Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang tidak hanya menjadi


masalah di negara maju tetapi juga di negara berkembang. Menurut data laporan
dari Global Initiatif for Asthma (GINA) pada tahun 2012 dinyatakan bahwa
perkiraan jumlah penderita asma seluruh dunia adalah tiga ratus juta
orang, dengan jumlah kematian yang terus meningkat hingga 180.000 orang
per tahun.1 Data World Health Organization (WHO) juga menunjukkan data
yang serupa bahwa prevalensi asma terus meningkat dalam tiga puluh tahun
terakhir terutama di negara maju. Hampir separuh dari seluruh pasien asma
pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat
darurat setiap tahunnya.2
Penyakit asma masuk dalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan
kematian di Indonesia. Pada tahun 2005 Survei Kesehatan Rumah Tangga
mencatat 225.000 orang meninggal karena asma. Menurut hasil Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007, penyakit asma ditemukan sebesar
4% dari 222.000.000 total populasi nasional. Sementara itu, menurut
RISKESDAS tahun 2013, asma merupakan penyakit tidak menular (PTM) nomor
satu di Indonesia.3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Asma ditandai dengan riwayat gejala saluran pernapasan seperti
wheezing, dispneu, dada terasa berat, dan batuk yang bervariasi diantara waktu
dan intensitas, berasa dengan hambatan jalan nafas ekspirasi yang bervariasi.
Variasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor misalnya olahraga, papatan
alergen atau iritan, perubahan cuaca, atau infeksi viral pernapasan.4
Gejala terbatasnya jalan nafas dapat sembuh secara spontan dengan
pengobatan dan dapat menghilang selama beberapa minggu atau bulan. Di sisi
lain, pasien juga dapat mengalami beberapa periode serangan (eksaserbasi) asma
yang dapat mengancam nyawa dan dapat memberikan beban yang signifikan bagi
pasien dan komunitas. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperesponsivitas jalan
napas karena stimulus langsung dan tidak langsung, dan dengan inflamasi jalan
nafas kronik. Karakteristik tersebut biasanya selalu ada, walapun tidak ada gejala
dan fungsi paru normal, dan akan membaik dengan terapi.4
B. Klasifikasi
Asma adalah penyakit yang heterogen dengan berbagai proses penyebab.
Karakteristik demografis, klinis atau patofisiologis disebut sebagai fenotipe asma.
Berikut ini adalah beberapa fenotipe asma :5,6,7
1. Asma alergika
Asma ini adalah asma yang paling mudah dikenali, yang biasanya muncul
pada anak-anak dengan riwayat alergi sebelumnya misalnya rhinitis alergi,
eczema atau alergi makanan. Pemeriksaan sputum pada pasien tersebut sebelum
terapi kadang menemukan inflamasi jalan nafas eosinofilik. Pasien dengan asma
tipe ini biasanya berespon baik terhadap terapi kortikosteroid inhalasi.
2. Asma non-alergika
Asma ini terjadi pada sebagian orang dewasa dengan ciri sputumnya dapat
ditemui neutrophil, eosinophil, atau hanya mengandung beberapa sel inflamasi.
Asma jenis ini tidak berespon baik terhadap kortikosteroid inhalasi.

2
3. Asma onset lambat
Beberapa orang dewasa, terutama wanita, mengalami asma pertama kali
pada saat dewasa, biasanya non alergika, dan membutuhkan dosis kortikosteroid
inhalasi yang lebih tinggi.
4. Asma dengan hambatan jalan nafas paten
Asma ini disebabkan diduga karena remodeling jalan nafas.
5. Asma dengan obesitas
Beberapa pasien obesitas dengan asma memiliki gejala pernapasan yang
sangat menonjol dan sedikit inflamasi jalan nafas eosinofilik.
C. Faktor Risiko
Berikut ini adalah faktor resiko asma yang dapat dimodifikasi :4
1. Pasien dengan minimal 1 faktor risiko eksaserbasi
2. Minimal 1 periode eksaserbasi berat di tahun terakhir
3. Paparan tembakau dan rokok
4. Penurunan FEV1, terutama kurang dari <60% prediksi
5. Permasalahan psikologis besar
6. Permasalahan sosioekonomik besar
7. Alergi makanan terkonfirmasi
8. Paparan allergen jika tersensitisasi
9. Eosinofilia pada sputum
D. Patogenesis
1. Hygiene Hypothesis
Hubungan antara awal kehidupan dan perkembangan alergi sudah banyak
diteliti. Strachan merupakan orang yang pertama kali mengemukakan teori
hygiene hypothesis. Teori tersebut mengatakan infeksi dan kontak dengan
lingkungan yang tak higienis dapat melindungi diri dari perkembangan alergi.8
Hipotesis tersebut berdasarkan pemikiran bahwa sistem imun pada bayi
didominasi oleh sitokin T helper (Th2). Setelah lahir pengaruh lingkungan akan
mengaktifkan respons Th1 sehingga akan terjadi keseimbangan Th1/Th2.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa insidensi asma menurun akibat infeksi
tertentu (M. tuberkulosis, measless atau hepatitis A) dan penurunan penggunaan
antibiotik. Ketiadaan kejadian tersebut menyebabkan keberadaan Th2 menetap.

3
Sehingga keseimbangan akan bergeser kearah Th2, merangsang produksi antibodi
IgE untuk melawan antigen lingkungan seperti debu rumah dan bulu kucing.9
Sel Th1 dan Th2 menghambat perkembangan satu sama lain. Produksi IgE
pada penderita atopi meningkat sehingga mempengaruhi keseimbangan Th2 dan
Th1. Perkembangan sekresi Th2 memerlukan IL-4. Sitokin ini dihasilkan oleh
plasenta untuk mencegah penolakan imunologis janin. Menetapnya Th2 plasenta
berhubungan dengan perubahan nutrisi sehingga tidak terbentuk Th1, ini
merupakan faktor utama peningkatan prevalensi penyakit alergi dalam 30–40
tahun terakhir. Faktor lain adalah turunnya infeksi berat pada bayi dan interaksi
antara alergen dan polusi udara yang cenderung untuk terjadi sensitisasi. Infeksi
akan menyebabkan peningkatan respons Th1 dan akan menurunkan
kecenderungan perkembangan penyakit yang berhubungan dengan Th 2.12 Sel
Th2 akan meningkatkan sintesis IL-4 dan IL-13 yang pada akhirnya akan
menaikkan produksi IgE. Sedangkan sel Th1 yang menghasilkan interferon gama
(IFNγ) akan menghambat sel B untuk menghasilkan IgE.12-13 Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat dalam gambar di bawah.2
Sel efektor imun utama yang bertanggung jawab terhadap reaksi alergi
baik di hidung maupun paru adalah sel mast, limfosit T dan eosinofil. Setelah
seseorang mengalami sensitisasi, IgE disintesis kemudian melekat ke target sel.
Pajanan alergen mengakibatkan reaksi yang akan melibatkan sel-sel tersebut di
atas. Sitokin atau kemokin yang berperan dalam perkembangan, recruitment dan
aktivasi eosinofil adalah IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, granulocyte-machrophage
colony stimulating factor (GM-CSF), kemotaksin dan regulation on activation
normal T cell expressed and secreted (RANTES).11
2. Mekanisme Inflamasi Saluran Nafas
Inflamasi mempunyai peran utama dalam patofisiologi rinitis alergi dan
asma. Inflamasi saluran napas melibatkan interaksi beberapa tipe sel dan mediator
yang akan menyebabkan gejala rinitis dan asma. Inhalasi antigen mengaktifkan
sel mast dan sel Th2 di saluran napas. Keadaan tersebut akan merangsang
produksi mediator inflamasi seperti histamin dan leukotrien dan sitokin seperti IL-
4 dan IL-5. Sitokin IL-5 akan menuju ke sumsum tulang menyebabkan
deferensiasi eosinofil.12 Eosinofil sirkulasi masuk ke daerah inflamasi alergi dan

4
mulai mengalami migrasi ke paru dengan rolling (menggulir di endotel pembuluh
darah daerah inflamasi), mengalami aktivasi, adhesi, ekstravasasi dan
kemotaksis.13 Eosinofil berinteraksi dengan selektin kemudian menempel di
endotel melalui perlekatannya dengan integrin di superfamili immunoglobulin
protein adesi yaitu vascular-cell adhesion molecule (VCAM)-1 dan intercellular
adhesion molecule (ICAM)-1.12

Gambar 1. Mekanisme masuknya leukosit ke daerah inflamasi

Eosinofil, sel mast, basofil, limfosit T dan sel Langerhan masuk ke saluran
napas melalui pengaruh beberapa kemokin dan sitokin seperti RANTES, eotaksin,
monocyte chemotactic protein (MCP)-1 dan macrofag inflamatory protein (MIP)-
1ά yang dilepas oleh sel epitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan mediator
inflamasi seperti leukotrien dan protein granul untuk menciderai saluran napas.
Survival eosinofil diperlama oleh IL-4 dan GM-CSF, mengakibatkan inflamasi
saluran napas yang persisten.14 Untuk keterangan lebih jelas tentang proses
inflamasi saluran napas dapat dilihat pada gambar di bawah.14

Gambar 2. Proses inflamasi pada saluran napas

5
Aspek dasar yang dibutuhkan untuk menghasilkan respons inflamasi yang
dimediasi IgE di paru nampaknya sama pada pasien alergi dengan atau tanpa
asma. Akan tetapi faktor yang bertanggung jawab untuk menentukan mengapa
lebih banyak menderita rinitis saja dibanding rinitis dan asma masih belum
diketahui secara pasti.14
Akumulasi sel mast pada saluran napas merupakan patofisiologi penting
baik pada asma maupun rinitis alergi. Efek biokimia spesifik akibat degranulasi
sel mast hampir sama pada saluran napas atas maupun bawah. Sedangkan efek
fisiologis memiliki perbedaan. Edema mukosa yang dimediasi oleh sel mast
terjadi baik di saluran napas atas maupun bawah, akan menyebabkan obstruksi.
Sedangkan kontraksi otot polos saluran napas bawah lebih berat dalam merespons
inflamasi dibanding saluran napas atas. Histamin tidak begitu kuat dalam
menyebabkan bronkokonstriksi, sehingga perannya pada saluran napas atas dan
bawah berbeda. Akibatnya efek antihistamin lebih bermakna pada rinitis alergi
daripada asma.14
Imunoglobulin E menempel pada sel mast jaringan dan basofil sirkulasi
melalui reseptor dengan afinitas tinggi yang diekspresikan oleh permukaan sel.
Alergen menempel pada IgE spesifik dan merangsang aktivasi sel dengan melepas
beberapa mediator seperti histamin, leukotrien, prostaglandin dan kinins. Hal
tersebut menyebabkan terjadi gejala rinitis dan asma melalui pengaruh langsung
terhadap reseptor syaraf dan pembuluh darah pada saluran napas dan juga pada
reseptor otot polos.14
Histamin dan leukotrien dilepas dari basofil maupun sel mast dan akan
menyebabkan timbulnya gejala secara cepat dalam beberapa menit. Gejala pada
saluran napas atas meliputi rasa gatal pada hidung, bersin dan rinorea. Sedangkan
gejala pada saluran napas bawah meliputi bronkokonstriksi, hipersekresi kelenjar
mukus, sesak napas, batuk dan mengi.14 Gejala rinitis maupun asma yang timbul
akibat terlepasnya mediator bisa dilihat dalam tabel di bawah.

6
Tabel 1. Pengaruh mediator terhadap gejala dan tanda penyakit

Respons berikutnya akibat degranulasi sel mast karena terinduksi antigen


disebut reaksi tipe lambat. Baik pada saluran napas atas dan bawah, respons tipe
lambat ini menimbulkan gejala obstruksi. Reaksi fase lambat diawali dengan
pajanan alergen oleh antigen presenting cell (APC) ke sel Th2CD4, selanjutnya
terjadi pengeluaran sitokin yaitu IL-3, IL-5 dan GM-CSF. Interleukin 5 dan GM-
CSF menyebabkan penarikan dan aktivasi eosinofil. Eosinofil yang teraktivasi
mengeluarkan berbagai growth factor, enzim elastase dan metaloproteinase,
kemokin (RANTES, MIP-1ά, eotaksin), mediator lipid dan sitokin. Akibatnya
terjadi edema submukosa dan hiperreaktivitas bronkus.15
Eosinofil menghasilkan mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin
dan kemokin. Mediator lipid, protein granul kristaloid, sitokin dan kemokin
mempunyai peran dalam patogenesis asma fase lambat. Untuk lebih jelasnya
peran dari masing-masing zat yang dihasilkan oleh eosinofil dapat dilihat dalam
gambar 6.16

Gambar 3. Peran eosinofil dalam reaksi asma tipe lambat.

7
Sel basofil memainkan peranan penting reaksi tipe lambat ini pada saluran
napas atas tapi tidak pada saluran napas bawah. Meskipun demikian respons tipe
lambat baik pada saluran napas atas maupun bawah diwujudkan oleh masuknya
sel inflamasi terutama sel eosinofil ke dalam saluran napas dan peningkatan
reaktifitas saluran napas. Infiltrasi eosinofil pada rinitis alergi dan asma dapat
timbul akibat pelepasan berbagai mediator dan sitokin dari sel mast, limfosit T, sel
epitel dan kalau dari saluran napas dari sel otot polos. Kerusakan jaringan baik
pada rinitis maupun asma dimediasi oleh eosinophil.16
Manfaat leukotrien sebagai kemoatraktan untuk eosinofil dan mediator
yang dihasilkan oleh eosinofil adalah terbatas. Leukotrien mempunyai banyak
cara kerja biologis yang penting dalam menyebabkan patofisiologi asma dan
rinitis. Salah satunya adalah mempunyai kemampuan menyebabkan atau
meningkatkan kontraksi otot polos, sekresi mukus, permeabilitas pembuluh darah
dan infiltrasi sel. Enzim 5-Lipooxygenase (5-LO) merupakan enzim penting
dalam menghasikan leukotrien. Inhibisi kerja 5-LO atau antagonis kerja cysteinyl
leukotrien pada reseptornya (cysteinil LT1) mempunyai efek yang bermakna pada
penderita rinitis dan asma.11
Mekanisme aktivasi eosinofil pada saluran napas atas dan bawah masih
belum banyak diketahui tetapi mekanisme utamanya tampak sama dan
berhubungan dengan adhesi molekul. Molekul adhesi dapat meningkatkan proses
sekresi eosinofil. Jadi sitokin, mediator, interaksi matriks dan rangkaian utama
saluran napas atas dan bawah adalah sama. Rangkaian utamanya adalah akibat
melekatnya sel inflamasi pada endotel maupun protein matriks melalui matriks
spesifik yang akan menyebabkan proses inflamasi seperti sekresi leukotriene.11
Eosinofil juga terlibat dalam airway remodelling yang akan menyebabkan
refractory asthma. Akan tetapi masih sulit untuk mendefinisikan secara pasti
apakah airway remodelling merupakan proses fisiologis, farmakologis atau
anatomis. Fibrosis subendotel terlihat pada proses remodeling asma alergi tetapi
bukan merupakan proses analog pada rinitis alergi. Hal tersebut akibat dari
perbedaan respons end organ. Eosinofil menghasilkan sitokin, kemokin, mediator
lipid dan growth factor dan mampu menyebabkan peningkatan sekresi mukus,
menyebabkan fibrosis subepitel. Eosinofil teraktivasi melepaskan protein toksik

8
yang mengakibatkan kerusakan jaringan saluran napas yaitu major basic protein
(MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang merusak sel epitel dan syaraf,
eosinophil-derived neurotoxin (EDN), eosinophil peroxidase dan mediator lipid.17
Eosinofil menghasilkan protein yang menyebabkan fibrogenesis dan
angiogenesis yang dapat mengaktifkan sel mesenkim dan merangsang sintesis
protein extracellular matrix (ECM). Aktivasi fibroblas dilakukan oleh IL-4, IL-6,
IL-11, IL-13, IL-17, TGF-β, NGF dan PDGF. Sitokin tersebut akan menyebabkan
diferensiasi dan migrasi fibroblast.17
Transforming growth factor (TGF)-β dan fibroblast growth factor (FGF)-2
mempunyai pengaruh langsung terhadap otot polos saluran napas. Eosinofil
menghasilkan angiogenic factor yaitu VEGF dan angiogenin. Sel endotel
diaktifkan oleh FGF-2 dan tumor necrosis factor (TNF)-ά. Aktivasi sel epitel,
sintesis ECM dan hipersekresi mukus akibat pelepasan sitokin derivat eosinofil
yakni TGF-β, IL-4, IL-13 dan TGF-ά.17
Faktor lain yang menyebabkan perbedaan respons pada hidung dan paru
adalah ukuran saluran napas, suplai darah permukaan dan pajanan lingkungan.
Perbedaan penting lainnya adalah lamanya sel inflamasi, mediator dan sitokin
tinggal dan mekanisme perbaikan epitel setelah proses inflamasi. Terdapat waktu
tinggal sel inflamasi dan perbaikan kerusakan epitel yang lebih lama pada saluran
napas bawah dibanding atas setelah terpajan antigen.11
Perbedaan epitel saluran napas atas dan bawah adalah dalam hal epithelial
shedding dan heterogenitas epitel. Epithelial shedding pada asma lebih sering
terjadi daripada rinitis alergi. Epitel saluran napas bawah menghasilkan zat yang
menyebabkan bronkokonstriksi antara lain mediator lipid, endotelin dan sitokin
yang akan menyebabkan perburukan gejala. Hal tersebut tidak terjadi pada saluran
napas atas. Heterogenitas epitel saluran napas bawah yang lebih besar daripada
atas akan menyebabkan durasi inflamasi yang lebih lama.11
Perbedaan penting lainnya adalah keterlibatan otot polos. Otot polos
saluran napas merupakan sel sekresi yang merupakan bagian dari proses autokrin.
Saluran napas atas mempunyai sedikit otot polos berakibat terdapat perbedaan
gejala rinitis alergi dan asma. Otot polos saluran napas dapat menghasilkan

9
RANTES, eotaksin, GM-CSF dan prostaglandin E2 (PGE2) yang bisa berperan
dalam bronkokonstriksi maupun bronkodilatasi.11
Hidung mempunyai perbedaan dalam hal banyaknya terpajan alergen dan
iritan lingkungan. Demikian juga berbeda tingkatan dan mekanisme molekul
efektor seperti histamin dan leukotrien yang menghasilkan efek patologis pada
hidung dibandingkan pada paru. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat
persamaan dan juga perbedaan dalam hal tipe dan peran sel efektor dan mediator
dalam patogenesis rinitis alergi dan asma. Hal tersebut akan menyebabkan
persamaan dan perbedaan dalam hal tanda dan gejala rinitis alergi dan asma.11
3. Sitokin pada Asma
Sitokin adalah polipeptida yang diproduksi tubuh sebagai respons terhadap
rangsang mikroba dan antigen lainnya dan berperan sebagai mediator pada reaksi
imun dan inflamasi. Sitokin dapat memberikan efek langsung dan tidak langsung.
Efek langsung lebih dari satu efek terhadap berbagai jenis sel (pleitropi),
autoregulasi (fungsi autokrin), terhadap sel yang letaknya tidak jauh (fungsi
parakrin). Efek tidak langsung yaitu menginduksi ekspresi reseptor untuk sitokin
lain dalam merangsang sel (sinergisme), mencegah ekspresi reseptor atau
produksi sitokin (antagonisme).13
Sekresi sitokin terjadi cepat dan hanya sebentar. Kerjanya sering pleitropik
(satu sitokin bekerja terhadap berbagai jenis sel yang menimbulkan berbagai efek)
dan redundant (berbagai sitokin menunjukkan efek yang sama). Oleh karena itu
efek antagonis satu sitokin tidak akan menunjukkan hasil nyata karena ada
kompensasi sitokin lain. Sifat-sifat sitokin dapat dilihat pada gambar 8.17
Sitokin sering berpengaruh terhadap sintesis dan efek sitokin yang lain.
Efek sitokin dapat lokal maupun sistemik. Sinyal luar mengatur ekspresi reseptor
sitokin atau respons sel terhadap sitokin. Efek sitokin terjadi melalui ikatan
dengan reseptornya pada membran sel sasaran. Respons seluler terhadap
kebanyakan sitokin terdiri atas perubahan ekspresi gen terhadap sel sasaran yang
menimbulkan ekspresi fungsi baru dan kadang proliferasi sel sasaran.13
Proses inflamasi saluran napas diatur oleh interaksi sitokin dan growth
factor yang disekresi tidak hanya oleh sel inflamasi tetapi juga oleh komponen

10
jaringan diantaranya sel epitel, fibroblas dan sel otot polos. Secara keseluruhan
sitokin dapat dikelompokkan sebagai : 13
a. Sitokin Th2 seperti IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-13,
b. Sitokin proinflamasi diantaranya tumor necrosis factor-α (TNF-α) dan IL-1s,
c. Kemokin seperti RANTES, eotaksin dan MCP-1,
d. Growth factor seperti transforming growth factor –s dan epidermal growth
factor.
E. Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis asma didasarkan pada karakteristik gejala pernapasan seperti
wheezing, dispnea, dada terasa berat dan batuk, serta hambatan udara ekspirasi
yang bervariasi. Berikut ini adalah penjelasan tentang diagnosis asma : 4
a. Lebih dari satu gejala berikut ini (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa berat),
terutama pada dewasa
b. Gejala memburuk pada malam hari atau pada awal pagi hari
c. Gejala bervariasi dalam hal waktu dan internsitas
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu), olahraga, paparan alergen, perubahan
musim, atau iritan seperti asap, atau bau yang menyengat.
Berikut ini adalah gejala-gejala yang menurunkan kemungkinan bahwa
seseorang menderita penyakit asma : 4
a. Batuk tanpa gejala respirasi lain
b. Produksi sputum kronik
c. Dispneu terkait dengan kepala pusing, kepala terasa ringan, dan parestesia
perifer
d. Nyeri dada
e. Dispneu dengan inspirasi nyaring terkait olahraga
Tabel 2. Kriteria Diagnosis Asma (GINA, 2016)
Fitur diagnose Kriteria untuk membuat diagnosa
Riwayat gejala asma yang bervariasi
Mengi, sesak napas, dada • Umumnya lebih dari 1 gejala
terasa berat, dan batuk • Gejala bervariasi dari waktu ke waktu
dan juga intensitasnya

11
• Gejala seringkali memburuk pada
malam hari atau saat bangun
• Gejala sering dipicu oleh latihan fisik,
tertawa, alergen, udara dingin
• Gejala sering muncul atau memburuk
pada infeksi virus
Keterbatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi
Variabilitas fungsi paru Makin besar variasi/ makin sering, makin
yang besar (1 atau lebih uji) besar kemungkinan.
DAN keterbatasan aliran Penurunan FEV1/FVC >1 kali, saat
udara FEV1 rendah (normal >0.75 – 0.80 pada
dewasa sehat dan >0.90 pada anak)
Uji reversibilitas bronkus Dewasa : peningkatan FEV1 >12% dan
positif >200mL dari nilai awal, 10-15 menit
setelah pemberian 200-400 mcg albuterol
atau setara; anak: peningkatan >12%
prediksi)
Variabilitas pengukuran Dewasa: rata-rata variabilitas harian PEF
PEF 2x/hari selama 2 diurnal > 10%
minggu Anak: > 13%
Kenaikan fungsi paru Dewasa: peningkatan FEV1 > 12% dan
setelah terapi anti-inflamasi 200 mgl (atau PEF > 200 ml)
selama 4 minggu
Uji ‘excersice challenge” Dewasa: tidak mencapai FEV1>10% dan
200 ml
Anak : tidak mencapai FEV1>12%
predicted/ PEF >15%
Uji ‘bronchial challenge’ Tidak mencapai FEV1 >20%
(umumnya hanya dilakukan (methacholine, histamine); 15%
pada dewasa) (mannitol atau lainnya)
Variasi fungsi paru di antara Dewasa: variasi FEV1 >12% dan > 200
kunjungan-kunjungan ke ml

12
dokter (kurang reliable) Anak: variasi FEV1 >12%

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pada pasien asma seringkali normal. Abnormalitas yang
paling sering adalah wheezing ekspiratorik (ronkhi) pada auskultasi, tapi kadang
tidak terdengar atau hanya terdengar pada ekspirasi kuat yang dipaksa. Wheezing
juga bisa tidak ditemukan pada asma eksaserbasi berat, karena penurunan aluran
udara yang sangat hebat (silent chest), akan tetapi biasanya tanda-tanda patologis
lain muncul. Wheezing juga bisa ditemukan pada disfungsi jalan nafas atas,
misalnya pada PPOK, infeksi saluran nafas, trakeomalasia, atau corpus alienum.
Crackles atau wheezing inspiratorik bukan karakteristik asma. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan hidung untuk menemukan adanya rinitis alergi atau polip
nasal.4
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Spirometri
Fungsi normal paru diukur dengan spirometri. Forced expiratory volume
in on 1 second (FEV1) lebih dipercaya daripada peak expiratory flow (PEF). Jika
PEF dilakukan, maka alat yang sama harus digunakan tiap saat pemeriksaan,
karena perbedaan sebesar 20% bisa terjadi jika dilakukan perubahan ukuran atau
alat.4
Penurunan FEV1 dapat juga ditemukan pada penyakit paru lain, atau
pengguaan spirometri yang tidak tepat, akan tetapi penurunan rasio FEV1/FVC
menandakan adanya hambatan aliran jalan nafas. Rasio FEV1/FVC normal adalah
0.75-0.80 dan kadang 0.90 pada anak-anak, dan nilai di bawah batas normal
tersebut menandakan hambatan aliran udara.4
Variabilitas adalah perbaikan atau perbukurukan gejala dan fugnsi paru.
Variabilitas berlebihan dapat ditemukan dari waktu ke waktu dalam satu hari
(variasi diurnal), dari hari ke hari, musiman, atau dari sebuah tes reversibilitas.
Reversibilitas adalah perbaikan FEV1 atau PEF secara cepat setelah penggunaan
bronkodilator kerja cepat seperti 200-400 mikrogram salbutamol, atau
peningkatan yang konsisten hari ke hari sampai minggu ke minggu setelah
diberikan terapi kendali asma misanya dengan intranasal corticosteroid (ICS).

13
Peningkatan atau penurunan FEV1 >12% dan >200 mL dari batas dasar, atau jika
spirometri tidak ada, perubahan PEF minimal sebesar 20% dapat diterima sebagai
asma. Akan tetapi, jika FEV1 tetap dalam batas normal saat pasien sedang
mengalami gejala asma, maka kemungkinannya kecil bahwa kemungkinan
penyakitnya adalah asma. Pengukuran FEV dan PEF dilakukan sebelum terapi
dengan bronkodilator.4
b. Tes provokasi bronkus
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memeriksa hiperesponsivitas jalan nafas.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan latihan inhalasi metakolin dan histamin,
hiperventilasi eukapnik volunter atau manitol inhalasi. Tes ini cukup sensitif
untuk diagnosis asma tapi kurang spesifik, karena bisa terjadi karena penyakit
lain, misalnya rinitis alergika, fibrosis kistik, displasia bronkopulmoner, dan
PPOK. Jadi, hasil negatif pada pasien yang tidak mengonsumsi ICS dapat
mengeksklusi asma, akan tetapi hasil positif tidak selalu menandakan bahwa
penyakit tersebut adalah asma, sehingga anamnesis perlu diperhatikan.4
c. Tes alergi
Riwayat atopi meningkatkan probabilitas pasien dengan gejala pernapasan
menderita asma alergika tapi hal ini tidak spesifik. Riwayat atopik dapat diperiksa
dengan skin prick test dan pengukuran serum IgE. Skin prick test dengan bahan
yang mudah ditemui di lingkungan sekitar adalah tes yang cepat, murah, dan
sensitif jika dikerjakan secara standar. Pengukuran sIgE tidak lebih sensitif dari
skin prick test tapi lebih mahal dan digunakan untuk pasien dengan pasien tidak
kooperatif. Akan tetapi, jika skin prick test dan pengukuran sIgE positif, hal ini
tidak selalu menghasilkan gejala, karena itu perlu anamnesis yang cermat.4
d. Ekshalasi Nitrit Oksida
Fractional concentration of Exhaled Nitric Oxide (FENO) dapat diperiksa
di beberapa tempat. FENO dapat meningkat pada asma eosinofilik dan pada
keadaan non asma misalnya rinits alergi, dan belum dipastikan bermanfaat untuk
diagnosis asma. FENO menurun pada perokok dan saat terjadi bronkokonstriksi,
dan meningkata jika terjadi infeksi pernafasan viral. Kadar FENO > 50 ppb terkait
dengan respons jangka waktu singkat terhadap ICS. Saat ini pemeriksaan FENO
belum bisa direkomendasikan.4

14
F. Penegakkan Diagnosis Pada Kondisi Khusus
1. Pasien hanya dengan gejala batuk
Pada kondisi ini, perlu dipikirkan cough variant asthma, batuk yang
diinduksi terapi ACEI, GERD, chronic upper airway cough syndrome, sinusitis
kronik dan disfungsi pita suara. Pasien dengan cough variant asthma memiliki
gejala utama batuk kronik, jika tidak, mungkin gejala tersebut terkait dengan
hiperresponsivitas. Hal ini paling sering terjadi pada anak-anak dan memberat saat
malam hari dengan fungsi paru normal. Untuk pasien ini, penting untuk dicatat
variablitis fungsi paru. Penyakit cough variant asthma harus dibedakan dengan
bronkitis eosinofilik pada pasien yang batuk, hasil pemeriksaan sputum
didapatkan eosinophil akan tetapi fungsi paru dan responsitivitas jalan nafas
normal.4
2. Asma terkait pekerjaan
Asma jenis ini seringkali terlewat. Asma jenis ini diinduksi dan diperberat
oleh adanya paparan alergen atau agen sensitizer di lingkungan kerja, kadang
paparan bersifat tunggal, kadang masif. Rhinitis okupasional biasanya mendahului
asma beberapa tahun sebelum asma, dan paparan yang berlanjut terkait dengan
prognosis yang lebih buruk.4
Asma dengan onset pada usia dewasa memerlukan anamnesis yang cermat
pada riwayat pekerjaan, paparan allergen, termasuk hobi. Perlu ditanyakan tentang
apakah keluhan membaik jika pasien saat tidak bekerja. Pertanyaan tersebut
penting dan mengarahkan kepada anjuran agar pasien mengganti tempat kerja atau
pekerjaannya, yang tentunya akan berpengaruh pada aspek sosioekonomis pasien.
Pada kondisi ini perujukan ke dokter spesialis penting, dan monitoring PEF di
tempat kerja dan jauh dari tempat kerja perlu dilakukan.4
3. Atlet
Diagnosis pada atlet harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan fungsi paru,
biasanya dengan uji provokasi bronkus. Kondisi yang mirip dengan asma,
misalnya rhinitis, penyakit laring (misal: disfungsi pita suara), gangguan
pernafasan, gangguan jantung dan over-training harus disingkirkan.4

15
4. Wanita hamil
Wanita hamil atau wanita yang merencanakan hamil harus ditanyai
mengenai riwayat asma dan diberikan edukasi tentang asma. Jika pemeriksaan
objektif perlu dilakukan untuk konfirmasi diagnosis, tidak dianjurkan untuk
melakukan uji provokasi bronkus atau untuk menurunkan terapi controller sampai
selesai persalinan.4
5. Orang berusia tua
Asma seringkali tidak terdiagnosis pada orang tua, karena persepsi orang
tua tentang keterbatasan jalan nafas yang berkurang, anggapan bahwa sesak nafas
adalah hal yang wajar, jarang olahraga dan kurang nya aktivitas. Keberadaan
penyakit penyerta juga turut mempersulit diagnosis. Keluhan mengi, sesak nafas,
dan batuk yang memberat dengan olahraga atau memberat saat malam juga bisa
disebabkan oleh adanya penyakit jantung atau kegagalan ventrikel kiri.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, ditambah dengna pemeriksaan
EKG dan foto thorax dapat membantu diagnosis. Pemeriksaan brain natriuretic
polypeptide (BNP) dan pemeriksaan fungsi jantung dengan ekokardiografi juga
dapat membantu. Pada orang tua dengan riwayat merokok atau paparan bahan
bakar fosil, PPOK dan Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS) perlu
disingkikan.4
6. Perokok dan bekas perokok
Asma dan PPOK sangat sulit untuk diberdakan, terutama pada orang
berusia tua, pada perokok atau bekas perokok, dan keduanya dapat saling
bertumpang tindih (Asthma–COPD overlap syndrome (ACOS)). The Global
Strategy for Diagnosis, Management and Prevention of COPD (GOLD)
mendefinisikan PPOK berdasarkan gejala respiratorik kronik, paparan terhadap
faktor risiko seperti merokok, dan FEV1/FVC paska bronkodilator <0.7.
Reversibilitas bronkodilator (>12% dan >200 ml) dapat ditemukan dalam PPOK.
Kapasitas difusi yang rendah biasanya ditemukan pada Asma. Riwayat penyakit
dan pola gejala di masa lalu bisa membantu diagnosis. Ketidakpastian diagnosis
membuat pasien dengan kondisi ini perlu dirujuk karena terkait dengan prognosis
yang lebih buruk.4

16
7. Pasien yang pernah menjalani terapi controller
Jika diagnosis asma belum ditegakkan, konfirmasi diagnosis perlu
dilakukan. Sekitar 25-35% pasien dengan diagnosis asma di fasilitas kesehatan
tingkat 1 tidak bisa terkonfirmasi diagnosis asma. Konfirmasi diagnosis asma
tergantung pada gejala dan fungsi paru. Pada beberapa pasien, bisa disertakan
percobaan untuk menurunkan atau menaikkan dosis controller. Jika diagnosis
tetap tidak bisa ditegakkan, maka perlu dilakukan rujukan ke fasilitas kesehatan
yang lebih tinggi.4
8. Pasien obesitas
Asma lebih sering ditemukan pada pasien dengan obesitas, gejala
respiratorik yang terkait dengan obesitas dapat menyerupai asma. Pada pasien
obes dengan adanya dispneu saat aktivitas, perlu dikonfirmasi diagnosis dengan
pemeriksaan objektif untuk menemukan adanay hambatan jalan nafas.4
9. Kondisi sumber daya kurang
Pada kondisi sumber daya kurang, perlu dipertajam lagi proses penggalian
gejala. Perlu ditanyakan durasi gejala, demam, batuk, menggigil, penurunan berat
badan, nyeri saat bernafas dan adanya batuk darah yang membedakannya dengan
infeksi kronik paru seberti TBC, HIV/AIDS dan infeksi parasite atau jamur.
Variabilitas jalan nafas dapat dikonfirmasi dengan PEF meter dan perlu diperiksa
sebelum diberikan terapi SABA atau ICS, atau bisa dilakukan bersamaan dengan
pemberian 1 minggu kortikosteroid oral.4
G. Diagnosis Banding
Berikut ini adalah diagnosis banding asma beserta gejala dan kategori
usianya : 4
1. Usia 6-11 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Inhalasi benda asing
c. Bronkiektasis
d. Diskinesia silier primer
e. Penyakit jantung kongenital
f. Displasia bronkopulmoner
g. Kistik fibrosis

17
2. Usia 12-39 tahun
a. Sindrom batuk kronik saluran nafas atas
b. Disfungsi pita suara
c. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
d. Bronkiektasis
e. Kistik fibrosis
f. Penyakit jantung kongenital
g. Defisiensi alfa-1 antitripsin
h. Inhalasi benda asing
3. Usia 40 tahun ke atas
a. Disfungsi pita suara
b. Hiperventilasi, pernafasan disfungsional
c. PPOK
d. Bronkiektasis
e. Gagal jantung
f. Batuk terkait obat
g. Penyakit parenkim paru
h. Embolisme pulmonary
i. Obstruksi saluran nafas sentral
H. Penilaian Asma
Penilaian asma seharusnya menilai pula pengendalian asma (pengendalian
gejala dan risiko efek samping di masa depan), masalah terapi terutama dalam hal
teknik inhaler dan kepatuhan, serta komorbid yang dapat berkontribusi terhadap
keparahan gejala dan kualitas hidup yang buruk. Untuk memprediksi risiko di
masa depan, fungsi paru, terutama FEV1 perlu dinilai. Penilaian asma meliputi
pengendalian gejala asma serta penilaian faktor risiko untuk eksaserbasi dan
prognosis yang buruk.4

18
Tabel 3. Penilaian Kendali Asma dan Risiko Prognosis Buruk Asma
(GINA, 2016)
A. Kontrol Gejala Tingkat Kontrol Gejala Asma
Tidak
Dalam 4 minggu terkakhir apakah Terkontrol Terkontrol
Terkontro
pasien memiliki : Penuh Sebagian
l
1. Gejala asma
Ya (1 poin)
harian lebih dari
Tidak ( 0
dua kali dalam 1
poin)
minggu

2. Terbangun di Ya (1 poin)

malam hari karena Tidak ( 0

asma poin)
Tidak terdapat Terdapat
3. Penggunaaan obat Terdapat 1-2
satupun 3-4
pelega untuk Ya (1 poin) kriteria
kriteria kriteria
mengatasi gejala* Tidak ( 0
lebih dari dari dua poin)
kali dalam 1
minggu

4. Keterbatasan Ya (1 poin)

aktifitas fisik Tidak ( 0

karena asma poin)

* Penggunaan obat pelega sebelum ‘exercise’ tidak termasuk, oleh karena banyak
pasien menggunakannya secara rutin

B. Faktor-faktor resiko untuk outcome asma yang buruk

• Nilai faktor resiko saat penegakkan diagnosis dan secara berkala


• Pengukuran FEV1 pada saat mulai penggunaan obat, setelah 3 - 6 bulan
penggunaan obat, kemudian secara berkala untuk penilaian faktor risiko yang
sedang dimiliki oleh pasien

19
Penilaian faktor risiko meliputi:
• Risiko eksaserbasi
• Keterbatasan aliran udara yang menetap
• Efek samping obat
Faktor risiko independen terjadinya eksaserbasi yang dapat
dimodifikasi:
• Asma yang tidak terkontrol
• Penggunaan SABA yang tinggi (angka kematian meningkat Bila
jika >1x200 dosis canister/month) terdapat 1
• Penggunaan ICS yang tidak memadai : tidak mendapat ICS, atau lebih
kepatuhan yang kurang, teknik penggunaan inhaler yang tidak faktor risiko
tepat maka risiko
• Rendahnya FEV1, terutama jika < 60% prediksi eksaserbasi
• Masalah fisiologis atau sosioekonomi mayor akan
• Paparan: merokok, paparan allergen meningkat
• Ko-morbiditas: obesitas, rhinosinusitis, alergi makanan walaupun
• Eosinophilia sputum atau darah gejala asma
• Kehamilan terkontrol
Faktor risiko independen lain terjadinya eksaserbasi
• Pernah diintubasi atau dirawat di ICU oleh karena asma
• > 1 eksaserbasi berat dalam kurun waktu 12 bulan terakhir
Faktor risiko terjadinya keterbatasan aliran udara yang menetap
• Terapi ICS yang tidak memadai
• Paparan : tembakau, zat kimia berbahaya, paparan terkait pekerjaaan
• FEV1 awal yang rendah, hipersekresi mucus kronik, eosinophilia sputum atau
darah
Faktor risiko efek samping obat
• Sistemik : penggunaan OCS yang sering, jangka panjang, ICS dosis tinggi
dan/atau potent; menggunakan inhibitor P450
• Lokal : ICS dosis tinggi dan/atau poten, teknik inhalasi yang tidak tepat

20
I. Tatalaksana
1. Nonfarmakologis4
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Latihan bernafas
g. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
h. Vaksinasi
i. Bronkial termoplasti
j. Kontrol stress emosional
k. Imunoterapi allergen
l. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
m. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
2. Tatalaksana Farmakologis4
Obat-obatan untuk terapi asma secara umum dibagi menjadi beberapa
kategori, yaitu:
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan asma
secara reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas, mengendalikan
gejala dan menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru.
Tabel 4. Obat Controller asma
Nama generic Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasi–steroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia

21
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan β-agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol Seretide MDI
Flukason +
salme terol

b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk meredakan


gejala asma, misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadi
brokonstriksi terkait olahraga.
Tabel 5. Obat Reliever asma
Nama Nama Sediaan Keterangan
generik dagang
Golongan β-agonis (kerja pendek)
Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1
Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali
Forasma tablet, ampul sirup,

22
tablet
Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1
mg/kgBB/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksorenalin Tablet
Fenoterol Berotec MDI
Golongan santin
Teofilin Sirup, tablet

c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai dipertimbangkan jika
pasien mengalami gejala persisten dan eksaserbasi yang terus menerus
walaupun sudah diberikan terapi secara optimal.
3. Terapi pemeliharaan asma awal4
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus
dimulai secepat mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti klinis
adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi
paru lebih baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan sudah muncul
gejala selama 2-4 tahun. Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut, dosis
ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan fungsi paru sudah sangat lebih
menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan
mengalami penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang telah
mulai menggunakan ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan dan
terapi dini dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.

23
Gambar 4. Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2016)

4. Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen4
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memerankan
peran utama dalam asma, misalnya pada asma dengan rinokonjungtivitis alergika.
Terdapat dua pendekatan utama, yaitu: 1) subcutaneous immunotherapy (SCIT)
dan 2) sublingual immunotherapy (SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan
pada asma ringan, dan sebagian lainnya.
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan
penurunan gejala dan kebutuhan pengobatan, dan penurunan responsivitas
terhadap alergen. Efek samping dari terapi ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat
mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak. Sebuah
setudi SLIT pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan asma dan rinitis
alergi menunjukan penurunan bermakna penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi.
Efek samping yang terjadi akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan
gastrointestinal ringan.
b. Vaksinasi4
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma, dan
pasien dengan asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi

24
influenza setiap tahun. Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat menurunkan
frekuensi atau keparahan serangan asma.
c. Termoplasti Bronkial4
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang
tetap tidak terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang optimal. Terapi ini
dilakukan melalui tiga bronkoskopi terpisah dengan gelombang radiofrekuensi
lokal. Pada follow up jangka waktu sedang memang pasien yang diterapi dengan
metode ini akan mengalami penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh
studi yang lebih lama lagi untuk menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D 4
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum
vitamin D rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan frekuensi
eksaserbasi dan penurunan respons kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini
suplementasi vitamin D belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan
kontrol asma atau penurunan eksaserbasi. Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan
lebih lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Curiga asma okupasional
3) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
4) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
5) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
6) Adanya gejala yang menunjukkan komplikasi dari subtipe asma
7) Ragu tentang diagnosis asma
8) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang dengan
teknik yang benar dan kepatuhan yang cukup
9) Curiga efek samping terapi
10) Asma dan alergi makanan terkonfirmasi
J. Spirometri
1. Definisi
Spirometri merupakan suatu pemeriksaan yang menilai fungsi
terintegrasi mekanik paru, dinding dada dan otot-otot pernapasan dengan

25
mengukur jumlah volume udara yang dihembuskan dari kapasitas paru
total (TLC) ke volume residu.18

Gambar 5. Pemeriksaan Spirometri


2. Indikasi18
a. Diagnostik: evaluasi individu yang mempunyai gejala, tanda, atau hasil
laboratorium yang abnormal; skrining individu yang mempunyai risiko
penyakit paru; mengukur efek fungsi paru pada individu yang mempunyai
penyakit paru; menilai risiko preoperasi; menentukan prognosis penyakit yang
berkaitan dengan respirasi dan menilai status kesehatan sebelum memulai
program latihan.
b. Monitoring: menilai intervensi terapeutik, memantau perkembangan penyakit
yang mempengaruhi fungsi paru, monitoring individu yang terpajan agen
berisiko terhadap fungsi paru dan efek samping obat yang mempunyai
toksisitas pada paru.
c. Evaluasi kecacatan / kelumpuhan: menentukan pasien yang membutuhkan
program rehabilitasi, kepentingan asuransi dan hukum.
d. Kesehatan masyarakat: survei epidemiologis (skrining penyakit obstruktif dan
restriktif) menetapkan standar nilai normal dan penelitian klinis.
3. Kontraindikasi18
a. Asbsolut: Peningkatan tekanan intrakranial, space occupying lesion (SOL)
pada otak, ablasio retina, dan lain-lain.
b. Relatif: hemoptisis yang tidak diketahui penyebabnya, pneumotoraks, angina
pektoris tidak stabil, hernia skrotalis, hernia inguinalis, hernia umbilikalis,
Hernia Nucleous Pulposus (HNP) tergantung derajat keparahan, dan lain-lain.

26
4. Persiapan pemeriksaan18
a. Operator, harus memiliki pengetahuan yang memadai, tahu tujuan pemeriksaan
dan mampu melakukan instruksi kepada subjek dengan manuver yang benar
b. Persiapan alat, spirometer harus telah dikalibrasi untuk volume dan arus udara
minimal 1 kali seminggu
c. Persiapan subjek, selama pemeriksaan subjek harus merasa nyaman. Sebelum
pemeriksaan subjek sudah tahu tentang tujuan pemeriksaan dan manuver yang
akan dilakukan.
d. Subjek bebas rokok minimal 2 jam sebelumnya, tidak makan terlalu kenyang,
tidak berpakaian terlalu ketat, penggunaan obat pelega napas terakhir 8 jam
sebelumnya untuk aksi singkat dan 24 jam untuk aksi panjang.
e. Kondisi lingkungan, ruang pemeriksaan harus mempunyai sistem ventilasi
yang baik dan suhu udara berkisar antara 17–40 0C
5. Manuver pemeriksaan spirometri18
a. Manuver Kapasitas Vital (KV), subjek menghirup udara sebanyak mungkin
dan kemudian udara dikeluarkan sebanyak mungkin tanpa manuver paksa.
b. Manuver Kapasitas Vital Paksa (KVP), subjek menghirup udara sebanyak
mungkin dan kemudian udara dikeluarkan dengan dihentakkan serta
melanjutkannya sampai ekspirasi maksimal. Apabila subjek merasa pusing
maka manuver segera dihentikan karena dapat menyebabkan subjek pingsan.
Keadaan ini disebabkan oleh gangguan venous return ke rongga dada.
b. Manuver VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama). Nilai VEP1 adalah
volume udara yang dikeluarkan selama 1 detik pertama pemeriksaan KVP.
Manuver VEP1 seperti manuver KVP.
c. Manuver APE (arus puncak ekspirasi). APE adalah kecepatan arus ekpirasi
maksimal yang dapat dicapai saat ekspirasi paksa. Tarik napas semaksimal
mungkin, hembuskan dengan kekuatan maksimal segera setelah kedua bibir
dirapatkan pada mouthpiece.
d. Manuver MVV (maximum voluntary ventilation). MVV adalah volume udara
maksimal yang dapat dihirup subjek. Subjek bernapas melalui spirometri
dengan sangat cepat, kuat dan sedalam mungkin selama minimal 10-15 detik.

27
6. Hasil yang dapat diterima18
a. Inspirasi penuh sebelum pemeriksaan dimulai
b. Memenuhi syarat awal ekspirasi yaitu dengan usaha maksimal dan tidak ragu-
ragu
c. Tidak batuk atau glottis menutup selama detik pertama
d. Memenuhi lama pemeriksaan yaitu minimal 6 detik atau sampai 15 detik pada
subjek dengan kelainan obstruksi
e. Tidak terjadi kebocoran
f. Tidak terjadi obstruksi pada mouthpiece
7. Variabel yang diukur dalam pemeriksaan spirometri
a. Volume dinamis18
1) Kapasitas Vital Paksa/Force Vital Capacity (FVC): Pengukuran yang
diperoleh dari ekspirasi yang dilakukan secepat dan sekuat mungkin.
2) Kapasitas Vital Lambat/ Slow Vital Capacity (SVC): Volume gas yang
diukur pada ekspirasi lengkap yang dilakukan secara perlahan setelah atau
sebelum inspirasi maksimal.
3) Volume Ekspirasi Paksa pada Detik Pertama/ Force Expiration Volume
(FEV1): Jumlah udara yang dikeluarkan sebanyak-banyaknya dalam 1 detik
pertama pada waktu ekspirasi maksimal setelah inspirasi maksimal (volume
udara yang dapat diekspirasi dalam waktu standar selama pengukuran
kapasitas vital paksa).
4) Maximal Voluntary Ventilation (MVV): Jumlah udara yang bisa dikeluarkan
sebanyakbanyaknya dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara
maksimal.
b. Volume statik18

28
Tabel 6. Volume Statik

K. Asma Eksaserbasi Akut


Berikut ini adalah beberapa hal yang menjadi poin-poin penting tentang
asma eksaserbasi akut:
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi
paru dari keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis
pertama dari asma. Istilah “episode”, “serangan”, atau “asma berat akut” sering
digunakan, tapi pengertiannya berbeda. 4

29
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali,
dan diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko
kematian akibat asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan intubasi
dan ventilasi
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12 bulan
terakhir
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih dari
1 canister/bulan
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan4
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana
mandiri dan berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui
tatalaksana dari gejala yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal,
instalasi gawat darurat dan dalam rumah sakit.4
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat
asma sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma.4
a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti
obat controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke
perawatan medis jika gejala tidak berespons dengan terapi.
b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk pergi
ke instalasi medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada
dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat
pertama, berikut adalah tatalaksananya:4
a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak
nafas, laju pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambal
memulai terapi short-acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen

30
b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai
adanya tanda tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan
kesadaran atau silent chest. Saat pemindahan pasien, inhalasi SABA,
ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan kortikosteroid sistemik
jika diperlukan
c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI
atau spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian
oksigen terkendali jika tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap
terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru harus dilakukan tiap 1 jam
d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi
berat
e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien
dengan eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis,
fungsi paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan
untuk mengendalikan asma di rumah
h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya,
termasuk pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi
controller untuk 2-4 minggu, dan penurunan reliever sesuai penggunaan
sebutuhnya.
i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma

31
Gambar 6. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan
Pertama (GINA, 2016)

32
Gambar 7. Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut
(IGD) (GINA, 2016)

6. Rancanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi : 4


a) Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi
selanjutnya
b) Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan
risiko untuk eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller
untuk 2-4 minggu
c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan

33
BAB III
KESIMPULAN

1. Asma adalah penyakit heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi jalan


nafas kronik
2. Asma diklasifikasikan menjadi asma alergika, asma non alergika, asma onset
lambat, asma dengan hambatan jalan nafas paten, dan asma dengan obesitas
3. Patogenesis dan patofisiologi asma secara umum kompleks yang menyebabkan
inflamasi jalan nafas yang kronik
4. Diagnosis asma dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang
5. Tatalaksana asma meliputi tatalaksana nonfarmakologis, farmakologis,
tatalaksana merujuk serta tatalaksana lainnya

34
DAFTAR PUSTAKA

1. Global Initiative for Asthma (GINA). 2012. At-A-Glance Asthma


Management Reference. Available at: www.ginasthma.org
2. Rengganis, I. 2008. Diagnosa dan Tatalaksana Asma Bronkial. Majalah
Kedokteran Indonesia Edisi November 2008.
3. Depkes RI. 2007. Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI.
4. Global Initiative for Asthma (GINA). 2016. Global Strategy for Asthma
Management and Prevention. Available at: www.ginasthma.org
5. Bel, E.H. 2004.. Clinical phenotypes of asthma. Curr Opin Pulm Med;10:44-
50.
6. Moore, W.C. 2010.. Identification of asthma phenotypes using cluster
analysis in the Severe Asthma Research Program. Am J Respir Crit Care
Med. 181:315-23.
7. Wenzel, S.E. 2012. Asthma phenotypes: the evolution from clinical to
molecular approaches. Nat Med;18:716-25.
8. Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from
patients with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes.
Allergy; 63: 268–73.
9. Alfven, T. 2006. A, et al. Allergic diseases and atopic sensitization in
children related to farming and anthroposophic lifestyle – the PARSIFAL
study. Allergy 2006; 61: 414–21.
10. Demoly, P. 2008. Links between allergic rhinitis and asthma still reinforced.
Allergy; 63: 251–4.
11. Kroegel C. 1998. Pulmonary immune cells in health and disease: the
eosinophil leukocyte. Eur Respir J; 7: 519–43.
12. Busse, W.W. 2001. Advances in Immunology. N Engl J Med 2001; 344: 350-
62.
13. Karnen, G.B. 2006. Imunologi dasar. Jakarta : Balai penerbit UI.
14. Price, D. 2005. Effect of a concomitant diagnosis of allergic rhinitis on
asthma related health care use by adults. Clin Exp Allergy; 35: 282

35
15. Jay, W.H. 2000. Eosinophil-dependent bromination in the pathogenesis of
asthma. J Clinic Invest; 105: 1331-2.
16. Sohn, S.W. 2008. . Evaluation of cytokine mRNA in induced sputum from
patients with allergic rhinitis: relationship to airway hyperresponsivenes.
Allergy; 63: 268–73.
17. Kips, J. 2001. Cytokines in asthma. Eur Respir J; 18: 24–33.
18. Uyainah, A. 2014. Spirometri. Ina J Chest Crit and Emerg Med. 1(1): 35-38.

36

You might also like