Professional Documents
Culture Documents
RPH Mambal
RPH Mambal
RPH Mambal
OLEH :
MARIA LEILINA BERAHUN
1603511076
B / IV
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya karena Perlakuan-Perlakuan Sebelum
Pemotongan, Alur Pemotongan dan Penanganan Pascapanen Ternak Sapi Bali Di
Rph Mambal dapat terwujud.
Dengan adanya tugas ini, penulis berharap laporan ini sesuai dengan kriteria
penilaian yang ditentukan oleh dosen pembimbing dan dapat membantu beberapa
pihak khususnya yang berkaitan dengan dunia peternakan serta dunia pemuliaan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dosen atas
bimbingannya dalam pembuatan tugas ini.
Penulis sangat menyadari, tugas ini masih banyak kekurangan, masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis menunggu saran, kritik dan masukan dari
semua pihak yang berkompeten. Mudah-mudahan di masa mendatang penulis bisa
memperbaharui tugas ini menjadi lebih lengkap dan lebih sempurna. Walaupun
demikian, penulis berharap sekecil apapun tugas ini, semoga tetap memberi
manfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Penulis
ii
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
1.3. Tujuan
1.4. Manfaat
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
- Tersedia tenaga dokter hewan atau petugas yang berwenang.
- Persediaan air panas, air berkhlorin, es yang cukup, listrik, dan drainase.
- Sebaiknya lokasi bangunan di dekat aliran sungai atau di pinggiran kota, jauh
dari pemukiman warga atau wilayah industri.
- Dinding ruangan luar terhindar dari sinar matahari dan pagar agar tidak
sembarang dapat masuk, permukaan dinding dapat awet dan tahan lama.
4
- Atap yang sesuai dengan kebutuhan dari baja atau beton, ventilasi yang baik.
- Toilet.
5
pada proses penyembelihan hewan yang menerapkan animal welfare yakni
diantaranya sebagai berikut:
6
pedoman serta patokan dalam penyelenggaraan fungsi RPH tersebut sebagai
tempat penyembelihan, pengulitan, pelayuan dan penyediaan daging kepada
konsumen. Menurut Wahyudi (2010) mengatakan bahwa prosedur kesejahteraan
hewan di RPH adalah sebagai berikut:
1. Hewan yang baru tiba di RPH diturunkan dari alat angkut dengan cara
hati-hati sehingga hewan tidak menjadi stres.
2. Hewan yang didiagnosa sakit maupun diduga sakit, tidak dapat dipotong
atau pemotongan ditunda, adanya tindakan segera melakukan pemisahan dan
ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan selanjutnya.
7
2. Hewan terlebih dahulu ditimbang sebelum melakukan penyembelihan.
3. Hewan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan air bersih atau
disemprot air sebelum hewan masuk ruang penyembelihan.
D. Prosedur Penyembelihan :
4. Hewan yang telah rebah atau telah diikat dengan aman, segera
melakukan penyembelihan sesuai dengan ketentuan syariat Islam yakni
memotong bagian ventral leher menggunakan pisau yang sangat tajam kemudian
tekan tanpa diangkat sehingga memutus saluran cerna, nafas dan pembuluh darah.
5. Proses selanjutnya dapat dilakukan jika hewan ternak dapat dipastikan
mati.
8
sebagai lima kebebasan hewan di seluruh dunia (Eccleston, 2009). Lima
kebebasan hewan merupakan metode yang sederhana untuk pedoman evaluasi
maupun menganalisa kesejahteraan hewan dan menjadi langkah yang tepat
meningkatkan kualitas hidup pada hewan (Eccleston, 2009). Lima kebebasan
hewan dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua hewan,
langkah ini bertujuan untuk menjamin hewan yang dipelihara maupun hidup
secara liar tidak akan mengalami penyiksaan. Main (2003) mengatakan bahwa
lima aspek kebebasan yang diterapkan bertujuan untuk menunjang kesejahteraan
hewan sebagai berikut :
9
1. Sesuai dengan halal dan thoyyiban yang berarti daging dengan kualitas
bagus yang dibolehkan untuk penyembelihan atau dikonsumsi masyarakat.
10
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Perlakuan atau penanganan hewan ternak sebelum dipotong akan
mempengaruhi nilai karkas atau daging yang dihasilkan. Untuk sampai ke tempat
pemotongan ternak-ternak tersebut mengalami perjalanan dari tempat asalnya, dan
selama dalam perjalanan, sering terjadi kerusakan atau cacat pada kulit dan mutu
karkas. Selain itu akibat perjalanan dapat menimbulkan cekaman (stres) pada
ternak yang akan menyebabkan terjadinya penyusutan pada bobot badan.
Penyusutan bobot badan ini berkisar 2 - 5 persen, besarnya persentase penurunan
bobot badan ini dipengaruhi oleh iklim, jarak antara asal ternak dengan rumah
potong hewan (RPH), cara transportasi, kondisi kesehatan dan daya tahan ternak
(Natasasmita, 1987).
Salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam proses pemotongan ternak
untuk memperoleh mutu karkas atau daging yang baik, yaitu ternak yang akan
dipotong harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan. Oleh karena
itu ternak yang akan dipotong harus diistirahatkan dalam tempat penampungan
khusus (“Holding Ground”). Dalam tempat penampungan harus dijaga agar
ternak tidak saling beradu, karena bila hal itu terjadi maka perlakuan istirahat
tidak akan bermanfaat, bahkan menurunkan kualitas pemotongan. Lamanya
pengistirahatan ternak yang akan dipotong bervariasi. Menurut Gerrard (1977)
ternak sapi yang akan dipotong sebaiknya diistirahatkan selama 24 - 36 jam,
Williamson and Payne (1993) 16 - 24 jam, dan Soeparno (1994) 12 - 24 jam.
Maksud perlunya ternak diistirahatkan sebelum dipotong adalah :
agar ternak tidak mengalami cekaman (stres),
agar pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin, dan
agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas atau yang
lazim disebut proses “rigormortis” berlangsung secara sempurna.
Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara untuk
mengistirahatkan ternak sebelum dipotong, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa
dipuasakan. maksud pemuasaan yang dilakukan pada ternak yang akan dipotong
adalah :
11
untuk memperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot tubuh setelah
dikurangi isi saluran pencernaan, isi kantung kencing dan isi saluran
empedu,
untuk mempermudah proses penyembelihan, terutama ternak yang agresif
atau liar, karena dengan dipuasakan, ternak menjadi lebih tenang,
untuk mengurangi pencemaran isi saluran pencernaan terhadap karkas
selama proses penyiapan karkas. Selama pengistirahatan dengan
pemuasaan, ternak tidak diberi makan apapun hanya diberi air minum
secukupnya untuk menghilangkan rasa haus.
Maksud pengistirahatan ternak sebelum dipotong dengan cara tanpa
dipuasakan adalah :
agar pada waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin, karena
ternak lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi. Pada kondisi ini,
darah yang disemburkan keluar akan lebih sempurna,
agar ternak yang dipotong tidak mengalami cekaman (stres).
12
Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara atau teknik
pemotongan atau penyembelihan ternak, yaitu teknik pemotongan ternak secara
langsung dan teknik pemotongan ternak secara tidak langsung. Pemotongan
ternak secara langsung, dilakukan setelah ternak diperiksa dan dinyatakan sehat,
maka ternak langsung dapat disembelih. Pemotongan ternak secara tidak
langsung ialah ternak dipotong setelah dilakukan pemingsanan (“stunning”) dan
ternak telah benar-benar pingsan.
Maksud pemingsanan pada ternak yang akan disembelih adalah :
untuk memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak,
agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar,
agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik, karena pada
waktu menjatuhkan, ternak tidak banyak terbanting atau terbentur benda
keras, sehingga terjadinya cacat pada kulit atau memar pada karkas dapat
dihindarkan seminimal mungkin.
Pemingsanan (“Stunning”) ternak yang akan dipotong dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu :
dengan alat pemingsan atau yang lazim disebut “knocker”,
dengan senjata pemingsan atau yang lazim disebut “stunning Gun” atau
“captive bolt”, yaitu suatu tongkat yang bekerja di dalam suatu silinder
yang diaktifkan oleh suatu muatan yang eksplosif yang menyerupai
selongsong kosong ditembakkan oleh suatu tekanan,
dengan cara pembiusan mengguna-kan karbondioksida (CO2), terutama
untuk proses pe-motongan sapi muda (“calf” atau “veal”),
dengan menggunakan arus listrik (stroom) pada bagian bibir sapi
(Ensminger, 1991; Blakely and Bade, 1992).
Bila pemingsanan ternak yang akan dipotong dilakukan dengan
menggunakan alat atau senjata pemingsan, maka alat atau senjata yang telah diisi
peluru diletakkan tepat pada titik tengah kening tulang kepala sedikit di bagian
atas antara kedua kelopak mata. Piston martil diarahkan ke otak secara tepat dan
pelatuk ditarik sehingga peluru meledak menggerakkan piston martil berkecepatan
tinggi mengenai otak dan ternak menjadi pingsan. Pada pemingsanan dengan
menggunakan senjata pemingsan, selongsong peluru akan tertinggal di dalam
13
senjata dan dapat diambil. Penyembelihan dilaksanakan setelah ternak benar-
benar pingsan.
Sapi yang telah pingsan kemudian dibawa ke ruang pemotongan. Proses
penyembelihan di Indonesia umumnya dilakukan secara manual melalui
pemutusan sebagian kulit, otot, arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus
dengan menggunakan pisau potong, serta ternak dihadapkan ke arah kiblat,
sehingga bagian kepala ternak ada di sebelah selatan dan ekor disebelah utara.
Pemotongan secara manual ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan halal
dari produksi daging yang dihasilkan.
3.1.2. Pengeluaran Darah
Proses pengeluaran (“bleeding”), yaitu pe-nusukan leher ke arah jantung
dengan menggunakan pisau khusus. Pengeluaran darah merupakan faktor penting
karena darah merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan
mikroorganisma dan hal ini mempengaruhi mutu karkas( Natasasmita, 1987).
Selain itu menurut Swatland (1984) serta Williamson dan Payne (1993), proses
pengeluaran darah yang sempurna sangat penting guna menghasilkan daging dan
kulit yang mempunyai mutu penyimpanan baik, karena pengeluaran darah yang
tidak sempurna selama proses penyembelihan akan menyebabkan lebih banyak
residu darah yang tertinggal di dalam karkas, sehingga daging yang dihasilkan
berwarna lebih gelap dan lemak daging dapat tercemar oleh darah.
Agar pengeluaran darah dapat berlangsung sempurna maka sapi yang telah
mengalami penyembelihan di gantung pada gantungan atau “conveyor”.
Penggantungan dilakukan dengan jalan pengikatan bagian atas tumit salah satu
kaki belakang dengan tali tambang yang telah dihubungkan dengan penggantung
di “conveyor”, sehingga sapi tergantung dalam posisi terbalik dan diharapkan
darah cepat mengalir keluar melalui pembuluh nadi dan vena yang telah terputus
sewaktu penyembelihan.
Untuk mengetahui bahwa ternak sapi yang telah disembelih telah benar-
benar mati, maka dapat dilakukan tiga macam uji coba, yaitu uji coba terhadap
reflek mata, uji reflek kaki dan uji reflek ekor. Uji coba reflek mata dilakukan
terhadap pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak. Uji coba reflek kaki
dilakukan dengan memukul persendian kaki atau dengan memijit sela-sela kuku,
14
bila masih terjadi gerakan atau konstraksi terkejut, maka ternak masih hidup. Uji
coba reflek ekor dilakukan dengan cara membengkokkan ekor, apabila sudah
tidak ada gerakan berarti ternak sudah mati.
3.1.3. Penyiapan Karkas (“Carcassing”)
Hasil pemotongan ternak ruminansia besar dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu bagian yang disebut karkas dan non karkas atau yang lazim disebut
“offal” yang terdiri dari kulit, kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari
tulang tarsus dan carpus, serta jeroan.
Selama proses penyiapan karkas, ternak yang telah dipotong digantung
pada gantungan karkas (hook). Penggantungan biasanya dilakukan pada bagian
“tendo archiles”, yaitu pada sela-sela tulang pada kedua paha belakang. Menurut
Natasasmita (1987) Penggantungan pada bagian ini akan menyebabkan daging
menjadi lebih empuk pada bagian has dalam (“fillet” atau “tender-loin”).
Menurut Swatland (1984), secara umum proses pe-nyiapan karkas
meliputi kegiatan sebagai berikut :
3.1.4. Pemisahan Kepala dan Keempat Kaki
Pemisahan bagian kepala dari tubuh ternak dilakukan pada bagian bekas
pemotongan atau penyembelihan, dan yang terbaik dilakukan pada bagian
sambungan antara tulang leher dengan tulang kepala (tulang atlas), sehingga
bagian leher tidak banyak terbuang dari karkas (Undang, 1995).
Pemotongan keempat kaki ternak yang telah disembelih dilakukan pada
bagian persendian tulang kanon, yaitu sambungan tulang lutut (tibia dan fibula) di
daerah benjolan “tarsus” untuk kaki belakang dan pada sambungan tulang siku
(radius dan ulna) di daerah benjolan tulang “carpus” untuk kaki depan.
Pada pemotongan kedua kaki belakang disertai pula dengan sedikit
pengulitan sebatas tumit kaki belakang, begitu pula pada pemotongan kedua kaki
depan disertai dengan pengulitan pada bagian tumit kaki depan, terus menyusur
paha dan diteruskan ke bagian dada.
15
Proses pengulitan atau yang lazim disebut “skinning”, diawali dengan
cara membuat irisan panjang pada kulit sepanjang permukaan dalam (medial
kaki). Kulit dipisahkan mulai dari ventral kearah punggung tubuh.
Berdasarkan cara pelaksanaannya dikenal tiga macam cara pengulitan,
yaitu pengulitan di lantai, pengulitan dengan di gantung, dan pengulitan dengan
menggunakan mesin. Setiap cara pengulitan mempunyai kebaikan dan
keburukan. Kebaikan pelaksanaan pengulitan di lantai, yaitu biaya peralatan
rendah dan pengulitan dapat di-lakukan secara masal (padat karya).
Keburukannya, yaitu kulit dan karkas menjadi kotor bila tercemar darah dan
kotoran, serta pelaksanaan pengulitan lebih sukar, sehingga banyak terjadi cacat,
baik pada kulit maupun karkas.
Kebaikan cara pengulitan dengan digantung, yaitu kulit dan karkas tidak
kotor, dan cacat yang terjadi tidak terlalu banyak. Keburukan cara pengulitan
dengan digantung adalah memerlukan alat penggantung khusus dan biasanya
hanya dikerjakan oleh dua orang.
Kebaikan cara pengulitan dengan menggunakan mesin, yaitu kulit dan
karkas tidak kotor atau tercemar, serta tidak banyak cacat. Keburukannya adalah
memerlukan biaya besar untuk mesin pengulit dan memerlukan tenaga ahli
khusus.
Kulit yang dihasilkan harus bagus, karena industri penyamakan kulit
memerlukan kulit berbentuk empat persegi. Oleh karena itu untuk memperoleh
hasil terbaik pada hewan besar seperti ternak sapi, menurut Williamson dan Payne
(1993) pengirisan dasar harus dibuat sebagai berikut :
satu irisan panjang, lurus ke bawah di tengah-tengah, dari dagu sampai ke
dubur (pemotongan hanya mendekati ambing atau kantung buah pelir tidak
dianjurkan karena berpengaruh terhadap bentuk kulit; dua kulit penutup
yang tidak penting dibiarkan yang harus dipotong sedikit sehingga
mempengaruhi bentuk dan ukuran kulit);
dua irisan melingkar pada kaki-kaki depan mengelilingi lutut;
dua irisan yang sama mengelilingi tumit pada kaki-kaki belakang;
dua sayatan lurus di sebelah sisi dalam kaki-kaki depan mulai dari lutut ke
ujung depan tulang dada; dan
16
dua sayatan lurus pada kaki-kaki belakang mulai dari belakang tiap sendi
tumit ke suatu titik di pertengahan jalan antara dubur dan kantong buah
pelir atau ambing.
3.1.6. .Pembelahan Dada dan Pengeluaran Jeroan
Sebelum melakukan pembelahan dada dan pengeluaran jeroan, terlebih
dahulu dilakukan pembedahan lubang anus, dan pada bagian ujung saluran
pencernaan kemudian ditutup dengan kantung plastik atau diikat dengan tali rafia.
Perlakuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara
kotoran sapi yang berada dalam saluran pencernaan dengan bagian lainnya selama
proses penyiapan karkas atau “Carcassing”.
Pembukaan perut atau rongga abdomen, dilakukan dengan membuat
irisan dari atas ke bawah sepanjang bagian ventral tengah, kemudian lakukan
pemisahan penis dan testikel pada ternak sapi jantan atau jaringan ambing pada
ternak sapi betina, serta lemak ruang abdominal yang sudah lepas. Belah bonggol
pelvik dan pisahkan kedua bagian tulang pelvik. Lakukan pengulitan pada ekor
bila belum dilakukan. Setelah dinding perut terbuka, kemudian dilakukan
pengeluaran jeroan, yaitu kantung kencing dan uterus bila ada, usus, lemak susu,
rumen dan bagian lain dari lambung, limpa, hati, dan ginjal yang diselaputi lemak
ginjal.
Bersamaan dengan pengeluaran jeroan dilakukan pula pemotongan ekor
atau “Oxtail”. Pemotongan ekor biasanya dilakukan pada bagian tulang pangkal
ekor (“cocygeal vertebrae”). Akan tetapi, pemotongan ekor sapi di Indonesia
umumnya dilakukan sampai pada tulang ekor yang ketiga masih termasuk ke
dalam karkas.
Pembukaan rongga dada dilakukan dengan menggunakan gergaji, tepat
melalui ventral tengah tulang dada atau “sternum”. Setelah memotong diafragma,
pisahkan bagian “pluck”, yaitu jantung, paru-paru dan trakhea.
3.1.7. Pembelahan Karkas
Pembelahan karkas atau yang lazim disebut “halving”, adalah membelah
karkas menjadi dua bagian yaitu karkas bagian tubuh sebelah kanan dan karkas
bagian tubuh sebelah kiri. Pembelahan dilakukan dengan menggunakan gergaji
pembelah karkas, dengan cara pemotongan memanjang tepat melalui garis tengah
17
tulang belakang (“vertebrae”). Karkas bagian tubuh sebelah kiri selalu merupakan
bagian yang kencang (“tigh side”), sebab lemak ginjal melekat rapat pada ginjal
dan tulang belakang, dan karkas bagian tubuh sebelah kanan merupakan bagian
karkas yang longgar (“loose side”).
Selanjutnya karkas yang telah dibelah dibersihkan dengan cara disemprot
air bersih yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih
menempel pada karkas, seperti darah, serbuk tulang dan kotoran lainnya.
Kemudian dilakukan penimbangan untuk memperoleh berat karkas segar. Karkas
yang sudah bersih dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak
subkutan.
3.1.8. Pendinginan
Paruhan karkas yang masih hangat dan telah di-bersihkan selanjutnya
dibawa ke ruang pendinginan (“chilling room”). Pendinginan dimaksudkan untuk
mengurangi penyusutan karena evaporasi, mengurangi “drip loss” (kehilangan
cairan yang terbentuk akibat keluarnya air dari jaringan daging yang mengandung
protein, lemak dan zat gizi lain yang terdapat dalam daging) dan mencegah
kontaminasi bakteri.
Menurut Soeparno (1994) lamanya pendinginan kira-kira 24 jam sebelum
pemotongan tulang rusuk atau pemotongan paruhan karkas (“half carcass”)
menjadi perempat bagian karkas (“quarter carcass”). Temperatur ruang
pendinginan berkisar antara -40C sampai dengan 10C, tapi menurut Blakely dan
Bade (1993) temperatur ruang pendinginan harus tetap pada 20C.
Karkas atau daging baru dapat dikeluarkan atau dipasarkan apabila telah
diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, dimana karkas yang
sehat akan diberi stempel atau dicap sebagai tanda layak dan aman untuk
dikonsumsi.
3.1.9. Pelayuan.
Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar “postmortem” yang secara
relatif belum meng-alami kerusakan mikrobial dengan cara penggantungan atau
penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu di atas titik beku
karkas atau daging lebih kurang -1,50C. Istilah pelayuan sering disebut “aging”
atau “conditioning”, kadang-kadang disebut “hanging”. Selama pelayuan terjadi
18
peningkatan keempukan dan flavour daging, karena adanya aktivitas enzim yang
memecah jaringan pengikat (kolagen) yang mengelilingi sel. Pelayuan yang lebih
lama atau lebih dari 24 jam sejak terjadinya kekakuan daging atau “rigormortis”
dapat disebut pematangan. Pelayuan biasa dilakukan pada temperatur 32 - 380F
(0 - 30c), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam. Pengaruh pengempukan
dari pelayuan daging menurut Bratzler (1977) dan Lawrie (1979) merupakan
fungsi dari waktu dan temperatur, dimana pada umumnya, pelayuan pada
temperatur yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat keempukan tertentu
dalam waktu yang lebih cepat daripada temperatur yang lebih rendah. Misalnya
pe-layuan selama dua hari pada temperatur 200C menghasilkan tingkat
keempukan yang sama dengan pelayuan selama 14 hari pada temperatur 00C.
Karkas dari ternak ruminansia besar, seperti sapi memerlukan proses
pelayuan, sedangkan ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) bisa tidak
dilayukan, karena dagingnya secara relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada
umur yang relatif muda, dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang
relatif cepat.
Proses pelayuan atau pematangan karkas sapi prima bisa dilakukan selama
periode waktu antara 15 - 40 hari, karena adanya lapisan lemak yang tebal yang
menutupi dan melindungi karkas dari kontaminasi mikrobia. Karkas yang tidak
cukup mengandung lemak eksternal ( termasuk karkas veal) tidak dapat dilayukan
dalam waktu yang lama, karena lebih mudah diserang mikroorganisme. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ensminger (1991), yang menyatakan bahwa karkas yang
berasal dari sapi-sapi yang mempunyai grade yang lebih baik, akan lebih tahan
disimpan dalam ruang pelayuan dibandingkan dengan grade yang lebih rendah.
Semakin lama karkas disimpan dalam ruang pelayuan maka penyusutan karkas
akan semakin besar pula.
3.1.10. Pemeriksaan Daging
Pemeriksaan daging dari hasil pemotongan dimaksudkan untuk :
melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan
daging yang tidak sehat,
melindungi konsumen dari pemalsuan daging, dan
mencegah penularan penyakit diantara ternak.
19
Pemeriksaan daging meliputi pemeriksaan sebelum ternak dipotomg,
lazim disebut pemeriksaan “antemortem” dan pemeriksaan setelah pemotongan
atau yang lazim disebut pemeriksaan “postmortem”, yaitu pemeriksaan karkas dan
alat-alat dalam (“viscera”), serta produk akhir.
Maksud pemeriksaan “antemortem” dapat dilihat pada penjelasan perlaku-
an ternak sebelum pemotongan, sedangkan maksud pemeriksaan “postmortem”
adalah untuk mengetahui kondisi karkas yang dihasilkan dari pemotongan, layak
dikonsumsi atau tidak.
Pemeriksaan “postmortem” yang biasa dilakukan di Indonesia menurut
Soeparno (1994), antara lain adalah pemeriksaan karkas, pertama pada kelenjar
limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot maseter, dan
pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika terdapat kondisi
abnormal lain pada karkas, organ-organ internal atau bagian-bagian karkas
lainnya, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan
akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat dikonsumsi,
diproses lebih lanjut atau tidak.
3.2. Pembahasan
Cita-cita untuk menerbitkan Surat Identitas Penyembelih Halal masih dalam
perencanaan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Di Bali, hanya RPH
Pesanggaran Denpasar dan RPH Karangasem telah memiliki sertifikat halal.
Kabupaten Bangli (Kintamani) tidak memiliki RPH dan RPH Mambal Kabupaten
Badung yang wilayahnya sampai ke Kuta hingga Nusa Dua yang sarat dengan
hotel internasional dan turis asingnya, tidak bersedia diaudit halal. Sedangkan
RPH di lima kabupaten yang lain tidak memiliki sertifikat halal, tetapi dimiliki
secara pribadi oleh beberapa jagal yang membutuhkan sertifikat halal. Dan, yang
tidak kalah pentingnya, jagal yang menghendaki sertifikat halal, tetapi proses
penyembelihan dilakukan di rumah, maka permohonannya tidak akan dikabulkan,
karena menimbulkan polusi lingkungan dan dianggap pemotongan liar. Ternyata
keberadaan Djoko sebagai auditor halal dan sekaligus dosen Kesmavet FKH Unud
serta wartawan Infovet, sudah memiliki jam terbang cukup tinggi sebagai
pembicara khusus halal di instansi Kemenag, Kemenperin, Kemenkop, BBPOM
(Mas Djoko
20
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilaksanakan di UPT Pembibitan Sapi
Bali Desa Sobangan dari pernilaian sebanyak 60% bobot, mahasiswa dapat
menentukan juara dari Sapi Bali Bertina menggunakan ilmu tilik ternak sebagai
berikut.
1. Juara 1 adalah Sapi Bali III dengan total nilai 16,4
2. Juara 2 adalah Sapi Bali V dengan total nilai 16,3
3. Juara 3 adalah Sapi Bali IV dengan total nilai 16,1
4. Juara 4 adalah Sapi Bali II dengan total nilai 15,6
5. Juara 5 adalah Sapi Bali I dengan total nilai 14,4
21
DAFTAR PUSTAKA
22