Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 2

“Bilamanakah sang waktu berjalan secepat cahaya?

” Tanya Sandrawasih kepada


rembulan. Saat itu menjelang pagi dan Sandrawasih sedang menanti sendirian di luar kamar
tidurnya, membaca buku tebal yang berkelebat cepat melalui otaknya tanpa meninggalkan
pengertian sedikitpun. Langit begitu terang meski hari masih malam. Angin berhembus dengan
kencang. Burung-burung masih tertidur dengan tenang, meski sesekali terganggu gemuruh
ombak menerjang. Kaki-kaki langit menopang dan mencengkeram. Sandrawasih duduk di
keheningan malam. Tak lama berselang ia bangun dan memandang. Seantero lautan luas
membentang. Langkah-langkah gemulai menjejak keluar kediamannya di sepanjang pesisir
pantai. Telapak kakinya bersimbah pasir nan putih. Pikirannya tidak berhenti mencari jawaban di
sela-sela jeda nafasnya yang lirih. Pun seolah ingin menemukan udang-udang yang bersembunyi
di balik batu yang saling menindih. Ia bergumam, “Pasti ada sesuatu yang bisa aku lakukan.” Dia
sedang menunggu kabar seorang saudara tiri nun jauh di ujung Raja Ampat, dan diantara
bertanya-tanya kapan adik tirinya itu akan datang kepadanya dan berusaha memberinya ulasan
dan kritik tak menyenangkan akan minggu-minggu yang sangat panjang, melelahkan serta sulit
dan nyaris tak ada tenaga tersisa di tubuhnya untuk melakukan hal-hal lain. Semakin dia
berusaha menenangkan diri dan menanamkan pikiran-pikiran positif dan optimisme tingkat
tinggi, semakin jelas ia melihat kekecewaan salah satu kerabaynya itu. Sahabatnya ini telah
muncul sebagai topik populer di media sosial Nusantara OnAir, tak hanya mendeskripsikan
secara detail dan rinci tentang stagnansi latihan renang yang telah dijalani Sandrawasih selama
berminggu-minggu, namun juga melakukan provokasi kepada rakyat Kerajaan Waigeo agar
mendesak Sang Putri untuk menerima pinangan Putra Mahkota kerajaan Tojo di Togean.
Detak jantung Sandrawasih bertambah cepat mengingat analisis mengerikan itu, karena
semuanya memang benar adanya. Bagaimanapun keputusan ini adalah keputusannya sendiri.
Namun sungguh kelewatan, bila ia harus memilih antara kebebasannya dan kedaulatan
negerinya. Negerinya merupakan negeri yang kaya raya, hasil tambang melimpah, tanahnya
subur menghasilkan apa saja yang ditanamkan kepadanya. Konon, Tuhan menyediakan tanah
negerinya ini hanya untuk para burung dari surga seperti dirinya. Namun karena kebaikan hati
dan kebijaksanaan para leluhurnyalah mereka tidak membangun pasukan yang bertugas untuk
memberikan keamanan dan pertahanan dari serangan negera tetangga. Kekayaan negerinya
inilah yang membuat banyak negara tetangga berusaha ingin menjamah bahkan ingin memiliki
tanah Waigeo. Dan kemudian bagaimana bisa, adik tirinya itu mengatakan bahwa karena
kecantikannya pulalah yang membuat Putra Mahkota kerajaan Tojo di Togean jatuh hati dan
hendak memilikinya seutuhnya dan bukan hanya karena kekayaan alam kerajaan Waigeo yang
begitu memikat hati. Apakah salah menjadi indah? Atau bahwa para punggawa kerajaan
mestinya sudah bisa meramalkan akan terjadinya badai politik yang akan menyebabkan
ketidakstabilan perekonomian, sosial dan budaya di kerajaan Waigeo karena keindahan dan
kecantikan Sandrawasih yang beredar cepat begitu lukisannya muncul di media sosial Nusantara
OnAir. Lagi pula siapa yang tak mengakses Nusantara OnAir? Salah satu penyedia layanan
komunikasi sosial melalui gelombang radio yang dirancang khusus untuk kingdom Animalia.
Dan salahnyakah jika ada seseorang yang mengaguminya lantas mengabadikan kekagumannya
itu di atas selembar kanvas?
“Situasi genting menyelimuti negeri ini,” si adik tiri nun jauh di ujung Raja Ampat
memberikan kesimpulan, nyaris tanpa menyembunyikan senyum sinis lebarnya.
Dan malangnya, ini sungguh-sungguh benar sekali. Putri Sandrawasih merasakannya
sendiri; segenap rakyat kerajaan Waigeo benar-benar terlihat bermuran durja. Bahkan udara
sekalipun menjadi membekukan dan membuat hati merana; suhu udara dingin meski langit
malam terang... ini sungguh membingungkan.

You might also like