Download as rtf, pdf, or txt
Download as rtf, pdf, or txt
You are on page 1of 16

DISKUSI KASUS ETIKA AKTUAL

TRANSPLANTASI ORGAN

KELOMPOK 3 A

Fransisca Evelyna 41150008


Agata Fitri Ambarini 41150012
Sheilla Dewi Sadara Widarjo 41150014
Mia Florensia Tamara 41150020
Alexander Mahesa Indiraka I 41150024
Ni Putu Divi Swandewi Putri 41150026
Drian Putra Pamungkas 41150031
Ruth Deas Muliany 41150034
Tiva Ismadyanti Christine P. 41150035
Dayang C. Nopiyondayani 41150040
Komang Srighandi Utami U 41150044
Eunike Faralia Pradhita 41150045
Ester Novitasari 41150047
Edwin Timoti Japanto 41150059
Alberto Diliano Novelito N 41150064

FAKULTAS KEDOKTERAN PRODI PENDIDIKAN DOKTER

UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA

YOGYAKARTA 2018
BAB I

PENDAHULUAN

Dewasa ini perkembangan teknologi berpengaruh dalam segala aspek kehidupan


terutama dalam hal medis, salah satunya yaitu kemajuan dalam teknik transplantasi organ.
Transplantasi yaitu pemindahan sebagian/seluruh jaringan atau organ dari satu individu pada
individu itu atau pada individu lain baik dengan spesies yang sama atau berbeda dengan tujuan
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan (Zulkarnaen, 2012). Transplantasi organ atau
jaringan tubuh manusia merupakan tindakan medik yang dilakukan bagi pasien dengan gangguan
fungsi organ tubuh yang berat. Transplantasi merupakan terapi pengganti (alternatif) yang
merupakan upaya terbaik untuk menolong pasien dengan kegagalan organ dikarenakan hasil
yang lebih memuaskan daripada terapi konservatif (Hanafiah & Amir, 2008). Kesuksesan
transpantasi organ pertama kali terjadi pada tahun 1954, di mana pada saat itu transplantasi yang
dilakukan berupa donor ginjal pada seorang pasien gagal ginjal. Sejak saat itu teknik
transplantasi terus dikembangkan, mulai dari pengawetan organ yang didonorkan hingga obat
yang digunakan pada saat proses transplantasi sehingga berbagai organ atau jaringan dapat
ditransplantasikan.

Ada beberapa jenis transplantasi atau pencangkokan (baik sel, jaringan, atau organ
tubuh), antara lain autograft (pemindahan dari satu tempat ke tempat lain dalam satu tubuh),
allograft (pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain dalam satu spesies), isograft (pemindahan
dari satu tubuh ke tubuh lain yang identik, misalnya pada kembar identik), dan xenograft
(pemindahan dari satu tubuh ke tubuh lain yang berbeda spesies). Di Indonesia, transplantasi
yang lazim dilakukan yaitu pemindahan jaringan atau organ antar manusia, bukan dari hewan
(Hanafiah & Amir, 2008).

Pada transplantasi, organ atau jaringan tubuh yang akan dipindah bisa diambil dari
pendonor yang masih hidup atau dari jenazah yang baru meninggal (definisi meninggal yang
dipakai di sini yaitu mati batang otak). Organ atau jaringan yang bisa diambil dari donor hidup
yaitu kulit, ginjal, sumsum tulang, dan darah (transfusi darah). Sementara itu, organ atau jaringan
yang diambil dari jenazah antara lain jantung, hati, ginjal, kornea, pankreas, paru, serta sel otak
(Hanafiah & Amir, 2008).
Ketika tingkat keberhasilan transplantasi organ semakin meningkat maka meningkat juga
permintaan organ tubuh manusia. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, setiap tahun terjadi
21.000 kasus transplantasi hati. Jumlah tersebut diperkirakan meningkat setiap tahunnya. Selain
hati, permintaan akan ginjal juga melebihi persediaan atau jumlah yang ditentukan. Hal
tersebutlah yang akan menyebabkan berbagai masalah seperti meningkatnya pasien yang
membutuhkan transplantasi, harga organ tubuh melonjak tajam, penolakan organ, komplikasi
pasca transplantasi, dan resiko yang mungkin timbul akibat transplantasi, yang memunculkan
berbagai pertanyaan dari segi etika, legalitas dan kebijakan hukum yang menyangkut
penggunaan teknologi itu. Tindakan transplantasi ini terkadang juga membutuhkan pertimbangan
dari segi moral dan agama (Hanafiah & Amir, 2008). Transplantasi di Indonesia diatur antara lain
dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan serta Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi
Organ. Pelaksanaan tindakan transplantasi ini juga harus berlandaskan pasal-pasal dalam Kode
Etik Kedokteran (KODEKI). Dari segi agama, agama yang berbeda juga mungkin memiliki
berbagai pandangan yang juga harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan transplantasi.

Untuk itu pada makalah ini akan dibahas mengenai beberapa analisis kasus transplantasi
ginjal yang ada di Indonesia yang salah satunya berada di RS Saiful Anwar Malang dari segi
etika, moral, hukum, dan agama. Dengan makalah ini, diharapkan pembaca dapat memahami
lagi mengenai transplantasi organ dengan menganalisis kasus transplantasi ginjal di RS Saiful
Anwar dengan mempertimbangkan dari segi etika, moral, hukum, serta agama sehingga dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk melakukan tindakan medis khususnya transplantasi terutama
dalam aspek etika dan hukum.
BAB II

RINGKASAN KASUS ETIKA

Pihak yang terlibat :

Pendonor : Ita Diana

Penerima Donor : Istri Erwin Susilo

Pelaksanaan : Rumah Sakit Saiful Anwar Malang (RSSA)

Kasus :

Polisi menduga bahwa di rumah sakit tersebut terdapat jual beli ginjal illegal dalam
proses transplantasi ginjal. Diduga illegal karena pendonor (Ita) ditawari oleh pihak rumah sakit
untuk mendonorkan ginjal dengan bayaran tertentu yang telah ditentukan bersama dengan suami
penerima donor dan bukan keinginannya sendiri menawarkan ginjalnya, sehingga disebut hal
illegal.

Kasus ini berawal dari proses transplantasi di Rumah Sakit Saiful Anwar Malang antara
Ita Diana sebagai pendonor dan Erwin Susilo sebagai penerima donor. Dalam prosesnya, diduga
terjadi jual beli ginjal sebesar Rp. 350.000.000,- yang dijanjikan oleh Erwin kepada Ita. Sebab,
berdasarkan pernyataan Ita bahwa ia ditawari untuk mendonorkan ginjal bukan menawarkan
ginjal.

Berdasarkan keterangan pendonor :

Pendonor ginjal ditawari oleh dua dokter. Diduga dr. Atma (Ketua Tim Transplantasi Ginjal
RSSA) dan salah satu tim dokter transplantasi yaitu dr Rifai. Lalu diperkenalkan dengan Erwin
Susilo dan melakukan kesepakatan dengan suami penerima donor dan akan mendapatkan
imbalan 350 juta. Namun, pendonor hanya mendapatkan Rp. 70.000.000,-.

Berdasarkan keterangan Erwin Susilo (suami penerima donor) :

Erwin menyatakan bahwa tidak pernah menjanjikan uang Rp. 350.000.000,- kepada pendonor.
Menurut Erwin, proses transplantasi ginjal (kesepakatan) antara pendonor dengan dirinya sudah
sesuai arahan tim dokter RSSA Malang. Bahkan, soal kompensasi juga sudah sesuai aturan dan
Erwin memberikan uang sebesar Rp. 70.000.000,- ke pendonor dengan perincian Rp. 45.000.000
sebagai biaya hidup selama 3 bulan, Rp. 5.000.000 untuk BPJS Kesehatan, dan Rp. 20.000.000
sebagai tali kasih.

Berdasarkan keterangan dr. Rifai (salah satu tim dokter transplantasi ginjal) :

Dokter Rifai tidak mengenal pendonor dan mengatakan bahwa pendonor datang sendiri dan
memperkenalkan diri menjadi donor. Dokter Rifai juga menyatakan bahwa pendonor
menyatakan secara ikhlas untuk kepentingan manusia dan telah menadatangani informed consent
serta kesepakatan sesuai SOP. Tim telah melakukan berbagai proses skrining (termasuk
kecocokan sel).

Berdasarkan keterangan dr Atma :

dr Atma menyatakan bahwa tim dokter tidak pernah mencari donor dan tidak mengenal pendonor
sebelumnya. Dokter Atma juga menyatakan bahwa ia tidak bertanggungjawab dengan kejadian
ini.
BAB III

ANALISIS

A. ANALISIS KASUS BERDASARKAN AGAMA DAN BUDAYA

Pada tahun 1995, sebuah konsensus dibuat oleh para pemimpin agama dan pakar
kesehatan termasuk nephrologist dan urologist. Konsensus tersebut dinamakan Kesepakatan
Kemayoran yang tersusun dalam simposium nasional II YAGINA (Yayasan Ginjal Nasional) dan
PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) yang menuliskan bahwa transplantasi ginjal
merupakan salah satu penanganan terbaik untuk pasien dengan ESDR (end-stage renal disease)
dan penggunaan organ donor diperbolehkan baik dari perspektiv agama (kelima agama resmi di
Indonesia), perspektiv pakar-pakar kesehatan, dan aspek budaya. Namun sampai saat ini , masih
terdapat perdebatan luas baik di kalangan dokter, pasien, maupun pakar dari bidang lain (filsafat
dan teologi).

Dalam pandangan agama Kristen Protestan, dikatakan bahwa transplantasi organ dan
donor organ penting dilakukan untuk tujuan pengobatan sebagai bagian dari peningkatan kualitas
hidup seseorang, tindakan ini membawa gema kekristenan mengenai kasih. Namun demikian,
yang perlu dipertimbangkan adalah status kehidupan bagi donor organ yang meninggal. Secara
etis donor organ meninggal baru benar-benar bisa dilakukan apabila pendonor sudah meninggal
dunia sehingga menjadi amat penting secara etis.

Serupa dengan pangan agama Kristen Protestan, dalam pandangan Gereja Katolik donasi
organ tubunh dianggap sebagai sebuah tindakan yang tidak bermoral apabila donasi itu dilakukan
dengan cara tidak berprikmanusiaan, terutama dengan prinsip komersil atau prinsip jual beli
organ dengan harga yang tinggi. Seseorang boleh merelakan organ tubuhnya untuk menolong
orang lalin asal tidak membahayakan hidup dan kepribadian sendiri dan harus dilakukan
berdasarkan semangat solidaritas.

Dalam pandangan agama Hindu, didasari oleh pandangan umat Hindu mengenai panca
srada, yaitu percaya adanya atman (sinar suci Tuhan), percaya adanya hukum karma, percaya
adanya punarbawa (kelahiran kembali), serta percaya adanya moksa (bersatu kembali dengan
Tuhan dengan tidak dilahirkan kembali), dengan begitu donasi organ harus bersifat satvika atau
bertujuan mulia, dimana harus membawa manfaat bagi donor dan penerima donor. Perbuatan ini
harus dilakukan diatas prinsip yajna yaitu pengorbanan tulus iklas tanpa pamrih dan bukan
dilakukan untuk maksud mendapatkan keuntungan material

Dalam pandangan agama Buddha, berdasarkan pengertian Budhis, seorang terlahir


kembali dengan badan yang baru. Oleh karena itu, organ tubuh yang telah didonorkan pada
kehidupan yang lampau tidak lagi berhubungan dengan tubuh dalam kehidupan yang sekarang.
Hal ini berarti orang yang telah mendermakan anggota tubuh tertentu tetap akan terlahir kembali
dengan organ tubuh yang lengkap dan normal. Contohnya orang yang telah berdonor kornea
mata, tetap akan terlahir dengan mata normal dan tidak buta, serta karena donor adalah salah satu
bentuk karma baik, maka ketika seseorang berderma kornea mata, dipercaya dalam kelahiran
yang berikutnya, ia akan mempunyai mata lebih indah dan sehat dari pada mata yang ia miliki
dalam kehidupan saat ini.

Sedangkan dalam pangangan agama Islam mengenai transplantasi organ ini terbagi
menjadi berdasarakan transplantasi organ dari donor yang masih hidup dan transplantasi organ
dari donor yang sudah meninggal. Transplantasi organ dari donor yang yang masih hidup dan
dapat mengakibatkan kematian donaturnya bila diambil. Seperti, jantung, hati dan otak. Maka
hukumnya adalah tidak boleh. Atas dasar Firman Allah SWT yang artinya “Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik. (Al-Baqarah:195). Juga dalam FirmanNya ”Dan janganlah kamu membunuh
dirimu sendiri, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa: 29) Serta
“Dan tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. (Al-Maidah: 2). Penanaman jaringan/organ yang diambil dari
orang lain yang masih hidup yang tidak mengakibatkan kematiannya seperti, organ tubuh ganda
diantaranya ginjal atau kulit atau dapat juga dikategorikandisini praktek donor darah. Pada
dasarnya masalah ini diperbolehkan hanya harus memenuhi syarat-syarat berikut dalam
prakteknya yaitu yang pertma, tidak akan membahayakan kelangsungan hidup yang wajar bagi
donatur jaringan/organ. Karena kaidah hukum Islam menyatakan bahwa suatu bahaya tidak
boleh dihilangkan dengan resiko mendatangkan bahaya serupa/sebanding. Kadua, hal itu harus
dilakukan oleh donatur dengan sukarela tanpa paksaan dan tidak boleh diperjual belikan. Ketiga,
boleh dilakukan bila memang benar-benar transplantasi sebagai alternatif peluang satu-satunya
bagi penyembuhan penyakit pasien dan benar-benar darurat. Keempat, boleh dilakukan bila
kemungkinan keberhasilan transplantasi tersebut sangat besar. Sedangkan transplantasi organ
dari donor yang sudah meninggal, diharamkan adanya pelanggaran terhadap kehormatan mayat
sebagaimana pelanggaran terhadap kehormatan orang hidup. Dalam agama Islam dikatakan
bahwa bahwa menganiaya mayat sama saja dosanya dengan menganiaya orang hidup.
Diriwayatkan dari A’isyah Ummul Mu’minin RA bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Memecahkan tulang mayat itu sama dengan memecahkan tulang orang hidup.” (HR. Ahmad,
Abu Dawud, dan Ibnu Hibban). Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amar bin Hazm Al Anshari
RA, dia berkata,”Rasulullah pernah melihatku sedang bersandar pada sebuah kuburan. Maka
beliau lalu bersabda : “Janganlah kamu menyakiti penghuni kubur itu !” . Hadits-hadits tersebut
secara jelas menunjukkan bahwa mayat mempunyai kehormatan sebagaimana orang hidup.
Begitu pula melanggar kehormatan dan menganiaya mayat adalah sama dengan melanggar
kehormatan dan menganiaya orang hidup.

B. ANALISIS KASUS BERDASARKAN HUKUM

Pada kasus ini polisi menduga bahwa di rumah sakit tersebut terdapat jual beli ginjal
illegal dalam proses transplantasi ginjal. Diduga illegal karena pendonor (Ita) ditawari oleh pihak
rumah sakit untuk mendonorkan ginjal dengan nominal yang telah ditentukan bersama dengan
suami penerima donor dan bukan keinginannya sendiri menawarkan ginjalnya, sehingga disebut
hal illegal. Di Indonesia sendiri untuk transplantasi organ sudah ada peraturan yang mengatur.
Sayangnya saat ini kasus transplantasi organ ilegal semakin banyak terjadi karena adanya
kebutuhan akan transplantasi organ yang meningkat. Untuk transplantasi organ ilegal sendiri
banyak alasan yang mendasarinya seperti, seseorang yang menjual organnya karena terdesak
kebutuhan ekonomi, seseorang yang menjadi perantara jual beli organ untuk keuntungan sendiri,
seseorang mencari donor organ tubuh dengan menipu, dan diduga sejumlah kasus pembunuhan
berkaitan erat dengan tujuan mengambil organ tubuh korban kemudian dijual.

Berikut ini beberapa peraturan yang berhubungan dengan transplantasi organ :


1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di Indonesia

UU ini adalah salah satu peraturan yang melarang tindak pidana perdangan transplantasi
organ tubuh manusia. Pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana tersebut diantaranya
adalah Pasal 64 ayat (1), (2), dan (3), pasal 65 ayat (1), (2) dan (3), Pasal 66, 67 ayat (1)
dan (2), dan Pasal 192.

Dalam pasal 64 menjelaskan tentang transplantasi, implant obat dan atau alat kesehatan,
bedah plastik, rekuntruksi, penggunaan sel punca hanya untuk pemulihan kesehatan serta
larangan jual beli organ atau jaringan tanpa dalih apapun. Dalam pasal 65 menjelaskan
tentang syarat kompetensi tenaga kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan dalam
melaksanakan transplantasi organ serta perlunya informed consent dalam pelaksanaan
transplantasi organ. Pasal 66 menjelaskan bahwa transplantasi hanya dilakukan apabila
terbukti keamanan dan kemanfaatannya. Dalam Pasal 67 menjelaskan tentang kompetensi
terhadap fasilitas dan tenaga kesehatan tertentu dalam melakukan transplantasi terhadap
perundang-undangan. Pada Pasal 192 menjelaskan tentang sanksi pidana terhadap tindak
pidana perdanganan organ tubuh manusia

2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 tentang


Penyelenggaraan Transplantasi Organ

Peraturan ini memuat lengkap bagaimana seharusnya transplantasi organ terlaksana.


Peraturan ini berisi 11 bab dan 46 pasal yang mengatur baik dari pihak rumah sakit,
pendonor, resipien serta bagaimana penyelenggaraan transplantasi organ. Pada pasal 11
disebutkan bahwa penyelenggaraan transplantasi organ melalui 3 tahap yaitu pendaftaran,
pemeriksaan kecocokan resipien-pendonor dan tindakan transplantasi organ. Sedangkan
pasal yang berkaitan dengan kasus legalitas ini sebagai berikut pasal 19 ayat (1) huruf c
dan g, pasal 24 ayat (1) huruf d, pasal 34 ayat (1), pasal 36 ayat (2) huruf b, pasal 37 ayat
(2) huruf b, pasal 43 ayat 1 huruf a dan c.

Pada pasal 11 disebutkan 3 tahapan transplantasi organ tersebut. Pada ketiga tahapan
tersebut terdapat peraturan yang mengatur jalanan proses transplantasi dari pertama yaitu
pendaftaran hingga pasca transplantasi. Pada proses pendaftaran, pasal 19 ayat (1) huruf
c dan g yang dikatakan bahwa salah satu syarat administratif adalah adanya pernyataan
tertulis bahwa organ tubuh disumbangkan secara sukarela dan tidak melakukan penjualan
dan perjanjian dengan pihak resipien. Pada pasal 24 ayat (1) huruf d dikatakan bahwa
seorang resipien harus menyerahkan pernyataan tertulis bahwa tidak membeli organ
tubuh dari calon pendonor atau melakukan perjanjian dengan pendonor, yang tertuang
dalam bentuk akte notaris. Pada bagian tindakan transplantasi dan pasca transplantasi
organ, pasal 34 ayat (1) dikatakan Setelah Komite Transplantasi Nasional mengeluarkan
surat keterangan kelayakan pasangan resipien pendonor dan tidak ditemukan indikasi jual
beli dan/atau komersial, tim transplantasi rumah sakit melakukan Pemeriksaan kesiapan
tindakan Transplantasi Organ. Pada pasal 36 ayat (2) huruf b dan pasal 37 ayat (2) huruf b
sama-sama memuat kewajiban baik dari pendonor maupun resipien berkewajiban untuk
tidak melakukan perjanjian khusus terkait transplantasi organ. Pasal 43 ayat 1 huruf a dan
c memuat bahwa masyarakat dapat ikut serta dalam penyelenggaraan transplantasi organ
dengan promosi dan sosialisasi bahwa menyumbangkan Organ tubuhnya secara sukarela
merupakan amal ibadah dan tolong menolong serta ikut mencegah terjadinya jual beli
organ tubuh manusia.

Pada penjabaran Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Di


Indonesia dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ dapat dilihat bahwa di Indonesia khususnya transplantasi
organ harus dilakukan dengan sukarela dan tanpa adanya perjanjian khusus sebelumnya antara
pihak pendonor dan resipien. Jika terdapat perjanjian atau ada indikasi jual beli organ makan
transplantasi tersebut dikatakan ilegal dan dapat dikenakan sanksi pidana. Jika mengacu
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2016 tentang
Penyelenggaraan Transplantasi Organ proses sampai terjadinya translantasi organ dapat
dikatakan panjang. Baik dari pihak rumah sakit, pendonor, dan resipien memiliki aturan yang
harus dipatuhi dan terpenuhi, terutama mengenai kesukarelaan dan tidak adanya perjanjian
khusus antara pihak terkait tersebut. Sehingga seharusnya apabila terdapat kriteria atau sistem
yang tidak sesuai dengan peraturan yang ada, proses transplantasi tidak dapat terjadi. Namun
ketika sudah terjadi maka akan sulit menemukan letak kesalahan di mana karena pada kasus ini
masing-masing pihak terkait memiliki keterangan yang berbeda. Seperti halnya kasus ini pihak
pendonor, suami penerima donor dan rumah sakit mengatakan hal yang berbeda.

C. ANALISIS KASUS BERDASARKAN MORAL DAN ETIKA

Moral berasal dari bahasa latin “mos” yang berarti adat, kebiasaan. Ini mencakup
perilaku , kewajiban dan tanggung jawab individu terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Menurut Helden dan Richards moral merupakan pandangan baik-buruk, benar-salah yang dapat
dilakukan dan tidak dapat dilakukan. Pandangan terhadap moral kelompok sosial satu dengan
yang lain berbeda-beda, ada yang menganggap bahwa wajar dan ada yang menganggap tidak
wajar sehingga perlu adanya rasa menghormati antar kelompok agar terjadi keharmonisan.

Transplantasi organ merupakan tindakan medis yang sangat bermanfaat bagi pasien
dengan gangguan fungsi organ tubuh yang berat. Secara umum apabila tujuan suatu tindakan itu
menguntukan berbagai pihak maka dapat dikatakan perbuatan tersebut menjunjung moral atau
tidak. Namun perlu dilihat juga dari segi perbuatan-perbuatan dari pihak-pihak yang
bersangkutan , meliputi pihak pendonor , penerima atau resipien dan dari tenaga medis.

Pendonor merupakan individu yang memberikan jaringan atau organnya kepada orang
lain atau resipien. Disini Ibu Ita Diana merupakan pendonor organ ginjal kepada resipien yaitu
istri Erwin Susilo. Berdasarkan cerita Ibu Ita, ia ditawari oleh pihak rumah sakit untuk
mendonorkan ginjal bukan menawarkan ginjal, yang berarti disini tidak terdapat unsur sukarela
dan bukan keinginan diri sendiri untuk mendonorkan organ tubuhnya. Singkat cerita Ibu Ita ini
setuju untuk mendonorkan ginjalnya ke resipien setelah adanya perjanjian tidak tertulis karena
adanya imbalan yaitu sebesar 350 juta rupiah . Disini terdapat ketidaksesuaian antara definisi
moral dan tindakan yang dilakukan Ibu Ita, dimana perbuatan yang dilakukan tidak
mencerminkan moral yang baik karena donor organ tubuh seharusnya dilakukan secara sukarela
dan tidak meminta imbalan apapun. Meskipun pendonor bersedia mendonorkan organnya ,
perbuatan itu dilakukan bukan atas unsur sukarela, namun karena diadakan imbalan yang
diberikan.

Pihak resipien merupakan pihak yang menerima organ dari pendonor. Istri Erwin Susilo
berperan menjadi resipien dalam kasus ini. Sesuai yang diberitakan , Erwin menjanjikan akan
memberi imbalan kepada pendonor ginjal yaitu Ibu Ita secara tidak tertulis. Dan janji yang telah
disepakati tidak ditepati oleh resipien, pendonor tidak mendapatkan imbalan yang dijanjikan.
Dari awal perjanjian perbuatan ini sudah tidak menunjukan perbuatan yang baik karena menjurus
ke perbuatan jual-beli organ yang dimana merupakan illegal di dunia medis maupun hukum.
Selain itu dari pihak resipien tidak dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya karena telah
mengingkari perjanjian yang telah disepakati meskipun dari awal perjanjian seperti itu tidak
boleh dilakukan.

Dari pihak medis , disini terdiri dari dokter dan pihak rumah sakit. Dilihat dari keterangan
Dokter Rifai dan Dokter Atma , mereka tidak mengenal pendonor, sehingga dapat dikatakan
bahwa dokter tidak menjanjikan apapun ke pendonor maupun ke pasien. Bahkan pendonor dan
resipien sudah menandatangani informed consent, untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan
tindakan transplantasi organ ginjal ini bukan tanggung jawab dokter.

Dari segi moral, dokter sudah menjunjung tinggi moralitas dalam dunia kedokteran. Hal
ini ditunjukkan dengan tidak terlibatnya dokter dalam negosiasi antara pendonor dan suami
resipien. Apabila benar pernyataan yang disampaikan oleh pendonor bahwa dokter menjadi
“makelar” organ dalam kasus ini, maka selain melanggar kode etik profesi, dokter juga memiliki
moral yang buruk karena dokter sudah masuk ranah diluar kompetensinya dan mencari
keuntungan pribadi.

Mengenai tuntutan pendonor perihal jumlah uang yang akan didapat setelah
mendonorkan organnya ternyata tidak sesuai dengan apa yang menurut pendonor telah
dijanjikan, dokter tidak boleh terlibat dalam hal tersebut, karena itu merupakan kesepakatan
pribadi antara pendonor dan suami resipien yang seharusnya memiliki bukti hitam diatas putih.
Ini sudah sesuai dengan kewajiban dan profesionalisme tenaga kesehatan yang mencakup unsur
alturisme, akuntabilitas dan kewajiban sehingga dapat dikatakan dokter sudah menunjukan nilai
moral.

Dari segi etik kedokteran, tindakan transplantasi wajib dilakukan jika ada indikasi serta
berlandaskan beberapa pasal dalam kodeki, yaitu :

1. Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi.

2. Pasal 10

Setiap dokter harus senantiasa mengingat dan kewajibannya melindungi hidup insani.

3. Pasal 11

Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan penderita.

Berdasarkan pemaparan kasus yang ada, dokter sudah menjalani kode etik profesinya
dengan benar. Hal tersebut ditunjukkan lewat pernyataan Dokter Rifai dan Dokter Atma bahwa
mereka tidak mengenal pendonor, berarti Dokter tidak menjanjikan apapun baik kepada pihak
pendonor maupun pihak resipien. Dokter sudah melakukan tugasnya sesuai dengan SOP dan
pendonor maupun pihak resipien juga sudah menandatangani informed consent. Hal-hal yang
terjadi diluar SOP dan apapun yang tidak berkaitan dengan tindakan transplantasi bukan
menjadi tanggung jawab seorang dokter. Dokter juga tidak boleh ikut campur dalam masalah
diluar hal tersebut.

Berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, transplantasi sudah terlaksana dengan baik,


resipien pun selamat berarti hal ini menunjukkan bahwa dokter sudah menjalani etika profesi
sesuai dengan porsi dan kewenangannya.

BAB IV
KESIMPULAN & ALTERNATIF SOLUSI

Dari kasus transplantasi organ tersebut, dilihat dari beberapa pertimbangan, baik segi
hukum, moral dan etik, serta agama. Dimana pertimbangan-pertimbangan ini sesuai dengan apa
yang berlaku pada pasien, hukum yang digunakan adalah undang-undang yang berlaku di
Indonesia, moral dan etik sesuai dengan kode etik profesi kedokteran dan terakhir agama sesuai
yang dianut tanpa mengecualikan pandangan agama yang lainnya juga. Dari pertimbangan-
pertimbangan ini maka kasus transplantasi organ sesuai dengan kasus yang sedang dibahas dapat
diselesaikan.

Alternatif solusi :

Alternatif solusi pertama dipandang dari sisi moral adalah diskusi antara kedua
pihak bahwa secara moral adanya pendonoran organ pada proses transpantasi harusnya sesuai
dengan sifat moral menurut Imanuel Kant yaitu dalam nilai moral terdapat suatu imperative
kategoris dimana apabila seorang pendonor ingin melakukan donor organ berdasarkan nilai
moral maka harusnya ini dilakukan begitu saja,tanpa syarat. Apabila pendonor melakukan atau
terdorong untuk mendonorkan organ oleh karena adanya pemberian dana atau syarat tertentu
maka ini disebut sebagai imperative hipotesis dimana berarti suatu hal dilakukan berdasarkan
pada suatu syarat seperti nilai ekonomi ataupun nilai lainnya.

Konsekuensi dari alternative ini adalah sulitnya mengetahui sejak awal dorongan apa
yang membuat pendonor untuk mendonorkan organ,dan juga setiap nilai yang dianut oleh kedua
pihak mungkin saja berbeda yang menyebabkan penyelesaian dengan jalan ini akan menjadi
lebih sulit. Selain itu tidak adanya batasan yang jelas antara “Benar” ataupun “Salah” dalam
kajian moral.

Alternatif Solusi Hukum :

Melakukan kajian hukum terhadap kasus yang sedang terjadi baik dari pihak
pendonor,rumah sakit maupun pihak resipien. Pengaturan hukum dapat mengacu pada Peraturan
Mentri Kesehatan Republik Indonesia Tahun 2008 dimana pada pasal 11 dikatakan bahwa
pelaksanaan transplantasi organ melalui 3 tahap yaitu pendaftaran,pemeriksaan kecocokan organ
dan transplantasi. Pada prosedur pendaftaran pasal 19 ayat (1) huruf c dan g dikatakan bahwa
salah satu peryaratan adminisitratif adalah adanya pernyataan tertulis bahwa organ tubuh di
donorkan secara sukarela dan tidak melakukan penjualan dan perjanjian dengan resipien.Pada
pasal 24 ayat (1) huruf d dikatakan bahwa seorang resipien harus menyerahkan pernyataan
tertulis bahwa tidak membeli organ tubuh calon pendonor atau melakukan perjanjian dengan
pendonor yang tetuang dalam akte notaris. Sehingga apabila benar terbukti secara hukum pihak
pendonor dan resipien melakukan perjanjian sebelum transplantasi,maka kedua pihak dapat
dituntut secara pidana karena telah melanggar aturan hukum diatas. Apabila dibandingkan
dengan alternative diatas maka alternative ini memiliki keunggulan karena memiliki dasar
hukum untuk menegakan adanya dugaan perbuatan melanggar hukum pada kasus yang diangkat.

Konsekuensi dari solusi ini adalah apabila terbukti kedua pihak baik resipien dan
pendonor melakukan perjanjian sebelum pendonoran maka dapat disimpulkan secara hukum
kedua pihak telah melanggar undang-undang Peraturan Mentri Kesehatan Tahun 2018 tentang
transplantasi organ dan dapat dituntut secara pidana. Hal ini memberikan dampak kerugian pada
kedua belah pihak dan hilangnya esensi transplantasi organ dimana tidak merugikan kedua pihak
dan memberikan keamanan dan kemanfaatan bagi kedua pihak.

Dari pertimbangan diatas baik solusi maupun konsekuensinya,kami memilih alternative


solusi hukum dimana permasalahan ini dapat diselesaikan secara jelas berdasarkan dasar hukum
yang mengatur tentang transplantasi dan pihak yang terbukti bersalah dapat dihukum sesuai
hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini dapat membantu untuk lebih menegakan dan
memberikan gambaran terhadap proses transplantasi organ yang legal serta mengurangi jumlah
kejadian pelanggran hukum yang berkaitan dengan penjulan organ.

DAFTAR PUSTAKA
Gusti. 2017. Membedah Pandangan Agama Soal Praktik Donor Transplantasi Ginjal. Diakses
Mei 18, 2018, dari https://ugm.ac.id/id/news/14435-
membedah.pandangan.agama.soal.praktik.donor.transplantasi.organ.

Hanafiah, M. Jusuf & Amri Amir. 2008. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. Jakarta :
EGC.

Haswir. 2011. Hukum Mendonorkan dan Menstranplantasi Anggota Tubuh Dalam Islam. Al-
Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 10, No. 2.

Mochtar, A Chaidir. 2017. Milestones of Kidney Transplantation in Indonesia. Med J Indones,


Vol. 26, No. 3. hh. 229 – 236.

Zulkarnaen, M. Faizal. 2012. Implementasi Medikolegal Transplantasi Organ dari Donor


Jenazah untuk Peningkatan Kesehatan Masyarakat. Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol. 9
No. 2 : 181-190.

You might also like