Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 10

Patofisologi

Penyakit parkinson diakibat adanya kelainan fungsi ganglia basal. Ganglia basal terdiri atas
neostriatum (nukleus caudatus dan putamen), segmen pallidal eksternal dan internal, nukleus
subthalamic, dan substansia nigra dengan pars reticulata dan pars compacta. Secara umum
dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat
kematian neuron di pars kompakta substansia nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya
inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies). Lewy bodies adalah inklusi sitoplasmik
eosinofilik konsentrik dengan halo perifer dan dense cores. Adanya Lewy bodies dengan
neuron pigmen dari substansia nigra adalah khas, akan tetapi tidak patognomonik untuk
Penyakit Parkinson, karena terdapat juga pada beberapa kasus parkinsonism atipikal. Untuk
lebih memahami patofisiologi yang terjadi perlu diketahui lebih dahulu tentang ganglia
basalis (Adriana & Thomas, 2008).

a. Anatomi Ganglia Basalis

Dalam menjalankan fungsi motoriknya , inti motorik medula spinalis berada dibawah
kendali sel piramid korteks motorik , langsung atau lewat kelompok inti batang otak .
Pengendalian langsung oleh korteks motorik lewat traktus piramidalis , sedangkan yang
tidak langsung lewat sistem ekstrapiramidal , dimana ganglia basalis ikut berperan.
Komplementasi kerja traktus piramidalis dengan sistem ekstapiramidal menimbulkan
gerakan otot menjadi halus , terarah dan terprogram (Adriana & Thomas, 2008)..

Ganglia Basalis ( GB ) tersusun dari beberapa kelompok inti , yaitu (Adriana & Thomas,
2008) :
1. Striatum ( neostriatum dan limbic striatum )
Neostriatum terdiri dari putamen ( Put ) dan Nucleus Caudatus ( NC )
2. Globus Palidus ( GP )
3. Substansia Nigra ( SN )
4. Nucleus Subthalami ( STN )

Pengaruh GB terhadap gerakan otot dapat ditunjukkan lewat peran sertanya GB dalam
sirkuit motorik yang terjalin antara korteks motorik dengan inti medula spinalis. Terdapat
jalur saraf aferen yang berasal dari korteks motorik, korteks premotor dan supplementary
motor area menuju ke GB lewat Putamen. Dari putamen diteruskan ke GPi ( Globus
Palidus internus ) lewat jalur langsung (direct pathway) dan tidak langsung (indirect
pathway) melalui GPe ( Globus Palidus eksternus ) dan STN. Dari GPe diteruskan
menuju ke inti-inti talamus ( antara lain : VLO : Ventralis lateralis pars oralis , VAPC :
Ventralis anterior pars parvocellularis dan CM : centromedian ). Selanjutnya menuju ke
korteks dari mana jalur tersebur berasal. Masukan dari GB ini kemudian mempengaruhi
sirkuit motorik kortiko spinalis ( traktus piramidalis ).

Striatum dan STN menerima aferen glutamatergik dari area tertentu dari korteks serebral
atau talamus, dan mengirimkan informasi ke inti ganglia basalis, GPi dan SNR. Proyeksi
antara striatum dan GPi /SNr dibagi menjadi dua jalur terpisah, yaitu proyeksi langsung
(monosinaptik), dan proyeksi tidak langsung, melalui GPe dan STN. Hasil produksi dari
GPi / SNr sebagian besar menuju ke ventral anterior dan ventrolateral nuclei dari
thalamus (VA / VL), yang pada gilirannya memproyeksikan kembali ke korteks serebral.
Proyeksi ganglia basalis yang lebih kecil mencapai intalaminar centromedian dan
parafascicular thalamic inti (CM / Pf) dan struktur batang otak seperti colliculus superior,
pedunculopontine nucleus (PPN), dan retikuler (Adriana & Thomas, 2008).

Aktivitas abnormal dalam siklus 'motor' ganglia basal sangat terlibat dalam
perekmbangan penyakit parkinson.Siklus ini, digambarkan pada skema dibawah ini :

Skema 1. Perubahan aktivitas yang berkaitan dengan penyakit parkinson di ganglia basalis –
thalamocortical motor circuit (Adriana & Thomas, 2008).
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf nigrostriatum
akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2 (inhibitorik) yang berada di
dendrit output neuron striatum. Output striatum disalurkan ke globus palidus segmen
interna atau substansia nigra pars retikularis lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1
dan jalur indirek berkaitan dengan reseptor D2 . Maka bila masukan direk dan indirek
seimbang, maka tidak ada kelainan gerakan. Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi
degenerasi kerusakan substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik
nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2 (Anna &
Klaus, 2008).

b. Kehilangan dopamin di striatum

Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan substansia nigra pars
kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga tidak ada rangsangan terhadap
reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit Parkinson belum muncul sampai lebih dari
50% sel saraf dopaminergik rusak dan dopamin berkurang 80%. Reseptor D1 yang
eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk dengan neurotransmitter GABA
(inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang inhibitorik tidak terangsang, sehingga
jalur indirek dari putamen ke globus palidus segmen eksterna yang GABAnergik tidak
ada yang menghambat sehingga fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen
eksterna berlebihan. Fungsi inhibisi dari saraf GABAnergik dari globus palidus segmen
ekstena ke nucleus subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus
meningkat akibat inhibisi (Anna & Klaus, 2008).

Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus segmen interna /


substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik yang eksitatorik akibatnya
terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus / substansia nigra. Keadaan ini
diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari jalur langsung, sehingga output ganglia
basalis menjadi berlebihan kearah talamus.

Kehilangan dopamin pada basal ganglia menjadi pemicu perubahan morfologi sekunder.
Perubahan tersebut mempengaruhi patofisiologi penyakit parkinson yaitu terjadi
pengurangan kepadatan sel dendritik di MSNs, terutama di putamen yang berperan besar
mengubah transmisi kortikostriatal. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa MSN
dengan reseptor D2 (termasuk jalur tidak langsung) mungkin secara khusus dipengaruhi
oleh kehilangan tulang belakang dan mungkin melibatkan disregulasi kanal kalsium
(Adriana & Thomas, 2008).

Penipisan dopamin juga memicu perubahan kepadatan dan sensitivitas reseptor dopamin.
Ekspresi mRNA untuk reseptor D2 dopamin dan pengikat di striatum meningkat pada
pasien dengan penyakit Parkinson. Perubahan (meningkat atau menurun) pada ikatan
reseptor D1 striatal juga dilaporkan dalam beberapa penelitian, namun tidak dibahas oleh
penulis lain. Gerfen menunjukkan ekspresi itu dari mRNA reseptor D1 secara khusus
diatur di jalur langsung MSNs dan ekspresi mRNA reseptor D2 diregulasi dalam jalur
tidak langsung MSNs. Lokasi reseptor dopamin subselular distriatum juga bisa berubah.
Jadi, jumlah reseptor D1 yang terikat pada membran plasma lebih besar, sementara
jumlah di sitoplasma lebih kecil, dalam parkinsonism di bawah kondisi normal. Ini tidak
terjadi pada tingkat pemutusan jalur langsung di GPi atau SNR pada hewan yang diobati
dengan MPTP. Distribusi subselular reseptor D2 striatal tampaknya hanya sedikit
dipengaruhi oleh pengobatan MPTP. (Adriana & Thomas, 2008).

c. Direct pathway dan indirect pathway

Patofisiologi parkinson juga dapat digambarkan berupa meningkatnya indirect pathway


pada basal ganglia. Diketahui bahwa ada 2 jalur pada basal ganglia yaitu direct pathway
dan indirect pathway. Dopamine bekerja untuk mengaktivasi direct pathway dan
menghambat indirect pathway, sedangkan pada parkinson tidak terjadi mekanisme
tersebut (Anna & Klaus, 2008).

Sinyal-sinyal dari korteks cerebri akan diproses melalui ganglia basalis-talamokortikal


dan kembali ke area yang sama melalui mekanisme feedback. Ada dua jalur di jaras
tersebut, yaitu direct pathway dan indirect pathway. Pada direct pathway, striatum
secara langsung menghambat globus palidus pars interna dan substansia nigra pars
reticulata. Pada indirect pathway, inhibisi oleh striatum ke glonbus palidus pars interna
dan substansia nigra pars reticulata terjadi melalui hambatan ke globus palidus pars
externa dan nucleus subtalamus (Adriana & Thomas, 2008).

Jaras nigro-striatal ini berperan penting dalam mengatur fungsi gerakan halus. Untuk
fungsi yang normal, perlu ada keseimbangan antara komponen dopaminergik yang
menghambat dengan sistem kolinergik yang mengeksitasi. Dopamin disekresikan dari
neuron-neuron nigrostriatal (substansia nigra pars kompakta) untuk mengaktivasi jalur
direk dan menghambat jalur indirek (Adriana & Thomas, 2008).

Gejala Parkinson timbul bila terdapat disproporsi fungsional antata kedua komponen
(inhibisi dan eksitasi) dimana hasil akhirnya terjadi penurunan dopamin di striatum
sehingga terjadi peningkatan efek inhibisi ke globus palidus secara direk maupun indirek.
Peningkatan efek inhibisi di jalur talamokortikal tersebut menyebabkan penekanan pada
gerakan sehingga gerakan menjadi lamban, sulit, gerakan asosiatif berkurang, gerakan
spontan berkurang (Adriana & Thomas, 2008).

Penegakkan Diagnosis

Diagnosis penyakit parkinson ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan klinis
dengan ditemukannya gejala motorik utama antara lain tremor pada waktu istirahat, rigiditas,
bradikinesia dan hilangnya refleks postural. Selain itu juga dapat dilihat dari respon terhadap
agen dopamin dan perkembangan dari masalah gerakan (fluktuasi motorik) (Philippe et al.,
2016; George & Ashok, 2015).

1. Secara Klinis
• Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motor : tremor, rigiditas, bradikinesia,
atau
• 3 dari 4 tanda motor : tremor, rigiditas, bradikinesia dan ketidakstabilan postural.

Gejala motor dan non motor cepat dan lambat pada pasien dengan penyakit parkinson
Gejala motor cepat Gejala non motor Gejala motor lambat Gejala non motor
cepat lambat
• Kesulitan berguling • Konstipasi • Masalah gerakan • Disfagia
ditempat tidur • Gangguan tidur (fluktuasi motorik) • Gejala
• Bahu terasa kaku (fase tidur REM) • Dyskinesia neuropsikiatri
• Kaku, mati rasa dan • Depresi (komplikasi dari (halusinasi,
nyeri • Gangguan penghidu pengobatan gangguan tidur, dan
• Bradikinesia (penciuman) dopaminergik demensia)
• Tremor pada tangan, terutama levodopa) • Gangguan otonom
rahang dan kaki • Kekakuan saat (berkeringat,
• Ekspresi wajah berjalan gangguan
berkurang • Mudah terjatuh berkemih)
• Pergerakan lengan • Dermatitis seboroik
terbatas, saat (biasanya terdapat
berjalan menyeret di dahi, dan kulit
• Suaranya lemah yang mudah
berminyak)

Dikutip dari Philippe Rizek, Niraj Kumar, and Mandar S. An update on the diagnosis and
treatment of Parkinson disease. CMAJ, November 1, 2016.

2. Berdasarkan Kriteria Diagnosis dari UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank


(UKPDSBB)
Kriteria UK Parkinson’s Disease Society Brain Bank untuk diagnosis Penyakit
Parkinson
1. Diagnosis Sindrom Parkinsonism
Bradikinesia dan diikuti gejala sebagai berikut:
• Kekakuan
• Tremor istirahat (resting tremor) 4-6 Hz
• Postural instability bukan karena gangguan visual primer, vestibular,
cerebellar atau disfungsi propioseptif
2. Kriteria Eksklusi Penyakit Parkinson
• Riwayat stroke berulang dengan perburukan klinis stroke
• Riwayat cedera kepala berulang
• Obat anti-psikotik atau obat dopamin-depleting
• Riwayat ensefalitis dan krisis okulogiric
• Lebih dari satu yang terkena dampak relatif
• Remisi yang bertahan
• Respon negatif terhadap levodopa dosis tinggi
• Manifestasi unilateral setelah 3 tahun
• Manifestasi neurologi lain : supranuclear gaze palsy, tanda gangguan cerebellar,
keterlibatan otonom yang parah sejak awal penyakit, babinski (+), demensia
parah disertai gangguan bahasa, memori, dan praxis
• Paparan neurotoksin yang diketahui
• Adanya gambaran tumor cerebri dan hidrosefalus pada CT-Scan Kepala
3. Kriteria Pendukung Penyakit Parkinson
Tiga atau lebih yang diperlukan untuk diagnosis pasti Penyakit Parkinson
• Unilateral onset
• Menunjukkan rest tremor
• Gangguan progresif
• Asimetris onset yang banyak mempengaruhi secara terus menerus
• Respon baik terhadap levodopa
• Induksi levodopa yang berat
• Respon baik levodopa selama lebih dari 5 tahun
• Perjalanan klinis lebih dari 10 tahun

Dikutip dari Philippe Rizek, Niraj Kumar, and Mandar S. An update on the diagnosis and
treatment of Parkinson disease. CMAJ, November 1, 2016 & Jankovic J. Parkinson’s disease:
clinical features and diagnosis. USA: J Neurology Neurosrg Psychiatry; 2008

Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium hanya bersifat dukungan pada hasil klinis, karena tidak
memiliki sensitifitas dan spesifitas yang tinggi untuk penyakit Parkinson. Pengukuran
kadar NT dopamine atau metabolitnya dalam air kencing, darah maupun cairan otak
akan menurun pada penyakit Parkinson dibandingkan kontrol. Lebih lanjut, dalam
keadaan tidak ada penanda biologis yang spesifik penyakit, maka diagnosis definitive
terhadap penyakit Parkinson hanya ditegakkan dengan otopsi. Dua penelitian
patologis terpisah berkesimpulan bahwa hanya 76% dari penderita memenuhi kriteria
patologis aktual, sedangkan yang 24% mempunyai penyebab lain untuk
parkinsonisme tersebut (Paul L et al., 2011).
2. Neuroimaging:
a. Magnetik Resonance Imaging (MRI)

Baru-baru ini dalam sebuah artikel tentang MRI, didapati bahwa hanya pasien
yang dianggap mempunyai atropi multi sistem memperlihatkan signal di striatum
(Paul L et al., 2011).
b. Positron Emission Tomography (PET)

Ini merupakan teknik imaging yang masih relatif baru dan telah memberi
kontribusi yang signifikan untuk melihat kedalam sistem dopamine nigrostriatal
dan peranannya dalam patofisiologi penyakit Parkinson. Penurunan karakteristik
pada pengambilan fluorodopa, khususnya di putamen, dapat diperlihatkan hampir
pada semua penderita penyakit Parkinson, bahkan pada tahap dini. Pada saat
awitan gejala, penderita penyakit Parkinson telah memperlihatkan penurunan 30%
pada pengambilan fluorodopa putamen. Tetapi sayangnya PET tidak dapat
membedakan antara penyakit Parkinson dengan parkinsonisme atipikal. PET juga
merupakan suatu alat untuk secara obyektif memonitor progresi penyakit, maupun
secara obyektif memperlihatkan fungsi implantasi jaringan mesensefalon fetus.

c. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

Sekarang telah tersedia ligand untuk imaging sistem pre dan post sinapsis oleh
SPECT, suatu kontribusi berharga untuk diagnosis antara sindroma Parkinson plus
dan penyakit Parkinson, yang merupakan penyakit presinapsis murni. Penempelan
ke striatum oleh derivat kokain [123] beta-CIT, yang juga dikenal sebagai RTI-55,
berkurang secara signifikan disebelah kontralateral sisi yang secara klinis terkena
maupun tidak terkena pada penderita hemiparkinson. Penempelan juga berkurang
secara signifikan dibandingkan dengan nilai yang diharapkan sesuai umur yang
berkisar antara 36% pada tahap I Hoehn dan Yahr sampai 71% pada tahap V.
Marek dan yang lainnya telah melaporkan rata-rata penurunan tahunan sebesar
11% pada pengambilan [123] beta-CIT striatum pada 34 penderita penyakit
Parkinson dini yang dipantau selama 2 tahun. Sekarang telah memungkinkan
untuk memvisualisasi dan menghitung degenerasi sel saraf nigrostriatal pada
penyakit Parkinson (Paul L et al., 2011).

Dengan demikian, imaging transporter dopamin pre-sinapsis yang menggunakan


ligand ini atau ligand baru lainnya mungkin terbukti berguna dalam mendeteksi
orang yang beresiko secara dini. Sebenarnya, potensi SPECT sebagai suatu
metoda skrining untuk penyakit Parkinson dini atau bahkan presimptomatik
tampaknya telah menjadi kenyataan dalam praktek. Potensi teknik tersebut
sebagai metoda yang obyektif untuk memonitor efikasi terapi farmakologis baru,
sekarang sedang diselidiki (Paul L et al., 2011).
KESIMPULAN

Penyakit parkinson adalah gangguan neurodegeneratif yang progresif dimana secara klinis di
diagnosis berdasarkan gejala motorik dan gejala non-motorik. Etiologi dari penyakit ini
belum diketahui secara pasti, namun faktor risiko berupa faktor genetik dan faktor
lingkungan serta umumnya melibatkan usia dan jenis kelamin berpengaruh terhadap penyakit
ini. Secara patofisiologi penyakit ini disebabkan karena gangguan pada ganglia basalis akibat
penurunan atau tidak adanya pengiriman dopamine dari substansia nigra ke globus palidus/
neostriatum (striatal dopamine deficiency).

Pada saat ini tidak ada terapi untuk menyembuhkan penyakit ini, tetapi pengobatan dan
operasi dapat mengatasi gejala yang timbul . Obat-obatan yang ada sekarang hanya menekan
gejala-gejala parkinson, sedangkan perjalanan penyakit itu belum bisa dihentikan sampai saat
ini. Faktor yang berhubungan dengan mortalitas penyakit ini meliputi tingkat keparahan
penyakit, respon yang buruk terhadap levodopa, disfungsi cara berjalan yang cepat dan gejala
parkinson yang simetris. Progresivitas gejala pada penyakit ini dapat berlangsung 20 tahun
atau lebih. Namun demikian pada beberapa orang dapat lebih singkat. Tidak ada cara yang
tepat untuk memprediksikan lamanya penyakit ini pada masing-masing individu. Dengan
penanganan yang tepat, kebanyakan pasien dapat hidup produktif beberapa tahun setelah
diagnosis.
DAFTAR PUSTAKA

Adriana G & Thomas W. Pathophysiology of Parkinsonism. USA; Clinical Neurophysiology


119 (2008) 1459-1474.

Anna L & Klaus L. Parkinson’s disease: The syndrome, the pathogenesis and
pathophysiology. Netherlands; Elsevier. 2008 Cortex 45; p.915-921.

George DM, Ashok P. Parkinson’s Disease and Its Management Part 1: Disease Entity, Risk
Factors, Pathophysiology, Clinical Presentation, and Diagnosis. P&T, August 2015;
Vol. 40 No.8; p.504- 10

Jankovic J. Parkinson’s disease: clinical features and diagnosis. USA: J Neurology Neurosrg
Psychiatry; 2008; 79; p.368-376.

Paul L, Jan L, Kai K, Carsten OS and Mathias B. Diagnosis and Treatment of Parkinson’s
Disease. Jerman: In Tech; 2011 ISBN: 978-953-307-465-8

Philippe R, Niraj K, and Mandar S. An update on the diagnosis and treatment of Parkinson
disease. CMAJ, November 1, 2016, 188 (16); p.1157-1165.

You might also like