Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 23

Makalah Farmakoterapi Terapan

Dosen: Dr. Agnes Lidjaja, M.Kes., Apt.

ANEMIA DEFISIENSI VITAMIN B12

OLEH:

KELOMPOK 5 – KELAS A

Nur Farahiyah A. (710) Husnul Chatimah (719)


Rahmawati Rivai (737) Nurfahmam Russja (717)
Revi Reski Sari (724) A. Irawati Hijria (712)
Wa Ode Fitria (852) Widyanti Gusti (704)
Vindy V. Tuna (742) Indra Irwana (747)
Eko Kulla Allo (785) Hardyanto M. (731)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
SEMESTER AWAL 2015/2016
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil a’lamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat untuk

memenuhi salah satu tugas untuk mata kuliah Farmakoterapi Terapan. Shalawat dan

taslim semoga selalu tercurahkan kepada Nabiullah Muhammad shollallahu ‘alaihi

wasallam, sanak keluarga beliau yang disucikan (ahlulbait) serta dan para sahabat

beliau.

Makalah ini kami buat untuk menambah pengetahuan dan memberikan

informasi tentang “Anemia Defisiensi Vitamin B12” mulai dari defenisi,

epidemiologi, etiologi, faktor predisposisi, patofisiologi, tanda dan gejala,

pemeriksaan diagnostik penunjang hingga farmakoterapinya. Dengan memahami

penyakit anemia defisiensi vitamin B12 lebih mendalam diharapkan dapat menjadi

bekal keilmuan (knowledge) bagi farmasis/apoteker untuk nantinya diaplikasikan

di masyarakat khususnya dalam pelayanan kefarmasian dengan penerapan

farmakoterapi yang komprehensif. Semoga dengan adanya makalah ini dapat

memberikan informasi yang berharga dan bermanfaat untuk para pembaca .

Makassar, 12 Desember 2015

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Tujuan .................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .......................................................................... 3
2.1 Defenisi................................................................................... 3
2.2 Etiologi ................................................................................... 4
2.3 Epidemiologi .......................................................................... 5
2.4 Faktor Predisposisi ................................................................. 6
2.5 Patofisiologi ............................................................................ 6
2.6 Tanda dan Gejala ................................................................... 9
2.7 Pemeriksaan Diagnostik Penunjang ....................................... 12
2.8 Farmakoterapi ......................................................................... 13
BAB III PENUTUP .................................................................................... 18
3.1 Kesimpulan ............................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia merupakan masalah medik yang paling sering dijumpai di klinik
di seluruh dunia, di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat,
terutama di negara berkembang. Kelainan ini merupakan penyebab debilitas
kronik yang memiliki dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi,
serta kesehatan fisik (Butensky et al., 2008).
Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya untuk mengangkut oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan atau organ. Kriteria anemia menurut WHO berdasarkan kadar
hemoglobin, yaitu <13 gr/dl untuk laki-laki, <12 gr/dl untuk perempuan tidak
hamil dan <11 gr/dl untuk wanita hamil. Anemia diklasifikasikan berdasarkan
etiologi diantaranya adalah karena gangguan pembentukan eritrosit oleh
sumsum tulang, perdarahan, hemolitik, dan penyebab yang tidak diketahui
(Stabler, 2013).
Prevalensi anemia tersebar di berbagai negara dan merupakan salah satu
masalah kesehatan dunia. WHO memperkirakan sekitar 40% penduduk dunia
menderita anemia. Prevalensi tertinggi anemia yaitu pada ibu hamil dan lansia
(50%), bayi dan anak 1-2 tahun (48%), anak usia sekolah (40%), dan anak pra
sekolah (25%). Diperkirakan lebih dari 30% jumlah penduduk dunia atau 1500
juta orang menderita anemia dan sebagian besar tinggal di daerah tropik. Di
Indonesia, prevalensi tertinggi anemia diderita oleh perempuan hamil yaitu
sekitar 50-70% (Butensky et al., 2008).
Penyebab langsung terjadinya anemia beraneka ragam antara lain:
defisiensi asupan gizi dari makanan (zat besi, asam folat, protein, vitamin C,
ribovlavin, vitamin A, seng dan vitamin B12), konsumsi zat-zat penghambat
penyerapan besi, penyakit infeksi, malabsorpsi, perdarahan dan peningkatan
kebutuhan. Zat gizi seperti protein, besi, asam folat dan vitamin B12 diperlukan
dalam pembentukan sel darah merah. Pembentukan sel darah merah akan
terganggu apabila zat gizi yang diperlukan tidak mencukupi.

1
Anemia pernisiosa adalah salah satu jenis anemia berupa berkurangnya
produksi sel darah merah akibat defisiensi vitamin B12. Salah satu fungsi
vitamin B12 adalah untuk pembentukan sel darah merah di dalam sum-sum
tulang belakang. Anemia pernisiosa adalah penurunan sel darah merah yang
terjadi ketika tubuh tidak dapat dengan baik menyerap vitamin B12 dari saluran
pencernaan.
Anemia pernisiosa juga dikenal sebagai Biermer’s disease, adalah suatu
jenis penyakit autoimun dimana tubuh tidak dapat memproduksi sel darah
merah yang sehat karena kekurangan vitamin B12 (cyanocobalamin) dan suatu
protein yang disebut IF (intrinsic factor). Vitamin B12 umumnya didapatkan
dari sumber makanan. IF sendiri merupakan suatu protein yang diproduksi oleh
sel-sel mukosa pada gaster (mucus-secreting cells) atau yang juga dikenal
dengan sebutan sel parietal.
Asam folat dan vitamin B12 diperlukan dalam pembentukan sel darah
merah. Asam folat dan vitamin B12 penting dalam pematangan akhir sel darah
merah. Keduanya penting untuk sintesis DNA karena masing-masing vitamin
dengan cara yang berbeda dibutuhkan untuk pembentukan timidin trifosfat,
yaitu salah satu zat pembangun esensial DNA. Kekurangan vitamin B12 atau
asam folat dapat menyebabkan abnormalitas dan pengurangan DNA yang
selanjutnya berakibat pada kegagalan pematangan inti dan pembelahan sel.
Vitamin B12 diperlukan untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif dan dalam
fungsi normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel saluran cerna, sumsum
tulang, dan jaringan saraf (Solomon, 2006).
Beberapa penelitian membuktikan bahwa vitamin B12 berperan penting
dalam kejadian anemia. Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih
jauh tentang anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk mengetahui dan
memahami definisi, etiologi, faktor predisposisi, epidemiologi, patofisiologi,
tanda dan gejala, pemeriksaan diagnostik penunjang, dan farmakoterapi anemia
yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi
Anemia adalah sekelompok penyakit yang ditandai dengan penurunan
baik dalam hemoglobin (Hb) atau volume darah merah sel (sel darah merah),
yang menghasilkan penurunan oksigen pembawa kapasitas darah (Dipiro,
2005). Anemia merupakan gejala dan tanda penyakit tertentu yang harus dicari
penyebabnya agar dapat diberikan terapi dengan tepat. Anemia dapat
disebabkan oleh satu atau lebih dari 3 mekanisme independen yaitu
berkurangnya produksi sel darah merah, meningkatnya destruksi sel darah
merah dan kehilangan darah. Gejala anemia disebabkan karena berkurangnya
pasokan oksigen ke jaringan atau adanya hipovolemia (Oehadian, 2012).
Anemia pernisiosa merupakan salah satu jenis anemia karena
berkurangnya produksi sel darah merah yang disebabkan oleh defisiensi vitamin
B12 di mana vitamin B12 diperlukan untuk pembentukan sel darah merah di
dalam sum-sum tulang belakang. Anemia pernisiosa termasuk ke dalam jenis
anemia makrositik atau anemia megaloblastik (Brunner and Suddart, 2001).
Anemia pernisiosa pertama kali dijelaskan oleh Thomas Addison pada
tahun 1849. Anemia dihubungkan dengan lambung oleh Austin Flint pada tahun
1860 dan diberi nama pernicious anemia. Anemia pernisiosa umumnya
disebabkan oleh defisiensi vitamin B12, merupakan kondisi yang berhubungan
dengan atrofi lambung kronik. Menurut National Heart, Lung, and Blood
Institute (NHLBI), penyakit ini dinamakan “pernicious” karena dulu dianggap
sebagai penyakit yang mematikan karena tidak diketahui terapinya. Kini,
penyakit ini dapat diterapi dengan cukup mudah, yaitu dengan suntikan atau
suplementasi vitamin B12. Bila tak tertangani, defisiensi vitamin B12 dapat
menyebabkan komplikasi yang lebih berat seperti gangguan neurologi, anemia
kronis, dan keganasan lambung.
Pada sebagian besar kasus, anemia pernisiosa tampaknya merupakan
penyakit autoimun, karena sering ditemukan adanya antibodi terhadap protein
sel parietal dalam darah penderita penyakit ini (Junquiera et al., 2003).

3
2.2 Etiologi
Tubuh membutuhkan vitamin B12 untuk memproduksi sel darah merah
(eritrosit). Vitamin ini dapat diperoleh dari sumber makanan seperti daging,
unggas, kerang, telur, dan susu. Suatu protein spesifik yang disebut faktor
intrinsik berfungsi untuk membantu absorbsi vitamin B12 di dalam usus.
Protein tersebut dihasilkan oleh sel di dalam perut. Ketika faktor intrinsik tidak
cukup untuk dihasilkan maka usus tidak dapat mengabsorpsi vitamin B12
dengan baik. Penyebab utama dari anemia defisiensi vitamin B12 adalah
kondisi autoimun di mana sistem imun tubuh menghancurkan protein faktor
intrinsik atau menghancurkan sel yang membuat faktor intrinsik tersebut.
Selain itu anemia defisiensi vitamin B12 juga dapat disebabkan oleh gastritis
atropik (Antony, 2011).
Anemia defisiensi vitamin B12 atau anemia pernisiosa yang diturunkan
secara genetik disebut juga anemia pernisiosa congenital. Namun ini sangat
jarang ditemukan. Bayi dengan tipe anemia ini tidak dapat memproduksi faktor
intrinsik yang cukup atau tidak dapat mengabsorbsi vitamin B12 dengan baik
di dalam usus kecilnya. Pada orang dewasa, gejala dari anemia pernisiosa
biasanya tidak terlihat hingga umur 30. Umur rata-rata saat didiagnosis adalah
umur 60 (Antony, 2011).
Di bawah ini adalah tabel yang menyajikan penyebab dan sumber dari
defisiensi vitamin B12 yang berakibat pada kondisi yang fatal dalam jangka
waktu yang cukup lama yaitu anemia megaloblastik (Johnson, 2007).

Penyebab Sumber
Ketidakcukupan asupan  Vegetarian
makanan sumber vitamin B12  ASI dari seorang ibu yang vegan
 Makanan favorit yang kurang mengandung
vitamin B12
Malabsorpsi vitamin B12  Kekurangan faktor intrinsik (karena anemia
pernisiosa, destruksi mukosa lambung, atau
pembedahan lambung)
 Faktor intrinsik terhambat
 Sekresi asam menurun

4
 Peradangan pada perut, kanker,
abnormalitas sekresi cairan pankreas atau
getah lambung
 Cacing pita yang berada dalam ikan sering
menggangu penyerapan vitamin B12 dalam
tubuh individu yang mengkonsumsi ikan
tersebut
 AIDS
Ketidakcukupan  Defisiensi enzim
pemanfaatannya  Gangguan hati
 Transpor protein yang abnormal
Obat-obatan tertentu yang  Antasida
dikonsumsi dalam jangka  Obat-obatan untuk menurunkan asam
waktu yang lama lambung dan obat diabetes (seperti
metformin, phenformin, dan biguanides)
Tabel 1. Penyebab dan sumber defisiensi vitamin B12

2.3 Epidemiologi
Anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius karena
berdampak pada perkembangan fisik dan psikis, perilaku dan produktivitas
kerja. WHO memperkirakan sekitar 40% penduduk dunia terkena anemia.
Prevalensi tertinggi anemia pada ibu hamil dan lansia (sekitar 50 %), bayi dan
anak 1-2 tahun (48%), anak sekolah (40%), wanita tidak hamil (35%) dan anak
pra sekolah (25%) (Ramakrishnan, 2001). Adapun di Indonesia, kasus anemia
karena defisiensi atau kekurangan gizi saat ini masih menunjukkan angka
prevalensi anemia gizi yang masih cukup tinggi (63,5%).
Hasil penelitian membuktikan bahwa ternyata yang menderita anemia
defisiensi besi murni hanya 3,7 %, dan 55,6 % adalah anemia dengan disertai
berkurangnya salah satu zat gizi mikro seperti (seng, vitamin A dan vitamin
B12). Hal ini menunjukkan bahwa defisiensi besi bukan satu-satunya penyebab
anemia. Salah satunya anemia yang disebabkan oleh defisiensi vitamin B12
atau yang disebut dengan anemia pernisiosa.
Semua orang dari berbagai ras berpeluang menderita anemia pernisiosa.
Namun demikian, bangsa Eropa sebelah utara atau di daratan Afrika
mempunyai resiko yang lebih besar daripada ras dan kelompok etnis lainnya.

5
Hasil survei mengungkapkan bahwa hanya 1,9% orang berusia lebih dari 60
tahun yang tidak didiagnosa menderita anemia pernisiosa, berarti selebihnya
yaitu sebagian besar orang pada usia lebih dari 60 tahun berpeluang sangat
besar mengalami salah satu tipe anemia tersebut (Toh et al., 1997).
Laki-laki dan perempuan di Amerika Serikat memiliki peluang yang sama
untuk menderita anemia pernisiosa. Tetapi kondisi ini biasanya dialami oleh
orang-orang dewasa akhir atau tua daripada orang-orang yang masih muda, dan
jarang dialami oleh anak-anak. Terdapat beberapa laporan bahwa keluarga
berkulit putih memiliki peluang besar terhadap anemia pernisiosa dalam
beberapa generasi. Sekitar 20% keluarga pasien dengan anemia pernisiosa juga
menderita penyakit yang sama (Toh et al., 1997).

2.4 Faktor Predisposisi


Faktor predisposisi bagi seseorang yang memungkinkan terkena penyakit
anemia defisiensi vitamin B12 di antaranya adalah sebagai berikut (Lahner et
al., 2009; Antony, 2011).
 Keturunan Skandinavia atau Eropa Utara.
 Riwayat penyakit anemia defisiensi vitamin B12 dari keluarga.
 Riwayat gastrektomi parsial atau lengkap (pengangkatan lambung atau
bagian dari itu) dalam kasus kanker atau dalam kasus gastritis kronis
(radang dinding lambung).
 Riwayat gangguan endokrin autoimun, termasuk di antaranya penyakit
Addison, tiroiditis kronis, penyakit Graves, hipoparatiroidisme,
hypopituitarism, myasthenia gravis, dan amenore sekunder.

2.5 Patofisiologi
Vitamin B12 diperlukan dalam sintesis DNA, serta sangat penting
peranannya dalam reaksi metabolisme yang melibatkan asam folat dan juga
menjaga keseimbangan sistem neurologis. Vitamin larut air ini diperoleh dari
luar tubuh dengan mengkonsumsi makanan seperti daging, ikan, susu, unggas
dan sereal. Utamanya vitamin B12 ditemukan di hati sekitar 2-5 mg sedangkan

6
kebutuhan harian berkisar 2,4 μg pada orang dewasa sedangkan pada wanita
hamil dan menyusui >2,4 μg (Dipiro et al., 2005).
Diet vitamin B12 rata-rata sekitar 5-30 μg namun yang dapat diserap tubuh
hanya sekitar 1-5 μg. Penyerapan Vitamin B12 dalam saluran cerna sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik yang disintesis oleh sel parietal
lambung dan pada distal ileum. Penyebab paling umum terjadinya defisiensi
vitamin B12 adalah karena hilangya faktor intrinsik yang disebabkan oleh
gastritis atropik autoimun, kondisi ini kemudian dikenal dengan anemia
pernisiosa. Gastritis atropik autoimun diakibatkan karena hancurnya sel-sel
parietal lambung sehingga sintesis faktor intrinsik yang berperang dalam
mengikat vitamin B12 mejadi berkurang (Dipiro et al., 2005).

Gambar 1. Mekanisme normal dan malabsorpsi vitamin B12

7
Setelah lingkungan asam lambung menguraikan makanan yang
mengandung vitamin B12. Vitamin B12 berikatan dengan faktor intrinsik yang
disintesis oleh sel parietal lambung. Sekresi faktor intrinsik memicu pelepasan
asam klorida dan berfungsi sebagai protein carrier seperti pada proses transfer
besi. Ikatan vitamin B12 dengan faktor intrinsik membentuk kompleks di
duodenum yang tahan terhadap degradasi dan memungkinkan untuk terjadi
penyerapan vitamin B12 di terminal ileum (Dipiro et al., 2005).
Kompleks kobalamin-faktor intrinsik dilepas ke dalam sel mukosa ileum
kemudian faktor intrinsik dibuang dan kobalamin yang ditransfer ke
transkobalamin II, yang berfungsi sebagai protein transportasi. Kompleks ini
disekresikan ke dalam sirkulasi dan menuju ke hati, sumsum tulang, dan sel-
sel lainnya.
Transkobalamin II memiliki waktu paruh yang pendek yaitu 1 jam
sehingga dengan cepat dieliminasi dari sirkulasi darah. Karena itu kebanyakan
kobalamin terdistribusi dalam bentuk terikat untuk serum haptocorrins
(sebelumnya transkobalamin I dan transkobalamin III) yang fungsinya
diketahui. Namun perlu diketahui bahwa jalur penyerapan vitamin B12 ini
hanya untuk sejumlah kecil vitamin B12 dan melibatkan difusi pasif.
Kobalamin juga merupakan kofaktor dalam konversi homosistein untuk
metionin, ketika reaksi ini terganggu maka metabolisme folat juga terganggu
dan mengakibatkan eritropoiesis megaloblastik (Dipiro et al., 2005).
Adapun beberapa obat yang sebaiknya dihindari penggunaannya dalam
jangka panjang karena dapat mengganggu atau mengurangi absorbsi dari
vitamin B12 misalnya seperti inhibitor pompa proton dan penghambat reseptor
H2 yang dapat menekan sekresi asam lambung dan menghambat pelepasan
vitamin B12 dari makanan. Obat lain seperti metformin mengganggu
ketersediaan kalsium sehingga terjadi kegagalan absorbsi vitamin B12 dan
kolestiramin mengganggu absorbsi vitamin B12 di usus (Andre et al., 2004).

8
Gambar 2. Site absorbsi vitamin B12 dan penyebab defisiensinya

2.6 Tanda dan Gejala


Anemia defisiensi vitamin B12 ditandai dengan anemia megaloblastik
(sel-sel darah merah membesar), kelelahan/kelemahan (nyeri/lemah pada otot
lengan dan kaki), konstipasi, kehilangan nafsu makan, dan penurunan berat
badan. Perubahan neurologis, seperti mati rasa dan kesemutan di tangan dan
kaki, juga bisa terjadi. Gejala tambahan dari anemia defisiensi vitamin B12
termasuk kesulitan menjaga keseimbangan, depresi, kebingungan, demensia,

9
ingatan melemah, dan nyeri pada mulut atau lidah. Kekurangan vitamin B12
juga dapat meningkatkan risiko infertilitas dan sedikit keterkaitan dengan
peningkatan risiko kanker. Pada masa kanak-kanak, tanda-tanda anemia
defisiensi vitamin vitamin B12 diantaranya pertumbuhan terhambat, gangguan
gerak, keterlambatan perkembangan, dan anemia megaloblastik.
Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 dalam tingkatan yang ringan
akan menyebabkan gejala ringan atau mungkin tidak dirasakan. Namun jika
diabaikan kekurangan vitamin B12 dapat menyebabkan gejala seperti:
 Lemah dan lekas lelah
 Kulit pucat (kuning)
 Berat badan menurun
 Diare atau konstipasi
 Nyeri sendi
 Pusing
 Kesulitan berkonsentrasi atau sulit mengingat sesuatu
 Mudah memar atau berdarah, termasuk gusi dapat mengalami perdarahan
 Denyut jantung dan pernapasan cepat (dapat terjadi sesak terutama setelah
berolahraga)
Pada kasus kekurangan vitamin B12 yang berat, penderita dapat
mengalami tanda dan gejala seperti berikut ini:
 Kebingungan, halusinasi dan depresi
 Kesulitan berjalan (hilang keseimbangan)
 Mati rasa atau kesemutan pada kaki atau tangan
 Inkontinensia (tidak mampu mengontrol kemih)
 Hipotensi (tekanan darah rendah)
 Gangguan penglihatan
 Demensia
 Psikosis (kondisi pikiran abnormal).

2.7 Manifestasi Klinis


Anemia adalah tanda yang paling sering ditemui secara klinis, disertai
manifestasi fungsional tergantung beratnya penyakit. Kadang terdapat

10
komponen hemolitik dengan subikterus. Manifestasi hematologi lainnya juga
telah sering dilaporkan seperti neutropenia, trombositopenia, pansitopenia,
komponen hemolitik intramedulla karena eritropoiesis tidak efektif, dan
pseudothrombotic microangiopathy. Tanda-tanda yang paling sering adalah
adanya macroovalocytes dan hypersegmented neutrofil pada apus darah tepi.
Kekurangan vitamin B12 dapat bertanggung jawab untuk kerusakan saraf
(30% kasus anemia pernisiosa). Tanda-tanda neurologis biasanya menghasilkan
gambaran klinis gabungan sklerosis dari sumsum tulang belakang. Gangguan
biasanya dominan pada ekstremitas bawah. Kerusakan serabut saraf besar
bertanggung jawab untuk ataksia, parestesia, areflexia tendinous, dan gangguan
sensitivitas yang mendalam dengan tanda-tanda Romberg. Namun, tanda-tanda
neurologis tidak konsisten bersama dengan spektrum klinis yang sangat
bervariasi mulai dari neuritis optik untuk manifestasi dari depresi. Harus diingat
bahwa manifestasi neurologis hanya dapat menurun sebagian meskipun diberi
terapi vitamin B12 berkepanjangan dan dosis tinggi.
Tabel berikut ini merangkum manifestasi klinis anemia pernisiosa,
misalnya kejadian tromboemboli, atherothrombosis dengan gangguan jantung
(infark miokard) dan otak (stroke iskemik) via hyperhomocysteinemia, masalah
kesuburan, dan aborsi berulang.

Tabel 2. Manifestasi kilnis anemia defisiensi vitamin B12

11
2.8 Pemeriksaan Diagnostik Penunjang
Diagnosis anemia pernisiosa secara klasik ditegakkan dengan
menunjukkan tidak adanya faktor intrinsik pada cairan lambung - tingkat
sekresi faktor instrinsik < 200 U/jam setelah stimulasi dengan pentagastrin
(normal > 2000 U/jam) khusus untuk anemia pernisiosa, atau tidak langsung
dengan melakukan tes Schilling yang menyoroti penyerapan abnormal
kobalamin radioaktif, yang dikoreksi setelah pemberian faktor instrinsik.
Kriteria lain yang umum digunakan untuk mendiagnosis anemia
pernisiosa bervariasi dalam spesifisitas dan sensitivitas, ketersediaan rutin, atau
invasiveness antara lain ini meliputi:
 Adanya antibodi anti-IF serum yang sensitivitasnya hanya 50% (hanya
satu dari dua pasien dengan anemia pernisiosa yang memiliki antibodi
ini.
 Adanya lesi histologis gastritis fundus autoimun, terutama dengan tidak
adanya Helicobacter pylori (dalam sampel yang dikumpulkan).
 Hypergastrinemia atau peningkatan serum chromogranin A dengan tidak
adanya penggunaan pompa proton inhibitor.
Diagnosis banding utama dari defisiensi vitamin B12 pada orang dewasa
adalah malabsorpsi makanan/kobalamin (sindrom nondisosiasi vitamin B12
dari protein carrier-nya), suatu entitas yang merupakan etiologi utama dari
kekurangan vitamin B12 pada subjek lansia. Gangguan ini ditandai oleh
ketidakmampuan untuk melepaskan vitamin B12 dari makanan dicerna
dan/atau dari protein transpor usus, terutama bila terdapat hypochlorhydria di
mana penyerapan vitamin B12 tak terikat adalah normal.
Kekurangan asupan vitamin B12 jarang di negara-negara industri, selain
dari vegan ketat dan bayi yang baru lahir wanita vegan. Sindrom malabsorpsi
vitamin B12 lainnya terdiri cacat genetik protein yang terlibat dalam
metabolisme vitamin B12 seperti kekurangan/cacat IF atau transcobalamin II.
Pada akhirnya, harus diingat bahwa anemia pernisiosa adalah great
pretender karena kemiripan presentasi dengan kondisi klinis lain yang dapat
menyebabkan kekurangan vitamin B12. Diagnosis harus dipertimbangkan
ketika dihadapkan dengan manifestasi hematologi dan neurologis.

12
2.9 Farmakoterapi
a. Prinsip dan Tujuan Terapi
Prinsip pengobatan anemia defisiensi vitamin B12 adalah untuk
mencukupi kebutuhan vitamin B12 yang kurang dalam tubuh. Sedangkan
tujuan pengobatannya adalah untuk menyembuhkan anemia yaitu melalui
pemberian vitamin B12 agar mencegah timbulnya komplikasi, seperti
kerusakan jantung atau saraf dan mengobati penyakit dasarnya jika anemia
defisiensi vitamin B12 (anemia pernisiosa) disebabkan oleh penyakit
tertentu.
Jika anemia pernisiosa disebabkan oleh infeksi usus, biasanya
penderita akan diberikan antibiotik. Jika ada gangguan di usus halus,
mungkin dibutuhkan pembedahan. Tetapi jika anemianya terjadi akibat
kurang makan makanan bervitamin B12, maka pola makan harus diperbaiki
dan penderita harus mengkonsumsi tambahan vitamin B12 sepanjang
hidupnya.
b. Upaya Pencegahan (Preventif)
Hingga saat ini tidak diketahui cara untuk menghindari anemia
defisiensi vitamin B12. Karena sebagian besar penyebabnya terkait dengan
sistem imun individu. Namun melalui diagnosis awal dan pengobatan yang
tepat dapat mengurangi dan menghindari komplikasi akibat defisiensi
vitamin B12 (Antony, 2011).
c. Terapi Non-Farmakologi
Pasien anemia defisiensi vitamin B12 hendaknya melakukan terapi
non farmakologi untuk membantu penyembuhan, yaitu dengan melakukan
cara sebagai berikut:
 Mengkonsumsi makanan yang mengandung vitamin B12 seperti
daging, unggas, ikan, kerang, telur, sereal, keju, dan susu terutama
untuk vegetarian.
 Menghindari minuman beralkoholol karena dapat mengganggu
kemampuan tubuh untuk menyerap vitamin B12.
 Mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang.
 Istirahat yang cukup (bed rest) hingga kadar hemoglobin meningkat.

13
d. Penatalaksanaan Terapi Farmakologi
Penatalaksanaan terapi anemia defisiensi vitamin B12 tergantung dari
penyebabnya dan biasanya berbeda untuk setiap negara atau wilayah.
Terapi yang diberikan juga biasanya dilihat dari efektivitas rute pemberian
obat (parenteral/oral), jumlah dan interval pemberian dosis, serta bentuk
vitamin B12 (sianokobalamin/hidrokobalamin). Beberapa studi
komprehensif masih dibutuhkan untuk menentukan metode terapi yang
tepat untuk anemia defisiensi vitamin B12. Tujuan dari pengobatan adalah
untuk meningkatkan kadar vitamin B12 dalam darah.
Standar terapi untuk anemia defisiensi vitamin B12 adalah injeksi
vitamin B12 secara intramuskular (IM). Bentuk vitamin B12 yang
diberikan yaitu Sianokobalamin (CN-Cbl) dan Hidroksikobalamin (OH-
Cbl). Metode umum yang direkomendasikan dalam pemberian dosis injeksi
IM Sianokobalamin (CN-Cbl) melalui 3 tahap: 1.000 μg/hari selama 1
minggu, kemudian dilanjutkan 1.000 μg/minggu selama 1 bulan, diikuti
1.000 μg/bulan sepanjang hidup (Andres et al., 2010).
Selain melalui rute injeksi, terdapat pula terapi vitamin B12 dalam
bentuk sediaan oral dan nasal. Berdasarkan hasil penelitian dari 3 studi
prospektif acak, sebuah sistematik review Cochrane, dan 5 studi prospektif
cohort menemukan dan membuktikan bahwa terapi Cobalamin oral dosis
tinggi secara adekuat dapat mengobati defisiensi vitamin B12. Efektivitas
dari terapi Cobalamin oral dapat dinilai dari peningkatan kadar vitamin B12
di dalam darah, parameter hematologi (kadar hemoglobin, MCV, dan total
retikulosit). Dengan terapi Cobalamin oral dapat menghindari
ketidaknyamanan pasien, kesulitan pemberian dan harga sediaan injeksi
yang mahal (Andres et al., 2010).
Cobalamin oral bisa digunakan dengan pemberian dosis tinggi yaitu
1000 μg/hari untuk kompensasi atas absorpsi yang jelek karena kurangnya
faktor intrinsik pada pasien dengan anemia pernisiosa (Dipiro, 2008).
Beberapa dokter menyarankan bahwa pasien tua dengan atrofi
lambung sebaiknya mengkonsumsi suplemen vitamin B12 dengan dosis 25
µg – 1 mg vitamin B12 setiap hari secara per oral di samping suntikan

14
bulanan. Rekomendasi didasarkan pada pengamatan bahwa sekitar 1%
vitamin B12 diserap oleh sejumlah aksi tanpa faktor instrinsik (Epstein and
Franklin, 1997). Ada juga sediaan vitamin B12 yang dapat diberikan
melalui hidung. Bagi sebagian orang, mengkonsumsi tablet vitamin B12
melalui mulut dalam dosis sangat tinggi dapat menjadi pengobatan yang
efektif (Febriani, 2014).
Untuk mencegah anemia pernisiosa yang disebabkan dari riwayat
penyakit keluarga, Machlin (1991) menyarankan kepada sebagian besar
pasien untuk diberikan suntikan yang mengandung sekitar 60-100 µg
cyanocobalamin. Kejenuhan cadangan vitamin ini dalam tubuh mampu
mengatasi secara cepat anemia yang berkenaan dengan riwayat penyakit
orang tua. Oleh karena itu, telah terbukti bahwa koreksi terhadap defisiensi
cobalamin (vitamin B12) pada anemia pernisiosa tersebut dapat diatasi
dengan berbagai cara.
Bila terdapat tanda gagal jantung yang mengancam harus diberikan
transfusi darah PRC 10-15 ml/kg/BB. Bila terdapat infeksi harus segera
diatasi karena selama ada infeksi, sum-sum tulang sering tidak memberikan
respon dengan pemberian hematinik.
Beberapa obat sebaiknya dihindari penggunaannya dalam jangka
panjang karena dapat mengganggu atau mengurangi absorbsi dari vitamin
B12 misalnya seperti inhibitor pompa proton, penghambat reseptor H2,
metformin, dan kolestiramin (Andre et al., 2004).

Vitamin B12 (Sianokobalamin) Parenteral


Dosis Sianokobalamin parenteral secara intramuskular
(IM): 1.000 μg/hari selama 1 minggu, kemudian
dilanjutkan 1.000 μg/minggu selama 1 bulan, diikuti
1.000 μg/bulan sepanjang hidup.
Sediaan Sianokobalamin: 100 μg/ml dan 1000 μg/ml injeksi
IM atau SC; Hydroxocobalamin: 1000 μg/ml injeksi
IM

15
Indikasi Anemia pernisiosa yang tidak terkomplikasi atau
malabsorbsi pada intestinum yang menyebabkan
defisiensi vitamin B12.
Kontraindikasi Hipersensitivitas, tidak boleh digunakan untuk
anemia megaloblastik pada wanita hamil.
Efek samping Vitamin B12 (Sianokobalamin) biasanya dapat
ditoleransi dengan baik. Reaksi alergi setelah injeksi
jarang terjadi.
Farmakokinetik Injeksi Sianokobalamin baik dan cepat diabsorbsi
dalam pemberian intramuskular daripada per oral.
Rute intravena dihindari karena setelah
pemberiannya dapat menyebabkan ekskresi yang
cepat.
Interaksi obat Asam aminosalisilat: menurunkan efek vitamin B12
Kloramfenikol: menurunkan efek hematologi
vitamin B12 pada pasien anemia pernisiosa
Kolkisin: menyebabkan malabsorpsi vitamin B12
Alkohol : menyebabkan malabsorpsi vitamin B12

Vitamin B12 Oral (Sianokobalamin Generik)


Dosis Dewasa: 1 – 25 µg/hari
Anak-anak < 1 tahun: 1 µg/hari
Anak-anak > 1 tahun: 0,3 µg/hari
Bila jumlah yang diberikan melebihi kapasitas yang
dibutuhkan, sisanya akan diekskresikan melalui urin.
Sediaan Tablet: 25 µg, 50 µg, 100 µg, 1000 µg
Lozenges: 100 µg, 250 µg, 500 µg
Indikasi Mencegah dan mengobati defisiensi vitamin B12:
anemia permisiosa, pembentukan eritrosit.
Kontraindikasi Hipersensitivitas, tidak boleh digunakan untuk
anemia megaloblastik pada wanita hamil.
Efek samping Kardiovaskular: Trombosis vaskular perifer

16
Gastrointestinal: Diare
Kulit: Gatal, pembengkakan tubuh, urtikaria
Farmakokinetik Absorpsi: Mengikat faktor intrinsik yang dikeluarkan
oleh mukosa lambung melalui saluran cerna aktif
atau pasif difusi.
Distribusi: Dalam darah, yang terikat dengan
transcobalamin II (spesifik B-globulin pembawa
protein); didistribusikan dan disimpan di hati dan
sumsum tulang. Melintasi plasenta dan kecil jumlah
masukkan ASI.
Ekskresi: melalui empedu dengan intrahepatik daur
ulang; melalui urin (sebagian kecil sebagai vitamin
B12 dalam bentuk tidak terikat)
Interaksi obat Asam aminosalisilat: menurunkan efek vitamin B12
Kloramfenikol: menurunkan efek hematologi
vitamin B12 pada pasien anemia pernisiosa
Kolkisin: menyebabkan malabsorpsi vitamin B12
Alkohol : menyebabkan malabsorpsi vitamin B12

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Anemia defisiensi vitamin B12 disebut juga anemia pernisiosa yang
merupakan salah satu jenis anemia berupa berkurangnya produksi sel darah
merah akibat defisiensi vitamin B12.
 Penyebab utama dari anemia defisiensi vitamin B12 adalah kondisi
autoimun di mana sistem imun tubuh menghancurkan protein faktor
intrinsik atau menghancurkan sel yang membuat faktor intrinsik tersebut.
 Vitamin B12 berikatan dengan faktor intrinsik yang disintesis oleh sel
parietal lambung dan membentuk kompleks di duodenum. Kompleks ini
disekresikan ke dalam sirkulasi dan menuju ke hati, sumsum tulang, dan sel-
sel lainnya. Ketika mekanisme normal ini terganggu dapat mengakibatkan
eritropoiesis megaloblastik sehingga terjadi anemia.
 Anemia defisiensi vitamin B12 ditandai dengan anemia megaloblastik
(eritrosit membesar), kelelahan/kelemahan, konstipasi, kehilangan nafsu
makan, penurunan berat badan, perubahan neurologis (mati rasa dan
kesemutan), serta resiko infertilitas dan kanker.
 Pemeriksaan diagnostik untuk anemia defisiensi vitamin B12 yaitu
pemeriksaan fisik, laboratorium darah, sum-sum tulang, pengukuran kadar
vitamin B12 dalam darah, pemeriksaan antibodi terhadap faktor intrinsik,
dan analisa lambung. Jika penyebab belum pasti dilakukan tes Schilling.
 Prinsip terapi anemia pernisiosa adalah mencukupi kebutuhan vitamin B12
yang kurang dalam tubuh. Sedangkan tujuan pengobatannya adalah: (1)
Menyembuhkan anemia melalui pemberian vitamin B12 (parenteral
IM/subkutan, oral, atau nasal) dan asupan makanan bervitamin B12; (2)
Mengobati penyakit dasarnya bila disebabkan oleh penyakit tertentu
(misalnya antibiotik); (3) Mencegah perburukan klinis yang bisa berakibat
pada mortalitas seperti anemia berat dan terdapat tanda gagal jantung
(pemberian transfusi PRC).

18
DAFTAR PUSTAKA

Andres, E., Fothergill, H., and Mecili, M. 2010. Efficacy of Oral Cobalamin
(Vitamin B12) Therapy. Expert Opinion on Pharmacotherapy. Vol. 11, No. 2,
pp. 249-256. doi: 10.1517/14656560903456053.
Andres, E., Loukili, N.H., and Noel, E. 2004. Vitamin B12 (Cobalamin) Deficiency
in Elderly Patients. CMAJ. Volume 171, pp. 251-259.
Antony, A.C. 2011. Megaloblastic Anemias. In: Goldman L, Schafer Al, eds Cecil
Medicine. 24th Edition Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier. Chap 167.
Bruner and Sudarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8,
Volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Butensky, E., Paul, H., Bertram, L. 2008. Nutritional Anemia. Nutrition in
Pediatrics. Canada: Hemiltan, Ontario. Edisi 4.
Dipiro, J. T. 2005. Pharmacoterapy A Pathopysiologic Approach. Six Edition. New
York: Mc.Graw Hill.
Dipiro, J.T. 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. New York: Mc
Graw Hill Medical.
Epstein and Franklin, H. 1997. Mechanisms of Disease: Pernicious Anemia. The
New England Journal of Medicine. Vol. 337, No. 20.
Febriani, D. 2014. Anemia Pernisiosa. Laboratorium Ilmu Farmasi RS DR.
Moewardi Surakarta. Malang: Universitas Islam Malang.
http://www.medkes.com/ [Diakses tanggal 12 Desember 2015]
Johnson, L. E. 2007. Vitamin B12. http://www.merck.com [Diakses tanggal 12
Desember 2015].
Junquiera, L.C., Carneiro, J., and Kelley, R.O. 2003. Basic Histology. 10th Edition,
Washington: Lange.
Lahner, Edith, and Annibale, B. 2009. Pernicious Anemia: New Insight From
Gastroenterogical Point of View. World Journal Gastroenterol. Vol. 7,
No.15.
Machlin, L.J. 1991. Handbook of Vitamin. Second Edition. Revised and Expanded.
New York: Marcel Dekker Inc.

19
Oehadian, A. 2012. Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing Medical
Educatio. Vol. 39, No. 6, pp. 407.
Ramakrishnan, U. 2001. Nutritional Anemias. CRC Press: Boca London. New York
Washingon DC.
Solomon, L. 2006. Disorders of Cobalamin (Vitamin B12) Metabolism: Emerging
Concepts in Pathophysiology, Diagnosis and Treatment. Blood Reviews.
Stabler, S. 2013. Vitamin B12 Deficiency. The New England Journal of Medicine.
No. 368, pp. 149-160.
Toh, B. H., Driel, I.R., and Gleeson, P.A. 1997. Pernicious Anemia. The New
England Journal of Medicine. Vol. 337, pp. 1441-1448.

20

You might also like