Professional Documents
Culture Documents
Gangguan Keseimbangan-1
Gangguan Keseimbangan-1
Gangguan Keseimbangan-1
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Telinga dibagi atas telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam. Telinga
luar terdiri dari daun telinga, liang telinga sampai membran timpani. Telinga
tengah terdiri dari kavum timpani, prosesus mastoideus dan tuba eustachius.
Telinga tengah berbentuk kubus dengan membran timpani sebagai batas luarnya,
tuba eustachius sebagai batas depannya, vena jugularis sebagai batas bawahnya,
batas belakang terdapat aditus ad antrum dan kanalis fasialis pars vertikalis, serta
batas atas terdapat tegmen timpani. Batas dalam terdapat kanalis semisirkularis
horizontal, kanalis facialis, tingkap lonjong, tingkap bundar, dan promontotium.3
2
pada sulkus timpanikus. Selain itu, membran timpani melekat erat pada maleus
yaitu pada prosesus lateral dan umbo.3
Membran timpani dipisahkan menjadi bagian atas pars flaksid (membran
Shrapnell) dan bagian bawah pars tensa (membran propria). Pars flaksid hanya
berlapis dua, yaitu bagian luar yang merupakan lanjutan dari epitel kulit liang
telinga dan bagian dalam yang dilapisi oleh sel kubus bersilia. Pars tensa
mempunyai satu lapisan lagi di tengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat
kolagen dan sedikit elastin yang berjalan secara radier di bagian luar dan sirkuler
pada bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran
timpani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu reflek cahaya ke arah
bawah yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk
membran timpani kanan. Refleks cahaya ialah cahaya dari luar yang dipantulkan
oleh membran timpani. Di membran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkular
dan radier yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya berupa kerucut. Secara
klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak refleks cahaya mendatar,
berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.3
Membran timpani dibagi menjadi 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah-belakang,
untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.3
3
Tulang pendengaran di dalam telinga tengah saling berhubungan. Prosesus
longus maleus melekat pada membran timpani, maleus melekat pada inkus, dan
inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang
berhubungan dengan koklea. Hubungan antara tulang-tulang pendengaran
merupakan persendian.
4
berisi perilimfe, sedangkan duktus semisirkularis adalah saluran labirin selaput
berisi endolimfe. Utrikulus, sakulus, dan bagian kanalis semisirkularis yang
melebar (ampula) mengandung organ reseptor yang berfungsi untuk
mempertahankan keseimbangan.
Tiga kanalis semisirkularis terletak di bidang yang berbeda. Kanalis
semisirkularis lateral terletak di bidang horizontal, dan dua kanalis semisirkularis
lainnya tegak lurus dengannya dan satu sama lain. Kanalis semisirkularis posterior
sejajar dengan aksis os petrosus, sedangkan kanalis semisirkularis anterior tegak
lurus dengannya. Karena aksis os petrosus terletak pada sudut 45o terhadap garis
tengah, kanalis semisirkularis anterior satu telinga pararel dengan kanalis
semisirkularis posterior telinga sisi lainnya, dan kebalikannya. Kedua kanalis
semisirkularis lateralis terletak di bidang yang sama (bidang horizontal). Masing-
masing dari ketiga kanalis semisirkularis berhubungan dengan utrikulus. Setiap
kanalis semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya untuk membentuk
ampula,yang berisi organ reseptor sistem vestibular, krista ampularis. Pergerakan
endolimfe di kanalis semisirkularis menstimulasi rambut-rambut sensorik krista
sebagai reseptor kinetik (reseptor pergerakan).
5
paralel dengan dasar tengkorak, dan makula sakularis terletak secara vertikal di
dinding medial sakulus. Sel-sel rambut makula tertanam di membrana gelatinosa
yang mengandung kristal kalsium karbonat, disebut statolit. Kristal tersebut
ditopang oleh sel-sel penunjang. Reseptor ini menghantarkan implus statik, yang
menunjukkan posisi kepala terhadap ruangan, ke batang otak. Struktur ini juga
memberikan pengaruh pada tonus otot. Impuls yang berasal dari reseptor labirin
membentuk bagian aferen lengkung refleks yang berfungsi untuk
mengoordinasikan otot ekstraokular, leher, dan tubuh sehingga keseimbangan
tetap terjaga pada setiap posisi dan setiap jenis pergerakan kepala. Transmisi
implus berikutnya di sistem vestibular adalah nervus vestibulokokhlearis.
Ganglion vestibulare terletak di kanalis auditorius internus mengandung sel-sel
bipolar yang prosesus perifernya menerima input dari sel resptor di organ
vestibular, sedangkan proseus sentral membentuk nervus vestibularis. Nervus ini
bergabung dengan nervus kokhlearis, yang kemudian melewati kanalis auditorius
internus, menembus ruang subarakhnoid di cerebellopontine angle. Serabut-
serabutnya kemudian melanjutkan ke nukleus vestibularis, yang terletak di
dasar ventrikel keempat.
6
Serabut-serabut nervus vestibularis terpisah menjadi beberapa cabang
sebelum memasuki masing-masing kelompok sel di kompleks nuklear
vestibularis, tempat mereka membentuk jalur sinaptik dengan neuron berikutnya.
Anatomi hubungan aferen dan eferen dari nuklei vestibularis saat ini belum
diketahui secara pasti. Teori yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut:
•Sebagian serabut yang berasal dari nervus vestibularis menghantarkan
impuls langsung ke lobus flokulonodularis serebeli melalui
traktus juxtarestiformis, yang terletak di dekat pedunkulus serebelaris inferior,
kemudian lobus flokulonodularis yang berproyeksi ke nukleus fastigialis dan
melalui fasikulusunsinatus (Russell). Nukleus vestibularis kembali melalui
nervus vestibularis ke sel-sel rambut labirin supaya dapat mengeluarkan
efek regulasi inhibitorik utama. Selain itu, arkhi serebelum mengandung
serabut-serabut ordo kedua dari nukleus vestibularis superior, medialis, dan
inferior dan mengirimkan serabut eferen langsung kembali ke kompleks
nuklear vestibularis, serta ke neuron motorik medula spinalis, melalui jaras
serebeloretikularis dan retikulospinalis
•Traktus vestibulospinalis lateralis yang penting berasal dari nukleus
vestibularis lateralis (Deiters) dan berjalan turun pada sisi ipsilateral di dalam
fasikulus anterior kemotor neuron gamma dan alfa medula spinalis, turun
hingga ke level sakral. Impuls yang dibawa di traktus vestibularis lateralis
berfungsi untuk memfasilitasi refleks ekstensor dan mempertahankan tingkat
tonus otot seluruh tubuh yang diperlukan untuk keseimbangan.
•Serabut nukleus vestibularis medialis memasuki fasikulus longitudinalis
medialis bilateral dan berjalan turun di dalamnya ke sel-sel kornu anterius
medula spinalis servikalis, atau sebagai traktus vestibulospinalis medialis ke
medula spinalis torasika bagian atas. Serabut-serabut ini berjalan turun di
bagian anterior medula spinalis servikalis, di dekat fisura mediana anterior,
sebagai fasikulus sulkomarginalis, dan mendistribusikan dirinya ke sel-sel
kornu anterior setinggi servikal dan torakal bagian atas. Serabut ini
memengaruhi tonus otot leher sebagai respon terhadap posisi kepala dan
7
kemungkinan juga berpapartisipasi dalam refleks yang menjaga ekuilibrium
dengan gerakan lengan untuk keseimbangan.
•Semua nukleus vestibularis berproyeksi ke nuklei yang mempersarafi otot-
ototekstraokular melalui fasikulus longitudinalis medialis
Alur perjalanan informasi berkaitan dengan fungsi AKT melewati tahapan sebagai
berikut:
1. Tahap Transduksi
Rangsangan gerakan diubah reseptor (R) vestibuler (hair cell), R. visus (rod dan
cone cells) dan R proprioseptik, menjadi impuls saraf. Dari ketiga R tersebut,
vestibuler menyumbang informasi terbesar dibanding dua R lainnya, yaitu lebih
dari 55%. Mekanisme transduksi hari cells vestibulum berlangsung ketika
8
rangsangan gerakan membangkitkan gelombang pada endolimfe yang
mengandung ion K (kalium). Gelombang endolimfe akan menekuk rambut sel
(stereocilia) yang kemudian membuka dan menutup kanal ion, bila tekukan
stereocilia mengarah ke kinocilia (rambut sel terbesar) maka timbul influks ion K
dari endolimfe ke dalam hari cells yang selanjutnya akan mengembangkan
potensial aksi. Akibatnya kanal ion Ca (kalsium) akan terbuka dan timbul ion
masuk ke dalam hair cells. Influks ion Ca bersama potensial aksi merangsangn
pelepasan neurotransmitter ke celah sinaps untuk menghantarkan (transmisi)
impuls ke neuron berikutnya, yaitu saraf aferen vestibularis dan selanjutnya
menuju ke pusat AKT.
2. Tahap Transmisi
Impuls yang dikirim dari haircells dihantarkan oleh saraf aferen vestibularis
menuju ke otak.
3. Tahap Modulasi
Modulasi dilakukan oleh beberapa struktur di otak yang diduga pusat AKT, antara
lain:
-Inti vestibularis
-Vestibulo-serebelum
-Inti okulomotorius
-Hipothalamus
-Formasio retikularis
-Korteks prefrontal dan limbik
Struktur tersebut mengolah informasi yang masuk dan memberi respons
yang sesuai. Manakala rangsangan yang masuk sifatnya berbahaya maka akan
disensitisasi. Sebaliknya, bila bersifat biasa saja maka responsnya adalah
habituasi.
4. Tahap Persepsi
9
2.2 Fisiologi
2.3 Definisi
2.5.1 Definisi
11
tidak menghasilkan gejala berat karena refleks vestibulookular terus menerus
dimonitor dan diatur untuk mempertahankan akurasi keseimbangan pergerakan
mata dalam merespon pergerakan kepala. Jika perkembangan lesi cukup lambat,
seperti pada neuroma akustik gejala vestibular bisa sangat ringan sampai tidak
terlihat.7
2.5.3 Diagnosis
12
2.5.4 Penatalaksanaan
Etiologi
Penyebab pasti penyakit Meniere belum diketahui. Penambahan volume
endolimfa diperkirakan oleh adanya gangguan biokimia cairan endolimfa dan
gangguan klinik pada membrane labirin.3
Patofisiologi
Gejala klinis penyakit Meniere disebakan oleh adanya hidrops
endolimfe pada koklea dan vestibulum. Hidrops yang terjadi mendadak dan
hilang timbul diduga disebabkan oleh meningkatnya tekanan hidrostatik pada
ujung arteri, berkurangnya tekanan osmotik di dalam kapiler, meningkatnya
tekanan osmotik ruang ekstrakapiler, jalan keluar sakus endolimfatikus tersumbat,
sehingga terjadi penimbunan cairan endolimfa.3
Pada pemeriksaan histopatologi tulang temporal, ditemukan pelebaran dan
perubahan morfologi pada membran Reissner, terdapat penonjolan ke dalam skala
vestibuli, terutama di daerah apeks koklea helikotrema. Sakulus juga mengalami
pelebaran yang dapat menekan utrikulus. Pada awalnya pelebaran skala media
dimulai dari daerah apeks koklea, kemudian dapat meluas mengenai bagian tengah
13
dan basal koklea. Hal ini yang dapat menjelaskan terjadinya tuli saraf nada rendah
pada penyakit meniere.3
Gejala klinik
Terdapat trias atau sindrom meniere yaitu vertigo, tinnitus, dan tuli
sensorineural terutama nada rendah. Serangan pertama sangat berat, yaitu vertigo
disertai muntah. Setiap kali saat berdiri akan timbul rasa berputar, mual dan
muntah. Hal ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, meskipun
keadaannya berangsur baik. Penyakit ini bisa sembuh tanpa obat dan gejala
penyakit bisa hilang sama sekali. Pada serangan kedua kalinya dan selanjutnya
dirasakan lebih ringan, tidak seperti serangan yang pertama kalinya. Pada penyakit
meniere vertigonya periodic yang makin mereda pada serangan-serangan
berikutnya.3
Pada setiap serangan biasanya disertai dengan gangguan pendengaran dan
dalam keadaan tidak ada serangan, pendengaran dirasakan baik kembali. Gejala
lain yang menyertai serangan adalah tinitus, kadang-kadang menetap, meskipun di
luar serangan. Gejala yang lain menjadi tanda khusus adalah perasaan penuh di
dalam telinga.3
Dari keluhan vertigonya kita sudah dapat membedakan dengan penyakit
yang lainnya yang juga mempunyai gejala vertigo, seperti penyakit meniere,
tumor N. VIII, sklerosis multiple, neuritis vestibuler atau vertigo posisi
paroksismal jinak (VPPJ).3 Pada tumor nervus VIII serangan vertigo periodik,
mula-mula lemah dan makin lama makin kuat. Pada sklerosis multipel, vertigo
periodik, tetapi intensitas serangan sama pada tiap serangan. Pada neuritis
vestibuler serangan vertigo tidak periodik dan makin lama makin menghilang.
Penyakit ini diduga disebabkan oleh virus. Biasanya penyakit ini timbul setelah
menderita influenza. Vertigo hanya didapatkan pada permulaan penyakit. Penyakit
ini akan sembuh total bila tidak disertai dengan komplikasi. Vertigo posisi
paroksismal jinak, keluhan vertigo datang secara tiba-tiba terutama pada
perubahan posisi kepala dan keluhan vertigonya terasa sangat berat, kadang-
kadang disertai rasa mual sampai muntah, berlangsung tidak lama.3
14
Diagnosis Penyakit Meniere
Pengobatan
Pada saat datang biasanya diberikan obat-obat simtomatik, dan bila
diperlukan dapat diberikan anti muntah. Bila diagnosis telah ditemukan,
pengobatan yang paling baik adalah adalah sesuai dengan penyebabnya. Khusus
untuk penyakit Meniere, diberikan obat-obat vasodilator perifer untuk
mengurangi tekanan hidrops endolimfa. Dapat pula tekanan endolimfa ini
disalurkan ke tempat lain dengan jalan operasi, yaitu membuat “shunt”. Obat-obat
antiiskemia, dapat pula diberikan sebagai obat alternatif dan juga diberikan obat
neurotonik untuk menguatkan sarafnya.3
15
Vertigo posisi paroksismal jinak atau disebut juga Benign Paroxysmal Potitional
Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang sering dijumpai.
Gejala yang dikeluhkan adalah vertigo yang datang tiba-tiba pada perubahan
posisi kepala, beberapa pasien dapat mengatakan dengan tepat posisi tertentu yang
menimbulkan keluhan vertigonya. Biasanya vertigo dirasakan sangat berat,
berlangsung dingkat hanya beberapa detik saja walaupun penderita merasakannya
lebih lama. Keluhan dapat disertai mual bahkan sampai muntah, sehingga
penderita merasa khawatir akan timbul serangan lagi, hal ini yang menyebebkan
penderita sangat hati-hati dalam posisi tidurnya. Vertigo jenis ini sering
berulang kadang-kadang dapat sembuh dengan sendirinya.3
Etiologi
Abnormalitas dari organ-organ vestibuler, visual, ataupun sistem
propioseptif. Labirin (organ untuk ekuilibrium) terdiri atas 3 kanalis
semisirkularis, yang berhubungan dengan rangsangan akselerasi angular, serta
utrikulus dan sakulus, yang berkaitan dengan rangsangan gravitasi dan akselerasi
vertikal. Rangsangan berjalan melalui nervus vestibularis menuju nukleus
vestibularis di batang otak, lalu menuju fasikulus medialis (bagian kranial
muskulus okulomotorius), kemudian meninggalkan traktus vestibulospinalis
(rangsangan eksitasi terhadap otot-otot ekstensor kepala, ekstremitas, dan
punggung untuk mempertahankan posisi tegak tubuh). Selanjutnya, serebelum
menerima impuls aferen dan berfungsi sebagai pusat untuk integrasi antara
respons okulovestibuler dan postur tubuh.
16
dibedakan menjadi vertigo perifer dan vertigo sentral. Penggunaan istilah perifer
menunjukkan bahwa kelainan atau gangguan ini dapat terjadi pada end-organ
(utrikulus maupun kanalis semisirkularis) maupun saraf perifer.
Lesi vertigo sentral dapat terjadi pada daerah pons, medulla, maupun
serebelum. Kasus vertigo jenis ini hanya sekitar 20%-25% dari seluruh kasus
vertigo, tetapi gejala gangguan keseimbangan (disekulibrium) dapat terjadi pada
50% kasus vertigo. Penyebab vertigo sentral ini pun cukup bervariasi, di antaranya
iskemia atau infark batang otak (penyebab terbanyak), proses demielinisasi
(misalnya, pada sklerosis multipel, demielinisasi pascainfeksi), tumor pada daerah
serebelopontin, neuropati kranial, tumor daerah batang otak, atau sebab-sebab
lain.
Beberapa penyakit ataupun gangguan sistemik dapat juga menimbulkan
gejala vertigo. Begitu pula dengan penggunaan obat, seperti antikonvulsan,
antihipertensi, alkohol, analgesik, dan tranquilizer. Selain itu, vertigo juga dapat
timbul pada gangguan kardiovaskuler (hipotensi, presinkop kardiak maupun non-
kardiak), penyakit infeksi, penyakit endokrin (DM, hipotiroidisme), vaskulitis,
serta penyakit sistemik lainnya, seperti anemia, polisitemia, dan sarkoidosis.
Neurotransmiter yang turut berkontribusi dalam patofisiologi vertigo, baik
perifer maupun sentral, di antaranya adalah neurotransmiter kolinergik,
monoaminergik, glutaminergik, dan histamin. Beberapa obat antivertigo bekerja
dengan memanipulasi neurotransmiter-neurotransmiter ini, sehingga gejala-gejala
vertigo dapat ditekan. Glutamat merupakan neurotransmiter eksitatorik utama
dalam serabut saraf vestibuler. Glutamat ini memengaruhi kompensasi vestibuler
melalui reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat). Reseptor asetilkolin muskarinik
banyak ditemukan di daerah pons dan medulla, dan akan menimbulkan keluhan
vertigo dengan memengaruhi reseptor muskarinik tipe M2, sedangkan
neurotransmiter histamin banyak ditemukan secara merata di dalam struktur
vestibuler bagian sentral, berlokasi di pre dan postsinaps pada sel-sel vestibuler.
Aspek Klinis
17
Riwayat kesehatan merupakan data awal yang paling penting untuk
menilai keluhan pusing ataupun vertigo. Adanya aura dan gejala-gejala neurologis
perlu diperhatikan, misalnya apakah ada gangguan (hilangnya) pendengaran,
perasaan penuh, perasaan tertekan, ataupun berdenging di dalam telinga. Jika
terdapat keluhan tinitus, apakah hal tersebut terjadi terus-menerus, intermiten, atau
pulsatif. Apakah ada gejala-gejala gangguan batang otak atau kortikal (misalnya,
nyeri kepala, gangguan visual, kejang, hilang kesadaran).
VPPJ merupakan penyakit degenerative yang idiopatik yang seing
ditemukan, kebanyakan diderita pada usia dewasa muda dan usia lanjut. Trauma
kepala merupakan penyebab kedua terbanyak pada VPPJ bilateral. Penyebab lain
yang lebih jarang adalah labirintitis virus, neuritis vestibuler, pasca stapedectomi,
fistula perilimfa dan penyakit meniere. VPPJ merupakan penyakit pada semua
usia dewasa. Pada anak belum pernah dilaporkan. Diagnosis VPPJ dapat
dilakukan dengan melakukan tindakan provolasi dan menilai timbulnya nistagmus
pada posisi tersebut. Kebanyakan kasus VPPJ saat ini disebabkan oleh
kanalitiasis bukan kupolitiasis.3
Diagnosis VPPJ pada nakalis posterior dan anterior dapat ditegakkan
dengan cara memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan
respon vertigo dari kanalis semi sirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat
memilih perasat dix-hallpike atau side lying. Perasat dix-hallpike lebih sering
digunakan karena posisi kepala sangat sempurna untuk canalith
repositioning treatment.3
18
nistagmus mempunyai komponen torsional yang prominen, yang tidak dapat
terdeteksi oleh ENG.3
Perasat dix-hallpike pada garis besarnya terdiri dari dua gerakan. Perasat
dix- hallpike kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior kanan dan
perasat dix-hallpike kiri pada bidang posterior kiri untuk melakukan perasat dix-
hallpike kanan, pasien duduk tegak pada meja pemeriksaan dengan kepala
menoleh 45o ke kanan. Dengan cepat pasien dibaringkan dengan kepala tetap
miring 45o ke kanan sampai kepala pasien menggantung 20-30 o pada ujung meja
pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai respon abnormal timbul. Penilaian respon
pada monitor dilakukan selama ± 1 menit atau sampai respon menghilang. Setelah
tindakan pemeriksaan ini dapat langsung dilanjutkan dengan canalith
repositioning treatment (CRT). Bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila
perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukan
kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan parasat dix-hallpike kiri dengan kepala
pasien dihadapkan 45o ke kiri, tunggu maksimal 40 detik sampai respon abnormal
hilang. Bila ditemukan adanya respon abnormal, dapat dilanjutkan dengan CRT,
bila tidak ditemukan respin abnormal atau bila tidak dilanjutkan dengan
tindakan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali.3
Perasat sidelying juga terdiri dari 2 gerakan yaitu perasat sidelying kanan
yang menempatkan kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri/kanalis
posterior kanan pada bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior
pada posisi paling bawah dan perasat sidelying kiri yang menempatkan kepala
pada posisi di mana kanalis anterior kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang
tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah.
Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi meja,
kepala ditegakkan ke sisi kanan, tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.
Pasien kembali ke posisi duduk untuk dilakukan perasat sidelying kiri, pasien
secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan 45 o ke kanan.
Tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.3
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus. Pada
19
pasien VPPJ setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbulnya lambat, ± 40
detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari satu menit bila sebabnya
kanalitiasis, pada kupulolitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari satu menit,
biasanya serangna vertigo berat dan timbul bersama-sama dengan nistagmus.3
Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan
mencatat arah fase cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap
lurus ke depan.
Fase cepat ke atas, gerputar ke kanan menunjukkan VPPJ pada kanalis
posterior kanan.
Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan VPPJ pada kanalis
posterior kiri.
Fase cepat ke gawah, gerputar ke kanan menunjukkan VPPJ pada
kanalis anterior kanan.
Fase capat ke bawah, berputar ke kiri menunjukkan VPPJ pada kanalis
anterior kiri.3
Respon abnormal diprovokasi oleh perasat dix-hallpike/sidelying pada
bidang yang sesuai dengan kanal yang terlibat. Perlu diperhatikan, bila respon
nistagmus sangat kuat, dapat diikuti oleh nistagmus sekunder dengan arah fase
cepat berlawanan dengan nistagmus pertama. Nistagmus sekunder terjadi oleh
karena proses adaptasi system vestibuler sentral.3
Perlu dicermati bila pasien kembali ke posisi duduk setelah mengikuti
pemeriksaan dengan hasil respon positif, pada umumnya pasien mendapat
serangan nistagmus dan vertigo kembali. Respon tersebut menyerupai respon yang
pertama namun lebih lemah dan nistagmus fase capat timbul dengan arah yang
berlawanan, hal tersebut disebabkan oleh gerakan kanalith ke kupula.3
Pada umumnya VPPJ tumbul pada kanalis posterior dari hasil
penelitian herdman terhadap 77 pasien VPPJ mendapatkan 49 pasien (64%)
dengan kelainan pada kanalis posterior, 9 pasien (12%) pada kanalis anterior dan
18 pasien (23%) tidak dapat ditentukan jenis kanal mana yang terlibat, serta
didapatkan satu pasien dengan keterlibatan pada kanalis horizontal. Kadang-
kadang perasat dix-hallpike/sidelying menimbulkan nistagmus horizontal.
20
Nistagmus ini bias terjadi karena nistagmus spontan, nistagmus posisi atau VPPJ
pada kanalis horizontal, pemeriksaan harus dilanjutkan dengan pemeriksaan roll
test.3
Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan
fungsi vestibuler (vestibulosuppressan), reposisi kanalit dan pembedahan. Dasar
pemilihan tata laksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami
resolusi sendiri dalam waktu mingguan atau bulanan. Oleh karena itu sebagian
ahli hanya menyarankan observasi. Akan tetapi selama waktu observasi tersebut
pasien tetap menderita vertigo. Akibatnya pasien dihadapkan pada kemungkinan
terjatuh bila vertigo tercetus pada saat ia sedang beraktivitas.3 Obat-obatan
penekan fungsi vestibuler pada umumnya tidak menghilangkan vertigo. Istilah
“vestibulosuppresant” digunakan untuk obat-obatan yang dapat mengurangi
timbulnya nistagmus akibat ketidakseimbangan sistem vestibuler. Pada sebagian
pasien pemberian obat-obat ini memang mengurangi sensasi vertigo, namun
tidak menyelesaian masalahnya. Obat-obat ini hanya menutupi gejala vertigo.
Pemberian obat-obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa rasa
mengantuk. Obat-obat yang diberikan diantaranya diazepam dan amitriptilin.
Betahistin sering digunakan dalam terapi vertigo. Betahistin adalah golongan
antihistamin yang diduga meningkatkan sirkulasi darah ditelinga dalam dan
mempengaruhi fungsi vestibuler melalui reseptor H3.3
Tiga macam perasat dilakukan umtuk menanggulangi BPPV adalah CRT
(Canalith repositioning Treatment) , perasat liberatory dan latihan Brandt-Daroff.
Reposisi kanalit dikemukakan oleh Epley. Prosedur CRT merupakan prosedur
sederhana dan tidak invasif. Dengan terapi ini diharapkan BPPV dapat
disembuhkan setelah pasien menjalani 1-2 sesi terapi. CRT sebaiknya dilakukan
setelah perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon abnormal. Pemeriksa dapat
mengidentifikasi adanya kanalithiasis pada kanal anterior atau kanal posterior
dari telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk namun kepala
pasien dirotasikan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis
semisirkularis menuju ke utrikulus, tempat dimana kanalith tidak lagi
menimbulka gejala. Bila kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus
21
dilakukan tindakan CRT kanan.perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang
menimbulkan respon abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut
selama 1-2 menit, kemudian kepala direndahkan dan diputar secara perlahan
kekiri dan dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien
dimiringkan dengan kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap kekiri
dengan sudut 450 sehingga kepala menghadap kebawah melihat lantai . akhirnya
pasien kembali keposisi duduk dengan menghadap kedepan. Setelah terapi ini
pasien dilengkapi dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak merunduk,
berbaring, membungkukkan badan selama satu hari. Pasien harus tidur pada posisi
duduk dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari.3
22
Pemeriksaan “tes fistula‟ dapat membantu memperjelas gejala klinis. Tes ini
mudah dilakukan, baik dengan tekanan dari balon karet atau dengan menekan
tragus untuk memberikan tekanan positif atau negatif pada telinga. Tes fistula
positif jika terjadi nistagmus dan vertigo. Hal ini juga menunjukkan bahwa labirin
masih hidup. Apabila fistulanya tertutup jaringan granulasi atau labirinnya sudah
mati tes fistula akan negatif.8
Pemeriksaan CT Scan temporal adalah salah satu pemeriksaan penunjang
yang dapat memperlihatkan fistula pada labirin serta menunjukkan gambaran
kolesteatoma yang mengerosi daerah otic capsul. Adanya kolesteatoma dan
dugaan fistula labirin merupakan indikasi untuk segera dilakukan tindakan
operasi, untuk menghidarkan komplikasi lebih lanjut seperti vertigo dan tuli saraf.8
Pengobatan definitif fistula perilymphatic (PLF) adalah eksplorasi bedah
dengan grafting fistula. Grafting dilakukan dengan membuang mukosa bulat dan
luas jendela oval. Cangkok jaringan autogenous ditempatkan langsung di atas
kebocoran. Jika tidak ada kebocoran aktual diidentifikasi, kaki stapes dan jendela
bulat dicangkokkan profilaktik. Jaringan adiposa awalnya digunakan, tetapi
penggunaannya menghasilkan tingkat yang sangat tinggi dari fistula berulang. Jadi
yang digunakan sekarang adalah fasia atau perichondrium, ini dilaporkan
telah menurunkan kejadian fistula berulang.8
Beberapa komplikasi hasil dari perbaikan perilymphatic fistula adalah
perforasi membran timpani yang terjadi pada 1-2% pasien. Kehilangan
pendengaran konduktif pascaoperasi bisa bertahan lama setelah oval window
grafting dibandingkan dengan tympanotomy eksplorasi sederhana. Sekitar 5% dari
pasien masih memiliki persisten ringan (5-10 dB) kehilangan pendengaran pasca
operasi 2-3 bulan setelah operasi. Namun, pada kebanyakan pasien, terjadi dalam
waktu 6 bulan. Ini dapat terjadi terutama pada individu dengan displasia Mondini
atau cacat morfologi lainnya. Telinga ini tidak stabil, dan manipulasi bedah dapat
mengakibatkan kerusakan pendengaran. Sebaliknya, gangguan pendengaran
tambahan hampir pasti dalam kasus tersebut, dan bedah intervensi dengan bulat
dan oval window grafting sering adalah alternatif yang paling berisiko. Perubahan
23
rasa sebagai akibat dari cedera chorda tympani bisa juga terjadi. Hal ini biasanya
terjadi dalam beberapa minggu hingga beberapa bulan.8
2.6.4 Labirintitis
Labirintitis merupakan suatu proses peradangan yang melibatkan
mekanisme telinga dalam. Gejala klinis kondisi ini berupa gangguan
keseimbangan dan pendengaran dalam berbagai tingkatan dan dapat
mempengaruhi satu atau kedua telinga. Bakteri atau virus dapat menyebabkan
radang akut labirin baik melalui infeksi lokal atau sistemik. Proses autoimun juga
dapat menyebabkan labirintitis. Vaskular iskemia dapat mengakibatkan disfungsi
labirin akut yang menyerupai labirintitis.9
Meskipun data epidemiologi definitif sulit didapatkan, labirintitis
virus adalah bentuk yang paling umum diamati dalam praktek klinis. Prevalensi
SNHL (sensoryneural hearing loss) diperkirakan pada 1 kasus dalam 10.000
orang, dengan sampai 40% dari pasien ini mengeluh vertigo atau disequilibrium.
Sebuah studi melaporkan bahwa 37 dari 240 pasien dengan vertigo posisional
mengalami labirintitis virus. Gejala pendengaran dan keseimbangan ditemukan
sekitar 25% dari pasien dengan oticus herpes, di samping terdapat pula
kelumpuhan wajah dan ruam vesikuler yang menjadi ciri penyakit. Labirintitis
bakteri jarang terjadi setelah pemberian antibiotik, meskipun meningitis
bakteri tetap menjadi penyebab signifikan gangguan pendengaran. Gejala
pendengaran, gejala vestibular, atau keduanya mungkin ditemukan sebanyak
20% pada anak dengan meningitis. Kematian yang berhubungan dengan
labyrinthitis tidak pernah dilaporkan kecuali dalam kasus meningitis atau sepsis.9
Banyak bukti epidemiologi mengimplikasikan sejumlah virus sebagai
penyebab peradangan pada labirin. Labirintitis viral sering didahului oleh infeksi
saluran pernapasan atas. Penyebab labirintitis bakteri adalah bakteri yang sama
yang bertanggung jawab untuk meningitis dan otitis. Kuman yang paling sering
menjadi penyebab adalah kuman gram negatif yang biasanya juga
ditemukan pada kolesteatoma.9
24
Labirintitis viral biasanya ditemukan pada orang dewasa berusia 30-60
tahun dan jarang diamati pada anak-anak. Meningogenik labirintitis supuratif
biasanya diamati pada anak-anak usia kurang dari 2 tahun, yang merupakan
populasi yang paling berisiko untuk meningitis. Otogenic labirintitis supuratif
dapat diamati pada orang dari segala usia berhubungan dengan kolesteatoma atau
sebagai komplikasi otitis media akut yang tidak diobati. Labirintitis serosa lebih
sering terjadi pada kelompok usia anak, di mana sebagian besar merupakan
kelanjutan dari otitis media akut maupun kronis.9
Riwayat kesehatan menyeluruh, termasuk gejala, riwayat medis masa lalu,
dan obat sangat penting untuk mendiagnosa labirintitis sebagai penyebab vertigo
pasien atau gangguan pendengaran. Beberapa gejala yang sering ditemukan pada
pasien labirintitis, yaitu vertigo (waktu dan durasi, asosiasi dengan gerakan,
posisi kepala, dan karakteristik lain), gangguan pendengaran (karakteristik
unilateral atau bilateral, ringan atau berat, durasi, dan lainnya), tinitus, otorrhea,
otalgia, mual atau muntah, demam, kelumpuhan asimetris pada wajah, leher
nyeri / kaku, gejala infeksi saluran nafas atas (sebelumnya atau bersamaan),
perubahan visual. Pemeriksaan fisik lengkap dan pemeriksaan kepala leher dengan
penekanan pada otologik, mata, dan pemeriksaan saraf kranial juga penting untuk
menegakkan diagnosis. Pemeriksaan neurologis singkat juga diperlukan. Perlu
dicari tanda-tanda meningeal jika dicurigai terdapat meningitis.9
Pemeriksaan otologik:
Pemeriksaan mata: Periksa rentang gerak mata dan respon pupil. Melakukan
pemeriksaan funduskopi untuk menilai papilledema. Amati nystagmus (spontan,
tatapan-menimbulkan, dan posisi). Lakukan Dix Hallpike menguji apakah
25
pasien dapat menerimanya. Jika perubahan visual yang disarankan, berkonsultasi
dengan dokter mata. Pemeriksaan neurologis, melakukan pemeriksaan saraf
kranial lengkap dan menilai keseimbangan menggunakan uji Romberg.9
27
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Sura, DJ, Newell, S. 2010. Vertigo- Diagnosis and management in primary care,
pg:351
3. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher Edisi 6. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
4. Boies, Adams, Higler. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT Edisi 6. EGC.
10. Higler, Adams Boies. “Buku Ajar Penyakit THT”. 1997. Jakarta: EGC
29