Bab II Indah Iva

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks


2.1.1 Defenisi
Kanker serviks (Kanker leher rahim) adalah tumor ganas yang tumbuh di
dalam leher rahim/serviks (bagian terendah dari rahim yang menempel pada
puncak vagina. Kanker serviks biasanya menyerang wanita berusia 35-55 tahun.
90% dari kanker serviks berasal dari sel skuamosa yang melapisi serviks dan
10% sisanya berasal dari sel kelenjar penghasil lendir pada saluran servikal yang
menuju ke dalam rahim (Indrawati, 2009).
Kanker serviks merupakan kanker yang terbanyak diderita wanita di
Negara berkembang seperti Indonesia. Kanker serviks merupakan masalah
kesehatan wanita di Indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka
kematiannya yang tinggi. Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan
umum yang lemah, status sosial ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber
daya, keterbatasan saran dan prasaran, jenis histopatologi, dan derajat
pendidikan yang rendah (Rasjidi, 2010).

2.1.2 Anatomi Serviks Uteri


Serviks merupakan sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol
dan berhubungan dengan vagina melalui ostium uteri eksternum. Serviks
berhubungan dengan jaringan parametrium ligamentum cardinale ke arah lateral,
ligamentum sakrouterina ke arah posterior, menuju iliaka interna, iliaka eksterna,
presakral, iliaka kommunis, hingga paraaorta. Sepanjang pembuluh darah iliaka
sampai dengan paraaorta, terdapat pembuluh-pembuluh dan kelenjar limfe yang
berhubungan ke atas hingga medastinum dan kelenjar getah bening
supraklavikular

7
Gambar 1. Anamoni Serviks

2.1.3 Epidemiologi
Per tahun insiden dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus
pada tahun 1980. Ditemukan sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks,
dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara
sedang berkembang.

Gambar 2. Estimated Cervical Cencer Incidence Worldwide in 2012

Berdasarkan GLOBOCAN 2012 kanker serviks menduduki urutan ke-7


secara global dalam segi angka kejadian (urutan ke urutan ke- 6 di negara
kurang berkembang) dan urutan ke-8 sebagai penyebab kematian
(menyumbangkan 3,2% mortalitas, sama dengan angka mortalitas akibat

8
leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang,
dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di
Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak
berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar
12,7%.

Gambar 3. Estimated Cervical Cancer Mortality Worldwide in 2012

Menurut perkiraan Departemen Kesehatan RI saat ini, jumlah wanita


penderita baru kanker serviks berkisar 90-100 kasus per 100.000 penduduk
dan setiap tahun terjadi 40 ribu kasus kanker serviks.

Gambar 4. Epidemiologi menurut globocan 2012

9
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari penderitanya
dan keluarganya serta juga akan sangat mempengaruhi sektor pembiayaan
kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab itu peningkatan upaya penanganan
kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan deteksi dini sangat
diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat.

Table 5. Rekapitulasi Deteksi dini kanker serviks menurut provinsi sampai


dengan tahun 2016
2.1.4 Etiologi Kanker Serviks
Faktor etiologi yang perlu mendapat perhatian adalah infeksi human
papiloma virus (HPV). HPV adalah DNA virus yang menimbulkan proliferasi pada
permukaan epidermal dan mukosa. Infeksi virus papiloma sering terdapat pada
wanita yang aktif secara seksual. HPV tipe 16, 18, 31, 33, 35, 45, 51, 52, 56, dan 58
sering ditemukan pada kanker dan lesi prakanker. Lebih dari 90% kanker serviks
ini adalah jenis skuamosa yang mengandung DNA virus Human Papiloma Virus
dan 50% kanker serviks berhubungan dengan Human Papiloma Virus tipe 16
(Rasjidi, 2008).

10
Gambar 5. Human Papilomavirus

2.1.5 Faktor Resiko terjadi Kanker Serviks


Beberapa faktor risiko terjadinya kanker serviks (Rasjidi, 2009) yaitu :

a. Umur pertama kali melakukan hubungan seksual


Makin muda umur pertama kali melakukan hubungan seksual, maka semakin
tinggi risiko terjadinya kanker serviks. Menurut Tilong (2012) mengemukakan
hubungan seksual pada usia terlalu dini (< 16 tahun) bisa meningkatkan risiko
terserang kanker serviks dua kali lebih besar dibandingkan mereka yang
melakukan hubungan seksual setelah usia 20 tahun. Berdasarkan penelitian
para ahli, wanita pada usia yang melakukan hubungan seksual pada usia kurang
dari 15 tahun mempunyai risiko 10 kali lipat dan wanita yang melakukan
hubungan seksual sebelum usia 18 tahun akan berisiko terkena kanker serviks
sampai 5 kali lipat (Rasjidi, 2010).

b. Perilaku Seksual
Perilaku bergonta-ganti pasangan akan meningkatkan penularan
penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi human papiloma
virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya Kanker leher
rahim. Resiko terkena Kanker leher rahim menjadi 10 kali lipat pada wanita
yang mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus
herpes simpleks tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping.

11
Ditemukan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa
golongan wanita yang mulai mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti
lebih resiko untuk menderita Kanker leher rahim. Sebab wanita yang berganti-
ganti pasangan akan rentan terkena virus HPV. Tinjauan kepustakaan
mengenai etiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor resiko lain
yang penting adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila (WTS).

c. Perubahan Fisiologik Epitel Serviks


Jaringan epitel pada serviks ada dua jenis yaitu epitel skuamosa dan
epitel kolumnar. Kedua epitel tersebut dibatasi oleh sambungan skuamosa-
kolumnar (SSK). Namun letaknya menyesuaikan umur, aktivitas seksual dan
paritas.
Pada wanita yang seksualitasnya tinggi maka SSK terletak di ostium
eksternum. Wanita dapat terjadi perubahan fisiologis pada jaringan epitel
serviks. Jaringan epitel kolumnar akan digantikan epitel skuomosa yang
disebut dengan metaplasia. Perubahan ini terjadi karena pH yang rendah dan
biasanya sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat proses metaplasia ini
maka terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan SSK baru, menjadi tempat pertemuan
antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua
SSK ini disebut daerah transformasi. Perubahan pH yang rendah ini
kemungkinan bisa disebabkan karena aktivitas bahan pemicu kanker leher
rahim. Hal ini berbahaya karena dapat mengubah sel yang normal menjadi sel
yang tidak normal.

d. Perubahan Neoplastik Epitel Serviks


Proses terjadinya Kanker leher rahim begitu erat dengan proses
metaplasia. Akibat pH rendah maka bahan-bahan pemicu kanker dapat
bermutasi dan dapat mengubah sel aktif metaplasia. Ini menimbulkan sel-sel
berpotensi ganas. Bisa saja mutagen yang bermutasi berasal dari Human
Papilo Virus (HPV). Sel yang mengalami mutasi tersebut dapat berkembang
menjadi sel diplastik dan dapat menyebabkan kelainan epitel. Dari displasia
ringan, displasia sedang, displasia berat dapat berkembang menjadi
karsinoma invasive. Tingkat displasia dan karsinoma in-situ dikenal juga

12
sebagai tingkat pra-kanker.

e. Umur
Menopause memang akan dialami semua wanita. Pada masa itu sering
terjadi perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim. Pada usia 35-55 tahun
memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker mulut rahim (serviks).
Semakin tua umur seseorang akan mengalami proses kemunduran, proses
tersebut tidak terjadi pada suatu alat saja tetapi pada seluruh organ tubuh.
Semua bagian tubuh mengalami kemunduran, sehingga pada usia lanjut lebih
banyak kemungkinan jatuh sakit, atau mudah mengalami infeksi.

f. Wanita Perokok
Tembakau mengandung bahan bahan karsinogen baik yang dihisap
sebagai rokok/sigaret maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan
polycyclic aromatic hydrocarbons heterocyclic amine yang sangat karsinogen dan
mutagen, sedangkan bila dikunyah ia menghasilkan nitrosamine. Bahan yang
berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah serviks wanita porokok
dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Bahkan bahan-bahan tersebut
dapat menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga mengakibatkan
neoplasma serviks (Rasjidi, 2007).
Wanita perokok mempunyai risiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks
dibandingkan dengan wanita bukan terkandung nikotin dan zat lainnya yang
terdapat di dalam rokok. Zat- zat tersebut menurunkan daya tahan serviks dan
menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga timbul kanker serviks, di
samping merupakan kokarsinogen infeksi virus.

g. Paritas
Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan
bayi yang dapat hidup atau viable. Paritas berbahaya adalah dengan memiliki
jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Sebab
dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim.
Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak dapat
menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim

13
dan dapat berkembang menjadi keganasan. Diperkirakan risiko 3-5 kali lebih
besar pada wanita yang sering partus untuk terjadi kanker.

h. Usia Wanita saat Menikah


Dalam kenyataannya menikah dini mempunyai beberapa resiko.
Selain kurangnya kesiapan mental juga mempunyai resiko lebih besar
mengalami perubahan sel-sel mulut rahim. Hal ini karena pada saat usia
muda, sel-sel rahim masih belum matang. Sel-sel tersebut tidak rentan
terhadap zat-zat kimia yang dibawa oleh sperma. Dengan segala macam
perubahannya dan jika belum matang ketika ada rangsangan sel yang
tumbuh tidak seimbang dengan sel yang mati maka kelebihan sel ini bisa
berubah sifat menjadi sel kanker.

i. Sosial ekonomi
Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin ada kaitannya dengan gizi dan imunitas. Pada golongan ekonomi sosial
rendah umumnya kwalitas dan kuantitas makanan kurang hal ini mempengaruhi
imunitas tubuh. Hal ini juga ada hubungannya keterbatasan akses ke sistem
pelayanan kesehatan (Rasjidi, 2009),(Pudiastuti, 2010). Mereka dari golongan
sosial ekonomi rendah, mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker
srviks daripada tingkat sosial ekonomi menengah atau tinggi (Laila, 2008).

j. Pendidikan
Antara tingkat pendidikan dengan NIS terdapat korelasi yang kuat.NIS
cenderung lebih banyak timbul pada wanita yang tidak berpendidikan
dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan (88,9% dibandingkan
55,9%).Biasanya tingkat rendahnya pendidikan berkaitan dengan tingkat sosial
ekonomi,kehidupan seks, dan kebersihan (Rustam E Harahap, 1984). Menurut
Aulia (2012) kurangnya pengetahuan masyarakat, khususnya kaum ibu
mengenai kanker serviks dan keengganan untuk melakukan deteksi dini
menyebabkan sebagian besar (>70%) penderita berobat ke pelayanan kesehatan
sudah dalam lanjut dan sulit diobati.

14
k. Pekerjaan
Sekarang ini ketertarikan difokuskan pada keterpaparan bahan tertentu
dari suatu pekerjaan :debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin dapat menjadi
faktor risiko kanker serviks (Rasjidi, 2009).

l. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul


Infeksi trikomonas, sifilis, virus herpes simpleks tipe 2, dan gonokokus
yang menahun ditemukan berhubungan dengan kanker serviks.

m. Human Immunodefisiency Virus


Perubahan sistem imun dihubungkan dengan meningkatnya risiko
terjadinya kanker serviks invasif. Immunodefisiency yang diakibatkan oleh HIV
menciptakan infeksi oportunistik dari HPV yang mengakibatkan kanker serviks
(Rasjidi, 2009).

n. Penggunaan Pil kontrasepsi dalam Jangka Waktu Lama


Penggunaan pil kontrasepsi dalam jangka waktu yang lama ,misalnya 5
tahun atau lebih dapat meningkatkan risiko kanker serviks bagi wanita yang
terinfeksi HPV (Aulia, 2012).

2.1.6 Perjalanan Alamiah Kanker Serviks


Pada perempuan saat remaja dan kehamilan pertama, terjadi metaplasia
sel skuamosa serviks. Bila pada saat ini terjadi terjadi infeksi HPV, maka akan
terbentuk sel baru hasil transformasi dengan partikel HPV tergabung dalam DNA
sel. Bila hal ini berlanjut maka terbentuklah lesi prekanker dan lebih lanjut
menjadi kanker. Sebagian besar kasus dysplasia sel serviks sembuh dengan
sembuh dengan sendirinya, sementara hanya 10% yang berubah menjadi
dysplasia sedang dan berat. 50% kasus dysplasia berat berubah menjadi
karsinoma. Biasanya waktu yang dibutuhkan suatu lesi dysplasia menjadi
keganasan adalah 10-20 tahun.
Kanker serviks invasif berawal dari lesi dysplasia sel-sel rahim yang
kemudian berkembang menjadi dysplasia tingkat lanjut, karsinoma in-situ dan
akhirnya kanker invasif. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa prekusor

15
kanker adalah lesi dysplasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia) yang sebagian
kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara
dysplasia tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi spontan
(Depkes, 2008).

Gambar 6. Patofisiologi perjalanan kanker serviks

2.1.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik.
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah menjadi
kanker invasif, gejalan yang paling umum adalah perdarahan (contact
bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan. Pada stadium
lanjut, gejala dapat berkembang mejladi nyeri pinggang atau perut bagian
bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai
obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi
sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula
vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi,
rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan atau MRI, PET
scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus
dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks
dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan

16
rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh karena itu
pemeriksaan harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium
klinik ini tidak berubah bila kemudian ada penemuan baru. Kalau ada
keraguan dalam penentuan maka dipilih stadium yang lebih rendah.

2.1.8 Diagnosis Banding


a. Adenokarsinoma Endometrial
b. Polip Endoservikal
c. Chlamydia trachomatis atau Infeksi menular seksual lainnya pada wanita
dengan:
 Keluhan perdarahan vagina, duh vagina serosanguinosa, nyeri pelvis
 Serviks yang meradang dan rapuh (mudah berdarah, terutama
setelah berhubungan seksual)

2.1.9 Stadium kanker serviks


Sistem yang umumnya digunakan untuk pembagian stadium kanker
serviks adalah sistem yang diperkenankan oleh International Federatiaon
Of Gynecology and Obstetrics (FIGO). Semakin besar angkanya, maka kanker
semakin serius dan dalam tahap lanjut (Rasjidi, 2010) sebagai berikut :

Tabel 1 Stadium Kanker serviks


Stadium Keterangan
0 Sel kanker masih di selaput lendir serviks (karsinoma insitu)
I Kanker masih terbatas di dalam jaringan serviks dan belum
menyebar ke badan rahim.
IA Karsinoma yang didiagnosa baru hanya secara mikroskop dan
belum menunjukkan kelainan/keluhan klinik.
IA1 Kanker sudah mulai menyebar ke jaringan otot dengan dalam
<3mm, serta ukuran besar tumor <7 mm.

IA2 Kanker sudah menyebar lebih dalam (>3 mm-5 mm) dengan
lebar
7 mm

17
IB Ukuran kanker sudah >IA2.
IB1 Ukuran tumor sudah 4 cm
IB2 Ukuran tumor >4 cm
II Kanker sudah menyebar keluar jaringan serviks tetapi belum
mengenai dinding rongga panggul. Meskipun sudah menyebar
kevagina tetapi masih terbatas pada 1/3 atas vagina.
IIA Tumor jelas belum menyebar ke sekitar uterus
IIB Tumor jelas sudah menyebar ke sekitar uterus.
III Kanker sudah menyebar ke dinding panggul dan sudah
mengenai jaringan vagina lebih rendah dari 1/3 bawah. Bisa
juga penderita sudah mengalami ginjal bengkak karena
bendungan air seni (Hidroneprosis) dan mengalami gangguan
fungsi ginjal.
IIIA Kanker sudah menginvasi dinding panggul
IIIB Kanker menyerang dinding panggul disertai gangguan fungsi

ginjal dan Hidroneprosis


IV Kanker sudah menyebar keluar rongga panggul, dan secara
klinik sudah terlihat tanda-tanda invasi kanker ke selaput
lendir kandung kencing.
IVA Sel kanker menyebar pada alat/rongga yang dekat dengan
serviks
IVB Kanker serviks sudah menyebar pada alat/rongga yang jauh
dari serviks

2.2 Deteksi Dini Kanker serviks


Pencegahan kanker serviks terdiri dari beberapa tahap, yaitu (Sukardja,
2000) :
a. Pencegahan Primer Pencegahan primer merupakan upaya dalam
mengurangi atau menghilangkan kontak individu dengan karsinogen
untuk mencegah terjadinya proses karsinogenesis. Pencegahan primer
juga dapat dilakukan dengan menghindari berbagai faktor risiko,
seperti dengan menunda aktivitas seksual sampai usia 20 tahun,

18
berhubungan secara monogami, serta penggunaan vaksin HPV (Rasjidi,
Irwanto, & Wicaksono, 2009).
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk
menemukan kasus-kasus dini kanker serviks, sehingga kemungkinan
penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan sekunder termasuk
skrining dan deteksi dini seperti Pap Smear, kolposkopi, servikografi,
Pap net, dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA).
c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier merupakan pencegahan
komplikasi klinik ndan kematian. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memberikan pengobatan yang tepat berupa operasi, kemoterapi, atau
radioterapi.

Algoritma Diagnosis Deteksi Dini Dan Tata Laksana (Program Skrining)

Berbagai metode deteksi dini kanker serviks kanker serviks telah dikenal
dan diaplikasikan, dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan Paps. Selain
itu dikembangkan metode visual dengan ginescope, atau servikografi, kolposkopi.
Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat. Deteksi dini DNA HPV juga ditujukan untuk

19
mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi
seorang perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks (Depkes,
2010).

WHO merekomendasikan interval deteksi dini:


a) Bila deteksi dini hanya mungkin dilakukan 1 kali seumur hidup maka
sebaiknya dilakukan pada wanita antara usia 35-45 tahun.
b) Untuk wanita usia 25-49 tahun, bila sumber daya memungkinkan deteksi
dini hendaknya dilakukan 3 tahun sekali
c) Bila 2 kali berturut-turut hasil deteksi dini sebelumnya negatife,
perempuan usia diatas 65 tahun, tidak perlu menjalani deteksi dini.
d) Tidak semua wanita direkomendasikan melakukan deteksi dini setahun
sekali.

Metode deteksi dini yang dapat digunakan, tergantung dari ketersediaan


sumber daya. Metode deteksi dini yang baik memiliki beberapa persyaratan,
yaitu akurat, dapat diulang kembali (reproducible), murah, mudah dikerjakan dan
ditindak- lanjuti, akseptabel, serta aman. Beberapa metode yang diakui WHO
adalah sebagai berikut (Depkes RI, 2008):
1. Metode Sitologi
a. Tes Paps konvensional
Tes Pap Smear adalah pemeriksaan sitologi dari serviks dan
porsio untuk melihat adanya perubahan atau keganasan pada epitel
serviks atau porsio (displasia) sebagai tanda awal keganasan serviks
atau prakanker. Pap Smear merupakan suatu metode pemeriksaan sel-
sel yang diambil dari leher rahim dan kemudian diperiksa di bawah
mikroskop. Pap Smear merupakan tes yang aman dan murah dan
telah dipakai bertahun-tahun lamanya untuk mendeteksi kelainan-
kelainan yang terjadi pada sel-sel leher Rahim. Beberapa penulis
melaporkan sensitivitas pemeriksaan ini berkisar antara 78-93%, tetapi
pemeriksaan ini tak luput dari hasil positif palsu sekitar 16-37% dan
negatif palsu 7-40% sebagian besar kesalahan tersebut disebabkan oleh
pengambilan sediaan yang tidak adekuat, kesalahan dalam proses
pembuatan sediaan dan kesalahan interpretasi.

20
b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)
Metode skrining thinprep atau Liquid Base Cytology (LBC) adalah
metode pap smear yang dimodifikasi yaitu pengumpulan sel usapan
serviks di dalam cairan, tujuanya adalah menghilangkan kotoran, darah,
dan lender, serta memperbanyak sel serviks yang dikumpulkan sehingga
sensitivitas akan meningkat.Dikenal juga dengan Thin Prep atau
monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi hasil negatif palsu dari
pemeriksaan Tes Paps konvensional dengan cara optimalisasi teknik
koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikoleksi
dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi
larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel
abnormal lebih terbesar dan mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh
waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih
mahal.
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA-HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai
cara mulai dari cara Shouthern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter
insitu, Dot Blot, hibridisasi insitu yang memerlukan jaringan biopsi, atau
dengan cara pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang
amat sensitif.
3. Metode inspeksi visual
a. Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolkoskopi
(pemeriksaan serviks dengan kaca pembesar) dan servikografi.
Setiap metode deteksi dini mempunyai sensitifitas dan berbeda. Sampai
saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas
100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan deteksi dini, setiap
wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed consent).
Untuk membantu menentukan stadium kanker, dilakukan beberapa
pemeriksaan berikut : Sistoscopi, Rontgen dada, Urografi intravena,
Sigmoidoskopi, Scanning tulang dan hati, Barium enema.

21
2.3 Inspeksi Visual dengan Asam Asetat
2.3.1 Pengertian
Pemeriksaan Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah
pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter/bidan/paramedis dengan mengamati
leher rahim yang telah diberiasam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan
dilihat dengan penglihatan mata telanjang. Tujuannya untuk melihat adanya sel
yang mengalami dysplasia sebagai salah satu metode deteksi dini kanker mulut
rahim (Depkes, 2008).
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925)
dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam
asam asetat 3- 5%. Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel abnormal,
bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasekuler. Cairan
ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler
sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan
diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permokaan epitel
abnormal akan berwarna putih, yang disebut juga epitel putih (acetowhite)
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga
setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan
cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel
putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi
lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan
makin jelas, main tinggi derajat kelainan jaringannya.Laporan hasil konsultasi
WHO menyebutkan bahwa IVA dapat mendeteksi lesi tingkat pra kanker (high-
Grade Precanceraus Lesions) dengan sensitivitas sekitar 66-96% dan spesifitas
64-98%. Sedangkan nilai prediksi positif (positive predective value) dan nilai
prediksi negatif (negative predective value) masing-masing antara 10-20% dan
92-97% (Depkes, 2007)
Praktek yang dianjurkan untuk fasilitas Pemeriksaan IVA, sebagai suatu
pemeriksaan deteksi dini alternatif, karena memiliki beberapa manfaat jika
dibandingkan dengan uji yang telah ada. Keadaan ini lebih memungkinkan
dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia(FK.UI, 2010).

22
IVA adalah dengan sumber daya sederhana dibandingkan dengan jenis
penapisan lain (Depkes, 2010) karena:
a) Aman, tidak mahal, dan mudah dilakukan

b) Akurasi tes tersebut sama dengan tes-tes yang lain yang digunakan untuk
penapisan kanker leher rahim
c) Dapat dipelajari dan dilakukan oleh hampir semua tenaga kesehatan di
semua jenjang sistem kesehatan
d) Memberikan hasil segera sehingga dapat segera diambil keputusan
mengenai penatalaksanaannya (pengobatan atau rujukan)
e) Suplai sebagian besar peralatan dan bahan untuk pelayanan ini mudah
didapat dan tersedia
f) Pengobatan langsung dengan krioterapi berkaitan dengan penapisan yang
tidak bersifat invasif dan dengan efektif dapat mengidentifikasi berbagai
lesi prakanker

2.3.2 Perbandingan IVA dengan tes penapisan lainnya.


Tabel 2 Perbandingan IVA dengan tes penapisan lainnya

Mudah
Jenis Tes Aman Praktis Terjangkau Efektif
Tersedia

IVA ya ya ya ya ya

Pap Smear ya tidak tidak ya tidak

HPV/DNA Test ya tidak tidak ya tidak

Cervicography ya tidak tidak ya tidak

2.3.3 Indikasi Pemeriksaan IVA


Menjalani tes kanker atau prakanker dianjurkan bagi semua wanita berusia
30-45 tahun. Kanker rahim menempati angka tertinggi diantara kanker
lain wanita,sehingga tes harus dilakukan pada usia dimana lesi pra-kanker
lebih mudah terdateksi, biasanya 10-20 tahun lebih awal.

23
Sejumlah faktor risiko berhubungan dengan perkembangan kanker
serviks sebagai berikut:
a) Usia muda saat pertama kali melakukan hubungan seksual (usia <20
tahun)
b) Memiliki banyak pasangan seksual
c) Riwayat pernah mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS)
d) Ibu atau saudara perempuan yang memiliki riwayat kanker serviks
e) Hasil Papsmear sebelumnya yang tidak normal
f) Wanita perokok
g) Wanita yang mengalami masalah penurunan kekebalan tubuh dan
(HIV/AIDS)

2.3.4 Kapan Harus Menjalani Pemeriksaan IVA


Tes IVA dapat dilakukan kapan saja, termasuk saat siklus menstruasi, saat
kehamilan dan saat asuhan nifas atau paska keguguran.Tes IVA dapat dilakukan
pada wanita yang dicurigai atau diketahui menderita IMS atau HIV/AIDS.

Program Skrining Oleh WHO :


 Skrining pada setiap wanita minimal 1 x pada usia 35-40 tahun
 Kalau fasilitas memungkinkan lakukan tiap 10 tahun pada usia 35-55 tahun
 Kalau fasilitas tersedia lebih lakukan tiap 5 tahun pada usia 35-55 tahun
Ideal dan optimal pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun pada wanita usia
25-60 tahun.
 Skrining yang dilakukan sekali dalam 10 tahun atau sekali seumur hidup
memiliki dampak yang cukup signifikan.
 Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA bila : hasil positif (+) adalah 1
tahun dan, bila hasil negatif (-) adalah 5 tahun

2.3.5 Teknik Pemeriksaan dan Interpretasi IVA (Depkes, 2007)


Tes IVA dapat dilakukan kapan saja dalam siklus menstruasi, termasuk saat
menstruasi, dan saat asuhan nifas atau paska keguguran. Pemeriksaan IVA
juga dapat dilakukan pada perempuan yang dicurigai atau diketahui memiliki
ISR/IMS atau HIV/AIDS.

24
Alat dan Bahan
1. Spekulum
2. Lampu
3. Larutan asam asetat 3-5%
 Dapat digunakan asam cuka 25% yang dijual di pasaran kemudian
diencerkan menjadi 5% dengan perbandingan 1:4 (1 bagian asam
cuka dicampur dengan 4 bagian air) Contohnya: 10 ml asam cuka
25% dicampur dengan 40 ml air akan menghasilkan 50 ml asam
asetat 5 %. Atau 20 ml asam cuka 25 % dicampur dengan 80 ml air
akan menghasilkan 100 ml asam asetat 5%
 Jika akan menggunakan asam asetat 3%, asam cuka 25 % diencerkan
dengan air dengan perbandingkan 1:7 (1 bagian asam cuka dicampur
7 bagian air) Contohnya : 10 ml asam cuka 25% dicampur dengan 70
ml air akanmenghasilkan 80 ml asam asetat 3%
 Campur asam asetat dengan baik
 Buat asam asetat sesuai keperluan hari itu. Asam asetat jangan
disimpan untuk beberapa hari.
4. Kapas lidi
5. Sarung tangan
6. Larutan klorin untuk dekontaminasi peralatan

Metode Pemeriksaan
1. Memastikan identitas , memeriksa status dan kelengkapan informed
consent klien
2. Klien diminta untuk menanggalkan pakaiannya dari pinggang hingga
lutut dan menggunakan kain yang sudah disediakan
3. Klien diposisikan dalam posisi litotomi
4. Tutup area pinggang hingga lutut klien dengan kain
5. Gunakan sarung tangan
6. Bersihkan genitalia eksterna dengan air DTT
7. Masukkan spekulum dan tampakkan serviks hingga jelas terlihat
8. Bersihkan serviks dari cairan , darah, dan sekret dengan kapas lidi bersih
9. Periksa serviks sesuai langkah-langkah berikut :

25
a. Terdapat kecurigaan kanker atau tidak :
 Jika ya, klien dirujuk , pemeriksaan IVA tidak dilanjutkan . Jika
pemeriksaan adalah dokter ahli obstetri dan ginekologi , lakukan
biopsi
b. Jika tidak dicurigai kanker, identifikasi Sambungan Skuamo
kolumnar (SSK)
 Jika SSK tidak tampak , maka : dilakukan pemeriksaan mata
telanjang tanpa asam asetat, lalu beri kesimpulan sementara,
misalnya hasil negatif namun SSK tidak tampak. Klien disarankan
untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya lebih cepat atau pap
smear maksimal 6 bulan lagi.
c. Jika SSK tampak, lakukan IVA dengan mengoleskan kapas lidi yang
sudah dicelupkan ke dalam asam asetat 3-5% ke seluruh permukaan
serviks
d. Tunggu hasil IVA selama 1 menit, perhatikan apakah ada bercak
putih ( acetowhite epithelium) atau tidak
e. Jika tidak (IVA negatif), jelaskan kepada klien kapan harus kembali
untuk mengulangi pemeriksan IVA
f. Jika ada (IVA positif) , tentukan metode tata laksana yang akan
dilakukan
10. Keluarkan spekulum
11. Buang sarung tangan , kapas, dan bahan sekali pakai lainnya ke dalam
container (tempat sampah) yang tahan bocor, sedangkan untuk alat-alat
yang dapat digunakan kembali, rendam dalam larutan klorin 0,5% selama
10 menit untuk dekontaminasi
12. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada klien, kapan harus melakukan
pemeriksaan lagi, serta rencana tata laksana jika diperlukan.
Penatalaksanaan IVA Positif
Bila ditemukan IVA Positif, dilakukan krioterapi, elektrokauterisasi atau
eksisi
LEEP/LLETZ.
 Krioterapi dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis obstetri dan
ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi

26
 Elektrokauterisasi, LEEP/LLETZ dilakukan oleh dokter spesialis
obstetri dan ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi

Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih


(acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks yang diolesi larutan asam
asetat. Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam
asetat tidak dilakukan namun segera dilakukan rujukan ke sarana yang lebih
lengkap. Wanita yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani
deteksi dini dengan metode IVA karena zona transsisional leher rahim pada
kelompok ini biasanya berada pada endoserviks dalam kanalis servikalis
sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum

Menurut (Sukaca E. Bertiani, 2009) Ada beberapa kategori yang dapat


dipergunakan, salah satu kategori yang dapat dipergunakan adalah:
1 IVA negatif = menunjukkan leher rahim normal.
2 IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak lainnya
(polip serviks).
3 IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok ini
yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA
karena temuan ini mengarah pada diagnosis Serviks-pra kanker (dispalsia
ringan-sedang-berat atau kanker serviks in situ).
4 IVA-Kanker serviks = Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan
stadium kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian
akibat kanker serviks bila ditemukan masih pada stadium invasif dini
(stadium IB-IIA).
Salah satu kategori yang lain :
Negatif - tak ada lesi bercak putih
(acetowhite lesion)

- bercak putih pada polip
endoservikal atau kista nabothi
- garis putih mirip lesi acetowhite
pada sambungan

27
skuamokolumnar
Positif 1 (+) - samar, transparan, tidak jelas,
terdapat lesi bercak putih yang
- ireguler pada serviks
- lesi
bercak putih yang tegas,
membentuk sudut (angular),
- geographic acetowhite lessions
yang terletak jauh dari
sambungan skuamokolumnar
Positif 2 (++) - 
lesi acetowhite yang buram,
padat dan berbatas jelas sampai
ke sambungan
skuamokolumnar

- lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas tegas,
tebal dan padat
- pertumbuhan pada leher rahim
menjadi acetowhite

Gambar 6. Hasil interpretasi pemeriksaan IVA

28
3.10 Tatalaksana
3.10.1 Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada. Pada
tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan
program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat
dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan
sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan
untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka
dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large
Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik
maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan
dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
 LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi 1
tahun.
 HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi
6 bulan

29
Algoritma Diagnosis Deteksi Dini Dan Tata Laksana (Program Skrining)

Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:


1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O dan
CO2elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan untuk
destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang kemudian
pada fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan epitel skuamosa yang baru.
a. Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode pembekuan
atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit (teknik Freeze-thaw-
freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2. Kerusakan bioselular akan terjadi
dengan mekanisme: (1) sel‐sel mengalami dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi
elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein;
(4) status umum sistem mikrovaskular.
b. Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan melakukan
eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona transformasi.

30
Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi anatomi untuk konfirmasi
diagnostik secara histopatologik untuk menentukan tindakan cukup atau perlu terapi
lanjutan.
c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika
dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum.
Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1
cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.
d. Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu muatan listrik
dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas
CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai panjang gelombang
10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua
bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks
menguap karena cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami
nekrotik terletak di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan
kekuatan dan lama penyinaran.

Tatalaksana Kanker Serviks Invasif


1. Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization).
Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan
fertilitas.
Bila tidak tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi.
Bila fertilitas tidak diperlukan histerektomi total
Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai tatalaksana kanker invasif.
2. Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas
dipertahankan.(Tingkat evidens B)
Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi atau simple histerektomi.
Histerektomi Total apabila fertilitas tidak dipertahankan

31
3. Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan.
Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan
Brakhiterapi
4. Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan :
a. Operatif.
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.
(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A)
Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor risiko yaitu
metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor,
deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya.
Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi
sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan
dengan brakhiterapi.
b. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
5. Stadium IB2 dan IIA2
Pilihan :
a. Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
b. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa tumor
primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
6. Stadium IIB
Pilihan :
a. Kemoradiasi (Rekomendasi A)

32
b. Radiasi (Rekomendasi B)
c. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)
7. Stadium III A III B
 Kemoradiasi (Rekomendasi A)
 Radiasi (Rekomendasi B)
8. Stadium IIIB dengan CKD
 Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
 Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
 Radiasi
9. Stadium IV A tanpa CKD
 Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
 Kemoradiasi Paliatif, atau
 Radiasi Paliatif
10. Stadium IV A dengan CKD, IVB
 Paliatif
 Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.

2.4 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba (Notoadmodjo, 2010).

Pengetahuan sangat menentukan seseorang dalam berperilaku, hal ini


sesuai dengan pendapat Green dan Kauter (2005) bahwa perilaku dipengaruhi
oleh faktor predisposisi antara lain pengetahuan sejalan dengan pendapat Bloom
dikutip oleh Notoatmojo (2010) bahwa perilaku seseorang dibedakan dalam 3
ranah atau domain yaitu pengetahuan (cognitive), sikap (afektif), tindakan
(psikommotor).
Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui indera penglihatan dan
pendengaran. Pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari
dengan pengetahuan.
Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai enam (6)
tingkatan yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu meteri yang telah dipelajari
sebelumnya.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi
tersebut secara benar.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi sebenarnya.

d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi-materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu
sruktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoadmodjo, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang dalam


melakukan tindakan antara lain (Notoatmojo, 2007):
1. Pendidikan
Latar belakang pendidikan memberikan kemudahan bagi seseorang yang
terpelajar dalam menerima informasi dalam melakukan tindakan.
2. Pekerjaan
Lingkungan kerja dapat memberikan pengetahuan tambahan yang sesuai
terjadi di sekeliling pekerjaan seseorang dalam pengetahuan.
3. Umur
Faktor umur dan perilaku ibu mempengaruhi pengambilan keputusan
dalam pemeliharaan kesehatan (Notoadmodjo, 2003). Umur yang kian
dewasa mengkontribusikan kematangan berfikir dalam melakukan

4. Minat
Minat sebagai dorongan rasa ingin untuk berbuat pada diri sendiri sebagai
timbal balik dari pengetahuan yang telah diterima.
5. Pengalaman
Suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu yang melekat sebagai
pengetahuan dalam dirinya.
6. Informasi
Informasi sebagai bahan masukan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
dari luar dirinya.

Sebagai informasi merupakan media pendidikan kesehatan sebagai


sumber informasi (Notoatmodjo, 2003) dapat berupa :
a. Media cetak adalah alat bantu menyampaikan pesen-pesan kesehatan
sangat bervariasi seperti : booklet (buku kecil), leafleat (lembaran
berlipat), flif chart (lembar balik), rubrik (tulisan-tulisan surat kabar),
poster, foto-foto.
b. Media elektronik seperti audio, : televise, video, slide, film strip.
c. Media papan (Billboard).

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket


yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau
responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
kita sesuaikan dengan tingkatan- tingkatan di atas (Notoatmojo, 2007). Hasil
penelitian Yuliwati tahun 2012 menyatakan pengetahuan berhubungan erat
dengan pemeriksaan IVA. Dengan adanya pengetahuan yang baik maka
seseorang akan mencari informasi tentang kesehatannya, terutama dalam hal
pemeriksaan IVA. Pengetahuan tidakhanya diperoleh dari pendidikan formal saja
tetapi juga diperoleh dari pelatihan, penyuluhan, teman, brosur, dan semakin
banyak memperoleh pengetahuan tentang IVA maka semakin besar
kemungkinan untuk melakukan pemeriksaan IVA

2.5 Sikap (Attitude)


2.6.1 Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang
terhadap suatu stimulasi atau objek, manifestasi sikap tidak dapat langsung
dilihat, tetapi hanya bisa di tafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup,
sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu dalam kehidupan sehari-hari (Notoatmodjo, 2007). Pandangan
atau perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak terhadap suatu
objek.

2.6.2 Komponen Pokok Sikap


Notoatmojo (007) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen
pokok yaitu: Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek,
kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, kecenderungan untuk
bertindak. Komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh
(total attitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran,
keyakinan, dan emosional memegang peranan penting.

2.6.3 Tingkatan Sikap


Menurut Notoatmodjo (2010) menjelaskan bahwa seperti halnya dengan
pengatahuan, sikap ini juga memiliki beberapa tingkatan yaitu:

1. Menerima (receiving) diartikan bahwa orang (subjek) mau dan


memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2. Merespon (responding) yang berarti memberikan jawaban apabila
ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah
suatu indikasi dari sikap.
3. Menghargai (valuing) yang berarti mengajak orang lain untuk
mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
4. Bertanggung Jawab (responsible) yaitu bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko merupakan sikap yang
paling tinggi.
Menurut Purwanto tahun 1999, sikap dapat dibedakan atas ;
1. Sikap positif
Sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima, mengakui,
menyetujui, serta melaksanakan norma-norma yang berlaku di mana
individu itu berada.
2. Sikap negatif
Sikap yang menunjukkan atau memperlihatkan penolakan atau tidak
menyetujui terhadap norma- norma yang berlaku dimana individu .

You might also like