Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 13

I.

PENDAHULUAN

Alopesia areata adalah penyakit yang ditandai dengan rontoknya rambut


akibat proses inflamasi yang kronis dan berulang pada rambut terminal yang tidak
disertai dengan pembentukan jaringan parut (non sikatrikal), skuamasi, maupun
tanda-tanda atropi yang dapat terjadi pada pria, wanita, dan anak-anak. Penyakit
ini biasanya bermanifestasi dengan ditemukannya area-area tertentu yang
kehilangan rambut (mengalami kerontokan total) pada kulit kepala atau bagian
tubuh yang berambut lainnya yang biasanya berbentuk bulat atau lonjong dengan
batas yang tegas. Pada kasus yang berat, alopesia areata dapat berkembang
menjadi kehilangan total seluruh rambut pada tubuh. Walaupun merupakan
penyakit yang tidak mengancam nyawa, alopesia areata merupakan penyakit yang
serius karena dapat memberikan efek yang negatif terhadap penderita, terutama
secara psikologik, sosiologik dan kosmetik.1

Alopesia areata dapat terjadi pada semua kelompok umur dan memiliki
prevalensi yang sama antara pria dengan wanita. Namun, penyakit ini lebih sering
terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa. Dimana resiko untuk
terkena alopesia areata selama masa hidup adalah 1,7%. Di Inggris dan Amerika
Serikat insiden penyakit ini diperkirakan mencapai 2%. Sementara itu, di Cina
sedikit lebih banyak yaitu sekitar 3,8% dan sekitar 85,5% dari pasien-pasien
tersebut mengalami episode awal penyakit ini pada usia 40 tahun pada pria dan 60
tahun pada wanita.1

1
a. Definisi

Merupakan kelainan inflamasi kronis yang mengenai rambut dan kuku.2

b. Etiologi
Alopesia areata dapat disebabkan oleh beberapa hal, seperti genetik, stres,
hormon, agen infeksi seperti cytomegalovirus (CMV), vaksinasi hepatitis B,
estrogen, depresi, cemas, gangguan mood, gangguan penyesuaian, dan agresi
akibat terganggunya aktivitas hypothalamic-pituitary adrenal (HPA).3 Pada
wanita defisiensi besi ternyata dapat menurunkan kemampuan proliferasi dari sel-
sel matriks folikel rambut. Selain itu, penyakit-penyakit tertentu, seperti gangguan
tiroid, vitiligo, anemia pernisiosa, diabetes, lupus erythematosus, myasthenia
gravis, lichen planus, autoimmune polyendocrine syndrome type I, celiac disease,
atopic dermatitis, Down Syndrome, dan candida endocrinopathy syndrome juga
dapat mengakibatkan terjadinya alopesia areata.2,3

c. Patogenesis
Pada dasarnya rambut mengalami pertumbuhan normal melalui
mekanisme yang terdiri dari 3 fase, yaitu (Gambar 1):2,4
1. Anagen (fase pertumbuhan)
Sel-sel matriks mengalami mitosis membentuk sel-sel baru, mendorong
sel-sel yang lebih tua ke atas serta berdiferensiasi membentuk lapisan-lapisan
folikel rambut. Kemudian folikel rambut yang terbentuk akan mengalami
keratinisasi untuk memperkuat struktur rambut. Lamanya pertumbuhan
bervariasi tergantung pada lokasi tumbuhnya rambut sekitar 1-6 tahun dengan
rata-rata 3 tahun.
2. Katagen (fase degenerasi/involusi)
Saat jumlah sel matriks berkurang dan panjang rambut dianggap
mencukupi, sel matriks akan mulai mengalami apoptosis, kemudian
proliferasi dan diferensiasi juga akan melambat. Proses selanjutnya adalah
penebalan jaringan ikat di sekitar folikel rambut kemudian bagian tengah akar
rambut akan menyempit dan bagian bawahnya membulat membentuk gada

2
(club). Sedangkan batang rambut akan terdorong ke permukaan kulit dan
meninggalkan dermal papilla. Masa peralihan ini berlangsung 2-3 minggu.
3. Telogen (Fase istirahat)
Proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis sel matriks menjadi terhenti.
Kemudian folikel rambut ini akan mengalami pelepasan (fase eksogen).

Alopesia areata didahului dengan adanya peningkatan rambut telogen dan


di antaranya rambut tersebut distropik. Dijumpai rambut, seperti tanda seru, yaitu
berupa rambut gada yang menyempit di bawah, dan mudah lepas. Folikel anagen
pada area ini menunjukkan inflamasi peribulbar. Pada lesi awal terjadi pengecilan
ukuran dari folikel bagian bawah.2

Gambar 1. Siklus Pertumbuhan Rambut Normal. A. Anagen (Fase Pertumbuhan); B. Katagen


(Fase Degeneratif/Involusi); C. Telogen (Fase Istirahat); dikutip dari Randall. The Biology of Hair
Growth.

Inflamasi ditandai dengan adanya infiltrate perifolikular dan interfolikular


pada lesi awal. Pada keadaan lanjut, terdapat infiltrat limfosit di papil dermal dan
epitel matriks dari folikel anagen.2
Berlainan dengan alopesia sikatrikal, tidak tampak adanya infiltrat sekitar
ismus, yang berarti tidak ada kerusakan folikel. Pada alopesia areata infiltrat

3
terutama T limfosit, CDY, dan makrofag serta sel Langerhans. Alopesia areata
merupakan penyakit sistemik karena dapat disertai kelainan organ lain, seperti
kuku dan mata. Kelainan pada kuku berbentuk pit, onikolisis, dan kuku rapuh.
Kelainan pada mata adalah glaukoma.2

II. DIAGNOSIS

a. Gambaran Klinis
Perjalanan penyakit alopesia areata tidak dapat diprediksikan. Alopesia
areata lebih sering asimtomatis, tetapi dapat terjadi sensasi terbakar atau gatal di
area kebotakan pada sekitar 14% pasien. Pada pasien alopesia areata, 80% hanya
memiliki satu lesi, 12,5% memiliki 2 lesi, dan 7,7% memiliki lebih dari 2 lesi.
Alopesia areata paling banyak mengenai kulit kepala (66,8-95%), akan tetapi
dapat juga mengenai area berambut lainnya, seperti pada wajah/jambang (28%,
laki-laki), alis (3,8%), dan ekstremitas (1,3%). Penyakit ini dapat mengenai lebih
dari 2 area pada waktu bersamaan.2,3

(A) (B)
Gambar 2. Rambut lepas, kulit mengkilat (A) dan Kulit mengkilat, pada bagian tepi tampak
rambut halus (B); dikutip dari Siregar dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit.

Lesi alopesia areata stadium awal paling sering ditandai oleh bercak
kebotakan yang bulat atau lonjong dan berbatas tegas. Permukaan lesi tampak

4
halus, licin, serta tanpa tanda sikatriks, atrofi, maupun skuamasi. Pada tepi lesi
terkadang terdapat exclamation-mark hairs yang mudah dicabut. Exclamation-
mark hairs jika dilihat menggunakan kaca pembesar akan nampak bagian pangkal
rambut yang lebih kecil dari ujung rambut, yang terlihat seperti tanda seru
(exclamation mark).2

Berdasarkan tingkat luasnya penyakit, alopesia areata dapat dibagi menjadi 2:9
1. Alopesia areata lokal: Lesi alopesia lokal yang melibatkan <50% permukaan
kulit kepala. Penyakit ini biasanya self-limited, rambut akan tumbuh kembali
setelah beberapa bulan, dengan atau tanpa perawatan.
2. Alopesia areata ekstensif (luas): Lesi melibatkan >50% permukaan kulit
kepala. Kejadiannya lebih jarang.9

Gambar 3. Berbagai Tipe Alopesia Areata. Alopesia areata totalis (atas); Alopesia areata bentuk
patch; dikutip dari Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.

5
Klasifikasi alopesia areata menurut etiologi (Ikeda, 1965) adalah sebagai
berikut:2
1. Tipe umum, meliputi 83% kasus diantara umur 20-40 tahun, dengan gambaran
lesi berupa bercak-bercak bulat selama masa perjalanan penyakit. Penderita
tidak mempunyai riwayat stigmata atopi ataupun penyakit endokrin autonomik,
lama penyakit biasanya kurang dari 3 tahun.
2. Tipe atopik, meliputi 10% kasus, umumnya memiliki stigmata atopi, atau
penyakitnya telah berlangsung lebih dari 10 tahun. Tipe ini dapat menetap atau
mengalami kekambuhan pada musim tertentu.
3. Tipe kombinasi, meliputi 5% kasus, terjadi pada umur di atas 40 tahun dengan
gambaran lesi bulat atau reticular. Penyakit endokrin autonomik yang terdapat
pada penderita antara lain berupa diabetes mellitus dan kelainan tiroid.
4. Tipe prehipertensif, meliputi 4% kasus, dengan riwayat hipertensi pada
penderita maupun keluarganya. Bentuk lesi biasanya reticular.
Klasifikasi tersebut sangat berguna untuk menjelaskan patogenesis dan
meramalkan prognosis penyakit.2

b. Diagnosis
Untuk mendiagnosis penyakit alopesia areata diperlukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang cermat serta pemeriksaan penunjang bila perlu karena
penyakit ini memiliki kemiripan dengan beberapa penyakit lain pada rambut.2
1. Anamnesis
Selama anamnesis pasien biasanya mengeluhkan kebotakan rambut pada
area tertentu yang terjadi secara mendadak, pada area kulit kepala, alis, bulu mata,
atau jambang. Lesi kebotakan bisa satu atau multipel. Terasa gatal, tidak nyaman,
atau seperti terbakar pada area kebotakan. Selain itu, beberapa faktor lain juga
harus dipertimbangkan untuk mendukung diagnosis, antara lain umur pasien, pola
dan penyebaran lesi, tingkat kerontokan rambut, riwayat kebotakan atau
kerontokan rambut sebelumnya, riwayat keluarga, riwayat penyakit atopi atau
autoimun, riwayat penyakit sebelumnya (termasuk infeksi atau penyakit lain
dalam kurun waktu 6 bulan), riwayat pengobatan (penyakit lain dan penyakit ini),

6
perawatan rambut, diet, dan dari segi psikologi berupa pandangan dan ekspektasi
pasien terhadap kondisi yang dialami, serta apakah ada tanda-tanda depresi atau
gangguan psikologis lainnya.7,8
2. Pemeriksaan fisik
Dari pemeriksaan fisik biasanya ditemukan tanda-tanda sebagai berikut.
a. Gambaran klinis alopesia areata yang berbentuk khas, bulat berbatas tegas,
pada kulit kepala atau rambut pada wajah, biasanya tidak memberikan
kesulitan untuk menegakkan diagnosisnya.2,3
b. Kulit kepala pada lesi berwarna kemerahan atau normal, tanpa jaringan parut
(pori folikel masih terlihat).2
c. Exclamation mark hairs (rambut dengan bagian pangkal rambut yang lebih
kecil dari ujung rambut serta mudah dicabut) dapat ditemukan di sekitar tepi
lesi saat fase aktif penyakit.2,3
d. Bisa terdapat skuama, akan tetapi harus dipikirkan juga kemungkinan diagnosis
lain, misalnya infeksi jamur pada tinea kapitis.2

Selain itu, pemeriksaan pull test dapat dilakukan pada tepi lesi untuk
mengetahui adanya kerontokan rambut yang aktif. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan cara menarik sekitar 40-60 rambut dengan lembut tapi mantap. Tes ini
positif jika terdapat kerontokan 3-10 rambut atau lebih.7 Perkiraan jumlah
kerontokan rambut juga harus diperhitungkan.7

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak begitu diperlukan pada mayoritas kasus
alopesia areata. Jika gejala dan tanda klinis mengarah pada suatu penyakit
autoimun (misalnya kerontokan pada hipotiroidisme), maka pemeriksaan lanjutan
dapat digunakan untuk menentukan penyebabnya. Jika terdapat keraguan dalam
menegakkan diagnosis, maka pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu
biopsi kulit (histopatologi). Potongan horizontal lebih dipilih karena dapat
menganalisa lebih banyak folikel rambut di level berbeda. Biopsi pada tempat
yang terserang menunjukkan infiltrat limfosit peribulbar pada sekitar folikel

7
anagen atau katagen yang terlihat seperti gerombolan lebah. Infiltrat tersebar dan
hanya terdapat pada beberapa rambut yang berpenyakit. Penurunan jumlah rambut
terminal yang signifikan berhubungan dengan peningkatan jumlah rambut vellus
dengan perbandingan 1,2:1 (normalnya 7:1).3,10

c. Diagnosis Banding2,3,7
Diagnosis banding yang paling sering adalah Tinea Kapitis dan
Trikotilomania.
1. Tinea kapitis: Infeksi jamur pada kulit kepala yang sering ditemukan pada
anak-anak (umur 4-14 tahun), yang ditandai dengan adanya lesi kebotakan
disertai gatal dan kulit yang bersisik (skuama). Pada pemeriksaan, lesi tidak
teratur disertai adanya eritema, bersisik, dan rambut patah, akan tetapi tidak
disertai adanya exclamation mark hairs dan perubahan pada kuku yang
merupakan karakteristik alopesia areata. Dapat pula terdapat kerion, yaitu
nodul radang dan nyeri pada kulit kepala.2,3
2. Trikotilomania: Suatu kondisi psikiatri yang dapat dikaitkan dengan gangguan
obsesif-kompulsif dimana pasien sering mencabut rambutnya sendiri akan
tetapi tidak mengakuinya. Pada anak-anak sering terjadi pada anak laki-laki,
akan tetapi pada remaja sering terjadi pada perempuan, kebotakan terlihat
asimetris dan memiliki bentuk yang tidak teratur, dan rambut sekitar lesi tidak
mudah dicabut. Tidak terdapat inflamasi.2,3
3. Alopesia androgenetik: Terdapat pola tipikal pada kebotakan akan tetapi
kerontokan tidak terlalu keras dan pull test negatif.

Gambar 4. Diagnosis Banding Alopesia Areata. Tinea Kapitis (A); Alopesia Androgenetik pada
Pria (B) dan Wanita (C); dikutip dari Siregar dalam Atlas Berwarna Saripati Penyakiy Kulit dan
http://www.heralopecia.com

8
III. PENATALAKSANAAN
Pada alopesia areata ringan, pemberian terapi tidak menjadi suatu
kewajiban, karena remisi spontan dan rekurensi adalah hal yang umum terjadi.
Terapi sendiri umumnya ditujukan untuk menstimulasi pertumbuhan rambut,
namun hingga saat ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa hal ini
dapat mempengaruhi perjalanan alamiah penyakit ini. Sementara untuk alopesia
areata berat, pengobatan umumnya sulit dilakukan, sehingga saat ini jenis dan
sistem pengobatan baru yang memberi hasil yang lebih baik masih terus dicari dan
dikembangkan. Metode pengobatan yang dilakukan saat ini masih berupa
pemberian terapi topikal, terapi sistemik, fototerapi PUVA dan psoralen,
pemberian vitamin dan mineral, serta interferon.3,6
1. Terapi Topikal
a). Kortokisteroid topikal
Merupakan imunosupresor yang nonspesifik yaitu kortikosteroid
kelas II (Clobatasol propionate) dalam bentuk larutan dengan cara
pemakaian 1 ml 2 kali sehari dioles pada seluruh kepala. Terapi dikurangi
secara bertahap bila alopesia membaik. Pada triple therapy digunakan
kortikosteroid potensi tinggi dalam bentuk krim, yang dipakai 30 menit
sesudah pengolesan dengan larutan minoxidil, disertai dengan penyuntikan
kortikosteroid 1 kali sebulan. Dalam suatu penelitian digunakan flucinolone
acetonide cream 0,2% dua kali sehari dan didapatkan hasil bahwa 61%
sampel menunjukkan adanya respon. Pemberian kortikosteroid topikal
potensi tinggi (betametasone dipropionactere cream 0,05%) 2 kali sehari
selama 3 bulan berturut-turut diketahui memberi hasil yang baik.2,3,6
b). Antralin
Antralin merupakan bahan iritan yang dapat merangsang
pertumbuhan rambut kembali dengan sifat-sifat iritannya. Pada short
contact anthralin therapy digunakan krim antralin 1-3%, dioleskan pada
daerah kebotakan hanya untuk beberapa jam sampai terjadi iritasi kulit
kemudian dicuci dengan air dan sabun, pemakaian ini dilakukan selama 6
bulan.2,6

9
c). Minoxidil (2,4-diamino-6 piperidinopyrimidine-3-oxide)
Mekanisme kerja minoxidil untuk merangsang pertumbuhan
rambut belum diketahui secara pasti, meskipun ditemukan bukti-bukti yang
menunjukkan adanya kemungkinan efek folikuler yang langsung (efek
mitogenik) dan vasodilator periferal yang poten. Minoxidil mempunyai efek
mitosis secara langsung pada sel epidermis dan memperpanjang
kemampuan hidup keratinosit. Selain itu, mekanisme kerjanya juga diduga
berhubungan dengan penghambatan masuknya kalsium ke dalam sel.
Masuknya kalsium ke dalam sel dapat meningkatkan jumlah epidermis
growth factor (EGF) yang dapat menghambat pertumbuhan rambut.
Minoxidil 5% harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-3 bulan sebelum terjadi
peningkatan jumlah rambut. Pertumbuhan rambut paling cepat dapat terlihat
dalam 2 bulan sampai 1 tahun sejak dimulainya pengobatan.2,3,6
d). Imunoterapi topkal
Walaupun belum disetujui oleh FDA, imunoterapi topical
merupakan pilihan terapi yang paling efektif dan aman pada pengobatan
alopesia areata kronik. Mekanisme pasti dari imunoterapi belum diketahui
secara pasti. Prinsip pengobatannya yaitu dengan membuat kondisi
dermatitis kontak. Bahan yang umum digunakan adalah
Diphenylcyclopropenone (DPCP) dan Squaric Acid Dibutyl Ester (SABDE).
Larutan DPCP atau SABDE 2% dioleskan sedikit pada kulit kepala
seminggu sebelum pengobatan untuk merangsang iritasi. Kemudian Larutan
DPCP atau SABDE dioleskan tiap minggu pada kulit kepala dengan
konsentrasi awal 0.0001%. Kulit kepala tidak dibilas dalam 48 jam
pengobatan dan dilindungi dari radiasi UV. Setiap minggu konsentasi
larutan dinaikkan perlahan hinggs pasien mengalami eritema dan gatal.
Pengobatan dilanjutkan dengan konsentrasi yang member efek iritasi,
kontrasi maksimal yang digunakan adalah 2%.3

10
2. Terapi sistemik
a). Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid sistemik pada pengobatan alopesia
areata masih kontroversial. Hal ini dikarenakan angka pertumbuhan rambut
yang bervariasi (27%-89%) dan perbedaan dosis pemberian yang digunakan
dalam beberapa penelitian. Dosis kortikosteroid yang paling sering
diberikan adalah prednison 80-120 mg/hari selama 8-42 bulan, dimana
kekambuhan dapat terjadi dan waktunya bervariasi antara 6-15 bulan setelah
prednison diberikan.2,3,6
b). Isoprinosin
Isoprinosin berfungsi untuk menurunkan kadar autoantibodi yang
sering didapatkan pada penderita alopesia areata seperti nuclear antibody,
smooth muscle antibody, striated muscle antibody serta epidermal/gastric
parietal cell antibody. Dosis yang digunakan adalah 50 mg/kgBB/hari,
dengan dosis maksimal antara 3-5 gram per hari. Lama pemberian
bervariasi, berkisar antara 20 minggu sampai 6 bulan. Dosis yang diberikan
tidak menetap, tetapi diturunkan setelah minggu ketiga sampai minggu
kedelapan.6
c). Siklosporin
Siklosporin memiliki efek menghambat infiltrasi sistem imunitas
ke dalam dan sekitar folikel rambut, menghambat ekspresi HLA DR di
epitel folikel, ekspresi ICAM-1, set T CD4, CD8 dan sel Langerhans serta
menurunkan rasio CD4/CD8. Pemberian siklosporin dengan dosis 6
mg/kgBB/hari selama 12 minggu dapat mengakibatkan pertumbuhan rambut
yang mulai terjadi antara minggu kedua sampai keempat.3
3. Fototerapi PUVA (Psoralen+UVA)
Pemberian fototerapi PUVA pada penderita alopesia areata memiliki peran
sebagai imunosupresor pada kulit. PUVA dapat menurunkan jumlah sel T serat
jumlah reseptor interleukin-2 (IL-2) pada kulit. Fototerapi PUVA dilakukan
dengan pemberian metoksalen 10-60 mg 2 jam sebelum radiasi PUVA ke
seluruh badan. Frekuensi radiasi 3 kali seminggu dengan energi 8-8,5 J/cm2.

11
Kekambuhan dapat terjadi dan biasanya terjadi antara 8 bulan sampai 2 tahun
setelah penghentian pengobatan.2,6

Prognosis
Prognosis buruk terjadi pada alopesia areata yang diderita pada anak-anak,
alopesia yang meluas, dan disertai kelainan kuku.2

12
DAFTAR PUSTAKA

1. McElwee KJ, Freyschmidt-Paul P, Sundberg JP, Hoffmann R. 2003. Alopecia


Areata : Treatment of Today and Tomorrow. The Society for Invesyigate
Dermatology..
2. Soepardiman L. Kelainan Rambut. Dalam: Menaldi Sri L., Bramono K., dan
Indriatmi W.(eds.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015: hlm. 374-377.
3. Wolff K. and Johnson R.A. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology 8th Edition. New York: McGrawHill; 2012: p. 991-4.
4. Randall V.A. and Botchkareva N.V. The Biology of Hair Growth. Centre of Skin
Sciences, School of Life Sciences, University of Bradford, Bradford, UK.
William Andrew Inc. 2009; p. 3-35.
5. Wang E. and McElwee K.J. Etiopathogenesis of Alopecia Areata: Why Do Our
Patients Get It?. Dermatologic Therapy. 2011; 24: 337-347.
6. S.P. McDonagh Hull, M.L. Wood, P.E. Hutchinson, M. Sladden, A.G.
Messenger. 2012. Guidelines for the management of alopecia areata. British
Journal of Dermatology 166: 916–926.
7. Amin, SS. Alopecia Areata : A Review. 2013. Journal of Saudi Society of
Dermatology and Dermatologic Surgery. 17, 37-45.
8. Putra, IB. Alopesia Areata. Universitas Sumatera Utara. 2008.
9. Deshpande, Deepal. Extensive Alopecia Areata : Not Necessarily
Recalcitrant to Therapy!. 2011. Journal of Trichology. 3(2), 80-83.
10. Whiting, David. Histopathologic Features of Alopecia Areata : A New
Look. 2003. Arch Dermatol. 139(12):1555-1559.

13

You might also like