Kelompok 4 - Model in Vitro Farmakokinetik Obat Bolus Intravena - Kelas C

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 20

LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA

MODEL IN VITRO FARMAKOKINETIK OBAT SETELAH


PEMBERIAN SECARA INTRAVENA

Rabu, 25 April 2018


Kelompok 4 Kelas C
Pukul 10.00 – 13.00 WIB

Nama NPM Tugas

Auliani Hafifah 260110150113 Data Pengamatan


Monica Richelle 260110150114 Data Pengamatan
Andriati Khoerunnisa 260110150115 Alat Bahan dan Prosedur
Amira Nurhasanah 260110150117 Teori dasar
Trajuningtyas Dwi Utari 260110150118 Pembahasan
Uzlifatul Zannah 260110150120 Pembahasan
Maryam Nur Afifah 260110150121 Data Pengamatan
Dea Dian Nurhikmah 260110150122 Tujuan dan Prinsip
Hisban Hamid Arifki 260110150123 Pembahasan

Nazilla Reshka F 260110150124 Editor, Kesimpulan


Irbah Arifa
Nazilla reshka f 124 260110150147 Teori Dasar

LABORATORIUM BIOFARMASETIKA
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2018
I. TUJUAN

1. Memahami proses in vivo dan perkembangan kadar obat dalam darah setelah pemberian
obat secara bolus intravena.

2. Mampu memplot data kadar obat dalam fungsi waktu pada skala semilogaritma.

3. Mampu menentukan berbagai parameter farmakokinetika obat yang berkaitan dengan


pemberian obat secara bolus intravena.

II. PRINSIP

1. Kompartemen

Pada model 1 kompartemen, obat menganggap tubuh seperti 1 ruang yang sama
dimana obat secara cepat terdistribusi ke semua jaringan. Pada model 2 kompartemen,
obat menganggap tubuh seperti 2 bagian:

 Kompartemen sentral: organ - organ dimana perfusi darahnya cepat (misalnya


hati, ginjal)
 Kompartemen perifer: organ – organ dimana perfusi darahnya lambat (misalnya
otot, lemak)

(Shargel, 1988).

2. Ekstrasellular dan intrasellular

Cairan intraseluler adalah cairan yang berda di dalam sel di seluruh tubuh,
sedangkan cairan akstraseluler adalah cairan yang berada di luar sel dan terdiri dari tiga
kelompok yaitu : cairan intravaskuler (plasma), cairan interstitial dan cairan transeluler.
Cairan intravaskuler (plasma) adalah cairan di dalam sistem vaskuler, cairan intersitial
adalah cairan yang terletak diantara sel, sedangkan cairan traseluler adalah cairan sekresi
khusus seperti cairan serebrospinal, cairan intraokuler, dan sekresi saluran cerna (Waldon,
2008).

3. Intravena bolus

Injeksi intravena (bolus) adalah pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke
dalam pembuluh darah vena atau melalui karet selang infuse dengan menggunakan spuit.
Sedangkan pembuluh darah vena adalah pembuluh darah yang menghantarkan darah ke
jantung. Injeksi intravena bertujuan untuk memperoleh reaksi obat yang cepat diabsorpsi
dari pada dengan injeksi perenteral lain, menghindari terjadinya kerusakan jaringan serta
memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar. (Neal, 2006)

III. TEORI DASAR

Terapi intravena adalah pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui


sebuah jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan
kehilangan cairan atau zat-zat makanan dari tubuh (Darmadi, 2010). Terapi intravena (IV)
digunakan untuk memberikan cairan ketika pasien tidak dapat menelan, tidak sadar,
dehidrasi atau syok, untuk memberikan garam yang dirperlukan untuk mempertahankan
keseimbangan elektrolit, atau glukosa yang diperlukan untuk metabolisme dan
memberikan medikasi (Potter dan Perry, 2006).

Menurut Darmadi (2008) kontraindikasi pada pemberian terapi intravena: Inflamasi


(bengkak, nyeri, demam) dan infeksi di lokasi pemasangan infus. Daerah lengan bawah
pada pasien gagal ginjal, karena lokasi ini akan digunakan untuk pemasangan fistula arteri-
vena (A-V shunt) pada tindakan hemodialysis (cuci darah). Obat-obatan yang berpotensi
iritan terhadap pembuluh vena kecil yang aliran darahnya lambat (misalnya pembuluh vena
di tungkai dan kaki).

Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai sehingga diberikan melalui
injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat konsentrasi
obat dalam darah tercapai. Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika
melalui infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki
bioavailabilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah untuk
membunuh bakteri (Potter dan Perry, 2006). Pemberian bolus intravena dosis kecil ialah
efektif, tetapi kadang harus diberikan berulang (Sumardi dkk, 2015).

Di dalam proses farmakokinetik obat, dikenal istilah profil farmakokinetik


fisiologi, yaitu distribusi senyawa tersebut dalam jaringan atau organ tertentu yang
diterangkan berdasarkan model fisiologis. Penentuan profil farmakokinetis suatu obat
penting karena dengan mengetahui profil farmakokinetisnya di dalam jaringan atau organ
akan diperoleh banyak informasi yang bermanfaat terutama untuk terapi penyakit tertentu
(Wijayanti, 2007).

Persamaan kinetika obat dalam darah pada pemberian bolus intravena dengan
satu dosis D yang mengikuti model satu kompartemen diberikan dengan persamaan :
C1 = C0 e – k.t
C1 adalah kadar obat dalam waktu t, C0 adalah kadar obat pada waktu 0, k atau ke adalah
konstanta kecepatan eliminasi obat. Dengan menggunakan kadar obat pada berbagai
waktu, harga C0 dan k dapat dihitung dengan cara regresi linier setelah persamaan
ditransformasikan ke dalam nilai logaritmik :
InC1 = InC0 – k.t.
Parameter farmakokinetik dibagi menjadi:
1) Parameter primer
Merupakan parameter yang harganya dipengaruhi secara langsung oleh variabel fisiologis,
yaitu:
a. Clearance (Cl)
Menunjukkan berapa banyak urin yang dikeluarkan per waktu / kemampuan
mengeliminasi (satuannya: volume/waktu). Parameter ini dipengaruhi oleh ginjal.
Rumus : Cl = Konstanta eliminasi (Ke) x Vd (Volume distribusi)
b. Volume distribusi (Vd)
Menggambarkan volume teoritis di mana obat terdistribusi pada plasma darah
Rumus: Vd = Dosis (Do) dibagi Cpo (kadar) <- hanya untuk 1 kompartemen terbuka.
c. Tetapan Kecepatan absorbsi (Ka)
Dipengaruhi oleh enzim, luas permukaan, fili, dan fisiologi usus
2) Parameter sekunder
Dipengaruhi oleh parameter primer
a. Waktu paruh (t1/2)
Jika terjadi gangguan pada ginjal yang menyebabkan clearance terganggu
maka waktu paruh juga terpengaruh. Jika Clearance naik maka t1/2 turun -> karena
obat cepat dieksresi. Jika Clearance turun maka t1/2 naik -> karena obat lama dieksresi.
3) Parameter turunan
parameter ini dipengaruhi oleh parameter primer, sekunder maupun besaran lain,
misalnya
a. Area Under Curve
(AUC) yang dipengaruhi oleh Clearance. Jika fungsi eliminasi turun, AUC akan naik
dan sebaliknya.
b. Klirens dan Volume distribusi
merupakan parameter farmakokinetika primer yang nilainya dipengaruhi
langsung oleh variabel biologis (Shargel, 2005).

Tablet CTM digunakan sebagai antihistaminikum. Antihistaminikum adalah obat


yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga berguna dalam
menekan alergi yang disebabkan oleh timbulnya simptom karena histamin (Ansel,1989).
Antihistamin bekerja dengan menempati tempat pada sel yang biasanya ditempati oleh
histamin,dengan demikian akan menghilangkan kemampuan histamin untuk menimbulkan
reaksi alergi (Harkness, 1989). Untuk interaksi obatnya antihistamin akan menekan sistem
syaraf pusat. Obat ini menekan atau mengurangi sejumlah fungsi tubuh seperti koordinasi
dan kewaspadaan, depresi berlebihan dan hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika
antihistamin di gunakan bersama dengan sistem syaraf pusat lainnya (Harkness, 1989).

Masyarakat sering menyalahgunakan CTM sebagai obat tidur karena efek


sampingnya yang dapat menimbulkan kantuk. Kenyataan yang sering terjadi, seseorang
dapat dengan mudah mengkonsumsi obat CTM 2-3 butir padahal penambahan dosis yang
tidak terbatas akan memberikan efek toksik (Tuarissa dkk, 2014).

IV. ALAT DAN BAHAN

4.1 Alat
a) Buret dan Statif
b) Gelas Kimia
c) Hot Plate
d) Kuvet
e) Neraca Analitik
f) Spatel
g) Spektrofotometer UV-Vis
h) Suntikan 5 mL
i) Tabung Kompartemen (Gelas Kimia dengan Keran)
j) Termometer
k) Vial
4.2 Bahan
a) Aquades
b) CTM
4.3 Gambar Alat

Buret dan Statif Gelas Kimia Hot Plate

Kuvet Neraca Analitik Spatel

Tabung Kompartemen (Gelas


Spektrofotometer UV-Vis Suntikan 5 ml Kimia dengan Keran)
Termometer Vial

V. PROSEDUR.
1.1 Pelaksanaan Uji

Gelas kimia diisi dengan 250 mL aquades dan dipanaskan hingga mencapai suhu
37oC. Dilakukan pembuatan larutan obat CTM 50 mg/mL. Aquadest dimasukkan ke
dalam rangkaian alat pengujian (buret dan gelas kimia dengan keran) lalu dimasukkan
5 mL larutan obat CTM secara sekaligus ke dalam tabung kompartemen (gelas kimia
dengan keran). Dibuka keran pada buret dan gelas kimia dan diatur laju alir kedua alat
sama dan konstan. Cuplikan sebanyak 5 mL diambil pada waktu 15, 30, 45, 60 dan 90,
pada setiap pengambilan cuplikan ditambahkan aquades sebanyak volume cuplikan
(5 mL). Cuplikan disimpan dalam vial lalu dianalisis kadar obatnya menggunakan
spektrofotometer UV-Vis. Dihitung parameter farmakokinetiknya antara lain volume
distribusi (Vd), klirens (Cl) dan waktu paruh (T1/2) serta dibuat grafiknya.

VI. DATA PENGAMATAN

No. Perlakuan Hasil


1 Menyiapkan alat dan bahan Didapat alat berupa beaker dengan
keran, buret, gelas kimia, gelas ukur,
hot plate, klem, spatel, statif, syringe,
termometer, dan vial serta bahan
berupa CTM dan akuades
2 Membuat larutan obat CTM 1 mg/ml Didapat larutan obat CTM 5 mg
sebanyak 5 ml dalam 5 ml akuades
3 Memanaskan akuades pada gelas kimia Didapat akuades suhu 37oC
250 ml pada hot plate
4 Mengisi buret dengan akuades sebagai Didapat akuades 50 ml bersuhu 37oC
cairan pengganti dalam buret
5 Menuang akuades 250 mL suhu 37oC Didapat akuades 250 ml bersuhu 37oC
ke dalam beaker dengan keran dalam beaker
6 Meletakkan gelas kimia 100 ml di Didapat wadah penampung sebagai
bawah keran simulasi cairan ekskresi
7 Memasukkan larutan obat CTM ke Didapat larutan obat CTM dalam
dalam beaker dan mengaduk hingga kompartemen sebagai simulasi bolus
homogen intravena
8 Membuka keran beaker dan buret Didapat laju pemasukan dan ekskresi
hingga laju tetesan sama cairan sama
9 Mengambil 5 ml cuplikan dengan Didapat masing-masing 5 ml cuplikan
syringe pada titik waktu menit ke-15, dalam vial
30, 45, 60 dan 90 menit dan
menambahkan kembali 5 ml akuades ke
dalam beaker setiap pengambilan
10 Melakukan pengukuran absorbansi Didapat data absorbansi tiap titik
CTM pada panjang gelombang 260 nm waktu pengambilan cuplikan

11 Melakukan plotting data kadar obat Didapat kurva semilog


pada kertas semilog
12 Menghitung profil farmakokinetik obat Didapat
(C0, K, Vd, CL, dan t1/2) C0 = g/ml
K = /jam
Vd = L
CL = L/jam
t1/2 = jam
Data Absorbansi Baku CTM

Konsentrasi (ppm) Absorbansi


4 0,229
6 0,316
8 0,398
10 0,488
12 0,583

Kurva Baku CTM

Kurva Baku CTM


0,7

0,6

0,5 y = 0,044x + 0,0508


R² = 0,9993
Absorbansi

0,4

0,3 Y-Values
Linear (Y-Values)
0,2

0,1

0
0 2 4 6 8 10 12 14
Konsentrasi (ppm)

Data Absorbansi Sampel CTM

Titik Waktu Absorbansi 1 Absorbansi 2 Absorbansi 3 Rata-rata


(menit) Absorbansi
15 0,5884 0,5889 0,5883 0,5885
30 0,5169 0,5137 0,5144 0,5150
45 0,4576 0,4583 0,4585 0,4581
60 0,4276 0,4265 0,4263 0,4268
90 0,2023 0,2011 0,2019 0,2018

Konsentrasi dan %terdisolusi Sampel CTM per Satuan Waktu

Titik Waktu Konsentrasi % terdisolusi


(menit) (ppm atau g/ml) (%)
15 12,2205 61,1
30 10,55 53,972
45 9,256 47,35944
60 8,545 43,672
90 3,431 18,028

Perhitungan

 Menit ke-15
A = 0,5885
y = 0,044x + 0,0508
0,5885−0,0508
x= =12,2205 ppm atau 12,2205 g/ml
0,044

Konsentrasi dalam kompartemen = 12,2205 g/ml x 250 ml


= 3055,1137 g
= 3,055 mg

5 𝑚𝑙
FK15 = 250 𝑚𝑙 × 3055,1137 g = 61,1023 g

3,055 𝑚𝑔
%terdisolusi = 5 𝑚𝑔
× 100% = 61,1%

 Menit ke-30
A = 0,5150

y = 0,044x + 0,0508
0,5150−0,0508
x= 0,044
=10,55 ppm atau 10,55 g/ml

Konsentrasi dalam kompartemen = 10,55 g/ml x 250 ml

= 2637,5 g

= 2,6375 mg

Total = konsentrasi + FK15 = 2637,5 g + 61,1023 g

= 2698,6023 g

= 2,6986 mg

5 𝑚𝑙
FK30 = 250 𝑚𝑙 × 2698,6023 g = 53,9720 g

2,6986 𝑚𝑔
%terdisolusi = 5 𝑚𝑔
× 100% = 53,972%

 Menit ke-45
A = 0,4581

y = 0,044x + 0,0508

0,4581−0,0508
x= 0,044
=9,256 ppm atau 9,256 g/ml

Konsentrasi dalam kompartemen = 9,256 g/ml x 250 ml

= 2314 g

= 2,314 mg

Total = konsentrasi + FK30 = 2314 g + 53,972 g


= 2367,972 g

= 2,367972 mg

5 𝑚𝑙
FK45 = × 2367,972 g = 47,35944 g
250 𝑚𝑙

2,367972 𝑚𝑔
%terdisolusi = 5 𝑚𝑔
× 100% = 47,359 %

 Menit ke-60
A = 0,4268

y = 0,044x + 0,0508

0,4268−0,0508
x= = 8,545 ppm atau 8,545 g/ml
0,044

Konsentrasi dalam kompartemen = 8,545 g/ml x 250 ml

= 2316,25 g

= 2,31625 mg

Total = konsentrasi + FK45 = 2316,25 g + 47,35944 g

= 2183,609 g

= 2,183609 mg

5 𝑚𝑙
FK60 = × 2183,609 g = 43,672 g
250 𝑚𝑙
2,183609 𝑚𝑔
%terdisolusi = 5 𝑚𝑔
× 100% = 43,672 %

 Menit ke-90
A = 0,2018

y = 0,044x + 0,0508

0,2018−0,0508
x= = 3,431 ppm atau 3,431 g/ml
0,044

Konsentrasi dalam kompartemen = 3,431g/ml x 250 ml

= 857,75 g

= 0,85775 mg

Total = konsentrasi + FK60 = 857,75 g + 43,672 g

= 901,422 g

= 0,901422 mg

5 𝑚𝑙
FK90 = 250 𝑚𝑙 × 901,422 g = 18,028 g

0,901422 𝑚𝑔
%terdisolusi = 5 𝑚𝑔
× 100% = 18,028 %
Kurva Semi-log

100
Konsentrasi (ppm)

y = -0,1124x + 14,196
R² = 0,9592
12,2205
10 10,55
9,256 8,545
Konsentrasi
Linear (Konsentrasi)
3,431

1
0 20 40 60 80 100
Waktu (menit)

SAMPEL (grafik semi-log)

Diambil 2 titik yang melalui garis pada grafik di kertas semi-log

t1 = 30 menit Cp1 = 10,55 μg/mL


t2 = 45 menit Cp2 = 9,256 μg/mL

a) Menentukan k
−𝑘 logCp1 − logCp2
=
2,303 t2 − t1
−𝑘 1,023 − 0,966
=
2,303 45 − 30
0,1312
−𝑘 =
15
0,00874 0,5244
−𝑘 = =
menit jam

b) C0 = g/ml
−𝑘 logCp1 − logCp2
=
2,303 t2 − t1
0.00874 log 𝑥 − 0,966
=
2,303 45 − 0
Log x= 0.176

x= 1.499 ppm

Dosis
c) Vd =
Co
1000µg
Vd =
1.499 µg/ml

Vd = 667.11 ml = 0.667 L

d) Cl = k. Vd
Cl = 0.5244/ jam x 0.667 L
Cl= 0.786 L/jam

e) t1/2 = 0.693/k
t1/2 = 0.693/0,5244
t1/2 = 1.32 jam

VII. PEMBAHASAN
Praktikum uji in vitro farmakokinetik obat pemberian secara bolus intravena
bertujuan untuk mengetahui perkembangan kadar obat setelah pemberian obat dan
menentukan parameter farmakokinetika yang berkaitan dengan pemberian secara bolus
intravena. Parameter farmakokinetik yang diukur yaitu waktu paruh (t1/2), konsentrasi obat
dalam darah pada waktu tertentu (Ct) dan klirens (Cl), dan Volume distribusi(Vd). Waktu
paruh dalam plasma adalah waktu dimana konsentrasi obat dalam plasma menurun
separuhnya dari nilai seharusnya. Klirens suatu obat adalah factor yang memprediksi laju
eliminasi yang berhubungan dengan konsentrasi suatu obat tanpa mempermasalahkan
mekanisme prosesnya. Volume distribusi adalah volume yang didapatkan pada saat obat
didistribusikan.

Bolus intravena merupakan salah satu cara pemberian obat secara intravaskular.
Pada pemberian secara bolus intravena, obat yang diberikan akan sekaligus masuk ke
dalam peredaran darah dan obat tidak akan mengalami proses absorpsi sehingga obat akan
langsung terdistribusi ke jaringan dan di metabolisme sebelum akhirnya diekskresikan.
Selain secara bolus, pemberian obat secara intravaskular juga dapat dilakukan secara
kontinyu dengan suatu kecepatan yang konstan seperti pemberian infus.

Percobaan diawali dengan pembuatan larutan CTM 1 mg/ml sebanyak 5 ml. CTM
berfungsi sebagai obat uji yang diinjeksikan ke dalam darah. CTM ditimbang sebanyak 50
mg dan dilarutkan dalam aquades sebanyak 50 ml sehingga didapat CTM 1 mg/ml.

Buret dipasang pada statif dan dijepit dengan klem, berfungsi sebagai simulasi aliran
darah. Beaker dengan kran dan pompa peristaltic yang berisi aquades berfungsi sebagai
simulasi kompartemen darah atau cairan tubuh. Aquades yang diisikan ke dalam beaker

merupakan suhu tubuh manusia.

Larutan aquadest diilustrasikan sebagai volume distribusi obat dalam tubuh. Volume
distribusi (Vd) menunjukkan volume penyebaran obat dalam tubuh dengan kadar plasma
atau serum. Volume distribusi yang diperoleh mencerminkan suatu keseimbangan antara
ikatan pada jaringan, yang mengurangi konsentrasi plasma dan membuat nilai distribusi
lebih besar, atau ikatan pada protein plasma yang meningkatkan konsentrasi plasma dan
membuat volume distribusi menjadi lebih kecil. Perubahan-perubahan dalam ikatan dengan
jaringan ataupun dengan plasma dapat mengubah volume distribusi yang ditentukan dari
pengukuran-pengukuran konsentrasi plasma. Pada percobaan ini digunakan satu wadah
sebagai ilustrasi model kompartemen satu terbuka. Model ini menganggap bahwa berbagai
perubahan kadar obat dalam plasma mencerminkan perubahan yang sebanding dengan
kadar obat dalam jaringan. Beaker berukuran 100 ml diletakkan di bawah beaker kran untuk
menampung cairan yang keluar dari keran, berfungsi untuk simulasi eksresi.

Larutan obat CTM sebanyak 5 ml dimasukkan ke beaker kran. Setelah CTM terlarut
dalam larutan, dilakukan pengadukan secara terus menerus yang menggambarkan seperti
aliran darah yang mengalir dalam tubuh dengan kecepatan konstan. Kemudian kran beaker
dan kran buret dibuka secara bersamaan dengan kecepatan yang konstan, yang dianggap
sebagai proses eksresi renal, dan dihitung waktunya menggunakan stopwatch. Proses ini
disimulasikan sebagai klirens (Cl). Klirens suatu obat adalah suatu ukuran eliminasi obat
dari tubuh tanpa mempermasalahkan mekanisme prosesnya. Umumnya jaringan tubuh atau
organ dianggap sebagai suatu kompartemen cairan dengan volume terbatas (volume
distribusi) dimana obat terlarut didalamnya.

Kecepatan pengeluaran dari beaker harus sama dengan buret. Hal ini bertujuan untuk
menggambarkan sistem distribusi pada sistem peredaran darah. Setelah diadministrasikan,
konsentrasi obat dalam darah akan berkurang per interval waktu dan aquades yang keluar
dari buret dan masuk ke dalam beaker akan menggantikan aquades yang keluar dari beaker.
Hal ini dilakukan karena sistem peredaran darah manusia merupakan sistem peredaran
darah tertutup sehingga volume cairan (darah) yang ada akan konstan sehingga yang
berubah hanyalah konsentrasi obat dalam darah.

Pada interval waktu 15; 30; 45; 60; dan 90 menit setelah alat dijalankan, cuplikan
diambil dengan syringe sebanyak 5 ml, kemudian ditambahkan aquades baru sebanyak
volume yang sama dengan volume cuplikan diambil yaitu 5 ml. Cuplikan yang diambil,
dianggap sebagai cairan yang hilang karena eksresi, sedangkan aquades baru yang
ditambahkan, dianggap sebagai air yang diminum.

Kadar obat pada tiap interval waktu kemudian ditentukan dengan instrumen
spektrofotometer UV, dengan diukur absorbansi atau serapannya pada panjang gelombang
260 nm. Panjang gelombang tersebut merupakan panjang gelombang maksimal obat CTM
sehingga diukur pada 260 nm. Absorbansi yang didapat, kemudian dihitung
konsentrasinya dengan memasukkannya pada persamaan yang didapat dari kurva standar
CTM yang telah dihitung sebelumnya. Setelah didapatkan konsentrasi obat, kemudian
plotkan data konsentrasi obat sebagai fungsi waktu pada skala semilogaritmik dan hitung
nilai Co, K, Vd, Cl, dan t1/2.

Didapat setelah percobaan adalah nilai -k = -0,5244/jam dimana K merupakan


slope dan juga nilai konstanta kecepatan eliminasi obat CTM., C0 = 1.499 ppm yang
mana C0 meupakan intersep atau konsentrasi awal obat dalam medium atau konsentrasi
pada waktu 0, Vd=0.667 L volume yang didapatkan pada saat obat didistribusikan yang
mana pada umumnya kontan, Clearence 0.786 L/jam yang merupakan bersihan total obat
dan waktu paruh yaitu sebesar 1.32 jam.

VIII. KESIMPULAN

Proses in vivo dan perkembangan perjalanan obat dalam darah setelah


pemberian obat secara bolus intravena dapat dipahami, data kadar obat dalam
fungsi waktu dapat diplot pada skala semilogaritma dan nilai parameter
farmakokinetika obat yang berkaitan dengan pemberian obat secara bolus
intravena dapat ditentukan yaitu nilai -k = -0,5244/jam, C0 = 1.499 ppm, Vd=0.667
L, Clearence 0.786 L/jam dan waktu paruh sebesar 1.32 jam.
DAFTAR PUSTAKA

Ansel, H. C. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press.

Darmadi. 2008. Infeksi Nosokomial : Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:


Salemba Medika.

Darmadi. 2010. Infeksi Nosokomial : Problematika dan Pengendaliannya. Jakarta:


Salemba Medika.

Harkness, R. 1989. Interaksi Obat. Bandung: ITB Press.

Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Med.is. Jakarta : Erlangga

Potter, A. dan Perry, A. G. 2007. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,


Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.\

Shargel, L. and Yu, A. B. C. 1988. Biofarmaseutika dan Farmakokinetika


Terapan, terjemahan Fasich & S. Sjamsiah. Surabaya : Universitas Airlangga

Shargel, L. 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi II. Surabaya:


Airlangga Press.

Sumardi, F. S., Nawawi, A. M., dan Maskoen, T. T. 2015. Perbandingan Efek


Pemberian Norepinefrin Bolus Intravena dengan Norepinefrin Infus
Kontinu dalam Tatalaksana Hipotensi, Laju Nadi, dan Nilai APGAR pada
Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal. Jurnal Anestesi Perioperatif. 3(1):
14-23.

Tuarissa, S., Wullur, A. C., dan Citraningtyas, G. 2014. Profil Penggunaan Obat
Klorfeniramin Maleat pada Masyarakat di Kelurahan Bailang dan
Kelurahan Karombasan Kota Manado. Pharmacon – Jurnal Ilmiah Farmasi
Unsrat. 3(4): 22-37.

Waldon, D.J. (2008). Pharmacokinetics and Drug Metabolism. Cambridge :


Amgen, Inc., One Kendall Square, Building 1000, USA.
Wijayanti, A. D., Hakim, L., dan Widiyono, I. 2007. Profil Farmakokinetik
Oksitetrasiklin Hidroklorid dalam Berbagai Jaringan Tikus Spragae
Dawley. Jurnal Sains Veteran. 25(2): 68-74.

Lampiran

You might also like