Professional Documents
Culture Documents
Bab II Indah Iva
Bab II Indah Iva
Bab II Indah Iva
TINJAUAN PUSTAKA
7
Gambar 1. Anamoni Serviks
2.1.3 Epidemiologi
Per tahun insiden dari kanker serviks meningkat 3.1% dari 378.000 kasus
pada tahun 1980. Ditemukan sekitar 200.000 kematian terkait kanker serviks,
dan 46.000 diantaranya adalah wanita usia 15-49 tahun yang hidup di negara
sedang berkembang.
8
leukemia). Kanker serviks menduduki urutan tertinggi di negara berkembang,
dan urutan ke 10 pada negara maju atau urutan ke 5 secara global. Di
Indonesia kanker serviks menduduki urutan kedua dari 10 kanker terbanyak
berdasar data dari Patologi Anatomi tahun 2010 dengan insidens sebesar
12,7%.
9
Kejadian kanker serviks akan sangat mempengaruhi hidup dari penderitanya
dan keluarganya serta juga akan sangat mempengaruhi sektor pembiayaan
kesehatan oleh pemerintah. Oleh sebab itu peningkatan upaya penanganan
kanker serviks, terutama dalam bidang pencegahan dan deteksi dini sangat
diperlukan oleh setiap pihak yang terlibat.
10
Gambar 5. Human Papilomavirus
b. Perilaku Seksual
Perilaku bergonta-ganti pasangan akan meningkatkan penularan
penyakit kelamin. Penyakit yang ditularkan seperti infeksi human papiloma
virus (HPV) telah terbukti dapat meningkatkan timbulnya Kanker leher
rahim. Resiko terkena Kanker leher rahim menjadi 10 kali lipat pada wanita
yang mempunyai teman seksual 6 orang atau lebih. Di samping itu, virus
herpes simpleks tipe-2 dapat menjadi faktor pendamping.
11
Ditemukan berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa
golongan wanita yang mulai mempunyai pasangan seksual yang berganti-ganti
lebih resiko untuk menderita Kanker leher rahim. Sebab wanita yang berganti-
ganti pasangan akan rentan terkena virus HPV. Tinjauan kepustakaan
mengenai etiologi kanker leher rahim menunjukkan bahwa faktor resiko lain
yang penting adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila (WTS).
12
sebagai tingkat pra-kanker.
e. Umur
Menopause memang akan dialami semua wanita. Pada masa itu sering
terjadi perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim. Pada usia 35-55 tahun
memiliki resiko 2-3 kali lipat untuk menderita kanker mulut rahim (serviks).
Semakin tua umur seseorang akan mengalami proses kemunduran, proses
tersebut tidak terjadi pada suatu alat saja tetapi pada seluruh organ tubuh.
Semua bagian tubuh mengalami kemunduran, sehingga pada usia lanjut lebih
banyak kemungkinan jatuh sakit, atau mudah mengalami infeksi.
f. Wanita Perokok
Tembakau mengandung bahan bahan karsinogen baik yang dihisap
sebagai rokok/sigaret maupun yang dikunyah. Asap rokok menghasilkan
polycyclic aromatic hydrocarbons heterocyclic amine yang sangat karsinogen dan
mutagen, sedangkan bila dikunyah ia menghasilkan nitrosamine. Bahan yang
berasal dari tembakau yang dihisap terdapat pada getah serviks wanita porokok
dan dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. Bahkan bahan-bahan tersebut
dapat menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga mengakibatkan
neoplasma serviks (Rasjidi, 2007).
Wanita perokok mempunyai risiko 2 kali lipat terhadap kanker serviks
dibandingkan dengan wanita bukan terkandung nikotin dan zat lainnya yang
terdapat di dalam rokok. Zat- zat tersebut menurunkan daya tahan serviks dan
menyebabkan kerusakan DNA epitel serviks sehingga timbul kanker serviks, di
samping merupakan kokarsinogen infeksi virus.
g. Paritas
Paritas merupakan keadaan dimana seorang wanita pernah melahirkan
bayi yang dapat hidup atau viable. Paritas berbahaya adalah dengan memiliki
jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan terlampau dekat. Sebab
dapat menyebabkan timbulnya perubahan sel-sel abnormal pada mulut rahim.
Jika jumlah anak yang dilahirkan melalui jalan normal banyak dapat
menyebabkan terjadinya perubahan sel abnormal dari epitel pada mulut rahim
13
dan dapat berkembang menjadi keganasan. Diperkirakan risiko 3-5 kali lebih
besar pada wanita yang sering partus untuk terjadi kanker.
i. Sosial ekonomi
Kanker serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin ada kaitannya dengan gizi dan imunitas. Pada golongan ekonomi sosial
rendah umumnya kwalitas dan kuantitas makanan kurang hal ini mempengaruhi
imunitas tubuh. Hal ini juga ada hubungannya keterbatasan akses ke sistem
pelayanan kesehatan (Rasjidi, 2009),(Pudiastuti, 2010). Mereka dari golongan
sosial ekonomi rendah, mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker
srviks daripada tingkat sosial ekonomi menengah atau tinggi (Laila, 2008).
j. Pendidikan
Antara tingkat pendidikan dengan NIS terdapat korelasi yang kuat.NIS
cenderung lebih banyak timbul pada wanita yang tidak berpendidikan
dibandingkan dengan wanita yang berpendidikan (88,9% dibandingkan
55,9%).Biasanya tingkat rendahnya pendidikan berkaitan dengan tingkat sosial
ekonomi,kehidupan seks, dan kebersihan (Rustam E Harahap, 1984). Menurut
Aulia (2012) kurangnya pengetahuan masyarakat, khususnya kaum ibu
mengenai kanker serviks dan keengganan untuk melakukan deteksi dini
menyebabkan sebagian besar (>70%) penderita berobat ke pelayanan kesehatan
sudah dalam lanjut dan sulit diobati.
14
k. Pekerjaan
Sekarang ini ketertarikan difokuskan pada keterpaparan bahan tertentu
dari suatu pekerjaan :debu, logam, bahan kimia, tar, atau oli mesin dapat menjadi
faktor risiko kanker serviks (Rasjidi, 2009).
15
kanker adalah lesi dysplasia tingkat lanjut (high-grade dysplasia) yang sebagian
kecilnya akan berubah menjadi kanker invasif dalam 10-15 tahun, sementara
dysplasia tingkat rendah (low-grade dysplasia) mengalami regresi spontan
(Depkes, 2008).
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan atas atas dasar anamnesis, pemeriksaan klinik.
Pada umumnya, lesi prakanker belum memberikan gejala. Bila telah menjadi
kanker invasif, gejalan yang paling umum adalah perdarahan (contact
bleeding, perdarahan saat berhubungan intim) dan keputihan. Pada stadium
lanjut, gejala dapat berkembang mejladi nyeri pinggang atau perut bagian
bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah lateral sampai
obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan bisa terjadi
sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula
vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan klinik ini meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi,
rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan atau MRI, PET
scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum harus
dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi serviks
dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi dan
16
rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.
Stadium kanker serviks didasarkan atas pemeriksaan klinik oleh karena itu
pemeriksaan harus cermat kalau perlu dilakukan dalam narkose. Stadium
klinik ini tidak berubah bila kemudian ada penemuan baru. Kalau ada
keraguan dalam penentuan maka dipilih stadium yang lebih rendah.
IA2 Kanker sudah menyebar lebih dalam (>3 mm-5 mm) dengan
lebar
7 mm
17
IB Ukuran kanker sudah >IA2.
IB1 Ukuran tumor sudah 4 cm
IB2 Ukuran tumor >4 cm
II Kanker sudah menyebar keluar jaringan serviks tetapi belum
mengenai dinding rongga panggul. Meskipun sudah menyebar
kevagina tetapi masih terbatas pada 1/3 atas vagina.
IIA Tumor jelas belum menyebar ke sekitar uterus
IIB Tumor jelas sudah menyebar ke sekitar uterus.
III Kanker sudah menyebar ke dinding panggul dan sudah
mengenai jaringan vagina lebih rendah dari 1/3 bawah. Bisa
juga penderita sudah mengalami ginjal bengkak karena
bendungan air seni (Hidroneprosis) dan mengalami gangguan
fungsi ginjal.
IIIA Kanker sudah menginvasi dinding panggul
IIIB Kanker menyerang dinding panggul disertai gangguan fungsi
18
berhubungan secara monogami, serta penggunaan vaksin HPV (Rasjidi,
Irwanto, & Wicaksono, 2009).
b. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder bertujuan untuk
menemukan kasus-kasus dini kanker serviks, sehingga kemungkinan
penyembuhan dapat ditingkatkan. Pencegahan sekunder termasuk
skrining dan deteksi dini seperti Pap Smear, kolposkopi, servikografi,
Pap net, dan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA).
c. Pencegahan Tersier Pencegahan tersier merupakan pencegahan
komplikasi klinik ndan kematian. Pencegahan dapat dilakukan dengan
memberikan pengobatan yang tepat berupa operasi, kemoterapi, atau
radioterapi.
Berbagai metode deteksi dini kanker serviks kanker serviks telah dikenal
dan diaplikasikan, dimulai sejak tahun 1960-an dengan pemeriksaan Paps. Selain
itu dikembangkan metode visual dengan ginescope, atau servikografi, kolposkopi.
Hingga penerapan metode yang dianggap murah yaitu dengan tes IVA (Inspeksi
Visual dengan Asam Asetat. Deteksi dini DNA HPV juga ditujukan untuk
19
mendeteksi adanya HPV tipe onkogenik, pada hasil yang positif, dan memprediksi
seorang perempuan menjadi berisiko tinggi terkena kanker serviks (Depkes,
2010).
20
b. Pemeriksaan sitologi cairan (Liquid-base cytology/LBC)
Metode skrining thinprep atau Liquid Base Cytology (LBC) adalah
metode pap smear yang dimodifikasi yaitu pengumpulan sel usapan
serviks di dalam cairan, tujuanya adalah menghilangkan kotoran, darah,
dan lender, serta memperbanyak sel serviks yang dikumpulkan sehingga
sensitivitas akan meningkat.Dikenal juga dengan Thin Prep atau
monolayer. Tujuan metode ini adalah mengurangi hasil negatif palsu dari
pemeriksaan Tes Paps konvensional dengan cara optimalisasi teknik
koleksi dan preparasi sel. Pada pemeriksaan metode ini sel dikoleksi
dengan sikat khusus yang dicelupkan ke dalam tabung yang sudah berisi
larutan fiksasi. Keuntungan penggunaan teknik monolayer ini adalah sel
abnormal lebih terbesar dan mudah dikenali. Kerugiannya adalah butuh
waktu yang cukup lama untuk pengolahan slide dan biaya yang lebih
mahal.
2. Metode pemeriksaan DNA-HPV
Deteksi DNA-HPV dapat dilakukan dengan metode hibridisasi berbagai
cara mulai dari cara Shouthern Blot yang dianggap sebagai baku emas, filter
insitu, Dot Blot, hibridisasi insitu yang memerlukan jaringan biopsi, atau
dengan cara pembesaran, seperti pada PCR (Polymerase Chain Reaction) yang
amat sensitif.
3. Metode inspeksi visual
a. Inspeksi visual dengan lugol iodin (VILI)
b. Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA)
Selain dua metode visual ini, dikenal juga metode visual kolkoskopi
(pemeriksaan serviks dengan kaca pembesar) dan servikografi.
Setiap metode deteksi dini mempunyai sensitifitas dan berbeda. Sampai
saat ini belum ada metode yang ideal dimana sensitivitas dan spesifisitas
100% (absolut). Oleh karena itu, dalam pemeriksaan deteksi dini, setiap
wanita harus mendapat penjelasan dahulu (informed consent).
Untuk membantu menentukan stadium kanker, dilakukan beberapa
pemeriksaan berikut : Sistoscopi, Rontgen dada, Urografi intravena,
Sigmoidoskopi, Scanning tulang dan hati, Barium enema.
21
2.3 Inspeksi Visual dengan Asam Asetat
2.3.1 Pengertian
Pemeriksaan Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah
pemeriksaan yang dilakukan oleh dokter/bidan/paramedis dengan mengamati
leher rahim yang telah diberiasam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan
dilihat dengan penglihatan mata telanjang. Tujuannya untuk melihat adanya sel
yang mengalami dysplasia sebagai salah satu metode deteksi dini kanker mulut
rahim (Depkes, 2008).
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925)
dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam
asam asetat 3- 5%. Pemberian asam asetat akan mempengaruhi epitel abnormal,
bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstrasekuler. Cairan
ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan intraseluler
sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan
diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permokaan epitel
abnormal akan berwarna putih, yang disebut juga epitel putih (acetowhite)
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga
setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan
cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel
putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi
lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan
makin jelas, main tinggi derajat kelainan jaringannya.Laporan hasil konsultasi
WHO menyebutkan bahwa IVA dapat mendeteksi lesi tingkat pra kanker (high-
Grade Precanceraus Lesions) dengan sensitivitas sekitar 66-96% dan spesifitas
64-98%. Sedangkan nilai prediksi positif (positive predective value) dan nilai
prediksi negatif (negative predective value) masing-masing antara 10-20% dan
92-97% (Depkes, 2007)
Praktek yang dianjurkan untuk fasilitas Pemeriksaan IVA, sebagai suatu
pemeriksaan deteksi dini alternatif, karena memiliki beberapa manfaat jika
dibandingkan dengan uji yang telah ada. Keadaan ini lebih memungkinkan
dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia(FK.UI, 2010).
22
IVA adalah dengan sumber daya sederhana dibandingkan dengan jenis
penapisan lain (Depkes, 2010) karena:
a) Aman, tidak mahal, dan mudah dilakukan
b) Akurasi tes tersebut sama dengan tes-tes yang lain yang digunakan untuk
penapisan kanker leher rahim
c) Dapat dipelajari dan dilakukan oleh hampir semua tenaga kesehatan di
semua jenjang sistem kesehatan
d) Memberikan hasil segera sehingga dapat segera diambil keputusan
mengenai penatalaksanaannya (pengobatan atau rujukan)
e) Suplai sebagian besar peralatan dan bahan untuk pelayanan ini mudah
didapat dan tersedia
f) Pengobatan langsung dengan krioterapi berkaitan dengan penapisan yang
tidak bersifat invasif dan dengan efektif dapat mengidentifikasi berbagai
lesi prakanker
Mudah
Jenis Tes Aman Praktis Terjangkau Efektif
Tersedia
IVA ya ya ya ya ya
23
Sejumlah faktor risiko berhubungan dengan perkembangan kanker
serviks sebagai berikut:
a) Usia muda saat pertama kali melakukan hubungan seksual (usia <20
tahun)
b) Memiliki banyak pasangan seksual
c) Riwayat pernah mengalami Infeksi Menular Seksual (IMS)
d) Ibu atau saudara perempuan yang memiliki riwayat kanker serviks
e) Hasil Papsmear sebelumnya yang tidak normal
f) Wanita perokok
g) Wanita yang mengalami masalah penurunan kekebalan tubuh dan
(HIV/AIDS)
24
Alat dan Bahan
1. Spekulum
2. Lampu
3. Larutan asam asetat 3-5%
Dapat digunakan asam cuka 25% yang dijual di pasaran kemudian
diencerkan menjadi 5% dengan perbandingan 1:4 (1 bagian asam
cuka dicampur dengan 4 bagian air) Contohnya: 10 ml asam cuka
25% dicampur dengan 40 ml air akan menghasilkan 50 ml asam
asetat 5 %. Atau 20 ml asam cuka 25 % dicampur dengan 80 ml air
akan menghasilkan 100 ml asam asetat 5%
Jika akan menggunakan asam asetat 3%, asam cuka 25 % diencerkan
dengan air dengan perbandingkan 1:7 (1 bagian asam cuka dicampur
7 bagian air) Contohnya : 10 ml asam cuka 25% dicampur dengan 70
ml air akanmenghasilkan 80 ml asam asetat 3%
Campur asam asetat dengan baik
Buat asam asetat sesuai keperluan hari itu. Asam asetat jangan
disimpan untuk beberapa hari.
4. Kapas lidi
5. Sarung tangan
6. Larutan klorin untuk dekontaminasi peralatan
Metode Pemeriksaan
1. Memastikan identitas , memeriksa status dan kelengkapan informed
consent klien
2. Klien diminta untuk menanggalkan pakaiannya dari pinggang hingga
lutut dan menggunakan kain yang sudah disediakan
3. Klien diposisikan dalam posisi litotomi
4. Tutup area pinggang hingga lutut klien dengan kain
5. Gunakan sarung tangan
6. Bersihkan genitalia eksterna dengan air DTT
7. Masukkan spekulum dan tampakkan serviks hingga jelas terlihat
8. Bersihkan serviks dari cairan , darah, dan sekret dengan kapas lidi bersih
9. Periksa serviks sesuai langkah-langkah berikut :
25
a. Terdapat kecurigaan kanker atau tidak :
Jika ya, klien dirujuk , pemeriksaan IVA tidak dilanjutkan . Jika
pemeriksaan adalah dokter ahli obstetri dan ginekologi , lakukan
biopsi
b. Jika tidak dicurigai kanker, identifikasi Sambungan Skuamo
kolumnar (SSK)
Jika SSK tidak tampak , maka : dilakukan pemeriksaan mata
telanjang tanpa asam asetat, lalu beri kesimpulan sementara,
misalnya hasil negatif namun SSK tidak tampak. Klien disarankan
untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya lebih cepat atau pap
smear maksimal 6 bulan lagi.
c. Jika SSK tampak, lakukan IVA dengan mengoleskan kapas lidi yang
sudah dicelupkan ke dalam asam asetat 3-5% ke seluruh permukaan
serviks
d. Tunggu hasil IVA selama 1 menit, perhatikan apakah ada bercak
putih ( acetowhite epithelium) atau tidak
e. Jika tidak (IVA negatif), jelaskan kepada klien kapan harus kembali
untuk mengulangi pemeriksan IVA
f. Jika ada (IVA positif) , tentukan metode tata laksana yang akan
dilakukan
10. Keluarkan spekulum
11. Buang sarung tangan , kapas, dan bahan sekali pakai lainnya ke dalam
container (tempat sampah) yang tahan bocor, sedangkan untuk alat-alat
yang dapat digunakan kembali, rendam dalam larutan klorin 0,5% selama
10 menit untuk dekontaminasi
12. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada klien, kapan harus melakukan
pemeriksaan lagi, serta rencana tata laksana jika diperlukan.
Penatalaksanaan IVA Positif
Bila ditemukan IVA Positif, dilakukan krioterapi, elektrokauterisasi atau
eksisi
LEEP/LLETZ.
Krioterapi dilakukan oleh dokter umum, dokter spesialis obstetri dan
ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi
26
Elektrokauterisasi, LEEP/LLETZ dilakukan oleh dokter spesialis
obstetri dan ginekologi atau konsultan onkologi ginekologi
27
skuamokolumnar
Positif 1 (+) - samar, transparan, tidak jelas,
terdapat lesi bercak putih yang
- ireguler pada serviks
- lesi
bercak putih yang tegas,
membentuk sudut (angular),
- geographic acetowhite lessions
yang terletak jauh dari
sambungan skuamokolumnar
Positif 2 (++) -
lesi acetowhite yang buram,
padat dan berbatas jelas sampai
ke sambungan
skuamokolumnar
- lesi acetowhite yang luas,
circumorificial, berbatas tegas,
tebal dan padat
- pertumbuhan pada leher rahim
menjadi acetowhite
28
3.10 Tatalaksana
3.10.1 Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan kesehatan,
sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang ada. Pada
tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas dapat dilakukan
program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining dengan tes IVA dapat
dilakukan dengan cara single visit approach atau see and treat program, yaitu bila
didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat dilakukan pengobatan
sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan yang sudah terlatih.
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal direkomendasikan
untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi. Bila diperlukan maka
dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter Procedure (LEEP) atau Large
Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ) untuk kepentingan diagnostik
maupun sekaligus terapeutik.
Bila hasil elektrokauter tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan
dengan tindakan konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi 1
tahun.
HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan observasi
6 bulan
29
Algoritma Diagnosis Deteksi Dini Dan Tata Laksana (Program Skrining)
30
Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi anatomi untuk konfirmasi
diagnostik secara histopatologik untuk menentukan tindakan cukup atau perlu terapi
lanjutan.
c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan efektif jika
dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan anestesi umum.
Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan serviks sampai kedalaman 1
cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi, terutama jika lesi tersebut sangat luas.
d. Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu muatan listrik
dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium, gas nitrogen, dan gas
CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang mempunyai panjang gelombang
10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada serviks dapat dibedakan dalam dua
bagian, yaitu penguapan dan nekrosis. Lapisan paling luar dari mukosa serviks
menguap karena cairan intraselular mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami
nekrotik terletak di bawahnya. Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan
kekuatan dan lama penyinaran.
31
3. Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan.
Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik dapat dilakukan
Brakhiterapi
4. Stadium IA2,IB1,IIA1
Pilihan :
a. Operatif.
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik.
(Tingkat evidens 1 / Rekomendasi A)
Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat faktor risiko yaitu
metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan tidak bebas tumor,
deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya.
Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila tepi
sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi eksterna dilanjutkan
dengan brakhiterapi.
b. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan brakiterapi)
5. Stadium IB2 dan IIA2
Pilihan :
a. Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
b. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa tumor
primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi.
Tata laksana selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi
anatomi untuk dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
6. Stadium IIB
Pilihan :
a. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
32
b. Radiasi (Rekomendasi B)
c. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)
7. Stadium III A III B
Kemoradiasi (Rekomendasi A)
Radiasi (Rekomendasi B)
8. Stadium IIIB dengan CKD
Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
Radiasi
9. Stadium IV A tanpa CKD
Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
Kemoradiasi Paliatif, atau
Radiasi Paliatif
10. Stadium IV A dengan CKD, IVB
Paliatif
Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.
2.4 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah seorang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa, dan raba (Notoadmodjo, 2010).
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi-materi atau
suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam satu
sruktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk melakukan atau
menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek (Notoadmodjo, 2010).
4. Minat
Minat sebagai dorongan rasa ingin untuk berbuat pada diri sendiri sebagai
timbal balik dari pengetahuan yang telah diterima.
5. Pengalaman
Suatu kejadian yang pernah dialami oleh individu yang melekat sebagai
pengetahuan dalam dirinya.
6. Informasi
Informasi sebagai bahan masukan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan
dari luar dirinya.