Makalah Jadi

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asam amino, peptida dan protein merupakan komponen makro yang penting dalam sistem
pangan. Asam amino mrupakan nprekursor penyusun peptide dan protein. Struktur peptida dan
protein disusun oleh deretan asam amino yang dihubungkan satu sama lain memalui ikatan
kovalen yang disebut ikatan peptida. Peptida memiliki deretan asam amino yang pendek,
sedangkan protein merupakan molekul yang besar dan kompleks yang disusun oleh lebih dari
100 buah residu asam amino (Feri, 2010).

Jenis peptida dan protein yang berbeda akan membentuk struktur kimia dan sifat fisikokimia
yang berbeda pula, tergantung jenis dan deretan (sequence) asam amino penyusunnya. Sebagai
contoh, protein yang mengandung banyak residu asam amino polar (misalnya albumin dan
grobulin) akan lebih larut dalam air, sebaliknya protein dengan kandungan asam amino non-
polar lebih banyak (misalnya gliadin dang lutein) akan kurang larut dalam air (Feri, 2010).

Protein merupakan makromolekul yang sangat penting baik peranannya dalam system biologis,
kontribusinya sebagai sumber nutrisi maupun dalam memengaruhi kualitas pangan. Dalam
system biologis, mempunyai aktivitas biologis sebagai hormone, enzim, pengnghambat kerja
nutrisi, protein menyumbangkan energy yang sama dengan karbohidrat yaitu 4 Kkal/gram.
Dalam proses pengolahan pangan, protein dapat berperan dalam memengaruhi karakteristik
produk pangan, misalnya mengentalkan, membentuk gel, menstabilkan emulsi, membentuk buih,
membentuk flavor dan sebagainya (Feri, 2010).

Protein dapat diperoleh dari tanaman dan hewan, misalnya kacang-kacangan. Biji-bijian, ikan,
daging, ungags dan sebagainya. Kandungan protein dalam bahan pangan bervariasi. Di samping
itu, protein juga dapat ditemui pada alga, khamir, dan bkteri (misalnya single cell protein) (Feri,
2010).
1.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah pada makalah tentang kimia protein ini adalah:
1. Bagaimana struktur dan jenis asam amino?
2. Bagaimana muatan dan sifat ionisasi asam amino?
3. Bagaimana reaksi asam amino?
4. Bagaimana sifat fungsional protein dan aplikasinya dalam proses pengolahan pangan?
5. Bagaimana sifat kelarutan asam amino?
6. Bagaimana pengaruh garam terhadap protein?
7. Bagaimana peristiwa denaturasi protein?
1.3.Tujuan

Adapun tujuan pada makalah ini yaitu:

1. Mengetahui struktur dan jenis asam amino


2. Mengetahui muatan dan sifat ionisasi asam amino
3. Mengetahui reaksi asam amino
4. Mengetahui sifat fungsional protein dan aplikasinya dalam proses pengolahan pangan
5. Mengetahui sifat kelarutan asam amino
6. Mengetahui pengaruh garam terhadap protein
7. Mengetahui peristiwa denaturasi protein
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Asam Amino

2.1.1. Struktur Asam Amino

Asam amino adalah senyawa organic penyuun protein yang bmemiliki dua buah gugus fungional
primer, yaitu gugus amin (-NH2) dan gugus karbokil (-COOH). Kedua gugus fungsional tersebut
terikat melalui ikatan kovalen pada atom karbon primer atau karbon α. Atom karbon α
merupakan pusat kiral, yaitu dapat memutar sinar bidang polarisasi menuju satu arah atau arah
kebalikannya. Pada karbon α tersebut, terikat juga atom hidrogen (disebut juga hidrogen α) dan
gugus R (rantai karbon) (Feri, 2010).

Gugus karboksil dan gugus amin yang terikat pada karbon α dapat mengioninsasi. Gugus
karboksil dapat membentuk ion negative yang bersifat asam, sedangkan gugus amin bermuatan
positif yang bersifat basa. Dengan adanya kedua gugus dengan muatan yang berbeda
btersebutmaka asam amino disebut berifat amfoter, artinya dapat bersifat asam atau basa. Sifat
asam atau basa ini dipengaruhi oleh pH lingkungannya (Feri, 2010).

Semua asam amino berkonfigurasi dan mempunyai konfigurasi L kecuali glisin yang tidak
mempunyai atom C asimetrik.Hanya asam amin L yang merupakan komponen protein. Karena
itu penulisan isomer optik jarang dilakukan dan bila tidak ada tanda apa-apa maka yang
dimaksud adalah asam amino L (Winarno, 2004).

Simbol D dan L tidak mewakili tanda rotasi optik, tetapi menuunjukkan hubungan konfigurasi
yang dicocokkan dengan konfigurasi senyawa L-gliseraldehida atau konfigurasi absolut.
Asam L-laktat dan L-alanin tidak memutar ke kiri (levo) tetapi keduanya memutar ke kanan
(dekstro), bila diperiksa di dalam polarimeter (Winarno, 2004).

Asam amino dalam kondisi netral (pH isolistrik, p1) berada dalam bentuk ion dipolar atau
disebut juga ion zwitter. Pada asam amino yang dipolar, gugus amino mendapat tambahan
sebuah proton dan gugus karboksil terdisosiasi. Derajat ionisasi dan asam amino sangat
dipengaruhi oleh pH. Pada pH yang rendah misalnyya pada pH 1,0 gugus karboksilnya tidak
terdisosiasi, sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH yang tinggi misalnya pada pH 110
karboksilnya terdisosiasi sedang gugus aminonya tidak (Winarno, 2004).

Asam amino yang berasal dari protein termasuk dalam deret-L, artinya gugus-gugus disekeliling
karbon α mempunyai konfigurasi yang sama seperti dalam L-gliseraldehida (Winarno, 2004).

Prolin merupakan asam amino yang agak berbeda karena pada atom nitrogen terikat dua ikatan
yaitu dalam bentuk nitrogen sekunder. Rantai cabang dlam hal ini berupa hidrokarbon yang
terikat pada karbon α dan pada nitrogen dan amina sehingga terbentuklah cincin. Dengan
demikian prolin sesungguhnya bukan lagi asam amino tetapi merupakan asam inimino (Winarno,
2004).
Beberapa asam amino yang mempunyai cabang alifatik adalah leusin dan isoleusin (Winarno,
2004).

Serin dan treonin merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus alifatik
hidroksil. Sedangkan fenilalanin, tirosin dan triptofan merupakan asam amino yang mempunyai
gugus cabang aromatik (Winarno, 2004).
Rantai cabang tersebut merupakan gugus yang tidak bemuatan dalam pH fisiologik. Akan tetapi
asam-asam amino lisin dan arginine mempunyai rantai cabang yang dapat bermuatan positif
maupun negative, tergantung lingkungannya. Ketiga asam amino tersebut juga merupakan asam
amino yang mempunyai rantai cabang gugus basa (Winarno, 2004).
Asam amino gutamat dan aspartate mempunyai rantai cabang berupa asam dan bermuatan
negative. Hal ini tentu saja harus dibedakan dengan aspartin dan glutamin yang pada umumnya
mempunyai cabang netral atau tidak bermuatan (Winarno, 2004).

Ada dua jenis asam amino yang cabang rantainya mempunyai atom belerang yaitu sistein dan
metionin. Keduanya mempunyai peranan penting dalam pembentukan ikatan sulfide molekul
protein (Winarno, 2004).

2.1.2. Jenis Asam Amino

Asam amino yang penting yang ada di alam berjumlah 20 buah, asam amino tersebut dapat
digolongkan menjadi 2 kelompok yaitu asam amino eksogen dan asam amino endogen. Asam
amino endogen dapat dibentuk oleh tubuh manusia, sedangkan sembilan asam amino eksogen
tidak dapat dibentuk oleh tubuh manusia, karena itu disebut asam amino esensial artinya harus
didapatkan dari makanan sehari-hari, yang tergolong asam amino esensial adalah lisin, leusin
isoleusin, treonin, metionin, valin, fenilalanin, histidin dan arginine. Sebenarnya arginine tidak
esesnsial bagi anak-anak dan orang dewasa namun bergna bagi pertumbuhan bayi, sedangkan
histidin esensial bagi anak-anak namun tidak essensial bagi orang dewasa (Winarno, 2004).

Asam amino non-esensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh sehingga tidak
diperlukan suplai dai makanan. Kelompok asam amino non-esensial adalah glisin, alanine,
prolin, serin, sistein, tirosin, asparagine, glutamin, asam aspartate dan asam glutamat (Feri,
2010).

Gugus R yang terikat pada atom karbon α ada yang merupakan gugus alifatik polar dan non-
polar, gugus aromatic, serta juga mengandung gugus sulfur. Perbedaan gugus R yang terikat
pada karbon α tersebut menyebabkan asam amino berbeda satu sama lain dari sifat polaritasnya,
yaitu mulai dari yang sama sekali tidak polar atau hidrofobik (tidak menyukai air) sampai yang
bersifat sangat polar atau hidrofilik (menyukai air). Berdasarkan sifat kepolarannya tersebut
maka asam amino dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan yaitu asam amino dengan gugus R
non-polar dan hidrofobik, asam amino dengan gugus R polar tetapi tidak bermuatan, asam amino
dengan gugus R ber uatan negatif dan asam amino dengan gugus R bermuatan positif (Feri,
2010).

2.1.3. Muatan Asam Amino dan Sifat Ionisasi

Pada setiap asam amino terdapat gugus amino sebagai akseptor proton dan gugus karboksilat
sebagai donor proton (Sugiono, 2004). Dalam larutan, gugus karboksil dan gugus amin pada
asam amino dapat mengalami nionisasi pada pH yang sesuai. Gugus karboksil dapat berbentuk
netral (-COOH) atau bermuatan negative (-COO-), sedangkan gugus amin juga dapat berbentuk
netral (-NH2) atau bermustsn positif (-NH3+). Struktur kimia asam amino dapat ditulis dalam
keadaan dipolar (kedua gugus bermuatan) (Feri, 2010).

Dalam larutan encer, asam amino dalam kesetimbangan dinamis antara kation, anion, dan
zwitterion. (Sugiono, 2004). Ionisasi gugus karboksil dan gugus amin pada asam amino
dipengaruhi oleh pH lingkungannya berdasarkan prinsip kesetimbangan kimia. Secara umum,
gugus amin akan membentuk ion positif pada pH di bawah 7,0, sedangkan gugus karboksil akan
membentuk ion negative pada pH di atas 7,0. Pada pH rendah akan terjadi kelebihan ion H+
sehingga gugus karbokil primer cenderung menjadi netral atau tidak bermuatan (-COOH) dan
gugus amin sekunder cenderung bermuatan negative (NH3+). Pada pH tinggi, terjadi kelebihan
ion OH- sehingga gugus karbokil primer cenderung bermuatan negatif (-COO-) dan gugus amin
sekunder cenderung tidak bermuatan (-NH2) (Feri, 2010).

Pada pH tertentu, gugus karboksil dapat bermuatan negative dan gugus amin dapat bermuatan
positif, pada kondisi ini, asam amino berada dalam bentuk zwitter ion. Hal ini menyebabkan
muatan asam amino bersih seimbang artinya jumlah aljabarnya sama dengan nol (netral) dan pH-
nya disebut pH isoelektris (pI). Pada pH terjadinya isoelektris disebut titik isoelektris. Dalam
medium yang mempunyai pH di bawah pI maka yang dominan adalah bentuk kation atau
bermuatan positip. Sebaliknya pada pH medium di atas pHi, maka yang dominan adalah anion
atau bermuatan negatip. Pada titik isoelektris kelarutan asam amino di dalam medium pelarut
sangat kecil bahkan tidak bergerak. Sifat ini kemudian digunakan sebagai dasar untuk
identifikasi atau pemisahan asam-asam amino. pH isoelektris merupakan pertengahan antara
kedua nilai pK dari kedua jenis isoelektrisnya (Sugiono, 2004).

Bila asam amino dalam bentuk kation dinyatakan dengan simbol +A, zwitterion dengan simbol
+
A- dan anion dengan simbol A- maka dapat diperoleh kontanta disosiasi K yang dapat
dinyatakan sebagai beikut (Feri, 2010).
[H+] = (K1.K2) atau pI – 0,5(pK1 + K2)

Contoh: Asam glutamat mempunyai pK1 = 2,00; pK2 = 4,07; pK3 = 9,47 dengan rumus bangun:

Proses ionisasi gugus amin dan kabooksil pada asam amino terjadi secara brangsur-angsur,
sesuai dengan perubahan pH yang terjadi. Nilai pH pada saat gugus karboksil mengion 50%
disebut pK1, pada saat gugus amin mengion 50% disebut pK2, dan pada saat gugus karboksil dan
amin primer mengion 100% disebut pI atau pH ioelektrik (Feri, 2010).
2.1.4. Beberapa Sifat Asam Amino

2.1.4.1. Lisin

Lisin adalah asam amino basa yang mengandung dua gugus amin, yaitu ggus amin pimer yang
terikat pada karbon α dan gugus amin sekunder yang terikat pada gugus R. Sifat basa dari lisin
menyebabkannya berperan dalam pembentukan ikatan interaksi elektrostatik (Feri, 2010).

Lisin merupakan asam amino esensial yang banyak terkandung pada daging, susu, telur dan
kacang. Adanya dua gugus amin menyebabkan lisin lebih mudah terlibat dalam reaksi
kecoklatan non-ezimatis (reaksi Mailard) dibandingkan dengan asam amino lain. Analisis
kandungan lisin sering dijadikan sebagai indicator penurunan mutu akibat proses pengolahan
susu karena asam amino isin dan gula pereduksi laktosa yang terdapat pada susu dapat
mengalami reaksi Mailard selama proses pasteurisasi sterilisasi atau selama penyimpanan (Feri,
2010).

Lisin dan metionin meerupakan asam amino pembatas yang sering digunakan dan sangat
diperhatikan dalam campuran pakan ungags. Kandungan lisin dari 10 tepung ikan yang dianalisis
adalah 2,71-3,90%, yang menunjukkan bahwa tepung trsebut baik digunakan sebagai sumber
lisin untuk pakan nggas. Kandungan metionin tepung ikan berda pada kisaran 0,99-2,71%
sehingga tepung ikan terebut ideal digunakan sebagai sumber metionin untuk pakan ungags.
Bungkil kedelai mengandung lisin 1,17-2,91% dan metionin 0,7-2,51%. Data tersebut juga
menunjukkan bahwa contoh bungkil kedelai yang dianalisis dapat digunakan sebagai sumber
lisin dan metionin untuk pakan ungags. Tepung ikan juga mengandung protein 40,01-55,80%
dan bungkil kedelai 38,90-46,91% (Saulina, 2004).

2.1.4.2. Metionin

Metionin merupakan asam amino esensial yang terdapat pada protein hewani (2-4%) dan protein
nabati (1-2%). Metionin merupakan asam amino netral yang mengandung atom sulfur. Dalam
struktur protein, metionin terlibat dalam pembentukam ikatan hidrofobik. Metionin sangat
mudah rusak oleh adanya oksigen dan perlakuan panas. Kerusakan atau kehilangan metionin
dalam pangan dapatterjadi selama proses pengeringan, pemanggangan, atauperlakuan proses
yang melibatkan oksigen. Dalam proses bleaching (pemutihan) tepung, metionin dapat
dikonversi menjadi senyawa toksik metionin sulfoksimida (Feri, 2010).

2.1.4.3. Asam Glutamat

Asam glutamate merupakan kelompok nasam amino yang memiliki dua gugus karboksilat, yaitu
gugus karboksil α dan yang terikat pada gugus R. Sifat dari asam glutamate menyebabkannya
dapat membentuk ikatan interaksi elektrostatik (Feri, 2010).

Asam glutamate banyak terdapat pada berbagai sumber protein hewani, terutama protein susu
(21,7%), telur (12,5%), ayam (16,1%) dan daging sapi (13,5%). Beberapa protein nabati juga
mengandung asam glutamate, seperti gandum (31,4%), jagung (188,4%) dan kedelai (18,5%).
Asam glutamate bukan merupakan asam amino esensial karena dapat disintesis oleh tubuh (Feri,
2010).

Asam glutamate merupakan asam amino yang dapat memberikan rasa gurih. Gugus hidrogen
pada asam glutamate dapat disubtitusi dengan sodium sehingga membentuk monosodium
glutamate (MSG) yang memiliki intensitas rasa gurih yang lebih kuat sehingga banyak
digunakan sebagai flavor enhancer. Monosodium glutamate dikelompokkan sebagai bahan
tambahan pangan yang sering ditambahkan dalam proses npengolahan pangan untuk
memperkuat cita rasa (Feri, 2010).

2.1.4.4. Sistein dan Sistin


Sistein adalah asam amino non-esensial yang memiliki gugus fungsional sulfhidril (-SH) pada
gugus R-nya. Gugus sulfhidril dari dua molekul sistein dapat berikatan satu sama lain
membentuk struktur sistein. Kandungan asam amino dan sistin dalam beberapa jenis sumber
protein (Feri, 2010).

2.1.5. Reaksi Asam Amino

Asam amino dapat terlibat dalam reaksi-reaksi kimia yang melibatkan gugus karboksil, gugus
amin, dan gugus fungsional lain yang terikat pada gugus R. Dalam pengolahan pangan, reaksi
kimia yang melibatkan asam amino biasanya terjadi pada suhu tinggi (100-2200 C), misalnya
selama proes pemasakan, penggorengan dan pemanggangan (Feri, 2010).

2.1.5.1 Reaksi yang melibatkan gugus karboksil

Asam amino dapat diesterifikasikan pada gugus karboksilnya dalam kondisi asam. Dalam
kondisi asam (dngan penambahan HCL), asam amino dapat bereaksi dengan etanol membentuk
ester hidroklorida (Feri, 2010).
Asam amino dapat dibebaskan dari garamnya dengan adanya penambahan alkali (basa).
Selanjutnya, campuran sam amino yang dihasilkan dapat dipisahkan dengan cara destilasi (Feri,
2010).

Ester asam amino cenderung membentuk dipeptide siklik atau polipeptida rantai terbuka sebagai
berikut.

2.1.5.2. Reaksi yang melibatkan gugus amin

Reaksi kimia yang dapat melibatkan gugus amin yang penting, diantaranya adalah reaksi asilasi.
Reaksi asilasi terjadi apabila asam amino direaksikan dengan halogenida atau asam anhidrida
(Feri, 2010).
2.1.5.3. Reaksi Maillard

Reaksi Maiilard terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi dengan gugus amina dari asam
amino terutama epsilon-amino-lisin dan alfa-amino asam amino N-terminal. Raksi ini banyak
terjadi pada pembakaran roti, pembuatan breakfast cereal, pemanasan daging terutama apabila
kontak dengan bahan nabati, serta pengolahan susu bubuk. Yang terakhir merupakan hal yang
paling penting karena susu bubuk banyak digunakan untuk bayi dan anak-anak, dimana
ketersediaan asam-asam aminonya sangat penting artinya untuk pertumbuhan. Selain itu di
dalam susu bubuk juga mengandung gula pereduksi, sehingga mudah bereaksi dengan asam-
asam amino yangterkandung di dalam susu tersebut (Palupi, zakaria dan prangdimurti, 2007).

Pada umumnya reaksi Maillar terjadi dalam dua tahapan, yairu tahap reaksi awal dan reaksi
lanjutan. Pada tahap awal terjadi kondensasi antara gugus karbonil dari gula pereduksi dengan
gugus amino bebas dari asam amino dalam rangkaian protein. Produk hasil kondensasi
selanjutnya akan berubah menjadi basa Schiff karena kehilangan molekul air (H2O) dan akhirnya
tersiklisasi oleh Amadori rearangement membentuksenyawa 1-amino-1-deoksi-2-ketosa.
Senyawa deoksi-ketosil atau senyawa Amadori yang terbentuk merupakan bentuk utama lisin
yang terikat pada bahan pangan setelah terjadinya reaksi Maillard awal. Pada tahap ini secara
visual bahan pangan masih berwarna seperti aslinya, belum berubah menjadi berwarna coklat,
namun demikian lisin dalam protein bahan pangan tersebut sudah tidak tersedia lagi secara
biologis (bioavailabilitasnya menurun) (Palupi, zakaria dan prangdimurti, 2007).
Reaksi Maillard lanjutan dapatterjadi melalui tiga jalur (pathways), dua diantaranya dimulai dari
produk Amadori (senyawa deoksi-ketosil) dan yang ketiga berasal dari degradasi Strecker.
Reaksi tersebut berakhir dengan pembentukan pigmen berwarna coklet yang disebut malanoidin.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penurunan nilai gizi protein akibat reaksi Maillard
terjadi sebagai berikut: (1) lisin dan sistin mengalami kerusakan sebagai akibat bereaksi dengan
senyawa karbonil atau dikarbonil dan aldehid, padahal lisin merupakan salah satu asam amino
esensial; (2) penurunan ketersediaan semua asam-asam amino, termasuk leusin yang biasanya
paling stabil, sebagai akibat terbentuknya ikatan silang (cross linkage) antar asam-asam amino
melalui produk reaksi Maillard; dan (3) penurunan daya cerna karena terhambatnya penetrasi
enzim ke dalam substrat protein atau karena tertutupnya sisi protein yang dapat diserang enzim
karena terjadinya ikatan silang tersebut (Palupi, zakaria dan prangdimurti, 2007).

2.1.5.4. Reaksi dengan senyawa polifenol

Selain reaksi Maillard kerusakan protein (asam amino) lain yang dapat terjadi adalah karena
terjadinya reaksi dengan senyawa polifenol yang berasal dari tanaman seperti fenolat,
flavonoiddan tanin. Senyawa polifenol tersebut akan mudah teroksidasi dengan adanya oksigen
dalam suasana alkali atau terdapatnya enzim polifenolase, membentuk senyawa radikal orto-
kuinon. Senyawa orto-kuinon tersebut sangat reaktif dan apabila bereaksi dengan protein dapat
membentuk senyawa kompleks yang melibatkan asam amino lisin sehingga ketersediaannya
akan menurun. Selain itu senyawa kompleks proteinpolifenol tersebut sulit ditembus oleh enzim
protease sehingga daya cerna proteinnya juga rendah, sehingga secara keseluruhan dapat
dikatakan bahwa nilai gizi protein tersebut juga akan turun (Palupi, zakaria dan prangdimurti,
2007).
2.1.5.5. Pembentukan lisinoalanin

Pada umumnya pengolahan protein dengan alkali dillakukan untuk memperbaiki sifat fungsional
protein. Ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu pembentukan lisinolalanin dan
rasemisasi asam amino, yang keduanya dapat berakibat pada penurunan nilai gizi protein
tersebut. Lisinolalanin adalah senyawa N-epsilon-(DL-2-amino-karboksi-etil)-L-lisin yang
disingkat dengan LAL. Senyawa tersebut terdiri dari residu lisin yang gugus epsilon-aminonya
terikat pada gugus metil dari residu alanin. Terdapat dua mekanisme pembentukan lisinolalanin
yang diketahui, yaitu melalui reaksi betaeliminasi dan reaksi substitusi (Palupi, zakaria dan
prangdimurti, 2007).

Pembentukan lisinoalananin akan menurunkan daya cerna protein karena terbentuknya ikatan
silang (cross linkage). Selain itu lisinolalanin juga bersifat toksik apabila termakan, yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan ginjal (nephrocytomegaly), namun mekanismenya belum
diketahui dengan jelas. Banyak penelitian telah dilakukan untuk mempelajari parameter fisik dan
kimia yang mempengaruhi pembentukan lisinolalanin. Tujuan utamanya adalah untuk
mengurangi atau menghilangkan LAL dari protein yang diberi perlakuan menggunakan alkali.
Dilaporkan bahwa LAL dapat terbentuk pada pH 9, pembentukannya akan dipercepat pada pH
antara 11-12 dan pada kondisi suhu tinggi (Palupi, zakaria dan prangdimurti, 2007).
Struktur protein merupakan kriteria penting yang dapat mempengaruhi pembentukan LAL.
Jumlah LAL yang terbentuk tergantung pada konsentrasi lisin dan residu sistein serta serin dalam
protein, serta jarak antara lisin ke residu sistin atau serin dalam rantai protein. Protein yang
residu lisin dan sistin atau serinnya berdekatan atau hanya dibatasi oleh satu atau dua residu
lainnya akan dapat segera membentu LAL (Palupi, zakaria dan prangdimurti, 2007).

2.1.5.6. Rasemisasi asam amino

Selain terbentuknya lisinoalanin, terjadinya rasemisasi asam amino merupakan fenomena lain
yang terjadi pada saat protein diperlakukan dalam larutan alkali dan dapat mempengaruhi nilai
gizi protein. Rasemisasi juga dapat terjadi dalam suasana asam atau proses penyangraian
(roasting), terutama apabila terdapat lipidatau gula pereduksi (Palupi, zakaria dan prangdimurti,
2007).

Pada kejadian ini, asam amino bentuk L akan berubah menjadi bentuk D yang tidak dapat
digunakan oleh tubuh. Demikian pila ikatan peptida L-D, D-L atau D-D dari protein juga tidak
dapatdiserang oleh enzim proteolitik, sehingga daya cerna protein menurun. Asam-asam amino
D-lisin, D-teronin, D-triptofan, D-leusin, D-isoleusin dan D-valin sama sekali tidak dapat
digunakanoleh tubuh. Sedangkan D-fenilalanin dapat menggantikan L-fenilalanin dan D-
metionin dapat digunakan sama baiknya dengan L-metionin oleh tubuh (Palupi, zakaria dan
prangdimurti, 2007).
Seperti telah disebutkan sebelumnya, akan terjadi rasemisasi asam amino dalam larutan alkali
yang berakibat terjadinya penurunan nilai biologis beberapa asam mino tersebut. Arginin, sistin,
treonin dan sistein sebagian akan rusak, sementara itu glutamin dan asparagin akan dideaminasi
dalam larutan alkali. Dalam larutan asam, triptofan sedikit lebih mudah rusak, sistein sebagian
dikonversi menjadi sitin, serin dan treonin sebagian akan rusak. Fenilalanin dan treonin sebagain
akan rusak oleh sinar ultra violet. Semua asam amino dalam bahan pangan, terutama lisin,
treonin dan metionin bersifatsensitif terhadap pemanasan kering dan radiasi. Oleh karena itu,
dalam proses pembakaran dan pemanggang serealia, kacang-kacangan dan campuran bahan
pangan lain, akan terjadi penurunan nilai biologis protein secara signifikan (Palupi, zakaria dan
prangdimurti, 2007).

2.1.5.7. Interaksi antara protein dan lipid teroksidasi

Penurunan nilai gizi protein juga dapat disebabkan karena terjadinya interaski antara protein
dengan lipid teroksidasi, yang seringkali tidak diperhatikan dalam proses pengolahan pangan.
Oksidasi lipid yang mengandungasam lemak tidak jenuh berlangsung melalui tiga tahap: (1)
pembentukan produk primer seperti lipid hidroperoksida; (2) degradasi hidroperoksida melalui
radikal bebas dan membentuk produk-produk sekunder seperti aldehid, hidrokarbon dan lain-
lain; serta (3) polimerisasi produk primerdan sekunder membentuk produk akhir yang stabil.
Produk-produk yang terbentuk tersebut dapat bereaksi dengan protein, terutama dengan asam
amino lisin, membentuk protein modifikasi yang sulit dicerna oleh enzim proteolitik. Disamping
itu, asam amino triptofan dan asam amino lain yang mengandungsulfur juga dapat rusak
teroksidasi oleh adanya radikal bebas dan hidroperoksida (Palupi, zakaria dan prangdimurti,
2007).

2.1.5.3. Peptida

Polimerisasi asam amino di alam akan menghasilkan golongan senyawa yang disebt peptida.
Peptida adalah polimer yang mengandung 2 hingga 50 asam amino yang dihubungkan satu sama
lain dengan ikatan kovalen yang disebut ikatan peptida. Ikatan peptida menghubungkan gugus
amin dan gugus karboksil secara kovalen. Ikatan peptide lebih pendek dan lebih kuat daripada
ikatan tunggal C-C, tetapi lebih lemah dibandingkan dengan ikatan rangkap C=C. dalam setiap
pembentukan ikatan peptida akan dibebaskan satu molekul air sehingga reaksi pembentukan
protein ini disebut reaksi polimerisasi kondensasi. Sebagaimana asam amino, peptida merupakan
senyawa yang bersifat zwitterion dan tidak memiliki muatan pada titik isoelektriknya.

Peptida dapat dibedakan satu sama lain dari jumlah dan jenis asam mino terikat. Berdasarkan
jumlah asam amino (AA) yang terikat maka dikenal istilah dipeptida (2AA), tripeptida (3AA),
tetrapeptida (4AA), pentpeptida (5AA) dan seterusnya. Bila terdapat lebih banyak asam amino
yang bergabung membentuk polimer peptida (biasanya 15-50AA) disebut polipeptida (Feri,
2010).
Unit asam amino di dalam peptida biasanya disebut residu asam amino. Residu asam amino telah
kehilangan atom hidrogen dari gugus amin dan sebagian gugus karboksilnya. Dalam struktur
peptide, gugus-gugus karboksil dan amin primer pada residu asam amino telah terikat pada asam
amino lain, kecuali di kedua ujungnya. Pada kedua ujung protein terdapat gugus karboksil bebas
primer (disebut ujung karboksil/end carboxyl/C-terminal) dan gugus amin bebas (disebut ujung
amin/end amin/N-terminal). Jenis dan urutan asam amino yang menyusun peptide dapat
bervariasi, hal ini akan membedakan stuktur dan sifat fisikokimianya (Feri, 2010).

Sebagaimana pada asam amino, peptida juga bersifa amfoter yaitu dapat dalam bentuk anion,
kation atau zwitterion. Jumlah pK dari suatu peptida ditentukan oleh jumlah, jenis dan urutan
asam amino yang terikat dalam struktur peptida tersebut (Feri, 2010).

Sebagaimana asam amino, banyak peptida yang dapat berkontribusi pada pmbntukan rasa atau
flavor yaitu rasa gurih, pahit atau manis. Sifat sensori ini dipengaruhi oleh jenis asam amino
penyusunnya. Bila dalam rantai pptida terdapat residu asam amino pembentuk rasa gurih
(misalnya asam glutamat) maka peptide tersebut akan memberikan rasa gurih. Sebagai contoh,
rasa gurih ikan asin yang disebabkan oleh adanya pembentukan senyawa peptide. Apabila
terdapat residu asam amino aromatic maka akan memberikan rasa pahit. Misalnya dalam
fermentasi keju yang berlebihan dapat membentuk peptida yang berkontribusi pada pembentukan
rasa pahit (Feri, 2010).

Hidrolisis ikatan peptida dapat dilakukan dengan menggunakan asam kuat (HCL 6M), basa kuat
(NaOH 2M) atau secara enzimatik dengan enxim protease (misalnya enzim yabg dihasilkan
secara microbial oleh Bacillus subtilis atau enzim dari tanaman seperti apapain atau bromelin)
(Feri, 2010).

Suatu dipeptida terjadi bila suatu ikatan amida terbentuk antara gugus –NH2 dari suatu asam
amino dengan gugus –COOH dari asam amino yang lain (Sugiyono, 2004).

Tiap unit asam amino dalam suatu molekul peptida disebut suatu satuan (unit) atau suatu residu
asam amino (Sugiyono, 2004).

Alanilglisina mempunyai dua residu : residu alanina dan residu glisina.

Suatu polipeptida ialah suatu peptide dengan banyak sekali residu asam amino.
Menurut perjanjian suatu poliamida dengan residu asam amino kurang dari 50 dikelompokkan
sebagai suatu peptide, sedangkan poliamida yang lebih besar dianggap sebagai protein.

alanina dan glisina dapat digabungkan dengan cara lain untuk membentuk glisilalanina, dalam
mana glisina mempunyai gugus amino bebas dan alanina mempunyai gugus karboksil bebas.

Asam amino dengan gugus amino bebas biasanya ditaruh pada ujung kiri struktu ritu. Asam
amino ini disebut asam aminoN-ujung. Asam amino dengan gugus karboksil bebas ditaruh
diujung kanan disebu asam aminoC-ujung kanan (Sugiyono, 2004).
Purification of antioxidant proteins. The CPH2 was fractionated using a Sephadex G-25 column.
The freeze-dried CPH2 was dissolved to a 30 mg/mL solution, and then the solution (3.0 mL, 30
mg/mL) was filtered using a 0.22-μm membrane and added to a pre-equilibrated Sephadex G-25
column (1.6× 70 cm). The column was eluted with distilled water at a 1.0 mL/min flow rate. The
elution was detected at 280 nm by using an online UV HD-21-2 spectrophotometer to obtain the
elution profile of the sample. The absorbance at 280 nm was detected in real time. The elution
profile of CPH2 is shown in Fig. 1(A). Ma, Xiong, Zhai, Zhu, and Dziubla (2010) suggested that
the separated parts of the eluents each contain peptides with various sizes. The smaller the MW,
the later the peak appears. Fractions were labelled as CPH2-I, CPH2-II, and CPH2-III. Thus,
fraction CPH2-I had the largest MW, fraction CPH2-II had the second largest MW, and fraction
CPH2-III had the smallest MW. All these fractions were pooled separately and freeze-dried for
further evaluation via DPPH and ORAC assays. The fractions CPH2-I, CPH2-II, and CPH2-III
were dissolved in distilled water at 10 mg/mL and their antioxidant activities were measured
using the DPPH and ORAC assays. The result of the DPPH and ORAC tests are shown in Fig.
1(B). The DPPH radical scavenging ratios of fractions CPH2-I, CPH2-II, and CPH2-III were
29.20 ± 5.03%, 73.75 ± 4.05%, and 79.80 ± 3.06%, respectively. The antioxidant activity of
fraction CPH2-III with the smallest MW was significantly higher than other fractions (P < 0.05).
In the ORAC assay, the Trolox standard gave a linear standard curve (y= 143.21 × +4.3324, with
correlation coefficient r2= 0.9902) and fraction CPH2-III showed a similar effect on the
scavenging of oxygen free radicals at 1.39 ± 0.06 mmol TE/mg, which was meaningfully higher
than that of the other fractions (P < 0.05). Onuh, Girgih, Aluko, and Aliani (2014) reported that
the antioxidant activities of hydrolysates were closely associated with the MW distributions.
Peptides or protein hydrolysates with lower MW could have more effective interactions with
radicals intervening in the oxidizing process (He, Girgih, Malomo, Ju, & Aluko, 2013). The low
MW proteins in fraction CPH2-III might be an important reason for its high antioxidant activity.
Moreover, because the last fraction (CPH2-III) would consist of mixed short peptides and free
amino acids (Zhu, Chen, Tang, & Xiong, 2008), a more robus separation system is desirable.
Thus, CPH2-III, with its high antioxidant capacity, was used to further investigate the structure
of the antioxidant peptide (Yuan et al, 2017).

In this study, four novel peptides, AGIPM, HALGA AGLPM, and HAIGA, which exhibited
different antioxidant activities, were identified from CPH2-III; therefore, corn gluten meal may
be used as a potential source of antioxidant peptides for food applications. Moreover, AGLPM
and HALGA showed significantly better oxygen radical absorbance capacities than AGIPM and
HAIGA. ESR showed that the AGLPM and HALGA peptides had strong abilities to scavenge
hydroxyl radicals, by 79.41 ± 1.41% and 75.16 ± 2.26%, respectively. In this study, it was
speculated that His, Pro, Leu, Ile, Gly, and Met in the sequence might help to scavenge radicals.
In addition, the amino acid Leu may have contributed stronger antioxidant activity than Ile in the
peptide sequence (not C-terminus or N-terminus) according to the antioxidant activity results of
AGIPM, AGLPM, HALGA, and HAIGA sequences. According to the CD results, the lower α-
helix and random coil are the main causes of why the amino acid Leu has stronger antioxidant
activity than Ile in the peptide sequence of AGL/IPM and HAL/IGA. Further research on the
structure–activity relationships of antioxidant peptides should be performed for further
investigation (Yuan et al, 2017).

2.1.5.4. IKATAN DISULFIDA

Ikatan disulfida terbentuk antara dua residu yang saling berhubungan. Ikatan ini relatif stabil
dan resisten terhadap penyebab denaturasi protein. Beberapa senyawa yang mampu memecah
ikatan disulfida sistein antara lain asam performat (oksidator pada ikatan S-S) menghasilkan dua
asam sisteik, sedangkan β-merkaptoetanol (reduktor pada ikatan S-S) menghasilkan dua sistein
(Sugiyono, 2004).
2.1.5.5. IKATAN HIDROGEN

Ikatan hidrogen terbentuk antara residu pengikat yang terdapat pada rantai samping ikatan
peptida asam amino dan ikatan yang terbentuk antara atom hidrogen dengan oksigen ikatan
peptide sendiri (Sugiyono, 2004).

2.1.5.6. IKATAN HIDROFOBIK


Rantai samping nonpolar dari asam amino netral pada protein cenderung bersekutu. Meskipun
persekutuannya tidak stoikiometri tetapi memegang peranan penting dalam mempertahankan
struktur protein.

2.1.5.7. IKATAN ELEKTROSTATIK

Ikatan elektrostatik merupakan ikatan garam antara gugus yang bermuatan berlawanan pada
rantai samping asam amino. Contohnya asam amino lisin mempunyai muatan bersih 1+ (positip)
dan aspartat atau glutamat mempunyai muatan bersih 1 (negatip), oleh karena itu keduanya
saling bereaksi secara elektrostatika untuk menstabilkan struktur protein. Selama denaturasi
protein, ikatan hidrogen, ikatan hidrofobik, dan ikatan elektrostatik pecah, tetapi ikatan peptida
dan ikatan disulfida tetap utuh tidak mengalami pemecahan.

2.2. Protein

Kedua puluh macam asam amino saling berikatan, dengan urutan yang beraneka ragam untuk
membentuk protein. Proses pembentukan protein dari asam-asam amino ini dinamakan sintesis
protein. Ikatan antara asam amino yang satu dengan lainnya disebut ikatan peptida. Ikatan
peptida ini dapat disebut juga sebagai ikatan amida. Peptida dan protein merupakan polimer
kondensasi asam amino dengan penghilangan unsur air dari gugus amino dan gugus karboksil.
Jika bobot molekul senyawa lebih kecil dari 6.000, biasanya digolongkan sebagai polipeptida
(Feri, 2010).
Proteins comprise of long chains of amino acid residues that fold into unique structures.

These folds include one or more specific spatial conformations driven by a

number of covalent and noncovalent interactions (e.g., hydrogen bonding, ionic interactions,

Van der Waals forces, hydrophobic packing, salt bridges, disulfide bonding,

and posttranslational modifications). Proteins can be described as a linear sequence of

amino acids (primary structure), regularly repeating local structures (secondary structure

e.g., α-helix and β-strand/sheets), complex and irregular folding of the peptide

chain in three dimensions, that is, geometric shape that a protein assumes (tertiary

structure), and a cluster of protein molecules or polypeptide chains (quaternary structure).

The primary structure generally remains unchanged during protein denaturation,

but changes in the secondary and tertiary structures increase protein interactions and

favors aggregation due to the exposure of hydrophobic amino acids to the protein surface

(Foegeding and Davis, 2011).

2.2.1. Struktur Protein


a. Struktur primer

Struktur primer adalah urutan linier asam-asam amino yang membentuk rantai
polipeptida. Protein yang dibentuk dengan asama amino tergabung dalam ikatan

polipeptida. Setiap asam amino terhubung dengan asam amino lainnya dalam ikatan peptida
yang terbentuk karena adanya reaksi kondensasi gugus karboksil pada setiap masing-masing
asam amino (Sugiyono, 2004).

Struktur Asam amino primer


Pada ujung dari rangkaian polipeptida yang terbentuk mempunyai sifat kimia yang
berbeda: satu ujung mempunyai gugus amino bebas (N atau amino, NH2-) disisi satunya,
sedangkan mempunyai gugus karboksil bebas (ujung C atau karboksil, COOH-) pada ujung
satunya. Oleh karena itu, arah polipeptida dan dituliskan baik N→C (kiri ke kanan) maupun C
→N (kanan ke kiri) (Sugiyono, 2004).

b. Struktur sekunder

Struktur sekunder protein bersifat reguler, pola lipatan berulang dari rangka protein. Suatu
polipeptida cenderung membentuk struktur skunder karena regularitas rangka. Dua pola
terbanyak adalah alpha helix dan beta sheet (Sugiyono, 2004).
Pada struktur sekunder, rangkaian polipeptida memiliki konformasi yang berbeda. Bersifat
reguler dan memiliki pola lipatan berulang dari rangka protein. Dua tipe umum struktur protein
sekunder yaitu α-heliks dan β-sheet. Keduanya terbentuk karena ikatan hidrogen yang terjadi
antara asam amino yang berbeda pada polipeptida (Sugiyono, 2004).

c. Struktur tersier

Struktur tersier protein adalah lipatan secara keseluruhan dari rantai polipeptida sehingga
membentuk struktur 3 dimensi tertentu. Sebagai contoh, struktur tersier enzim sering padat,
berbentuk globuler (Sugiyono, 2004).

Struktur polipeptida yang terjadi dari lipatan komponen struktur sekunder polipeptida
yang membentuk konfigurasi tiga dimensi. Bermacam-macam gaya ikatan hidrogen antar asam
amino yang terjadi pada rangkaian polipeptida inilah maka disebur struktur tersier. Disertai gaya
hidrofobik rangkaian ini menempatkannya (asam amino gugus non-polar) dibagian dalam protein
dengan tujuan melindunginya dari air. Selain ikatan hidrogen, terdapat juga ikatan kovalen yang
disebut juga sebagai jembatan disulfide antara asam amino sistein di berbagai macam posisi pada
rangkaian polipeptida (Sugiyono, 2004).
d. Struktur kuartener
Beberapa protein tersusun atas lebih dari satu rantai polipeptida. Struktur kuartener
menggambarkan subunit- subunit yang berbeda bersama-sama dipak membentuk struktur protein
yang kompleks rantai multiple (multichain). Sebagai contoh adalah molekul hemoglobin
manusia yang tersusun atas 4 subunit (Sugiyono, 2004).

Asosiasi yang terjadi antara dua atau lebih rangkaian polipeptida, dimana masing-masing
terlipat menjadi struktur tersier, menjadi protein multisubunit. Tidak semua protein membentuk
struktur kuaternair. Antara rangkian polipeptida yang berbeda struktur protein terikat dengan
jembatan disulfide. Sedangkan pada protein yang terdiri dari asosiasi subunit yang lebih lemah
akan dihubungkan dengan ikatan hidrogen dan efek hidrofobik. Protein ini dapat kembali pada
komponen polipeptidanya, atau berubah komposisi subunitnya tergantung pada kebutuhan
fungsinya. Singkatnya, struktur kuartener menggambarkan subunit-subunit yang berbeda dipak
bersama-sama membentuk struktur protein (Sugiyono, 2004).

2.2.2. Sifat Fisikokimia Protein

Sifat fisikokimia setiap protein tidak sama, tergantung pada jumlah dan jenis
asam aminonnya
1. Berat molekul protein sangat besar
2. Ada protein yang larut dalam air, ada pula yang tidak larut dalam air, tetapi semua protein tidak
larut dalam pelarut lemak
3. Apabila terdapat garam-garam anorganik dalam konsentrasi tinggi dalam larutan protein
(albumin dan gelatin), maka kelarutan protein akan berkurang sehingga terjadi pengendapan
protein. Teori menyebutkan bahwa sifat tersebut terjadi karena ion garam mampu mengikat air
(terhidrasi) sehingga berkompetisi dengan molekul protein dalam mengikat air, akibatnya protein
akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa pemisahan protein ini disebut salting out
4. Apabila protein dipanaskan atau ditambahkan alkohol maka protein akan menggumpal.
5. Protein dapat bereaksi dengan asam dan basa

2.3. Sifat Fungsional Protein dan Aplikasinya dalam Proses Pengolahan Pangan

Tempe segar dipotong-potong membentuk dadu, dikukus selama 10 menit pada suhu 800 C.
Setelah dikukus, dikeringkan dengan oven selama 6 jam pada suhu 600 C, digiling dengan pin
disc mill dan diayak dengan vibrating screen ukuran 60 mesh (p<0,01) terhadap nilai TPD. Hasil
uji lanjut dengan uji jarak Duncan menunjukkan bahwa nilai TPD kelompok tepung tempe
kedelai grobogan (84%) tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kelompok tepung tempe
kedelai non-GMO (82,23%), namun sangat nyata lebih tinggi dibandingkan kelompok tepung
tempe GMO (80,27%) dan sangat nyata lebih rendah dibandingkan kelompok kasein (87,3%).
Nilai TPD kelompok tepung tempe kedelai nonGMO tidak berbeda nyata dengan kelompok
tepung tempe kedelai GMO. Perbedaan nilai TPD dari ketiga jenis tepung tempe mungkin
disebabkan oleh perbedaan kandungan faktor anti gizi seperti tripsin inhibitor dan lectin yang
terdapat pada ketiga jenis kedelai (Mursiyd dkk. 2013). Gu, dkk., (2010) menyebutkan
perbedaan jenis kedelai berpengaruh secara signifikan terhadap kandungan tripsin inhibitor dan
lektin, yang aktivitas senyawa tersebut dapat menurunkan daya cerna protein. Semakin tinggi
kandungan faktor anti gizi yang terdapat pada kedelai, kemampuan tubuh untuk mencerna
protein juga akan semakin menurun. Daya cerna ketiga jenis tepung tempe tersebut lebih rendah
dibandingkan dengan kasein. Hal ini mungkin disebabkan oleh bahan pangan nabati
mengandung serat yang tinggi dibandingkan dengan sumber pangan hewani. Berdasarkan hasil
analisis proksimat, diketahui bahwa kasein tidak mengandung serat kasar. Kandungan serat kasar
tepung tempe cukup tinggi, yaitu 4,69 g/100 g pada tepung tempe kedelai GMO, 5,08 g/100 g
pada tepung tempe kedelai non-GMO dan 5,38 g/100g pada tepung tempe kedelai grobogan
(Mursiyd dkk. 2013). Astuti (1999) melaporkan bahwa bahan pangan yang banyak mengandung
serat mempunyai daya cerna lebih rendah dibandingkan dengan bahan pangan yang mengandung
sedikit serat. Hal ini disebabkan oleh serat dapat mempengaruhi aktivitas enzim protease.
Interaksi antara serat pangan dengan enzim protease dapat menyebabkan penurunan aktivitas
enzim protease yang diproduksi oleh pancreas.
Proteins can create networks to form gels and develop films, hold water, absorb fat, foam,
emulsify, and dissolve under various pH conditions. These are some examples of the indices
used to measure protein functionality. These properties have been applied for various end uses in
soups, beverages, whipped cream, extruded and baked products, and further tailored for
particular applications (Boye et al., 2010a,b; Foegeding and Davis, 2011; Lam and Nickerson,
2013). Protein functionality extends beyond these properties to impart sensory characteristics
such as flavor, texture, and taste, which ultimately determines consumer acceptability of new
food products. As previously stated, protein functionality is affected by both intrinsic
(physicochemical properties, protein structure, conformation, amino acid composition,
hydrophobicity, and hydrophilicity) and extrinsic factors (pH, temperature, time, influence of
and interaction with other food components). These include preferential interaction and
composition of the environment (buffer pH, ionic strength). Understanding the underlying
mechanisms provides ways to develop processing strategies for altering and improving food
protein properties (Aryee, Agyei and Udenigwe, 2018).

2.3.1. Sifat Kelarutan Protein

Kelarutan protein ditentukan oleh sifat ionisasi asam aminonya di dalam larutan, diamana asam
amino dapat bersifat asam atau basa.Oleh karena itu, pengetahuan mengenai sifat asam-basa dari
asam amino sangat penting di dalam pengertian berbagai sifat kelarutan protein. Sifat kelarutan
protein tergantung pada jenis dan komposisi asam amino penyusun protein, jenis pelarut, pH,
konsentrasi dan muatan ion serta suhu (Feri, 2010).
Solubility describes the ability of a given solute to dissolve in a solvent. Solubility is one of the
main characteristics of proteins selected for use in food and drinks. Protein solubility is mediated
by noncovalent (i.e., electrostatic and hydrophobic) interactions. Buried nonpolar or hydrophobic
groups generally stabilize the native state and the hydrophilic residues on the surface participate
in hydrogen bonding. However, when proteins unfold, many buried peptide motifs and amino
acid side chains become exposed to the protein surface where they interact with the solvent. The
most important determinant of protein solubility is the proportion of the exposed surface and the
composition of charged side chains. In an aqueous media, protein-protein interaction is enhanced
by the hydrophobic interaction of the exposed apolar groups. Limited hydrophobic interaction
and greater electrostatic repulsion between the proteins enhance solubility and dispersability.
Protein solubility is also influenced by amino acid sequence and composition, molecular size,
conformation and ratio of polar-apolar amino acids as well as extrinsic factors such as ionic
strength, solvent type, pH, and temperature. Proteins are least soluble at their pI (Barbana and
Boye, 2013; Aryee and Boye, 2017). The low solubility is due to the dominance of attractive
forces and molecular associations. The low solubility of most plant proteins and their inability to
form emulsions in acidic media often limits their utilization in food systems (Boye et al., 2011;
Barbana and Boye, 2013). Above the pI, when the net charge is negative, protein solubility is
typically enhanced. Processing can alter protein solubility by increasing the net charge, surface
exposure of some amino acids to new local environments, and by altering the pI. For instance,
the replacement of certain amino acids (e.g., glutamine and asparagine) by acidic amino acids
(glutamic acid and aspartic acid) can improve solubility by increasing the number of negative
charges. Dry-milled lentil seeds showed lower solubility than cooked or extracted proteins
(Aryee and Boye, 2017).

2.3.1.2. Pengaruh pH terhadap kelarutan protein

Kelarutan protein dipengaruhi oleh pH. Adanya gugus karboksil dan gugus amin pada asam
amino menyebabkan protein bersifat amfoter yaitu dapat bersifat sebagai asam dan basa
tergantung nilai pH-nya. Muatan pada protein juga sangat ditentukan oleh muatan pada gugus R-
asam amino penyusunnya (Feri, 2010).

Perubahan pH akan mempengaruhi ionisasi gugus fungsional protein sehingga muatan total
protein berubah. Pada titik isoelektrik, total muatan protein sama dengan nol sehingga interaksi
antarmolekul protein menjadi maksimum. Pada kondisi ini, protein mencapai titik isoelektriknya
dan memiliki kelarutan yang minimum. Nilai pH pada saat titik isoelektrik tercapai dinotasukan
dengan pI. Setiap jenis protein memiliki pI yang tertentu. Pada pH di bawah pI, protein
cenderung bermuatan positif. Sebaliknya, pada pH di atas pI, protein cenderung bermuatan
negative. Semakin jauh pH dai pI-nya maka kelarutan protein semakin meningkat (Feri, 2010).

Kelarutan protein adalah prsen dari total protein yang terdapat di dalam bahan pangan yang dapat
dikstrak oleh atau larut dalam air pada kondisi tertentu. Jenis-jenis protein, seperti albumin,
grobulin, prolamin, dang lutein dapat larut dalam air, larutan garam encer, 60-80% alcohol
alifatik dan 0,2% NaOH (Feri, 2010).

Titik isoelektrik protein sangat penting dalam proses pengolahan pangan. Bahan pangan cair
yang mengandung protein (seperti susu) akan mengalami penggumpalan apabila pH susu
berubah sehingga mencapai titik isoelektrik. Titik isoelektrik protein juga digunakan dalam
prinsip ekstraksi protein (Feri, 2010).

2.3.1.3. Pengaruh suhu terhadap kelarutan protein

Thermal processing is one of the oldest technologies used at home and in the food industry to
achieve various food processing end goals. In foods such as milk, thermal processing is probably
the most important step to take for achieving a nonfunctional property effect (e.g., reduction of
microbial load, extension of shelf life, food safety, and quality). Thermal processing has also
been used to improve the sensory property of foods. Thermal treatment can result in the cleavage
of disulphide bonds, unfolding, aggregation, and formation of dimers and larger oligomers of
proteins. In addition to protein modifications during thermal treatments, chemical reactions such
as glycation, Maillard reactions, oxidation, and deamidation (acid treatment at high temperatures
or enzymatic treatment with deamidase or transglutaminases) may occur during heat treatment.
For instance, in formulating food products containing wheat and milk, deamination is used to
generate soluble products when alcohol-soluble wheat glutens cannot be mixed with milk
proteins due to its susceptibility to denaturation and precipitation under that condition. An
increase in charge increases the hydrophilicity of the gliadins, causing them to stretch out in
solution and generate a soluble product. The increase in thermal denaturation temperature,
aggregation, and gelation of β-lactoglobulin at neutral pH with the addition of salts and neutral
solvents/polyols (glycerol and sorbitol) may be attributed to preferential interaction between
these molecules (Aryee, Agyei and Udenigwe, 2018).

Irreversible changes to the protein structure such as protein unfolding, exposure of previously
hidden hydrophobic groups, interaction, and heat-induced aggregation may be either desirable or
detrimental. The extent of alteration is dependent on temperature, time, and the original
composition of the proteins. In a recent study, cooked lentil proteins underwent greater structural
conformational changes during thermal treatment when compared with fractionated proteins
(Aryee and Boye, 2017). In the absence of thermal induction (at 25°C), the content of α-helical
structures was low in the cooked flour proteins; however, their intensity increased as a function
of temperature. This suggests that heat acted as α-helical structure-promoting agent in a similar
way as sodium dodecyl sulfate and triflouroethanol (Dong et al., 1998; Shih et al., 2010; Aryee
and Boye, 2017).

Roasting is another thermal treatment often performed at low hydration temperature. This can
affect the way proteins are modified and their resulting functionality. This is further amplified in
the presence of reducing sugars and the potential for a complex series of Maillard reactions to
occur especially with lysine residues. The ability of thermal processing to alter specific
biochemical and immunological properties of food proteins, such as structure, function,
solubility, digestibility, and immunoglobulin E binding have been discussed (Maleki and
Hurlburt, 2004; Rajamohamed et al., 2013). Thermal processing may modify the antigenicity of
proteins by inducing covalent modifications, and formation of Maillard reaction products or
advanced glycation end-products in the regions of the antigenic sequences (epitopes). It is also
possible to introduce neoantigens (antigenic proteins formed by metabolic pathways) or increase
antigens during thermal processing. For instance, roasted peanuts did not show higher sensitizing
capacity compared with blanched peanuts, and heating peanut allergens resulted in the formation
or unveiling of new epitopes when compared with glycation in the presence of glucose
(Kroghsbo et al., 2014). In general, heat-induced changes in food macromolecules, including
proteins, have led to increased efforts in developing nonthermal processing for food applications.
2.3.2. Pengaruh Garam Terhadap Kelarutan Protein

Adanya garam dapat meningkatkan atau menurunkan kelarutan protein. Hal ini karena
penambahan garam akan mempengaruhi kekuatan ion dalam larutan, yang berpengaruh pula
terhadap kelarutan protein. Pada umumnya, jika kekuatan ion meningkat, kelarutan protein akan
semakin besar. Pengaruh garam dalam meningkatkan kelarutan protein disebut efek salting-in.
pada konsentrasi yang lebih tinggi lagi atau pada konsentrasi garam tertntu yang lebih tinggi,
kelarutan protein akan menurun. Efek garam dalam menurunkan kelarutan protin disebut efek
salting-out (Feri, 2010).

Pristiwa salting-in dan salting-out dapat dijelaskan sebagai berikut : pada kekuatan ion rendah,
gugus protein yang terioniasi dikelilingi oleh ion lawan sehingga interaksi antar protein menurun
dan kelarutannya meningkat. Tetapi, apabila kekuatan ion meningkat, akan lebih banyak molekul
ai yang diikat oleh ion sehingga tidak cukup untuk menghidrasi molekul-molekul protein.
Akibatnya, interaksi antar protein lebih kuat dan kelarutannya menurun (Feri, 2010).

Proses penggaraman pada pengolahan ikan secara tradisional mengakibatkan hilangnya protein
ikan yang dapat mncapai 5%, tergantung pada kadar garam dan lama penggaraman. Pemasakan
pada suhu 95-1000 C dapat mereduksi kecernaan protein dan asam amino. Selain itu, protein
terlarut, peptida dengan berat molekul rendah, dan asam amino bebas dapat arut dalam air
perebus, sehingga perebuan sebagiknya dilakukan di bawah suhu 1000 C. Senyawa nitrit yang
sering digunakan dalam pengolahan ikan secara tradisional sedapat mungkin dihindari karena
nitrit selain bersifat toksik juga dapat mereduksi kualitas protein (Endang, 2002).

Fermentasi garam menghasilkan kadar air yang cenderung menurun selama fermentasi
berlangsung. Penurunan kadar air mi diduga disebabkan oleh penggunaan air untuk pertumbuhan
dan produksi enzim oleh kapang dimana Aspergillus sp aktif pada suhu 28°C-35°C. (Beuchat,
L.R, 1987). Penurunan kadar air juga disebabkan terjadinya penguapan air sebagai pengaruh
proses metabolisme kapang. Kadar air produk juga dipengaruhi oleh bahan awal yaitu campuran
kacang hijau, garam dan inokulum. Kandungan air mi berpengaruh terhadap penampakan
(wama), tekstur dan kerapatan Pada skala laboratorium dalam wadah stoples tertutup (100-150
g), substrat tampak sebagai masa semi padat, kecoklatan dan sedikit basah (Agustine, 2010).
Kecenderungan penurunan total protein juga tampak dimana antara 0-2 minggu menurun dengan
tajam dan selanjutnya konstan sampai 12 minggu fermentasi. Penurunan total protein ini diduga
disebabkan oleh penggunaan protein substrat untuk nutrisi dan metabolisme kapang. Protein
dikontribusi oleh inokulum (26 persen dari total substrat) Selama fermentasi berlangsung,
semakin besar produksi enzim oleh kapang, semakin tinggi pembentukan asam-asam amino oleh
aktifitas enzim proteolitik, terutama asam glutamat dan asam aspartat. Kedua jenis asam amino
ini menyebabkan tingkat keasamaan meningkat. Pada suatu keadaan akan menyebabkan
terdenaturasinya sebagian protein yang akan menumnkan kandungan total protein. Selama
fermentasi dihasilkan pH substrat < 5. Aspergillus sp menghasilkan protease netral dan alkalis
dimana protease netral bekerja pada pH optimum 5,5-7,0, protease asam dengan pH optimal 3-4
dan protease alkalis pada pH optimum 8,0-10,5 (Agustine, 2010).

Terhadap kandungan protein terlarut dan N-amino, semakin lama fermentasi, kandungan ke dua
komponen ini cenderung meningkat. Peningkatan protein terlarut yang tajam tampak pada 8
minggu (11,7 mg/mL) dan selanjutnya menurun sampai 12 minggu fermentasi (7,5 mg/mL).
Kecenderungan yang sama terlihat pada kandungan asam-asam amino sebagai N-amino namun
dengan puncak yang lebih cepat yaitu 6 minggu (7,0 mg/mL), berfluktuatif dan semakin
meningkat sampai akhir fermentasi (8,4 mg/mL) (Agustine, 2010).

Pengaruh fermentasi garam terhadap perolehan asam-asam amino yaitu : Jenis asam-asam amino
yang terdapat dalam produk fermentasi tidak terlepas dan bahan awal dan kapang Aspergillus sp
sebagai sumber enzim protease (serin karboksipeptidase (asam), serin proteinase, karboksil
proteinase, gama glutamil transferase, glutaminase aminopeptidase, protease netral, protease
thiol) yang memecah protein kacang hijau menjadi asam-asam amino dan peptide dengan berat
molekul yang lebih rendah. Analisis asamasam amino dilakukan pada waktu fermentasi garam
10 minggu berdasarkan atas kesesuaian sensory. Gambar 9 memperlihatkan profil kromatogram
asam-asam amino dalam produk fermentasi garam dengan urutan kromatogram asam Aspartat,
Glutamat, Serin, Glisin, Histidin, Arginin, Threonin, Alanin, Prolin, Tirosin, Valin, Methionin,
Sistin, Isoleusin, Leusin, Phenilalanin dan Lisin berturut-turut ditunjukkan pada peak nomor 7, 9,
10, 14, 17, 20, 23, 27, 30, 33, 36, 39, 41, 43, 45, 46 dan 49 (Agustine, 2010).
Didasarkan atas sifat esensialnya, diperoleh asam-asam amino non esensial yang dominan yaitu
Glutamat (0,973 persen protein kering) dan Aspartat (0,527 persen protein kering) dan asam-
asam amino esensial yaitu Leusin (0,6 15 persen protein kering) dan Lisin (0,542 persen protein
kering). Asamasam amino non esensial yang lain adalah Serin (0,287 persen protein kering),
Glisin (0,253 persen protein kering), Alanin (0,320 persen protein kering), Prolin (0,240 persen
protein kering), Tirosin (0,276 persen protein kering) dan Sistin (0,218 persen protein kering)
sedangkan jenis asam amino esensial laiiinya adalah Histidin (0,193 persen protein kering) ,
Arginin (0,284 persen protein kering), Isoleusin (0,415 persen protein kering), Methionin (0,355
persen protein kering), Phenilalanin (0,367 persen protein kering), Threonin (0,264 persen
protein kering) dan Valin (0,370 persen protein kering) (Agustine, 2010).

2.3.1.4. Pengaruh hidrolis terhadap kadar protein

Metode Bradford digunakan untuk menentukan konsentrasi protein dalam larutan. Metode ini
dipilih untuk mengkonfirmasi terjadinya hidrolisis protein menjadi asam amino, karena pada
metode ini asam amino dan peptida tidak mampu membentuk komplek dengan CBB (Coomassie
Brillant Blue) sehingga tidak menghasilkan warna biru. Pada analisis kadar protein kasar
menggunakan metode Kjeldahl hasil yang diperoleh bukan merupakan kadar protein murni,
tetapi ada beberapa senyawa yang memiliki gugus nitrogen juga ikut terukur sebagai protein total
misalnya: asam amino bebas, purin, purimidin, vitamin, dan sebagainya (Merinda, 2013).

Isolat yang diperoleh berbentuk padatan sehingga diperlukan pelarut untuk melarutkan isolat.
Pelarut yang digunakan adalah larutan NaOH 0,5 N dan dibantu pemanasan pada water bath
selama 10 menit (Moayedi dkk, 2010). Derajat kelarutan protein dipengaruhi oleh gaya
elektrostatik dan interaksi hidrofobik antara molekul protein. Permukaan protein memiliki
muatan, tergantung lingkungan pH. Keadaan dimana protein memiliki muatan positif dan negatif
yang seimbang dalam permukaannya, dan memiliki kelarutan minimal disebut titik isoelektrik.
Pada pH diatas atau dibawah titik isoelektrik, protein membawa muatan positif atau negatif.
Adanya muatan pada permukaan protein menyebabkan kelarutan protein meningkat
(Damodaran, 1996). Penambahan NaOH 0,5 N disertai pemanasan pada water bath bertujuan
untuk memunculkan muatan pada permukaan protein, sehingga kelarutannya dapat meningkat
(Merinda, 2013).
Larutan protein yang diperoleh kemudian ditambahkan dengan reagen Bradford yaitu CBB, dan
membentuk komplek CBB-protein yang berwarna biru. Pembentukan komplek disebabkan
adanya interaksi ionik antara gugus asam sulfonat dengan muatan positif protein yaitu pada
gugus amina (Bio Imaging System). Warna biru tersebut kemudian diukur menggunakan
spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 595 nm (Merinda, 2013).

Bovine serum albumin (BSA) sering digunakan sebagai standar untuk pengukuran kadar protein
terlarut menggunakan metode Bradford karena tingkat kemurniannya tinggi dan harganya relatif
murah (Khee, 2001). Pada penelitian ini digunakan standar BSA dengan konsentrasi 0,1-1
mg/mL, dan diperoleh persamaan garis y = 0,249x + 0,021. Persamaan yang diperoleh dari
kurva standar BSA, dapat digunakan untuk menghitung kadar protein dalam larutan sampel.
Pada penelitian ini kadar protein terlarut diukur dua kali, yaitu sebelum proses hidrolisis dan
setelah hidrolisis (Merinda, 2013).

Kadar protein terlarut sebelum proses hidrolisis dapat dilihat pada gambar 4.6. Kadar protein
terlarut tertinggi (lampiran B.5) terdapat pada isolat daging ikan yang diberi pakan pellet
dicampur probiotik (0,943 mg/mL), dan terendah pada isolate daging ikan yang diberi pakan
pellet dan tambahan pakan A. Pinnata (0,730 mg/mL). Tren yang dihasilkan sama dengan kadar
protein total yang diukur menggunakan metode Kjeldahl, tetapi terdapat perbedaan nilai kadar
proteinnya (Merinda, 2013).
Gambar 4.6 menunjukkan adanya penurunan kadar protein terlarut setelah proses hidrolisis. Hal
ini berarti proses hidrolisis protein menjadi asam amino telah berlangsung. Kadar protein terlarut
(lampiran B.5) pada isolat daging ikan yang diberi pakan pellet dicampur probiotik (0,131
mg/mL), isolat daging ikan yang diberi pakan pellet (0,101 mg/mL), dan isolat daging ikan yang
diberi pakan pellet dan tambahan pakan A. Pinnata (0,103 mg/mL) (Merinda, 2013).

2.3.2.1. Kekuatan Ion

Kelarutan protein akan dipengaruhi oleh kekuatan ionic dari garam yang terlarut. Kelarutan
protein merupakan fungsi dari kekuatan ion, yang dapat diukur dari konsentrasi, molar dari ion,
dan muatannya dengan menggnakan prsamaan sebagai berikut (Feri, 2010).

2.3.2.2. Pengaruh polaritas pada kelarutan protein

Penambahan pelarut non-polar yang miscible (dapat bercampur dengan air dalam berbagai
perbandingan) ke dalam larutan protein dapat menurunkan kelarutan protein. Pelarut tersebut
adalah etanol, methanol, dan aseton. Pelarut-pelarut trsebut menurunkan konstanta dielektrik
larutan atau medium, yang menyebabkan peningkatan gaya tarik-menarik antar jenis muatan
protein. Akibatnya, interaksi antar protein meningkat sehingga kelarutan protein mnurun (Feri,
2010).
Pada prinsipnya proses deproteinasi adalah memisahkan atau melepaskan ikatan-ikatan antara
protein dan kitin. Proses ini akan melepaskan protein dengan membentuk Naproteinat yang dapat
larut. Proses demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan mineralmineral yang terdapat dalam
kulit udang. Asam klorida dalam proses demineralisasi akan melarutkan garam-garam kalsium.
Reaksi pelarutan mineral yang terjadi dituliskan pada persamaan reaksi (1) dan (2) (Mardiyah
dan dwi 2011).

Ca3(PO4)2 (s) + 6HCl (aq) 3CaCl2 (aq) + 2H3PO4 (aq) (1)


CaCO3 (s) + 2HCl (aq) CaCl2 (aq) + CO2 (g) + H2O (l) (2)

Berdasarkan optimasi sebelumnya, proses bleaching dapat mengurangi kemungkinan


terjadinya deasetilasi sebagian sehingga proses ini perlu dilakukan. Pemutusan gugus asetil dari
gugus N-asetil pada kitin untuk menghasilkan kitosan disebut proses deasetilasi. Metode yang
umum digunakan untuk deasetilasi kitin adalah dengan menggunakan larutan alkali panas seperti
NaOH dalam waktu yang lama. Proses deasetilasi dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: konsentrasi
NaOH, temperatur reaksi dan waktu reaksi (Tolaimatea et al., 2003). Champagne (2002) meneliti
bahwa konsentrasi NaOH yang tinggi dapat menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi
yang tinggi (Mardiyah dan dwi 2011).

Proses deasetilasi yang dilakukan secara bertahap dapat meningkatkan derajat deasetilasi kitosan.
Oleh karena itu, proses deasetilasi dalam penelitian ini dilakukan menggunakan NaOH 60%
(b/v) pada temperatur 120 oC dan dilakukan dengan tiga tahap. Hilangnya gugus asetil pada kitin
menurut Champagne (2002) mengikuti mekanisme reaksi yang tersaji pada Gambar 2. Kitosan
dengan deasetilasi sempurna 100% jarang terjadi karena gugus asetat yang berdekatan ke gugus
hidroksil cis dapat mengalami N-deasetilasi, tetapi gugus yang trans lebih resisten (Suhardi,
1992). Hasil yang didapatkan dari proses deasetilasi ini berupa serbuk kitosan berwarna coklat
muda sebanyak 15,68% dari berat serbuk udang yang digunakan (Mardiyah dan dwi 2011).

2.3.3. Denaturai Protein

Denaturasi protein adalah terjadinya modifikasi struktur skunder, tersier dan kuartener dari
protein tanpa menyebabkan pemutusan ikatan peptide dan perubahan sekuen asam amino pada
struktur protein. Protein yang telah mengalami proses denaturasi disebut protein terdenaturasi.
Perubahan struktur protein ini menyebabkan perubahan sifat fisikokimia protein secara
ireversibel, seperti hilangnya sifat kelarutan dan aktivitas biologisnya (missal sebagai enzim)
(Feri, 2010).

Aktivitas biologis protein tergantung pada susunan 3 dimensi yang tepat dari gugus
fungsionalnya. Jadi protein dapat berfungsi hanya bila melipat pada konformasi asli. Struktur
protein dapat terganggu oleh keadaan suhu yang tinggi, pH yang ekstrim adanya pelarut organik
yang dapat memperlemah interaksi non kovalen. Denaturasi mengganggu aktivitas biologik
protein dan struktur sekunder, tersier, dan kuartener. Pada struktur primer tetap utuh (Asrullah
dkk. 2012).

Denaturasi dan koagulasi protein merupakan aspek kestabilan suhu yang dapat berkaitan dengan
susunan dan urutan asam amino dalam protein. Denaturasi dapat didefinisikan sebagai perubahan
besar dalam struktur alami yang tidak melibatkan perubahan dalam urutan asam amino.
Pengaruh suhu biasanya menyangkut perubahan dalam struktur tersier, yang mengakibatkan
susunan rantai polipeptida menjadi kurang teratur. Ada beberapa pengecualian yang penting pada
pola umum itu. Kasein dan gelatin contoh protein yang dapat dididihkan tanpa perubahan
kestabilan yang nyata. Kestabilan kasein ini memungkinkan kita mendidihkan , mensterilkan,
dan memekatkan susu tanpa koagulasi. Penyebab kestabilan luar biasa ini telah dibahas oleh
Kirchmeier (1962). Pembentukan ikatan disulfida yang terbatas karena kandungan sistina dan
sisteina yang rendah menyebabkan kestabilan meningkat (Asrullah dkk. 2012).

Macam-macam denaturasi protein :

1. Denaturasi Karena Asam Basa

Denaturasi protein dengan penambahan asam basa ditandai dengan peningkatan kekeruhan
hingga terbentuk gumpalan pada saat mencapai pH isoelektris. pH isoelektris adalah keadaan
saat protein memiliki muatan positif dan negatif yang sama (Anna, P., 1994). Dengan adanya
muatan ionik maka asam dan basa akan merusak jembatan garam didalam protein tersebut.
Denaturasi akibat asam / basa terjadi ketika adanya penambahan kadar asam atau basa pada
garam protein yang dapat memutus kandungan struktur dari protein tersebut karena terjadi
subtitusi ion negatif dan positif pada garam dengan ion positif dan negatif pada asam atau basa
(Vladimir, 2007). Reaksi ini terjadi di dalam sistem pencernaan, saat asam lambung
mengkoagulasi susu yang dikonsumsi (Asrullah dkk. 2012).

2. Denaturasi Karena Logam Berat

Garam logam berat mendenaturasi protein sama dengan halnya dengan asam dan basa. Garam
logam berat umumnya mengandung Hg+2, Pb+2, Ag+1Tl+1, Cd+2 dan logam lainnya dengan berat
atom yang besar. Reaksi yang terjadi antara garam logam berat akan mengakibatkan
terbentuknya garam protein – logam yang tidak larut (Ophart, C.E., 2003). Protein akan
mengalami presipitasi bila bereaksi dengan ion logam. Pengendapan oleh ion positif (logam)
diperlukan pH larutan di atas pI karena protein bermuatan negatif, pengendapan oleh ion negatif
diperlukan pH larutan di bawah pI karena protein bermuatan positif. Ion-ion positif yang dapat
mengendapkan protein adalah; Ag+, Ca++, Zn++, Hg++, Fe++, Cu++ dan Pb++, sedangkan ion-ion
negatif yang dapat mengendapkan protein adalah; ion salisilat, triklorasetat, piktrat, tanat dan
sulfosalisilat. Denaturasi akibat campuran logam berat pada protein, hal ini terjadi karena ikatan
sulfur pada protein tertarik oleh ikatan logam berat sehingga proses denaturasi terjadi dengan
adanya perubahan struktur kandungan senyawa pada protein tersebut saat ion pada protein
bereaksi dengan ion logam berat yang tercampur didalamnya (Vladimir. 2007)

3. Denaturasi karena Panas

Denaturasi akibat panas menyebabkan molekul – molekul yang menyusun protein bergerak
dengan sangat cepat sehingga sifat protein yaitu hidrofobik menjadi terbuka. Akibatnya, semakin
panas, molekul akan bergerak semakin cepat dan memutus ikatan hidrogen di dalamnya
(Vladimir, 2007). Panas dapat digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi
hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan
menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar sangat cepat sehingga
mengacaukan ikatan molekul tersebut. Denaturasi dengan suhu panas yang dilakukan pada buah-
buahan akan mengakibatkan berkurangnya kadar air dan bertambahnya viskositas atau
kekentalan kadar protein yang tertanam pada buah yang mengalami denaturasi akibat suhu panas
(Vladimir, 2007). Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan
mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya
interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan
kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang
sempit (Asrullah dkk. 2012).

4. Denaturasi karena alkohol

Alkohol juga dapat mendenaturasi protein. Alkohol seperti kita ketahui umumnya terdapat kadar
70% dan 95%. Alkohol 70% bisa masuk ke dinding sel dan dapat mendenaturasi protein di
dalam sel. Sedangkan alkohol 95% mengkoagulasikan protein di luar dinding sel dan mencegah
alkohol lain masuk ke dalam sel melalui dinding sel. Sehingga yang digunakan sebagai
disinfektan adalah alkohol 70%. Alkohol mendenaturasi protein dengan memutuskan ikatan
hidrogen intramolekul pada rantai samping protein. Ikatan hidrogen yang baru dapat terbentuk
antara alkohol dan rantai samping protein tersebut (Asrullah dkk. 2012).

5. Agen pereduksi merusak ikatan disulfida

Ikatan disulfida terbentuk dengan adanya oksidasi gugus sulfhidril pada sistein. Antara rantai
protein yang berbeda yang sama-sama memiliki gugus sulfhidril akan membentuk ikatan
disulfida kovalen yang sangat kuat. Agen pereduksi dapat memutuskan ikatan disulfida, dimana
penambahan atom hidrogen sehingga membentuk gugus tiol; -SH (Asrullah dkk. 2012).

Contoh Denaturasi Asam Basa

Beberapa makanan tradisional Sulawesi Selatan dengan bahan baku ikan diolah menggunakan
teknik pengasaman seperti Lawa Bale teri yang hanya dimatangkan dengan air cuka atau air
jeruk tanpa proses pemasakan. Protein dapat terdenaturasi dan daya cerna protein akan menurun
oleh penambahan larutan asam dan pemanasan suhu tinggi terhadap bahan makanan terutama
bahan makanan yang memiliki kadar protein tinggi misalnya pada ikan. Oleh karena itu,
penelitian ini ditujukan untuk memperoleh informasi mengenai cara pengolahan yang dapat
meminimalisir denaturasi protein pada setiap proses dan olahan Lawa Bale berdasarkan persen
denaturasi yang terjadi (Asrullah dkk. 2012).

Formula A terdiri dari 2 tahap pengolahan yang dapat menyebabkan denaturasi protein. Dua
tahap tersebut adalah perendaman dengan cuka dan pemberian air jeruk nipis. Hasil uji kadar
protein membuktikan terjadi denaturasi protein masing-masing sebesar 25,48%, dan 9,67%
(Tabel 2). Kadar protein pada formula A berdasarkan bahan baku sebelum pengolahan sebesar
16,38 gram (Tabel 3). Setelah diketahui kadar protein sebelum pengolahan, maka diperoleh
jumlah denaturasi protein yang terjadi cukup tinggi yakni sebesar 34,80%. Denaturasi tersebut
menyebabkan berkurangnya kadar protein yang cukup tinggi sebesar 5,7 gram (Tabel 4).
(Asrullah dkk. 2012).
Untuk denaturasi protein, perendaman cuka pada proses pengolahan formula A menyebabkan
denaturasi sebesar 25,48%. Hal ini menyebabkan penurunan kadar protein sebesar 3,82 gram.
Penurunan kadar protein ini disebabkan oleh terjadinya rasemisasi asam amino, perubahan
bentuk L menjadi D. Hal tersebut dapat menyebabkan menurunnya nilai gizi protein akibat
terjadinya penurunan avaibilitas asam amino esensial (Asrullah dkk. 2012).
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan
DAFTAR PUSTAKA

Sugiyono. Kimia pangan. 2004. UNY

Winarno. Kimia pangan dan gizi

Pengaruh Pengolahan terhadap


Nilai Gizi Pangan
NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurtil e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi
Pangan-Fateta-IPB 2007

Saulina, 2004

NaOH kelarutan asam amino SINTESIS DAN KARAKTERISASI FISIKA-KIMIA


KITOSAN
(Synthesis and Physicochemical Characterization of Chitosan)
Mardiyah Kurniasih, Dwi Kartika
Program Studi Kimia, Jurusan MIPA UNSOED Purwokerto Jurnal Inovasi Vol. 5 No. 1, Januari
2011: 45-46
Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu & Teknologi Pangan-Fateta-IPB 2007
Topik 8. Pengaruh Pengolahan terhadap Nilai Gizi Pangan 1

Pengaruh Pengolahan terhadap


Nilai Gizi Pangan
NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti

Marinda, 2013
DENATURASI DAN DAYA CERNA PROTEIN PADA PROSES PENGOLAHAN
LAWA BALE (MAKANAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN)
DENATURATION AND PROTEIN DIGESTIBILITY IN THE PROCESSING OF
LAWA BALE (TRADITIONAL FOODOF SOUTH SULAWESI)
Muhammad Asrullah*1, Ayu Hardiyanti Mathar1, Citrakesumasari1
Nurhaedar Jafar1, St Fatimah2
*E-mail : arulmuhammad25@yahoo.com
1Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar
2RSUP Dr.dr. Wahidin Sudirohusodo, Makassar. 2012

Endang, 2002. Pengolahan ikan secara tradisional.

Evaluasi Nilai Gizi Protein Tepung Tempe yang Terbuat dari


Varietas
Kedelai Impor dan Lokal
Evaluation on Protein Nutritional Value of Tempe Flour Made from
Imported and Local Soybean Varieties
Mursyida, Made Astawana, Deddy Muchtadia, Tutik Wresdiyatib, Sri Widowatic, Siti
Harnina Bintarid, Maryani Suwarnoa
aDepartemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
bDepartemen Anatomi, Fisiologi dan Farmasi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB
cBalai Besar Pascapanen, Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian RI
dJurusan Biologi, FMIPA, Universitas Negeri Semarang
E-mail: mastawan@yahoo.com
Diterima : 6 Nopember 2013 Revisi : 11 Nopember 2013

Contribution of specific amino acid and secondary structure to the


antioxidant property of corn gluten proteins 2017
Yuan Jianga, Mingdi Zhanga, Songyi Lina,b,⁎, Sheng Chengc
a College of Food Science and Technology, Jilin University, Changchun, 130062, PR China
b National Engineering Research Center of Seafood, School of Food Science and Technology, Dalian Polytechnic University, Dalian 116034, PR China
c Analysis and Test Center, Dalian Polytechnic University, Dalian 116034, PR China

Pengaruh Aktifitas Proteolitik Aspergillus sp-K3 dalam


Perolehan Asam-Asam Amino sebagai Fraksi
Gurih Melalui Fermentasi Garam pada
Kacang Hijau (Phaseolus radiatus L.)
Oleh :
Agustine Susilowati Vol. 19 No. 1 Maret 2010 PANGAN 81

Impact of processing on the 2


chemistry and functionality of
food proteins
A.N.A. Aryee*, D. Agyei†, C.C. Udenigwe‡
*Delaware State University, Dover, DE, United States, †University of Otago, Dunedin, New
Zealand, ‡University of Ottawa, Ottawa, ON, Canada

Aryee, A.N.A., Boye, J.I., 2016. Improving the digestibility of lentil flours and protein isolate
and characterization of their enzymatically prepared hydrolysates. Int. J. Food Prop. 19,
2649–2665.
Aryee, A.N.A., Boye, J.I., 2017. Comparative study of the effects of processing on the nutritional,
physicochemical and functional properties of lentil. J. Food Process. Preserv. 41
(1), e12824.
Barbana, C., Boye, J.I., 2013. In vitro digestibility and physicochemical properties of flours
and protein concentrates from two varieties of lentil (Lens culinaris). Food Funct. 42 (2),
310–321.
Boye, J.I., Aksay, S., Roufik, S., Ribéreau, S., Mondor, M., Farnworth, E.R., Rajamohamed,
S.H., 2011. Comparison of the functional properties of pea, chickpea and lentil protein
concentrates processed using ultrafiltration and isoelectric precipitation techniques. Food
Res. Int. 43, 537–546.
Dong, A., Matsuura, J., Manning, M.C., Carpenter, J.F., 1998. Intermolecular β-sheet results
from trifluoroethanol-induced nonnative α-helical structure in β-sheet predominant proteins:
Infrared and circular dichroism spectroscopic study. Arch. Biochem. Biophys. 355
(2), 275–281.
Foegeding, E.A., Davis, J.P., 2011. Food protein functionality: a comprehensive approach. Food
Hydrocoll. 25 (8), 1853–1864.
Kroghsbo, S., Rigby, N.M., Johnson, P.E., Adel-Patient, K., Bøgh, K.L., Salt, L.J., Clare Mills,
E.N., Madsen, C.B., 2014. Assessment of the sensitizing potential of processed peanut
proteins in brown Norway rats: roasting does not enhance allergenicity. PLoS ONE 9 (5),
e96475.
Maleki, S.J., Chung, S.Y., Champagne, E.T., Raufman, J.P., 2000. The effects of roasting on
the allergenic properties of peanut proteins. J. Allergy Clin. Immunol. 106 (4), 763–768.
Shih, M.-D., Hsieh, T.-Y., Lin, T.-P., Hsing, Y.-E.C., Hoekstra, F.A., 2010. Characterization
of two soybean (Glycine max L.) LEA IV proteins by circular dichroism and Fourier
Transform infrared spectrometry. Plant Cell Physiol. 51 (3), 395–407.
Rajamohamed, S.H., Aryee, A.N.A., Boye, J.I., Hucl, P.J., Patterson, C.A., 2013. In vitro gastrointestinal
simulation digestion of glabrous canaryseed proteins as affected by variety and
thermal treatment. Plant Foods Hum. Nutr. 68 (3), 306–312.
Ma, Y., Xiong, Y. L., Zhai, J., Zhu, H., & Dziubla, T. (2010). Fractionation and evaluation
of radical scavenging peptides from in vitro, digests of buckwheat protein. Food
Damodaran, S. 1996. Functional properties. Pages 167-224 in Food Proteins:
Properties and Characterization. Wiley-VCH, Inc., New York, NY.
Moayedi., Omana., Chan., Xu., dan Betti. 2010. Alkali-aided protein extraction of
chicken dark meat: composition and stability to lipid oxidation of the
recovered proteins. Poultry Science Association Inc. Vol. 89: 766-775.

You might also like