Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 39

Hal.

II- 1 RINGKASAN EKSEKUTIF

2. RINGKASAN EKSEKUTIF
Kegiatan Tim Kajian diawali proses evaluasi terhadap Potensi Sumber Daya Alam dan Program
Pembangunan di Papua. Selanjutnya dilaksanakan diskusi kebijakan sesuai kelompok tema
kajian yang ditetapkan, dengan dukungan Narasumber dan T enaga Ahli. Hasil evaluasi terhadap
Potensi SDA dan kebijakan eksisting di Papua merupakan bagian dari Laporan Awal (Juli) dan
Laporan Tengah (Oktober). Proses kajian dan perumusan kebijakan disertai dengan FGD dengan
instansi terkait dan Pemerintah Daerah. Laporan Akhir ini mencakup hasil kajian yang disusun
menurut tema kajian. Di samping itu diajukan beberapa usulan rekomendasi terhadap inisiatif
kebijakan pembangunan Papua di masa mendatang.

2.1. Tata Kelola dan Kelembagaan

Kebijakan otonomi khusus Papua yang ditandai oleh diterbitkannya Undang-Undang (UU) No. 21
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua telah memberikan keleluasaan bagi pemerintah
provinsi dalam mengatur dirinya sendiri. Otonomi Khusus juga menghasilkan konsekuensi arus
pendanaan pembangunan untuk Papua dalam bentuk Dana Otsus sebesar 2% dari DAU. Jumlah
dana Otsus dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan seperti ditunjukkan pada gambar
berikut:

Gambar 2. 1 Jumlah Dana Otsus Tahun 2011 - 2014

Kucuran Dana Otsus diharapkan dapat memberikan hasil pembangunan yang optimal. Namun
bila dilihat dari Indeks
LAPORAN PELAKSANAAN Pembangunan
TUGAS TIM KAJIANManusia (IPM) pada
KEBIJAKAN tahun 2015, IPM Papua dan Papua
PENGELOLAAN
SUMBER DAYA
Barat ALAM BAGI PEMBANGUNAN
masing-masing hanya 66,25 danEKONOMI
70,62 yangPAPUA
masih jauh dibawah rerata IPM Indonesia
Hal. II- 2 RINGKASAN EKSEKUTIF

73,81 (BPS, 2015), dapat dikatakan bahwa Dana Otsus belum memberikan dampak seperti yang
diharapkan.

Kondisi serupa juga ditunjukkan dalam aspek kelembagaan yang ditunjukkan oleh parameter
Indeks Tata Kelola Pemerintahan yang masih rendah, yakni 4,33 untuk Papua Barat dan 4,35
untuk Papua (skala 10) (Kemitraan, 2012). Indeks yang rendah ini mengindikasikan bahwa
akuntabilitas dan kualitas kebijakan publik masih rendah. Kinerja tersebut diiringi oleh kinerja
pengelolaan keuangan daerah dengan Opini WTP Provinsi Papua Barat sebesar 57,1% dari 14
entitas, dan Opini WTP Papua 13% dari 30 entitas (BPK, 2014).

Kinerja pembangunan yang masih buruk tersebut menandakan masih beratnya permasalahan
dan tantangan di Papua dan Papua Barat. Bagian ini akan membahas permasalahan dan
tantangan yang dihadapi dalam pembangunan di Papua dan Papua Barat dalam aspek tata kelola
dan kelembagaan.

2.2. Regulasi

Permasalahan kebijakan atau makro merupakan perspektif yang banyak melibatkan aspek politik,
dan komitmen kelembagaan dalam memberikan landasan atas pelaksanaan pembangunan di
Papua. Permasalahan pada level makro diantaranya adalah:

1. Regulasi yang tidak afirmatif terhadap situasi kondisi Papua & Papua Barat.
Sebagai contoh kasus, berdasarkan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus dan UU nomor
23 tahun 2014, kewenangan penyelenggaraan pendidikan dasar dan pendidikan anak usia
dini ada di tingkat Kabupaten/Kota. Namun regulasi ini justru berdampak pada menurunnya
kualitas penyelenggaraan pendidikan terutama di wilayah terpencil dan terisolir, seperti
misalkan di daerah pegunungan tengah. Berdasarkan hasil telaahan, terdapat 12 UU yang
tidak sinkron dengan UU Otsus, antara lain Undang-Undang yang berkaitan dengan
Kehutanan; Pertanahan; Migas;

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 3 RINGKASAN EKSEKUTIF

Minerba; Sumber Daya Air; Pesisir dan Laut; Perikanan; Pendidikan; Perhubungan;
Penanaman Modal; Keuangan Negara; Perbendaharaan.
2.
Perdasus dan Perdasi. Pembangunan Papua harus memiliki landasan regulasi dan hukum
yang kuat, untuk itu derivasi regulasi UU Otsus nomor 21 tahun 2001 menjadi sangat strategis
untuk mengatur peran, fungsi, kewenangan, dan pihak yang akan melakuan pembangunan di
Papua. Dengan demikian tata kelola pembangunan dapat dikelola dan dikendalikan dengan
baik menuju cita-cita masyarakat Papua. Tantangan kedepan adalah melengkapi perdasus
dan perdasi dimana secara subtansinya juga menjawab permasalahan pembangunan
Papua.Mengacu kepada UU Otsus, baru 16 Perdasus yang telah diterbitkan, dan masih
menyisakan 13 Perdasus lain yang belum diterbitkan. Kondisi ini menuntut komitmen politik
MRP dan DPRP yang lebih besar untuk dapat segera menyusun dan mengeluarkan Perdasus
sebagaimana diamanatkan oleh UU Otsus. Penerbitan Perdasi juga masih belum merata
antara Provinsi Papua dan Papua Barat. Provinsi Papua relatif lebih banyak mengeluarkan
perdasi ketimbang Provinsi Papua Barat. Hal ini bisa dilihat sebagaimana gambar berikut:
1. Tata Cara Pemilihan Anggota MRP
2. Perangkat Provinsi, MRP, DPRP
3. Tata Cara Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan MRP dalam
Pembuatan Perdasus
4. Fungsi, Tugas, Wewenang, Bentuk dan Susunan Keanggotaan
Komisi Hukum Ad.Hoc
5. Tata cara Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Provinsi, perubahan,
perhitungan serta pengawasan dan pertanggungjawaban
6. Tata Cara Penyertaan Modal pem Prov Papua pada BUMN dan
Perusahaan Swasta.
7. Penyelenggaraan Pendidikan di Provinsi
8. Perlindungan, Pembinaan, dan Pengembangan Kebudayaan orang
Papua
PapuaS 9. Penyelengaraan Pelayanan Kesehatan Bagi Masy. di Prov. Papua
BelumIDiaturS 38%S 10. Penempatan Penduduk dalam rangka transmigrasi
47%S 11. Hak orang Papua untuk memperoleh pekerjaan
12. Pembangunan Berkelanjutan dan Lingkungan Hidup
13. Kewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak
bagi penyandang masalah sosial.
PapuaEBaratS
15%S

1. Perangkat Provinsi, MRP, DPRP


2. Tata Cara Pemberian Pertimbangan dan Persetujuan MRP dalam Pembuatan Perdasus
3. Tata cara Penyusunan dan Pelaksanaan APBD Provinsi, perubahan, perhitungan serta
pengawasan dan pertanggungjawaban
4.
5. Tata Cara Penyertaan Modal pem Prov Papua pada BUMN dan Perusahaan Swasta.
Kewajiban memelihara dan memberikan jaminan hidup yang layak bagi penyandang
masalah sosial.

Gambar 2. 2 Penerbitan Perdasi Provinsi Papua dan Papua Barat

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 4 RINGKASAN EKSEKUTIF

2.3. Kelembagaan

Pembangunan pada prinsipnya adalah membangun kelembagaan, dan dengan kelembagaan


yang baik akan menjadi dasar pembangunan untuk terwujudnya harapan masyarakat. Tantangan
dalam membangun kelembagaan di Papua yang harus segera ditata adalah:

a. Kewenangan. Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten


kota perlu ditata ulang untuk menghindari tumpang tindih kewenangan ataupun
kekosongan kewenangan atas permasalahan pembangunan di Papua. Terlebih belum
adanya Perdasus tentang pembagian kewenangan baik untuk provinsi maupun
kabupaten/kota.

b. Koordinasi & Konsolidasi. Kompleksnya persoalan pembangunan Papua membutuhkan


kekuatan koordinasi dan konsultasi antar pelaku pembangunan baik diantara lingkungan
pemerintah maupun dengan pihak swasta. Banyaknya program pemberdayaan
masyarakat yang dilakukan swasta tapi tanpa skenario yang terkendali oleh pemerintah
adalah sebuah contoh perlunya koodinasi dan konsultasi.

c. Pengawasan. Pelimpahan wewenang yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada


pemerintah Papua memerlukan pengawasan untuk memastikan jalannya pemerintahan
memberi manfaat yang optimal bagi masyarakat. Penyalahgunaan kewenangan pada
akhirnya akan berimplikasi pada perlambatan pembangunan. Untuk itu aspek
pengawasan pembangunan Papua sangat dibutuhkan dan perlu diperkuat dari aspek
aparatur pengawas maupun dalam sistem pengawasannya.

d. Belum adanya kesamaan cara pandang antar K/L terhadap pembangunan di Papua dan
Papua Barat. Standar yang digunakan masih mengacu ke Pulau Jawa, yang tidak atau
belum cocok untuk Papua. Hal ini dapat dilihat contohnya tentang aturan yang
mewajibkan guru harus bergelar sarjana. Akibatnya banyak guru di daerah terpencil
melanjutkan pendidikan di kota, meninggalkan anak didik di kampung.

2.3.1. Permasalahan Tanah Masyarakat/Adat

Pembangunan di Papua sangat membutuhkan faktor tanah sebagai modal pembangunan. Namum
pembangunan di Papua terkendala oleh status tanah adat yang tidak akan diperjualbelikan oleh
LAPORAN pemiliknya.
PELAKSANAAN TUGAS
Pengelolaan TIMadat
tanah KAJIAN
yangKEBIJAKAN PENGELOLAAN
tidak disegerakan untuk ditata pengelolaannya akan
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
melahirkan reciaim atas tanah yang sudah dibangun. Asumsi kebijakan pertanahan pada
Hal. II- 5 RINGKASAN EKSEKUTIF

umumnya yang berlaku di Indonesia berbeda dengan prinsip pengelolaan tanah di Papua, yakni:
a. Tanah dimiliki secara komunal dan berdasarkan kemampuan jelajah pendahulunya
b. Tidak diperjual belikan tetapi disewakan
c. Tanah dapat diwariskan kepada yang punya hubungan darah (tanah individu)
d. Tanah merupakan identitas dan tempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

Gambar 2. 3 Pengelolaan Tanah Adat di Papua

Untuk menyelesaikan permasalahan tanah masyarakat dan tanah adat di Papua, diperlukan
pendekatan-pendekatan sebagai berikut:
1. Pendampingan untuk pemahaman kepemilikan tanah dari dua persepsi.
2. Pendampingan untuk berhati-hati menjual tanah milik individu.
3. Pendampingan untuk pemanfaatan tanah secara produktif.
4. Pemetaan lahan ulayat secara partisipatif

5. Pelibatan perwakilan suku dan marga dalam kesepakatan penggunaan tanah ulayat.

2.3.2. Proses Bisnis dan Manajemen

Interaksi antar aktor pembangunan akan merangkai dalam sebuah proses bisnis . Proses bisnis
adalah tata pelaksanaan atas kebijakan yang telah ditetapkan baik secara politik, maupun
teknokrasi. Proses bisnis yang tertata dengan baik akan mengoptimalkan manfaat pembangunan
sebagai akibat pengelolaan pelaksaaan kebijakan yang baik. Untuk Papua ada beberapa
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
tantangan
SUMBER DAYA ALAMdalam proses
BAGI bisnisnya diantaranya:
PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 6 RINGKASAN EKSEKUTIF

a. Majelis Rakyat Papua (MRP). MRP sebagai representasi kultural Orang Asli Papua
(OAP) memiliki wewenang kebijakan dalam rangka perlindungan hak-hak asli Papua
(adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, kerukunan beragama). Pembangunan di
Papua pada prinsipnya adalah membangun OAP, dan membanguan budaya, untuk itu
proses pembangunan harus diatur mekanisme keterlibatan MRP dalam proses keputusan
dalam pelaksanaan pembangunan. Tantangan MRP kedepan adalah mendudukkan
organisasi MRP sebagai mitra dinamis dalam rangka optimalisasi manfaat pembangunan
yang diselenggarakan pemerintah.
b. Dewan Perwakilan Rakyat Papua/Papua Barat (DPRP/DPRPB). Lembaga legislatif
memiliki peran penting untuk memberikan alternatif solusi unik bagi penyelesaian
persoalan di Papua. Hal ini menjadi penting dan strategis dikarenakan pendekatan
pembanguna di Papua berbeda dengan pendekatan pada umumnya derah di Indonesia.
Tantangan DPRP adalah menjadi lembaga legislatif yang mampu melahirkan regulasi
yang mampu mengakselerasi dan hubungan antara stakeholder pembangunan di Papua.
c. Kepala Suku. Dihadapkan dengan beragamnya suku-suku yang ada di Tanah Papua,
diharapkan peran kepala suku dapat diandalkan sebagai agen perubahan. Hal yang
menjadi tantangan terkait dengan peran kepala suku ini adalah tidak semua kepala suku
itu dipilih karena yang bersangkutan adalah keturunan dari kepala suku yang sebelumnya,
ada kepala suku yang dipilih

karena keberhasilannya dalam perang, penguasaan tanah dan lain-lain. Untuk


kepala-kepala suku yang dipilih berdasarkan keturunan, pada akhirnya juga dilihat
kemampuannya dalam memimpin sukunya. Sehingga bila dianggap tidak mampu, maka
masyarakat dapat meminta orang lain yang dianggap lebih mampu untuk menjadi kepala
suku, atau justru lebih percaya kepada kepala kampungnya (pemimpin formal). Agar
proses pembangunan di Tanah Papua dapat berjalan dengan optimal, perlu di perhatikan
masalah kepala suku mana yang memang menjadi pemimpin yang diakui oleh
masyarakatnya, sehingga dapat menjadi agen perubah di masyarakat yang tepat.
d. Masyarakat Adat. Pembangunan pada akhirnya akan memberikan manfaat pada
masyarakat adat, namun demikian pembangunan juga tidak akan terjadi optimalisasi bila
masyarakat adat tidak dimasukkan sebagai stakeholder pelaksanan pembangunan.
Terlebih dengan permasalahan tanah adat untuk pembangunan, maka peran keterlibatan
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
masyarakat adat bisa menjadi solusi untuk menghadapi permasalahan tanah. Tantangan
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 7 RINGKASAN EKSEKUTIF

kedepan adalah bagaimana menempatkan masyarakat adat sebagai garda depan


pembangunan di Papua, bukan sebagai objek pembangunan namun sebagai subjek
pembangunan,
e. Peran Provinsi. Otsus telah banyak memberikan kewenangan kepada pemerintah
daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota, yang menjadi agenda utama kedepan
adalah bagaimana menentukan peran, dan fungsi pemerintah daerah sebagai pelaksana
pembangunan yang mampu mengharmonisasi hubungan antara pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota. Kedua adalah menempatkan provinsi sebagai sumber
kreasi kebijakan untuk kawasan atau wilayah adat.
f. Hubungan Antar Daerah. Kompleksitas pembangunan yang bersifat multi/lintas sektor
akan menempatkan hubungan antar daerah sebagai matra penting untuk optimalisasi
pembangunan di Papua. Hubungan antar daerah perlu dibangun dengan baik dalam
rangka melaksanakan kebijakan secara holistik terhadap masyarakat adat yang
wilayahnya melebihi batas administrasi pemerintahan.

2.3.3. Aparatur Sipil Negara

Sistem pengelolaan pembangunan membutuhkan Aparatus Sipil Negara (ASN) sebagai


komplementer dalam pengelolaan pembangunan. ASN memiliki peran sentral dan penting sebagai
motor penggerak sistem kebijakan dalam pembangunan Papua. Sebaik apapun sistem dibangun
bila tidak dijalankan oleh ASN yang handal maka pembangunan tidak akan mencapai nilai optimal.
Adapun tantangan ASN di Papua kedepan adalah:
a. Kompetensi ASN. Masih besarnya gap kompetensi yag dimiliki ASN dengan kompetensi
yang dibutuhkan dalam menjalankan sistem pengelolaan pembangunan di Papua,
menjadikan isu kompetensi ASN sangat mengemuka sebagai sebuah pendekatan
mendasar untuk perbaikan tata kelola pemerintahan. Tantangan kedepan untuk
pemerintahan di Papua adalah meningkatkan meningkatkan jumlah ASN yang memiliki
kompetensi yang ditargetkan, baik diperoleh dari dalam Papua ataupun mendatangkan
ASN diluar Papua.
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS .TIM
b. Jumlah Aparatur KAJIAN KEBIJAKAN
Ketersediaan PENGELOLAAN
ASN menjadi isu yang strategis, belum adanya
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
perhitungan berapa beban pembangunan di Papua yang equivalen dengan kebutuhan
Hal. II- 8 RINGKASAN EKSEKUTIF

ASN akan menjadi persoalan mendasar untuk kedepan. ASN yang memadai adalah
syarat berjalannya sebuat sistem tata kelola kelembagaan.
c. Disiplin Ilmu. ASN yang memiliki berbagai disiplin ilmu merupakan kebutuhan yang
mendesak untuk dipetakan dan dipenuhi. Hal ini karena persoalan pembangunan Papua
harus didekati dengan berbagai disiplin keilmuan yang ada. Tantangan untuk Papua
adalah mendiversifikasi aparatur dengan berbagai disiplin keilmuan.
d. Mindset, komitmen dan motivasi ASN. Persoalan pembangunan Papua yang
berbeda dengan persoalan pembanguan diluar Papua, membutuhkan pendekatan khusus
bagi ASN. Untuk itu perubahan mindset agar sesuai dengan persoalan Papua menjadi
penting untuk dibangun dan ditanamkan pada ASN. Komitmen dan motivasi membangun
Papua menjadi sangat penting bagi ASN, karena medan persoalan, infrastruktur yang
belum memadai, bentuk geografis yang sulit menjangkau masyarakat Papua. Guna
mengtasai rintangan-rintangan

tersebut dibutuhkan komitmen dan motivasi yang kuat bagi ASN untuk melayani
masyarakat.

2.3.4. Intervensi Kebijakan

Percepatan pembangunan Papua dengan segala kompleksitasnya memerlukan


pendekatan khusus, dan kebijakan yang berpihak. Untuk itu perlu dilakukan intervensi
kebijakan guna optimalisasi sumberdaya pembangunan yang ada, diantaranya adalah:

1. Perlunya komitmen politik yang kuat oleh pemerintah pusat dalam rangka percepatan
pembangunan Papua melalui:
a. Perlu satu Perppu yang mengatasi kendala regulasi dalam percepatan pembangunan
Papua
b. Penguatan/harmonisasi regulasi/kebijakan percepatan pembangunan Papua baik
ditingkat pusat, maupun tingkat daerah (Otsus)
2. Perlu kebijakan pemerintah pusat untuk mendorong percepatan persadus dan perdasi
3. Perlu satu lembaga yang mampu memotong jalur koordinasi lintas K/L untuk pembangunan
Papua dan Papua Barat. Lembaga ini memiliki karakteristik sebagai berikut:

a. Kelembagaan
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS tidak mengambil
TIM KAJIAN alih kewenangan,
KEBIJAKAN pengelolaan, dan keputusan
PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAMpengelolaan
BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI
kegiatan yang dibiayai oleh PAPUA
ABPD Provinsi, dan Kabupaten;
Hal. II- 9 RINGKASAN EKSEKUTIF

b. Kelembagaan melakukan kegiatan yang bersifat koordinasi, dan sinergi dengan


kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

c. Kelembagaan mengelola kegiatan yang berfokus pada kegiatan yang


direkomendasikan oleh Tim Kajian Papua yang dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden RI No. 16 Tahun 2015.

d. Kelembagaan mengelola kegiatan yang didanai oleh anggaran tersendiri yang


berasal dari APBN, Swasta atau sumber pendaan lainnya.

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 10 RINGKASAN EKSEKUTIF

4. Perlu ada badan yang mendampingi pemerintahan Papua dan Papua Barat dalam rangka
meningkatkan kapasitas kebijakan pembangunannya, baik dalam formulasi kebijakan,
pelaksanan dan pengendalian pembangunan.
5. Perlu kebijakan pemerintah pusat untuk mitigasi ASN antar Papua dan non Papua sehingga
terjadi percepatan jumlah ASN yang berkualitas.

2.4. Pengembangan Sumber Daya Manusia

Permasalahan kependudukan dan sumber daya manusia menjadi pekerjaan rumah terbesar bagi
Papua. Dengan IPM yang relatif rendah, tingkat kemiskinan yang sangat tinggi, maka diperlukan

Kebiasaan buruk yang


menghambat
produktivitas

Gambar 2. 4 Masalah Utama Sumber Daya Kecemburuan


Manusia Papua terhadap
Pendatang

penanganan yang bersifat komprehensif dan berjenjang, dengan mempertimbangkan tingkat


kehidupan masyarakat lokal. Secara umum tingkat kehidupan masyarakat di Papua masih di
tingkat berburu dan meramu. Hal ini menyebabkan benturan peradaban yang kompleks yang
memerlukan perhatian dan perlakuan khusus. Berikut ini adalah berbagai persoalan utama yang

dihadapi oleh masyarakat Papua berdasarkan penelitian LPEM-FEUI tahun 2015:

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA
SkemaALAM BAGI
di atas PEMBANGUNAN
memperlihatkan akibat EKONOMI PAPUA
dari benturan budaya yang cukup berat, yang sudah
Hal. II- 11 RINGKASAN EKSEKUTIF

berlangsung puluhan tahun dan tidak pernah di kelola secara serius. Akibatnya masih banyak
kondisi maupun kebiasaan-kebiasaan dari masyarakat lokal/asli yang sulit untuk dapat
beradaptasi dengan tingkat tahapan budaya yang lebih komplek, yakni:

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 12 RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Tingkat pendidikan dan keterampilan relatif rendah. Sekolah dinilai tidak atau kurang
penting bagi masyarakat Papua. Selain itu, pendidikan juga tidak ditunjang dengan guru dan
fasilitas pendidikan yang memadai. Oleh karenanya perlu diciptakan sekolah yang membuat
anak-anak fokus pada pendidikan, baik formal maupun pendidikan untuk karakternya;
2. Etos kerja masih rendah. Banyak orang Papua yang bekerja kurang dari 8 jam per hari.
Mereka menganggap bahwa yang penting adalah masuk kerja, bukan masalah berapa lama
mereka bekerja. Hal ini disebabkan karena secara budaya memang belum siap dan terbiasa
untuk melakukan pekerjaan seperti yang biasa dilakukan oleh masyarakat pendatang;
3. Wawasan terbatas. Masyarakat Papua perlu diberikan pelatihan untuk meningkatkan
ketrampilannya. Selain itu, interaksi dengan dunia yang lebih maju perlu diperluas untuk
mengurangi pengaruh buruk lingkungan terutama terkait dengan dunia kerja;
4. Banyak aktivitas yang berhubungan dengan adat berpengaruh negatif terhadap
produktivitas SDM. Contohnya rapat-rapat adat yang membahas denda adat
mengharuskan mereka untuk hadir. Sanksi keterpencilan bila tidak hadir seringkali membuat
mereka tidak punya pilihan;
5. Adanya kecemburuan terhadap masyarakat pendatang yang dianggap
memanfaatkan sumber daya alam mereka, khususnya yang terkait dengan masalah
kepemilikan tanah, pekerjaan dan kehidupan yang dianggap lebih baik dibandingkan
kehidupan masyarakat lokal/asli.
6. Masyarakat tergiur untuk menjual tanah kepada pendatang, namun tidak siap untuk
kehilangan tanahnya sehingga terjadi riklaim terhadap tanah-tanah yang sudah dijual
7. Masyarakat memiliki kecenderungan untuk menghabiskan uang yang diterima
dalam sekejap sebagai pengaruh budaya mereka yang tidak pernah menyimpan, semua
dihabiskan untuk hari itu.

Berdasarkan kondisi tersebut, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di


Papua dan Papua Barat, berikut ini adalah penjelasan untuk beberapa aspek penting
yang terkait erat di dalamnya, yakni pendidikan, kesehatan dan pembangunan
infrastruktur dasar.

2.4.1. Pendidikan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan bagi


rakyat Papua antara lain:
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM
1. Sistem BAGI PEMBANGUNAN
pendidikan EKONOMI
terutama di kawasan PAPUAtengah tidak berjalan sebagaimana
pegunungan
Hal. II- 13 RINGKASAN EKSEKUTIF

mestinya diantaranya disebabkan:


a. Tingkat kehadiran guru dan kepala sekolah sangat rendah;
b. Banyak guru tidak bisa menerapkan kurikulum standar nasional;
c. Peningkatan kapasitas guru oleh SKPD sangat minim;
d. Kebanyakan rrang tua tidak bisa membantu siswa karena orang tua tidak bersekolah
dan tidak memiliki kemampuan membaca, menulis dan berhitung;
e. Selain persoalan guru, sekolah juga sering libur akibat ketidakhadiran murid. Saat ada
pesta adat, khususnya pesta kematian, murid bisa tidak masuk sekolah lebih dari dua
minggu. Padahal, selama pesta berlangsung, anak- anak hanya duduk berbincang
sambil menunggu waktu makan tiba.
2. Kebijakan mewajibkan guru harus sarjana sesuai UU Guru dan Dosen, menjadikan guru - guru
di daerah terpencil dan terisolir di pegunungan tengah harus melanjutkan pendidikan untuk
mendapatkan gelar sarjana di kota dan meninggalkan sekolah yang sudah kekurangan guru.
Hal ini menyebabkan ketidakhadiran kepala sekolah dan guru di sekolah;
3. Pemerintahan kabupaten memiliki kapasitas yang rendah dalam penyelenggaraan pendidikan
dasar dan pendidikan usia dini, karena berdasarkan UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otsus
dan UU nomor 23 tahun 2014 Kewenangan Penyelengaraan pendidikan dasar dan Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) ada di tingkat Kabupaten/Kota. Setelah 15 tahun semenjak
pemberlakuan UU tersebut, di wilayah terpencil dan terisolir, khususnya pegunungan tengah,
menunjukkan kualitas penyelenggaraan pendidikan mengalami kondisi kemunduran;
4. Berbagai affirmative action dalam pengadaan guru seperti misalkan SMT3, GGD dan KPG
tidak berjalan seperti yang diharapkan karena berbagai sebab.

Dengan berbagai permasalahan dan tantangan tersebut, berikut ini adalah rekomendasi
utama dalam perbaikan kualitas penyelenggaraan pendidikan di Papua:

1. Pendidikan di Papua dikembangkan dalam tiga model penyelenggaraan pendidikan sesuai


dengan tingkat perkembangan peradaban dalam kelompok masyarakatnya, meliputi:
1) Pendidikan bagi masyarakat Peramu (remote education);
2) Pendidikan bagi masyarakat Kampung (rural education); dan
3) Pendidikan bagi masyarakat Kota (urban education).
2. Perlu ada payung hukum bagi penyelenggaraan pendidikan dasar dan PAUD untuk daerah
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
terpencil
SUMBER DAYA ALAM atau
BAGI terisolir, termasuk
PEMBANGUNAN Papua, PAPUA
EKONOMI ke tingkat nasional, dan dilaksanakan
Hal. II- 14 RINGKASAN EKSEKUTIF

penyelenggaraannya oleh Pemerintah Provinsi. PERPU juga perlu mengatur penerapan UU


Nasional secara khusus (UU 20 tahun 20013 dan UU 14 tahun 2005) di wilayah tersebut
(untuk Papua khususnya kawasan pegunungan tengah) dengan memberi kelonggaran
waktu dan kurikulum khusus yang memadai untuk tercapainya kondisi yang memungkinkan
penerapan standar nasional.
3. Penyempurnaan implementasi kebijakan 5 SD Kecil untuk setiap 1 SD-SMP Berasrama; 2
kelas Untuk setiap angkatan siswa baru; setiap Kelas untuk 30-35 siswa, setiap asrama ada
penanggungjawab/pengelola asrama;
4. Perbaikan mekanisme affirmative action untuk penyediaan dan peningkatan kapasitas guru
di Papua.
5. Sekolah berasrama, merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah keterbatasan guru dan masalah budaya (kecendrungan menjadikan anak sebagai
tenaga kerja dalam rumah tangga, dan pendidikan tidak penting) dari masyarakat Papua.
Melalui sekolah berasrama ini, anak-anak dapat dibentuk karakternya bukan hanya
memberikan pengetahuan saja. Namun sekolah ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Selain itu juga perlu pendekatan kepada orang tua untuk dapat merelakan anak-anaknya
hidup terpisah.

2.4.2. Kesehatan

Permasalahan dan tantangan yang dihadapi pembangunan bidang kesehatan di Papua


antara lain:

1. Kondisi di Papua dan Papua Barat adalah minimnya sarana dan prasarana
kesehatan; tingginya angka kematian ibu melahirkan; masih tingginya angka penyakit

menular seperti malaria, HIV/AIDS, kolera, serta masih banyak ditemukan busung lapar;

2. Jumlah dan kualitas SDM bidang kesehatan masih rendah. Sebagian besar tenaga kesehatan
di daerah terisolir dan terpencil adalah tamatan Sekolah Perawat Kesehatan, sedangkan
standar pendidikan tenaga kesehatan sesuai UU nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga
kesehatan (Pasal 9 ayat 1) adalah pendidikan diploma tiga. Akibatnya puskesmas sebagian
besar belum memiliki dokter, bidan dan tenaga kesehatan lain maupun perlengkapan alat
kesehatan dan perbekalan obat;
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
3. Buruknya
SUMBER DAYA kelembagaan
ALAM BAGI dan koordinasi
PEMBANGUNAN di dalam
EKONOMI dan antar level pemerintahan. Provinsi
PAPUA
Hal. II- 15 RINGKASAN EKSEKUTIF

memiliki keterbatasan dalam pengendalian mutu pelayanan kesehatan di tingkat kabupaten,


sedangkan kabupaten masih lemah dalam manajemen pelayanan kesehatan di wilayah
terisolir;

4. Pemerintah Pusat cenderung tidak percaya pemerintah daerah, pemerintah daerah juga tidak
percaya pemerintah pusat (Integrasi Kartu Papua Sehat dengan Kartu Indonesia Sehat belum
bisa terlaksana dengan baik);

5. Perlu payung hukum untuk menarik/menyerahkan kewenangan penyelenggaraan kesehatan


ke tingkat nasional, dan dilaksanakan penyelenggaraannya oleh Pemerintah Provinsi.
Berdasarkan permasalahan dan tantangan tersebut, berikut ini adalah rekomendasi
utama untuk perbaikan layanan kesehatan di Papua:

1. Sinkronisasi dan sinergitas kebijakan dan program pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah;
2. Penerapan tiga pendekatan kebijakan untuk menjangkau masyarakat Papua hingga kawasan
pedalaman terpencil.
• Inti Kota Fasilitas Permanen (fixed). Rumah Sakit, SLTA Berasrama, Sekolah
Teknik,.
• Kawasan Pinggiran : Strategi Outreach. Sistem Puskesmas terpadu, Sekolah
Terpadu Berasrama.
• Pedalaman Terpencil: Strategi Mobile. Rumah Sakit berjalan, Yankes Kijang,
Sekolah Kecil, Kampung Pintar.

3. Pelayanan Kesehatan sesuai dengan Kondisi Geografi Khas Papua melalui


Sinergitas/kolaborasi Program Nusantara Sehat dan Pelayanan Kesehatan Kaki Telanjang
(Yankes Kijang)

Gambar 2. 5 Kolaborasi Program Nusantara Sehat Dan Pelayanan Kesehatan Kaki Telanjang
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
4. Rujukan
SUMBER DAYA ALAM dan
BAGIevakuasi Pasien menggunakan
PEMBANGUNAN EKONOMIpesawat
PAPUA kecil dengan bekerjasama dengan
Hal. II- 16 RINGKASAN EKSEKUTIF

Maskapai Penerbangan Keagamaan (AMA, MAF, Yajasi, Advent, dan lain lain), untuk pasien
yang ada di kampung-kampung yang terisolir dan terpencil.
5. Memperbanyak Puskesmas Perawatan di Distrik,
6. Peningkatan Pendidikan Khusus Tenaga Kesehatan Puskesmas melalui Layanan Pendidikan
Dosen Terbang ke Puskesmas
7. Peningkatan kualitas pemukiman, air layak minum di kampung yang berstandar kesehatan
8. Pemberian beasiswa pendidikan dokter, bidan dan tenaga kesehatan dengan ikatan dinas
untuk bertugas di daerah pedalaman yang (tidak ada fasilitas komunikasi, listrik, transportasi,
air bersih dan lain lain) terisolir dan terpencil.
9. Mempermudah dan memprioritaskan Pemberian sertifikasi uji kompetensi dan STR (surat
tanda registrasi) bagi dokter, bidan dan tenaga kesehatan yang bertugas selama 3 (tiga) tahun
di daerah pedalaman yang terisolir dan terpencil.
10. Eradikasi malaria dan HIV/AIDs secara terpadu dan intensif

2.5. Pembangunan Infrastruktur Dasar

Untuk pembangunan sumber daya manusia, aspek infrastruktur dasar sangat berperan,
terutama untuk terciptanya lingkungan yang sehat, menunjang produktivitas warga serta
membuka akses terhadap informasi. Beberapa pelayanan dasar utama yang sangat
penting adalah (1) ketersediaan air minum layak; (2) Sanitasi; (3) Eletrifikasi; dan (4)

Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK). Berikut dijelaskan secara singkat kondisi, tantangan
dan rekomendasi untuk isu-isu tersebut:

A. Air Minum Layak


Sebaran jumlah air minum layak berada di daerah perkotaan. Beberapa daerah dipesisir
dan pegunungan tengah sulit mengakses air bersih. Di daerah pesisir seperti Kabupaten
Sorong, Sorong Selatan, Membramo Raya, Asmat, sumber air bersih dari air sungai dan air
tadah hujan. Di daerah pegunungan tengah seperti Kabupaten Pegunungan Tengah,
Yakuhimo, Nduga, Jayawijaya, Lany Jaya, Membramo Tengah, Paniai, Deiya, Tolikara,
Intan Jaya, Membramo Tengah sumber air bersih dari sumur dan/atau mata air tidak
terlindungi. Upaya peningkatan akses terhadap air bersih dapat dilakukan dengan cara
berikut:
• Mengembangkan pola kemitraan antara dunia usaha dan pemerintah daerah
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS
untuk TIM KAJIAN
membangun KEBIJAKAN
instalasi air bersih, PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 17 RINGKASAN EKSEKUTIF

• Mencari sumberdaya air baru yang memiliki potensi untuk diinvestasikan sebagai
sumber air minum dan air bersih untuk memenuhi kebutuhan masyarakat,
• Mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya air yang sudah ada
• Sumber Air Reliable per kampung
• Desalinasi air di wilayah pesisir sebagai sumber air bersih

B. Sanitasi
Hasil survey Susenas 2014 di Provinsi Papua dan Papua Barat menunjukkan bahwa
sanitasi yang belum layak di dominasi berada di daerah Pegunungan Tengah dan sebagian
di pesisir. Daerah pegunungan tengah/ dataran tinggi belum tersedia sanitasi layak.
Sulitnya air di daerah pesisir juga menyebabkan fasilitas sanitasi tidak optimal. Kondisi
sanitasi layak dapat diperbaiki dengan penyediaan sarana sanitasi dan penyedian akses air
bersih. Quickwin dilakukan dengan Program Percepatan Pembangunan Sanitasi (PPSP)
dan Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK).

C. Elektrifikasi
Jumlah persentase rumah tangga yang menggunakan listrik sebagai alat penerangan dari
tahun ke tahun makin meningkat. Namun sebaran penduduk yang dapat menikmati listrik
tidak merata. Rumah tangga yang belum mendapat akses listrik banyak terdapat di daerah
pegunungan tengah. Di daerah terpencil dan pegunungan ongkos angkut BBM sangat mahal
sehingga sedikit sekali pembangkit listrik untuk di daerah terpencil dan pegunungan. Oleh
karena itu diperlukan alternatif pembangkit listrik yang murah dan efisien untuk daerah
pegunungan tengah.
Ketidakmampuan PLN untuk mencukupi kebutuhan listrik di semua Kabupaten/kota di
Provinsi Papua Barat, selama ini disiasati dengan pengadaan listrik non PLN seperti genset.
Di Kabupaten Raja Ampat, pengadaan listrik dikelola oleh Pemda Kabupaten Raja Ampat
dengan menggunakan bahan bakar diesel. Beberapa kabupaten seperti Kabupaten Teluk
Bintuni, Kabupaten Teluk Wondama, dan Kabupaten Maybrat yang semula memberikan
layanan penerangan listrik bergilir per 12 jam, waktu menyala listrik kini lebih
baik.Permasalahan
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS kekurangan sumberdaya
TIM KAJIAN listrik PENGELOLAAN
KEBIJAKAN di Papua Barat nantinya akan terbantu
SUMBER DAYAdengan
ALAM BAGI PEMBANGUNAN
penyuplaian EKONOMI
gas dari Teluk PAPUA
Bintuni untuk pembangkit listrik. Salah satu program
Hal. II- 18 RINGKASAN EKSEKUTIF

pemerintah untuk mengatasi persoalan listrik di perdesaan adalah Program Llistrik


Perdesaan. Program ini merupakan penugasan Pemerintah kepada PLN untuk menyediakan
listrik bagi masyarakat perdesaan dan diutamakan pada Provinsi dengan rasio elektrifikasi
yang masih rendah.

D. Teknologi, Informasi dan Komunikasi (TIK)


Ketersediaan infrastruktur telekomunikasi diperlukan untuk membuka ketelisoliran dan
meningkatkan kemampuan suatu daerah untuk menerima informasi dari luar daerah dan
menyampaikan informasi dari luar daerah.Berdasarkan data Susenas 2014, alat komunikasi
yang dominan digunakan oleh masyarakat Papua dan Papua Barat adalah telepon
seluler/handphone. Di wilayah perkotaan, masyarakat sudah dapat mengakses internet.
Berikut ini adalah beberapa program yang telah disiapkan pemerintah pusat dalam
meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi dan komunikasi:
1. Program Pengembangan Komunikasi,Informasi dan Media Massa

2. Program Fasilitasi Peningkatan SDM Bidang Komunikasi dan Informasi


3. Program Kerjasama Informasi dengan Mass Media.

2.6. Pengembangan Sumber Daya Hayati

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 782/Menhut- II/2012. Luas
kawasan hutan Provinsi Papua adalah 30.387.499 ha. Berikut ini adalah data luas hutan di Papua
berdasarkan fungsi kawasan:
Tabel 2. 1 Data Luas Lahan Papua Berdasarkan Fungsi Lahan
No Fungsi Kawasan Luas (ha) Prosentase (%)

1 KSA & KPA 7.755.284 25,52

2 Hutan Lindung (HL) 7.815.283 25,72

3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 5.961.240 19,62

4 Hutan Produksi Tetap (HP) 4.739.327 15,60

5 Hutan Produksi yg dpt Dikonversi (HPK) 4.116.365 13,55

Jumlah 30.387.499,00 100,00

Dari jumlah tersebut, menurut Dinas Kehutanan Provinsi Papua (2015) kawasan hutan yang efektif
untuk dimanfaatkan adalah seluas 29.368.482 ha. Apabila dibandingkan dengan luas dan jumlah
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
kampung
SUMBER DAYA yang
ALAM berada
BAGI dalam kawasanEKONOMI
PEMBANGUNAN hutan yangPAPUA
saat ini berdasarkan data tercatat 1.766
Hal. II- 19 RINGKASAN EKSEKUTIF

kampung, maka luas kawasan hutan akan terus berkurang. Provinsi Papua memiliki luas fisik
wilayah 31.706.200 ha, sementara luas tutupan hutan berdasarkan analisis citra tahun 2011
sebesar 30.216.916 ha atau 95,30%.

Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat, luas kawasan hutan berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kehutanan (SK Menhut) Nomor 891/Kpts-I I/1999 seluas 10.312.521,34 ha. Berikut adalah
data luas hutan di Papua Barat berdasarkan fungsi kawasan:

Tabel 2. 2 Data Luas Lahan Papua Barat Berdasarkan Fungsi Lahan


No Fungsi Kawasan Luas (ha) Prosentase (%)

1 KSA & KPA 2.675.946,30 25,95

Hutan Lindung (HL) 1.651.805,22


2 16,02

3 Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1.849.240,65 17,93

4 Hutan Produksi Tetap (HP) 1.844.036,20 17,88


5 Hutan Produksi yg dpt Dikonversi (HPK) 2.291.492,97 22,22

Jumlah 10.312.521,34 100,00

Kawasan hutan Papua dan Papua Barat memiliki potensi HHBK yang dapat dikelola baik dalam
skala rumah tangga maupun skala bisnis. Beberapa HHBK yang dapat dimanfaatkan antara lain
adalah:

1. Rotan. Luas kawasan hutan yang merupakan habitat alam rotan seluas ±2.215.625 ha.
Penyebaran rotan pada wilayah/lokasi berdasarkan hasil orientasi/cruising ; Kab, Nabire
(Sima, Yaur, S. Nauma, S. Buami, S. Wabi-Wammi, S. Wanggar), Kab. Jayapura (Unurum
Guay, Lereh, Pantai Timur), Merauke (Ds. Poo Torey). Potensi raotan rata-rata per hektar
berada kisaran 2,75 - 2.062,22 kg/ha. Jenis-jenis rotan terdiri dari: Daemonorops, Korthalsia,
Foser, Calamus sp., Sersus, Ceratolobus, Plectocomia, dan Myrialepsis.

2. Sagu. Hutan sagu di Provinsi Papua luas sekitar 4.769.548 ha (diperkirakan telah
dimanfaatan hutan sagu secara tradisional ±14.000 ha). Potensi sagu kisaran 0,33 - 5,67
batang/ha. Penyebaran sagu terutama wilayah/lokasi Kab. Jayapura, Sarmi, Merauke, Asmat,
Kepulauan Yapen,
LAPORAN PELAKSANAAN TUGASWaropen dan sebagian
TIM KAJIAN besar tegakan
KEBIJAKAN sagu tumbuh pada daerah gambut
PENGELOLAAN
SUMBER DAYApantai.
ALAMJenis-jenis
BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI
tegakan sagu terdiri PAPUA rumphii var silvester, Metroxylon
dari: Metroxylon
Hal. II- 20 RINGKASAN EKSEKUTIF

rumphii var longispinum, Metroxylon Rumphii mart, Metroxylon Rumphii var microcantum dan
Metroxylon sago rottb. Potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih
dimungkinkan diusahakan dalam skala industri.

3. Nipah. Luas hutan yang ditumbuhi nipah diperkirakan seluas 1.150.000 ha. Potensi nipah
belum dapat diketahui secara pasti (belum dilakukan inventariasi potensi).

Pemanfaatan nipah belum dapat berkembang, masih tahap pemanfaatan masyarakat lokal
berupa pemanfaatan daun dan buah. Pemanfaatan nipah untuk skala industri/besar masih
terbuka.

4. Kayu Lawang. Informasi potensi kayu lawang (Cinnamonum spp.) belum akurat (penyebaran
alami sporadis). Hasil monitoring sentra-sentra produksi minyak lawang telah dapat
diindentifikasi bahwa potensi kayu lawang cukup menjanjikan dan dapat dikembangkan
menjadi hutan tanaman masyarakat. Sentra-sentra produksi dan penyebaran kayu lawang
pada wilayah/lokasi terdiri dari; Jayapura, Nabire, Merauke, Mappi, Potensi kayu lawang
masih dapat ditingkatkan pemanfaatannya.

5. Kayu Masoi. Informasi potensi kayu masoi belum akurat (penyebaran alami sporadis). Hasil
monitoring sentra-sentra produksi kulit masoi telah dapat diindentifikasi bahwa potensi kayu
masoi cukup menjanjikan dan dapat dikembang menjadi hutan tanaman masyarakat
setempat. Sentra-sentra produksi dan penyebaran kayu masoi pada wilayah/lokasi terdiri dari:
Jayapura dan Nabire. Potensi kayu masoi belum dimanfaatkan secara optimal sehingga
masih terbuka investasi untuk pemanfaatan kayu masoi untuk skala industri.

6. Kayu Putih. Penyebaran kayu putih pada Kab. Merauke (Kawasan Taman Nasional Wasur).
Potensi kayu putih merupakan tempat tumbuh alamiah di TN. Wasur yang merupakan daun
kayu putih merupakan bahan baku minyak kayu putih hasil penyulingan. Hasil penyulingan
masyarakat diperoleh minyak kayu putih dari daun kayu putih sebanyak 125 kg sebanding
dengan 2,5 liter minyak kayu putih. Jenis kayu putih terdiri dari Asteromyrtus simpocarpa,
Melaleuca lecadendron.

7. Lebah Madu. Potensi lebah madu dapat dikembangkan pada semua kabupaten/kota di
Provinsi Papua. Pengembangan lebah madu telah mulai dikembangkan oleh masyarakat di
beberapa kabupaten yaitu Kabupaten Jayawijaya, Jayapura dan Yapen Waropen.

8. Kayu Gaharu. Potensi dan penyebaran kayu gaharu sangat berpotensi untuk dikembangkan.
Penyebaran pohon gaharu tersebar hampir diseluruh daratan Papua, hal ini dapat terlihat dari
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYApelayanan
ALAM BAGI PEMBANGUNAN
perijinan EKONOMI
pemungutan dan produksi PAPUA
gubal gaharu/kemedangan. Namun karena
Hal. II- 21 RINGKASAN EKSEKUTIF

pemburuan gaharu yang sangat gencar

sehingga keberadaan jenis kayu gaharu saat ini sudah semakin sulit diperoleh. Mengingat
prospek pemasaran eksport dengan harga yang menggiurkan maka perlu pengembangan
budidaya tanaman gaharu sebagai sumber pendapatan ekonomi masyarakat. Penyebaran
Gaharu : Jayapura, Mamberamo Raya, Jayawijaya, Merauke, Asmat, Boven Digul, Nabire,
Paniai.

9. Buah Merah. Sebagai buah khas Papua, Buah Merah dikenal sebagai salah satu obat
alternative untuk berbagai macam penyakit. Namun masih diperlukan penelitian yang
mendalam tentang khasiat buat merah untuk dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan.
Buah Merah terutama terdapat di Papua Barat, yakni di Fakfak, Kaimana, Kota Sorong,
Manokwari, Raja Ampat, Sorong, Teluk, Teluk Bintuni, Teluk Wondana dengan luasan lahan
diperkirakan sebesar 873.451 hektar.

10. Potensi Buaya. Tanah Papua merupakan salah satu habitat satwa buaya, berupa buaya air
tawar (Crocodyllus novaeguineae) dan buaya muara (Cmcodyllus porosus). Pemanfaatan
kulit buaya dapat dilakukan dengan sistem penangkaran dimana anakan buaya dipelihara
jangka waktu 3 - 5 tahun, kemudian dipotong dimana kulit buaya sebagai komoditi eksport
yang bernilai ekonomi, sedangkan daging buaya dapat dikonsumsi.

11. Potensi hasil non kayu lainnya. Potensi hasil hutan non kayu/ikutan lainnya yang telah
dimanfaatkan sebagai salah satu usaha masyarakat antara lain terdiri dari: Pemanfaatan
kupu-kupu terdiri potensi jenis 70 jenis kupu-kupu (jenis komersil 6 jenis yaitu kupukupu sayap
burung dan kupu-kupu raja). Penyebaran/habitat alamnya pada kawasan konservasi.
Penyebaran Damar yang berlokasi di : Jayapura, Sarmi, Biak, Nabire dan Kepulauan Yapen.
Pemanfatan satwa liar berupa kegiatan pengumpulan Aves, Reptil, Ampibia dan Insecta yang
tidak dilindungi. Potensi penyebarannya tersebar pada kawasan-kawasan hutan dan
sempadan DAS.

Potensi HHBK di Papua dan Papua Barat memiliki potensi ekonomi yang sangat besar.
Selain itu, dengan pengelolaan yang berkelanjutan, HHBK dapat menjadi sumber
penghidupan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat. Tabel di bawah menunjukkan
potensi nilai ekonomi HHBK masing-masing di Papua dan Papua Barat:

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 22 RINGKASAN EKSEKUTIF

Tabel 2. 3 Potensi Ekonomi HHBK Papua Barat

Produksi/tahun Nilai Ekonomi


No Hasil Hutan Bukan Kayu
(ton) (miliar rupiah)

1 Masohi (Massoia aromatica) 2.985 447,75

2 Gaharu (Aquilaria filaria) 111.144,41 55.572,20


3 Sagu (Metroxylon spp) 5.723.099 37.200,14
4 Duku (Lansum domesticum) 1.705 4,58
5 Durian (Durio zibethinus) 2.846 36,11

6 Melinjo (Gnetum gnemon) 41 0,21


7 Nangka (Arthocarpus integra) 217 1,37

8 Pala (Myristica fragran) 262.575 6.564,37


9 Sukun (Arthocarpus communis) 271 1,36

10 Pinang (Arreca catechu) 467 1,41

Total 6.105.349 99.829,49

Tabel 2. 4 Potensi Ekonomi HHBK Papua


Produksi/tahun Nilai Ekonomi
No Hasil Hutan Bukan Kayu
(ton) (miliar rupiah)

1 Gaharu (Aquilaria filaria) 1.367,15 683,58

2 Masohi (Massoia aromatica) 199.046 29.856,95


3 Sagu (Metroxylon spp) 16.823.640 109.353,66
4 Duku (Lansum domesticum) 137 0,37
5 Durian (Durio zibethinus) 631 8,27

6 Manggis (Garcinia mangostama) 8 0,12


7 Melinjo (Gnetum gnemon) 4 0,02
8 Nangka (Arthocarpus integra) 299 1,89
9 Petai (Parkia sp) 9 0,24

10 Rambutan (Nephelium lapaceum) 454 4,54

11 Sukun (Arthocarpus communis) 83 0,41

12 Pinang (Arreca catechu) 921 6,13


13 Gambir (Uncaria gambir) 5.546.287 138.657,18
14 Rotan (Calamus marginatus) 2.013.229 3.623,81

Total 24.586.116 282.197,18

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 23 RINGKASAN EKSEKUTIF

Untuk mengoptimalkan potensi HHBK di Papua dan Papua Barat, perlu dilakukan beberapa
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Melakukan analisis rantai nilai pengembangan HHBK untuk Masyarakat
2. Mengidentifikasi dan menganalisis potensi pasar HHBK skala masyarakat
3. Melakukan pengembangan organisasi usaha (social enterprenurial) masyarakat
4. Melakukan model pengembangan investasi HHBK untuk masyarakat
5. Mengembangkan usaha jasa lingkungan yang berbasis masyarakat lokal
6. Mengintegrasikan pengembangan HHBK dengan usaha lain seperti pariwisata, jasa air,
tanaman hias, produk olahan makan dan minuman lokal.

2.7. Pengelolaan Sumber Daya Alam Minerba dan Migas

Potensi sumber daya mineral di Papua tersebar hampir di seluruh bagian wilayah daratan Papua,
meliputi Prov. Papua Barat dan Prov. Papua. Jenis mineral yang terdapat di wilayah Papua terdiri
dari Mineral Logam Dasar, Non Logam, Logam mulia, logam besi dan paduan besi. Logam Dasar
terdiri atas tembaga, timah hitam dan seng. Non logam terdiri atas gamping, andesit, granit, kaolin,
kuarsit, lempung, marmer, onix, pasir kuarsa, sirtu, dan batuan ultra basa. Logam mulia terdiri atas
emas dan perak. Logam besi dan paduan besi terdiri atas besi laterit, kobalt, nikel, pasir besi,
krom. Secara umum, sebaran potensi pertambangan di Papua dapat dilihat pada peta berikut:

Gambar 2. 6 Peta Sebaran Potensi Pertambangan Di Papua

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 24 RINGKASAN EKSEKUTIF

Selain Minerba, Papua juga memiliki cadangan minyak dan gas bumi jumlah keseluruhan
cadangan minyak (3P) sebesar 7.375 MMstb dan cadangan gas (3P) sebesar 149 Tscf.
Berdasarkan kajian Badan Geologi untuk potensi sumber daya migas (speculative Hydrocarbon
Resources), wilayah Papua dan sekitarnya memiliki potensi minyak bumi sebasar 68.3 BBO
(billion barrel oil atau miliar barel minyak; 1 barel = 158,97 liter) dan gas bumi sebsar 102.18 Tcf
(trillion cubic feet; 1 Tcf setara dengan 178.107.600.997,06 barel setara dengan 28 miliar m 3 atau
28 x 109 m3).

Berdasarkan profil potensi panas bumi Indonesia tahun 2012 dari Kementerian ESDM, Papua
memiliki beberapa titik potensi panas bumi yang berlokasi di sekitar kepala burung. Titik potensi
tersebut terletak di Makbau, Sorong sebesar 25 Mwe; Ransiki- Womimaren, Manokwari sebesar
25 Mwe; dan Kebar, Manokwari dengan kapasitas 25 Mwe. Namun semua titik potensi panas bumi
di Papua belum pernah dilakukan Survey Pendahuluan (Geologi, Geokimia, dan Geofisika).

Pengeloaan minerba terbesar di Papua saat ini dilakukan oleh PT Freeport Indonesia yang
beroperasi di daerah mineralisasi Ertsberg (Gunung Bijih), di di lereng selatan Pegunungan
Jayawijaya (Carstensz). PTFI beroperasi sejak tahun 1967, dan kemudian kontrak karyanya
diperbaharui pada tahun 1991 yang berlaku hingga tahun 2021. Dalam periode 1992-2014, PTFI
memberikan kontribusi sebesar 15,8 miliar USD yang bersifat langsung (pajak, royalty, dividen);
dan kontribusi tidak langsung sebesar 29,5 miliar USD (gaji, pembelian dalam negeri,
pembangunan daerah). Jumlah dan komposisi saham PTFI sejak tahun 2002 hingga sekarang
adalah sebagai berikut:
Tabel 2. 5 Komposisi Saham PTFI Sejak Tahun 2002 - 2016
Jumlah
No. Pemegang Saham Lembar Persentase dalam
Saham Kepemilikan USD

1 Freeport McMoran (FCX) 184,890 81.27% 18,489


Pemerintah Indonesia
(Gol) 21,300 9.36% 2,130
2
3 PT Indocopper Investama 21,300 9.36% 2,130
227,490 100% 22,749

PTFI beroperasi di lahan seluas 90.360 ha yang terdiri dari 10.000 ha Blok Produksi dan 80.360
Blok Penunjang. Cadangan mineral per 31 Desember 2014 adalah 2,27 miliar ton bijih yang
komposisi: 1,02% tembaga; 0,83 gram/ton emas; dan 4,32 gram/ton perak,

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 25 RINGKASAN EKSEKUTIF

dengan produksi per tahun 109,5 juta ton bijih. Saat ini PTFI mempekerjakan 30.004 karyawan
dengan komposisi 770 (2%) orang asing, 7.772 (26%) Orang Asli Papua dan 21.461 (72%) WNI
non-Papua.

Salah satu isu dalam operasional PTFI saat ini adalah masa depan PTFI pasca berakhirnya
kontrak karya pada tahun 2021. Banyak hal yang perlu dipertimbangkan terkait hal ini, mulai dari
isu lingkungan hidup, isu sosial, hingga pendapatan negara. Apabila pemerintah memutuskan
untuk tidak melanjutkan Kontrak Karya pada tahun 2021, terdapat beberapa resiko dan
konsekuensi yang perlu dipertimbangkan sebagai berikut:

1. Freeport mengajukan tuntutan ke arbitrase internasional;


2. Produksi konsentrat tembaga-emas terhenti dalam jangka waktu sementara;
3. Pasokan konsentrat untuk smelter dan refinery tembaga serta industri hilir dalam negeri
menurun;
4. Pengangguran Tenaga Kerja PTFI dan Perusahaan Pendukung;
5. Terganggunya kegiatan reklamasi dan pasca tambang;
6. Kerusakan infrastruktur tambang dan pabrik pengolahan;
7. Pemberhentian operasi penambangan dan pengolahan;
8. Potensi munculnya penambang liar;
9. Sumber daya mineral Papua tidak termanfaatkan dengan optimal.

Bila pemerintah memutuskan untuk memperpanjang Kontrak Karya, harus dipikirkan strategi yang
tepat agar KK tersebut menguntungkan Negara dan dapat memberi manfaat sebesar-besarnya
bagi masyarakat. Berikut ini adalah beberapa isu yang perlu diperhatikan dalam perpanjangan KK
PTFI:

1. Pembangunan Smelter Katoda dan Anoda, terutama untuk mendorong tumbuhnya


hilirisasi industri yang akan menciptakan lapangan kerja baru, sumber devisa dan lain
sebagainya;
2. Divestasi Saham, untuk meningkatkan porsi kepemilikan pemerintah di PTFI yang saat
ini hanya berjumlah 9,36%. Valuasi nilai saham sangat tergantung dari metode yang
digunakan (Discounted Cash Flow, Comparable Copper Companies, Current
Enterprise Value, Replacement Cost Valuation, dll). Saat

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 26 RINGKASAN EKSEKUTIF

ini belum dilakukan valuasi secara khusus dan angka yang disajikan masih dalam
perkiraan sangat kasar.
3. Pembatasan Wilayah Kerja, dimaksudkan agar sesuai dengan UU Minerba yang
menyatakan bahwa batas operasi tambang adalah 25.000 ha.
4. Peningkatan Kemampuan Dalam Negeri, selain agar kontribusi dan keterlibatan
sumber daya dalam negeri terus diperbesar, hal ini juga dimaksudkan agar kemampuan
dan kapasitas dalam pengelolaan minerba terus meningkat dan di masa mendatang
mampu mengelola sumber daya minerba secara mandiri;
5. Share Royalti, Pajak, Dividen, agar sesuai dengan UU Minerba yakni untuk Cu 4%, Au
3.75%, dan Ag 3,25%);
6. Pemberdayaan Masyarakat Lokal, hal ini dimaksudkan agar sumber daya manusia di
tingkat lokal, terutama Orang Asli Papua terus berkembang untuk mampu mengelola
sumber daya alam untuk penghidupan mereka.

2.8. Pembangunan Infrastruktur

Tujuan utama pembangunan infrastruktur di Papua dan Papua Barat adalah:

1. Membuka keterisolasian wilayah;


2. Menyediakan akses terhadap infrastruktur dasar;
3. Mendukung Pengembangan Kawasan dan Konektivitas antarpulau;
4. Mendukung kegiatan utama ekonomi (pariwisata, hasil pertambangan, dan kegiatan
perkotaan).

Uraian selanjutnya menjelaskan tentang rencana pembangunan infrastruktur yang akan


dilakukan di Papua dan Papua Barat.

2.8.1. Pembangunan Infrastruktur Transportasi Darat, Laut, Udara

Untuk dukungan infrastruktur transportasi untuk membuka keterisolasian wilayah dan distribusi
logistik, pada periode RPJMN 2015-2019, Kementerian PUPR telah menetapkan rencana
penyelesaian ruas jalan strategis di Papua. Ruas jalan nasional

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 27 RINGKASAN EKSEKUTIF

yang akan dibangun sepanjang 1.000 km, terutama ruas lintas tengah dan selatan Papua serta
jalan akses perkotaan dan pelabuhan.

Gambar 2. 7 Rencana Ruas Jalan Strategis Di Papua

Peningkatan kapasitas jalan akan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan demand
traffic. Dari total Trans Papua sepanjang 4.325 km, terdapat 825 km jalan yang belum terhubung
dan akan diselesaikan hingga 2015. Beberapa ruas jalan prioritas yang memerlukan percepatan
antara lain: a) Merauke - Tanah Merah - Oksibil (jalur perbatasan selatan); b) Nabire - Enarotali -
Timika (jalur tengah tenggara); c) Manokwari - Ayamaru - Sorong (jalur pesisir barat); d) Keerom -
Tengon - Wamena (lajur tengah timur); dan e) Sugapa - Enarotali & Illaga-Timika (lajur
Tengah-Barat & Lajur Tengah-Selatan).

Sedangkan untuk dukungan infrastruktur transportasi untuk pengembangan


kawasan perekonomian, akan dibangun beberapa ruas jalan baik di Papua maupun Papua
Barat. Ruas jalan timur Jayapura - Merauke sepanjang perbatasan dengan Papua Nugini juga
belum terhubung dan baru memasuki tahap konstruksi. Jalur lintas perbatasan dari Jayapura ke
Merauke terdapat 260 km jalan yang belum terhubung, terutama ruas Yeti - Urbub - Oksibil. Di
samping itu, Jembatan Holtekamp di Jayapura akan diselesaikan sebagai salah satu wujud
komitmen Pemerintah terhadap percepatan pembangunan Papua.

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 28 RINGKASAN EKSEKUTIF

Ruas jalan yang telah dibangun dari arah Merauke maupun Jayapura juga memerlukan
peningkatan kualitas melalui perkerasan jalan. Berdasarkan rencana hingga tahun 2016 masih
tersisa 260 km yang belum terhubung dan perlu menjadi prioritas.

Untuk mengatasi keterbatasan implementasi pembangunan jalan di Papua, perlu dilakukan


rekonfirmasi terhadap penugasan TNI dalam pembangunan jalan di Papua serta sinkronisasi
kembali terhadap pembagian tugas antara Kementrian PUPR dan Kementerian Pertahanan.
Penugasan secara khusus kepada TNI perlu dilaksanakan sejalan dengan penciptaan kondisi
keamanan di masyarakat serta didukung oleh investasi alutsista konstruksi. Dalam hal ini, program
pembangunan jalan dapat disertai pembukaan markas komando, rumah sakit, dan fasilitas lain
yang dikelola TNI atau Polri. Di samping itu, penanganan masalah alih fungsi lahan hutan dan
pembebasan tanah ulayat yang terkena dampak dari pembangunan jalan di Papua memerlukan
koordinasi hingga level teknis antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Masyarakat
Adat.

Pembangunan jalan juga perlu diintegrasikan dengan pengembangan program di instansi terkait,
misalnya dalam pengembangan kawasan ekonomi dan pelabuhan. Termasuk dalam hal ini adalah
penetapan prioritas pembangunan jalan di wilayah perbatasan dan wilayah terisolir. Percepatan
pembangunan jalan juga dapat dilaksanakan melalui penugasan khusus kepada BUMN yang telah
memiliki kegiatan di Papua (misalnya Pelindo dan PT. PLN), terutama di sekitar aset infrastruktur
yang sedang dibangun oleh badan usaha tersebut. Dari sisi keterbatasan pendanaan dan
administrasi, keterbatasan implementasi kontrak multiyears pembangunan jalan di Papua perlu
ditangani secara terintegrasi oleh semua stakeholder terkait.

2.8.2. Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan

Pasokan listrik di Papua menggunakan sistem 20 kV dan masih isolated. Sebagian lagi
menggunakan jaringan tegangan rendah 220 Volt langsung ke beban. Selain itu, masih terdapat
beberapa ibukota Kabupaten yang belum mendapatkan layanan listrik dari PLN. Sistem kelistrikan
isolated yang berbeban diatas 1 MW ada 8 sistem, yaitu sistem Jayapura, Genyem, Wamena,
Timika, Merauke, Nabire, Serui dan Biak. Selain itu, terdapat sistem kelistrikan isolated dengan
beban puncak <1 MW (listrik perdesaan)

LAPORAN tersebar
PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
di 53 lokasi. Beban puncak seluruh sistem kelistrikan (non coincident) di Provinsi Papua
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 29 RINGKASAN EKSEKUTIF

sekitar 141 MW dan dipasok dari pembangkit-pembangkit jenis PLTD, PLTS dan PLTM. Energi
listrik disalurkan melalui jaringan tegangan menengah (JTM) 20 kV dan jaringan tegangan rendah
(JTR) 400/231 Volt. Sistem kelistrikan Jayapura merupakan sistem terbesar di antara kedelapan
sistem kelistrikan di Provinsi Papua.

Sedangkan untuk Papua Barat, sistem kelistrikan masih isolated yang terdiri dari 6 sistem 20 kV
yang berbeban diatas 1 MW. Selain itu, terdapat sistem kelistrikan isolated dengan beban puncak
kurang dari 1 MW yaitu listrik perdesaan tersebar di 48 lokasi. Beban puncak total (non coincident)
seluruh sistem kelistrikan di Provinsi Papua Barat sekitar 67 MW, dipasok dari
pembangkit-pembangkit jenis PLTD, PLTM, PLTS dan dari excess power PLTMG/PLTG, yang
terhubung langsung melalui jaringan tegangan menengah 20 kV. Sistem kelistrikan Sorong
merupakan sistem terbesar di Provinsi Papua Barat dengan beban sekitar 34 MW.

Rencana pembangunan sarana pembangkit, transmisi dan distribusi di Provinsi Papua dilakukan
dengan memperhatikan kebutuhan dan potensi energi primer setempat, sebaran penduduknya,
dengan fokus pada beberapa aspek kunci serta prioritas sebagai berikut:

1. Potensi Sumber Energi


2. Pengembangan Pembangkit
3. Pengembangan Transmisi dan Gardu Induk
4. Pengembangan Distribusi
5. Sistem Kelistrikan di Daerah Perbatasan Papua - PNG
6. Sistem Kelistrikan Sorong

Penyediaan pembangkit dan jaringan transmisi listrik di Papua sangat tergantung pada rencana
PLN, sedangkan partisipasi swasta masih cukup kecil yang sudah terealisasi. Untuk itu diperlukan
intervensi langsung dari Kementerian ESDM dan Pemerintah Daerah untuk mempecepat
penyediaan listrik di kawasan terisolir yang belum memiliki nilai keekonomian dari sisi bisnis oleh
PLN. Potensi listrik di Papua Barat dapat dikembangkan melalui pemanfaatan kuota gas dari Gas
Tangguh. Untuk itu perlu segera dicapai kesepakatan antara Gas Tangguh dan PLN (dengan
fasilitasi Pemerintah dan

Pemda) dalam hal harga jual gas kepada PLN. Di samping itu, perlu dilakukan percepatan
pembangunan jaringan transmisi di Papua Barat, terutama untuk kawasan Bintuni - Sorong -
LAPORAN Manokwari.
PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 30 RINGKASAN EKSEKUTIF

Pemanfaatan potensi batubara untuk ketenagalistrikan di Papua masih belum berkembang.


Diperlukan dukungan kebijakan dari Kementerian ESDM untuk menetapkan kawasan eksplorasi
tambang batubara di Papua untuk melayani pembangkit listrik skala lokal di kawasan terisolir.
Untuk mendukung pasokan listrik bagi kegiatan hulu dan hilir pertambangan, penyediaan listrik
dari sumber terbarukan perlu menjadi prioritas, terutama dari PLTA. Dalam hal ini rencana
pembangunan PLTA Urumuka untuk kawasan pertambangan Timika.

2.9. Pengembangan Kawasan Ekonomi

Sesuai dengan hasil perumusan kajian percepatan pembangunan Papua, salah satu skenario
yang diusung adalah Pengembangan Kawasan Industri/Kawasan Ekonomi Khusus di
wilayah-wilayah yang telah ditentukan di Papua, yang turut serta didukung dengan penyediaan
infrastruktur seperti pelabuhan yang berstatus pelabuhan hub internasional maupun regional.
Potensi pengembangan Kawasan Industri/Kawasan Ekonomi Khusus di Papua ini juga ditinjau dari
beberapa kebijakan Pemerintah Pusat maupun Daerah serta pengembangan kondisi eksisting di
lapangan.

Dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah merencanakan pengembangan Kawasan Industri/KEK di


10 Kawasan sebagai berikut:

1. Raja Ampat, sebagai salah satu destinasi prioritas pariwisata nasional. Mengandalkan
wisata bahari, Raja Ampat memerlukan investasi di bidang perhotelan (akomodasi),
restoran; didukung pembenahan infrastruktur termasuk di dalamnya penyediaan
transportasi baik laut maupun udara.

2. Sorong, dengan sektor unggulan terdiri dari perikanan tangkap dan budidaya, agroindustri,
industri manufaktur, pariwisata, dan logistik. Untuk mendukung kawasan industri ini, perlu
dibangun infrastruktur pendukung berupa jalan, pelabuhan, bandara dan jalur kereta api.

3. Teluk Bintuni, merupakan salah satu dari 14 kawasan industri baru yang akan
dikembangkan Pemerintah pada periode 2015-2019. Potensi investasi sekitar Rp

31 triliun dengan bidang usaha utama adalah industri migas/petrokimia dan pupuk, dengan
potensi penyerapan tenaga kerja sejumlah 51 ribu orang. Saat ini telah ada industri jangkar
(anchor industry) yakni PT Pupuk Indonesia.

4. Biak, sebagai bagian dari KAPET Biak yang ditetapkan melalui Keppres No. 10 Tahun 1998
sebagai salahTUGAS
LAPORAN PELAKSANAAN satu KAPET
TIMdiKAJIAN
Kawasan Timur Indonesia
KEBIJAKAN (KTI) sesuai dengan Keppres No.89
PENGELOLAAN
SUMBER DAYATahun
ALAM1996
BAGIsebagaimana
PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
diubah terakhir dengan Keppres No. 150 Tahun 2000. KAPET
Hal. II- 31 RINGKASAN EKSEKUTIF

Biak mempunyai sektor unggulan (a.l. pariwisata alam dan bahari, perikanan, dan
pertambangan) yang dapat mengerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah Papua dan Papua
Barat. Selain itu, lokasi Biak sangat strategis karena terletak di jalur penghubung ke
Australian, Papua New Guinea, Negara-negara di Pasifik Selatan, Guam, Hawaii dan New
Zealand yang merupakan segitiga pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu Jepang- Australia-
USA.

5. Timika, merupakan Kawasan Strategis Nasional dalam pengembangan dan peningkatan


fungsi kawasan pertambangan yang produktif dan berdaya saing internasional. Selain itu,
Timika menjadi lokasi industri pupuk, semen, dan kabel tembaga. Pemerintah juga
berencana untuk membangun jaringan kereta api dari Timika ke Pegunungan Tengah.
Sebagai pendukung, akan dibangun PLTMG Timika Peaker dengan kapasitas 10 MW dan
PLTA URUMUKA dengan kapasitas 300 MW.

6. Wamena, diusulkan menjadi kawasan ekonomi berbasis wilayah adat. Komoditas andalan
yang akan dikembangkan di Wamena adalah kopi, buah merah, hortikultura dan ubi-ubian. Di
Wamena juga akan dibangun sekolah kejuruan, balai latihan serta terminal agribisnis
(packaging). Sebaga pra-sarana pendukung, akan dibangun PLTD Listrik 7MW dan juga
PLTA Baliem serta jaringan interkoneksi 150 kV

7. Jayapura, akan dibangun sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang difokuskan dalam
pengembangan perdagangan dan jasa (outlet pemasaran produksi tanaman pangan, hasil
hutan, logam, dan perikanan), Industri (pengolahan pertanian, perkebunan, kehutanan,
perikanan dan pertambangan). Jayapuran juga akan menjadi transhipment point di Kawasan
Timur Indonesia

(KTI), dan pusat pelayanan administrasi pelintas batas negara (perbatasan


Indonesia-PNG-Palau). Sebagai pusat permukiman baru yang layak huni perlu didukung
oleh fasilitas ekonomi dan sosial budaya yang lengkap guna mencegah terjadinya
permukiman tidak terkendali (urban sprawl) akibat urbanisasi di kota otonom terdekatnya.

8. Keerom, akan dibangun menjadi KEK Perbatasan sebagai Kelompok Kawasan


Minapolitan dan Perikanan Budidaya, dengan komoditas unggulan adalah jagung dan ikan
nila;

9. Oksibil, sebagaimana Keerom, juga akan dibangun menjadi KEK Perbatasan di sektor
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
pertanian dan jasa yang berada dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi (KPE) La Pago.
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 32 RINGKASAN EKSEKUTIF

Komoditas unggulan di KEK ini adalah Kelapa, Jagung dan Ubi Kayu. Selain itu juga akan
dilakukan peningkatan produktivitas di hulu dan percepatan industrialisasi/hilirisasi untuk
komoditas-komoditas unggulan;

10. Merauke, berada dalam kawasan MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate)
dengan beberapa alternatif sektor bisnis: industri pengolahan hasil pertanian (milling,
grinding, processing); industri pengolahan hasil ternak /meat processing, pakan ternak,
pupuk organik; logistik pertanian dan peternakan; industri pendukung berupa peralatan
pertanian; dan industri pengembangan teknologi (R&D) pertanian dan pangan.

Dalam pengembangan Kawasan Ekonomi tersebut, terdapat beberapa permasalahan investasi


yang dapat menghambat pengembangan Kawasan Industri maupun Kawasan Ekonomi Khusus, di
antaranya:

1) Permasalahan Lahan dan Hak Ulayat


Masih sering terjadinya sengketa kepemilikan tanah adat & hak ulayat di Papua yang
menyulitkan proses pembebasan lahan untuk keperluan pembangunan kawasan industri
maupun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

2) Penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah


Kurang kejelasan peruntukan lahan dan penentuan Kawasan Pengembangan dan
Pusat-Pusat Pertumbuhan Baru

3) Identifikasi Potensi Komoditi


Belum adanya jaminan yang pasti dalam penetapan komoditas unggulan
sebagai daya tarik investor

4) Rendahnya Kepastian Hukum


Banyaknya kebijakan yang tumpang tindih antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah maupun antar sektor

5) Lemahnya insentif investasi


Penarikan perpajakan dan retribusi kurang menarik investor & Pembangunan
Infrastruktur dibebankan kepada investor

6) Rendahnya Kemampuan Investor Skala Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)


serta Koperasi
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Didominasi pengembangan usaha bersifat eksploratif, belum banyak yang
Hal. II- 33 RINGKASAN EKSEKUTIF

mengarah pada pengembangan manufaktur berbasis pada kemampuan


penguasaan teknologi

7) Terbatasnya infrastruktur
Peningkatan biaya koleksi dan distribusi yang pada gilirannya memperburuk
daya saing produk yang dihasilkan.

8) Kesenjangan antar pelaku ekonomi


Pemerintah menjadi satu-satunya agen pembangunan, sehingga pembangunan
bersifat politis, kurang partisipatif dari masyarakat karena belum menempatkan
masyarakat sebagai subyek pembangunan

9) Tingkat Kemahalan
• Biaya-biaya ekonomi yang tinggi yang harus ditanggung oleh para
pengusaha secara langsung
• Mahalnya biaya investasi karena korupsi & penyalahgunaan wewenang
• Belum konsistennya antara peraturan yang ditetapkan dengan pelaksanaan
di lapangan

10) Lemahnya sistem jaringan koleksi dan distribusi


Belum terintegrasinya sistem perdagangan di tiga tingkatan pasar (pengumpul,
pengecer, grosir) serta banyaknya pungutan dan peraturan daerah sebagai
akibat otonomi daerah

11) Keamanan
Gangguan keamanan dari masyarakat lokal karena permasalahan adat

Untuk mempercepat upaya peningkatan investasi dan percepatan pembangunan


Kawasan Industri/Kawasan Ekonomi Khusus di Papua dan Papua Barat, diperlukan
insentif atau iklim investasi yang kondusif di wilayah Papua. Untuk menciptakan iklim
investasi yang kondusif di Papua diperlukan juga beberapa langkah, seperti:

1) Revitalisasi Kelembagaan Ekonomi :


LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
• Regulasi antar sektor dan antara pusat dan daerah;
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 34 RINGKASAN EKSEKUTIF

• Peningkatan kapasitas kelembagaan terkait penyederhanaan prosedur


perijinan;
• Penyempurnaan sistem perpajakan dan retribusi, penegakan hukum untuk
keamanan berusaha dan ketertiban berusaha.
2) Sistem Infrastruktur yang terpadu antar kawasan pengembangan dan pusat
pertumbuhan, sehingga berdampak pada meningkatnya efisiensi dan
efektivitas sistem koleksi dan distribusi untuk menciptakan perdagangan yang
kondusif dan dinamis.

Selain ditinjau dari Kebijakan Pemerintah Pusat (RPJMN 2015-2019), tinjauan


permasalahan dan potensi investasi di Papua serta kondisi di lapangan,
pengembangan kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus di Papua juga perlu
mempertimbangkan pengembangan konsep Tol Laut yang akan diterapkan di Papua
maupun Papua Barat. Konsep Tol Laut adalah rencana untuk mewujudkan konektivitas
laut yang efektif berupa adanya kapal yang melayari secara rutin dan terjadwal dari
barat sampai ke timur Indonesia. Rencana ini memiliki peran yang sangat strategis
dalam mempercepat pembangunan ekonomi di Papua. Saat ini telah diidentifikasi dua
Pelabuhan Utama, yaitu di Sorong dan Jayapura sebagai hub utama jalur tol laut dari
wilayah barat dan tengah. Di samping itu, akan dikembangkan 10 pelabuhan
penyeberangan sebagai penghubung antara pelabuhan hub utama dengan wilayah lain

di Papua. Tol laut pada tahap awal diterapkan melalui kapal multi purpose antara lain dari PT.
PELNI (KM Cermai, KM Dempo, KM Dobonsolo), armada kapal nasional di Kawsan Papua dan
Papua Barat yang telah terjadwal (missal : Sorong-Waisai, Sorong- Bau-Bau, Sorong-Manokwari
Manokwari Jayapura dll), serta beberapa liners nasional.

Pembangunan Kawasan Industri dan Kawasan Ekonomi Khusus di Provinsi Papua dan Papua
Barat mayoritas diarahkan pada pembangunan di kawasan pesisir Pulau Papua dengan
membangun bangkitan di masing-masing wilayah kawasan yang telah diarahkan melalui RPJMN
dan didukung dengan infrastruktur terpadu terutama keberadaan Pelabuhan untuk mewujudkan
konsep Tol Laut di Papua. Selain itu, pembangunan kawasan industri/KEK ini juga harus ditunjang
dengan beberapa hal lain seperti:
1. Infrastruktur dasar;
2. Peningkatan Kapasitas Pelabuhan laut dan Udara;
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
3. Kapasitas jalan lintas antar daerah;
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 35 RINGKASAN EKSEKUTIF

4. Pembiayaan alternatif infrastruktur daerah;


5. Pembangkit listrik dan pengolahan air bersih;
6. Pelayanan terpadu satu pintu;
7. Koordinasi antar lembaga dalam investasi;
8. Sosialisasi pada investor;
9. Standarisasi biaya perijinan usaha.

2.10. Program Terobosan dan Quick Wins

Dengan permasalahan dan cakupan pekerajaan yang sangat besar dan luas, diperlukan
terobosan dan program-program yang bersifat quick wins, yang dalam waktu relatif singkat dapat
menunjukkan hasil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa program
quick wins yang telah disusun pemerintah:

1. Konektivitas Wilayah dan Sistem Logistik Papua.

Prioritas pembangunan infrastruktur dalam rangka konektivitas wilayah dan sistem logistik
Papua adalah:

1. Revitalisasi Bandara Frans Kaisiepo Biak sebagai Hub Internasional - Kawasan Pasifik
dan Hub Regional Maluku-Papua.
2. Prioritas Pelabuhan Internasional Sorong terintegrasi dengan kawasan Industri "Free
Economic Zone”.
3. Pelayaran Rakyat Sorong-Pelabuhan Kolektor.

Sedangkan program prioritas yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 adalah:
1. Pengembangan (re-aktivasi) Bandara Frans Kaisiepo Biak
2. Pengembangan Bandara Waghete
3. Pengembangan Bandara Mopah
4. Pengembangan Bandara Wamena
5. Pengembangan Bandara Kambuaya
6. Pengembangan Bandara Mozes Kilangin
LAPORAN PELAKSANAAN
7. TUGAS TIM
Pengembangan KAJIANMindiptana
Bandara KEBIJAKAN PENGELOLAAN
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
8. Pengembangan pelabuhan utama Sorong
Hal. II- 36 RINGKASAN EKSEKUTIF

9. Pengembangan pelabuhan Merauke


10. Pengembangan pelabuhan Pomako
11. Penambahan kapasitas kargo Pelabuhan Laut Pomako, Timika
12. Pengembangan pelabuhan terminal agribisnis dan pergudangan Depapre
13. Pengembangan pelabuhan ekspor-impor Depapre, Jayapura
14. Pengembangan pelabuhan ekspor Serapuh dan Wogikel, Merauke

2. Percepatan Pembangunan Trans Papua

Dalam rangka percepatan pembangunan Trans Papua, berikut ini adalah beberapa hal yang
perlu dilakukan:

1. Revitalisasi Kerjasama PUPR-TNI-Pemprov (Satuan Tugas Jalan - multi kewenangan)


2. Penyediaan Moda Transportasi Publik di Jalan Trans Papua (yang handal dalam
menghadapi kondisi geografis).
3. Pembangunan Ruas Jalan Pesisir-Pegunungan.

4. Revitalisasi "Remote Postal Office” + Public Storage di Daerah Terisolir di sekitar Trans
Papua.

Ruas jalan prioritas dalam rangka pembangunan Trans Papua adalah:


1. Merauke - Tanah Merah - Oksibil (jalur perbatasan selatan).
2. Nabire - Enarotali - Timika (jalur tengah tenggara).
3. Manokwari - Ayamaru - Sorong (jalur pesisir barat).
4. Keerom - Tengon - Wamena (lajur tengah timur).

3. Penyediaan Infrastruktur Dasar dan Lapangan Kerja.

Dalam rangka penyediaan infrastruktur dasar serta penciptaan lapangan kerja, berikut adalah
program quick wins yang telah dicanangkan adalah:

1. Penyediaan Terintegrasi Sumber Air + Listrik Desa + Desa Dering


2. Penyediaan Sistem Ketenagalistrikan, terdiri dari beberapa kegiatan sebagai berikut:
• Pemanfaatan Kuota Gas Tangguh untuk Pemerintah
• Sistem Transmisi Segitiga Manokwari - Sorong - Bintuni.
LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN
• Pemanfaatan Potensi Hydropower (Urumuka, Baliem, Mamberamo, dst)
SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 37 RINGKASAN EKSEKUTIF

• Sistem Transmisi Jayapura - Wamena dan Nabire - Timika.


3. Value Chain Ukm : Pelatihan Wira Usaha - Pasar Hasil Hutan Bukan Kayu Papua +
Perdagangan Antar Pulau-Internasional, dengan program prioritas adalah sebagai
berikut:
• Papua Culture Centre di setiap kabupaten, sebagai pusat kegiatan Lembaga Adat dan
Majelis Rakyat.
• Promosi Tiket Murah dan Paket Wisata Promosi ke Papua.
• Pengembangan World Class Resort di Papua.

2.11. Usulan Tindak Lanjut

Dalam Rapat Terbatas Kabinet tanggal 3 Desember 2015, terkait dengan pembangunan di Papua,
Presiden menyampaikan arahan sebagai berikut:

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 38 RINGKASAN EKSEKUTIF

1. Program pembangunan harus membumi dan sesuai keinginan rakyat Papua.


2. Pelaksanaan program pembangunan harus disesuaikan dengan tipikal alam dan masyarakat
Papua.
3. Pendekatan kepada masyarakat melalui lembaga adat, bersifat antropologis dan
holistik-terintegrasi.
4. Pelaku korupsi dana pembangunan di Papua harus ditindak tegas.
5. Menteri PPN/Ka. Bappenas segera melakukan workshop atau rapat dengan para Menteri
untuk program tahun 2016 di Papua. Kegiatan bersifat partisipatif dengan program yang
holistik dan menyentuh langsung rakyat. Hasil kegiatan dilaporkan kepada Presiden.

Berdasarkan arahan tersebut, berikut ini adalah desain penyusunan rencana teknokratik
pembangunan Papua:
• Prinsip: start small and realistic, quick wins sebagai
Identifikasi
Program i
Koordinasi
Teknis 1r Penetapan
Kebijakan dan
Strategis K/L
Refocusing I
Kegiatan K/L
Pelaksana O Program
2016
untuk Lokasi
Kegiatan 1l Pendukung
Prioritas
bukti awal komitmen membangun Papua melalui
program terpadu.
• Diawali dengan kegiatan Quick Wins percontohan di
lokasi terpilih, berbasis wilayah adat.
• Rencana K/L 2016 yang terkait kegiatan prioritas
dikelola secara terfokus oleh Tim Pendamping.
• Kebutuhan kegiatan yang belum direncanakan oleh
K/L akan diajukan dalam perubahan APBN 2016 dan
rencana tahun 2017.

Kegiatan di tahun 2016 diawali dengan proses identifikasi program strategis yang dimiliki
Tim Percepatan Pembangunan Papua (Menteri & Gubernur)

Gambar 2. 8 Desain penyusunan rencana Teknokratik pembangunan


Papua
Kementerian dan Lembaga untuk pembangunan Papua. Hasil identifikasi tersebut diintegrasikan

dengan lokasi kegiatan percontohan yang berdasarkan pengembangan wilayah adat di Papua.
Selanjutnya akan dilaksanakan sinkronisasi dan refocusing

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA
Hal. II- 39 RINGKASAN EKSEKUTIF

kegiatan dari Kementerian/Lembaga untuk wilayah yang menjadi prioritas, untuk menjamin
percepatan pengembangan kawasan percontohan yang sudah ditetapkan. Selanjutnya akan
dilaksanakan koordinasi teknis di tingkat lapangan agar implementasi kegiatan dapat memenuhi
sasaran dan kualitas yang direncanakan. Di samping itu, akan dilakukan identifikasi terhadap
kebutuhan pelaksanaan kegiatan strategis yang belum masuk dalam program pembangunan
tahun 2016, untuk selanjutnya akan diusulkan dalam perubahan APBN 2016 dan penyusunan
rencana pembangunan tahun 2017.

LAPORAN PELAKSANAAN TUGAS TIM KAJIAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN


SUMBER DAYA ALAM BAGI PEMBANGUNAN EKONOMI PAPUA

You might also like