Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 15

ASUHAN KEPERAWATAN

LARINGOTRAKEOBRONKITIS (CROUP)
DI RUANG PICU RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

NAMA : YOVINSA WIDYA PUTRI AKIMAS


INSTANSI : RSIA PURI MALANG

PELATIHAN BASIC COURSE OF PEDIATRIC INTENSIVE CARE UNIT


GELOMBANG I
RUMAH SAKIT Dr. SAIFUL ANWAR MALANG
2016

1
I. DEFINISI
Simdrom croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu
kelompok penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea
dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong,
suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas.
Pada sindrom croup ini terdapat suatu kondisi pernafasan yang biasanya
dipicu oleh infeksi virus akut saluran napas bagian atas. Infeksi menyebabkan
pembengkakan di dalam tenggorokan, yang mengganggu pernapasan normal.
Selain itu juga terjadi suatu pembengkakan di sekitar pita suara, pada
umumnya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan berbagai penyebab.
Infeksi juga bisa terjadi pada parenkim paru.
Infeksi virus akut adalah penyebab tersering terjadinya sindrom croup,
tetapi dapat juga disebabkan oleh bakteri dan agen atipikal. Secara umum
laringotrakeitis akut dan spasmodic croup disebabkan oleh virus, tetapi
bakteri dan virus menyebabkan penyakit ini menyebar ke traktus respiratori
bagian bawah seperti laringotrakeabronkitis dan
laringotrakeabronkopneumonitis. Trakeitis bakteri disebut juga croup bakteri,
yang disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Staphilococcou aureus,
Hemophilus influenza, dan Corynobacterium diphteriae.

II. KLASIFIKASI

Terminologi untuk sindrom croup berubah setiap waktu .tetapi


klasifikasinya tidak begitu jelas. Sebagai contoh, “laringotrakeobronkitis”
sering digunakan untuk mengambarkan spasmodic croup atau laringotrakeitis.
Secara umum kasus sindrom croup adalah spasmodic croup dan
laringotrakeobronkitis. (tabel 1).

2
Tabel 1: klasifikasi,definisi, dan gambaran klinis sindrom croup

Karakteristik Laringotrakeobronkitis Spasmodic Croup


Definisi Inflamasi pada laring, Kejadian stridor inspirasi
trakea, dan bronkus tiba-tiba pada waktu
malam, tanpa inflamasi
Usia 3 bulan – 3 tahun 3 bulan – 3 tahun
Gejala prodromal Biasanya coryza Coryza minimal
Onset Secara tiba-tiba, sering Biasanya progresif dalam
pada waktu malam, jangka waktu 12 jam
awalnya muncul gejala sampai 7 hari
seperti flu ringan, tetapi
bangun dengan batuk
menggongong dan stridor
Simptom Suara serak dan batuk Suara serak dan batuk
menggongong, tanpa menggongong, tanpa
disfagi, stridor inspirasi disfagi, stridor inspirasi
berat yang minimal sedang
Gejala Demam, biasanya 37.8- Tanpa demam, tanpa
40.5 : biasanya dengan faringitis, epiglottis normal
faringitis minimal,
epiglottis normal
Lama sakit 2-7 hari 2-4 jam
Temuan radiologi Penyempitan subglotis Penyempitan subglotis
pada posterior-anterior, pada sudut posterior-
densitas jaringan trakea anterior
irregular pada sudut
lateral
Predisposisi asma Tidak ada Ada

3
Selain klasifikasi secara umum, juga terdapat klasifikasi berdasarkan derajat
keparahan batuk atau derajat kegawatan, dikelompokkan menjadi 4 kategori:
1. Ringan: Ditandai dengan kadang-kadang batuk menggonggong, stridor
tidak dapat terdengar saat pasien istirahat/tidak beraktivitas atau tidak ada
kegiatan dan terdapat retraksi dada ringan.
2. Moderat/Sedang: Ditandai dengan batuk menggonggong yangsering
timbul, Stridor lebih bisa terdengar ketika pasien beristirahat atau tidak
aktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tanpa
gangguan pernapasan yaitu gawat napas (repiratory distress).
3. Berat: Ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul,
inspirasi stridor lebih bisa terdengar saat aktivitas pasien atau kurang
istirahat, akan tetapi, lebih terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan
kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada,
juga terdapat gangguan pernapasan.
4. Gagal napas mengancam: Batuk kadang-kadang tidak jelas, stridor
positif (kadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), terdapat sedikit
gangguan kesadaran (letargi), dan kelesuan.

III. EPIDEMIOLOGI

Sindrom Croup biasanya terjadi pada anak usia 6 bulan-6 tahun, dengan
puncaknya pada usia 6 bulan sampai 3 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat
terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 15 tahun.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak
perempuan, dengan rasio 3:2.Angka kejadiannya meningkat pada musim
dingin dan musim gugur.
Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan
dengan pematangan struktur anatomi saluran pernapasan atas. Hampir 15%
pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang
sama.

4
IV. ETIOLOGI
Sindrom croup ini dianggap terjadi karena infeksi virus. Nama lain
menggunakan istilah yang lebih luas, untuk menyertakan laringotrakeitis
akut, batuk tidak teratur, difteri laring, trakeitis bakteri ,
laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonitis. Dari macam-
macam penyakit tersebut terdapat kondisi yang melibatkan infeksi virus dan
umumnya lebih ringan sehubungan dengan simptomatologi, akan tetapi dapat
pula disebabkan oleh infeksi bakteri dan biasanya dengan tingkat keparahan
lebih besar. Selain dapat disebabkan virus dan bakteri, sindromcroup juga
bisa dikarenakan infeksi jamur yaitu berupa Candida albican.
a) Viral
Viral croup / laringotrakeitis akut yang disebabkan oleh Human
Parainfluenza Virus terutama tipe 1 (HPIV–1), HPIV-2, HPIV-3, dan
HPIV-4 terdapat pada sekitar 75% kasus. Etiologi virus lainnya adalah
InfluenzaA dan B, virus campak, Adenovirusdan Virus
pernapasan/Respiratory Syncytial Virus (RSV). Batuk hebat disebabkan
oleh kelompok virus yang sama seperti laringotrakeitis akut, tetapi tidak
memiliki tanda-tanda infeksi biasa (seperti demam, sakit tenggorokan,
dan meningkatkan jumlah sel darah putih). Perawatan, dan respon
terhadap pengobatan, juga serupa.

b) Bakteri
Bakteri yang dapat menyebabkan batuk dapat dibagi menjadi
beberapa antara lain, difteri laring, trakeitis bakteri,
laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis. Difteri
laring disebabkan Corynebacterium diphtheriae sementara trakeitis
bakteri, laryngotrakeobronkitis, dan laryngotrakeobronkopneumonitis
biasanya karena infeksi virus primer dengan pertumbuhan bakteri
sekunder. Sebagian besar bakteri yang umum terlibat adalah
Staphylococcus aureus ,Streptococcus pyogenes,Streptococcus
pneumoniae , Hemophilus influenzae , dan Catarrhalis moraxella.

5
V. PATOFISIOLOGI
Virus (terutama parainfluenza dan RSV) dapat terjadi karena inokulasi
langsung dari sekresi yang membawa virus melalui tangan atau inhalasi besar
terjadi partikel masuk melalui mata atau hidung. Infeksi virus di
laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis
biasanya dimulai dari nasofaring atau orofaring yang turun ke laring dan
trakea setelah masa inkubasi 2-8 hari. Peradangan difus yang menyebabkan
eritema dan edema pada dinding mukosa dari saluran pernapasan serta
menganggu mobilitas pita suara.Laring adalah bagian tersempit saluran
pernafasan atas yang membuatnya sangat mudah untuk terjadinya obstruksi.
Penyempitan saluran udara ini menyebabkan bunyi stridor inspirasi dapat
didengar, dan pita suara yang edema menyebabkan suara serak.
Edema mukosa yang sama pada orang dewasa dan anak-anak akan
mengakibatkan perbaikan yang berbeda. Edema mukosa dengan ketebalan 1
mm akan menyebabkan penyempitan saluran udara sebesar 44% pada anak-
anak dan 75% pada bayi. Edema mukosa dari daerah glotis akan
menyebabkan gangguan mobilitas pita suara. Edema pada daerah subglotis
juga dapat menyebabkan gejala sesak napas.
Selama perlangsungan penyakit, lumen pada trakea menjadi semakin
tersumbat dengan eksudat fibrin dan pseudomembran. Pada pemeriksaan
histologi pada laring dan trakea menunjukkan adanya edema, dengan infiltrat
sel histiosit, limfosit, plasma, dan leukosit polimorfonuklear.
Penyebaran penyakit dari trakea ke bronkus dan alveoli sehingga
menyebabkan laringotrakeobronkitis dan laringotrakeobronkopneumonitis.
Bagaimanapun, obstruksi yang progresif pada tahap ini akan menyebabkan
infeksi bakteri sekunder.
Pergerakan dinding dada dan juga dinding abdomen yang tidak teratur
menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea.
Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan juga terjadi henti
napas.

6
Pada spasmodic croup, gambaran histologi dari jaringan subglotis
menunjukkan edema non inflamasi. Ini menunjukkan tidak ada infeksi viral
secara langsung pada epitel trakeal, dan obstruksi yang terjadi disebabkan
karena terjadinya edema non inflamasi pada sub mukosa di trakea subglottic.
Walaupun dikatakan terdapat hubungan dengan virus yang sama
menyebabkan laringotrakeitis, tetapi penyebab terjadi edema secara tiba-tiba
masih belum diketahui. Dikatakan penyebab terjadinya spasmodic croup
adalah karena reaksi alergi pada antigenvirus.

VI. MANIFESTASI KLINIS


Gejala klinis di awali dengan suara serak, batuk menggonggong dan
stridor inspirasi. Bila terjadi obstruksi, stridor menjadi semakin berat, tetapi
dalam kondisi yang sudah parah stridor melemah. Dalam waktu 12-48 jam
sudah terjadi gejala obstruksi saluran napas atas. Pada beberapa kasus hanya
didapati suara serak dan batuk menggonggong, tanpa obstruksi napas.
Keadaan ini akan membaik dalam waktu 3 sampai 7 hari. Pada kasus lain
terjadi obstruksi napas yang makin berat, ditandai dengan takipneu,
takikardia, sianosis dan pernapasan cuping hidung. Pada pemeriksaan toraks
dapat ditemukan retraksi supraklavikular, suprasternal, interkostal,
epigastrial.
Bila anak mengalami hipoksia, anak tampak gelisah, tetapi jika hipoksia
bertambah berat anak tampak diam, lemas, kesadaran menurun.Pada kondisi
yang berat dapat menjadi gagal napas. Pada kasus yang berat proses
penyembuhan terjadi setelah 7-14 hari.

VII.DIAGNOSIS
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul.Pada
pemeriksaan fisik ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring,
dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai
dengan derajat stres pernapasan yang diderita.

7
Pemeriksaan langsung pada laring pasien croup tidak terlalu diperlukan.
Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotitis (serangan akut, gawat
napas/respiratory distress, disfagia, drooling), maka pemeriksaan tersebut
sangat diperlukan.
Sistem paling sering digunakan untuk mengklasifikasikan beratnya
sindrom croup adalah Skor Westley. Hal ini terutama digunakan untuk tujuan
penelitian, jarang digunakan dalam praktek klinis. Ini adalah jumlah poin
yang dipaparkan untuk lima faktor: tingkat kesadaran, cyanosis, stridor,
masuknya udara, dan retraksi. Hal-hal yang diberikan untuk setiap faktor
terdaftar dalam tabel, dan skor akhir berkisar dari 0 sampai 17.
 Skor ≤ 2 diklasifikasikan sebagai croup ringan.
 Skor 3-5 diklasifikasikan sebagai croup moderat.
 Skor >6 diklasifikasikan sebagaicroup berat.

85% dari anak-anak yang datang ke bagian darurat dengan penyakit


ringan, batuk parah sangat jarang (<1%).

Skor Westley: Klasifikasi keparahan batuk


Ciri Jumlah poin yang ditugaskan untuk fitur ini
0 1 2 3 4 5
Retraksi Tidak Ringan Moderat Parah
Dinding ada
dada
Stridor Tidak Dengan Diam
ada agitasi
Sianosis Tidak Dengan Diam
ada agitasi
Tingkat Normal Bingung
kesadaran
Udara Normal Penurunan Menurun
masuk tajam

8
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan
radiologis tidak perlu dilakukan karena diagnosis biasanya dapat ditegakkan
hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisik.
Bila ditemukan peningkatan leukosit >20.000/mm3 yang didominasi
PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup berguna untuk menegakkan
diagnosis sindromcroup ini yaitu bisa dengan pemeriksaan radiologis dan
CT-Scan.
Pada foto polos leher menunjukkan tanda klasik yaitu steeple sign,
dengan penyempitan kolum udara pada daerah subglotis yang terlihat pada
foto posterioranterior (AP). Pada hipofaring terlihat gambaran
overdistended pada foto lateral. Temuan ini didapatkan pada 50% kasus
croup, banyak anak-anak dengan sindrom croup ditemukan hasil radiografi
yang normal.

Gambar 1 (a) dan (b): Gambaran normal foto anterior-posterior

Gambar 2 (a) dan (b) Gambaran Sindrom croup foto anterior-posterior

9
Oleh karena laringotrakeitis adalah penyakit saluran pernapasa bagian
atas, pertukaran udara di alveolus biasanya normal dan hipoksia serta
saturasi oksigen yang rendah tidak dapat terdeteksi sehingga kondisi pasien
memberat.Kebanyakan anak-anak dengan laringotrakeitis atau spasmodic
croup mempunyai temuan normal pada pulse oximetry.Observasi yang
bertahap dan pemeriksaan fisik yang sering masih menjadi metode untuk
memonitoring akut laringotrakheitis yang paling akurat. Pulse oxymetry
lebih bermanfaat pada pasien laringotrakheobronkitis atau
laringotrakheobronkopneumonitis yang melibatkan saluran pernapasan
bagian bawah.

IX. DIAGNOSIS BANDING


a) Epiglotitis
b) Trakeitis Bakteri
c) Inhaled foreign body
d) Angioedema
e) Difteri
f) Abses Peritonsilar

X. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana utama bagi pasien sindrom croup adalah mengatasi
obstruksi jalan napas. Sebagian besar pasien sindrom croup tidak perlu
dirawat di rumah sakit melainkan cukup dirawat dirumah. Pasien dirawat di
rumah sakitapabila dijumpai salahsatu dari gejala-gejala berikut: anak
berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar
ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah,
sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak
ada respons terhadap terapi.

10
a. Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap telah digunakan untuk mengatasi
obstruksi jalan napas pada sindrom croup. Pemakaian uap dingin lebih
baik daripada uap panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap
panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, akan inflamasi,
mengencerkan lendir pada saluran respiratori, sekaligus memberikan efek
yang nyaman dan menenangkan bagi anak.
Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada
sindrom croup, kelembaban yang ditimbulkan oleh terapi uap dapat pula
memperberat keadaan bronkospasme yang disertai dengan asma, seperti
laringotrakeobronkitis atau pneumonia.Saat ini beberapa pusat kesehatan
tidak merekomendasikan penggunaan terapi uap.
Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin
tersaturasi (coldwater fog) tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
penggunaannya untuk mengobati croup menguntungkan. Gina
dkk.melakukan penelitian RCT dengan memberikan terapi oksigen
lembab (humidifiedoxygen) pada pasien croup derajat sedang di UGD.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perbaikan
klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang tidak
diberikan.
b. Epinefrin
Nebulisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi sindrom
croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini
menyebabkan trakeostomi hampir tidak diperlukan.
Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan
sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat
dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor
yang tidak mengalami perbaikan setelah diberikan terapi uap dingin.
Nebulisasi epinefrin akan menurunkan permeabilitas vascular
epitel bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan
meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode

11
double blind, efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30
menit dan bertahan selama dua jam. Nebulisasi epinefrin masih dapat
diberikan pada pasien dengan takikardi dan kelainan jantung seperti
Tetralogy Fallot.
c. Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui
mekanisme anti radang.Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada
pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral
atau parenteral dibandingkan dengan plasebo.
d. Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per
oral/antimuskular sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam.
Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada
penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan
pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut:
 Mengurangi rata-rata tindakan intubasi
 Mengurangi rata-rata lama rawat inap
 Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit.
Selain deksametason, dapat juga diberikan prednisone atau
prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Berdasarkan dua penelitian
meta-analisis tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan
pemberian kortikosteroid 6 dan 12 jam, tetapi tidak sampai 24 jam,
disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.
e. Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang
berat, yang tidak responsive terapi lain. Intubasi endotrakeal rnerupakan
terapi alternative selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan
napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya
hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan
bila terdapat peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas,
peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau

12
penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu
yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi.
f. Antibiotik
Pemberian antibiotik tidak diperlukan pada pasien sindrom croup,
kecuali pasien dengan laringotrakeobronkitis atau
laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberikan
terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat
menggunakan sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3.Pemberian sedative
dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup.

Dibawah ini merupakan Algoritma penatalaksanaan sindrom


Croup, sebagai berikut:

13
CROUP

Diagnosis banding
Obstruksi jalan napas yang  Aspirasi benda asing
mengancam jiwa  Abnormalitas kongenital
 Sianosis  Epiglotitis
 Penurunan kesadaran
 O2 100% dengan sungkup muka dan nebulisasi
adrenalin (5ml) 1:1000
 Intubasi anak sesegera mungkin oleh seorang
TIDAK YA
yang berpengalaman
 Hubungi pusat rujukan pelayanan kesehatan anak

Croup derajat ringan Croup derajat sedang Croup derajatberat


 Batuk menggonggong  Stridor saat istirahat  Stridor menetap saat
 Tanpa retraksi dada  Terdapat retraksi istirahat
 Tanpa sianosis dinding dada minimal  Trakeal tug dan
 Mampu berinteraksi retraksi dinding dada
terlihat jelas
 Edukasi orang tua  Apatis dan gelisah
 Pertimbangkan  Pulsus paradoksus
Kortikosteroid
kortikosteroid dosis deksametason 0,15-0,30
tunggal (oral) mg/kg atau Prednison 1-2  Minimal handling
 Periksa kemampuan mg/kg (oral) atau  O2 4 lpm dan nebulisasi
orang tua dan nebulisasi Budesonide 2 adrenalin dan
kemampuan dalam mg jika kortikosteroid oral kortikosteroid sistemik
menyediakan transport tidak berpengaruh (dosis sama dengan
croup derajat sedang)
DIPULANGKAN OBSERVASI > 4 JAM  Intubasi

RAWAT RS
Membaik Tidakmembaik
 Dipulangkan bila tidak  Evaluasi ulang
ada stridor saat istirahat
Perbaikan  Rawat
 Edukasi orang tua pasien  Hubungi konsulen
 Evaluasi diagnosis
 Rawat/observasi di IGD
 Ulangi pemberian  Nebulisasi adrenalin (dosis
kortikosteroid oral/12 jam sama) dan kortikosteroid
 Edukasi ortu pasien Sebagian sistemik (dosissama)
 Sediakan penjelasan  Persiapkan pelayanan untuk
tertulis untuk dokter umum tindakan darurat
yang akan follow up  Pertimbangkan intubasi14
 Evaluasi diagnosis
XI. KOMPLIKASI
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media,
dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan
tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien
yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.

15

You might also like