Bab 2 Kta

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan menguraikan tentang konsep lansia, konsep teori keperawatan konsekuensi
fungsional, konsep keseimbangan postural, konsep latihan keseimbangan, konsep pemeriksaan
keseimbangan Berg Balance Scale (BBS) Orem.

2.1 Konsep Lansia


2.1.1 Pengertian Lansia
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan–lahan kemampuan jaringan
untuk mamperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya
sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Darmojo, 2006). Sedangkan menurut Hawari (1999), lansia adalah keadaan yang
ditandai oleh kegagalan dari seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress
fisiologik. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup serta
peningkatan kepekaan secara individual.

2.1.2 Batasan Lansia


Berikut adalah batasan lansia (Nugroho, 2000):
1. Menurut WHO (World Health Organization)
1. Usia pertengahan (middle age) : 45-59 tahun.
2. Lanjut usia (elderly) : 60-74 tahun.
3. Lanjut usia tua (old) : 75-90 tahun.
4. Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun.
2. Menurut UU No.13 th 1998
Dalam BAB I pasal 1 ayat 2 berbunyi “Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia
60 (enam puluh) tahun keatas”.
3. Birren and Jenner (1977) mengusulkan untuk membedakan antara usia biologis, usia
psikologis, dan usia sosial.
1) Usia Biologis.

3
Usia yang menunjuk pada jangka waktu seseorang sejak lahirnya berada dalam keadaan
hidup tidak mati.
2) Usia Psikologis.
Usia yang menunjuk pada kemampuan seseorang untuk mengadakan penyesuaian-
penyesuaian kepada situasi yang dihadapinya.
3) Usia Sosial.
Usia yang menunjuk kepada peran-peran yang diharapkan atau diberikan masyarakat kepada
seseorang sehubungan dengan usianya.

2.1.3 Perubahan fisiologis yang terjadi pada lanjut usia


Pada lansia terjadi perubahan pada hampir semua aspek, adapun perubahan sistem yang
mempengaruhi keseimbangan adalah :
1. Sistem Persyarafan
Berat otak menurun 10-20%. Terjadi perubahan neurobehavioral seperti perubahan
motorik yang melambat sehingga respon terhadap perubahan keseimbangan menurun,
berkurangnya fungsi sensori perifer sehingga terjadi perlambatan omset laten dorsofleksor ankle
dan perubahan pada respon otot. Hal ini menyebabkan otot proksimal teraktivasi dahulu yang
akan mengganggu proses keseimbangan. Perubahan motorik disebabkan banyak faktor
melibatkan sistem syaraf pusat dan perifer termasuk berkurangnya rasa posisi, kelemahan otot
dan perubahan skeletal (Kane RL, 1994).
2. Sistem Vestibuler
Pada sistem vestibuler, terjadi degenerasi sel – sel rambut dalam macula sebesar 40% dan
sel saraf. Proses degeneratif di dalam otolit sistem vestibuler dapat menyebabkan vertigo
posisional dan ketidakseimbangan waktu berjalan (Alonso JA, 1994).
3. Sistem Penglihatan
Perubahan pada sistem penglihatan yang menyebabkan gangguan keseimbangan adalah
adanya penurunan cahaya yang dihantarkan ke retina, sehingga ambang visual meningkat dan
daya adaptasi terang gelap menurun. Penurunan tajam penglihatan terjadi karena katarak,
degenerasi makuler dan penglihatan perifer menghilang.

4
4. Sistem Kardiovaskuler
Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan
jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun sesudah berumur 20 tahun, hal ini
menyebabkan menurunnya kontraksi dan volumenya. Kemampuan arteri dalam menjalankan
fungsinya berkurang sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami perubahan elastisitas dan
permeabilitas. Penurunan sensitivitas baroreseptor menyebabkan hipotensi postural, begitu juga
aritmia dan drop attacks semua itu secara tidak langsung mengganggu keseimbangan pada lansia
(Thompson, 2000).
5. Sistem Respirasi
Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku, menurunnya aktivitas dari
silia, paru-paru kehilangan elastisitas sehingga kapasitas residu meningkat, menarik nafas lebih
berat, kapasitas pernafasan maksimum menurun, dan kedalaman bernafas menurun. Alveoli
ukurannya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang, O 2 pada arteri menurun menjadi 75
mmHg, kemampuan untuk batuk berkurang, penurunan kekuatan otot pernafasan.
6. Sistem Muskuloskeletal.
Faktor muskuloskeletal merupakan faktor yang berperan besar terhadap kejadian jatuh
pada lansia. Perubahan fungsional pada lanjut usia berupa kehilangan lean muscle mass, atrofi
otot dan penurunan kekuatan otot.
Pada lanjut usia ukuran otot mengecil dan penurunan massa otot lebih banyak terjadi
pada ekstremitas bawah. Sel otot yang mati digantikan oleh jaringan ikat dan lemak. Serabut fast
twich tipe II berkurang lebih cepat daripada tipe I. Pada myoneural junction terjadi penurunan
jumlah motor unit dan serabut bermyelin (Thompson, 2000) .
Kekuatan yang dihasilkan otot menurun dengan bertambahnya usia. Kekuatan otot
ekstremitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia 30 sampai 80 tahun. Hal ini lebih berat
terjadi pada lansia di panti dengan riwayat jatuh. Ketahanan otot untuk berkontraksi secara
berkesinambungan pada tingkat sub maksimal menurun. Namun penurunan ketahanan lebih kecil
daripada kekuatan otot.
Penurunan lingkup gerak sendi dan fleksibilitas spinal menyebabkan postur fleksi atau
bungkuk yang merupakan karakteristik pada lansia. Kondisi lain seperti artritis dan nyeri dapat
menyebabkan berkurangnya lingkup gerak sendi yang berakibat pada gangguan keseimbangan.

5
Fleksibilitas jaringan menurun sebesar 20 – 30% pada lanjut usia akibat perubahan
jaringan pengikat pada tendon, kapsul sendi, otot dan ligamen. Perubahan dalam struktur kolagen
dan peningkatan anyaman serat elastin yang terjadi menyebabkan hilangnya fleksibilitas (Alonso
JA, 1994).

2.2 Konsep Teori Keperawatan Konsekuensi Fungsional (Miller CA, 1995 )


Teori ini menyatakan bahwa lansia mengalami konsekuensi fungsional karena perubahan
yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko tambahan. Dengan tidak adanya intervensi, akan
terjadi banyak konsekuensi fungsional yang negatif, namun dengan intervensi konsekuensi
fungsional dapat menjadi positif.
Konsekuensi fungsional adalah efek dari tindakan, faktor risiko, dan perubahan yang
mempengaruhi kualitas kehidupan atau kegiatan sehari-hari lansia berkaitan dengan usia.
Faktor risiko dapat berasal dari lingkungan, pengaruh fisiologis dan psikososial.
Konsekuensi fungsional yang positif akan terjadi jika memfasilitasi tingkat kinerja tertinggi.
Sebaliknya, konsekuensi fungsional yang negatif akan terjadi jika lansia mengalami
ketergantungan atau penurunan kualitas hidup . Konsekuensi fungsional negatif biasanya terjadi
karena kombinasi dari perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko misalnya kinerja
visual terganggu. Selain itu konsekuensi fungsional negatif juga dapat disebabkan oleh
intervensi yang yang merupakan faktor risiko dari tindakan. Contoh konsekuensi fungsional
disebabkan oleh respon negatif adalah sembelit yang dihasilkan dari obat antidepresant. Dalam
hal ini, obat ini sebagai intervensi untuk depresi dan faktor risiko yang didapat adalah gangguan
fungsi usus.
Konsekuensi fungsional positif biasanya disebabkan oleh intervensi yang diprogramkan.
Sering kali, lansia membawa konsekuensi fungsional positif ketika mereka mengimbangi
perubahan yang berkaitan dengan usia tanpa disengaja. Misalnya, lansia dapat meningkatkan
jumlah cahaya untuk membaca atau mulai memakai kacamata hitam tanpa menyadari bahwa
tindakan ini adalah kompensasi untuk perubahan yang berkaitan dengan usia. Dalam kasus lain,
intervensi yang dimulai sebagai tanggapan terhadap kebutuhan yang dirasakan. Pada contoh di
atas akan lebih baik kemungkinan hasil intervensi yang disengaja, seperti perubahan lingkungan
atau operasi katarak.

6
2.2.1 Komponen Teori Konsekuensi Fungsional
1. Konsekuensi fungsional : efek dari tindakan, faktor risiko dan perubahan yang berkaitan
dengan usia yang mempengaruhi kualitas hidup dan kegiatan sehari-hari lansia.
2. Konsekuensi fungsional negatif : semua hal yang dapat mempengaruhi tingkat
ketergantungan atau kualitas hidup lansia.
3. Konsekuensi fungsional positif : segala hal yang dapat meningkatkan kualitas hidup
lansia atau menurunkan tingkat ketergantungan lansia.
4. Perubahan yang berkaitan dengan usia : perubahan yang progresif dan ireversibel, yang
terjadi selama proses kehidupan dan kondisi ekstrinsik yang independen atau patologis.
5. Faktor risiko: kondisi yang meningkatkan kerentanan lansia terhadap konsekuensi
fungsional negatif. Faktor-faktor risiko tersebut adalah penyakit, obat-obatan,
lingkungan, gaya hidup, sistem pendukung, keadaan psikososial dan sikap berdasarkan
kurangnya pengetahuan.
6. Individu : individu yang kemampuan fungsionalnya dipengaruhi oleh perubahan yang
berhubungan dengan usia dan faktor risiko. Ketika lansia dipengaruhi oleh perubahan
yang berhubungan dengan usia dan faktor risiko mereka bergantung pada individu lain
untuk kebutuhan sehari-hari, pemberi asuhan dianggap sebagai pendekatan integral untuk
keperawatan gerontik.
7. Tujuan keperawatan gerontik : meminimalkan dampak negatif dari perubahan yang
berkaitan dengan usia dan faktor risiko, serta mempromosikan dampak fungsional positif.
Hal ini dilakukan melalui proses keperawatan, dengan menekankan interaksi antara lansia
dan pemberi perawatan pada lansia yang tergantung untuk menghilangkan faktor risiko
atau meminimalkan efek yang terjadi.
8. Kesehatan: kemampuan lansia berfungsi pada kapasitas penuh, meskipun terdapat
perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko. Tingkat kesehatan ini
mempertimbangkan kualitas kehidupan individu dan termasuk fungsi psikososial dan
fisiologis.
9. Lingkungan: kondisi eksternal termasuk pemberi asuhan yang mempengaruhi fungsi
lansia. Kondisi ini merupakan faktor risiko ketika lingkungan mengganggu peningkatan
fungsi.

2.2.2 Asumsi Dasar Teori Konsekuensi Fungsional


Perubahan yang terkait usia dan faktor risiko merupakan konsep penting bagi teori
konsekuensi fungsional karena membedakan aspek perawatan lansia dari perawatan populasi

7
lainnya. Selain itu, penting untuk membedakan antara perubahan yang berhubungan dengan usia
dan faktor risiko serta perubahan usia-berkaitan dengan intervensi faktor risiko yang berbeda.
Hal ini tidak mungkin untuk memodikasi efek dari perubahan terkait usia, tetapi mungkin untuk
mengkompensasi efek perubahan yang terjadi sehingga terjadi konsekuensi fungsional yang
positif. Sebaliknya, faktor risiko sering dapat dimodifikasi dan dampaknya dapat diminimalkan
melalui intervensi. Yang penting adalah bahwa perubahan yang berkaitan dengan usia harus
dibedakan dari faktor risiko, sehingga pendekatan intervensi yang tepat dapat dilakukan.
Kerangka kerja yang dikembangkan oleh perawat adalah membantu dalam memahami
perbedaan antara perubahan fungsional dan faktor risiko. Risiko dikonseptualisasikan sebagai
faktor lingkungan yang berpotensi menimbulkan gangguan, termasuk yang berada di sekitar
lansia baik langsung atau tidak langsung. Rose dan Killien menyarankan bahwa salah satu
implikasi dari model ini adalah bahwa intervensi untuk meningkatkan kondisi kesehatan dapat
diarahkan untuk mengurangi risiko perubahan tingkat kerentanan seseindividu. Mereka
menyarankan bahwa sering kali lebih layak untuk memodifikasi lingkungan daripada mengubah
tingkat seseorangtentang kerentanan, terutama jika kerentanan tersebut terutama disebabkan
faktor genetik atau konstitusional. Meskipun teori mereka berfokus pada modifikasi faktor risiko,
mereka juga menekankan bahwa tingkat kerentanan tidak statis. Perspektif ini kongruen dengan
pendekatan fungsional terhadap konsekuensi keperawatan gerontik.
1. Individu

Mendasari konseptualisasi konsekuensi fungsional individu sebagai fokus asuhan


keperawatan adalah teori keperawatan Imogene King (1981). Individu menurut teori King adalah
makhluk rasional dan sosial, makhluk yang menggunakan bahasa untuk mengkomunikasikan
pikiran, tindakan, kebiasaan dan keyakinan. Selanjutnya, mereka ditandai dengan kemampuan
untuk merasa, berpikir, merasa, menetapkan tujuan, membuat keputusan, memilih antara
program alternatif tindakan, dan cara pilih untuk mencapai tujuan. Karena mereka memiliki
karakteristik ini, mereka bereaksi. Perspektif ini relevan dengan teori konsekuensi fungsional
karena penekanannya pada kemampuan individu yang bertanggung jawab untuk
mengembangkan dan mencapai tujuan. Dalam konsekuensi fungsional lansia dipandang
mempunyai kemampuan mencapai konsekuensi fungsional positif, meskipun perubahan usia dan
faktor risiko yang terkait. Selanjutnya, lansia dipandang sebagai individu yang unik yang mampu
mencapai fungsional positif. Teori konsekuensi fungsional didasarkan pada pendekatan holistik

8
untuk perawatan, yang dilihat lansia sebagai individu yang unik dan kompleks, yang dipengaruhi
oleh hubungan antara faktor internal dan eksternal.
Menurut teori konsekuensi fungsional, seseorangdianggap lansia ketika ia mewujudkan
satu atau lebih konsekuensi fungsional yang timbul dari perubahan-perubahan terkait umur
dalam diri mereka sendiri atau dalam kombinasi dengan faktor-faktor risiko yang berkaitan
dengan usia.
Lansia hidup di lingkungan yang akan secara aktif berpengaruh terhadap kondisinya. Hal
ini penting bagi lansia , karena sebagian besar gangguan fungsional seseorangdapat
mempengaruhi sumber daya pendukung. Ketika terjadi fungsional negatif karena lansia sangat
tergantung pada individu lain untuk kebutuhan sehari-hari, maka perawat dapat memberikan
asuhan keperawatan
2.Keperawatan

Menurut teori konsekuensi fungsional, tujuan keperawatan gerontik adalah untuk meminimalkan
dampak merugikan konsekuensi fungsional dan meningkatkan fungsi positif pada lansia.
Melalui proses perubahan keperawatan yang berhubungan dengan usia dan faktor risiko
intervensi direncanakan dan diimplementasikan dan dievaluasi hasil fungsional. Seringkali,
tujuan ini dicapai melalui pendidikan pada lansia dan pemberi asuhan pada lansia tergantung
pada intervensi yang akan dilaksanakan. Aspek pendidikan yang sangat penting ketika
pandangan dan kesalahpahaman berkontribusi konsekuensi fungsional negatif.

3. kesehatan

9
Konsekuensi fungsional mendefinisikan kesehatan sebagai kemampuan lansia berfungsi pada
kapasitas penuh, meskipun adanya perubahan yang berkaitan dengan usia dan faktor risiko. Ini
meliputi fungsi psikososial, fisiologis dan juga kualitas hidup individu. Oleh karena itu, menurut
teori kesehatan ditentukan secara individual, berdasarkan pada kemampuan fungsional yang
dianggap penting.
1. Lingkungan
Dalam teori konsekuensi fungsional, konsep lingkungan mempunyai peran penting.
Misalnya, lingkungan dapat menjadi faktor risiko yang merugikan fungsional dan sumber
intervensi positif terhadap konsekuensi-konsekuensi fungsional. Selain itu, lingkungan termasuk
pengaturan di mana perawatan disediakan. Pengasuh merupakan lingkungan bagi lansia yang
tergantung.

Assessment

Age-Related Negative Functional Additional


Changes
Positive Functional Conseq

Interventions

Consequences Risk factors

Gambar 2.1 Kerangka konseptual Teori Konsekuensi Fungsional Carol A Miller (1995)

10
2.2.3 Teori Konsekuensi Fungsional Pada Masalah Mobilisasi

1. Perubahan yang terkait usia :


1) Massa otot berkurang
2) Perubahan degeneratif jaringan ikat
3) Osteoporosis
4) Perubahan dalam sistem saraf pusat
2. Konsekuensi fungsional negatif
1) Kekuatan otot berkurang, daya tahan dan koordinasi
2) Keterbatasan rentang gerak sendi
3) Meningkatkan kerentanan untuk jatuh
4) Meningkatkan kerentanan untuk fraktur
3. Faktor resiko
1) Resiko osteoporosis: jenis kelamin perempuan, usia lanjut, imobilitas, asupan kalsium
tidak memadai, tulang kecil, ketipisan
2) Resiko untuk jatuh dan patah tulang: osteoporosis, perubahan usia yang berhubungan
dengan fungsi sensorik, dan sistem saraf pusat, kondisi medis, obat, depresi, dimentia ,
dampak lingkungan
4. Pengkajian pada sistem muskuloskeletal
1) Apakah lansia mempunyai kesulitan dalam beraktivitas berkaitan dengan kekakuan
sendi?
2) Apakah lansia mengeluh nyeri pada sendi?
3) Apakah lansia mengalami kesulitan untuk berjalan atau berpindah?
4) Apakah lansia perlu alat bantu untuk berjalan?
5) Apakah ada aktivitas yang tidak bisa anda laksanakan karena anda kesulitan berpindah?
6) Apakah lansia berolah raga?
7) Observasi gaya berjalan
8) Observasi kemampuan fungsional lansia
5. Intervensi
1) Olah raga ringan setiap hari
2) Asupan nutrisi yang memadai
3) Modifikasi lingkungan.

2.3 Konsep Keseimbangan Postural


2.3.1 Definisi
Keseimbangan didefinisikan sebagai kemampuan untuk memelihara pusat dari massa
tubuh agar tetap berada pada landasan penopang (Shumway-Cook & Woollacott, 2001).
2.3.2 Klasifikasi Keseimbangan Postural
Keseimbangan Postural diklasifikasikan menjadi 2 yaitu:
1. Keseimbangan statik.

11
Keseimbangan statik adalah suatu keadaan dimana individu dapat memelihara
keseimbangan tubuhnya pada suatu posisi tertentu selama jangka waktu tertentu.
2. Keseimbangan dinamik.
Keseimbangan dinamik merupakan keseimbangan pada saat tubuh melakukan gerakan
atau saat berdiri di atas landasan yang bergerak (dynamic standing) yang akan menempatkannya
dalam kondisi yang tidak stabil, dan pada keadaan ini kebutuhan akan kontrol keseimbangan
postural semakin meningkat (Chandler J, 2000).
2.3.3 Fisiologi Keseimbangan
Tugas pokok keseimbangan adalah membatasi stabilitas atau memelihara pusat gravitasi
tubuh (center of gravity/ COG) yang berlokasi di anterior dari vertebra sakralis kedua, diatas
dasar penyanggah (base of support/ BoS) yaitu area disekeliling kaki yang jaraknya antara kaki
ketika berdiri sekitar 5 – 10cm.
Keseimbangan atau kontrol postural adalah suatu proses – proses yang rumit yang
meliputi mekanisme afferen atau sistem sensoris (visual, vestibuler dan proprioseptif) dan
mekanisme efferen atau sistem motorik (kekuatan otot – otot anggota gerak atas dan bawah dan
fleksibilitas sendi). Respon – respon afferen dan efferen diatur melalui mekanisme pusat atau
fungsi SSP yang menerima dan mengatur informasi sensoris dan respon program sistem motorik
yang tepat (Chandler, J, 2000). Keseimbangan diatur oleh 3 hal pokok yaitu mekanisme afferen,
mekanisme efferen dan SSP, adapun penjelasannya adalah :
1. Mekanisme Afferen
Sistem visual memberikan informasi mengenai tempat dan jarak obyek dalam
lingkungannya, tipe permukaan stabil atu tidak stabil dimana gerakan akan dilakukan dan posisi
bagian tubuh dalam hubungan dengan faktor tersebut dan dengan lingkungan sekitarnya. Saat
berdiri penglihatan membantu merasakan perubahan postur dengan memberikan informasikan ke
SSP tentang gerakan – gerakan dan posisi bagian tubuh dalam hubungan dengan lingkungan luar.
Komponen fungsi visual dianggap penting untuk keseimbangan statik dan dinamik, sensitivitas
kontras, persepsi dalam dan penglihatan perifer. Input proprioseptif timbul dari reseptor –
reseptor otot dan tendon, mekanoreseptor persendian dan reseptor tekanan dalam pada aspek
plantar kaki juga menyediakan data sensoris penting untuk kontrol postural. Proprioseptif
mensuplai tubuh dengan informasi pada lingkungan yang tiba – tiba, memungkinkan tubuh

12
berorientasi sendiri apakah berdiri atau bergerak berkenaan dengan sandaran atau permukaan
tanah dan dalam relasi dengan bagian tubuh (Tideiksar, 1998)
Sistem vestibuler bekerja bersama dengan sistem visual dan proprioseptif untuk mencapai
keseimbangan. Sistem vestibuler terdiri dari tiga bagian : komponen sensoris perifer, komponen
pengolahan pusat dan komponen kontrol motorik (Tideiksar, 1998). Sistem ini mendeteksi
gerakan kepala dan orientasinya dalam ruang. Sistem ini memberikan informasi posisi dan
gerakan kepala ke SSP lewat otolis dan kanalis semisirkularis. Input vestibuler digunakan untuk
membangkitkan kompensasi gerakan mata dan respon postural selama gerakan – gerakan kepala
dan membantu memecahkan konflik informasi dari kesan visual dan gerakan sebenarnya.
Informasi dari reseptor sensoris dalam organ vestibuler berinteraksi dengan penglihatan dan
informasi somatosensoris menghasilkan alignment tubuh yang tepat dan kontrol postural.
Aktifitas ini dipicu oleh sel – sel sensoris khusus yang berlokasi dalam kanalis semisirkularis dan
otolit, dipersarafi oleh cabang saraf kranial ke VIII. Komponen pengolahan pusat (pons dan
serebellum) menerima dan menggabungkan tanda – tanda ini lalu mengkombinasikannya dengan
input visual dan proprioseptif, mengirim informasi ini ke komponen motorik. Sebagai jawaban
dua refleks penting digunakan oleh tubuh untuk mengatur kontrol postural ; reflek vestibulo-
okular (VOR) dan reflek vestibulospinal /VSR ( Chandler,J, 2000).
VOR mengontrol stabilitas okuler (menjaga mata tetap pada lapang pandang) dan
orientasi dari gerakan kepala. Tanpa refleks ini, gambaran penglihatan akan berubah setiap
kepala digerakkan walaupun hanya sedikit. VSR mempengaruhi otot – otot kerangka di leher,
batang tubuh dan anggota gerak dan membangkitkan kompensasi gerakan tubuh dengan
mempertahankan kepala dan kontrol postural. VOR dan VSR dimonitor oleh komponen
pengolahan sentral dan disesuaikan dengan kebutuhan. Sistem vestibuler membantu
memecahkan konflik informasi sensoris ketika input visual dan proprioseptif memberikan umpan
balik yang tidak akurat (Tideiksar, 1998).
2. Mekanisme efferen
Tugas utama dari sistem efektor adalah mempertahankan pusat gravitasi tubuh/Center of
Gravitation (COG). Dimana tugasnya meliputi duduk, berdiri, atau berjalan. Dalam posisi berdiri
respon motor (effector) mempertahankan atau menyokong sikap dan keseimbangan, yang disebut
muscle synergis (Guccione, 2000). Gerakan dilakukan oleh suatu kelompok sendi dan otot dari
kedua sisi tubuh, maka komponen efektor yang normal harus ada supaya dapat melakukan

13
gerakan keseimbangan postural yang normal. Komponen efektor yang dibutuhkan adalah LGS
(Lingkup Gerak Sendi), kekuatan dan ketahanan (endurance) dari kelompok otot kaki,
pergelangan kaki, lutut, pinggul, punggung, leher, dan mata. Gangguan pada komponen efektor
akan mempengaruhi kemampuan dalam mengontrol postur sehingga akan terjadi gangguan
keseimbangan postural (Suhartono, 2005).
3. Sistem Saraf Pusat (SSP)
Sistem ini dibutuhkan dalam memelihara respon postural. Central Nerves System (CNS)
melalui jaras-jarasnya menerima informasi sensoris perifer dari sistem visual, vestibular, dan
proprioseptif di gyrus post central lobus parietal kontralateral. Selanjutnya informasi ini
diproses dan diintegrasikan pada semua tingkat sistem syaraf. Akhirnya dalam waktu latensi ±
150 m/det akan terbentuk suatu respon postural yang benar secara otomatis dan akan
diekspresikan secara mekanis melalui efektor dalam suatu rangkaian pola gerakan tertentu.
Tetapi pada aktivitas dengan pola baru yang belum pernah disimpan dalam otak, maka reaksi
keseimbangan tubuh perlu dipelajari dan dilatih sampai reaksi tersebut dapat dilakukan dengan
tanpa perlu berpikir lagi.
2.3.4 Pengaruh usia pada keseimbangan
Penyebab usia berkaitan dengan dengan kemunduran keseimbangan adalah berhubungan
dengan kombinasi dari menurunnya input sensoris, respon motorik yang lambat dan keterbatasan
muskuloskeletal. Sebagaimana dibuktikan dengan penurunan sensasi vibrasi kutaneus dan rasa
posisi sendi ekstremitas bawah, input proprioseptif telah dibuktikan mengalami kemunduran
dengan meningkatnya usia. Penelitian telah membuktikan hubungan antara kemunduran input
proprioseptif dan peningkatan lenggang postural meskipun hasilnya bervariasi (Tideiksar, M,
1998).
Sistem vestibuler adalah subyek dari sejumlah perubahan yang bertalian dengan usia.
Penelitian telah memperlihatkan sekitar 20% kemunduran sel – sel rambut dalam otolit dan 40%
berkurangnya sel – sel rambut dalam kanalis semisirkularis setelah usia 70 tahun. Meskipun ini
mengalami perubahan pengaruh usia berhubungan dengan kemunduran vestibuler terhadap
kontrol postural tidak menentu. Peran sistem vestibuler dalam memelihara keseimbangan sulit
ditetapkan karena sistem ini hanya melengkapi satu bagian dari input yang diperlukan.
Koordinasi dan pelaksanaan dari strategi kontrol postural dipengaruhi usia. Permulaan
respon muskuler postural atau latensi (kecepatan aktifitas otot kaki bagian bawah) terhadap

14
perpindahan keseimbangan telah terjadi penurunan kecepatan sekitar 20 – 30 milidetik pada
lansia sehat. Keterlambatan dalam permulaan volunter aktifitas otot postural dalam respon
terhadap antisipasi gangguan keseimbangan dipengaruhi oleh penurunan deKingt perhatian.
Peningkatan usia menyebabkan terjadi kemunduran kekuatan pada otot ekstremitas
bawah. Otot yang mengalami penurunan adalah otot – otot antigravitasi seperti quadriceps,
ekstensor hips dan dorsifleksor pergelangan kaki. Terdapat hubungan antara kekuatan
ekstremitas bawah dan keseimbangan. Adanya kemunduran dalam kekuatan otot dan fleksibilitas
sendi pada ekstremitas bawah menyulitkan pelaksanaan strategi postural.
Hilangnya keseimbangan dan selanjutnya terjatuh disebabkan oleh banyak hal dari
kegagalan ketiga sistem penanggung jawab mekanisme dasar untuk memelihara keseimbangan
tubuh yaitu disfungsi vestibuler, masalah visual dan proprioseptif yang buruk (Marina, 2005).
Kelemahan otot – otot ekstremitas bawah telah diidentifikasi sebagai faktor resiko yang
memperbesar untuk jatuh pada lansia. Keseimbangan dan kekuatan otot memburuk sesuai
pertambahan usia dan telah dibuktikan bahwa menurunnya kemampuan untuk membangkitkan
kekuatan pada otot – otot ekstremitas bawah memperbesar gangguan keseimbangan.

2.4 Konsep Latihan Keseimbangan


Latihan pada lanjut usia memegang peran penting dalam memelihara tingkat kapasitas
fungsional. Jatuh yang disebabkan kelemahan otot ekstremitas bawah dapat dicegah dengan
latihan penguatan otot, meningkatkan ketahanan otot, mempertahankan dan memperbaiki postur
gerak sendi dan kompetensi postural. Latihan yang teratur telah terbukti memberikan perbaikan
pada kardiovaskuler, metabolik, endokrin dan kesehatan psikologis.
Latihan penguatan dapat menghasilkan 25 sampai 100% pencapaian kekuatan pada usia
lanjut dengan cara hipertrofi otot dan peningkatan motor unit recruitment. Kekuatan merupakan
faktor intrinsik dalam melaksanakan aktivitas sehari – hari bagi lanjut usia. Perbedaan kecepatan
berjalan pada lanjut usia berhubungan dengan kekuatan kaki maka dengan peningkatan kekuatan
akan memperlihatkan perbaikan ketahanan berjalan dan kemampuan naik tangga. Kriteria
gerakan latihan untuk meningkatkan keseimbangan pada lansia adalah gerakan propulsif baik
pada bidang horizontal maupun vertikal dan aktivitas yang melibatkan ketahanan serta gerakan
berpindah cepat seperti dalam gerakan spesifik ambulasi, jogging, dansa aerobik dan gerakan sit
to stand.

15
Latihan keseimbangan merupakan aktivitas fisik yang dilakukan untuk meningkatkan
kestabilan tubuh dengan meningkatkan kekuatan otot ekstremitas bawah. Pada penelitian ini
latihan keseimbangan dilaksanakan dengan olah pernapasan sehingga diharapkan keadaan fisik
lansia meningkat. Olah napas yang tepat dan benar dapat meningkatkan kebugaran dan kesehatan
tubuh.
Dalam kehidupan sehari hari kebanyakan individu hanya menggunakan 20-30% dari
kapasitas paru parunya untuk bernapas. Mayoritas individu melakukan pernapasan pendek –
pendek. Cara bernapas seperti ini mengakibatkan paru paru tidak bekerja maksimal. Sebagian
besar kapasitas paru paru tidak terpakai. Bagian paru paru yang jarang digunakan lama kelamaan
menjadi rusak dan tidak mampu lagi mensuplai oksigen kedalam darah. Napas menjadi sesak dan
pendek, badan menjadi cepat lelah, suplai oksigen keseluruh bagian tubuh jadi berkurang.
Akibatnya tubuh menjadi lemah dan rentan terhadap berbagai penyakit. Individu yang tidak
melatih cara bernapas dengan baik dan benar pada usia diatas 40 tahun kondisi tubuhnya
menurun dan mudah dihinggapi berbagai penyakit.
Tehnik yang dilakukan adalah tarik napas sedalam mungkin dimulai dengan
menggembungkan perut, kemudian dada dikembangkan dan pundak diangkat keatas. Kemudian
hembuskan napas dimulai dengan mengempiskan perut dilanjutkan dengan menurunkan dada
dan pundak. Ketika menarik napas individu akan merasakan bahwa seluruh ruang paru-paru
dipenuhi oleh udara, dan sebaliknya ketika menghembuskan napas paru - paru akan dikosongkan
dengan sempurna.
2.4.1 Gerakan Keseimbangan

Gerakan latihan keseimbangan terdiri dari 5 macam gerakan, yaitu hip extension, partial
squats, knee extension,walk heel to toe dan single stamb with chair (Eldergym Senior Fitness
2009, Senior Planning Services, 2010). Gerakan-gerakan ini berfungsi untuk meningkatkan
kekuatan otot pada anggota tubuh bagian bawah (lower-exercise) yang pada akhirnya akan dapat
meningkatkan keseimbangan postural pada lansia .
Hip extension
Tujuan : memperkuat otot pantat dan punggung
1. Berdiri dengan jarak ± 30 cm dari kursi.
2. Ambil nafas perlahan dari hidung dan gerakkan kaki kanan ke arah belakang (kaki
sampai pinggang dalam keadaan lurus) perlahan.

16
3. Pertahankan posisi.
4. Perlahan kembalikan kaki pada posisi semula dan menghembuskan nafas dari mulut.
5. Gerakan dilakukan sebanyak 10 kali.
6. Ulangi pada kaki kiri.

Gambar 2.3 Hip extension

1. Partial squats
Tujuan : Menguatkan otot – otot kaki dan pantat untuk mempermudah berjalan,
memperbaiki keseimbangan.
1. Berdiri tegak, dengan tangan berpegangan pada kursi.
2. Ambil nafas perlahan dari hidung lalu tekuklah lutut semaksimal mungkin, kurang lebih
450 tanpa menimbulkan rasa nyeri .
3. Kembali ke posisi semula dan hembuskan nafas dari hidung
4. Ulangi gerakan 10 kali

Gambar 2.4 Partial Squats


3.Knee extension

17
Tujuan : Menguatkan otot paha untuk memperbaiki kemampuan berjalan, kecepatan bangun dari
kursi:

1. Posisi duduk tegak


2. Ambil nafas perlahan dari hidung
3. Perlahan – lahan angkat kaki kanan lurus ke depan
4. Kembali ke posisi semula sambil menghembuskan nafas dari mulut
5. Lakukan gerakan10 kali
6. Ulangi gerakan pada kaki kiri

Gambar 2.5 Knee extension


4. Berjalan dengan ujung jari kaki menyentuh mata kaki
Tujuan : Meningkatkan keseimbangan
1. Mulai dengan berdiri dimana satu kaki berada di depan
2. Ambil nafas perlahan dari hidung, mulailah melangkah lurus
3. Langkahkan kaki kiri didepan kaki kanan bergantian sampai 5 langkah kembali ke posisi
semula

18
Gambar 2.6 Walk heel to toe
5. Berdiri satu kaki dengan berpegangan
Tujuan : meningkatkan keseimbangan
1. Berdiri di samping kursi dan berpegangan
2. Mulai berdiri dengan satu kaki dan ambil nafas perlahan dari hidung 4 kali hitungan lalu
hembuskan lewat mulut 4 hitungan.
3. Kembali ke posisi awal. Ulangi dengan kaki lain. Masing – masing kaki 10 hitungan

Gambar 2.7 Berdiri dengan satu kaki.

2.5 Pemeriksaan Keseimbangan BBS Orem


Instrumen yang digunakan untuk pemeriksaan dalam penelitian ini merupakan modifikasi
dari teori keperawatan Orem dan pemeriksaan keseimbangan Berg Balance Scale. Teori
keperawatan Orem dikenal dengan teori self care (perawatan diri). Orang dewasa dapat merawat
diri mereka sendiri, sedangkan bayi, lansia dan orang sakit membutuhkan bantuan untuk
memenuhi aktivitas self care mereka. Teori ini mengacu kepada bagaimana individu memenuhi
kebutuhan dan menolong keperawatannya sendiri, maka timbullah teori dari Orem tentang Self
Care Deficit of Nursing (Hajul K, 2008).

19
2.5.1 Tiga Aspek Utama Model Keperawatan Orem
Dari teori ini, Orem menjabarkan teorinya ke dalam tiga aspek, yaitu;
1. Self Care. Self Care merupakan satu pelaksanaan kegiatan yang diprakarsai dan dilakukan
oleh individu itu sendiri untuk memenuhi kebutuhan guna mempertahankan kehidupan,
kesehatan dan kesejahteraannya sesuai keadaan, baik sehat maupun sakit. Teori self care ini
berisi upaya tuntutan pelayanan diri yang therapeutik sesuai dengan kebutuhan pasien.
Perawatan diri sendiri adalah suatu langkah awal yang dilakukan oleh seorang perawat yang
berlangsung secara berkelanjutan sesuai dengan keadaan dan keberadannya, keadaan
kesehatan dan kesempurnaan. Self care merupakan aktivitas yang praktis dari seseorang
dalam memelihara kesehatannya serta mempertahankan kehidupannya.
2. Self Care Deficit. Teori ini merupakan inti dari teori perawatan general Orem yang
menggambarkan kapan keperawatan di perlukan. Oleh karena perencanaan keperawatan
pada saat perawatan yang dibutuhkan. Bila dewasa (pada kasus ketergantungan, orang tua,
pengasuh) tidak mampu atau keterbatasan dalam melakukan self care yang efektif. Teori self
care deficit diterapkan bila;
1. Anak belum dewasa
2. Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan
3. Kemampuan sebanding dengan kebutuhan tapi diprediksi untuk masa yang akan datang,
kemungkinan terjadi penurunan kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
3. Nursing System. Teori yang membahas bagaimana kebutuhan “Self Care” patien dapat
dipenuhi oleh perawat, pasien sendiri atau keduanya. Nursing system ditentukan/
direncanakan berdasarkan kebutuhan self care dan kemampuan pasien untuk menjalani
aktivitas self care. Orem mengidentifikasikan klasifikasi Nursing System :
1) The Wholly compensatory system merupakan suatu tindakan keperawatan dengan
memberikan bantuan secara penuh kepada pasien dikarenakan ketidakmampuan pasien
dalam memenuhi tindakan keperawatan secara mandiri yang memerlukan bantuan
dalam pergerakan, pengontrolan dan ambulasi, serta adanya manipulasi gerakan.
2) The Partly compensantory system merupakan sistem dalam memberikan perawatan diri
secara sebagian saja dan ditujukan pada pasien yang memerlukan bantuan secara
minimal .
3) The supportive – Educative system. Dukungan pendidikan dibutuhkan oleh klien yang
memerlukannya untuk dipelajari, agar mampu melakukan perawatan mandiri.
Metode bantuan yang digunakan dalam teori ini adalah dengan membantu klien dengan
menggunakan sistem dan melalui lima metode bantuan yang meliputi :

20
1) Acting atau melakukan sesuatu untuk klien
2) Mengajarkan klien
3) Mengarahkan klien
4) Mensuport klien
5) Menyediakan lingkungan untuk klien agar dapat tumbuh dan berkembang (Trinoval YN,
2009)

2.5.2 Klasifikasi Kebutuhan Manusia Menurut Model Keperawatan Orem


Orem mengklasifikasikan kebutuhan manusia ke dalam 3 katagori, yaitu:
1. Universal self care requisites (kebutuhan perawatan diri universal): kebutuhan yang
umumnya dibutuhkan oleh manusia selama siklus kehidupannya seperti kebutuhan fisiologis
dan psikososial termasuk kebutuhan udara, air, makanan, eliminasi, aktivitas, istirahat,
kebersihan diri, sosial, dan pencegahan bahaya. Hal tersebut dibutuhkan manusia untuk
perkembangan dan pertumbuhan, penyesuaian terhadap lingkungan yang berguna bagi
kelangsungan hidupnya.
2. Development self care requisites (kebutuhan perawatan diri pengembangan): kebutuhan
yang berhubungan dengan pertumbuhan manusia dan proses perkembangannya, kondisi,
peristiwa yang terjadi selama variasi tahap dalam siklus kehidupan dan kejadian yang dapat
berpengaruh buruk terhadap perkembangan. Hal ini berguna untuk meningkatkan proses
perkembangan sepanjang siklus hidup.
3. Health deviation self care requisites (kebutuhan perawatan diri penyimpangan kesehatan):
kebutuhan yang berhubungan dengan genetik atau keturunan, kerusakan atau penyimpangan
cara, struktur norma, penyimpangan fungsi atau peran dengan pengaruhnya dan integritas
yang dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan self care.
2.5.3 Tujuan Utama Asuhan Keperawatan Model Orem
Tujuan keperawatan pada model Orem secara umum adalah:
1. Menurunkan tuntutan self care pada tingkat dimana klien dapat memenuhinya, ini berarti
menghilangkan self care deficit.
2. Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan self care.
3. Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk memberikan asuhan
dependen jika self care tidak memungkinkan, oleh karenanya self care deficit apapun
dihilangkan.
4. Jika ketiganya di atas tidak tercapai perawat secara langsung dapat memenuhi kebutuhan-
kebutuhan self care klien.

21
2.5.4 Konsep pemeriksaan Berg Balance Scale (BBS)
Berg Balance Scale (BBS) adalah suatu pemeriksaan yang bersifat obyektif terhadap
kemampuan keseimbangan (Canadian Physiotherapy Association, 1994).) BBS sebagai suatu
alat ukur/skala yang terdiri dari 14 item yang dipakai untuk mengukur keseimbangan pada lansia
dalam tatanan klinis (Riddle and Stratford, 1999). Pemeriksaan ini biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi keseimbangan postural tubuh pada lansia (Gowland, 1994).
BBS dapat menggambarkan keseimbangan dengan baik.
Tes ini terdiri dari 14 item yang mengintegrasikan kemampuan persepsi, sensori serta
mobilitas dalam penilaiannya. Item – item tersebut antara lain : sitting to standing, standing
unsupported, sitting unsupported, standing to sitting, transfers, standing with eyes closed,
standing with feet together, reaching forward with outstretched arm, retrieving object from floor,
turning to look behind, turning 360 degrees, placing alternate foot on stool, standing with one
foot in front, standing on one foot (Berg et al, 1992). Lama dari pemeriksaan Berg Balance
Scale (BBS) berkisar antara 15-20 menit, dengan kriteria penilaian yang sederhana sehingga
tidak memerlukan pelatihan khusus bagi pemeriksa. Item yang diuji adalah kemampuan untuk
memelihara posisi atau gerakan dengan mengurangi landasan penunjang (base of support).
Dimulai dari landasan penunjang yang lebih besar yaitu duduk, lalu meningkat ke landasan
penunjang yang lebih kecil yaitu berdiri sampai berdiri dengan satu kaki. Tiap item diskor
dengan skala 0 – 4 dengan nilai maksimum 56. Interpretasi skor total BBS adalah 0 – 20 : resiko
tinggi jatuh, 21 – 40 : resiko sedang, 41 – 56 : resiko rendah.

2.5.5 Aplikasi Teori Keperawatan Orem dan BBS


Penurunan BBS berhubungan dengan ketidakmampuan dalam pelaksanaan ADL.
Penelitian yang dilakukan oleh Setiahardja AS(2005), menyatakan ada hubungan keseimbangan
dengan AKS pada lansia dengan menggunakan Berg Balance Scale dan Indeks Barthel yang
dimodifikasi. Orem mengklasifikasikan kebutuhan manusia menjadi tiga yaitu universal self
care requisites, development self care requisites, health deviation self care requisites. Universal
self care requisites merupakan pemenuhan kebutuhan dasar pada lansia fisik dan psikologis
misalnya makan, tidur, aktivitas, istirahat, eliminasi dan pemenuhan kebersihan diri. Teori self
care membagi tindakan yang diperlukan lansia menjadi tiga yaitu wholly compensatory system,
partly compensatory system, the supportive – educative system. Pengamatan yang dilakukan di

22
panti, selama ini lansia berusaha untuk mandiri dalam pemenuhan kebutuhan sehari – hari,
meskipun kondisi fisik mengalami penurunan. Berdasarkan teori diatas maka peneliti ingin
menggabungkan konsep self care dan BBS. Interpretasi skor total BBS adalah 0 – 20 : resiko
tinggi jatuh, 21 – 40 : resiko sedang, 41 – 56 : resiko rendah. Pada penelitian ini dilakukan
modifikasi yaitu skor 0 – 20 : wholly compensatory yang berarti lansia memerlukan bantuan
maksimal dalam pemenuhan ADL, 21 – 40 : partly compensatory yang berarti lansia
memerlukan bantuan sebagian dan 41 – 56 supportive education yang berarti lansia memerlukan
dukungan untuk meningkatkan kemampuan dalam pemenuhan ADL.

2.6 OSTEO ARTRITIS PADA LANSIA


2.6.1 Definisi

Osteoartritis (OA) adalah penybab ketunadayaan berat yang paling umum di Inggris dan
Amerika utara. OA merupakan penyebab utama nyeri sendi dan memberi tanatangan besar bagi
pemberi layanan kesehatan Kneale&Davis, 211).

Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan


kartilago sendi. OA mengenai semua persendian dari servikal, thorakal, lumbal, panggul, lutut,
pergelangan kaki, tangan sampai ke jari-jari, paling sering ditemukan pada sendi lutut karena
sendi-sendi ini dapat pembebanan yang lebih besar dibanding sendi-sendi yang lain (Deu, 2014).
2.2.2 Klasifikasi Osteoartritis
Menurut Maharani (2007) Osteoartritis diklasifikasikan menjadi 2 kelompok :
1. Osteoartritis primer
Osteoartritis primer disebut idipatik yang disebabkan faktor genetik, yaitu adanya abnormalitas
kolagen sehingga mudah rusak.
2. Osteoartritis sekunder
Osteoartritis sekunder terjadi akibat kelainan endokrin, metabolik, inflamasi, pertumbuhan,
mikro dan makro trauma, imobilitas yang terlalu lama serta serta faktor risiko lainya, seperti
obesitas dan sebagainya.
2.2.3 Etiologi osteoartritis
Penyebab osteoartritis belum diketahui dengan pasti.

23
Namun faktor yang mempengaruhi terjadinya osteoartritis dipengaruhi oleh Rasjad (2008).:
1. Usia
Pada umumnya ditemukan pada usia diatas 50 tahun karena pada usia lanjut pembentukan
kondroitin sebagai suntansi dasar tulang rawan berkurang dan dapat terjadi fibrosis tulang
rawan.
2. Jenis kelamin
Osteoartritis primer lebih banyak ditemukan pada wanita pasca menopause sedangkan
osteoartritis sekunder lebih banyak ditemukan pada laki-laki
Ras
Lebih sering terjadi pada orang Asia kususnya Cina, Eropa, dan Amerika dari pada orang
berkulit hitam.
4. Faktor Keturunan
Pada ibu yang menderita OA pada sendi interfalang distal (Nodus Herberden) maka anak
perempuannya cenderung menderita OA 2 kali labih sering dibanding dengan ibu dan anak
perempuan tanpa OA (Sudoyo, dkk, 2009).
5. Faktor metabolik/ endokrin
Berat badan yang berlebih nyata kaitannya dengan meningkatnya kejadian OA. Orang dengan
penyakit OA mempunyai risiko tinggi terhadap penyakit jantung koroner, hipertensi,
hiperurikemi, dan diabetes militus dari pada orang tanpa OA.
6. Trauma
Trauma hebat atau fraktur intra-artikuler, dislokasi sendi merupakan faktor predisposisi
terjadinya osteoartritis.
7. Cuaca/iklim
Gejala lebih sering muncul setelah kontak dengan cuaca dingin atau lembab.
8. Diet
Salah satu tipe obesitas yang bersifat umum diseberia yang disebut penyakit Kashin-Beck yang
mungkin disebabkan karena menelan zat toksin yang disebut Fusaria.
2.2.4 Patofisiologi Osteoartritis
Faktor risiko terjadinya osteoartritis menyebabkan kerusakan pada sendi. Menurut Bachtiar
(2010) kerusakan pada sendi melalui tiga mekanisme yaitu
1. Peningkatan Matriks Metalloproteases (MMP).

24
Colagenase , sebuah enzim MMP bertanggung jawab atas degradasi kolagen. Stromelysin
bertanggung jawab atas degradasi proteoglikan dan enzim Aggrecanase juga bertanggung jawab
atas degradasi proteoglikan .
2. Inflamasi membran sinovial
Sintesis mediator -mediator seperti interleukin-1 beta (IL-1) dan TNF- alfa (Tumor Necrosis
Factor) pada membran sinovial menyebabkan degradasi tulang rawan. Sitokinin mampu
meningkatkan sintesis enzim MMP, menghambat sintesis fisiologis utama inhibitor dan
menghanbat sintesis bahan-bahan matriks, menghasilkan degradasi yang parah dalam tulang
rawan.
Stimulasi produksi Nitrit Oxide
Selain 2 mekanisme diatas, tedapat mekanisme lain dimana IL-1 memunculkan efek
memunculkan efek yang dapat menyebabkan inflamasi dengan menstimulasi produksi nitric
oxide (NO). NO juga dapat menghasilkan produksi kolagen dan sintesis proteoglikan.

2.2.5 Kelainan yang dapat terjadi pada osteoartritis.


Menurut Dandy & Edwards, 1998 Dalam Kneale&Davis, 2011 Terjadinya osteooartritis
penyebabkan perubahan fisiologis pada sendi antara lain
1. Kerusakan kartilago
Kerusakan kartilago aartikular terjadi pada saat permukaan sendi yang biasanya halus
terganggu akibat serabut kolagen rusak, menimbulkan permukaan menjadi kasar . Pergerakan
sendi dan friksi menyebabkan beberapa kartilago artikular putus ke dalam sendi. Kartilago
artikular diabsorbpsi oleh sinovium dan terjadi respon inflamasi yang menyebabkan timbul rasa
nyeri dan kaku pada sendi.
Iritasi sinovium
Iritasi sinovium ini dapat disebabkan oleh pelepasan oleh enzim intraseluler, seperi lisosom.
Pelepasan Lisosom dalam sel ini menyebabkan hiperemia dan respon seluler pada lapisan
sinovial, yang berakibat sinoviaum memproduksi enzim degradatif seperti interleukin-1.
Remodeling.
Remondeling (peremajaan tulang) kartilago pada saat perbaikan terbatas. Lesi superfisial pada
kartilago artikuler tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri, tetapi lesi yang lebih dalam dan
menembus korteks tulang memudahkan infiltrasi sel sum-sum tulang dan pembentukan

25
fibrokartilago. Pada tepi permukaan sendi terbentuk osteofit saat fibrokartilago menyelubungi
osteofit yang dapat mempengaruhi bentuk dan kesesuaian sendi.
4. Eburnation tulang dan pembentukan kista
Apabila sendi di istirahatkan, partikel yang rusak secara perlahan diabsorpsi dan jaringan
fibrosa timbul pada permukaan sendi tetapi akhirnya mengalami kegagalan. Erosi permukaan
artikular menyebabkan tulang subkondrial menjadi halus dan mengalami eburnation terpajan
sehingga kehilangan ruang sendi yang menimbulkan rasa nyeri.
5. Disorganisasi
Disorganisasi merupakan tahap akhir penyakit ketika penyakit memburuk, osteofit membesar
dan permukaan tulang rusak berat menyebabkan kekakuan dan deformitas sendi..
2.2.6 Gambaran klinis Osteoartritis
Menurut Rasjad (2008) Osteoartritis biasanya mengenai satu atau beberapa sendi. Gejala klinis
yang ditemukan berhubungan dengan fase inflamasi sinovial. Gejala klinis yang timbul antara
lain
1. Nyeri
Nyeri sendi terutama pada sendi yang menanggung beban tubuh seperti sendi panggul dan lutut.
Nyeri timbul saat sendi digerakkan dan saat aktivitas.
2. Kekakuan
Kekakuan terjadi karena adanya lapisan yang terbentuk dari bahan elastik akibat pergeseran
sendi atau karena adanya cairan vikosa. Keluhannya berupa kekakuan /kesukaran untuk bergerak
setelah duduk. Kekakuan pada sendi besar atau pada jari tangan menyebabkan gangguan pada
aktivitas sehari-hari.
3. Pembengkakan
Pembengkakan terutama pada sendi lutut dan siku. Pembengkakan disebabkan oleh cairan
dalam sendi pada stadium akut atau oleh karena pembengkakan pada tulang yang disebut
osteofit.
4. Gangguan pergerakan
Gangguan pergerakan ini disebabkan oleh adanya fibrosis pada kapsul, osteofit, atau
iregularitas permukaan sendi sehingga pergerakan sendi dapat terdengar adanya krepitasi.
deformitas, nodus Heberden dan Bourchard.

26
2.2.7 WOC Multifaktor yg menyebabkan osteoartritis

Perub.membran sinovial pd sendi


Perub. Metabolis.
Tllg rawan sendi
Pengikisan kartilago
Kerusakan struktur
proteoglikan karti sendi

Pergesekan tulang antar sendi


Perub.komposisi molecular
dan matriks rawan sendi
inflamasi

Penury.sintesis
proteoglikandan kolagen

Penurunan kadar
proteoglikan

Perub sifat kolagen

Penurunan sinovial

Tlg rawan resisten


terhadap tekanan

Tekanan berlebih

Kerus. mekanik pd tulang

Kerusakan matriks tulang

Osteo artritis

27
Pembentukan osteofit sendi
Pelunakan dan
iregularitas sendi
Kontraktur dan instabilitas
sendi Peningkatan artikular sendi
Kekakuan sendi

MK:Hambatan mobilita fisik


Peningkatan artikular sendi
Pergerakan terbatas

Deformitas sendi
MK: Resti jatuh

Peningkatan beban sendi MK: Nyeri

MK: ggn citra diri


Tindakan pembedahan

MK:Resiko tinggi infeksi

MK: Ansietas

28

You might also like