Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 39

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis,
dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering1. Apendiks disebut
juga umbai cacing. Apendiks merupakan organ yang berbentuk tabung panjang
dan sempit. Panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm) dan berpangkal di
sekum. Apendiks menghasilkan lendir 1-2ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya dialirkan ke sekum. Adanya
hambatan dalam pengaliran tersebut, tampaknya merupakan salah satu penyebab
timbulnya appendisits. Di dalam apendiks juga terdapat immunoglobulin
sekretoal yang merupakan zat pelindung efektif terhadap infeksi (berperan dalam
sistem imun). Dan immunoglobulin yang banyak terdapat di dalam apendiks
adalah IgA. Namun demikian, adanya pengangkatan terhadap apendiks tidak
mempengaruhi sistem imun tubuh. Ini dikarenakan jumlah jaringan limfe yang
terdapat pada apendiks kecil sekali bila dibandingkan dengan yang ada pada
saluran cerna lain. Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki
maupun perempuan. Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30
tahun.
Periapendikular infiltrat (PAI) merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu
24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi
proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau
adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi
nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak
terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan
menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih
panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan

1
pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh
darah. Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, dayatahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akantimbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuatmenahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

2
BAB II

LANDASAN TEORI

3.1 Anatomi

Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch


(analog dengan Bursa Fabricus) yang membentuk produk immunoglobulin.
Appendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait
menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial
caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada
pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-

3
10 cm, diameter 0,7 cm. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di
ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.1
Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak
yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi
kecil.1
Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.1
Jenis posisi1:
Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium sacri
Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya
retroperitoneal.
Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
Pelvic descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor
Retrocaecal : intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke
atas ke belakang caecum.
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis
berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri
appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh
karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus.1
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari
a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri
tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,
appendiks akan mengalami gangren.1

4
3.2 Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.4
Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari
sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna
termasuk appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung
terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi
system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.4
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu
setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan
kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan
lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.4

3.3 Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua umur

baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia

10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Smeltzer C. Suzanne

(2001), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran

bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk

bedah abdomen darurat.

Jadi, dapat disimpulkan apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada

umbai apendiks dan merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.

5
a. Etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.
namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya5 :
1. Faktor sumbatan (obstruksi)
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%)
yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia
jaringan lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing
dan sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi
yang disebabkan oleh fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis
akut diantaranya ; fekalith ditemukan 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana,
65% pada kasus apendisitis akut ganggrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan rupture.5
2. Faktor Bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis
akut. Adanya fekolith dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragililis dan E.coli, lalu Splanchicus, lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob<10%.5
3. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan tedapatnya malformasi yang herediter dari
organ, apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya
yang mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan
makanan dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan
terjadinya fekolith dan mengakibatkan obstruksi lumen.5

6
4. Faktor ras dan diet
Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makanan sehari-
hari.Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat mempunyai resiko
lebih tinggi dari negara yang pola makannya banyak serat. Namun saat sekarang,
kejadiannya terbalik. Bangsa kulit putih telah merubah pola makan mereka ke pola
makan tinggi serat. Justru Negara berkembang yang dulunya memiliki tinggi serat
kini beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko apendisitis yang lebih
tinggi.5

b. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh
hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat
peradangan sebelumnya, atau neoplasma.6
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi
mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya
sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen
sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup
yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga
menjadi gangrene atau terjadi perforasi.6
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami
hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri.
Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin
iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks).
Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut
dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor.6
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan

7
menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut
dengan apendisitis supuratif akut.6
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang
diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila
dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.6
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut
infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.6
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48
jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa
sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis
jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses,
apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.6
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.6
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum,
usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria,
uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila
proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul
peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup
kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu
pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).6
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan

8
sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan
bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi akut.6
c. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain6
1. Nyeri abdominal
Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri
dirasakan samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah
epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan
menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam
dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi
perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut
pada saat berjalan atau batuk.
2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun.
4. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi
biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C
Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya
sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan
rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis
appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi.
Gambaran klinis apendisitis akut
 Tanda awal  nyeri mulai di epigastrium atau region umbilikalis
disertai mual dan anoreksia
 Nyeri pindah ke kanan bawah menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum local dititik McBurney
 Nyeri tekan
 Nyeri lepas
 Defans muskuler
 Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
 Nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (rovsing sign)

9
 Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan
(Blumberg sign)
 Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak, seperti bernafas
dalam, berjalan, batuk, mengedan
Dikutip dari buku ajar ilmu bedah wim de Jong hal. 641

d. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5C. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan
rektal sampai 1C.
1. Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak
ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan
komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa
atau abses appendikuler.
2. Palpasi
 Nyeri pada palpasi titik McBurney ( dua pertiga jarak dari umbilicus ke
spina iliaca anterior) ditemukan bila lokasi apendiks terletak di anterior.
Jika lokasi apendiks pada pelvis, pemeriksaan fisik abdomen sedikit
ditemukan kelainan, dan hanya pemeriksaan rectal toucher ditemukan
gejala significant.
 Tahanan otot dinding perut dan rebound tenderness mencerminkan tahap
perkembangan penyakit karena berhubungan dengan iritasi peritoneum.
1. Beberapa tanda, jika ada dapat membantu dalam menegakkan
diagnosis
a. Rovsing’s sign yaitu nyeri pada kuadran kanan bawah pada palpasi
kuadran kiri bawah.
b. Psoas sign yaitu nyeri rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks
yang meradang menempel di m.psoas mayor, tindakan tersebut akan
menyebabkan nyeri.

10
c. Obturator sign adalah nyeri pada gerakan endotorsi dan fleksi sendi
panggul kanan, pasien dalam posisi terlentang.

Pemeriksaan rectal toucher pada


apendisitis

rovsing sign

PSOAS sign

Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler terlihat dengan


adanya penonjolan di perut kanan bawah.

3. Auskultasi
Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus
paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.6
Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12.
Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan
colok dubur. Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka

11
kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok
dubur pada anak tidak dianjurkan..
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus
appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif
protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat.7
b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di
dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan
diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang
mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis.7
2. Abdominal X-Ray
Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab
appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak.8
3. USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan
USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG
dapat dipakai untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti kehamilan
ektopik, adnecitis dan sebagainya.7,8
4. Barium enema
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui
anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari
appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi
sebagai metode diagnostik untuk menegakkan diagnosis appendisitis khronis.
Dimana akan tampak pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai
penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit.
5. CT-scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat
menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses.8

12
6. Laparoscopi
Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan
dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini
dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan
tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga
dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks.

Sistem skor Alvarado


Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya
berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak,
orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang
dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini
menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar
20-30%. Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah
membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan
insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado.
Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah,
cepat dan kurang invasif. Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang
didasarkan pada tiga gejala , tiga tanda dan dua temuan laboratorium. Klasifikasi ini
berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai derajat keparahan apendisitis.
Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri,
anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah,
nyeri lepas tekan, Temperatur lebih dari 37,20C, lekositosis dan netrofil lebih dari
75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan
keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini
memberikan jumlah skor 10.9

13
Skor Alvarado pada anak untuk diagnosis appendisitis akut:

f. Penatalaksanaan
1. Apendiktomi adalah terapi utama
2. Antibiotic pada apendisitis digunakan sebagai:
a. Preoperative, antibiotik broad spectrum intravena diindikasikan untuk
mengurangi kejadian infeksi pasca pembedahan.
b. Post operatif, antibiotic diteruskan selama 24 jam pada pasien tanpa
komplikasi apendisitis
1. Antibiotic diteruskan sampai 5-7 hari post operatif untuk kasus
apendisitis ruptur atau dengan abses.
Antibiotic diteruskan sampai hari 7-10 hari pada kasus apendisitis rupture dengan
peritonitis diffuse

14
g. Komplikasi
Beberpa komplikasi yang dapat terjadi :
1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi.
Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai
dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut
menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh
perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik.
2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi
dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat
penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas
pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik,
usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke
dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan
mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen
tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson,
2006).
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-
4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa
apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan
umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis,
lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang
telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi
lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan
ringan, lekosit dan netrofil normal.

15
Apendicitis Infiltrat
Periapendikular infiltrat (PAI) adalah proses radang apendiks yang
penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum dan usus-usus dan peritoneum
disekitarnya sehinggamembentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa
apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi
peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima
tahun atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum
telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.
Periapendikular infiltrat (PAI) merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-
48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses
radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh
yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua
perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. Kecepatan
rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, dayatahan
tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale
dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan
melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah
terjadi perforasi maka akantimbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah
selesai tetapi masih belum cukup kuatmenahan tahanan atau tegangan dalam cavum
abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest).

16
Diagnosis klinis
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik masih merupakan dasar diagnosis
apendisitis dan komplikasinya. Penegakkan diagnosis terutama didasarkan pada
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan tambahan hanya dikerjakan bila
ada keragu-raguan atau untuk menyingkirkan diagnosis. Kesalahan diagnosis lebih
sering terjadi pada perempuan dibanding laki-laki, perempuan dua kali lebih banyak
mempunyai apendiks normal daripada laki-laki dalam kasus apendektomi, Hal-hal
penting yang dapat membantu penegakkan diagnosis apendisitis akut adalah bahwa
apendisitis biasanya mempunyai perjalanan akut atau cepat. Dalam beberapa jam
sudah timbul gejala atau bahkan memburuk oleh karena nyeri, penderita biasanya
cenderung mempertahankan posisi untuk tidak bergerak. Penderita tampak apatis dan
menahan nyeri. Oleh karena nyeri yang sangat, penderita segera dibawa ke rumah
sakit.

Gejala Klinis
Periapendikular infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut
biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan
dengan muntah dan anoreksia. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke kuadran kanan, yang
akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Nyeri menetap dan terus
menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan kejang ringan didaerah
epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah, kemudian beberapa saat nyeri pindah
ke abdomen kanan bawah. Nyeri menjadi terlokalisir, yang menyebabkan
ketidakenakan waktu bergerak, jalan atau batuk. Penderita kadang juga mengalami
konstipasi. Sebaliknya karena ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare,
dan hal ini sering dikacaukan dengan gastroenteritis acute. Penderita appendicitis acute
biasanya ditemukan terbaring di tempat tidur serta memberikan penampilan kesakitan.
Mudah tidaknya gerakan penderita untuk menelentangkan diri merupakan tanda ada
atau tidaknya rangsang peritoneum ( somatic pain). Pemeriksaan pada abdomen kanan
bawah, menghasilkan nyeri terutama bila penderita disuruh batuk.. Pada palpasi
dengan satu jari di regio kanan bawah ini, akan teraba defans musculer ringan . Tujuan
palpasi adalah untuk menentukan apakah penderita sudah mengalami iritasi

17
peritoneum atau belum. Pada pemeriksaan auskultasi, peristaltik usus masih dalam
batas normal, atau kadang sedikit menurun. Suhu tubuh sedikit naik, kira-kira 7,8
der.C, pada kasus appendix yang belum mengalami komplikasi. Nyeri di epigastrium
kadang merupakan awal dari appendicitis yang letaknya retrocaecal/ retroileal Untuk
appendix yang terletak retrocaecal tersebut,kadang lokasi nyeri sulit ditentukan bahkan
tak ada nyeri di abdomen kanan bawah. Karena letak appendix yang dekat dengan
uretra pada lokasi retrocaecal ini, sehingga menyebabkan frekuensi urinasi bertambah
dan bahkan hematuria. Sedang pada appendix yang letaknya pelvical, kadang
menimbulkan gejala seperti gastroenteritis akut.
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
1. keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
2. pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat
tanda-tanda peritonitis
3. laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis
terdapat pergeseran ke kiri.

Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan
1. keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak
tinggi lagi;
2. pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan
hanyateraba massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
3. laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.

Penatalaksanaan Apendisitis infiltrat


Dengan konservatif menggunakan Ochsner- Sherren Regimen, yaitu :
 IV fluid (terapi cairan)
 Pemasangan NGT
 Analgesik
 Pemberian Antibiotik parenteral
 Menandai batas-batas dari massa pada dinding perut menggunakan
pencil
 Monitor vital sign, ukuran massa, balance cairan

18
 Perbaikan klinis diharapkan membaik dalam 24-48 jam
Kriteria berhenti menggunakan OSR yaitu jika
 Peningkatan denyut nadi
 Peningkatan intensitas nyeri abdomen
 Peningkatan ukuran massa
 Muntah dan peningkatan aktifitas lambung
h. Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik.
Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi
infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix gangrenosa.

19
BAB III
LAPORAN KASUS

2.1. Identitas
Nama : An. BS
TL /Umur : 04 Mei 20017 / 10 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 28 kg
Panjang Badan : 126 cm
Alamat : Skyland
Pendidikan : SD kelas V
No DM : 327325
Pekerjaan ayah : Swasta
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Tanggal MRS : 20 September 2017
Tanggal KRS : 27 September 2017

2.2. Anamnesis (Alloanamnesis : Ayah dan Ibu pasien)


a. Keluhan utama : Nyeri Perut kanan bawah
b. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien merupakan pindahan dari Ruang Anak RSUD Abeepura dengan
observasi abdominal pain e.c Susp Ileus obstruksi.Keluhan yang masih
dirasakan sekarang yaitu nyeri perut yang dirasakan sejak + 10 hari yang
lalu.Pada awalnya nyeri dirasakan di ulu hati, kemudian berpindah diperut
kanan bawah. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak menjalar, nyeri
dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan dirasakan makin lamamakin memberat.
Nyeri dirasakan memberat saat perut ditekan dan pada saat pasien habis
makan. Pasien susah beraktivitas,dan juga bermain dengan anak seusianya.
Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan bawah semakin memberat dan
akhirnya dibawa ke rumah sakit.Pasien juga mengeluh tidak nafsu
makan sejak 10 hari yang lalu, mual, muntah (1x,isimakanan, air )
dan perut terasa kembung. Pasien mengalami demam sejak 12 hari Sebelum

20
Masuk Rumah Sakit, demam dirasakan terus-menerus sepanjang hari dan
sudah berobat dan belum ada perubahan.Pasien sulit BAB selama 10 hari,
namun sempat mengalami diare 2 hari SMRS,isi ampas,1 hari hanya 2x dan
selama 2 hari. BAK normal. Pola makan pasien tidak teraturdan jarang
mengkonsumsi makanan berserat seperti sayur dan buah buahan.

c. Riwayat penyakit dahulu


 Riwayat Malaria tersiana 4 hari yang lalu dan sudah berobat tuntas
 Riwayat diare (+)
 Riwayat Obstipasi (-)
 Riwayat campak (-)
 Riwayat cacingan (-)
 Riwayat asma (-)
 Riwayat batuk lama (+)
d. Riwayat pengobatan
 Sebelumnya pasien dirawat Di Ruanga anak RSUD Abepura
dengan malaria dan gizi kurang ± 4 hri yang lalu
 Riwayat pengobatan paru (-)
e. Riwayat Imunisasi
Imunisasi dasar lengkap
f. Riwayat Tumbuh kembang
Riwayat pertumbuhan dan perkembangan sesuai usia
g. Riwayat sosial
 Pasien tinggal bersama orang tua dan 2 saudaranya,Lingkungan rumah
tidak padat, suka jajan sembarangan (+)

21
Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum:
o Tampak sakit sedang
o Berat badan : 12 Kg
o Panjang badan : 87 cm
 Kesadaran:
o Compos mentis
o GCS E4M6V5
 Tanda vital:
o Frekuensi nadi : 112 x/min, teratur dan kuat angkat
o Frekuensi nafas : 26 x/min
o Suhu tubuh : 38 oC
 Kepala : CA (-/-), SI (-/-) pupil bulat isokor, diameter pupil Ø 3mm ODS,
refleks cahaya (+), gerakan bola mata baik kesegala arah. OC (-), tonsil T1-
T1tenang, faring hiperemis (+)
 Leher : KGB regio cervical anterior
o Inspeksi : tidak tampak benjolan dan perubahan warna kulit
o Palpasi : pembesaran KGB (-)
 Thoraks
o Pulmo :
I : simetris, ikut gerak napas
P : taktil fremitus D=S
P : sonor di kedua lapang paru
A : Suara napas vesikuler/vesikuler +/+, wheezing -/-,
o Cor :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis tidak teraba, thrill (-)
P : Pekak jantung (+)
Batas kiri jantung di ICS V, midclavicula line sinistra
Batas kanan jantung di ICS IV parasternal line dextra
Pinggang jantung di ICS III garis parasternalis sinistra.
A : BJ I/II regular, murmur (-). Gallop (-)

22
 Abdomen :
I : Cembung, jejas (-), distensi abdomen (+)
A : BU menurun 1-3 x/menit
P : Nyeri tekan (+) di semua regio, hepar / lien tidak teraba membesar
P : Thimpany (+), shifting dullness (-)
 Ekstremitas: Akral hangat, edema (-/-), pitting edema (-/-), ulkus (-/-) CRT < 2
detik
 Kulit : Tidak terdapat kelainan
 Vegetatif : Makan/Minum (-/+) baik. BAK/BAB (+/-) baik

Status Lokalis
Right lower quadrant (RLQ) abdomen
Inspeksi : Cembung (minimal) distens (+)
Tidak tampak kemerahan/luka/bekas operasi
Palpasi:
 nyeri tekan Mc Burney (+), nyeri lepas (+)
 teraba massa pada abdomen kanan bawah uk 5cmx3cm,permukaan rata,
konsistensi kenyal, imobile(+) ,rovsign sign (+),Psoas sign(+) obturator sign
(+)
Perkusi : thimpany (+)
Auskultasi : bising usus menurun 1-3x/menit

23
2.3. Status Gizi (CDC)

Terletak pada presentil 70% yang menunjukkan penderita berada dalam gizi
kurang

2.4. Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium (16-09-2017)
Leukosist 13,82 103/Ul

Ddr Pv ++

2. Laboratorium (18-09-2017)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi

24
Lekosit 9,57 4.5-14.5.103/ul
Hemoglobin 13,5 11.5-15.5 g/dL
Hematokrit 40,0 35-45 %
MCV 70,3 76-96 U
MCH 23,3 27-31 pcg
MCHC 33,5 33.0-37.0 g/dL
Trombosit 178 150-400.103/ul
GDS 134 70-150 mg/dl
Fungsi Hati
SGOT 20 0-50 /uL
SGPT 39 0-50 /uL
Fungsi ginjal
Ureum 65 10-50 mg/dl
Kreatinin 1,5 0,8-1,5 mg/dl

- Foto BNO tanggal 19-09-2017

25
 USG abdomen tanggal 20-9-2017

2.5. Resume
. Pasien anak BS umur 10 tahun ,pasien pindahan dari Ruang Anak
RSUD Abeepura dengan observasi abdominal pain e.c Susp Ileus
obstruksi.Keluhan yang masih dirasakan sekarang yaitu nyeri perut yang
dirasakan sejak + 10 hari yang lalu,. Nyeri dirasakan terus-menerus dan tidak
menjalar, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan makin memberat
terutama saat ditekan dan sehabis makan.keluhan lain,
anoreksia,nausea,vomiting (1x,isimakanan, air ) 3 hari SMRS dan
meteorismus ,konstipasi (+) , febris (+) sejak 12 hari SMRS , demam
dirasakan terus-menerus sepanjang hari dan sudah berobat namun demam
masih sering berlangsung,.5 hari yang lalu pasien dirawat di Ruang anak
dengan malaria vivax dan sudah tuntas. Hasil pemeriksaan fisik pada
abdomen didapatkan perut cembung,distens,bising usus menurun.
Pemeriksaan penunjang, darah rutin dalam batas normal, fungsi ginjal: sedikit
peningkatan ureum. Foto polos abdomen dan USG terlampir.

26
Problem list

 Nyeri perut kanan bawah


 Obstipasi
 Anoreksia
 Gizi Kurang
2.6. Diagnosis Kerja
Observasi abdominal pain e.c susp appendiceal mass
2.7. Diagnosis banding
 Gastroenteritis akut
 Ileus obstruktif
 Peritonitis
 Intususepsi
 Volvulus
2.8. Terapi
 IVFD RL 16 tpm
 Inj ceftriaxon 2x400 mg
 Inj metronidazole 3x250 mg
 Inj Antrain 3x1 amp
 Inj Paracetamol 3x280 mg
2.9. Follow Up
Hari /
Catatan Tindakan
Tanggal
kamis S : demam (+), nyeri perut kanan bawah,  IVFD RL 16 tpm
21/09/2017 belum BAB 5 hari  Inj ceftriaxon 3x400 mg
HP = 1 O:  Inj metronidazole 3x250 mg
KU : TSS, Kes : CM  Inj Antrain 3x1 amp
TD: 100/60 N: 103 x/m R: 24x/m SB:  Inj Paracetamol 3x280 mg
o
37,8 C  Pro foto polos abdomen ulang
Kepala: CA (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil

27
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler
(+/+) , rho (+/+)basal, whe (-/-)
Cor : BJ I/II regular, murmur (-)
Abdomen: cembung. BU menurun, distens,
NT (+) semua regio, Hepar/lien
tidak teraba.
Blumberg sign (+), Rovsing’s sign (+),
Psoas sign (-), obturator sign (+)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi menurun,BAK baik
A : Observasi abdominal pain e.c susp
appendiceal mass dd peritonitis

Jumat S : demam (+), nyeri perut kanan bawah,  IVFD RL 16 tpm


22/09/2017 belum BAB 6 hari  Inj ceftriaxon 3x400 mg
HP = 2 O:  Inj metronidazole 3x250 mg
KU : TSS, Kes : CM  Inj Antrain 3x1 amp
TD: 100/60 N: 103 x/m R: 24x/m SB:  Inj Paracetamol 3x280 mg
38,0oC
Kepala: CA (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler (+/+) ,
rho (+/+)basal, whe (-/-)
Cor : BJ I/II regular, murmur (-)
Abdomen: cembung. BU menurun, distens,
NT (+) semua regio, Hepar/lien tidak teraba.
Blumberg sign (+), Rovsing’s sign (+),
Psoas sign (-), obturator sign (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi menurun,BAK baik

28
A : Observasi abdominal pain e.c susp
appendiceal mass dd peritonitis

Kamis, 23/09/2017 S : demam (+), nyeri perut kanan bawah,  IVFD RL 16 tpm
belum BAB 7 hari  Inj ceftriaxon 3x400 mg
O:  Inj metronidazole 3x250 mg
HP = 3 KU : TSS, Kes : CM  Inj Antrain 3x1 amp
TD: 100/60 N: 103 x/m R: 24x/m SB:  Inj Paracetamol 3x280 mg
o
37,7 C
Kepala: CA (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler
(+/+) , rho (+/+)basal, whe (-/-)
Cor : BJ I/II regular, murmur (-)
Abdomen: cembung. BU menurun, distens,
NT (+) semua regio, Hepar/lien
tidak teraba. Blumberg sign (+),
Rovsing’s sign (+), Psoas sign (-),
obturator sign (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi menurun,BAK baik
A : Observasi abdominal pain e.c susp
appendiceal mass dd peritonitis

24/9/ 2017 S : demam (+), nyeri perut kanan bawah,  IVFD RL 16 tpm mikro
HP V belum BAB 8 hari  Inj ceftriaxon 3x400 mg
O:  Inj metronidazole 3x250 mg
KU : TSS, Kes : CM  Inj Antrain 3x1 amp stop
TD: 100/60 N: 103 x/m R: 24x/m SB:  Inj Paracetamol 3x280 mg/kp
37,7oC  Pro foto BNO 3 posisi
Kepala: CA (-/-), SI (-/-), OC (-)  Pro USG ulang

29
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler
(+/+) , rho (+/+)basal, whe (-/-)
Cor : BJ I/II regular, murmur (-)
Abdomen: cembung. BU menurun,distens,
NT (-) regio kanan bawah
Hepar/lien tidak teraba. Blumberg
sign (-), Rovsing’s sign (+), Psoas
sign (-), obturator sign (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi menurun,BAK baik
A : Observasi abdominal pain e.c susp
appendiceal mass

Selasa S : demam (+), nyeri perut kanan bawah,  IVFD RL 16 tpm mikro
26/92017 BAB keras (-) dan sedikit  Inj ceftriaxon 3x400 mg
HP VI O:  Inj metronidazole 3x250 mg
KU : TSS, Kes : CM  Cek Widal
TD: 100/60 N: 103 x/m R: 24x/m SB:
37,7oC
Kepala: CA (-/-), SI (-/-), OC (-)

30
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler
(+/+) , rho (+/+)basal, whe (-/-)
Cor : BJ I/II regular, murmur (-)
Abdomen: cembung. BU menurun,distens,
NT (+) semua regio, Hepar/lien
tidak teraba. Blumberg sign (+),
Rovsing’s sign (+), Psoas sign (-),
obturator sign (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)
Vegetatif: ma/mi menurun,BAK baik
A : Observasi abdominal pain e.c susp
appendiceal mass
27/9-17 demam (-), nyer i tekan perut kanan bawah,  P: IVFD RL 16 tpm mikro
BAB sedkit (+)  Inj ceftriaxon 3x400 mg
O:  Inj metronidazole 3x250 mg
KU : TSS, Kes : CM  Hasil widal (-)
TD: 100/60 N: 103 x/m R: 24x/m SB:
36,7oC
Kepala: CA (-/-), SI (-/-), OC (-)
Leher : pembesaran KGB (-)
Pulmo: Simetris ikut gerak napas. Tactil
fremitus D=S. Sonor. SN vesikuler
(+/+) , rho (+/+)basal, whe (-/-)
Cor : BJ I/II regular, murmur (-)
Abdomen: cembung. BU normal ,distens (-
), NT reg kanan bawah , Hepar/lien
tidak teraba. Blumberg sign (-),
Rovsing’s sign (-), Psoas sign (-),
obturator sign (-)
Ekstremitas: akral hangat, edema (-)

31
Vegetatif: ma/mi menurun,BAK baik
A : Observasi abdominal pain e.c susp
appendiceal mass

32
BAB IV

PEMBAHASAN

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga

abdomen dan merupakan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat.

Sesuai dengan topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc

Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3

dari SIAS kanan.

Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai

dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam

pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang

dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga

terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa

abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan

sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,

dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh

yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua

perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.

33
1. Masalah diagnosis

Dari hasil anamnesa yang didapatkan pada pasien ini yaitu adanya nyeri

perut yang dirasakan sejak + 10 hari yang lalu.Pada awalnya nyeri dirasakan di

ulu hati, kemudian berpindah diperut kanan bawah. Nyeri dirasakan terus-

menerus dan tidak menjalar, nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk dan

dirasakan makin lama makin memberat. Nyeri dirasakan memberat saat perut

ditekan dan pada saat pasien habis makan, hal ini sesuai dengan teori bahwa

Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan

samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium

atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di

abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih

jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi

perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada

saat berjalan atau batuk, Mual-muntah biasanya pada fase awal, Nafsu makan

menurun,obstipasi dan diare pada anak-anak dan demam, terjadi bila sudah ada

komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu

biasanya berkisar 37,5º-38,5º C

Periapendikular infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang

kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut

biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus yang

berhubungan dengan muntah dan anoreksia. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke

kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.

Nyeri menetap dan terus menerus, tapi tidak begitu berat dan diikuti dengan

kejang ringan didaerah epigastrium, kadang diikuti pula dengan muntah,

34
kemudian beberapa saat nyeri pindah ke abdomen kanan bawah. Nyeri menjadi

terlokalisir, yang menyebabkan ketidakenakan waktu bergerak, jalan

atau batuk. Penderita kadang juga mengalami konstipasi. Sebaliknya karena

ada gangguan fungsi usus bisa mengakibatkan diare, dan hal ini sering

dikacaukan dengan gastroenteritis acute.

Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien demam hampir setiap hari

dengan suhu tubuh rata-rata 37,7-38,2 ° C, pada pemeriksaan abdomen, perut

cembung dan defans(-), bising usus menurun yaitu 2-3x/ menit, ada nyeri tekan

terutama di daerah kuadran kanan bawah, rovsing sign (+)psoas sign (-),

obturator sign (-).Tujuan palpasi adalah untuk menentukan apakah

penderita sudah mengalami iritasi peritoneum atau belum.

Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan darah

lengkap seperti hemoglobin ,trombosit,leukosit dalam batas normal. pada

appendisitis biasanya terdapat peningkatan leukosit, namun pada pasien ini

nilai leukosit masih dalam batas normal, hal ini mungkin dikarenakan karena

pasien sebelumnya sudah diberi pengbatan antibiotik dirumah sakit. .

Sulit mendiagnosa Apendisitis mass pada anak-anak karena pada anak-

anak, omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks

lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi,sedangkan pada pasien ini setelah

dirawat selama lebih dari 2 hari, keadaan umum pasien tampak baik-baik saja

dan tidak ada tanda-tanda perforasi, jadi kemungkinan diagnosis kurang tepat

pada pasien ini.

35
2. Masalah etiologi
Apendisitis akut dapat disebabkan oleh beberapa sebab terjadinya proses
radang bakteria yang dicetuskan oleh beberapa faktor pencetus diantaranya
Hiperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing askaris yang
menyumbat. Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit
ini. namun ada beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks,
diantaranya Faktor sumbatan (obstruksi),faktor bakter, genetik dan juga diet
(rendah serat ) Pada pasien adalah kemungkinan penyebab terjadinya appendiceal
mass yaitu karena faktor obstruksi, dimana Faktor obstruksi merupakan faktor
terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi.
Dari hasil anamnesa pasien mengalami kesulitan buang air besar selama
kurang lebih 10 hari dan riwayat kurang mengkonsumsi serat, dan hasil
pemeriksaan USG didapatkan fecal material yang berlebih. Fekalit (feses yang
mengeras) adalah penyebab tersering yang mengakibatkan obstruksi. Obstruksi
tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen.
Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah
terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila sekresi
mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat
sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut sebagai
apendisitis supuratif akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. Bila
semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate

36
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau
menghilang.

- Masalah penatalaksanaan
Pada appendisitis akut, terapi utamanya yaitu apendiktomi, namun pada
appendicular mass yaitu dengan penanganan konservatif menggunakan
Ochsner- Sherren Regimen, yaitu :
 IV fluid (terapi cairan)
 Pemasangan NGT
 Analgesik
 Pemberian Antibiotik parenteral
 Menandai batas-batas dari massa pada dinding perut menggunakan
pencil
 Monitor vital sign, ukuran massa, balance cairan
 Perbaikan klinis diharapkan membaik dalam 24-48 jam
Pada pasien sudah dilakukan terapi berdasarkan OSR ,kecuali
pemasangan NGT, hal ini dikarenakan penolakan dari orang tua untuk
pemasangan NGT karena merasa nakanya masih bisa untuk makan
sendiri. Pasien diberikan terapi cairan Ringer lactat 500 cc/8 jam ,
terapi antibiotik golongan sefalosporin generasi 3 yaitu ceftriaxone
1x400 mg, dan antibiotik golongan nitroimidazol yaitu metronidazole
3x 250 mg. Dan terapi antrain 2x 1gr . namun keadaan umum pasien
belum membaik setelah 24-48 jam setelah diberikan terapi.

- Masalah Prognosis
Apendiktomi yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik.
Kematian dapat terjadi pada beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi
infeksi pada 30% kasus apendix perforasi atau apendix gangrenosa.

37
BAB V
PENUTUP

1. Kesimpulan
 Apendisitis Merupakan peradangan apendiks versiformis dan merupakan
kegawatdaruratan bedah abdomen yang paling sering ditemukan
 Apendisitis dapat mengenai semua umur, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun.
 Periapendikular infiltrat (PAI) merupakan tahap patologi apendisitis yang
dimulai dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama
 Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang,
dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan
tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi
 Penatalaksanaan Apendisitis akut yaitu dengan Apendiktomi sedangkan pada
epndisitis infiltrat dengan konservatif dengan teknik OSR
 Prognosis tergantung pada ketepatan diagnosis, apendiktomi sebelum
perforasi, usia dan tingkat perurukan

2. Saran

 Kepada mahasiswa Dengan adanya upaya penelitian-penelitian lebih lanjut


diharapkan dapat lebih menjelaskan faktor-faktor penyebab dan predisposisi
yang berperan terhadap apendisitis infiltrat
 Kepada pasien agar melakukan kontrol dengan teratur setelah kondisi klinis
baik danmemperbaiki gizi
 Adanya peran serta aktif yang baik dan benar dari seluruh pihak yang terkait
mulai dari pasien, keluarga dan tenaga kesehatan sangat diperlukan dalam
upaya penanganan apendisitis infiltrat dan harus mengetahui dengan pasti
etiologi dari apendisitis infiltrat dan memberi terapi yang tepat agar
meningkatkan kualitas hidup pasien.

38
DAFTAR PUSTAKA

 Mansjoer, A., Suprohaita., Wardani, W.I., Setiowulan, W., editor., “Bedah


Digestif”, dalam Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, Cetakan
Kelima. Media Aesculapius, Jakarta, 2005, hlm. 307-313.
 Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta,
2005,hlm.639-645.
 Sabiston. Textbook of surgery, the biological basis of modern surgical practice
fourteenth edition. 1991. International edition; W.B. Saunders
 Lawrence W.Way., editor., Current surgical diagnosis & treatment
international edition. Edition 9. 1990. Lange medical book.
 Jarrell, B. E and Carabasi R.A., the national medical series for independent
study 2nd edition Surgery., national medical series., Baltimore, Hong Kong,
London, Sydney.
 Grace P.A & Borley N.R., At a Glance Ilmu Bedah edisi ketiga. 2005. Jakarta;
Erlangga Medical Series.
 Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.
 Koesoemawati, H. dkk. Editor. 2002. Kamus Kedokteran Dorland edisi
29Jakarta: EGC.
 Indratni, Sri. 2004. Abdomen Et Situs Viscerum Abdominis. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.
 Putz, R & Pabst, R. 2000. Atlas Anatomi Manusia SOBOTTA jilid 2 edisi 21.
Jakarta: EGC

39

You might also like