Professional Documents
Culture Documents
1.proposal KF
1.proposal KF
1.proposal KF
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abalone adalah salah satu jenis gastropoda yang memiliki nilai ekonomis
yang tinggi dan menjadi sumber pendapatan yang menguntungkan untuk
perikanan Indonesia karena harganya yang tinggi dan pengolahannya yang mudah
(Latuhamallo, dkk., 2015). Untuk memenuhi permintaan abalone yang tinggi,
sebagian masih dari alam sehingga menyebabkan populasi abalon di alam
mengalami penurunan hingga mencapai 30% dari populasinya. Sehingga kegiatan
budidaya perlu dikembangkan secara intensif untuk memenuhi permintaan pasar
yang terus meningkat (Humaidi dkk., 2014).
Kesuksesan budidaya tentunya perlu didukung oleh ketersediaan suplai
pakan. Marzuqi dkk. (2012) mengungkapkan bahwa pakan merupakan salah satu
komponen dalam budidaya yang sangat besar peranannya baik dilihat sebagai
penentu pertumbuhan maupun dilihat dari segi biaya produksi. Pakan digunakan
untuk menyediakan nutrient yang dibutuhkan organisme untuk maintenance,
pertumbuhan dan bereproduksi (Hartati, dkk.,2005).
Abalone merupakan hewan herbivora dan secara keseluruhan memakan
rumput laut. Pakan alami berupa rumput laut tidak selamanya tersedia di alam.
Untuk itu perlu dilakukan suatu upaya, yaitu melalui pemberian pakan buatan
untuk menjamin ketersediaan suplai pakan dalam jumlah yang cukup, waktu yang
tepat dan kualitas yang baik untuk membudidayakan abalon. Britz et al. (1996)
dalam Bansemer,et al., (2014) sebelumnya telah merekomendasi penggunaan
pakan formulasi dalam pemberian pakan harian untuk abalone. Perbaikan lebih
lanjut untuk frekuensi pemberian pakan pada penelitian mendatang untuk tepung
makroalga bisa saja menghasilkan peningkatan terhadap pemanfaatan pakan dan
pertumbuhan.
Dalam hal pemberian pakan formulasi pada abalone perlu diperhatikan
stabilitas pakan di dalam air. Hal ini dilakukan agar pakan tersebut dapat
dimanfaatkan secara maksimal oleh abalon dan tidak menjadi penyebab
tercemarnya lingkungan budidaya. Beberapa bahan baku yang dapat dipakai
sebagai bahan perekat pakan (binder) yaitu gandum, tepung terigu, dedak halus,
dan tepung rumput laut (Idris, 2011). Polisakarida yang terkandung dalam rumput
laut berfungsi sebagai struktur penyusun dinding sel untuk memberi kekuatan
mekanik dan bersifat tidak larut air (Santi, dkk.,2012) sehingga dapat digunakan
untuk meningkatkan stabilitas pakan dalam air.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang uji fisik dan kimiawi
pakan formulasi abalone (H.asinina) yang menggunakan jenis rumput laut berbeda
sebagai bahan perekat dengan demikian dapat ditentukan jenis rumput laut yang
paling baik sebagai bahan perekat.
B. Rumusan Masalah
A. Klasifikasi
Kepala dan mulut abalone diapit oleh dua pasang tentakel sensori;
pasangan yang lebih pendek merupakan mata pengintai. Mulut abalone tidak
memiliki gigi namun dilengkapi dengan lidah panjang yang menusuk disebut
radula yang digunakan untuk mencabik, mencabut dan memasukkan makanan
yang sebagian besar terdiri dari tumbuh-tumbuhan (Heasman dan Savva, 2007)
Abalon mempunyai sepasang mata, satu mulut dan satu tentakel
penghembus yang berukuran besar. Di dalam mulutnya terdapat lidah parut
(radula) yang berfungsi mengerik alga menjadi ukuran yang dapat dicerna(Rusdi
dkk., 2012). Jenis kelamin abalon dapat dilihat jelas dengan mendefleksi kaki ke
bagian luar. Abalon jantan dapat diidentifikasi melalui warna gonad, yaitu putih
krem sedangkan abalon betina memiliki gonad yang merupakan refleksi dari
warna telurnya, yaitu hijau gelap (Heasman dan Savva, 2007).
lnsang terletak dengan pernapasan. Sirkulasi air berlangsung di bagian
bawah tepi cangkang kemudian mengalir menuju ke insang dan dikeluarkan
melalui pori yang terdapat di bagian cangkang. Hewan ini juga memiliki hati yang
terletak di bagian sisi atas (Rusdi dkk., 2012)
Anus dan ginjal terletak dibawah lubang pertama, sehingga aktivitas yang
berhubungan dengan pengeluaran kotoran melalui lubang pertama (Rahmawati,
dkk., 2012). Bagian kaki merupakan otot yang kuat yang luas dan datar. Hampir
sama dengan aperture cangkang, yang dibagi menjadi epipodium dan kaki bawah,
yang terakhir adalah diskoid. Inilah yang menempelkan abalone disubstrat
(biasanya permukaan berbatu) dan bergerak ketika mencari makanan. Kaki ini
memiliki kekuatan sehingga membuat mereka sulit terlepas dari
substratnya.Terdapat kelenjar pedal pada bagian kaki. Ada sel mukosa di beberapa
epitel kaki yang berbentuk oval ( Di et al., 2012).
C. Makanan dan Kebiasaan Makan
Abalon bersifat herbivor dengan jenis makanannya yang berubah pada
pergantian fase hidupnya. Larva abalone bersifat planktonik selanjutnya
mengendap di dasar menjadi spat. Spat abalon mengggunakan radulanya untuk
menggerogoti alga corral di atas permukaan batu. Pada saat abalon mencapai fase
dewasa dia memakan bermacam-macam rumput laut dan alga baik yang
menempel di batu maupun yang terbawa oleh arus air. Abalon relatif kurang aktif
dan hanya mencari makan saat tidak ada alga yang hanyut untuk ditangkap
(Rudiana dkk., 2005).
Abalon adalah jenis binatang nokturnal, pada siang hari atau suasana
terang abalon cenderung bersembunyi di karang-karang dan pada malam hari
lebih aktif melakukan gerakan berpindah tempat untuk mencari makanan
(Buen-Ursua, 2007). Lebih lanjut Leighton (2000) menyatakan bahwa abalon
merupakan organisme yang lebih aktif mencari makanannya dalam kondisi gelap.
Tiga faktor yang mempengaruhi pemilihan alga oleh abalon sebagai
makanannya, yaitu senyawa metabolit yang ada dalam alga, morfologi alga, dan
tingkat kekerasan alga tersebut, serta nilai nutrisi yang memiliki peranan dalam
tahap perkembangan abalon (Susanto, 2010) . Sementara menurut Capinpin dan
Core (1996) dalam Susanto (2010) dengan menggunakan Gracillaria sp sebagai
pakan dapat memacu pertumbuhan dan dianggap cocok untuk budidaya abalon.
Makanan utama abalon dewasa adalah potongan-potongan makroalga
yang hanyut terbawa arus dan gelombang, terutama kelompok alga merah. Juvenil
abalon memakan alga yang hidup di batu karang, diatom, dan bakteri, sedangkan
larva abalon memakan plankton (Octaviany, 2007). Organ terpenting pada abalon
saat proses memakan makanannya adalah kaki, tentakel cephalic, mulut, jaw dan
radula. Kaki biasanya mencari-cari dan menggenggam makanan kemudian dibawa
ke mulut (Leighton, 2008).
Pada saat masih larva, H. discuss hannai bersifat planktonik dan setelah
bermetamorfosis ke fase juvenil hidup sebagai benthos. Larva H. discuss hannai
bersifat lecithotrophic (tidak mengambil makanan dari lingkungannya), sumber
makanan selama fase larva tersebut adalah kuning telur. Namun demikian,
partikel organik terlarut yang ada di perairan sekitarnya merupakan tambahan
makanan pada fase ini. (Octaviany, 2007).
Pakan rumput laut yang disediakan untuk abalon perlu memperhatikan
beberapa faktor, yaitu senyawa metabolit yang ada dalam alga, morfologi alga,
dan tingkat kekersan alga tersebut, seta nilai nutrisi yang memiliki peranan dalam
tahap perkembangan abalon (Susanto, 2010). Preferensi abalon bervariasi,
tergantung pada habitat mereka dan ketersediaan dari suatu makroalga (Nelson, et
al., 2002). Dari laboratorium penelitian, terlihat bahwa abalon dewasa menyukai
alga, tetapi mereka mentolerir beberapa alga coklat dan beberapa jenis alga hijau.
Alga merah, alga cokelat dan alga hijau memiliki struktur lembut dari thalus.
Penelitian pada kebiasaan makan, menunjukkan bahwa abalon menyukai untuk
memakan bagian lembut dari alga.
Lachlan et al, (2007) menyatakan bahwa beberapa spesies juvenile abalone
akan mengalami panjang cangkang yang tinggi ketika diberi pakan Ulva lens.
memiliki tingkat protein sebesar 28%. tetapi tingkatan protein tersebut berkisar
antara 25-30% bergantung pada spesies abalone itu sendiri. Namun, untuk
memaksimalkan pemanfaatan protein tidak hanya harus mengandung pakan yang
cukup. Protein mudah dicerna, tetapi harus seimbang antara asam amino esensial
dan non esensial. Oleh karena itu, pakan U.lens/N. jeffreyi dapat menyediakan
komponen biokimia yang lebih dekat dengan tingkat optimal pada abalone
juvenile H. laevigata agar dihasilkan individu yang lebih besar.
Pada stadia larva di alam memakan diatom bentik, sedangkan abalon
dewasa memakan makroalga yang digolongkan ke dalam tiga kelompok
berdasarkan dariperbedaan warnanya,yaitu alga merah (Rhodophyta), alga coklat
(Paeophyta) dan alga hijau (Chlorophyta). Alga merah gGracilaria sp adalah jenis
pakan alami yang dilaporkan baik bagi induk abalon H.asinina dan H.squamata.
namun juga diketahui bahwa abalon sangat menyukai jenis alga hijau yang
bertekstur lunak seperti Ulva sp. sedangkan alga coklat di antaranya Sargassum
sp. dilaporkan kaya akan kandungan asam lemak tak jenuh (Rusdi dkk., 2012).
Menurut Effendi (2007), bahwa pakan terbaik bagi benih abalon umur 3 - 7 bulan
adalah G. verrucosa di mana pakan ini akan memberikan pengaruh pertumbuhan,
konversi pakan, dan efisiensi pakan terbaik.
Benthik diatom dominasi Navicula sp dan sedikit bentik diatom jenis
Coconeis sp, Nitzschia sp bersama dengan foot mucus memberikan hasil terbaik
untuk merangsang larva untuk menempel dan tumbuh hingga ukuran juvenile.
Akan tetapi dalam semakin lama masa pemeliharaan juvenile muda atau semakin
besar ukurannya populasi atau koloni bentik diatom pada permukaan plat dan bak
pemeliharaan semakin berkurang bahkan pada beberapa bagian plat dan
permukaan bak yang bentik diatomnya telah dimakan tidak tumbuh lagi (Effendy
dan Patadjai, 2009).
D. Habitat dan Penyebaran
Habitat abalon (H. squamata) di alam adalah pada area pasang surut
dengan dasar perairan karang sedikit berpasir (Humaidi, dkk.,2014). Abalon pada
umumnya menyukai perairan dangkal, turbulensi air dengan kadar oksigen terlarut
tinggi. Berdasarkan hal tersebut dan kesukaan abalon terhadap permukaan yang
kasar, abalon kebanyakan ditemukan di daerah tanjung berbatu di perairan dingin.
Abalon tropis khususnya di Indonesia, banyak ditemukan di perairan Kepulauan
Seribu DKI Jakarta, Madura, Lombok, Sumbawa, Maluku, dan Papua (Agustina,
2013). Di perairan Indonesia terdapat 7 jenis abalone yaitu Haliotis asinine, H.
varia, H. squamata, H. ovina, H. glabra, H. planate dan H. Crebrisculptai
(Hamzah dkk., 2012) sedangkan di Jepang sekitar 7 spesies yang sudah berhasil
dibudidaya di Jepang, seperti Haliotis asinina, H. gigantean, H. sieboldii, H.
discus, H. discus hannai, H. diversicolor, dan H. supertexta (Humaidi, dkk.,
2014).
Secara umum, spesies kerang abalone mempunyai toleransi terhadap suhu
air yang berbeda-beda, contoh; H. kamtschatkana dapat hidup dalam air yang
lebih dingin sedangkan H. asinina dapat hidup dalam air bersuhu tinggi (300C).
Penyebaran kerang abalone sangat terbatas. Tidak semua pantai yang berkarang
terdapat kerang abalone. Secara umum, kerang abalone tidak ditemukan di daerah
estuaria yaitu pertemuan air laut dan tawar yang biasa terjadi di muara sungai. Ini
mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adanya air tawar sehingga
fluktuasi salinitas yang sering terjadi, tingkat kekeruhan air yang lebih tinggi dan
kemungkinan juga karena konsentrasi oksigen yang rendah.
E. Pertumbuhan
Sistem pencernaan abalone terletak di sisi kiri dari otot yang terletak di
tengah-tengah tubuh. Organ pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan, perut,
usus rektum dan anus.Karena bentuk tubuhnya yang spiral, organ pencernaannya
melengkung,mulut dan anus terletak dekat ke satu sisi. Mulut cembung dan
berbentuk seperti telur dan dindingnya terdiri dari jaringan otot tebal.Di mulut
terletak lobus, radula dan kelenjar ludah. Kerongkongan dari abalone memanjang
dan sempit. Perut abalone terletak di samping kerongkongan. Usus dan hati yang
melekat pada perut.
Leighton (2008), menjelaskan bahwa prinsip organ pencernaan abalone
dimulai dari kaki, hidung, tentakel dan radula. Kaki digunakan untuk mencari dan
memegang makanan, kemudian membawa makanan pada mulut. Sebagian besar
abalone mencari makan pada malam hari atau secara nocturnal
G. Rumput Laut
Divisio: Rhodophyta
Kelas : Rhodophyceae
Bangsa: Gigartinales
Suku : Solieraceae
Genus: Eucheuma
Spesies : Eucheuma denticulatum
2. Gracilaria verrucosa
Gracilaria verrucosa merupakan salah satu jenis yang sangat popular di
masyarakat petani tambak Indonesia.Rumput laut ini sering dibudidayakan di
daerah tambak dengan kondisi air payau. Pemanfaatan Gracilaria verrucosa
sebagai bahan baku agar telah mengarah ke industry (Sugiyatno, dkk., 2013).
Menurut Dawes (1981) dalam Amalia (2013), Gracilaria verrucosa
mempunyai taksonomi sebagai berikut :
Divisio : Rhodophyta
Classis : Rhodophyceae
Ordo: Gigartinales
Familia: Gracilariaceae
Genus : Gracilaria
Species: Gracilaria verrucosa
H. Pakan Buatan
Pakan buatan untuk budidaya abalon telah diberikan di negara-negara
seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. Percobaan pakan di Taiwan
menunjukkan bahwa pertumbuhan abalon menggunakan pakan buatan adalah
65% lebih besar daripada abalon yang diberi pakan makroalga. Abalon yang
diberi pakan buatan memiliki berat badan yang lebih tinggi, panjang cangkang
dan kandungan protein yang relatif tinggi dalam daging abalon dibandingkan
dengan abalon yang diberi pakan rumput laut. Pertumbuhan abalon umumnya
memiliki tingkat pertumbuhan yang lambat dan heterogen, nutrisi yang tepat harus
disediakan untuk membuat sebuah budidaya yang sukses. (Kuncoro dkk., 2013).
Prasyarat kestabilan pakan untuk abalone antara lain tidak mudah larut,
tidak mudah hancur, dan tidak mudah membusuk. Pakan yang mudah larut dan
atau hancur akan mudah terbawa aliran air sehingga tidak dapat dikonsumsi oleh
abalon, sementara pakan yang mudah membusuk akan menurunkan kualitas
pakan. ldealnya, pakan tidak keras tetapi tetap utuh dalam jangka waktu dua
puluh empat jam dan kemudian mulai hancurterurai. Dengan demikian hewan
masih berkesempatan untuk mengkonsumsi sebelum pakan mulai terdegradasi
(Setyono, 2010).
Pakan buatan lebih dipilih untuk digunakan dalam operasi budidaya
karena biaya yang lebih rendah, mudah disimpan dan kontaminasi bakteri
berkurang dibanding pakan alami atau atau pakan yang dibekukan (Tlusty et al.,
2005). Pakan buatan tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan nutrient hewan tapi
lebih khusus kepada factor-faktor seperti stabilitas di air, retensi nutrient dalam
pakan dan kemampuan menerima oleh spesies pemangsa yang lambat (Sales and
Janssens, 2004).
Pakan buatan yang dibutuhkan harus mempunyai formula yang lengkap,
mengandung bahan-bahan yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan
mempertahankan sintasan kultivan yang pada ahirnya dapat meningkatkan
produktifitas dan keuntungan. Hal ini dapat diperoleh dari pakan buatan yang
dibuat dengan cermat dan perhitungan kandungan nutrien yang teliti dari bahan-
bahan penyusunnya (Sutikno, 2011).
Bentuk fisik pakan berupa pellet sangat dipengaruhi oleh jenis bahan
yang digunakan, ukuran pencetak, jumlah air, tekanan dan metode setelah
pengolahan serta penggunaan bahan pengikat/perekat untuk menghasilkan pelet
dengan struktur yang kuat, kompak dan kokoh sehingga pelet tidak mudah pecah
(Retnani, dkk., 2010)
Formulasi merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pembuatan
pelet karena formulasi merupakan langkah awal penentuan berapa jumlah bahan
yang digunakan untuk menghasilkan protein yang dikehendaki. Dengan subtitusi
jumlah pada formulasi dapat berpotensi merubah kandungan nutrisi pelet dan
mengurangi biaya untuk pakan (Sunardiyanto, dkk.,2013).
Penyusunan ransum ikan sebaiknya digunakan protein yang berasal dari
sumber nabati dan hewani secara bersama-sama untuk mencapai keseimbangan
nutrisi dengan harga relatif murah. Pakan yang diberikan pada ikan hendaknya
bermutu baik sesuai dengan kebutuhan ikan, tersedia setiap saat, dapat menjamin
kesehatan dan harganya murah (Agustono, 2009).
Tingkat homogenitas pada pakan uji dari bahan perekat rumput laut lebih
baik dibanding dengan pakan komersil sebagai pakan kontrol. Hal ini terjadi
karena tingkat kehalusan tekstur bahan pakan uji yang digunakan lebih tinggi
dibandingkan pakan komersil. Semakin halus bahan pakan, semakin baik pula
pakan yang dihasilkan. Bahan pakan akan tercampur lebih baik sehingga
menghasilkan produk yang lebih kompak dan stabil di dalam air. Keuntungan dari
penghalusan bahan baku, dapat meningkatkan stabilitas bahan baku pakan
tersebut dalam penyimpanan dan mempermudah penanganan selama proses
pencampuran serta pencetakan. Bahan baku yang relatif halus lebih
memungkinkan terbentuknya campuran yang homogen (Saade dan Aslamyah,
2009).
Energi pada pakan buatan komersial abalone disuplai terutama oleh
karbohidrat (tepung terigu, tepung jagung, sodium alginate, dekstrin, kanji, dedak)
yang digunakan sebanyak 30% hingga 60% pada pakan (Sales and Jansens).
Berdasarkan penelitian Thongrod et al dalam Sales and Janssens (2004)
ditemukan bahwa 43% hingga 48% karbohidrat pada pakan merupakan komposisi
yang optimal untuk pertumbuhan juvenil (H.asinina).
I. Binder
Bentuk fisik pakan berupa pelet sangat dipengaruhi oleh jenis bahan yang
digunakan, ukuran pencetak, jumlah air, tekanan dan metode setelah pengolahan
serta penggunaan bahan pengikat/perekat untuk menghasilkan pelet dengan
struktur yang kuat, kompak dan kokoh sehingga pelet tidak mudah pecah (Yuli
dkk., 2010). Tujuan penambahan bahan pengikat di antaranya adalah membentuk
dan menstabilkan emulsi, meningkatkan daya mengikat air dan menurunkan susut
masak (Mega, 2010).
Penggunaan binder (bahan pengikat) dalam pembuatan pellet diharapkan
dapat mengatasi masalah penanganan selama transportasi seperti kerusakan pelet
karena segregasi maupun fragmentasi serta menstabilkan komposisi nutrient
pakan. Penggunaan senyawa pengikat (binder) yang berbeda, akan menghasilkan
kualitas pelet yang berbeda (Widiyastuti, dkk.,2004).
Binder sebagai bahan perekat bahan baku pakan, dikenal ada dua jenis,
yaitu bahan perekat alami dan sintetis. Bahan perekat alami telah banyak
digunakan sebagai bahan perekat untuk berbagai pakan, antara lain tepung
tapioka, tepung gaplek, tepung terigu, tepung jagung, tepung beras, onggok,
molasses, bungkil inti sawit dan solid ex decanter. Bahan perekat sintetis yang
biasa digunakan antara lain CMC (Carboksil Metil Cellulosa). Namun, CMC
harganya mahal, sehingga kurang ekonomis dan efektif apabila digunakan sebagai
bahan perekat pada pakan ikan. Oleh karena itu, perlu dipilih bahan perekat alami
yang memiliki potensi perekat yang baik, tetapi harganya murah dan tidak akan
terlalu meningkatkan biaya pembuatan pakan. Penambahan perekat akan
menyebabkan peningkatan kadar pati ransum dan kerekatan antar partikel
(Retnani, dkk., 2010)
Beberapa binder merupakan produk sampingan dari biji-bijian maupun
tumbuhan yang dapat menyumbangkan nutrisi pada ikan. Pengikat yang memiliki
nutrisi antara lain dedak, biji kapas serta pati, sedangkan pengikat yang non nutrisi
adalah CMC (Carboxymethycellulose), agar, dan alginat (Mega, 2010).
Satu dari syarat yang paling penting pada pakan buatan untuk hewan
pemangsa yang lambat seperti abalone adalah partikel pakan dapat terjaga
keterikatannya dan kehilangan nutrient larut air dapat diminimalisir minimal
selama dua hari di dalam air. Starch memainkan peranan besar sebagai sumber
energi dan binder pada banyak pakan komersial abalone (Sales and Janssens,
2004).
Rumput laut merupakan salah satu bahan perekat yang dapat
dimanfaatkan dalam pembuatan pakan. Tepung rumput laut dapat dimanfaatkan
sebagai bahan perekat (binder) pada ikan (Murtidjo, 2003 dalam Idris,2013).
Tepung rumput laut dapat menjadi perekat karena rumput laut mengandung
senyawa hidrokoloid dan juga senyawa fikokoloid. Senyawa hidrokoloid sangat
diperlukan keberadaannya dalam suatu produk karena berfungsi sebagai
pembentuk gel, penstabil, pengemulsi dan pensuspensi. Senyawa hidrokoloid
dibangun oleh senyawa polisakarida yang menghasilkan gel dapat dimanfaatkan
sebagai bahan perekat (Anggadiredja, 2006 dalam Idris,2013)
Pemanfaatan rumput laut sebagai binder pakan kultivan telah dilakukan
oleh beberapa Peneliti. Dosis tepung Gracillaria Gigas yang terbaik bagi pakan
udang windu adalah 9%, sedangkan tepung K alvarezii 3–9% baik untuk pakan
udang windu.telah dilaporkan pula bahwa telah dilakukan penggunaan binder
rumput laut pada pakan ikan bandeng (Idris, 2011)
Tepung rumput laut dapat menjadi perekat karena rumput laut
mengandung bahan yang disebut gummialami atau mucilage yang merupakan
suatu polisakarida. Senyawa polisakarida dalam rumput laut memiliki rantai
panjang yang disusun oleh ulangan dua pasangan unit molekul agarose dan
agaropektin. Polisakarida ini bersifat hidrofilik, disebut hidrokoloid yang dapat
dimanfaatkan sebagai binder dan stabilizer. Polisakarida inilah yang mampu
menghasilkan gel sehingga dapat berfungsi sebagai bahan perekat. Agar memiliki
kemampuan gel strength atau kekuatan gel. Dengan demikian, bahan pakan yang
menggunakan rumput laut sebagai bahan perekat, akan sulit terpisah antar satu
dengan yang lain. Pakan uji dengan rumput laut sebagai bahan perekat
menghasilkan tingkat dispersi protein dan dispersi lemak yang cukup rendah.
Pakan tersebut mengalami penurunan nilai protein dan lemak yang lebih rendah
dibanding pada pakan komersil (Saade dan Aslamyah, 2009).
Karagenan merupakan polisakarida yang terkandung pada rumput laut
merah (Rhodophyta), yang mempunyai fungsi sebagai karaginan dipakai sebagai
stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi, pengikat dan pencegah
kristalisasi dalam industry makanan ataupun minuman, farmasi, kosmetik lain lain
(Hudha, dkk., 2012). Senyawa-senyawa polisakarida mudah terhidrolisis dalam
larutan yang bersifat asam dan stabil dalam suasana basa. Karaginan banyak
digunakan pada sediaan makanan, sediaan farmasi dan kosmetik sebagai bahan
pembuat gel, pengental atau penstabil (Alam, 2011).
Saat ini jenis karagenan kappa didominasi dipungut dari rumput laut
tropis Kappaphycus alvarezii, yang di dunia perdagangan dikenal sebagai
Eucheuma cottonii. Eucheuma denticulatum (dengan nama dagang Eucheuma
spinosum) adalah spesies utama untuk menghasilkan jenis karagenan iota.
Karagenan lamda diproduksi dari spesies Gigartina dan Condrus (Van de Velde
et al., 2002). Polimer alam ini memiliki kemampuan untuk membentuk gel
secara thermo-reversible atau larutan kental jika ditambahkan ke dalam larutan
garam sehingga banyak dimanfaatkan sebagai pembentuk gel, pengental, dan
bahan penstabil di berbagai industri seperti pangan, farmasi, kosmetik,
percetakan, dan tekstil (Van de Velde et al., 2002; Campo et al., 2009).
III. METODE PENELITIAN
C. Prosedur Penelitian
Parameter yang akan diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Uji fisik
Uji fisik meliputi stabilitas pakan dalam air baik secara fisik maupun
secara kimia, uji kecepatan pecah serta atraktabiliti.
Stabilitas pakan dalam air adalah tingkat ketahanan pakan di dalam air
atau berapa lama waktu yang dibutuhkan hingga pakan lembek dan hancur.
Stabilitas pakan dalam air, meliputi uji kecepatan pecah dan dispersi padatan. Uji
kecepatan pecah mengukur berapa lama waktu sampai pakan hancur di dalam air.
Uji pecah diamati secara visual pengamatan dilakukan setiap 5 menit untuk
mengetahui pakan sudah lembek atau belum. Pengamatan dilanjutkan sampai
pakan pecah/hancur.
Dispersi padatan diamati dengan menggunakan metode Balazs dkk.
(1973). Pakan sebanyak 5g dimasukkan ke dalam kotak kasa berukuran 10 x 10
cm dengan pori-pori sekitar 1mm,selanjutnya direndam dalam aquarium. Setelah
4 jam pakan yang masih tersangkut dalam kotakkasa dikeringkan beserta kotak
kasa dalam oven pada suhu 105οC selama 10 jam. Selanjutnya didinginkan dalam
desikator, lalu ditimbang sampai berat konstan. Dispersi padatan dihitungdengan
menggunakan formula:
2. Uji kimia
Uji kimia pakan adalah penentuan kuantitas dan kualitas nutrient dalam pakan
yang merupakan penentuan komposisi proksimat dari kadar protein, lemak, serat
kasar, abu, dan air dari pakan uji.
G. Analisis Data
Untuk mengetahui pengaruh perlakuan maka dilakukan analisis data
dengan menggunakan SPSS 15 computer software. Uji Beda Nyata Terkecil
(BNT) akan dilakukan jika ada perbedaan nyata antar perlakuan Gasperz (1994).