Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

Skleroderma adala penyakit autoimun, dikarakteristikkan sebagai sklerosis


progresif dari jaringan konektif dan perubahan mikrosirkulasi. Etiologi penyakit
ini sendiri masih belum diuraikan dengan jelas1. Diklasifikasikan dengan
lokalisata dan sistemik. Skleroderma atau sklerosis sistemik adalah penyakit yang
mengenai beberapa sistem organ, yang ditandai oleh adanya fibrosis luas,
inflamasi, dan vaskulopati. Organ yang sering terkena adalah kulit, saluran cerna,
paru, jantung dan ginjal.2 Tipe kutan dikategorikan sebagai Morphea ( tipe
lokalisata,generalisata, profunda, atrofi, dan pansklerotik) atau skleroderma linier
(dengan atau tanpa melorheosintesis atau hemiatrofi ).3 Morphea, atau yang lebih
dikenal dengan skleroderma lokalisata (LS), adalah penyakit inflamasi kulit yang
dikarakteristikkan sebagai deposit kolagen yang berlebihan. Terutama menyerang
lapisan dermis dan kadangkadang meluas kedalam lemak subkutan dan fasia dan
menyebabkan penebalan dan pengerasan dari kulit karena fibrosis. Estimasi
sekitar hampir setengahnya dari pasien mengalami remisi kulit menjadi lebih
lembut 2,7 tahun setelah onset dari penyakit. Tetapi, pada spektrum fase terparah,
progresi morphea memakan beberapa tahun, menghasilkan atrofi yang signifikan,
kontraktur sendi, dan disabilitas fungsi, cosmetik dan psikologik. Menurut study
epidemiologi morphea dapat berprogress ke systemik sclerosis sekitar 0,9%-5,7%
pasien. Morphea menunjukan varian yang baik pada beberapa presentasi klinik
dan sudah diklasifikasikan ke sirkumskripta, linear (termasuk “en croup de
sabre”), generalisata, pansclerotik, dan varian morphea mix. Opsi terapeutik
termasuk menggunakan topikal atau oral kortikosteroid, Analog Vitamin D
(calcitriol), tacrolimus, psoralen dan ultraviolet A (PUVA), fototerapi, UVA1,
cyclosporin, penicilllamin, obat anti maaria , dan metotreksat (MTX). Meskipun
ada alogaritma penatalaksanaa yang di buat oleh Fett dan Werth, sampai saat ini
belum ada rekomendasi paten untuk terapi idari morphea berdasarkan
karakteristik penyakit.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. SKLERODERMA

Skleroderma digambarkan sebgaia sklerosis dari kulit, meliputi lokalisata


maupun generalisata, yang pada umumnya menjadi satu satunya gejala atau gejala
yang dominan5. Terdapat 2 bentuk yaitu tipe kutan dan sistemik2. Tipe sistemik
atau Systemic sclerosis (SSc) adalah penyakit multisistem langkah yang didasari
oleh proses autoimunobiologik , kerusakan sel endotel vaskular dan aktifasi
fibroblas yang berlebihan. Dikarakteristikkan sebagai perubahan besar yang luas
dari yang melipputi kulit dan organ, dengan progresi dan prognosis peyakit yang
sama. Kulit, esofagus, paru- paru , jantung dan ginjal adalah organ yang rentan
terkena. Perempuan biasanya lebih sering terkena SSc, dengan rasio sekitar 3:1
sampai 14:1. Usia penderita terkena berkisar antara 30 dan 50 tahun. Tetapi,
pasien berjenis kelamin laki – laki mempunyai onset yang lebih dini dibanding
pasien yang berjenis kelamin perempuan. SSc merupakan kasus spesifik
mortalitas tinggi dibangding penyakit rheumatik autoimun lainnya, tapi
tergantung dari etnik dan ras, gambaran dan keparahan organ yang terlibat, onset
SSc, usia saat di diagnosis dan perbedaan gender. Meskipun tidak dapat
disembuhkan, ada beberapa pilihan penatalaksanaan untuk komplikasi organ dari
akibat SSc6.
Tipe lain dari Scleroderma adalah skleroderma lokalisata atau Morphea.
Morphea merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan sklerosis
pada kulit dengan karakteristik dengan deposit dari kolagen yang bisa meluas
sampai bagian yang lebih dalam. Tetapi, keteribatan sistemik tidak terlalu
terlibat9.
Pada Refarat kali ini akan berfokus untuk membahas tentang
Scleroderma lokalisata ata yang lebih dikenal dengan Morphea.

3
2.1.2 SKLERODERMA LOKALISATA

1. Definisi

Morphea adalah penyakit autoimun kronik dengan karakteristik sklerosis


padakulit6. Disebut juga Morphea tipe kutan, ditandai oleh kulit berwarna kuning
gading dengan batas tegas ataupun difus2.

2. Epidemiologi
Insiden morfea diperkirakan 2,7 dari setiap 100.000 penduduk dengan rasio
perempuan dan laki – laki sebesar 2-3:1. Morpea cukup sering ditemukan pada
suku kaukasia. Sebanyak 20-30% morfea ditemukan pada saat kanak-kanak,
namun dapat pula ditemukan pada segala usia2. Anak- anak yang onset timbulnya
pada umur 10 tahun, 10 kali lebih rentan memiliki manifestasi ekstrakutan 7.
Bentuk linier lebih sering ditemukan pada anak (walaupun semua subtipe bisa
terjadi pada segala usia). Pada orang dewasa tipe sirkumskrip dan general
lebih dominan. Deep morphea/morphea profunda jarang pada pada orang
dewasa dan anak anak dengan frekuensi 2%-4%6. Di poliklinik RSCM Devisi
Dermatologi Pediatrik, pada tahun 2012-2013 didapatkan prevalensi morfea
sebanyak 0,5%, dan pada Divisi Dermato Alergi-Imunologi didapatkan
sebanyak 0,2%.2

3. Etiologi
Etiologi dan patogenesis dari morphea belum sepenuhnya diketahui.
Morphea kemungkinan timbul dari latar belakang genetik yang
meningkatkan kerentanan terhadap penyakit serta dikombinasikan dengan
faktor penyabab lainnya (infeksi, lingkungan) yang memodulasi terjadinya
infeksi6

4
4. Klasifikasi Klinis

Morpea dimulai dengan plak eritematous atau patch, kadang kadang dengan
tampakan retiklar. Kemudian berlanjut menjadi plak yang berkembang di
tengahnya, di klilingi oleh pinggiran eritema (fase inflamasi). Didahului dengan
rasa sait dan atau gatal sebelum tampak lesi. Sklerosis meluas ketengah, berubah
menjadi mengkilap berwarna putih, lesi semakin meluas biasanya diikuti dengan
hiperpigmentasi (fase sklerotik). Terdapat kehilangan folikel rambut sehingga
terbentuknya alopesia. Dalam beberapa bulan sampai tahun, plak sklerotik
melunak dan menjadi atrofi dengan hipo/hiperpigmentasi (fase atrofi).6

Tabel 1. Fase fase terbentuknya lesi morphea6

5
1. LS tipe Limited
Morphea-plak (tipe plak klasik dari LS) , adalah tipe yang tersering dari
LS, terutama pada orang dewasa. Pada awal fase aktif, morphea-plak biasanya
muncul dengan lesi bentuk oval dengan pinggiran eritematous (disebut “liliac
ring”). Pada fase lanjut dari penyakit, lesi morphea menjadi keras dan
sklerosis pada bagian tengah, dengan warna keputih putihan atau warna
kuning gading. Lesi lama biasanya menjadi atrofi, hipo/hiperpigmentasi dan
pada lokasi terjadinya fibrosis, biasanya diikuti dengan rambut rontok pada
kulit anggota badan. Plak morphea paling sering berlokasi di batang tubuh,
terutama di regio submammay, area transisi antara regio panggul dan regio
inguinal atau di area dengan trauma berulang contohnya tekanan dari baju.
Morphea guttate adalah subtipe yang jarang yang muncul dengan lei
sklerotik kecil yang multiple berwarna keputih putihan atau kuning gading

6
dengan permukaan yang mengkilap. Morphea guttate lokasinya predominan di
ekstremitas. Fase awal lesi inflamasi muncul dengan makula eritematous.
Secara klinis dan histopatologi, morphea guttate bisa jadi sulit dibedakan
dengan lichen sclerosus extragenital.
Atrophoderma of Pasini and Pierini mungkin adalah tipe awal yang gagal
dari morphea. Biasanya di deskripsikan sebagai “superficial morphea” sama
hanya bersinonim dengan atrophoderma of Pasini and Pierini. Manifestasi
klinis dari salah satu subtipe LS, frekuensi tersering pada masa anak – anak,
dengan karakteristik lesi simetris, satu atau lebih dari satu, batas tajam,
hiperpigmentasi, plak non-indurasi yang berlokasi di batang tubuh atau
ekstremitas8

Gambar 1, Morphea tipe Plak5


2. LS Tipe Generalisata

Skleroderma lokalisata generalisata adalah varian yang parah dari LS.


Mrujuk pada Laxer dan Zulian, Skleroderma lokalisata generalisata
digambarkan dengan kemunculan dari empat atau lebih plak indurasi dengan
ukuran diameter lebih dari 3 cm, melibatkan setidaknya 2 dari 7 regio anatomi
(kepala-leher, ekstremitas, batang tubuh atas, dan batang tubuh bawah). Lesi
biasanya mengenai daerah batang tubuh dan seringkali terdistribusi simetris
dan cenderung bergerombol. 8

7
Yang unik dan varian yang jarang dari LS tipe generalisata adalah
“disabling pansclerotic morphea”. Disabling pansklerotik morphea,
predominan terjadi pada usia anak – anak, dan bisa melibatkan sebagian besar
dari kulit, jaringan lemak, fasia, otot, dan tulan, dengan hanya tendesi terbatas
dari fibrosis ke regresi. Disabling pansklerotic morphea biasanya
menghasilkan kontraktur praha dan susah disembuhkan, ulkus besar dan
nekrosis kulit.8

Gambar 3, Morphea Generalisata6

Gambar 4, Pansklerotik Morphea6

8
3. LS tipe Linear
Skleroderam lokalisata tipe linier adalah subtipe LS tersering pada masa
anak-anak. LS linear dikarakteristikkan ebagai lesi longitudinal tersusun
linear, lesi seperti pita dengan lokasi predominan di ekstremitas. Dari
beberapa bukti, LS tipe linear dapat mengikuti garis Blaschko. Pada stadium
ringan, lesi bisa sembuh dengan reidual hiperpigmentasi. Tetapi, tergantung
dari luas dari proses fibrotik, LS tipe linear bisa mengakibatka retardasi
tumbuh yang berat, atrophy otot, kontraktur fleksi, myositits dan myalgia,
artritis dan artharlgia dan disabilitas fisik. 8
LS subtipe “en coup de sabre” berlokasi di regio fronoparietal kepala,
biasanya berada di paramedian dari alis sampai rambut di ujung kulit kepala
yang menyebabkan alopesia skar. Yang mendasari juga keterlibatan dari
sistem sarag pusat (CNS, contohnya kejang, migren, dan sakit kepala ) dan
kelaianan mata (contoh uveitis) bisa terjadi. 8

Beberapa peneliti berspekuliasi dapat terjadi hemiartropi facial yang


prograsif (disebut Parry-Romberg syndrome) dan LS tipe “en coup de sabre”
adalah varian dengan kondisi yang sama. Hemiatropi facial progresif,
memiliki karakteristik atrofi primer dari jaringan subkutan, otot, dan tulang.
Fibrosis kulit bisasanya tidak ditemukan. Biasanya mengenai anak anak atau
orang dewasa, dan bisa memberikan hasil asimetri wajah yang parah. 8

Gambar 5, Linier Morphea6

9
Gambar 6, en coup de sabre Morph6
4. LS tipe Deep
LS tipe Deep (bisa disebut Deep Morphea ) adalah varian terjarang dari
LS, menyerang kurang dari 5% pasien. Pada deep morphea, prose fibrosis
menyerang bagian lebih dalam dari jarinfan konektif (contohnya jaringan
lemak, fasia, termasuk juga otot). Lesi Deep Morphea biasanya tersusun
simetris dan lokasi predominan berada di ekstremitas. 8

Gambar 7, Deep Morphe6

10
5. LS tipe mix
LS tipe mix predominan mennyerang anak kecil, sampai 15% pasien
dengan LS juvenile. Tipe Mic biasanya pada LS tipe linear dan tipe plak atau
kombinasi dari LS linear dan LS generalisata.
Eosinophilic fasciitis (atau Shulman syndrome) disebut oleh para pakar
sebagai tipe spesial dari LS. Sebuah trauma mekanik biasanya menjadi
manifestasi awal dari penyakit. Secara klinik, eosinophilic fasciitis
predominan menyerang ekstremitas dan muncul dengan onset yang muncul
cepat berua pembengkakkan kulit yang simetris. Pada fase lanjut dari
penyakit , kesi menjadi berindurasi dan fibrosis, seperti tampakan “peau
d’orange”. Pada fase lanjutan dari eosinophilic fasciitis adalah vena
subcutaneum yang membentuk pola karena tertekan oleh jaringan (disebut
“negative vein sign” ) 8

5. Diagnosis
Diagnosis dari morphea berdasarkan dari pemeriksaan klinis, Terkadang perlu
konfirmasi dari biopsi kulit saat lesi yang terlihat masih meragukan9

 Penemuan Laboratorium
Abnormalitas dari hasil lab dari morphea tidak begitu menonjol, selain tipe
generalisata dan linear. Level ESR dan protein serum biasnya normal, tapi
eosinofil biasanya bisa muncul pada fase aktif dar penyakit. Pada tes ANA atau
antibodi untuk ssDNA dan histones tidak memberikan hasil pada pasien dengan
morphea tipe plak. Frekuensi tersering pada morphea tipe linear dan generalisata
dimana ANA bisa diteemukan pada titer yang tinggi pada 40%-80% pada pasieen,
sekitar 40% pada anak anak dan dewasa degan skleroderma lokalisata
menunjukkan titer ANA 33,36. Pada marker inflamasi seperti prokolagen tipe 1
carboxy-terminal propeptide meningkat pada sekitar 30% dari pasien, peningkatan
level serum berkorelasi dengan perulasan dari kulit yang terkena10. Eosinophil
berkisar antara 7-10% pada pasien dengan morphea tipe linear atau generalisara
dan dengan persentasi yang lebih tinggi pada pasien dengan morphea tipe deep.

11
Hipergammaglobulim terlihat pda pasien dengan kerusakan kulit yang lebih berat
dan tersering pada saat progresi klinik.9

 Histolopatologi

Epidermis biasanya normal atau flat dan atropic dengan dengan bagian

puncak yang menghilang. Pada awalnya dermis mengalami edematous dengan

pembengkakan dan degenerasi dari fibrin kolagen, yang bisa menjadi

homegenous dan eosinophilic. Ada beberapa infiltrat limfosit perivaskular.

Terdapat juga Infiltrat seluler dari limfosit , sel plasma dan makrofag, bisa

perivaskular ataupun difus. Pada fase lanjut, lapisan dermis menebal, dengan

kolagen yang padat dan terkadang terlihat fibroblas. Jaringan elastik juga

tereduksi. Lapisan dermal memadat dan lemak subkutan perlahan menghilang.

Beberapa kelenjar keringat bisa tampak, didalam massa sklerotik. Pembuluh darah

kecil di dermis memperlihatkan penebalan tunika intima.5

Gambar 8. Histopatologi Morphea5

12
6. Penatalaksanaan

Perjalanan natural dari morphea belum sepenuhnya diketahui. Pada beberapa


kasus, dapat terjadi remisis spontan beberapa tahun kemudian. Tetapi, setelah
terjadi remisis spontan, krusakan residual akibat aktifitas dari penyakit masih ada.
Dilihat dari esarnya laporan beberapa rekomendasi terapi, belum ada terapi yang
benar benar di rekomendasikan. Berikut adalah beberapa terapi yang
direkomendsikan :

Tabel 2, Pilihan terapi untuk morphea

a) FOTOTHERAPI.
Fototerapi adalah pengobatan yang terbaik dari segi efisiensi (level 1, dari
kontrol random: broadband ultraviolet (UV) A, narrowbanf (NB) UVB, dan
UVA 1 ; level 2; PUVA sistemik dan topikal). 40-50 NB UVB harus
dippertimbangakan untuk lesi yang mengenai dermis superfisial (relatif tipis
pada palpasi atau dengan sklerosis dan inflamasi di pappilat dan superficial

13
retikular dermis). Terapi UVA lebih bias diterima pada lesi dermal bagian
dalam. UVA-1 pada pemakaiaannya baik untuk normalisasi kolagen deramal
dan langsung mnegenai inflamasi pada morphea jadi bisa dipakai untuk
penyakit inflamasi dan sklerosis.
UVA-based therapies are more appropriate for deeper dermal lesions due
to greater depth of penetration. Jika tidak tersedianya UVA-1 fototerapi bisa
digunakan broadband UVA yang telah di tulis di literatur. Penyakit biasanya
berangsur memberikan respon (progresi kesembuhan dan peningkatan
eritema) setelah 10-20 kali pengobatan dan beberapa percobaan berhenti saat
20-30 kali pengobatan. Beberapa pasien berlanjut membaik setelah terapi
dihentikan, dan beberapa yang lainnya merekomendasikan menggunakan
angka yang lebih besar untuk pengobatan sekitar 30-50 untuk manffar
terapeutik lainnya. 6

b) VITAMIN D DERIVATIVES.
Efisiensi dari vitamin D derivat topikal telah diberikan pada percobaan
dan beberapa laporan kasus membuktikan peningkatan dari hamoir semua atau
semua pasien pada beberapa bulan terapi. Yang terpenting, calciprotriene telah
di terapkan dalam pilhan pada beberapa studi 6

c) IMMUNOMODULATORS
Methotrexate dengan atau tidak dengan Corticosteroids. Menggunakan
methotrxate (monoterapi) dan metotreksat dikombinasi dengan steroid
sistemik memberikan keefektifan terapi level-2. Pemberian dosis optimun dan
rutin, indikasi untuk penggunaan dari terapi kortikosteroid dan durasi terapi
harus dipastikan. Pada beberapa studi, kombinasi terapi, kortiksteroid bisa
digunakan via oral atau intravena (IVMP 30mg/kg/hati selama 3 hari setiap
bulan atau 1mg.kgbb.hari prednison) sampai 3 bulan pertama. Metoteksat
digunakan sebagai pelengkap dari kinerja dan memulai untuk menstimulasi
(0,6 mg.kg.minggu pada anak atau 15-25mg/minggu pada dewasa) dan
maintenance untuk periode prolog (1-2 tahun). Beberapa studi dengan

14
beberapa partisipan merespon pada 2-5 bulan. Yang paling penting yang harus
diingat kemungkinan untuk relaps setelah pemberhentian dari terapi,
pemberian terapi semata untuk menekandari aktifitas penyakit. 6

d) IMMUNOMODULATOR LAINNYA
Level-2 dari terapi yang dianjurkan adalah menggunakan tacrolimus
topikal 0,1% salep bisa efektif untuk inflamasi pada morphea tipe plak
superfisial. Pada beberapa kasus, pemberian mycophenolate mofetil oral bisa
diberikan untuk pasien dengan tidak mempan dengan metoteksat atau sensitif
terhadap efek samping dari kortikosteroid. Pada beberapa laporan kasus
digunakan cyclosporine, bosetan,infliximab, dan imiquimod topikan dapat
memberikan beberapa efisiensi, tapi perlu ada studi lebih lanjut. 6

e) ANTIMICROBIALS.
Meskipun ada perkembangaan untuk menggunakan antimikroba pada
morphea (antibiotik dan hydroxychloroquine), tidak ada percobaan valid.
Beberapa literatur menggunakan antimalaria pada beberapa kasus serial
dimana ada 2 pasien yang memberikan perubahan dengan hydroxycloroquine
(simultan dengan pemberian steroid oral dan metoteksat). Pada beberapa
pengkajian, 7/11 pasien menunjukkan penyakit yang kembali aktif 3-153
bulan setelah memulai hydroxyklorokuin. Pada waktu ini, penggunaan agen
tersebut untuk morphea parah seperti tidak diindikasikan. 6

f) ADJUNCTIVE THERAPY
Pada beberapa pasien morphea mendapakan sekuele yang ireversibel.
Konsekuensinya, pasien morhea harus dilakukanpemeriksaan untuk Range of
motion, kontraktur dan perbadaan panjang ekstremitas, atau fungsi. Pada
beberapa kasus, di konsultasikkan dengan reumatolog, ocupasi terapi, medikal
fisik dan rehabilitasi, bedah plastik, ortopedi, dan bedah mulut sangat
diekomendasikan.6

15
7. Prognosis

Lesi tipe plak semakin meningkat dari waktu ke waktu, Indurasi


berkurang dan lesi menyatu dengan sisa kulit, meninggalkan noda
kecoklatan, yang menetap dalam waktu yg lama.Durasi dari aktivitas ini
adalah antara 3-5 tahun, namun beberapa lesi bisa sampai 25 tahun.BIasa
ditemukan, lesi yg baru berkembang di tempat yang baru saat lesi lainnya
sembuh.Pigmentasi sisa biasanya menetap untuk waktu yang lama pada
sekitar 1-3 pasien.Lesi linear cenderung menetap lebih lama dibanding lesi
plak.Kalsinosis kadang terjadi pada lesi linear, dan kadang membutuhkan
prosedur pembedahan untuk mengeluarkannya.Kontraktur kadang
membatasi gerak sendi dan menimbulkan “claw hand”.Atrofi unilateral
pada satu atau lebih extremitas dapat terjadi.Hemiatrofi fasial biasa
menetap, tapi scleroderma frontoparietal biasanya hilang bersih, dan
kadang disertai dengan tumbuhnya rambut.Pada 63-88 anak-anak dengan
morfea, lesi sembuh dengan cacat kosmetik minimal.Sangat jarang, pasien
dengan morfea lokal mungkin selanjutnya berkembang sklerosis sistemik
klasik. Telah dianjurkan untuk antibodi anti-Ku digunakan sebagai
indicator prognostic untuk progresi semacam ini5

16
BAB III

PENUTUP

Morphea adalah penyakit autoimun kronik dengan karakteristik sklerosis


padakulit. Disebut juga Morphea tipe kutan, ditandai oleh kulit berwarna kuning
gading dengan batas tegas ataupun difus. Insiden morfea diperkirakan 2,7 dari
setiap 100.000 penduduk dengan rasio perempuan dan laki – laki sebesar 2-3 : 1.
Etiologi dan patogenesis dari morphea belum sepenuhnya diketahui. Morphea
kemungkinan timbul dari latar belakang genetik yang meningkatkan kerentanan
terhadap penyakit serta dikombinasikan dengan faktor penyabab lainnya (infeksi,
lingkungan) yang memodulasi terjadinya infeksi. Morfea diklasifikasikan menjadi
LS tipe limited, generalisata, linear, deep dan mixed. Morphea-plak (morfea tipe
limited), adalah tipe yang tersering dari LS, terutama pada orang dewasa.Pada
awal fase aktif, morphea-plak biasanya muncul dengan lesi bentuk oval dengan
pinggiran eritematous (disebut “liliac ring”). Pada fase lanjut dari penyakit, lesi
morphea menjadi keras dan sklerosis pada bagian tengah, dengan warna keputih
putihan atau warna kuning gading. Lesi lama biasanya menjadi atrofi,
hipo/hiperpigmentasi dan pada lokasi terjadinya fibrosis, biasanya diikuti dengan
rambut rontok pada kulit anggota badan. Plak morphea paling sering berlokasi di
batang tubuh, terutama di regio submammay, area transisi antara regio panggul
dan regio inguinal atau di area dengan trauma berulang contohnya tekanan dari
baju.Temuan laboratorium kadang kurang spesifik, sehingga kadang dibutuhkan
pemeriksaan histopatologi. Untuk tatalaksananya sendiri, direkomendasikan
penggunaan fototerapi, derivat vitamin D, imunomodulator, antimikroba dan
ajuvan.Prognosisnya, pada sebgaian masih ditemukan lesi sisa dan gejala-gejala
muskular.

17
DAFTAR PUSTAKA
1. Robertaa Buense, Marcio Bouer. Localized scleroderma : Assesment of the
therapeutic response to phototherapy. 2012. Anais Brasileiros de Dermatologia.
64.
2. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin, Edisi Ketujuh. 2015; Jakarta. Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universits Indonesia. Skleroderma,304.
3. James D. Wiliam dkk, Andrew Disease Of Skin, Clinical Dermatology, Eleven
Edition;2011,Saunder Elsevier. Connective Tissue Disease, Scleroderma; 169”
4. Platsidaki Eftychia, Tzanetakou Vassiliki, Kouris Anargyros, Starvrogopus G.
Panagiotis. Methotexate : an effective monotheraphy for refractory generalized
morphea. Departement of Dermatology ang Venerology, Andreas Syggros
Hospital, 2017.10. 165-166.

5. Tony Burns.et,all. Rook’s Textbook of Dermatology, Eight Edition. 2010.


Wiley-Blackwell. Scleroderma. The ‘Connective Tissue Disease. 51.72,
51.73,51.74.
6. Lowell A, et.All. Fitzpatrick’s, Dermatology In General Medicine, Eight
Edition, Volume One. 2012. Mc Graw Hill. Morphea.
972,973,974,975,976,977,981,982.
7. M.S.Pequet.et,all.Risk Factors for Morphea Disease Severity : A Retrospective
Review of 114 Pediatric Patients. 2015. NIH Public Access. Page 5.
8. Knobler Robert,Dr,Prof.et.all.S1-Guideline on the Diagnosis and Treatment of
Sclerosing Diseases of the Skin. European Dermatology Forum.10,11,12.
9. Khanna Dhanita. Diagnosis and Treatment of systemic and localized
scleroderma. Expert Review Dermatology Medscape, 2011. 295.
10. Jean L Bolognia.et,all. Dermatology, Second Edition.2008. The
Publisher.Atrophies And Disorder Of Dermal Connective Tissues, 1474.

18

You might also like