Professional Documents
Culture Documents
Laporan Kasus TB Laring
Laporan Kasus TB Laring
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. C
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 38 Tahun
Alamat : Losari
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Status maternal : Menikah
Agama : Islam
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober 2017
Keluhan Utama
Suara serak
Riwayat Alergi
Pasien menyangkal ada riwayat alergi pada makanan, obat, atau debu.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku belum pernah mengonsumsi obat selama ia sakit
sejak 4 minggu yang lalu
c. Tanda-tanda Vital
5
5) Ekstremitas :
Ekstremitas atas: Edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), sianosis (-), clubbing finger (-), nyeri
tekan (-), parese (-)
Ekstremitas bawah : Edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), sianosis(-), clubbing finger (-), nyeri
tekan (-), parese (-)
e. Status Lokalis
2.3.3.1. Pemeriksaan telinga
Telinga kanan Telinga kiri
Auriculae
a. Bentuk Normotia Normotia
b. Infeksi (-) (-)
c. Trauma (-) (-)
d. Tumor (-) (-)
e. Nyeri tekan (-) (-)
Pre-Auriculae
a. Fistel (-) (-)
b. Abses (-) (-)
c. Sikatrik (-) (-)
d. Nyeri tekan (-) (-)
Retro auriculae
a. Edema (-) (-)
b. Abses (-) (-)
c. Fistel (-) (-)
d. Sikatrik (-) (-)
e. Nyeri tekan (-) (-)
7
Infra Auriculae
a. Parotis Tidak teraba membesar Tidak teraba
membesar
CAE
CAE Lapang Lapang
Warna Merah muda Merah muda
Sekret (-) (-)
Serumen (-) (-)
Kelainan lain (-) (-)
Membran timpani
a. Intak/ tidak Intak Intak
b. Warna Putih keabuan Putih keabuan
c. Cone of light (+) (+)
d. Perforasi (-) (-)
e. Kelainan lain:
Granulasi (-) (-)
Polip (-) (-)
Kolesteatoma (-) (-)
Tumor (-) (-)
f. Pemeriksaan Hidung
Massa - -
Konka
Sekret
Muara Tuba
Eustachius
Tonus Tobarius
g. Maksilofasial
1) Inspeksi :
Parese N.I-XIII(-)
9
h. Tes penciuman
1) Kanan: Tidak dilakukan
2) Kiri: Tidak dilakukan
i. Transiluminasi
a. Sinus maksilaris: Tidak dilakukan
b. Sinus frontalis: Tidak dilakukan
j. Pemeriksaan Orofaring
l. Pemeriksaan Leher
Kelenjar submandibular Tidak teraba membesar
Kelenjar Cervikalis (superior, Tidak teraba membesar
media, inferior)
Kelenjar cervikalis posterior Tidak teraba membesar
Kelenjar supraclavicular Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Tumor (-)
Abses submandibular (-)
Abses cervical (-)
V. DIAGNOSA KERJA
Laringitis Tuberculosis
VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua
aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi.
Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 – 10, lumen laring mengalami
obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval.
Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring.
Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.(4)
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya,
sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 – 16 mm). Otot-
otot lar ing pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid
posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung
brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior.
Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N.
Hipoglosus.(5)
Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada
saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami
penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid
mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan arytenoid.(6)
3.2 Anatomi
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
menelan makanan.(7)
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana
didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan
disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.(7)
13
3.2.1 Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
a. Kartilago Tiroidea, 1 buah
b. Kartilago Krikoidea, 1 buah
c. Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
a. Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
b. Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
c. Kartilago Epiglotis, 1 buah
14
Kartilago Tiroidea
Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan
lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala
tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di
bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s
15
apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat.
Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura tiroidea, dimana
di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh
ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior
yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan
membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan
kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea
terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,
kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata.(7)
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang
berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakan
tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus dan
muskulus konstriktor faringeus inferior.(7)
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi
bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendo
komisura anterior. Sedangkan tangkai epiglotis melekat kira-kira 1 cm diatasnya oleh
ligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 – 30
tahun.(7)
Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan
lkartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya
terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada
bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya
dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui
artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui
ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan
trakeostomi emergensi atau krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus.(7)
16
Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago
krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi.
Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang
merupakan tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan
di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita
suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis.
Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis
tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau
vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut
glottis.(5)
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari
aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya
glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan.(7)
Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior
aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas
menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis
lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang
mendorong makanan ke sebelah menyebelah laring.(7)
Kartilago Kornikulata
17
Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil
yang terletak di dalam plika ariepiglotika.(7)
Gambar 3. Laring
1 b. Ligamentum vestibular
2 c. Konus elastikus
4 e. Ligamentum vokalis
Membrana Tirohyoidea
Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas
belakang os hioidea yang pada bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan
membentuk ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana ini ditembus oleh
a. laringeus superior cabang interna n. laringeus superior dan pembuluh limfe.(7)
Membrana Kuadrangularis
Merupakan bagian atas dari jaringan ikat longgar elastis laring, membentang
dari tepi lateral epiglotis ke kartilago aritenoid dan kartilago kornikulata, di bagian
inferior meluas ke pita suara palsu. Tepi atasnya membentuk plika ariepiglotika,
sedangkan yang lainnya membentuk dinding diantara laring dan sinus piriformis
Morgagni(8)
19
3.2.3 Otot-otot
Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda.(7)
Otot-otot ekstrinsik
20
Terbagi atas :
1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :
a. M. Stilohioideus - M. Milohioideus
b. M. Geniohioideus - M. Digastrikus
c. M. Genioglosus - M. Hioglosus
2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :
a. M. Omohioideus
b. M. Sternokleidomastoideus
c. M. Tirohioideus
Otot-otot intrinsik
Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi
menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara
dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus
yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses
pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus
berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan
adduksi pita suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah:
1. Otot-otot adductor:
Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik , M. Krikotiroideus ,
M.Krikotiroideus lateral: Berfungsi untuk menutup pita suara
21
2. Otot-otot abductor:
3.2.4 Persendian
Artikulasio Krikotiroidea
Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian
posterior kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu :
ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk
pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi
ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara.(7)
Artikulasio Krikoaritenoidea
22
2.2.5 Inervasi
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan
Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.
3.2.5 Vaskularisasi
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.(7)
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus
pyriformis.(7)
2. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor
Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus
Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.(5)
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem
limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.(7)
25
3.3 Fisiologi
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi.
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glottis secara
bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke
atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago arytenoid
bergerak kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. selanjutnya
m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.(3)
Penutupan rima glottis terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago arytenoid
kiri dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik.(3)
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat
dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari
paru dapat dikeluarkan.(3)
Fungsi respirasi dari laring ialah mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila
m.krikoaritenoid berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid
bergerak ke lateral, sehinggarima glottis terbuka (abduksi).(3) Paru berperan sangat
penting pada proses fonasi karena merupakan organ pengaktif proses pembentukan
suara. Udara yang dihembuskan pada saat ekspirasi akan melewati celah glotis dan
menghasilkan tekanan positif untuk menggetarkan pita suara. Fungsi paru yang baik
sangat diperlukan agar dapat dihasilkan suara yang berkualitas.
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial
akan dapat mengatur sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi
darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengukur sirkulasi
darah.(3)
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme,
yaitu gerakan laring dari bawah ke atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus
makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.(3)
26
3.4 Definisi
Tuberkulosis (TB) laring adalah akibat dari tuberculosis paru yang terjadi
karena menjalarnya bakteri tuberculosis ke laring melalui peredaran darah. Pada
pasien TB yang diberi pengobatan, biasanya TB parunya akan sembuh tetapi TB
laringnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat
pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatanya akan lebih lama.(3)
3.4.1 Epidemilogi
Prevalensi TB laring di RS. Yangdong Korea yang ditegakkan dengan gejala
klinis dan pemeriksaan videostroboskopi dari tahun 1996 sampai 2006 sebanyak 60
orang dengan kisaran usia antara 25 sampai 78 tahun dan perbandingan antara wanita
dan laki-laki adalah 1 : 1,9. Insiden TB laring disertai TB paru aktif sebanyak 46,7%,
disertai TB paru inaktif 33,3%, tanpa kelainan paru 20%.7 Di RSUP Dr. M. Djamil
Padang 3 tahun terakhir ditemukan 35 kasus TB laring, sementara TB paru tercatat
sebanyak 473 kasus diantaranya 303 kasus BTA (+), dan 170 kasus BTA (-) dengan
perbandingan laki-laki : perempuan 2:1.
27
3.4.2 Etiologi
Mikobakterium Tuberkulosis merupakan kuman penyebab TB laring yang
merupakan kuman basil tahan asam. Mikobakterium tuberkulosis berukuran 2 sampai
4 mikrometer dan dapat tumbuh subur pada pO2 140 mmHg. Kuman dilepaskan ke
udara ketika seseorang berbicara, bersin, bernyanyi atau batuk. Untuk droplet partikel
kuman berukuran yang berukuran >5-10 mikrometer dapat tersebar dalam radius 1,5
meter. Apabila terhirup, kuman akan dibersihkan oleh silia saluran pernafasan bagian
atas. Pada kuman dengan ukuran <5mikrometer akan menembus jauh ke dalam
bronkiolus, sehingga dapat menimbulkan suatu proses infeksi.(13)
3.4.3 Patogenesis
TB dapat menular melalui inhalasi droplet yang dihirup seseorang dan dapat
menembus sistem mukosiliar saluran pernafasan atas dan diteruskan ke organ paru.
Kuman Mikobakterium Tuberkulosis dapat menimbulkan gejala pada seseorang
berdasarkan beberapa faktor, diantaranya virulensi dan jumlah kuman dalam tubuh
serta daya tahan tubuh manusia itu sendiri. Terdapat beberapa teori yang
menyebabkan terjadinya kontaminasi laring oleh kuman Mikobakterium
Tuberkulosis, diantaranya: 1) Teori bronkogenik, dimana laring mengalami infeksi
melalui kontak langsung dari sekret atau sputum yang kaya kuman Mikobakterium
Tuberkulosis, baik pada cabang bronkus atau pada mukosa laring. Dengan kata lain
laring mengalami gangguan seiring dengan kelainan yang terjadi di paru. Suatu
penelitian melaporkan lokasi lesi pada laring paling sering terjadi pada bagian
posterior laring berupa edema, granuloma, hiperplasia reaktif, ulserasi, dan tuberkel
epiteloid. 2) Teori hematogenik, pada teori ini kelainan hanya terjadi di laring dan
tidak memperlihatkan kelainan pada paru. Kuman Mikobakterium Tuberkulosis
menyebar melalui darah dan sistim limfatik, dan beberapa penelitian membuktikan
lesi pada laring paling sering ditemukan pada epiglotis dan bagian anterior laring
berupa edema polipoid, hiperplasia, dan ulserasi minimal.(14,15)
Infeksi awal pada subepitelial berupa gambaran fase inflamasi akut difus
seperti hiperemis, edema, dan infiltrasi sel-sel eksudat. Kemudian terbentuknya
28
Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar, ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh
pasien.
3) Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring dan yang
paling sering terkena ialah kartilago arytenoid dan epiglottis. Dengan
demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah berbau,
proses ini akan berlanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan
umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat
bertahan maka proses terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4) Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium initerbentuk fibroturberkulosis pada dinding posterior,
pita suara dan subglotik.(3)
Chi Wang, dkk melaporkan persentase tertinggi untuk gejala klinis TB
laring berupa suara serak sebesar 84,6%, diikuti gejala batuk 46,2%,
odinofagia 8%, dispnea 19,2%, demam 11,5%, limfadenopati 7,7%, stridor
3,85%.
3.4.5 Diagnosis
Diagnosis TB laring ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laringoskopi, Rontgen toraks,
pemeriksaan sputum, pemeriksaan histopatologi atau biopsi laring yang merupakan
standar baku untuk menegakkan diagnosis TB laring. Tiga kriteria untuk menegakkan
TB ekstrapulmonal, diantaranya:(13)
1) Hasil kultur yang diambil dari organ ekstrapulmonal yang terinfeksi
menunjukkan hasil yang positif untuk Mikobakterium Tuberkulosis.
2) Hasil biopsi terlihat nekrosis menghasilkan granuloma kavernosa dengan
atau tanpa basil tahan asam dan tes tuberkulin positif.
30
3.4.6 Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Klinis
Semua bagian dari laring dapat terkena infeksi ini. Clery dan Batsakis
mengatakan, terjadi perubahan lokasi yang dulu lebih sering terkena pada
setengah posterior laring,sekarang sering pada setengah anterior laring, kemudian
diikuti terkenanya pita suara (50-70%), pita suara palsu (40-50%) dan epiglottis,
ariepiglotis, arytenoid, komisura posterior dan/atau subglotis (10-15%). TB laring
secara makroskopis dibagi menjadi 4 tipe: 1. TB laring dengan lesi ulserasi berwarna
keputihan (40,9%), 2. TB laring dengan lesi inflamasi nonspesifik, 3. TB laring
dengan lesi polipoid (22,7%), dan 4. TB laring dengan lesi massa ulserofungatif
(9,1%) yang sering timbul pada epiglotis.(3)(16)
2) Pemeriksaan Radiologis
Menurut Rupa seperti yang dikutip Chen Wang dkk melaporkan dari 26 kasus
TB laring ditemukan sebanyak 92,3% dengan kelainan di paru pada Rontgen torak,
dan 7,2% dengan gambaran paru yang normal. Gambaran radiologi berupa infiltrasi
pada daerah apikal, lesi fibrokalsifikasi, terdapat kavitas, adanya gambaran
granuloma nodular, atau terdapat gambaran opak pada lapangan paru.(3)
3) Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti TB,
namun tidak semua penderita TB mempunyai pemeriksaan bakteriologis positif.
Bilasan bronkus, jaringan paru, cairan pleura, cairan serebrospinal, urin, feses, dan
jaringan biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis dengan
menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson, selain pemeriksaan pada sputum.
31
a. Laringitis akut
Laringitis akut merupakan radang mukosa pita suara dan laring kurang
dari tiga minggu. Penyebab radang ini adalah bakteri. Pada radang ini terdapat
gejala radang umum seperti demam, malaise, dan gejala lokal seperti suara
parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri menelan atau berbicara
serta gejala sumbatan laring. Pada pemeriksaan tampak mukosa laring
hiperemis, membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Terapi yang
diberikan berupa istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari., menghirup
udara lembab, menghindari iritasi pada laring dan faring. Antibiotika
diberikan jika peradangan berasal dari paru.(2)(10)
b. Laringitis kronik
Penyakit ini ditemukan pada orang dewasa. Sebagai faktor yang
mempermudah terjadinya radang kronis ini ialah intoksikasi alkohol atau
tembakau, inhalasi uap atau debu yang toksik, radang saluran napas dan
penyalahgunaan suara (vocal abuse). Pada laringitis kronis terdapat
perubahan pada selaput lendir, terutama selaput lendir pita suara. Pada
mikrolaringoskopi tampak bermacam-macam bentuk, tetapi umumnya yang
kelihatan ialah edema, pembengkakan serta hipe rtrofi selaput lendir pita suara
atau sekitarnya. Terdapat juga kelainan vaskular, yaitu dilatasi dan proliferasi,
32
sehingga selaput lendir itu tampak hiperemis. Bila peradangan sudah sangat
kronis, terbentuklah jaringan fibrotik sehingga pita suara tampak kaku dan
tebal, disebut laringitis kronis hiperplastik. Kadang-kadang terjadi keratinisasi
dari epitel, sehingga tampak penebalan pita suara yang di suatu tempat
berwarna keputihan seperti tanduk. Pada tempat keratosis ini perlu
diperhatikan dengan baik, sebab mungkin di bawahnya terdapat tumor yang
jinak atau yang ganas.
3) Neoplasma
a. Keratosis laring
Pada keratosis laring sebagian mukosa laring terjadi pertandukan,
sehingga tampak daerah yang keputihan yang disebut leukoplakia. Tempat
33
b. Karsinoma laring
Suara parau yang persisten atau perubahan suara yang lebih dari 2
hingga 4 minggu pada perokok perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengenali
apakah terdapat kanker laring. Karsinoma sel squamosal merupakan
keganasan laring yang paling sering terjadi (94%). Gejala dini berupa suara
parau, dan sesuai dengan keterlibatan, timbul nyeri, dispnea, dan akhirnya
disfagia. Pilihan terapi yang diberikan meliputi pembedahan, radiasi dan atau
kemoterapi. Ketika kanker laring ditemukan lebih awal maka pilihan terapi
berupa pembedahan atau radiasi dengan angka kesembuhan tinggi, lebih dari
90%.(11)
5) Penuaan (Presbylaryngis)
Presbilaringis (vocal cord concavity) merupakan suau keadaan yang
disebabkan penipisan dari otot dan jaringan-jaringan pita suara akibat
penuaan. Pita suara pada prebilaringis tidak sebesar daripada laring normal
sehingga tidak dapat bertemu pada pertengahan, dan akibatnya pasien
mengeluh suara menjadi parau, lemah dan berat. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan pemberian injeksi lemak atau bahan lain pada kedua pita suara
sehingga penutupan dapat lebih baik.(12)
6) Refluks gastroesofageal
35
Hal yang sering juga merupakan penyebab suara serak adalah refluks
gastroesofageal, dimana asam lambung naik ke esofagus dan mengiritasi pita
suara. Banyak pasien dengan perubahan suara yang berkaitan dengan refluks,
tidak mempunyai gejala rasa terbakar di lambung (heartburn). Biasanya, suara
mulai memburuk di pagi hari dan meningkat sepanjang hari. Pasien mungkin
akan merasakan sensasi gumpalan pada tenggorokannya, cairan yang
menusuk tenggorokan, atau adanya keinginan yang kuat untuk membersihkan
tenggorokannya.(11)
3.4.8 Tatalaksana
Tabel 1.Dosis dan efek samping dari obat anti tuberkulosis lini
pertama(13)
Nama Obat Dosis Harian Efek Samping
Isoniazid 4-6 mg/kgBB (max. 300 mg) Hepatitis, neuropati perifer,
kulit memerah, demam,
agranulositosis, ginekomastia
3.4.9 Komplikasi
Penyebaran kuman Mikobakterium Tuberkulosis secara limfogen atau
hematogen dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
akibat meluasnya penyebaran fokus primer ke bagian tubuh lain. Komplikasi
di paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi pleura, empiema,
endobronkitis, atelektasis, penyebaran milier, dan bronkiektasis. Selain
komplikasi yang terjadi di paru, komplikasi di laring dapat terjadi, diantaranya
stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis, subglotis stenosis,
gangguan otot laring dan pararalisis pita suara ketika krikoaritenoid atau
nervus laringeal rekuren mengalami trauma dan memerlukan tindakan bedah
untuk menanggulanginya.
37
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Suara parau adalah suatu istilah umum untuk setiap gangguan yang
menyebabkan perubahan suara. Penyebab dari suara parau adalah neoplasma, infeksi,
gangguan neurologi, refluks gastrointestinal, dan akibat penuaan. Infeksi adalah
penyebab tersering dari suara parau. Salah satu bakteri penyebab infeksi pada laring
adalah Mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan penyakit TB. Kuman
dilepaskan ke udara ketika seseorang berbicara, bersin, bernyanyi atau batuk. Pada
pasien TB yang diberi pengobatan OAT, biasanya TB parunya akan sembuh tetapi TB
laringnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat
pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatanya akan lebih lama.
38
Daftar Pustaka
1. Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler
PA. BOIES, Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Alih Bahasa: Wijaya C. BOIES
Fundamental of Otolaryngology. Jakarta: Penerbit EGC; 1997. 370-371
2. Hartree N. Hoarseness; http://www.patient.co.uk/showdoc/40000966/[diakses
15 Februari 2009]
3. Hermani B, Kartosoediro S. Suara Parau. Dalam: Soepardi EA, Iskandar HN
(editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Edisi ke V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2003. 190-94
4. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606
5. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co
Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
6. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-
Hill, 2003: 241-242.
7. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993
8. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology - Head
and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
9. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume
1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1996 : 425-456
10. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
http://www.entnet.org/HealthInformation/hoarseness.cfm [diakses 15 Februari
2009].
39