Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 19

Telaah Ilmiah

Evaluasi dan Tatalaksana Terkini Anisokoria


HALAMAN JUDUL

Oleh
Alvinnata, S.Ked
04054821820018

Pembimbing
dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp.M(K), MARS

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Telaah Ilmiah


Evaluasi dan Tatalaksana Terkini Anisokoria

Oleh:
Alvinnata, S.Ked
04054821820018

Referat ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya periode 26 Maret 2018 s.d
29 April 2018

Palembang, 16 April 2018

dr. Hj. Devi Azri Wahyuni, Sp.M(K), MARS

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkat dan karunia-Nya Telaah Ilmiah yang berjudul “Evaluasi dan Tatalaksana
Terkini Anisokoria” ini dapat diselesaikan tepat waktu. Telaah Ilmiah ini dibuat
untuk memenuhi salah satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Mata RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya. Penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada dr. Hj.
Devi Azri Wahyuni, Sp.M(K), MARS atas bimbingannya sehingga penulisan ini
menjadi lebih baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan telaah ilmiah
ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan
untuk penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 2
2.1 Anisokoria ..................................................................................................2
2.2 Anisokoria Sama pada Cahaya Redup dan Terang ....................................2
2.3 Anisokoria Lebih Besar pada Cahaya Redup ............................................4
2.3.1 Anisokoria mekanis (mechanical anisocoria)................................4
2.3.2 Miosis farmokologis .......................................................................4
2.3.3 Anisokoria fisiologis ......................................................................4
2.3.4 Sindrom Horner ..............................................................................4
2.4 Anisokoria Lebih Besar pada Cahaya Terang ...........................................9
2.4.1 Kerusakan iris .................................................................................9
2.4.2 Midriasis farmakologis ...................................................................9
2.4.3 Adie tonic pupil ............................................................................10
2.4.4 Third nerve palsy ..........................................................................12
BAB III KESIMPULAN ....................................................................................... 13
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

iv
DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman


2.1 Bagan evaluasi anisokoria ............................................................................. 3
2.2 Tes apraclonidine pada sindrom Horner ........................................................ 6
2.3 Sindrom Horner neuron Second-order .......................................................... 7
2.4 Palsi sectoral sfingter iris pada Adie tonic pupil .......................................... 10

v
BAB I
PENDAHULUAN

Anisokoria adalah perbedaan diameter dari kedua pupil yang disebabkan oleh
sinyal eferen yang menuju ke otot iris tidak simetris.1 Anisokoria dapat bersifat
fisiologis maupun patologis.1
Anisokoria adalah kejadian umum, meskipun tidak ada statistik prevalensi
keseluruhan yang tersedia. Insiden dan data prevalensi untuk anisokoria tergantung
pada patofisiologi dan populasi spesifik. Di Amerika Serikat, kejadian anisokoria
fisiologis telah diperkirakan 20% dari populasi normal, sehingga beberapa derajat
perbedaan pupil dapat diperkirakan setidaknya 1 dari 5 pasien.2
Angka mortalitas dan morbiditas yang terkait dengan anisokoria bergantung
sepenuhnya pada patofisiologi spesifik. Beberapa penyebab anisokoria dapat
mengancam kehidupan, termasuk sindrom Horner karena diseksi karotis atau
kelumpuhan nervus III karena aneurisma atau herniasi uncal. Penyebab lain dari
anisokoria ada yang memiliki gejala yang ringan (misalnya, anisokoria sederhana
atau fisiologis).2
Angka kejadian aniskoria yang cukup tinggi serta penyebab anisokoria yang
dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas menunjukkan perlunya pengetahuan
bagi dokter terutama dalam hal evaluasi dan penatalaksanaan.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anisokoria
Anisokoria adalah perbedaan diameter dari kedua pupil yang
disebabkan oleh sinyal eferen yang menuju ke otot iris tidak simetris.
Anisokoria dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis.1 Gambar 2.1
menunjukkan algoritma untuk mengevaluasi pasien dengan isolated
anisocoria yang ditandai dengan disfungsi pupil unilateral.

2.2 Anisokoria Sama pada Cahaya Redup dan Terang


Anisokoria fisiologis adalah anisokoria dimana besarnya sama pada
cahaya redup dan terang yang mengindikasikan bahwa fungsi dari sfingter
pupil dan otot dilator masih utuh. Apabila refleks pupil terhadap cahaya dan
dilatasi simetris pada kedua mata, keadaan ini sesuai dengan anisokoria
fisiologis.1
Anisokoria fisiologis (biasa disebut simple atau essential anisocoria)
adalah penyebab tersering dari perbedaan ukuran pupil sebesar 0,4 mm atau
lebih. Sekitar 20% dari individu pada setiap waktu ditemukan pupil asimetris.
Biasanya perbedaan dari diameter pupil kurang dari 1,0 mm dan dapat
bervariasi dari hari ke hari.1
Terkadang anisokoria fisiologis lebih terlihat pada cahaya redup
dibandingkan pada cahaya terang. Ptosis pada sisi yang pupilnya lebih kecil
dapat membuat diagnosis sering dibingungkan dengan sindrom Horner.
Membedakan antara pseudo sindrom Horner dan sindrom Horner
sesungguhnya paling baik dilakukan dengan tes farmakologis.1

2
Gambar 2.1 Bagan evaluasi anisokoria (American Academy of Ophtalmology, 2014)
3
4

2.3 Anisokoria Lebih Besar pada Cahaya Redup


Dengan mengasumsikan hanya satu pupil yang bermasalah, anisokoria
menjadi lebih terlihat pada cahaya redup dalam kondisi berikut.1
2.3.1 Anisokoria mekanis (mechanical anisocoria)
Terkadang, trauma sebelumnya (termasuk operasi) atau inflamasi
dapat mengarah pada adhesi antara iris dan lensa atau lensa tanam
intraokuler (intraocular lens). Adhesi tersebut dapat mencegah dilatasi
dari pupil pada kondisi pencahayaan redup. Sinekia posterior dapat
terlihat dengan lensa pembesar atau slit lamp.
2.3.2 Miosis farmokologis
Penggunaan pilocarpine dapat mengakibatkan pupil kecil dan
kurang reaktif. Anisokoria tidak akan muncul apabila kedua mata telah
dirawat, tetapi penggunaan pilocarpine pada satu mata dapat
membingungkan diagnosis. Anisokoria farmakologis lebih jarang
diobservasi dibandingkan pada saat sebelumnya dikarenakan pilihan
medikasi glaukoma yang lebih luas.
2.3.3 Anisokoria fisiologis
2.3.4 Sindrom Horner
Lesi pada setiap titik di sepanjang jalur oculosimpatis
menyebabkan sindrom Horner, yang ditandai secara klinis oleh miosis
ipsilateral, anhidrosis wajah, dan ptosis. Kombinasi ptosis palpebra atas
dan ptosis palpebra bawah (kenaikan dari palpebra bawah) karena
denervasi kedua otot tarsal menyebabkan fisura palpebral yang terlihat
lebih sempit dan kesan keliru dari enoftalmos. Pada fase akut,
konjungtiva hiperemis dan hipotoni okular juga dapat muncul.
Distribusi anhidrosis tergantung pada lokasi lesi. Gangguan neuron
sentral (first-order) atau preganglionik (second-order) menyebabkan
anhidrosis pada wajah ipsilateral. Lesi pada distal ke superior ganglion
servikal—yaitu neuron postganglionik (third-order)—menghasilkan
anhidrosis terbatas pada dahi ipsilateral. Pada lesi kongenital, iris
5

heterochromia berkembang (warna iris yang terkena tampak lebih


terang).
Refleks cahaya pupil normal pada pasien dengan sindrom Horner.
Pupil yang terkena lebih lambat untuk redilatasi daripada pupil normal
ketika lampu dimatikan. Disfungsi oculosimpatik pupil juga dapat
dikonfirmasi secara farmakologis dengan tetes mata topikal: baik
kokain atau apraclonidine. Kokain menghambat pengambilan kembali
norepinefrin yang dilepaskan pada terminal saraf simpatis di mata,
menyebabkan pelebaran pupil, retraksi kelopak mata, dan konjungtiva
pucat pada mata yang tidak terpengaruh. Pada sindrom Horner, sedikit
atau tidak ada norepinefrin yang dilepaskan ke celah sinaptik. Oleh
karena itu, kokain tidak berpengaruh, dan pupil tetap miotik. Tes ini
dilakukan dengan menggunakan 2 tetes kokain, 4% atau 10%, di setiap
mata dan mengukur anisokoria setelah 45 menit. Anisokoria
postcocaine 1 mm atau lebih merupakan diagnostik sindrom Horner
pada sisi pupil yang lebih kecil. Mata dengan sinekia iris dan pupil yang
tidak bergerak secara mekanis dapat menyebabkan hasil tes kokain
positif palsu, tetapi temuan tersebut dapat dengan mudah dibedakan
melalui pemeriksaan slit lamp. Selain itu, setelah penggunaan
phenylephrine topikal, 10% (obat simpatomimetik direct-acting yang
kuat), pupil yang mengalami restriksi mekanis akan tetap kecil tetapi
pupil Horner akan mudah melebar.
Apraclonidine topikal (baik 0,5% atau 1%) biasanya digunakan
dalam tes diagnostik farmakologis untuk sindrom Horner. Obat ini
memiliki aksi agonis 1-adrenergik yang lemah, yang pada kebanyakan
mata normal memiliki sedikit pengaruh pada ukuran pupil. Pada mata
yang mengalami denervasi simpatis, dilator iris supersensitif terhadap
zat adrenergik, dan pupil dengan sindrom Horner akan melebar sebagai
respon terhadap apraclonidine topikal. Selain itu, ptosis sindrom Horner
membaik atau hilang sebagai respons terhadap apraclonidine.
6

Gambar 2.2 Tes apraclonidine pada sindrom Horner. A, pasien diduga


defek okulosimpatis (ptosis dan miosis) pada mata kanan. B. Pemberian
Apraclonidine topikal pada kedua mata, pupil kanan dilatasi dan
anisokoria menjadi terbalik, mengkonfirmasi sindrom Horner pada
mata kanan. (American Academy of Ophtalmology, 2014)

Denervasi supersensitivitas biasanya terjadi beberapa hari setelah


cedera pada jalur simpatis, meskipun dalam kasus yang jarang, dapat
terjadi beberapa jam setelah onset gejala. Penggunaan Apraclonidine
umumnya dihindari untuk anak-anak yang lebih muda dari 1 tahun,
yang dapat menyebabkan depresi sistem saraf pusat dan bahkan
pernafasan akut. Kokain tetap menjadi pilihan yang lebih baik untuk
kelompok usia ini mengingat risiko yang lebih rendah dari efek
samping. Brimonidine tidak dapat digunakan sebagai pengganti
apraclonidine untuk pengujian sindrom Horner.
Setelah sindrom Horner didiagnosis, hydroxyamphetamine
topikal (1%) dapat digunakan untuk melokalisasi lesi. Obat ini
meningkatkan pelepasan norepinefrin presinaptik dari neuron third
order (postganglionik) secara utuh. Setelah pemberian dari
hydroxyamphetamine, pupil normal akan melebar. Jika pupil dengan
sindrom Horner tidak melebar, maka dicurigai lesi neuron
postganglionik. Jika kedua pupil membesar dengan baik, maka lesi
lebih proksimal, baik pada neuron first- atau second-order dari jalur
oculosimpatis.
Karena hydroxyamphetamine topikal telah sulit diperoleh dan
penggunaannya telah menghasilkan hasil negatif palsu yang tinggi,
hydroxyamphetamine untuk lokalisasi sindrom Horner tidak lagi
disukai. Dalam banyak kasus, presentasi klinis cukup untuk
menyarankan lokasi cedera dan evaluasi yang diperlukan. Adanya
ataksia, nistagmus, dan titik-titik defisit hemisensori menunjuk ke lesi
7

meduler (misalnya, tumor, atau demielinasi), dan magnetic resonance


imaging (MRI) otak dan korda servikal direkomendasikan. Gejala
seperti nyeri lengan, batuk, hemoptisis, dan pembengkakan di leher
menunjukkan lesi second-order (preganglionik) pada sulkus superior
(sindrom Pancoast) atau di mediastinum, dan MRI servikotorakalis
direkomendasikan. Lesi preganglionik lainnya termasuk massa tiroid,
operasi dada, aneurisma aorta thorakalis, atau trauma pada pleksus
brakialis.
Gejala yang berhubungan dengan cedera neuron third-order
(postganglionik) termasuk mati rasa pada divisi pertama serta kedua
atau ketiga nervus kranialis V dan penglihatan ganda dari palsi nervus
VI karena lokasi bersama dari nervus VI dan serat oculosimpatis di
sinus kavernosa. Sindrom Horner postganglionik terisolasi sering
ringan. Apabila pemeriksaan pada fotografi yang lama memverifikasi
bahwa sindrom Horner telah muncul selama beberapa tahun,
penyelidikan lebih lanjut mungkin akan tidak bermakna. Namun,
painful Horner syndrome yang disertai dengan nyeri patut mendapat
perhatian lebih.

Gambar 2.3 Sindrom Horner neuron Second-order. A, Mata kanan


pasien menunjukkan ptosis dan miosis pada cahaya terang. B,
Anisokoria meningkat pada keadaan gelap. C. Pemberian tetes mata
hydroxyamphetamine (1%), kedua pupil dilatasi, menunjukkan bahwa
neuron third-order utuh. D, Tomography thoraks menunjukkan ada
massa apikal yang membuktikan adanya schwannoma (American
Academy of Ophtalmology, 2014)
8

Painful Horner syndrome postganglionik adalah kesatuan klinis


yang berbeda yang terkait dengan beberapa penyebab, yang paling
penting adalah arteri karotis diseksi. Nyeri dari diseksi biasanya terletak
di sekitar temporal dan orbita, dan dapat meluas ke tenggorokan. Pasien
dengan Painful Horner syndrome postganglionik mungkin juga
memildiki amaurosis fugax dan rasa yang berubah (dysgeusia). Kondisi
ini harus diakui karena, pada tahap akut, komplikasi yang
memungkinkan adalah stroke. MRI biasanya menunjukkan perdarahan
intramural, tetapi dalam kasus yang jarang terjadi magnetic resonance
angiography (MRA) atau arteriografi serebral diperlukan untuk
memberikan bukti definitif diseksi.
Sakit kepala cluster juga dapat menyebabkan painful Horner
syndrome selama serangan akut. Sindrom Horner sering hilang tetapi
bisa menjadi permanen setelah serangan berulang. Beberapa pasien,
biasanya pria paruh baya, memiliki sindrom Horner dan sakit kepala
unilateral setiap hari yang bukan karakteristik dari sakit kepala cluster;
Sindrom paratrigeminal Raeder telah digunakan untuk menggambarkan
kondisi ini, dimana tidak dapat ditemukan patologi yang mendasari.
Sindrom ini adalah diagnosis eksklusi yang dilakukan setelah evaluasi
yang cermat untuk patologi yang mendasari di daerah sinus parasellar
dan kavernosa.
Belum ada terapi definitive pada kasus sindrom Horner
idiopatik.3 Pada kasus sindrom Horner yang disebabkan oleh metastasis
dari kanker payudara yang diteliti oleh Vitale4, sindrom Horner
kemungkinan merupakan hasil dari lesi pemanen pada saraf simpatis
second-order sehingga manifestasi neurologis dapat menetap. Pada
sindrom Horner dengan luka tusuk yang diteliti Salan dan Ceyik5,
belum ada terapi definitif untuk potongan langsung pada jalur nervus.
Pada kasus sindrom Horner yang disebabkan oleh kompresi pada jalur
okulosimpatis, seperti tumor dan aneurisma, penyebab dari kompresi
harus di tatalaksana.
9

2.4 Anisokoria Lebih Besar pada Cahaya Terang


2.4.1 Kerusakan iris
Trauma tumpul pada mata dapat menyebabkan miosis atau
midriasis. Pupil secara relatif dapat menjadi miosis setelah cedera
dikarenakan spasme, kemudian menjadi ukuran menengah atau
midriasis dengan respon yang buruk terhadap cahaya dan stimulasi
dekat. Bukti dari kerusakan sfingter ditandai oleh takik pada batas pupil
atau defek transiluminasi dekat otot sfingter. Saat terjadi cedera iris
pada pasien dengan trauma kepala, dilatasi pupil mungkin salah
diindetifikasi sebagai tanda dari palsi nervus III yang disebabkan oleh
herniasi uncal.1
Midriasis yang disebakan oleh cedera langsung pada sfingter iris
tidak respon pada pilocarpine topikal (1% atau 2%) dan dengan
demikian meniru midriasis farmakologis. Pemeriksaan slit lamp dapat
membantu membedakan midriasis akibat trauma dari midriasis tipe
lainnya.1
Sudut tertutup berkepanjangan dan berulang juga dapat
mengganggu fungsi pupil, seperti halnya operasi intraokuler.1
2.4.2 Midriasis farmakologis
Ketika obat-obatan midriatik digunakan pada mata tanpa sengaja
atau disengaja, pupil menjadi dilatasi dan kehilangan reaktifitas
terhadap cahaya dan stimulasi dekat. Dilatasi drug-induced
menyebabkan paralisis dari seluruh sfingter, sebaliknya pada Adie pupil,
dimana menyebabkan paralisis pada sfingter segmental. Pemeriksaan
teliti menggunakan slit lamp dapat membantu membedakan klinisnya.
Saat midriasis diinduksi oleh obat antikolinergik seperti atropine,
pemakaian pilocarpine (1% atau lebih) tidak akan mengembalikan
keadaan midriasis tersebut. Midriasis yang disebabkan oleh penyakit
neurologi seperti Adie pupil atau palsi nervus III dapat dengan mudah
dikembalikan dengan pemakaian pilocarpine.1
10

Dengan midriasis adrenergik, pupil lebar, fisura palpebra melebar,


dan konjungtiva dapat pucat.1
Obat-obatan seperti yang digunakan untuk mengobati glaucoma
dapat menyebabkan anisokoria apabila hanya digunakan pada satu mata
atau absorpsi yang tidak simetris.1
2.4.3 Adie tonic pupil
Kerusakan pada ganglion siliaris atau nervus siliaris brevis
(postganglionic parasympathetic nerve injury) menyebabkan tonik
pupil, ditandai oleh reaksi terhadap cahaya buruk, palsi sektoral pada
sfingter iris, parese akomodatif, supersentifitas kolinergik denervasi,
dan respon pupil yang kuat dan tonik terhadap pandangan dekat diikuti
dengan redilatasi lambat.1 Insiden yang dilaporkan sekitar 4-7 per
100.000.6 Tonik pupil dapat disebabkan oleh tindakan operasi, trauma,
prosedur laser, infeksi, inflamasi, atau iskemik. Tonik pupil juga dapat
merupakan bagian dari dampak luas disfungsi otonom dari diabetes
melitus, alkoholisme kronik, dysautonomia, neurosyphilis, amyloidosis,
sarcoidosis, varian Miller-Fisher dari sindrom Guillanin-Barre, atau
penyakit Charcot-Marie-Tooth. Tonik pupil yang idiopatik dikenal
sebagai Adie pupil; 70% penderita adalah perempuan. Tonik pupil
unilateral pada 80% kasus, meskipun pupil yang kedua dapat terlibat
nantinya (4% per tahun). Sindrom Holmes-Adie termasuk ciri lainnya,
terutama hilangnya refleks tendon dalam dan hipotensi ortostatik.1

Gambar 2.4 Palsi sectoral sfingter iris pada Adie tonic pupil (American
Academy of Ophtalmology, 2014)
11

Selama fase denervasi akut dari tonik pupil, pupil melebar dan
kurang reaktif terhadap rangsangan cahaya dan upaya akomodatif.
Inspeksi iris menggunakan pembesaran tinggi dengan slit lamp dapat
membantu membedakan segmen sphincter fungsional dari
nonfungsional. Kripta iris membentuk aliran menuju area sfingter yang
berfungsi normal, dan stroma berkumpul di sepanjang perbatasan pupil
di area tersebut, sedangkan penipisan stroma—bahkan atrofi—diamati
di daerah paralisis sfingter. Karena nervus siliaris brevis yang rusak
beregenerasi, serat akomodatif yang salah arah tumbuh ke sfingter iris,
dan pupil mengembalikan kemampuannya untuk berkonstriksi sebagai
upaya akomodatif. Namun, gerakan pupil (baik konstriksi akibat
stimulus akomodatif dan redilatasi berikutnya) tertunda dan lambat
(tonik) (Gambar 10-6). Efek ini dapat digambarkan oleh keluhan pasien
yang kesulitan memfokuskan kembali untuk perubahan jarak. Refleks
pupil pupil biasanya tetap sangat terganggu.1
Sfingter iris terdenervasi bersifat supersensitif terhadap larutan
parasimpatomimetik lemah seperti tetes mata pilocarpine encer (0,1%).
Setelah 60 menit, pupil diperiksa ulang, dan jika denervasi
parasimpatetik muncul, pupil yang terkena akan mengalami konstriksi
lebih dari pupil normal. Sekitar 80% pasien dengan tonik pupil
menunjukkan supersensitivitas denervasi kolinergik.1
Pasien dengan tonik pupil dapat memiliki gejala akomodatif atau
fotofobia tetapi juga sering tidak memiliki gejala dan dilaporkan bahwa
anisokoria pertama kali diketahui oleh teman atau keluarga. Gejala
akomodatif sulit diobati. Namun hal tersebut biasanya sembuh secara
spontan dalam beberapa bulan awal. Ketika fotofobia dari pupil yang
membesar menjadi masalah bagi pasien, pilocarpine encer topikal
(0,1%) dapat membantu. Seiring waktu (berbulan-bulan sampai
bertahun-tahun), Adie tonic pupil semakin kecil. Pemeriksaan histologi
ganglion siliaris pada pasien dengan Adie tonic pupil menunjukkan
penurunan jumlah sel ganglion.1
12

Kebanyakan pasien tidak memerlukan pengobatan.7 Pada Adie


tonic pupil biasanya diberikan kacamata hiperopik untuk mengkoreksi
defek pada pandangan jarak dekat. Selain itu juga diberikan kacamata
gelap untuk mengurangi keluhan fotofobia.8
2.4.4 Third nerve palsy
Keterlibatan pupil pada palsi nervus III hampir selalu disertai
ptosis dan motilitas okuler yang terbatas. Terkadang, gangguan
motilitas hampir tidak tampak, membutuhkan kuantisasis yang hati-hati
dengan alternate cover test. Disfungsi pupil merupakan faktor penting
dalam mengevaluasi palsi nervus III akut. Saat pupil terlibat, aneurisma
pada pertemuan antara arteri karotis internal dan arteri komunikan
posterior harus disingkirkan. Apabila pupil terhindar dan semua fungsi
lain dari nervus III mengalami paresis total, aneurisma dapat
dipikirikan.1
Regenerasi yang tidak sesuai pada nervus okulomotor dapat
menyebabkan midriasis dan reaksi pupil yang sinkinetik. Bagian dari
sfingter pupil berkontraksi dengan upaya gerakan mata, terutama
medial.1
Pengobatan awal berupa tatalaksana medis dari faktor
predisposisi sistemik dan langkah-langkah konservatif untuk
menghilangkan gejala yang kemudian dilanjutkan dengan intervensi
bedah pada palsi saraf okulomotor yang tidak terselesaikan. Pilocarpine
dapat digunakan jika tidak ada kontraindikasi lain. Akomodasi
berkurang, dapat juga terjadi pada pupil yang terlibat kelumpuhan
okulomotor, dan dokter harus mempertimbangkan penambahan
penglihatan dekat dalam resep optik.9
BAB III
KESIMPULAN

Berdasarkan kondisi yang menyebabkan anisokoria, terdapat berbagai


macam kondisi yang dapat menyebabkan anisokoria. Anisokoria dapat disebabkan
oleh keadaan fisiologis, farmakologis, sindrom Horner, trauma, Adie tonic pupil
dan palsi nervus okulomotor. Manajemen teknik dan terapi dapat ditetapkan setelah
diketahui penyebab utama dari kondisi tersebut.
Pada kasus dimana kondisi disebabkan penggunaan obat-obatan, ada
kemungkinan bahwa pemberhentian penggunaan obat akan memperbaiki kondisi.
Apabila anisokoria diduga berasal dari sindrom Horner, digunakan
hydroxyamphetamine topikal (1%) untuk melokalisasi lesi. Jika terdeteksi,
sejumlah pengobatan akan disarankan tergantung pada apa yang menyebabkan
sindrom tersebut. Belum ada terapi definitif untuk sindrom Horner primer.
Pada kasus Adie tonic pupil, biasanya diberikan kacamata hiperopik untuk
mengkoreksi defek pada pandangan jarak dekat. Selain itu juga diberikan kacamata
gelap untuk mengurangi keluhan fotofobia. Pada kasus anisokoria yang disebabkan
oleh iris yang trauma, robek atau meradang, terutama jika telah menjalani operasi
dalam beberapa waktu terakhir, pengobatan dilakukan untuk memperbaiki
kerusakan mekanis dari iris.
Pada anisokoria yang disebabkan oleh palsi nervus okulomotor, pengobatan
awal berupa tatalaksana medis dari faktor predisposisi sistemik dan langkah-
langkah konservatif untuk menghilangkan gejala yang kemudian dilanjutkan
dengan intervensi bedah pada palsi saraf okulomotor yang tidak terselesaikan.
Pilocarpine dapat digunakan jika tidak ada kontraindikasi lain.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophthalmology. Neuro-Opthalmology; 2014.


2. Eggenberger ER. Anisocoria. Medscape; 2017. Online
https://emedicine.medscape.com/article/1158571-overview#a6
3. Agarwal M, Mehta P, Rohatgi A, Venkatakrishnan P, Sharma SK. Idiopathic
Horner’s Syndrome: An Enigma. Indian J Clin Pract. 2012;23(1):30-31.
4. Vitale MG, Riccardi F, Carrillo G, et al. Horner’s syndrome: An unusual
presentation of metastatic disease in breast cancer. Int J Immunopathol
Pharmacol. 2015;28(4):557-561. doi:10.1177/0394632015602411.
5. Sayan M, Çelik A. The development of horner syndrome following a stabbing.
Case Rep Med. 2014;2014:2-4. doi:10.1155/2014/461787.
6. çolak S, Erdogan MO, Senel A, et al. A rare case in the emergency department:
Holmes-adie syndrome. Turkiye Acil Tip Derg. 2015;15(1):40-42.
doi:10.5505/1304.7361.2015.59144.
7. Kanzaria H, Farzan N, Coralic Z. Adie’s Tonic Pupil. West J Emerg Med.
2012;13(6):543. doi:10.5811/westjem.2012.7.12923.
8. Venkataraman A, Panda BB, Sirka C. Adie’s Tonic Pupil in Systemic
Sclerosis: A Rare Association. Case reports in …. 2015;2015:1-4.
9. Ganger A. A Comprehensive Review on the Management of III Nerve Palsy.
Delhi J Ophthalmol. 2016;27(2):86-91. doi:10.7869/djo.215.

You might also like