Refer at

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Hiperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar


deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih
dari presentil 90. Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis
yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% neonatus
cukup bulan kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabkan oleh
keadaan ini. Insiden hiperbilirubinemia di Amerika 65%, Malaysia 75%,
sedangkan Surabaya 30% pada tahun 2000, dan 13% pada tahun 2002. Ikterus
atau Jaundice terjadi akibat akumulasi bilirubin dalam darah sehingga kulit,
mukosa, dan atau sklera bayi tampak kekuningan. Hal tersebut disebabkan
karena adanya akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih.
Hiperbilirubinemia merupakan istilah yang sering dipakai untuk ikterus
neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar
bilirubin. Ikterus akan tampak secara visual jika kadar bilirubin lebih dari 5-7
mg/dl.
Hiperbilirubin merupakan keadaan yang umum terjadi pada bayi preterm
maupun aterm. Peningkatan kadar bilirubin > 2 mg/dL sering ditemukan hari
hari pertama setelah lahir. 60% neonatus yang sehat mengalami Ikterus. Pada
umumnya,peningkatan kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan
pengobatan. Namun beberapa kasus berhubungan dengan dengan beberapa
penyakit, seperti penyakit hemolitik, kelainan metabolisme dan endokrin,
kelainan hati dan infeksi. Pada kadar lebih dari 20mg/dL, bilirubin dapat
menembus sawar otak sehingga bersifat toksik terhadap sel otak. Kondisi
hiperbilirubinemia yang tak terkontrol dan kurang penanganan yang baik dapat
menimbulkan komplikasi yang berat seperti bilirubin ensefalopati dan kernikterus
akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat dimana pada tahap lanjut dapat
menjadi athetoid cerebral palsy yang berat. Penelitian bertujuan mengetahui bebearapa
faktor risiko ( infeksi pada ibu, adanya riwayat obstetri ketuban pecah dini, air ketuban
keruh, dan eksklusifitas pemberian ASI ) terhadap hiperbilirubinemia pada neonatus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Hiperbilirubinemia
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit
(terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan
tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dL (>17 µmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin >5 mg/dL (>86 µmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis
yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excessive
Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological
Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram
Bhutani.

Kadar bilirubin terhadap usia neonatus


B. METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak
75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme di hepar (enzim sitokrom, katalase, dan heme
bebas), mioglobin otot, serta eritropoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang. Metabolisme
bilirubin terdiri dari tahapan.
1. Transport bilirubin
2. Pengambilan bilirubin oleh sel hati
3. Konjugasi
4. Sekresi bilirubin terkonjugasi
5. Sirkulasi enterohepatik
Langkah oksidasi yang pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan
bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati
dan organ lain. Pada reaksi tersebut juga terbentuk besi yang digunakan kembali untuk
pembentukan hemoglobin dan karbon monoksida (CO) yang dieksresikan ke dalam paru.
Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin
bersifat larut dalam air secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin
reduktase. Berbeda dengan biliverdin, bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta
pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengeksresikan, diperlukan mekanisme
transport dan eliminasi bilirubin.
Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolisme heme
haemoglobin dari eritrosit sirkulasi. 1 gram haemoglobin akan menghasilkan 34 mg bilirubin dan
sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan heamoglobin karena
eritropoiesis yang tidak efektif di dalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme
(mioglobin, sitokrom, katalase, peroksidase), dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi
8-10 mg/kgBB/hari, sedangkan orang dewasa sekitar 3-4 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi
bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit bayi lebih pendek (70-90 hari)
dibandingkan dengan orang dewasa (120 hari), peningkatan degradasi heme, turn over sitokrom
yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat melalui sirkulasi
enterohepatik.
1. Transport bilirubin
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir
mempunyai kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena
konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin
yang berikatan dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan
bersifat non toksik. Selain itu, albumin juga mempunyai afinitas tinggi terhadap obat-
obatan bersifat asam seperti penisilin dan sulfonamid. Obat-obatan tersebut akan
menempati tempat utama perlekatan albumin untuk bilirubin sehingga bersifat
kompetitor serta dapat pula melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin. Obat-
obatan yang dapat melepaskan bilirubin dari albumin dengan cara menurunkan
afinitas albumin adalah digoksin, gentamisin, furosemid, dll. Bilirubin dalam serum
terdapat dalam 4 bentuk yang berbeda, yaitu:
a. Bilirubin tak terkonjugasi yang terikat dengan albumin dan membentuk
sebagian besar bilirubin tak terkonjugasi dalam serum
b. Bilirubin bebas
c. Bilirubin terkonjugasi (terutama monoglukoronida dan diglukoronida)
yaitu bilirubin yang siap diekskresikan melalui ginjal atau sistem bilier.
d. Bilirubin terkonjugasi yang terikat dengan albumin serum (δ-bilirubin)
Pada 2 minggu pertama kehidupan, δ-bilirubin tidak akan tampak.
Peningkatan kadar δ-bilirubin secara signifikan dapat ditemukan pada
bayi baru lahir normal yang lebih tua dan pada anak. Konsentrasinya
meningkat bermakna pada keadaan hiperbilirubinemia terkonjugasi
persisten karena berbagai kelainan pada hati.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit,
albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin ditransfer melalui sel
membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein
ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke
sirkulasi, dari sintesis de novo, resirkulasi enterohepatik, perpindahan bilirubin antar
jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan
menentukan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan
normal ataupun tidak normal.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Penelitian menunjukkan hal
ini terjadi karena adanya defisiensi ligandin, tetapi hal itu tidak begitu penting
dibandingkan dengan defisiensi konjugasi bilirubin dalam menghambat transfer
bilirubin dari darah ke empedu selama 3-4 hari pertama kehidupan.
2. Konjugasi Bilirubin
Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate
glucoronyl transferase (UDPG-T). Katalisa oleh enzim ini akan mengubah formasi
menjadi bilirubin monoglukoronida yang selanjutnya akan dikonjugasi menjadi
bilirubin diglukoronida. Bilirubin ini kemudian dieksresikan ke dalam kanalikulus
empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke dalam
retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan
beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak
terkonjugasi seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang
tertahan adalah bilirubin monoglukoronida.
3. Ekskresi (Sekresi ) Bilirubin dan Sirkulasi Enterohepatik
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam
kandung empedu kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feses.
Proses ekskresinya sendiri merupakan proses yang memerlukan energi. Setelah
berada di usus halus, bilurubin terkonjugasi tidak langsung diresorbsi, kecuali jika
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-
glukoronidase yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran
cerna dan kembali ke hati untuk dikonjugasi kembali disebut sirkulasi enterohepatik.
Terdapat perbedaaan antara bayi baru lahir dan orang dewasa, yaitu pada mukosa
usus halus dan feses bayi baru lahir mengandung enzim β-glukoronidase yang dapat
mengidrolisia monoglukoronida dan diglukoronida kembali menjadi bilirubin yang
tak terkonjugasi yang selanjutnya dapat diabsorbsi kembali. Selain itu pada bayi baru
lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah
menjadi sterkobilin.
Bayi baru lahir mempunyasi konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi yang relatif
tinggi di dalam usus yang berasal dari produksi bilirubin yang meningkat, hidrolisis
bilirubin glukoronida yang berlebih dan konsentrasi bilirubin yang tinggi ditemukan
di dalam mekonium. Pada bayi baru lahir, kekurangan relatif flora bakteri untuk
mengurangi bilirubin menjadi urobilinogen lebih lanjut akan meningkatkan pool
bilirubin usus dibandingkan dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa.
Peningkatan hidrolisis bilirubin konjugasi pada bayi baru lahir diperkuat oleh
aktivitas β-glukoronidase mukosa yang tinggi dan ekskresi monoglukoronida
terkonjugasi. Pemberian substansi oral yang tidak larut seperti agar atau arang aktif
yang dapat mengikat bilirubin akan meningkatkan kadar bilirubin tinja dan
mengurangi kadar bilirubin serum, hal ini menggambarkan peran kontribusi sirkulasi
enterohepatik pada keadaan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi pada bayi baru lahir.1

C. IKTERUS NEONATORUM (NEONATAL JAUNDICE)


Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatarum adalah keadaan
klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi
bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa
pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran
kadar bilirubin serum total.
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan timbul
segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan bilirubin dari
sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami peningkatan
bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya bilirubin serum kulit menjadi jaundice
dengan urutan sefalo-kaudal. Mula-mula ikterus tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke
telapak tangan dan telapak kaki. Hal ini ditentukan oleh kramer yang menentukan kadar bilirubin
indirek di dalam serum.
a. Kramer 1: kepala-leher = 4-8 mg/dl
b. Kramer 2: tubuh sebelah atas = 5-12 mg/dl
c. Kramer 3: tubuh sebelah bawah dan paha = 8-16 mg/dl
d. Kramer 4: lengan dan tungkai bawah = 11-18 mg/dl
e. Kramer 5: telapak tangan dan telapak kaki = > 15 mg/dl

Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.

D. KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubin pun
biasanya tidak > 10 mg/dL (171 µmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205
µmol/L) pada bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu
berlebihan atau konjugasi hepar menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu,
misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan
terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah
dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus
patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini juga
merupakan penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan ini
adalah diagnosis eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab
lain yang lebih serius, seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik (Marcdante,
Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan
bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Faktor yang berhubungan dengan
ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
a. Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin

b. Peningkatan resirkulasi melalui Peningkatan aktifitas β-glukoronidase


enterohepatik shunt Tidak adanya flora bakteri
Pengeluaran mekonium yang terlambat
Penurunan bilirubin clearance
a. Penurunan clearance dari plasma Defisiensi protein karier
b. Penurunan metabolisme hepatik Penurunan aktifitas UDPGT
Adapun tanda-tandanya adalah:
a. Timbul pada hari kedua dan ketiga
b. Kadar bilirubin indirek puncak tidak lebih dari 12 mg/dL pada hari ke-3
kehidupan.
c. Pada bayi prematur kadar bilirubin indirek puncak ini lebih tinggi yaitu 15
mg/dL dan lambat (hari kelima).
d. Kadar puncak bilirubin indirek selama periode ikterus fisiologis lebih tinggi
pada bayi yang mendapat ASI daripada susu formula (15 sampai 17 mg/dL vs 12
mg/dL). Kadar yang lebih tinggi ini mungkin terjadi karena kurangnya asupan
cairan pada bayi ASI .
e. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5% per hari.
f. Kadar bilirubin direk tidak melebihi 1 mg%.
g. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
h. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis.

Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi dengan
aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden
yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama
kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar
bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat
mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pemberian ASI merupakan faktor yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Bayi-
bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan
bayi-bayi yang mendapat susu formula. Hal ini terjadi karena diduga sirkulasi bilirubin
enterohepatik dapat dipicu oleh glukoronidase atau zat lain dalam ASI yang menyebabkan
kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase hepatik. Faktor lain yang
berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI antara lain intake kalori, intake
cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase mekonium, flora intestinal, dan
hambatan bilirubin glukoronil transferase oleh suatu faktor dalam susu yang tidak dapat
diidentifikasi.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early
onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor spesifik
dari ASI yaitu: 2α-20β-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT atau pelepasan
bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian
melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat
peningkatan asam lemak unsaturated; atau β-glukorunidase atau adanya faktor lain yang
mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan, bilirubin
direk lebih dari 1,5 mg/dL.
c. Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Hepatosplenomegali dan anemia
f. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.

E. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Selain itu,
neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena empedu neonatus
mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah
dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase dalam
lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang
mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora
intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid dan mekonium.
Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (penyakit Hirschprung, ileus
mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia.
Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih rendah.

F. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh
bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air
bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila
kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa
adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.

G. DIAGNOSIS
Anamnesis
a. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (G6PD)
b. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia, deifisiensi
alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar
tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
c. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
d. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau –toksoplasma
e. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin
dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi
G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
f. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --hemolisis.
Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat
dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
g. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
h. Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.

1) Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal
ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen,
dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun
demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan
peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini
tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis.
2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens
pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun
pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat
mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun
secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan
berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-
milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme
sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase
(UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang
ada di dalam ASI sebagian ibu.

Pemeriksaan fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan cahaya
matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian
inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin
serum. Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
a. Prematuritas
b. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
c. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
d. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
e. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
f. Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
g. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau penyakit
hati
h. Omfalitis
i. Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
j. Tanda hipotiroid

Pemeriksaan penunjang
a. Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus
menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
b. Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit
dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.
c. Golongan darah, Rhesus, dan --direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah lahir.
d. Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
e. Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk --
mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis,
defek metabolik, atau hipotiroid.

Pencegahan dan Tatalaksana


Pencegahan dititik beratkan pada pemberian minum sesegera mungkin, sering menyusui
untuk menurunkan shunt enterohepatik, menunjang kestabilan bakteri flora normal, dan
merangsang aktifitas usus halus. Strategi Pencegahan hiperbilirubinemia:
a. Pencegahan primer
1) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari
beberapa hari pertama
2) Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dextrose atau air pada bayi
yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi
b. Pencegahan sekunder
1) Harus melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya
hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal
Golongan darah : semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO
dan rhesus
a) Bila golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, dilakukan
pemeriksaan antibody direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh
darah tali pusat bayi
b) Bila golongan darah ibu O, Rh positif terdapat pilihan untuk dilakukan
tes golongan darah dan tes Coombs atau tidak.
Penilaian klinis : harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin
dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol bayi secara
rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus
c. Evaluasi laboratorium
1) Pengukuran bilirubin dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus
dalam 24 jam pertama setelah lahir.
2) Pengukuran bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus berlebihan
3) Semua kadar bilirubin harus diinterpretasikan sesuai dengan umur bayi dalam
jam
d. Penyebab kuning
1) Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus
dilakukan analisis dan kultur urin.
2) Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan
pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk
mengidentifikasi adanya kolestasis
3) Bila kadar bilirubin direk atau konjugasi meningkat, dilakukan evaluasi
tambahan untuk mencari penyebab kolestasis
4) Pemeriksaan terhadap kadar glucose-6-phosphatase dehydrogenase (G6PD)
direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi.
e. Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan
Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko
berkembangnya hiperbilirubinemia berat berdasarkan kadar bilirubin atau
berdasarkan penilaian faktor klinis. Penilaian ini penting pada bayi yang pulang
sebelum umur 72 jam.
f. Kebijakan dan prosedur rumah sakit
Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orang tua saat keluar RS.
Semua bayi harus diperiksa oleh petugas beberapa hari setelah keluar RS :
Bayi keluar RS Harus dilihat saat umur
Sebelum umur 24 jam 72 jam
Antara umur 24 dan 47.9 jam 96 jam
Antara umur 48-72 jam 120 jam
Untuk bayi yang dipulangkan sebelum 48 jam diperlukan 2 kunjungan yaitu yang
pertama antara 24-72 jam dan kedua antara 72-120 jam.
g. Pengelolaan bayi dengan ikterus
Pengelolaan bayi ikterus dini (early jaundice) yang mendapat ASI
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses tidak keluar dalam 24 jam
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui sering dengan
waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui lama dengan
frekuensi jarang.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dextrosa atau formula pengganti
4. Observasi berat badan, BAK, dan BAB
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dL, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran produk ASI dengan cara memompa, dan menggunakan
fototerapi
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas
ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan
jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat >20 mg/dL atau ibu
memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

Hiperbilirubinemia merupakan alasan paling sering bayi dibawa kembali ke


rumah sakit pada umur beberapa minggu. Langkah paling penting penanganan jaundice
adalah menentukan penyebabnya. Selain itu, tujuan utama dalam penatalakasannanya
adalah untuk mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menimbulkan kernikterus. Jika fraksi bilirubin tak terkonjugasi meningkat, langkah-
langkah penangangan harus diambil adalah mencegah pemberian zat-zat pengikat albumin.
Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi
bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang
terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal).
Obat-obatan seperti sulfonamid dan seftriakson diketahui dapat menggeser
bilirubin sehingga potensial untuk menyebabkan bilirubin ensefalopati. Untuk itu pilihan
terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain foto terapi,
exchange transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.
Penggunaan farmakoterapi
Digunakan untuk mengelola hiperbilirubinemia dengan merangsang induksi enzim-enzim
hati dan protein pembawa, guna mempengaruhi penghancuran heme, atau untuk mengikat
bilirubin dalam usus halus sehingga reabsorpsi enterohepatik menurun, antara lain:
a. Immunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi-bayi dengan Rh yang berat
dan inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan
tindakan transfusi ganti.
b. Fenobarbital memperlihatkan hasil lebih efektif, merangsang aktivitas dan
konsentrasi UDPGT dan ligandin serta dapat meningkatkan jumlah tempat ikatan
bilirubin. Namun secara umum tidak direkomendasikan digunakan setelah lahir.
c. Metalloprotoporphyrin untuk mencegah hiperbilirubinemia. Zat ini analog sintesis
heme. Protoporphyrin terbukti efektif sebagai inhibitor kompetitif dari heme
oksigenase. Enzim ini dibutuhkan untuk katabolisme heme menjadi biliverdin.
Dengan zat ini heme dicegah dari katabolisme dan diekskresikan secarah utuh
dalam empedu.
Terapi Sinar (Fototerapi)
Fototerapi terdiri dari sinar radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang akan
merubah struktur molekul bilirubin. Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh
Cremer sejak 1958. Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut.
Teori terbaru mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi
bilirubin. Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini mudah
larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran empedu.
Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan
empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan bilirubin akan lebih cepat
meninggalkan usus halus. Terapi sinar dilakukan pada semua penderita dengan kadar bilirubin
indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses hemolisis yang ditandai dengan adanya
ikterus pada hari pertama kelahiran. Secara umum fototerapi digunakan untuk mencegah agar
bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange transfusion. Pada penderita yang
direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum dan sesudah transfusi
dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu neon yang
diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berventilasi. Agar bayi mendapatkan
energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan pada jarak tertentu dan
bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang berfungsi untuk menahan sinar
ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran. Gantilah lampu setiap 2000 jam atau
setelah penggunaan 3 bulan walau lampu masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau
inkubator dan pasang tirai mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan
kembali sinar sebanyak mungkin ke arah bayi.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus tampaknya lebih
baik daripada sinar putih atau hijau. Saat ini tersedia fototerapi dengan menggunakan woven
fibrotic pads yang efektif (dibandingkan dengan foto konvensional) dan aman.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah setiap 6-8
jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua mata ditutup namun
gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar bilirubin dan hemoglobin bayi di
pantau secara berkala dan terapi dihentikan apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 µmol/L).
Lamanya penyinaran biasanya tidak melebihi 100 jam Penghentian atau peninjauan kembali
penyinaran juga dilakukan apabila ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek
samping yang perlu diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit,
gangguan minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan
kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya diperbaiki.
Komplikasi Foto terapi
Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut yang terlihat selama
ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan memperhatikan tata cara
pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan yang mungkin timbul pada terapi
sinar antara lain :
a. Peningkatan “insensible water loss” pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada
bayi yang kurnag bulan. Kehilangan ini dapat meningkat 2-3 kali lebih besar dari
keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita dengan terapi sinar
perlu diperhatikan dengan sebaiknya.
b. Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini,
antara lain karena meningkatnya peristaltik usus. Diare tersebut merupakan akibat
efek sekunder yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya
bilirubin indirek pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan
mengurangi timbulnya diare.
c. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut “flea bite rash” di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada
beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome. Hal
ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan dengan segera hasil terapi
sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini tidak mempengaruhi
proses tumbuh kembang bayi.
d. Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percobaan
Penelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya perubahan fungsi
mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya masih
diteruskan.
e. Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan
pertumbuhan. Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis tidak dapat
menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi sinar.
Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan indikasi
yang tepat selama waktu yang diperlukan.
f. Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin
memperlihatkan kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan
dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.
g. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.
h. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi. Komplikasi
segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat penggunaannya.
Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat tersendiri dalam
penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)


Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan cepat
bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti eritrosit yang
telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan hemolisis.
Indikasi exchange transfusion beragam dan dapat berhubungan dengan adanya
anemia maupun peningkatan kadar bilirubin serum dan walaupun transfusi tukar ini sangat
bermanfaat, tetapi efek samping dan komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan
dan karenanya tindakan hanya dilakukan bila ada indikasi Kriteria melakukan transfusi tukar
selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin. Yang
dimaksud ada komplikasi apabila :
a. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
b. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
c. pH < 7,15 selama 1 jam

d. Suhu rektal ≤ 35 o C
e. Serum Albumin < 2,5 g/dL
f. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
g. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
h. Anemia hemolitik
i. Berat bayi ≤ 1000 g

Penanganan ikterus berdasarkan kadar serum bilirubin.

Terapi sinar Transfusi tukar


Usia

Bayi sehat Faktor Risiko* Bayi sehat Faktor Risiko*


mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L mg/dL µmol/L
Hari 1 Setiap ikterus yang terlihat 15 260 13 220
Hari 2 15 260 13 220 25 425 15 260
Hari 3 18 310 16 270 30 510 20 340
Hari4 dst 20 340 17 290 30 510 20 340

Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah
golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,
sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila
hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
a. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi.
b. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65% Hb bayi.
c. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
d. Volume Darah pada Transfusi Tukar
* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB
* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang dilengkapi
peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu
lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti
asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung. Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia
berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau
transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil
(‘transportable’) dengan memperhatikan syarat- syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.

Pemutusan Sirkulasi Enterohepatik


Adapun pendekatan farmakologis untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia
neonatal, sirkulasi enterohepatik dapat diinterupsi dengan pemberian parenteral. Zat-zat yang dapat
mengikat bilirubin dalam intestinum mencegah resorbsi zat-zat ini antara lain adalah agar,
kolestiramin, charcoal aktif, dan kalsium fosfat. Mungkin akan meningkatkan peristaltik usus
sebagai suatu upaya untuk mempersingkat waktu absorbsi bilirubin. Pemberian makanan yang
sering dan stimulasi rektal berhubungan dengan penurunan kadar bilirubin serum. Pemberian
bilirubin oksidase parenteral, suatu enzim yang memecah bilirubin menjadi biliverdin, diperol dan
produk lainnya, merupakan cara lain untuk menghambat sirkulasi enterohepatik, yang sampai saat
ini masih diuji coba.
Induksi Enzim
Aktivitas BUGT hepatik neonatal masih rendah, tidaklah mengherankan bahwa induksi
BUGT hepatik menyebabkan penurunan kadar bilirubin. Induksi semacam ini pada neonatus dapat
dilakukan dengan pemberian fenobarbital atau difenilhidantoin pada ibu sebelum melahirkan,
bahkan bayi dengan berat badan lahir rendah (<2000 gram) memberikan respons terhadap terapi
fenobarbital in utero dengan peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi serum dan penurunan
kebutuhan fototerapi.
Optimalisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin
meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2 jam dan
tidak memberikan makanan tambahan atau setidaknya 8-10x per 24 jam. Ada hubungan yang jelas
antara frekuensi menyusui dengan penurunan insidensi hiperbilirubinemia. Pemberian yang sering
mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi akan meningkatkan peristaltik dan frekuensi BAB
sehingga meningkatkan ekskresi bilirubin. Pemberian ASI dalam 24 jam pertama berhubungan
nyata dengan frekuensi pasase mekonium.
BAB III
KESIMPULAN

Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10
mg % pada minggu pertama yang ditendai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain.
Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus, yaitu keadaan kerusakan pada otak
akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. Hiperbilirubin ini keadaan fisiologis (terdapat
pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonates kurang bulan).
Hiperbilirubin ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu dan prematuritas. Selain itu,
asupan ASI pada bayi juga dapat mempengaruhi kadar bilirubin dalam darah
DAFTAR PUSTAKA

1. Abdurrahman. S, Hiperbilirubinemia dalam A. Y. M. Sholeh Kosim, Buku Ajar Neonatologi.


Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal. 147-169)
2. Etika, R., Harianto, A., Indarso, F., & Damanik, S. M. (t.thn.). HIPERBILIRUBINEMIA PADA
NEONATUS (HYPERBILIRUBINEMIA IN NEONATE). Divisi Neonatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr. Soetomo - Surabaya , 1-14.
3. Pudjiadi Antonius. H, Hegar. B, dkk. Hiperbilirubinemia dalam Pedoman Pelayanan Medis.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. (hal 114-122 )
4. (2014). Anemia dan Hiperbilirubinemia. Dalam K. J. Marcdante, R. M. Kliegman, H. B. Jenson,
& R. E. Behrman, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial (Indonesian Edition) (hal. 274-277).
5. Martiza, I.). Ikterus. Dalam M. Juffrie, S. S. Soenarto, H. Oswari, S. Arief, I. Rosalina, & N. S.
Mulyani, Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. 2012. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.
(hal. 263-284)
6. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on Hyperbilirubinemia. Management
of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics 2004 ;
114 : 294

You might also like