Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 13

Bab 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Status Epileptikus merupakan masalah kesehatan umum yang diakui meningkat akhir-akhir ini
terutama di Negara Amerika Serikat. Ini berhubungan dengan mortalitas yang tinggi pada 152.000
kasus di USA yang terjadi tiap tahunnya menghasilkan kematian. Begitu pula dalam praktek sehari-
hari, Status Epileptikus merupakan masalah yang harus ditangani secara cepat dan tepat untuk
mencegah kematian ataupun sekuele yang dapat terjadi kemudian hari.

Status epileptikus dapat disebabkan oleh epilepsi primer maupun sekunder yang tidak
terkontrol. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder karena adanya penyakit
serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsi merupakan kejadian
yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.

Banyaknya jenis status epileptikus sesuai dengan bentuk klinis epilepsi yang mendasari,
seperti: status petitmal, status psikomotor, dan lain-lain. Biasanya bila status epileptikus tidak bisa
diatasi dalam satu jam, sudah akan terjadi kerusakan jaringan otak yang permanen. Oleh karena itu,
gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat mungkin. Rata-rata 15 % penderita
meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang
bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi
penderita epilepsi

Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus tidak hanya penting untuk
menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar merupakan bagian utama pada
penatalaksanaan Status Epileptikus. Berdasarkan kompleksitas dari penyakit ini, Status Epileptikus
tidak hanya penting untuk menghentikan kejang tetapi identifikasi pengobatan penyakit dasar
merupakan bagian utama pada penatalaksanaan Status Epileptikus

1.2. Tujuan penulisan


Referat ini bertujuan mengetahui etiologi, patogenesis dan penatalaksanaan Status
Epileptikus, sebagai tambahan pembelajaran dan wawasan mengenai status epileptikus..
Sumber pustaka diambil dari buku teks, jurnal dan guidelines.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Status Epileptikus

1.2 Definisi Status Epileptikus

Pada konvensi Epilepsy Foundation of America (EFA) 15 tahun yang lalu, status epileptikus
didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya
pemulihan kesadaran diantara kejang atau aktivitas kejang yang berlangsung lebih dari 30 menit.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang
yang tidak sadar kembali selama lima menit atau lebih harus dipertimbangkan sebagai status
epileptikus.

Status Epileptikus secara fisiologis didefenisikan sebagai aktivitas epilepsi tanpa adanya
normalisasi lengkap dari neurokimia dan homeostasis fisiologis dan memiliki spektrum luas dari
gejala klinis dengan berbagai patofisiologi, anatomi dan dasar etiologi. 2 Berdasarkan observasi pada
pasien yang menjalani monitoring video-electroencephalography (EEG) selama episode kejang,
komponen tonik-klonik terakhir satu sampai dua menit dan jarang berlangsung lebih dari lima
menit.2 Batas ambang untuk membuat diagnosis ini oleh karenanya harus turun dari lima sampai
sepuluh menit.

1.3 Epidemiologi Status Epileptikus

Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka kejadian kira-
kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum yang terjadi di Amerika
Serikat setiap tahunnya.3 Pada sepertiga kasus, status epileptikus merupakan gejala yang timbul
pada pasien yang mengalami epilepsi berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa
epilepsi, biasanya karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan. Mortalitas yang
berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi mortalitas yang berhubungan dengan
penyakit yang menyebabkan status epileptikus kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan
menunjukkan suatu distribusi bimodal dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.

Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus dapat
dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus kebanyakan sekunder
karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung, dementia. Pada Negara miskin, epilepsy
merupakan kejadian yang tak tertangani dan merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
1.4 Etiologi Status Epileptikus

Status epileptikus dapat disebabkan oleh berbagai hal (tabel 1). Secara klinis dan berdasarkan
EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi,
seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak,
peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan
pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit,
ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH
dan glukosa serum kembali normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga
aktivitas kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan
pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.

Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti oleh
penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan
kehilangan otak berlanjut.

Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi maksimal pada
lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari korteks serebri, serebellum,
hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala). Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek
dari status epileptikus, dengan kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer. Komplikasi
terjadinya status epileptikus dapat dilihat dari tabel 2

Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks dan melibatkan
penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan pelepasan dari
glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion Natrium dan Kalsium dan
kerusakan sel yang diperantarai kalsium.

Etiologi status epileptikus

· Alkohol

· Anoksia

· Antikonvulsan-withdrawal

· Penyakit cerebrovaskular

· Epilepsi kronik

· Infeksi SSP

· Toksisitas obat-obatan

· Metabolik
· Trauma

· tumor

1.5 Komplikasi status epileptikus

· Otak

▪ Peningkatan Tekanan Intra Kranial

▪ Oedema serebri

▪ Trombosis arteri dan vena otak

▪ Disfungsi kognitif

· Gagal Ginjal

▪ Myoglobinuria, rhabdomiolisis

· Gagal Nafas

▪ Apnoe

▪ Pneumonia

▪ Hipoksia, hiperkapni

▪ Gagal nafas

· Pelepasan Katekolamin

▪ Hipertensi

▪ Oedema paru

▪ Aritmia

▪ Glikosuria, dilatasi pupil

▪ Hipersekresi, hiperpireksia

· Jantung

▪ Hipotensi, gagal jantung, tromboembolisme

· Metabolik dan Sistemik

▪ Dehidrasi

▪ Asidosis

▪ Hiper/hipoglikemia
▪ Hiperkalemia, hiponatremia

▪ Kegagalan multiorgan

· Idiopatik

▪ Fraktur, tromboplebitis, DIC

1.6 Faktor risiko dan Klasifikasi

Faktor risiko dan klasifikasi status epileptikus adalah satu pertiga kasus terjadi pada epilepsi
berulang, satu pertiga pada kasus epilepsi yang tidak teratur meminum obat antikonvulsan, pada
usia kebanyakan tipe sekunder karena adanya demensia, penyakit serebrovaskular, dan disfungsi
jantung.

Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena penanganan yang
efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya status epileptikus
dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan, area tertentu dari korteks (Partial onset) atau dari
kedua hemisfer otak (Generalized onset), kategori utama lainnya bergantung pada pengamatan
klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-konvulsi.

Banyak pendekatan klinis diterapkan untuk mengklasifikasikan status epileptikus. Satu versi
mengkategorikan status epileptikus berdasarkan status epileptikus umum (tonik-klonik, mioklonik,
absens, atonik, akinetik) dan status epileptikus parsial (sederhana atau kompleks).

Versi lain membagi berdasarkan status epileptikus umum (overt atau subtle) dan status
epileptikus non-konvulsi (parsial sederhana, parsial kompleks, absens).

1. Overt generalized convulsive status epilepticus


Aktivitas kejang yang berkelanjutan dan intermiten tanpa ada kesadaran penuh.
a. Tonik
b. Klonik
c. Tonik – klonik
2. Subtle generalized convulsive status epilepticus diikuti dengan generalized convulsive status
epilepticus dengan atau tanpa aktivitas motorik
2. Simple / partial status epilepticus (consciousness preserved)
a. simple motor status epilepticus
b. sensory status epilepticus
c. aphasic status epilepticus
3. Nonconvulsive status epilepticus (consciousness impaired)
a. petitmal status epilepticus
b. complex partial status epilepticus

Versi ketiga dengan pendekatan berbeda berdasarkan tahap kehidupan (batas pada periode
neonatus, infant, dan anak-anak, anak-anak dan dewasa, hanya dewasa).

Patofisiologi
Bagian inti dari sinyal elektrokimia otak adalah membran neuron. Seperti semua membran
sel, membran neuron adalah bilayer fosfolipid. Lipid bilayer ini mencegah pertukaran substrat
terionisasi antara sel dan lingkungannya, yang penting untuk sinyal listrik. Bagian dalam sel saat
istirahat bermuatan lebih negatif dibandingkan dengan di luar sel, karena perbedaan konsentrasi ion.
Sodium (Na+), kalsium (Ca2+), dan klorida (Cl-) predominan di ekstrasel, sedangkan K + dan ion
organik terkonsentrasi diintraseluler. Perbedaan konsentrasi ini karena transporter ion tertentu
membutuhkan energi untuk terus memindahkan ion masuk dan keluar dari sel. Pompa ini
menyebabkan perbedaan konsentrasi (antara di dalam dan di luar neuron) melalui pengangkutan ion
melawan gradien konsentrasi (dari daerah konsentrasi rendah ke daerah konsentrasi tinggi). Gradien
konsentrasi ini melintasi membran memberikan energi elektrokimia untuk menggerakkan sinyal.
Ion-ion ini akan mengalir melalui membran melewati saluran protein.
Kebanyakan saluran adalah ion-selektif dan akan memungkinkan lewatnya ion tertentu.
Berbeda dengan transportasi terus menerus dari pompa ion, transportasi melalui saluran ion (ion
channel) tidak terjadi terus menerus. Saluran ion membuka atau menutup sebagai respon sinyal dari
lingkungan. Saluran voltage-gated membuka atau menutup sebagai respon perubahan potensial
listrik melintasi membran sel, sedangkan saluran ligan-gated memerlukan ikatan dari molekul
penanda tertentu untuk membuka atau menutup. Dua ion yang paling penting dalam transmisi
potensial aksi, Na+ dan K+. Saluran voltage-gated Na+ memiliki tiga jenis keadaan: dinonaktifkan /
deactivated (tertutup), diaktifkan / activated (terbuka), dan tidak aktif / inactivated (tertutup).
Selama eksitasi sel, saluran Na+ diaktifkan melalui penghilangan sebuah "gerbang aktivasi”
intraseluler, dan Na+ mulai mengalir ke dalam sel. Setelah beberapa saluran ion Na + mulai
membuka, tegangan menurun lebih lanjut, menyebabkan lebih banyak saluran membuka sampai
membran depolarisasi. Saluran Na+ lebih sensitif terhadap perubahan tegangan dan lebih cepat
membuka dari pada saluran K+. Jadi dalam depolarisasi, ion Na+ masuk ke dalam sel lebih cepat
dari ion K+ bergerak ke luar sel. Depolarisasi tiba-tiba ini disebut potensial aksi, akan
mengakibatkan perbedaan potensial +30 millivolt. Setelah perlahan membuka, saluran voltage-
gated ion K+ terlah terbuka dan K+ mengalir keluar, maka potensial aksi berakhir.
Setelah saluran Na+ diaktifkan, maka dengan cepat menjadi tidak aktif karena adanya
"gerbang inaktivasi" yang menghalangi bagian dalam saluran segera setelah saluran telah
diaktifkan. Selama potensial aksi, saluran tetap dinonaktifkan selama beberapa milidetik setelah
depolarisasi. Inaktivasi ini hilang ketika potensial membran sel repolarisasi, setelah fase jatuh dari
potensial aksi. Hal ini memungkinkan saluran menjadi diaktifkan kembali selama potensial aksi
berikutnya. Demikian saluran ion Na+ memulai potensial aksi, dan K+ ion saluran menghentikannya.
Saluran kemudian menutup, dan pompa natrium dapat mengembalikan potensial istirahat -70
milivolt. Polaritas membran juga dipengaruhi oleh saluran ligan-gated yang terbuka saat
neurotransmiter, ligan transmisi sinaptik, mengikat reseptor spesifik terhubung ke saluran. Glutamat
adalah neurotransmiter rangsang primer dan gamma-aminobutyric acid (GABA), penghambatan
transmisi. Transmisi sinaptik dimediasi oleh glutamat yang dilepaskan dari neuron piramidal dan
depolarisasi dan merangsang neuron target melalui reseptor ionotropic (NMDA, α-amino-3
hidroksi-5-methylisoxazole-4-proprionic acid [AMPA], dan asam kainic [KA]). Pembukaan saluran
glutamat memungkinkan Na+ dan Ca2+ masuk ke dalam sel, sehingga terjadi depolarisasi, sedangkan
dengan pembukaan saluran GABA, Cl- memasuki sel, sehingga terjadi hyperpolarization. Setelah
potensial aksi dihasilkan, akan menjalar ke sinaps. Tergantung pada jenis sel, apakah sebuah
neurotransmitter perangsang atau penghambat yang akan dilepaskan dilepaskan. Pengaruh
neurotransmitter pada membran postsynaptic akan menentukan aliran masuk atau keluar dari sel
postsinaptik, sehingga menentukan apakah sel postsinaptik akan menghasilkan potensial aksi.
Epilepsi adalah gangguan paroksismal ditandai dengan cetusan neuronal yang abnormal.
Meskipun epilepsi memiliki banyak penyebab, gangguan mendasar adalah akibat sekunder cetusan
sinkron abnormal dari sel neuron. Epilepsi merupakan fenomena sekunder akibat
ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi sel neuron. Ciri dari neuron epilepsi di model
eksperimental epilepsi adalah depolarisasi membran, yang hasil lonjakan interiktal tercatat oleh
EEG. Selama pelepasan interiktal, membran sel dekat soma mengalami tegangan tinggi relatif
(sekitar 10 sampai 15 mV) dan depolarisasi relatif panjang (100 sampai 200 μsec). Depolarisasi
panjang memiliki pengaruh menghasilkan rentetan potensial aksi yang dimulai dari soma ke
sepanjang akson neuron. Depolarisasi besar ini disebut pergeseran depolarisasi paroksismal (PDP).
PDP disebabkan oleh ketidakseimbangan eksitasi terhadap inhibisi, peningkatan eksitasi, atau
pengurangan inhibisi, dapat sekunder akibat berbagai kelainan, termasuk gangguan intrinsik
membran neuron, eksitasi berlebihan melalui reseptor NMDA dan AMPA, berkurangnya inhibisi
melalui saluran GABA, dan kelainan saluran kalium dan kalsium. Efek akhirnya adalah
ketidakseimbangan eksitasi melebihi inhibisi. PDP interiktal diikuti oleh hyperpolarisasi besar,
berfungsi untuk membatasi durasi paroksismal interiktal.
Penting untuk diingat bahwa daerah epilepsi terdiri dari berbagai neuron normal yang
cetusannya dengan cara sinkronisasi abnormal. PDP dapat terjadi karena kelainan intrinsik
membran dalam kelompok neuron atau karena input rangsang berlebihan (atau berkurangnya
penghambatan input) kepada sekelompok neuron. Dengan berjalannya waktu, kehilangan
hyperpolarisasi progresif setelah PDP dapat terjadi pada fokus epilepsi. Selama kejang, neuron
epilepsi menjalani depolarisasi berkepanjangan dengan gelombang potensial aksi selama fase tonik
kejang dan osilasi potensi membran dengan letupan potensial aksi, dipisahkan oleh periode tenang
selama fase klonik. Apabila EEG direkam di kulit kepala pada saat ini menunjukkan gelomnang
paku berkelanjutan, yang umumnya bertepatan dengan tahap tonik tonik-klonik kejang umum.
Selama tahapan berikutnya, potensial inhibitor besar terjadi (dengan perlambatan atau perataan di
EEG) dan bergantian secara berulang, PDP berirama (dengan gelombang paku di EEG). Pola ini
umumnya bertepatan dengan tahap klonik kejang.
Kejang fokal bisa menyebar di sepanjang korteks dan meluas ke daerah yang jauh melalui
traktus substansia alba. Banyak pasien dengan kejang fokal mengalami aura saat onset. Jenis aura
tergantung pada daerah otak di mana kejang berasal. Untuk misalnya, pasien dengan onset lobus
temporal mungkin mengalami déjà vu (pengalaman merasa yakin bahwa sudah pernah menyaksikan
atau mengalami situasi saat ini), sedangkan pasien dengan onset lobus parietalis mungkin
mengalami sensasi mati rasa atau kesemutan. Dengan penyebaran yang semakin banyak, semakin
banyak pula neuron yang terlibat dalam sinkronisasi, yang bisa berujung pada umum kejang tonik-
klonik.
Tidak seperti kejang fokal, yang melibatkan kelompok neuron relatif terbatas di awal,
kejang umum merupakan hasil dari disfungsi jaringan neuron melibatkan beberapa daerah otak.
Mekanisme yang mendasari absence seizures, dan mungkin jenis kejang umum lainnya, melibatkan
sirkuit talamokortikal dan pembangkitan irama osilasi abnormal pada jaringan saraf. Sirkuit
neuronal yang bertanggung jawab terhadap penyebaran osilasi letupan talamokortikal diamati
selama absence seizures, mencakup neuron piramidal kortikal, neuron berantai talamik, dan nukleus
reticularis talamus (NRT). Prinsip koneksi sinaptik dari sirkuit talamokortikal mencakup serat
glutamatergic antara sel piramidal neokorteks dan NRT; Koneksi GABAergic antara sel-sel dari
NRT, yang mengaktifkan reseptor GABAA; dan serat GABAergic dari neuron NRT, yang
mengaktifkan GABAA dan GABAB reseptor pada neuron berantai talamik. Peristiwa seluler yang
mendasari kemampuan neuron NRT berganti antara keadaan berosilasi dan tonik adalah ambang
threshold (T) perangsangan Ca2+ rendah yang terjadi dalam neuron talamokortikal dan NRT.
Depolarisasi ringan neuron ini cukup untuk mengaktifkan saluran ini dan untuk memungkinkan
masuknya Ca2+ ekstraseluler.
Depolarisasi lanjut akibat masuknya Ca2+ akan melebihi ambang batas untuk meletupkan
potensial aksi. Setelah saluran Ca2+ berambang rendah diaktifkan, akan menjadi tidak aktif lebih
cepat, hal ini yang disebut transien. Deinaktivasi dari saluran ini membutuhkan hyperpolarisasi
relatif panjang. Hiperpolarisasi termediasi reseptor GABAB merupakan faktor utama dalam
deinaktivasi dari kanal ini.
Recurrent collateral GABAergic fibers dari Neuron NRT akan mengaktifkan reseptor
GABAA di dekat neuron NRT. Aktivasi reseptor GABAA di NRT akan menginhibisi output
penghambatan ke neuron berantai talamik. Karena penurunan aktivasi GABAB, akan ada
kemungkinan pengurangan deinaktivasi Ca2+ akan terjadi. Ini akan mengakibatkan penurunan
letupan osilasi. Namun, aktivasi langsung GABAA dan GABAB pada neuron berantai talamik
diharapkan memiliki efek merusak yakni meningkatkan hiperpolarisasi sehingga meningkatkan
kemungkinan deinaktivasi dari saluran Ca2+ berambang rendah. Ritme osilasi abnormal pada
absence seizures bisa disebabkan oleh kelainan dari jenis ambang saluran Ca 2+ atau fungsi GABAB
yang meningkat

1.7 Gambaran klinik

Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic) merupakan
bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44
sampai 74 persen, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.

· Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)

Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan potensial
dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau kejang
parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik umum,
serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara
serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan otot-
otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis selama fase
ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah,
hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi yang
mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan metabolik. Aktivitas kejang
sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak tertangani.

· Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)

Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului fase
tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.

· Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)

Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjai pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.

· Status Epileptikus Mioklonik.


Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.

· Status Epileptikus Absens

Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie”
dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak. Pada EEG terlihat aktivitas puncak 3 Hz
monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua tempat. Respon terhadap status epileptikus
Benzodiazepin intravena didapati.

· Status Epileptikus Non Konvulsif

Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai
dengan stupor atau biasanya koma.

Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoia, delusional, cepat marah,
halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis. Pada EEG menunjukkan generalized spike wave
discharges, tidak seperti 3 Hz spike wave discharges dari status absens.

· Status Epileptikus Parsial Sederhana

a. Status Somatomotorik

Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari
pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan
berkembang menjadi jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin
menetap secara unilateral dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi
tidak selalu menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada hemisfer
yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan dengan proses destruktif yang
pokok dalam otak. Variasi dari status somatomotorik ditandai dengan adanya afasia
yang intermitten atau gangguan berbahasa (status afasik).

b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.

· Status Epileptikus Parsial Kompleks

Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara,
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada
lobus temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh.
Kondisi ini dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit
memisahkan status epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada
beberapa kasus.

You might also like