Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 39

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Suara merupakan produk akhir akustik dari suatu sistem yang lancar,
seimbang, dinamis dan saling terkait, melibatkan respirasi, fonasi, dan resonansi.
Tekanan udara subglotis dari paru, yang diperkuat oleh otot-otot perut dan dada,
dihadapkan pada plika vokalis. Suara dihasilkan oleh pembukaan dan penutupan yang
cepat dari pita suara, yang dibuat bergetar oleh gabungan kerja antara tegangan otot
dan perubahan tekanan udara yang cepat. Tinggi nada terutama ditentukan oleh
frekuensi getaran pita suara.(1)
Bunyi yang dihasilkan glotis diperbesar dan dilengkapi dengan kualitas yang
khas (resonansi) saat melalui jalur supraglotis, khususnya faring. Gangguan pada
sistem ini dapat menimbulkan gangguan suara.(1)
Suara parau adalah suatu istilah umum untuk setiap gangguan yang
menyebabkan perubahan suara. Penyebab dari suara parau adalah neoplasma, infeksi,
gangguan neurologi, dan refluks gastrointestinal. Infeksi adalah penyebab tersering
dari suara parau. Salah satu bakteri penyebab infeksi pada laring adalah
Mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan penyakit TB.
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman
basil tahan asam atau kuman Mikobakterium Tuberkulosis.TB secara garis besar
dikelompokkan menjadi TB pulmonal, sering disebut dengan TB paru dan TB
ekstrapulmonal. Pada TB ekstrapulmonal, organ yang terlibat diantaranya, kelenjar
getah bening, otak, tulang temporal, rongga sinonasal, hidung, mata, faring, kelenjar
liur, dan termasuk salah satunya laring. TB laring adalah kondisi yang jarang terjadi
dan hanya muncul 1-10% pada kasus TB paru.
Di Negara-negara barat, sekitar 1/3 pekerja memerlukan suara untuk
pekerjaan mereka. Gangguan suara diperkirakan terjadi pada satu persen rakyat
Amerika Serikat. Di Inggris, sekitar 50.000 pasien THT (Telinga Hidung Tenggorok)
per tahunnya datang dengan masalah suara.(2)
2

Pada pertengahan tahun 1900, TB laring memiliki prevalensi yang cukup


tinggi di dunia. Dahulu TB laring terjadi pada kelompok usia muda, namun sekarang
terjadi pada usia 50-60 tahun dimana laki-laki lebih banyak daripada perempuan
dengan perbandingan 2:1.

1.2 Tujuan pembelajaran


Penulisan laporan ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas penulisan
laporan kasus di SMF THT-KL
3

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. C
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 38 Tahun
Alamat : Losari
Pekerjaan : Ibu Rumah tangga
Status maternal : Menikah
Agama : Islam

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 18 Oktober 2017

Keluhan Utama
Suara serak

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Waled pada tanggal 18
Oktober 2017 karena suara nya serak sejak 1 bulan yang lalu. Awalnya
pasien merasakan nyeri saat menelan disertai dengan batuk tidak
berdahak, namun setelah beberapa hari keluhan batuk bertambah parah
disertai suara nya menjadi serak. Lalu setelah beberapa minggu, yang
menetap hingga sekarang adalah keluhan suara serak, dan pasien mengaku
keluhan suara serak semakin parah dalam 1 minggu terakhir ini. Pasien
juga mengeluhkan demam ketika malam hari. Pasien menyangkal adanya
sesak nafas, mual, ataupun muntah.
4

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku belum pernah memiliki keluhan yang sama
sebelumnya. Pasien juga tidak pernah memiliki riwayat operasi pada
bagian lehernya.

1) Riwayat Hipertensi disangkal


2) Riwayat Diabetes Mellitus disangkal
3) Riwayat Asma disangkal
4) Riwayat tuberkulosis disangkal
5) Riwayat trauma dan jatuh disangkal
6) Riwayat dirawat di RS disangkal

Riwayat Alergi
Pasien menyangkal ada riwayat alergi pada makanan, obat, atau debu.

Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku belum pernah mengonsumsi obat selama ia sakit
sejak 4 minggu yang lalu

Riwayat Pribadi & Sosial


Pasien tidak mengkonsumsi alkohol ataupun merokok.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Dilakukan tanggal 18 Oktober 2017 pukul 10.30 WIB di poli THT RSUD
Waled.
1. Status Generalis
a. Keadaan Umum
Pasien tidak tampak sakit
b. Kesadaran
Composmentis
GCS :E4M6V5

c. Tanda-tanda Vital
5

Tekanan darah : 100/70 mmHg


Frekuensi Nadi : 80x/menit
Frekuensi Napas : 20x/menit
Suhu : 36,9˚C
d. Stasus Interna
1) Kepala
Bentuk lonjong, simetris, warna rambut hitam dengan distribusi rata,
rambut mudah rontok (-), deformitas (-)
2) Mata
Conjungtiva anemis -/-, Sklera ikterik -/-
3) Thoraks :
a. Inspeksi:
Pernapasan simetris kanan dan kiri, tidak ada yang tertinggal,
retraksi intercostal (-) dan iktus kordis tidak terlihat.
b. Palpasi:
Nyeri tekan (-), fremitus taktil simetris kanan = kiri, iktus
cordis teraba di ICS V linea midclavicularis sinistra
c. Perkusi:
Paru: Sonor pada kedua lapangan paru
Batas jantung: batas atas = linea parasternalis sinistra ICS II, batas
kanan = linea parasternalis dextra ICS V, batas kiri:
linea midclavicula sinistra ICS V
d. Auskultasi :
Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
S1 = S2 reguler murni, murmur (-), gallop (-)
4) Abdomen
Inspeksi: datar, luka/ bekas luka (-), sikatrik (-)
Palpasi: Nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba
Perkusi: Timpani seluruh lapang abdomen
Auskultasi: Bising usus (+) 10 kali/ menit (normal)
6

5) Ekstremitas :
Ekstremitas atas: Edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), sianosis (-), clubbing finger (-), nyeri
tekan (-), parese (-)
Ekstremitas bawah : Edema (-/-), pigmentasi normal, telapak tangan
pucat (-), sianosis(-), clubbing finger (-), nyeri
tekan (-), parese (-)
e. Status Lokalis
2.3.3.1. Pemeriksaan telinga
Telinga kanan Telinga kiri

Auriculae
a. Bentuk Normotia Normotia
b. Infeksi (-) (-)
c. Trauma (-) (-)
d. Tumor (-) (-)
e. Nyeri tekan (-) (-)

Pre-Auriculae
a. Fistel (-) (-)
b. Abses (-) (-)
c. Sikatrik (-) (-)
d. Nyeri tekan (-) (-)

Retro auriculae
a. Edema (-) (-)
b. Abses (-) (-)
c. Fistel (-) (-)
d. Sikatrik (-) (-)
e. Nyeri tekan (-) (-)
7

Infra Auriculae
a. Parotis Tidak teraba membesar Tidak teraba
membesar
CAE
CAE Lapang Lapang
Warna Merah muda Merah muda
Sekret (-) (-)
Serumen (-) (-)
Kelainan lain (-) (-)
Membran timpani
a. Intak/ tidak Intak Intak
b. Warna Putih keabuan Putih keabuan
c. Cone of light (+) (+)
d. Perforasi (-) (-)
e. Kelainan lain:
Granulasi (-) (-)
Polip (-) (-)
Kolesteatoma (-) (-)
Tumor (-) (-)

f. Pemeriksaan Hidung

Pemeriksaan Dextra Sinistra


8

Keadaan luar Bentuk Normal Normal

Massa - -

Rhinoskopi Mukosa Nasi Hiperemis (-) Hiperemis(-)


Anterior
Livid (-) Livid (-)

Sekret (-) (-)

Septum Nasi Deviasi (-) Deviasi (-)

Konka inferior Normal Hipertrofi

Konka Media Sulit dinilai Sulit dinilai

Polip (-) (-)

Pasase Udara Hambatan udara (-) Hambatan udara (-)

Rinoskopi Posterior Mukosa

Konka

Sekret

Fossa Tidak Tidak

Rossenmuller Dilakukan Dilakukan

Muara Tuba

Eustachius

Tonus Tobarius

g. Maksilofasial

1) Inspeksi :

Edema pada wajah (-)

Parese N.I-XIII(-)
9

2) Palpasi: Nyeri tekan (-)

h. Tes penciuman
1) Kanan: Tidak dilakukan
2) Kiri: Tidak dilakukan

i. Transiluminasi
a. Sinus maksilaris: Tidak dilakukan
b. Sinus frontalis: Tidak dilakukan

j. Pemeriksaan Orofaring

Bibir Mukosa bibir basah, berwarna merah muda (N)


Mulut Mukosa mulut basah berwarna merah muda
Geligi Warna kuning gading, caries (-), gangren(-)
Ginggiva Warna merah muda, sama dengan daerah sekitar
Lidah Tidak ada ulkus, pseudomembrane (-), dalam batas normal
Uvula Bentuk normal, letak di tengah, hiperemi (-), edema (-)
Palatum mole Ulkus (-), hiperemi (-)
Faring Mukosa hiperemi (-), reflex muntah (+), membrane (-)
Tonsila palatine Kanan Kiri
Ukuran T1 T1
Warna Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Permukaan Rata Rata
Kripte Melebar (-) Melebar (-)
Detritus (-) (-)
Peri Tonsil Abses (-) Abses (-)
Fossa Tonsillaris hiperemi (-) hiperemi (-)
dan Arkus
Faringeus
10

k. Laringofaring (Laringoskopi indirect)

Epiglotis tidak dilakukan


Plika ariepiglotika tidak dilakukan
Plika ventrikularis tidak dilakukan
Plika vokalis tidak dilakukan
Rima glotis tidak dilakukan

l. Pemeriksaan Leher
Kelenjar submandibular Tidak teraba membesar
Kelenjar Cervikalis (superior, Tidak teraba membesar
media, inferior)
Kelenjar cervikalis posterior Tidak teraba membesar
Kelenjar supraclavicular Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid Tidak teraba membesar
Tumor (-)
Abses submandibular (-)
Abses cervical (-)

IV. DIAGNOSA BANDING


a. Laringitis Tuberculosis
b. Laringitis kronik
c. Laringitis akut

V. DIAGNOSA KERJA
Laringitis Tuberculosis

VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Foto thorax

VII. RENCANA TERAPI


a. Medikamentosa
1) Isoniazid 4-6 mg/kgBB
2) Rifampisin 8-12 mg/kgBB
11

3) Pyrazinamide 20-30 mg/kgBB


4) Etambutol 15-20 mg/kgBB

VIII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Embriologi laring


Seluruh sistem pernafasan merupakan hasil pertumbuhan faring primitif. Pada
saat embrio berusia 3,5 minggu suatu alur yang disebut laringotrakeal groove tumbuh
dalam embrio pada bagian ventral foregut. Alur ini terletak disebelah posterior dari
eminensia hipobronkial dan terletak lebih dekat dengan lengkung ke IV daripada
lengkung ke III.(4)
Selama masa pertumbuhan embrional ketika tuba yang single ini menjadi dua
struktur, tuba yang asli mula-mula mengalami obliterasi dengan proliferasi lapisan
epitel, kemudian epitel diresopsi, tuba kedua dibentuk dan tuba pertama mengalami
rekanulisasi. Berbagai malformasi dapat terjadi pada kedua tuba ini, misalnya fistula
trakeoesofageal. Pada maturasi lanjut, kedua tuba ini terpisah menjadi esofagus dan
bagian laringotrakeal.(4)
Pembukaan laringotrakeal ini adalah aditus laringeus primitif dan terletak
diantara lengkung IV dan V. Aditus laring pada perkembangan pertama berbentuk
celah vertikal yang kemudian menjadi berbentuk T dengan tumbuhnya hipobrachial
eminence yang tampak pada minggu ke 3 dan kemudian akan tumbuh menjadi
epiglottis. Sepasang aritenoid yang tampak pada minggu ke 5 dan pada
perkembangan selanjutnya sepasang massa aritenoid ini akan membentuk tonjolan
12

yang kemudian akan menjadi kartilago kuneiforme dan kartilago kornikulata. Kedua
aritenoid ini dipisahkan oleh incisura interaritenoid yang kemudian berobliterasi.
Ketika ketiga organ ini tumbuh selama minggu ke 5 – 10, lumen laring mengalami
obliterasi, baru pada minggu ke 9 kembali terbentuk lumen yang berbentuk oval.
Kegagalan pembentukan lumen ini akan menyebabkan atresia atau stenosis laring.
Plika vokalis sejati dan plika vokalis palsu terbentuk antara minggu ke 8 – 9.(4)
Otot-otot laring pada mulanya muncul sebagai suatu sfingter intrinsik yang
terletak dalam tunas kartilago tiroid dan krikoid. Selama perkembangan selanjutnya,
sfingter ini terpisah menjadi massa otot-otot tersendiri (mudigah 13 – 16 mm). Otot-
otot lar ing pertama yang dikenal adalah interaritenoid, ariepiglotika, krikoaritenoid
posterior dan krikotiroid. Otot-otot laring intrinsik berasal dari mesoderm lengkung
brakial ke 6 dan dipersarafi oleh N. Rekuren Laringeus. M. Krikotiroid berasal dari
mesoderm lengkung brakial ke 4 dan dipersarafi oleh N. Laringeus Superior.
Kumpulan otot ekstrinsik berasal dari eminensia epikardial dan dipersarafi oleh N.
Hipoglosus.(5)
Tulang hyoid akan mengalami penulangan pada enam tempat, dimulai pada
saat lahir dan lengkap setelah 2 tahun. Katilago tiroid akan mulai mengalami
penulangan pada usia 20 sampai 23 tahun, mulai pada tepi inferior. Kartilago krikoid
mulai usia 25 sampai 30 tahun inkomplit, begitu pula dengan arytenoid.(6)

3.2 Anatomi

Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang merupakan
suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan terletak setinggi vertebra
cervicalis IV – VI, dimana pada anak-anak dan wanita letaknya relatif lebih tinggi.
Laring pada umumnya selalu terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang
menelan makanan.(7)
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi dimana
didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih menonjol kedepan dan
disebut Prominensia Laring atau disebut juga Adam’s apple atau jakun.(7)
13

Batas-batas laring berupa sebelah kranial terdapat Aditus Laringeus yang


berhubungan dengan Hipofaring, di sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior
kartilago krikoid dan berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari
vertebra cervicalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum laringofaring serta
disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan lemak, dan kulit. Sedangkan di
sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobus
kelenjar tiroid.(7)
Laring berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago
tiroidea di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os Hyoid
dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini merupakan tempat
melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan mengalami osifikasi sempurna pada
usia 2 tahun. Secara keseluruhan laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum
dan otot-otot.(7)

3.2.1 Kartilago
Kartilago laring terbagi atas 2 (dua) kelompok, yaitu :
1. Kelompok kartilago mayor, terdiri dari :
a. Kartilago Tiroidea, 1 buah
b. Kartilago Krikoidea, 1 buah
c. Kartilago Aritenoidea, 2 buah
2. Kartilago minor, terdiri dari :
a. Kartilago Kornikulata Santorini, 2 buah
b. Kartilago Kuneiforme Wrisberg, 2 buah
c. Kartilago Epiglotis, 1 buah
14

Gambar 1. Tulang dan kartilago laring tampak lateral. (7)

Gambar 2. Tulang dan Kartilago Laring tampak Sagital. (7)

Kartilago Tiroidea
Merupakan suatu kartilago hyalin yang membentuk dinding anterior dan
lateral laring, dan merupakan kartilago yang terbesar. Terdiri dari 2 (dua) sayap (ala
tiroidea) berbentuk seperti perisai yang terbuka dibelakangnya tetapi bersatu di
bagian depan dan membentuk sudut sehingga menonjol ke depan disebut Adam’s
15

apple. Sudut ini pada pria dewasa kira-kira 90 derajat dan pada wanita 120 derajat.
Diatasnya terdapat lekukan yang disebut thyroid notch atau incisura tiroidea, dimana
di belakang atas membentuk kornu superior yang dihubungkan dengan os hyoid oleh
ligamentum tiroidea lateralis, sedangkan di bagian bawah membentuk kornu inferior
yang berhubungan dengan permukaan posterolateral dari kartilago krikoidea dan
membentuk artikulasio krikoidea. Dengan adanya artikulasio ini memungkinkan
kartilago tiroidea dapat terangkat ke atas. Di sebelah dalam perisai kartilago tiroidea
terdapat bagian dalam laring, yaitu : pita suara, ventrikel, otot-otot dan ligamenta,
kartilago aritenoidea, kuneiforme serta kornikulata.(7)
Permukaan luar ditutupi perikondrium yang tebal dan terdapat suatu alur yang
berjalan oblik dari bawah kornu superior ke tuberkulum inferior. Alur ini merupakan
tempat perlekatan muskulus sternokleidomastoideus, muskulus tirohioideus dan
muskulus konstriktor faringeus inferior.(7)
Permukaan dalamnya halus tetapi pertengahan antara incisura tiroidea dan tepi
bawah kartilago tiroidea perikondriumnya tipis, merupakan tempat perlekatan tendo
komisura anterior. Sedangkan tangkai epiglotis melekat kira-kira 1 cm diatasnya oleh
ligamentum tiroepiglotika. Kartilago ini mengalami osifikasi pada umur 20 – 30
tahun.(7)

Kartilago Krikoidea
Kartilago ini merupakan bagian terbawah dari dinding laring. Merupakan
lkartilago hialin yang berbentuk cincin stempel (signet ring) dengan bagian alsanya
terdapat di belakang. Bagian anterior dan lateralnya relatif lebih sempit daripada
bagian posterior. Kartilago ini berhubungan dengan kartilago tiroidea tepatnya
dengan kornu inferior melalui membrana krikoidea (konus elastikus) dan melalui
artikulasio krikoaritenoidea. Di sebelah bawah melekat dengan cincin trakea I melalui
ligamentum krikotiroidea. Pada keadaan darurat dapat dilakukan tindakan
trakeostomi emergensi atau krikotomi atau koniotomi pada konus elastikus.(7)
16

Kartilago krikoidea pada dewasa terletak setinggi vertebra servikalis VI – VII


dan pada anak-anak setinggi vertebra servikalis III – IV. Kartilago ini mengalami
osifikasi setelah kartilago tiroidea.

Kartilago Aritenoidea
Kartilago ini juga merupakan kartilago hyalin yang terdiri dari sepasang
kartilago berbentuk piramid 3 sisi dengan basis berartikulasi dengan kartilago
krikoidea, sehingga memungkinkan pergerakan ke medio lateral dan gerakan rotasi.
Dasar dari piramid ini membentuk 2 tonjolan yaitu prosesus muskularis yang
merupakan tempat melekatnya m. krikoaritenoidea yang terletak di posterolateral, dan
di bagian anterior terdapat prosesus vokalis tempat melekatnya ujung posterior pita
suara. Pinggir posterosuperior dari konus elastikus melekat ke prosesus vokalis.
Ligamentum vokalis terbentuk dari setiap prosesus vokalis dan berinsersi pada garis
tengah kartilago tiroidea membentuk tiga per lima bagaian membranosa atau
vibratorius pada pita suara. Tepi dan permukaan atas dari pita suara ini disebut
glottis.(5)
Kartilago aritenoidea dapat bergerak ke arah dalam dan luar dengan sumbu
sentralnya tetap, karena ujung posterior pita suara melekat pada prosesus vokalis dari
aritenoid maka gerakan kartilago ini dapat menyebabkan terbuka dan tertutupnya
glotis. Kalsifikasi terjadi pada dekade ke 3 kehidupan.(7)

Kartilago Epiglotis
Bentuk kartilago epiglotis seperti bet pingpong dan membentuk dinding anterior
aditus laringeus. Tangkainya disebut petiolus dan dihubungkan oleh ligamentum
tiroepiglotika ke kartilago tiroidea di sebelah atas pita suara. Sedangkan bagian atas
menjulur di belakang korpus hyoid ke dalam lumen faring sehingga membatasi basis
lidah dan laring. Kartilago epiglotis mempunyai fungsi sebagai pembatas yang
mendorong makanan ke sebelah menyebelah laring.(7)

Kartilago Kornikulata
17

Merupakan kartilago fibroelastis, disebut juga kartilago Santorini dan


merupakan kartilago kecil di atas aritenoid serta di dalam plika ariepiglotika.(7)

Kartilago Kuneiforme
Merupakan kartilago fibroelastis dari Wrisberg dan merupakan kartilago kecil
yang terletak di dalam plika ariepiglotika.(7)

3.2.2 ligamentum dan membrana


Ligamentum dan membran laring terbagi atas 2 grup, yaitu
1. Ligamentum ekstrinsik , terdiri dari :
a. Membran tirohioid
b. Ligamentum tirohioid
c. Ligamentum tiroepiglotis
d. Ligamentum hioepiglotis
e. Ligamentum krikotrakeal

Gambar 3. Laring

2. Ligamentum intrinsik, terdiri dari :


0 a. Membran quadrangularis
18

1 b. Ligamentum vestibular

2 c. Konus elastikus

3 d. Ligamentum krikotiroid media

4 e. Ligamentum vokalis

Membrana Tirohyoidea
Membrana ini menghubungkan tepi atas kartilago tiroidea dengan tepi atas
belakang os hioidea yang pada bagian medial dan lateralnya mengalami penebalan
membentuk ligamentum tirohioideus lateral dan medial. Membrana ini ditembus oleh
a. laringeus superior cabang interna n. laringeus superior dan pembuluh limfe.(7)

Membrana Krikotiroidea (Konus Elastikus)


Terdapat di bawah mukosa pada permukaan bawah pita suara sejati, berjalan
ke atas dan medial dari lengkungan kartilago krikoid untuk bersambung dengan
kedua ligamenta vokalis yang merupakan jaringan fibroelastis yang berasal dari tepi
atas arkus kartilago krikoid. Di sebelah anterior melekat pada pinggir bawah kartilago
tiroid dan menebal membentuk ligamentuk krikoidea medialis yang juga melekat
pada tuberkulum vokalis. Di sebelah posterior konus menyebar dari kartilago krikoid
ke prosesus kartilago aritenoid (vokalis). Pinggir bebas menebal membentuk
ligamentum vokalis.(7)

Membrana Kuadrangularis
Merupakan bagian atas dari jaringan ikat longgar elastis laring, membentang
dari tepi lateral epiglotis ke kartilago aritenoid dan kartilago kornikulata, di bagian
inferior meluas ke pita suara palsu. Tepi atasnya membentuk plika ariepiglotika,
sedangkan yang lainnya membentuk dinding diantara laring dan sinus piriformis
Morgagni(8)
19

Gambar 4. Laring dilihat dari atas (Membrana Kuadrangularis diangkat)

Gambar 5. Membrana laring tampak sagital

3.2.3 Otot-otot
Otot–otot laring terbagi dalam 2 (dua) kelompok besar yaitu otot-otot
ekstrinsik dan otot-otot intrinsik yang masing-masing mempunyai fungsi yang
berbeda.(7)

Otot-otot ekstrinsik
20

Otot-otot ini menghubungkan laring dengan struktur disekitarnya. Kelompok


otot ini menggerakkan laring secara keseluruhan.

Terbagi atas :
1. Otot-otot suprahioid / otot-otot elevator laring, yaitu :
a. M. Stilohioideus - M. Milohioideus
b. M. Geniohioideus - M. Digastrikus
c. M. Genioglosus - M. Hioglosus
2. Otot-otot infrahioid / otot-otot depresor laring, yaitu :
a. M. Omohioideus
b. M. Sternokleidomastoideus
c. M. Tirohioideus

Kelompok otot-otot depresor dipersarafi oleh ansa hipoglossi C2 dan C3


dan penting untuk proses menelan (deglutisi) dan pembentukan suara (fonasi).
Muskulus konstriktor faringeus medius termasuk dalam kelompok ini dan
melekat pada linea oblikus kartilago tiroidea. Otot-otot ini penting pada proses
deglutisi.(7)

Otot-otot intrinsik
Menghubungkan kartilago satu dengan yang lainnya. Berfungsi
menggerakkan struktur yang ada di dalam laring terutama untuk membentuk suara
dan bernafas. Otot-otot pada kelompok ini berpasangan kecuali m. interaritenoideus
yang serabutnya berjalan transversal dan oblik. Fungsi otot ini dalam proses
pembentukkan suara, proses menelan dan berbafas. Bila m. interaritenoideus
berkontraksi, maka otot ini akan bersatu di garis tengah sehingga menyebabkan
adduksi pita suara.
Yang termasuk dalam kelompok otot intrinsik adalah:
1. Otot-otot adductor:
Mm. Interaritenoideus transversal dan oblik , M. Krikotiroideus ,
M.Krikotiroideus lateral: Berfungsi untuk menutup pita suara
21

2. Otot-otot abductor:

M. Krikoaritenoideus posterior, berfungsi untuk membuka pita suara.


3. Otot-otot tensor:
Tensor Internus : M. Tiroaritenoideus dan M. Vokalis
Tensor Eksternus : M. Krikotiroideus

Mempunyai fungsi untuk menegangkan pita suara. Pada orang tua, m.


tensor internus kehilangan sebagian tonusnya sehingga pita suara melengkung ke
lateral mengakibatkan suara menjadi lemah dan serak.

Gambar 6. Otot-otot laring

3.2.4 Persendian
Artikulasio Krikotiroidea
Merupakan sendi antara kornu inferior kartilago tiroidea dengan bagian
posterior kartilago krikoidea. Sendi ini diperkuat oleh 3 (tiga) ligamenta, yaitu :
ligamentum krikotiroidea anterior, posterior, dan inferior. Sendi ini berfungsi untuk
pergerakan rotasi pada bidang tiroidea, oleh karena itu kerusakan atau fiksasi sendi
ini akan mengurangi efek m. krikotiroidea yaitu untuk menegangkan pita suara.(7)

Artikulasio Krikoaritenoidea
22

Merupakan persendian antara fasies artikulasio krikoaritenoidea dengan tepi


posterior cincin krikoidea. Letaknya di sebelah kraniomedial artikulasio krikotiroidea
dan mempunyai fasies artikulasio yang mirip dengan kulit silinder, yang sumbunya
mengarah dari mediokraniodorsal ke laterokaudoventral serta menyebabkan gerakan
menggeser yang sama arahnya dengan sumbu tersebut. Pergerakan sendi tersebut
penting dalam perubahan suara dari nada rendah menjadi nada tinggi.(8)

2.2.5 Inervasi
Laring dipersarafi oleh cabang N. Vagus yaitu Nn. Laringeus Superior dan
Nn. Laringeus Inferior (Nn. Laringeus Rekuren) kiri dan kanan.

1. Nn. Laringeus Superior


Meninggalkan N. vagus tepat di bawah ganglion nodosum,
melengkung ke depan dan medial di bawah A. karotis interna dan eksterna
yang kemudian akan bercabang dua, yaitu :
a. Cabang Interna ; bersifat sensoris, mempersarafi vallecula, epiglotis, sinus
pyriformis dan mukosa bagian dalam laring di atas pita suara sejati.
b. Cabang Eksterna ; bersifat motoris, mempersarafi m. Krikotiroid dan m.
Konstriktor inferior.(7)
2. N. Laringeus Inferior (N. Laringeus Rekuren)
Berjalan dalam lekukan diantara trakea dan esofagus, mencapai laring
tepat di belakang artikulasio krikotiroidea. N. laringeus yang kiri mempunyai
perjalanan yang panjang dan dekat dengan Aorta sehingga mudah terganggu.
Merupakan cabang N. vagus setinggi bagian proksimal A. subklavia
dan berjalan membelok ke atas sepanjang lekukan antara trakea dan esofagus,
selanjutnya akan mencapai laring tepat di belakang artikulasio krikotiroidea
dan memberikan persarafan :
1 a. Sensoris, mempersarafi daerah sub glotis dan bagian atas trakea

2 b. Motoris, mempersarafi semua otot laring kecuali M. Krikotiroidea.(9)


23

3.2.5 Vaskularisasi
Laring mendapat perdarahan dari cabang A. Tiroidea Superior dan Inferior
sebagai A. Laringeus Superior dan Inferior.(7)
1. Arteri Laringeus Superior
Berjalan bersama ramus interna N. Laringeus Superior menembus
membrana tirohioid menuju ke bawah diantara dinding lateral dan dasar sinus
pyriformis.(7)
2. Arteri Laringeus Inferior
Berjalan bersama N. Laringeus Inferior masuk ke dalam laring melalui
area Killian Jamieson yaitu celah yang berada di bawah M. Konstriktor
Faringeus Inferior, di dalam laring beranastomose dengan A. Laringeus
Superior dan memperdarahi otot-otot dan mukosa laring.(5)

Gambar 7. Sistem arteri pada laring


Darah vena dialirkan melalui V. Laringeus Superior dan Inferior ke V.
Tiroidea Superior dan Inferior yang kemudian akan bermuara ke V. Jugularis Interna.
(5)
24

Gambar 8. Sistem vena pada laring


3.2.6 Sistem Limfatik
Laring mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu:
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular
node.

2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe trakea,
middle jugular node, dan inferior jugular node.

3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan sistem
limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.(7)
25

Gambar 9. Sistem limfatik laring

3.3 Fisiologi
Laring berfungsi untuk proteksi, batuk, respirasi, sirkulasi, menelan, emosi
serta fonasi.
Fungsi laring untuk proteksi ialah untuk mencegah makanan dan benda asing
masuk ke dalam trakea, dengan jalan menutup aditus laring dan rima glottis secara
bersamaan. Terjadinya penutupan aditus laring ialah karena pengangkatan laring ke
atas akibat kontraksi otot-otot ekstrinsik laring. Dalam hal ini kartilago arytenoid
bergerak kedepan akibat kontraksi m.tiroaritenoid dan m.aritenoid. selanjutnya
m.ariepiglotika berfungsi sebagai sfingter.(3)
Penutupan rima glottis terjadi karena aduksi plika vokalis. Kartilago arytenoid
kiri dan kanan mendekat karena aduksi otot-otot intrinsik.(3)
Selain itu dengan refleks batuk, benda asing yang telah masuk ke dalam trakea dapat
dibatukkan keluar. Demikian juga dengan bantuan batuk, sekret yang berasal dari
paru dapat dikeluarkan.(3)
Fungsi respirasi dari laring ialah mengatur besar kecilnya rima glottis. Bila
m.krikoaritenoid berkontraksi akan menyebabkan prosesus vokalis kartilago aritenoid
bergerak ke lateral, sehinggarima glottis terbuka (abduksi).(3) Paru berperan sangat
penting pada proses fonasi karena merupakan organ pengaktif proses pembentukan
suara. Udara yang dihembuskan pada saat ekspirasi akan melewati celah glotis dan
menghasilkan tekanan positif untuk menggetarkan pita suara. Fungsi paru yang baik
sangat diperlukan agar dapat dihasilkan suara yang berkualitas.
Dengan terjadinya perubahan tekanan udara di dalam traktus trakeo-bronkial
akan dapat mengatur sirkulasi darah dari alveolus, sehingga mempengaruhi sirkulasi
darah tubuh. Dengan demikian laring berfungsi juga sebagai alat pengukur sirkulasi
darah.(3)
Fungsi laring dalam membantu proses menelan ialah dengan 3 mekanisme,
yaitu gerakan laring dari bawah ke atas, menutup aditus laringis dan mendorong bolus
makanan turun ke hipofaring dan tidak mungkin masuk ke dalam laring.(3)
26

Laring juga mempunyai fungsi untuk mengekspresikan emosi, seperti


berteriak, mengeluh, menangis dan lain-lain.
Fungsi laring yang lain ialah untuk fonasi, dengan membuat suara serta
menentukan tinggi rendahnya nada. Tinggi rendahnya nada diatur oleh ketegangan
plika vokalis. Bila plika vokalis dalam aduksi, m.krikotiroid akan merotasikan
kartilago tiroid ke bawah dan ke depan, menjauhi kartilagi arytenoid. Pada saat yang
bersamaan m.krikoaritenoid posterior akan menahan atau menarik kartilago aritenoid
ke belakang. Plika vokalis kini dalam keadaan kontraksi m.krikoaritenoid akan
mendorong kartilago arytenoid ke depan, sehingga plika vokalis akan mengendor.
Kontraksi serta mengendornya plika vokalis akan menentukan tinggi rendahnya nada.
(3)

3.4 Definisi

Tuberkulosis (TB) laring adalah akibat dari tuberculosis paru yang terjadi
karena menjalarnya bakteri tuberculosis ke laring melalui peredaran darah. Pada
pasien TB yang diberi pengobatan, biasanya TB parunya akan sembuh tetapi TB
laringnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat
pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatanya akan lebih lama.(3)

3.4.1 Epidemilogi
Prevalensi TB laring di RS. Yangdong Korea yang ditegakkan dengan gejala
klinis dan pemeriksaan videostroboskopi dari tahun 1996 sampai 2006 sebanyak 60
orang dengan kisaran usia antara 25 sampai 78 tahun dan perbandingan antara wanita
dan laki-laki adalah 1 : 1,9. Insiden TB laring disertai TB paru aktif sebanyak 46,7%,
disertai TB paru inaktif 33,3%, tanpa kelainan paru 20%.7 Di RSUP Dr. M. Djamil
Padang 3 tahun terakhir ditemukan 35 kasus TB laring, sementara TB paru tercatat
sebanyak 473 kasus diantaranya 303 kasus BTA (+), dan 170 kasus BTA (-) dengan
perbandingan laki-laki : perempuan 2:1.
27

3.4.2 Etiologi
Mikobakterium Tuberkulosis merupakan kuman penyebab TB laring yang
merupakan kuman basil tahan asam. Mikobakterium tuberkulosis berukuran 2 sampai
4 mikrometer dan dapat tumbuh subur pada pO2 140 mmHg. Kuman dilepaskan ke
udara ketika seseorang berbicara, bersin, bernyanyi atau batuk. Untuk droplet partikel
kuman berukuran yang berukuran >5-10 mikrometer dapat tersebar dalam radius 1,5
meter. Apabila terhirup, kuman akan dibersihkan oleh silia saluran pernafasan bagian
atas. Pada kuman dengan ukuran <5mikrometer akan menembus jauh ke dalam
bronkiolus, sehingga dapat menimbulkan suatu proses infeksi.(13)

3.4.3 Patogenesis
TB dapat menular melalui inhalasi droplet yang dihirup seseorang dan dapat
menembus sistem mukosiliar saluran pernafasan atas dan diteruskan ke organ paru.
Kuman Mikobakterium Tuberkulosis dapat menimbulkan gejala pada seseorang
berdasarkan beberapa faktor, diantaranya virulensi dan jumlah kuman dalam tubuh
serta daya tahan tubuh manusia itu sendiri. Terdapat beberapa teori yang
menyebabkan terjadinya kontaminasi laring oleh kuman Mikobakterium
Tuberkulosis, diantaranya: 1) Teori bronkogenik, dimana laring mengalami infeksi
melalui kontak langsung dari sekret atau sputum yang kaya kuman Mikobakterium
Tuberkulosis, baik pada cabang bronkus atau pada mukosa laring. Dengan kata lain
laring mengalami gangguan seiring dengan kelainan yang terjadi di paru. Suatu
penelitian melaporkan lokasi lesi pada laring paling sering terjadi pada bagian
posterior laring berupa edema, granuloma, hiperplasia reaktif, ulserasi, dan tuberkel
epiteloid. 2) Teori hematogenik, pada teori ini kelainan hanya terjadi di laring dan
tidak memperlihatkan kelainan pada paru. Kuman Mikobakterium Tuberkulosis
menyebar melalui darah dan sistim limfatik, dan beberapa penelitian membuktikan
lesi pada laring paling sering ditemukan pada epiglotis dan bagian anterior laring
berupa edema polipoid, hiperplasia, dan ulserasi minimal.(14,15)
Infeksi awal pada subepitelial berupa gambaran fase inflamasi akut difus
seperti hiperemis, edema, dan infiltrasi sel-sel eksudat. Kemudian terbentuknya
28

granuloma tuberkel yang avaskuler pada jaringan submukosa dengan daerah


perkijuan yang dikelilingi sel epiteloid pada bagian tengah dan sel mononukleus pada
bagian perifer. Tuberkel yang berdekatan bersatu hingga mukosa di atasnya meregang
atau pecah dan terjadi ulserasi. Ulkus yang timbul membesar, biasanya dangkal dan
ditutupi oleh perkijuan dan dirasakan nyeri oleh penderita, dan bila ulkus semakin
dalam akan mengenai kartilago laring sehingga terjadi perikondritis atau kondritis
terutama kartilago aritenoid dan epiglotis. Kerusakan tulang rawan yang terjadi
mengakibatkan terbentuknya nanah yang berbau dan selanjutnya akan terbentuk
sekuester. Pada stadium ini keadaan penderita sangat buruk dan dapat berakibat fatal.

3.4.4 Gejala Klinis


TB dapat mengenai berbagai organ tubuh, secara sistemik menimbulkan
gejala demam, keringat malam, nafsu makan berkurang, badan lemah, dan berat
badan menurun. Pada TB laring gejala utama berupa suara serak, terjadi biasanya
ringan dan dapat progresif menjadi disfonia atau afonia.Selain suara serak, keluhan
lain seperti disfagia, odinofagia, nyeri alih otalgia, batuk, dan kadang dapat
menyebabkan sesak nafas. Odinofagia dapat menjadi gejala yang menonjol pada TB
laring.(15)
Secara klinis tuberkulosis laring terdiri dari 4 stadium, yaitu:
1) Stadium infiltrasi
Yang pertama mengalami pembengkakak dan hiperemis ialah
mukosalaring bagian posterior. Kadang-kadang pita suara terkena juga. Pada
stadium ini mukosa laring berwarna pucat. Kemudain di daerah submukosa
terbentuk turbelkel, sehingga mukosa tidak rata, tampak bintik-bintik yang
berwarna kebiruan. Tuberkel ini makin membesar, serta beberapa turbelkel
yang berdekatan bersatu, sehingga mukosa di atasnya meregang. Pada suatu
saat, karena sangat meregang, maka akan pecah dan timbul ulkus.
2) Stadium ulserasi
29

Ulkus yang timbul pada akhir stadium infiltrasi membesar, ulkus ini
dangkal, dasarnya ditutupi oleh perkejuan, serta sangat dirasakan nyeri oleh
pasien.
3) Stadium perikondritis
Ulkus makin dalam, sehingga mengenai kartilago laring dan yang
paling sering terkena ialah kartilago arytenoid dan epiglottis. Dengan
demikian terjadi kerusakan tulang rawan, sehingga terbentuk nanah berbau,
proses ini akan berlanjut dan terbentuk sekuester. Pada stadium ini keadaan
umum pasien sangat buruk dan dapat meninggal dunia. Bila pasien dapat
bertahan maka proses terakhir yaitu stadium fibrotuberkulosis.
4) Stadium fibrotuberkulosis
Pada stadium initerbentuk fibroturberkulosis pada dinding posterior,
pita suara dan subglotik.(3)
Chi Wang, dkk melaporkan persentase tertinggi untuk gejala klinis TB
laring berupa suara serak sebesar 84,6%, diikuti gejala batuk 46,2%,
odinofagia 8%, dispnea 19,2%, demam 11,5%, limfadenopati 7,7%, stridor
3,85%.

3.4.5 Diagnosis
Diagnosis TB laring ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laringoskopi, Rontgen toraks,
pemeriksaan sputum, pemeriksaan histopatologi atau biopsi laring yang merupakan
standar baku untuk menegakkan diagnosis TB laring. Tiga kriteria untuk menegakkan
TB ekstrapulmonal, diantaranya:(13)
1) Hasil kultur yang diambil dari organ ekstrapulmonal yang terinfeksi
menunjukkan hasil yang positif untuk Mikobakterium Tuberkulosis.
2) Hasil biopsi terlihat nekrosis menghasilkan granuloma kavernosa dengan
atau tanpa basil tahan asam dan tes tuberkulin positif.
30

3) Penderita menunjukkan gejala klinis TB, uji teberkulin positif dan


memberikan hasil yang baik dengan pemberian OAT.

3.4.6 Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Klinis
Semua bagian dari laring dapat terkena infeksi ini. Clery dan Batsakis
mengatakan, terjadi perubahan lokasi yang dulu lebih sering terkena pada
setengah posterior laring,sekarang sering pada setengah anterior laring, kemudian
diikuti terkenanya pita suara (50-70%), pita suara palsu (40-50%) dan epiglottis,
ariepiglotis, arytenoid, komisura posterior dan/atau subglotis (10-15%). TB laring
secara makroskopis dibagi menjadi 4 tipe: 1. TB laring dengan lesi ulserasi berwarna
keputihan (40,9%), 2. TB laring dengan lesi inflamasi nonspesifik, 3. TB laring
dengan lesi polipoid (22,7%), dan 4. TB laring dengan lesi massa ulserofungatif
(9,1%) yang sering timbul pada epiglotis.(3)(16)

2) Pemeriksaan Radiologis
Menurut Rupa seperti yang dikutip Chen Wang dkk melaporkan dari 26 kasus
TB laring ditemukan sebanyak 92,3% dengan kelainan di paru pada Rontgen torak,
dan 7,2% dengan gambaran paru yang normal. Gambaran radiologi berupa infiltrasi
pada daerah apikal, lesi fibrokalsifikasi, terdapat kavitas, adanya gambaran
granuloma nodular, atau terdapat gambaran opak pada lapangan paru.(3)

3) Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakteriologis merupakan pemeriksaan untuk diagnosis pasti TB,
namun tidak semua penderita TB mempunyai pemeriksaan bakteriologis positif.
Bilasan bronkus, jaringan paru, cairan pleura, cairan serebrospinal, urin, feses, dan
jaringan biopsi dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologis dengan
menggunakan pewarnaan Ziehl Neelson, selain pemeriksaan pada sputum.
31

3.4.7 Diagnosis banding


1) Infeksi
Laringitis merupakan penyebab tersering suara parau yang dapat
diakibatkan infeksi virus atau bakteri dan biasanya terjadi bersamaan dengan
common cold. Inflamasi menyebabkan pembengkakan jaringan-jaringan
laring. Pembengkakan korda vokalis terjadi pada infeksi saluran napas atas,
common cold, atau pemakaian suara berlebihan. Radang laring dapat akut
atau kronik.

a. Laringitis akut
Laringitis akut merupakan radang mukosa pita suara dan laring kurang
dari tiga minggu. Penyebab radang ini adalah bakteri. Pada radang ini terdapat
gejala radang umum seperti demam, malaise, dan gejala lokal seperti suara
parau sampai tidak bersuara sama sekali (afoni), nyeri menelan atau berbicara
serta gejala sumbatan laring. Pada pemeriksaan tampak mukosa laring
hiperemis, membengkak, terutama di atas dan bawah pita suara. Terapi yang
diberikan berupa istirahat berbicara dan bersuara selama 2-3 hari., menghirup
udara lembab, menghindari iritasi pada laring dan faring. Antibiotika
diberikan jika peradangan berasal dari paru.(2)(10)

b. Laringitis kronik
Penyakit ini ditemukan pada orang dewasa. Sebagai faktor yang
mempermudah terjadinya radang kronis ini ialah intoksikasi alkohol atau
tembakau, inhalasi uap atau debu yang toksik, radang saluran napas dan
penyalahgunaan suara (vocal abuse). Pada laringitis kronis terdapat
perubahan pada selaput lendir, terutama selaput lendir pita suara. Pada
mikrolaringoskopi tampak bermacam-macam bentuk, tetapi umumnya yang
kelihatan ialah edema, pembengkakan serta hipe rtrofi selaput lendir pita suara
atau sekitarnya. Terdapat juga kelainan vaskular, yaitu dilatasi dan proliferasi,
32

sehingga selaput lendir itu tampak hiperemis. Bila peradangan sudah sangat
kronis, terbentuklah jaringan fibrotik sehingga pita suara tampak kaku dan
tebal, disebut laringitis kronis hiperplastik. Kadang-kadang terjadi keratinisasi
dari epitel, sehingga tampak penebalan pita suara yang di suatu tempat
berwarna keputihan seperti tanduk. Pada tempat keratosis ini perlu
diperhatikan dengan baik, sebab mungkin di bawahnya terdapat tumor yang
jinak atau yang ganas.

2) Lesi jinak pita suara


Lesi jinak pita suara sering terjadi karena penyalahgunaan suara (voice
misuse atau overuse) yang menimbulkan trauma bagi pita suara. Beberapa
jenis lesi yan timbul seperti nodul dan kista.

a. Nodul pita suara (vocal cord nodule)


Nodul pita suara terbanyak ditemukan pada orang dewasa, lebih
banyak pada wanita dari pria, Terdapat berbagai sinonim klinis untuk nodul
vokal termasuk screamer’s nodule, singer’s node, atau teacher’s node.
Nodulus jinak dapat terjadi unilateral dan timbul akibat penggunaan korda
vokalis yang tidak tepat dan berlangsung lama. Letaknya sering pada sepertiga
anterior atau di tengah pita suara, unilateral atau bilateral. Klinis yang
ditimbulkan adalah suara parau, kadang-kadang disertai batuk. Pada
pemeriksaan terdapat nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil,
berwarna keputihan. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laring tidak
langsung/langsung. Beberapa pasien berespon baik dengan pembatasan dan
reedukasi vocal, namun banyak juga yang memerlukan pembedahan
endoskopik.(10)

3) Neoplasma
a. Keratosis laring
Pada keratosis laring sebagian mukosa laring terjadi pertandukan,
sehingga tampak daerah yang keputihan yang disebut leukoplakia. Tempat
33

tersering yang mengalami pertandukan ialah pita suara dan di fosa


interaritenoid. Gejala yang ditemukan adalah suara parau yang persisten.
Selain itu rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Stridor atau sesak napas
tidak ditemukan. Sebagai terapi dilakukan pembedahan dengan mikrolaring.
Terdapat 15% dari kasus yang mengalami degenerasi maligna.

b. Karsinoma laring
Suara parau yang persisten atau perubahan suara yang lebih dari 2
hingga 4 minggu pada perokok perlu dilakukan pemeriksaan untuk mengenali
apakah terdapat kanker laring. Karsinoma sel squamosal merupakan
keganasan laring yang paling sering terjadi (94%). Gejala dini berupa suara
parau, dan sesuai dengan keterlibatan, timbul nyeri, dispnea, dan akhirnya
disfagia. Pilihan terapi yang diberikan meliputi pembedahan, radiasi dan atau
kemoterapi. Ketika kanker laring ditemukan lebih awal maka pilihan terapi
berupa pembedahan atau radiasi dengan angka kesembuhan tinggi, lebih dari
90%.(11)

4) Gangguan Neurologi pada laring


Suara parau dapat terjadi berhubungan dengan masalah pada
persarafan dan otot baik dari pita suara atau laring. Paralisis otot laring dapat
disebabkan gangguan persarafan baik sentral maupun perifer, dan biasanya
paralisis motorik bersamaan dengan paralisis sensorik. Kejadiannya dapat
unilateral atau bilateral. Penyebab sentral misalnya paralisis bulbar,
siringomielia, tabes dorsalis, multiple sklerosis. Penyebab perifer misalnya
struma, pasca tiroidektomi, limfadenopati leher, trauma leher, tumor eofagus
dan mediastinum, aneurisma aorta. Paralisis pita suara merupakan kelainan
otot intrinsik laring. Secara umum terdapat lima posisi dari pita suara yaitu
posisi median, paramedian, intermedian, abduksi ringan dan posisi abduksi
penuh. Gambaran posisi pita suara dapat bermacam-macam tergantung dari
otot yang terkena. Banyak dari paralisis pita suara akan sembuh beberapa
34

bulan, namun ada kemungkinan menjadi permanen, yang memerlukan


tindakan bedah.(10)

Gambar 11. Paralisis pita suara

5) Penuaan (Presbylaryngis)
Presbilaringis (vocal cord concavity) merupakan suau keadaan yang
disebabkan penipisan dari otot dan jaringan-jaringan pita suara akibat
penuaan. Pita suara pada prebilaringis tidak sebesar daripada laring normal
sehingga tidak dapat bertemu pada pertengahan, dan akibatnya pasien
mengeluh suara menjadi parau, lemah dan berat. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan pemberian injeksi lemak atau bahan lain pada kedua pita suara
sehingga penutupan dapat lebih baik.(12)

Gambar 12. Presbilaringis

6) Refluks gastroesofageal
35

Hal yang sering juga merupakan penyebab suara serak adalah refluks
gastroesofageal, dimana asam lambung naik ke esofagus dan mengiritasi pita
suara. Banyak pasien dengan perubahan suara yang berkaitan dengan refluks,
tidak mempunyai gejala rasa terbakar di lambung (heartburn). Biasanya, suara
mulai memburuk di pagi hari dan meningkat sepanjang hari. Pasien mungkin
akan merasakan sensasi gumpalan pada tenggorokannya, cairan yang
menusuk tenggorokan, atau adanya keinginan yang kuat untuk membersihkan
tenggorokannya.(11)

3.4.8 Tatalaksana

Pemberian OAT pada TB bertujuan menurunkan mata rantai


penularan, mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian, dan mencegah
kekambuhan atau resistensi terhadap OAT. Prinsip pengobatan TB
ekstrapulmonal tidaklah berbeda dengan TB pulmonal, termasuk pengobatan
untuk TB laring. Pemberian terapi selama 6 bulan merupakan standar yang
dipakai untuk pengobatan TB pulmonal dan TB ekstrapulmonal secara umum.
Dosis OAT adalah dosis individual yang sesuai dengan berat badan.
Evaluasi keteraturan berobat merupakan salah satu faktor yang harus
diperhatikan dalam pengobatan TB. Ketidakteraturan konsumsi obat akan
menyebabkan timbulnya masalah resisten multi obat (Multi Drug
Resistance/MDR).(13)

Tabel 1.Dosis dan efek samping dari obat anti tuberkulosis lini
pertama(13)
Nama Obat Dosis Harian Efek Samping
Isoniazid 4-6 mg/kgBB (max. 300 mg) Hepatitis, neuropati perifer,
kulit memerah, demam,
agranulositosis, ginekomastia

Rifampisin 8-12 mg/kgBB (max 600 mg) Hepatitis, gangguan


pencernaan, demam, kulit
memerah, trombositopenia,
nefritis interstitial, sindrom flu
36

Pirazinamid 20-30 mg/kgBB Hepatitis, hiperurisemia,


muntah, nyeri sendi, kulit
memerah

Streptomisin 15-18 mg/kg Ototoksik, nefrotoksik

Etambutol 15-20 mg/kg Neuritis retrobulbar, nyeri


sendi, hiperurisemia, neuropati
perifer

Respon pengobatan pada TB laring dapat terjadi dalam 2


minggu.Suara serak yang terjadi karena hipertrofi dapat mengalami perbaikan,
namun pergerakan pita suara yang terbatas akibat fibrosis dapat bersifat
menetap.
Pemberian kortikosteroid pada kasus-kasus dengan fiksasi pita suara
dapat diberikan untuk mencegah fibrosis yang dapat menyebabkan sumbatan
jalan nafas atas. Kortikosteroid berperan pada kasus-kasus TB yang disertai
faktor-faktor penyulit, seperti pada TB milier.

3.4.9 Komplikasi
Penyebaran kuman Mikobakterium Tuberkulosis secara limfogen atau
hematogen dapat terjadi, sehingga dapat menyebabkan timbulnya komplikasi
akibat meluasnya penyebaran fokus primer ke bagian tubuh lain. Komplikasi
di paru dapat berupa kelainan paru yang luas, kavitas, efusi pleura, empiema,
endobronkitis, atelektasis, penyebaran milier, dan bronkiektasis. Selain
komplikasi yang terjadi di paru, komplikasi di laring dapat terjadi, diantaranya
stenosis laring, fiksasi dari krikoaritenoid akibat fibrosis, subglotis stenosis,
gangguan otot laring dan pararalisis pita suara ketika krikoaritenoid atau
nervus laringeal rekuren mengalami trauma dan memerlukan tindakan bedah
untuk menanggulanginya.
37

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Suara parau adalah suatu istilah umum untuk setiap gangguan yang
menyebabkan perubahan suara. Penyebab dari suara parau adalah neoplasma, infeksi,
gangguan neurologi, refluks gastrointestinal, dan akibat penuaan. Infeksi adalah
penyebab tersering dari suara parau. Salah satu bakteri penyebab infeksi pada laring
adalah Mycobacterium tuberculosa yang menyebabkan penyakit TB. Kuman
dilepaskan ke udara ketika seseorang berbicara, bersin, bernyanyi atau batuk. Pada
pasien TB yang diberi pengobatan OAT, biasanya TB parunya akan sembuh tetapi TB
laringnya menetap. Hal ini terjadi karena struktur mukosa laring yang sangat lekat
pada kartilago serta vaskularisasi yang tidak sebaik paru, sehingga bila infeksi sudah
mengenai kartilago, pengobatanya akan lebih lama.
38

Daftar Pustaka

1. Cohen JI. Anatomi dan Fisiologi Laring. Dalam: Adam GL, Boies LR, Higler
PA. BOIES, Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. Alih Bahasa: Wijaya C. BOIES
Fundamental of Otolaryngology. Jakarta: Penerbit EGC; 1997. 370-371
2. Hartree N. Hoarseness; http://www.patient.co.uk/showdoc/40000966/[diakses
15 Februari 2009]
3. Hermani B, Kartosoediro S. Suara Parau. Dalam: Soepardi EA, Iskandar HN
(editors). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher
Edisi ke V. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2003. 190-94
4. Lee, K.J. Cancer of the Larynx. In; Essential Otolaryngology Head and Neck
Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-Hill, 2003: 598-606
5. Brown Scott : Orolaryngology. 6th ed. Vol. 1. Butterworth, Butterworth & Co
Ltd. 1997. page 1/12/1-1/12/18
6. Moore, E.J and Senders, C.W. Cleft lip and palate. In : Lee, K.J. Essential
Otolaryngology Head and Neck Surgery . Eight edition. Connecticut. McGraw-
Hill, 2003: 241-242.
7. Ballenger, J.J. Anatomy of the larynx. In : Diseases of the nose, throat, ear, head
and neck. 13th ed. Philadelphia, Lea & Febiger. 1993
8. Graney, D. and Flint, P. Anatomy. In : Cummings C.W. Otolaryngology - Head
and Neck Surgery. Second edition. St Louis : Mosby, 1993.
9. Hollinshead, W.H. The pharynx and larynx. In : Anatomy for surgeons. Volume
1 : Head and Neck. A hoeber-harper international edition, 1996 : 425-456
10. American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery.
http://www.entnet.org/HealthInformation/hoarseness.cfm [diakses 15 Februari
2009].
39

11. American Academy of Otolaryngology.


http://www.sinuscarecenter.com/aao/hoars_aao.htm [diakses 15 Februari 2009].
12. Stasney R. Disorders of the Larynx . http://www.otohns.net/default.asp?id=15102
[diakses 21 Februari 2009]
13. Triola NS. Tuberkulosis Laring. FKU Andalas. Available
from: www.respiratory.unand.ac.id
14. Naidoo S, Reddy Y. Review: A Review of the Epidemiologyand an Update
of Infection Control Recommen. South African Dental Journal. 2009; vol
65:1-12.
15. Miller PE, Zurflu E, Jaipaul CK. Return of the Usual Suspect. Lancet. 2011;
Vol.377:2150.
16. Kiakojuri K, Roushan MR. Larygeal Tuberculosis without Pulmonary
Involvement. Caspian J Intern Med. 2012; Vol.3:397-399.
17. Bhatia R, Varshney Sdkk. Tubercular Laryngitis: Case Series. Indian
J Otolaryngol Head Neck Surg. 2008; Vo. 60: 331-334.

You might also like