Pemberian Gelar La Ode Oleh Perangkat Kesultanan Buton: Klarifikasi Pro Dan Kontra

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

Klarifikasi Pro dan Kontra

Pemberian gelar La Ode

Oleh perangkat Kesultanan Buton

Kepada Pejabat Gubernur Sultra, Bapak H. TEGUH SETIABUDI

Oleh:

Prof. Dr. La Niampe, M.Hum.

- Pakar Naskah Kuno Kesultanan Buton

- Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo

Dalam sejarah Nusantara, kerajaan Buton tercatat sebagai salah satu

kerajaan Melayu dari 70 buah kerajaan Melayu yang tersebar di seluruh

kepulauan Nusantara serta tercatat sebagai salah satu kerajaan Melayu dari

empat kerajaan Melayu yang terletak di wilayah Kepulauan Sulawesi (Buton,

Gowa, Luwu dan Bone). Wilayah kerajaan Buton terletak di wilayah jazirah

Tenggara pulau Sulawesi (Zuid Oost Celebes) atau dikenal dengan nama

Kepulauan Buton.

Gagasan awal mengenai pendirian kerajaan Buton di wilayah Kepulauan

Buton pertama kali dirintis oleh empat orang tokoh dari bangsa Melayu yang

dikenal dengan “Mia Patamiana” (si empat orang) yaitu Sipajonga, Simalui,

Sijawangkati dan Sitamanajo. Dua orang keturunan Sipajonga dari bangsa


Melayu yaitu Betoambari (Mentri Peropa I) dan Sangariarana (Mentri Baluwu

I) dalam sejarah Buton dikenal sebagai tokoh pendiri kerajaan Buton. Kedua

tokoh inilah yang mengangkat raja Buton I bernama Wa Kaakaa. Dalam kitab

Silsilah Bangsawan Buton diriwayatkan bahwa Wa Kaakaa adalah putri raja

Manyuba dari kerajaan Majapahit di Jawa. Di Buton, Wa Kaakaa dikawini

oleh Sibatara yang juga berasal dari kerajaan Majapahit. Perkawinan Wa

Kaakaa dengan Sibatara dikaruniai anak tujuh orang, salah satu diantaranya

bernama Bulawambona. Dialah yang menggantikan kedudukan Wa Kaakaa

(raja Buton I) menjadi raja Buton II. Bulawambona dikawini oleh La Baluwu

(putra Sangariarana, mentri Baluwu I). Perkawinan mereka dikaruniai seorang

putra bernama Bataraguru (Raja Buton III).

Pada masa pemerintahan Bataraguru (Raja Buton III) undang-undang

adat yang diberlakukan di kerajaan Buton adalah undang-undang adat yang

berasal dari kerajaan Majapahit. Hal ini sebagaimana tersurat dalam “Kitab

Silsilah Bangsawan Buton” sebagai berikut:

“Maka berapa lama jadi raja Bataraguru itu, maka hendaklah ia

mencari asalnya ke negeri Majapayi. Setelah bertemulah dengan segala

kaumnya, kemudian Bataraguru pun hendaklah kembali ke negeri

Buton. Maka raja Majapayi pun darinya empat istiadat akan

Bataraguru itu, karena anak mudanya raja Majapayi dengan

Bulawambona itu sepupu. Adapun istiadat itu; suatu, isi laut; kedua, isi

sungai. Adapun isi laut itu seperti ikan besar atawa tuwa karang atawa

orang yang rusak pecah perahunya di karang. Dan adapun isi sungai
itu seperti suminanga dan seperti budak orang dagang yang lari di

sungai itu. Jadilah empat istiadat kepada tangan Bataraguru itu.”

Menurut peraturan hukum adat kerajaan Buton keturunan Sipajongan

dari bangsa Melayu yaitu Betoambari dan Sangariarana ditetapkan sebagai

pangkal keturunan bangsawan walaka yaitu golongan ahli adat yang ditandai

dengan penggunaan atribut “La” bagi kaum laki-laki dan atribut “Wa” bagi

kaum perempuan. Adapun keturunan Wa Kaakaa (raja Buton I) putri raja

Manyuba dari kerajaan Majapahit di Jawa ditetapkan sebagai pangkal

keturunan bangsawan kaomu yaitu golongan ahli pemerintahan. Bangsawan

golongan ini ditandai dengan penggunaan atribut Ode di depan atribut La atau

Wa sehingga menjadi La Ode untuk kaum laki-laki dan Wa Ode untuk kaum

perempuan. Perlu diketahui bahwa pada masa lampau gelar Ode menjadi La

Ode diberikan kepada seseorang yang telah diangkat dalam jabatan

pemerintahan. Gelar La Ode tidak hanya diberikan kepada orang yang ahli

atau menjabat di bidang pemerintahan akan tetapi diberikan pula kepada

seseorang yang memiliki kelebihan di mana kelebihannya itu digunakan untuk

memperbaiki negerinya atau yang berjasa kepada negerinya. Misalnya,

seseorang yang memiliki keahlian di bidang pertukangan dan keahliannya itu

digunakan untuk pembangunan infrastruktur dalam negerinya; seseorang yang

pandai bicara dan kepandaiannya itu digunakan untuk memenangkan diplomasi

negerinya; seorang yang memiliki harta dan hartanya itu digunakan untuk

kemaslahatan orang banyak; seorang yang pandai ilmu bela diri dan

kepandaiannya itu digunakan untuk menghalau musuh-musuh negerinya; dan


seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan dan ilmunya itu digunakan untuk

mengajari anak-anak negerinya. Intinya orang yang diangkat sebagai La Ode

itu adalah orang yang baik fiilnya, baik kata-katanya, baik perbuatannya, baik

hatinya, serta mampu menjaga dirinya yang tujuh yaitu menjaga hidupnya,

menjaga kehendaknya, menjaga kekuasaannya, menjaga ilmunya, menjaga

pendengarannya, menjaga penglihatannya dan menjaga perkataannya

(amanat Tuhan yang tujuh).

Pada masa pemerintahan sultan Buton IV bernama La Elangi gelar

Dayanu Ikhsanuddin (1597-1633) adat Jawa atau yang disebut dengan sara

Jawa ditetapkan sebagai perturan adat sultan Buton yang disebut Undang-

Undang Dua Belas (sara sapulu rua anguna).

Adapun jumlah kelengkapan adat sultan yang berjumlah dua belas itu

adalah sebagaimana terungkap dalam teks Sarana Wolio Muhammad Idrus

Kaimuddin di bawah ini:

Maka yoyangu-yanguna sara yitungguna laki Woliyo yitu sapulu ruya

angu kaβarina; βâ-βâna, Yosara Jawa yitu patângu kaβarina; βâ-βâna,

yopayu βiya; ruyânguyaka, yoparamaDani, taluyanguyaka, yogambi

yisoda, patânguyaka, yosomba. Ruyânguyaka, yosara Pancana. Yosara

pancana yitu patângu kaβarina; βâ-βâna, yoβante; ruyânguyaka,

yokabutu; taluyanguyaka, yopomuya; patânguyaka yokalonga,

Taluyanguyakana, yosara Woliyo. Yosarana Woliyo yitu patângu

kaβarina; βâ-βâna, yoβeloβaruga umane; ruyânguyaka, yoβeloβaruga


βawine; taluyanguyaka, yosusuya Woliyo; patânguyaka, yosusuya

papara.

Yoyantona sara Jawa yitu patângu; Yoβangka mapasa, yorampe,

yoyambara, yoyikane yogena. Yoyantona sara Pancana yitu pâtangu

duka; yopopene, yosuruna karo, yotali-tali, yokarambayu. Yoyantona

sara Woliyo yitu patânguyaka; yisalâka, yiβatuyâka, yimateyâka.

Terjemahan:

Adapun tiap-tiap sara yang dijaga sultan itu dua belas banyaknya;

Pertama-tama, Sara Jawa.Sara Jawa itu empat banyaknya; Pertama-

tama, paying kain; Kedua, permadani; Ketiga, gambit isoda; Keempat,

sembah. Kedua, sara Pancana. Sara Pancana itu empat banyaknya;

Pertama-tama, βante; Kedua, kabutu; Ketiga, pomua; Keempat,

kalonga. Yang ketiganya, Sara Wolio. Sara Wolio itu empat banyaknya;

Pertama-tama, βeloβaruga laki-laki; Kedua, βeloβaruga perempuan;

Ketiga, susua Wolio; Keempat, susua papara. Isi Sara Jawa itu empat

banyaknya; Perahu yang pecah. Rampe, ambara, ikan besar. Isi Sara

Pancana itu empat juga; popenesuruna karo, tali-tali, kerbau. Adapun

isi Sara Wolio itu empat; yang menyebabkan bersalah, yang

menyebabkan berutang, yang menyebabkan budak, yang menyebabkan

kematian.

Kerajaan Buton dan Kerajaan Muna adalah dua kerajaan bersaudara, tidak

saja memiliki kedekatan geografi dan kultural tetapi juga memiliki pertalian

silsilah saudara. Mereka menggunakan gelar kebangsawanan yang serupa


yaitu sama-sama “La Ode” akan tetapi pada hakekatnya memiliki acuan yang

berbeda. Gelar La Ode di Muna berpangkal dari keturunan para sugi yang bila

dirunut lebih jauh memiliki hubungan dengan Sawerigading raja dari Luwu,

sedangkan gelar La Ode di Buton berpangkal dari raja Wa Kaakaa (raja Buton

I) yaitu putri raja Manyuba dari Kerajaan Majapahit di Jawa.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pada masa

lampau hubungan kerajaan Buton dengan kerajaan Majapahit di Jawa adalah

APOROMU YINDA POSAANGU, APOGAA YINDAA KOOLATA artinya:

“Berkumpul tidak bersatu, berpisah tidak ada antara”. Dalam hal ini maka

pemberian gelar La Ode oleh perangkat kesultanan Buton kepada Pejabat

Gubernur Sulawesi Tenggara, Bapak H. Teguh Setiabudi adalah sudah sesuai

menurut ketentuan hukum adat Buton. Pemberian gelar seperti ini bukan hal

baru dalam pemerintahan kesultanan Buton, telah dimulai sejak abad ke-17

yaitu pernah diberikan kepada putra terbaik dari kerajaan Patani Thailand,

bernama Abdul Rahman Khuduri wan Ali Fathani yaitu diangkat menjadi

pejabat Mentri dalam Kesultanan Buton.

Penulis,

Prof. Dr. La Niampe, M.Hum

You might also like