Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 19

5

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Inkontinensia Urine


Inkontinensia urin merupakan eliminasi urin dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi diluar keinginan. Jika inkontinensia urin terjadi akibat
kelainan inflamasi (sistitis), mungkin sifatnya hanya sementara. Namun, jika
kejadian ini timbul karena kelainan neurologi yang serius (paraplegia),
kemungkinan besar sifatnya akan permanen.

Lebih dari 10 juta penduduk dewasa di Amerika serikat menderita


inkontinensia urin (AHCPR, 1992). Keadaan ini mengenai individu dengan
segala usia meskipun paling sering dijumpai diantara para lansia. Dilaporkan
bahwa lebih dari separuh penghuni panti lansia menderita inkontinensia urin.
Meskipun inkontinensia urin bukan konsekuensi normal dari proses penuaan,
namun perubahan traktus urinarius yang berkaitan dengan usia merupakan
predisposisi bagi lansia untuk mengalami inkontinensia urin.

Usia, jenis kelamin serta jumlah persalinan pervaginam yang pernah dialami
sebelumnya merupakan faktor resiko yang sudah dipastikan dan secara parsial
menyebabkan peningkatan insidensnya pada wanita. Faktor resiko lain yang
diperkirakan merupakan penyebab gangguan ini adalah infeksi saluran
kemih , menopause, pembedahan urogenital, penyakit kronis dan penggunaan
berbagai obat. Gejala ruam, dekubitus, infeksi kulit serta saluran kemih dan
pembatasan aktivitas merupakan konsekuensi dari inkontinensia urin.

Biaya perawatn bagi pasien inkontinensia urin diperkirakan lebih dari 10,3
milyar US $ pertahunnya (AHCPR, 1992). Biaya psikososial dari
inkontinensia urin sangat besar, yaitu: perasaan malu, kehilangan kepercayaan
diri dan isolasi sosial merupakan hasil yang umumnya terjadi. Inkontinensia
6

urin pada lansia sering menyebabkan perlunya perawatan dalam lembaga


perawatan.

2.2 Etiologi Inkontinensia Urine


Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan
fungsi organ kemih, antara lain: melemahnya otot dasar panggul akibat
kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini
mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya
kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga
walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin
berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan
gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin
meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet.

Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Jika terjadi
infeksi saluran kemih, maka tatalaksananya adalah terapi antibiotika. Apabila
vaginitis atau uretritis atrofi penyebabnya, maka dilakukan tertapi estrogen
topical. Terapi perilaku harus dilakukan jika pasien baru menjalani
prostatektomi. Dan bila terjadi impaksi feses, maka harus dihilangkan
misalnya dengan makanan kaya
serat, mobilitas, asupan cairan yang adekuat, atau jika perlu penggunaan
laksatif. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urin berlebih
karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes
melitus, yang harus terus dipantau. Sebab lain adalah asupan cairan yang
berlebihan yang
bisa diatasi dengan mengurangi asupan cairan yang bersifat diuretika seperti
kafein.

Gagal jantung kongestif juga bisa menjadi faktor penyebab produksi urin
meningkat dan harus dilakukan terapi medis yang sesuai. Gangguan
kemampuan ke toilet bisa disebabkan oleh penyakit kronik, trauma, atau
gangguan mobilitas. Untuk mengatasinya penderita harus diupayakan ke
7

toilet secara teratur atau menggunakan substitusi toilet. Apabila penyebabnya


adalah masalah psikologis, maka hal itu harus disingkirkan dengan terapi non
farmakologik atau farmakologik yang tepat.

Pasien lansia, kerap mengonsumsi obat-obatan tertentu karena penyakit yang


dideritanya. Jika kondisi ini yang terjadi, maka penghentian atau penggantian
obat jika memungkinkan, penurunan dosis atau modifikasi jadwal pemberian
obat. Golongan obat yang berkontribusi pada IU, yaitu diuretika,
antikolinergik, analgesik, narkotik, antagonis adrenergic alfa, agonic
adrenergic alfa, ACE inhibitor, dan kalsium antagonik.

Golongan psikotropika seperti antidepresi, antipsikotik, dan sedatif hipnotik


juga memiliki andil dalam IU. Kafein dan alcohol juga berperan dalam
terjadinya mengompol. Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia
urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan,
pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang
aktivitas dan operasi vagina.

Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan


melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan.
Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat
regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga
dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine.

Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause


(50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu
saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine.
Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi
kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin
tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine,
karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul
(Darmojo, 2009).
8

2.3 Patofisiologi
Pada lanjut usia inkontinensia urin berkaitan erat dengan anatomi dan
fisiologis juga dipengaruhi oleh faktor fungsional, psikologis dan lingkungan.
Pada tingkat yang paling dasar, proses berkemih diatur oleh reflek yang
berpusat di pusat.berkemih disacrum. Jalur aferen membawa informasi
mengenai volume kandung kemih di medulla spinalis (Darmojo, 2000).
Pengisian kandung kemih dilakukan dengan cara relaksasi kandung kemih
melalui penghambatan kerja syaraf parasimpatis dan kontraksi leher kandung
kemih yang dipersarafi oleh saraf simpatis serta saraf somatic yang
mempersyarafi otot dasar panggul (Guyton, 1995).

Pengosongan kandung kemih melalui persarafan kolinergik parasimpatis yang


menyebabkan kontraksi kandung kemih sedangkan efek simpatis kandung
kemih berkurang.

Jika kortek serebri menekan pusat penghambatan, akan merangsang


timbulnya berkemih. Hilangnya penghambatan pusat kortikal ini dapat
disebabkan karena usia sehingga lansia sering mengalami inkontinensia urin.
Karena dengan kerusakan dapat mengganggu kondisi antara kontraksi
kandung kemih dan relaksasi uretra yang mana gangguan kontraksi kandung
kemih akan menimbulkan inkontinensia (Setiati, 2001).
9

2.4 Pathway
Penyakit kronis , imobilisasi,
Perubahan Obat-obatan
ETIOLOGI Dm, gagal jantung
anatomi&fungsi tubuh

Fungsi korteks serebri


Neurogenic, berkurangnya kadar estrogen dan melemahnya
jaringan/otot-otot panggul,pembesarankelenjar prostat ,
kontraksi otot involunteer , kontraksi abnormal di dinding
VU, penurunan hormon

Gangguan
Tahanan uretra
aktifitas kolinergik

Kegagalan uretra

Keluar urin tanpa disadari

Sensasi untukpada
Inkontinensia berkemih
lansia

Tekanan abdomen
Output berlebih

Pengeluaran urin saat Toileting inadequate MK Iritasi


: Harga diri rendah
kulit
aktivitas
utk berkemih
MK: Inkontinensia MK : Resiko kerusakan
Tertawa, batuk integritas kulit
& mengejan urinarius dorongan

Rembesan urin
involunteer
Pengeluaran urin
.
Keluaran
tnp disadari
urin tdk
MK : Inkontinensia G3an psikiatrik diinginkan
urinarius stres

MK: Resikosolasisosial

2.5 Tanda dan Gejala Inkontinensia Urine pada Lansia


Tanda dan gejala yag ditemukan pada pasien dengan retensi urin menurut
Uliyah (2008) yaitu:
10

1. Ketidaknyamanan daerah pubis.


2. Distensi vesika urinaria
3. Ketidak sanggupan untuk berkemih.
4. Sering berkemih, saat vesika urinaria berisi sedikit urine. ( 25-50
ml)

a. Ketidakseimbangan jumlah urine yang dikeluarkan dengan


asupannya.
b. Meningkatkan keresahan dan keinginan berkemih.
c. Adanya urine sebanyak 3000-4000 ml dalam kandung kemih.

2.6 Tipe Inkontinensia Urine

1. Inkontinensia akibat stres


merupakan eliminasi urin diluar keinginan melalui uretra sebagai akibat
dari peningkatan mendadak pada tekanan intra-abdomen.
Tipe inkontinensia ini paling sering ditemukan pada wanita dan dapat
disebabkan oleh cedera obstetrik, lesi kolum vesika urinaria, kelainan
ekstrinsik pelvis, fistula, disfungsi detrusor dan sejumlah keadaan lainnya.
Disamping itu, gangguan ini dapat terjadi akibat kelainan kongenital
(ekstrofi vesika urinaria, ureter ektopik).

2. Urge incontinence
Terjadi bila pasien merasakan dorongan atau keinginan untuk urinasi tetapi
tidak mampu menahannya cukup lama sebelum mencapai toilet. Pada
banyak kasus, kontraksi kandung kemih yang tidak dihambat merupakan
faktor yang menyertai; keadaan ini dapat terjadi pada pasien disfungsi
neurologi yang mengganggu penghambatan kontraksi kandung kemih atau
pada pasien dengan gejala lokal iritasi akibat infeksi saluran kemih atau
tumor kandung kemih.

3. Overflow incontinence
11

Ditandai oleh eliminasi urin yang sering dan kadang-kadang terjadi hampir
terus menerus dari kandung kemih. Kandung kemih tidak dapat
mengosongkan isinya secara normal dan mengalami distensi yang
berlebihan. Meskipun eliminasi urin terjadi dengan sering, kandung kemih
tidak pernah kosong. Overflow inkontinence dapat disebabkan oleh
kelainan neurologi (yaitu, penggunaan obat-obatan, tumor, striktur dan
hiperplasia prostat). Kandung kemih neurogenik dibahas secara terpisah
dalam bagian berikutnya.

4. Inkontinensia fungsional
Merupakan inkontinensia dengan fungsi saluran kemih bagian bawah yang
utuh tetapi ada faktor lain, seperti gangguan kognitif berat yang membuat
pasien sulit untuk mengidentifikasi perlunya urinasi (misalnya, demensia
Alzheimer) atau gangguan fisik yang menyebabkan pasien sulit atau tidak
mungkin menjangkau toilet untuk melakukan urinasi.

5. Bentuk-Bentuk Inkontinensia Urin Campuran, yang mencakup ciri-ciri


inkontinensia seperti yang baru disebutkan, dapat pula terjadi. Selain itu
inkontinensia urin dapat terjadi akibat interaksi banyak faktor.

Dengan pengenalan permasalahan yang tepat, pemeriksaan dan perujukan


untuk evaluasi diagnostik secara terapi, maka prognosis inkontinensia
dapat ditentukan. Semua pasien inkontinensia harus diperhatikan untuk
mendapatkan pemeriksaan evaluasi dan terapi.

2.7 Pemeriksaan penunjang

a. Urinalisis
Digunakan untuk melihat apakah ada bakteri, darah dan glukosa dalam
urine.

b. Uroflowmeter
Digunakan untuk mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi
pintu bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran ketika pasien
berkemih.

c. Cysometry
12

Digunakan untuk mengkaji fungsi neuromuskular kandung kemih dengan


mengukur efisiensi refleks otot destrusor, tekana dan kapasitas
intravesikal, dan reaksi kandung kemih terhadap rangsangan panas.
Urografi ekskretori bawah kandung kemih dengan mengukur laju aliran
ketika pasien berkemih.

d. Urografi ekskretori
Disebut juga pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur
dan fungsi ginjal, ureter dan kandung kemih.

e. Kateterisasi residu pascakemih


Digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan
jumlah urine yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.

Adapun penatalaksanaan medis inkontinensia urin menurut Muller adalah


mengurangifaktor resiko, mempertahankan homeostasis, mengontrol
inkontinensia urin, modifikasi lingkungan,medikasi, latihan otot pelvis dan
pembedahan. Dari beberapa hal tersebut di atas, dapat dilakukan sebagai
berikut:

1. Pemanfaatan kartu catatan berkemih


Yang dicatat pada kartu tersebut misalnya waktu berkemih dan jumlah
urin yang keluar,baik yang keluar secara normal, maupun yang keluar
karena tak tertahan, selain itudicatat pula waktu, jumlah dan jenis
minuman yang diminum.

2. Terapi non farmakologi


Dilakukan dengan mengoreksi penyebab yang mendasari timbulnya
inkontinensia urin,seperti hiperplasia prostat, infeksi saluran kemih,
diuretik, gula darah tinggi, dan lain-lain.Adapun terapi yang dapat
dilakukan adalah :

a. Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang


interval waktu berkemih)dengan teknik relaksasi dan
distraksi sehingga frekwensi berkemih 6-7 x/hari.

b. Lansia diharapkan dapat menahan keinginan untuk


berkemih bila belum waktunya.
13

c. Lansia dianjurkan untuk berkemih pada interval waktu


tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang
secara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3
jam.

d. Membiasakan berkemih pada waktu-waktu yang telah


ditentukan sesuai dengankebiasaan lansia.

e. Promted voiding dilakukan dengan cara mengajari lansia


mengenal kondisi berkemih mereka serta dapat
memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih.Teknik ini dilakukan pada lansia dengan
gangguan fungsi kognitif (berpikir).

3. Terapi farmakologi
Obat-obat yang dapat diberikan pada inkontinensia urine adalah:

a. Antikolinergik seperti Oxybutinin, Propantteine, Dicylomine.


b. Pada inkontinensia stress diberikan alfa adrenergic agonis, yaitu
pseudoephedrine untuk meningkatkan retensi urethra.
c. Pada sfingter relax diberikan kolinergik agonis seperti
Bethanechol atau alfa kolinergik antagonis seperti prazosin
untuk stimulasi kontraksi, dan terapi diberikan secara singkat.

4. Terapi pembedahan
Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stress dan
urgensi,
bila terapinon farmakologis dan farmakologis tidak berhasil.
Inkontinensia tipe overflow umumnyamemerlukan tindakan pembedahan
untuk menghilangkan retensi urin. Terapi inidilakukan terhadap tumor,
batu, divertikulum, hiperplasia prostat, dan prolaps pelvic(pada wanita).

5. Modalitas lain
Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang
menyebabkaninkontinensia urin, dapat pula digunakan beberapa alat
14

bantu bagi lansia yang mengalamiinkontinensia urin, diantaranya adalah


pampers, kateter, dan alat bantu toilet seperti urinal, komod dan bedpan

a. Kelainan neurologi (medulla spinalis)


b. Penyumbatan saluran urin (obat2an, tumor)
c. Otot detrusor tdk stabil/ bereaksi berlebihan
d. Ingin kencing mendadak, dimalam hari
e. Disfungsi neurologi
f. Kontraksi kandung kemih terhambat.

2.8 Evaluasi Diagnostik


Setelah adanya inkontinensia dikenali, anamnesis riwayat sakit yang cermat
diperlukan. Tindakan ini mencakup uraian yang rinci mengenai masalah
tersebut
dan riwayat penggunaan obat-obatan. Riwayat urinasi, catatan eliminasi urin
dan hasil-hasil tes bedside (yaitu, volume urin sisa sesudah urinasi, manuver
stres)
dapat digunakan untuk membantu menentukan tipe inkontinensia urin.
Evaluasi diagnostik urodinamik yang lebih ekstensif dapat dilakukan.

2.9 Penatalaksanaan
Penanganan inkontinensia urin bergantung pada faktor penyebab yang
mendasarinya, sebelum terapi yang tepat dapat dimulai, munculnya masalah
ini harus diidentifikasi dahulu dan kemungkinan keberhasilan terapi diakui.
Jika

perawat dan petugas kesehatan lainnya menerima inkontinensia sebagai


bagian yang tidak terelakan dari proses penuaan dan perjalanan penyakitnya
atau menganggap inkontinensia tidak dapat dipulihkan dan tidak dapat
diterapi pada usia berapa un, maka keadaan tersebut tidak akan dapat diterapi
dengan hasil yang baik. Upaya yang bersifat interdisipliner dan kolaboratif
sering sangat penting dalam mengkaji dan mengatasi inkontinensia urin
secara efektif.
15

Penatalaksanaan yang berhasil bergantung pada tipe inkontinensia urin dan


faktor penyebabnya. Inkontinensia urin dan faktor penyebabnya.
Inkontinensia urin dapat bersifat sepintas atau reversibel; setelah penyebab
yang mendasari berhasil diatasi, pola urinasi pasien akan kembali normal.

Penyebab yang bersifat reversibel dan sering terjadi secara singkat dapat
diingat melalui singkatan DIAPPERS . penyebab ini mencakup keadaan
berikut: delirium, infeksi saluran kemih, atrofik vaginitis atau uretritis,
pharmacologic agents ( agens farmakologi; preparat antikolinergik, sedatif,
alkohol, analgesik, diuretik, relaksan otot, preparat adrenergik), psichologic
factors (faktor psikologis; depresi, regresi), excessive urin production (asupan
cairan yang berlebihan, kelainan endokrin yang menyebabkan diuresis),
restricted activity (aktivitas yang terbats), dan stool impaction (impaksi fekal)
(AHCPR, 1992), setelah semua ini berhasil diatasi, pola urinasi pasien
biasanya kembali normal.

2.10 Intervensi Keperawatan


Bergantung pada hasil-hasil evaluasi mungkin diperlukan penanganan
keperawatan dan medik. Tindakan keperawatan yang efektif sering hanya
berupa tindakan sederhana seperti menciptakan lingkungan yang
memudahkan pasien untuk ke kamar mandi; meletakkan pispot atau urinal
dalam jangkauan pasien; menganjurkan kepada pasien untuk membiarkan
lampu menyala di kamar tidur yang gelap; dan menasihati pasien agar
memilih pakaian yang mudah ditanggalkan ketika ingin menggunakan kloset.

Perawat dapat pula menganjurkan dan mendorong pasien untuk


mempraktikkan latihan Kegel yang dapat membantu pasien wanita dengan
segala usia untuk mengendalikan inkontinensia. Latihan ini menguatkan otot-
otot dasar panggul yang akan memperbaiki resistensi uretra dan pengendalian
urinarius.
16

Tindakan lain yang dapat dilakukan perawat untuk membantu pasien dalam
mengatasi inkontinensia adalah membantu pasien dalam mengatasi
inkontinensia adalah dengan memulai program prompted voiding atau habit
training dan mendorong pasien untuk meningkatkan asupan cairan untuk
mencegah konstipasi serta pengerasan feses yang sering menjadi faktor
penyebab inkontinensia urin pada seorang pasien yang sedentarik. Latihan
kandung kemih yang mencakup penggunaan strategi perilaku atau
biofeedback mungkin juga bermanfaat.

2.11 Penatalaksanaan Bedah


Koreksi dengan pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi
inkontinensia stres. Ada berbagai macam tindakan bedah yang dapat
dilakukan: perbaikan vagina, suspensi kandung kemih pada abdomen dan
elevasi kolum vesika urinaria. Sfingter artifisial yang dimodifikasi dengan
menggunakan balon karet-silikon sebagai mekanisme penekanan swa-regulasi
dapat digunakan untuk menutup uretra.

Metode lain untuk mengontrol inkontinensia stres adalah aplikasi stimulasi


elektronik pada dasar panggul dengan bantuan pulsa generator miniatur yang
dilengkapi elektrode yang dipasang pada sumbat intra-anal.

Untuk tipe-tipe inkontinensia yang lain, tindakan keperawatan seperti yang


dijelaskan diatas biasanya lebih tepat.

2.12 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

2.12.1 Pengkajian
1. Anamnesis
Inkontinensia pada umumnya biasanya sering atau
cenderung terjadi pada lansia (usia ke atas 65 tahun),
dengan jenis kelamin perempuan, tetapi tidak menutup
kemungkinan lansia laki-laki juga beresiko mengalaminya.

1. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan sekarang.
17

Meliputi gangguan yang berhubungan dengan


gangguan yang dirasakan saat ini. Berapakah
frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang
mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa,
gerakan), masukan cairan, usia/kondisi
fisik,kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan
berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada
penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum
terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
a) Riwayat kesehatan masa lalu
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami
penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan
catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi
trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal,
infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah
sakit.
b) Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang
menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah
ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan,
penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.

2. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum.
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi
peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensi.
a. Pemeriksaan Sistem
1) B1 (breathing).
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis
karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah
kelainan pada perkusi.
2) B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan
gelisah
3) B3 (brain).
Kesadaran biasanya sadar penuh
4) B4 (bladder).
18

Inspeksi: periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau


menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri)
dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila
ada lesi pada bladder, pembesaran daerah supra pubik lesi
pada meatus uretra,banyak kencing dan nyeri saat berkemih
menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien
terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik /
pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing /
dapat juga di luar waktu kencing.
5) B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya
nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi,
adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
6) B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya
dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada
persendian.
3. Data penunjang
a. Urinalisis.
b. Hematuria.
c. Poliuria
d. Bakteriuria.
4. Pemeriksaan Radiografi
a. IVP (intravenous pyelographi), memprediksi lokasi ginjal
dan ureter.
b. VCUG (Voiding Cystoufetherogram), mengkaji ukuran,
bentuk, dan fungsi VU, melihat adanya obstruksi (terutama
obstruksi prostat), mengkaji PVR (Post Voiding Residual).
5. Kultur Urine
a. Steril.
b. Pertumbuhan tak bermakna ( 100.000 koloni / ml).
c. Organisme.

2.12.1 Diagnosa Keperawatan


1. Inkontenensia stress berhubungan dengan kelemahan otot
pelvis dan struktur dasar penyokongnya, perubahan
degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi sfingter uretr
intrinsik.
19

2. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan


irigasi konstan oleh urine.
3. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang
memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau
takut bau urine.

2.12.2 Intervensi Keperawatan

1. Inkontenensia stress berhubungan dengan kelemahan


otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya,
perubahan degenaratif pada otot-otot pelvis, defisiensi
sfingter ureter intrinsik
Tujuan : Klien akan melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkonteninsia, klien dapat menjelaskan penyebab.
Kriteria hasil :
 Klien dapat melakukan kelemahan otot pelvis.
 Klien tidak tampak stres.
Intervensi :
1. Kaji kebiasaan ppola berkemih dan gunakan catatan berkemih
sehari.
Rasional : Mengetahui perubahan pola berkemih.
1. Pertahankan catatan harian untuk mengkaji efektifitas program
yang direncanakan.
Rasional : Mengetahui efektifitas program yang direncanakan
untuk merubah pola berkemih.
2. Observasi meatus perkemihan untuk memeriksa kebocoran
saat berkemih.
Rasional : Mengetahui adakah obstruksi atau kerusakan pada
organ kemih.
3. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada
kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang
lebih dulu.
Rasional : Mengetahui bagian mana yang mengalami
kebocoran pada organ perkemihan.
4. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat
masukan cairan 2000ml, kecuali harus dibatasi.
20

Rasional : Mengobservasi input dan output urine pasien, dan


memaksimalkan input yang harus diberikan/ sesuai kebutuhan.
5. Ajarkan klien untuk mengidentifikasi otot dinding pelvis dan
kekuatannya dengan latihan.
Rasional : Untuk mengidentifikasi kekuatan otot panggul
pasien dan meminimalisir terjadinya penurunan kekuatan otot.
6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan
tentukan kemungkinan perubahan obat, dosis/ jadwal
pemberian obat untuk menurunkan frekuensi inkontensia.
Rasional : Untuk menentukan pengobatan yang tepat diberikan
pada pasien.

2. Resiko Kerusakan Integitas kulit berhubungan dengan


irigasi konstan oleh urine
Tujuan : Jumlah bakteri < 100.000 / ml, Kulit periostomal tetap
utuh, Suhu 37° C, Urine jernih dengan sedimen minimal.
Kriteria Hasil : Klien tidak mengalami intergritas kulit.
Intervensi :
1. Pantau penampilan kulit periostomal setiap 8jam.
Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan atau
penyimpangan dari hasil yang diharapkan.
1. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau bila bocor
terdeteksi. Yakinkan kulit bersih dan kering sebelum
memasang wafer yang baru. Potong lubang wafer kira-kira
setengah inci lebih besar dari diameter stoma untuk menjamin
ketepatan ukuran kantung yang benar-benar menutupi kulit
periostomal. Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh.
Rasional : Peningkatan berat urine dapat merusak segel
peristonal, memungkinkan kebocoran urine. Pemajanan
menetap pada kulit periostomal terhadap asam urine dapat
menyebabkan kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi.

2. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan yang


memalukan akibat mengompol di depan orang lain atau takut
bau urine
21

Tujuan : Klien dapat mengatasi isolasi sosial.


Intervensi :
1. Yakinkan apakah konseling dilakukan dan atau perlu diversi
urinaria, diskusikan pada saat pertama.
Rasioanl : Memberiakan informasi tentang tingkat
pengetahuan pasien/ orang terdekat tentang situasi individu
dan pasien menerimanya(contoh: inkontinensia tak sembuh,
infeksi).
2. Dorong pasien/ orang terdekat untuk mengatakan perasaa.
Akui kenormalan perasaan, depresi, dan kedudukan karena
kehilangan. Diskusikan “peningkatandan penurunan” tiap hari
yang dapt terjadi setelah pulang.
Rasional :Memberikan kesempatan menerima isu/ salah
konsep. Membantu pasien/ orang terdekst menyadari bahwa
perasaan yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan
bersalah pada mereka tidak perlu/ membantu. Pasien perlu
mengenali perasaan sebelum mereka dapat menerimanya
secara efektif.
3. Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan
manipulasi atau tidak terlibat pada asuhan.
Rasional : Dengan masalah pada penyesuaian yang
memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih efektif. Dapat
menunjukkan respon kedukaan terhadap kehilangan bagian/
fungsi tubuh dan khawatir terhadap penerimaan orang lain,
juga rasa takut akan ketidakmampuan yang akan datang/
kehilangan selanjutnya pada hidup karena kanker.
4. Berikan kesempatan untuk pasien/ orang terdekat untuk
memandang dan menyentuh stoma, gunakan kesempatan
untuk memberikan tanda positif penyembuhan, penampilan,
normal, dsb.
Rasional : Meskipun integrasi stoma kedalam citra tubuh
memerlukan waktu berbulan-bulan/ tahunan, melihat stoma
dan mendengar komentar (dibuat dengan cara normal, nyata)
dapat membantu pasien dalam penerimaan ini. Menyentuh
22

stoma meyakinkan klien/ orang terdekat bahwa stoma secara


nyata menunjukkan peristaltic normal.
5. Berikan kesempatan pada klien untuk menerima keadaannya
melalui partisipadi dalam perawatan diri.
Rasional : Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga
diri.
6. Pertahankan pendekatan positif, selama aktivitas perawatan,
menghindari ekspresi menghina atau reaksi mendadak. Jangan
menerima ekspresi kemarahan pasien secara pribadi.
Rasional : Membantu pasien/ orang terdekat menerima
perubahan tubuh dan menerima perubahan tubuh dan
menerima akan diri sendiri. Marah paling sering ditunjukkan
pada situasi dan kurang kontrol terhadap apa yang terjadi
(tidak terduga), bukan pada pemberi asuhan.

2.12.3 Implementasi Keperawatan


Implementasi adalah pelaksanaan strategi dan kegiatan
sesuai dengan rencana keperawatan. Dalam melaksanakan
implementasi seorang perawat harus mempunyai
kemampuan kognitif. Proses implementasi mencakup
pengkajian ulang kondisi klien. Memvalidasi rencana
keperawatan yang telah disusun, menentukan kebutuhan
yang tepat untuk memberikan strategi keperawtan dan
mengkomunikasikan kegiatan baik dalam bentuk lisan
maupun tulisan.

2.12.4 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tahapan dari proses keperawatan yang
bertujuan untuk menilai hasil akhir dari keseluruhan
tindakan keperawatan yang bertujuan untuk menilai hasil
akhir dari keseluruhan tindakan keperawatan yang telah
dilakukan.

Evaluasi pada pasien inkontinensia urine pada lansia


adalah :
23

a. Inkontinensia stres berhubungan dengan kelemahan


otot pelvis dan struktur dasar penyokongnya,
perubahan degeneratif pada otot-otot pelvis
Evaluasi : Stres tidak terjadi pada otot-otot pelvis
b. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan irigasi kontan oleh urine
Evaluasi : Tidak adanya kerusakan integritas kulit
pda klien dan tidak terjadinya irigasi kontan oleh
urine.
c. Resiko Isolasi Sosial berhubungan dengan keadaan
yang memalukan akibat mengompol di depan orang
lain.
Evaluasi ; Klien tidak dapat mengatsi masalah
isolasi sosial dan klien tidak mengompol didepan
orang lain.

You might also like