Professional Documents
Culture Documents
Refer at
Refer at
Refer at
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
A. Definisi Hiperbilirubinemia
Ikterus (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit
(terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan
tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dL (>17 µmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin >5 mg/dL (>86 µmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia fisiologis
yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non patologis sehingga disebut ‘Excessive
Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological
Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus > 95 % menurut Normogram
Bhutani.
Cara untuk melihat jaundice adalah dengan cara menekan kulit secara hati-hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup.
D. KLASIFIKASI
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-hari
pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang
lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya pada
hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar bilirubin pun
biasanya tidak > 10 mg/dL (171 µmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12 mg/dL (205
µmol/L) pada bayi cukup bulan. Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu
berlebihan atau konjugasi hepar menurun sehingga terjadi akumulasi di dalam darah.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu,
misalnya kerusakan sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan
terjadinya kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah
dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Berikut adalah perbedaan ikterus fisiologi dan ikterus
patologis:
1. Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang bulan
maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan. Ikterus jenis ini juga
merupakan penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir. Keadaan ini
adalah diagnosis eksklusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab
lain yang lebih serius, seperti hemolisis, infeksi, dan penyakit metabolik (Marcdante,
Kliegman, Jenson, & Behrman, 2014). Peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi
dalam sirkulasi bayi baru lahir disebabkan oleh kombinasi peningkatan ketersediaan
bilirubin dan penurunan clearance bilirubin. Faktor yang berhubungan dengan
ikterus fisiologis:
Dasar Penyebab
Peningkatan bilirubin yang tersedia
a. Peningkatan produksi bilirubin Peningkatan sel darah merah
Penurunan umur sel darah merah
Peningkatan early bilirubin
Pada bayi yang diberi minum lebih awal atau diberi minum lebih sering dan bayi dengan
aspirasi mekonium atau pengeluaran mekonium lebih awal cenderung mempunyai insiden
yang rendah untuk terjadinya ikterus fisiologis. Pada bayi yang diberi minum susu formula
cenderung mengeluarkan bilirubin lebih banyak pada mekoniumnya selama 3 hari pertama
kehidupan jika dibandingkan dengan yang mendapat ASI. Bayi yang mendapat ASI, kadar
bilirubin cenderung lebih rendah pada yang defekasinya lebih sering. Bayi yang terlambat
mengeluarkan mekonium lebih sering terjadi ikterus fisiologis.
Pemberian ASI merupakan faktor yang berhubungan dengan neonatal jaundice. Bayi-
bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi dibandingkan
bayi-bayi yang mendapat susu formula. Hal ini terjadi karena diduga sirkulasi bilirubin
enterohepatik dapat dipicu oleh glukoronidase atau zat lain dalam ASI yang menyebabkan
kadar lemak bebas yang dapat menghambat glukoroniltransferase hepatik. Faktor lain yang
berhubungan dengan jaundice pada bayi yang mendapat ASI antara lain intake kalori, intake
cairan, penurunan berat badan, keterlambatan pasase mekonium, flora intestinal, dan
hambatan bilirubin glukoronil transferase oleh suatu faktor dalam susu yang tidak dapat
diidentifikasi.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early
onset diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum. Bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang memperngaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Penyebab late onset tidak diketahui, tetapi telah dihubungkan dengan adanya faktor spesifik
dari ASI yaitu: 2α-20β-pregnanediol yang mempengaruhi aktivitas UDPGT atau pelepasan
bilirubin konjugasi dari hepatosit; peningkatan aktifitas lipoprotein lipase yang kemudian
melepaskan asam lemak bebas ke dalam usus halus; penghambatan konjugasi akibat
peningkatan asam lemak unsaturated; atau β-glukorunidase atau adanya faktor lain yang
mungkin menyebabkan peningkatan jalur enterohepatik.
2. Ikterus Patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar
bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-
tandanya sebagai berikut:
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar puncak bilirubin melebihi 13 mg/dL pada neonatus cukup bulan, bilirubin
direk lebih dari 1,5 mg/dL.
c. Peningkatan kadar bilirubin lebih dari 0,5 mg/dL/jam
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Hepatosplenomegali dan anemia
f. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
g. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
E. ETIOLOGI
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh
beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk
konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau
tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase(Sindrom Criggler-Najjar). Penyebab
lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake
bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan
bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam
hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain. Selain itu,
neonatal beresiko untuk mengabsorbsi bilirubin intestinal karena empedu neonatus
mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga lebih mudah
dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase dalam
lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang
mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora
intestinal untuk mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilid dan mekonium.
Keadaan-keadaan yang memperlama pasase mekonium (penyakit Hirschprung, ileus
mekonium, meconium pluge syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia.
Pasase dini mekonium berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih rendah.
F. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar (85-90%) terjadi dari
penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain seperti mioglobin. Sel
retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan hemoglobin yang telah dibebaskan dari
sel darah merah. Sel-sel ini kemudian mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk
sintesis berikutnya dan memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air(bilirubin tak terkonjugasi, indirek). Karena
ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk diangkut dalam medium air.
Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari
albumin dan menyebabkan larutnya air dengan mengikat bilirubin ke asam glukoronat (bilirubin
terkonjugasi, direk). Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk
ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus, bilirubin diuraikan oleh
bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi sterkobilin dan
diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari usus melalui jalur
enterohepatik, dan darah porta membawanya kembali ke hati. Urobilinogen daur ulang ini
umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian
dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air
bersama urin. Pada dewasa normal level serum bilirubin <1mg/dl. Ikterus akan muncul pada
dewasa bila serum bilirubin >2mg/dl dan pada bayi yang baru lahir akan muncul ikterus bila
kadarnya >7mg/dl. Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang
melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh kegagalan
hati(karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam jumlah normal. Tanpa
adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga akan menyebabkan
hiperbilirubinemia. Pada semua keadaan ini, bilirubin tertimbun di dalam darah dan jika
konsentrasinya mencapai nilai tertentu (sekitar 2-2,5mg/dl), senyawa ini akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian menjadi kuning. Keadaan ini disebut ikterus atau jaundice.
G. DIAGNOSIS
Anamnesis
a. Riwayat keluarga ikterus, anemia, splenektomi, sferositosis, defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase (G6PD)
b. Riwayat keluarga dengan penyakit hati, menandakan kemungkinan galaktosemia, deifisiensi
alfa-1-antiripsin, tirosinosis, hipermetioninemia, penyakit Gilbert, sindrom Crigler-Najjar
tipe 1 dan II, atau fibrosis kistik
c. Riwayat saudara dengan ikterus atau anemia, mengarahkan pada kemungkinan
inkompatibilitas golongan darah atau breast-milk jaundice
d. Riwayat sakit selama kehamilan, menandakan kemungkinan infeksi virus atau –toksoplasma
e. Riwayat obat-obatan yang dikonsumsi ibu, yang berpotensi menggeser ikatan bilirubin
dengan albumin (sulfonamida) atau mengakibatkan hemolisis pada bayi dengan defisiensi
G6PD (sulfonamida, nitrofurantoin, antimalaria)
f. Riwayat persalinan traumatik yang berpotensi menyebabkan perdarahan atau --hemolisis.
Bayi asfiksia dapat mengalami hiperbilirubinemia yang disebabkan ketidakmampuan hati
memetabolisme bilirubin atau akibat perdarahan intrakranial. Keterlambatan klem tali pusat
dapat menyebabkan polisitemia neonatal dan peningkatan bilirubin.
g. Pemberian nutrisi parenteral total dapat menyebabkan hiperbilirubinemia direk
berkepanjangan.
h. Breast-milk jaundice dan breastfeeding jaundice.
1) Breastfeeding jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh kekurangan asupan ASI.
Biasanya timbul pada hari ke-2 atau ke-3 pada waktu produksi ASI belum banyak.
Untuk neonatus cukup bulan sesuai masa kehamilan (bukan bayi berat lahir rendah), hal
ini tidak perlu dikhawatirkan, karena bayi dibekali cadangan lemak coklat, glikogen,
dan cairan yang dapat mempertahankan metabolisme selama 72 jam. Walaupun
demikian keadaan ini dapat memicu terjadinya hiperbilirubinemia, yang disebabkan
peningkatan sirkulasi enterohepatik akibat kurangnya asupan ASI. Ikterus pada bayi ini
tidak selalu disebabkan oleh breastfeeding jaundice, karena dapat saja merupakan
hiperbilirubinemia fisiologis.
2) Breast-milk jaundice adalah ikterus yang disebabkan oleh air susu ibu (ASI). Insidens
pada bayi cukup bulan berkisar 2-4%. Pada sebagian besar bayi, kadar bilirubin turun
pada hari ke-4, tetapi pada breast-milk jaundice, bilirubin terus naik, bahkan dapat
mencapai 20-30 mg/dL pada usia 14 hari. Bila ASI dihentikan, bilirubin akan turun
secara drastis dalam 48 jam. Bila ASI diberikan kembali, maka bilirubin akan kembali
naik tetapi umumnya tidak akan setinggi sebelumnya. Bayi menunjukkan pertambahan
berat badan yang baik, fungsi hati normal, dan tidak terdapat bukti hemolisis. Breast-
milk jaundice dapat berulang (70%) pada kehamilan berikutnya. Mekanisme
sesungguhnya yang menyebabkan breast-milk jaundice belum diketahui, tetapi diduga
timbul akibat terhambatnya uridine diphosphoglucuronic acid glucuronyl transferase
(UDGPA) oleh hasil metabolisme progesteron, yaitu pregnane-3-alpha 2-beta-diol yang
ada di dalam ASI sebagian ibu.
Pemeriksaan fisis
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna kulit setelah
dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik dilakukan menggunakan cahaya
matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas secara sefalokaudal. Walaupun demikian
inspeksi visual tidak dapat dijadikan indikator yang andal untuk memprediksi kadar bilirubin
serum. Hal-hal yang harus dicari pada pemeriksaan fisis:
a. Prematuritas
b. Kecil masa kehamilan, kemungkinan berhubungan dengan polisitemia.
c. Tanda infeksi intrauterin, misalnya mikrosefali, kecil masa kehamilan
d. Perdarahan ekstravaskular, misalnya memar, sefalhematom
e. Pucat, berhubungan dengan anemia hemolitik atau kehilangan darah ekstravaskular
f. Petekie, berkaitan dengan infeksi kongenital, sepsis, atau eritroblastosis
g. Hepatosplenomegali, berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, atau penyakit
hati
h. Omfalitis
i. Korioretinitis, berhubungan dengan infeksi kongenital
j. Tanda hipotiroid
Pemeriksaan penunjang
a. Bilirubin serum total. Bilirubin serum direk dianjurkan untuk diperiksa bila ikterus
menetap sampai usia >2 minggu atau dicurigai adanya kolestasis.
b. Darah perifer lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi eritrosit
dan ada tidaknya hemolisis. Bila fasilitas tersedia, lengkapi dengan hitung retikulosit.
c. Golongan darah, Rhesus, dan --direct Coombs’ test dari ibu dan bayi untuk mencari
penyakit hemolitik. Bayi dari ibu dengan Rhesus negatif harus menjalani pemeriksaan
golongan darah, Rhesus, dan direct Coombs’ test segera setelah lahir.
d. Kadar enzim G6PD pada eritrosit.
e. Pada ikterus yang berkepanjangan, lakukan uji fungsi hati, pemeriksaan urin untuk --
mencari infeksi saluran kemih, serta pemeriksaan untuk mencari infeksi kongenital, sepsis,
defek metabolik, atau hipotiroid.
Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi. Komplikasi
segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat penggunaannya.
Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat tersendiri dalam
penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Suhu rektal ≤ 35 o C
e. Serum Albumin < 2,5 g/dL
f. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
g. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
h. Anemia hemolitik
i. Berat bayi ≤ 1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang akan
diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila hiperbilirubinemia yang
terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO, darah yang dipakai adalah darah
golongan O rhesus positip. Pada keadaan lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi,
sebaiknya digunakan darah yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak
memungkinkan, dapat dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila
hal inipun tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180 cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
a. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb bayi.
b. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65% Hb bayi.
c. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia.
d. Volume Darah pada Transfusi Tukar
* Volume darah bayi cukup bulan 85 cc / kg BB
* Volume darah bayi kurang bulan 100 cc /kg BB
Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik yang dilengkapi
peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat yang dapat mengatur suhu
lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti
asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun henti jantung. Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia
berat dimana fasilitas sarana dan tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau
transfusi tukar, penderita dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil
(‘transportable’) dengan memperhatikan syarat- syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.
Hiperbilirubin adalah suatu kedaaan dimana kadar bilirubin serum total yang lebih dari 10
mg % pada minggu pertama yang ditendai dengan ikterus pada kulit, sclera dan organ lain.
Keadaan ini mempunyai potensi meningkatkan kern ikterus, yaitu keadaan kerusakan pada otak
akibat perlengketan kadar bilirubin pada otak. Hiperbilirubin ini keadaan fisiologis (terdapat
pada 25-50 % neonatus cukup bulan dan lebih tinggi pada neonates kurang bulan).
Hiperbilirubin ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu dan prematuritas. Selain itu,
asupan ASI pada bayi juga dapat mempengaruhi kadar bilirubin dalam darah
DAFTAR PUSTAKA