Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 26

MAKALAH

TEKNOLOGI SEDIAAN PADAT


“SUPPOSITORIA HIPNOTIK SEDATIF”

TRANSFER B 2017
KELOMPOK IV
Arnolus Petrus Nggaluama 17.01.323
Beatrix Forenain Bian 17.01.330
Gaudensia Bena 17.01.327
Halima Sya’roini 17.01.324
Karolina A.Bengang Bikololong 17.01.328
Maria Nuari Putri Wadhi 17.01.331
Marianus Samon Muli 17.01. 333
Rahmatia 17.01.326
Simon Gidion L. Botha 17.01.325
Victoria Ansis Eka Sakti Nahak 17.01.329
Vika Yuricke Djami 17.01.332

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI


MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang


Obat adalah semua bahan tunggal atau campuran yang digunakan
oleh semua mahluk hidup bagian dalam maupun bagian luar, guna
mencegah, meringankan, maupun menyembuh penyakit. Secara umum
menurut bentuk sediaannya, obat terbagi atas 3 macam yaitu sediaan cair,
sediaan semi padat dan sediaan padat. Dalam praktikum kali ini kami
membuat salah satu bentuk sediaan padat yaitu suppositoria (Ansel, 1989).
Suppositoria adalah suatu sediaan padat yang mengandung bahan
obat dengan bobot yang bervariasi, biasanya berbentuk oval, torpedo atau
kerucut dimaksudkan untuk disisipkan ke dalam rongga tubuh kecuali rongga
mulut seperti pada rectum, vagina atau uretra dimana akan melunak,
melembut, mencair dalam suhu tubuh dan larut dalam cairan rongga tubuh
serta melepaskan bahan obat setelah bersentuhan dengan cairan tubuh
untuk memberikan efek lokal maupun sistemik (Fatmawaty,dkk. 2012).
Bahan dasar suppositoria yang digunakan sangat berpengaruh pada
pelepasan zat terapetik. Lemak coklat cepat meleleh pada suhu tubuh dan
tidak bercampur dengan cairan tubuh. Oleh karena itu menghambat difusi
obat yang larut dalam lemak pada tempat diobati.
Sedatif-hopnotik adalah golongan obat depresi SSP. Efeknya
bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan (menenangkan, menyebabkan
kantuk, menidurkan) hingga yang berat (menghilangkan kesadaran, keadaan
anastesi, koma dan mati.
Sedative adalah zat-zat yang dalam dosis terapi yang rendah dapat
menekan aktivitas mental, menurunkan respons terhadap rangsangan emosi
sehingga menenangkan.
Hipnotik adalah zat-zat dalam dosis terapi diperuntukkan
meningkatkan keinginan untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan
tidur.
Oleh sebab itu dalam sediaan suppositoria dengan bahan aktif kloral
hidrat, cera alba, α-tokoferol, paraffin liquid dan oleum cacao yang berkhasiat
sebagai pengobatan hipnotik dan sedatif.
I.2 Maksud dan Tujuan
I.2.1 Maksud
Adapun maksudnya yaitu mengetahui dan memahami cara
pembuatan sediaan suppositoria yang memenuhi syarat evaluasi
suppositoria.
I.2.2 Tujuan
Adapun tujuannya yaitu dapat memformulasi sediaan suppositoria
yaitu suppositoria hipnotik-sedatif, dapat mengetahui cara pembuatan
supositoria dan dapat mengetahui evaluasi sediaan suppositoria.
I.3 Manfaat
1. Dapat memahami langkah-langkah dalam pembuatan sediaan
suppositoria dan sediaan ovula
2. Untuk dapat mengaplikasikan di dunia kerja.
3. Untuk menambah wawasan dan ketrampilan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Suppositoria adalah sediaan padat dalam berbagai bobot dalam
bentuk, yang diberikan melalui rectal, vaginal atau uretra (Depkes RI,1995).
Suppositoria adalah sediaan padat yang digunakan melalui dubur,
berbentuk torpedo, dapat melunak, melarut atau meleleh pada suhu tubuh
(Anief, 2006).
Suppositoria adalah suatu sediaan padat yang megandung bahan obat
dengan bobot yang bervariasi, biasanya berbentuk oval, torpedo atau kerucut
dimaksudkan untuk disisipkan ke dalam rongga tubuh kecuali rongga mulut
seperti pada rektum, vagina atau uretra di mana akan melunak, melembut,
mencair dalam suhu tubuh dan larut dalam cairan rongga tubuh serta
melepaskan bahan obat setelah bersentuhan dengan cairan tubuh untuk
memberikan efek lokal maupun sistemik (Fatmawaty, 2012).
Suppositoria adalah sediaan cair yang mengandung obat padat, tidak
melarut dan terdispersikan sempurna dalam cairan pembawa, atau sediaan
padat terdiri dari obat salam bentuk serbuk sangat halus, dengan atau tanpa
zat tambahan yang akan terdispersikan sempurna dalam cairan pembawa
yang ditetapkan (Formularium Nasional, 333).
Suppositoria umumnya dimasukkan melalui rectum, vagina, kadang-
kadang melalui urin dan jarang melalui telinga dan hidung. Bentuk dan
beratnya berbeda-beda. Bentuk dan ukurannya harus sedemikian rupa
sehingga dapat dengan mudah dimasukkan kedalam lubang atau celah yang
diingikan tanpa menimbulkan kejanggalan dan penggelembungan begitu
masuk, harus dapat bertahan untuk suatu waktu tertentu. Suppositoria untuk
rectum umumnya dimasukkan dengan jari tangan, tetapi untuk vagina
khususnya viginal insert/atau tablet vagina yang diolah dengan cara kompresi
dapat dimasukkan lebih jauh kedalam saluran vagina dengan bantuan alat
khusus (Ansel, 1989)..
II.2 Keuntungan dan Kerugian
a. Keuntungan suppositoria menurut (Syamsuni, 2005) adalah :
1. Bentuknya yang seperti torpedo menguntungkan karena
suppositoria akan tertarik masuk dengan sendirinya bila bagian
yang besar masuk melalui otot penutup dubur.
2. Suppositoria dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
3. Suppositoria dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim
pencernaan.
4. Obat dapat langsung masuk kedalam saluran darah sehingga
efeknya lebih cepat daripada penggunaan obat secara oral.
5. Suppositoria baik bagi pasien yang mudah muntah atau tidak
sadar.
b. Kerugian suppositoria menurut (Syamsuni, 2005) :
1. Penggunaan yang tidak menyenangkan.
2. Absorbsi obat tidak teratur dan sulit diramalkan.
c. Keuntungan suppositoria menurut (Fatmawaty, 2012) :
1. Pasien yang tidak bisa menggunakan jalur oral.
2. Obat yang dipertimbangkan kurang baik untuk oral.
3. Obat yang dapat mengiritasi lambung bisa diberikan tanpa
menyebabkan iritasi.
d. Kerugian suppositoria menurut (Fatmawaty, 2012) :
1. Daerah absorbsinya lebih kecil.
2. Absorpsi hanya melalui dipusi pasif.
3. Pemakaian kurang praktis.
4. Tidak dapat digunakan untuk zat–zat yang rusak oleh pH di
rektum.
e. Keuntungan suppositoria menurut (Anief, 2006) :
1. Dapat menghindari terjadinya iritasi pada lambung.
2. Dapat menghindari kerusakan obat oleh enzim pencernaan.
3. Langsung dapat masuk saluran darah berakibat akan memberi
efek lebih cepat daripada penggunaan obat per oral.
4. Bagi pasien yang mudah muntah atau tidak sadar.
f. Kerugian suppositoria menurut (Anief, 2006) :
1. Tidak menyenangkan penggunaannya.
2. Absorbsi obat sering tidak teratur.
II.3 Jenis – Jenis
Menurut Fatmawaty (2012), jenis–jenis suppositoria adalah :
1. Suppositoria Rektal, bentuknya dapat berupa :
a) Peluru atau kerucut ujungnya runcing atau bulat.
b) Berbentuk torpedo
c) Silinder atau kedua ujungnya melonjong
d) Dapat berupa jari kelingking
e) Untuk bayi dan anak–anak, bentuknya ada yang mirip bentuk
pensil.
2. Bobot dan Ukurannya menurut Fatmawaty (2012) :
a) Bobotnya 1–2 gram jika digunakan basis oleum cacao dan atau
biasanya lebih dari 2 gram jika digunakan basis lain.
b) Untuk anak, bobotnya biasanya ½ dari suppositoria untuk dewasa.
c) Ukurannya yaitu :
Untuk Dewasa : Panjangnya 1–1,5 inchi atau 25–35 nm, dan
diameter 7–13 nm atau ¼ dari panjangnya.
Untuk Anak : Panjangnya 0,5–0,75 mm dan diameternya lebih
kecil dari ukuran orang dewasa.
3. Suppositoria Ovula Untuk Vagina
Tujuan penggunaan ovula, biasanya digunakan untuk lokal dengan
efek sebagai antiseptik, kontrasepsi, anastetik lokal, dan pengobatan
penyakit seperti trichomonal, bakteri dan monilial.
Bentuknya dapat berupa :
a) Lonjong atau bentuk batang, bundar.
b) Bentuk bulat telur atau bentuk kerucut yang dimodifikasi, bentuk oval
dengan bobot 3–5 gram.
c) Ukurannya bervariasi dan lebih besar dari ukuran suppositoria rektal.
II.1.3 Bobot dan bentuk suppositoria
1. Suppositoria rektal
Berbentuk silindris dan kedua uungnya tajam, bentuk peluru, torpedo, dan
berjari-jari kecil. Ukuran panjangnya sekitar 32 mm (1,5 inchi). Beratnya 2
gram untuk orang dewasa bila oleum cacao digunakan sebagai basis.
Sedangkan untuk bayi dan anak-anak ukuran dan beratnya ½ dari ukuran
dan berat orang dewasa (Ansel, 2008).
Berat suppositoria rectal untuk orang dewasa kira-kira 2 gram dan biasanya
lonjong seperti torpedo. Suppositoria ini untuk anak-anak beratnya kira-kira 1
gram dan ukurannya lebih kecil (Lachman, 2008).
Untuk dewasa berbentuk lonjong pada satu atau kedua ujungnya dan
biasanya berbobot sekitar 2 gram (FI IV, 1995).
2. Suppositoria vaginal
Berbentuk bola lonjong atau seperti kerucut, sesuai dengan kompendiks
resmi beratnya 5 gram, apabila basisnya oleum cacao. Tergantung pada
basis berat untuk vagina ini berbeda-beda (Ansel, 2008).
Berat suppositoria vaginal kira-kira 3-5 gram, berbentuk bulat atau bulat telur
(Lachman, 2008).
Umumnya berbentuk bulat atau bulat telur dan berbobot sekitar 5 gram (FI IV,
1995).
3. Suppositoria uretra
Suppositoria uretra ramping seperti pensil, gunanya untuk dimasukkan
kedalam saluran urin pria atau wanita. Suppositoria saluran urin pria bergaris
tengah 3-6 mm dengan panjang sekitar 140 mm, walaupun ukuran ini
bervariasi. Apabila basisnya oleum cacao maka beratnya sekitar 4 gram.
Suppositoria saluran urin wanita panjang dan beratnya 2 gram. Jika
menggunakan basis oleum cacao (Ansel, 2008).
Bebentuk pensil dan meruncing pada salah satu ujungnya. Suppositoria
uretra yang digunakan untuk laki-laki beratnya kira-kira 4 gram dan
panjangnya 100-150 mm. sedangkan untuk wanita, berat masing-masing
suppositoria 2 gram dan biasanya mempunyai panjang 60-70 mm (Lachman,
2008).
II. 4 Penggunaan jenis-jenis suppositoria
1. Suppositoria rektal
Suppositoria rectal dimaksudkan untuk kerja lokal dan paling sering
digunakan untuk menghilangkan konstipasi dan rasa sakit, iritasi, rasa gatal,
radang serta wasiratau kondisi anorektal lainnya. Suppositoria rektal sering
kali mengandung sejumlah zat termasuk anastetik lokal, vasokontriktor,
adstrigen, analgesik, pelunak yang menyejukkan dan pelindung
2. Suppositoria vaginal
Suppositoria vagina yang dimaksudkan untuk efek lokal digunakanterutama
sebagai antiseptik pada hygiene wanita dan sebagai zat khususuntuk
memerangi dan menyerang penyebab penyakit (bakteri patogen)Obat-obatan
yang umum digunakan adalah trikomonasida untuk memerangi vaginitas
yang disebabkan oleh tricomonas vaginals, candida (monilia) albicons, dan
mikroorganisme lainnya.
3. Suppositoria uretra
Suppositoria uretra biasanya digunakan sebagai antibakteri dan sebagai
sediaan anastetik lokal untuk pengujian uretra (Ansel, 2008).
II. 5 Macam-macam Basis
1. Basis berminyak atau berlemak
Basis berlemak merupakan basis yang paling banyak dipakai, karena pada
dasarnya oleum cacao termasuk kelompok ini, utama dan kelompok ketiga
merupakan golongan basis-basis lainnya.
2. Basis yang larut dalam air dan bercampur dengan air merupakan
kumpulan yang penting dari kelompok ini adalah gelatin gliserin dan polietilen
glikol.
3. Basis lainnya
Dalam kelompok basis lain termasuk campuran bahan bersifat seperti lemak
dan yang larut dalam air atau bercampur dengan air.
(Ansel, hal 582)
II. 6 Bahan dasar suppositoria
Bahan dasar atau basis yang digunakan untuk membuat suppositoria harus
dapat larut dalam air atau meleleh pada suhu tubuh. Bahan dasar yang
sering digunakan adalah lemak coklat (oleum cacao), polietilen glikol (PEG),
lemak tengkawang (oleum shoreae) atau gelatin.
1. Lemak coklat
Lemak ini merupaka senyawa trigliserida, berwarna kekuningan dan baunya
khas. Jika dipanaskan sekitar 300 C, lemak coklat mulai mencair dan
biasanya meleleh pada suhu 340-350 C. bila dibawah suhu 300 C, zat ini
merupakan massa semipadat yang mengandung lebih banyak Kristal
polimorfisme daripada trigliserida padat. Bila dipanaskan pada suhu tinggi,
lemak coklat emncair sempurna seperti minyak tetapi akan kehilangan semua
inti kristalnya yang berguna untuk memadat. Lemak coklat akan mengkristal
dalam bentuk kristal metastabil bila didinginkan dibawah 150. Oleh karena itu
pemanasan lemak coklat sebaiknya dilakukan sampai melelh dan bisa
dituang sehingga tetap memiliki inti Kristal bentuk stabil.
2. PEG (Polietilen glikol)
PEG merupakan polimerisasi etilen glikol dengan bobot molekul 300-6000
(dalam perdagangan tersedia karboaks) 400, 1000, 1500, 4000, 6000.
Karoaks yang bobot molekulnya dibawah 1000 berupa cairan, sedangkan
yang bobot molekulnya diatas 1000 berupa padatan lunak seperti malam.
Bila dibandingkan lemak coklat suppositoria berbahan dasar PEG memiliki
keuntungan mudah larut dalam cairan rectum, tidak ada modifikasi titik lebutr
yang berarti, dan tidak mudah meleleh pada suhu kamar. Pembuatan
suppositoria dengan bahan dasar PEG sama seperti pembuatan suppositoria
dengan lemak coklat.
3. Gelatin
Dalam pharmakopea Belanda V terdapat jenis suppositoria dnegan bahan
dasar gelatin. Cara pembuatan suppositoria tersebut, yaitu,
a. Panaskan dua bagian gelatin dalam 4 bagian air dan 5 bagian gliserin
sampai diperoleh massa homogeny.
b. Tambahkan air panas sampai diperoleh 11 bagian dan biarkan massa
sampai cukup dingin.
c. Obat yang ditambahkan tersebut dilarutkan atau digerus dengan sedikit air
atau gliserin yang disisakan, kemudian dicampurkan pada massa yang sudah
dingin bila obatnya sedikit, banyaknya obat dikurangkan dari berat air dan
bila obatnya banyak, dikurangkan dari massa dasarnya.
d. Tuangkan massa yang telah cukup dingin kedalam cetakan hingga
diperoleh suppositoria dengan bobot 4 gram
(Farmasetika Dasar dan Hitungan Farmasi, 2006).
II.7 Anatomi Rektum dan Faktor yang mempengaruhi Absorbsi
Suppositoria
1. Ansel, hal 579-580
Rektum manusia panjangnya ± 15-20 cm. Pada waktu isi kolon kosong,
rektum hanya berisi 2-3 mL cairan mukosa yang inert dalam keadaan
istirahat, rektum tidak ada gerakan, tidak ada vili dan mikrovili pada mukosa
rektum akan tetapi terdapat muskularisasi yang berlebihan dari bagian
submukosa dinding rektum dengan darah dan kelenjar porta.
Adapun faktor fisiologi yang mempengaruhi absorbsi obat dari rektum, yaitu:
a. Kandungan kolon
Apabila diinginkan efek sistemik dari suppositoria yang mengandung obat,
absorpsi yang lebih besar lebih banyak terjadi pada rektum yang kosong
daripada rektum yang digelembungkan oleh feses. Ternyata obat lebih
mungkin berhubungan dengan permukaan rektum dan kolon yang
mengabsorbsi ketika tidak ada feses. Oleh karena itu bila diinginkan suatu
enema untuk pengosongan dapat digunakan dan dimungkinkan
pemberiaannya sebelum penggunaan suppositoria dengan obat yang
diabsorbsi.
b. Jalur sirkulasi
Obat yang diabsorbsi melalui rektum, tidak seperti yang diabsorbsi setelah
pemberian secara oral, dimana obat tidak melalui sirkulasi portal sehingga
dengan demikian obat dimungkinkan untuk tidak dimetabolisme dalam hati.
Untuk memperoleh efek sistemik pembuluh hemoroid bagian bawah yang
mengelilingi kolon menerima obat yang diabsorbsi lalu mulai
mengedarkannya ke seluruh tubuh tanpa melalui hati.
c. pH dan tidak adanya kemampuan mendapar dari cairan rectum.
Karena cairan rektum pada dasarnya netral pada pada pH (7-8) dan
kemampuan bentuk obat yang digunakan lazimnya secara kimia tidak
berubah oleh lingkungan rektum.
2. Lachman, hal 1149
Hati mengubah sebagian besar obat secara kimia sehingga keefektifan
sistemiknya sering kali berkurang. Sebaliknya sebagian besar obat yang
sama dapat diabsorbsi dari daerah anorektal dan nilai terapetisnya masih
dapat dipertahankan. Vena hemoroid yang lebih bawah mengelilingi kolon
dan rektum dalam kafa inferior, jadi menghindari hati. Vena hemoroid yang
lebih atas tidak berhubungan dengan vena porta yang menuju ke hati.
II.9 Masalah-masalah dalam suppositoria
1. Air dalam suppositoria
Penggunaan air sebagai pelarut untuk mencampurkan zat-zat dalam basis
suppositoria harus dihindari, karena,
a. Air mempercepat oksidasi lemak
b. Jika air menguap zat-zat yang terlarut akan membentuk Kristal-kristal
c. Reaksi antara bahan-bahan yang terdapat dalam suppositoria lebih
sering terjadi dengan adanya air
d. Pemasukan air atau zat-zat lain yang dapat dikontaminasi oleh
pertumbuhan bakteri dan fungi.
2. Ketidakcampuran
Basis-basis PEG ternyata tidak dapat bercampur dengan garam-garam
perak, asam tanat, aminopilin, kinin, lehtamfod, aspirin, benzokain,
iodoklorhidrat, sikin, dan sulfonamide.
3. Higroskopisitas
Higroskopisitas yang dapat terjadi contohnya pada suppositoria gelatin yang
mengandung gluerin kehilangan lembab oleh penguapan dalam iklim kering
dan mengabsorpsi lembab dalam kelembaban yang tinggi.
4. Viskositas
Viskositas massa suppositoria yang mencair adalah penting dalam
pembuatan suppositoria dan perlakuannya dalam rectum setelah mencair.
5. Kerapuhan
Pecahnya suppositoria yang dibuat dengan basis-basis seperti ini seringkali
disebabkan oleh pendinginan yang cepat dari basis yang mencair.
6. Kerapatan
Jika terjadi penyusutan volume dalam cetakan selama pendinginan,
penambahan pengganti harus dibuat untuk mendapatkan berat suppositoria
yang tepat.
7. Penyusustan volume
Penyusutan dapat dihilangkan dengan mengguanakan massa sedikit diatas
temperatur bekunya kedalam suatu cetakan yang dihangatkan sampai
temperature yang sama.
8. Pelumas atau zat penglepas dari cetakan
Suppositoria yang sukar dilepaskan dari cetakan memerlukan berbagai
pelumas cetakan atau zat-zat pengelupas dari cetakan harus digunakan
untuk menanggulangi kesulitan ini.
9. Faktor pengganti
Jumlah basis yang diganti oleh bahan-bahan aktif dalam formulasi
suppositoria dihitung dengan persamaan,
F = 100 (E-G) + 1
(G) (X)
10. Bobot dan volume
Jumlah bahan aktif dari masing-masing suppositoria tergantung pada:
a. Konsentrasinya dalam massa tersebut
b. Volume ruang cetakan
c. Bobot jenis basis
d. Variasi volume antara cetakan
e. Variasi bobot antara suppositoria
11. Ketengikan dan antioksidan
Ketengikan disebabkan oleh autooksidasi dan penguraian berturut-tururt
lemak tidak jenuh menjadi aldehid jenuh dan tidak jenuh, berbagai keton dan
asam yang mempunyai bau kuat dan tidak menyenangkan.
(Lachman, 2008).
II.10 Mekanisme Kerja
Mekanime kerja suppositoria menurut (Fatmawaty dkk, 2012) :
1. Efek lokal
Begitu dimasukkan, basis suppositoria meleleh, melunak dan melarut
menyebarkan obat yang dibawanya ke jaringan – jaringan didaerah tersebut
obat ini bisa dimaksudkan untuk ditahan dalam ruang tersebut untuk
mendapatkan efek kerja lokal, atau bisa juga dimaksudkan agar diabsorbsi
untuk mendapatkan efek sistemik.
2. Efek Sistemik
Untuk efek sistemik, membran mukosa rektum dan vagina memungkinkan
absorbsi dari kebanyakan obat yang dapat larut. Walaupun rektum sering
digunakan sebagai tempat absorbsi secara sistemik, vagina tidak
dimungkinkan untuk tujuan ini.
Mekanisme kerja suppositoria menurut Ansel,dkk (2005) :
1. Efek lokal
Setelah dimasukkan, dasar supositoria meleleh, melembutkan, atau
melarutkan, mendistribusikan obat-obatannya kejaringan di wilayah ini. Obat-
obatan ini mungkin ditujukan untuk retensi di dalam rongga untuk efek lokal,
atau mungkin juga dimaksudkan diserap untuk efek sistemik.
2. Efek sistemik
Untuk efek sistemik, selaput lendir rektum dan vagina memungkinkan
penyerapan banyak obat meski rektum sering digunakan sebagai tempat
untuk penyerapan obat-obatan secara sistemik vagina tidak sering
digunakan tujuan ini.
II.11 Metode Pembuatan
Menurut Fatmawaty (2012), suppositoria dapat dibuat dengan beberapa
metode yaitu :
1. Pencetakan Dengan Tangan (manual)
Pencetakan dengan tangan merupakan metode yang paling sederhana,
praktis dan ekonomis untuk memproduksi sejumlah kecil suppositoria.
2. Pencetakan Dengan Kompresi / Cetak Kempa / Cold Compression
Pada pencetakan dengan kompresi suppositoria dibuat dengan mencetak
massa yang dingin kedalam cetakan dengan bentuk yang diinginkan. Dengan
metode kompresi, dihasilkan suppositoria yang lebih baik dibandingkan cara
manual karena metode ini dapat mencegah sedimentasi padatan yang larut
dalam bahan pembawa suppositoria. Umumnya metode ini digunakan dalam
skala besar produksi dan digunakan untuk membuat suppositoria dengan
pembawa lemak coklat / oleum cacao.
3. Pencetakan Dengan Penuangan / Cetak Tuang / Fusion
Metode pencetakan dengan penuangan sering digunakan untuk pembuatan
skala industri disebut juga dengan teknik pelelehan, cara ini dapat dipakai
untuk membuat suppositoria dengan hampir semua pembawa, cetakannya
dapat digunakan untuk membuat 6-600 suppositoria.
II.12 Evaluasi
Evaluasi suppositoria menurut (Fatmawaty dkk, 2012) :
1. Uji penampilan
Tujuan : untuk melihat ada atau tidaknya distribusi zat aktif yang tidak
merata, keretakan, lubang, eksudasi cairan, dan pembengkakan basis.
Prinsip : pengamatan dilakukan secara organoleptik. Untuk melihat ada
tidaknya migrasi zat aktif dilakukan dengan memotong suppositoria secara
longitudinal lalu dilihat secara visual pada bagian internal dan eksternal dan
harus nampak seragam. Tes ini lebih ditekankan pada distribusi zat
berkhasiat didalam basis suppositoria. Juga diamati adanya retakan atau
lubang.
Penafsiran hasil : suppositoria yang baik memberikan penampilan distribusi
zat berkhasiat yang seragam pada semua bagian suppositoria yang diamati
(internal dan eksternal), juga tidak ada keretakan atau lubang.
2. Uji waktu hancur (suppositoria dengan basis larut air)
Tujuan : untuk menetapkan waktu hancur atau menjadi lunaknya suatu
sediaan suppositoria dalam waktu yang ditetapkan apabila dimasukan dalam
suatu cairan media pada kondisi percobaan yang ditetapkan.
Prinsip : suppositoria ditempatkan pada setiap alat dan masing-masing
dimasukan dalam wadah berisi paling sedikit 4 liter, bersuhu antara 36 0C,
yang dilengkapi dengan suatu pengaduk lambat. Setiap 10 menit, alat
dibalikkan tanpa mengeluarkan suppositoria dari cairan.
Penafsiran hasil : waktu yang diperlukan untuk menghancurkan suppositoria
tidak lebih dari 30 menit (untuk suppositoria basis lemak) waktu yang
diperlukan untuk menhancurkan suppositoria tidak lebih dari 60 menit (untuk
suppositoria basis larut air).
3. Keseragaman bobot
Tujuan : memastikan suppositoria yang dihasilkan memiliki bobot yang tidak
terlalu berbeda jauh.
Prinsip : bobot suppositoria ditimbang masing-masing sebanyak 20 buah
dihitung bobot rata-rata dan simpangan baku relatifnya.
Persyaratan : tidak lebih dari 2 suppositoria / ovula yang bobotnya
menyimpang dari bobot rata-rata lebih dari 5% dan tidak satupun suppositoria
/ ovula yang bobotnya menyimpang dari 10%.
4. Uji titik leleh (untuk basis lemak)
Tujuan : untuk mengetahui titik leleh suppositoria basis lemak.
Prinsip : suppositoria ditempatkan dalam wadah kemudian dimasukan dalam
penangas air yang suhunya dinaikkan secara bertahap sampai suppositoria
meleleh dan dilengkapi dengan termometer.
Penafsiran hasil : suhu saat suppositoria meleleh merupakan titik leleh
suppositoria.
5. Keseragaman kandungan
Tujuan : menjamin keseragaman kadar zat aktif dalam masing-masing
suppositoria.
Prinsip : menetapkan kadar 10 satuan suppositoria satu per satu sesuai
penetapan kadar.
Penfasiran hasil: keseragaman dosis terpenuhi jika jumlah zat aktif dalam
masing-masing dari 10 suppositoria adalah 85-115 % dari yang tertera pada
etiket dan simpangan baku relatif ≤ 6%. Jika 1 satuan berada di luar rentang
tersebut dan tidak ada satuan berada dalam rentang 75-125% dari kadar
yang tertera dalam etiket atau SBR > 6% atau jika kedua kondisi tidak
terpenuhi dilakukan uji 20 satuan tambahan.
Persyaratan : terpenuhi jika tidak dari 1 satuan dari 30 sampel terletak diluar
rentang 85-115% dari kadar suppositoria yang tertera pada etiket dan tidak
ada satuan yang terletak diluar rentang 75-125% dari kadar suppositoria
yang tetera dari etiket dan SBR 30 satuan tidak lebih dari 7,8 %.
6. Uji pelunakan / penetrasi
Tujuan : menentukan waktu melunak atau melarut suppositoria / ovula.
Prinsip : alat yang digunakan mempunyai 3 tabung uji yang dicelupkan
dalam wadah penangas air suling dengan suhu 37 0C. Pada tabung uji ini
diamati waktu yang diperlukan oleh batang penetrasi suppositoria / ovula
adalah rata-rata dari 3 penentuan yang dilakukan.
Penafsiran hasil : waktu perlunakan tidak lebih 30 menit.
7. Uji kehancuran / uji kekerasan
Tujuan : menjamin ketahanan suppositoria terhadap gaya mekanik pada
proses pengemasan dan penghantaran serta menjaga bentuk sediaan tetap
sebelum digunakan.
Prinsip : pengujian dilakukan berdasarkan jumlah beban yang dibutuhkan
untuk menghancurkan suppositoria, dihitung dengan menjumlahkan beban
yang diterima suppositoria / ovula hancur.
Penafsiran hasil : penilaian bobot beban yang diperhitungkan sebagai
kekerasan suppositoria / ovula adalah sebagai berikut : jika suppositoria /
ovula hancur dalam waktu 2 detik setelah penambahan beban terakhir, maka
berat beban tersebut tidak ikut ditambahkan.
a) Bila suppositoria / ovula hancur antara 20-40 detik setelah
penambahan beban terakhir, maka hanya setengah dari bobot beban ini yang
ditambahkan dalam perhitungan.
b) Jika suppositoria / ovula tetap tidak hancur lebih dari 40 detik setelah
penambahan beban terakhir maka bobot beban ini diperhitungkan
seluruhnya.
8. Uji disolusi
Tujuan : untuk mengetahui kecepatan pelepasan zat aktif dari sediaan
suppositoria secara in vitro.
a) Tidak ada alat khusus untuk uji disolusi sediaan suppositoria .
b) Pada umunya alat uji disolusi dan prosedurnya mengikuti alat uji dan
prosedur disolusi sediaan tablet.
c) Hanya untuk mencegah mengapungnya suppositoria dipermukaan
medium.
d) Ditambahkan spiral kawat yang melilit sediaan suppositoria.
e) Belum ada metode atau desain alat yang dijadikan standar untuk
digunakan dalam laboratorium farmasi. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi disolusi farmasi dari sediaan suppositoria : pengaruh
surfaktan dan kelarutan, pengaruh viskoitas, zat tambahan dan ukuran
partikel zat aktif.
II.13 Uraian bahan Aktif
a. Studi Preformulasi Zat Aktif
1) Dosis : Kapsul, oral: 500mg
Larutan, oral: 500mg / 5ml
Supositoria, untuk rektal atau dubur: 325mg, 500mg, 650mg
Dosis dewasa biasa untuk Insomnia
Chloral hydrate adalah obat yang bisa sebanyak 500 mg untuk 1 g
15 sampai 30 menit sebelum tidur pada orang dewasa
Dosis dewasa biasa untuk Sedasi atau anestesi
Anda bisa menggunakan chloral hydrate sebanyak 250 mg 3 kali
sehari setelah makan, atau. Anda bisa menggunakan chloral
hydrate sebanyak 500 mg untuk 1 g, 30 menit sebelum operasi.
Dosis anak-anak biasa untuk insomnia
Untuk Oral dan rektal (dimasukkan ke dalam anus):
Hypnotic digunakanan sebanyak 50 mg / kg / dosis pada waktu
tidur. Dosis maksimum hanya boleh digunakan sebanyak 1 g /
dosis. Sedangkan total maksimum adalah 1 g / hari untuk bayi dan
2 g / hari untuk anak-anak
Dosis anak-anak biasa untuk sedasi
Neonatal (bayi baru lahir) untuk penggunaan oral dan rektal:
Untuk sedasi (anestesi) sebelum operasi bisa digunakan 25 mg /
kg. pengulangan dosis harus digunakan dengan hati-hati karena
obat dan metabolit dapat menumpuk akibat penggunaan berulang
toksisitas telah dilaporkan setelah 3 hari dalam neonatus prematur
dan setelah 7 hari dalam neonatus normal yang menerima hidrat
chloral dengan dosis 40 sampai 50 mg / kg setiap 6 jam.
Bayi dan Anak-anak
Penggunaan chloral hydrate untuk oral dan rektal:
Untuk anestesti akibat kecemasan bisa digunakan sebanyak25
sampai 50 mg / kg / hari dibagi setiap 6 sampai 8 jam. Dosis
maksimum: 500 mg / dosis
Sebelum EEG: 25 sampai 50 mg / kg / dosis 30 sampai 60 menit
sebelum EEG dapat mengulang di 30 menit maksimum total 100
mg / kg atau 1 g total untuk bayi dan 2 g total untuk anak-anak.
Sedasi atau untuk anestesi operasi yang tidak menyakitkan: 50
sampai 75 mg / kg / dosis 30 sampai 60 menit sebelum operasi
dapat mengulang pada 30 menit setelah dosis awal jika
diperlukan. Dosis maksimum: 120 mg / kg atau 1 g total untuk bayi
dan 2 g total untuk anak-anak
2) Indikasi : Hipnotik-sedatif
3) Efek samping : mual, muntah, diare, pusing, ngantuk, ruam kulit
atau gatal-gatal, kebingungan melihat, mendengar, atau merasa
hal-hal yang tidak ada, kegembiraan yang tidak biasa, kegugupan,
gemetaran.
4) Mekanisme kerja : -
5) Kontra indikasi : -
6) Farmakokinetika : -
7) Stabilitas : -
8) Interaksi : antagonis arsenik, cisapride, dofetilide, atau H1
(misalnya, astemizol, terfenadin) karena efek samping, seperti
masalah jantung yang serius dapat terjadi
barbiturat (misalnya, fenobarbital), paraldehid, atau natrium
oxybate (GHB) karena efek samping dari obat-obatan ini dapat
ditingkatkan
diuretik loop (misalnya furosemid) karena efek samping yang tidak
diharapkan, seperti denyut jantung yang cepat dan berubahnya
tekanan darah dapat terjadi
antikoagulan (misalnya warfarin) karena kinerja dan efek samping
dapat diubah oleh Chloral hydrate

b. Infomasi bahan aktif


Uraian farmakologi :
1) Nama : CHLORAL HYDRAS
2) Kelas farmakologi ; Hipnotik-Sedatif
3) Sinonim : 2,2,2-Trichloro-1, 1-ethanediol, Trich cacatelda
hydemonohydrate; nictac; somnos; lorinal; chloral durat
4) RM/BM : C2H3Cl3O/ 165,42
5) Pemerian : hablur transparan, tidak berwarna, rasa tajam dan
pedas agak pahit
6) Kelarutan : Sangat larut dalam air, larut dalam etanol dan
kloroform
7) OTT : alkaloida atau garam-garam alkaloid, mempertinggi
kelarutannya.
II.14 Uraian bahan Tambahan
1. Oleum Cacao (FI, edisi III hal.453)
Nama resmi : OLEUM CACAO
Sinonim : Lemak coklat
Kelas fungsional : Zat tambahan / basis lemak
Pemerian : lemak padat, putih kekuningan, bau khas
aromatik, rasa khas lemak, agak rapuh.
Kelauratan : praktis tidak larut dalam air, sukar larut dalam
etanol (95%) p larut dalam kloroform p, dalam eter p hangat, dalam
minyak lemak, dan dalam minyak atsiri.
Titik lebur : 31- 34°C
Penyimpanan : dalam wadah tertutup baik
2. Cera Alba (Ditjen POM, 1979)
Nama Resmi : CERA ALBA
Nama Lain : Malam putih
Kelas fungsional : Zat tambahan (meningkatkan titik lebur
oleum cacao)
Konsentrasi : 1-20%
Titik lebur : 62-65 °C
Pemerian : Zat padat, lapisan tipis bening putih
kekuningan, bau khas lemah.
Kelarutan : praktis tiadak larut dalam air, agak
sukar larut dalam etanol (95%) P dingin larut dalam kloroform P,
dalam eter hangat, dalam minyak lemak dan minyak atrsiri.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
3. Alfa tokoferol (Depkes RI 1979)
Nama resmi : TOCOPHERULUM
Nama lain : Vitamin E
Pemberian : Tidak berbau atau sedikit berbau, tidak berasa atau
sedikit berasa, alfa tokoferol dan asam suksinat
Rumus bangun :

Kelarutan : Alfa tokoferol asam suksinal tidak larut dalam air,sukar


larut dalam alkali,larut dalam etanol
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat,terlindung dari cahaya
Khasiat : Anti oksidan dan Vit E
BAB III
METODE KERJA

III.1 Formula
III.1.1 Formula Asli
Kloral hydrate Suppositoria
III.1.2 Formula yang disetujui
Tiap 2 gram mengandung :
Kloral Hydrate 325 mg
Cera alba 3%
Α-tokoferol 0,01%
Paraffin liquid qs
Oleum cacao ad 100 %
III.1.3 Perhitungan
Ibuprofen = 325 mg = 0,325 g
Cera alba = 3 / 100 x 20 g = 0,6 g
Alfa tokoferol = 0,001 / 100 x 20 g = 0,0002 g
Oleum cacao = 20 g – ( 0,325+ 0,6 + 0,0002 )
= 20 g – 0,9252 = 19,074 g

Nilai tukar
Ibuprofen = 0,325 g x 0,7 = 0,2275 g
Bobot basis = 20 g –0,2275 g = 19,77 g
Cera alba = 3 / 100 x 19,77 g = 0,593 g
Bobot oelum cacao = 19,074 – 0,593 g
= 18,481 g

2 / 3 bagian oleum cacao = 2 / 3 x 18,481 g

= 12,320 g
III.5 Cara kerja
1. Disiapkan alat dan bahan.
2. Ditimbang semua bahan yang diperlukan.
3. Dikalibrasi basis yang diperlukan.
4. Kloral hydrate gerus ad homogen (Campuran I).
5. Dileburkan cera alba + oleum cacao 2/3 bagian, diatas
penangas air sampai melebur pada titik lebur sesuai syarat
yang tertera. Setelah melebur sempurna turunkan dari
penangas. Masukan 1/3 bagian oleum cacao yang belum
dimasukan.
6. Ditambahkan campuran I sedikit demi sedikit kedalam basis,
lalu gerus sampai homogen.
7. Ditambahkan α – tokoferol, digerus sampai homogen.
8. Disiapakan cetakan, dioles dengan sedikit paraffin liquid.
Dimasukan kedalam cetakan selagi panas perlahan-lahan.
9. Dibiarkan sampai memadat pada suhu dingin, lalu
keluarkan suppositoria dari cetakan.
10. Dibungkus menggunakan almunium foil, dimasukan dalam
wadah sekunder.
11. Dilakukan evaluasi sediaan suppositoria
BAB V
PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Suppositoria hipnotik sedative adalah sediaan yang dapat
mengatasi pasien dengan gangguan setelah operasi atau sulit tidur.
Pembuatan suppositoria hipnotik sedative dimulai dengan peleburan
basis kemudian ditambahkan zat aktif yang telah dihaluskan. Lalu,
dimasukkan dalam cetakkan yang telah diolesi parafin cair sebelumnya.
Dimasukkan kedalam lemari pendingin. Evaluasi yang dilakukan pada
sediaan suppositoria hipnotik sedative yaitu uji homogenitas, penampilan
dan keretakan.
V.2 Saran
Diharapkan kepada bapak ibu dosen dalam mata kuliah Teknologi
sediaan padat, memperhatikan cara pembuatan formulasi dari
sediaan-sediaan yang di
DAFTAR PUSTAKA

Ansel C Howard, Loyd V. Pallen, Nicholas G. Popovich. 2005.


Pharmaceutical Dosage Froms and Drug Delivery System Nine
Edition. Wolters Kluwer Business : Philadelphia.

DIRJEM POM RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi Keempat. Departemen


Kesehatan Republik Indonesia : Jakarta.

Denintya Fains Tranggani, dkk. 2017. Formulasi dan Evaluasi Dispersi Padat
Ibu Profen dengan Dextrosa Sebagai Pembawa dalam Sediaan
Suppositoria. Pharmaceutical Journal of Indonesia Marks.

Fatmawaty A, Michrun Nisa., Radhia Riski., 2012. Teknologi Sediaan


Farmasi. Deepublishing : Yogyakarta.

Handayani, S, Hedinegoro, S.K, Sastroasmono, S. 2005. The Efficacy of


Suppositivy versus OR, Ibu Profen For Reduct Fever in Children.
Prediation Indonesia

Rowe, et al. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipient 5th Edition. The


Pharmaceutical Press. London

You might also like