprimental 2.

II.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari kanker pankreas tergantung pada
ukuran tumor, stadium kanker, dan metastasisnya. Selain dari kanker
pankreas, komplikasi juga dapat ditimbulkan dari hasil proses pembedahan
dan efek dari kemoterapi dan radioterapi yang dapat berbeda pada masing-
masing pasien. 15

II.10 Prognosis
Prognosis pada kanker pankreas ditentukan oleh tingkat stadium
kanker pankreas. Adapun prognosis kanker pankreas yaitu :
a. Quo ad vitam : Malam
b. Quo ad fungsionam : Malam
c. Quo ad sanationam : Malam
Seringkali kanker pankreas terlambat didiagnosis sehingga pada
saat diagnosis ditegakkan kanker pankreas telah berada pada stadium akhir
sehingga prognosisnya menjadi sangat buruk dimana, angka harapan hidup
dalam 5 tahun hanya kurang dari 15%. 16

188
BAB 3
KESIMPULAN

Tumor pankreas merupakan jenis tumor yang dapat mengenai pankreas


baik jaringan eksokrin maupun endokrin pankreas. Sebagian besar dari karsinoma
pankreas terjadi di caput pankreas (75%), sisanya ditemukan di corpus (15%).
Kanker pankreas sangat sulit untuk didiagnosa pada stadium awal, gejala
asimptomatik, lambat dengan pertumbuhan cepat sehingga disebut silent killer.
Diagnosis kanker pankreas dengan gejala klinis, laboratorium seperti kenaikan
bilirubin serum dan transaminase, ditambah dengan penunjang diagnosis berupa
penanda tumor CEA (Carcinoembrionic antigen) dan Ca 19-9,
gastroduodenografi, ultrasonografi, CT-Scan, skintigrafi pankreas, MRI dan
ERCP, endoskopik ultrasonografi, angiografi, PET, bedah dan biopsi.
Pada pemeriksaan usg akan tampak gambarannya berupa massa
hipoekoik dimana morfologi kelenjar menjadi rusak. Dan desakan masa dan
pembesaran dari duktus biliaris komunis dan duktus pankreas, ditemukan Double
duct sign, dan Atrophy dari gland bagian proksimal dengan obstruksi massa pada
kaput pankreas hipoekoik atau hiperekoik. Pada pemeriksaan endoskopik
sonografi ditemukan gambaran berupa; massa hipoekoik dengan atau tanpa batas
yang jelas, disertai kontur yang irreguler, pemeriksaan ini lebih sensitif daripada
CT scan karena dapat mendeteksi tumor dengan ukuran < 3cm.
Pada pemeriksaan intravaskular Ultrasonography (IVUS) dengan
menggunakan kateter dengan diameter kecil dimasukkan kedalam lumen vaskular
akan tampak pankreas normal sebagai jaringan dengan intensitas echo sedang,
sementara lemak periporta dan dinding vena porta tampak hiperechoic, sedangkan
pada pemeriksaan CT scan pada karsinoma pankreas akan tampak perubahan
struktur pada pangkreas dan ditemukan masa hipodens, paling buruk didaerah
fokal dibanding jaringan yang pankreas normal pada pemberian kontras CT,
illdefined, 10-15% isodens sehingga sulit dideteksi. Terdapat indirect sign berupa
double duct sign, atrophy tail pankreas dan gambaran caput yang membesar.

189
Pengobatan pada kanker pangkreas dapat dilakukan dengan tiga
modalitas pengobatan diantaranya bedah, kemoterapi, dan radioterapi. Dengan
menggabungkan ketiga pengobatan ini maka hasil yang diperoleh akan lebih
memuaskan, sedangkan prognosis dari pasien sendiri sangat ditentukan stadium
yang dideritan dan kepatuhannya dalam menjalani pengobatan kanker pankreas itu
sendiri.

190
DAFTAR PUSTAKA

1. Adam J, Morgan RA.The pancreas.In: Adam A, Dixon AK, Grainger RG,


Allison DJ. in: Grainger and Allison’s .Diagnostic radiology. Fifth ed
.Churchll Livingstone; 2001. pp 789-809
2. Cohen MM, Switzer PJ, Cooperberg PL. Sensitivity of ultrasonographyin
the diagnostic of pancreatic cancer. CMA Journal. 1979; 453-55
3. Darmawan Guntur, Marcellus Simadibrata. Pancreatic Cancer: Review of
Etiology, Clinical Features, Diagnostic Procedures, Treatment and
Mesothelin Role. dalam The Indonesian Journal of Gastroenterology,
Hepatology, and Digestive Endoscopy Jakarta ; 2011.Faculty of Medicine,
University of Indonesia
4. Delden OV, Smithuis R. Pancreas carcinoma.. 2014 April 9 . Available
from : http://www.radiologyassistant.nl/en/p43848b63def9d
5. Doherty GM, Way LW.Pancreas..In : Doherty GM. Editor . Current
Diagnosis & Treatment Surgery. 13 th ed.Mc Graw Hill.2006 pp 573-96
6. Dragovich T,Harris J. Pancreatic cancer. Update 2014 Oktober 9
Available from : http://emedicine.medscape.com/article/280605-overview
7. S. Snell, Richard. 2002. Clinical Anatomy for Medical Students. Lippincot
Williams &Wilkins Inc: USA
8. Garden OJ.The pancreas and spleen..In: Garden OJ,Bradubury AW,
Forsythe JL, Parks RW, editors. Principles and Practice of Surgery. Fifth
Ed.Churchill Livingstone.Elsevier, 2007.pp 269-79
9. Padmomartono SF. Tumor Pankreas. Dalam: Sudoyo w, Simadibrata M,
Setiyohadi B, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima
Interna Publishing; 2010.pp 739-745
10. Murfitt J.The pancreas. In: Sutton D, editor. Textbook of Radiology and
Imaging.7 th ed.Churchill livingstone ; 2003.pp 787-99
11. Karison BM, Ekborn A, Kaliskog V, Rastad J. Abdominal US for
diagnosis of pancreatic tumor: prospective cohort analysis. Radiology
1999; 213:107-11

191
12. NN. Pancreatic cancer. American cancer society, 2011. Hal.11
13. Ralis WP, Pancreatic Sonography Tumors Update
14. Sainani N, Catalano O, Sahani D. Pancreas In : Haaga JR, Dogra VS,
Forsting M, Gilkeson RC, Ha Kwon Hyun, Sundaram M., editors. CT and
MRI oh the whole body. Fifth ed. Mosby Elsevier. 2009; 1599-41
15. Wray CJ, Ahmad SA, dkk. Surgery for pancreatic cancer: Recent
controversus & current practice. American gastroenterological association,
2005. Hal.1628-9.
16. Freelove R, Walling AD. Pancreatic cancer: Diagnosis & Management.
American academy of physician, 2006. Hal.486-90.

192
REFERAT

GINJAL POLYKISTIK

COVER

Disusun oleh:

Nama :Rahdyani Purwaningrum

NPM :112170062

Kelompk :7G

Pembimbing :

Hj.Farida Yunus, dr., Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK SMF RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI/ RSUD WALED

CIREBON 2018

193
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT,karena dengan rahmat dan karunia-Nya


Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena denganrahmat dan karunia-Nya penulis
dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul “Ginjal Polykistik”. Referat
ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai gambaran
radiologi dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Radiologi Fakultas Kedokteran Unswagati Cirebon.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
pembimbing, dr. Hj. Farida Yunus Sp. Rad yang telah meluangkan waktu untuk
membimbing dan memberikan pengarahan dalam penyusunan referat ini dari awal
hingga selesai.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritikan yang
membangun dan saran demi perbaikan dimasa yang akan datang.Semoga referat
ini dapat berguna bagi kita semua.

Cirebon, februari 2018


Penulis

194
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit ginjal polikistik adalah suatu penyakit herediter pengancam
nyawa yang paling sering ditemukan di seluruh bagian dunia. Penyakit ini
sama prevalensinya di berbagai kelompok etnik dan ras. Ekspansi progresif
kista-kista berisi cairan menyebabkan ginjal sangat membesar dan sering
menyebabkan gagal ginjal. Penyakit ginjal polikistik dominan otosom
(autosomal dominant polycystic kidney disease, ADPKD) terutama dijumpai
pada dewasa, sementara penyakit ginjal polikistik resesif otonom (ARPKD)
terutama menyerang anak. Kista ginjal juga ditemukan pada beberapa
penyakit ginjal herediter lain, yang sebagian mungkin memperlihatkan defek
pada jalur pembentukan sinyal umum pada ADPKD dan ARPKD. Defek-
defek gen dan kelainan fungsional pada penyakit tubulus herediter yang
terutama bermanifestasi sebagai gangguan keseimbangan cairan, elektrolit,
asam basa, dan mineral (Jameson, J.Larry, 2012).

PKD pada orang dewasa adalah laten selama bertahun-tahun dan


biasanya dialami oleh usia antara 30 dan 40 tahun . Ini melibatkan kedua
ginjal dan terjadi pada pria dan wanita . Korteks dan medula dipenuhi dengan
kista yang besar berdinding tipis mulai dari ukuran milimeter sampai
beberapa sentimeter dengan diameter. Kista membesar dan menghancurkan
jaringan di sekitarnya dengan penekanan. Kista diisi dengan cairan dan
mungkin berisi darah atau nanah.Pada awal penyakit pasien umumnya
asimtomatik. Gejala muncul ketika kista mulai membesar. Manifestasi
pertama PKD adalah hipertensi ; hematuria (dari pecahnya kista ); atau
perasaan berat di belakang, samping, atau perut atau juga bias menjadi ISK.
Sakit kronis adalah salah satu masalahyang paling umum dialami oleh pasien
dengan PKD . Rasa sakit dapat terus menerus dan berat. Bilateral , ginjal
membesar dan sering teraba pada pemeriksaan fisik (Lewis, Sharon L.2014).

195
Bentuk PKD yang terutama menyerang anak menyebabkan kematian
neonatal meninggal lebih awal. Bentuk PKD yang menyerang dewasa
memiliki onset bahaya tetapi biasanya menyerang antara usia 30 dan 50; tetap
asimtomatik sampai pasien berumur 70-an.
Prognosis pada orang dewasa sangat bervariasi. Perkembangan
mungkin lambat, gejala insufisiensi ginjal muncul. Setelah gejala uremia
berkembang, penyakit polikistik biasanya fatal dalam waktu 4 tahun, kecuali
pasien menerima dialisis. Tiga varian genetik dari bentuk dominan autosomal
telah diidentifikasi (Merkle, Carrie J. 2005).
PKD juga dapat mempengaruhi hati, jantung ( katup jantung yang
abnormal ). Pembuluh darah ( aneurisma ), dan usus ( diverticulosis ).
Komplikasi yang paling serius adalah aneurisma otak , yang bisa pecah.

Diagnosis didasarkan pada manisfestations klinis, riwayat keluarga,


USG ( ukuran screening terbaik ), atau CT scan. Penyakit ini biasanya
bertahap dari hilangnya fungsi ginjal pada ESKD pada usia 60 pada 50%
pasien (Lewis, Sharon L.2014)

196
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Anatomi dan Fisiologi


Ginjal adaah organ yang memproduksi dan mengeluarkan urine dalam
tubuh. System ini merupakan salah satu system utama untuk mempertahankan
homeostatis. Ginjal terletak dalam rongga abdomen retroperitoneal kiri dan
kanan kolumna vertebralis, dikelilingi oleh lemak dan jaringan ikat di
belakang peritoneum. Batas atas ginjal kiri setinggi iga ke-11 dan ginjal
kanan setinggi iga ke-12, sedangkan batas bawah setinggi vertebralis lumbalis
ke-3. Setiap ginjal mempunyai panjang 11,25 cm, lebar 5-7 cm, dan tebal 2,5
cm. ginjal kiri memiliki ukuran lebih panjang daripada ginjal kanan. Berat
ginjal pria dewasa 150-170 gram dan wanita 115-155 gram. Bentuk ginjal
seperti kacang, sisi dalam menghadap ke vertebra torakalis sisi permukaannya
cembung, dan di atas setiap ginjal terdapat sebuah kelenjar suprarenal.

Gambar 2. Anatomi ginjal


Beberapa fungsi ginjal sebagai berikut:
1. Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh.
Kelebihan air dalam tubuh akan dieksresikan oleh ginjal sebagai urine
yang encer dalam jumlah besar. Kekurangan air (kelebihan keringat)
menyebabkan urine yang diekskresi jumlahnya berkurang dan

197
konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh
dapat dipertahankan relative normal.
2. Mengatur keseimbangan osmotic dan keseimbangan ion.
Fungsi ini terjadi dalam plasma bia terdapat pemasukan dan pengeluaran
yang abnormal dari ion-ion. Akibat pemasukan garam yang berlebihan
atau penyakit perdarahan, diare, dan muntah-muntah, ginjal akan
meningkatkan ekskresi ion-ion yang penting mis: Na, K, Cl, dan fosfat.
3. Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.
Tergantung pada apa yang dimakan, campuran makanan (mixed diet)
akan menghasilkan urine yang bersifat agak asam, pH kurang dari 6. Hal
ini disebabkan oleh akhir metabolism protein. Apabila banyak makan
sayur-sayuran urine akan beesifat basa, pH urine bervariasi antara 4,8-
8,2. Ginjal menyekresi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
4. Ekskresi sisa-sisa hasil metabolism.
(ureum, asam urt, dan kreatinin). Bahan-bahan yang diekskresi oleh
ginjal antara lain zat toksik,obat-obatan, hasil metabolism hemoglobin,
dan bahan kimia asing (pestisida).
5. Fungsi hormonal dan metabolism.
Ginjal menyekresi hormone rennin yang mempunyai peranan penting
dalam mengatur tekanan darah (system rennin-angiotensin-aldosteron)
yaitu untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritopoiesis).
Disamping itu, ginjal juga membentuk hormone dihidroksi kolakalsiferol
(vitamin D aktif) yang diperlukan untuk absorbs ion kalsium di usus.
6. Pengaturan tekanan darah.
Dan memproduksi enzim rennin, angiotensin dan aldosteron yang
berfungsi meningkatkan tekanan darah.
7. Pengeluaran zat beracun.
Ginjal mengeluarkan polutan, zat tambahan makanan, obat-obatan, atau
zat kimia asing lain dari tubuh.

198
Struktur Ginjal

Ginjal ditutup oleh kapsul tunika fibrosa yang kuat. Apabila kapsula
dibuka terlihat permukaan ginjal yang licin dengan warna merah tua. Dengan
potongan melintang vertical dari ginjal melalui margo lateralis ke margo
medialis akan terlihat hilus yang meluas ke ruangan sentral yang disebut sinus
renalis yaitu bagian atas dari pelvis renalis.

Ginjal terdiri atas:

1. Medula (bagian dalam), substansi medularis terdiri atas pyramid renalis,


jumlahnya antara 8-16 buah yang mempunyai basis sepanjang ginjal,
sedangkan apeksnya menghadap ke sinus renalis.
2. Korteks (bagian luar), substansi kortekalis berwarna coklat merah,
konsistensi lunak, dan bergranula. Substansi tepat di bawah fibrosa,
melengkung sepanjang basis pyramid yang berdekatan dengan sinus
renalis. Bagian dalam di antara pyramid dinamakan kolumna renalis.
Pembungkusan Ginjal

Ginjal dibungkus oleh massa jaringan lemak yang disebut kapsula


adipose (peritoneal feet). Bagian yang paling tebal terdapat pada tepi ginjal
memanjang melalui hilus renalis. Ginjal dan kapsula adipose tertutup oleh
lamina khusus dari fasia subserosa yang disebut fasia renalis yang terdapat di
antara lapisan dalam dari fasia profunda dan stratum fasia subserosa internus.
Fasia fibrosa terpecah menjadi dua.

1. Lamela anterior atau fasia prerenalis


2. Lamella posterior atau fasia retrorenalis.

Struktur Mikroskopis Ginjal.


Satuan fungsional ginjal disebut nephron,. Selama 24 jam nephron
dapat menyaring 170 liter darah. Arteri renalis membawah darah murni dari
aorta ke ginjal. Lubang-lubang yang terdapat pada renal pyramid masing-

199
masing membentuk simpul yang terdiri atas satu badan Malpighi yang disebut
glomerulus.

Bagian-bagian dari nefron.

1. Glomerulus.
Bagian ini merupakan gulungan atau anyaman kapiler yang terletak di
dalam kapsula bowman. Bowman menerima darah dari arteriole aferen
dan meneruskan ke system vena melalui arteriol eferen. Natrium
secara bebas difiltrasi ke dalam glomerulus sesuai dengan konsentrasi
dalam plasma. Kalium juga difiltrasi secara bebas, diperkirakan 10-
20% dari kalium plasma terikat oleh protein dalam keadaan normal.
Kapsula bowman ujung-ujung buntu tubulus ginjal seperti kapsula
menutupi glomerulus yang saling melilitkan diri.
a) Elektro mikroskopis glomerulus.
Glomerulus berdiameter 200 , dibentuk oleh invaginasi suatu
anyaman kapiler yang menempati kapsula bowman. Glomerulus
mempunyai dua lapisan yang memisahkan darah dari dalam kapiler
glomerulus dn filtrate dalam kapsula bowman. Lapisan tersebut
yaitu lapisan endotel khusus yang terletak di atas kapiler

200
glomerulus. Kedua lapisan ini dibatasi oleh lamina basalis dan
terdapat sel-sel stelata. Sel ini mirip sel parasit yang terdapat pada
dinding kapiler seluruh tubuh.
b) Apparatus juxtaglomerulus.
Arteri aferen dan ujung akhir assa henle asendens tebal, nefron
yang sama bersentuhan untuk jarak yang pendek. Pada titik
persentuhan, sel tubulus (ansa henle) asendens menjadi tinggi
disebut macula densa. Dinding arteriol bersentuhan dengan ansa
Henle menjadi tebal karena sel-selnya mengandung butiran sekresi
rennin yang besar. Sel ini disebut sel juxtaglomerulus. Macula
densa dan sel juxtraglomerulus erat kaitannya dengan pengaturan
volume cairan ekstra sel dan tekanan darah.
c) Sawar ginjal.
Adalah istilah yang digunakan untuk bangunan yang memisahkan
darah kapiler glomerulus dari filtrate dalam rongga kapsula
bowman. Partikel ini duhubungkan dengan membrane celah
lapisan yang utuh sebagai saringan utama yang mencegah lewatnya
molekul besar. Partikel yang lebih halus mampu masuk sampai ke
rongga kapsula. Filtrasi halus malelui sawar dan tergantung pada
tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus. Pada
umumnya tekanan hidrostatik darah adalah 75 mmHg.
2. TubulusProksimal Konvulta.
Tubulus ginjal yang langsung berhubungan dengan kapsula bowman.
Bowman dengan panjang 15mm dan diameter 55 . Bentuknya
berkelok kelok berjalan dari korteks ke bagian medulla lalu kembali ke
korteks. Sekitar 2/3 dari natrium yang terfiltrasi akan diabsorpsi secara
isotonic bersama klorida. Proses ini melibatkan transport aktif natrium.
Peningkatan reabsorbsi natrium akan mengurangi pengluaran air dan
natrium. Hal ini dapat mengganggu pengenceran dan pemekatan urine
yang normal. Lebih dari 70% kemungkinan kalium direabsorpsi dan

201
dengan mekanisme transport aktif akan terpisah dari reabsorpsi
natrium.
3. Gelung Henle (Ansa Henle)
Bentuknya lurus dan tebal diteruskan ke segmen tipis selanjutnya ke
segmen tebal, panjangnya 12mm, total panjangnya ansa henle 2-
14mm. klorida secara aktif diserap kembali pada cabang asendens
gelung Henle dan natrium bergerak secara pasif untuk memertahankan
kenetralan listrik.
Sekitar 25% natrium natrium yang difiltrasi diserap kembali karena
darah nefron tidak permeable terhadap air. Reabsorbsi klorida dan
natrium di pars asendens penting untuk pemekatan urine karena
membantu mempertahankan integritas gradiens konsentrasi medulla.
Kalium terfiltrasi 20-25% diabsorbsi pada pars asendens lengkung
Henle. Proses pasif terjadi karena gradient elektrokimia yang timbul
sebagai akibat dari reabsorpsi aktif klorida pada segmen nefron ini.
4. Tubulus Distal Konvulta.
Bagian ini adalah bagian tubulus ginjal yang berkelok-kelok dan
letaknya jauh dari kapsula bowman, panjangnya 5 mm. tubulus distal
dari masing-masing nefron bermuara ke duktus koligentes yang
panjangnya 20mm.
Masing-masing duktus koligens berjalan melalui korteks dan medulla
ginjal bersatu membentuk suatu duktus yang berjalan lurus dan
bermuara pada duktus belini, seterusnya menuju kaliks minor, ke
kaliks mayor, dan akhirnya mengosongkan isinya ke dalam pelvis
renalis pada apeks masing-masing pyramid medulla ginjal. Panjang
nefron keseluruhan ditambahn dengan duktus koligentes adalah 45-
65mm. Nefron yang berasal daro glomerulus korteks mempunyai ansa
Henle yang menanjang ke dalam pyramid medulla.
5. Duktus Koligentes Medula.
Saluran yang secara metabolic tidak aktif. Pengaturan secara halus dari
ekskresi natrium urine terjadi disini dengan aldosteron yang paling

202
berperan terhadap reabsorpsi natrium. Duktus ini memiliki
kemampuan mereabsorbsi dan menyekresi kalium. Ekskresi aktif
kalium dilakukan pada duktus koligen kortikal dan dikendalikan oleh
aldosteron. Reabsorbsi aktif kalium murni terjadi dalam duktus koligen
medulla.

Peredaran Darah Ginjal.


Ginjal mendapat darah dari arteri renalis yang merupakan cabang dari
aorta abdominalis sebelum masuk ke massa ginjal. Arteri renalis
mempunyai cabang besar yaitu arteri renalis anterior dan arteri renalis
posterior. Cabang anterior memberikan darah untuk ginjal anterior dan
ventral dari ginjal sedangkan cabang posterior memberikan darah untuk
ginjal posterior dan bagian dorsal. Di antara kedua cabang ini terdapat
suatu garis (Brudels line) sepanjang margo lateral dari ginjal. Pada garis
ini tidak terdapat pembuluh darah sehingga kedua cabang ini menyebar
sampai ke bagian anterior dan posterior dari colicis sampai ke medulla

203
ginjal. Pembuluh darah yang terletak di antara pyramid disebut arteri
arquarta. Pembuluh darah ini akan bercabang menjadi interlobularis yang
berjalan tegak ke dalam korteks dan berakhir sebagai:
1. Vasa aferen glomerulus untuk 1-2 glomerulus.
2. Pleksus kapiler sepanjang tubulus melingkar dalam korteks tanpa
berhubungan dengan glomerulus,
3. Pembuluh darah menembus kapsula Bowman.

Dari glomerulus keluar pembuluh darah aferen, selanjutnya terdapat


anyaman yang mengelilingi tubuli kontorti. Selain itu, terdapat cabang
yang lurus menuju ke pelvis renalis dan memberikan darah untuk ansa
Henle dan duktus koligen dinamakan arteri rektae (A.Supriae). setelah dari
pembuluh rambut ini, darah kemudian berkumpul dalam kapiler vena yang
bentuknya seperti bintang disebut stelatae dan berjalan ke vena
interlobularis.

2.1 Definisi
Polycystic Kidney Disease adalah kelainan bawaan di mana kista
berisi cairan berkembang pada nefron. . Dalam bentuk domimant, hanya
beberapa nefron memiliki kista sampai orang mencapai nya 30-an. dalam
bentuk resesif penyakit, hampir 100% dari nefron memiliki kista sejak lahir.
Kista mengembangkan di mana saja di nefron akibat pembelahan sel ginjal
yang abnormal (Ignatavicius, Workman, 2013).

Polycystic Kidney Disease adalah keadaan dimana korteks dan


medula dipenuhi dengan besar kista berdinding tipis dari milimeter sampai
beberapa sentimeter dengan diameter. Kista membesar dan menghancurkan
jaringan di sekitarnya dengan kompresi. Kista diisi dengan cairan dan
mungkin berisi darah atau nanah (Lewis, Sharon L.2014).

Kesimpulannya, penyakit ginjal polikistik atau Polycystic Kidney


Disease adalah penyakit bawaan atau yang diturunkan dimana dalam organ
ginjal terdapat kista yang berisi cairan darah atau dapat juga nanah dan dapat

204
membesar serta menghancurkan jaringan di sekitarnya yang menyerang anak
anak mapun orang dewasa.

Gambar 1. Ginjal normal dan ginjalpolykistik

2.3 Patofisiologi
PKD adalah kelainan bawaan di mana kista berisi cairan yang tumbuh
dan berkembang pada nefron. Pada jenis domiman,hanya beberapa nefron
yang terkena kista sampai mencapai30-an. Pada jenis resesif, hampir 100%
dari nefron terdapat kista sejak lahir. Kista berkembang di mana saja pada
nefron akibat pembelahan sel ginjal yang abnormal.

Seiring waktu, kista kecil menjadi lebih besar (sampai beberapa


sentimeter) dan menyebar lebih luas. Kista yang tumbuh merusak glomerulus
dan membran tubular. Kista ini dipenuhi cairan dan membesar, nefron dan
fungsi ginjal menjadi kurang efektif.

Jaringan ginjal akhirnya digantikan oleh kista yang tidak mempunyai


fungsi yang terlihat seperti gugusan anggur. Ginjal menjadi sangat besar.
Setiap ginjal yang terkena penyakit ini, kistik bisa membesar dua atau tiga
kali dari ukuran normal, menjadi besar seperti sepak bola, dan mungkin berat
£ 10 atau lebih. Organ perut lainnya mengalami desakan, dan pasien
mengalami nyeri. Kista yang berisi cairan juga bisa meningkatkan

205
risikoinfeksi, pecah, dan perdarahan, yang menyebabkan peningkatan rasa
sakit.

Kebanyakan pasien dengan PKD memiliki tekanan darah tinggi.


Aliran darah ke ginjal menurun, sehingga mengaktifkan sistem rennin-
angiotensin dan meningkatkan tekanan darah. Pengendalian hipertensi adalah
prioritas utama.

Kista dapat terjadi juga pada jaringan lain, seperti hati dan pembuluh
darah. Sehingga dapat mengurangi fungsi hati. Selain itu, kejadian aneurisma
otak (outpouching dan penipisan dinding arteri) lebih tinggi pada pasien
dengan PKD. Aneurisma ini dapat pecah, menyebabkan perdarahan dan
kematian mendadak. Untuk alasan yang belum diketahui, batu ginjal terjadi
pada 8% sampai 36% dari pasien dengan PKD. Masalah katup jantung
(misalnya, prolaps katup mitral), hipertrofi ventrikel kiri, dan divertikula
kolon juga umum pada pasien dengan PKD (Ignatavicius, Workman.2013)

ADPKD terjadi sebagai-ADPKD 1, dipetakan ke lengan pendek


kromosom 16 dan dikodekan untuk protein 4,300- asam amino; ADPKD-2,
dipetakan ke lengan pendek kromosom 4. Autosomal Dominant recessive
disease terjadi pada 1 10,000-1 di 40.000 kelahiran hidup dan telah
diterjemahkan ke kromosom 6.

Ginjal yang membesar disebabkan oleh beberapa kista bola, dengan


ukuran milimeter yang berisi cairan. Kista berdistribusi secara merata di
seluruh korteks dan medula. Polip hiperplastik dan adenoma ginjal yang
umum. Parenkim ginjal mungkin memiliki berbagai tingkat atrofi tubular,
fibrosis usus, dan nephrosclerosis. Kista menyebabkan pemanjangan pelvis
ginjal, merata dari calyces, dan lekukan di ginjal.

Khas pada bayi yang terkena menunjukkan tanda-tanda gangguan


pernapasan, gagal jantung, dan, akhirnya, uremia dan gagal ginjal. Fibrosis
hati dan kelainan saluran empedu intrahepatik dapat menyebabkan hipertensi
portal dan varises.

206
Dalam kebanyakan kasus, sekitar 10 tahun setelah gejala muncul,
kompresi progresif struktur ginjal oleh massa membesar dan menyebabkan
gagal ginjal.

Kista juga terbentuk di tempat lain-seperti pada hati, limpa, pankreas,


dan ovarium. Dalam aneurisma intrakranial, divertikula kolon, dan mitral
prolaps katup juga terjadi.

Dalam bentuk autosomal resesif, kematian dalam periode neonatal


paling sering disebabkan oleh hipoplasia paru (Merkle, Carrie J. 2005).

2.4 Klasifikasi beserta etiologi


A. Ginjal Polikistik Resesif Autosomal (Autosomal Resesif Polycystic
Kidney/ARPKD)

terdiagnosis dengan ultrasound pada usia tahun pertama, lebih tepat lagi
jika ditemukan massa abdomen bilateral. Sering terdapat keterlibatan
hepar dan ginjal. Ginjal membesar dan tubulus distal serta duktus
pengumpul berdilatasi menjadi elongasi kista. Diagnosis dini dan
pengobatan hipertensi secara agresif dapat memperbaiki diagnosis pada
anak-anak tersebut.Dialisis dan transplantasi ginjal adalah pengobatan
yang sesuai jika terdapat gagal ginjal.( Robbins, Stanley. 2007 )

Etiologi

lebih baik daripada hasil laporan sebelumnya. Pada anak-anak yang dapat
bertahan selama bulan pertama kehidupan, 78% akan bertahan hingga
melebihi 15 tahun. Ginjal memperlihatkan banyak kista kecil dikorteks dan
medulla sehingga ginjal tampak seperti spons.(Isselbacher. 2009)

Pathogenesis

207
bersifat resesif autosomal memiliki beberapa karakteristik yaitu :

 Hanya tereksperi pada homozigot (aa), sedangkan pada heterozigot


(Aa) secara fenotipe hanya pembawa yang normal
 Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk
terkena
 Pola pewarisan horizontal tampak pada silsilah yang maksundya
muncul pada saudara kandung tetapi tidak pada orang tua.
 Penyakit umumnya memiliki awitan dini
Berdasarkan karakteristik tersebut maka penyakit ginjal polikistik
resesif autosomal sering disebut sebagai bentuk anak-anak karena awitan
yang muncul lebih dini. ARPKD disebabkan oleh mutasi disuatu gen yang
belum teridentifikasi pada kromosom 6p.

Gambaran Klinis

yang biasanya asimtomati, fibrosis hepatik kongenital dan hipertensi


portal. Kedua kondisi ini jarang dan keduanya diturunkan sebagai sifat
resesif autosomal. Gagal ginjal sering timbul pada kedua bentuk ini, tetapi
kematian pada bentuk masa kanak-kanak biasanya disebabkan oleh
penyakit hepatik.(Grantham J.J. 2008)

Pada bentuk masa kanak-kanak, kista lebih sedikit, duktus kolektivus


koteks lebih sedikit terlibat, dan ginjal tidak begitu besar. Duktus bilier
intrahepatik kecil dan berdilatasi ireguler, dan ruang hubungan yang luas
yang dilapisi oleh epitel hiperplastik mengisi daerah porta. Dijumpai
adanya fibrosis porta daripada dilatasi dan proliferasi duktus bilier kecil,
dan hipertensi portal merupakan hal yang bisa dijumpai pada akhir masa
kanak-kanak. (Grantham J.J. 2008)
Diagnosis dan Terapi

208
intravena menunjukkan tampilan berbintik dengan retensi kontras yang
beragam dalam kista yang sesuai dengan adanya dilatasi duktus kolektivus
korteks dan medula. Pada urografi retrograd, kalikses mungkin tampak
tumpul, dan refluks pielotubuler. Pada masa kanak-kanak bentuk
pielogram intravena menggambarkan medula seperti spons, karena ektasia
tubuler medula menyolok. Sering dijumpai gagal ginjal dan infeksi kronik.
(Grantham J.J. 2008)

B. Ginjal Polikistik dominan autosomal (Autosomal Dominant Polycytstic


Kidney/ADPKD)

Afro-Amerika.

Etiologi dan Pathogenesis

1. ADPKD-1 merupakan 90% kasus, dan gen yang bermutasi terletak pada
lengan pendek kromosom 16.
2. Gen untuk ADPKD-2 terletak pada lengan pendek kromosom 4, dan
perkembangannya menjadi ESRD terjadi lebih lambat daripada
ADPKD-1.
3. Bentuk ketiga ADPKD telah berhasil diidentifikasikan, namun gen yang
bertanggung jawab belum diketahui letaknya.

Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) dapat


diekspresikan baik pada heterozigot (Aa) maupun homozigot (aa). Selain
yang telah disebutkan sebelumnya, pada penyakit yang bersifat dominan
autosomal memiliki beberapa karakteristik yaitu :

 Laki-laki dan perempuan memiliki kemungkinan yang sama untuk


terkena

209
 Pola pewarisan vertikal tampak pada silsilah yang maksudnya
muncul pada setiap generasi.
 Usia awitan penyakit sering lambat

berperan terhadap terbentuknya kista yaitu :

 PKD-1 (gen defektif) yang terletak pada lengan pendek kromosom 16


 PKD-2 (gen defektif) yang terletak pada kromosom

fungsi, yang mungkin akibat penekanan pada nefron dan menyebabkan


obstruksi lokal. Kista dibatasi oleh epitel kuboid rendah dan mengandung
cairan berwarna kuning muda yang menjadi hemoragik dengan trauma
atau infeksi. Parenkim ginjal yang disekelilingnya mungkin normal atau
menunjukkan perubahan nefrosklerosis atau nefritis interstisial. (Grantham
J.J. 2008)

( Rasad Sjahriar. 2011)

a. Nyeri

yang dirasakan terjadi secara konstan maka itu adalah tanda dari
perbesaran satu atau lebih kista.

b. Hematuria

merupakan peringatan terhadap kemungkinan adanya masalah ginjal


yang tidak terdapat tanda dan gejala.

c. Hipertensi

d. Infeksi saluran kemih

210
e. Pembesaran ginjal
Pembesaran pada pasien ADPKD ginjal ini murapakan hasil dari
penyebaran kista pada ginjal yang akan disertai dengan penurunan
fungsi ginjal, semakin cepat terjadinya pembesaran ginjal maka
semakin cepat terjadinya gagal ginjal.

f. Aneurisma pembulu darah otak

g. Pada penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) terdapat


kista pada organ-organ lain seperti : hati dan pankreas

gagal ginjal kronik.(Grantham J.J. 2008)

laki. Eritrositosis dapat terjadi karena kadar eritropoietin yang tinggi, pada
pasien lain hematuria menyebabkan anemia kehilangan darah.(Grantham
J.J. 2008)

komplikasi. Pasien dengan stadium akhir gagal ginjal cenderung memiliki


hematokrit lebih tinggi daripada pasien dengan penyakit ginjal lain.
Kelebihan cairan jarang terjadi karena kecenderungan terbuangnya garam
melalui ginjal. (Grantham J.J. 2008)

dapat terjadi dalam limpa, pankreas, paru, ovarium, testis, epididimis,


tiroid, uterus, ligamentum latum uteri, dan kandung kemih. Perdarahan
subarakhnoid akibat aneurisma intrakranial menyebabkan kematian atau
cedera neurologik pada sekitar 1/10 pasien, tetapi arteriografi serebral rutin
tidak dibutuhkan. Prolaps katup mitral 25% dan inkompetensi katup
mitral, aorta dan trikuspid lebih sering terjadi. (Grantham J.J. 2008)

211
yang memanjang dan kaliks mendatar yang tertekan oleh kista.
Ultrasonografi dan pemindaian ginjal radioisotopik keduanya dapat
menunjukkan kista cukup baik. Sonografi gray scale lebih baik daripada
pielografi intravena untuk penapisan individu berisiko, terutama bila
dibutuhkan konseling genetik. Tomografi terkomputasi mungkin berguna.

adekuat (<100 mmol/hari) sebaiknya dihindari. Penatalaksanaan gagal


ginjal kronik dipermudah karena kelebihan cairan bukan masalah biasa
dan hipertensi biasanya responsif terhadap terapi, tetapi kista dapat
menyebabkan masalah khusus, seperti nyeri, perdarahan, infeksi atau
obstruksi ureteral. Pungsi kista, dan pada beberapa keadaan bahkan
nefrektomi mungkin diperlukan. (Grantham J.J. 2008)

2.5 MANIFESTASI KLINIK


Nyeri sering menjadi manifestasi utama. Umumnya, bntuk perut
cembungmengindikasikan kista ginjal membengkak dan mendorong isi
dan tekanan dari dalam abdomenkedepan. Polikistik Ginjal mudah diraba
karena ukuran mereka yang besar.

Pasien mungkin juga merasai nyeri pinggang atau ketidaknyamanan


yang terasa sangat tajam dan terus menerus. Nyeri disebabkan oleh
peningkatan ukuran ginjal dengan distensi atau infeksi di dalam kista.
Nyeri yang menusuk dan terus menerus terjadi bila kista pecah atau
adanya batu. Ketikakista pecah, urin pasien mungkin menjadi berwarna
terang, merah atau kuning pekat. Infeksi dicurigai jika urin keruh atau
berbau busuk atau jika ada disuria (nyeri saat buang air kecil)

Nokturia (kebutuhan untuk buang air kecil berlebihan di malam


hari) adalah manifestasi awal dan terjadi karena penurunan konsentrasi
urin. Fungsi ginjal mengalami penurunan yang lebih lanjut dan pasien

212
menjadi hipertensi, edema, dan manifestasi uremik seperti anoreksia,
mual, muntah, pruritus, dan kelelahan. Karena aneurisma berry sering
terjadi pada pasien dengan PKD, sakit kepala berat dengan atau tanpa
neurologis atau perubahan visi inilah yang butuh perhatian (Ignatavicius,
Workman.2013).

Menurut Merkle, Carrie J, tanda dan gejalapada neonatus meliputi:

1. Lipatan epicanthic (lipatan vertikal kulit di kedua sisi hidung); hidung


runcing; dagu kecil, telinga rendah (facies potter), yang disebabkan
oleh kelainan genetik.
2. Bilateral, massa simetris di sisi-sisi yang tegang dan disebabkan oleh
pembesaran ginjal.
3. Distress pernapasan yang berhubungan dengan gangguan fungsi ginjal
dan ketidakseimbangan cairan.
4. Uremia yang disebabkan oleh gagal ginjal

Tanda dan gejala pada orang dewasa termasuk:

1. Hipertensi disebabkan oleh aktivasi sistem renin angiotensin.


2. Nyeri lumbal yang disebabkan oleh pembesaran massa ginjal.
3. Pelebaran lingkar perut yang disebabkan oleh ginjal yang membesar.
4. Bengkak yang disebabkan oleh massa ginjal membesar, diperparah
dengan tenaga dan lega dengan berbaring.
5. Ginjal yang membesar pada saatdipalpasi.

213
2.6 Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Polikistik Ginjal

 Foto polos
Pada foto polos menunjukkan penonjolan lokal pada ginjal yang
mencurigakan suatu kista atau tumor.Pengkerutan , baik lokal atau seluruh
ginjal , mencurigakan adanya suatu infeksi kronis.

Gambar . Penonjolan ginjal yang lokal.


 Intravenous Pielografi
Pada pemeriksaan pielografi inravena memperlihatkan ginjal yang
membesar dengan kontur yang multilobulasi. Pada pelvis dan
infundibulum mengalami pemanjangan dan sering mengalami penekanan
di sekitar kista, membentuk outline berupa gambaran bulan sabit. Jarang
ditemukan kalsifikasi pada dinding kista ginjal polikistik. Kista sederhana
yang ganda (multiple) pada kedua ginjal seperti busa sabun yang terutama
melibatkan korteks dan permukaan ginjal. Kista pada penyakit ginjal
polikistik sebaliknya, kedua korteks dan medulla yang terlibat.

214
Gambar . Pembesaran ginjal yang lokal karena kista

 Ultrasonografi
Ultrasonografi ginjal merupakan suatu teknik pemeriksaan noninvasive
yang memiliki tujuan untuk mengetahui ukuran dari ginjal dan kista.
Selain itu juga dapat terlihat gambaran dari cairan yang terdapat dalam
cavitas karena pantulan yang ditimbulkan oleh cairan yang mengisi kista
akan memberi tampilan berupa struktur yang padat.
Ultrasonografi ginjal dapat juga digunakan untuk melakukan screening
terhadap keturunan dan anggota keluarga yang lebih mudah untuk
memastikan apakah ada atau tidaknya kista ginjal yang gejalanya tidak
terlihat (asymptomatic).

a. Sonogram menunjukkan tidak tampak parenkim ginjal yang normal tersisa,


multiple kista.

b.Potongan menyilang menunjukkan hasil yang sama beberapa kista yang lebih
kecil diantara kista besar

215
 Computed tomography (CT-scan)

gambaran CT tampat kista pada kedua ginjal dengan bermacam-macam


ukuran didalam parenkim, ada pula di sentral.

Gambar 7. CT Scan abdomen menunjukkan pembesaran bilateral kistik

ginjal dan hati

Gambar 8. Axial CT scan (C dan D) memperlihatkan peningkatan jumlahdan


volume kista ginjal antara tahun 1999 dan 2003.Didapatkan pula dinding aorta
yang mengalami kalsifikasi.

 MRI

216
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif dan dapat
mengidentifikasi kistik ginjal yang memiliki ukuran diameter 3 mm. MRI
dilakukan untuk melakukan screening pada pasien polikistik ginjal
autosomal dominan (ADPKD) yang anggota keluarganya memiliki
riwayat aneurisma atau stroke.(9)

Gambar 8. Identifikasi kistik ginjal.


 Biopsi
Biopsi ginjal ini tidak dilakukan secara rutin dan dilakukan jika diagnosis
tidak dapat ditegakkan dengan pencitraan yang telah dilakukan.

Gambar . Pembesaran ginjal pada orang dewasa dengan ADPKD,


yangmenunjukkan kista yang sangat besar yang memenuhi parenkim ginjal.

2.6 Diagnosis Banding Ginjal Polikistik


1. Ginjal multikistik displasia
Secara embriologis terjadi karena kegagalan dalam pertemuan
antara sistem collecting dengan nefron. Biasanya kelainan ini mengenai

217
satu ginjal dengan ditandai oleh adanya kista yang multipel pada ginjal.
Pada palpasi bimanual, teraba massa berbentuk ireguler dan berlobi-lobi.
Ureter biasanya mengalami atretik. Kista ini biasanya dapat dideteksi
dengan pemeriksaan USG berupa massa kistik multipel. Dilaporkan
bahwa kelainan ini dapat mengalami degenerasi maligna.
2. Kista ginjal soliter
Biasanya banyak dijumpai pada usia dewasa. Kista ini dapat berupa
kista tunggal atau kista multipel. Kelainan ini lebih sering disebabkan
karena kelainan yang didapat (acquired) daripada kelainan bawaan.
Diduga adanya obstruksi tubulus ginjal atau iskemia akibat trauma pada
ginjal merupakan penyebab dari timbulnya kista ini.
Kista soliter biasanya terletak superfisial meskipun pada beberapa
keadaan dapat terletak lebih profundus, letak kista berbatasan dengan
epitel kalises atau pielum sehingga pada saat operasi sulit dipisahkan dari
ginjal. Jika kista ini menjadi besar, dapat menekan perenkim ginjal dan
menyebabkan hidronefrosis.

2.7 Komplikasi
Beberapa bayi dengan penyakit ini bertahan selama 2 tahun dan kemudian
meninggal akibat dari komplikasi hati atau ginjal, jantung, atau gagal napas.
Kemungkinan komplikasi pada orang dewasa meliputi:
1. Pielonefritis.
2. Hematuria berulang.
3. Ancaman perdarahan retroperitoneal dari kista yang pecah.
4. Proteinuria.
5. Nyeri perut akibat kolik ureter.
6. Gagal ginjal.

2.8 Prognosis
Pada penyakit ginjal polikistik autosomal resesif (ARPKD), anak-anak
dengan perbesaran ginjal yang berat dapat meninggal pada masa neonatus
karena insufisensi paru atau ginjal dan pada penderita yang sedang menderita

218
fibrosis hati, serosis dapat mengakibatkan hipertensi serta memperburuk
prognosisnya. Ada atau tidaknya hipoplasia paru merupakan faktor utama
prognosis ARPKD. Pada bayi yang dapat bertahan pada masa anak-anak
yang dapat bertahan selama bulan pertama kehidupan,78% akan bertahan
hingga melebihi 15 tahun. Pada penyakit ginjal polikistik dominan autosomal
(ADPKD) cenderung relative stabil dan berkembang sangat lambat. Sekitar
50% akan menjadi gagal ginjal stadium akhir atau uremia.

219
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Ginjal menjalankan fungsi utama yaitu untuk regulasi volume,
osmolalitas, elektrolit, dan konsentrasi asam basa cairan tubuh dengan
mengeksresikan air dan elektrolit dalam jumlah yang cukup untuk mencapai
keseimbangan elektrolit dan cairan tubuh total dan untuk mempertahanakan
konsentrasi normalnya dalam cairan ekstraselular.

Penyakit ginjal polikistik (PKD) ditandai dengan kista multipel,


bilateral dan berekspansi yang lambat laun mengganggu dan mengahancurkan
parenkim ginjal normal akibat penekanan. Ginjal dapat membesar (kadang-
kadang sebesar sepatu bola) dan terisi oleh sekelompok kista-kista yang
menyerupai anggur. Perluasan dan pembesaran kista menekan isi ginjal,
menyebabkan hilangnya fungsi ginjal dan bahkan gagal ginjal.

Penyakit ginjal polikistik resesif autosomal (ARPKD) disebabkan


oleh mutasi suatu gen yang belum teridentifikasi pada kromosom 6p.
Manifestasi serius biasanya sudah ada sejak lahir, Pada saat lahir, ginjal
tersebut tidak berfungsi dan menyebabkan gagal ginjal oligurik, distres
respirasi, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Studi terbaru
memperlihatkan prognosis yang lebih baik daripada hasil laporan
sebelumnya. Pada anak-anak yang dapat bertahan selama bulan pertama
kehidupan, 78% akan bertahan hingga melebihi 15 tahun.

Penyakit ginjal polikistik dominan autosomal (ADPKD) adalah


penyebab keempat gagal ginjal yang membutuhkan dialisis atau transplantasi.
Gejala biasanya mulai pada dekade ketiga atau keempat dan meliputi nyeri
pinggang, hematuria mikroskopik dan gross hematuria terutama sesudah
trauma, serta nokturia yang disebabkan oleh kemampuan konsentrasi yang

220
terganggu. Pada individu asimtomatik salah satu manifestasinya merupakan
ginjal yang dapat diraba, hipertensi dan abnormalitas urin.

221
222
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito Lynda juall. 1999, alih bahasa, Monica Ester, Rencana Asuhan
Keperawatan dan Dokumentasi keperawatan. Edisi 2.Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta..

Grantham J.J. 2008. Autosomal Dominant Polycystic Kidney Disease. New


England Journal Medicine.
Ignatavicius, Workman.2013.Medical Surgical Nursing. Assessment and
Management of Clinical Problems Ninth Edition. St. Louis: Mosby.

Isselbacher, Braunwald, Wilson, dkk. 2009. Harrison Prinsip-prinsip Ilmu


Penyakit Dalam Edisi 13. Volume 3. Editor Prof. Dr. Ahmad H. Asdie. Jakarta:
EGC.
Jameson, J.Larry.2012. Harrison Nefrologi dan Gangguan Asam Basa. Penerbit
Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Lemone,P., & Burke, K. 2008. Medical Surgical Nursing. Critical Thinking in


Client Care, 4th edition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Lewis, Sharon L. 2014. Medical Surgical Nursing: Assessment and Management


of Clinical Problems edisi.9 Volume II.ELSEVIER.

Merkle, Carrie J. 2005. Handbook of Pathophysiolgy second edition.

Rudolph, Abraham M. 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph II. Ed.20;Cet 1;Jil I.
Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Robbins, Stanley. 2007. Buku Ajar Patologi. Volume 2. Editor: dr.Huriawati


Hartanto,dkk. Edisi 7. Jakarta: EGC.
Sukardja, I Dewa Gede.2000. Onkologi Klinik edisi 2.Airlangga University Press:
Jakarta.

Suryo, Ir. 2008. Genetika Strata 1. Cet 12. Gajah Mada University: Yogyakarta.

223
REFERAT

MASTOIDITIS AKUT

Disusunoleh:

Taufik Budi Permana


NPM. 112170068

Pembimbing :

dr. Hj. Farida Yunus Dahlan, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RSUD WALED CIREBON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON

2018

224
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa
karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas referat ini.

Referat ini mengulas tentang Mastoiditis akut yang meliputi anatomi,


fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi. Diharapkan
dengan mengetahui tentang Mastoiditis akut dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa program pendidikan profesi dokter.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Farida Yunus Dahlan,
Sp. Rad, selaku konsulen yang telah membimbing saya dalam proses diskusi, tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyusun referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmu radiologi
sebagai bekal kedepannya. Dan tentunya referat ini masih sangat jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan masukan yang membangun
demi perbaikan pembuatan referat dimasa yang akan datang.

Cirebon, 11 Februari 2018

Penulis

225
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mastoiditis akut (MA) merupakan salah satu komplikasi intratemporal

Otitis media (OM) yang tidak tertangani dengan baik. Mastoiditis adalah segala

proses peradangan pada sel- sel mastoid yang terletak pada tulang temporal.

Lapisan epitel dari telinga tengah adalah sambungan dari lapisan epitel mastoid

air cells yang melekat di tulang temporal. Mastoiditis dapat terjadi secara akut

maupun kronis.

Biasanya timbul pada anak-anak atau orang dewasa yang sebelumnya telah

menderita infeksi akut pada telinga tengah. Gejala-gejala awal yang timbul adalah

gejala-gejala peradangan pada telinga tengah, seperti demam, nyeri pada telinga,

hilangnya sensasi pendengaran, bahkan kadang timbul suara berdenging pada satu

sisi telinga (dapat juga pada sisi telinga yang lainnya).

Pada saat belum ditemukan-nya antibiotik, mastoiditis merupakan

penyebab kematian pada anak-anak serta ketulian/hilangnya pendengaran pada

orang dewasa. Jika tidak di obati, infeksi bisa menyebar ke sekitar struktur telinga

tengah, termasuk di antaranya otak, yang bisa menyebabkan infeksi yang serius.

Saat ini, terapi antibiotik ditujukan untuk pengobatan infeksi telinga tengah

sebelum berkembang menjadi mastoiditis, yang akhirnya bisa menyebabkan

kematian.

226
Sebuah hasil pencitraan diagnostik merupakan sebuah referensi yang

paling berharga bagi ahli bedah kepala dan leher atau otolaryngologist, yang

sangat dibutuhkan dari pasien. Karena banyaknya bagian pendukung dan

struktur dalam dari sebuah kepala dan leher yang pemeriksaannya bukan hanya

sekedar pemeriksaan yang bersifat topografi (anatomi atau penentuan letak

struktur) saja, tetapi juga memerlukan pemeriksaan yang bersifat fisiologi.

Beberapa pasien mungkin hanya memerlukan pencitraan dignostik konvensional

seperti film tipis sinar-X, atau beberapa justru membutuhkan pencitraan dengan

teknologi tinggi untuk memperoleh hasil terbaik demi rencana terapi yang akan

dia jalani nantinya.

227
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi tulang temporal

Gambar 1. Tulang mastoid

Mastoid berkembang dari kantong sempit di epitympanum posterior


bernama aditus ad antrum. Pneumatisasi terjadi tak lama setelah kelahiran setelah
aerasi telinga tengah. Proses ini selesai saat usia sesorang 10 tahun. Sel udara
mastoid terbentuk oleh invasi kantung berlapis epitel antara spikula tulang baru
dan oleh degenerasi dan redifferensiasi ruamg sumsum tulang yang ada. Bagian
tulang temporal lainnya, termasuk apeks petrosus dan akar zygomatikus,
mengalami pneumatisasi yang sama. Antrum, mirip dengan sel-sel udara mastoid,
dilapisi dengan epitel respiratorius yang akan membengkak bila terjadi infeksi.
Penyumbatan antrum oleh mukosa yang mengalami inflamasi merangkap infeksi

228
di sel udara dengan menghambat drainase dan mengahalangi aerasi kembali dari
sisi telinga.
Mastoid dikelilingi oleh fossa cranial posterior, fossa kranial tengah,
saluran nervus fasialis, sinus sigmoid dan lateral, dna ujung petrosus tulang
temporal. Mastoiditis bisa megikis seluruh antrum dan meluas ke salah satu
daerah yang bersebelahan tersebut, meyebabkan morbiditas yang signifikan secara
klinis dan mengancam jiwa.

2.2. Definisi
Mastoiditis adalah segala proses peradangan pada sel-sel mastoid pada
tulang temporal. Keadaan tersebut terjadi biasanya paling sering disebabkan
komplikasi dari otitis media supuratif akut maupun kronik.
Mastoiditis terbagi menjadi, mastoiditis akut dan mastoiditis kronik.
Mastoiditis akut merupakan komplikasi dari otitis media supuratif akut,
sedangkan mastoiditis kronik merupakan komplikasi dari otitis media supuratif
kronik.

Gambar 2. Mastoiditis akut dan mastoiditis kronik


Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid.

2.3. Epidemiologi

Masih belum diketahui secara pasti, tetapi biasanya terjadi pada pasien-pasien
muda dan pasien dengan gangguan sistem imun.2

229
2.4. Etiologi
Mastoiditis merupakan hasil infeksi yang disebabkan dari telinga
tengah, oleh karena itu bakteri penyebab mastoiditis sama pada bakteri yang
menginfeksi telinga tengah. Berikut beberapa bakteri penyebab mastoiditis:
 Streptococcus pneumoniae
 Haemophilus influenzae
 Moraxella catarrhalis
 Staphylococcus aureus
 Pseuodomonas aeruginosa
 Klebsiella
 Escherichia coli
 Proteus
 Prevotella
 Fusobacterium
 Porphyromonas
 Bacteroides
 Mycobacterium species

2.5.Patofisiologi
Peradangan mukosa cavum timpani pada otitis media supuratif akut
maupun kronik yang sifatnya maligna (atikoantral) atau disebut juga tipe tulang
(kolesteatom) maka dapat menyebabkan komplikasi intra temporal berupa
mastoiditis, karena kolesteatom mampu mendestruksi tulang disekitarnya. Oleh
karena letak dari antrum mastoid pada dinding anteriornya berbatasan dengan
telinga tengah dan aditus ad antrum.
Mastoiditis merupakan komplikasi intratemporal dari otitis media
yang paling sering dijumpai. Otitis media, khususnya yang kronik (otitis
media supuratif kronik) adalah infeksi telinga tengah yang ditandai dengan
sekret telinga tengah aktif atau berulang pada telinga tengah yang keluar
melalui perforasi membran timpani yang kronik. OMSK sukar disembuhkan

230
dan menyebabkan komplikasi yang luas. Umumnya penyebaran bakteri
merusak struktur sekitar telinga dan telinga tengah itu sendiri. Komplikasi
intratemporal yaitu mastoiditis, labirintis, petrositis, paralisis n. facialis; dan
ekstratemporal meliputi komplikasi intrakranial (abses subperiosteal, abses
bezold’s) dan intrakranial (meningitis, abses otak, sinus trombosis).1

Gambar 3. Mastoiditis akut


Infeksi akut yang menetap dalam rongga mastoid dapat menyebabkan
osteoitis, yang menghancurkan trabekula tulang yang membentuk sel-sel mastoid.
Oleh karena itu istilah mastoiditis coalescent digunakan. Mastoiditis coalescent
pada dasarnya merupakan empiema tulang temporal yang akan menyebabkan
komplikasi lebih lanjut, kecuali bila progresifitasnya dihambat, baik dengan
mengalir melalui antrum secara alami yang akan menyebabkan resolusi spontan
atau mengalir ke permukaan mastoid secara tidak wajar, apeks petrosus, atau
ruang intrakranial. Tulang temporal lain atau struktur didekatnya seperti nervus
fasiais, labirin, sinus venosus dapat terlibat. Mastoidtis dapat berlangsung dalam 5
tahapan :
 Tahap 1 : hiperemia dari lapisan mukosa sel udara mastoid
 Tahap 2 : trasudasi dan eksudasi cairan dan atau nanah dalam sel-
sel
 Tahap 3 : nekrosis tulang yang disebabkan hilangnya vaskularitas
septa
 Tahap 4 : hilangnya dinding sel dengan proses peleburan
(coalescence) menjadi rongga abses
 Tahap 5 : proses inflamasi berlanjut ke struktur yang berdekatan.

231
2.6 Penegakan Diagnosis

A. Anamnesis

Gejala demam biasanya hilang dan timbul, hal ini disebabkan infeksi
telinga tengah sebelumnya dan pemberian antibiotik pada awal-awal perjalanan
penyakit. Jika demam tetap dirasakan setelah pemberian antibiotik maka
kecurigaan pada infeksi mastoid lebih besar.

Keluhan nyeri dirasakan cenderung menetap dan berdenyut. Gangguan


pendengaran dapat timbul atau tidak bergantung pada besarnya kompleks mastoid
akibat infeksi. Jika tidak diobati dapat terjadi ketulian yang berkembang secara
progresif, sepsis, meningitis, abses otak atau kematian.

Membran timpani menonjol keluar, dinding posterior kanalis


menggantung, pembengkakan post aurikula mendorong pinna keluar dan ke
depan, dan nyeri tekan pada mastoid, terutama di posterior dan sedikit di atas
liang telinga (segitiga Macewen).

Di dalam tulang juga bisa terbentuk abses. Biasanya gejala muncul dalam
waktu 2 minggu atau lebih setelah otitis media akut, dimana penyebaran infeksi
telah merusak bagian dalam dari prosesus mastoideus.

B. Pemeriksaan Fisik

Temuan pada mastoiditis akut dan kronis termasuk penebalan periosteal,


abses subperiosteal, otitis media, dan tonjolan nipplelike (seperti puting) dari
membran timpani pusat. Menentukan adanya penebalan periosteal memerlukan
perbandingan dengan bagian telinga yang lain. Perubahan posisi dari daun telinga
ke arah bawah dan ke luar (terutama pada anak-anak <2 tahun) atau ke atas dan ke
luar (pada anak-anak <2 tahun) dapat ditemukan. Abses subperiosteal merubah
posisi aurikel ke lateral dan melenyapkan lipatan kulit postauricular. Jika lipatan
tetap ada, proses ini terjadi di lateral periosteum. Otitis media terlihat pada
pemeriksaan dengan otoskop.

232
Tonjolan nipplelike dari membran timpani sentral mungkin ada, ini
biasanya disertai rembesan nanah. Infeksi ringan persisten ( mastoiditis
tersembunyi) dapat terjadi pada pasien dengan otitis media rekuren atau efusi
telinga persisten. Kondisi ini dapat menyebabkan demam, sakit telinga, dan
komplikasi lain

Tanda-tanda mastoiditis akut adalah sebagai berikut:

o Bulging membran timpani yang erythematous


o Eritema, tenderness, dan edema di atas area mastoid
o Fluktuasi postauricular
o Tonjolan dari aurikula
o Pengenduran dinding kanalis posterosuperior
o Demam (terutama pada anak-anak <2 tahun)
o Otalgia dan nyeri retroauricular (terutama pada anak-anak <2
tahun)

Temuan pada mastoiditis kronis mungkin konsisten dengan komplikasi


ekstensi ke luar prosesus mastoideus dan periosteum yang mengelilinginya atau
dengan komplikasi lain intratemporal seperti lumpuh wajah.

Tanda-tanda meliputi:

o Membran timpani terinfeksi atau normal


o Demam berulang atau persisten
o Tidak adanya tanda-tanda eksternal dari peradangan mastoideus

Pemeriksaan neurologis umumnya menghasilkan temuan nonfocal.


Namun, keterlibatan saraf kranialis dapat terjadi pada penyakit lanjut.

Tanda-tanda meliputi:

o Palsy dari saraf abducens (saraf kranial VI)


o Palsy dari saraf wajah (saraf kranial VII)

233
o Rasa nyeri dari keterlibatan cabang oftalmik dari saraf trigeminal.

C. Diagnosis
Penegakan diagnosis otitis media ini didasarkan atas pemeriksaan klinis
(anamnesis dan pemeriksaan otologik) serta untuk mengetahui ada tidaknya
komplikasi melalui pemeriksaan radiologik (foto polos, CT scan, dan MRI
mastoid). Imaging yang terbaik untuk menilai penyakit kronik telinga tengah
dan tulang temporal (mastoid) termasuk kolesteatom adalah CT scan karena
memperlihatkan destruksi tulang.2
Radiologi konvensional os temporal masih banyak digunakan di daerah
ataum tempat dimana tidak terdapat CT scan dan MRI. Radiografi
konvensional digunakan dalam skrinning tulang temporal dan menentukan
status pneumatisasi dari mastoid dan petrous piramid. Metode ini
memungkinkan digunakan untuk lesi besar yang meluas ke tulang temporal.
Proyeksi standar os temporal meliputi proyeksi Schuller, Runstrom, Stenvers,
transorbital, submentovertikal, Law, Mayer, Towne, Chausse III. Semua
proyeksi tersebut dulu masi digunakan namun saat ini yang terbanyak
digunakan untuk kepentingan klinik adalah lateral atau Schuller dan obliq
atau Stenvers.3
Diagnosa mastoiditis akut dimulai dari anamnesa dan pemeriksaan fisik.
Diagnosa biasa ditegakkan berdasarkan kondisi klinis tanpa pemeriksaan
radiologis. Foto polos akan menunjukkan perselubungan pada mastoid atau
koalesen pada air cells mastoid (rusaknya struktur septum tulang yang tipis
akibat peningkatan tekanan dan iskemia). Perselubungan pada mastoid
bukanlah suatu tanda patognomonis untuk mastoiditis, karena gambaran ini
juga ditemukan pada 50% penderita dengan OMA tanpa komplikasi.
Meskipun gambaran koalesen pada mastoid pada pemeriksaan radiologi
memiliki nilai diagnostik, gambaran ini hanya ditemukan pada sejumlah kecil
penderita. Bahkan pada beberapa kasus, dilaporkan gambaran radiolodi
normal pada penderita mastoiditis akut dan mastoiditis dengan komplikasi.

234
D. Pemeriksaan Laboratorium

 Spesimen dari sel-sel mastoid yang diperoleh selama operasi dan cairan
myringotomy, ketika diperoleh, harus dikirim untuk kultur bakteri aerobik
dan anaerobik, jamur, mikobakteri dan basil tahan asam.
o Jika membran timpani sudah perforasi, saluran eksternal dapat
dibersihkan, dan sampel cairan drainase segar diambil.
o Ketelitian adalah penting untuk mendapatkan cairan dari telinga
tengah dan bukan saluran eksternal.
o Kultur dan pengujian kepekaan terhadap isolat dapat membantu
dalam memodifikasi terapi inisial antibiotik.
o Hasil kultur yang dikumpulkan dengan benar untuk bakteri aerobik
dan anaerobik sangat membantu untuk pilihan terapi definitif.
o Pewarnaan Gram dari spesimen awalnya dapat membimbing terapi
antimikroba empiris.
 Kultur darah harus diperoleh.
 Pemeriksaan darah rutin dan laju sedimentasi dihitung untuk mengevaluasi
efektivitas terapi seterusnya.
 Pemeriksaan LCS untuk evaluasi jika dicurigai perluasan proses ke
intrakranial. 5

E. Gambaran Radiologi Mastoiditis


Pemeriksaan konvensional pada tulang temporal dapat menilai
pneumatisasi dan piramid tulang petrosus sehingga mampu menilai lebih
jauh besar dan luas nya suatu lesi dari tulang temporal atau struktur
sekitarnya. Ada tiga proyeksi yang lazim digunakan untuk menilai tulang
temporal yaitu:
1. Posisi Schuller
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral dari mastoid, proyeksi foto
dibuat dengan bidang sagital kepala terletak sejajar meja pemeriksaan dan
berkas sinar x ditujukan dengan sudut 30o cephalo-cauda.

235
Gambar 4 . Posisi Schuller

Gambar 5 . Mastoid normal posisi schuller


Pada posisi ini perluasan pneumatisasi mastoid serta struktur trabekulasi
dapat tampak lebih jelas. Posisi ini juga memberikan informasi dasar
tentang besarnya kanalis auditorius eksterna dan hubungannya dengan
sinus lateralis.

236
2. Posisi Owen
Posisi ini menggambarkan penampakan lateral mastoid dan proyeksi dibuat
dengan kepala terletak sejajar meja pemeriksaan lalu wajah diputar 30o
menjauhi film dan berkas sinar x ditujukan dengan sudut 30-40o cephalo-
cauda. Umumnya posisi owen dibuat untuk memperlihatkan kanalis
auditorius eksternus, epitimpanikum, tulang pendengaran dan sel udara
mastoid.

Gambar 6. Foto radiografi polos posisi owen


3. Posisi Chausse III
Posisi ini merupakan penampakan frontal mastoid dan ruang telinga tengah,
proyeksi dibuat dengan oksiput terletak diatas meja pemeriksaan lalu dagu
ditekuk kearah dada kepala diputar 10-15o kearah sisi berlawanan dari
telinga yang akan diperiksa.
Posisi ini merupakan tambahan setelah pemeriksaan lateral mastoid,
dimana dapat menilai lebih baik keadaan telinga tengan terutama pada otitis
media supuratif kronik dan kolesteatom.

237
Gambar 6. Foto radiografi polos posisi Chause III

Mastoiditis akut
Gambaran dini mastoiditis akut pada radiologis adalah adanya
perselubungan di ruang telinga tengah dan sel-sel mastoid, pada masa
permulaan infeksi biasanya struktur trabekula dan sel udara mastoid masih
utuh. Bersamaan progresifitas infeksi maka akan terjadi demineralisasi
diikuti destruksi trabekula, Biasanya pada mastoiditis akut tidak terjadi pada
mastoid yang acellulair.

238
Gambar 7. Mastoiditis akut posisi schuller

Gambar 8. Mastoiditis akut pada posisi schuller nampak perselubungan difus serta sedikit
destruksi trabekula posterior

Mastoiditis kronik
Gambaran radiologik pada mastoiditis kronik terdiri atas perselubungan
yang tidak homogen didaerah antrum mastoid dan sel-sel mastoid dan

239
berkurangnya jumlah sel udara, struktur trabekula yang tersisa tampak
menebal. Pada keadaan lanjut tampak obliterasi sel udara mastoid dan
mastoid tampak sklerotik, lumen antrum mastoid dan sisa sel udara mastoid
terisi jaringan granulasi sehingga pada foto akan terlihat berbagai
perselubungan.

Kronik :
 Sklerosis dari mastoid air cells
 Merupakan komplikasi dari abses dan sekuester dengan sklerosis
dari mastoid. Abses dinding berbatas tegas
 Dapat menyebabkan ekstradural dan intracerebral sepsis

Gambar 9 . Mastoiditis kronik posisi schuller

240
Gambar 10. Mastoiditis kronik

Gambar 11. mastoiditis kronik dengan posis foto Schuller nampak perselubungan tidak homogen
dan penebalan trabekulasi

241
Tabel 1. Deskripsi pada pemeriksaan radiologik mastoid

Observation Description
Pneumatic  Air cells cover mastoid
 Air cells seen beyond dural and sinus plates
Moderate  Air cells cover mastoid
 Air cells not seen beyond dural and sinus plates
Sclerotic  Absence of air cells
 Whole antrum appears small in size
 Marked radiopacity
 Can be seen in individuals sufferingg from
chronic otitis media as well as in normal individuals
Radiolucent mastoid  Single radiolucent shadow is seen. It can be present
in sclerotic as well as normal mastoid
 Differential diagnosis:
 Cholesteatoma
 Operated mastoidectomy
 Large antral cell
 Large peri-antral cell
 Malignancy
 Chronic mastoiditis with granulations
 Eosinophilic granuloma
 Tuberculosis
 Multiple myeloma
 Skull metastases from kidney, bronchus,
breast etc.

F. Gambaran CT-Scan mastoiditis


Computed Tomograpghy (CT) dapat berperan dalam penegakan diagnosa
mastoidtis, terutama jika terjadi komplikasi intrakranial atau pada pasien yang

242
diduga menderita mastoiditis terselubung. Gambaran yang dapat ditemui pada
CT-scan antara lain :
1. Rusak atau kaburnya outline mastoid
2. Berkurang atau menghilangnya ketajaman septum tulang yang
semakin memperluas air cells. Terkadang lesi litik pada tulang
temporal dan abses jaringan lunak juga dapat terlihat.perselubungan di
daerah yang secara normal mengalami pneumatisasi (yang juga terlihat
pada OMA tanpa komplikasi) tidak memiliki nilai diagnostik.
Gambaran destruksi tulang akan tampak secara radiograf bila
demineralisasi tulang mencapai 30-50%.
Jika pada CT scan hanya nampak perselubungan, maka bone scan dengan
technetium 99 akan sangat bermanfaat karena metode ini sensitif terhadap
perubahan osteolitik.
Dengan CT scan bisa dilihat bahwa sel-sel udara dalam prosesus
mastoideus terisi oleh cairan (dalam keadaan normal terisi oleh udara) dan
melebar.
Jika terjadi komplikasi intrakranial pada daerah fossa kranii posterior atau
media maka pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan terpilih untuk
mendeteksi hal tersebut yakni dapat ditemuinnya defek tulang dengan lesi
intrakranial.
CT Scan pada tulang temporal merupakan standar pada pemeriksaan
mastoiditis. Sensitivitas CT scan pada mastoiditis adalah 87-100%. CT scan
menggambarkan dimanapun di intrakranial Komplikasi atau perluasan. Bukti dari
mastoiditis adalah gambaran destruksi mastoid dan kehilangan ketajaman sel
udara mastoid.
Plain radiografi kurang dapat dipercaya dan penemuan gejala klini sering
terlambat. Pada daerah yang tidak memiliki CT Scan, plain radiografi
menggambarkan destruksi sel udara tulang yang berkabut pada acute mastoiditis.
Pada kebanyakan kasus, radiografi cukup kuat menegakkan diagnosis namnu
kurang sensitif dalam membedakan staging dari penyakit dan tidak bisa
membedakan detail-detailnya.

243
Temuan lainnya yang digunakan untuk membedakan acute otitis media dan acute
mastoiditis tanpa osteoitis dan chronic mastoiditis :
 Tampak gambaran berawan atau berkabut dari sel udara mastoid dan
telinga tengah. Ini disebabkan oleh inflamasi pembengkakan mukosa dan
terkumpulnya cairan.
 Kehilangan ketajaman atau visibility dari sel mastoid karena
demineralisasi, atrofi, atau nekrosis dari tulang septa.
 Kekaburan atau distorsi dari mastoid, kemungkinan dengan defek yang
tampak dari segmen atau korteks mastoid
 Peningkatan dari pembentukan area abses
 Peningkatan periosteum karena proses mastoid atau fossa kranial posterior
 Aktivitas osteoblastik pada mastoiditis kronik

Gambar 12. CT scan mastoiditis akut


Pada otitis media kronik maupun kolesteatom sering ditemukan
pneumatisasi yang buruk pada mastoid. Hal penting yang dapat digunakan untuk
membedakannya adalah kondisi erosi tulang. Erosi tulang pada dinding lateral
epitimpanium dan ossicular sering ditemukan pada kolesteatoma (75%). Erosi
juga dapat ditemukan pada passien otitis media kronik, namun hanya 10%nya.
Displacement dari ossicular chain dapat ditemukan pada cholestetoma, namun

244
tidak pada otitis media kronik. Pada otitis media kronik ditemukan penebalan
lapisan mukosa.

Gambar 13. axial CT menggambarkan kuantitas tulang pada telinga kanan yang terbatas

Gambar 15. Mastoiditis akut

245
Gambar 16. Mastoiditis dengan sigmoid sinus trombosis

Gambar 17. Kiri : Gambaran CT scan mastoid laki laki dengan pneumatisasi normal pada mastoid
dengan aerasi sel. Kanan : gambaran sklerotik total mastoid. Tidak tampak air cells.

246
Gambar 18. Gambaran CT scan laki-laki usia 50 tahun dengan keluhan retraksi membran dan
otorea telinga kiri. Gambaran CT scan memperlihatkan gambaran erosi dari proces incus dan
stapedius. Semua temuan ini mengarahkan ke colesteatoma, namun pada saat opertatif temuannya
adalah mastoiditis kronik, tidak didapatkan kolesteatom. Pasien dengan mastoidtis kronik sejumlah
kecil memperlihatkan erosi tulang.

Gambar 19. Potongan CT scan koronal dari pasien mastoiditis kronik pada gambar 9, tampak blunt
scutum (ditunjukkan dengan panah)

247
Gambar 20. Axial (a) dan coronal (b) CT scan mastoid. Pada mastoid kanan nampak air cells
dengan aerasi baik dan septa penulangan dapat terlihat dengan jelas dibandingkan dengan mastoid
kiri yang tamapak opasitas. Pada mastoid kiri terlihat hilangnya septa dari tulang mastoid dan juga
erosi pada dinding kortikal ke dalam fossa krania media. Didapati pula soft tissue swelling
sepanjang prosesus mastoideus.

Gambar 21. Axial (a) soft tissue window dan axial (b) bone window dari kepala. Sejumlah cairan
dengan peningkatan densitas terlihat di kanan mastoid, menandakan abses subperiosteal. Pada
bone window didapatkan opasitas dari air cells bilateral sering dijumpai pada anak-anak. Tampak
resopsi septa tulang pada kanan dkorteks luar mastoid. Tulang mengalami erosi dan membentuk
abses superficial.

248
Gambar 22. CT scan kepala dan leher dengan penambahan kontras memberikan gambaran sebuah
abses Bezold’s luas diantara jaringan lunak di bagian leher dekat sternocleidomastoid. Abses ini
terbentuk dari mastoiditis akut yang mengalam erosi pada mastoid tip.

Gambar 23 CT scan dengan penambahan kontras pada pasien anak laki-laki yang diduga
mastoiditis. Hasil temuan mastoiditis dan trombosis sinus venosus dural.

249
Gambar 24. CT scan kontras dengan potongan anak laki-laki dengan mastoiditis kanan. Tampak
tulang temporal kanan sebuah fokus dari abnormal enhancement dengan sedikit low attenuation
consistent dan edema.

Gambar 25. CT scan laki-laki dengan mastoiditis kanandan delirium. Sebuah low attenution area
terlihat pada kanan lobus temporal mengandung a fleck gas(a). Potongan MRI setinggi axial T2
dilakukan 3 hari kemudian menemukan bahwa abses gas-containing pada lobus temporal kanan
yang berhubungan dengan air cells mastoid, tampak lebih besar dan meluas ke temporal horn dari
ventrikel lateral kanan.gas telah digantikan dengan cairan CSF dari ventrikel, CSF mengalir dari
ventrikel ke mastoid melalui abses (b). MRI potongan coronal setinggi T1 memberikan gambaran
abses yang mengandung gas. CSF pada ventrikel lateral hampir digantikan oleha gas. Pasien ini

250
immunocompromised dan sedikit respon terhadap infeksi. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa
kurangnya subependymal enhancement (c).

G.Tatalaksana

Biasanya gejala umum berhasil, diatasi dengan pemberian antibiotik,


kadang diperlukan miringotomi. Jika terdapat kekambuhan akibat nyeri tekan
persisten, demam, sakit kepala, dan telinga mungkin perlu dilakukan
mastoidektomi. Pengobatan dengan obat-obatan seperti antibiotik, anti nyeri, anti
peradangan dan lain-lainnya adalah lini pertama dalam pengobatan
mastoiditis. Tetapi pemilihan anti bakteri harus tepat sesuai dengan hasil test
kultur dan hasil resistensi. Pengobatan yang lebih invasif adalah pembedahan pada
mastoid. Bedah yang dilakukan berupa bedah terbuka, hal ini dilakukan jika
dengan pengobatan tidak dapat membantu mengembalikan ke fungsi yang normal.
2

Pengobatan berupa antibiotika sistemik dan operasi mastoidektomi. Meliputi dua


hal penting:1
1. Pembersihan telinga (menyedot/mengeluarkan debris telinga dan sekret)
2. Antibiotika baik peroral, sistemik ataupun topikal berdasarkan pengalaman
empirik dari hasil kultur mikrobiologi. Pemilihan antibiotika umumnya
berdasarkan efektifitas kemampuan mengeliminasi kuman (mujarab),
resistensi, keamanan, risiko toksisitas dan harga. Pengetahuan dasar
tentang pola mikroorganisme pada infeksi telinga dan uji kepekaan
antibiotikanya sangat penting

H. Komplikasi

Mastoiditis, ketika berlanjut di luar 2 tahap pertama dianggap sebagai


komplikasi otitis media. Komplikasi dari mastoiditis adalah perluasan lebih lanjut
di dalam atau di luar mastoideus itu sendiri. Komplikasi yang umum terjadi
termasuk kehilangan pendengaran dan perluasan dari proses infeksi di luar sistem
mastoideus, mengakibatkan komplikasi intrakranial atau ekstrakranial.

251
Komplikasi lainnya termasuk berikut ini :

 Perluasan posterior ke sinus sigmoid, menyebabkan trombosis


 Perluasan ke tulang oksipital, yang mengakibatkan osteomyelitis calvaria
atau abses Citelli
 Perluasan superior ke fosa kranial posterior, ruang subdural, dan meninges
 Perluasan anterior ke akar zygomatic
 Perluasan lateral membentuk abses subperiosteal
 Perluasan inferior membentuk abses Bezold
 Perluasan medial ke apex petrous
 Keterlibatan intratemporal saraf wajah dan / atau labirin.

252
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan

Mastoiditis adalah segala proses peradangan pada sel- sel mastoid


yang terletak pada tulang temporal. Mastoiditis akut (MA) merupakan
perluasan infeksi telinga tengah ke dalam pneumatic system selulae
mastoid melalui antrum mastoid.
Pembuatan foto radiologik untuk mastoiditis akut biasanya dipakai
posisi Schuller atau Owen, sedangkan posisi Chausse III dipakai untuk
melihat ruang telinga tengah.

Pada akut otitis media & mastoiditis akan ditemukan hilangnya


radiolusen dari tuba eustachi dan meatus acusticus media, gambaran
radioopak antrum mastoid dgn perkaburan batas luar dinding mastoid.
Sedangkan pada proses kronik ditemukan sclerosis dari mastoid air cell,
merupakan komplikasi dari abscess & sequester dgn sclerosis dari mastoid
( sulit membedakan dengan cholesteatoma ), abscess dinding batas tegas,
dapat menyebabkan extradural& intra cerebral sepsis. Komplikasi yang
serius diantaranya cholesteatoma. Gambaran cholesteatoma secara Ro sulit
dibedakan kecuali ada riwayat post operasi, perubahan-perubahan post
operasi mastoidectomi pelebaran aditus parsial atau complex, bergesernya
air cell, mastoid system.
Pemeriksaan CT Scan menggambarkan dimanapun di intracranial
adanya suspek komplikasi atau perluasan. Bukti dari mastoiditis adalah
menggambarkan destruksi mastoid dan kehilangan ketajaman sel udara
mastoid. Pada kasus-kasus tertentu, dengan menggunakan CT Scan
gambaran air cells yang kabur dapat diungkap, scan tulang dengan
technetium-99 dapat menolong mendeteksi perubahan osteolitic.

253
DAFTAR PUSTAKA

1. Probst, R, Grevers, G., and Iro, H. 2006. Basic Otorhinolaryngology A Step-


by-Step Learning Guide. Thieme : New York
2. Haiat, S.W. 2011. Acquired Temporal Bone Cholesteatoma Imaging. Medical
University : Texas
3. Valvassori, G.E, Mafee, M.F, and Carter, BL. 1995. Imaging of the Head and
Neck. Thieme : New York
4. Minks, DP., Porte M., Jenkins N. 2013. Acute Mastoiditis A role of
Radiology. In Elsevier Clinical Radiology : volume 68, issue 4, pages 397-
405.
5. John NF, and David LM. 2000. Lateral Sinus Thrombosis associated with
MRI abnormalities with the Mastoid Air Sinus. J-AHA Stroke ; 32;347a.

254
REFERAT
Myeloma Multiple

Disusun oleh :

Teguh Yudha Adiguna

112170069

Pembimbing :

dr. Hj. Farida Yunus, Sp. Rad

KEPANITRAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

2018

255
KATA PENGANTAR

Pujidansyukurpenulispanjatkankehadirat Allah Yang Maha Kuasa karena


atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas referat ini.

Referat ini mengulas tentang Myeloma Multiple yang meliputi anatomi,


fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi. Myeloma Multiple
dapat menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa program pendidikan
profesi dokter.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Farida Yunus Dahlan,
Sp. Rad,selaku konsulen yang telah membimbing saya dalam proses diskusi, tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyusun referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmu radiologi
sebagai bekal kedepannya. Dan tentunya referat ini masih sangat jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan masukan yang membangun
demi perbaikan pembuatan referat dimasa yang akan datang.

Cirebon, Februari 2018

Penulis

256
BAB 1

PENDABULUAN

1.1 Latar Belakang

Keganasan sal plasma dikenal sebagai neoplasina monoklonal yang

herkembang dari lini sel B, terdiri dari multiple myeloma (MM),

makroglobulinemia Waldemstrom amiloidosis primer dan penyakit rantai

berat. Neoplasma monoklonal dikenal dengan banyak nama antara lain

adalah gamopatia monoklonal, paraproteinemia, diskrasia sel plasma dan

disproteinemia. Penyakit ini biasanya disertai produksi imunoglobulin atau

fragmen-fragmennya dengan satu penanda idiopatik, yang ditentukan oleh

regio variabel identik dalam rantai ringan dan berat. Istilah paraprotein,

protein monoklonal atau komponen M, menunjukkan adanya komponen

yang eletrofoetik homogen ini dalam serum dan urin. Paraprotein dapat

merupakan imunoglobulin lengkap, biasanya tipe IgG atau Costa, jarang

juga tipe IgD atau IgE. Rantai ringan ini oleh ginjal dapat cepat dieksr esi

dan karena itu terutama dapat ditunjukkan dalam urin (protein Bence

Jones).1

Multiple myeloma adalah keganasan sel B dari sel plasma yang

memproduksi protein imunoglobulin monoklonal. Hal ini ditandai dengan

adanya proliferasi clone dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang,

protein monoklonal pada darah atau urin, dan berkaitan dengan disfungsi

organ. Proliferasi berlebihan dalam sumsum tulang menyebabkan matriks

257
tulang terdestruksi dan produksi imunoglobulin abnormal dalam jumlah

besar, dan melalui berbagai mekanisme menimbulkan gejala dan tanda

klinis. Setelah sumsum tulang dicostantikan oleh sel plasma ganas, sel

normal sumsum tulang terdepresi, sel hemopoietik normal terdestruksi,

akhirnya sumsum tulang mengalami kegagalan total, destruksi matriks tulang

menimbulkan osteosklerosis, lesi osteolitik, fraktur patologis, dan nyeri

tulang. Dalam serum muncul sejumlah besar protein monoklonal atau subunit

rantai polipeptida produk dari proliferasi sel plasma monoklonal,sedangkan

imunoglobulin normal berkurang. Walaupun masih kontroversial dikatakan

bahwa semua kasus multiple myeloma berkembang dari gammopatia

monoclonal esensial atau MGUS (Monoclonal Gammopathy of

Undetermined Significance). 2,3

258
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI

Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti

vertebra, costa, calvaria, pelvis, dan femur.6

Awal dari pembentukan tulang terjadi di bagian tengah dari suatu tulang.

Bagian ini disebut pusat-pusat penulangan primer. Sesudah itu tampak pada satu

atau kedua ujung-ujungnya yang disebut pusat-pusat penulangan sekunder. 7

Bagian-bagian dari perkembangan tulang panjang adalah sebagai berikut:

1. Diafisis

Diafisis merupakan bagian dan tulang panjang yang dibentuk oleh

pusatpenulangan primer, dan merupakan korpus dan tulang.

2. Metafisis

Metafisis merupakan bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhirbatang

(diafisis).

3. Lempeng epifisis

Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak,

yang akan menghilang pada tulang dewasa.

4. Epifisis

Epifisis dibentuk oleh pusat-pusat penulangan sekunder.

259
Gambar 1. Perkembangan tulang panjang (dikutip dari kepustakaan 7)

2.2 INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI

Multiple myeloma merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari

tumor hematologik. Di Amerika Serikat, insiden multiple myeloma sekitar 3

sampai 4 kasus dari 100.000 populasi per tahun, dan diperkirakan terdapat

14.000 kasus baru tiap tahunnya. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada

orang Afro Amerika dan pada pria. Umur median pasien rata- rata 65 tahun, dan

sekitar 3% pasien kurang dari 40 tahun. 4

2.3 ETIOLOGI

Penyebab multiple myeloma belum jelas. Paparan radiasi, benzena, dan

pelarut organik lainnya, herbisida, dan insektisida mungkin memiliki peran.

Faktor genetik juga mungkin berperan pada orang-orang yang rentan untuk

terjadinya perubahan yang menghasilkan proliferasi sel plasma yang memproduksi

260
protein M seperti pada MGUS. Dalam sel mana terjadi transformasi maligma

tepatnya terjadinya belum jelas. Dapat ditunjukkan sel limfosit B yang agak

dewasa yang termasuk klon sel maligna di darah dan sumsum tulang, yang dapat

menjadi dewasa menjadi sel plasma. Terjadinya onkogen yang paling penting

diduga berlangsung dalam sel pendahulu yang mulai dewasa ini atau bahkan

mungkin dalam sel plasma sendiri. Beragam perubahan Kromosom telah

ditemukan pada pasien myeloma seperti delesi 13q14, delesi 17q13, dan

predominan kelainan pada 11q.1,5

2.4 PATOFISIOLOGI

Tahap patogenesis pertama pada perkembangan myeloma adalah

munculnya sejumlah sel plasma clonal yang secara klinis dikenal MGUS

(monoclonal gammanopathy of undetermined significance). Pasien dengan

MGUS tidak memiliki gejala atau bukti dari kerusakan organ, tetapi memiliki 1%

resiko progresi menjadi myeloma atau penyakit keganasan yang berkaitan. 8

Perkembangan sel plasma maligna ini mungkin merupakan suatu proses

multi langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang mengakibatkan

penumpukan sel plasma maligna, adanya perkembangan perubahan di lingkungan

mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan sistem imun untuk mengontrol

penyakit. Dalam proses multilangkah ini melibatkan di dalamnya aktivasi

onkogen selular, hilangnya atau inaktivasi gen supresor tumor, dan gangguan

regulasi gen sitokin.1

Keluhan dan gejala pada pasien MM berhubungan dengan ukuran massa

tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma dan efek fisikokimia imunologik dan

261
humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti antara lain

paraprotein dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating

factor/OAF) 1

Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi, seperti

hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik dan krioglobulinemia. Karena

pengendapan rantai ringan, dalam bentuk amiloid atau sejenis, dapat terjadi

terutama gangguan fungsi ginjal dan jantung. Faktor pengaktif osteoklas (OAF)

seperti IL 1-b, limfotoksin dan tumor necrosis factor (TNF) bertanggung

jawab atas osteolisis dan osteoporosis yang demikian khas untuk penyakit ini.

Karena kelainan tersebut pada penyakit ini dapat terjadi fraktur (mikro)

yang menyebabkan nyeri tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria.

Konsentrasi imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun

dan fungsi sumsum tulang yang menurun dan neutropenia yang kadang-

kadang ada menyebabkan kenaikan kerentanan terhadap infeksi. 1

Gagal ginjal pada MM disebabkan oleh karena hiperkalsemia, adanya

deposit mieloid pada glomerulus, hiperurisemia, infeksi yang rekuren, inftltrasi

sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus ginjal oleh karena infiltrasi

rantai berat yang berlebihan. Sedangkan anemia disebabkan oleh karena tumor

menyebabkan penggantian sumsum tulang dan inhibisi secara langsung

terhadap proses hematopoeisis, perubahan megaloblastik akan menurunkan

produksi vitamin B12 dan asam folat.1

2.5PENEGAKAN DIAGNOSIS

Diagnosis multiple myeloma dapat ditegakkan melalui Anamnesis,

262
Pemeriksaan fisik,pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan radiologi, dan

pemeriksaan patologi anatomi.

a. Anamnesis

Myeloma dibagi menjadi asimptomatik myeloma dan simptomatik atau

myeloma aktif, bergantung pada ada atau tidaknya organ yang berhubungan

dengan myeloma atau disfungsi jaringan, termasuk hiperkalsemia, insufisiensi

renal, anemia, dan penyakit tulang (Tabel 1). Gejala yang umum pada multiple

myeloma adalah lemah, nyeri pada tulang dengan atau tanpa fraktur ataupun

infeksi. Anemia terjadi pada sekitar 73% pasien yang terdiagnosis. Lesi

tulangberkembang pada kebanyakan 80% pasien. Pada suatu penelitian, dilaporkan

58% pasien dengan nyeri tulang. Kerusakan ginjal terjadi pada 20 sampai 40%

pasien.2,4

Fraktur patologis sering ditemukan pada multiple myeloma seperti fraktur

kompresi vertebra dan juga fraktur tulang panjang (contoh: femur proksimal).

Gejala-gejala yang dapat dipertimbangkan kompresi vertebra berupa nyeri

punggung, kelemahan, mati rasa, atau disestesia pada ekstremitas. Imunitas

humoral yang abnormal dan leukopenia dapat berdampak pada infeksi yang

melibatkan infeksi seperti gram positive organisme (eg, Streptococcus

pneumoniae, Staphylococcus aureus) dan Haemophilus influenzae.9

Kadang ditemukan pasien datang dengan keluhan perdarahan yang

diakibatkan oleh trombositopenia. Gejala-gejala hiperkalsemia berupa somnolen,

nyeri tulang, konstipasi, nausea, dan rasa haus.10

b. Pemeriksaan Fisik

263
Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan

 Pucat yang disebabkan oleh anemia

 Ekimosis atau purpura sebagai tanda dari thrombositopeni

 Gambaran neurologis seperti perubahan tingkat sensori , lemah, atau

carpal tunnel syndrome.

 Amiloidosis dapat ditemukan pada pasien multiple myeloma seperti


makroglossia dan carpal tunnel syndrome.

 Gangguan fungsi organ visceral seperti ginjal, hati, otak, limpa akibat infiltrasi sel plasma (jarang).

Tabel 1 dan 2. Kriteria diagnostik multiple myeloma aktif dan kriteria staging
intemasional. (dikutip dart kepustakaan 12)
c. Laboratorium

Pasien dengan multiple myeloma, secara khas pada pemeriksaan urin

rutin dapat ditemukan adanya proteinuria Bence Jones. Dan pada apusan darah

tepi, didapatkan adanya formasi Rouleaux. Selain itu pada pemeriksaan darah

264
rutin, anemia normositik normokrom ditemukan pada hampir 80% kasus.

Jumlah leukosit umumnya normal, namun dapat juga ditemukan pancytopenia,

koagulasi yang abnormal dan peningkatan LED. 5,6,11,13

2.6Gambaran radiologi

1) Foto polos x-ray

Gambaran foto x-ray dari multiple myeloma herupa lesi litik multiple,

berbatas togas, punch out. dan bulat pada calvaria, vertebra, dan pelvis. Lesi

terdapat dalam ukuran yang hampir sama. Lesi lokal ini umumnya berawal

di rongga medulla , mengikis tulang, dan secara progresif merighaneurkan

tulang kortikal. Sehagai tambahan, tulang pada pasien myeloma, dengan

sedikit pengecualian, mengalami demineralisasi difus. Pada beberapa pasien,


4.6.14.15
ditemukan garnbaran osteopenia difus pada pemeriksaan radiologi.

Saat timbul gejala sekitar 80-90% di antaranya telah mengalami

kelainan

tulang. Film polos memperlihatkan :

 Osteoporosis umum dengan penonjolan pada trabekular tulang,

terutamavertebra yang disebabkan oleh keterlibatan sumsum pada

jaringan myeloma. Hilangnya densitas vertebra mungkin merupakan

tanda radiologis satu-satunya pada myeloma multiple. Fraktur patologis

seringdijumpai.

 Fraktur kompresi pada corpus vertebra , tidak dapat dibedakan

denganosteoprosis senilis.

265
 Lesi-lesi litik 'punch out lesion" yang menyebar dengan batas yang

jelas,lesi yang berada di dekat korteks menghasilkan internal scalloping.

 Ekspansi tulang dengan perluasan melewati korteks , menghasilkan

massajaringan lunak.

Walaupun semua tulang dapat terkena, distribusi berikut ditemukan pada suatu

penelitian yang melibatkan banyak kasus : kolumna vertebra 66%, costa 44%,

calvaria 41%, pelvis 28%, femur 24%, clavicula 10% dan scapula 10%.15

Gambar 2Foto skull lateral yang menggambarkan sejumlah lest litik "punch out
Lesion” ,yang khas pada calvaria, yang merupakan karakteristik dari gambaran
multiple myeloma, (dikutip dart kepustakaan 16)

266
Gambar 3. Fotopelvic yang menunjukkan fokus litik kecil yang sangat banyak
sepanjang tulang pelvis dan femur yang sesuai dengan gambaran multiple
myeloma.(dikutip dari kepustakaan 9)

Gambar 4. Foto femur menunjukkan adanya endosteal scalloping (erosi pada


cortex interns) pada pasien dengan multiple myeloma. (dikutip dari kepustakaan
9)

267
2) CT-Scan

CT Scan menggambarkan keterlibatan tulang pada myeloma serta menilai

resiko fraktur pada tulang yang kerusakannya sudah berat. Diffuse osteopenia

dapat memberi kesan adanya keterlibatan myelomatous sebelum lesi litik sendiri

terlihat. Pada pemeriksaan ini juga dapat ditemukan gambaran sumsum tulang

yang tergantikan oleh sel tumor, osseous lisis, destruksi trabekular dan korteks.

Namun, pada umumnya tidak dilakukan pemeriksaan kccuali jika adanya lesi

fokal. 6.9.17.18

Gambar 5. CT Scan sagital T1 — gambaran weightedpada vertebra lumbalis


menunjukkan adanya infiltrasi difus sumsum yang disebabkan oleh multiple
myeloma. (dikutip dari kcpustakaan 17)

268
Gambar 6. Lytle expansile mass dari C5. Pada CT Scan tranversal C5
menunjukkan adanya perluasan massa jaringan lunak (expansile soft-tissue
mass) pada sepanjang sisi kanan Vertebra Cervikal 5 dengan kerusakan tulang
terkait. (dikutip dari kepustakaan 4)

3) MRI

MRI potensial digunakan pada multiple myeloma karena modalitas ini

baik untuk resolusi jaringan lunak. Secara khusus, gambaran MRI pada deposit

myeloma berupa suatu intensitas bulat, sinyal rendah yang fokus di gambaran

T1, yang menjadi intensitas sinyal tinggi pada sekuensi T2. 6,15,17

Namun, hampir setiap tumor muskuloskeletal memiliki intensitas dan pola

menyerupai myeloma. MRI meskipun sensitif terhadap adanya penyakit namun

tidak spesifik. Pemeriksaan tambahan untuk diagnosis multiple myeloma seperti

pengukuran nilai gamma globulin dan aspirasi langsung sumsum tulang untuk

menilai plasmasitosis. Pada pasien dengan lesi ekstraosseus, MRI dapat berguna

269
untuk menentukan tingkat keterlibatan dan untuk mengevaluasi kompresi

tulang.6"

Gambar 7. Foto potongan sagital T1 weighted-MRI pada lumbar-sakral memperlihatkan adanya diffusely mottled marrow yang menunjukkan adanya diffuse involvement pada
sumsum tulang dengan multiple myeloma. Juga didapatkan gambaran fraktur kompresi pada seluruh vertebra yang tervisualisasi. Pada V-T10 terdapat adanya focal
mass-like lesion yang menunjukkan suatu plasmacytoma. (dikutip dari kepustakaan 19)

4) Radiologi Nuklir

Myeloma merupakan penyakit yang menyebabkan overaktifitas pada osteoklas. Scan tulang radiologi nuklir mengandalkan aktifitas osteoblastik

(formasi tulang) pada penyakit dan belum digunakan rutin, pemeriksaan menggunakan radiofarmaka Tc-99m senyawa kompleks fosfat yang diinjeksikan secara

intravena. Tingkat false negatif skintigrafi tulang untuk mendiagnosis multiple myeloma tinggi. Scan dapat positif pada radiograf normal, membutuhkan pemeriksaan lain untuk

konfirmasi.6.20

270
Gambar 8. FDG PET scan pada pasien multiple myeloma dengan difuse yang
berat disertai focal disease. (dikutip dari kepustakaan 21)

5) Angiografi 6
Gambaran angiografi tidak spesifik. Tumor dapat memiliki zona perifer

dari peningkatan vaskularisasi. Secara umum, teknik ini tidak digunakan untuk

mendiagnosis multiple myeloma.

2.7 Pemeriksaan Patologi Anatomi 6.15

Pada pasien multiple myeloma , sel plasma berproliferasi di dalam

sumsum tulang. Sel-sel plasma memiliki ukuran yang lebih besar 2 — 3 kali dari

limfosit, dengan nuklei eksentrik licin (bulat atau oval) pada kontur dan memiliki

halo perinuklear. Sitoplasma bersifat basofilik.

271
Gambar 9. Aspirasi sumsum tulang memperlihatkan sel-sel plasma multiple myeloma.

tampak sitoplasma berwama biru, nukleus eksentrik. dan /Dna pucat perinuclear

(halo).(dikutip dari kepustakaan 6)

Gambar 10. Biopsi sumsum tulang menunjukkan lembaran sel-sel plasma ganas pada
multiple myeloma (dikutip dari kepustaan 6)
Kriteria minimal untuk menegakkan diagnosis multiple myeloma pada

pasien yang memiliki gambaran klinis multiple myeloma dan penyakit jaringan

konektif, metastasis kanker, limfoma, leukemia, dan infeksi kronis telah

dieksklusi adalah sumsum tulang dengan >10% sel plasma atau plasmasitoma

dengan salah satu dari kriteria berikut

- Protein monoclonal serum (biasanya >3g/dL)

- Protein monoclonal urine

- Lesi litik pada tulang

272
Sistem derajat multiple myeloma

Saat ini ada dua derajat multiple myeloma yang digunakan yaitu Salmon

Durie system yang telah digunakan sejak 1975 dan the International Staging

System yang dikembangkan oleh the International Myeloma Working Group dan

diperkenalkan pada tahun 2005.

Salmon Duriestaging :

a) Stadium I

- Level hemoglobin lebih dari 10 g/dL

- Level kalsium kurang dari 12 mg/dL

- Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter

- Protein M rendah (mis. IgG < 5 g/dL, Costa < 3 g/dL, urine <4g/24 jam)

b) Stadium II

- Gambaran yang sesuai tidak untuk stadium I maupun stadium III

c) Stadium III

- Level hemoglobin kurang dari 8,5 g/dL

- Level kalsium lebih dari 12 g/dL

- Gambaran radiologi penyakit litik pada tulang

- Nilai protein M tinggi (mis. IgG >7 g/dL, Costa > 5 g/dL, urine >12 g/24

jam)

d) Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dL

e) Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl

273
International Staging System untuk multiple myeloma

a) Stadium I

- b2 mikroglobulin < 3,5 g/dL dan albumin > 3,5 g/dL

- CRP > 4,0 mg/dL

- Plasma cell labeling index < 1%

- Tidak ditemukan delesi kromosom 13

- Serum IL-6 reseptor rcndah

- durasi yang panjang dari awal fase plateau

b) Stadium II

- Beta-2 microglobulin level >3.5 hingga <5.5 g/dL, atau

- Beta-2 microglobulin <3.5g/dL dan albumin <3.5 g/dL

c) Stadium III

- Beta-2 microglobulin >5.5 g/dL

2.8 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis multiple myeloma seringkali jelas karena kebanyakan

pasien memberikan gambaran klinis khas atau kelainan hasil laboratorium,

termasuk triasberikut

- Protein M serum atau urin (99% kasus)

- Peningkatan jumlah sel plasma sumsum tulang

- Lesiosteolitik dan kelainan abnormal lain pada tulang.

Keadaan yang dapat menjadi diagnosis banding multiple myeloma berupa

metastasis tumor ke tulang. 22

274
Delapan puluh persen penyebaran tumor ganas ke tulang disebabkan oleh

keganasan primer payudara, paru, prostat, ginjal dan kelenjar gondok.

Penyebaran ini ternyata ditemukan lebih banyak di tulang skelet daripada

ekstremitas. Bone Survey atau pemeriksaan tulang-tulang secara radiogratik

konvensional adalah pemeriksaan semua tulang-tulang yang paling sering

dikenai lesi-lesi metastatik yaitu skelet ekstremitas bagian proksimal.

Sangat jarang lesi megenai sebelah distal siku atau lutut. Bila ada lesi

pada bagian tersebut harus dipikirkan kemungkinan multiple myeloma. 22

Gambaran radiologik dari metastasis tulang terkadang bisa memberi

petunjuk dari mana asal tumor. Sebagian besar proses metastasis memberikan

gambaran "lytic" yaitu bayangan radiolusen pada tulang. Sedangkan gambaran

"blastic" adalah apabila kita temukan lesi dengan densitas yang lebih tinggi

dari tulang sendiri. Keadaan yang lebih jarang ini kita temukan pada

metastasis dari tumor primer seperti prostat, payudara, lebih jarang pada

karsinoma kolon, paru, pankreas. Sedangkan pada multiple myeloma

ditemukan gambaran lesi litik multiple berbatas tegas, punch out, dan

bulat. Selain gambaran radiologik,

ditemukannya proteinuri Bence Jonespada pemeriksaan urin rutin dapat

menyingkirkan adanya metastasis tumor ke tulang. 22

275
Gambar 11. Foto pelvic pada Gambar 12. Foto pelvic pada multiple
metastasis tumor payudara ke tulang myeloma menunjukkan adanya
memberikan gambaran osteolytic. multiple lytic lesions pada sepanjang
(dikutip dari kepustakaan 23) pelvis dan femur. (dikutip dari
kepustakaan 9)
 Monoklonal Gammopathies /Gammopati monoklonal benigna
Ditemukan paraprotein dalam serum, terutama pada orang berusia tua, tanpa
bukti yang memastikan adanya mieloma, makroglubinemia atau limfoma., dan
tidak ada penyakit lain yang mendasari. Pada gangguan ini tidak terdapat lesi
tulang, tidak terdapat proteinuria Bence Jones, dan proporsi sel plasma dalam
sumsum tulang normal (<4%) atau sedikit meningkat (<10%). Kadar
immunoglobilin dalam serum biasanya < 20g/L dan menetap dalam waktu 2
atau 3 tahun. Immunoglobulin serum yang lain tidak mengalami penekanan.

 Penyakit Waldenstrom / Waldenstrom Hypergammaglobulinemia


(makroglobinemia)
Penyakit limfoproleferatif indolen dengan produksi igM monoklonal. Sering
terjadi pada usia pertengahan atau usia tua. Gejala klinis berkembang sebagai
limfoma yang berkembang lambat. Ada proliferasi sel yang menghasilkan
paraprotein igM monoklonal dan mempunyai persamaan dengan limfosit
maupun sel plasma di sumsum tulang. Ditemukan seluler karakteristik berupa
adanya CD5, CD10, CD20, dan respon terapi yang sama dengan leukemia
limfositik kronik.

276
Suatu keadaan limfoma limfoplastmasitoid yang menghasilkan paraprotein igM
monoklonal, dengan gejala klinis kelelahan dan penurunan barat badan. Sindrom
hipervisikositas sering ditemukan yang sering menyebabkan gangguan
penglihtan, letargi, kebingungan , kelemahan otot, sejala sistem saraf. Anemia
normokromik normositter yang disebabkan oleh pengenceran darah
(hemodilusi). limfadenopati sedang dan pembesaran hati dan limpa sering
terlihat. Diagnosis ditegakkan dengan menemukan igM monoklonal serum
(biasanya 15 g/L ) bersamaan dengan infiltrasi sumsum tulang atau kelenjar
getah bening oleh sel limfoplasmasitoid., mast cell, dan histiosit.

 Limfoma maligna
Sekelompok penyakit heterogen yang disebabkan oleh limfosit ganas yang
biasanya berkumpul dalam kelenjar getah bening dan menyebabkan timbulnya
gambrab klinis limfadenopati, sering ditemukan anemia normositik
normokromik, disertai infiltrasi sumsum tulang.jumlah trombosit dapat normal
atau meningka selama awal penyakit. Pada pemeriksaan histologik KGB
terdapat komponen inflamasi yang terdiri dari limfosit, histioit, sel polimorf,
eosinofil, sel plasma dan fibrosisi yang bervariasi.

2.9 PENGOBATAN

Pada umumnya, pasien membutuhkan penatalaksanaan karena nyeri pada

tulang atau gejala lain yang berhubungan dengan penyakitnya. Regimen awal

yang paling sering digunakan adalah kombinasi antara thalidomide dan

dexamethasone. Kombinasi lain berupa agen nonkemoterapeutik bartezomib dan

lenalidomide sedang diteliti. Bartezomib yang tersedia hanya dalam bentuk

intravena merupakan inhibitor proteosom dan memiliki aktivitas yang bermakna

pada myeloma. Lenalidomide, dengan pemberian oral merupakan turunan dari

thalidomide.2'5

277
Setelah pemberian terapi awal (terapi induksi) terapi konsolidasi yang optimal

untuk pasien berusia kurang dari 70 tahun adalah transplantasi stem sel autolog.

Radioterapi terlokalisasi dapat berguna sebagai terapi paliatif nyeri pada tulang

atau untuk mengeradikasi tumor pada fraktur patologis. Hiperkalsemia dapat

diterapi secara agresif, imobilisasi dan pencegahan dehidrasi. Bifosfonat

inengurangi fraktur patologis pada pasien dengan penyakit pada tulang."4

Gambar 11. Pendekatan penatalaksanaan pada pasien barn terdiagnosis multiple


myeloma(MM). (dikutip dari kepustakaan 2)

278
2.10 PROGNOSIS

Meskipun rara-rata pasien multiple myeloma bertahan kira-kira 3 tahun,

beberapa pasien yang mengidap multiple myeloma dapat bertahan hingga 10

tahun tergantung pada tingkatan penyakit. I2

Berdasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie System , angka rata-rata

pasien bertahan hidup sebagai berikut :6

- Stadium I > 60 bulan

- Stadium II , 41 bulan

- Stadium III , 23 bulan

- Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk

Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International staging

systemmaka rata-rata angka bertahan hidup pasien dengan multiple

myelomasebagai

berikut :6

- Stadium I , 62 bulan

- Stadium II, 44 bulan

- Stadium III, 29 bulan

279
BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
a. Definisi dari multiple myeloma yaitukanker tulang sumsum yang
mempengaruhi produksi sel darah merah, sel darah putih dan sel stem.
b. Lokasi predominan multiple myeloma mencakup tulang-tulang seperti
vertebra, tulang iga, tengkorak, pelvis, dan femur.Sel yang abnormal
membelah untuk membuat salinan-salinan dari dirinya sendiri. Sel-sel
yang baru membelah berulang-ulang, membuat semakin banyak sel-sel
abnormal. Sel-sel plasma abnormal ini disebut sel-sel multiple myeloma.
Pada waktunya, sel-sel multiple myeloma berkumpul dalam sumsum
tulang. Mereka mungkin merusak bagian yang padat dari tulang.
c. Belum diketahui penyebab pasti dari multiple myeloma. Ada beberapa
faktor-faktor risiko tertentu meningkatkan kesempatan seseorang akan
mengembangkan penyakit multiple myeloma, diantaranya : Jenis Kelamin,
ras (Bangsa), umur diatas 65 tahun, sejarah perorangan dari monoclonal
gammopathy of undetermined significance (MGUS) , sejarah multiple
myeloma keluarga.
d. Gejala dari multiple myeloma antara lain :nyeri tulang (terutama pada
tulang belakang atau tulang rusuk) dan pengeroposan tulang sehingga
tulang mudah patah, terjadi pengentalan darah (sindroma hiperviskositas),
anemia, gagal ginjal, terjadi infeksi berulang.
e. Cara mendiagnosis multiple myeloma dengan elektroforesis protein
serum, imunoelektroforesis, pemeriksaan darah, dan biopsi sumsum tulang
f. Penatalaksanaan dari multiple myeloma dengan Obat pereda nyeri
(analgetik), bayak minum, penderita harus tetap aktif namun tidak banyak
bergerak bebas, diberikan antibiotic, transfusi darah atau mendapatkan
eritropoetin, allopurinol, prednisone, difosfonat, kemoterapi

280
g. Pemeriksaan penunjang dari multiple myeloma dengan uji laboratorium
dan pemeriksaan radiologi seperti foto polos X-Ray, CT-Scan, MRI, dan
radiologi nuklir.

281
DAFTAR PUSTAKA

1. Syahrir, Mediarti. Mieloma Multipel dan Penyakit Gamopati Lain. Buku


Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. FKUI. Jakarta. 2006.
2. Palumbo, Antonio M.D. and Aderson, Kenneth M.D. Medical Progress
Multiple Myeloma. The New England Journal of Medicine, [online].
2011:364:1046-60 [cited 2018 February 10]. Available from:
http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMra1011442.
3. Wenqi, Jiang. Mieloma Multipel. Buku Ajar Onkologi Klinis Edisi 2.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta: 2008.
4. Angtuaco, Edgardo J.C, M.D, et al. Multiple Myeloma: Clinical Review
and Diagnostic Imagig. Department of Radiology and the Myeloma
Institute, University of Arkansas, [onlie]. 2004 [cited 2018 February 10].
Available from: http://radology.rsna.org/content/231/1/11.full.pdf+html
5. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Plasma Cell Disorder in Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17 th Edition. The McGraw Hill
Companies, Inc. US: 2008.
6. Besa, Emmanuel C, M.D. Multiple Myeloma. Medscape Reference.
[online] 2011 [cited 2018 February 10]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/204369-overview/.
7. Baron, Rolland, DDS, PhD. Anatomy and Ultrastructure of Bone
Histogenesis, Growth and Remodelling, Endotext The most accesed
source endocrinology for Medical Professionals, [online]. 2008 [cited
2018 February 10]. Available from:
http://endotext.org/parathyroid1/parathypoid1.html
8. Belch, Andrew R, MD, et al. Multiple Myeloma Patient Handbook,
Multiple Myeloma Canada, [online]. 2007 [cited 2018 February 10].
Available from: http://myeloma.org/pdfs/PHCanada.pdf
9. Ki Yap, Dr. Multiple Myeloma. Radiopedia.org, [online] 2010 [cited
2018 February 10]. Available from:
http://radopedia.org/articles/multiple-myeloma-1
10. _________ . Multiple Myeloma Research. Department of Radiology,
College of Medicine, Unversity of Arkansas for Medical Sciences,
[online] [cited 2018 February 10]. Available from:
http://uams.edu/radiology/info/research/multiple_myeloma/default.asp
11. Schmaier, Alvin H., MD, et al. Multiple Myeloma and Plasmacytoma
Hematology for the Medical Student. Lippicott Williams & Wilkins.
United States of America: 2003
12. Vickery, Eric, PA-C. Multiple Myeloma: Vague Symptomps can
challenge diagnostic skill. Journal of the American Academy of
Pgysician Assistants, [onine]. 2008 [ cited 2018 February 10]. Available
from: http://jaapa.com/multiple-myeloma-vague-symptoms-can-
challange-diagnostic-skill/article/121750/
13. Reyna, Rolando, Lytic Lesion in Multiple Myeloma – Radiology
Teachng Diles. MyPACS.net [online]. 2005 [cited 2018 February 10].

281
Available from: http://www.mypascs.net/cases/LYTIC-LESION-IN-
MULTIPLE-MYELOMA-1664181.html
14. _________ . Guidelines on the Diagnostic and Management of Multiple
Myeloma Forum, [online]. [cited 2018 Febuary 10]. Available from:
http://www.ukmf.org.uk/guidlines/gdmm/context.htm
15. Kumar, Cotran, Robins. Mieloma Multipel dan Gangguan Sel Plasma
Terkait – Buku Ajar Patologi Edisi 7, Robbins volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta: 2004
16. Brant, William E, et al. Fundamentals of Diagnostic Radiology – 2nd Ed.
Lippincott Williams & Wilkins, 2007.
17. Berquist, Thomas H. Muskuloskeletal Imaging Companion. Lippincott
Williams & Wilkins. 2007.
18. _________ . Cardiothoracic Pulmonary Imaging Correlation Conference
– Case of the week. Virginia Commonwealth University Health System,
[online]. 2009 [cited 2018 February 10]. Availabe from:
http://www.veuthoracicimaging.com/Historyanswer.aspx?qid=9&fid=1
19. _________ . MRI of Multiple Myeloma. Science Photo Library, [online.
[cited 2018 February 10]. Available from:
http://www.sciencephoto.com/images/download_lo_res.html?id=7713408
76
20. _________ . Pelayanan Kedokteran Nuklir Diagnostik. Bagian
Radiologi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, [online] 2005 [cited
2018 February 10]. Available from:
http://www.radiologi.ugm.ac.id/kednuklirdiagnosis.html
21. _________ . Multiple Myeloma – PET CT Scan Images. Department of
Radiology, College of Medicine, Unversty of Arkansas for Medical
Sciences, [online] [cited 2018 February 10]. Available from:
http://www.uams.edu/radiology/info/clinical/pet/images.asp
22. Susworo, dr. Penyebaran Tumor Ganas di Tulang: Aspek Diagnostik dan
Terapi. Cermin Dunia Kedokteran, [online]. 1981 [cited 2018 February
10]. Available from:
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08PenyebaranTumorGanasdiTulan
g023.html
23. Weber, Kristy, MD. Rounds 2: Treatment of Metastatic Bone. The Johns
Hopkins Arthritis Center, [onlne]. 2006 [cited 2018 February 10].
Available from: http://www.hopkins-arthritis.org/physician-
corner/cme/rheumatology-
rounds/metastatic_bone_disease_rheumrounds2.html

282
REFERAT

TUBERKULOSIS MIILER

Disusunoleh:

Wilda Iqrima
NPM. 112170073

Pembimbing :

dr. Hj. Farida Yunus Dahlan, Sp.Rad

KEPANITERAAN KLINIK ILMU RADIOLOGI

RSUD WALED CIREBON

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI CIREBON

2018

283
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa
karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
tugas referat ini.

Referat ini mengulas tentang Tuberkulosis milier yang meliputi anatomi,


fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, terapi dan komplikasi. Diharapkan
dengan mengetahui tentang Tuberkulosis milier dapat menambah wawasan dan
pengetahuan mahasiswa program pendidikan profesi dokter.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Hj. Farida Yunus Dahlan,
Sp. Rad, selaku konsulen yang telah membimbing saya dalam proses diskusi, tak
lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
menyusun referat ini.

Semoga referat ini bermanfaat untuk memberikan kontribusi kepada


mahasiswa kepaniteraan di stase ilmu radiologi
sebagai bekal kedepannya. Dan tentunya referat ini masih sangat jauh dari
sempurna. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan masukan yang membangun
demi perbaikan pembuatan referat dimasa yang akan datang.

Cirebon, 11 Februari 2018

Penulis

284
A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis milier adalah suatu bentuk tuberkulosa paru dengan
terbentuknya granuloma. Granuloma yang merupakan perkembangan penyakit
dengan ukuran kurang lebih sama kelihatan seperti biji ‘milet’ (sejenis
gandum), berdiameter 1-2 mm. TB milier lebih sering terjadi pada bayi dan
anak kecil, terutama usia dibawah 2 tahun, karena imunitas seluler spesifik,
fungsi makrofag dan mekanisme lokal pertahanan parunya belum berkembang
sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan menyebar
keseluruh tubuh. Akan tetapi, TB milier dapat juga terjadi pada anak besar dan
remaja akibat pengobatan paru primer sebelumnya yang tidak adekuat, atau
pada usia dewasa akibat reaktivitas kuman yang dormant (1).
Tuberkulosis milier termasuk salah satu bentuk TB yang berat dan
merupakan 3-7% dari seluruh kasus TB dengan angka kematian yang tinggi.
Tuberkulosis milier merupakan jenis tuberkulosis yang bervariasi mulai dari
infeksi kronis, progresif lambat, hingga penyakit fulminan akut, yang
disebabkan penyebaran hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa
terinfeksi ke dalam aliran darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-
tuberkel mirip benih padi. TB milier merupakan penyakit limfo-hematogen
sistemik akibat penyebaran kuman M. tuberkulosis dari kompleks primer yang
biasanya terjadi dalam waktu 2-6 bulan pertama setelah infeksi awal (1,2).
Diagnosis TB milier ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan radiologis. Pada anamnesis didapatkan : gejala-gejala
kelelahan, berat badan menurun, batuk-batuk, demam dan keringat di malam
hari kemudian pada pemeriksaan fisik di dapatkan pembengkakan kelenjar
limpha, hepatomegali, spelnomegali,2 pancreatitis, diarrhea. Pada gambaran
radiologi Terdapat bercak infiltrate di kedua lapang paru , hilus menebal,
terdapat kompleks Ranke, terdapat lesi primer Ghon dan terdapat limfadenitis
regional. Mengacu pada ketentuan WHO, pengobatan TBC milier pada
prinsipnya sama dengan pengobatan TBC pada umumnya, yaitu perpaduan
dari beberapa jenis antituberkulosa baik yang bakteriostatik maupun
bakterisid. TB milier bersama dengan TB dengan meningitis, TB pleuritis

285
eksudatif, TB perikarditis konstriktif, direkomendasikan untuk mendapat
pengobatan OAT kategori 1 ditambah dengan kortikosteroid (1,2).

A. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit menular pada manusia dan hewan yang
disebabkan oleh spesies Mycobacterium dan ditandai dengan pembentukan
tuberkel dan nekrosis kaseosa (perkejuan) pada jaringan-jaringan (1,2).
Tuberkulosis Miliaris adalah jenis tuberculosis yang bervariasi dari infeksi
kronis, progresif lambat hingga penyakit fulminan akut ini disebabkan oleh
penyebaran hematogen atau limfogen dari bahan kaseosa terinfeksi ke dalam
aliran darah dan mengenai banyak organ dengan tuberkel-tuberkel mirip benih
padi(3).

B. INSIDEN DAN EPIDEMIOLOGI


Tuberkulosis berlanjut sebagai penyebab kematian yang penting. Pada
tahun 1991, di Amerika Serikat dilaporkan 26.283 kasus tuberkulosis, dengan
angka kasus 10,4 per 100.000 pertahun. Angka kasus telah menurun hingga
setingkat 5-6 persen pertahun, namun sejak tahun 1985 arahnya berbalik, yaitu
angka kasus menarik sampai 15,8% selama 5 tahun. Diperkirakan bahwa 10
juta orang amerika mempunyai hasil tes tuberculin yang positif, tetapi kurang
dari 1% anak-anak amerika yang menunjukkan reaksi terhadap tuberculin.
Penyakit tuberkulosis di Amerika utara cenderung menjadi penyakit
pada orang tua, penduduk kota yang miskin, dari golong kecil dan penderita
AIDS. Pada segala umur, rata-rata kasus di antara orang-orang kulit hitam
cenderung dua kali lebih besar dari pada orang kulit putih. Orang-orang
hispanik, Haiti dan imigran Asia Tenggara mempunyai rata-rata kasus yang
sama tingginya dengan individu dari negara asal mereka dan pada individu-
individu ini frekuensi penyakit yang terjadi di antara individu mudanya
menujukkan kejadian penyakit ini pada anak-anak muda di negara mereka.
Pada banyak tempat didunia, penyebaran penyakit tuberkulosis menurun,
namun pada banyak negara miskin tidaklah demikian. Pada beberapa Negara,

286
perkiraan angka kasus baru adalah sampai setinggi 400 per 100.000 pertahun
(1,3)
.
Sebagaimana di Amerika Utara dan Eropa, kemiskinan berjalan
seiringan dengan tuberkulosis. Pada daerah yang prevalensi tinggi, prevalensi
tuberkulosis tampak setara pada lingkungan pedesaan dan perkotaan dan
terutama menyerang orang dewasa muda. Pada Negara dengan infeksi HIV
endemic, tuberkulosis merupakan penyebab tunggal morbiditas dan mortalitas
yang terpenting pada pasien AIDS.
Perkiraan yang beralasan tentang besarnya angka tuberkulosis di dunia
adalah sepertiga populasi dunia terinfeksi dengan M. tuberkulosis, bahwa 30
juta kasus tuberkulosis aktif di dunia, dengan 10 juta kasus baru terjadi setiap
tahun, dan bahwa 3 juta orang meninggal akibat tuberkulosis setiap tahun.
Tuberkulosis mungkin menyebabkan 6% dari seluruh kematian di seluruh
dunia (2,3).

C. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak
dalam rongga dada atau toraks. Setiap paru memiliki apeks (bagian atas paru)
dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh
limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru
kanan lebih besar dibandingkan paru kiri dan dibagi menjadi tiga lobus oleh
fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus (1,2,3).

Gambar 1 : Anatomi Paru-paru (Dikutip dari kepustakaan 1).

287
Suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung kolagen dan jaringan
elastis, dikenal sebagai pleura, melapisis rongga dada (pleura parietalis) dan
menyelubungi setiap paru (pleura viseralis).Diafragma merupakan otot
berbentuk kubah yang membentuk dasar rongga toraks dan memisahkan
rongga tersebut dari rongga abdomen (3). Suplai darah paru bersifat unik
dalam beberapa hal. Pertama, paru mempunyai dua sumber suplai darah dari
arteria bronkialis dan arteria pulmonalis. Sirkulasi bronchial menyediakan
darah teroksigenasi dari sirkulasi sistemik dan berfungsi memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan paru (3,4).
Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke
dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan melalui udara ekspirasi, dapat
dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu
masuknya campuran gas-gas kedalam dan keluar paru. Stadium kedua,
transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek : (1) difus gas-gas antara
alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah sistemik dan
sel-sel jaringan; (2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonal dan
penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan (3)
reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2 dengan darah (4,5).

D. ETIOLOGI
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 um. Species lain yang
dapat memberikan infeksi pada manusia adalah M.bovis, M.kansasi,
M.intercellulare. Sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak (lipid). Lipid
inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap trauma
kimia dan fisik (6).
Sebagian besar mycobacterium tidak patogen pada manusia, dan banyak
yang mudah diisolasi dari sumber lingkungan. Kuman ini dapat hidup pada
udara kering maupun dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun
dalam lemari es). Hal ini terjadi karena kuman dalam sifat dormant. Dari sifat
dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan menjadikan tuberkulosis aktif
lagi (6,7).

288
E. PATOFISIOLOGI
Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberkulosis masuk ke jaringan
paru melalui airborninfektion yang terhirup. Masuknya kuman akan
merangsang mekanisme imun nonspesifik, makrofag alveolus akan
memfagositosis kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian
besar kuman TB, dengan demikian masuknya kuman tidak selalu
menimbulkan penyakit, terjadinya infeksi dipengaruhi oleh virulensi dan
banyaknya kuman TB serta daya tahan tubuh yang terkena (4,8,9).
Jika virulensi kuman tinggi dan jumlah kuman banyak atau daya tahan
tubuh menurun maka makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag tersebut. Kuman TB yang terus
berkembangbiak akan menyebabkan makrofag lisis, dan kuman TB akan
membentuk koloni ditempat tersebut yang disebut Fokus Primer Ghon. Dari
fokus primer tersebut kuman TB dapat menyebar melalui saluran limfe
menuju ke kelenjar limfe regional yang akan menyebabkan terjadinya
inflamasi di saluran limfe (Limfangitis) dan kelenjar limfe tersebut
(limfadenitis). Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus primer
Limfangitis dan Limfadenitis regional. Masa inkubasi yaitu sampai
terbentuknya kompleks primer biasanya berlangsung dalam waktu 4-8
minggu. Apabila virulensi kuman rendah atau jumlah kuman sedikit atau daya
tahan tubuh yang baik kompleks primer akan mengalami resolusi secara
sempurna membentuk fibrosis dan kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijauan dan enkapsulasi. Begitu juga kelenjar limfe regional akan
mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi resolusi biasanya tidak sesempurna
focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap
selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini (dormant). Selain mengalami
resolusi kompleks primer dapat juga mengalami resolusi, kompleks primer
dapat juga mengalami komplikasi dan dapat menyebar (8,9).
Penyebaran dapat terjadi secara bronkogen, limfogen dan hematogen.
Pada penyebaran limfogen kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer, sedangkan pada penyebaran hematogen kuman
TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya

289
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik (9).
Penyebaran hematogen kuman TB dapat berupa : Occult hematogenic
spread (penyebaran hematogenik tersamar). Acute generalized hematogenic
spread (penyebaran hematogenik generalisata akut). Protracted hematogenik
spread (penyebaran hematogenik berulang-ulang). Tuberkulosis milier
merupakan hasil dari penyebaran hematogenik generalisata akut dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan dari proses ini
akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari
gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir padi-padian/jewawut (millet
seed). Secara patologi anatomi lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm
yang tersebar merata (difus) pada paru. TB milier lebih sering terjadi pada
bayi dan anak kecil, terutama usia di bawah 2 tahun, karena imunitas seluler
spesifik, fungsi makrofag, dan mekanisme lokal pertahanan paru-nya belum
berkembang sempurna sehingga kuman TB mudah berkembang biak dan
menyebar ke seluruh tubuh. Terjadinya TB milier dipengaruhi oleh 3 faktor,
yaitu kuman M. tuberkulosis (jumlah dan virulensi), status imunologis
penderita (nonspesifik dan spesifik) dan faktor lingkungan (kurangnya
paparan sinar matahari, perumahan yang padat, polusi udara, merokok,
penggunaan alkohol, obat bius serta sosio ekonomi). Beberapa kondisi yang
menurunkan system imun juga dapat menyebabkan timbulnya TB milier
(8,9,10)
.

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Tuberkulosis milier merupakan suatu komplikasi dari satu fokus
infeksi tuberkulosa yang disebarkan secara hematogen yang bersifat
sistemik. Sehingga keluhan penderita tuberkulosis primer hampir sama
dengan penderita tuberkulosis pada umumnya yaitu berupa batuk-batuk,
demam, nafsu makan menurun, berat badan menurun, keringat malam hari
dan pada keadaan larut dapat juga dijumpai batuk yang produktif dan
kadang disertai darah. Demam merupakan suatu tanda klasik pada

290
tuberkulosis milier, dimana bentuk demamnya tidak khas. Penderita TB
milier biasanya mendapatkan gejala-gejala seperti, lemah (90%),
penurunan berat badan (80%) sakit kepala (10%) dimana keluhan ini dapat
terjadi secara progresif selama beberapa hari atau beberapa minggu dan
bahkan dapat terjadi (walaupun jarang) selama beberapa bulan. Penelitian
lain mendapatkan anoreksia (15,6%), nyeri perut (6%) dan nyeri dada
(11)
(12%) . Pada pasien dengan Tb milier mengalami gejala-gejala
kelelahan, berat badan menurun, batuk-batuk, demam, keringat di malam
hari . gejala klinis yang disebutkan tidak spesifik sehingga diperlukannya
pemeriksaan fisis (11).
2. Pemeriksaan Fisis
Pada pemeriksaan fisik tidak dijumpai hal yang istimewa pada
penderita TB milier kecuali tahap lanjut dijumpai keterlibatan organ
seperti pembesaran limfa dan hati. Pada pemeriksaan mata dapat dijumpai
choroidal tuberkel yang merupakan pemeriksaan patognomonis untuk TB
milier. Pada pemeriksaan secara fisik dijumpai demam (80%), keringat
malam (50%), batuk (60%), pembengkakan kelenjar limpha (40%),
hepatomegali (40%), splenomegali (15%), pancreatitis (<5%), diarrhea
(6%) dan disfungsi multi organ (11,12).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Darah
Pada saat tuberkulosis baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah
leukosit yang sedikit meninggi. Jumlah limfosit masih dibawah
normal. LED mulai meningkat bila penyakit mulai sembuh jumlah
leukosit kembali normal dan jumlah limfosit masih tinggi. Laju endap
darah mulai turun kearah normal lagi.Belakangan ini terdapat
pemeriksaan serologis yang banyak juga dipakai yakni Peroksidase
Anti-Peroksida. (PAP-TB). Prinsip dasar uji PAP-TB adalah
menentukan adanya antibody IgG yang spesifik terhadap antigen
M.Tuberkulosa (14).

291
b. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan
ditemukannya kuman BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat
dipastikan. Disamping itu pemeriksaan sputum juga dapat memberikan
evaluasi terhadap pengobatan yang sudah diberikan. Kriteria sputum
BTA positif adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan tiga batang
kuman BTA pada satu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5000
kuman dalam 1 mL sputum. Pemeriksaan dengan mikroskop
fluoresens dengan sinar ultraviolet walaupun sensitivitasnya sangat
tinggi jarang dilakukan karena pewarnaan yang dipakai (auramin-rho-
damin) dicurigai bersifat karsinogenik (14,15).
c. Tes Tuberkulin
Tes Tuberkulin hanya menyatakan apakah seorang individu
sedang atau pernah mengalami infeksi M.tuberculosis, M. bovis,
vaksinasi BCG dan mikrobakterium pathogen lainnya. Dasar tes
tuberculin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Pada penularan dengan
kuman patogen baik yang virulen ataupun tidak (Mycobakterium
tuberculosae atau BCG) tubuh manusia akan mengalami reaksi
imunologi dengan dibentuknya antibody selular pada permulaan dan
kemudian diikuti oleh pembentukan antibody humoral yang dalam
perannya akan menekankan antibody selular (14,15).
d. X-Ray
Gambaran tuberkulosis milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Akibat
penyebaran hematogen tampak sarang-sarang sekecil 1-2 mm, atau
sebesar kepala jarum (milium), tersebar secara merata di kedua belah
paru. Pada foto, toraks tuberkulosis miliaris ini dapat menyerupai
gambaran ‘badai kabut’ (snow storm appearance). Penyebaran seperti
ini juga dapat terjadi ke ginjal, tulang, sendi, selaput otak (menings),
dan sebagainya (13).

292
e. CT SCAN
Pemeriksaan dengan CT scan dengan resolusi yang tinggi dimana
dengan ketebalan 1 mm lebih baik dibandingkan dengan foto thoraks,
bila dicurigai meningitis TB dapat dilakukan Head CT scan demikian

Gambar 2 : pasien dengan TB milier.


Terdapat bercak infiltrate di kedua lapang paru, Hilus menebal, Terdapat
kompleks Ranke, Terdapat Lesi primer Ghon, Terdapat limfadenitis regional
(Dikutip dari kepustakaan 14)

293
Gambar 3 : Pasien pria berumur 47 tahun . pada foto thorax posisi PA
menunjukkan miliar merata yang berukuran nodular. (Dikutip dari
kepustakaan 14)

juga dengan CT scan abdomen untuk melihat keterlibatan limfa para


aorta, hepatosplenomegali atau abses tuberkel (13,14).

294
Gambar 4 : TB miliar pada pasien berumur 70 tahun. Tinggi resolusi gambar
CT (1,0 mm ketebalan bagian) di tingkat lobar bronkus atas menunjukkan
nodul kecil berukuran seragam secara acak di seluruh kedua paru-paru.
Perhatikan nodul subpleural dan subfissural (panah). (Dikutip dari
kepustakaan 14).

Gambar 5 : pria 47 tahun mengalami gangguan pernafasan akut. Tinggi


resolusi gambar CT (1,0 mm ketebalan bagian) di tingkat ventrikel
menunjukkan acak nodul kecil dan luas bilateral ground-glass opacity.
Perhatikan thickenings interlobular, septum interstisial (panah) dan
intralobular di kedua paru. (Dikutip dari kepustakaan 14)

295
G. DIAGNOSA BANDING
1. Simple broncopneumonia
2. Kanker paru stadium dini

Gambar 5 : foto thorax pada pasien broncopneumonia. (Dikutip dari kepustakaan


16)

Gambar 6: radiography cancer. (Dikutip dari kepustakaan 17)

3. Bronkiektaksis
4. Bronchitis

296
5. Emfisema

Gambar 7 : gambaran radiologi bronkiektasis. (Dikutip dari kepustakaan 18)

Gambar 8 : gambaran radiologi Bronchitis (Dikutip dari kepustakaan 19)

297
Gambar 9 : gambaran radiologi emfisema (Dikuti dari kepustakaan 20)

H. PENATALAKSANAAN
Pengobatan TB Milier menggunakan Obat Anti TB (OAT) tersebut berupa:
1. Obat primer :
a. Isoniazid
b. Rifampisin
c. Pirazinamid
d. Streptomisin
e. Etambutol
2. Obat sekunder
a. Etionamid
b. Protionamid
c. Sikloserin
d. Kanamisin

298
e. P.A.S (Para Amino Salicylic Acid)
f. Tiasetazon
g. Viomisin
INH + Rifampisin + Streptomisin atau Etambutol atau Pirazinamid (Z) setiap
hari sebagai fase intial selama 1-2 bulan dilanjutkan dengan INH + Rifampisin
atau Etambutol atau Streptomisin 2-3 kali seminggu selama 4-7 bulan,
sehingga lama pengobatan keseluruhan menjadi 6-9 bulan (7,21).

I. KOMPLIKASI
1. Paru : Pneumothoraks, Bronkiektasis, Abses paru
2. Penyebaran secara hematogen : TB kulit, Meningitis TB, Spondylitis, TB
ginjal Peritonitis TB
3. Penyebaran secara limfogen : Lymphodenitis TB (8).

J. PROGNOSIS
Jika berobat teratur sembuh total (95%).Jika dalam 2 tahun penyakit tidak
aktif, hanya sekitar 1% yang mungkin relaps (15).

299
DAFTAR PUSTAKA

1. J. Steven . TB MILLIER , Update: 2010 june 12; Available from


www.scribd.com/doc/77109157/tb-MILLIER,

2. Novandra Rangga. Referat TB Milier, Update 29 september 2011; Available


from : http// : slideshare.net.referat/referat-tbmilier. htm;

3. Robbins SL, Kumar V, et al Editors. Paru dan saluran nafas atas. Dalam: Buku
Ajar Patologi. Vol 2. Edisi 7. Jakarta: Penerbot Buku Kedokteran EGC; 2007. Hal
: 546-550

4. Price Sylvia A Wilson Lorraine M. Gangguan system pernafasan. Dalam:


Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. vol. 2. Edisi 6. Jakarta:
Penerbit buku kedokteran EGC; 2005. Hal : 736-741 , 852.

5. Guyton and Hall. Pernafasan dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC; 2007. Hal : 495

6. Jewetz, Melnick, Adelberg. Miycobacterium tuberculosis . dalam :


Mikrobiologi Kedokteran.Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2007. Hal 325

7. Gunawan sulistia gan, Nafrialdi rianto setiabudy, Elisabeth. Tuberkulostatik


dan Leprostatik. dalam: Farmakologi dan terapi Edisi 5. Jakarta: Penerbit gaya
baru; 2007. Hal : 626-628

8. SGeorg . Tuberculosis . Update 2009 20 may ; Available from


www.emedicinehealth.com/tuberculosis/.

9. Wastonjhon..Diagnostic of Tuberculosis Update : 2012 january 01; available


from :www.tbalert.org/resources/paper_pub.

10. Harrison’s. Principle of Internal Medicine volume 1. Editor: Fauci,


Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. Penerbit: The McGraw-
Hill companies. America. 2008. Hal; 225-228.

11. Alsagaf H, Mukty A. Tuberkulosis paru. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru.


Airlangga University Press. Surabaya. 2009. Hal 97.

300
12. Sudoyo A.W, Amin.Z.dkk.Tuberkulosis.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
III edisi kelima. Balai Penerbit FKUI.Jakarta.2009. Hal 2230-2239

13. Rasad S. Tuberkulosis .Radiologi Diagnostik edisi kedua . editor: Ekayuda,I .


Balai Penerbit FKUI: Jakarta. 2010. Hal; 131-136

14. Klaus-Dieter,Lessnau,MD,FCCP. Miliary Tuberculosis. Update 2011 29 mar


available from : http://emedicine.medscape.com

15. Ann. N . Leung. MD . Pulmonary Tuberculosis. Update : 2010 feb 14.


Available from http://radiology.rsna.org/content.com

16. George Daniel. Broncopneumonia update : 2011 july 06; Available from
http://atlas.mudr.org/Case-images- Bronchopneumonia

17. Anna. Gambar radiograpy kanker paru. Update 2009 mar 07 Available from :
http://www.slideshare.net/bequeen/refratkanker- paru-anna

18. Dannie mc . X Ray radiograpy. Update 2008 sept 09. Available from :
http://www.allposters.ie/-sp/Bronkiektaksis-Chest-XRay -posters_i4257631_.htm

19. Dannie mc . X Ray radiograpy. Update 2008 sept 09. Available from :
http://www.allposters.ie/-sp/Bronchitis-Chest-X-Ray-Adult
posters_i4257633_.htm

20. Dannie mc . X Ray radiograpy. Update 2008 sept 09. Available from : X Ray
radiograpy http://www.allposters.ie/- sp/Emfisema-Chest-X-Ray-Adult-
posters_i4257639_.htm

301
BIODATA

Nama Lengkap : Septian Nikko Perdana


Jenis Kelamin : Laki-laki
TTL : Purwokerto, 11 September 1989
NPM : 110170063
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No Telpon : 085227600600
Email : nikko_perdana@yahoo.com
Alamat : Cilacap

Nama Lengkap: Listio Budi Santoso


Jenis Kelamin : Laki-laki
TTL : Indramayu, 24 Juni 1987
NPM : 111170042
Fakultas : Kedokteran
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No. HP : 081220323321
Email : tio_bs@yahoo.com
Alamat : Jl. Zambrud 24 199p wing 3 Setia budi
regensi
Kelurahan Parompong kab. Bandung Barat

Nama Lengkap: Arni Annisa Rochmaniah


Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Cirebon, 04 Februari 1994
NPM : 112170007
Fakultas : Kedokteran
Agama : Islam
No. HP : 085294329942
Email : arni.a.rochmaniah@gmail.com
Alamat : Jl. Villa Intan 1 No. 2 Klayan Cirebon

302
Nama Lengkap: Ira Devi Kania
Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Sukabumi, 19 Maret 1994
NIM : 112170044
Fakultas : Kedokteran
Agama : Islam
No. Hp : 082234560008
Email : Devikaniaira@gmail.com
Alamat : Jl. Kol. Ahmad Syam Komplek
IKOPIN Regency Blok E No. A130,
Desa Sayang, Jatinangor, Sumedang

Nama Lengkap : Magindra Nursani Afifa


Jenis Kelamin : perempuan
TTL : Bandung 17 Juni 1993
NPM : 112170049
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No Telpon : 081322052312
Email : magindranursasu@gmail.com
Alamat ; Bandung

Nama Lengkap : Rahdyani Purwaningrum


Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Bekasi 25 oktober 1994
NPM : 112170062
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No Telpon : 082227079066
Email : rahdyani.purwaningrum1@gmail.com
Alamat : Tegal

303
Nama Lengkap : Taufik Budi Permana
Jenis Kelamin : laki-laki
TTL : Indramayu 12 januari 1993
NPM : 112170068
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No Telpon : 082126691533
Email : taufikbdprmn@gmail.com
Alamat : Indramayu

Nama Lengkap : Teguh Yudha Adiguna


Jenis Kelamin : Laki-Laki
TTL : Majalengka 16 Agustus 1994
NPM : 112170069
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
No Telpon : 081223857999
Email : gyudha16@gmail.com
Alamat : Majalengka

Nama Lengkap: Wilda Iqrima


Jenis Kelamin : Perempuan
TTL : Pekalongan, 23 Juni 1992
NPM : 112170073
Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas
Swadaya Gunung Jati
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Telepon : 081222377073
Email : wildaiqrima@gmail.com
Alamat Asal : Jalan Menteng 03 Kec. Kawali,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat

304
LAMPIRAN

305
306
307

You might also like