Professional Documents
Culture Documents
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Menurut Ngastiyah (2005) menyatakan demam tifoid (typhus abdominalis,
typhoid fever, enteric fever) merupakan penyakit infeksi akut yang biasanya
terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam selama satu minggu
atau lebih dengan disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau
tanpa gangguan kesadaran, Penyebab penyakit ini adalah Salmonella typhosa.
Umumnya prognosis penyakit ini pada anak baik, asal pasien cepat berobat.
Jika penyakit ini tidak segera diobati bisa menjadi tidak baik dengan
gambaran klinis yang berat seperti demam tinggi (hiperpireksia) atau febris
kontinua, kesadaran menurun (sopor, koma, atau delirium), bisa juga terdapat
komplikasi yang lebih berat, misalnya dehidrasi dan asidosis, perforasi.
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang
sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia
dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (Pramitasari, 2013).
Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009, demam tifoid atau
paratifoid menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien rawat
inap di rumah sakit tahun 2009 yaitu sebanyak 80.850 kasus, yang meninggal
1.747 orang dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1,25%. Sedangkan
berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2010 Demam Tifoid atau
paratifoid juga menempati urutan ke-3 dari 10 penyakit terbanyak pasien
rawat inap di rumah sakit tahun 2010 yaitu sebanyak 41.081 kasus, yang
meninggal 274 orang dengan CFR sebesar 0,67 %.11 menurut Riset
Kesehatan Dasar Nasional tahun 2007, prevalensi Tifoid klinis nasional
sebesar 1,6%. Sedang prevalensi hasil analisa lanjut ini sebesar 1,5% yang
artinya ada kasus Tifoid 1.500 per 100.000 penduduk Indonesia (Pramitasari,
2013).
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud demam tifoid?
2. Bagaimana etiologi dari tifoid?
3. Bagaimana patofisiologi dari tifoid?
4. Bagaimana gejala klinis tifoid?
5. Bagaimana pemeriksaan penunjang demam tifoid?
6. Bagaimana terapi dari demam tifoid?
7. Apa saja komplikasi dari tifoid?
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Penyakit
2.1.1 Definisi
Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang
ditandai dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial
yang bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus
peyer di distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
Tifus abdominalis adalah suatu infeksi sistem yang ditandai
demam, sakit kepala, kelesuan, anoreksia, bradikardi relatif, kadang-
kadang pembesaran dari limpa/hati/kedua-duanya. (Samsuridjal D dan
heru S, 2003)
2.1.2 Etiologi
Salmonella typhi yang menyebabkan infeksi invasif yang ditandai
oleh demam, toksemia, nyeri perut, konstipasi/diare. Komplikasi yang
dapat terjadi antara lain: perforasi usus, perdarahan, toksemia dan
kematian. (Ranuh, Hariyono, dan dkk. 2001)
Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi,
S.paratyphi A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo
Tjokronegoro, 1997)
2.1.3 Patofisiologi
Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang
terkontaminasi urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa
kuman/karier.
Empat F (Finger, Files, Fomites dan fluids) dapat menyebarkan
kuman ke makanan, susu, buah dan sayuran yang sering dimakan
tanpa dicuci/dimasak sehingga dapat terjadi penularan penyakit
terutama terdapat dinegara-negara yang sedang berkembang dengan
kesulitan pengadaan pembuangan kotoran (sanitasi) yang andal.
(Samsuridjal D dan heru S, 2003)
Masa inkubasi demam tifoid berlangsung selama 7-14 hari
(bervariasi antara 3-60 hari) bergantung jumlah dan strain kuman yang
3
tertelan. Selama masa inkubasi penderita tetap dalam keadaan
asimtomatis. (Soegeng soegijanto, 2002)
Pathway
Salmonella typhosa
Saluran pencernaan
Perubahan nutrisi
4
nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi, serta suhu
badan yang meningkat.
Pada minggu kedua maka gejala/tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut
kembung, bisa disertai gangguan kesadaran dari ringan sampai berat.
Lidah tifoid dan tampak kering, dilapisi selaput kecoklatan yang tebal,
di bagian ujung tepi tampak lebih kemerahan. (Ranuh, Hariyono, dan
dkk. 2001)
Sejalan dengan perkembangan penyakit, suhu tubuh meningkat
dengan gambaran ‘anak tangga’. Menjelang akhir minggu pertama,
pasien menjadi bertambah toksik. (Vanda Joss & Stephen Rose, 1997)
Gambaran klinik tifus abdominalis
1. Keluhan:
a Nyeri kepala (frontal) 100%
b Kurang enak di perut 50%
c Nyeri tulang, persendian, dan otot 50%
d Berak-berak 50%
e Muntah 50%
2. Gejala:
a Demam 100%
b Nyeri tekan perut 75%
c Bronkitis 75%
d Toksik 60%
e Letargik 60%
f Lidah tifus (“kotor”) 40%
(Sjamsuhidayat,1998)
5
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali
normal setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak
memerlukan penanganan khusus
3. Pemeriksaan Uji Widal
Uji Widal dilakukan untuk mendeteksi adanya antibodi
terhadap bakteri Salmonella typhi. Uji Widal dimaksudkan untuk
menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita Demam
Tifoid. Akibat adanya infeksi oleh Salmonella typhi maka
penderita membuat antibodi (aglutinin) yaitu:
a Aglutinin O: karena rangsangan antigen O yang berasal dari
tubuh bakteri
b Aglutinin H: karena rangsangan antigen H yang berasal dari
flagela bakteri
c Aglutinin Vi: karena rangsangan antigen Vi yang berasal dari
simpai bakter.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglitinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis Demam Tifoid. Semakin tinggi
titernya semakin besar kemungkinan menderita Demam Tifoid.
(Widiastuti Samekto, 2001)
2.1.6 Terapi
1. Kloramfenikol. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg perhari,
dapat diberikan secara oral atau intravena, sampai 7 hari bebas
panas
2. Tiamfenikol. Dosis yang diberikan 4 x 500 mg per hari.
3. Kortimoksazol. Dosis 2 x 2 tablet (satu tablet mengandung 400
mg sulfametoksazol dan 80 mg trimetoprim)
4. Ampisilin dan amoksilin. Dosis berkisar 50-150 mg/kg BB,
selama 2 minggu
5. Sefalosporin Generasi Ketiga. dosis 3-4 gram dalam dekstrosa
100 cc, diberikan selama ½ jam per-infus sekali sehari, selama 3-
5 hari
6
6. Golongan Fluorokuinolon
a Norfloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 14 hari
b Siprofloksasin : dosis 2 x 500 mg/hari selama 6 hari
c Ofloksasin : dosis 2 x 400 mg/hari selama 7 hari
d Pefloksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
e Fleroksasin : dosis 1 x 400 mg/hari selama 7 hari
7. Kombinasi obat antibiotik. Hanya diindikasikan pada keadaan
tertentu seperti: Tifoid toksik, peritonitis atau perforasi, syok
septik, karena telah terbukti sering ditemukan dua macam
organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella typhi.
(Widiastuti S, 2001)
2.1.7 Komplikasi
Perdarahan usus, peritonitis, meningitis, kolesistitis, ensefalopati,
bronkopneumonia, hepatitis. (Arif mansjoer & Suprohaitan 2000)
Perforasi usus terjadi pada 0,5-3% dan perdarahan berat pada 1-
10% penderita demam tifoid. Kebanyakan komplikasi terjadi selama
stadium ke-2 penyakit dan umumnya didahului oleh penurunan suhu
tubuh dan tekanan darah serta kenaikan denyut jantung.Pneumonia
sering ditemukan selama stadium ke-2 penyakit, tetapi seringkali
sebagai akibat superinfeksi oleh organisme lain selain Salmonella.
Pielonefritis, endokarditis, meningitis, osteomielitis dan arthritis
septik jarang terjadi pada hospes normal. Arthritis septik dan
osteomielitis lebih sering terjadi pada penderita hemoglobinopati.
(Behrman Richard, 1992)
7
2.2 Konsep Dasar Keperawatan
2.2.1 Pengkajian
Nama An.W, jenis kelamin perempuan, umur 13 tahun, agama
Islam, alamat Gandarum Rt/Rw 02/07 Kajen, Pekalongan, dirawat di
Ruang Flamboyan RSUD Kajen dengan nomer rekam medik 174764.
Penanggung jawab Tn.W selaku ayah pasien, status menikah, agama
Islam, alamat Gandarum Rt/Rw 02/07 Kajen Pekalongan. Diagnosa
pada klien adalah Demam Tifoid.
Pada tanggal masuk 17 Januari 2016, pukul 14.55 WIB klien
beserta keluarga datang ke RSUD Kajen. Keluhan saat masuk menurut
keterangan ibu klien bahwa badan anaknya panas sejak 5 hari yang
lalu, sebelumnya klien sudah diperiksa ke mantri yang ada didesannya
tapi klien masih panas, mual dan muntah. Kemudian klien dibawa ke
RSUD Kajen dan dirawat di ruang Flamboyan kamar III A.
Pada saat pengkajian tanggal 18 Januari 2016, pukul 08.15 WIB
didapatkan data: data subjektif: Klien mengatakan masih panas, klien
mengatakan bab cair 5x, klien mengatakan klien makan hanya habis ¼
porsi. Data objektif: Kulit teraba hangat, tekanan darah 100/70 mmHg,
nadi 112 x/menit, RR 24 x/menit, suhu 38,6°C, klien tampak lemas,
mukosa bibir kering, turgor kulit ± 1 detik, bb 34 kg, tb 139 cm. Pada
mulut didapatkan hasil mukosa kering, lidah kotor, Paru-paru simetris,
gerakan naik turunnya sama, tidak ada benjolan, bunyi paru vesikuler.
Pada abdomen simetris, tidak ada luka, terdengar bising usus
dikuadran ke empat 28x/m, tidak ada benjolan, suara perkusi abdomen
tympani. Kemudian pada ekstremitas atas tangan kiri terpasang infus
Ringer Laktat 15 tetes per menit.
Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan data: leukosit
6.900/mm³, thrombosit 156. 000 /mm³, hemoglobin 13,4 gr/100ml,
widal: tipe O +1/320, H +1/160, AH negatif. Terapi pada tanggal 18
Januari 2016: Infus RL 15 tetes/menit, injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
IV, injeksi ranitidin 2x1/2 ampul (150 mg) IV, antrain 3x1 500 mg IV,
trolit 3x1 sachet peroral
8
2.2.2 Diagnosa
Dari hasil pengkajian tanggal 18 Januari 2016, diagnosa yang penulis
peroleh adalah :
1. Hipertermia berhubungan dengan proses infeksi salmonella
thypi
2. Resiko kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan
dengan intake cairan tidak adekuat
3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anoreksia
9
advice dan libatkan keluarga untuk mengisi format buku cairan.
Intervensi yang keempat yaitu anjurkan klien untuk banyak
minum 1.500- 2.000 cc/hari dan intervensi yang terakhir adalah
kolaborasi cairan intra vena dan per oral: Infus RL 15 tpm, makro
drip, dan Trolit 3x1 sachet.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada tanggal 18-
20 Januari 2016 adalah: Memonitor pemasukan dan pengeluaran
cairan, memonitor TTV, memonitor kelancaran cairan sesuai
advice dan libatkan keluarga untuk mengisi format buku cairan.
Tindakan selanjutnya adalah menganjurkan untuk banyak minum
1.500- 2.000 cc/hari dan melakukan kolaborasi cairan intra vena
dan per oral, Infus RL 15 tpm makro drip dan trolit 3x1 sachet.
3. Resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia
Intervensi yang akan dilakukan adalah mengobservasi
keluhan klien, timbang BB klien setiap hari, berikan makanan
sedikit tapi sering dan makanan tambahan. Tindakan selanjutnya
adalah kolaborasi dengan ahli gizi dalam pelaksanaan diit dan
kolaborasi dengan dokter untuk pemberian ranitidin 2x1/2 ampul
(150 mg) IV.
Implementasi keperawatan yang dilakukan pada tanggal 18
– 20 Januari 2016 adalah mengobservasi keluhan klien,
menimbang BB klien setiap hari, memberikan makan sedikit tapi
sering dan makanan tambahan. Tindakan selanjutnya adalah
melakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat
ranitidin 2x1/2 ampul (150 mg) IV.
2.2.4 Evaluasi
1. Evaluasi keperawatan yang diperoleh pada tanggal 20 Januari
2016 bahwa masalah Hipertermia berhubungan dengan proses
infeksi salmonella thypi masalah teratasi. Hal ini ditandai dengan
klien mengatakan panas sudah mendingan tapi masih naik turun,
Suhu 37,1°C, Nadi 104x/m, RR 23x/m. Tindakan selanjutnya
10
adalah mengobservasi keluhan klien dan TTV, kompres hangat,
dan kaolaborasi dengan dokter untuk pemberian antibiotik dan
antipiretik
2. Evaluasi keperawatan yang diperoleh pada tanggal 20 Januari
2016 bahwa masalah resiko kekurangan volume cairan dan
elektrolit berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat
masalah teratasi sebagian. Hal ini ditandai dengan klien
mengatakan masih lemas, klien tampak lemah, mukosa bibir
lembab, minum ±1500 cc/hari, Suhu 37,1°C, Nadi 104x/m, RR
23x/menit. Tindakan selanjutnya adalah memonitor intake dan
output dan menganjurkan klien untuk banyak minum.
3. Evaluasi keperawatan yang diperoleh pada tanggal 20 Januari
2016 bahwa masalah resiko ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia teratasi. Hal
ini ditandai dengan ibu klien mengatakan klien sudah mulai
makan. Klien makan hanya habis ½ porsi, BB 34 kg. Tindakan
selanjutnya adalah motivasi klien untuk makan sedikit tetapi
sering dengan melibatkan keluarga untuk memantau keadaan
klien dan timbang BB setiap hari.
Saya melaakukan asuhan keperawatan selama 3 hari,
karena pada evaluasi hari ke 3 kondisi pasien sudah mulai baik.
Pasien sudah diizinkan pulang oleh dokter tetapi masih dalam
pengawasan
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Demam tifoid adalah penyakit menular yang bersifat akut, yang ditandai
dengan bakterimia, perubahan pada sistem retikuloendotelial yang
bersifat difus, pembentukan mikroabses dan ulserasi Nodus peyer di
distal ileum. (Soegeng Soegijanto, 2002)
2. Etiologi demam tifoid dan demam paratipoid adalah S.typhi, S.paratyphi
A, S.paratyphi b dan S.paratyphi C. (Arjatmo Tjokronegoro, 1997)
3. Transmisi terjadi melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi
urin/feses dari penderita tifus akut dan para pembawa kuman/karier
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka saran dari makalah ini yaitu :
1. Bagi mahasiswa/i dapat berguna untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan mengenai perawatan bagi klien dengan penyakit demam
tifoid.
2. Bagi pasien dan keluarga pasien yang ingin mengetahui cara bagaimana
perawatan penyakit demam tifoid.
3. Bagi masyarakat umum yang berminat untuk membaca dan ingin
mengetahui perawatan penyakit demam tifoid.
12
DAFTAR PUSTAKA
Samsuridjal Djauzi dan Heru Sundaru. Imunisasi Dewasa. FKUI. Jakarta. 2003.
Arjatmo Tjokronegoro & Hendra Utama. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid
I. Edisi ke Tiga. FKUI. Jakarta. 1997.
Behrman Richard. Ilmu Kesehatan Anak. Alih bahasa: Moelia Radja Siregar &
Manulang. Editor: Peter Anugrah. EGC. Jakarta. 1992.
Joss, Vanda dan Rose, Stephan. Penyajian Kasus pada Pediatri. Alih bahasa
Agnes Kartini. Hipokrates. Jakarta. 1997.
13