RPH Mambal

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 25

TUGAS ILMU DAGING

“PERLAKUAN SEBELUM PEMOTONGAN, ALUR


PEMOTONGAN DAN PENANGANAN PASCA PANEN
TERNAK SAPI BALI DI RPH MAMBAL”

OLEH :
MARIA LEILINA BERAHUN
1603511076
B / IV

FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya karena Perlakuan-Perlakuan Sebelum
Pemotongan, Alur Pemotongan dan Penanganan Pascapanen Ternak Sapi Bali Di
Rph Mambal dapat terwujud.
Dengan adanya tugas ini, penulis berharap laporan ini sesuai dengan kriteria
penilaian yang ditentukan oleh dosen pembimbing dan dapat membantu beberapa
pihak khususnya yang berkaitan dengan dunia peternakan serta dunia pemuliaan.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada pembimbing dosen atas
bimbingannya dalam pembuatan tugas ini.
Penulis sangat menyadari, tugas ini masih banyak kekurangan, masih jauh
dari sempurna. Oleh karena itu, penulis menunggu saran, kritik dan masukan dari
semua pihak yang berkompeten. Mudah-mudahan di masa mendatang penulis bisa
memperbaharui tugas ini menjadi lebih lengkap dan lebih sempurna. Walaupun
demikian, penulis berharap sekecil apapun tugas ini, semoga tetap memberi
manfaat bagi pihak yang membutuhkan.

Jimbaran, 14 Mei 2018

Penulis

ii
DAFTAR PUSTAKA

Halaman Judul .................................................................................................. i


Kata Pengantar ................................................................................................. ii
Daftar Isi ............................................................................................................ iii
BAB I Pendahuluan .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 2
1.3. Tujuan ............................................................................................. 2
1.4. Manfaat ........................................................................................... 2
BAB II Tinjauan Pustaka ................................................................................. 3
BAB III Hasil Dan Pembahasan ...................................................................... 11
3.1. Hasil ................................................................................................. 11
3.2. Pembahasan ...................................................................................... 20
BAB IV Penutup................................................................................................ 21
4.1. Kesimpulan ...................................................................................... 21
Lampiran ........................................................................................................... iv
Daftar Pustaka ................................................................................................... 22

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu persyaratan di dalam UU No 18 tahun 2009 tentang Peternakan


dan Kesehatan Hewan, pada Bab VI, Pasal 61 Ayat 2 yang menyangkut RPH,
dinyatakan harus memperhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang
dianut masyarakat. Propinsi Bali sebagai daerah tujuan wisata mancanegara dan
nusantara memiliki populasi penduduk yang beragama Islam sekitar 520 ribu
orang dari 3.247.000 orang. Di sisi lain, wisatawan muslim dari dalam dan luar
negeri sering menanyakan tentang keberadaan rumah makan halal dan hotel
bertaraf halal di Bali. Perlu diketahui, bahan baku daging yang dimasak di rumah
makan dan hotel bertaraf halal harus berasal dari rumah pemotongan yang
memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh LPPOM MUI. Pada awalnya,
untuk mengaplikasikan persyaratan halal sesuai kaidah Islam pada RPH di Bali
sedikit mengalami ganjalan. Bahkan, ada salah satu dokter hewan lulusan
perguruan tinggi terkenal di Jawa dan pernah bertanggungjawab di RPH Mambal
Badung, mengatakan kepada Infovet, bahwa Bali tidak perlu halal, yang perlu
halal orang Islam saja. Pendapat ini bisa saja disampaikan karena ketidaktahuan
makna dari halalanthoyyiban itu sendiri. Dalam perjalanan waktu, Ir I Putu
Sumantra Mapp Sc, Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Propinsi
Bali, mengatakan bahwa walaupun Bali memiliki populasi masyarakat Hindu
lebih dominan, tetapi mengingat Bali sebagai tujuan wisata dan kita harus
mendukung program Pemerintah, maka kita harus siap menyediakan RPH yang
halal. Oleh karena itu, untuk menindaklanjuti program RPH halal, maka semua
penanggung jawab RPH dari delapan Kabupaten dan Kota Denpasar ditambah
dengan beberapa orang tukang sembelih, dikumpulkan dan diberikan materi
seminar berjudul Standar Penyembelihan Hewan Secara Islami oleh Drh Mas
Djoko Rudyanto MS, Auditor Halal Nasional LPPOM MUI Bali.

1
1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas adalah:

1. Bagaimana perlakuan-perlakuan sebelum pemotongan ternak sapi


bali di RPH Mambal?

2. Bagaimana alur pemotongan ternak sapi bali di RPH Mambal?

3. Bagaimana penanganan pascapanen ternak sapi bali di RPH


Mambal?

1.3. Tujuan

Adapun tujuan praktikum yang kami laksanakan adalah mengetahui


perlakuan-perlakuan sebelum pemotongan, alur pemotongan dan penanganan
pascapanen ternak sapi bali di rph mambal.

1.4. Manfaat

Manfaat dari praktikum yang dilaksanakan adalah mahasiswa dapat


mengetahui perlakuan-perlakuan sebelum pemotongan, alur pemotongan dan
penanganan pascapanen ternak sapi bali dan mempraktikan materi yang telah
didapatan di kelas. Selain itu manfaat dari laporan ini agar pembaca dapat
memahami dan mengerti mengetahui perlakuan-perlakuan sebelum pemotongan,
alur pemotongan dan penanganan pascapanen ternak sapi bali yang baik.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Rumah Pemotongan Hewan (RPH) merupakan bangunan atau kompleks


bangunan yang dibuat menurut bagan tertentu di suatu kota yang digunakan
sebagai tempat pemotongan hewan (Suardana dan Swacita 2009). Berdasarkan
data dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Bali, di Bali tercatat
terdapat 10 RPH ruminansia yang tersebar di 9 kabupaten kota yakni Pesanggaran
di Denpasar, Mambal di Badung, Bona dan Temesi di Gianyar, Gubug di
Tabanan, Kaliunda di Klungkung, Amlapura di Karangasem, Seririt dan Panji
Anom di Buleleng, Loloan Timur di Jembrana. Rumah Pemotongan Hewan
(RPH) Pesanggaran berlokasi di Jalan Raya Benoa No. 133, Wilayah
Pesanggaran, Kelurahan Pedungan, Kec dilakukan pemeriksaan sebelum
pemotongan (ante-mortem) serta melakukan pemeriksaan setelah pemotongan
(post-mortem). Selain itu, syarat penting lainnya memiliki persediaan air bersih
yang cukup, cahaya yang cukup, meja atau alat penggantung daging supaya
daging tidak bersentuhan dengan lantai. Dalam menampung limbah hasil
pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang cukup baik, sehingga lantai
tidak digenangi oleh air pembuangan atau air bekas cucian (Badan Standarisasi
Nasional, 1999). Adapun manfaat penerapan animal welfare pada RPH
Pesanggaran yaitu menghindari kasus penyiksaan terhadap hewan khususnya sapi,
menghasilkan kualitas daging yang baik, dan memberikan keuntungan ekonomi.
Adapun tujuan RPH selain sebagai sarana produksi daging juga bertujuan sebagai
instansi pelayanan masyarakat yakni untuk menghasilkan kualitas daging yang
baik dan dalam merancang tata ruang RPH perlu diperhatikan untuk menghasilkan
daging kualitas baik serta tidak membahayakan masyarakat jika dikonsumsi
sehingga harus memenuhi persyaratan kesehatan veteriner. Suardana dan Swacita
(2009) mengatakan bahwa pendirian pembangunan RPH harus sesuai dengan
ketentuan dan kriteria dasar yang berlaku diantaranya sebagai berikut :

3
- Tersedia tenaga dokter hewan atau petugas yang berwenang.

- Menghindari kontak bahan bersih dengan bahan kotor.

- Menjaga peralatan agar tetap bersih.

- Menerapkan Good Manufacturing Practice (GMP), Sanitation Standart


Operating Procedures (SSOP), dan Nomor Kontrol Veteriner (NKV).

- Memisahkan jalur penanganan daging dengan wilayah lain.

- Memisahkan ruang pemotongan sapi dan babi.

- Persediaan air panas, air berkhlorin, es yang cukup, listrik, dan drainase.

- Pembersihan daging yang tidak boleh dilantai.

- Harus mempunyai kelengkapan persyaratan RPH atau RPU yang memadai.

- Bangunan serta ruangan gampang didesinfektan atau dibersihkan.

- Sebaiknya lokasi bangunan di dekat aliran sungai atau di pinggiran kota, jauh
dari pemukiman warga atau wilayah industri.

- Mudah mendapatkan air.

- Memperhatikan syarat konstruksi, kemiringan tanah, luas area, fondasi, kondisi


tanah.

- Memperhatikan pembuangan limbah yang baik dan benar.

- Tegangan listrik yang cukup.

- Memperhatikan tata ruang dan tata wilayah.

- Mempertimbangkan sisi agama dan budaya.

- Membatasi secara jelas ruang pemotongan, pencucian, pembersihan, pelayuan,


dan sebagainya.

- Dinding ruangan luar terhindar dari sinar matahari dan pagar agar tidak
sembarang dapat masuk, permukaan dinding dapat awet dan tahan lama.

- Lantai tidak mudah pecah, datar, dan halus.

4
- Atap yang sesuai dengan kebutuhan dari baja atau beton, ventilasi yang baik.

- Drainase dibuat agak miring untuk memudahkan cairan mengalir.

- Kandang peristirahatan terletak dekat ruang penyembelihan.

- Fasilitas pekerja dan petugas potong.

- Mempunyai alat-alat penyembelihan secara lengkap (gang way, restraining box,


scradle, pisau penyembelihan yang tajam).

- Toilet.

Pedoman tentang pembangunan RPH dan tatacara pemotongan yang baik


dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia (SNI)
01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan yang membahas mengenai
beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi,
sarana, bangunan dan tata letak sehingga diharapkan keberadaan RPH tidak
menimbulkan polusi udara dan limbah yang dihasilkan tidak mengganggu
masyarakat dan hewan yang disembelih dapat merasa nyaman atau stres sehingga
menghasilkan kualitas daging yang bermutu baik.

2.2. Kesejahteraan Hewan (Animal Welfare) Kesejahteraan hewan (animal


welfare) merupakan suatu usaha kepedulian yang dilakukan oleh manusia untuk
memberikan kenyamanan kehidupan terhadap seluruh jenis hewan. Semua
manusia bertanggungjawab terhadap masing-masing hewan yang dipelihara
maupun hidup bebas di alam (Hewson, 2005). Dalam teori yang dikemukakan
beberapa para ahli bahwa kesejahteraan hewan merupakan ajaran mengenai
kepedulian dan perlakuan manusia terhadap masing-masing hewan serta
bagaimana masyarakat dapat meningkatkan kualitas hidup hewan tersebut. Setiap
jenis hewan harus layak hidup bebas di alam atau hidup di lingkungan yang sesuai
dengan kebutuhan, perilaku, serta karakteristik habitat alamnya. Sehubungan
dengan kesejahteraan hewan, maka manusia yang berperan penting dan
bertanggungjawab untuk mewujudkannya (Fraser et al., 1997). Swacita (2013)
mengatakan bahwa kesejahteraan hewan memperhatikan kenyamanan,
kesenangan maupun kesehatan hewan. Adapun hal - hal yang harus diperhatikan

5
pada proses penyembelihan hewan yang menerapkan animal welfare yakni
diantaranya sebagai berikut:

- Penggiringan hewan dilakukan dari kandang penampungan menuju ruang potong


yang berarti memperhatikan cara menggiring sapi dengan baik yang bertujuan
agar sapi tidak beringas sehingga tidak mengakibatkan cedera pada petugas
potong hewan, tidak ada barang atau orang yang berdiri di depan sapi yang dapat
menyebabkan sapi takut bergerak, dan berdiri samping sejajar dengan paha sapi.

- Merebahkan sapi dilakukan dengan perlahan dan tidak dibanting agar


menghasilkan kualititas daging yang baik, tidak memar, serta mengikat kaki sapi
dengan benar.

- Penyembelihan dilakukan dengan segera setelah hewan rebah dan terikat,


penyembelih sapi sudah harus siap dengan tempat penampungan darah dan alat
penyembelihan seperti pisau harus bersih, menggunakan pisau tajam, pisau yang
cukup panjang, dan pisau dipegang dengan baik.

- Pengulitan hewan dilakukan setelah memastikan tubuh sapi dalam keadaan


benar-benar mati dengan cara melihat refleks kornea mata yang tidak bereaksi
ketika disentuh. Berdasarkan prosedur yang benar maka menguliti tubuh sapi
dilakukan sekitar 2 menit setelah penyembelihan.

Setelah pengulitan yang merupakan proses akhir pada pemotongan hewan,


maka dilakukan sanitasi RPH dan menjaga kebersihan pada daging yang akan
beredar di pasaran untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Dengan melaksanakan
kesejahteraan hewan di RPH maka diharapkan daging dapat berkualitas baik
sehingga masyarakat dapat mengonsumsi daging dengan perasaan tenang dan
nyaman. Penerapan kesejahteraan hewan pada hewan ternak yang akan dipotong
akan meningkatkan kualitas daging yang dihasilkan dan tidak menurunkan
kandungan gizi serta tidak membahayakan kesehatan masyarakat yang
mengkonsumsi daging.

2.3. Prosedur Penerimaan dan Penyembelihan Hewan di RPH Wahyudi (2010)


mengatakan bahwa untuk memperoleh daging berkualitas baik yang berasal dari
RPH maka hendaknya RPH mempunyai prosedur standar operasional sebagai

6
pedoman serta patokan dalam penyelenggaraan fungsi RPH tersebut sebagai
tempat penyembelihan, pengulitan, pelayuan dan penyediaan daging kepada
konsumen. Menurut Wahyudi (2010) mengatakan bahwa prosedur kesejahteraan
hewan di RPH adalah sebagai berikut:

A. Prosedur Penerimaan dan Penampungan Hewan :

1. Hewan yang baru tiba di RPH diturunkan dari alat angkut dengan cara
hati-hati sehingga hewan tidak menjadi stres.

2. Melakukan pemeriksaan dokumen berupa surat kesehatan hewan, surat


keterangan asal hewan, surat karantina.

3. Hewan diistirahatkan terlebih dahulu pada kandang penampungan


dalam jangka waktu minimal 12 jam sebelum hewan disembelih.

4. Hewan dipuasakan namun tetap memberikan minum dalam jangka


waktu kurang lebih 12 jam sebelum disembelih.

5. Kesehatan hewan diperiksa sebelum dipotong atau yang disebut


pemeriksaan antemortem.

B. Prosedur Pemeriksaan Ante-Mortem :

1. Pemeriksaan ante-mortem dilakukan oleh dokter hewan atau petugas


yang ditunjuk dalam pengawasan dokter hewan yang sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan berupa surat keputusan bupati atau walikota atau kepala dinas.

2. Hewan yang didiagnosa sakit maupun diduga sakit, tidak dapat dipotong
atau pemotongan ditunda, adanya tindakan segera melakukan pemisahan dan
ditempatkan pada kandang isolasi untuk pemeriksaan selanjutnya.

3. Hewan yang didiagnosa penyakit menular atau zoonosis, dokter hewan


atau petugas yang ditunjuk dalam pengawasan dokter hewan harus segera
mengambil tindakan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

C. Prosedur Persiapan Pemotongan atau Penyembelihan :

1. Ruangan proses produksi dan peralatan yang akan digunakan bersih


sebelum melakukan proses penyembelihan.

7
2. Hewan terlebih dahulu ditimbang sebelum melakukan penyembelihan.
3. Hewan dibersihkan terlebih dahulu menggunakan air bersih atau
disemprot air sebelum hewan masuk ruang penyembelihan.

4. Melakukan penggiringan hewan ternak dari kandang penampungan


menuju ruang penyembelihan melalui gang way harus dengan cara yang sesuai
ketentuan sehingga hewan stres.

D. Prosedur Penyembelihan :

1. Hewan dapat dipingsankan atau tidak dipingsankan.

2. Hewan yang mengalami proses pemingsanan, maka ketentuan


pemingsanan sesuai Fatwa MUI mengenai tata cara pemingsanan hewan.

3. Hewan yang tidak mengalami proses pemingsanan, maka ketentuan


menjatuhkan hewan dapat meminimalkan rasa sakit dan stres pada hewan seperti
menggunakan restrain box.

4. Hewan yang telah rebah atau telah diikat dengan aman, segera
melakukan penyembelihan sesuai dengan ketentuan syariat Islam yakni
memotong bagian ventral leher menggunakan pisau yang sangat tajam kemudian
tekan tanpa diangkat sehingga memutus saluran cerna, nafas dan pembuluh darah.
5. Proses selanjutnya dapat dilakukan jika hewan ternak dapat dipastikan
mati.

6. Setelah hewan ternak dipastikan tidak bergerak lagi, memotong leher


kemudian dipisahkan dari badan.

2.4. Lima Kebebasan Hewan

Lima kebebasan hewan telah ditetapkan pada akhir tahun 1960-an.


Pemerintah Inggris mendirikan komisi untuk menginvestagasi bagaimana hewan
diperlakukan pada pertanian. Komisi tersebut memberikan kesimpulan bahwa
terdapat suatu kebutuhan untuk menetapkan kebijaksanaan mengenai perlakuan
terhadap hewan. Pada awalnya, kebijaksanaan tersebut sederhana dan
memfokuskan perilaku terhadap hewan di pertanian. Namun, akhirnya menjadi
semakin lengkap dan kini telah memiliki jangkauan lebih luas, dan dikenal

8
sebagai lima kebebasan hewan di seluruh dunia (Eccleston, 2009). Lima
kebebasan hewan merupakan metode yang sederhana untuk pedoman evaluasi
maupun menganalisa kesejahteraan hewan dan menjadi langkah yang tepat
meningkatkan kualitas hidup pada hewan (Eccleston, 2009). Lima kebebasan
hewan dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi semua hewan,
langkah ini bertujuan untuk menjamin hewan yang dipelihara maupun hidup
secara liar tidak akan mengalami penyiksaan. Main (2003) mengatakan bahwa
lima aspek kebebasan yang diterapkan bertujuan untuk menunjang kesejahteraan
hewan sebagai berikut :

1. Kebebasan dari kelaparan dan kehausan berarti memberikan makanan


dan minuman yang cukup untuk kesehatan hewan.

2. Kebebasan dari ketidaknyamanan berarti memberikan lingkungan yang


sesuai sehingga hewan dapat merasa nyaman dan senang.

3. Kebebasan dari kesakitan, cedera, dan penyakit berarti memberikan


pencegahan penyakit, diagnosa yang tepat, dan penanganan kepada hewan.

4. Kebebasan untuk mengekspresikan tingkah laku dengan alamiah berarti


memberikan ruang gerak yang cukup, memberikan fasilitas dan mengelompokkan
sesuai jenis hewan.

5. Kebebasan dari ketakutan dan stres berarti menjamin kondisi dan


penanganan yang diberikan menghindari hewan dari penderitaan mental.

2.5. UU Kesejahteraan Hewan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 mengenai


Peternakan dan Kesehatan Hewan menyatakan ketentuan bahwa untuk
kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berhubungan dengan
penanganan, penangkapan, pengandangan, penempatan, pemeliharaan,
pengangkutan, perawatan, dan pembunuhan, serta perlakuan yang wajar dan
manusiawi (Parista, 2013). Penerapan kesejahteraan hewan hendaknya dilakukan
di RPH dengan memperlakukan hewan yang akan disembelih dengan perasaan
kasih sayang. Adapun makna penerapan kesejahteraan hewan untuk penyediaan
daging yakni sebagai berikut :

9
1. Sesuai dengan halal dan thoyyiban yang berarti daging dengan kualitas
bagus yang dibolehkan untuk penyembelihan atau dikonsumsi masyarakat.

2. Menghasilkan daging yang berkualitas, layak konsumsi, aman.

3. Memenuhi perlakuan hewan secara baik dan benar. Dengan adanya


Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan akan berfungsi sebagai
patokan dasar hukum untuk kesejahteraan hewan mengenai pemotongan hewan
sehingga menjamin tidak terjadi adanya kasus penyiksaan terhadap hewan yang
akan disembelih, tidak manusiawi, juga bertentangan dengan nilai agama. Selain
itu, diharapkan hewan dan daging yang dihasilkan dari proses penyembelihan
berkualitas baik (Febrin, 2011).

10
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil
Perlakuan atau penanganan hewan ternak sebelum dipotong akan
mempengaruhi nilai karkas atau daging yang dihasilkan. Untuk sampai ke tempat
pemotongan ternak-ternak tersebut mengalami perjalanan dari tempat asalnya, dan
selama dalam perjalanan, sering terjadi kerusakan atau cacat pada kulit dan mutu
karkas. Selain itu akibat perjalanan dapat menimbulkan cekaman (stres) pada
ternak yang akan menyebabkan terjadinya penyusutan pada bobot badan.
Penyusutan bobot badan ini berkisar 2 - 5 persen, besarnya persentase penurunan
bobot badan ini dipengaruhi oleh iklim, jarak antara asal ternak dengan rumah
potong hewan (RPH), cara transportasi, kondisi kesehatan dan daya tahan ternak
(Natasasmita, 1987).
Salah satu syarat yang harus diperhatikan dalam proses pemotongan ternak
untuk memperoleh mutu karkas atau daging yang baik, yaitu ternak yang akan
dipotong harus tidak dalam keadaan lelah atau habis dipekerjakan. Oleh karena
itu ternak yang akan dipotong harus diistirahatkan dalam tempat penampungan
khusus (“Holding Ground”). Dalam tempat penampungan harus dijaga agar
ternak tidak saling beradu, karena bila hal itu terjadi maka perlakuan istirahat
tidak akan bermanfaat, bahkan menurunkan kualitas pemotongan. Lamanya
pengistirahatan ternak yang akan dipotong bervariasi. Menurut Gerrard (1977)
ternak sapi yang akan dipotong sebaiknya diistirahatkan selama 24 - 36 jam,
Williamson and Payne (1993) 16 - 24 jam, dan Soeparno (1994) 12 - 24 jam.
Maksud perlunya ternak diistirahatkan sebelum dipotong adalah :
agar ternak tidak mengalami cekaman (stres),
agar pada saat disembelih darah dapat keluar sebanyak mungkin, dan
agar cukup tersedia energi, sehingga proses kekakuan karkas atau yang
lazim disebut proses “rigormortis” berlangsung secara sempurna.
Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara untuk
mengistirahatkan ternak sebelum dipotong, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa
dipuasakan. maksud pemuasaan yang dilakukan pada ternak yang akan dipotong
adalah :

11
untuk memperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot tubuh setelah
dikurangi isi saluran pencernaan, isi kantung kencing dan isi saluran
empedu,
untuk mempermudah proses penyembelihan, terutama ternak yang agresif
atau liar, karena dengan dipuasakan, ternak menjadi lebih tenang,
untuk mengurangi pencemaran isi saluran pencernaan terhadap karkas
selama proses penyiapan karkas. Selama pengistirahatan dengan
pemuasaan, ternak tidak diberi makan apapun hanya diberi air minum
secukupnya untuk menghilangkan rasa haus.
Maksud pengistirahatan ternak sebelum dipotong dengan cara tanpa
dipuasakan adalah :
agar pada waktu disembelih, darah dapat keluar sebanyak mungkin, karena
ternak lebih kuat meronta, mengejang atau berkontraksi. Pada kondisi ini,
darah yang disemburkan keluar akan lebih sempurna,
agar ternak yang dipotong tidak mengalami cekaman (stres).

Selama masa pengistirahatan dilakukan pula pemeriksaan “antemortem”


berupa inspeksi. Maksud pemeriksaan “antemortem” adalah :

untuk mengetahui ternak-ternak yang cedera, sehingga harus dipotong


sebelum ternak lainnya, dan
untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit dan harus dipotong secara
terpisah atau harus diperiksa secara khusus (Swatland, 1984).
Ternak yang sudah dinyatakan sehat oleh dokter hewan atau petugas yang
berwenang, diberi cap huruf S (“slaughter” = potong) serta sudah diistirahatkan,
kemudian di siram dengan air dingin sebelum dibawa ke ruang pemotongan.
Maksud penyiraman dengan air dingin adalah :
agar ternak menjadi bersih sehingga kebersih-an karkas lebih terjamin, dan
agar terjadi kontraksi perifer (faso kontraksi), sehingga darah di bagian
tepi tubuh menuju ke bagian tengah tubuh dan pada waktu disembelih,
darah dapat keluar sebanyak mungkin, serta memudahkan proses
pengulitan.
3.1.1. Pemingsanan dan Penyembelihan

12
Menurut Soeparno (1994) pada dasarnya ada dua cara atau teknik
pemotongan atau penyembelihan ternak, yaitu teknik pemotongan ternak secara
langsung dan teknik pemotongan ternak secara tidak langsung. Pemotongan
ternak secara langsung, dilakukan setelah ternak diperiksa dan dinyatakan sehat,
maka ternak langsung dapat disembelih. Pemotongan ternak secara tidak
langsung ialah ternak dipotong setelah dilakukan pemingsanan (“stunning”) dan
ternak telah benar-benar pingsan.
Maksud pemingsanan pada ternak yang akan disembelih adalah :
untuk memudahkan pelaksanaan penyembelihan ternak,
agar ternak tidak tersiksa dan terhindar dari resiko perlakuan kasar,
agar kualitas kulit dan karkas yang dihasilkan lebih baik, karena pada
waktu menjatuhkan, ternak tidak banyak terbanting atau terbentur benda
keras, sehingga terjadinya cacat pada kulit atau memar pada karkas dapat
dihindarkan seminimal mungkin.
Pemingsanan (“Stunning”) ternak yang akan dipotong dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu :
dengan alat pemingsan atau yang lazim disebut “knocker”,
dengan senjata pemingsan atau yang lazim disebut “stunning Gun” atau
“captive bolt”, yaitu suatu tongkat yang bekerja di dalam suatu silinder
yang diaktifkan oleh suatu muatan yang eksplosif yang menyerupai
selongsong kosong ditembakkan oleh suatu tekanan,
dengan cara pembiusan mengguna-kan karbondioksida (CO2), terutama
untuk proses pe-motongan sapi muda (“calf” atau “veal”),
dengan menggunakan arus listrik (stroom) pada bagian bibir sapi
(Ensminger, 1991; Blakely and Bade, 1992).
Bila pemingsanan ternak yang akan dipotong dilakukan dengan
menggunakan alat atau senjata pemingsan, maka alat atau senjata yang telah diisi
peluru diletakkan tepat pada titik tengah kening tulang kepala sedikit di bagian
atas antara kedua kelopak mata. Piston martil diarahkan ke otak secara tepat dan
pelatuk ditarik sehingga peluru meledak menggerakkan piston martil berkecepatan
tinggi mengenai otak dan ternak menjadi pingsan. Pada pemingsanan dengan
menggunakan senjata pemingsan, selongsong peluru akan tertinggal di dalam

13
senjata dan dapat diambil. Penyembelihan dilaksanakan setelah ternak benar-
benar pingsan.
Sapi yang telah pingsan kemudian dibawa ke ruang pemotongan. Proses
penyembelihan di Indonesia umumnya dilakukan secara manual melalui
pemutusan sebagian kulit, otot, arteri karotis, vena jugularis, trakhea dan esofagus
dengan menggunakan pisau potong, serta ternak dihadapkan ke arah kiblat,
sehingga bagian kepala ternak ada di sebelah selatan dan ekor disebelah utara.
Pemotongan secara manual ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan halal
dari produksi daging yang dihasilkan.
3.1.2. Pengeluaran Darah
Proses pengeluaran (“bleeding”), yaitu pe-nusukan leher ke arah jantung
dengan menggunakan pisau khusus. Pengeluaran darah merupakan faktor penting
karena darah merupakan media yang sangat baik untuk pertumbuhan
mikroorganisma dan hal ini mempengaruhi mutu karkas( Natasasmita, 1987).
Selain itu menurut Swatland (1984) serta Williamson dan Payne (1993), proses
pengeluaran darah yang sempurna sangat penting guna menghasilkan daging dan
kulit yang mempunyai mutu penyimpanan baik, karena pengeluaran darah yang
tidak sempurna selama proses penyembelihan akan menyebabkan lebih banyak
residu darah yang tertinggal di dalam karkas, sehingga daging yang dihasilkan
berwarna lebih gelap dan lemak daging dapat tercemar oleh darah.
Agar pengeluaran darah dapat berlangsung sempurna maka sapi yang telah
mengalami penyembelihan di gantung pada gantungan atau “conveyor”.
Penggantungan dilakukan dengan jalan pengikatan bagian atas tumit salah satu
kaki belakang dengan tali tambang yang telah dihubungkan dengan penggantung
di “conveyor”, sehingga sapi tergantung dalam posisi terbalik dan diharapkan
darah cepat mengalir keluar melalui pembuluh nadi dan vena yang telah terputus
sewaktu penyembelihan.
Untuk mengetahui bahwa ternak sapi yang telah disembelih telah benar-
benar mati, maka dapat dilakukan tiga macam uji coba, yaitu uji coba terhadap
reflek mata, uji reflek kaki dan uji reflek ekor. Uji coba reflek mata dilakukan
terhadap pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak. Uji coba reflek kaki
dilakukan dengan memukul persendian kaki atau dengan memijit sela-sela kuku,

14
bila masih terjadi gerakan atau konstraksi terkejut, maka ternak masih hidup. Uji
coba reflek ekor dilakukan dengan cara membengkokkan ekor, apabila sudah
tidak ada gerakan berarti ternak sudah mati.
3.1.3. Penyiapan Karkas (“Carcassing”)
Hasil pemotongan ternak ruminansia besar dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu bagian yang disebut karkas dan non karkas atau yang lazim disebut
“offal” yang terdiri dari kulit, kepala, keempat kaki bagian bawah mulai dari
tulang tarsus dan carpus, serta jeroan.
Selama proses penyiapan karkas, ternak yang telah dipotong digantung
pada gantungan karkas (hook). Penggantungan biasanya dilakukan pada bagian
“tendo archiles”, yaitu pada sela-sela tulang pada kedua paha belakang. Menurut
Natasasmita (1987) Penggantungan pada bagian ini akan menyebabkan daging
menjadi lebih empuk pada bagian has dalam (“fillet” atau “tender-loin”).
Menurut Swatland (1984), secara umum proses pe-nyiapan karkas
meliputi kegiatan sebagai berikut :
3.1.4. Pemisahan Kepala dan Keempat Kaki
Pemisahan bagian kepala dari tubuh ternak dilakukan pada bagian bekas
pemotongan atau penyembelihan, dan yang terbaik dilakukan pada bagian
sambungan antara tulang leher dengan tulang kepala (tulang atlas), sehingga
bagian leher tidak banyak terbuang dari karkas (Undang, 1995).
Pemotongan keempat kaki ternak yang telah disembelih dilakukan pada
bagian persendian tulang kanon, yaitu sambungan tulang lutut (tibia dan fibula) di
daerah benjolan “tarsus” untuk kaki belakang dan pada sambungan tulang siku
(radius dan ulna) di daerah benjolan tulang “carpus” untuk kaki depan.
Pada pemotongan kedua kaki belakang disertai pula dengan sedikit
pengulitan sebatas tumit kaki belakang, begitu pula pada pemotongan kedua kaki
depan disertai dengan pengulitan pada bagian tumit kaki depan, terus menyusur
paha dan diteruskan ke bagian dada.

3.1.5. Proses Pengulitan

15
Proses pengulitan atau yang lazim disebut “skinning”, diawali dengan
cara membuat irisan panjang pada kulit sepanjang permukaan dalam (medial
kaki). Kulit dipisahkan mulai dari ventral kearah punggung tubuh.
Berdasarkan cara pelaksanaannya dikenal tiga macam cara pengulitan,
yaitu pengulitan di lantai, pengulitan dengan di gantung, dan pengulitan dengan
menggunakan mesin. Setiap cara pengulitan mempunyai kebaikan dan
keburukan. Kebaikan pelaksanaan pengulitan di lantai, yaitu biaya peralatan
rendah dan pengulitan dapat di-lakukan secara masal (padat karya).
Keburukannya, yaitu kulit dan karkas menjadi kotor bila tercemar darah dan
kotoran, serta pelaksanaan pengulitan lebih sukar, sehingga banyak terjadi cacat,
baik pada kulit maupun karkas.
Kebaikan cara pengulitan dengan digantung, yaitu kulit dan karkas tidak
kotor, dan cacat yang terjadi tidak terlalu banyak. Keburukan cara pengulitan
dengan digantung adalah memerlukan alat penggantung khusus dan biasanya
hanya dikerjakan oleh dua orang.
Kebaikan cara pengulitan dengan menggunakan mesin, yaitu kulit dan
karkas tidak kotor atau tercemar, serta tidak banyak cacat. Keburukannya adalah
memerlukan biaya besar untuk mesin pengulit dan memerlukan tenaga ahli
khusus.
Kulit yang dihasilkan harus bagus, karena industri penyamakan kulit
memerlukan kulit berbentuk empat persegi. Oleh karena itu untuk memperoleh
hasil terbaik pada hewan besar seperti ternak sapi, menurut Williamson dan Payne
(1993) pengirisan dasar harus dibuat sebagai berikut :
satu irisan panjang, lurus ke bawah di tengah-tengah, dari dagu sampai ke
dubur (pemotongan hanya mendekati ambing atau kantung buah pelir tidak
dianjurkan karena berpengaruh terhadap bentuk kulit; dua kulit penutup
yang tidak penting dibiarkan yang harus dipotong sedikit sehingga
mempengaruhi bentuk dan ukuran kulit);
dua irisan melingkar pada kaki-kaki depan mengelilingi lutut;
dua irisan yang sama mengelilingi tumit pada kaki-kaki belakang;
dua sayatan lurus di sebelah sisi dalam kaki-kaki depan mulai dari lutut ke
ujung depan tulang dada; dan

16
dua sayatan lurus pada kaki-kaki belakang mulai dari belakang tiap sendi
tumit ke suatu titik di pertengahan jalan antara dubur dan kantong buah
pelir atau ambing.
3.1.6. .Pembelahan Dada dan Pengeluaran Jeroan
Sebelum melakukan pembelahan dada dan pengeluaran jeroan, terlebih
dahulu dilakukan pembedahan lubang anus, dan pada bagian ujung saluran
pencernaan kemudian ditutup dengan kantung plastik atau diikat dengan tali rafia.
Perlakuan ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kontaminasi antara
kotoran sapi yang berada dalam saluran pencernaan dengan bagian lainnya selama
proses penyiapan karkas atau “Carcassing”.
Pembukaan perut atau rongga abdomen, dilakukan dengan membuat
irisan dari atas ke bawah sepanjang bagian ventral tengah, kemudian lakukan
pemisahan penis dan testikel pada ternak sapi jantan atau jaringan ambing pada
ternak sapi betina, serta lemak ruang abdominal yang sudah lepas. Belah bonggol
pelvik dan pisahkan kedua bagian tulang pelvik. Lakukan pengulitan pada ekor
bila belum dilakukan. Setelah dinding perut terbuka, kemudian dilakukan
pengeluaran jeroan, yaitu kantung kencing dan uterus bila ada, usus, lemak susu,
rumen dan bagian lain dari lambung, limpa, hati, dan ginjal yang diselaputi lemak
ginjal.
Bersamaan dengan pengeluaran jeroan dilakukan pula pemotongan ekor
atau “Oxtail”. Pemotongan ekor biasanya dilakukan pada bagian tulang pangkal
ekor (“cocygeal vertebrae”). Akan tetapi, pemotongan ekor sapi di Indonesia
umumnya dilakukan sampai pada tulang ekor yang ketiga masih termasuk ke
dalam karkas.
Pembukaan rongga dada dilakukan dengan menggunakan gergaji, tepat
melalui ventral tengah tulang dada atau “sternum”. Setelah memotong diafragma,
pisahkan bagian “pluck”, yaitu jantung, paru-paru dan trakhea.
3.1.7. Pembelahan Karkas
Pembelahan karkas atau yang lazim disebut “halving”, adalah membelah
karkas menjadi dua bagian yaitu karkas bagian tubuh sebelah kanan dan karkas
bagian tubuh sebelah kiri. Pembelahan dilakukan dengan menggunakan gergaji
pembelah karkas, dengan cara pemotongan memanjang tepat melalui garis tengah

17
tulang belakang (“vertebrae”). Karkas bagian tubuh sebelah kiri selalu merupakan
bagian yang kencang (“tigh side”), sebab lemak ginjal melekat rapat pada ginjal
dan tulang belakang, dan karkas bagian tubuh sebelah kanan merupakan bagian
karkas yang longgar (“loose side”).
Selanjutnya karkas yang telah dibelah dibersihkan dengan cara disemprot
air bersih yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang masih
menempel pada karkas, seperti darah, serbuk tulang dan kotoran lainnya.
Kemudian dilakukan penimbangan untuk memperoleh berat karkas segar. Karkas
yang sudah bersih dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak
subkutan.
3.1.8. Pendinginan
Paruhan karkas yang masih hangat dan telah di-bersihkan selanjutnya
dibawa ke ruang pendinginan (“chilling room”). Pendinginan dimaksudkan untuk
mengurangi penyusutan karena evaporasi, mengurangi “drip loss” (kehilangan
cairan yang terbentuk akibat keluarnya air dari jaringan daging yang mengandung
protein, lemak dan zat gizi lain yang terdapat dalam daging) dan mencegah
kontaminasi bakteri.
Menurut Soeparno (1994) lamanya pendinginan kira-kira 24 jam sebelum
pemotongan tulang rusuk atau pemotongan paruhan karkas (“half carcass”)
menjadi perempat bagian karkas (“quarter carcass”). Temperatur ruang
pendinginan berkisar antara -40C sampai dengan 10C, tapi menurut Blakely dan
Bade (1993) temperatur ruang pendinginan harus tetap pada 20C.
Karkas atau daging baru dapat dikeluarkan atau dipasarkan apabila telah
diperiksa oleh dokter hewan atau petugas yang berwenang, dimana karkas yang
sehat akan diberi stempel atau dicap sebagai tanda layak dan aman untuk
dikonsumsi.
3.1.9. Pelayuan.
Pelayuan adalah penanganan karkas atau daging segar “postmortem” yang secara
relatif belum meng-alami kerusakan mikrobial dengan cara penggantungan atau
penyimpanan selama waktu tertentu pada temperatur tertentu di atas titik beku
karkas atau daging lebih kurang -1,50C. Istilah pelayuan sering disebut “aging”
atau “conditioning”, kadang-kadang disebut “hanging”. Selama pelayuan terjadi

18
peningkatan keempukan dan flavour daging, karena adanya aktivitas enzim yang
memecah jaringan pengikat (kolagen) yang mengelilingi sel. Pelayuan yang lebih
lama atau lebih dari 24 jam sejak terjadinya kekakuan daging atau “rigormortis”
dapat disebut pematangan. Pelayuan biasa dilakukan pada temperatur 32 - 380F
(0 - 30c), setelah pendinginan selama kira-kira 24 jam. Pengaruh pengempukan
dari pelayuan daging menurut Bratzler (1977) dan Lawrie (1979) merupakan
fungsi dari waktu dan temperatur, dimana pada umumnya, pelayuan pada
temperatur yang lebih tinggi akan menghasilkan derajat keempukan tertentu
dalam waktu yang lebih cepat daripada temperatur yang lebih rendah. Misalnya
pe-layuan selama dua hari pada temperatur 200C menghasilkan tingkat
keempukan yang sama dengan pelayuan selama 14 hari pada temperatur 00C.
Karkas dari ternak ruminansia besar, seperti sapi memerlukan proses
pelayuan, sedangkan ternak ruminansia kecil (domba dan kambing) bisa tidak
dilayukan, karena dagingnya secara relatif sudah empuk bila ternak dipotong pada
umur yang relatif muda, dan proses kekakuan berlangsung dalam waktu yang
relatif cepat.
Proses pelayuan atau pematangan karkas sapi prima bisa dilakukan selama
periode waktu antara 15 - 40 hari, karena adanya lapisan lemak yang tebal yang
menutupi dan melindungi karkas dari kontaminasi mikrobia. Karkas yang tidak
cukup mengandung lemak eksternal ( termasuk karkas veal) tidak dapat dilayukan
dalam waktu yang lama, karena lebih mudah diserang mikroorganisme. Hal ini
sejalan dengan pendapat Ensminger (1991), yang menyatakan bahwa karkas yang
berasal dari sapi-sapi yang mempunyai grade yang lebih baik, akan lebih tahan
disimpan dalam ruang pelayuan dibandingkan dengan grade yang lebih rendah.
Semakin lama karkas disimpan dalam ruang pelayuan maka penyusutan karkas
akan semakin besar pula.
3.1.10. Pemeriksaan Daging
Pemeriksaan daging dari hasil pemotongan dimaksudkan untuk :
melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan karena makan
daging yang tidak sehat,
melindungi konsumen dari pemalsuan daging, dan
mencegah penularan penyakit diantara ternak.

19
Pemeriksaan daging meliputi pemeriksaan sebelum ternak dipotomg,
lazim disebut pemeriksaan “antemortem” dan pemeriksaan setelah pemotongan
atau yang lazim disebut pemeriksaan “postmortem”, yaitu pemeriksaan karkas dan
alat-alat dalam (“viscera”), serta produk akhir.
Maksud pemeriksaan “antemortem” dapat dilihat pada penjelasan perlaku-
an ternak sebelum pemotongan, sedangkan maksud pemeriksaan “postmortem”
adalah untuk mengetahui kondisi karkas yang dihasilkan dari pemotongan, layak
dikonsumsi atau tidak.
Pemeriksaan “postmortem” yang biasa dilakukan di Indonesia menurut
Soeparno (1994), antara lain adalah pemeriksaan karkas, pertama pada kelenjar
limfe, pemeriksaan kepala pada bagian mulut, lidah, bibir, dan otot maseter, dan
pemeriksaan paru-paru, jantung, ginjal, hati serta limpa. Jika terdapat kondisi
abnormal lain pada karkas, organ-organ internal atau bagian-bagian karkas
lainnya, maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Keputusan hasil pemeriksaan
akan menentukan apakah karkas dan bagian-bagian karkas dapat dikonsumsi,
diproses lebih lanjut atau tidak.
3.2. Pembahasan
Cita-cita untuk menerbitkan Surat Identitas Penyembelih Halal masih dalam
perencanaan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang. Di Bali, hanya RPH
Pesanggaran Denpasar dan RPH Karangasem telah memiliki sertifikat halal.
Kabupaten Bangli (Kintamani) tidak memiliki RPH dan RPH Mambal Kabupaten
Badung yang wilayahnya sampai ke Kuta hingga Nusa Dua yang sarat dengan
hotel internasional dan turis asingnya, tidak bersedia diaudit halal. Sedangkan
RPH di lima kabupaten yang lain tidak memiliki sertifikat halal, tetapi dimiliki
secara pribadi oleh beberapa jagal yang membutuhkan sertifikat halal. Dan, yang
tidak kalah pentingnya, jagal yang menghendaki sertifikat halal, tetapi proses
penyembelihan dilakukan di rumah, maka permohonannya tidak akan dikabulkan,
karena menimbulkan polusi lingkungan dan dianggap pemotongan liar. Ternyata
keberadaan Djoko sebagai auditor halal dan sekaligus dosen Kesmavet FKH Unud
serta wartawan Infovet, sudah memiliki jam terbang cukup tinggi sebagai
pembicara khusus halal di instansi Kemenag, Kemenperin, Kemenkop, BBPOM
(Mas Djoko

20
BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil praktikum yang dilaksanakan di UPT Pembibitan Sapi
Bali Desa Sobangan dari pernilaian sebanyak 60% bobot, mahasiswa dapat
menentukan juara dari Sapi Bali Bertina menggunakan ilmu tilik ternak sebagai
berikut.
1. Juara 1 adalah Sapi Bali III dengan total nilai 16,4
2. Juara 2 adalah Sapi Bali V dengan total nilai 16,3
3. Juara 3 adalah Sapi Bali IV dengan total nilai 16,1
4. Juara 4 adalah Sapi Bali II dengan total nilai 15,6
5. Juara 5 adalah Sapi Bali I dengan total nilai 14,4

21
DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2016. http://www.sakadoci.com/2016/11/ciri-ciri-khas-dan-


keunggulan-sapi-bali.html. Diakses pada hari senin, 18 Desember 2017. Pada
pukul 15.35 wita.
Balai pengkajian teknologi pertanian bali. 2014.
http://bali.litbang.pertanian.go.id/ind/index.php/info-teknologi/64-bptp-bali7/577-
ciri-ciri-sapi-bali. Diakses pada hari senin, 18 Desember 2017. Pada pukul 15.20
wita
Harjosubroto. 1994. Aplikasi Pemulian Perkembangbiakan Ternak di
Lapangan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
KASMITARANMU.
2013.http://www.academia.edu/8413631/PENGUKURAN_PADA_BAGIAN-
BAGIAN_TUBUH_TERNAK. Diakses pada tanggal18 Desember 2017 pukul
15.30. wita
Mr Zaen. 2012. Sapi Bali (Menilik). http://mrzaen.blogspot.co.id/2012/01/sapi-
bali-menilik.html. Diakses pada tanggal 19 Desember 2017; pukul 13.15 Wita.
Sugeng, Y. B. 1998. Beternak Sapi Potong. Penebar Swadaya. Jakarta. d
Todingan, Lambe. 2010. Pemilihan Dan Penilaian Ternak Sapi Potong Calon
Bibit . http://disnaksulsel.info. Sulawesi Selatan. Diakses pada tanggal 14
Desember 2017
http://erepo.unud.ac.id/9457/3/d9c9a9bab9920016a2631112d51d6bac.pdf

22

You might also like