Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lahan rawa merupakan hasil proses pengendapan dan membentuk tanah baru sebagai Formatted: Pattern: Clear (Orange)

tanah aluvial. Tanah aluvial adalah tanah yang dibentuk dari lumpur sungai yang mengendap
di dataran rendah. Tanah aluvial memilki beberapa ciri yaitu, mengandung banyak pasir dan
lumpur, berwarna kelabu serta memiliki unsur hara yang sedang sampai tinggi. Tanah ini
juga cocok digunakan untuk menanam tanaman pangan. Sifat tanah aluvial dipengaruhi
langsung oleh sumber bahan asal sehingga tingkat kesuburannya berbeda-beda. , namun jadi,
tanah aluvial ini mempunyai potensi untuk pengembangan di bidang pertanian.
Pengembangan pertanian melalui ekstensifikasi ke lahan rawa saat ini menjadi Formatted: Pattern: Clear (Orange)

alternatif karena terbatasnya lahan kering untuk usaha budidaya tanaman (Bakri, 2005).
Hutan rawa gambut menjadi salah satu lahan yang akan dikembangkan menjadi lahan
perkebunan. Dalam proses alih fungsi lahan ini mengalami deforestasi. Setelah itu lahan rawa
yang dikembangkan sebagai perkebunan kelapa sawit mengalami degradasi lahan dan
peningkatan emisi karbon (Hooijer et al., 2006). Sehingga aAlih fungsi lahan ini tentunya
sangat berpengaruh pada respirasi dan populasi mikroba tanah.
Aktivitas mikroba di lahan pasang surut yang ditanami kelapa sawit dapat dipelajari Formatted: Pattern: Clear (Orange)

dengan mengamati konsumsi O2 maupun evolusi CO2. Laju dekomposisi pada kondisi
tergenang jauh lebih rendah sepuluh kali dibandingkan dengan kondisi tidak tergenang. Pada
keadaan tergenang konsumsi O2 lebih tinggi dan hasil produksi atau evolusi CO2 lebih rendah
dibandingkan keadaan tidak tergenang. Kahat oksigen pada keadaan tergenang dan juga
terjadinya timbunan produk seperti asam-asam organik yang mengakibatkan hambatan dalam
kegiatan mikroba perombak (Bakri, 2005).
Berdasarkan hasil penelitian Yuniastuti (2011) bahwa karbondioksida (CO2) adalah Formatted: Pattern: Clear (Orange)

gas terbesar dalam atmosfer bumi dengan total mencapai 3000 gigaton. Karbondioksida
(CO2) merupakan penyebab utama pemanasan global yang berdampak buruk terhadap hasil
produksi pertanian. Oleh karena itu karbon pada lahan rawa perlu dikonservasi agar tidak
menambah konsentrasi gas rumah kaca.
Respirasi mikroba tanah merupakan indikator dari aktivitas mikroba yang ada di Formatted: Pattern: Clear (Orange)

dalam tanah. Respirasi mikroba tanah dilakukan oleh mikroorganisme tanah baik berupa
bakteri maupun cendawan (Stehouwer, 2006). Interaksi antara mikroba dengan lingkungan
fisik dan kimia di sekitarnya mempengaruhi kemampuannya dalam respirasi, tumbuh, dan
berkembangbiak. Menurut Subke dan Bahn (2010), faktor lingkungan fisik seperti
kelembaban tanah dan sifat kimia berupa bahan organik, N total dan pH tanah berkaitan erat
dengan respirasi mikroba tanah. Oleh karena itu dalam penelitian ini mempelajari respirasi
dan populasi mikroba tanah pada berbagai zona sekitar perakaran kelapa sawit yang memiliki
kadar bahan organik tanah, kadar N, dan pH tanah yang bervariasi pada kondisi aerob dan
anaerob.

1.2. Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis dinamika populasi mikroba dan pelepasan
CO2 pada berbagai zona sekitar perakaran kelapa sawit pada kondisi aerob dan anaerob, 2)
mempelajari populasi mikroba dan pelepasan CO2 serta beberapa sifat kimia tanah seperti
pH, C-organik dan N-total di zona perakaran kelapa sawit.

1.3. Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pandangan ilmiah serta memberikan
pengetahuan lain bagi perkembangan ilmu tanah. Selain itu untuk memberikan informasi
tentang populasi dan pelepasan CO2 pada kondisi aerob dan anaerob serta hubungannya
dengan beberapa sifat kimia tanah di bawah tegakan kelapa sawit.

1.4. Hipotesis
1) Perbedaan zona perakaran kelapa sawit di lahan pasang surut berpengaruh terhadap
perbedaan populasi mikroba dan pelepasan CO2.
2) Diduga dinamika populasi mikroba dan pelepasan CO2 pada kondisi aerob dan anaerob
terjadi pada beberapa zona di sekitar perakaran kelapa sawit.
Formatted: Indent: First line: 0"

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Deskripsi Lahan Pasang Surut


Lahan pasang surut adalah suatu wilayah rawa yang dipengaruhi oleh gerakan pasang Formatted: Indonesian, Pattern: Clear (Orange)

surut air laut yang secara berkala mengalami luapan air pasang. Lahan pasang surut ini
termasuk tanah yang jenuh air dan termasuk dalam tanah basah. Jadi, lahan pasang surut
dapat dikatakan sebagai lahan yang memperoleh pengaruh pasang surut air laut atau sungai-
sungai sekitarnya. Bila musim penghujan, lahan-lahan ini tergenang air sampai satu meter di
atas permukaan tanah, tetapi bila musim kering, permukaan air tanah menjadi lebih besar
bahkan mencapai 50 cm di bawah permukaan tanah (Najiyati et al., 2005).
Indonesia memiliki lahan pasang surut cukup luas sekitar 20.096.800 hektar dan baru Formatted: Indonesian, Pattern: Clear (Orange)

sebagian kecil atau kurang dari satu juta hektar yang berhasil dimanfaatkan. Lahan pasang
surut ini terutama berada di tiga pulau besar, yaitu Sumatra, Kalimantan, dan Papua (Noor,
2007). Pengembangan pertanian melalui ekstensifikasi ke lahan rawa saat ini menjadi
alternatif karena terbatasnya lahan kering untuk usaha budidaya tanaman (Bakri, 2005).
Lahan pasang surut merupakan lahan marjinal yang berpotensi untuk dikembangkan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

sebagai areal budidaya kelapa sawit. Potensi tersebut didasarkan pada karakteristik lahan
maupun luasannya. Meskipun demikian, terkait dengan karakteristik tanah pada lahan pasang
surut, pengembangan kelapa sawit di lahan pasang surut dihadapkan pada berbagai tantangan
baik dalam pengelolaan lahan, kultur teknis maupun investasi untuk pembangunan
infrastruktur. Dengan demikian, pengembangan lahan rawa pasang surut memerlukan
perencanaan, pengelolaan, dan pemanfaatan yang tepat serta penerapan teknologi yang
sesuai, terutama pengelolaan tanah dan air. Dengan upaya seperti itu diharapkan lahan rawa
pasang surut dapat menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang produktif, berkelanjutan, dan
berwawasan lingkungan.
Peluang usaha agribisnis perkebunan kelapa sawit di Indonesia cukup terbuka
berkaitan dengan meningkatnya permintaan minyak kelapa sawit dunia. Dewasa ini terdapat
lebih kurang 10 juta hektar areal perkebunan kelapa sawit (Direktorat Jendral Perkebunan,
2011).
Lahan rawa merupakan lahan yang tergenang hampir sepanjang tahun. Lahan tergenang Formatted: Pattern: Clear (Orange)

tersebut disebabkan oleh drainase yang buruk. Kondisi anaerob pada lahan rawa dapat terjadi
akibat keadaan hidro-topografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang
selalu basah yang telah mencegah aktivitas mikroorganisme yang diperlukan dalam
perombakan. Dengan demikian, laju penimbunan bahan organik lebih besar daripada
mineralisasinya.
Mikroorganisme yang memegang peranan penting di lahan rawa lebak adalah Formatted: Pattern: Clear (Orange)

golongan perombak bahan organik, pereduksi sulfat besi, serta pengoksidasi besi dan pirit.
Mikroorganisme perombak bahan organik ini umumnya terdiri dari jamur dan bakteri. Pada
kondisi aerob mikroorganisme perombak bahan organik yang paling dominan adalah jenis
jamur, sedangkan pada kondisi anaerob tergolong jenis bakteri (Stehouwer, 2006).
Penataan lahan dan sistem tata air merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

pengembangan usaha budidaya pertanian di lahan pasang surut, dalam kaitannya dengan
optimalisasi pemanfaatan dan pelestarian sumber daya lahannya. Perubahan pola penggunaan
lahan yang akan mempengaruhi tinggi muka air di lahan gambut dan perubahan suhu secara
drastis akan merubah keseimbangan dan pelepasan CH4 dan CO2 (Noor, 2007).

2.2.Agroekosistem Kelapa Sawit pada Lahan Pasang Surut


Keterbatasan lahan yang potensial untuk industri kelapa sawit di Indonesia Formatted: Pattern: Clear (Orange)

menyebabkan pembangunan perkebunan kelapa sawit dewasa ini mengarah ke lahan marjinal
dengan berbagai faktor pembatas. Salah satu lahan marjinal yang berpotensi menjadi
alternatif untuk pengembangan kelapa sawit adalah lahan rawa pasang surut. Artinya lahan
pasang surut dapat dimanfaatkan dibidang perkebunan khususnya kelapa sawit.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan tanaman yang memiliki
sebaran adaptasi cukup luas, dapat tumbuh pada berbagai agroekosistem dengan baik dan
memberikan potensi produksi yang optimal mulai dari tanah-tanah di lahan kering (Ultisol,
Inceptisol, dan Oxisol) hingga tanah-tanah yang berkembang di agroekosistem rawa pasang
surut (Lim, 2005).
Kelapa sawit adalah tanaman komoditas utama perkebunan Indonesia, dikarenakan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

nilai ekonomi yang tinggi dan kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati
terbanyak di antara tanaman penghasil minyak nabati yang lainnya (kedelai, zaitun, kelapa,
dan bunga matahari). Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak nabati sebanyak 6 ton/ha,
sedangkan tanaman yang lainnya hanya menghasilkan minyak nabati sebanyak 4-4,5 ton/ha
(Sunarko, 2007). Kesimpulannya tanaman kelapa sawit berpotensi sangat besar untuk
mendapatkan keuntungan dibidang perkebunan.
Sistematika tanaman kelapa sawit adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Embryophyta Siphonagama
Kelas : Angiospermae
Famili : Palmaceae
Sub keluarga : Cocoideae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis Jacq.
(Pahan, 2011).
Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis yang umumnya dapat tumbuh di daerah Formatted: Pattern: Clear (Orange)

antara 120º Lintang Utara 120º Lintang Selatan. Curah hujan optimal yang dikehendaki
antara 2.000-2.500 mm per tahun dengan pembagian yang merata sepanjang tahun. Lama
penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam per hari dan suhu optimum berkisar 240-
380C. Ketinggian di atas permukaan laut yang optimum berkisar 0-500 meter (Risza, 2008).
Musim kemarau yang panjang dapat mengakibatkan pertumbuhan vegetatif kelapa Formatted: Pattern: Clear (Orange)

sawit dapat terhambat, yang akan berdampak negatif pada produksi buah. Suhu berpengaruh
terhadap produksi melalui laju reaksi biokimia dan metabolisme dalam tubuh tanaman. Suhu
yang lebih tinggi menyebabkan meningkatnya produksi buah. Suhu 200C disebut sebagai
batas minimum bagi pertumbuhan vegetatif dan suhu rata-rata tahunan sebesar 220-230C
diperlukan untuk berlangsungnya produksi buah (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005).
Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada jenis tanah di wilayah tropika yang menjamin Formatted: Pattern: Clear (Orange)

ketersediaan air dan ketersediaan bahan organik dalam jumlah besar yang berkaitan dengan
jaminan ketersediaan air (Mangoensoekarjo dan Semangun, 2005). Tanah yang sering
mengalami genangan air umumnya tidak disukai tanaman kelapa sawit karena akarnya
membutuhkan banyak oksigen. Drainase yang jelek bisa menghambat kelancaran penyerapan
unsur hara dan proses nitrifikasi akan terganggu, sehingga tanaman akan kekurangan unsur
nitrogen. Oleh karena itu, drainase tanah yang akan dijadikan lokasi perkebunan kelapa sawit
harus baik dan lancar, sehingga ketika musim hujan tidak tergenang (Sunarko, 2008).
Curah hujan yang baik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman kelapa sawit adalah
di atas 2.000 – 2.500 mm/tahun, tidak mengalami defisit air dan merata sepanjang tahun
(Lubis, 2008). Sedangkan menurut Buana et al. (2006) curah hujan rata-rata tahunan yang
memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah 1.250-3.000 mm merata sepanjang
tahun dan curah hujan optimal berkisar 1.750-2.500 mm.
Tanaman kelapa sawit termasuk tanaman heliofil atau menyukai cahaya matahari. Formatted: Pattern: Clear (Orange)

Penyinaran matahari sangat berpengaruh terhadap perkembangan buah kelapa sawit.


Tanaman yang ternaungi karena jarak tanam yang sempit, pertumbuhannya akan terhambat
karena hasil asimilasinya kurang. Penyinaran sinar matahari yang baik untuk pertumbuhan
kelapa sawit yakni 5–7 jam/hari (Lubis, 2008).
Kondisi tanah yang memungkinkan untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah tanah Formatted: Pattern: Clear (Orange)

yang memiliki tekstur agak kasar sampai halus yaitu antara pasir berlempung sampai liat
masif. Beberapa karakteristik tanah yang digunakan dalam penilaian kesesuaian lahan untuk
kelapa sawit meliputi batuan di permukaan tanah, kedalaman efektif tanah, tekstur tanah,
kondisi drainase tanah, dan faktor kesuburan tanah (Buana et al., 2006). Dengan kondisi
lahan yang sesua maka tanaman sawit dapat tumbuh dengan baik dan menhasilkan produksi
yang baik ula.
Faktor kesuburan ini mencakup beberapa sifat kimia tanah yaitu kemasaman (pH), Formatted: Pattern: Clear (Orange)

kapasitas tukar kation (KTK), kejenuhan basa, ketersediaan unsur hara makro dan mikro,
kadar bahan organik, dan tingkat salinitas (kadar garam). Tekstur tanah yang paling ideal
untuk tanaman kelapa sawit adalah lempung berdebu, lempung liat berdebu, lempung berliat
dan lempung liat berpasir. Kedalaman efektif tanah yang baik adalah jika > 100 cm.
Kemasaman pH tanah yang optimal adalah berkisar 5,0 – 6,0 namun kelapa sawit masih
toleran terhadap pH < 5,0 misalnya pada pH 3,5 – 4,0 (pada tanah gambut) (Buana et al.,
2006).

2.3. Respirasi Mikroba Tanah


Respirasi mikroba tanah merupakan perkiraan aktivitas mikroba tanah melalui Formatted: Pattern: Clear (Orange)

tangkapan karbondioksida (CO2) yang dihasilkan selama metabolisme. Hal ini dapat
dilakukan dengan menganalisis CO2 menggunakan metode titrasi di laboratorium. Gas CO2
yang dilepaskan itu bereaksi dengan larutan alkali (0.5 M KOH) (Harmita, 2006).
Pengukuran respirasi merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

tingkat aktivitas mikroba tanah. Penetapan respirasi mikroba tanah didasarkan pada
penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroba tanah dan jumlah O2 yang digunakan
oleh mikroba tanah. Respirasi mikroba tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena
adanya kehidupan mikroba yang melakukan aktivitas hidup dan berkembangbiak dalam suatu
masa tanah.
Mikroba dalam setiap aktivitasnya membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang Formatted: Pattern: Clear (Orange)

dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi mikroba tanah. Laju respirasi maksimum terjadi
setelah beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikroba dalam tanah,
karena banyaknya populasi mikroba mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang
dibutuhkan mikroba. Oleh karena itu, pengukuran respirasi mikroba tanah lebih
mencerminkan aktivitas metabolik mikroba daripada jumlah, tipe, atau perkembangan
mikroba tanah (Hanifah, 2005).
Respirasi mikroba tanah dilakukan oleh mikroba tanah baik berupa bakteri maupun Formatted: Pattern: Clear (Orange)

cendawan. Interaksi antara mikroba dengan lingkungan fisik di sekitarnya mempengaruhi


kemampuannya dalam respirasi, tumbuh, dan membelah. Salah satu faktor lingkungan fisik
adalah kelembaban tanah yang berkaitan erat dengan respirasi tanah (Cook dan Orchard,
2008). Kelembaban tanah juga mempengaruhi populasi mikroba didalam tanah. Artinya hal
yang paling penting dalam respiasi mikroba tanah adalah keadaan tanah itu sendiri.
Respirasi mikroba tanah merupakan salah satu hal yang penting yang berkaitan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

dengan perubahan iklim dan pemanasan global di masa depan. Respirasi mikroba tanah yang
berkaitan dengan suhu tanah digunakan sebagai salah satu kunci karakteristik tanah atau
bahan organik dan bertanggung jawab dalam pemanasan global (Subke dan Bahn, 2010).
Suhu tanah, kelembaban tanah dan interaksi mikroba dianggap sebagai faktor Formatted: Pattern: Clear (Orange)

pengendali utama respirasi tanah dan mikroba dapat menjelaskan sebagian besar variasi
dalam respirasi. Faktor-faktor lain seperti alkalinitas (pH), salinitas (konduktivitas listrik atau
EC), dan karbon organik tanah merupakan konten yang dapat mempengaruhi bagaimana
respirasi berinteraksi dengan suhu dan kelembaban. Faktor-faktor lingkungan seperti suhu,
kelembaban, sumber dan jumlah bahan organik akan berbeda pada ekosistem yang berbeda
pula. Oleh karena itu, respirasi mikroba tanah bervariasi dengan jenis ekosistem (Lai et al.,
2012).
Kehilangan bahan organik tanah, dikurangi agregasi tanah, dan ketersediaan hara bagi Formatted: Pattern: Clear (Orange)

tanaman terbatas dan mikroorganisme dapat mengakibatkan berkurangnya produksi tanaman


dengan tidak adanya masukan tambahan. Ambang batas antara akumulasi dan hilangnya
bahan organik sulit untuk memprediksi tanpa pengetahuan tentang jumlah karbon yang
ditambahkan (UNEP-GEF, 2007).
Guntiñas et al. (2013) menyebutkan bahwa selain faktor iklim, kualitas bahan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

organik tanah juga akan mempengaruhi laju dekomposisi. Pada tanah yang terbentuk di
bawah iklim yang sama dan dari bahan induk yang sama, kualitas bahan organik tergantung
pada tutupan vegetasi dan jenis penggunaan serta pengelolaan lahan mana yang dikenakan.
Rey dan Jarvis (2006) telah menunjukkan bahwa sensitivitas respirasi mikroba tanah dengan
suhu yang berbeda dalam tanah di bawah hutan gugur dan di tanah di bawah hutan cemara,
karena perbedaan komposisi tanaman tetap yang mencapai tanah dan perbedaan berikutnya
dalam bahan organik. Jika perbedaan tersebut hanya disebabkan oleh komposisi jenis penutup
tanaman, maka bahan organik dalam tanah pertanian (padang rumput dan ditanami), yang
menerima berbagai jenis input dari tanah hutan akan mungkin sangat berbeda terhadap
perubahan iklim.

2.4. Gas Karbondioksida (CO2)


Perubahan iklim seperti pemanasan global adalah salah satu isu lingkungan penting Formatted: Pattern: Clear (Orange)

yang saat ini menjadi perhatian berbagai pihak baik di tingkat global, nasional maupun lokal.
Pemanasan global disebabkan gas-gas emisi seperti karbondioksida (CO2) yang paling
dominan yaitu sekitar 50%, diikuti chlorofluorocarbon (CFC) 25%, gas methan 10% dan
sisanya adalah gas lainnya (Suyanto, 2008). Akumulasi gas rumah kaca akibat perubahan
tutupan lahan dan kehutanan diperkirakan sebesar 20% dari total emisi global yang
berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim (Ali et al., 2006).
Gas CO2 sebagai salah satu penyusun gas rumah kaca terbesar di udara mampu Formatted: Pattern: Clear (Orange)

diserap oleh pohon melalui proses fotosintesis dan diubah menjadi C-organik dalam bentuk
biomassa. Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang “C” dengan nilai
atom sebesar 12. Karbon juga merupakan salah satu unsur utama pembentuk bahan organik
termasuk makhluk hidup. Hampir setengah dari organisme hidup merupakan karbon.
Karenanya secara alami karbon banyak tersimpan di bumi (darat dan laut) dari pada di
atmosfir. Karbon tersimpan dalam daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan
hewan), bahan organik mati ataupun sedimen seperti fosil tumbuhan dan hewan. Sebagian
besar jumlah karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari hutan. Seiring
terjadinya kerusakan hutan, maka pelepasan karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat
kerusakan hutan yang terjadi (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Sumber karbon dikelompokkan menjadi 3 kategori utama, yaitu biomassa hidup, Formatted: Pattern: Clear (Orange)

bahan organik mati dan karbon tanah (IPCC, 2006). Biomassa hidup dibagi menjadi 2 bagian
yaitu Biomassa Atas Permukaan (BAP) dan Biomassa Bawah Permukaan (BBP). Sedangkan
bahan organik mati dikelompokkan menjadi 2 yaitu kayu mati dan seresah. Sehingga secara
keseluruhan IPCC menetapkan 5 sumber karbon hutan yang perlu dihitung dalam upaya
penurunan emisi akibat perubahan tutupan lahan.
Meningkatnya kandungan karbondioksida (CO2) di udara akan menyebabkan Formatted: Pattern: Clear (Orange)

kenaikan suhu bumi yang terjadi karena efek rumah kaca. Panas yang dilepaskan dari bumi
diserap oleh karbondioksida di udara dan dipancarkan kembali ke permukaan bumi, sehingga
proses tersebut akan memanaskan bumi. Keberadaan ekosistem hutan memiliki peranan
penting dalam mengurangi gas karbondioksida yang ada di udara melalui pemanfaatan gas
karbondioksida dalam proses fotosintesis oleh komunitas tumbuhan hutan (Indriyanto, 2006).
Artinya huta dapat membantu mengurangi pemanasan global yang terjadi akibat
melimpahnya kandungan CO2.
Lahan gambut tropis di Asia Tenggara menyimpan setidaknya 42.000 Mton karbon Formatted: Pattern: Clear (Orange)

tanah. Tingkat pelepasan karbon ini ke atmosfir terus meningkat akibat kebakaran dan
pengeringan yang terkait dengan kegiatan perkebunan dan penebangan kayu. Lahan gambut
mencakup sekitar 12% dari daratan di Asia Tenggara, akan tetapi 25% dari kegiatan
deforestasi di wilayah ini terjadi di lahan gambut. Dari 27 juta hektar lahan gambut, 12 juta
hektar (45%) saat ini mengalami deforestasi dan sebagian besar mengalami pengeringan.
Salah satu komoditas perkebunan di lahan gambut adalah minyak dari kelapa sawit, yang saat
ini penggunaannya untuk biofuel/BBM nabati semakin meningkat di Eropa (Indriyanto,
2006).

2.5.Hubungan Respirasi dan Mikroba Tanah


Salah satu faktor penentu subur tidaknya suatu tanah adalah besarnya populasi Formatted: Pattern: Clear (Orange)

mikroba dalam tanah. Semakin banyak mikroba tanah yang terkandung, maka semakin subur
tanah tersebut. Hal ini dikarenakan bahan organik yang terdapat dalam tanah hanya dapat
didekomposisikan oleh mikroba yang akan menyumbangkan nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan
oleh tanaman serta memperbaiki keadaan tanah. Salah satu cara untuk dapat menghitung
populasi dari mikroba tanah adalah dengan mengukur respirasi mikroba tanah yang
diasumsikan bahwa ketika semakin besar respirasi tanahnya maka jumlah mikroba yang
terkandung dalam tanah tersebut pun semakin besar (Cook dan Orchard, 2008). Oleh karena
itu kesuburan tanah sangat dipengaruhi oleh populasi mikroba tanah.
Respirasi mikroba tanah merupakan pencerminan aktivitas mikroba tanah. Formatted: Pattern: Clear (Orange)

Pengukuran respirasi merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat
aktivitas mikroba tanah. Salah satu cara untuk mempelajari aktivitas mikroba di dalam tanah
adalah dengan menghitung jumlah mikroba tanah dan karbondioksida yang dilepaskan oleh
mikroba tanah selama waktu tertentu. Sedangkan penetapan respirasi mikroba tanah adalah
berdasarkan penetapan jumlah CO2 yang dihasilkan oleh mikroba tanah dan jumlah O2 yang
digunakan oleh mikroba tanah (Harmita, 2006). Jadi ada dua faktor yang digunakan untuk
mnntukan respirasi mikroba tanah yaitu CO2 yang diasilkan dan O2 yang digunakan oleh
mikroba.
Respirasi mikroba tanah merupakan suatu proses yang terjadi karena adanya Formatted: Pattern: Clear (Orange)

kehidupan mikroba yang melakukan aktivitas hidup dan berkembangbiak dalam suatu masa
tanah. Mikroba dalam setiap aktivitasnya membutuhkan O2 atau mengeluarkan CO2 yang
dijadikan dasar untuk pengukuran respirasi tanah. Laju respirasi maksimum terjadi setelah
beberapa hari atau beberapa minggu populasi maksimum mikroba dalam tanah, karena
banyaknya populasi mikroba mempengaruhi keluaran CO2 atau jumlah O2 yang dibutuhkan
mikroba. Oleh karena itu, pengukuran respirasi mikroba tanah lebih mencerminkan aktivitas
metabolik mikroba daripada jumlah, tipe, atau perkembangan mikroba tanah (Ragil, 2009).

Formatted: Justified, Indent: First line: 0.5", Space After: 0


pt, Line spacing: 1.5 lines

You might also like