Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 384

i

TIM PENYUSUN

Ketua : dr. Elisabeth L. S. Setianingrum, Sp.PK


Anggota : dr. Azaria Amelia Adam, M.Biomed
dr. Debora S. Liana, Sp.A
dr. Derri R. Tallo Manafe, M.Sc
dr. Kresnawati W. Setiono, MCTM
dr. I Made Artawan, Sp.An, M.Biomed
dr. Aldo Anapaku
Editing dan Layout : dr. Irwan Bahar Budiyanto

ii
KONTRIBUTOR

dr. Kartini Lidia, M.Sc


dr. Desi Indria Rini,M.Biomed
dr. Christina Olly Lada, M.Gizi
dr. Dwita A Deo, M.Sc
dr. I Nyoman Sasputra,M.Biomed,Sp.PA
dr Stefany Sp.PD
Anita Lidesna, S.Si, M.Si, Apt

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena kebaikanNYA sehingga
kami dapat menyelesaikan Modul Blok Imonuhematologi tahun 2017. Modul ini disusun
untuk menjadi bahan pembelajaran bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran universitas Nusa
Cendana yang akan mendalami materi tentang imonuhematologi. Blok Imonuhematologi
diberikan pada mahasiswa FK Undana pada semester 2 setelah mahasiswa melewati blok-
blok mata kuliah dasar seperti Mekanisme Dasar Penyakit, Dasar-dasar diagnosis dan
Terapi, Biomedik 1 dan Biomedik 2. Modul ini, terdiri dari 3 modul yakni, modul Kuliah,
modul tutorial dan modul praktikum. Modul ini disusun berdasakan capaian pembelajaran
(CP) yang terdapat pada Blueprint Blok (mesokurikulum) FK Undana. Pada modul kuliah,
berisi CP untuk setiap taopik pembelajaran dan juga berisi pemaparan singkat tentang
kuliah pada topic tersebut. Untuk modul tutorial berisi modul tutorial pegangan mahasiswa
dan modul tutorial pegangan tutor. Pada kedua modul tutorial tersebut berisi skenario kasus
di bidang imonuhematologi dan jugalangkah-langkah untuk melakukan tutorial (seven jump).
Khusus untuk modul tutorial pegangan tutor, ditambahkan pertanyaaan pertanyaan kunci
yang sebaiknya didiskusikan pada tutorial, juga teori singkat mengenai skenario, sehingga
memudahkan tutor dalam mengfasilitasi jalannya tutorial, sehingga diharapkan pada akhir
tutorial CP tiap skenario dapat tercapai. Untuk modul praktikum berisi capaian pembelajaran
untuk setiap topic praktikum yang akan dilakukan juga berisi tentang panduan praktikum
yang dapat digunakans sebagai acuan pelaksanaan praktikum di blok tersebut.

Modul Blok Imonuhematologi Tahun 2017 masih jauh dari sempurna sehingga Tim
Penyusun mengharapkan saran dan kritik untuk perbaikan demi menjaga mutu lulusan FK
Undana. Besar harapan kami agar Modul Blok Imonuhematologi ini dapat berguna bagi
mahasiswa maupun dosen, demi tercapainya lulusan FK Undana yang mempunyai
kompetensi sesuai dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).

Kupang, Juni 2017

Tim Penyusun

iv
DAFTAR ISI
COVER ..................................................................................................... ......................... i
TIM PENYUSUN ....................................................................................... ......................... ii
KONTRIBUTOR ....................................................................................... ......................... iii
KATA PENGANTAR ................................................................................ ......................... iv
DAFTAR ISI .............................................................................................. ......................... v
MODUL KULIAH ................................................................................................................ 1
BAB I CAPAIAN PEMBELAJARAN ................................................................................. 2
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) LULUSAN PRODI ................................... 2
B. CAPAIAN PEMBELAJARAN TAHUN KE-1 ................................................... 2
C. CAPAIAN PEMBELAJARAN BLOK IMUNOHEMATOLOGI .......................... 2
BAB II IMUNOLOGI ........................................................................................................... 3
MODUL PRAKTIKUM ....................................................................................................... 339
BAB I PEMBUATAN DAN PEWARNAAN SEDIAAN APUS ........................................... 340
BAB II HITUNG JENIS LEKOSIT ...................................................................................... 347
BAB III HITUNG JENIS LEKOSIT ..................................................................................... 347
BAB IV HITUNG RETIKULOSIT ........................................................................................ 355
BAB V TES COOMB’S....................................................................................................... 358
BAB VI GOLONGAN DARAH ABO & Rh ......................................................................... 360
BAB VII HEMOSTASIS ................................................................................................ 363
BAB VIII BLEEDING TIME ................................................................................................ 364
BAB IX CLOTTING TIME ................................................................................................... 367
BAB X TES RUMPLE LEED .............................................................................................. 369
MODUL TUTORIAL ........................................................................................................... 371
MODUL 1. ANEMIA ................................................................................................ 374
MODUL 2 PILEK MENAHUN ................................................................................. 376

v
MODUL KULIAH

1
BAB I
CAPAIAN PEMBELAJARAN
A. CAPAIAN PEMBELAJARAN (CP) LULUSAN PRODI
Menguasai konsep teori dengan pemikiran logis, kritis, sistematis dan inovatif,
profesionalitas yang luhur, mawas diri dan pengembangan diri, komunikasi efektif
pengelolaan informasi, landasan ilmiah ilmu kedokteran, ketrampilan klinis dan pengeloaan
masalah kesehatan serta mampu menangani permasalahan kesehatan semiringkai
kepulauan.

D. CAPAIAN PEMBELAJARAN TAHUN KE-1


Pada akhir tahun ke-1 mahasiswa diharapkan mampu:
1. Menguasai Konsep Teori, berpikir kritis terkait Ilmu Biomedik, Mekanisme Dasar
Penyakit, Dasar Diagnosis dan Terapi, Imunohematologi dan Ilmu Kesehatan
Masyarakat Dasar.
2. Penguasaan ketrampilan belajar dan menumbuhkan kebiasaan belajar yang baik
melalui penggunaan teknologi komunikasi dan sistem informasi.
3. Menguasai konsep teori, berpikir kritis logis, dan mengaplikasikan teori, mengetahui
dan berespons sesuai nilai- nilai yang diajarkan pada MKU dan mata kuliah penciri
Universitas.
4. Menguasai literasi Bahasa Indonesia dan Bahasa asing.
5. Menguasai ketrampilan klinik dasar sampai pada tingkat kompetensi 3.

E. CAPAIAN PEMBELAJARAN BLOK IMUNOHEMATOLOGI


1. Mampu menerapkan sikap profesional yang luhur dengan landasan norma dan etika
akademik profesi.
2. Mampu mengkaji secara logis, kritis,rasional dan inovatif berdasarkan landasan
ilmiah terhadap masalah-masalah kedokteran klinis yang berkaitan dengan
Imunologi dan Hematologi serta mengelola masalah tersebut secara komprehensif.

2
BAB II
IMUNOLOGI
MORFOLOGI DAN FUNGSI SEL DARAH SERTA ORGAN YANG TERLIBAT

Darah adalah bentuk khusus jaringan ikat yang terdiri atas tiga jenis: eritrosit, leukosit, dan
trombosit. Sel-sel ini, juga disebut unsur bentukan (formed elements) darah yang dihasilkan
di sumsum tulang merah (medulla ossium rubra), beredar di dalam medium cair yaitu
plasma. Sel darah mengangkut gas, nutrien, produk sisa, hormon, antibodi, berbagai zat
kimia, ion, dan substansi lain di dalam plasma dari dan ke sel-sel tubuh.

a. Jenis Sel Darah Utama


Sel darah utama terbagi 2, yaitu eritrosit dan leukosit. Eritrosit adalah sel tidak berinti dan
jumlahnya paling banyak. Selama proses pematangan,eritrosit mengeluarkan intinya, dan
sel darah matang masuk ke pembuluh darah tanpa inti sel. Eritrosit berada di pembuluh
darah dan melakukan fungsi utamanya di dalam pembuluh darah. Eritrosit berdiameter kira-
kira 7,5 mikrometer. Eritrosit matang dikhususkan untuk mengangkut oksigen dan
karbondioksida. Kekhususan diakibatkan adanya protein hemoglobin. Eritrosit yang tua
disingkirkan dari darah dan difagositosis oleh makrofag di limpa, hati, dan sumsum tulang.
Leukosit memiliki nukleus dan tidak berwarna. Bentuknya bulat dalam peredaran darah,
tetapi berupa sel ameboid pleiomorfik dalam jaringan, atau pada substrat padat in vitro.
Leukosit digolongkan sebagai leukosit granular atau leukosit nongranular, tergantung ada
tidaknya granul spesifik dalam sitoplasma. Leukosit granular mencakup eosinofil, basofil,
dan neutrofil berdasarkan afinitas granulnya terhadap pewarna Romanovsky yang biasanya
dipakai untuk sediaan darah. Leukosit nongranular mencakup limfosit dan monosit. Jumlah
leukosit dalam sirkulasi berkisar 5000 sampai 9000 per milimeter kubik darah, tetapi jumlah
ini bervariasi sesuai umur, bahkan pada waktu yang berbeda sepanjang har. Fungsi utama
leukosit adalah pertahanan tubuh terhadap invasi bakteri atau adanya benda asing.
Akibatnya, leukosit paling banyak terkonsentrasi di dalam jaringan ikat.

b. Trombosit
Trombosit atau platelet bukanlah sel darah, namun merupakan unsur bentukan darah
yang paling kecil dan tidak berinti serta ditemukan di dalam darah semua mamalia.
Trombosit merupakan fragmen atau sisa sitoplasma megakariosit, sel tersebar di sumsum
tulang. Trombosit terbentuk melalui pelepasan sebagian sitoplasma atau fragmen dari tepi
megakariosit yang kemudian disalurkan ke dalam aliran darah. Fungsi utama trombosit
adalah memantau secara terus menerus sistem vaskular dan mendeteksi setiap kerusakan
di lapisan endotel pembuluh darah. Bila lapisan endotel rusak, trombosit menempel pada
tempat yang cedera dan memulai proses kimiawi yang sangat kompleks yang menghasilkan
bekuan darah

3
SISTEM LIMFATIK INNATE DAN ADAPTIF
Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem imun alamiah/nonspesifik/natural/innate/ native/
nonadaptif dan didapat/spesifik/acquired.

1. Imunitas Innate
Imunitas innate berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada individu sehat
dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Semua
mekanisme pertahanan ini merupakan bawaan (innate), artinya pertahanan tersebut
secara alamiah ada dan tidak adanya pengaruh secara intrinsik oleh kontak dengan agen
infeksi sebelumnya. Mekanisme pertahanan ini berperan sebagai garis pertahanan
pertama dan penghambat kebanyakan patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang
tampak dan terdiri atas:
a. Pertahanan fisik/mekanik
Kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis
pertahanan terdepan terhadap infeksi.
b. Pertahanan biokimia
pH asam keringat, sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit, lizosim
dalam keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu, enzim saliva, asam lambung, enzim
proteolitik, antibodi, dan empedu dalam usus halus, mukosa saluran nafas, gerakan
silia.
c. Pertahanan humoral
Pertahanan humoral terdiri dari komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid,
sitokin IL-1, IL-6, TNF-α.
(i) Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan
memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi.
Komplemen berperan sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai
faktor kemotaktik dan juga menimbulkan destruksi/lisis bakteri dan parasit.
(ii) Protein fase akut terdiri dari CRP, lektin, dan protein fase akut lain α1-antitripsin,
amyloid serum A, haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen.
(iii)Mediator asal fosfolipid diperlukan untuk produksi prostaglandin dan leukotrien.
Keduanya meningkatkan respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas
vaskular dan vasodilatasi.
d. Pertahanan seluler
Fagosit, sel NK, sel mast, dan eosinofil berperan dalam sistem imun non spesifik
seluler. Sel-sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan.Contoh
sel yang dapat ditemukan dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit,
sel T, sel B, sel NK, sel darah merah, dan trombosit. Contoh sel-sel dalam jaringan
adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma, dan sel NK.

2. Imunitas Adaptif
Sistem imun adaptif/spesifik sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat
agen infeksi tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari.
Imunitas adaptif pada umumnya bekerja 4-7 hari setelah terjadinya infeksi. Sistem imun
spesifik terdiri atas sistem humoral dan sistem seluler.
a. Sistem imun spesifik humoral
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel
B yang dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi, dan
berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi
ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler, virus, dan bakteri serta menetralkan
toksinnya.

4
b. Sistem imun seluler
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T terdiri atas
beberapa subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4+ (Th1, Th2), CD8+
atau CTL atau Tc dan Ts atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik
seluler ialah pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit,
dan keganasan. Sel CD4+ mengaktifkan sel Th1 yang selanjutnya mengaktifkan
makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8+ memusnahkan sel terinfeksi.
Th1 memproduksi IL-2 dan IFN-γ.7 Th2 memproduksi IL-4 dan IL-5.7 Treg yang
dibentuk dari timosit di timus mengekspresikan dan melepas TGF-β dan IL-10 yang
diduga merupakan petanda supresif.2 IL-10 menekan fungsi APC (Antigen Presenting
Cell) dan aktivasi makrofag sedang TGF-β menekan proliferasi sel T dan aktivasi
makrofag.
3. Sirkulasi Limfatik
Sirkulasi darah ada di bawah tekanan dan komponennya (plasma) masuk melalui
dinding kapiler yang tipis ke jaringan sekitar. Cairan ini akan dikembalikan ke sirkulasi
melalui dinding venul, sehingga dengan kata lain sistem limfatik menampung cairan
yang keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan, dan
mengembalikannya ke pembuluh darah. Sel limfosit, makrofag, dan sel lainnya juga
dapat masuk ke dalam sistem ini melalui dinding tipis sel endothel yang longgar dari
pembuluh limfe.
Jantung tidak memompa limfe melalui sistem limfatik, tetapi arus perlahan dicapai
dengan tekanan rendah limfe yang diperas oleh gerakan otot tubuh dan sejumlah
katup satu arah sepanjang pembuluh limfe yang memastikan arus limfe bergerak ke
satu arah.antigen asing yang masuk ke dalam jaringan akan ditangkap oleh sel sistem
imun dan dibawa ke berbagai jaringan limfoid regional yang terorganisir seperti KGB.
Jadi sistem limfatik juga berperan sebagai alat transpor limfosit dan antigen dari
jaringan ikat ke jaringan limfoid yang terorganisir, tempat limfosit diaktifkan

PENANGKAPAN ANTIGEN DAN PRESENTASINYA KE LIMFOSIT, PENGENALAN


ANTIGEN PADA SISTEM IMUN ADAPTIF

Sistem imun berfungsi untuk pertahanan tubuh terhadap antigen. Mekanisme pertahanan ini
diawali dengan pengenalan molekul asing, sehingga dpt dibedakan dg molekul self. Peran
ini diperankan oleh reseptor pd permukaan sel. Reseptor hanya akan mengenali molekul yg
memiliki epitop atau bagian spesifik makromolekul antigen yg berikatan dengan antibodi.
Selain itu peptida epitop diikat oleh molekul MHC utk membantu pengenalan oleh reseptor
sel T. Fungsi sel T dalam sistem imun hanya dpt dilakukan bila limfosit T berinteraksi
dengan antigen sel. Antigen suatu sel dapat dikenali karena kerja dari protein khusus yg
dikode oleh gen yang disebut MHC (Major Histocompatibility Complex).

1. Major Histocompatibility Complex


MHC merupakan regio genetik yg luas dan sangat polimorfik. Protein ini berfungsi
mempresentasikan peptida kepada sel T. Kompleks ini dibedakan menjadi molekul I
(MHC I) dan molekul II (MHC II). MHC I diekspresikan pada semua permukaan sel yang
memiliki nukleus, sedangkan MHC II diekspresikan terutama pada permukaan sel
khusus, seperti APC, sel dendritik, makrofag, sel B, sel endotel, sel epitel timus
MHC pada manusia disebut HLA (Human Leucocyte Antigen)

1.1 Molekul MHC-1


Molekul MHC-I terdiri atas 2 polipeptida. Rantai yang pertama merupakan rantai α
yang sangat polimorfik yang dikode dalam lokus MHC pada kromosom 6. Rantai
5
kedua merupakan rantai β2 mikroglobulin (rantai ringan) yang bersifat nonpolimorfik,
dikode dalam kromosom 15. Molekul ini mampu dikenali oleh sel T sitolitik/sitotoksik
(CD8+)

1.2 Molekul MHC-II


Molekul MHC II terdiri dari 2 rantai polipeptida, yaitu rantai α dan rantai β. Kedua
rantai dikode oleh gen polimorfik. Sisi ikatan dengan reseptor sel T mengikat CD4
dan dikenali oleh sel T helper
Setiap molekul MHC memiliki celah ikatan peptida ekstrasel (extracellular peptide-
binding cleft), sepasang domain imunoglobulin (Ig-like domain), yang dihubungkan
ke sel melalui domain transmembran & domain sitoplasmik. Ikatan peptida pd
molekul MHC merupakan interaksi yg dimediasi oleh residu peptida dan residu celah
(cleft). Ketika terikat peptida akan mengisi celah dan akan berikatan kuat dengan
residu asam amino rantai polipeptida MHC

2. Penangkapan dan Presentasi Antigen


Respon sel T terhadap protein antigen membutuhkan partisipasi dari APC untuk
menangkap dan mempresentasikan antigen kepada sel T
APC memiliki 2 fungsi penting dlm aktivasi sel T CD4. APC mengkonversi protein antigen
menjadi peptida yang membentuk kompleks peptida-MHC yang dapat dikenali oleh sel
T. sehingga dapat masuk dalam tahap antigen processing. Selain itu, APC memberikan
stimuli kpd sel T yg diawali oleh pengenalan kompleks peptida-MHC oleh reseptor
antigen sel T yang akan bertindak sebagai costimulator. APC yang bekerja untuk sel T
CD4 terdiri dari sel dendritik, fagosit mononuklear, dan sel limfosit B
Sel dendritik imatur pada epitel dan jaringan. Sel ini akan mengekspresikan reseptor
membran untuk mengikat mikroba dan memasukkan ke dalam sel. Sel ini akan memulai
mengkonversi protein antigen menjadi peptida yang dapat berikatan dengan molekul
MHC. Mikroba yang masuk akan menstimulasi reaksi imun innate yang akan
menghasilkan sitokin inflamasi. Kombinasi mikroba & sitokin akan mengaktivasi sel
dendritik. Sel yang telah kehilangan ikatan dengan epitel akibat inflamasi akan
mengekspresikan reseptor kemokin (CCR7) yang spesifik dengan kemokin pada daerah
sel T limfonodus. Sel dendritik mengalami maturasi dalam perjalanannya menuju
limfonodus, sehingga sel dendritik ini merupakan sel yg mampu mempresentasikan
antigen pada sel T naïve sekaligus mengaktivasinya.
Fagosit mononuklear merupakan APC yg secara aktif memfagositosis organisme
penyebab infeksi. Sel T mengenali antigen mikroba pada sel fagosit yang kemudian
mengaktivasi makrofag utk menghancurkan mikroba tersebut
Limfosit B menggunakan reseptor antigen untuk mengikat protein antigen kemudian
mempresentasikan peptida yg terkonversi dari protein antigen ke limfosit T.

3. Antigen Processing
Mikroba ekstrasel berikatan dengan APC lalu mengalami internalisasi ke dlm sel yang
disebut endosom. Endosom mengandung enzim proteolitik sehingga protein antigen
yang masuk dihancurkan secara enzimatik. Molekul MHC II diproduksi pada Retikulum
Endoplasma kemudian dibawa ke endosom bersama denga protein yg disebut rantai
invarian (Ii) oleh vesikel exocytic. Dalam endosom MHC melepaskan ikatannya dg Ii agar
peptide-binding cleft dpt melekatkan MHC dengan antigen
3.1 Limfosit T CD8
Semua sel yg berinti dpt mempresentasikan peptida MHC I yg berasal dr protein
antigen sitosol (cytosolic protein antigen). sel T CD8 dapat teraktivasi, berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel efektor terjadi setelah sel T CD8 naïve mengenali
6
peptida antigen MHC I serta berikatan dengan APC. Sel yg terinfeksi oleh mikroba
intrasel akan ditangkap oleh sel dendritik yang membuat antigen dari mikroba
dihancurkan dan dipresentaskan bersama dg molekul MHC dari sel dendritik. Sel T
mengenali antigen dan costimulator pd APC. Proses ini akan membuat sel T
teraktivasi, sehingga terjadi cross presentation

RESPON IMUN HUMORAL, RESPON IMUN YANG DIMEDIASI SEL


Imunitas humoral di mediasi oleh antibodi dan merupakan bentuk pertahanan respons imun
adaptif yang berfungsi untuk menetralisasi dan mengeliminasi mikroba ekstraselular serta
toksin mikrobial. Imunitas humoral lebih penting dibandingkan imunitas seluler dalam
perlindungan terhadap mikrobakteri dengan kapsul kaya lipid dan lipopolisakarida, serta
toksin lipid dan polisakarida. Hal ini disebabkan oleh respon sel B, dan memproduksi
antibodi spesifik dengan berbagai tipe molekul, tetapi sel T yang merupakan mediator
imunitas seluler hanya mengenali dan berespon terhadap antigen protein. Antibodi
diproduksi limfosit B dan progenitornya sel limfosit B naive mengenali antigen tetap tidak
mensekresi antibodi, dan aktivasi sel ini menstimulasi diferensiasi sel plasma pensekresi
antibodi.

1. Fase dan Tipe Respon Imun Humoral


Limfosit B naive mengekspresikan dua kelas antibodi terikat-membran, IgM
(immunoglobulin M) dan IgD, berfungsi sebagai reseptor antigen sel B naive diaktivasi
oleh antigen dan sinyal lain yang didiskusikan lebih lanjut. Pada bagian ini aktivasi sel
limfosit B menyebabkan proliferasi sel spesifik antigen, yang disebut ekspansi klon, dan
pada saat diferensiasi menjadi efektor disebut dengan sel plasma yang aktif mensekresi
antibodi. Antibodi yang disekresikan memiliki spesifitas yang sama dengan reseptor
membran sel B naive. Menyebabkan respons terhadap antigen yang telah dikenali. Satu
sel B yang telah teraktivasi memproduksi hingga 400 sel plasma, yang dapat
menghasilkan sampai dengan 10 12 molekul antibodi perharinya. Dengan cara ini,
imunitas humoral dapat mengimbangi proliferasi mikroba yang cepat. Selama masa
diferensiasi, beberapa sel B mungkin memproduksi antibodi terhadap isotipe rantai berat
yang memediasi berbagai fungsi efektor dan terspesialisasi untuk melawan berbagai tipe
mikroba. Proses ini disebut sebagai perpindahan isotipe (kelas) rantai berat (heavy chain
isotype [class] switching). Pajanan berulang terhadap antigen protein menyebabkan
produksi antibodi disertai peningkatan afinitas antigen, proses ini disebut dengan
maturasi afinitas (maturation affinity), dan dapat memicu produksi antibodi dengan
peningkatan kapasitas untuk mengikat serta menetralisir mikroba dan toksin mereka.
Antibodi berespons terhadap antigen yang berbeda dan diklasifikasikan sebagai T-
dependen dan T-independen, berdasarkan terhadap kebutuhan sel T, limfosit B
mengenali dan mengaktivasi berbagai jenis struktur kimia yang berbeda, termasuk
protein, polisakarida, lemak, dan senyawa kimia minor lain. Antigen diproses oleh sel
penyaji antigen (antigen presenting cell/APC) dan dikenali sebagai limfosit T-penolong (T-
helper), yang memainkan peranan penting dalam aktivasi sel B dan menginduksi
perpindahan isotipe (kelas) rantai berat dan maturasi afinitas (istilah penolong datang dari
temuan bahwa beberapa sel T menstimulasi atau membantu sel limfosit B memproduksi
antibodi) ketiadaan sel T penolong menyebabkan lemah atau tidak adanya respon
antibodi terhadap protein antigen. Lalu, protein antigen dan respon antibodi terhadap
antigen ini disebut ―T-dependen‖. Polisakarida, lipid dan antigen nonprotein lain
menstimulasi produksi antibodi tanpa sel T-penolong. Selanjutnya antigen nonprotein dan
respons antibodi yang terjadi disebut ―T-independen‖. Antibodi diproduksi sebagai
respons terhadap antigen pada T-independen menunjukkan perpindahan isotipe (kelas)
rantai berat dan maturasi afinitas yang relatif kecil.
7
Respons antibodi awal dan selanjutnya terhadap pajanan antigen, disebut sebagai
respon primer dan sekunder; berbeda secara kuantitatif dan kualitatif, jumlah antibodi
yang diproduksi setelah paparan awal terhadap antigen (contoh : respon primer) lebih
kecil dibandingkan jumlah antibodi yang diproduksi pada imunisasi berulang (contoh :
respon sekunder) dengan antigen protein, respon sekunder juga menunjukkan
perpindahan isotipe (kelas) rantai berat dan maturasi afinitas, karena stimulasi berulang
oleh antigen menyebabkan peningkatan jumlah sel T-penolong.

2. Stimulasi Limfosit B oleh Antigen


Respons imun humoral di inisiasi jika limfosit B spesifik antigen di limpa, nodus limfatik
dan jaringan mukosa limfoid, sehingga dapat mengenali antigen. Beberapa antigen
mikroba yang memasuki jaringan atau dalam darah ditranspor serta terkonsentrasi di
dalam sel B yang kaya folikel dan zona marginal pada organ limfoid perifer. Pada nodus
limfatik, makrofag membatasi sinus subkapsular dan menangkap antigen serta
menunjukkan mereka kepada sel B di folikel terdekat. Limfosit B spesifik terhadap
antigen menggunakan reseptor membran terikat immunoglobulin (Ig) untuk mengenali
antigen pada susunan awal (tanpa dilakukan pemrosesan). Pengenalan jalur sinyal
pemicu antigen yang menginisiasi aktivasi sel B. begitu juga dengan limfosit T, aktivasi
sel B juga memerlukan sinyal tambahan dalam pengenalan antigen, dan banyak diantara
sinyal kedua ini diproduksi dalam reaksi imunitas bawaan terhadap mikroba. Pada bagian
selanjutnya, kami akan mendeskripsikan mekanisme aktivasi sel B, diikuti oleh diskusi
dari konsekuensi fungsional pengenalan antigen.

3. Sinyal yang di Induksi antigen pada Sel B


Sinyal yang di Induksi antigen (antigen-induced signaling) melingkupi reseptor membran
Ig dan memicu sinyal biokimia yang ditransduksi oleh sinyal molekul terkait reseptor
(receptor-associated signaling molecules). Pada dasarnya proses aktivasi limfosit B
serupa dengan aktivasi sel T. Pada sel B, transduksi sinyal yang dimediasi reseptor Ig
memerlukan cross-linking dari dua atau lebih molekul reseptor. cross-linking reseptor ini
terjadi apabila dua atau lebih molekul antigen mengalami agregasi, atau pengulangan
epitope dari salah satu molekul antigen, berikatan dengan molekul Ig terdekat pada
membran sel B. polisakarida, lemak dan antigen nonprotein lain sering berisi berbagai
epitope identik pada tiap molekulnya sehingga dapat berikatan dengan beberapa
reseptor Ig pada sel B pada saat yang sama.
Sinyal yang diinisiasi oleh cross-linking reseptor antigen ditransduksikan oleh protein
yang berhubungan dengan reseptor. Membran IgM dan IgD, serta reseptor antigen sel B
naive, memiliki variabilitas regio pengikat-antigen ekstraseluler yang tinggi dan domain
sitoplasmik yang pendek. Reseptor membran ini mengenali antigen tetapi mereka sendiri
tidak mentranduksi sinyal. Reseptor ini terikat secara nonkovalen pada dua protein yaitu
Igα dan Igβ, untuk mebentuk kompleks reseptor sel B (BCR) (analog dengan reseptor sel
limfosit T). domain sitoplasmik Igα dan Igβ menyimpan Immunoreceptor tyrosine-based
activation motifs (ITAMs), yang merupakan subunit sinyal dari reseptor lain yang
teraktivasi dalam sistem imunitas. (contoh : CD3 dan δ protein dari komples TCR). Ketika
dua atau lebih reseptor antigen sel B berkumpul, tirosin yang terdapat pada ITAMs dari
Igα dan Igβ akan mengalami fosforilasi oleh kinase yang berasosiasi dengan kompleks
BCR. Fosofotirosin yang terbentuk ini akan menjadi situs melekatnya protein sehingga
senyawa ini akan mengalami fosforilasi dan pada akhirnya menciptakan molekul sinyal.
Komponen reseptor yang terinduksi oleh kaskade sinyal ini belum dapat dipahami pada
sel B maupun sel T. Tetapi proses ini pada dasarnya serupa dengan populasi dua
limfosit. Hasil akhir sinyal yang diinduksi reseptor pada sel B adalah aktivasi faktor

8
transkripsi mengaktivasi produk protein yang terlibat dalam proliferasi dan diferensiasi sel
B.

4. Peranan Protein Komplemen dalam Aktivasi Sel B


Limfosit B mengekspresikan reseptor dari protein pad sistem komplemen yang
menyediakan sinyal untuk aktivasi sel. Sistem komplemen merupakan kumpulan protein
plasma yang teraktivasi oleh mikroba dan antibodi yang berikatan dengan mikroba serta
memiliki fungsi sebagai mekanisme efektor pertahanan pejamu yang cukup dikenal.
Ketika sistem komplemen teraktivasi oleh mikroba, mikroba lalu akan diselimuti oleh
produk pemecahan protein komplemen dalam jumlah yang besar, C3. Salah satu produk
pemcahan ini dikenal dengan fragmen C3d. limfosit B mengekspresikan sebuah reseptor,
disebut dengan reseptor komplemen tipe 2 (CR2 atau CD21), yang berikatan dengan
C3d. sel B yang spesifik terhadap antigen mikroba mengenali antigen karena reseptor Ig
dan mengenali secara bersamaan C3d yang berikatan dengan reseptor CR2. Aktivasi
dari CR2 meningkatkan respon aktivasi dependen antigen sel B. sehingga, protein
komplemen menyediakan sinyal kedua untuk aktivasi sel B, yang berfungsi secara
harmonis dengan antigen (sinyal 1) untuk menginisiasi proliferasi dan diferensiasi sel B.
peranan faktor komplemen dalam respon imunitas humoral mengilustrasikan gagasan
yang telah dipaparkan sebelumnya – bahwa mikroba atau respon imunitas bawaan
terhadap mikroba menyediakan sinyal tambahan terhadap antigen yang diperlukan dalam
aktivasi limfosit. Pada imunitas humoral, aktivasi komplemen relevan dengan respons
imunitas bawaan dan C3d merupakan sinyal kedua dari limfosit B, analog dengan
kostimulator APC untuk limfosit T.
Respon sel B mungkin meningkat tidak hanya oleh pengenalan komplemen protein tetapi
juga oleh produk mikroba yang berinteraksi dengan reseptor Toll-like (TLRs) pada sel B.
limfosit B, seperti halnya sel dendritic dan leukosit lainnya, mengekspresikan banyak
TLRs. Pengenalan produk mikroba oleh TLRs menstimulasi proliferasi sel B dan sekresi
Ig, sehingga memicu respons antibodi terhadap mikroba.

5. Fungsi Limfosit T Penolong dalam Respon Imunitas Humoral terhadap Antigen


Protein
Untuk sebuah antigen protein menstimulasi respons antibodi, limfosit B dan limfosit T-
penolong spesifik antigen tertentu harus bersamaan di dalam organ limfoid berinteraksi
untuk menstimulasi proliferasi serta diferensiasi sel B. Proses ini berjalan sangat efisien,
karena antigen protein mengelisitasi respon antibodi dalam 3 hingga 7 hari setelah
paparan antigen. Efisiensi dari proses ini menimbulkan banyak pertanyaan. Bagaimana
sel B dan sel T spesifik terhadap epitope suatu antigen yang sama dapat saling
menemukan satu sama lain, dengan pertimbangan bahwa kedua tipe limfosit spesifik
untuk salah satu antigen sendiri cukup jarang.

6. Aktivasi dan Migrasi sel T-penolong


Sel T-penolong telah teraktivasi untuk berdiferensiasi menjadi sel efektor yang
berinteraksi dengan antigen yang distimulasi limfosit B di tepi folikel limfoid dan organ
limfoid perifer. Sel T-penolong CD4+ naive distimulasi untuk proliferasi dan
berdiferensiasi menjadi sel efektor pemroduksi sitokin sebagai hasil dari pengenalan
antigen pada APCs, terutama sel dendritic, pada organ limfoid. Proses aktivasi sel T
dideskripsikan pada Bab 5. Untuk mengulangi poin-poin penting, aktivasi inisial sel T
memerlukan pengenalan dan kostimulasi antigen. Antigen yang menstimulasi sel T-
penolong CD4+ merupakan turunan dari mikroba ekstraseluler dan protein yang diproses
dan berikatan dengan kompleks histokompabilitas mayor kelas II (Mayor Histocompability
Complex / MHC) terhadap APCs pada jaringan limfoid perifer yang kaya sel T. aktivasi
9
sel T diinduksi paling baik oleh antigen mikroba, dan oleh antigen protein yang digunakan
dengan adjuvant, nantinya akan menstimulasi ekspresi kostimulator APCs. T-penolong
CD4+ mungkin berdiferensiasi menjadi sel efektor yang dapat memproduksi bermacam
sitokin : subset TH1, TH2, dan TH17 yang merupakan contoh diferensiasi sel efektor.
Diferensiasi sel efektor dimulai saat migrasi dari situs berdiamnya sel ini. Beberapa sel
limfosit T memasuki sirkulasi, lalu menemukan adanya antigen mikrobia pada situs yang
jauh, lalu mengeradikasi mikroba tersebut dengan reaksi imunitas yang dimediasi oleh
sel. Beberapa sel T-penolong bermigrasi menuju tepi folikel limfoid pada saat yang sama
sebagai limfosit B yang distimulasi antigen didalam folikel mulai mengalami migrasi
keluar. Migrasi sel B dan T yang terarah antara satu dengan yang lain bergantung pada
perubahan ekspresi reseptor kemokin pada limfosit yang teraktivasi. Pada saat
teraktivasi, sel T mengurangi ekspresi reseptor kemokin CCR7, yang mengenali kemokin
yang diproduksi pada zona sel T, dan meningkatkan ekspresi reseptor kemokin CXCR,
yang memicu migrasi menuju sel folikel B. sel B, pada saat teraktivasi mengalami
perubahan sebaliknya, penurunan CXCR5 dan peningkatan ekspresi CCR7. Sebagai
hasilnya, sel B dan T teraktivasi antigen bermigrasi menuju satu sama lainnya dan
bertemu pada tepi dari folikel limfoid.

7. Presentasi Antigen oleh Sel Limfosit B untuk Sel T-penolong


Limfosit B yang berikatan dengan antigen protein oleh reseptor endositosis antigen
spesifiknya, akan memproses antigen ini didalam vesikel endosomal dan selanjutnya
akan menampilkan MHC kelas II-berkaitan dengan peptide sebagai perkenalan sel T-
penolong CD4+. Membran Ig dari sel B memiliki reseptor berafinitas tinggi yang
memungkinkan sel B secara spesifik berikatan dengan antigen tertentu bahkan dengan
konsentrasi ekstraseluler antigen sangat rendah. Sebagai tambahan, antigen yang
berikatan dengan membran Ig mengalami endositosis dengan sangat efisien dan
dikirimkanlangsung ke vesikel endosomal intraseluler dimana protein ini diproses menjadi
peptide yang mengikat MHC kelas II. Selanjutnya, limfosit B merupakan APCs yang
efisien terhadap antigen yang dikenalnya secara spesifik. Yang perlu dicatat, bahwa
salah satu sel B mungkin berikatan dengan bentuk epitope dari antigen protein,
internalisasi dan proses protein antigen, lalu ditampilkan peptide multipel untuk
pengenalan sel T. Lalu, sel B dan sel T mengenali beberapa epitope dengan antigen
protein yang sama. Karena sel B mempresentasikan antigen untuk reseptor spesifik dan
sel T-penolong yang spesifik mengenali peptide yang diturunkan dari antigen yang sama,
menjamin interaksi tetap spesifik. Seperti yang diterangkan sebelumnya, limfosit B
teraktivasi antigen juga mengekspresikan kostimulator, seperti molekul B7, yang
menstimulasi sel T-penolong dan mengenali antigen yang ditampilkan oleh sel B. sel B
pun dapat mengaktivasi diferensiasi sel T efektor yang terdahulu tetapi tidak efisien pada
saat memulai respon sel T naive.

8. Mekanisme Aktivasi Sel T-Penolong oleh Limfosit B


Limfosit T-penolong mengenali antigen yang dipresentasikan sel B mengaktivasi sel B itu
sendiri dengan ekspresi ligan CD40 (CD40L) dan mensekresi sitokin lain. Proses aktivasi
sel T-penolong dimediasi oleh limfosit B analog dengan proses aktivasi makrofag yang
dimediasi sel T pada imunitas diperantarai sel (lihat Bab 6). CD40L mengaktivasi sel T-
penolong berikatan dengan CD40 yang diekspresikan oleh sel limfosit B. Inisiasi CD40
menghantarkan sinyalke sel B yang menstimulasi proliferasi (ekpansi klonal) dan sintesis
serta sekresi antibodi. Pada saat yang sama, sitokin yang diproduksi oleh sel T penolong
berikatan dengan reseptor sitokin pada limfosit B dan menstimulasi proliferasi sel B dan
produksi Ig lebih banyak. Kriteria interaksi antara CD40L-CD40 menjamin hanya sel B
dan T pada kontak fisik yang menghasilkan interaksi produktif. Seperti yang telah
10
dijelaskan sebelumnyam limfosit yang spesifik antigen merupakan salah satu yang
mengalami interaksi fisik, sehingga menjamin bahwa sel B spesifik-antigenjuga
merupakan salah satu yang teraktivasi. Sel T-penolong mengeluarkan sinyal yang
menstimulasi perpindahan isotipe rantai berat dan maturasi afinitas, yang tampak
terutama pada respon antibodi terhadap antigen protein T-dependen.

REAKSI HIPERSENSITIFITAS
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang
pernah dipajankan atau dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai
kelainan yang heterogen yang dapat dibagi menurut berbagai cara.
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I
hipersensitif anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III
hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated
(hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V atau stimulatory
hypersensitivity.

1. Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)


Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar
antigen spesifik yang dikenal sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup,
disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara respon imun normal dan
hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma.
Antibodi ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel mast dan
basofil. Selmast dan basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi),
karena sel B memerlukan waktu untuk menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama,
tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-30 menit hingga 10-20
jam. Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor
disel mastosit dan basofil sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada
saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen akan berikatan dengan IgE yang
berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan terjadinya
granulasi.
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.
1. mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting,
menyebabkan meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan
meningkatnya sekresi mukus. Mediator lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin
(menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi trombosit) serta faktor
kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks
granula dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease
menghasilkan kinin dan memecah komponen komplemen untuk menghasilkan faktor
kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
2. Mediator Sekunder yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan
spasmogenik yang dikenal paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali
lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan permeabilitas vaskular dan alam
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik untuk
neutrofil, eosinofil, dan monosit. Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling
banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast. Mediator ini
menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan
agregasi trombosit, pelepasan histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat
kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.

11
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin
berperan penting pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut
dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF merupakan mediator yang sangat
poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui
faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor of
anaphylaxis)..
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan
fase lambat.
a. Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi
beberapa menit setelah pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan
dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan alergen lagi.
b. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel
mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti
bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase
cepat. Sel mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik
sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase aktif dari sel mast
tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan sel radang.

2. Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik


Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena
dibentuk antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel
pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang
merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul
asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi
disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang
memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan
menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai
manifestasi klinik.
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit
anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun.
Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk
Fc
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu


(i) Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB
dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa
Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung
antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan
darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O
mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan
A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
(ii) Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak
12
yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas
sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah
disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak
yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang
diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan
aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi
dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus
dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha
menyelamatkan bayi.
(iii) Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig
terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b,
terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau
dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi yang selanjutnya mengikat obat
pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.
(iv)Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang
menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat
trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan
menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan
chloropromazin mengikat sel darah merah.
(v) Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran
basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang
menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam
penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan,
plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi.

3. Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun


Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigencantibodi c
(imun), diikuti dengan aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit
polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen eksogen seperti bakteri dan
virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam
sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah
ekstravaskular tempat antigen tersebut tertanam (kompleks imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk
dalam sirkulasi mengendap dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu
(misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks tersebut terbentuk dan mengendap pada
tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme terjadinya jejas
jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan
terbentuknya kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam
sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel
fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa bantuan komplemen. Pada
umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh
makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat
lebih lama berada dalam sirkulasi. Diduga bahwa ganggua fungsi fagosit merupakan
13
salah satu penyebab mengapa kompleks tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks
imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama, biasanya tidak berbahaya.
Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan.

4. Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI),
Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam
setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah
disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang
oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang
terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu
merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi
kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti
reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan
kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai
carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat
di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman
atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung
antigen itu (sel target).
Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada
beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli,
herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa
(leishmaniasis, schitosomiasis).
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T
CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan
inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis
yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga
terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T
CD8+. Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori
hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama
juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1 dan IL17
keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi
merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan
dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan
sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil.
Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang berulang
akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1
akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang bertanggung jawab dalam banyak
manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ mengaktivasi makrofag yang akan
memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya.
Mikroorganisme tersebut mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi
presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin
yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan
memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag
untuk mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus
maka inflamasi kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17
diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-antigen dalam penyakit
autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa sitokin lain.
Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses
inflamasi. TH17 juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.`
14
Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan
jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi
oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs langsung melawan histocompatibilitas dari antigen
tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari
CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus
akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari
sel T CD8+. Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi
tersebut dan juga akan berakibat pada kerusakan sel`

ORGAN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM HEMATOLOGI


Hematopoiesis terjadi sejak masa embrional. Hematopoiesis menurut waktu terjadinya
terbagi atas hematopoiesis prenatal dan hematopoiesis postnatal. Hematopoiesis prenatal
terjadi selama dalam kandungan. Hematopoiesis prenatal terdiri atas 3 fase: mesoblastik,
hepatik, dan mieloid. Fase mesoblastik dimulai sejak usia mudigah 14 hari sampai minggu
kesepuluh, berlangsung di yolk sac (saccus vitelinus). Sedangkan fase hepatik berlangsung
mulai minggu keenam sampai kelahiran, berlangsung di mesenkim hepar, dan mulai terjadi
differensiasi sel. Fase mieloid berlangsung dalam sumsum tulang pada usia mudigah 12-17
minggu, ini menandakan sudah berfungsinya sumsum tulang untuk menghasilkan sel darah.
Organ yang berperan dalam proses hematopoiesis adalah sumsum tulang dan organ
retikuloendotelial (hati dan spleen). Jika terdapat kelainan pada sumsum tulang,
hematopoiesis terjadi di hati dan spleen. Ini disebut hematopoiesis ekstra medular. Sumsum
tulang yang berperan dalam pembentukan sel darah adalah sumsum tulang merah,
sedangkan sumsum kuning hanya terisi lemak. Pada anak kurang dari 3 tahun, semua
sumsum tulang dari sumsum tulang berperan sebagai pembentuk sel darah. Sedangkan
saat dewasa, sumsum merah hanya mencakup tulang vertebra, iga, sternum, tengkorak,
sakrum, pelvis, ujung proksimal femur dan ujung proksimal humerus.
Dalam setiap pembentukan sel darah, terjadi 3 proses yaitu: proliferasi, diferensiasi dan
maturasi. Sedangkan komponen yang terdapat dalam proses pembentukan sel darah
mencakup: stem sel, sel progenitor, dan sel prekursor. Seluruh komponen sel darah berasal
dari hematopoietic stem cells (HSC). HSC bersigat multipoten karena dapat berdiferensiasi
dan kemudian terbagi menjadi beberapa proses terpisah yang mencakup: eritropoiesis,
mielopoiesis (granulosit dan monosit), dan trombopoiesis (trombosit).
Proses hematopoiesis terjadi atas regulasi dari hematopoietic growth factor.
Hematopoietic growth factor ini memiliki peran dalam proses proliferasi, diferensiasi, supresi
apoptosis, maturasi, aktivasi fungsi saat terjadi hematopoiesis. Sel darah yang dalam proses
pematangan memiliki karakteristik umum yang sama, yaitu:
1. Ukuran: semakin matang, ukurannya semakin kecil
2. Rasio inti:sitoplasma. Semakin matang, rasionya semakin menurun. Hal ini
menandakan bahwa inti sel semakin mengecil saat sel darah semakin matang.
3. Karakteristik inti: a) semakin matang maka ukuran inti semakin kecil, b) kromatin muda
halus, lalu kasar, lalu lebih padat saat menuju ke arah matang, c) anak inti tidak
terlihat saat sel darah matang
4. Sitoplasma pada sel muda biru tua, tanpa granul.

TOLERANSI IMUNOLOGI DAN AUTOIMUNITAS RESPON IMUN


Mekanisme proteksi yang kuat diperlukan untuk mencegah terjadinya penyakit autoimun,
melindungi individu dari limfosit yang potensial self-reaktif terhadap antigen sel tubuh sendiri
yang disebut toleransi. Mekanisme tersebut dapat primer terjadi pada organ limfoid primer,
seperti sumsum tulang dan timus, yang disebut toleransi sentral dan di perifer yang disebut
toleransi perifer. Toleransi terhadap antigen sendiri terjadi selama hidup fetal melalui
inaktivasi atau dihancurkan limfosit self-reaktif. Proses tersebut disebut clonal abortion,
15
clonal deletion atau seleksi negative. Sel T memilki peran sentral dalam mengontrol hampir
semua respon imun. Oleh karena itu toleransi sel T merupakan hal yang jauh lebih penting
dibandingkan toleransi sel B. hampir semua sel B yang self reaktif tidak akan dapat
memproduksi autoantibodi kecuali bila menerima bantuan yang benar dari sel T.

I. Toleransi Sel T
Sel T yang diproduksi dalam sumsum tulang, memasuki timus, berkembang dalam
timus melalui berbagai fase : double negative, double positive, seleksi positive, dan
seleksi negative dan toleransi.

a. Toleransi Sentral
Timus mempunyai peran penting untuk menyingkirkan sel T yang mengenal
peptida asal protein sendiri. Sel T diproduksi dalam sumsum tulang, namun
pematangan dan perkembangannya terjadi dalam timus. Prekursor Sel T yang
berasal dari sumsum tulang, bermigrasi melalui darah ke korteks kelenjar timus. Sel
T tersebut merupakan sel T prekursor yang memiliki gen TCR yang tidak disusun
dan tidak mengekspresikan CD4 atau CD8.
Timosit mula-mula ditemukan dibagian luar korteks. Gen TCR mulai disusun, CD3,
CD4, CD8 dan TCR diekspresikan. Selama pematangannya, sel melewati korteks
ke medulla, CD4, CD8 (negative berganda) berkembang melalui CD , CD yang
selanjutnya berkembang menjadi CD , CD atau CD , CD (positif tunggal) yang
disusul dengan perkembangan TCRβ, kemudian TCRα. Toleransi sentral adalah
induksi toleransi saat limfosit berada dalam perkembangannya ditimus. Proses
seleksi terjadi untuk menyingkirkan timosit yang self-reaktif. Melalui proses yang
disebut seleksi positif, sel hidup melalui ikatan dengan kompleks MHC. Sel T
dengan TCR yang gagal berikatan dengan self-MHC dalam timus akan mati melalui
apoptosis. Sel T yang mengikat kompleks peptide-MHC dengan afinitas tinggi
dalam timus, akan memiliki potensi untuk mengenal self-antigen yang menimbulkan
autoimunitas. Oleh karena itu sel-sel tersebut disingkirkan, dan proses itu disebut
seleksi negative atau edukasi timus. Diduga 90% timosit mengalami proses seleksi
negative, dihancurkan dan gagal untuk berfungsi.
Proses edukasi timus itu hanya sebagian berhasil. Hal ini berarti bahwa sel T yang
self-reaktif masih dapat ditemukan pada individu sehat. Kegagalan edukasi timus
tersebut disebabkan oleh karena banyak self-peptida tidak diekspresikan dalam
jumlah yang cukup dalam timus untuk dapat menginduksi seleksi negative.
Kebanyakan peptide yang ditemukan dan diikat MHC dalam timus berasal dari
bahan intraseluler yang ada dimana-mana dalam tubuh atau protein yang diikat
membrane atau dalam cairan ekstraseluler. Tidak semua self-antigen ditemukan
dalam timus. Beberapa antigen spesifik untuk jaringan, misalnya insulin masih
diekspresikan ditimus. Jadi toleransi timus hanya diinduksi terhadap beberapa
protein jaringan spesifik. Tidaklah mengherankan bila respon sel T terhadap protein
jaringan spesifik dapat ditemukan pada orang normal. Pada beberapa hal, sel T
(juga sel B dalam sumsum tulang) yang self-reaktif dapat lolos dari seleksi negative
dalam timus dan muncul diperifer. Toleransi perifer menginaktifkan sel-sel tersebut
yang dapat diartikan sebagai inaktivasi sel T (dan B) yang masih self-reaktif
diperifer.
b. Toleransi Perifer
Regulasi fungi sel T terus menerus diperlukan meskipun sel T sudah meninggalkan
timus. Proses tersebut penting untuk mencegah putusnya toleransi bila sel T
terpajan dengan self-antigen yang tidak ditemukan dalam timus. Toleransi perifer
merupakan mekanisme yang diperlukan untuk mempertahankan toleransi terhadap
16
antigen yang tidak ditemukan dalam organ limfoid primer atau terjadi bila ada klon
sel dengan reseptor afinitas rendah yang lolos dari seleksi primer. Jadi tubuh masih
memiliki sistem kontrol kedua terhadap sel yang potensial autoreaktif yang dikenal
sebagai toleransi perifer. Ada mekanisme yang dapat mencegah toleransi perifer
seperti ignorance,anergi dan kostimulasi dan mekanisme regulasi oleh sel Treg.
1. Ignorance
Ignorance imunologis adalah keadaan bila antigen tidak dihiraukan/tidak
kelihatan/dikenal oleh sistem imun. Ignorance terjadi melalui berbagai
mekanisme misalnya tidak adanya cukup pemisahan anatomik atau
kompertementasi atau sekuesterasi seperti sawar darah-otak, lensa mata, testis,
antigen dalam organ avascular seperti humor vitreus dimata, meskipun jumlah
antigen terbatas dapat terlepas dari tempat tersebut. Karena lokasinya tersebut,
antigen tertentu tidak ditemukan limfosit reaktif pada kondisi normal. Antigen
tersebut tak pernah dipajankan dengan sel imun hingga tidak akan terjadi reaksi
imun. Namun akibat infeksi atau cidera, antigen yang tidak pernah dikenal
limfosit selama perkembangannya akan terpajan dengan sistem imun yang akan
memberikan respon.
2. Sel T autoreaktif yang dipisahkan
Self-antigen dan limfosit juga dipisahkan oleh jalur sirkulasi limfosit yang
terbatas, sehingga membatasi limfosit naif yang tidak bebas bergerak ke
jaringan limfoid sekunder dan darah. Distribusi molekul MHC-II terbatas pada
APC seperti SD, yang berarti bahwa molekul organ spesifik tidak diekpresikan
dengan kadar yang cukup untuk menginduksi aktivasi sel T. untuk mencegah
sejumlah besar self-antigen terpajan dengan APC yang memiliki banyak petanda
pengenal, sisa-sisa degradasi jaringan sendiri harus disingkirkan dan
dihancurkan. Hal ini terjadi melalui proses apoptosis, yang dapat mencegah
tersebarnya isi sel serta sejumlah mekanisme scavenger. Yang akhir melibatkan
sistem komplemen, ACP dan sejumlah reseptor pada fagosit.
3. Anergi dan kostimulasi
Anergi dan kostimulasi merupakan mekanisme toleransi perifer yang lebih aktif.
Sel yang self-reaktif disingkirkan melalui apoptosis atau induksi anergi/keadaan
tidak reponsif. Untuk mengawali respon imun, sel CD4 naif memerlukan dua
sinyal untuk diaktifkan : sinyal antigen spesifik melalui TCR dan sinyal
kostimulator non-spesifik, biasanya sinyal dari CD8 yng mengikat family B7
(CD80 atau CD 86). Stimulasi sel T tanpa molekul kostimulator juga
menimbulkan kematian sel.
II. Toleransi Sel B
a. Toleransi Sentral
Sel B imatur yang merupakan sel terdini dalam perkembangan sel,
mengekspresikan BCR. Seleksi terhadap sel B autoreaktif mulai terjadi pada
stadium ini dan terjadi dalam sumsum tulang. BCR berfungsi mengikat molekul
ekstraseluler dan mengawali sinyal sitoplasmik yang antigen spesifik. Bila BCR
tidak berikatan dengan antigen spesifik, sinyal BCR tetap ada pada ambang basal
dan sel memasuki fase transisi untuk dilepas ke sirkulasi perifer. Sel B imatur yang
terpajan dengan antigenekstraseluler akan meningkatkan sinyal melalui BCR untuk
berhenti berkembang.
Prinsip seleksi dan eliminasi sel yang self-reaktif (seleksi negative) pada toleransi
sel T berlaku juga untuk sel B. Sel B yang self-reaktif dihancurkan dalam sumsum
tulang. Toleransi sentral sel B terjadi bila sel B imatur terpajan dengan self-antigen
yang multivalent dalam sumsum tulang. Hal tersebut menimbulkan apoptosis atau
spesifitas baru yang disebut receptor editing.
17
b. Toleransi perifer
Seperti dengan sel T, sel B terus berfungsi dalam pengawasan perifer untuk
mempertahankan toleransi. Meskipun sel B terbanyak yang meninggalkan sumsum
tulang adalah toleran terhadap self-antigen. Namun, beberapa sel terlepas dari
proses seleksi negative. Untuk mencegah autoimunitas, ada proses pencegahan
toleransi kedua diperifer. Setelah meninggalkan sumsum tulang, sel B yang relative
imatur, bermigrasi ke zona sel T luar dalam limpa. Sel B dengan seleksi negative
menempati limpa, diproses untuk induksi anergi, dicegah bermigrasi sel ke folikel
sel B dan apoptosis ditingkatkan. Siklus sel B self-reaktif dalam limpa adalah 1-3
hari. Namun beberapa sel B antigen dengan aviditas tinggi berperan dalam respons
terhadapantigen asing.

III. Inersia dan Anergi


Inersia adalah imunosupresi yang berhubungan dengan antigen histokompatibel yang
terjadi misalnya selama hamil, berupa supresi reaktivitas imun ibu terhadap antigen
histokompatibel janin.
Anergi adalah menurunnya atau menghilangnya fungsi sel B atau sel T (seperti terlihat
pada reaksi DTH-tes kulit dengan PPD, histo plasmin dan kandidin). Anergi diinduksi
oleh pengenalan antigen tanpa adanya kostimulator yang cukup dan dapat diinduksi
oleh mutasi antigen peptide.

IV. Terminasi Toleransi


A. Berbagai cara manipulasi
Beberapa jenis toleransi dapat diakhiri dengan manipulasi melalui beberapa cara
sebagai berikut :
1. Suntikan dengan sel T normal dapat mengakhiri toleransi terhadap γ globulin
heterolog.
2. Suntikan sel alogenik dapat mengakhiri atau mencegah toleransi.
Mekanismenya tidak spesifik dan melibatkan faktor efek alogenik dengan
aktivasi populasi asal sel T yang tidak responsive.
3. Suntikan LPS, yan g merupakan activator sel B poliklonal dapat mengakhiri
toleransi sel B kompeten dan tidak melibatkan sel T.
B. Komplek antigen-antibodi
Komplek antigen-antibodi kadang-kadang dapat menimbulkan toleransi melalui
blockade reseptor. Tetapi komplek imun dapat pula jadi sangat imunogenik,
tergantung dari sifat dan perbandingan antigen dan antibodi.
C. Molekul Pembawa Non-imunogenik
Molekul pembawa nonimunogenik seperti molekul sendiri atau molekul yang sulit
dirusak dapat mengubah tolerogenisitas hapten yang pada keadaan biasa
antigenik. D. Peran Sel-sel Asesori Pada Toleransi APC dan makrofag merupakan
sel-sel pertama yang bekerja dalam respon imun. Pada umumnya bila antigen
sampai dikenal makrofag, imunitas akan diperoleh. Bila makrofag dilewati,
beberapa jenis toleransi dapat terjadi. Rusaknya makrofag oleh berbagai bahan
yang terjadi sebelum antigen diberikan, dapat menimbulkan toleransi. APC
mempresentasikan antigen ke sel T naif dan perkembangan sel T naif selanjutnya
menjadi Th1, Th2, atau Th3 tergantung dari sitokin. Parasit intraseluler
menginduksi terutama produksi IL-12 dan Th1, sedangkan parasit ekstraseluler
menginduksi produksi IL-4 atau IL-13. Sel Th1 memproduksi IFN-γ yang
mengaktifkan makrofag dalam fase efektor. Toleransi bersifat epitope spesifik,
tidak ada respon terhadap semua atau hanya pada epitope dari antigen tertentu.

18
Deviasi imun (split tolerance) hanya mengenai respon humoral atau seluler saja,
tetapi tidak keduanya.
V. Induksi Toleransi
Tolerogen adalah antigen yang dapat menginduksi toleransi imunologik. Terjadinya
toleransi atau imunitas sebagai respon terhadap antigen tergantung dari berbagai
variabel seperti keadaan fisik antigen, rute pemberian, ambang maturasi sistem imun
resipien atau kompetensi imun. Pada umumnya toleransi lebih mudah diinduksi pada
sel imatur dibanding sel matang dan toleransi dapat diinduksi dengan antigen dosis
lebih kecil. Menginduksi toleransi sel T lebih mudah dan toleransinya lebih lama
dibandingkan dengan sel B.
A. Antigen Larut
Antigen larut pada umumnya tidak begitu imunogenik dan lebih tolerogeni, oleh
karena APC tidak dapat mempresentasikannya. Mungkin pula oleh karena reseptor
limfosit dan rangsangan sel T dicegah.
B. Rute Fetal (neonatal)
Toleransi dapat diinduksi dengan inokulasi sel alogenik ke neonates atau janin in
utero sebelum sistem imun resipien menjadi matang.
C. Toleransi oral-rute oral
Tidak adanya respon oral merupakan kemampuan selektif sistem imun mukosa
agar tidak memberikan respon imun terhadap antigen dalam makanan dan
mikroorganisme. Toleransi oral diduga berkembang untuk memudahkan sistem
imun saluran cerna terpajan dengan protein eksternal tanpa menimbulkan
sensitasi.
D. APC, Anti-MHC
Hal yang menghambat fungsi APC seperti bantuan antibodi untuk molekul MHC,
akan menurunkan imunogenitas dan membantu terjadinya toleransi. Intervensi
presentasi antigen dapat ditimbulkan sel T yang tidak memerlukan APC. Antibodi
terhadap molekul MHC dapat menerangkan efek transfuse darah dalam
memperbaiki masa hidup transplan ginjal.
E. Dosis Tinggi Antigen
Antigen dosis tinggi biasanya lebih tolerogenik, meskipun pemberian dosis rendah
yang berulang-ulang dapat pula menimbulkan toleransi sel T.
F. Bunuh Diri
Antigen yang diikat oleh obat toksik, radioisotope dan lainnya dapat mencari sel T
atau sel B dan membunuhnya tanpa merusak sel-sel lain.
VI. AUTOIMUNITAS
Autoimunitas adalah respon imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan
oleh kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk mempertahankan self-
tolerance sel B, sel T, atau keduanya. Potensi untuk autoimunitas ditemukan pada
semua individu oleh karena limfosit dapat mengekspresikan reseptor spesifik untuk
banyak self-antigen.
Autoimunitas terjadi karena self-antigen yang dapat menimbulkan aktivasi, proliferasi
serta diferensiasi sel T autoreaktif menjadi sel efektor yang menimbulkan kerusakan
jaringan dan berbagai organ. Respons terhadap self-antigen melibatkan komponen-
komponen yang juga terlibat dalam respons imun, seperti antibodi, komplemen,
kompleks imun, dan cell mediated immunity. Baik antibodi maupun sel T atau
keduanya dapat berperan dalam patogenesis penyakit autoimun.
Ada tiga hipotesis yang mencoba menjelaskan tentang fenomena autoimunitas, yaitu:
● Teori klon terlarang (forbidden clones theory)

19
Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa tubuh menjadi
toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang autoreaktif selama
perkembangan embriologiknya akan musnah.
Mutan yang memiliki antigen permukaan akan segera dibinasakan, sedangkan
mutan yang memiliki antigen tersembunyi dapat hidup terus sehingga berfungsi
dalam respon imun dan menimbulkan kerusakan.
● Teori antigen terasing (sequestered/hidden antigen theory)
Pada masa embrio merupakan tahap pengenalan antigen. Sequestered atau
hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomik tidak pernah terpajang
dengan sistem imun misalnya antigen sperma, lensa mata, dan saraf pusat. Bila
sawar tersebut rusak pada tahap dewasa, antigen yang tadinya terasing sekarang
terpapar sehingga limfosit mengenal sebagai asing sehingga dapat timbul penyakit
autoimun.
● Teori defisiensi imun (immunologic deficiency theory)
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya gangguan sistem
limfoid. Teori ini didasarkan atas kemunduran fungsi sistem imun. Adanya
kenyataan pada pengamatan bahwa penyakit autoimun sering ditemukan
bersamaan pada individu dengan defesiensi imun, misalnya padalanjut usia.
Penyebab penyakit autoimun adalah multi faktor. Mungkin sebagian besar, kalau tidak
semua, faktor-faktor tersebut berperan serta dalam berbagai kombinasi pada penyakit
yang berbeda. Walaupun faktor kelainan tersebur jarang dijumpai, asal-usulnya tetap
belum jelas. Selain kepekaan genetik yang kompleks, kita berhadapan dengan proses
penuaan pada timus, atau sel induk limfoid dan kontrol internal autoreaktivitas.
Hormon seks mungkin juga berperan. Belum lagi sejumlah faktor lingkungan,
khususnya mikroba yang dapat menyebabkan berbagai dampak pada organ sasaran,
sistem limfoid dan jaring-jaring sitokin.
a. Faktor keturunan/genetik
Penyakit autoimun mempunyai persamaan predisposisi genetik. Meskipun sudah
diketahui adanya kecenderungan terjadinya penyakit pada keluarga, tetapi
bagaimana hal tersebut diturunkan, pada umumnya adalah kompleks dan diduga
terjadi atas pengaruh beberapa gen. Bukti yang ada hanya menunjukkan hubungan
antara penyakit dan HLA. Halotipe HLA merupakan risiko relatif untuk penyakit
autoimun tertentu
b. Faktor hormon dan seks
Hormon dari kelenjar tiroid, hipotalamus dan adrenal memang diketahui
mempengaruhi homeostasis sistem imun dan rangsangan terhadap antigen.
Hormon seks berbeda yang terdapat pada pria dan wanita mungkin juga berperan
pada kekerapan untuk menderita penyakit autoimun. SLE (Systemic lupus
arythematosus) dan artritis reumatoid lebih kerap berlaku pada wanita, dan
myasthenia gravis lebih kerap berlaku pada pria.
Ada kecenderungan umum bahwa penyakit autoimun lebih sering dijumpai pada
wanita dibanding pria. Alasan pasti untuk hal ini belum diketahui. Ada kemungkinan
bahwa kadar estrogen yang tinggi dijumpai pada penderita dan mencit dengan
SLE. Kehamilan sering dikaitkan dengan makin beratnya penyakit, terutama pada
artritis reumatoid, dan kadang-kadang terjadi kekambuhan setelah melahirkan,
pada saat mana terjadi perubahan kadar hormon yang drastis dan hilangnya
plasenta. Juga harus dicatat sering terjadi hipotiroidi postpartum pada wanita yang
sebelumnya telah menderita penyakit autoimun.
c. Faktor mikroba (infeksi dan kemiripan molekular)
Banyak infeksi yang menunjukkan hubungan dengan penyakit autoimun tertentu.
Beberapa bakteri memiliki epitop yang sama dengan antigen sel sendiri. Respons
20
imun yang timbul terhadap bakteri tersebut dapat bermula pada rangsangan
terhadap sel T yang selanjutnya merangsang pula sel B untuk membentuk
autoantibodi.
Infeksi virus dan bakteri dapat berkontribusi dalam terjadinya eksaserbasi
autoimunitas. Pada kebanyakan hal, mikroorganisme tidak dapat ditemukan atau
diisolasi. Kerusakan tidak disebabkan oleh penyebab mikroba, tetapi merupakan
akibat respons imun terhadap jaringan pejamu yang rusak. Infeksi virus sebelum
berlaku penyakit telah dikaitkan dengan SLE, sklerosis multipel dan diabetes.
d. Faktor non mikroba (lingkungan, makanan, dan obat)
Sinar matahari merupakan perangsang timbulnya kelainan kulit pada SLE.
Pemaparan pada larutan organik dapat mengawali penyakit autoimun membran
basal yang menyebabkan sindroma Good-pasture – perhatikan frekuensi tinggi
penyakit ini pada individu dengan HLA-DR2 yang bekerja pada perusahaan ‖dry-
cleaning‖ atau terpapar pada minyak syphon yang berasaldari tanki minyak syphon
orang lain. Keadaan yang lebih mengherankan adalah terjadinya penyakit yang
sama pada tikus Brown Norway yang disuntik denganair raksa, tetapi hal itu
memang terjadi. Diet mungkin merupakan salah satu faktor. Minyak ikan yang
mengandung asam lemak tak jenuh omega-3 yang berantai panjang dianggap
menguntungkan bagi penderita artritis reumatoid.
Beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh obat misalnya SLE,
trombositopenia, miastenia gravis, anemia hemolitik autoimun dan lain-lain.
Berbagai obat dapat memacu LES, misalnya hidralazin, metildopa, prokainamid,
sulfalazin, penisilamin, klorpromazin, sitokin, antibodi monoklonal, kinidin dan kinin,
antikonvulsan (fenitoin, mefenitoin, etoksuksidin, trimetadion, karbamazepin,
valproat dan primidon). Antibodi antifofolipid diinduksi obat-obatan yang sama yang
menginduksi LES, terutama klorpromazin, fenotiazin dan quinidin. Obat
(penisilamin) dapat menginduksi pemfigus dengan efek langsung terhadap
epidermis atau tidak langsung melalui modifikasi sistem imun. Sejumlah obat
seperti α-metil-dopa, iproniazid, minosiklin, asamtienilik, klometasin, halotan dan
herbal dai-saiko dapat menginduksi hepatitis melalui produksi autoantibodi organ
non spesifik. IFN-α dan IFN-β, GM-CSF dan IL-2 dilaporkan berhubungan dengan
timbulnya atau eksaserbasi psoriasis.
Mekanismenya dihubungkan dengan kemiripan profil Th1 pada psoriasisi diopatik.
Diduga bahwa β-bloker dapat menginduksi psoriasis melalui ikatan dengan
reseptor β di kulit, sehingga menjadi lebih imunogenik. Antibodi terhadap reseptor
yang diproduksi lagi akan merusak fungsi dan terjadinya psoriasis. Anemia
hemolisis dapat terjadi pada individu rentan yang memakai antibiotik penisilin.
e. Sequestered antigen
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya, tidak
terpajang dengan sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen tidak
ditemukan untuk dikenal sistem imun. Antigen-antigen yang terdapat dalam
beberapa tempat tertentu seperti otak, ovari, plasenta, testis, uterus dan kebuk
mata anterior dianggap sebagai antigen istimewa (immunologically privilege sites)
dan tidak mempengaruhi reaksi imun dalam keadaan normal karena tidak interaksi
antara antigen ini dengan sel T. Perubahan anatomik dalam jaringan seperti
inflamasi (sekunder oleh infeksi, kerusakan iskemia atautrauma), dapat
memajangkan sequestered antigen dengan sistem imun yang tidak terjadi pada
keadaan normal. Contohnya protein intraokular dan sperma. Uveitis autoimun
pasca vasektomi diduga disebabkan respons autoimun terhadap sequestered
antigen. Inflamasi jaringan dapat pula menimbulkan perubahan struktur pada self
antigen dan pembentukan determinan baru yang dapat memacu reaksi autoimun.
21
f. Kegagalan autoregulasi
Regulasi imun berfungsi untuk mempertahankan homeostasis. Gangguan dapat
terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar
sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguan respons terhadap IL-2.
Pengawasan beberapa sel autoreaktif diduga bergantung pada sel Ts atau Tr. Bila
terjadi kegagalan sel Ts atau Tr, maka sel Th dapat dirangsang sehingga
menimbulkan autoimunitas.
g. Aktivasi sel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus (EBV),
LPS, dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Antibodi yang dibentuk terdiri atas berbagai
autoantibodi

METABOLISME ERITROSIT, DEF G6PD


1. Metabolisme Eritrosit
Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang terdapat dalam
darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut hemoglobin yang akan membawa
oksigen dari paru-paru ke jaringan. Setiap eritrosit mengandung kurang lebih 29 pg
hemoglobin, maka pada pria dewasa dengan jumlah eritrosit normal sekitar 5,4jt/ μl
didapati kadar hemoglobin sekitar 15,6 mg/dl. Hemoglobin merupakan protein heme
sama seperti myoglobin, myoglobin yang bersifat monomerik (mengandung satu subunit)
banyak ditemukan di otot, sedangkan hemoglobin yang ditemukan di darah memiliki
empat subunit polipeptida maka disebut tetramerik. Masing-masing subunit dari
hemoglobin mengandung satu bagian heme dan suatu polipeptida yang secara kolektif
disebut globin, terdapat dua pasang polipeptida dalam setiap molekul hemoglobin dimana
2 dari subunit tersebut mengandung satu jenis polipeptida dan 2 lainnya mengandung
poipeptida jenis lain. Pada orang dewasa normal 2 subunit mengandung polipeptida
rantai α sedangkan subunit lainnya mengandung polipeptida β, sehingga hemoglobin
jenis ini disebut hemoglobin A dengan kode α β . Namun pada darah orang dewasa
2 2
ditemukan sekitar 2,5% hemoglobin dengan polipeptida rantai β yang disubtitusikan
polipeptida rantai δ.
Heme yang terkandung dalam hemoglobin merupakan tertrapirol siklik dengan empat
molekul pirol yang terhubung oleh jembatan α-metilen. Stuktur ikatan ganda pada heme
menyerap spektrum warna tertentu dan memberi warna merah gelap khas pada
hemoglobin maupun myoglobin.
Tiap hemoglobin dapat mengikat empat molekul O , satu molekul untuk tiap
2
subunit/hemenya. Pada proses pengikatan oksigen ini terjadi fenomena yang disebut
cooperative binding, yaitu molekul oksigen dalam satu struktur tetramer hemoglobin akan
mudah berikatan bila sudah ada molekul oksigen yang telah berikatan. Fenomena ini
memungkinkan pengikatan oksigen dari paru-paru dan pelepasan oksigen yang
maksimal ke jaringan (Harper, 2003). Selain mengangkut oksigen ke jaringan,
hemoglobin juga berperan dalam mengangkut CO yang merupakan hasil sampingan
2
+
respirasi dan proton (H ) dari jaringan perifer. Namun afinitas ikatan CO lebih tinggi
2
daripada O , sehingga tingginya kadar CO dapat menurunkan kemampuan transpor
2 2
oksigen dari hemoglobin. Hemoglobin yang telah mengalami deoksigenasi akan mengikat
satu proton untuk dua molekul oksigen yang dilepas, reaksi ini menambah sifat buffer
darah. Penurunan pH ini ditambah reaksi karbamasi menjaga keseimbangan pH darah
dan membantu pelepasan oksigen.
1. Pembentukan Eritrosit dan Hemoglobin
22
Proses pembentukan eritrosit yang disebut sebagai eritropoiesis merupakan proses
yang diregulasi ketat melalui kendali umpan balik. Pembentukan eritrosit dihambat
oleh kadar hemoglobin diatas normal dan dirangsang oleh keadaan anemia dan
hipoksia. Eritropoiesis pada masa awal janin terjadi dalam yolk sac, pada bulan kedua
kehamilan eritropoiesis berpindah ke liver dan saat bayi lahir eritropoiesis di liver
berhenti dan pusat pembentukan eritrosit berpindah ke sumsum tulang. Pada masa
anak-anak dan remaja semua sumsum tulang terlibat dalam hematopoiesis, namun
pada usia dewasa hanya tulang-tulang tertentu seperti tulang panggul, sternum,
vertebra, costa, ujung proksimal femur dan beberapa tulang lain yang terlibat
eritropoiesis. Bahkan pada tulang-tulang seperti disebut diatas beberapa bagiannya
terdiri dari jaringan adiposit. Pada periode stress hematopoietik tubuh dapat
melakukan reaktivasi pada limpa, hepar dan sumsum berisi lemak untuk memproduksi
sel darah, keadaan ini disebut sebagai hematopoiesis ekstramedular.
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang diproduksi
ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan eritropoietin
berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal. Eritropoietin bersirkulasi di darah
dan menunjukkan peningkatan menetap pada penderita anemia, regulasi kadar
eritropoietin ini berhubungan eksklusif dengan keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini
berkaitan erat dengan faktor transkripsi yang dinamai hypoxia induced factor-1 (HIF-1)
yang berkaitan dengan proses aktivasi transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk
dalam sistem detektor kadar oksigen yang tersebar luas di tubuh dengan efek relatif
luas (cth: vasculogenesis, meningkatkan reuptake glukosa, dll), namun perannya
dalam regulasi eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal dan hati. Eritropoeitin ini
dibentuk oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal, sedangkan pada hati
hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan hipoksia beberapa zat
yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam kobalt, androgen, adenosin
dan katekolamin melalui sistem β-adrenergik. Namun perangsangannya relatif singkat
dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia.
Eritropoietin yang meningkat dalam darah akan mengikuti sirkulasi sampai bertemu
dengan reseptornya pada sel hematopoietik yaitu sel bakal/stem cell beserta
turunannya dalam jalur eritropoiesis. Ikatan eritropoietin dengan reseptornya ini
menimbulkan beberapa efek seperti :
a. Stimulasi pembelahan sel eritroid (prekursor eritrosit).
b. Memicu ekspresi protein spesifik eritroid yang akan menginduksi diferensiasi sel-
sel eritroid.
c. Menghambat apoptosis sel progenitor eritroid.
Eritropoietin bersama-sama dengan stem cell factor, interleukin-3, interleukin-11,
granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan trombopoietin akan
mempercepat proses maturasi stem cell eritroid menjadi eritrosit. Secara umum
proses pematangan eritosit dijabarkan sebagai berikut :
1. Stem cell : eritrosit berasal dari sel induk pluripoten yang dapat memperbaharui
diri dan berdiferensiasi menjadi limfosit, granulosit, monosit dan megakariosit
(bakal platelet).
2. BFU-E : burst-forming unit eritroid, merupakan prekursor imatur eritroid yang
lebih fleksibel dalam ekspresi genetiknya menjadi eritrosit dewasa maupun fetus.
Sensitivitas terhadap eritropoeitin masih relatif rendah.
3. CFU-E : colony-forming unit eritroid, merupakan prekursor eritroid yang lebih
matur dan lebih terfiksasi pada salah satu jenis eritrosit (bergantung pada
subunit hemoglobinnya.
4. Proeritroblast, eritroblast dan normoblast : progenitor eritrosit ini secara
morfologis lebih mudah dibedakan dibanding sel prekursornya, masih memiliki
23
inti, bertambah banyak melalui pembelahan sel dan ukurannya mengecil secara
progresif seiring dengan penambahan hemoglobin dalam sel tersebut.
5. Retikulosit : eritrosit imatur yang masih memiliki sedikit sisa nukleus dalam
bentuk poliribosom yang aktif mentranslasi mRNA, komponen membran sisa
dari sel prekursornya, dan hanya sebagian enzim, protein serta fosfolipid yang
diperlukan sel selama masa hidupnya. Selelah proses enukleasi, retikulosit akan
memasuki sirkulasi dan menghabiskan sebagian waktu dalam 24 jam
pertamanya di limpa untuk mengalami proses maturasi dimana terjadi
remodeling membran, penghilangan sisa nukleus, dan penambahan serta
pengurangan protein, enzim, dan fosfolipid. Setelah proses ini barulah eritrosit
mencapai ukuran dan fungsi optimalnya dan menjadi matur.
Hemoglobin merupakan gabungan dari heme dan globin yang membentuk struktur
tetramer. Sintesis globin terjadi seperti protein pada umumnya, mRNA dari intisel akan
ditranslasi ribosom untuk merakit rantai asam amino untuk membentuk globin. Di sisi
lain proses pembentukan heme relatif lebih kompleks, bahan dasar heme adalah
asam amino glisin dan suksinil-KoA, hasil dari siklus asam sitrat. Pada awalnya proses
ini terjadi di dalam mitokondria, kemudian setelah terbentuk δ-aminolevulinat (ALA)
reaksi terjadi di sitoplasma sampai terbentuk coproporhyrinogen III, kemudian substrat
akan masuk kembali kedalam mitokondria untuk menyelesaikan serangkaian reaksi
pembentukan heme yaitu penambahan besi ferro ke cincin protoporphyrin.
Sintesis heme terjadi hampir pada semua sel mamalia dengan pengecualian eritrosit
matur yang tidak memiliki mitokondria, namun hampir 85% heme dihasilkan oleh sel
prekursor eritroid pada sumsum tulang dan hepatosit. Regulasi sintesis heme terjadi
melalui mekanisme umpan balik oleh enzim δ-aminolevulinat sintase (ALAS), ALAS
tipe 1 ditemukan pada hati sedangkan ALAS tipe 2 ditemukan pada sel eritroid. Heme
tampaknya bekerja melalui molekul aporepresor bekerja sebagai regulator negatif
terhadap sintesis ALAS1, pada percobaan tampak bahwa sintesis ALAS1 tinggi saat
kadar heme rendah dan hampir tidak terjadi saat kadar heme tinggi. Selain sintesis
hemoglobin, heme juga dibutuhkan enzim hati sitokrom P450 untuk memetabolisme
zat lain, keadaan ini dapat meningkatkan kerja ALAS1.

2. Def G6PD
Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan defek dari eritrosit
manusia yang paling sering ditemukan. Enzim G6PD bekerja pada jalur fosfat pentosa
metabolisme karbohidrat. Diwariskan secara X-linked, oleh karena itu mutasi pada gen
G6PD, ditemukan lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan,menyebabkan varian
fungsional dengan beberapa biokimia dan fenotipe.
Manifestasi klinis yang paling sering pada defisiensi G6PD adalah penyakit kuning
neonatal, dan anemia hemolitik akut, yang biasanya dipicu oleh agen eksogen. Beberapa
varian G6PD menyebabkan hemolisis kronis,anemia hemolitik bawaan non-spherocytic.
Manajemen yang paling efektif pada defisiensi G6PD adalah mencegah hemolisis
dengan menghindari stres oksidatif.
Enzim G6PD mengkatalisis langkah pertama dalam jalur fosfat pentosa, glukosa
mengkonversi ke ribosa-5-fosfat (gambar 1) dan melindungi sel terhadap stres oksidatif
dalam bentuk NADPH. Defisiensi G6PD merupakan salah satu kelainan enzimatik
herediter yang paling sering dari eritrosit manusia. Penelitian terbaru juga menyatakan
bahwa aktivitas G6PD memainkan peran penting dalam mengontrol pertumbuhan sel
melalui produksi NADPH.
Saat ini ditemukan sekitar 160 mutasi bersama dengan lebih dari 400 varian biokimia
telah dijelaskan. Varian G6PD oleh WHO telah diklasifikasikan ke dalam empat kategori
tergantung pada aktivitas residu enzim dan manifestasi klinis. Varian kelas I memiliki
24
defisiensi enzim yang berat (kurang dari 10% dari normal) yang berhubungan dengan
anemia hemolitik kronis non-spherocytic. Varian kelas II juga memiliki defisiensi enzim
berat (kurang dari 10% dari normal), varian kelas III memiliki defisiensi enzim ringan
(10% sampai 60% dari normal). Varian Kelas IV tidak memiliki defisiensi enzim (60%
sampai 150% dari normal).
Awalnya varian G6PD ditandai secara biokimia menurut aktivitas enzim dalam eritrosit,
mobilitas elektroforesis, Michaelis Konstan, pemanfaatan analog substrat dan
termostabilitas.
2.1 Peran G6PD pada metabolisme eritrosit
Pada sel eritrosit terjadi metabolism glukosa untuk menghasilkan energy (ATP), yang
digunakan untuk kerja pompa ionic dalam rangka mempertahankan milieu ionic yang
cocok bagi eritrosit. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof
yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase,
sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui jalur heksosa
monofosfat dengan bantuan enzim G6PD untuk menghasilkan glutation yang penting
untuk melindungi hemoglobin dan membrane eritrosit dari oksidan. Defisiensi enzim
piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat mempermudah dan
mempercepat hemolisis. Yang paling sering mengalami defisiensi adalah G6PD.
G6PD adalah enzim "housekeeping" yang melakukan fungsi-fungsi vital di seluruh sel
tubuh. Namun, dalam eritrosit yang tidak memiliki nukleus, mitokondria, organel
lainnya, ada hambatan tertentu pada metabolisme dan enzim ini memiliki peran
penting. G6PD mengkatalisis langkah pertama dari jalur fosfat pentosa (jalur heksosa
monofosfat), sejumlah reaksi sampingan dari jalur utama glikolisis dalam eritrosit dan
dalam semua sel tubuh.
Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat beberapa kali ketika
eritrosit terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal bebas.
G6PD menginisiasi jalur ini dengan menjadi katalis oksidasi glukosa-6-fosfat menjadi
6-phosphogluconolactone oleh ko-enzim nikotinamida adenin-dinucleotidephosphate
(NADP), yang dikurangi menjadi NADPH. 6-phosphogluconolactone menghidrolisis
secara spontan untuk 6-phosphogluconate. Ini berfungsi sebagai substrat untuk 6-
phosphogluconate dehidrogenase dan NADP. Langkah kedua dalam jalur enzimatik ini
juga berhubungan dengan pengurangan NADP+ untuk NADPH. NADPH dihasilkan
sebagai akibat dari reaksi mengurangi glutation teroksidasi (GSSG) untuk mengurangi
glutation (GSH) dalam reaksi dikatalisis oleh glutation reduktase. GSH kemudian
mengurangi hidrogen peroksida, oksidan kuat yang dihasilkan dalam metabolisme sel
dan sebagai konsekuensi dari respon inflamasi, dan oksidan endogen dan eksogen
lainnya, pada reaksi katalis oleh glutathione peroksidase.
Fungsi utama dari jalur fosfat pentosa adalah menghasilkan kapasitas pengurangan
melalui produksi NADPH dan akhirnya GSH. Hanya ini mekanisme yang tersedia bagi
eritrosit untuk menghasilkan kapasitas pengurangan dan sehingga penting untuk
kelangsungan hidup sel, sedangkan pada sel lain dari tubuh berarti produksi NADPH
tetap ada dan jalur pentosa fosfat hanya untuk 60% dari produksi NADPH.
GSH dihasilkan melalui jalur fosfat pentosa, seperti diuraikan di atas, melindungi
hanya terhadap stres oksidan dalam eritrosit. Dalam eritrosit yang normal tanpa
tekanan G6PD, aktivitas G6PD hanya sekitar 2% dari total kapasitas. Ini meningkatkan
kemungkinan terhadap tantangan dari stres oksidan dan GSH dipertahankan pada
tingkat stabil. Namun, eritrosit defisiensi G6PD telah sangat mengurangi aktivitas
G6PD (10 sampai 20% dari normal pada G6PD A (-) dan 0 sampai 10% dari normal
pada G6PD Mediteranian dan varian serupa). Peningkatan stress oksidan dapat
menyebabkan penipisan GSH ditandai sebagai kemampuan dari defisiensi G6PD
untuk menghasilkan NADPH terlampaui oleh tingginya tingkat kehilangan GSH.
25
Stres oksidan tidak terkompensasi dalam eritrosit normal (atau lebih mudah dalam
eritrosit defisiensi G6PD) menghasilkan oksidasi hemoglobin menjadi methem-globin,
pembentukan Heinz body, dan kerusakan membran. Jika terjadi sangat berat akan
mengakibatkan hemolisis, sementara bila terjadi lebih ringan tetapi stres oksidan tidak
terkompensasi akan mengurangi kemampuan eritrosit dan meningkatkan
kemungkinan bahwa eritrosit akan dikeluarkan dari sirkulasi ke sistem
retikuloendotelial. Akibat hilangnya eritrosit , hematopoiesis ditingkatkan karena tubuh
berusaha untuk mempertahankan fungsi normal vaskular, dan ada banyak retikulosit
yang dikeluarkan (eritrosit muda dilepaskan dari sumsum tulang). Retikulosit biasanya
mencapai kurang dari 1% eritrosit total, tapi berikut hemolisis dapat terdiri sampai 15%
dari eritrosit.
Aktivitas G6PD yang normal menurun hampir 50% pada waktu usia eritrosit mencapai
120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi
pada ras afrika.
Sebagian besar individu defisiensi G6PD adalah asimtomatik sepanjang hidup
mereka, dan tidak menyadari keadaan ini. Pada umumnya bermanifestasi sebagai
anemia hemolitik akut, favism, neonatal jaundice, atau anemia kronis non-hemolitik
sferositik. yang biasanya muncul ketika eritrosit mengalami stres oksidatif yang dipicu
oleh zat oksidan seperti obat-obatan, infeksi, atau mengkonsumsi kacang fava.
Defisiensi G6PD tampaknya tidak mempengaruhi angka harapan hidup, kualitas hidup
atau aktivitas individu. Beberapa gangguan klinis, seperti diabetes dan infark miokard
dan latihan fisik berat, telah dilaporkan memicu hemolisis pada individu defisiensi
G6PD; walaupun paparan bersama antara infeksi atau oksidan obat dapat
menyebabkan hal ini. Mekanisme yang tepat yang meningkatkan sensitifitas terhadap
kerusakan oksidatif menyebabkan hemolisis tidak sepenuhnya diketahui. penyebab
hemolisis akut pada defisiensi G6PD ditandai dengan kelelahan, sakit punggung,
anemia, dan jaundice.Peningkatan bilirubin tak terkonjugasi, laktat dehidrogenase,dan
retikulositosis adalah marker kelainan tersebut.
2.2 Diagnosis
Diagnosis defisiensi G6PD berdasarkan penilaian aktivitas enzim,secara kuantitatif
dengan analisa spektrofotometri dari produksi NADPH dari NADP, dipikirkan juga jika
ditemukan hemolisis akut pada laki-laki ras afrika. Pada anamnesis perlu ditanyakan
tentang kemungkinan terpapar dengan zat oksidan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya. Pemeriksaan aktivitas enzim mungkin false negative jika eritrosit tua
defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu aktivitas enzim perlu diulang 2-3 bulan
kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
2.3 Terapi
Pada pasien dengan defisiensi G6PD A (-), hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak
perlu terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan hindari zat oksidan
yang mencetuskan hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena
adanya hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat mungkin diperlukan
transfusi darah.

METABOLISME LEUKOSIT DAN IMUNOGLOBULIN


1. Metabolisme Leukosit
Leukosit digolongkan sebagai leukosit granular atau leukosit nongranular, tergantung ada
tidaknya granul spesifik dalam sitoplasma. Leukosit granular mencakup eosinofil, basofil,
dan neutrofil. Neutrofil merupakan sel darah putih terbanyak yang terkandung dalam
darah manusia. Neutrofil memberikan respon pertama terhadap infeksi bakteri. Neutrofil
dapat mengeluarkan produk yang merangsang monosit dan makrofag, fagositosis dan
sekresi meningkatkan pembentukan senyawa oksigen reaktif intraseluler terlibat dalam
26
pertahanan. Adanya asam amino D oksidase dalam granula neutrofil mambantu
penghacuran dinding sel bakteri yag mengandung asam amino D. Dalam fagositik
pertama terjadi pembentukan fagosom yang reaktif oksigen dan hidrolitik enzim.
Konsumsi oksigen selama reaksi dikenal sebagai pernapasan meledak yang
mengakibatkan pengaktifan enzim NADPH oksidase yang menghasilkan superoksida
dalam jumlah besar. Superoksida disintesa secara spontan atau melalui katalisis dar
enzim yang dikenal sebagai dismutases superoksida (Cu/ ZnSOD dan MnSOD).
Hidrogen peroksida kemudian dikonversi menjadi hypochlorus asam HOCl oleh enzim
heme myeloperoxidase. Myeloperoksidase yang terdapat dalam neutrofil berikatan
dengan peroksida dan halida bekerja pada molekul tirosin dinding sel bakteri. Fagositosis
oleh neutrofil merangsang aktivitas heksosa monofosfat shunt, meningkatkan
glicogenolisis.
Neutrofil mempunyai metabolisme yang sangat aktif dan mampu melakukan glikolisis
baik secara aerob maupun anaerob. Kemampuan ini sangat menguntungkan karena
dapat membunuh bakteri dan membantu membersihkan debris pada jaringan nekrotik.

2. Metabolisme Immunoglobulin
Immunoglobulin atau Antibodi merupakan suatu fraksi plasma (serum) yang bereaksi
secara khusus dengan antigen yang merangsang produksinya. Berat molekulnya dari
terendah sekitar 150.000 (angka sedimentasi 7S) untuk komponen IgG hingga fraksi
dengan berat molekul 900.000 (19S) untuk IgM.
Imunoglobulin merupakan rangkaian 4 rantai polipeptida yang terdiri dari 2 rantai ―berat‖
(Heavy Chain =H) dan 2 rantai ―ringan‖ (Light Chain = L) yang tersusun secara simetris
dan saling berhubungan satu sama lainnya melalui ikatan disulfida (Interchain Disulfide
Bonds). Struktur dasar ini ditemukan oleh Porter.

Molekul Imunoglobulin dapat dipecah oleh enzim Papain menjadi 3 fragmen. Dua
fragmen adalah identik dan dapat mengikat antigen untuk membentuk kompleks yang
larut dan bervalensi satu (Univalen), disebut Fab (Fragment Antigen Binding). Sedangkan
untuk fragmen ketiga tidak dapat mengikat antigen dan membentuk kristal Fc (Fragment
Crytallizable). Disamping itu, enzim proteolitik Pepsin juga dapat memecah antibodi pada
tempat Fc sehingga tertinggal satu fragmen besar yang masih dapat mengendapkan
antigen, sehingga masih bervalensi dua (divalen), disebut F(ab‘).
Analisa asam amino menunjukkan bahwa terminal-N dari rantai L maupun rantai-H
sehingga urutan asam amino yang ditemukan tidak konstan yang disebut Variabel. Sisa
dari rantai ternyata menunjukkan struktur yang relatif konstan yang disebut Konstan.

27
Bagian variabel dari rantai-L dan rantai-H, yang membentuk ujung dari Fab menentukan
sifat khas antibodi. Oleh karena itu, setiap molekul Imunoglobulin dapat mengikat 2
determinan antigen.
Untuk bagian yang konstan, sama sekali tidak berpengaruh langsung terhadap antigen,
tetapi kemungkinan besar bagian Fc dari Imunoglobulin menentukan aktivitas biologis
dari antibodi tersebut. Selain itu, bagian Fc juga meningkatkan aktivitas tertentu setelah
antibodi bergabung dengan antigen, misalnya kemampuan mengikat zat Komplemen,
perlekatan dengan sel Makrofag atau menyebabkan degranulasi Mast Cell. Fungsi
biologis dari bagian Fc pada berbagai jenis Imunoglobulin berbeda satu sama lain,
tergantung dari struktur primer molekul dan mungkin memerlukan ikatan dengan antigen
sebelum fungsi menjadi aktif.

2.1 Rantai-L (Light Chain)


Dengan pemeriksaan Bence-Jones menggunakan air kemih penderita Myeloma,
ditemukan 2 macam rantai-L, yaitu rantai-κ (Kappa) dan rantai-λ (Labda).
Pengklasifikasian tersebut dibuat berdasarkan perbedaan asam amino di daerah
tetapnya. Kedua jenis ini terdapat pada semua kelas Imunoglobulin, tetapi tiap
molekul Imunoglobulin hanya mengandung satu jenis rantai-L saja. Bagian ujung
amino pada tiap rantai-L berisi bagian tempat pengikatan antigen.

2.2 Rantai-H (Heavy Chain)


Rantai Berat merupakan dasar pengklasifikasian kelas Imunoglobulin. Bagian ujung
amino tiap rantai-H ikut serta dalam tempat pengikatan antigen, ujung lainnya
(karboksi) membentuk fragmen Fc, yang mempunyai berbagai aktivitas biologik.

2.3 Kelas Imunoglobulin


Berdasarkan jenis rantai-H yang dimiliki, maka pengklasifikasian kelas Imunoglobulin
adalah sebagai berikut :

ImunoglobulinG (IgG)
Adalah reaksi imun yang diproduksi terbanyak sebagai antibodi utama dalam proses
sekunder dan merupakan pertahanan inang yang penting terhadap bakteri yang
terbungkus dan virus. Mampu menyebar dengan mudah ke dalam celah ekstravaskuler

28
dan mempunyai peranan penting menetralisir toksin kuman, serta melekat pada kuman
sebagai persiapan fagositosis.
Merupakan proteksi utama pada bayi terhadap infeksi selama beberapa minggu pertama
setelah lahir, dikarenakan mampu menembus jaringan plasenta. IgG yang dikeluarkan
melalui cairan kolostrum dapat menembus mukosa usus bayi dan menambah daya
kekebalan.
IgG mempunyai dua tempat pengikatan antigen yang sama (divalen) dan dikenal 4
subkelas, yaitu IgG1 IgG1, IgG2, IgG3 dan IgG4. Perbedaannya terletak pada rantai-H
dengan beberapa fungsi biologis serta jumlah dan lokasi ikatan disulfida. IgG1
merupakan 65% dari keseluruhan IgG. IgG2 berguna untuk melawan antigen
polisakarida dan menjadi pertahanan yang penting bagi inang untuk melawan bakteri
yang terbungkus.

Imunoglobulin A (IgA)
Adalah Imunoglobulin utama dalam sekresi selektif, misalnya pada susu, air liur, air mata
dan dalam sekresi pernapasan, saluran genital serta saluran pencernaan atau usus
(Corpo Antibodies). Imunoglobulin ini melindungi selaput mukosa dari serangan bakteri
dan virus. Ditemukan pula sinergisme antara IgA dengan lisozim dan komplemen untuk
mematikan kuman koliform. Juga kemampuan IgA melekat pada sel polimorf dan
kemudian melancarkan reaksi komplemen melalui jalan metabolisme alternatif.
Tiap molekul IgA sekretorik berbobot molekul 400.000 terdiri atas dua unit polipeptida
dan satu molekul rantai-J serta komponen sekretorik. Sekurang-kurangnya dalam serum
terdapat dua subkelas IgA1 dan IgA2. Terdapat dalam serum terutama sebagai monomer
7S tetapi cenderung membentuk polimer dengan perantaraan polipeptida yang disintesis
oleh sel epitel untuk memungkinkan IgA melewati permukaan epitel, disebut rantai-J.
Pada sekresi ini IgA ditemukan dalam bentuk dimer yang tahan terhadap proteolisis
berkat kombinasi dengan suatu protein khusus, disebut Secretory Component yang
disintesa oleh sel epitel lokal dan juga diproduksi secara lokal oleh sel plasma.

Imunoglobulin M (IgM)
Imunoglobulin utama yang pertama dihasilkan dalam respon imun primer. IgM terdapat
pada semua permukaan sel B yang tidak terikat. Struktur polimer IgM
menurut Hilschman adalah lima subunit molekul 4-peptida yang dihubungkan oleh
rantai-J. Pentamer berbobot molekul 900.000 ini secara keseluruhan memiliki sepuluh
tempat pengikatan antigen Fab sehingga bervalensi 10, yang dapat dibuktikan dengan
reaksi Hapten. Polimernya berbentuk bintang, tetapi apabila terikat pada permukaan sel
akan berbentuk kepiting.
Disebabkan bervalensi tinggi, maka antibodi ini paling sering bereaksi di antara semua
Imunoglobulin, sangat efisien untuk reaksi aglutinasi dan reaksi sitolitik, pengikatan
komplemen, reaksi antibodi-antigen yang lain dan karena timbulnya cepat setelah terjadi
infeksi dan tetap tinggal dalam darah, maka IgM merupakan daya tahan tubuh yang
penting untuk bakteremia dan virus. Antibodi ini dapat diproduksi oleh janin yang
terinfeksi.

ImunoglobulinE (IgE)
Didalam serum ditemukan dalam konsentrasi sangat rendah. IgE apabila disuntikkan ke
dalam kulit akan terikat pada Mast Cells dan Basofil. Kontak dengan antigen akan
menyebabkan degranulasi dari Mast Cells dengan pengeluaran zat amin yang vasoaktif.
IgE yang terikat ini berlaku sebagai reseptor yang merangsang produksinya dan
kompleks antigen-antibodi yang dihasilkan memicu respon alergi Anafilaktikmelalui
pelepasan zat perantara.
29
Pada orang dengan hipersensitivitas alergi berperantara antibodi, konsentrasi IgE akan
meningkat dan dapat muncul pada sekresi luar. IgE serum secara khas juga meningkat
selama infeksi parasit cacing.

ImunoglobulinD (IgD)
Antibodi ini fungsi keseluruhannya belum diketahui secara jelas. Dalam serum IgD
ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit dan IgD merupakan antibodi inti sel. Zat ini
juga terdapat pada sel penderita leukemia getah bening.
Telah dibuktikan pula bahwa IgD dapat bertindak sebagai reseptor antigen apabila
berada pada permukaan limfosit B tertentu dalam darah tali pusar janin dan mungkin
merupakan reseptor pertama dalam permulaan kehidupan sebelum diambil alih fungsinya
IgM dan Imunoglobulin lainnya, setelah sel tubuh berdiferensiasi lebih jauh.

GOLONGAN DARAH, UJI SILANG, REAKSI TRANSFUSI DARAH


1. Golongan darah
Golongan darah secara umum terbagi menjadi empat golongan darah yaitu A,B,O dan
AB. Dalam darah terdapat antigen dan antibodi dimana antigen berada pada sel – sel
darah merah dan antibodi berada dalam serum. Sel – sel yang hanya memiliki antigen A
dan mempunyai anti-B didalam serum disebut golongan A. Sedangkan sel - sel yang
hanya memiliki antigen B dan mempunyai anti-A dalam serum disebut golongan B. Sel –
sel yang memiliki antigen A dan antigen B dan tidak mempunyai anti-A dan anti-B dalam
serum disebut golongan AB. Sel-sel yang tidak memiliki antigen A dan antigen B,
mempunyai anti-Adan anti-B dalam serum disebut golongan O. Eritrosit terdapat
sejumlah besar antigen genetik tertentu. Hal ini khusus hanya dapat diperlihatkan dengan
pertolongan badan anti (zat – zat anti). Kelompok darah yang ditentukan oleh gen – gen
yang termasuk didalam lokus tertentu (allel), membentuk suatu sistem kelompok darah.
Kelompok darah ini penting, karena eritrosit donor dimana terdapat suatu antigen (
kelompok darah ) yang badan antinya dimiliki oleh penderita, biasanya dihancurkan
secara cepat atau bahkan sangat cepat.
Segala penampilan dan karakteristik golongan darah, dikendalikan oleh gen – gen yang
ada dalam inti sel – sel tubuh kita. Tiap sel memiliki 23 pasang kromosom, kita
diwariskan salah satu kromosom dari tiap pasangannya dari masing – masing orang tua
kita. Diantara karakteristik golongan darah yang diwariskan, terdapat sebuah gen yang
bertanggung jawab atas spesifisitas golongan ABO darah kita. Dengan kata lain kita
mewarisi dua gen golongan darah, kromosom dari ibu membawa salah satu dari gen A,
B, O. Hal yang sama, kromosom yang lain dari ayah juga membawa salah satu dari gen
A,B atau O.
Gen – gen yang diturunkan dari masing – masing golongan darah orang tua yang ada
pada kromosom disebut genotip. Sedangkan efek yang bisa terlihat dari gen – gen yang
diwariskan disebut fenotip.
Antigen adalah sejenis zat yang bila masuk ke dalam tubuh, lalu dikenali sebagai benda
asing, akan menimbulkan respon imun. Hal ini akan berakibat dibuatnya antibodi yang
akan bereaksi spesifik dengan antigen tersebut. Antigen terdapat pada permukaan sel
darah merah, yang terdiri atas bilipid membran suatu molekul yang besar. Komposisi
bilipid membran adalah molekul yang dinamakan phospolipid yang terdiri dari hydrophilic
dan hidrophobic. Umumnya molekul protein bilipid membrane memiliki oligosakarida,
beberapa diantaranya diketahui menjadi antigen golongan darah, lainnya berfungsi untuk
metobolisme sel darah merah. Antigen – antigen golongan darah yang sangat penting
adalah antigen A, B, dan D ( Rho ). Ciri antigen itu berada pada ujung gula – gula pada
rangkaian oligosakarida yang melekat langsung pada dinding sel atau melekat pada
rangkaian protein yang menonjol dari hamparan bilipid. Apabila ologosakarida itu melekat
30
pada kulit sel disebut molekul glycolipid, dan kalau melekatnya pada susunan protein
disebut glycoprotein.
Mulanya subtansi prekursor (antigen dasar) diubah menjadi subtansi H oleh L- fucosyl
transferase ( diproduksi gen H ) dengan menambah L- fucose. Selanjutnya substansi H
diubah dengan transferase khusus dengan mentransfer N- acetyl D galactosamine dan
atau D-galactose membentuk antigen A dan atau antigen B. Ekspresi gen A atau gen B
tergantung pada gen H. Sebagian besar individu mempunyai gen H homozigot ( HH ).
Golongan darah O memiliki antigen H paling banyak, dalam serologi golongan darah,
antigen pada permukaan sel darah merah akan dikenali sebagai antigen asing apabila
ditransfusikan ke resipien yang tidak mempunyai antigen yang identik dengan antigen
donor. Ekpresi suatu antigen golongan darah dikontrol oleh gen, pada golongan darah
ABO dan lewis kontrol gen diekpresikan oleh enzim yang bertanggung jawab pada gula/
karbohidrat yang melekat ( Subtansi H ) yang akan memberikan antigen khusus dari
subtansi precursor.
Antibodi golongan darah yaitu anti-A dan anti-B pada umumnya timbul beberapa bulan
setelah lahir ( 3 – 6 bulan ) dan mencapai level maksimal pada usia 5 – 10 tahun
kemudian secara perlahan – lahan menurun pada usai tua. Kebanyakan antigen
golongan darah menyebabkan terbentuknya antibodi IgM sebagai akibat rangsangan
primer dan sebagian lagi dapat menyebabkan terbentuknya antibodi IgG. Antibodi IgM
adalah pentamer yang terdiri dari 5 immunoglobulin sub unit, dimana setiap unit terdiri
dari fragmen fab 2 buah, sehingga keseluruhan mempunyai 10 antigen bidding site.
Antibodi IgG merupakan sub unit immunoglobulin tunggal yang mempunyai fragmen fab
2 buah yang bereaksi pada antigen.
Kebanyakan teknik yang digunakan pada laboratorium untuk mendeteksi reaksi – reaksi
antara antigen – antibodi berdasarkan aglutinasi. Aglutinasi adalah perlengketan sel – sel
darah merah yang disebabkan oleh antibodi yang melekat pada antigen – antigen
beberapa sel darah merah, sampai menimbulkan suatu anyaman yang dapat menjerat
sel – sel menjadi mengelompok. Terdapat 2 tahapan untuk menimbulkan aglutinasi.
Tahap pertama yaitu antibodi melekat pada antigen sel darah merahnya segera pada
saat pertama ketemu. Hal ini belum menimbulkan aglutinasi, tetapi hanya menyelubuni
sel tersebut. Tahap kedua yaitu anyaman telah terbentuk,
menimbulkan gumpalan atau aglutinasi. Antibodi – antibodi IgM ukuranya besar, memiliki
10 tempat antigen. Semuanya bisa mengsensitisasi dan mengaglutinasi sel – sel secara
langsung. Antibodi – antibodi IgG ukuranya kecil dan tidak dapat secara langsung
mengaglutinasi sel – sel, walaupun demikian dapat menyelubungi atau mensensitisasi sel
– sel darah merah.
Aglutinasi terjadi dalam 2 stadium :
a. Perlekatan fisik antibodi pada sel darah merah yang disebut sensitasi. Dalam sistim
golongan darah reaksi antigen pada sel darah merah dengan antibodi, tampak
sebagai gumpalan sel. Sebelum terjadinya aglutinasi antibodi akan mengadakan
ikatan terlebih dahulu dengan antigen yang berpadanan, sehingga terjadi suatu
komplek antigen antibodi komplek. Bila suatu antibodi telah mengadakan ikatan
dengan antigenya sehingga sel darah merah tersebut diselubungi oleh antibodi, maka
peristiwa tersebut dinamakan juga bahwa sel darah merah telah disensitisasi oleh
antibodi dan reaksi tersebut tidak terlihat oleh mata biasa.
b. Pembentukan jembatan – jembatan antara sel – sel yang telah disensitisasi
mengakibatkan terjadinya aglutinasi.

31
2. Uji Silang (Cross Match)
Uji silang adalah reaksi silang in vitro antara darah pasien dengan darah donornya yang
akan di transfusikan. Reaksi ini bertujuan mencegah reaksi hemolitik tranfusidarah bila
darah didonorkan dan supaya darah yang ditransfusikan itu benar-benar ada manfaatnya
bagi kesembuhan pasien.
Prinsip crossmatch ada dua yaitu Mayor dan Minor, yang penjelasnya sebagai berikut a.
Mayor crossmatch adalah serum penerima dicampur dengan sel donor. Maksudnya
apakah sel donor itu akan dihancurkan oleh antibody dalam serum pasien.
b. Minor crossmatch adalah serum donor dicampur dengan sel penerima. Yang dengan
maksud apakah sel pasien akan dihancurkan oleh plasma donor.
Jika pada reaksi tersebut golongan darah A,B dan O penerima dan donor sama, baik
mayor maupun minor test tidak bereaksi berarti cocok. Jika berlainan, misalnya donor
golongan darah O dan penerima golongan darah A maka pada test minor akan terjadi
aglutinasi atau juga bisa sebaliknya berarti tidak cocok.
Mayor Crossmatch merupakan tindakan terakhir untuk melindungi keselamatan penerima
darah dan sebaiknya dilakukan demikian sehingga Complete Antibodies maupun
incomplete Antibodies dapat ditemukan dengan cara tabung saja. Cara dengan objek
glass kurang menjaminkan hasil percobaan. Reaksi silang yang dilakukan hanya pada
suhu kamar saja tidak dapat mengesampingkan aglutinin Rh yang hanya bereaksi pada
suhu 37 derajat Celcius. Lagi pula untuk menentukan anti Rh sebaiknya digunakan cara
Crossmatch denganhigh protein methode. Ada beberapa cara untuk menentukan reaksi
silang yaitu reaksi silang dalam larutan garam faal dan reaksi silang pada objek glass.

Serum antiglobulin meningkatkan sensitivitas pengujian in vitro. Antibody kelas IgM yang
kuat menggumpalkan eritrosit yang mengandung antigen yang relevan secara nyata,
tetapi antibody yang lemah sulit dideteksi. Banyak antibodi kelas IgG yang tak mampu
menggumpalkan eryhtrosit walaupun antibody itu kuat. Semua pengujian antibodi
termasuk uji silang tahap pertama menggunakan cara sentrifugasi serum dengan
eryhtrosit. Sel dan serum kemudian diinkubasi selama 15-30 menit untuk memberi
kesempatan antibodi melekat pada permukaan sel, lalu ditambahkan serum antiglobulin
dan bila pendertita mengandung antibodi dengan eryhtrosit donor maka terjadi gumpalan.
Uji saring terhadap antibodi penting bukan hanya pada transfusi tetapi juga ibu hamil
yang kemungkinan terkena penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.

3. Reaksi Transfusi Darah


Reaksi transfuse merupakan Semua kejadian yang tidak menguntungkan penderita ,
yang timbul selama atau setelah transfusi , dan memang berhubungan dengan transfuse
tersebut.
Transfusi darah kadang menyebabkan reaksi transfusi. Ada jenis reaksi transfusi yang
buruk dan ada yang moderat. Reaksi transfusi bisa segera terjadi setelah transfusi
dimulai, namun ada juga reaksi yang terjadi beberapa hari atau bahkan lebih lama
setelah transfusi dilakukan.
Untuk mencegah terjadinya reaksi yang buruk, diperlukan tindakan pencegahan sebelum
transfusi dimulai. Jenis darah diperiksa berkali-kali, dan dilakukan cross-matched untuk
memastikan bahwa jenis darah tersebut cocok dengan jenis darah dari orang yang akan
mendapatkannya. Setelah itu, perawat dan teknisi laboratorium bank darah mencari
informasi tentang pasien dan informasi pada unit darah (atau komponen darah) sebelum
dikeluarkan. Informasi ini dicocokkan sekali lagi di hadapan pasien sebelum transfusi
dimulai.

32
Reaksi Akut
Reaksi akut adalah reaksi yang terjadi selama transfusi atau dalam 24 jam setelah
transfusi. Reaksi akut dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu ringan, sedang-berat dan
reaksi yang membahayakan nyawa. Reaksi ringan ditandai dengan timbulnya pruritus,
urtikaria dan rash. Reaksi ringan ini disebabkan oleh hipersensitivitas ringan. Reaksi
sedang-berat ditandai dengan adanya gejala gelisah, lemah, pruritus, palpitasi, dispnea
ringan dan nyeri kepala. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan adanya warna
kemerahan di kulit, urtikaria, demam, takikardia, kaku otot. Reaksi ringan diatasi
dengan pemberian antipiretik, antihistamin atau kortikosteroid, dan pemberian transfusi
dengan tetesan diperlambat.
Reaksi sedang-berat biasanya disebabkan oleh hipersensitivitas sedang-berat, demam
akibat reaksi transfusi non-hemolitik (antibodi terhadap leukosit, protein, trombosit),
kontaminasi pirogen dan/atau bakteri.
Pada reaksi yang membahayakan nyawa ditemukan gejala gelisah, nyeri dada, nyeri
di sekitar tempat masuknya infus, napas pendek, nyeri punggung, nyeri kepala, dan
dispnea. Terdapat pula tanda-tanda kaku otot, demam, lemah, hipotensi (turun ≥20%
tekanan darah sistolik), takikardia (naik ≥20%), hemoglobinuria dan perdarahan yang
tidak jelas. Reaksi ini disebabkan oleh hemolisis intravaskular akut, kontaminasi bakteri,
syok septik, kelebihan cairan, anafilaksis dan gagal paru akut akibat transfusi.

Hemolisis intravaskular akut


Reaksi hemolisis intravaskular akut adalah reaksi yang disebabkan inkompatibilitas sel
darah merah. Antibodi dalam plasma pasien akan melisiskan sel darah merah yang
inkompatibel. Meskipun volume darah inkompatibel hanya sedikit (10-50 ml) namun
sudah dapat menyebabkan reaksi berat. Semakin banyak volume darah yang
inkompatibel maka akan semakin meningkatkan risiko.
Penyebab terbanyak adalah inkompatibilitas ABO. Hal ini biasanya terjadi akibat
kesalahan dalam permintaan darah, pengambilan contoh darah dari pasien ke tabung
yang belum diberikan label, kesalahan pemberian label pada tabung dan
ketidaktelitian memeriksa identitas pasien sebelum transfusi. Selain itu penyebab
lainnya adalah adanya antibodi dalam plasma pasien melawan antigen golongan
darah lain (selain golongan darah ABO) dari darah yang ditransfusikan, seperti sistem
Idd, Kell atau Duffy.
Jika pasien sadar, gejala dan tanda biasanya timbul dalam beberapa menit awal
transfusi, kadang-kadang timbul jika telah diberikan kurang dari 10 ml. Jika pasien
tidak sadar atau dalam anestesia, hipotensi atau perdarahan yang tidak terkontrol
mungkin merupakan satu-satunya tanda inkompatibilitas transfusi. Pengawasan
pasien dilakukan sejak awal transfusi dari setiap unit darah.

Kelebihan cairan
Kelebihan cairan menyebabkan gagal jantung dan edema paru. Hal ini dapat terjadi
bila terlalu banyak cairan yang ditransfusikan, transfusi terlalu cepat, atau penurunan
fungsi ginjal. Kelebihan cairan terutama terjadi pada pasien dengan anemia kronik dan
memiliki penyakit dasar kardiovaskular.

Reaksi anafilaksis
Risiko meningkat sesuai dengan kecepatan transfusi. Sitokin dalam plasma
merupakan salah satu penyebab bronkokonstriksi dan vasokonstriksi pada resipien
tertentu. Selain itu, defisiensi IgA dapat menyebabkan reaksi anafilaksis sangat berat.
Hal itu dapat disebabkan produk darah yang banyak mengandung IgA. Reaksi ini
terjadi dalam beberapa menit awal transfusi dan ditandai dengan syok (kolaps
33
kardiovaskular), distress pernapasan dan tanpa demam. Anafilaksis dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan cepat dan agresif dengan antihistamin dan adrenalin.

Cedera paru akut akibat transfusi (Transfusion-associated acute lung injury = TRALI)
Cedera paru akut disebabkan oleh plasma donor yang mengandung antibodi yang
melawan leukosit pasien. Kegagalan fungsi paru biasanya timbul dalam 1-4 jam sejak
awal transfusi, dengan gambaran foto toraks kesuraman yang difus. Tidak ada terapi
spesifik, namun diperlukan bantuan pernapasan di ruang rawat intensif.

Reaksi Hemolitik
Reaksi hemolitik kekebalan akut
Ini adalah jenis yang paling serius dari reaksi transfusi, tetapi sangat jarang terjadi.
Reaksi hemolitik kekebalan akut terjadi ketika golongan darah donor dan pasien tidak
cocok. Antibodi pasien menyerang sel-sel darah merah yang ditransfusikan,
menyebabkan mereka mematahkan (hemolyze) dan melepaskan zat-zat berbahaya ke
dalam aliran darah.
Pasien mungkin menggigil, demam, nyeri dada dan punggung bawah, serta mual.
Ginjal dapat rusak parah, dan dialisis mungkin diperlukan. Reaksi hemolitik dapat
mematikan jika transfusi tidak dihentikan segera saat reaksi dimulai.

Reaksi hemolitik tertunda


Reaksi ini terjadi ketika tubuh perlahan-lahan menyerang antigen (antigen selain ABO)
pada sel-sel darah yang ditransfusikan. Sel-sel darah mengalami pemecahan setelah
beberapa hari atau minggu transfusi dilakukan. Biasanya tidak ada gejala, tetapi sel-
sel darah merah yang ditransfusikan hancur dan dan jumlah sel darah merah pasien
mengalami penurunan. Dalam kasus yang jarang ginjal mungkin akan terpengaruh,
dan pengobatan mungkin diperlukan.
Seseorang mungkin tidak mengalami jenis reaksi seperti ini kecuali mereka pernah
mendapat transfusi di masa lalu. Orang-orang yang mengalami jenis reaksi hemolitik
tertunda ini perlu menjalani tes darah khusus sebelum menerima transfusi darah
kembali. Unit darah yang tidak memiliki antigen yang menyerang tubuh harus
digunakan.

Reaksi Alergi
Alergi merupakan reaksi yang paling sering terjadi setelah transfusi darah. Hal ini terjadi
karena reaksi tubuh terhadap protein plasma dalam darah donor. Biasanya gejala
hanya gatal-gatal, yang dapat diobati dengan antihistamin seperti diphenhydramine
(Benadryl).

Gejala yang timbul :


Ringan : urtikaria ( gatal gatal ).
Berat Seasak nafas , Cyanosis , Hypotensi 4 Shock .

Tindakan :
STOP Transfusi 4 infus NaC1 0,9%
Beri antihistamin
Beni kortikosteroid bila perlu
Bila terjadi lharynk oedem berikan adrenaline.

34
Reaksi Demam
Orang yang menerima darah mengalami demam mendadak selama atau dalam waktu 24
jam sejak transfusi. Sakit kepala, mual, menggigil, atau perasaan umum
ketidaknyamanan mungkin bersamaan dengan demam. Acetaminophen (Tylenol) dapat
meredakan gejala-gejala ini.
Reaksi-reaksi tersebut terjadi sebagai respon tubuh terhadap sel-sel darah putih dalam
darah yang disumbangkan. Hal ini lebih sering terjadi pada orang yang pernah mendapat
transfusi sebelumnya dan pada wanita yang pernah beberapa kali mengalami kehamilan.
Jenis-jenis reaksi juga dapat menyebabkan demam, dan pengujian lebih lanjut mungkin
diperlukan untuk memastikan bahwa reaksi ini hanya demam.
Pasien yang mengalami reaksi demam atau yang beresiko terhadap reaksi tranfusi
lainnya biasanya diberikan produk darah yang leukositnya telah dikurangi. Artinya, sel-sel
darah putih telah hilang setelah melalui filter atau cara lainnya.

HEMOSTASIS DAN KOAGULASI


Hemostasis adalah penghentian perdarahan akibat pembuluh darah yang terpotong atau
robek, sedangkan trombosis terjadi jika endotel yang melapisi pembuluh darah mengalami
kerusakan atau terlepas (mis. akibat ruptur suatu plak aterosklerotik). Proses-proses ini
mencakup pembekuan darah (koagulasi) dan melibatkan pembuluh darah, agregasi
trombosit serta protein plasma yang menyebabkan pembentukan atau disolusi agregat
trombosit. Pada hemostasis, mula-mula terjadi vasokonstriksi pembuJuh yang cedera
sehingga aliran darah ke bagian distal dari tempat cedera berkurang. Kemudian hemostasis
dan trombosis mengalami tiga fase yang sama:
1. Pembentukan agregat trombosit yang longgar dan sementara di tempat cedera.
Trombosit berikatan dengan kolagen di bagian dinding pembuluh yang cedera, dan
mengeluarkan ADP dan membentuk tromboksan A2 yang mengaktifkan trombosit lain
yang mengalir di sekitar tempat cedera. Trombin, yang terbentuk sewaktu koagulasi di
tempat yang sama, juga mengaktifkan trombosit. Jika diaktifkan, trombosit berubah
bentuk dan, dengan adanya fibrinogen, akan bergumpal untuk membentuk sumbat
hemostatik (pada hemostasis) atau trombus (pada trombosis).
2. Pembentukan jaring fibrin yang mengikat ag, trombosit, membentuk sumbat
hemostatik atau tt ronLa yang lebih stabil.
3. Disolusi sumbat hemostatik atau trombus secara parsial atau total oleh plasmin.

Terdapat Tiga Jenis Trombus


Diketahui terdapat tiga jenis trombus atau bekuan. Ketiganya mengandung fibrin dengan
proporsi berbeda-beda.
1. Trombus putih terdiri dari trombosit dan fibrin serta relatif kurang mengandung eritrosit.
Trombus ini terbentuk di tempat cedera atau dinding pembuluh abnormal, terutama di
bagian yang aliran darahnya deras (arteri).
2. Trombus merah terutama terdiri dari sel darah merah dan fibrin. Trombus ini secara
morfologis menyerupai bekuan yang terbentuk di tabung reaksi dan dapat terbentuk in
vivo di bagian yang aliran darahnya terhambat atau stasis (mis. vena) dengan atau
tanpa cedera vaskular, atau trombus ini dapat terbentuk di tempat cedera atau di
suatu pembuluh abnormal yang disertai dengan terbentuknya sumbat trombosit awal.
3. Tipe ketiga adalah endapan fibrin diseminata di pembuluh darah halus atau kapiler.
Mula-mula kita akan membahas jalur koagulasi yang menyebabkan terbentuknya
fibrin. Kemudian kita akan menjelaskan sebagian aspek dari keterlibatan trombosit dan
dinding pembuluh darah dalam proses keseluruhan secara sepintas. Pemisahan faktor
pembekuan dan trombosit ini bersifat artifisial karena keduanya memiliki peran yang

35
sangat erat dan sering bergantung satu sama lain dalam hemostasis dan trombosis,
tetapi pemisahan tersebut membantu penjelasan keseluruhan proses yang terjadi.
Jalur Intrinsik & Ekstrinsik Menyebabkan Pembentukan Fibrin
Dua jalur yang menyebabkan pembentukan bekuan fibrin: jalur intrinsik dan jalur ekstrinsik.
Seperti diduga sebelumnya, kedua jalur ini tidak independen. Namun, dalam pembahasan
selanjutnya pembedaan artifisial ini dipertahankan untuk mempermudah penjelasan kedua
jalur tersebut. Inisiasi bekuan fibrin sebagai respons terhadap cedera jaringan dilaksanakan
oleh jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik diaktifkan oleh permukaan bermuatan negatif in vitro,
misalnya kaca. Kedua jalur menyebabkan pengaktifan protrombin menjadi trombin dan
penguraian fibrinogen, yang dikatalisis oleh trombin, menjadi bekuan fibrin. Kedua jalur
bersifat kompleks dan melibatkan beragam protein. Secara umum, protein-protein ini dapat
diklasifikasikan menjadi lima jenis: (1) zimogen protease dependen-serin, yang menjadi aktif
sewaktu proses koagulasi; (2) kofaktor; (3) fibrinogen; (4) suatu transglutaminase yang
menstabilkan bekuan fibrin; dan (5) protein regulatorik serta protein lain.

Jalur Intrinsik Menyebabkan Pengaktifan Faktor X


Jalur intrinsik melibatkan faktor-faktor XII, XI, IX, VIII, dan X serta prakalikrein, kininogen
berberat molekul tinggi (HMW), Ca2+, dan fosfolipid.
Jalur berberat molekul tinggi ini rnenyebabkan pembentukan faktor Xa (berdasarkan
perjanjian, faktor pembekuan yang sudah diaktifkan diberi akhiran a). Jalur ini berawal dari
"fase kontak" saat prakalikrein, kininogen HMW, faktor XII, dan faktor XI terpajan oleh
permukaan pemicu bermuatan negatif. Kaolin dapat digunakan untuk uji in vitro sebagai
pemicu jalur intrinsik. Jika komponen-komponen dari fase kontak ini tersusun pada
permukaan pemicu tersebut, terjadi pengaktifan faktor XII menjadi faktor XIIa melalui
proteolisis oleh kalikrein. Faktor XIIa ini, yang dihasilkan oleh kalikrein, menyerang
prakalikrein untuk menghasilkan lebih banyak kalikrein sehingga terjadi pengaktifan timbal-
balik. Faktor XIIa, setelah terbentuk, akan mengaktifkan faktor XI menjadi XIa dan juga
melepaskan bradikinin (suatu nonapeptida dengan efek vasodilatasi kuat) dari kininogen
HMW. Faktor XIa. dengan keberadaan Ca2+ mengaktifkan faktor IX (55 kDa, suatu zimogen
yang mengandung residu y-karboksiglutamat [Gla] dependen-vitamin K; lihat Bab 44),
menjadi serin protease, yaitu faktor IXa. Hal ini pada gilirannya menguraikan ikatan Arg-Ile
di faktor X (56 kDa) untuk menghasilkan serin protease, yaitu faktor Xa. Reaksi terakhir ini
memerlukan penyusunan komponen-komponen, yang disebut kompleks tenase, pada
permukaan membran: Ca2+ dan faktor VIIIa, serta faktor IXa dan X. Perlu dicatat bahwa

36
dalam semua reaksi yang melibatkan zimogen berisi-Gla(faktor II, VII, IX, dan X), residu Gla
di regio terminal amino molekul berfungsi sebagai tempat pengikatan berafinitas tinggi untuk
Ca2+. Faktor VIII (330 kDa), suatu glikoprotein, bukanlah suatu prekursor protease tetapi
kofaktor yang berfungsi sebagai reseptor untuk faktor IXa dan X pada permukaan trombosit.
Faktor VIII diaktifkan oleh trombin dalam jumlah kecil untuk membentuk faktor VIIIa, yang
pada gilirannya menjadi inaktif pada penguraian lebih lanjut oleh trombin.
Jalur Ekstrinsik Juga Menyebabkan Pengaktifan Faktor X, Tetapi Melalui Suatu Mekanisme
yang Berbeda Faktor Xa terbentuk di tempat pertemuan jalur intrinsik dan ekstrinsik. Jalur
ekstrinsik melibatkan faktor jaringan, faktor VII dan X, dan Ca2+ serta menyebabkan
terbentuknya faktor Xa. Jalur ini dimulai di tempat cedera jaringan dengan terpajannya faktor
jaringan di sel endotel aktif dan monosit. Faktor jaringan berinteraksi dengan dan
mengaktifkan faktor VII (53 kDa), suatu glikoprotein berisi-Gla dalam darah yang disintesis
oleh hati. Faktor jaringan bekerja sebagai kofaktor untuk faktor VIIa yang meningkatkan
aktivitas enzimatiknya untuk mengaktifkan faktor X. Ikatan faktor jaringan dan faktor VIIa
disebut kompleks faktor jaringan. Faktor VIIa memutuskan ikatan Arg-Ile di faktor X yang
sama dengan ikatan yang diputus oleh kompleks tenase pada jalur intrinsik. Pengaktivan
faktor X adalah penghubung penting antara jalur intrinsik dan ekstrinsik. Interaksi penting
lain antara jalur ekstrinsik dan intrinsik adalah bahwa kompleks faktor jaringan dan faktor
VIIa juga mengaktifkan faktor IX di jalur intrinsik. Memang, pembentukan kompleks antara
faktor jaringan dan faktor VIIa kini dianggap sebagai proses kunci dalam permulaan
koagulasi darah in vivo. Makna fisiologis tahap--tahap awal jalur intrinsik, tempat faktor XII,
prakalikrein, dan kininogen HMW berperan, mulai dipertanyakan karena pasien dengan
defisiensi herediter komponen-komponeh ini tidak mengalami diatesis perdarahan. Demikian
juga, pasien dengan defisiensi faktor XI dapat tidak mengalami masalah perdarahan. Jalur
intrinsik mungkin sebenarnya lebih penting dalam fibrinolisis (lihat bawah) dibandingkan
dalam koagulasi, karena kalikrein, faktor XIIa, dan faktor XIa dapat menguraikan
plasminogen dan kalikrein dapat mengaktifkan urokinase rantai-tunggal. Tissue factor
pathway inhibitor (TFPI; inhibitor jalur faktor jaringan) adalah suatu inhibitor fisiologis utama
untuk koagulasi. Inhibitor ini adalah suatu protein yang beredar dalam darah dan berikatan
dengan lipoprotein. TFPI secara langsung menghambat faktor Xa dengan mengikat enzim di
dekat tempat aktifnya. Kompleks faktor Xa-TFPI ini kemudian menghambat kompleks faktor
VIIa-faktorjaringan.

Faktor Xa Mengaktifkan Protrombin Menjadi Trombin


Faktor Xa yang dihasilkan oleh kedua jalur (intrinsik atau ekstrinsik) mengaktifkan
protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor IIa) yang kemudian mengubah fibrinogen
menjadi fibrin. Pengaktifan protrombin, seperti halnya faktor X, terjadi di permukaan
membran dan memerlukan pembentukan kompleks protrombinase yang terdiri dari Ca2+,
faktor Va, faktor Xa, dan protrombin. Penyusunan protrombinase dan kompleks tenase
berlangsung pada permukaan membran trombosit yang diaktifkan untuk memajankan
fosfolipid asam (anionik) fosfatidilserin yang dalam keadaan normal berada di sisi dalam
membran plasma trombosit nonaktif (istirahat).
Faktor V (330 kDa), suatu glikoprotein yang memiliki homologi dengan faktor VIII dan
seruloplasmin, disintesis di hati, limpa, dan ginjal dan juga ditemukan di trombosit dan
plasma. Senyawa ini berfungsi sebagai kofaktor yang serupa den gan fungsi kofaktor yang
dilakukan faktor VIII dalam kompleks tenase. Jika diaktifkan menjadi faktor Va oleh sedikit
trombin, senyawa ini berikatan dengan reseptor spesifik pada membran trombosit dan
membentuk kompleks dengan faktor Xa dan protrombin. Senyawa ini kemudian diinaktifkan
oleh kerja trombin sehingga pengaktifan protrombin menjadi trombin dapat dibatasi.
Protrombin adalah suatu senyawa glikoprotein rantai-tunggal yang disintesis oleh hati. Regio
terminal amino protrombin mengandung sepuluh residu Gla, tempat protease aktif yang
37
dependen-serin terletak di regio terminal karboksil molekul. Jika berikatan dengan kompleks
faktor Va dan Xa pada membran trombosit, protrombin diuraikan oleh faktor Xa di dua
tempat untuk menghasilkan molekul trombin dua-rantai aktif yang kemudian dibebaskan dari
permukaan trombosit. Rantai A dan B trombin disatukan oleh satu ikatan disulfida.
Perubahan Fibrinogen Menjadi Fibrin Dikatalisis oleh Trombin
Fibrinogen (faktor I, 340 kDa) adalah suatu glikoprotein plasma larut yang terdiri dari tiga
pasang rantai polipeptida (Aa,Bby)2 nonidentik yang disatukan secara kovalen oleh ikatan
disulfida. Rantai BB dan Y mengandung oligosakarida kompleks yangterikat pada
asparagin. Ketiga rantai disintesis di hati; tiga gen struktural yang terlibat terletak di
kromoson, yang sama, dan pada manusia ekspresi ketiganya diatur secara terpadu. Regio
terminal amino keenam rantai terletak berdekatan karena adanya sejumlah ikatan disulfida,
sementara regio terminal karboksil tersebar sehingga terbentuk molekul memanjang yang
sangat tidak simetris. Bagian A dan B dari rantai Aa dan yang masing-masing dinamai
fibrinopeptida A (FPA) dan B (FPB), di ujung terminal amino rantai memiliki kelebihan
muatan negatif akibat adanya residu aspartat dan glutamat, serta tirosin 0-sulfat yang tak-
lazim di FPB. Muatan negatif ini berperan dalam kelarutan fibrinogen dalam plasma dan
juga berfungsi mencegah agregasi dengan menimbulkan repulsi (penolakan) elektrostatik
antara molekul-molekul fibrinogen.
Trombin (34 kDa), suatu serin protease yang dibentuk oleh kompleks protrombinase,
menghidrolisis empat ikatan Arg-Gly antara fibrinopeptida dan bagian a dan rantai Aa dan
BP fibrinogen. Pembebasan fibrinopeptida oleh trombin menghasilkan monomer fibrin yang
memiliki struktur subunit (a, (3, y),. Karena FPA dan FPB masing-masing hanya
mengandung 16 dan 14 residu, molekul fibrin mempertahankan 98% residu yang terdapat
di fibrinogen. Pengeluaran fibrinopeptida menyebabkan tempat pengikatan terpajan
sehingga molekul-molekul monomer fibrin dapat membentuk agregat (menggumpal) tak-
larut secara spontan. Pembentukan polimer fibrin tak-larut inilah yang menjerat trombosit,
sel darah merah, dan komponen lain untuk membentuk trombus putih atau merah. Bekuan
fibrin awal ini relatif lemah, yang disatukan hanya oleh ikatan nonkovalen monomer-
monomer fibrin.
Selain mengubah fibrinogen menjadi fibrin, trombin juga mengubah faktor XIII menjadi
faktor Faktor ini adalah suatu transglutaminase yang sangat spesifik dan mengikat-silang
secara kovalen molekul-molekul fibrin dengan membentuk ikatan peptida antara gugus
amida glutamin dan gugus c-amino residu lisin sehingga terbentuk bekuan fibrin yang lebih
stabil dan lebih resisten terhadap proteolisis.

IMUNOPATOGENESIS INFEKSI BAKTERI, JAMUR, VIRUS


A. Respon imun terhadap Bakteri
Bakteri ekstraselular dapat menimbulkan penyakit melalui beberapa mekanisme yaitu:
1. Merangsang reaksi inflamasi yang menyebabkan destruksi jaringan di tempat infeksi
Contoh: kokus piogenik yang sering menimbulkan infeksi supuratif yang hebat. 2.
Produksi toksin yang menghasilkan berbagai efek patologik Toksin dapat berupa
endotoksin dan eksotoksin. Endotoksin yang merupakan komponen dinding bakteri
adalah suatu lipopolisakarida yang merupakan stimulator produksi sitokin yang kuat,
suatu ajuvan serta aktivator poliklonal sel limfosit B. Sebagian besar eksotoksin
mempunyai efek sitotoksik dengan mekanisme yang belum jelas benar. Contoh: •
Toksin difteri menghambat sintesis protein secara enzimatik serta menghambat faktor
elongasi-2 yang diperlukan untuk sintesis semua peptida. • Toksin kolera merangsang
sintesis AMP siklik (cAMP) oleh sel epitel usus yang menyebabkan sekresi aktif
klorida, kehilangan cairan serta diare yang hebat. • Toksin tetanus merupakan suatu
neurotoksin yang terikat motor endplate pada neuromuscular junction yang
menyebabkan kontraksi otot persisten yang sangat fatal bila mengenai otot
38
pernapasan. • Toksin klostridium dapat menyebabkan nekrosis jaringan yang dapat
menghasilkan gas gangren. Respons imun terhadap bakteri ekstraselular ditujukan
untuk eliminasi bakteri serta netralisasi efek toksin.
Terdapat 3 mekanisme respon imun terhadap bakteri ekstraseluler:
1. Reaksi nonspesifik Tubuh memiliki imunitas bawaan ( innate immunity ) yang
merupakan garis pertahanan terdepan dari sistem imun setelah kulit dan mukosa.
Dalam sistem imunitas bawaan ini PNM dan makrofag memegang peran yang cukup
penting. Sel-sel PNM sebagai fagosit yang predominan dalam sirkulasi adalah sel
yang pertama tiba di lokasi infeksi karena tertarik oleh sinyal faktor kemotaksis yang
dikeluarkan oleh bakteri, neutrofil atau makrofag yang telah lebih dulu berada di
tempat infeksi ( jadi merupakan mekanisme umpan balik ) atau dilepaskan oleh
komplemen. Sel PNM sangat peka terhadap faktor kemotaksis tersebut melakukan
adhesi pada endotel atau jaringan lain maupun pada dinding makroba. Kemampuan
adhesi PNM bertambah karena sinyal tersebut juga merangsang ekspresi reseptor Fc
maupun reseptor komplemen pada permukaan sel. Selanjutnya PNM melakukan
diapedesis untuk tiba ditempat infeksi lalu menangkap dan menelan mikroba
kemudian membunuhnya. Proses fagositosis oleh PNM berlangsung dalam 5 fase
secara berurutan, yaitu : 1) Fase pergerakan 2) Perlekatan 3) Penelanan ( ingestion )
4) Degranulasi, dan 5) Pembunuhan ( killing ) Proses penelanan bakteri terjadi karena
fagosit membentuk tonjolan pseudopodia, kemudian membentuk kantong yang
mengelilingi bakteri dan mengurungnya, sehingga bakteri tertangkap dalam kantung (
vakuola ) yang disebut fagosom. Dinding fagosom dengan demikian terdiri atas
dinding bagian luar fagosit. Selanjutnya granula intraselular yang berisi berbagai jenis
enzim dan protein lain bergabung ( fusi ) dengan fagosom, lalu dalam waktu beberapa
detik terjadi degranulasi dan respiratory burst. Enzim dan protein yang terdapat dalam
granula mampu membunuh kuman, baik dengan proses oksidatif maupun non-
oksidatif. Proses oksidatif ada yang berlangsung dengan mieloperoksidase dan ada
yang tidak. Pada proses oksidatif yang berlangsung dengan mieloperoksidase reaksi
didasarkan atas pengikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase,
membentuk kompleks enzim-substrat dengan daya oksidatif tinggi. Proses oksidatif
menghasilkan berbagai zat toksik, misal asam hipoklorat ( HOCL ) yang merupakan
oksidan yang paling kuat untuk membunuh bakteri. Pada proses oksidatif yang
berlangsung tanpa mieloperoksidase, oksidasi masih dapat berlangsung karena
adanya H2O2, superoksida dan radikal hidroksil, namun daya oksidatifnya tidak tinggi.
Proses non-oksidatif berlangsung dengan bantuan berbagai protein sitolitik misalnya
flavoprotein, sitokrom -b, laktoferin, lisozim, katepsin- G, difensin dan lain-lain.
Mekanisme pembunuhan nonoksidatif dapat terjadi karena protein bermuatan positif
yang ada dalam PNM dan magrofag dalam suasana pH alkalis bersifat toksik dan
dapat merusak lapisan dinding kuman Gram-negatif. Namun ada juga jenis kuman lain
yang justru dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom berubah menjadi asam, atau
pada pH optimum untuk aktivitas lisozim. Dengan berbagai proses diatas seolah-olah
PNM memproduksi anti mikroba yang berperan sebagai antibiotika alami ( natural
antibiotics ). Berbagai faktor diluar PNM membantu PNM melaksanakan tugasnya;
salah satu mediator di antaranya adalah interleukin 4 yang diketahui berfungsi sebagai
activator neutrofil.

2. Reaksi spesifik Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan mikroba
dalam limfosit B yang memproduksi antibodi, limfosit T yang mengatur sintesis
antibodi maupun sel T yang mempunyai fungsi efektor sitoksisitas langsung. Untuk
berfungsi sel-sel ini dibantu oleh sel-sel lain yang memproses dan menyajikan mikroba
serta melepaskan berbagai mediator, sehingga terjadi respon inflamasi yang
39
dikehendaki. Untuk menimbulkan respon antibodi, sel B dan sel T harus berinteraksi
satu dengan yang lain. Hal ini diawali dengan tertangkapnya mikroba oleh makrofag
atau monosit yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan
antigen mikroba kepada sel Th. Makrofag menangkap mikroba yang telah diopsonisasi
dengan IgG, melakukan endositosis, memproses antigen lalu menampilkannya
kembali (eksositosis) bersama-sama dengan ekspresi MHC kelas II kepada sel Th.
Atas pengenalan itu sel Th merangsang sel B untuk memproduksi antibodi spesifik
terhadap mikroba bersangkutan.
3. Interaksi antara mikroba dengan sistem imun Beberapa jenis bakteri mampu
menghindarkan diri dari proses fagositosis dan respons imun dengan beberapa cara,
yaitu: a) Memproduksi toksin yang menghambat kemotaksis b) Membentuk kapsul
sehingga fagosit tidak dapat melekat c) Memproduksi molekul-molekul yang
menghambat proses fusi lisosom dengan fagosom, atau substansi yang menghambat
magrofag bereaksi dengan IFN d) Menggangu fungsi magrofag sebagai APC e)
Memproduksi substansi ekstraseluler (slime) yang menghambat fagositosis oleh PNM.
Disamping itu, infeksi bakteri dapat menyebabkan penurunan produksi sitokin pro-
inflamatorik seperti TNF-α, IL-1β, IL-6 yang diperlukan melawan bakteri. Penglepasan
sitokin secara berlebihan akibat rangsangan endotoksin bakteri gram negatif, dapat
mengakibatkan DIC dengan konsekuensi gangguan pembekuan darah, perubahan
permeabilitas vascular, kolaps sirkulasi dan nekrosis hemoragik. Mekanisme
terjadinya kelainan ini diduga karena sitokin seperti TNF dan IL-1 menyebabkan
ekspresi molekul adhesi pada endotel dan penglepasan tromboplastin jaringan,
sehingga meningkatkan adhesi sel-sel dalam sirkulasi dan aktivasi faktor-faktor
pembekuan. Sebaliknya sistem imun mempunyai banyak cara untuk melawan upaya
bakteri di atas, agar fagositosis tetap dapat berlangsung. Berbagai jenis antibodi
spesifik yang dimiliki seseorang sangat membantu hal ini. Pertama-tama antibodi
berguna dalam menetralisir toksin. Antibodi dapat mengikat toksin demikian rupa
sehingga toksin tidak dapat bereaksi dengan substrat. Dengan terikatnya toksin oleh
antibodi, terbentuklah kompleks yang dapat dihancurkan oleh fagosit, khususnya
apabila kompleks itu berukuran besar akibat bereaksi dengan anti-IgG atau anti-C3b
yang terdapat sebagai autoantibodi alami. Opsonisasi bakteri dengan antibodi dan
komplemen mempermudah fagosit melekat pada bakteri karena fagosit memiliki
reseptor-reseptor untuk fragmen Fc IgG dan untuk C3b. Perlekatan bakteri pada
permukaan mukosa dicegah dengan melapisi bakteri dengan IgA sekretorik (sIgA).
Bila bakteri dapat mengatasi sawar IgA dan tetap dapat menembus mukosa, maka
sistem imun berikutnya yang bekerja adalah IgE, terutama yang melekat pada
mastosit. Proses selanjutnya adalah degranulasi mastosit dan penglepasan berbagai
mediator sehingga terjadi reaksi inflamasi lokal. Sel-sel PNM yang tiba ditempat infeksi
selanjutnya melakukan fagositosis, tetapi bila bakteri bersangkutan ternyata berukuran
besar dan sulit difagositosis, bakteri dihancurkan melalui mekanisme sitotoksisitas
dengan bantuan antibodi (antibody dependent cell mediated cytotoxicity, ADCC).
Respon Imun terhadap Bakteri Intraselular Sejumlah bakteri dan semua virus serta
jamur dapat lolos dan mengadakan replikasi di dalam sel pejamu. Yang paling
patogen diantaranya adalah yang resisten terhadap degradasi dalam makrofag,
contohnya mikrobakteria dan Listeria monocytogenes.

Imunitas Alamiah terhadap Bakteri Intraselular


Mekanisme terpenting imunitas alamiah terhadap mikroorganisme intraselular adalah
fagositosis. Akan tetapi bakteri patogen intraselular relatif resisten terhadap degradasi
dalam sel fagosit mononuklear. Oleh karena itu, mekanisme kekebalan alamiah ini tidak

40
efektif dalam mencegah penyebaran infeksi sehingga sering menjadi kronik dan
eksaserbasi yang sulit diberantas.
Respon Imun Spesifik terhadap Bakteri Intraselular
Respon imun spesifik terhadap bakteri intraselular terutama diperankan oleh Cell Mediated
Immunity (CMI). Mekanisme imunitas ini diperankan oleh sel limfosit T tetapi fungsi
efektornya untuk eliminasi bakteri diperani oleh makrofag yang diaktivasi oleh sitokin yang
diproduksi oleh sel T terutama interferon a (IFN a). Respons imun ini analog dengan reaksi
hipersensitivitas tipe lambat. Antigen protein intraselular merupakan stimulus kuat sel
limfosit T. Beberapa dinding sel bakteri mengaktivasi makrofag secara langsung sehingga
mempunyai fungsi sebagai ajuvan, misalnya muramil dipeptida pada dinding sel
mikrobakteria. Telah disebutkan di atas bahwa fungsi sel limfosit T pada CMI adalah
produksi sitokin terutama IFN a. Sitokin IFN a ini akan mengaktivasi makrofag termasuk
makrofag yang terinfeksi untuk membunuh bakteri. Beberapa bakteri ada yang resisten
sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini akan menimbulkan
pengumpulan lokal makrofag yang teraktivasi membentuk granuloma di sekeliling
mikroorganisme untuk mencegah penyebarannya. Reaksi inflamasi seperti ini berhubungan
dengan nekrosis jaringan serta fibrosis yang luas sehingga menyebabkan gangguan fungsi
yang berat. Jadi, kerusakan jaringan ini disebabkan terutama oleh respons imun terhadap
infeksi oleh beberapa bakteri intraselular. Contoh yang jelas dalam hal ini adalah infeksi
mikobakterium. Mikobakterium tidak memproduksi toksin atau enzim yang secara langsung
merusak jaringan yang terinfeksi. Paparan pertama terhadap Mycobacterium tuberculosis
akan merangsang inflamasi selular lokal dan bakteri mengadakan proliferasi dalam sel
fagosit. Sebagian ada yang mati dan sebagian ada yang tinggal (dormant). Pada saat yang
sama, pada individu yang terinfeksi terbentuk imunitas sel T yang spesifik. Setelah terbentuk
imunitas, reaksi granulomatosa dapat terjadi pada lokasi bakteri persisten atau pada
paparan bakteri berikutnya. Jadi, imunitas perlindungan dan reaksi hipersensitif yang
menyebabkan kerusakan jaringan adalah manifestasi dalam respons imun spesifik yang
sama.
Terapi Imunoglobulin pada Infeksi Pada keadaan infeksi bakteri yang berat, dapat terjadi
kelelahan respons imun (exhaustion) pada individu yang mempunyai respons imun yang
normal dan keadaan ini dapat terjadi pelepasan berbagai mediator yang merangsang
timbulnya syok septik. Dalam keadaan ini terapi penunjang dengan intravenous
immunoglobuline (IVIG) dapat diberikan. Terapi IVIG ini secara pasif untuk membantu
sistem imun tubuh dengan antibodi yang spesifik terhadap bakteri serta eksotoksin dan
endotoksin yang sesuai. Distribusi subkelas IgG harus mirip seperti dalam plasma normal
dan sanggup memicu eliminasi antigen secara imunologik. Pemberian IVIG dosis tinggi
harus dilakukan dalam jangka pendek tanpa risiko penekanan terhadap sistem imun
endogen. Terdapat 2 jenis preparat IVIG, yaitu yang dipecah oleh plasmin dan yang dipecah
oleh pepsin. 1. Plasmin memecah molekul IgG 7S pada tempat spesifik, yaitu ikatan
disulfida pada tempat CHI yang berseberangan dari rantai berat. Keadaan ini akan
melepaskan dua fragmen Fab bebas dan satu fragmen Fc. Efek aktivasi komplemen tidak
bertahan lama tetapi meninggalkan efek imunosupresif. Oleh karena itu, sering digunakan
pada terapi penyakit autoimun. Hanya IgG 2 yang resisten terhadap plasma sehingga masih
mengandung sekitar 25% IgG 2. 2. Enzim pepsin memecah keempat subkelas IgG pada sisi
di bawah ikatan disulfida kedua rantai berat molekul imunoglobulin. Pemecahan oleh pepsin
ini menghasilkan fragmen IgG dengan 2 rantai pengikat antigen yang masih berhubungan
dengan ikatan disulfida yang disebut Fab2. Fragmen Fc-nya dengan cepat dimetabolisme
sebagai polipeptida dan diekskresi melalui ginjal sehingga tidak mempunyai peran imunologi
lagi. Oleh karena itu, preparat IVIG ini bebas dari fragmen Fc sehingga tidak menyebabkan
supresi sistem imun endogen. Preparat IVIG yang hanya mengandung 2 fragmen F(ab)2
akan migrasi ke regio 5S pada sentrifugasi, mempunyai indikasi khusus dalam situasi klinis
41
pada saat sistem imun mengalami kelelahan karena infeksi akut yang berat. Oleh karena itu,
pengobatan IVIG 5S dosis tinggi diperlukan untuk menunjang mekanisme kekebalan pada
pasien yang mengalami gangguan imunitas. Dibandingkan dengan IgG 7S yang mempunyai
waktu paruh sekitar 20 hari, IgG 5S mempunyai waktu paruh lebih pendek yaitu 12-36 jam
sehingga tidak akan mengikat reseptor Fc yang menyebabkan imunosupresi.
B. Respon imun terhadap virus
Virus mempunyai sifat-sifat khusus, diantaranya dapat menginfeksi jaringan tanpa
menimbulkan respon inflamasi, dapat berkembang biak dalam sel penjamu tanpa
merusaknya, ada kalanya menganggu fungsi khusus sel yang terinfeksi tanpa merusaknya
secara nyata dan kadang–kadang virus merusak sel atau menganggu perkembangan sel
kemudian menghilang dari tubuh. Sebagai contoh, golongan virus herpes terdiri atas
sedikitnya 60 jenis, 5 diantaranya sering menyebabkan infeksi terhadap manusia, yaitu
HSV1, HSV2, VZV, CMV dan EBV. Patogenesis infeksi dengan virus ini secara umum
adalah bahwa transmisi terjadi melalui kontak langsung, kecuali pada CMV yang dapat
ditularkan melalui transfusi dan transplantasi, dan bahwa setelah infeksi primer virus herpes
umumnya menetap dalam tubuh. Virus harus menempel dahulu pada sel penjamu sebelum
dapat masuk tubuh, hidup, berkembang biak dan menimbulkan infeksi. Antibodi dalam
sirkulasi (IgG) akan mencegah virus menempel dan hal ini merupakan ppencegahan penting
terhadap infeksi. IgA berperan di saluran napas dan cerna, dapat mencegah virus (seperti
polio) dan mikroba masuk tubuh melalui mukosa. Infeksi virus biasanya dimulai dengan
invasi setempat pada permukaan epitel. Selanjutnya virus masuk ke dalam sirkulasi darah
dan menimbulkan fase viremia dan kemudian invasi sel alat sasaran, seperti kulit, susunan
saraf dan sebagainya. Tubuh memerangi virus yang mempunyai berbagai fase infeksi
melalui bermacam-macam cara. Virus berkembang biak dalam sel sehingga tidak lagi
terpajan dengan antibodi dalam sirkulasi. Bila virus menginfeksi sel, protein virus akan
pecah di dalam sel menjadi peptida-peptida spesifik yang kemuudian diekspresikan dengan
bantuan molekul MHC kelas I di permukaan sel. Dengan demikian peptida tersebut akan
dikenal oleh sel T Helper yang selanjutnya mengaktifkan sel efektor CTC atau T sitotoksik
yang dapat menghancurkan sel terinfeksi virus dengan direk (lethal hit). Sel NK yang
mempunyai reseptor Fc (Fcγ-R) berperan pada ADCC. Seperti halnya respon imun terhadap
mikroorganisme yang lain, respon imun terhadap infeksi virus juga melibatkan respon non-
spesifik dan spesifik. Ada 2 mekanisme utama respon non-spesifik terhadap virus, yaitu: 1)
infeksi virus secara langsung merangsang produksi IFN oleh sel-sel yang terinfeksi: IFN
berfungsi menghambat replikasi virus: 2) sel NK melisiskan berbagai jenis sel terinfeksi
virus. Sel NK mampu melisiskan sel terinfeksi virus, walaupun virus menghambat presentasi
antigen dan ekspresi MHC1, karena sel NK cenderung diaktivasi oleh sasaran yang MHC-
negatif.

42
Gambar I. Mekanisme yang berperan pada pertahanan terhadap berbagai fase infeksi virus
1. Interferon dan IgA merupakan pertahanan pertama pada epitel permukaan. 2. Beberapa
virus berkembang dalam epitel permukaan. Ada virus yang mempunyai lebih dari satu masa
viraemi dan selama ada dalam darah virus tersebut rentan terhadap antibodi. 3. Virus di
dalam sel diserang berbagai komponen sistem imun humoral dan seluler dan atau antibodi
melalui ADCC. 4. Pada umumnya pemusnahan virus di dalam sel menguntungkan tubuh,
tetapi reaksi imun yang terjadi dapat menimbulkan pula kerusakan jaringan tubuh yang
disebut imunopatologik.

Gambar II. Mekanisme pertahanan terhadap virus

43
Gambar III. Siklus hidup virus yang umum
1. Virion diabsorpsi sel penjamu melalui reseptor. 2,3 Virus menembus sel dan melepaskan
mantelnya. 4. Infeksi terjadi melalui beberapa fase yang bergantung pada jenis virus.
Berbagai komponen virus dibentuk di dalam sitoplasma dan atau nukleus sel. Selanjutnya
komponen-komponen tersebut menyatukan diri sehingga terbentuk virus yang matang. 5.
Virus dilepas melalui budding membran sel. 6. Virus dapat pula menyebar dari sel satu ke
sel yang lain melalui kontak tanpa adanya virus yang dilepas ke luar sel. 7. Beberapa virus
tetap tinggal di dalam sel yang dapat diaktifkan sewaktu-waktu. 8. Beberapa virus mampu
menyatukan bahan genetiknya dengan genom sel pejamu dan tinggal laten. Selanjutnya sel
menjadi produktif. 9. Atau pada keadaan tertentu melalui transformasi sel menjadi
neoplastik. 10,11 Beberapa infeksi virus terjadi abortif, dalam hal ini, sel yang mengandung
virus akhirnya mati juga. Untuk membatasi penyebaran virus dan mencegah infeksi, sistem
imun harus mampu menghambat masuknya virion ke dalam sel dan memusnahkan sel yang
terinfeksi. Antibodi spesifik mempunyai peran penting pada awal terjadinya infeksi, dimana
ia dapat menetralkan antigen virus dan melawan virus sitopatik yang dilepaskan oleh sel-sel
yang mengalami lisis. Peran antibodi dalam menetralkan virus terutama efektif untuk virus
yang bebas atau virus dalam sirkulasi. Proses netralisasi virus dapat dilakukan dengan
beberapa cara, di antaranya dengan menghambat cara perlekatan virus terhadap reseptor
yang terdapat pada permukaan sel, sehingga virus tidak dapat menembus membran sel,
dengan demikian replikasi virus dapat dicegah. Antibodi dapat juga menghancurkan virus
dengan cara aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau menyebabkan agregasi virus
sehingga mudah difagositosis dan dihancurkan melalui proses yang sama seperti diuraikan
di atas. Antibodi dapat mencegah penyebaran virus yang dikeluarkan dari sel yang telah
hancur. Tetapi seringkali antibodi tidak cukup mampu untuk mengendalikan virus yang telah
mengubah struktur antigennya dan yang melepaskan diri ( budding off ) melalui membran
sel sebagai partikel yang infeksius, sehingga virus dapat menyebar ke dalam sel yang
berdekatan secara langsung. Jenis virus yang mempunyai sifat seperti ini, diantaranya
adalah virus oncorna ( termasuk di dalamnya virus leukemogenik ), virus dengue, virus
herpes, rubella dan lain-lain. Walaupun tidak cukup mampu menetralkan virus secara
langsung, antibodi dapat berfungsi dalam reaksi ADCC. Disamping respon antibodi, respon
imun selular merupakan respon yang paling penting, terutama pada infeksi virus yang non-
sitopatik. Respon imun seluler melibatkan T-sitotoksik, sel NK, ADCC dan interaksi dengan
MHC kelas I. Peran IFN sebagai anti-virus cukup besar, khususnya IFN-α dan IFN-β.
Dampak anti-virus dari IFN dapat terjadi melalui: a) Peningkatan ekspresi MHC kelas I b)
Aktivasi sel NK dan makrofag c) Menghambat replikasi virus d) Menghambat penetrasi virus
ke dalam sel maupun budding virus dari sel yang terinfeksi Seperti halnya pada infeksi

44
dengan mikroorganisme lain, sel T sitotoksik selain bersifat protektif juga dapt merupakan
penyebab kerusakan jaringan, misalnya yang terlihat pada infeksi dengan virus LCMV
(lynphocyte choriomeningitis virus) yang menginduksi inflamasi pada selaput susunan saraf
pusat. Pada infeksi virus makrofag juga dapat membunh virus seperti hanya ia membunuh
bakteri. Tetapi pada infeksi dengan virus tertentu, makrofag tidak membunuhnya bahkan
sebaliknya virus memperoleh kesempatan untuk replikasi di dalamnya. Telah diketahui
bahwa virus hanya dapat berkembang biak intraseluler karena ia memerlukan DNA-penjamu
untuk replikasi. Akibatnya ialah bahwa virus selanjutnya dapat merusak organ-organ tubuh
yang lain terutama apabila virus itu bersifat non-sitopatik ia menyebabkan infeksi kronik
dengan menyebar ke sel-sel lain. Pada infeksi sel secara langsung di tempat masukya virus
(port d‘entre), misalnya di paru, virus tidak sempat beredar dalam sirkulasi dan tidak sempat
menimbulkan respons primer, dan antibodi yang dibentuk seringkali terlambat untuk
mengatasi infeksi. Pada keadaan ini respons imun seluler mempunyai peran lebih menonjol,
karena sel T sitotoksik pada penderita yang tersensitisasi bersifat sitotoksik lansung
terhadap sel yang terinfeksi virus. Sel T sitotoksik mampu mendeteksi virus melalui reseptor
terhadap antigen virus sekalipun struktur virus telah berubah. Sel T sitotoksik kurang
spesifik dibandingkan antibodi dan dapat melakukan reaksi silang dengan spektrum yang
lebih luas. Namun ia tidak dapat menghancurkan sel sasaran yang menampilkan MHC kelas
I yang berbeda. Beberapa jenis virus dapat menginfeksi sel-sel sistem imun sehingga
menganggu fungsinya dan mengakibatkan imunodepresi, misalnya virus influensa, piloi, dan
HIV. Sebagian besar infeksi virus membatasi diri sendiri (self limiting), pada sebagian lagi
menimbulkan gejala klinil atau subklinik. Penyembuhan dari infeksi virus umumnya diikuti
imunitas jangka panjang.

Gambar IV. Skema infeksi virus dan respons imun menunjukkan berbagai kemungkinan.
C. Respon imun terhadap Jamur
Seperti pada umumnya infeksi oleh mikroorganisme lain seperti bakteri dan parasit, respon
imun tubuh terhadap jamur terdiri atas respon alamiah dan juga adaptif. Respon imun
alamiah berperan sebagai barier pertahanan pertama yang melawan masuknya patogen ke
dalam tubuh. Respon imun adaptif merupakan mekanisme lanjutan dari respon imun
alamiah untuk dapat mengeradikasi patogen di dalam tubuh. Produk akhirnya pada respon
imun adaptif adalah terbentuknya sel memori terhadap antigen spesifik.
Infeksi Aspergilus pada host diawali dengan inhalasi konidia Aspergillus dan internalisasi ke
dalam sel host. Sebagian besar konidia yang masuk dalam saluran nafas bagian atas dapat
dieliminasi oleh gerakan silia epitel pseudokolumner kompleks. Respon untuk menghindari
45
sistem eliminasi oleh host terjadi melalui produksi protein tertentu. A. fumigatus mampu
mensintesis protein gliotoksin, fumagillin, serta asam helvoik yang mampu menghambat
pergerakan silia, serta memfasilitasi proses internalisasi konidia pada sel endotel dan sel
epitel.
Tahap yang paling pertama dari aktivasi sistem imun terhadap konidia adalah tahap
pengenalan molekul permukaan yang khas antara sel imun (makrofag) dengan konidia.
Konidia yang masuk ke dalam jaringan tubuh host dapat dikenali melalui struktur Pathogen
Associated Molecular Patterns (PAMPS) khas yang tidak dimiliki oleh organisme lain.
Makrofag akan mengenali struktur PAPMS konidia melalui Pattern Recognition Receptor
(PRRs) yang spesifik. Terdapat 2 bentuk PPRs yaitu bentuk yang melekat pada permukaan
sel serta bentuk yang disekresikan. PPRs yang melekat pada permukaan sel imun antara
lain Toll like receptors (TLRs), Mannan binding lectin (MBL) dan C-type lectin receptor/ CLR
(dectin-1). PPRs yang terdapat dalam bentuk sekresi antara lain Lung surfactant proteins A
dan D (SP-A and SP-D).
PPRs yang spesifik akan mengenali stuktur yang terdapat pada permukaan dinding sel
jamur. TLR merupakan kelas mayor PRRs yang berperan penting dalam respon imun
terhadap jamur. Dua subtipe TLR yang berperan penting dalam proses ini antara lain TLR2
dan TLR4. TLR2 berperan penting untuk mengenali struktur zimosan, fosfolipomanan serta
glukuronoksilomanan (GXM) pada dinding sel jamur. TLR4 berperan penting untuk
mengenali struktur glukoronoksilomanan dan O-linked mannan. Dectin-1 akan mengenali
struktur β-glucan sedangkan ketiga bentuk PRRs yang tersekresi (SP-A, SP-D dan MBL)
akan mengenali gugus karbohidrat pada permukaan jamur.
Pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS akan menginduksi berbagai proses imun
dalam rangka mengeliminasi patogen. Pengenalan PAMPS melalui dektin-1 , TLR2, dan
TLR4 akan meningkatkan pembentukan sitokin proinflamatori tumor necrotic factor-α/ TNF-α
(Gambar 1).5,6,7 Pengenalan PAMPS melalui SP-A dan SP-D berperan penting untuk
meningkatkan kemotaksis, fagositosis, oxidative killing, serta aglutinasi konidia. Selain itu,
pengenalan antara PRRs dengan struktur PAMPS juga berperan tenting dalam peningkatan
sekresi kemokin Macrophage Inflammatory Protein (MIP) dan protein antimikrobial. MIP-1
dan MIP-2 berperan penting dalam induksi kemotaksis ke jaringan lesi. Selain itu, kemokin
ini juga berperan penting untuk menginduksi diferensiasi netrofil dan monosit menjadi
makrofag.
Eradikasi konidia oleh sel makrofag terjadi melalui proses fagositosis. Pada tahap awal,
konidia yang telah diinternalisasi oleh makrofag akan berada di dalam fagosom. Pada tahap
lanjut, eradikasi konidia terjadi melalui proses asidifikasi dan pembentukan Reactive Oxygen
Intermediet (ROI) di fagolisosom. Fagolisosom sendiri terbentuk dari fusi antara fagosom
dengan lisosom. Sebanyak 90% konidia yang diinternalisasi oleh makrofag akan mati dalam
24 jam. Sepuluh persen sisanya akan berkembang menjadi bentuk hifa atau tetap bertahan
dalam bentuk resting conidia.
Bentuk morfologi resting conidia, germinating conidia serta hifa merupakan aktivator
potensial kaskade komplemen. Bentuk morfologi yang berbeda akan mengaktivasi
komplemen dari jalur yang berbeda pula. Bentuk resting conidia akan menginduksi aktivasi
komplemen melalui jalur alternatif (alternative pathways), sedangkan bentuk hifa akan
menginduksi aktivasi komplemen melalui jalur klasik (classical pathways).
Hifa yang tumbuh ke ruang ekstraseluler (menembus makrofag) akan menginduksi aktivasi
sistem imun ekstraseluler. Aktivasi sistem imun ekstraseluler ditandai dengan terjadinya
proses inflamasi, sekresi ROI ke ekstraseluler, peningkatan kemotaksis netrofil dan
peningkatan produksi peptide antimikrobial. Terjadinya proses inflamasi ditandai dengan
peningkatan sitokin TNF-α , interleukin-15 (IL-15) dan IL-8.2 Sebanyak 50% hifa yang
tumbuh ke ruang ekstraseluler akan mati dalam 2 jam.1

46
Resting conidia berupakan bentuk yang resisten terhadap proses eradikasi oleh sel imun.
Bentuk morfologi ini lebih resisten terhadap sekresi ROI dan kationik peptide oleh sel
netrofil. Selain itu, internalisasi resting konidia oleh netrofil hanya mampu menginduksi
proses degranulasi dan respiratory burst yang lemah. Respon netrofil akan meningkat jika
bentuk morfologi resting konidia ini berubah menjadi bentuk morfologi resting conidia
swelling.1 Pada pasien neutropeni, peranan netrofil akan digantikan oleh Natural killer (NK)
dan platelet. Namun bagaimana mekanisme imun pada NK maupun platelet ini masih belum
jelas.
Sel dendritik (DCs) merupakan sel yang menghubungkan antara sistem imun alamiah dan
adaptif. DCs mampu memfagositosis jamur dalam bentuk bentuk konidia maupun hifa
melalui PRRs yang berbeda. DCs pulmoner yang telah menginternalisasi Aspergillus akan
menjadi matur dan bermigrasi ke organ limfoid sekunder untuk menginduksi sistem imun
adaptif (pembentukan sel T helper). Pengenalan morfologi tertentu oleh TLR2 dan TLR4
pada permukaan DCs akan menstimulus respon imun yang berbeda.
Respon imun seluler (Cell Mediated Immunity/ CMI) akan terinduksi oleh pengenalan
konidia Aspergillus oleh DCs melalui TLR4. Sel imun yang berperan dalam pada mekanisme
imun ini adalah Sel Th1. Aktivasi sel Th1 akan menginduksi terjadinya proses inflamasi
untuk menghilangkan patogen intraseluler. Beberapa sitokin proinflamasi yang perperan
dalam mekanisme ini antara lain interferon-ɣ (IFN-ɣ), IL-6, IL-12, TNF-α serta Granulocyte-
Macrophage Colony Stimulating Factor (GM-CSF).
Respon imun humoral akan terinduksi oleh pengenalan hifa Aspergillus oleh DCs melalui
TLR 2. Sel imun yang berperan dalam mekanisme imun ini adalah Sel Th2. Aktivasi sel Th2
akan menginduksi aktivasi sel plasma (sel efektor) untuk mensekresikan immunoglobulin
pada permukaan selnya untuk menjadi antibodi. Proses isotope switching akan
memfasilitasi terbentuknya berbagai antibodi oleh sel plasma. Antibodi utama yang berperan
pada infeksi jamur adalah IgE. IgE akan menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe cepat
(alergi) melalui mekanisme Antibody Derived Cell Cytotoxicity (ADCC). Mekanisme ADCC
dimulai dengan pengenalan antara kompleks IgE pada permukaan hifa Aspergillus dengan
sel efektor (eosinofil, basofil, sel mast) melalui Fc reseptor. Proses ini akan menginduksi
terjadinya degranulasi mediator histamin, leukotrien, dan Major Basic Protein (MBP) dari sel
efektor. Proses degranulasi akan menginduksi terjadinya kerusakan jaringan.
Bentuk morfologi hifa memiliki karakteristik khas yang mampu menginduksi terjadinya infeksi
kronis. Bentuk hifa mampu memproduksi kolagenase, elastase dan protease yang berperan
penting dalam destruksi matriks ekstraseluler secara lansung. Bentuk morfologi hifa juga
mampu melekat pada matriks ekstraseluler. Kedua hal inilah yang akan memfasilitasi
terjadinya infeksi yang kronis dan progresif, dimana proses remodeling jaringan akan diikuti
oleh terjadinya kerusakan jaringan kembali.
Respon imun Th1 berperan sebagai faktor proteksi terhadap infeksi jamur dibandingkan
dengan Th2. Aktivasi pada sistem imun hormonal digunakan oleh jamur untuk menghindar
dari sistem imun seluler. Hal ini dianggap menguntungkan bagi jamur oleh karena jamur
dapat menghindar dari aktivitas respiratory burst dan juga menghindar dari terdapatnya
sekresi antifungal yang diinduksi oleh aktivasi sel
MEKANISME JAMUR DALAM MENGHINDARI SISTEM IMUN TUBUH
Sistem imun yang sempurna akan mampu mengeliminasi seluruh patogen (bakteri, parasit
maupun jamur) yang masuk dalam tubuh host. Namun, pada kenyataannya tiap patogen
mempunyai mekanisme tertentu untuk dapat menghindar dari sistem imun host. Secara
umum terdapat enam mekanisme yang memungkinkan bagi jamur untuk menghindar dari
sistem imun host. Mekanisme tersebut antara lain :
1. Menghindari pengenalan struktur PAMPs yang menginduksi respon inflamasi
Jamur mampu beradaptasi terhadap keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi
perkembangannya melalui perubahan bentuk morfologi (switching fenotip).
47
a. A. fumigatus menghindari sistem imun proinflamasi (respon imun seluler) melalui
pembentukan hifa. Bentuk morfologi hifa akan dikenali oleh sel imun humoral melalui
struktur TLR4.6,7
b. C. Albicans menghindari sistem imun seluler melalui bentuk morfologi tunas (budding).
Bentuk morfologi ini akan sulit dikenali oleh dektin-1 oleh karena terjadinya penutupan pada
struktur β-glukan
c. Histoplasma capsulatum menghindari sistem imun seluler melalui penutupan struktur β-
glukan oleh α (1,3) glukan. Struktur α (1,3) glukan ini tidak mampu dikenali oleh PRRs.
d. Cryptococcus neoformans menghindari sistem imun seluler melalui penutupan struktur
glukoronoksilomanan (GXM) dengan kapsul ekstraseluler. Hal ini akan mengakibatkan
penekanan produksi sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-1β.
e. Coccidiodes Posadasii menghindari sistem imun seluler melalui sekresi metalloproteinase
(Mep1) yang mampu mendestruksi struktur PAMPs Coccidiodes Posadasii di fase
endospora yang berupa SOWgp.
2. Modulasi sinyal inflamasi
a. C. Albicans dan A. fumigatus menghindari sistem imun seluler melalui induksi pengenalan
PAMPs melalui TLR2. Aktivasi sistem imun humoral akan menghambat aktivitas antihifa dan
proses respiratory bust oleh monosit.
b. C. neoformans memiliki kapsul yang mengandung polisakarida glukoronoksilomanan
yang merupakan aktivator antiinflamasi IL-10 oleh monosit dan aktivator sitokin proinflamasi
Th2.
c. C. neoformans memiliki pigmen melanin yang akan menginduksi sekresi sitokin IL-4 dari
Th2.
d. Blastomyces dermatitidis (penyebab mikosis pulmoner dan sistemik yang progresif)
menghindari sistem imun dengan cara membatasi produksi sitokin pro-inflamasi TNF-α. Hal
ini diperantarai oleh perlekatan antara molekul adhesi dan faktor virulensi BAD1 yang
berada dipermukaan jamur dengan reseptor komplemen 3 pada permukaan makrofag..
Pembentukan molekul pengumpan pada permukaan sel jamur (Shedding of decoy conents)
Pada dasarnya pembentukan molekul pengumpan yang mirip dengan struktur PAMPS pada
permukaan sel jamur akan menggantikan fungsi pengenalan antara PAMPS dengan PRRs
yang sesuai. Dengan terjadinya pengenalan pada struktur ini, maka akan terjadi bloking
pada reseptor PRRs. Pneumocystis jiroveci (sebelumnya dikenal dengan Pneumocystis
carinii) membentuk strukur kompleks antigen permukaan yang imatur sebagai molekul
pengumpan. Antigen permukaan Pneumocystis jiroveci pada keadaan matur tersusun atas
komplek glikoprotein A (GpA) yang terglikolisasi dengan mannose, glukosa, dan galaktosa.
Antigen ini akan dikenali oleh reseptor mannose pada permukaan makrofag alveolar (AMs).
Pembentukan kompleks antigen yang imatur akan mengakibatkan terjadinya blok secara
kompetitif terhadap fungsi reseptor mannose. Peristiwa ini akan mengakibatkan terjadinya
gangguan fungsi fagositosis pada sel makrofag. Selain itu, Pneumocystis juga mampu
menghindari pengenalan reseptor manose yang terdapat dalam bentuk sekresi.
4. Menghindar dari respon fagositosis
Salah satu cara yang dilakukan oleh jamur untuk dapat menghindari immune surveillance
dan fagositosis, adalah dengan cara bersembunyi pada sel yang bersifat nonfagositik.
a. Konidia A. fumigatus dapat diinternalisasi di dalam sel lini epithelial manusia dan mampu
hidup dalam jangka waktu yang lama. Konidia yang diinternalisasi oleh sel epitel saluran
nafas akan menghambat produksi sitokin pro-inflamasi IL-6 dan IL-8, sedangkan konidia
yang diinternalisasi oleh sel pneumosit tipe II akan bersembunyi didalam late endosom.
b. C. albicans mampu menginduksi internalisasi oleh sel endothelial host melalui N-
cadherin.
c. C. neoformans mampu menginduksi internalisasi pada sel endothelial mikrovaskuler
sehingga mampu melewati sawar darah otak dan menyebabkan meningitis.
48
5. Kemampuan bertahan dengan cara membentuk morfologi yang baru (persistence despite
adversity).
Pada dasarnya melalui mekanisme ini, jamur yang telah diinternalisasi akan bertahan dari
mekanisme destruksi sel fagositik dengan cara membentuk morfologi yang baru.
a. C. neoformans membentuk varian koloni mukoid yang mampu memproduksi kapsul
polisakarida GXM yang lebih besar. Hal ini akan mengakibatkan kesulitan bagi makrofag
alveolar untuk dapat melakukan fagositosis. C. neoformans yang berhasil difagositosis oleh
makrofag juga akan bertahaan hidup dengan cara menghambat trafficking lisosom untuk
mencegah fusi dengan fagosom serta menginduksi terjadinya vakuolisasi sitoplasmik pada
sel makrofag.
b. C. albicans yang diinternalisasi dalam makrofag mampu menghindar dari proses destruksi
melalui berbagai proses. Upaya yang pertama untuk menghindari proses destruksi
intraseluler adalah dengan membentuk fase hibernasi. Pada tahap selanjutnya mekanisme
menghindar yang dilakukan adalah melalui induksi fusi lisosom dengan fagosom pada fase
dini (early endosom). Aktivasi terhadap gen NO-scavenging flavohemoglobin, mampu
mengubah zat NO yang diproduksi oleh makrofag menjadi senyawa lain dengan toksisitas
yang lebih rendah. Semua proses tersebut akan memfasilitasi jamur untuk menghindari
proses destruksi intraseluler sehingga mampu berkembang menjadi bentuk morfologi hifa.
c. Histoplasma capsulatum dapat hidup dalam jangka panjang didalam sel makrofag dengan
cara menghambat fusi fagolisosom, mengatur PH fagolisosom, serta menghambat
pelepasan toxic superoxide radicals.
6. Evasi komplemen.
Jamur memiliki dinding sel yang tebal dan bersifat resisten terhadap pembentukan
Membrane Attack Complex (MAC) oleh sistem komplemen. Sekresi pigmen melanin pada
permukaan konidia A. fumigates akan menghambat deposisi komplemen C3 dan
menghambat aktivasi netrofil. Konidia A. fumigates juga menekan (down regulate) kaskade
komplemen melalui pengikatan faktor H (protein regulator alternative pathways) serta faktor
FHL-1 dan C4BP (protein regulator classical pathways).

IMUNOPATOGENESIS INFEKSI CACING, PLASMODIUM, PROTOZOA


Parasit-parasit yang menyerang manusia dapat dibagi atas dua grup, yaitu organisme
protozoa dan organisme metazoa, seperti Cestode, Trematode, dan Nematode. Kedua
golongan ini, selain berbeda dalam hal morfologinya, berbeda pula dalam hal tingkat dan
derajat kelaiana patologiknya, serta respons imunologik yang timbul karenanya. Infeksi
dengan protozoa, biasanya bersifat intraseluler pada tahap-tahap penyenangan jaringan
(tissue-invading) daripada organisme tersebut. Mereka dengan segera bermultiplikasi di
dalam sel-sel dan jaringan hospes, sehingga penyakit yang timbul berkembang sangat
cepat. Sebaliknya, golongan metazoa lebih bersifat ekstraseluler, dan biasanya tidak
bermultiplikasi didalam hospes definitif. Akibatnya penyakit yang timbul lebih bersifat kronis
dan simtomsnya lebih bersifat non-spesifik. Respons imunitas humoral lebih timbul apabila
parasit berada dalam bentuk atau tahap ekstraseluler dan/atau berada dalam sirkulasi darah
(sistemik). Sebaliknya, bila parasit berada dalam bentuk intraseluler, maka respons imun
yang bangkit adalah sistem imunitas seluler. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah parasit-
parasit golongan metazoa lebih menyebabkan timbulnya reaksi hipersensitivitas tipe cepat,
dan tanda-tanda eosinofilia yang jelas terlihat pada infeksi parasit jenis ini. Keadaan ini
disebabkan karena peranan imunitas humoraI, yaitu mekanisme yang dibawakan oleh IgM.
Kekebalan terhadap infeksi parasit merupakan gabungan antara innate immunity dan
naturally acquired immunity. Manifestasi imunitas dapat beroperasi lewat dua jalan, yaitu :
l. Sebagian mempengaruhi parasit secara langsung, misalnya :
a. Mencegah penetrasi parasit, sehingga infeksi dapat dicegah.

49
b. Menghambat perkembangan parasit, sehingga tetap dalam suatu tahap tertentu. Imunitas
semacam ini harus terus menerus berfungsi, sebab telah dibuktikan pada parasit
Nippostrongylus brasiliensis, bila imunitas menurun atau parasit dipindahkan ke hospes
yang non-imun, maka siklus parasit yang tadinya berhenti akan berlanjut lagi.
c. Menghambat migrasi parasit pada jaringan, misalnya seperti yang terjadi pada parasit
Ascaris, maka migrasi ke paru dapat ditekan.
d. Memperlambat migrasi, sehingga parasit diperlambat mencapai Final site, sepenti halnya
parasit Schistosoma yang ada lama di daerah sirkulasi intrahepatik.
e. Mencegah parasit bermultiplikasi, sehingga penyebaran infeksi dapat ditekan.
f. Menghalangi terjadinya parasitemia, sehingga dengan demikian parasit tidak diedarkan
ke seluruh tubuh melalui jalur sistemik.
g. Menimbulkan perubahan terhadap komponen structural maupun fisiologik, seperti
timbulnya antibodi terhadap enzim-enzim lipase dan protease pada glandula esophagus
cacing tambang.
2. Sebagian mempengaruhi parasit secara tidak langsung, yaitu dengan jalan mengubah
pengaruh parasit terhadap hospesnya, sehingga menimbulkan penurunan morbiditas dan
mortalitas. Bila acquired immunity timbul, maka parasit tidak dapat keluar maksimal. Oleh
karena itu, imunitas pada penyakit parasit sering disebut Sterile immunity. Yang lebih
menonjol peranan imunologik pada infeksi dengan parasit ini ialah lebih berfungsi untuk
mengontrol jumlah parasit dalam batas-batas patogenik yang rendah, serta mencegah
timbulnya hiperinfeksi dan/atau reinfeksi. Adanya keseimbangan antara parasit dengan
respons imun ini ternyata merupakan keadaan yang penting, dan hal inipun berlaku pada
keadaan dimana kita harus memberikan terapi pada penyakit parasit. Sebab bila
pengobatan dilakukan secara radikal, maka tubuh akan kehilangan rangsangan antigen
asing yang dipresentasikan parasit bila masih "tertinggal " di dalam tubuh .
Parasit mengandung berbagai macam antigen, baik somatik maupun metabolik, sebagian
dapat dikategorikan sebagai stage specific dan bersifat sementara, sedangkan yang lain
bersifat lebih permanen sehingga dapat menginduksi respons imun yang agak divergen.
Respons imunitas ini akan lebih kompleks lagi dengan adanya kenyataan bahwa banyak
parasit mempunyai keantigenan yang mirip, tidak saja dengan parasit lain, tetapi juga
dengan antigen hospes itu sendiri. Dengan keantigenan yang kompleks ini, maka tidaklah
mengherankan kalau respons imunitas humoral dan Simposium Masalah Penyakit Parasit
seluler dapat timbul karenanya. Oleh karena itu pula, infeksi oleh satu macam parasit dapat
merupakan efek imuno-potensiasi terhadap organisme parasit lain. Yang merupakan
masalah ialah adanya kenyataan bahwa walaupun respons imunitas hospes tersebut cukup
kompeten, namun kenyataannya parasit dapat hidup, tidak saja berhari-hari tetapi juga
sampai berbulan-bulan. Berdasarkan fakta-fakta ini, dari berbagai penelitian yang dilakukan
para ahli timbul dua kesimpulan,yaitu:
1.Mekanisme imunitas tubuh mungkin telah gagal melakukan fungsinya
2.Parasit mempunyai sifat-sifat atau mekanisme yang sanggup bertahan terhadap
penolakan reaksi imunologik, baik oleh sistem humoral maupun oleh system seluler.
Bila semua kemungkinan digabung menjadi satu, maka keadaan-keadaan yang
menyebabkan hal-hal tersebut di atas antara lain, ialah :
Penyerangan jaringan hospes oleh parasit terbatas, sehingga stimulasi pada sistem
imunitas dapat dikatakan tidak ada. Keadaan ini seringkali ditemukan pada invasi dengan
parasit-parasit cacing usus.
Tidak terjangkaunya parasit oleh sistem imunitas tubuh, oleh karena selalu berada di dalam
sel-sel hospes. Hal ini ditemukan pada parasit plasmodium pada tahap eksoeritrositik.
Parasit-parasit seringkali mempunyai mantel luar yang merupakan suatu lapisan selaput
yang identik dengan keantigenan jaringan hospes. Hal ini sering ditemukan pada cacing

50
dewasa. Di sekitar parasit mungkin timbul kapsul, misalnya seperti yang lazim ditemukan
pada parasit jaringan, seperti Trichinella spiralis.
Infeksi hospes oleh parasit berada dalam dosis di bawah ambang rangsang. Keadaan ini
terjadi pada infeksi golongan metazoa dimana proses multiplikasi tidak sebaik golongan
protozoa, sehingga jumlah antigen asing yang dapat menstimulasi sistem imunitas sedikit.
Adanya kemampuan parasit dalam mengubah-ubah komposisi antigen selama menginfeksi
hospes, misalnya seperti yang diperlihatkan oleh parasit Schistosoma.
Timbulnya pelepasan komponen antigen baik soluble maupun partikulat dalam jumlah yang
besar, sehingga menimbulkan respons imuno-toleransi. Hal ini dijumpai, misalnya pada
parasit Plasmodium. Selain itu perlu diperhatikan apabila kita memberikan terapi, apakah
obat yang diberikan itu akan menyebabkan parasit melepaskan banyak antigen asing atau
tidak sehingga justru menimbulkan reaksi yang tidak diinginkan.
Timbul suatu antibodi yang justru dapat menjadi blocking factor terhadap serangan imunitas
seluler, karena antibodi telah menyelubungi parasit. Sel limfosit-T tidak dapat mengenali
parasit itu sebagai benda asing, dan keadaan ini dikenal dengan istilah humoral control over
cellular immunity. Hal ini menyebabkan keuntungan bagi parasit tersebut, misalnya yang
ditemukan pada telur parasit Schistosoma.
Kemampuan parasit untuk menghindar dari serangan respons imunitas yang spesifik.
Parasit seperti Schistosoma dapat hidup bertahun-tahun di dalam hospes yang terinfeksi.
Kapasitas parasit untuk bereplikasi di dalam sel-sel fagosit, seperti sel makrofag walaupun
telah tersensitisasi oleh limfokin menjadi activated macrophage. Contohnya ialah
Toksoplasma, yang karena adanya fakta ini, maka diduga parasit mempunyai cara
pertahanan yang unik terhadap proses Intracellular killing.

Parasit dan proses imuno-patologi


Bila tubuh terinfeksi parasit, baik itu golongan protozoa maupun metozoa, maka infeksi
dengan parasit tersebut akan berlanjut menimbulkan penyakit dengan berbagai macam
simtoms. Keluhan-keluhan obyektif maupun kelainan klinik yang ditimbulkan tergantung dari
pada lokalisasi parasit, selama dan sesudah perkembangan siklusnya. Setelah respons
imun di dalam tubuh hospes dapat dibangkitkan, maka akan timbul reaksi antara komponen-
komponen efektor imunitas dengan komponen-komponen antigen parasit dengan maksud
hendak menghilangkannya. Namun para ahli telah berhasil menemukan bukti-bukti bahwa
kelainan-kelainan yang ditimbulkan karena infeksi dengan parasit ini, seperti splenomegali,
hepatomegali, glomerulonefritis, proses peradangan kronik, kerusakan jaringan yang lanjut
serta berbagai reaksi hipersensitivitas, bukan dikarenakan parasit itu sendiri melainkan
akibat mekanisme imunologik tubuh.
Kerusakan jaringan akibat proses imunologik telah lama diketahui, dan Coombs dan Gell
(26) telah mengkelasifikasinya ke dalam empat tipe, yaitu :
1. Reaksi tipe I atau reaksi tipe anafilaktik
2. Reaksi tipe II atau reaksi tipe sitotoksik
3. Reaksi tipe III atau reaksi tipe kompleks-toksik
4. Reaksi tipe IV atau reaksi seluler.
Reaksi tipe I hingga III adalah reaksi yang dibawakan oleh imunitas humoral, sedangkan
reaksi tipe IV oleh imunitas seluler.

Reaksi tipe I (reaksi anafilaktik)


Reaksi anafilaktik atau reaksi hipersensitivitas tipe cepat adalah suatu reaksi yang
dibawakan oleh IgE. Parasit-parasit golongan Helminthes merupakan parasit yang mampu
menginduksi pembentukan antibodi homositotropik ini. IgE mempunyai sifat-sifat yang unik,
yaitu bagian Fc struktur imunoglobulinnya dapat melekat pada sel-sel basofil atau sel-sel
51
mastosit, sehingga apabila bagian Fab bereaksi dengan antigen parasit, maka akan terjadi
perubahan molekul IgE yang akan mempengaruhi membran sel basofil/mastosit tadi. Lewat
sistem cyclic Adenosinemonophosphate (cAMP), maka di dalam sel tersebut akan timbul
proses degranulasi sehingga isi granula, seperti histamin, slow-reacting substance of
anaphylactic (SRS--A), eosinophil-chemotactic facton anaphylactic (ECF--A) akan
dilepaskan. Zat-zat mediator farmakologik aktif ini kemudian akan menyebabkan berbagai
perubahan, seperti kontraksi otot polos, vasodilatasi pembuluh darah kapiler dan
meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah. Tergantung pada cara parasit
menginvasi masuk ke dalam tubuh, maka gejala klinik yang ditimbulkan dapat bersifat
sistemik atau lokal. Gejala 95 Cermin Dunia Kedokteran, Nomor Khusus 1980 klinik yang
mungkin ditemukan pada berbagai sistem organ adalah sebagai berikut :
a) traktus respiratorius : obstruksi bronkial dan edema laryngeal,
b) traktus gastrointestinalis : enek, muntah, kramp, rasa sakit dan diare,
c) traktus kardiovaskuler : hipotensi dan "shock",
d) sistem kulit : gatal, eritema, edema dan erupsi maku lopapular.
Akibat pengaruh ECF--A, pada penyakit parasit ini sering ditemukan eosinofilia, dan secara
pemeriksaan histologik, tampak di sekitar parasit itu beratus-ratus sel eosinofil. Pada
penyakit infeksi oleh bakteri telah dibuktikan bahwa sel eosinofil sanggup memfagosit
namun mekanisme Intracellular killing agak lemah bila dibandingkan dengan sel neutrofil.
Oleh karena itu, peranan sel eosinofil sebagai sel fagosit yang ampuh masih dipertanyakan
orang, namun ada dugaan lain tentang peranan eosinofil ini, yaitu berperanan pada proses
pembangkitan respons agar lebih baik serta berperanan dalam memodulasi proses
inflamasi. Sel basofil akan melepaskan histamin, dan ini akan dinetralkan oleh zat-zat yang
dilepaskan eosinofil ; di samping itu pula eosinofil akan melepaskan suatu zat yang
mempunyai pengaruh tenhadap sel makrofag. Keadaan ini menyebabkan interaksi antara
sel eosinofil, sel makrofag dan antigen parasit, sehingga antigen-antigen asing lebih mudah
dipresentasikan oleh sel makrofag ke sel-sel limfosit-T maupun sel limfosit-B.

Reaksi tipe II (reaksi sitotoksik)


Kelainan ini ditimbulkan akibat adanya antibodi bebas, yang dibawa oleh IgG dan/atau IgM,
yang dapat bereaksi dengan antigen sel atau jaringan akibat adanya suatu reaksi silang,
atau karena sel atau jaringan tubuh telah mengadsorbsi antigen-antigen tensebut. Hal ini
banyak terjadi pada penyakit parasit, dimana antigen telah dilepaskan ke dalam sirkulasi
dan diadsorbsi oleh sel atau jaringan tubuh di tempat lain. Reaksi imunologik yang terjadi
akan lebih hebat apabila sistem komplemen telah diaktifkan, yang mengakibatkan
terangsangnya berbagai macam sel-sel fagosit. Suatu sel atau jaringan tubuh yang telah
bereaksi dengan IgG antibodi, dapat menarik suatu sel limfosit yang nonsensitized untuk
melakukan tugas menghancurkan jaringan secara ekstraselulen nonfagositosis. Sel limfosit
semacam ini dikenal dengan istilah killer lymphocyte cell atau disingkat menjadi K cell.
Hancurnya sel-sel darah merah menyebabkan terjadi anemia pada infeksi dengan
Plasmodium diperparah akibat reaksi tipe II ini, dan juga penggunaan obat-obat yang dapat
menghancurkan parasit sehingga antigen-antigennya tersebar di seluruh tubuh, dapat
menyebabkan akibat reaksi yang ditimbulkan oleh respons imunologik.

Reaksi tipe III (reaksi kompleks-toksik)


Apabila di dalam sirkulasi darah terdapat antigen bebas, maka manifestasi selain reaksi tipe
II dapat pula terjadi, yaitu apa yang kita kenal sebagai reaksi kompleks-toksik. Pengertian
kompleks dalam hal ini tidak lain adalah kompleks antigen dengan antibodinya yang dapat
dibawakan oleh IgG maupun IgM. Kompleks imun ini beredar di dalam darah dalam bentuk
kompleks yang larut, yaitu apabila perbandingan antara antigen dengan antibodi berada
dalam taraf antigen excess, sedangkan kompleks berbentuk presipitat, bila perbandingan
52
antigen dengan antibodinya berada dalam taraf Antibody excess. Reaksi tipe III tenjadi
apabila kompleks imun itu telah mengaktifkan sistem komplemen sehingga terjadilah reaksi
radang. Tergantung pada lokasi peradangan itu, maka jenis Arthus reaction terjadi bila
insoluble complex dideposit di tempat-tempat tertentu, sedangkan jenis serum sickness bila
terjadi reaksi umum disebabkan oleh soluble complex.
Kelainan yang lebih merata akibat adanya sirkulasi kompleks-imun di seluruh tubuh dapat
menyebabkan gejala-gejala klinik seperti, demam, lemas, urtikania, eritema pada kulit, nyeri
bengkak pada persendian, splenomegali, pembesaran kelenjar limfe, hematuria dan lain-
lain. Gejala penyakit semacam ini, selain pada malaria, maka di temukan pula pada penyakit
parasit seperti Schistosomiasis, Trypanosomiasis. Reaksi alengik umum yang ditimbulkan
setelah pemberian terapi pada berbagai penyakit parasit, dapat disebabkan oleh reaksi tipe
III ini, yaitu karena setelah parasit dihancurkan oleh obat yang diberikan, maka berbagai
macam antigen akan dilepaskan ke dalam sinkulasi dalam jumlah yang cukup banyak,
akibatnya kompleks-imun akan timbul dan tidak sempat lagi dihancurkan oleh sistem
imunitas seluler, seperti difagosit oleh sel-sel makrofag.

Reaksi tipe IV (reaksi tipe seluler)


Berbeda dengan reaksi tipe-tipe yang terdahulu, maka reaksi tipe IV ini dilatar belakangi
oleh sistem imunitas seluler, yaitu sel-sel fagosit setelah dirangsang oleh zat limfokin, yang
dilepaskan oleh sel limfosit-T. Reaksi ini tidak memerlukan adanya antibodi maupun sistem
komplemen, dan reaksi yang terjadi agak lambat. Oleh karena itu, reaksi ini disebut sebagai
reaksi hipersensitivitas tipe lambat, dan memang gejala kliniknyapun berjalan kronik. Pada
penyakit Schistosomiasis misalnya, proses peradangan pada hati dapat penyebabkan
hepatomegali. Keadaan semacam ini bukan hanya disebabkan oleh karena timbulnya reaksi
tipe IV ini. Di sekitar telur itu banyak ditemukan sel-sel limfosit serta granuloma sel epiteloid.
Proses berlangsung terus hingga terjadi jaringan fibrosis dan penyumbatan pembuluh darah
vena sehingga timbul hipertensi portal.

Imunodiagnostik pada penyakit parasit


Dengan mempergunakan teknik yang lazim dipakai dalam bidang parasitologi serta
pengetahuan tentang siklus suatu parasit telah difahami dengan baik, maka sebenarnya
tidak ada kesulitan yang dapat dijumpai dalam menegakkan diagnosis penyakit parasit itu.
Namun cara-cara menegakkan diagnosis secara metode yang konvensional, seringkali kita
tidak dapat mendeteksi adanya parasit di dalam tubuh pada tahap yang paling dini. Secara
mikroskopikpun tidak selamanya kita dapat menemukan parasit yang dimaksud, dan
seringkali terlalu banyak membuang waktu untuk mencari ada-tidaknya parasit di dalam
tubuh .
Dengan adanya fakta-fakta ini, maka telah dikembangkan pengetahuan imunologik dalam
bidang parasitologi untuk kepentingan diagnostik. Bagaimanapun bentuk dan akibat respons
imunitas yang terjadi, seperti yang diutarakan, maka ada sifat-sifat sistem imunologik yang
hakiki, yaitu specificity dan memory, artinya respons imunologik yang timbul itu sifatnya
spesifik dan hanya dapat bereaksi dengan antigen penginduksinya serta mempunyai daya
ingat terhadap antigen mana respons imun itu telah timbul. Dua hal inilah yang dijadikan
pegangan oleh para ahli imunologi dalam mempergunakan respons imunologik untuk
mendiagnosis penyakit-penyakit parasit.
Secara garis besar, maka ada dua macam teknik yang dapat dikembangkan, yaitu
Teknik manipulasi kulit
Menegakkan diagnosis penyakit parasit secara imunologik
Walaupun telah berhasil, namun seringkali kita dihadapkan dengan berbagai masalah, baik
yang sifatnya umum maupun yang khusus. Masalah yang khusus ialah menyangkut sifat
dan karakteristik parasit yang bersangkutan, terutama dalam menginduksi respons imun.
53
Berbagai macam teknik imunologik juga banyak tersedia, seperti : test presipitasi, test
hemaglutinasi, test fiksasi komplemen, test fluoresensi dan lain-lain, tetapi semuanya tidak
terlepas dari masalah-masalah yang khusus untuk teknik tersebut, dan yang penting ialah
pemilihan teknik serologik yang tepat untuk dipergunakan dalam mendiagnosis penyakit
parasit yang mana.
Bila kita hendak membuktikan adanya respons imun terhadap suatu parasit, maka masalah
umum yang perlu dihadapi, ialah: antigen mana dan apa yang akan kita pakai. Apakah
antigen yang dipakai itulah yang menyebabkan timbulnya respons imun di dalam tubuh,
apakah antigen yang dipergunakan betul-betul spesifik untuk parasit yang dimaksud dan
bukan antigen yang menimbulkan reaksi silang, apakah antigen yang dipergunakan hanya
berhubungan dengan imunitas seluler, sedangkan teknik yang dipergunakan ialah untuk
mendeteksi ada-tidaknya antibodi didalam sirkulasi darah, dan lain-lain pertanyaan yang
harus dihadapi. Sebaliknya bila kita hendak membuktikan ada tidaknya antigen, maka
masalah umum yang perlu dihadapi ialah : antibodi yang mana yang harus dipergunakan
untuk dapat mendeteksi antigen, dan bagaimana cara-cara mempurifikasi antibodi sehingga
dapat dipergunakan dalam test serologik yang dimaksud. Cara yang kedua ini lebih sulit
dilakukan daripada cara yang pertama, dan cara serologic lebih aman dilakukan daripada
cara intradermal.

PEMERIKSAAN IMUNOHISTOKIMIA
Imunohistokimia adalah suatu metode kombinasi dari anatomi, imunologi dan biokimia untuk
mengidentifikasi komponen jaringan yang memiliki ciri tertentu dengan menggunakan
interaksi antara antigen target dan antibodi spesifik yang diberi label. Imunohistokimia
merupakan suatu cara pemeriksaan untuk mengukur derajat imunitas atau kadar antibodi
atau antigen dalam sediaan jaringan. Nama imunohistokimia diambil dari
nama immune yang menunjukkan bahwa prinsip dasar dalam proses ini ialah penggunaan
antibodi dan histo menunjukkan jaringan secara mikroskopis. Dengan kata lain,
imunohistokimia adalah metode untuk mendeteksi keberadaan antigen spesifikdi dalam sel
suatu jaringan dengan menggunakan prinsip pengikatan antara antibodi (Ab) dan antigen
(Ag) pada jaringan hidup. Pemeriksaan ini membutuhkan jaringan dengan jumlah dan
ketebalan yang bervariasi tergantung dari tujuan pemeriksaan.
Teknik imunohistokimia bermanfaat untuk identifikasi, lokalisasi, dan karakterisasi suatu
antigen tertentu, serta menentukan diagnosis, therapi, dan prognosis kanker. Teknik ini
diawali dengan pembuatan irisan jaringan (histologi) untuk diamati dibawah mikroskop.
Interaksi antara antigen-antibodi adalah reaksi yang tidak kasap mata. Tempat pengikatan
antara antibodi dengan protein spesifik diidentifikasi dengan marker yang biasanya
dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan reaksi untuk
mengidentifikasi marker. Adapun beberapa marker yang berupa senyawa berwarna antara
lain :
· Luminescence
· Zat berfluoresensi : fluorescein, umbelliferon, tetrametil rodhamin
· Logam berat : colloidal, microsphere, gold, silver, label radioaktif
· Enzim : Horse Radish Peroxidase (HRP) dan alkaline phosphatase.
Enzim (yang dipakai untuk melabel) selanjutnya direaksikan dengan substrat kromogen
(yaitu substrat yang menghasilkan produk akhir berwarna dan tidak larut) yang dapat
diamati dengan mikroskop bright field (mikroskop bidang terang). Akan tetapi seiring
berkembangnya ilmu pengetahuan khususnya dunia biologi, teknik imunohistokimia dapat
langsung diamati (tanpa direaksikan lagi dengan kromogen yang menghasilkan warna)
dibawah mikroskop fluorescense.
Langkah-langkah dalam melakukan imunohistokimia dibagi menjadi 2, yaitu preparasi
sampel dan labeling. Preparasi sampel adalah persiapan untuk membentuk preparat
54
jaringan dari jaringan yang masih segar. Preparasi sample terdiri dari pengambilan jaringan
yang masih segar, fiksasi jaringan biasanya menggunakan formaldehid, embedding jaringan
dengan parafin atau dibekukan pada nitrogen cair, pemotongan jaringan dengan
menggunakan mikrotom, deparafinisasi dan antigen retrieval untuk membebaskan epitop
jaringan, dan bloking dari protein tidak spesifik lain. Sampel labeling adalah pemberian
bahan-bahan untuk dapat mewarnai preparat. Sampel labeling terdiri dari imunodeteksi
menggunakan antibodi primer dan sekunder, pemberian substrat, dan counterstaining untuk
mewarnai jaringan lain di sekitarnya. Antibodi adalah suatu imunoglobulin yang dihasilkan
oleh sistem imun dalam merespon kehadiran suatu antigen
tertentu. Antibodi dibentuk berdasarkan antigen yang menginduksinya. Beberapa antibodi
yang telah teridentifikasi adalah IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Antigen adalah suatu zat atau
substansi yang dapat merangsang sistem imun dan dapat bereaksi secara spesifik dengan
antibodi membentuk kompleks terkonjugasi. Ikatan antibodi-antigen divisualisasikan
menggunakan senyawa label/marker.
IHC merupakan teknik deteksi yang sangat baik dan memiliki keuntungan yang luar biasa
untuk dapat menunjukkan secara tepat di dalam jaringan mana protein tertentu yang
diperiksa. IHC juga merupakan cara yang efektif untuk memeriksa jaringan. Teknik ini telah
digunakan dalam ilmu saraf, yang memungkinkan peneliti untuk memeriksa ekspresi protein
dalam struktur otak tertentu. Kekurangan dari teknik ini adalah kurang spesifik terhadap
protein tertentu tidak seperti teknik imunoblotting yang dapat mendeteksi berat molekul
protein dan sangat spesifik terhadap protein tertentu. Teknik ini banyak digunakan dalam
diagnostik patologi bedah terhadap kanker, tumor, dan sebagainya. Adapun marker untuk
diagnosa IHC adalah sebagai berikut:
 Carcinoembryonic antigen (CEA): digunakan untuk identifikasi
adenocarcinoma.
 Cytokeratins: digunakan untuk identifikasi carcinoma tetapi juga dapat
terekspresi dalam beberapa sarkoma.
 CD15 and CD30 : digunakan untuk identifikasi Hodgkin's disease
 Alpha fetoprotein: untuk tumor yolk sac dan karsinoma hepatoselluler
 CD117 (KIT): untuk gastrointestinal stromal tumors (GIST)
 CD10 (CALLA): untuk renal cell carcinoma dan acute lymphoblastic leukemia
 Prostate specific antigen (PSA): untuk prostate cancer
estrogens danprogesterone staining untuk identifikasi tumor
 Identifikasi sel B limfa menggunakan CD20
 Identifikasi sel T limfa menggunakan CD 3

PRINSIP DASAR IMUNOTERAPI PADA VAKSIN


Dalam imunisasi, vaksin bekerja dengan meniru prinsip kerja sistem imun tubuh. Ketika
tubuh mendapatkan suntikan vaksin tertentu, reseptor pada sel limfosit akan mengenali
antigen yang terdapat pada virus atau bakteri dalam vaksin. Pada sel B, antigen akan
berikatan dengan imunoglobulin di permukaan sel. Sementara itu, antigen T-dependent,
akan memicu rangkaian proses perubahan (transformasi) Sel B dengan bantuan Sel Th
untuk kemudian berdiferensiasi menjadi sel plasma dan Sel B memori.
Sel B juga membentuk sel memori yang kelak jika bertemu (terpapar) lagi dengan antigen
serupa, akan lebih cepat memperbanyak diri (ber-proliferasi) dan segera menghasilkan
antibodi untuk menangkal virus/bakteri. Inilah sebenarnya tujuan dari imunisasi sendiri.
Meskipun sel plasma yang terbentuk tidak berumur lama, kadar antibodi spesifik di dalam
tubuh cukup tinggi sehingga dapat bersifat protektif untuk jangka waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu, harus dilakukan imunisasi ulang atau booster. Booster merupakan upaya
untuk mendapatkan kadar antibodi yang protektif dan bertahan lama.

55
Respons Primer
Vaksin disuntikkan ke dalam tubuh seseorang.
Antigen yang masuk tidak dapat membuat sakit karena telah dimatikan/dilemahkan. Namun,
komponen antigen yang dibawanya dapat merangsang pembentukan antibodi yang akan
melawan nya. Salah satu Limfosit B di dalam tubuh seseorang akan mengenali antigen di
dalam vaksin. Limfosit B memperbanyak diri dan membentuk ―klon‖ sel-sel B yang mirip.
Sel-sel (limfosit) B ―klon‖ berubah menjadi sel plasma atau sel B memori. Sel plasma
menghasilkan antibodi yang sudah ―dilatih‖ untuk mengikatkan diri dengan bakteri atau virus
yang pernah dimasukkan ke dalam tubuh melalui vaksin.

Respons Sekunder
Ketika terinfeksi mikroorganisme secara alami (alamiah), maka langsung dikenali oleh Sel B
memori yang sudah terbentuk sebelumnya. Sel B memori memperbanyak diri dengan cepat.
Sel B memori berubah menjadi sel plasma. Sel plasma menghasilkan antibodi dalam jumlah
besar yang dapat mengikatkan diri secara cepat dengan kuman dan memusnahkan kuman
tersebut.

ANEMIA, POLISITEMIA
1. Anemia
Anemia adalah keadaan berkurangnya jumlah eritrosit atau hemoglobin (protein pembawa
O2) dari nilai normal dalam darah sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk
membawa O2 dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer sehingga pengiriman O2 ke
jaringan menurun. Secara fisiologi, harga normal hemoglobin bervariasi tergantung umur,
jenis kelamin, kehamilan, dan ketinggian tempat tinggal. Oleh karena itu, perlu ditentukan
batasan kadar hemoglobin pada anemia.

Batasan kadar hemoglobin UMUR HEMOGLOBIN


anemia berdasarkan usia ( gr/dl )
KELOMPOK
Anak 6 bulan – 6 tahun <11
6 tahun – 14 tahun <12
Dewasa Wanita dewasa <12
Laki-laki dewasa <13
Ibu hamil <11

Etiologi
Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1) Gangguan pembentukan eritrosit
Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi substansi tertentu seperti
mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam folat), asam amino, serta gangguan pada
sumsum tulang.

2) Perdarahan
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel darah merah
dalam sirkulasi.
3) Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
Klasifikasi
Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis anemia:
1) Anemia normositik normokrom.

56
Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut, hemolisis, dan
penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang. Terjadi penurunan jumlah
eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi hemoglobin (Indeks eritrosit normal
pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31 pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran
eritrosit.
2) Anemia makrositik hiperkrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom karena
konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit pada anak MCV > 73 fl, MCH
= > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada anemia megaloblastik (defisiensi vitamin B12,
asam folat), serta anemia makrositik non-megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)
3) Anemia mikrositik hipokrom
Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung konsentrasi
hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl, MCH < 23 pg, MCHC
26 - 35 %).
Penyebab anemia mikrositik hipokrom:
1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.
2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.
3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.

Gambar 1. Morfologi Sel Darah Merah pada Anemia

57
Anemia Defisiensi Besi (ADB)
ADB adalah anemia yang terjadi akibat kekurangan cadangan zat besi. Zat besi yang tidak
adekuat menyebabkan berkurangnya sintesis hemoglobin sehingga menghambat proses
pematangan eritrosit. Zat besi yang tidak adekuat disebabkan oleh rendahnya asupan besi
total dalam makanan atau bioavailabilitas besi yang dikonsumsi menurun (makanan banyak
serat, rendah daging, dan rendah vitamin C), kebutuhan akan zat besi yang meningkat
(pada bayi prematur, anak dalam pertumbuhan, ibu hamil dan menyusui), perdarahan
kronis, diare kronik, Malabsorbsi, serta infeksi cacing tambang. Dilihat dari beratnya
defisiensi besi dalam tubuh, dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu :
1) Tahap Pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan berkurangnya
cadangan besi.
2) Tahap kedua
Tahap ini disebut dengan iron limited erythropoiesis dimana penyediaan besi yang tidak
cukup untuk menunjang eritropoiesis.
3) Tahap ketiga
Keadaan ini disebut juga Iron Deficiency Anemia (IDA) terjadi bila besi yang menuju eritroid
sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan penurunan kadar Hb..

Tabel Parameter Defisiensi Besi Tahap 1 Tahap 2 Tahap 3


Parameter Normal Sedikit menurun Menurun jelas
Cadangan besi (mg) < 100 0 0
Fe serum (ug/dl) normal < 60 < 40
TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410
Saturasi transferin (%) 20-30 <15 <10
Feritin serum (ug/dl) <20 <12 <12
Sideroblas (%) 40-60% <10 <10
FEP (ug/dl) >30 >100 >200
MCV normal normal Menurun

Tanda dan Gejala


Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindroma anemia yang dijumpai pada ADB
apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl, badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang serta telinga mendenging.17 Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien
yang pucat, terutama pada konjunctiva dan jaringan di bawah kuku.Sedangkan gejala khas
pada ADB adalah:17Koilonychia, Atropi papil , dan Stomatitis angularis (cheilosis),
Diagnosis
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO dan Lanzkowsky:
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata < 31% (Normal : 32 – 35 %)
3. Kadar Fe serum < 50 Ug/dl ( Normal 80 – 180 ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (Normal 20 – 50 %)
5. Pemeriksaan apus darah tepi hipokrom mikrositik yang dikonfirmasi dengan kadar MCV,
MCH, dan MCHC yang menurun.
6. Pada perwarnaan sumsum tulang tidak ditemukan besi atau besi berkurang.

2. Polisitemia Vera
Polisitemia vera (PV) adalah kelainan myeloproliferatif kronik yang ditandai dengan
peningkatan massa sel darah merah. Hiperviskositas ini akan menyebabkan beberapa
pasien mengalami trombosis. Polisitemia vera harus dicurigai pada passien dengan
peningkatan hemoglobin atau hematokrit, splenomegali, atau trombosis vena portal.
58
Peningkatan massa sel darah merahlebih sering disebabkan oleh penyebab sekunder
(seperti: perokok hebat, Penyakit pulmoner kronik, dan penyakit ginjal) dibandingkan
polisitemia vera dan harus disingkirkan. Diagnosis dibuat menggunakan kriteria yang
dikembangkan oleh Polycythemia Vera Study Group (PVSG); kriteria mayor meliputi
peningkatan massa sel darah merah, saturasi oksigen normal, dan splenomegali. Pasien
yang tidak diobati bisa bertahan enam sampai delapan belas bulan dimana pengobatan
yang adekuat akan meningkatkan angka harapan hidup lebih dari 10 tahun. Pengobatan
meliputi phlebotomy dengan tambahan myelosupressor berdasarkan pendekatan stratifikasi
resiko. Agen myelosupressif meliputi interferon alfa-2b, anagrelide, dan aspirin.
Direkomendasikan untuk dirujuk ke hematologist.
PV adalah kelainan myeloproliferatif kronik yang ditandai dengan peningkatan RCM, atau
eritrosit, yang akan mengakibatkan hiperviskositas dan peningkatan resiko terjadinya
trombosis. Pasien akan mengeluh gatal setelah mandi, rasa nyeri seperti terbakar pada
ekstremitas distal, gangguan gastrointestinal, atau keluhan nonspesifik seperti kelemahan,
sakit kepala, atau pusing. Beberapa pasien lain terdiagnosa secara tidak sengaja setelah
diketahui terjadi peningkatan hemoglobin dan atau peningkatan hematokrit pada hitung
darah lengkap.
Kebanyakan pasien yang terdiagnosa PV berkisar pada umur 60 tahun, walaupun penyakit
ini dapat terjadi pada orang-orang dengan berbagai kelompok umur. PV lebih sering terjadi
pada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan insiden PV terjadi pada 2,3 per 100.000
orang per tahun. Oleh karena itu, dokter keluarga akan mendiagnosa PV paling tidak satu
atau dua kali selama karirnya. Pasien yang tidak diobati bisa bertahan enam sampai
delapan belas bulan dimana pengobatan yang adekuat akan meningkatkan angka harapan
hidup lebih dari 10 tahun.

Diagnosa
PV harus dicurigai jika hemoglobin dan atau hematokrit meningkat (contoh, Hb lebih dari 18
gr/dl pada laki-laki kulit putih dan 16 gr/dl pada orang kulit hitam dan wanita; Ht lebih dari
52% pada laki-laki kulit putih dan 47 % pada orang kulit hitam dan wanita). PV juga harus
dicurigai pada passien dengan trombosis vena portal dan splenomegali dengan atau tanpa
trombositosis dan leukositosis. Dalam membuat diagnosa PV, dokter harus lebih dulu
menyingkirkan eritrositosis sekunder. Sekali eritrositosis sekunder tersingkir diagnosa PV
harus dibuat berdasrakan kriteria mayor dan kriteria minor yang dibuat oleh PVSG.
Walaupun cara diagnosa terbaru telah dikembangkan, kriteria ini menjadi standar untuk
mendiagnosa PV.
Kriteria mayor meliputi peningkatan RCM, saturasi oksigen normal, dan adanya
splenomegali. Tes RCM adalah studi kedokteran nuklir yang melibatkan infusi autologous
sel darah merah radio-labeled yang diikuti dengan phlebotomi serial.
Beberapa perubahan pada kriteria diagnosa PV telah pernah diajukan. Sebagai contoh
adalah perubahan pada RCM yang biasanya dihitung dalam mm/Kg karena kurang tepat
jika dipakai pada orang-orang dengan obesitas. ICSH telah merekomendasikan untuk
menggunakan formula yang melibatkan BSA, BB, jenis kelamin, dan plasma volume.

Diagram Evaluasi pada pasien dengan PV

59
Penatalaksanaan
Tidak ada penatalaksanaan tunggal pada apsien dengan PV. Tujuan utama
penatalaksanaan PV adalah untuk mencegah terjadinya trombosis. PVSG dan GISP
(gruppo Italiano Studio Policitemia) menggunakan dua pendekatan untuk penatalaksaan PV.
Yaitu flebotomi atau flebotomi + agen myelosupressif. Interferon alfa-2b masih dilakukan
penelitian untuk digunakan dalam penatalaksanaan.
Berikut adalah beberapa agen myelosupressif yang digunakan dalam penatalaksanaan PV:

PATOGENESIS GANGGUAN TROMBOSIT (ITP, TROMBOSITOSIS ESENSIAL,


AGRANULOSITOSIS, TROMBOSITOPENIA)
1. TP
Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai
dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/n.L) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan destruksi
prematur dari trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama di limpa.6 Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan
jumlah trombosit yang rendah dan perdarahan mukokutan.2 2.1.2 Epidemiologi Perkiraan
insiden adalah 100 kasus per 1 juta orang per tahun, dan sekitar setengah dari kasus-kasus
ini terjadi pada anak-anak. Insiden PTI pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, PTI akut
umumnya terjadi pada anak-anak usia antara 2-6 tahun. 7-28 % anak-anak dengan PTI akut
berkembang menjadi kronik 15-20%. Purpura Trombositopenia Idiopatik (PTI) pada anak
berkembang menjadi bentuk PTI kronik pada beberapa kasus menyerupai PTI dewasa yang
khas. Insidensi PTI kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak per tahun.2,6
Insidensi PTI kronis dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8-

60
6,6 per 100.000) di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Purpura
Trombositopenia Idiopatik (PTI) kronikpada umumnya terdapat pada orang dewasa dengan
median rata-rata usia 40-45 tahun. Rasio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada
pasien PTI akut sedangkan pada PTI kronik adalah 2-3:1.6 Pasien PTI refrakter
didefinisikan sebagai suatu PTI yang gagal diterapi dengan kortikosteroid dosis standar dan
splenektomi yang selanjutnya mendapat terapi karena angka trombosit di bawah normal
atau ada perdarahan. Pasien PTI refrakter ditemukan kira-kira 25-30 persen dari jumlah
pasien PTI. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi dengan
morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.6 2.1.3 Patofisiologi Sindrom
PTI disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yakni berikatan dengan trombosit
autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit mononuklir
melalui reseptor Fc makrofag. Pada tahun 1982 Van Leeuwen pertama mengidentifikasi
membran trombosit glikoprotein Ilb/IIIa (CD41) sebagai antigen yang dominan dengan
mendemostrasikan bahwa elusi autoantibodi dari trombosit pasien PTI berikatan dengan
trombosit normal. 6 Diperkirakan bahwa PTI diperantarai oleh suatu autoantibodi, mengingat
kejadian transient trombositopeni pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita PTI, dan
perkiraan ini didukung oleh kejadian transient trombositopeni pada orang sehat yang
menerima transfuse plasma kaya IgG, dari seorang pasien PTI. Trombosit yang diselimuti
oleh autoantibodi IgG akan mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah
berikatan dengan reseptor Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian
besar pasien, akan terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit.
Pada sebagian kecil yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat
destruksi trombosit yang diselimuti autoantibodi oleh makrofag di dalam sumsum tulang
(intramedullary), atau karena hambatan pembentukan megakariosit (megakaryocytopoiesis),
kadar trombopoetin tidak meningkat, menunjukkan adanya masa megakariosit normal.2
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi PTI untuk
berikatan dengan trombosit yang secara genetic kekurangan kompleks glikoprotein IIb/IIIa.
Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan glikoprotein Ib/X, Ia/ITa, IV
dan V dan determinan trombosit yang lain. Juga dijumpai antibodi yang bereaksi terhadap
berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit dalam sel penyaji antigen yang
diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan pacuan pembentukan neoantigen,
yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk menimbulkan trombositopenia (Gambar
2.1). 2 Secara alamiah, antibodi terhadap kompleks glikoprotein Ilb/IIIa memperlihatkan
restriksi penggunaan rantai ringan, sedangkan antibody yang berasal dari displai phage
menunjukkan penggunaan gen VH. Pelacakan pada daerah yang berikatan dengan antigen
dari antibodi-antibodi ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut berasal dari klon sel B yang
mengalami seleksi afinitas yang diperantarai antigen dan melalui mutasi somatik. Pasien
PTI dewasa sering menunjukkan peningkatan jumlah HLA-DR + T cells, peningkatan jumlah
reseptor interleukin 2 dan peningkatan profil sitokin yang menunjukkan aktivasi prekursor sel
T helper dan sel T helper tipe 1. Pada pasien-pasien ini, sel T akan merangsang sintesis
antibodi setelah terpapar fragmen glikoprotein IIb/IIIa tetapi bukan karena terpapar oleh
protein alami. Penurunan epitop kriptik ini secara in vivo dan alasan aktivasi sel T yang
bertahan lama tidak dapat dikethui dengan pasti.2 Gambar 2.1 Gambar ini dapat
memperjelas bahwa faktor yang memicu produksi autoantibodi tidak diketahui. Kebanyakan
pasien mempunyai antibody terhadap glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat
penyakit terdiagnosis secara klinis. Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh
autoantibodi, sedangkan antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada
tahap ini (1). Trombosit yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji
antigen (makrofag atau sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses
intenalisasi dan degradasi (2). Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein Ilb/IIIa,
tetapi juga memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit yang lain (3). Sel penyaji
61
antigen yang teraktivasi (4) mengekspresikan peptida baru pada permukaan sel dengan
bantuan kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin
yang berfungsi memfasilitasi proliferasi inisiasi CD-4 positif antiglikoprotein 1b/IX antibody T-
cell clone I dan T cell clone II (5) Reseptor imunoglobulin sel-B yang mengenali platelet
antigen tambahan (B-cell clone 2) dengan demikian juga terdorong untuk berkembang biak
dan mensintesis antibodi anti-glikoprotein Ib / IX (hijau) Selain memperkuat produksi anti-
glikoprotein IIb / IIIA antibodi (oranye) oleh B-1 cell clone (6). 2 Metode yang saat ini
digunakan untuk penatalaksanaan PTI diarahkan secara langsung pada berbagai aspek
berbeda dari lingkaran produksi antibody dan sensitasi, klirens dan produksi trombosit
gambar 2.2. Gambar 2.2 Pada umumnya obat yang dipakai pada awal PTI menghambat
terjadinya klirens anti bodi yang menyelimuti trombosit oleh ekspresi reseptor FcG pada
makrofag jaringan (1). Splenektomi sedikitnya bekerja pada sebagian kecil mekanisme ini
namun mungkin pula mengganggu interaksi sel-T dan sel-B yang terlibat dalam sintesis
antibody pada beberapa pasien. Kortikosteroid dapat pula meningkatkan produksi trombosit
dengan cara menghalangi kemampuan makrofag dalam sumsum tulang untuk
menghancurkan trombosit, sedangkan trobopoietin berperan merangsang progenitor
megakariosit (2). Beberapa imunosupresan nonspesifik seperti azathioprin dan siklosforin,
bekerja pada tingkat sel T (3). Antibodi monoclonal terhadap CD 154 yang saat ini menjadi
target uji klinik, merupakan kostimulasi molekul yang diperlukan untuk mengoptimalkan sel T
makrofag dan interaksi sel T dan sel B yang terlibat dalam produksi antibody dan pertukaran
klas (4). Immunoglobulin IV mengandung antiidiotypic antibody yang dapat menghambat
produksi antibody. Antibody monoclonal yang mengenali ekspresi CD 20 pada sel-sel B juga
masih dalam penelitian (5). Plasmafaresis dapat mengeluarkan antibody sementara dari
dalam plasma (6). Transfusi trombosit diperlukan pada kondisi darurat untuk terapi
perdarahan (7).5 Genetik PTI telah didiagnosis pada kembar monozigot dan pada beberapa
keluarga, serta telah diketahui adanya kecenderungan menghasilkan autoantibody pada
anggota keluarga yang sama. Adanya peningkatan prevalensi HLA-DRW2 dan DRB*0410
dihubungkan dengan respon yang menguntungkan dan merugikan terhadap kortikosteroid,
dan HLA-DRB1*1501 dihubungkan dengan respon yang tidak menguntungkan terhadap
splenektomi. Meskipun demikian, banyak penelitian gagal menunjukkan hubungan yang
konsisten antara PTI dan kompleks HLA kelas I dan II.2 2.1.4 Manifestasi Klinik PTI Akut
PTI akut lebih sering dijumpai pada anak, jarang pada umur dewasa, awitan penyakit
biasanya mendadak, riwayat infeksi sering mengawali terjadinya perdarahan berulang,
sering dijumpai eksantem pada anak-anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas
yang disebabkan oleh virus merupakan 90% dari kasus pediatrik trombositopenia
imunologik. Virus yang paling banyak diidentifikasi adalah varisella zooster dan Ebstein barr.
Manifestasi perdarahan PTI akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intrakranial terjadi
kurang dari 1% pasien. Pada PTI dewasa, bentuk akut jarang terjadi, namun umumnya
terjadi bentuk yang kronis.. PTI akut pada anak biasanya self limiting, remisi spontan teijadi
pada 90% pasien, 60% sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6
bulan.1,6,9 Gambar 2.3 Manifestasi klinis Purpura Tromositopenia Idiopatik Panel A
menunjukkan petechiae dan purpura yang luas pada kaki seorang anak dengan PTI. Panel
B menunjukkan perdarahan konjungtiva. Pendarahan luas mukokutan mungkin menjadi
pertanda pendarahan internal. Perubahan khas pada eritrosit setelah splenektomi (tanda
panah pada Panel C) seperti berlubang dan adanya Howell - Jolly body (tanda panah pada
Panel D), yang merupakan sisa-sisa kromatin inti. PTI Kronik Awitan PTI kronik biasanya
tidak menentu, riwayat perdarahan sering dari ringan sampai sedang, infeksi dan
pembesaran lien jarang terjadi, serta memiliki perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode
perdarahan dapat berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten
atau bahkan terus menerus. Remisi spontan jarang terjadi dan tampaknya remisi tidak
lengkap. 6 Manifestasi perdarahan PTI berupa ekimosis, petekie, purpura, pada umumnya
62
berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
hubungan antara jumlah trombosit dan gejala antara lain bila pasien dengan AT >50.000/µL
maka biasanya asimptomatik, AT 30.000-50.000 /µL terdapat luka memar/hematom, AT
10.000-30.000/µL terdapat perdarahan spontan, menoragia dan perdarahan memanjang bila
ada luka, AT <10.000>6 Pasien secara sistemik baik dan biasanya tidak demam. Gejala
yang dikeluhkan berupa perdarahan pada mukosa atau kulit. Jenis-jenis perdarahan seperti
hidung berdarah, mulut perdarahan, menoragia, purpura, dan petechiae. Perdarahan gusi
dan epistaksis sering terjadi, ini dapat berasal dari lesi petekie pada mukosa nasal, juga
dapat ditemukan pada tenggorokan dan mulut. Traktus genitourinaria merupakan tempat
perdarahan yang paling sering, menoragia dapat merupakan gejala satu-satunya dari PTI
dan mungkin tampak pertama kali pada pubertas. Hematuria juga merupakan gejala yang
sering. Perdarahan gastrointestinal bisanya bermanifestasi melena dan lebih jarang lagi
dengan hematemesis. Perdarahan intracranial dapat terjadi, hal ini dapat mengenai 1%
pasien dengan trombositopenia berat.6,9 Pada pemeriksaan, pasien tampak normal, dan
tidak ada temuan abnormal selain yang berkaitan dengan pendarahan. Pembesaran limpa
harus mengarah pada mempertanyakan diagnosis. Tampak tanda-tanda perdarahan yang
sering muncul seperti purpura, petechiae, dan perdarahan bula di mulut. 9 2.1.5 Diagnosis
Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta tidak
terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder
dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat
menyebabkan trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena
trombosit yang rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput
lendir yang lain). 6 Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada
limfadenopati. Selain trombositopenia hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah
tepi diperlukan untuk menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang
lain. Megatrombosit sering terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa
dideteksi oleh flow sitometri berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa
perdarahan pada PTI tidak sejelas gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung
trombosit yang serupa. Salah satu diagnosis penting adalah pungsi sumsum tulang. Pada
sumsum tulang dijumpai banyak megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung
trombosit.2 Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40
tahun, pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli
pediatri hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum
mulai terapi kortikosteroid untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit
dihubungkan dengan antibodi secara uji langsung untuk mengukur trombosit yang berikatan
dengan antibodi yakni dengan Monoclonal-Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45-66%,
spesifisitasnya 78-92% dan diperkirakan bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak
menyingkirkan diagnosis deteksi yang tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini
tidak membedakan bentuk primer maupun sekunder PTI. 2 2.1.6 Diagnosis Banding
Trombositopenia dapat dihasilkan baik oleh sumsum tulang yang berfungsi abnormal atau
kerusakan perifer. Meskipun sebagian besar gangguan sumsum tulang menghasilkan
kelainan di samping adanya trombositopenia, diagnosa seperti myelodysplasia baru dapat
dihilangkan hanya setelah dengan memeriksakan sumsum tulang. Sebagian besar
penyebab trombositopenia akibat kerusakan perifer dapat dikesampingkan oleh evaluasi
awal. Kelainan seperti DIC, trombotik trombositopenia purpura, sindrom hemolitik-uremic,
hypersplenisme, dan sepsis mudah dihilangkan oleh tidak adanya penyakit sistemik. Pasien
harus ditanya mengenai penggunaan narkoba, terutama sulfonamid, kina, thiazides,
simetidin, emas, dan heparin. Heparin sekarang merupakan penyebab paling umum obat
yang menginduksi trombositopenia pada pasien yang dirawat. Sistemik lupus erythematosus
dan CLL merupakan penyebab yang sering trombositopenia purpura sekunder, yang secara
63
hematologis identik dengan PTI.9 2.1.7 Penatalaksanaan Terapi PTI lebih ditujukan untuk
menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman sehingga mencegah terjadinya perdarahan
mayor. Terapi umum meliputi menghindari aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma
terutama trauma kepala, hindari pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi
trombosit. Terapi khusus yakni terapi farmakologis. 6 Terapi Awal PTI (Standar) Prednison
Prednison, terapi awal PTI dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0 - 1,5 mg/kgBB/hari
selama 2 minggu. Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya
terjadi dalam minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan ,
kemudian tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT <30.000>50.000/µL setelah
10 hari terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT
<30.000/>50.000/ mL setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan
trombositopenia berat (AT <>6,9 Imunoglobulin Intravena Imunoglobulin intravena (IglV)
dosis 1 g/kg/ hari selama 2-3 hari berturut-turut digunakan bila terjadi perdarahan intemal,
saat AT <5,0oo>6 Mekanisme kerja IglV pada PTI masih belum banyak diketahui namun
meliputi blockade fc reseptor, anti-idiotype antibodies pada IgIV yang menghambat ikatan
autoantibodi dengan trombosit yang bersirkulasi dan imunosupresi. 6 Splenektomi
Splenektomi adalah pengobatan yang paling definitif untuk PTI, dan kebanyakan pasien
dewasa pada akhirnya akan menjalani splenektomi. Terapi prednison dosis tinggi tidak
boleh berlanjut terus dalam upaya untuk menghindari operasi. Splenektomi diindikasikan jika
pasien tidak merespon pada prednison awal atau memerlukan prednison dosis tinggi yang
tidak masuk akal untuk mempertahankan jumlah platelet yang memadai. Pasien lain
mungkin tidak toleran terhadap prednison atau mungkin hanya lebih memilih terapi bedah
alternatif . Splenektomi dapat dilakukan dengan aman bahkan dengan menghitung trombosit
kurang dari 10.000 / MCL. 80 % pasien mendapatkan manfaat dari splenektomi baik dengan
remisi lengkap atau parsial, dan angka kekambuhan ialah 15-25%.5,9 Penanganan Relaps
Pertama Splenektomi perlu bagi orang dewasa pada umumnya yang relaps atau yang tidak
berespons dengan kortikostroid, imunoglobulin iv dan Imunoglobulin anti-D. Dari gambar 2.4
dijelaskan bahwa lebih banyak spesialis menggunakan AT <30.000>30.000 /µL, Tidak ada
konsensus yang menetapkan lama terapi kortikosteroid. Penggunaan imunoglobulin anti-D
sebagai terapi awal masih dalam penelitian dan hanya cocok untuk pasien Rh-positif.
Apakah penggunaan IglV atau imunoglobulin anti-D sebagai terapi awal tergantung pada
beratnya trombositopenia dan luasnya perdarahan mukokutaneus. Untuk memutuskan
apakah terapi pasien yang mempunyai AT 30.000 /µL sampai 50.000/µL bergantung pada
ada tidaknya faktor risiko perdarahan yang menyertai dan ada tidaknya risiko tinggi untuk
trauma. Pada AT >50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau setelah trauma
pada beberapa pasien. Pada pasien PTI kronik dan AT <30.000/µl>2,6 Gambar 2.4
Pengelolaan PTI Awitan Dewasa Terapi PTI Kronik Refrakter Pasien refrakter (+ 25%-30%
pada PTI) didefinisikan sebagai kegagalan terapi kortikosteroid dosis standar dan
splenektomi serta membutuhkan terapi lebih lanjut karena AT yang rendah atau terjadi
perdarahan klinis. Kelompok ini memiliki respons terapi yang rendah, mempunyai morbiditas
yang bermakna terhadap penyakit ini dan terapinya serta memiliki mortalitas sekitar 16%.
PTI refrakter kronik ditegakkan bila ditemukan 3 kriteria sebagai berikut: a). PTI menetap
lebih dari 3 bulan; b). Pasien gagal berespon dengan splenektomi; c). AT <30.000>6
Pendekatan Terapi Konvensional Lini Kedua Untuk pasien yang dengan terapi standar
kortikosterpid tidak membaik, ada beberapa pilihan terapi lain. Luasnya variasi terapi untuk
terapi lini kedua menggambarkan relatif kurangnya efikasi dan terapi bersifat individual. 6
Steroid Dosis Tinggi. Terapi pasien PTI refrakter selain prednisolon dapat digunakan
deksametason oral dosis tinggi. Deksametason 40 mg/hari selama 4 hari, diulang setiap 28
hari untuk 6 siklus. Dari 10 pasien dalam penelitian kecil ini semua memberi respons yang
baik (dengan AT >100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya dalam 6 bulan. Pasien yang
tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera diganti obat lainnya. 6
64
Metilprednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon digunakan sebagai terapi lini
kedua dan ketiga pada PTI refrakter. Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada PTI
anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Dari
penelitian Weil pada pasien PTI berat menggunakan dosis tinggi metilprednisolon 30 mg/kg
iv kemudian dosis diturunkan tiap 3 hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan
pasien PTI klinis ringan yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien
yang mendapat terapi metilprednisolon dosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs
8,4 hari) dan mempunyai angka respons (80% vs 53%). Respons steroid intravena bersifat
sementara pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap
adekuat. 6 IglV Dosis Tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari
berturut-turut, sering dikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT dengan
cepat. Efek samping, terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat diberikan
secara intermiten atau disubtitusi dengan anti-D intravena. 6 Anti-D Intravena Anti-D
intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90% pada orang dewasa. Dosis anti-D 50-
75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni destruksi sel darah merah rhesus D-
positif yang secara khusus dibersihkan oleh RES terutama di lien, jadi bersaing dengan
autoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui Fc reseptor blockade. 6 Alkaloid Vinka
Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang digunakan, meskipun mungkin bernilai ketika
terapi lainnya gagal dan ini diperlukan untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya
vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin 5-10 ing, setiap minggu selama 4-6 minggu. 6
Danazol Dosis danazol 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon
sering lambat. Fungsi hati harus diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis
diteruskan sampai dosis maksimal sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan
200 mg/hari setiap 4 bulan. 6 Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi Immunosupresif
diperlukan pada pasien yang gagal berespons dengan terapi lainnya. Terapi dengan
azatioprin (2 mg/kg maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat
dipertimbangkan dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,
simptomatik, PTI kronik refrakter terhadap berbagai terapi sebelumnya. Pemakaian
siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah efektif digunakan seperti
pada limfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin
50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon obat dihentikan, bila ada respons sampai 3
bulan turunkan sampai dosis terkecil. 6 Dapsone Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons
terjadi dalam 2 bulan. Pasien-pasien harus diperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar
G6PD yang rendah mempunyai risiko hemolisis yang serius. 6 Pendekatan Pasien yang
Gagal Terapi Standar dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25% PTI refrakter dewasa gagal
berespon dengan terapi lini pertama atau kedua dan memberi masalah besar. Beberapa di
antaranya mengalami perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk
perdaraihan serta masalah penanganannya. Pada umumnya PTI refrakter kronis bisa
mentoleransi trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitas hidup normal atau
mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dan kedua hanya
memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-a, (ii) anti-CD20, (iii) Campath-1H,(iv)
mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya. 6 Rekomendasi Terapi PTI Yang Gagal Terapi Lini
Pertama dan Kedua Susunan terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran
splenektomi dan bagi mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab,
suatu antibodi monoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25 -
50%, dan memiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.5
Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya. perdarahan
aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien PTI refrakter tetapi studi
lebih besar diperlukan untuk mengkonfirmasikan efikasi dan keamanannya. Dalam hal
pertimbangan resiko: rasio manfaat, terapi dengan interferon-a, protein A columns,
65
plasmafaresis dan liposomal doksorubisin tidaklah direkemoendasikan. 5 Kesulitan utama
dengan obat lini ketiga ialah tingkat respons yang sederhana dan, seringnya, mempunyai
onset yang lambat sehingga efek dapat tidak jelas selama beberapa bulan. Selain itu,
supresi sumsum tulang dan peningkatan risiko infeksi menyulitkan pengobatan dengan
menggunakan obat yang imunosupresif. 5 Obat trombopoietik mewakili strategi terapi baru
yang menjanjikan untuk ITP yang refrakter untuk terapi lini kedua dan ketiga. Obat ini
mungkin juga dapat sebagai alternatif bagi pasien yang tidak dapat mentolerir terapi
imunosupresif atau pada calon yang tidak dapat menggunakan untuk itu. Tempat agen ini
pada armamentarium dari terapi ITP, bagaimanapun, tetap ditentukan. Penggunaannya
akan dipandu oleh uji klinis lebih lanjut dengan durasi yang lebih lama dan pemahaman
yang lebih baik dari kontribusi relatif penghancuran platelet dan gangguan produksi
trombosit pada masing-masing pasien dengan ITP. Prognosis Respons terapi dapat
mencapai 50%-70% dengan kortikosteroid. Pasien PTI dewasa hanya sebagian kecil dapat
mengalami remisi spontan penyebab kematian pada PTI biasanya disebabkan oleh
perdarahan intracranial yang berakibat fatal berkisar 2,2% untuk usia lebih dari 40 tahun dan
sampai 47,8% untuk usia lebih dari 60 tahun.

2. Trombositosis primer
Trombositosis adalah suatu penyakit dimana tubuh memproduksi trombosit dalam jumlah
yang terlalu tinggi. Trombosit memegang peranan penting dalam proses pembekuan darah.
Gangguan kelebihan jumlah trombosit dalam tubuh ini disebut juga dengan istilah
‗trombositosis reaktif‘. Trombositosis Esensial, yang juga dikenal sebagai trombositemia
primer, adalah kondisi medis yang ditandai dengan jumlah trombosit yang lebih dari normal
di dalam darah dan sumsum tulang akibat produksi berlebihan oleh sumsum tulang.
Gejala
Trombosit yang melebihi batas normal dapat menyebabkan penyumbatan berlebihan atau
bahkan perdarahan (ketika jumlah trombosit sangat tinggi, melebihi 1 juta platelet/uL darah).
Oleh karena itu, penderita trombositosis esensial dapat menunjukkan gejala seperti:
· nyeri kepala
· pusing
· kelemahan
· mati rasa pada tangan dan kaki
· perubahan penglihatan
· stroke
· serangan jantung
Penyebab
Gangguan trombositosis biasanya disebabkan oleh: ,Pendaharan akut, kanker, reaksi alergi,
gagal ginjal kronis, serangan jantung, anemia, infeksi, pengangkatan limpa, operasi besar,
peradangan, sebagai akibat inflamasi usus, penyakit celiac, ataurheumatoid arthritis, radang
kelenjar pancreas, konsumsi obat-obatan tertentu seperti tretinoin, vincristine, dan
epinephrine, trauma

Terapi trombositosis
· Hidroksiurea dan anagrelide, dapat membantu menekan produksi sel keping darah
oleh sumsum tulang guna mengurangi kadar sel keping darah di dalam darah
· Pada beberapa orang yang tidak mengeluhkan gejala apapun, tidak diperlukan
penanganan
· Penanganan penyakit trombositosis yang disebabkan cedera, operasi, peradangan,
ataupun infeksi, tidak memerlukan penanganan pengobatan khusus. Hal ini disebabkan
begitu luka akibat operasi, infeksi ataupun peradangan mongering, maka jumlah trombosit
dalam tubuh dapat kembali normal.
66
· Untuk penyakit trombositosis yang diakibatkan pengangkatan limpa, biasanya
merupakan jenis trombositosis seumur hidup dan untuk mengatasinya dapat
diberikan aspirin dosis rendah guna mencegah pembekuan darah dan pendarahan

3. Agranulositosis
Agranulositosis adalah setiap keadaan yang dimana ditandai dengan berkurangnya jumlah
granuilosit. Pada dasarnya berkurangnya jumlah granulosit secara parah baru disebut
dengan agranulositosis, namun penurunan granulosit juga bisa merupakan manifestasi dari
neutropenia (jumlah neutrophil kurang dari 1.500ml).
Keadaan agranulositosis merupakan keadaan yang langka, dimana keadaan ini
timbul sebagai efek toksik langsung terhadap sumsum tulang, mungkin juga pada orang-
orang dengan polimorfisme gen atau akibat toksisitas yang diperantarai antibodi terhadap
neutrophil dan prekursornya.
Agranulositosis adalah keadaan yang sangat serius yang ditandai dengan jumlah leukosit
yang sangat rendah dan tidak adanya neutrofil. Agen penyebab umumnya adalah obat yang
menganggu pembentukan sel atau meningkatkan penghancuran sel. Obat – obat yang
sering dikaitkan adalah agen – agen kemoterapi mielosupresif (menekan sumsum tulang)
yang digunakan pada pengobatan keganasan hematologi dan keganasan lainnya. Obat
yang makin banyak dan sering digunakan seperti analgetik antibiotika, dan antihistamin,
diketahui mampu menyebabkan neutropenia atau agranulositosis berat. Respon terhadap
obat – obatan ini berkaitan dengan dosis atau reaksi idiosinkrasi.
Gejala agranulositosis yang sering dijumapai adalah infeksi, rasa malaise umum (rasa tidak
enak, kelemahan, pusing, dan sakit otot) diikuti oleh terjadinya tukak pada membrane
mukosa, demam dan takikardia. Jika agranulositosis tidak diobati, dapat terjadi sepsis dan
kematian. Menghilangkan agen penyebab sering menghambat dan menyembuhkan proses
tersebut disertai peningkatan pembentukan neutrofil dan unsur – unsur sumsum normal
lainnya.

Etiologi
Penyakit ini dapat berupa,
 Hereditary disease atau diwariskan secara resesif autosomal (penyakit
kostmann) walaupun jarang terjadi, atau bisa juga secara dominant autosomal
(kongenital neutropenia berat atau juga bisa berupa neutropenia benigna familial).
 Acquired disease atau didapat sebagai pengaruh dari obat-obatan atau
pengaruh dari efek samping dari kemotherapi. Penyebab terjadinya penyakit
agranulocytosis bisa juga sebagai akibat infeksi virus misalnya demam kelenjar,
campak, acquired immunodeficiency syndromes. Selain itu juga bisa merupakan
akibat dari pengunaan obat-obatan misalnya, karbimazol dan kemoterapi.
Penyakit darah yang terkait dengan penyakit ini adalah, leukemia, anemia pernisiosa, dan
anemia aplastik.
Penyebab dari agranulositosis adalah penyinaran tubuh oleh sinar gamma yang disebabkan
oleh ledakan nuklir atau terpapar obat-obatan (sulfonamida, kloramphenikol, antibiotik
betalaktam, Penicillin,ampicillin, tiourasil). Kemoterapi untuk pengobatan keganasan
hematologi atau untuk keganasan lainnya,analgetik dan antihistamin jika sering serta makin
banyak digunakan.

Epidemiologi
Agranulositosis adalah gangguan langka tapi mengancam jiwa didefinisikan sebagai
kurangnya jumlah neutrophil mutlak kurang dari 0,5 x 10 9/l.4ju neutropenia Dimana penyakit
ini dapat bersifat kongenital, dapat berupa penyakit kostmann atau dikenal dengan
agranulositosis infatil genetic. Pada penyakit tersebut kebanyakan penderita meninggal
67
dunia dalam usia 3 tahun. Hal ini berdasarkan laporan seorang peneliti bernama kostmann
yang mengumpulkan 19 anak swedia bersaudara pada tahun 1975. Sejak saat itu kasus-
kasus agranulositosis kongenital ditemukan di Asia, Amerika Utara, dan Eropa.
Kejadian rata-rata agranulositosis di rumah sakit Songklanagarrind di Thailand dapat
dilihat dalam tabel dibawah ini.

Dari data tersebut antara tahun 1993-2007 ada 38 kasus yang terjadi akibat
dipengaruhi oleh suatu kerja obat tertentu, berikut tabel yang menjelaskan jenis-jenis obat
tersebut yang dalam meningkatnya kasus agranulositosis di Thailand.

Patogenesis
Mekanisme yang dapat menyebabkan neutropenia atau agranulocytosis secara umum
dapat dibagi menjadi dua kategori:

68
 Granulopoiesis yang tidak adekuat atau tidak efektif. Penurunan granulopoiesis
dapat merupakan menifestasi kegagalan umum sumsum tulang seperti yang terjadi pada
anemia aplastik dan berbagai leukemia. Kemotrapi kanker juga menyebabkan
neutropenia dan lebih parah lagi ke arah granulopoiesis dengan memicu terjadinya
aplasia pada sumsum tulang sementara. Selain itu sebagian, sebagian neutropenia
bersifat tersendiri, yang terkena hanya precursor dari granulosit. Hal ini paling sering
disebabkan oleh obat tertentu atau lebih jarang oleh proliferasi neoplastic limfosit
granular besar (yang disebut sebagai granular besar atau dikenal sebagai leukemia
LGL/Large Granular leukemia).
 Pembersihan atau destruksi neutrofil yang dipercepat. Hal ini dapat ditemukan pada
cedera neutrophil yang terjadi secara imunologis yang pada sebagian kasus dipicu oleh
obat, seperti aminopirin atau bersifat idiopatik. Pada infeksi bakteri dan jamur atau
riketsia yang parah dapat terjadi peningkatan pemakaian jaringan perifer. Pembesaran
limfa juga dapat menyebabkan percepatan pembersihan neutrophil melalui proses
sekuestrasi.
Gejala awal penyakit berupa malaise, mengigil, demam, diikuti dengan perasaan lelah dan
mudah lelah yang mencolok. Infeksi akan menjadi masalah utama dan bermanifestasi pada
organ tubuh. seperti pada gingiva, dasar mulut, mukosa pipi, faring, atau tempat lain
dirongga mulut berupa lesi ulseratif nekrotikans(angina agranulostik). Semua lesi tersebut
menunjukan perubahan besar-besaran mikroorganisme dengan respon leukosit yang
relative lemah.

Diagnosis
Kecurigaan pada penyakit ini muncul ketika didapatkan dalam pemeriksaan hitung sel darah
lengkap didapatkan jumlah dari neutrophil kurang dari < 500/ml. Penyakit ini biasa diikuti
dengan terjadinya suatu infeksi pada tubuh dan memiliki manifestasi yang serupa dengan
infeksi tersebut sehingga terkadang sangat sulit menentukan apakah infeksi yang timbul
merupakan manifestasi langsung dari agranulositosis atau infeksi tersebut yang menjadi
faktor pencetus agranulositosis.
Riwayat pengunaan obat-obat tertentu dan adanya riwayat kemoterapi menjadi
pilihan untuk mempermudah melakukan diagnosis pasien tersebut. Dan pada hapusan
sumsum tulang dapat menunjukan gambaran sebagai berikut.

Penatalaksanaan

69
Pada dasarnya tidak ada terapi yang spesifik untuk penyakit ini, penyembuhan
penyakit infeksi dan menghentikan pengunaan obat yang menginduksi dari penyakit ini
menjadi solusi untuk terapi.
Upaya saat ini yang masih sedang dalam penelitian berupa pemberian faktor
pertumbuhan hematopoietik seperti granulocyte colony stimulating factor, yang merangsang
pembentukan neutrophil oleh sumsum tulang
4. Trombositopenia
Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit kurang dari100.000 / mm3 dalam
sirkulasi darah. Darah biasanya mengandung sekitar 150.000-350.000 trombosit/mL. Jika
jumlah trombosit kurang dari 30.000/mL, bisa terjadi perdarahan abnormal meskipun
biasanya gangguan baru timbul jika jumlah trombosit mencapai kurang dari 10.000/mL.

Penyebab
a. Berkurangnya produksi atau meningkatnya penghancuran trombosit.
b. Keadaan trombositopenia dengan produksi trombosit normal biasanya disebabkan
oleh penghancuran atau penyimpanan yang berlebihan.
c. Trombosit dapat juga dihancurkan oleh produksi antibodi yang diinduksioleh obat.
d. Perusakan atau penekanan pada sumsum tulang.
e. Kemoterapeutik yang bersifat toksik terhadap sumsum tulang.
f. Trombosit menjadi terlarut
g. Tanda dan Gejala
h. Adanya petekhie pada ekstermitas dan tubuh
i. Menstruasi yang banyak
j. Perdarahan pada mukosa, mulut, hidung, dan gusi
k. Muntah darah dan batuk darah
l. Perdarahan Gastro Intestinal
m. Adanya darah dalam urin dan feses
n. Perdarahan serebral, terjadi 1 – 5 % pada ITP.

Patofisiologi
Fungsi trombosit dapat berubah (trombositopati) melalui berbagai cara yang mengakibatkan
semakin lamanya perdarahan. Obat-obat seperti aspirin, indometasin, fenilbutazon
menghambat agregasi dan reaksi pelepasan trombosit, dengan demikian menyebabkan
perdarahan yang memanjang walaupun jumlah trombosit normal. Pengaruh aspirin tunggal
dapat berlangsung selama 7 hari hingga 10 hari.
Protein plasma, seperti yang ditemukan pada makroglobulinemia dan myeloma multiple
menyelubungi trombosit, mengganggu adhesi trombosit, retraksi bekuan, dan polimerasi
fibrin.
Komplikasi
a. Syock hipovolemik
b. Penurunan curah jantung
c. Purpura, ekimosis, dan petekie
Pemeriksaan Diagnostik
Penurunan produksi trombosit, dibuktikan dengan aspirasi dan biopsy sumsum tulang,
dijumpai pada segala kondisi yang mengganggu atau menghambat fungsi sumsum tulang.
Kondisi ini meliputi anemia aplastik, mielofibrosis (penggantian unsur-unsur sumsum tulang
dengan jaringan fibrosa), leukimia akut, dan karsinoma metastatik lain yang mengganti
unsur-unsur sumsum tulang normal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trombositopenia biasanya adalah mengobati penyakit yang mendasarinya.
Apabila terjadi gangguan produksi trombosit, maka tranfusi trombosit dapat menaikkan
70
angka trombosit dan menghentikan perdarahan atau mencegah perdarahan intracranial.
Apabila terjadi penghancuran trombosit yang esksesif, trombosit yang ditransfusikan juga
akan dihancurkan dan tidak akan menaikkan angka trombosit.

71
PATOGENESIS KELAINAN LEUKOSIT
1. Leukemia akut
Leukemia merupakan penyakit keganasan sel darah yang berasal dari sumsum tulang,
ditandai oleh proliferasi sel-sel darah putih, dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal
dalam darah tepi. Pada leukemia ada gangguan dalam pengaturan sel leukosit. Leukosit
dalam darah berproliferasi secara tidak teratur dan tidak terkendali dan fungsinya pun
menjadi tidak normal. Oleh karena proses tersebut fungsi-fungsi lain dari sel darah normal
juga terganggu hingga menimbulkan gejala leukemia yang dikenal dalam klinik. Leukemia
akut dibagi atas LLA dan LMA. Leukemia sebenarnya merupakan suatu istilah untuk
beberapa jenis penyakit yang berbeda dengan manifestasi patofisiologis yang berbeda pula.
Kelainan yang menjadi ciri khas sel leukemia diantaranya termasuk asal mula ―gugus‖ sel
(clonal), kelainan proliferasi, kelainan sitogenik dan morfologi, kegagalan diferensiasi,
petanda sel dan perbedaan biokimiawi terhadap sel normal.
a. Leukemia Mieloblastik Akut
Leukemia mieloblastik akut (LMA) adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel – sel progenitor dari seri mieloid.
Cara klasifikasi morfologik menurut FAB (France-America-British) seperti berikut ini :
- M – 0 leukemia mielositik akut dengan diferensiasi minimal.
- M – 1 leukemia mielositik akut tanpa maturasi.
- M – 2 leukemia mielositik akut dengan maturasi.
- M – 3 leukemia promielositik hipergranuler.
- M – 4 leukemia mielomonositik akut.
- M – 5 leukemia monositik akut.
- M – 6 leukemia eritroblastik (eritroleukemia).
- M – 7 leukemia megakariositik akut.
Patogenesis utama LMA adalah adanya blokade maturitas yang menyebabkan proses
diferensiasi sel-sel seri mieloid terhenti pada sel-sel muda (blas) dengan akibat terjadi
akumulasi sel blas di sumsum tulang. Akumulasi sel blas didalam sumsum tulang
menyebabkan gangguan hematopoesis normal dan pada gilirannya mengakibatkan
sindrom kegagalan sumsum tulang (bone marrow failure syndrome) yang ditandai
dengan adanya sitopenia (anemia, lekopenia dan trombositopenia).
Etiologi dari LMA tidak diketahui, meskipun demikian ada beberapa faktor yang
diketahui dapat menyebabkan LMA :
1. Kemoterapi alkylating.
2. Radiasi ionik.
3. Sindroma down.
4. Paparan benzena.

Manifestasi Klinik
Adanya sitopenia akibat infiltrasi sel leukemia akan menyebabkan kelelahan, pucat, sesak
karena anemia, perdarahan karena trombositopenia, infeksi atau panas karena neutropenia.
Menginfiltrasi organ, sehingga menyebabkan hepatomegali, splenomegali, limfadenopati
dan beberapa kasus menyerang kulit menjadi leukemia kulit.
b. Leukemia Limfoblastik Akut
Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah keganasan klonal dari sel – sel prekursor limfoid.
Lebih dari 80% kasus, sel-sel ganas berasal dari limfosit B, dan sisanya merupakan
leukemia sel T. Leukemia ini merupakan bentuk leukemia yang paling banyak pada anak-
anak. Penelitian yang dilakukan pada LLA menunjukkan bahwa sebagian besar LLA
mempunyai homogenitas pada fenotip permukaan sel blas dari

72
setiap pasien. Hal ini memberi dugaan bahwa populasi sel leukemia itu berasal dari sel
tunggal. Oleh karena homogenitas itu maka dibuat klasifikasi LLA secara morfologik untuk
lebih memudahkan pemakaian dalam klinik, sebagai berikut :
- L – 1 terdiri dari sel limfoblas kecil serupa, dengan kromatin
homogen, anak inti umumnya tidak tampak dan sitoplasma sempit.
- L – 2 pada jenis ini sel limfoblas lebih besar tetapi ukurannya
bervariasi, kromatin lebih kasar dengan satu atau lebih anak inti.
- L – 3 terdiri dari sel limfoblas besar, homogen dengan kromatin
berbercak, banyak ditemukan anak inti serta sitoplasma yang basofilik
dan bervakuolisasi.
Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak diketahui. Faktor keturunan dan
sindroma predisposisi genetik lebih berhubungan dengan LLA yang terjadi pada anak-anak.
Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungan dengan LLA adalah :
- Radiasi ionik
- Paparan dengan benzena kadar tinggi
- Merokok sedikit meningkatkan risiko LLA pada usia diatas 60
tahun
- Obat kemoterapi
- Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
- Pasien dengan sindroma Down dan Wiskott-Aldrich mempunyai
risiko yang meningkat untuk menjadi LLA.8
Manifestasi Klinis
Penderita letih, lemah dengan sakit tulang. Kegagalan sumsum tulang akan terlihat dengan
adanya perdarahan, bruising, panas dan infeksi. Kadang ditemukan penderita dengan sakit
kepala karena infiltrasi sel leukemia ke otak, dapat tampak seperti tanda stroke. Tanda lain
arthralgia, sesak atau hipoksia karena leukostasis. Hepato-splenomegali dan limfadenopati
sering ada.
Diagnosis
Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis
leukemia. Namun untuk memastikannya harus dilakukan pemeriksaan aspirasi sumsum
tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi dada, cairan serebrospinal, dan
beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat mendiagnosis sekitar 90%
kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih lanjut, yaitu sitokimia, imunologi,
sitogenetika, dan biologi molekuler. Pada pemeriksaan darah lengkap didapatkan anemia,
kelainan jumlah hitung jenis leukosit dan trombositopenia. Bisa terdapat eosinofilia reaktif,
pada pemeriksaan preparat apus darah tepi didapatkan sel-sel blas.

2. Leukemia Kronik
Leukemia kronik dibedakan dari leukemia akut berdasarkan progesinya yang lebih lambat
sampai lebih dari 10 hingga 20 tahun. Leukemia kronik juga sulit diobati dan leukemia kronik
dapat dibagi secara luas menjadi kelompok myeloid dan limfositik. Leukemia myeloid kronik
mencakup enam tipe yang berbeda. Pengobatan sangat penting demi kelangsungan hidup
pasien, dimana engobatan leukemia tergantung dari berbagai macam faktor, salah satu
diantaranya pengobatan leukemia berdasarkan jenis leukemianya, ada beberapa pilihan
terapi untuk leukemia yaitu: kemoterapi, terapi bertarget, terapi biologi, terapi radiasi dan
transplantasi sel stem. Obat- obatan yang sering digunakan dalam kemoterapi misalnya
beberapa obat sitotoksik seperti sitarabin, mustine dan lain-lain. Pada terapi dengan dosis
obat yang berlebihan dapat membunuh atau merusak jaringan dan sel tubuh yang normal
serta menyebabkan efek samping bagi penderita penyakit kanker seperti lemas, mual,
muntah, gangguan pencernaan, rambut rontok, otak dan syarat mati rasa, kulit kering, dan
lain-lain.
73
Etiologi
Secara umum, penyebab leukemia masih belum diketahui, namun anak-anak denan cacat
genetic (Trisomi 21, sindrom ―Bloom‘s anemia ―Fanconi‘s dan ataksia telangiektasia)
mempunyai resiko lebih tinggi menderita leukemia dan kembar monozigot. Walaupun
penyebab dasar leukemia tidak diketahui, predisposisi genetic maupun faktor-faktor
lingkungan memliki peranan. Faktor lingkungan berupa pajanan dengan radiasi pergion
dosis tinggi disertai manifestasi leukemia yang timbul bertahun-tahun kemudian.
Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor resiko terjadinya leukemia pada anak. Faktor-
faktor tersebut adalah penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplemen, oksigen, asfiksia,
berat badan lahir >4500 gr, dan hipertensisaat hamil.
 Leukemia Granulositik Kronik (LGK) atau Leukemia Mielositik Kronik (LMK)
LGK disebabkan oleh adanya translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom 9
dengan lengan panjang kromosom 22. Gabungan antara gen ABL yang terdapat pada
lengan panjang kromosom 9 dengan gen BCR pada lengan panjang kromosom 22
(BCR-ABL) diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya kelainan proliferasi pada
penyakit ini.
 Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
LLK ini merupakan suatu gangguan limfoproliferatif yang ditentukan pada orang tua
(umur median 60 tahun). Penyebab pastinya tidak diketahui. Kemungkinan yang
berperan adalah abnormalitas kromosom, onkogen dan retrovirus. LLK kemungkinan
merupakan akibat dari suatu proses bertahap, dimulai dengan ekspansi poliklonal yang
ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ dibawah pengaruh agen mutasi,
yang pada akhirnya ditransformasi menjadi proliferasi monoklonal. Pada LLK, TNF alfa
beperan dalam growth factor. Sekitar 50% pasien LLK mempunyai abnormalitas
sitogenik, khususnya Trisomi 12, kelainan kromosom 13 pada lajur q14 (lokasi gen
supresor RB-1), 14q+, delesi kromosom 6 dan delesi kromosom 11. Kelainan kariotipik
bertambah pada LLK stadium lanjut dan menunjukkan adanya abnormalitas yang
didapat. Evolusi kariotipik biasanya berhubungan dengan perjalanan penyakit, terjadi
pada 15-40% pasien LLK.

Patogenesis
 Leukemia Granulositik Kronik atau Leukemia Mieloid Kronik (LGK/LMK)
LGK/LMK adalah gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi
berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang. Leukemia mieloid kronik
juga merupakan suatu penyakit, yang disebabkan sel di dalam sumsum tulang yang
berubah menjadi ganas dan menghasilkan sejumlah besar granulosit yang abnormal. 9
Gen BCR-ABL pada kromosom Ph akan menyebabkan proliferasi yang berlebihan
tehadap sel induk pluripoten pada sistem hematipoiesis. Klon-klon ini, selain
proliferasinya berlebihan juga dapat bertahan hidup lebih lama disbanding sel normal,
karena gen BCR-ABL juga bersifat anti apoptosis. Dampak kedua mekanisme tersebut
ialah terbentuknya klon-klon abnormal sehingga akan mendesak sistem hematopoiesis
lainnya.
 Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
Leukemia Limfositik kronik (LLK) merupakan keganasan hematologi yang ditandai
dengan akumulasi limposit kecil matang dalam darah, sumsum tulang dan jaringan
limfoid. Keganasan pada LLK umumnya berasal dari sel B (B cell lineage) dan yang
berasal dari sel T kurangdari 2%, umumnya berhubungan dengan leukemia prolimfositik
sel T. Perubahan kromosom yang paling sering terjadi adalah Trisomi 12, delesi 13q,
dan delesi 11q yang meliputi gen telangiektasia ataksia. Mutasi atau delesi onkogen
terjadi, dapat mencegah terjadinya apoptosis dari sel-sel tersebut. Sel B darah tepi
normal adalah subpopulasi limfosit B CD5+ matur (sama dengan sel B-1a) yang
74
terdapat pada zona mantel lomfonodi dan dalam jumlah kecil di darah. Sel B LLK
mengekspresikan immunoglobulin membran permukaan, dimana pada umumnya
berkadar rendah, kebanyak IgM, IgD dibandingkan sel B darah tepi normal, dan single
light chain. Juga mengekspresikan antigen sel T CD5, antigen HLA-DR dan antigen sel
B (CD19 dan CD20) mempunyai reseptor untuk sel darah merah dan menghasilkan
autoantibody polireaktif. Berdasarkan karakterisitik tersebut, LLK kemungkinan
diakibatkan oleh suatu proses yang bertahap, dimulai dengan ekspansi poliklonal yang
ditimbulkan oleh antigen terhadap limfosit B CD5+ dibawah pengaruh agen mutasi
sehingga akan ditransformasikan menjadi proliferasi monoclonal. Limfosit B CD5+
neoplastik menumpuk akibat hambatan apoptosis. Meskipun gen bel-2 jarang
ditranslokasi, akan tetapi harus tetap dan terus menerus di ekspresikan secara
berlebihan, sehingga nantinya akan memperpanjang serta menambah kelangsungan
hidup LLK.

Diagnosis
 Leukemia Granulositik Kronik atau Leukemia Mieloid Kronik (LGK/LMK)
Hematologi rutin: leukositosis (20.000 – 60.000/mm3). Didapatkan peningkatan
persentas eosinofil dan basofil, kemudian kadar Hb biasanya normal atau sedikit
menurun, dan pada beberapa kasus jumlah trombosit dapat normal atau
trombositopenia, tapi sangat jarang. Biasanya jumlah trombosit ditemukan berkisar
antara 500.000 – 600.000/mm3 .
Pada pemeriksaan hapusan darah tepi ditemukan polikromatofil, tampak seluruh
tingkatan diferensiasi dan maturasi seri granulosit, peningkatan persentase sel mielosit,
metamielosit, basofil, dan eosinofil.
Pada hapusan sumsum tulang, terlihat gambaran hiperselular dan d idapatkan
peningkatan jumlah megakariosit.
Karyotyping, hilangnya sebagian lengan panjang kromosom 22 (kromosom
Philadelphia/Ph). Kemudian, pada pemeriksaan sitogenetika fluorescence in situ
hybridization (FSH), ditemukan translokasi resiprokal antara lengan panjang kromosom
22 dengan lengan panjang kromosom 9.
Terdapat 3 fase ada penyakit LMK yaitu fase kronik, fase akselerasi, dan fase blastik.
Fase kronik, terdapat:
- Jumlah leukosit 20.000->50.000/μL
- Jumlah trombosit >1.000.000/μL dengan morfologi abnormal. Trombosit
dengan ukuran besar tanpa adanya granula dan dijumpai megakariosit pada 1⁄4
kasus LMK.
- Gambaran darah tepi dan sumsum tulang yang klasik dengan dominasi
mielosit dan neutrofil.
- Pada darah tepi didapatkan anemia normositik normokrom.
Fase akselerasi, bila dijumpai salah satu dari kriteria di bawah ini:
- Blas 10-19% di darah tepi/sumsum tulang
- Basofilia > 20%
- Trombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak responsif terhadap
pengobatan
- Ukuran limpa makin membesar dengan jumlah leukosit meningkat, tidak
ada respon terhadap pengobatan.
Fase Blastik, didapatkan bila memenuhi salah satu kriteria di bawah ini:
- Blas ≥ 20% di darah tepi / sumsum tulang
- Proliferasi blas ekstramedular
- Ditemukan kelompok / cluster sel blas pada biopsi sumsum tulang
 Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
75
Pada awal diagnosis, kebanyakan pasien LLK ialah asimptomatik. Pada pasien
dengan gejala, sering ditemukan limfadenopati generalisata, hepatomegali,
splenomegali, penurunan BB dan kelelahan. Gejala lainnya berupa hilangnya nafsu
makan dan penurunan kemampuan beraktivitas. Demam, keringat malam dan infeksi
jarang terjadi pada awalnya, akan tetapi semakin terlihat sejalan dengan penyakitnya.
Pada pemeriksaan fisik, sekitar 20-30% pasien tidak menunjukkan kelainan fisik.
Adapun yang didapat saat pemeriksaan fisikm ialah limfadenopati dan atau
hepatosplenomegali. Hepatomegali dan atau splenomegali ditemukan pada 25-50%
kasus. Infiltrasi pada kulit, kelopak mata, jantung, pleura, paru, dan saluran cerna
umumnya jarang dan akan timbul pada akhir perjalanan penyakit. Sejalan dengan
berjalannya penyakit, dapat menimbulkan obstruksi lumen termasuk ikterus obstruktif,
disfagia uropati obstruktif, edema ekstremitas bawah, dan obstruksi usus parsial.
Kriteria diagnosis untuk kasus LLK, antara lain peningkatan jumlah leukosit dengan
limfositosis kecil sekitar 95%. Untuk menegakkan diagnosis, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan hapusan darah tepi. Dimana, nantinya akan tampak limfositosis dengan
gambaran limfosit yang matur dan smudge cell yang dominan. Infiltrasi limfosit ke
sumsum tulang bervariasi dalam 4 gambaran, yaitu interstisial (33%), nodular (10%),
campuran interstisial dan nodular (25%) serta infiltrasi difus (25%). Walaupun
limfositosis dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang telah ditemukan belum tentu pasien
tersebut adalah pasien LLK. LLK baru dapat ditegakkan apabila ditemukan peningkatan
absolut limfosit di dalam darah (>5000/L) dan morfologi serta immunofenotipnya
menunjukkan gambaran yang khas.

Penatalaksanaan
 Leukemia Granulositik Kronik atau Leukemia Mieloid Kronik (LGK/LMK)
Tujuan dari penatalaksanaan LGK/LMK ialah untuk mencapai remisi
hematologikkomplit maupun remisi sitogenik komplit (berkurangnya ekspresi gen BCR-
ABL atau protein yang dihasilkannya) dan molekular komplit (hilangnya atau
berkurangnya kromosom Ph)
1. Hidroxyurea, dosis 30 mg/Kg/BB/hari per oral. Diberikan dosis tunggal atau
dibagi dalam 2-3 dosis. Jika kadar leukosit >300.000/mm 3 dosis dapat ditingkatkan
hingga maksimal 2,5 g/hari. Konsumsi dihentikan dahulu jika kadar leukosit
<8.000/mm3 atau trombosit <100.000/mm 3. Efek yang ditimbulkan berlangsung
dalam beberapa hari sampai minggu setelah pengobatan dihentikan.
2. Busulfan, dosis 4-8 mg/hari per oral, maksimal 12 mg/hari. Terapi dihentikan
jika leukosit berkisar antara 10.000 – 20.000/mm3, dan dimulai kembali jika sudah
>50.000/mm3. Jika kadar leukosit sangat tinggi maka disarankan untuk
mengkombinasikan dengan allopurinol dan dukungan hidrasi yang baik. Efek yang
ditimbulkan adalah fibrosis paru dan supresis sumsum tulang yang berkepanjangan,
Busulfan di kontraindikasikan pada wanit hamil.
3. Imatinib mesyalate, untuk mencapai remisi hematologic, sitogenik, dan
biologis molecular. Obat ini menghambat aktivitas tirosin kinase daru fusi gen BCR-
ABL, dan obat ini diindikasikan sebagai terapi line pertama. Pada pasien yang baru
di diagnosis LGK, terapi dengan obat ini dapat memberikan hasil yang baik.
4. Interferon alfa, untuk mencapai remisi sitogenik.
5. Cangkok sumsum tulang, merupakan terapi definitif LGK sehingga
memperpanjang remisi sampai lebih dari 9 tahun. Akan tetapi, prosedur ini tidak
dilakukan pada LGK dengan pemeriksaan kromosom Ph negatif atau BCR-ABL
negatif.

76
 Leukemia Limfositik Kronik (LLK)
Kesembuhan jarang terjadi pada CLL, sehingga pendekatan terhadap terapi bersifat
konservatif, ditujukan pada pengendalian gejala dan bukan hitung darah normal.
Sebenarnya, kemoterapi yang diberikan terlalu dini kepada penderita dapat
memperpendek harapan hidup. Pengobatan diberikan jika didapatkan organomegali,
episode hemolitik, dan supresi sumsum tulang.
Kemoterapi
1. Klorambusil; dengan menggunakan zar pengalkil oral klorambusil. Obat ini
digunakan sebagai pengobatan harian (4-6mg/hari) selama 10 hari. Obat ini efektif
untuk mengurangi beratnya penyakit pada sebagian besar kasus. Biasanya obat ini
perlu diberikan selama 2-4 bulan, setelah itu akan mencapai remisi dengan durasi
yang bervariasi. Obat ini juga dapat diberikan kembali jika diperlukan walaupun
dapat meyebabkan resistensi.
2. Analog purin; efektif untuk pengobatan LLK dan limfoma. Formulasi obat
intravena maupun oral dapat digunakan secara bulanan.
3. Kortikosteroid; diindikasikan bila terdapat anemia hemolitik autoimun atau
trombositopenia. Pasien yang menderita kegagalan sumsum tulang harus diobati
sejak awal dengan prednisolon saja, sampai jumlah trombosit, neutrofil, dan Hb
terjadi pemulihan yang bermakna. 1
Diagnosis LLK tidak menandakan perlu diberikannya pengobatan. Tujuan terapi pada
kebanyakan LLK ialah untuk meredakan gejala dan memperpanjang kelangsungan
hidup. Adapun indikasi terapi yang harus diketahui, sebagai berikut:
- kegagalan sumsum tulang yang progresif, yang ditandai dengan
memburuknya anemia dan/atau trombositopenia
- limfadenopati yang progresif (>10 cm)
- splenomegali massif (>6 cm) atau nyeri pada limpa
- limfositosis progresif (dalam 2 bulan meningkat hingga 50%)
- gejala sistemik yaitu penurunan BB >10% dalam 6 bulan, suhu badan >38oC
selama >2 minggu, fatigue, dan keringat malam
- sitopenia autoimun

RINITIS ALERGI
1. Definisi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya
suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), rinitis alergi adalah
kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

2. Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya
(Peralmuni, 2006). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma), yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:

77
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari
4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

3. Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada dewasa dan
ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria
dan gangguan pencernaan.
Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya
berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun) diantaranya debu
tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae dan
Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang
pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat
tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan
faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu
rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau
sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik atau perhiasan

4. Epidemiologi
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan menempati
posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi juga merupakan alasan
ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan profesional setelah pemeliharaan
gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai 20%.
Valovirta7 dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien rinitis alergi menderita asma
bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki gejala rinitis alergi sebelumnya.
Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS,
didapatkan hasil yang hampir sama yaitu 38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala asma
bronkial, atau sekitar 3-5% dari total populasi.
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children (ISAAC), Indonesia
bersama-sama dengan negara Albania, Rumania, Georgia dan Yunani memiliki prevalensi
rinitis alergi yang rendah yaitu kurang dari 5%. Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial
juga kurang dari 5%. Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-
35%) dan Hongkong (25-30%).

78
Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan bahwa rinitis alergi yang menyertai
asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi pada 30,3% kasus.

5. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap
sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate
phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak
dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi
fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase
hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat berlangsung 24-48 jam.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.

Gambar 1. Patofisiologi rhinitis alergika

IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil
(sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang
menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi
terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan
terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya
mediator kimia yang sudah terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain
histamin juga dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF),
berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony
Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat
(RAFC).
79
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid.
Selain histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan
akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai
disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan.
Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil,
limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-
3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1
pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Cationic
Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP), dan
Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik (alergen), iritasi oleh
faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang,
perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan
penebalan membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar
keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-
menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang
ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak
mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi
yang secara garis besar terdiri dari:
a. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non
spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.
b. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah
sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah
ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
c. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat
bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau
reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity).
Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah
tipe 1, yaitu rinitis alergi

7. Gejala Klinik
Rinitis alergi ditandai dengan trias gejala yaitu beringus, bersin-bersin, dan
hidung tersumbat disertai gejala tambahan berupa gatal atau rasa perih pada hidung.
Gatal pada mata, urtikaria, rasa sumbatan pada telinga, gatal pada palatum, gatal
pada tenggorok serta asma dapat menyertainya apabila reaksi alergi terjadi juga pada

80
organ-organ lain. Gejala- gejala tersebut dapat sembuh spontan atau membaik oleh
obat.

8. Diagnosis
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
Anamnesis dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala hidung, termasuk keterangan mengenai
tempat tinggal, tempat kerja dan pekerjaan penderita. Gejala gejala rhinitisalergi yang
perlu ditanyakan adalah:
1) Adanya bersin-bersin lebih dari 5 kali (setiap kali serangan)
2) Rinore (ingus bening, encer) dan banyak
3) Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit
4) Gatal di mata, berairdan kemerahan
5) Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)
6) Hiposmia/anosmia
7) Sekret belakang hidung /pos nasal drip atau batuk kronik
8) Adakah variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang hari danmembaik saat
malam hari.
9) Penyakit penyerta; sakit kepala berhubungan dengan tekanan pada hidung
dan sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala
radang tenggorok, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak nafas/asma.
10) Frekuensi serangan, lama sakit ( intermiten/ persisten), beratnya penyakit,
efeknya pada kualitas hidup seperti adakah gangguan pada pekerjaan, sekolah,
berolahraga, bersantai dan melakukan aktivitas sehari-hari.

Pada reaksi alergi fase cepat, gejala klinik yang menonjol adalah bersin-bersin, gatal,
rinore dan kadang-kadng hidung tersumbat, sedang pada reaksi alergi fase lambat,
gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, post nasal drip dan hiposmia.
Perlu ditanyakan riwayat atopi keluarga serta manifestasi penyakit alergi lain sebelum
atau bersamaan dengan rhinitis seperti asma bronchial, dermatitis atopi, urtikariaa dan
alergi terhadap makanan.
Sumber penting allergen di lingkungan pasien juga dipertanyakan sebagaimana
kualitas udara dan system ventilasi dirumah maupun di lingkungan kerja, adanya
binatang peliharaan, tipe lantai, keadaan kamar mandi dan ruang bawah tanah sebagai
gudang (bila ada). Faktor pemicu timbulnya gejala juga perlu dipertanyakan seperti
lingkungan di rumah, kamar tidur, tempt kerja, sekolah, kegemaran atau hobi yang
dapat memicu terjadinya gejala. Bila pasien alergi terhadap debu rumah, gejala
memburuk di dalam rumah dan membaik di luar rumah.Gejala juga dipicu bila pasien
membersihkan rumah, biasanya memburuk 30 menit sebelum tidur malam.
Bila alergi terhadap jamur, gejala dapat terjadi sepanjang tahun, memburuk pada
lingkungan dengan kelembaban tinggi dan pada sore hari. Adanya keadaan
hipereaktivitas hidung terhadap iritan non spesfik seperti asap rokok, udara dingin, bau
merangsang seperti bau parfum, masakan dan polutan juga dapat memicu serta
memperberat gejala rhinitis. Riwayat pengobatan yang pernah dilakukan dan hasil dari
pengobatan serta kepatuhan berobat juga perlu dipertanyakan.

b. Riwayat Penyakit
Riwayat klinis penyakit masih merupakan alat esensial bagi akuratnya diagnose rhinitis
alergi, pengukuran tingkat beratnya penyakit, dan respon pengobatan. Pasien rhinitis
sering juga dibagi menjadi tipe ―sneezers and runners‖ dan tipe ―blockers‖. Pasien
81
rhinitis alergi biasanya tipe tipe ―sneezers and runners‖. WHO initiative ARIA (2000)
membedakan kedua tipe rhinitis sebagai berikut:
Sneezers and Runners Blockers
Sneezing (sering bersin) Little or no sneezing (jarang atau tidak
bersin)
Watery mucus anterior (lendir yang cair Thick nasal mucus (lendir yang kental
pada hidung) pada hidung)
Itchy nose (hidung terasa gatal) No itch (hidung tidak terasa gatal)
Nasal blockage variable (hidung Nasal blockage often severe (hidung
tersumbat) tersumbat lebih parah)
Diurnal rhythm, worse during day and Constant day and night but maybe
improving during night (buruk pada worse at night (menetap sepanjang hari
siang hari dan memberat pada malam dan dapat memburuk saat malam hari)
hari)

c. Pemeriksaan Fisik
Gejala spesifik pada anak adalah adanya bayangan gelap di kelopak mata bawah
akibat sumbatan vena di daerah orbita, hidung dan sinus yang biasanya menetap
akibat bocornya hemosiderin (Allergic shiners), Dennie-Morgan liners adalah garis pada
kulit di kelopak bawah mata, Allergic salute adalah kebiasaan anak menggosok-gosok
hidung karena gatal dengan telapak tangan kearah atas yang akan mengakibatkan
timbulnya garis melintang di dorsum nasi sepertiga bawah ( Allergic crease). Pada anak
dengan sumbatan hidung kronik dapat menimbulkan fasies adenoid karena sering
bernafas lewat mulut.
Hal ini akan menyebabkan lengkung palatum yang tinggi dan gangguan pertumbuhan
gigi sehingga terjadi penonjolan ke dapan dari gigi seri atas. Pasien sering mengerak-
gerak mulut dn gigi saat tidur terutama pada anak untuk mengatasi masalah gejala rasa
penuh di telinga akibat sumbatan tuba. Kadang-kadang ditemukan adanya krusta dan
kulit yang kasar di daerah nostril/ lubang hidung.
Pada mata dapat ditemukan kemerahan dengan hiperlakrimasi. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior ditemukan mukosa konka inferior atau media pucat/livid, dilipuri
secret hidung seromukoid, udema ( boggy) atau hipertrofi. Perhatikan juga daerah
septum nasi ( lurus, deviasi, spina/ krista) serta adakah polip nasi. Bila fasilitas tersedia
dapat dilakukan nasoendoskopi, apakah ada gambaran konka bulosa atao polip kecil di
daerah meatus medius serta keadaan kompleks osteomeatal.
Pada pemeriksaan tenggorok mungkin didapatkan bentuk geographic tounge
(permukaan lidah sebagian licin dan sebagian kasar) yang bsanya akibat alergi
makanan adenoid yang membesar, permukaan dinding faring posterior kasar (cobble
stone appereance) dan penebalan lateral pharyngeal bonds akibat secret mengalir ke
tenggorok yang kronik.

9. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan
nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit,
misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih
bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme
Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak

82
dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika
ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. Pemeriksaan IgE total serum


Secara umum, kadar IgE total serum rendah pada orang normal dan meningkat pada
penderita atopi, tetapi kadar IgE normal tidak menyingkirkan adanya rhinitis alergi.
Pada orang normal, kadar IgE meningkat dari lahir ( 0-1 KU/L) sampai pubertas dan
menurun secara bertahap dan menetap setelah usia 20-30 tahun. Pada orang dewasa
kadar >100-150 KU/L dianggap normal. Kadar meningkat hanya dijumpai pada 60 %
penderita rhinitis alergi dan 75% penderita asma. Terdapat berbagai keadaan dimana
kadar IgE meningkat yaitu infeksi parasit, penyakit kulit ( dermatitis kronik, penyakit
pemfigoid bulosa) dan kadar menurun pada imunodefisiensi serta multiple mielom.
Kadar IgE dipengaruhi juga oleh ras dan umur, sehingga pelaporan hasil harus
melampirkan nilai batas normal sesuai golongan usia. Pemeriksaan ini masih dapat
dipakai sebagai pemeriksaan penyaring, tetapi tidak digunakan lagi untuk menegakkan
diagnostik..

c. Pemeriksaan IgE spesifik serum ( dengan metode RAST)


Pemeriksaan ini untuk membuktikan adanya IgE spesifik terhadap suatu allergen.
Pemeriksaan ini cukup sensitive dan spesifik ( >85%), akurat dapat diulang dan
bersifat kuantitatif. Studi penelitian membuktikan adanya korelasi yang baik antara IgE
spesifik dengan tes kulit, gejala klinik, dan tes provokasi hidung bila menggunakan
allergen terstandarisasi. Hasil baru bermakna bila ada korelasi dengan gejala klinik,
seperti pada tes kulit. Cara lain adalah Modified RAST dengan system scoring.

d. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan ini bukan merupakan pemeriksaan pertama untuk menegakkan
diagnosis, tetapi dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang atau untuk mencari
penyebab lain yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik.
1) Hitung jenis sel darah tepi
Pemeriksaan ini dipergunakan bila fasilitas lain tidak tersedia. Jumlah sel eosinofil
darah tepi kadang meningkat jumlahnya pada penderia rhinitis alergi tetapi kurang
bermakna secara klinik.
2) Pemeriksaan sitologi secret dan mukosa hidung
Bahan pemeriksaan diperoleh dari secret hidung secara langsung (usapan),
kerokan, bilasan dan biopsy mukosa. Pengambilan sediaan untuk pemeriksan ini
sebaiknya dilakukan pada puncak RAFL pasca pacuan allergen atau saat
bergejala berat dan biasanya hanya untuk keperluan penelitian dan harus
dikerjakan oleh tenaga terlatih.
3) Tes provokasi hidung/ nasal challenge test (bila fasilitas tersedia).
Pemeriksaan ini dilakukan bila tidak terdapat kesesuaian antara hasil
pemeriksaan diagnostic primer (tes kulit) dengan gejala klinik. Secara umum tes
ini lebih sulit untuk diulang dibandingkan dengan tes kulit dan pemeriksaan IgE
spesifik. Tes provokasi menempatkan penderita pada situasi beresiko terjadinya
reaksi anafilaksis.
4) Tes fungsi mukosilier ( menilai gerakan silia)
Pemeriksaan ini untuk kepentingan penelitian
5) Pemeriksaan aliran udara hidung

83
Derajat obstruksi hidung diukur secara kuantitatif dengan alat rinomanometri
(anterior atau posterior) atau rinomanometri akustik, misalnya pasca tes provokasi
hidung. Pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan.
6) Pemeriksaan radiologik
Pemeriksaan foto polos sinus paranasal, CT Scan maupun MRI (bila fasilitas
tersedia) tidak dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis rhinitis alergi, tetapi
untuk menyingkirkan adanya kelainan patologik atau komplikasi rhinitis alergi
terutama bila respon pengobatan tidak memuaskan. Pada pemeriksaan foto polos
dapat ditemukan penebalan mukosa sinus (gambaran khas sinusitis akibat alergi)
perselubungan homogeny serta gambar batas udara cairan di sinus maksila.
7) Pemeriksaan lain yaitu: fungsi penghidu dan pengukuran kadar NO (nitric oxide).

e. Tes Kulit
Tes kulit dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : tes gores, tes kulit cukit, tes
suntik intradermal dan skin endointiration (SET). Untuk menjamin akurasinya, tes kulit
harus dilaksanakan setelah terlampaui massa ‗wash out‘ untuk kortikosteroid berkisar
antara 2-3 bulan.
Tes kulit sebagai salah satu tes alergi dengan menggunakan ekstrak allergen
merupakan alat diagnostic yang jitu yang membuktikan telah terjadinya fase
sensitisitas oleh allergen tertentu pada seorang individu. Hasil tes yang positif
menunjukkan adanya reaksi hipersensitivitas yang segera pada individu tersebut, atau
dengan kata lain pada epikutan individu tersebut terdapat komplek IgE-sel mast.
Tes kulit telah digunakan sebagai salah satu untuk menegakkan diagnosis alergi
terhadap allergen dan merupakan indikator yang aman, mudah dilakukan, hasil cepat
didapat, biaya yang relative murah dengan sensitifitas tinggi serta dapat dipakai
sebagai pemeriksaan penyaring. Tes kulit cukit dapat mendiagnosis rhinitis alergi
berderajat sedang sampai berat, tetapi pada penderita dengan sensitifitas rendah,
kemungkinan tidak terdeteksi walaupun terdapat korelasi dengan gejala klinik. Bila
pada anamnesis terdapat kecurigaan adanya alergi, sedangkan tes kulit negatif.
Tindakan yang perlu dilakukan adalah :
1) Periksa obat-obatan yang dapat mempengaruhi hasil tes
2) Periksa adakah penyebab hasil negative palsu
3) Observasi pasien selama adanya paparan allergen yang tinggi
4) Lakukan tes provokasi atau tes intradermal.

10. Diagnosis Banding


Rinitis alergi perlu dibedakan dari rhinitis vasomotor ataupun idiopatik, rhinitis
infeksiosa, rhinitis sekunder dari obat-obatan baik lokal (Neo-Synephine dan kokain)
maupun sistemik (beta bloker, aspirin, reserpin, morfin), rhinitis sekunder dari faktor
mekanis, tumor hidung, polip hidung, rinore serebrospinal, iritan kimia, faktor psikologis dan
mastositosis hidung. Disamping alergi, penderita polip hidung perlu dievaluasi terhadap
sinusitis infeksiosa dan pada anak fibrosis kistik. Sinusitis dengan etiologi nonalergi,
misalnya trauma, zat kimia, imunodefisiensi, fibrokistik, sindrom kartaganer, penyakit
granulomatosa kronik dan infeksi perlu dipertimbangkan dalam diagnosis banding..

84
11. Terapi Rinitis Alergi
Penatalaksanaan rinitis alergika meliputi edukasi, penghindaran alergen, farmakoterapi dan
imunoterapi. Intervensi tunggal mungkin tidak cukup dalam penatalaksanaan rinitis alergika,
penghindaran alergen hendaknya merupakan bagian terpadu dari strategi penatalaksanaan,
terutama bila alergen penyebab dapat diidentifikasi. Edukasi sebaiknya selalu diberikan
berkenaan dengan penyakit yang kronis, yang berdasarkan kelainan atopi, pengobatan
memerlukan waktu yang lama dan pendidikan penggunaan obat harus benar terutama jika
harus menggunakan kortikosteroid hirupan atau semprotan. Imunoterapi sangat efektif bila
penyebabnya adalah alergen hirupan. Farmakoterapi hendaknya mempertimbangkan
keamanan obat, efektifitas, dan kemudahan pemberian. Farmakoterapi masih merupakan
andalan utama sehubungan dengan kronisitas penyakit. Tabel 3 menunjukkan obat-obat
yang biasanya dipakai baik tunggal maupun dalam kombinasi. Kombinasi yang sering
dipakai adalah antihistamin H1 dengan dekongestan.

85
Antihistamin-H1 oral
Antihistamin-H1 oral bekerja dengan memblok reseptor H1 sehingga mempunyai aktivitas
anti alergi. Obat ini tidak menyebabkan takifilaksis. Antihistamin-H1 oral dibagi menjadi
generasi pertama dan kedua. Generasi pertama antara lain klorfeniramin dan difenhidramin,
sedangkan generasi kedua yaitu setirizin/levosetirizin dan loratadin/desloratadin.
Generasi terbaru antihistamin-H1 oral dianggap lebih baik karena mempunyai rasio
efektifitas/keamanan dan farmakokinetik yang baik, dapat diminum sekali sehari, serta
bekerja cepat (kurang dari 1 jam) dalam mengurangi gejala hidung dan mata, namun obat
generasi terbaru ini kurang efektif dalam mengatasi kongesti hidung.
Efek samping antihistamin-H1 generasi pertama yaitu sedasi dan efek antikolinergik.
Sedangkan antihistamin-H1 generasi kedua sebagian besar tidak menimbulkan sedasi,
serta tidak mempunyai efek antikolinergik atau kardiotoksisitas.

Antihistamin-H1 lokal
Antihistamin-H1 lokal (misalnya azelastin dan levokobastin) juga bekerja dengan memblok
reseptor H1. Azelastin mempunyai beberapa aktivitas anti alergik. Antihistamin-H1 lokal
bekerja sangat cepat (kurang dari 30 menit) dalam mengatasi gejala hidung atau mata. Efek
samping obat ini relatif ringan. Azelastin memberikan rasa pahit pada sebagian pasien.

Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal (misalnya beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,
mometason, dan triamsinolon) dapat mengurangi hiperreaktivitas dan inflamasi nasal. Obat
ini merupakan terapi medikamentosa yang paling efektif bagi rinitis alergik dan efektif
terhadap kongesti hidung. Efeknya akan terlihat setelah 6-12 jam, dan efek maksimal terlihat
setelah beberapa hari.
Kortikosteroid topikal hidung pada anak masih banyak dipertentangkan karena efek sistemik
pemakaian lama dan efek lokal obat ini. Namun belum ada laporan tentang efek samping
setelah pemberian kortikosteroid topikal hidung jangka panjang. Dosis steroid topikal hidung
dapat diberikan dengan dosis setengah dewasa dan dianjurkan sekali sehari pada waktu
pagi hari. Obat ini diberikan pada kasus rinitis alergik dengan keluhan hidung tersumbat
yang menonjol.

Kortikosteroid oral/IM
Kortikosteroid oral/IM (misalnya deksametason, hidrokortison, metilprednisolon, prednisolon,
prednison, triamsinolon, dan betametason) poten untuk mengurangi inflamasi dan
hiperreaktivitas nasal. Pemberian jangka pendek mungkin diperlukan. Jika memungkinkan,
kortikosteroid intranasal digunakan untuk menggantikan pemakaian kortikosteroid oral/IM.
Efek samping lokal obat ini cukup ringan, dan efek samping sistemik mempunyai batas yang
luas. Pemberian kortikosteroid sistemik tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak.
Pada anak kecil perlu dipertimbangkan pemakaian kombinasi obat intranasal dan inhalasi.

Kromon lokal (‘local chromones’)


Kromon lokal (local chromones), seperti kromoglikat dan nedokromil, mekanisme kerjanya
belum banyak diketahui. Kromon intraokular sangat efektif, sedangkan kromon intranasal
kurang efektif dan masa kerjanya singkat. Efek samping lokal obat ini ringan dan tingkat
keamanannya baik.
Obat semprot hidung natrium kromoglikat sebagai stabilisator sel mast dapat diberikan pada
anak yang kooperatif. Obat ini biasanya diberikan 4 kali sehari dan sampai saat ini tidak
dijumpai efek samping.

86
Dekongestan oral
Dekongestan oral seperti efedrin, fenilefrin, dan pseudoefedrin, merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Penggunaan obat ini pada
pasien dengan penyakit jantung harus berhati-hati. Efek samping obat ini antara lain
hipertensi, berdebar-debar, gelisah, agitasi, tremor, insomnia, sakit kepala, kekeringan
membran mukosa, retensi urin, dan eksaserbasi glaukoma atau tirotoksikosis. Dekongestan
oral dapat diberikan dengan perhatian terhadap efek sentral. Pada kombinasi dengan
antihistamin-H1 oral efektifitasnya dapat meningkat, namun efek samping juga bertambah.

Dekongestan intranasal
Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin, naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin)
juga merupakan obat simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat
ini bekerja lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus
dibatasi kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek
sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan.
Pemberian vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah
usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada dosis
toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.

Antikolinergik intranasal
Antikolinergik intranasal (misalnya ipratropium) dapat menghilangkan gejala beringus
(rhinorrhea) baik pada pasien alergik maupun non alergik. Efek samping lokalnya ringan dan
tidak terdapat efek antikolinergik sistemik. Ipratropium bromida diberikan untuk rinitis alergik
pada anak dengan keluhan hidung beringus yang menonjol.

Anti-leukotrien
Anti-leukotrien, seperti montelukast, pranlukast dan zafirlukast, akan memblok reseptor
CystLT, dan merupakan obat yang menjanjikan baik dipakai sendiri ataupun dalam
kombinasi dengan antihistamin-H1 oral, namun masih diperlukan banyak data mengenai
obat-obat ini. Efek sampingnya dapat ditoleransi tubuh dengan baik.
Jenis obat yang sering digunakan :
a. Kromolin, obat semprot mengandung kromolin 5,2 mg/dosis diberikan 3-4 kali/hari
b. Setirizin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-5 tahun: 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; >
6 tahun : 5-10 mg/dosis,1 kali/hari.
c. Loratadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2–5 tahun: 2.5 mg/dosis,1
kali/hari; > 6 tahun : 10 mg/dosis, 1 kali/hari.
d. Feksofenadin, dosis pemberian sesuai usia anak adalah : 6-11 tahun: 30 mg/hari, 2
kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari, 2 kali/hari atau 180mg/hari, 4 kali/hari.
e. Azelastine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 5–11 tahun : 1 semprotan 2
kali/hari; >12 tahun : 2 semprotan, 2 kali/hari.
f. Pseudoephedrine, dosis pemberian sesuai usia anak adalah: 2-6 tahun : 15 mg/hari, 4
kali/hari; 6-12 tahun : 30mg/hari, 4 kali/hari; > 12 tahun : 60 mg/hari 4 kali/hari.
Ipratropium bromide 0.03% 2 semprotan, 2-3 kali/hari.
g. Kortikosteroid intranasal : Digunakan pada pasien yang memiliki gejala yang lebih
persisten dan lebih parah. Efektif untuk semua gejala dengan inflamasi eosinofilik.
h. Fluticasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 4 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari.
i. Mometasone intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia 3-11 tahun: 1
semprotan/dosis, 1 kali/hari; usia > 11 tahun : 2 semprotan/dosis, 1 kali/hari.

87
j. Budesonide intranasal diberikan dengan dosis pemberian untuk usia > 6 tahun : 1-2
semprotan/dosis, 1 kali/hari. Budesonide mempunyai bioavaibilitas yang rendah dan
keamanannya lebih baik.
k. Zafirlukast yang diberikan pada anak sebesar 20 mg/dosis 2 kali/24jam.
Rinitis alergik pada masa anak akan bertambah berat dengan bertambahnya usia.
Kadangkala rinitis alergik dapat merupakan masalah pada usia tua. Dengan mengetahui
faktor penyebab, dengan penghindaran dapat mengurangi kekerapan timbulnya gejala.
Penggunaan beberapa jenis medikamentosa profilaksis juga dapat mengurangi gejala yang
timbul.

12. Komplikasi
a. Polip hidung. Rinitis alergi dapat menyebabkan atau menimbulkan
kekambuhan polip hidung.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal.
d. Masalah ortodonti dan efek penyakit lain dari pernafasan mulut yang lama
khususnya pada anak-anak.
e. Asma bronkial. Pasien alergi hidung memiliki resiko 4 kali lebih besar
mendapat asma bronkial.

13. Prognosis
Banyak gejala rinitis alergi dapat dengan mudah diobati. Pada beberapa kasus (khususnya
pada anak-anak), orang mungkin memperoleh alergi seiring dengan sistem imun yang
menjadi kurang sensitif pada alergi

DAFTAR PUSTAKA
1. Soepardi E, Iskandar N. Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
kelima. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2010.
2. Ilmu Kesehatan Anak. Edisi kelima. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta: 2010.
3. Small and Kim. Allergic rhinitis. Allergy, Atshma & Clinical Immunology 2011,
[Online] [Accessed 2017 September 08]. Avaliable from:
http://www.aacijournal.com/content/7/S1/S3
4. Javed Sheikh, MD. Allergic Rhinitis [Online] [Accessed 2017 September 08].
Avaliable from: http://emedicine.medscape.com/article/134825-overview
5. Kristeen M. Allergic Rhinitis, 2012. [Online] [Accesed 2017 September 08].
Avaliable from: http://www.healthline.com/healt/allergic-rhinitis
6. Steven D. Allergic Rhinitis, 2011. [Online] [Accessed 2017 September 08].
Avaliable from: http://www.edu/health/medical/altmed/condition/allergic/rhinitis

88
ASMA BROKIAL

A. Definisi
Asma adalah keadaan saluran napas yang mengalami penyempitan karena hiperaktivitas
terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan; penyempitan ini bersifat
sementara/reversible.
Asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan bronkus
terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang
luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari
pengobatan.
Status asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat
atau bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim
diberikan.
B. Anatomi dan fisiologi
Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung
oksigen kedalam tubuh. Serta menghembuskan udara yang banyak mengandung
karbondioksida (CO2) sebagai sisa dari oksidasi keluar dari tubuh. Penghisapan ini disebut
inspirasi dan menghembuskan disebut ekspirasi. Secara garis besar saluran pernafasan
dibagi menjadi dua zona, zona konduksi yang dimulai dari hidung, faring, laring, trakea,
bronkus, bronkiolus segmentalis dan berakhir pada bronkiolus terminalis. Sedangkan zona
respiratoris dimulai dari bronkiolus respiratoris, duktus alveoli dan berakhir pada sakus
alveulus terminalis. Saluran pernafasan mulai dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa yang bersilia. Ketika udara masuk kerongga hidung, udara tersebut
disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari
mukosa respirasi yang terdiri dari epitel thorak yang bertingkat, bersilia dan bersel
goblet.Permukaan epitel dilapisi oleh lapisan mukus yang disekresi sel goblet dan kelenjar
serosa. Partikel-partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut-rambut yang terdapat
dalam lubang hidung. Sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus
untuk kemudian dibatukkan atau ditelan. Air untuk kelembapan diberikan oleh lapisan
mukus, sedangkan panas yang disuplai keudara inspirasi berasal dari jaringan dibawahnya
yang kaya dengan pembuluh darah, sehingga bila udara mencapai faring hampir bebas
debu,bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabannya mencapai 100%.
Udara mengalir dari hidung kefaring yang merupakan tempat persimpangan antara jalan
pernafasan dan jalan makanan. Faring dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : nasofaring,
orofaring dan laringofaring. Dibawah selaput lendir terdapat jaringan ikat, juga dibeberapa
tempat terdapat folikel getah bening yang dinamakan adenoid. Disebelahnya terdapat dua
buah tonsil kiri dan kanan dari tekak. Laring merupakan saluran udara dan bertindak
sebagai pembentukan suara terletak didepan bagian faring sampai ketinggian vertebra
servikalis dan masuk ke trakea di bawahnya. Laring merupakan rangkaian cincin tulang
rawan yang dihubungkan oleh otot dan mengandung pita suara. Diantara pita suara terdapat
glotis yang merupakan pemisah saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Pada saat
menelan, gerakan laring keatas, penutupan dan fungsi seperti pintu pada aditus laring dari
epiglotis yang berbentuk daun berperan untuk mengarahkan makanan ke esofagus, tapi jika
benda asing masih bisa melampaui glotis, maka laring mempunyai fungsi batuk yang akan
membantu merngeluarkan benda dan sekret keluar dari saluran pernafasan bagian bawah.
Trakea dibentuk 16 sampai dengan 20 cincin tulang rawan, yang berbentuk seperti kuku
kuda dengan panjang kurang lebih 5 inci (9-11 cm), lebar 2,5 cm, dan diantara kartilago satu
dengan yang lain dihubungkan oleh jaringan fibrosa, sebelah dalam diliputi oleh selaput
lendir yang berbulu getar(sel bersilia) yang hanya bergerak keluar. Sel-sel bersilia ini
berguna untuk mengeluarkan benda-benda asing yang masuk bersama udara pernafasan,
dan dibelakang terdiri dari jaringan ikat yang dilapisi oleh otot polos dan lapisan mukosa.
89
Bronkus merupakan lanjutan dari trakea ada dua buah yang terdapat pada ketinggian
vertebra torakalis ke IV dan V. Sedangkan tempat dimana trakea bercabang menjadi
bronkus utama kanan dan kiri disebut karina. Karina memiliki banyak syaraf dan dapat
menyebabkan bronkospasme dan batuk yang kuat jika batuk dirangsang.
Bronkus utama kanan lebih pendek , lebih besar dan lebih vertikal dari yang kiri. Terdiri dari
6-8 cincin, mempunyai tiga cabang. Bronkus utama kiri lebih panjang,dan lebih kecil, terdiri
dari 9-12 cicin serta mempunyai dua cabang.
Bronkiolus terminalis merupakan saluran udara kecil yang tidak mengandung alveoli
(kantung udara) dan memiliki garis 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan, tapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukuranya dapat berubah. Seluruh saluran
uadara ,mulai dari hidung sampai bronkiolus terminalis ini disebut saluran penghantar udara
atau zona konduksi. Bronkiolus ini mengandung kolumnar epitellium yang mengandung
lebih banyak sel goblet dan otot polos, diantaranya strecch reseptor yang dilanjutkan oleh
nervus vagus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional
paru , yaitu tempat pertukaran gas. Asinus terdiri dari : Bronkiolus respiratoris, duktus
alveolaris dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur akhir dari paru.
Secara garis besar fungsi pernafasan dapat dibagi menjadi dua yaitu pertukaran gas dan
keseimbangan asam basa. Fungsi pertukaran gas ada tiga proses yang terjadi, yaitu:
1. Pertama ventilasi, merupakan proses pergerakan keluar masuknya udara melalui
cabang-cabang trakeo bronkial sehingga oksigen sampai pada alveoli dan
karbondioksida dibuang. Pergerakan ini terjadi karena adanya perbedaan tekanan.
Udara akan mengalir dari tekanan yang tinggi ke tekanan yang rendah. Selama inspirasi
volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat. Peningkatan
volume ini menyebabkan penurunan tekanan intra pleura dari –4 mmHg (relatif terhadap
tekanan atmosfir) menjadi sekitar –8mmHg. Pada saat yang sama tekanan pada intra
pulmunal menurun –2 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfir). Selisih tekanan antara
saluran udara dan atmosfir menyebabkan udara mengalir kedalam paru sampai tekanan
saluran udara sama dengan tekanan atmosfir. Pada ekspirasi tekanan intra pulmunal
bisa meningkat 1-2 mmHg akibat volume torak yang mengecil sehingga udara mengalir
keluar paru.
2. Proses kedua adalah difusi yaitu masuknya oksigen dari alveoli ke kapiler melalui
membran alveoli-kapiler. Proses ini terjadi karena gas mengalir dari tempat yang tinggai
tekanan parsialnya ketempat yang lebih rendah tekanan partialnya. Oksigen dalam
alveoli mempunyai tekanan partial yang lebih tinggi dari oksigen yang berada didalam
darah. Karbondioksida darah lebih tinggi tekanan partialnya dari pada karbondioksida
dialveoli. Akibatnya karbondioksida mengalir dari darah ke alveoli.
3. Proses ketiga adalah perfusi yaitu proses penghantaran oksigen dari kapiler ke
jaringan melalui transportaliran darah. Oksigen dapat masuk ke jaringan melalui dua
jalan : pertama secara fisik larut dalam plasma dan secara kimiawi berikatan dengan
hemoglobin sebagai oksihemoglobin, sedangkan karbondioksida ditransportasi dalam
darah sebagai bikarbonat, natrium bikarbonat dalam plasma dan kalium bikarbonat
dalam sel-sel darah merah. Satu gram hemoglobin dapat mengika 1,34 ml oksigen.
Karena konsentrasi hemoglobin rata-rata dalam darah orang dewasa sebesar 15 gram,
maka 20,1 ml oksigen bila darah jenuh total ( Sa O2 = 100% ),bila darah teroksigenasi
mencapai jaringan . Oksigen mengalir dari darah masuk ke cairan jaringan karena
tekanan partial oksigen dalam darah lebih besar dari pada tekanan dalam cairan
jaringan. Dari dalam cairan jaringan oksigen mengalir kedalan sel-sel sesuai kebutuhan
masing-masing. Sedangkan karbondioksida yang dihasilkan dalam sel mengalir kedalam
cairan jaringan. Tekanan partial karbondioksida dalam jaringan lebih besar dari pada
tekanan dalam darah maka karbondioksida mengalir dari cairan jaringan kedalam darah.

90
Fungsi sebagai pengatur keseimbangan asam basa : pH darah yang normal berkisar 7,35 –
7,45. Sedangkan manusia dapat hidup dalam rentang pH 7,0 – 7,45. Pada peninggian CO2
baik karena kegagalan fungsi maupun bertambahnya produksi CO 2 jaringan yang tidak
dikompensasi oleh paru menyebabkan perubahan pH darah. Asidosis respiratoris adalah
keadaan terjadinya retensi CO2 atau CO2 yang diproduksi oleh jaringan lebih banyak
dibandingkan yang dibebaskan oleh paru. Sedangkan alkalosis respiratorius adalah suatu
keadaan PaCO2 turun akibat hiperventilasi.

Gambar 1. Anatomi dan Obstruksi Saluran Nafas Pada Asma

C. Patogenesis Asma
Pandangan tentang patogenesis asma telah mengalami perubahan pada beberapa dekade
terakhir. Dahulu dikatakan bahwa asma terjadi karena degranulasi sel mast yang terinduksi
bahan alergen, menyebabkan pelepasan beberapa mediator seperti histamin dan leukotrien
sehingga terjadi kontraksi otot polos bronkus. Saat ini telah dibuktikan bahwa asma
merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel,
menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas
sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan
stimulasi refleks saraf.
1. Inflamasi Saluran Napas
Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan
faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang
membentuk proses inflamasi kronik dan remodelling.
a. Mekanisme imunologi inflamasi saluran napas
Sistem imun dibagi menjadi dua yaitu imunitas humoral dan selular. Imunitas humoral
ditandai oleh produksi dan sekresi antibodi spesifik oleh sel limfosit B sedangkan selular
diperankan oleh sel limfosit T. Sel limfosit T mengontrol fungsi limfosit B dan
meningkatkan proses inflamasi melalui aktivitas sitotoksik cluster differentiation 8 (CD8)
dan mensekresi berbagai sitokin. Sel limfosit T helper (CD4) dibedakan menjadi Th1dan
Th2. Sel Th1mensekresi interleukin-2 (IL-2), IL-3, Granulocytet Monocyte Colony
Stimulating Factor (GMCSF), interferon- (IFN-) dan Tumor Necrosis Factor-(TNF-)
91
sedangkan Th2mensekresi IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, IL-16 dan GMCSF. Respons imun
dimulai dengan aktivasi sel T oleh antigen melalui sel dendrit yang merupakan sel
pengenal antigen primer ( primary antigen presenting cells/ APC).
b. Mekanisme limfosit T-IgE
Setelah APC mempresentasikan alergen/antigen kepada sel limfosit T dengan bantuan
Major Histocompatibility (MHC) klas II, limfosit T akan membawa ciri antigen spesifik,
teraktivasi kemudian berdiferensiasi dan berproliferasi. Limfosit T spesifik (Th2) dan
produknya akan mempengaruhi dan me-ngontrol limfosit B dalam memproduksi
imunoglobulin. Interaksi alergen pada limfosit B dengan limfosit T spesifik alergen akan
menyebabkan limfosit B memproduksi IgE spesifik alergen. Pajanan ulang oleh alergen
yang sama akan meningkatkan produksi IgE spesifik. Imunoglobulin E spesifik akan
berikatan dengan sel-sel yang mempunyai reseptor IgE seperti sel mast, basofil,
eosinofil, makrofag dan platelet. Bila alergen berikatan dengan sel tersebut maka sel
akan teraktivasi dan berdegranulasi mengeluarkan mediator yang berperan pada reaksi
inflamasi.
c. Mekanisme limfosit T-nonIgE
Setelah limfosit T teraktivasi akan mengeluarkan sitokin IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13 dan
GMCSF. Sitokin bersama sel inflamasi yang lain akan saling berinteraksi sehingga
terjadi proses inflamasi yang kompleks, degranulasi eosinofil, mengeluarkan berbagai
protein toksik yang merusak epitel saluran napas dan merupakan salah satu penyebab
hiperesponsivitas saluran napas (Airway Hyperresponsiveness/AHR).

Gambar 2. Respon Immun Pada Asma

2. Hiperesponsivitas Saluran Napas


Hiperesponsivitas saluran napas adalah respons bronkus berlebihan yaitu berupa
penyempitan bronkus akibat berbagai rangsangan spesifik maupun nonspesifik. Respons
inflamasi dapat secara langsung meningkatkan gejala asma seperti batuk dan rasa berat di
dada karena sensitisasi dan aktivasi saraf sensorik saluran napas. Hubungan antara AHR
dengan proses inflamasi saluran napas melalui beberapa mekanisme; antara lain
peningkatan permeabilitas epitel saluran napas, penurunan diameter saluran napas akibat
edema mukosa sekresi kelenjar, kontraksi otot polos akibat pengaruh kontrol saraf otonom
dan perubahan sel otot polos saluran napas. Reaksi imunologi berperan penting dalam
patofisiologi hiperesponsivitas saluran napas melalui pelepasan mediator seperti histamin,
prostaglandin (PG), leukotrien (LT), IL-3, IL-4, IL-5, IL-6 dan protease sel mast sedangkan

92
eosinofil akan melepaskan platelet activating factor (PAF), major basic protein (MBP) dan
eosinophyl chemotactic factor (ECF).

Gambar 3. Penyempitan Saluran Napas Pada Asma

3. Sel Inflamasi
Banyak sel inflamasi terlibat dalam patogenesis asma meskipun peran tiap sel yang tepat
belum pasti.
a. Sel mast
Sel mast berasal dari sel progenitor di sumsum tulang. Sel mast banyak didapatkan
pada saluran napas terutama di sekitar epitel bronkus, lumen saluran napas, dinding
alveolus dan membran basalis. Sel mast melepaskan berbagai mediator seperti
histamin, PGD2, LTC4, IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, GMCSF, IFN- dan TNF. Interaksi
mediator dengan sel lain akan meningkatkan permeabilitas vaskular, bronkokonstriksi
dan hipersekresi mukus. Sel mast juga melepaskan enzim triptase yang merusak
vasoactive intestinal peptide (VIP) dan heparin. Heparin merupakan komponen penting
granula yang berikatan dengan histamin dan diduga berperan dalam mekanisme
antiinflamasi yang dapat menginaktifkan MBP yang dilepaskan eosinofil. Heparin
menghambat respons segera terhadap alergen pada subyek alergi dan menurunkan
AHR.
b. Makrofag
Makrofag berasal dari sel monosit dan diaktivasi oleh alergen lewat reseptor IgE afinitas
rendah. Makrofag ditemukan pada mukosa, submukosa dan alveoli yang diaktivasi oleh
mekanisme IgE dependent sehingga berperan dalam proses infla-masi. Makrofag
melepaskan berbagai mediator antara lain LTB4, PGF2, tromboksan A2, PAF, IL-1, IL-8,
IL-10, GM-CSF, TNF , reaksi komplemen dan radikal bebas. Makrofag berperan penting
sebagai pengatur proses inflamasi alergi. Makrofag juga berperan sebagai APC yang
akan menghantarkan alergen pada limfosit.
c. Eosinofil
Diproduksi oleh sel progenitor dalam sumsum tulang dan diatur oleh IL-3, IL-5 dan
GMCSF. Infiltrasi eosinofil merupakan gambaran khas saluran napas penderita asma
dan membedakan asma dengan inflamasi saluran napas lain. Inhalasi alergen akan
menyebabkan peningkatan jumlah eosinofil dalam kurasan bronkoalveolar (broncho-
alveolar lavage = BAL). Didapatkan hubungan langsung antara jumlah eosinofil darah
tepi dan cairan BAL dengan AHR. Eosinofil berkaitan dengan perkembangan AHR lewat

93
pelepasan protein dasar dan oksigen radikal bebas. Eosinofil melepaskan mediator
LTC4, PAF, radikal bebas oksigen, MBP, Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dan
Eosinophyl Derived Neurotoxin (EDN) sehingga terjadi kerusakan epitel saluran napas
serta degranulasi basofil dan sel mast. Eosinofil yang teraktivasi menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus, peningkatan permeabilitas mikrovaskular, hipersekresi mukus,
pelepasan epitel dan merangsang AHR.
d. Neutrofil
Peran neutrofil pada penderita asma belum jelas. Diduga neutrofil menyebabkan
kerusakan epitel akibat pelepasan bahan-bahan metabolit oksigen, protease dan bahan
kationik. Neutrofil merupakan sumber beberapa mediator seperti PG, tromboksan, LTB4
dan PAF. Neutrofil dalam jumlah besar ditemukan pada saluran napas penderita asma
kronik dan berat selama eksaserbasi atau setelah pajanan alergen. Biopsi bronkus dan
BAL menunjukkan bahwa neutrofil me-rupakan sel pertama yang ditarik ke saluran
napas dan yang pertama berkurang jumlahnya setelah reaksi lambat berhenti.
e. Limfosit T
Didapatkan peningkatan jumlah limfosit T pada saluran napas penderita asma yang
dibuktikan dari cairan BAL dan mukosa bronkus. Biopsi bronkus penderita asma stabil
mendapatkan limfosit intraepitelial atipik yang diduga merupakan limfosit teraktivasi.
Limfosit T yang teraktivasi oleh alergen akan mengeluarkan berbagai sitokin yang
mempengaruhi sel inflamasi. Sitokin seperti IL-3, IL-5 dan GM-CSF dapat
mempengaruhi produksi dan maturasi sel eosinofil di sumsum tulang (sel prekursor),
memperpanjang masa hidup eosinofil dari beberapa hari sampai minggu, kemotaktik dan
aktivasi eosinofil.
f. Basofil
Peran basofil pada patogenesis asma belum jelas, merupakan sel yang melepaskan
histamin dan berperan dalam fase lambat. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada
saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen.
g. Sel dendrit
Sel dendrit merupakan sel penghantar antigen yang paling berpengaruh dan memegang
peranan penting pada respons awal asma terhadap alergen. Sel dendrit akan
mengambil alergen, mengubah alergen menjadi peptida dan membawa ke limfonodi
lokal yang akan menyebabkan produksi sel T spesifik alergen. Sel dendrit berasal dari
sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendrit akan
bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF.
h. Sel struktural
Sel struktural saluran napas termasuk sel epitel, sel endotel, miofibroblas dan fibroblas
merupakan sumber penting mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lipid pada
respons inflamasi kronik. Pada penderita asma jumlah mio fibroblas di bawah membran
basal retikular akan meningkat. Terdapat hubungan antara jumlah miofibroblas dan
ketebalan membran basal retikular. 8
4. Mediator Inflamasi
Banyak mediator yang berperan pada asma dan mem-punyai pengaruh pada saluran
napas. Mediator tersebut antara lain histamin, prostaglandin, PAF, leukotrien dan sitokin
yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, peningkatan kebocoran
mikrovaskular, peningkatan sekresi mukus dan penarikan sel inflamasi. Interaksi berbagai
mediator akan mempengaruhi AHR karena tiap mediator memiliki beberapa pengaruh.
a. Histamin
Histamin berasal dari sintesis histidin dalam aparatus Golgi di sel mast dan basofil.
Histamin mempengaruhi saluran napas melalui tiga jenis reseptor. Rangsangan pada
reseptor H-1 akan menyebabkan bronkokonstriksi, aktivasi refleks sensorik dan
meningkatkan permeabilitas vaskular serta epitel. Rangsangan reseptor H-2 akan
94
meningkatkan sekresi mukus glikoprotein. Rangsangan reseptor H-3 akan merangsang
saraf sensorik dan kolinergik serta menghambat reseptor yang menyebabkan sekresi
histamin dari sel mast.
b. Prostaglandin
Prostaglandin (PG)D2dan PGF2merupakan bronkokonstrikstor poten. Prostaglandin
E2menyebabkan bronkodilatasi pada subyek normal invivo, menyebabkan
bronkokonstriksi lemah pada penderita asma dengan merangsang saraf aferen saluran
napas. Prostaglandin menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas dengan cara
mengaktifkan reseptor tromboksan prostaglandin.
c. Platelet activating factor (PAF)
Dibentuk melalui aktivasi fosfolipase A2pada membran fosfolipid, dapat dihasilkan oleh
makrofag, eosinofil dan neutrofil. Pada percobaan in vitro ternyata PAF tidak
menyebabkan bronkokonstriksi otot polos saluran napas, jadi PAF tidak menyebabkan
kontraksi otot polos saluran napas. Kemungkinan penyempitan saluran napas in vivo
merupakan akibat sekunder edema saluran napas karena kebocoran mikrovaskular
yang disebabkan rangsangan PAF. Platelet activating factor juga dapat merangsang
akumulasi eosinofil, meningkatkan adesi eosinofil pada permukaan sel endotel,
merangsang eosinofil agar melepaskan MBP dan meningkatkan ekspresi reseptor IgE
terhadap eosinofil dan monosit.
d. Leukotrien
Berasal dari jalur 5-lipooksigenase metabolisme asam arakidonat, berperan penting
dalam bronkokonstriksi akibat alergen, latihan, udara dingin dan aspirin. Leukotrien
dapat menyebabkan kontraksi otot polos melalui mekanisme non histamin dan terdiri
atas LTA4, LTB4, LTC4, LTD4dan LTE4. Leukotrien dapat menyebabkan edema
jaringan, migrasi eosinofil, merangsang sekresi saluran napas, merangsang proliferasi
dan perpindahan sel pada otot polos dan meningkatkan permeabilitas mikrovaskular
saluran napas.
e. Sitokin
Sitokin merupakan mediator peptida yang dilepaskan sel inflamasi, dapat menentukan
bentuk dan lama respons inflamasi serta berperan utama dalam inflamasi kronik. Sitokin
dihasilkan olehlimfosit T, makrofag, sel mast, basofil, sel epitel dan sel inflamasi. Sitokin
IL-3 dapat mempertahankan sel mast dan eosinofil pada saluran napas. Inter-leukin-5
dan GM-CSF berperan mengumpulkan sel eosinofil, Interleukin-4 dan IL-13 akan
merangsang limfosit B membentuk IgE.
f. Endotelin
Endotelin dilepaskan dari makrofag, sel endotel dan sel epitel. Merupakan mediator
peptida poten yang menyebabkan vasokonstriksi dan bronkokonstriksi. Endotelin-1
meningkat jumlahnya pada penderita asma. Endotelin juga menyebabkan proliferasi sel
otot polos saluran napas, meningkatkan fenotip profibrotik dan berperan dalam inflamasi
kronik asma.

g. Nitric oxide (NO)


Berbentuk gas reaktif yang berasal dari L-arginin jaringan saraf dan nonsaraf, diproduksi
oleh sel epitel dan makrofag melalui sintesis NO. Berperan sebagai vasodilator,
neurotransmiter dan mediator inflamasi saluran napas. Kadar NO pada udara yang
dihembuskan penderita asma lebih tinggi dibandingkan orang normal.
h. Radikal bebas oksigen
Beberapa sel inflamasi menghasilkan radikal bebas seperti anion superoksida, hidrogen
peroksidase (H2O2), radikal hidroksi (OH), anion hipohalida, oksigen tunggal dan lipid
peroksida. Senyawa tersebut sering disebut senyawa oksigen reaktif. Pada binatang
percobaan, hidrogen peroksida dapat menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas.
95
Superoksid berperan dalam proses inflamasi dan kerusakan epitel saluran napas
penderita asma. Jumlah oksidan yang berlebihan pada saluran napas akan
menyebabkan bronkokonstriksi, hipersekresi mukus dan kebocoran mikrovaskular serta
peningkatan respons saluran napas. Radikal bebas oksigen dapat merusak DNA,
menyebabkan pembentukan peroksida lemak pada membran sel dan menyebabkan
disfungsi reseptor adrenergik saluran napas.
i. Bradikinin
Berasal dari kininogen berat molekul tinggi pada plasma lewat pengaruh kalikrein dan
kininogenase. Secara in vivo merupakan konstriktor kuat saluran napas dan secara in
vitro merupakan konstriktor lemah. Pada penderita asma bradikinin merupakan aktivator
saraf sensoris yang menyebabkan keluhan batuk dan sesak napas, menyebabkan
eksudasi plasma, meningkatkan sekresi sel epitel dan kelenjar submukosa. Bradikinin
dapat merangsang serat C sehingga terjadi hipersekresi mukus dan pelepasan takikinin.
j. Neuropeptida
Neuropeptida seperti substan P (SP), neurokinin A dan calcitonin gene-related peptide
(CGRP) terletak di saraf sensorik saluran napas. Neurokinin A menyebabkan
bronkokonstriksi, substan P menyebabkan kebocoran mikrovaskular dan CGRP
menyebabkan hiperemi kronik saluran napas.
k. Adenosin
Merupakan faktor regulator lokal, menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma.
Secara in vitro merupakan bronkokonstriktor lemah dan berhubungan dengan pelepasan
histamin dari sel mast.
5. Mekanisme Saraf
Berbagai proses yang terjadi pada asma dapat disebabkan melalui mekanisme saraf yaitu
mekanisme kolinergik, adrenergik dan nonadrenergik nonkolinergik. Kontrol saraf pada
saluran napas sangat kompleks.
a. Mekanisme kolinergik
Saraf kolinergik merupakan bronkokonstriktor saluran napas dominan pada binatang dan
manusia. Peningkatan refleks bronkokonstriksi oleh kolinergik dapat melalui
neurotransmiter atau stimulasi reseptor sensorik saluran napas oleh modulator inflamasi
seperti prostaglandin, histamin dan bradikinin.
b. Mekanisme adrenergik
Saraf adrenergik melakukan kontrol terhadap otot polos saluran napas secara tidak
langsung yaitu melalui katekolamin/epinefrin dalam tubuh. Mekanisme adrenergik
meliputi saraf simpatis, katekolamin dalam darah, reseptor adrenergik dan reseptor
adrenergik. Perangsangan pada reseptor adrenergik menyebabkan bronkokonstriksi dan
perangsangan reseptor adrenergik akan menyebabkan bronkodilatasi.
c. Mekanisme nonadrenergik nonkolinergik (NANC)
Terdiri atas inhibitory NANC (i-NANC) dan excitatory NANC (e-NANC) yang
menyebabkan bronkodilatasi dan bronkokonstriksi. Peran NANC pada asma belum jelas,
diduga neuropeptida yang bersifat sebagai neurotransmiter seperti substansi P dan
neurokinin A menyebabkan peningkatan aktivitas saraf NANC sehingga terjadi
bronkokonstriksi. Kemungkinan lain karena gangguan reseptor penghambat saraf NANC
menyebabkan pemecahan bahan neurotransmiter yang disebut vasoactive intestinal
peptide (VIP).

D. Patofisiologi asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alegen, virus,
dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur,
yaitu jalur imunologis dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE,
merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat.
96
Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen,
terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah
histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
nafas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap
mediator sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada
fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa
minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC)
merupakan sel-sel kunci fdalam patogenesis asma.
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan memudahkan
alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi.
Kerusakan epitel bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi
asma dapat terjadi tanpa melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara
dingin, asap, kabut, dan SO2. Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek
syaraf. Ujung syaraf eferen vagal mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya
neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A, dan Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP).
Neuropeptida itulah yang menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus,
eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi sel-sel inflamasi.
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektifberatnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi
antigen, dan inhalasi zat nonspesifik.
E. Faktor Resiko Asma
Secara umum faktor resiko asma dipengaruhi atas faktor genetik dan faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana
cara penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga
dekat yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi
asma pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi
menjelang dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa
menopause perempuan lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
97
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan
kulit binatang seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk,
bahan penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul
harus segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu
diberi nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum
diobati maka gejala asmanya lebih sulit diobati.
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok,
sebelum dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat
diukur seperti meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.
Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai
aktivitas tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan
asma. Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan,
musin kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi

F. Gambaran Klinis Asma


Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelasseperti rasa berat di dada, dan pada asma
alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai
sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang
mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya
hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant asthma. Bila hal
yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah
bronkodilator atau uji provokasi bronkus dengan metakolin.
98
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas maupun
perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal minggu
dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk
sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.

G. Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat asma
persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau serangan asma
dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
1. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama dengan
bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan antara lain oleh
karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang diperlukan
pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma diklasifikasikan sebagai
intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya, istilah kontrol
menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada asma, hal itu tidak
realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit. Kontrol yang lengkap
biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan adalah memperoleh dan
mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan pemberian obat yang aman, dan
tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat
serangan. Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya
suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting
untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti
gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala malam hari,
pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat yang digunakan
untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi pemakaian obat).
Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya serangan.
Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat serangan asma
berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan laboratorium.
Derajat serangan menetukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut adalah
asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 2).
Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma kronik dengan serangan asma
akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap
untuk setiap pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam

99
menangani pasien asma yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang
ada.
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
intermitten Bulanan ≤2 kali sebulan APE ≥80%
Gejala <1x/minggu, VEP1≥80% nilai
tanpa gejala di luar prediksi APE
serangan ≥80% nilai terbaik
Serangan singkat Variabilitas APE
<20%
Persisten Mingguan >2 kali sebulan APE >80%
ringan Gejala >1x/minggu, VEP1≥80% nilai
tetapi <1x/hari prediksi APE
Serangan dapat ≥80% nilai terbaik
menggangu Variabilitas APE
aktivitas dan tidur 20-30%
Persisten Harian >2 kali sebulan APE 60-80%
sedang Gejala setiap hari -VEP1 60-80%
Serangan nilai prediksi APE
menggangu 60-80% nilai
aktivitas dan tidur terbaik
Bronkodilator setiap -Variabilitas APE
hari >30%
Persisten berat Kontinyu Sering APE ≤60%
Gejala terus VEP1 ≤60% nilai
menerus prediksi APE
Sering kambuh ≤60% nilai terbaik
aktivitas fisik Variabilitas APE
terbatas >30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk
membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya
terganggu terganggu terganggu
Frekuensi Meningkat Meningkat Sering >30
napas kali/menit
Retraksi Umumnya tidak Kadang kala ada ada
otot-otot ada
bantu napas
Mengi Lemah sampai Keras Keras
sedang
Frekuensi <100 100-120 >120
nadi
Pulsus Tidak ada Mungkin ada (10- Sering ada
paradoksus (<10mmHg) 25mmHg) (>25mmHg)

100
APE >80% 60-80% <60%
sesudah
bronkodilator
(% prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.

H. Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat ditangani dengan
baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk
menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya hanya menunjukkan batuk dan
saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak. Diagnosis asma didasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis klinis asma sering
ditegakkan oleh gejala berupa sesak episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara dan
reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat membantu
identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi fungsi paru normal,
pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma diklasifikasikan menurut derajat
berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu. Untuk membantu penanganan klinis,
dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma
diperlukan pengkajian kondisi klinis serta pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat hidung
ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair (konjungtivitis alergi),
dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik) disertai mengi, flu berulang, sakit
akibat perubahan musim atau pergantian cuaca, adanya hambatan beraktivitas karena
masalah pernapasan (saat berolahraga), sering terbangun pada malam hari, riwayat
keluarga (riwayat asma, rhinitis atau alergi lainnya dalam keluarga), memelihara
binatang di dalam rumah, banyak kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah.
Untuk mengetahui adanya tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet
berbulu, sofa kain beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak
seperti bau-bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok,
orang lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci, menetukan
adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan fisik pasien
asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi perubahan bentuk
anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat sampai sianosis, kesulitan
bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher, perut, dan dada. Pada
auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
101
dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV, untuk
diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar,
PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan
dalam diagnosis untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE spesifik pada
kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji
alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE
atopi dilakukan dengan cara radio allergo sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan (pada dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan atas
penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran
napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum,
dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang
diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan Eosinophyl Cationic
Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat berat asma. Biopsi endobronkial dan
transbronkial dapat menunjukkan gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit
dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan nebulasi droplet
ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita
yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek
alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen dalam alam yang terpajan pada
subyek alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak
dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi sebenarnya kurang memberikan informasi
klinis dibanding dengan tes kulit. Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB
dapat dilakukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin
dan metakolin.

I. Diagnosis Banding dan Komplikasi Asma


1. Diagnosis banding
a. Bronkitis kronik
Ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti tuberkulosis, bronkitis atau
keganasan harus disingkirkan dahulu. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya
didapatkan pada pasien berumur lebih dari 35 tahun dan perokok berat. Gejalanya
dimulai dengan batuk pagi hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya
kemampuan kegiatan jasmani. Pada stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan
tanda-tanda cor pulmonal.
b. Emfisema paru
Sesak merupakan gejala utama emfisema. Sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya. Pasien biasanya kurus. Berbeda dengan asma, pada emfisema tidak
pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan jasmani. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung, peranjakan napas terbatas, hipersonor,
pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah. Pemeriksaan foto dada
menunjukkan hiperinflasi.
102
c. Gagal jantung kiri akut
Dulu gagal jantung kiri akut dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul pada
malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea. Pasien tiba-tiba terbangun pada
malam hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada
anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau memperingan gejala gagal
jantung. Disamping ortopnea pada pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan
edema paru.
d. Emboli paru
Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli antara lain adalah imobilisasi, gagal jantung
dan tromboflebitis. Disamping gejala sesak napas, pasien batuk-natuk yang dapat
disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin, kejang, dan pingsan. Pada pemeriksaan
fisik ditemukan adanya ortopnea, takikardi, gagal jantung kanan, pleural friction,
irama derap, sianosis, dan hipertensi. Pemeriksaan elektrokardiogram menunjukkan
perubahan antara lain aksis jantung ke kanan.
e. Penyakit lainyang jarang
Seperti stenosis trakea, karsinoma bronkus, poliartritis nodusa.

2. Komplikasi asma
a. Pneumothoraks
b. Pneumodiastinum dan emfisema subkutis
c. Atelektasis
d. Aspergilosis bronkopulmoner alergik
e. Gagal napas
f. Bronkitis
g. Fraktur iga

J. Pengobatan Asma
Pengobatan asma menurut GINA (Gobal Initiative For Asthma)
Para ahli asma dari berbagai negara terkemuka telah berkumpul dalam suatu loka karya
Global Initiative For Asthma Management And Preventionyag dikoordinasikan oleh
National Health, Lung And Blood Institute Amerika Serikat dan WHO. Publikasi loka
karya tersebut yang dikenal sebagai GINA diterbitkan pada tahun 1995, dan
diperbaharui tahun 1998 dan 2002 dan hampir seluruh dunia mengikuti protokol
pengobatan yang dianjurkan. Namun cara pengobatan tersebut masih mahal bagi
negara sedang berkembang. Sehingga masing-masing negara dianjurkan membuat
kebijakan sesuai dengan kondisi sosial ekonomi serta lingkungannya.
Ada 6 komponen dalam pengobatan asma, yaitu:
a. Penyuluhan kepada pasien
Karena pengobatan asma memerlukan pengobatan jangka panjang, diperlukan
kerjasam antara pasien, keluarganya serta tenaga kesehatan. Hal ini dapat tercapai bila
pasien dan keluarganya memhami penyakitnya, tujuan pengobatan, obat-obat yang
dipakai serta efek samping.
b. Penilaian derajat beratnya asma
Penilaian derajat beratnya asma baik melaluipengukuran gejala, pemeriksaan uji faal
paru dan analisis gas darah sangat diperlukan untuk menilai hasil pengobatan. Seperti
telah dikemukakan sebelumnya, banyak pasien asma yang tanpa gejala, ternyata pada
pemeriksaan uji faal parunya menunjukkan adanya obstruksi salura napas.
c. Pencegahan dan pengendalian faktor pencetus serangan
Di harapkan dengan mencegah dan mengendalikan faktor pencetus serangan asma
makin berkurang atau derajat asma makin ringan.
d. Perencanaan obat-obat jangka panjang
103
Untuk merencanakan obat-obat anti asma agar dapat mengendalikan gejala asma, ada
3 hal yang harus dipertimbangkan
1) Obat-obat anti asma
2) Pengobatan farmakologis berdasarkan sistem anak tangga
3) Pengobatan asma berdasarkan sistem wilayah bagi pasien.
e. Merencanakan pengobatan asma akut (serangan asma)
Serangan asma ditandai dengan gejala sesak napas, batuk, mengi, atau kombinasi dari
gejala-gejala tersebut. Derajat serangan asma bervariasi dari yang ringan sampai berat
yang dapat mengancam jiwa. Serangan bisa mendadak atau bisa juga perlahan-lahan
dalam jangka waktu berhari-hari. Satu hal yang perlu diingat bahwa serangan asma akut
menunjukkan rencana pengobatan jangka panjang telah gagal atau pasien sedang
terpajan faktor pencetus.
Tujuan pengobatan serangan asma yaitu:
1) Menghilangkan obstruksi saluran napas dengan segera
2) Mengatasi hipoksemia
3) Mengambalikan fungsi paru kearah normal secepat mungkin
4) Mencegah terjadinya serangan berikutnya
5) Memberikan penyuluhan kepada pasien dan keluarganya mengenai cara-
cara mengatasi dan mencegah serangan asma.
f. Berobat secara teratur
Untuk memperoleh tujuan pengobatan yang diinginkan pasien asma pada umumnya
memerlukan pengawasanyang teratur daritenaga kesehatan. Kunjungan yang teratur ini
diperlukan untuk menilai hasil pengobatan, cara pemakaian obat, cara menghindari
faktor pencetus serta oenggunaan alat peak flow meter. Makin baik hasil pengobatan,
kunjungan ini akan semakin jarang.

Obat-obat anti asma


Pada dasarnya obat-obat anti asma dipakai untuk mencegah dan mengendalikan gejala
asma. Fungsi penggunaan obat anti asma antara lain:
Pencegah (controller) yaitu obat-obgat yang dipakai setiap hari, dengan tujuan aggar
gejala asma persisten tetap terkendali. termasuk golongan ini yaitu obat-obat anti inflamasi
dan bronkodilator kerja panjang (long acting).obat-obat anti inflamasi kususnya
kortikosteroid hirup adalah obat yang paling efektif sebagai pencegah. Obat-obat anti
alergi,bronkodilator atau obat golongan lain sering dianggap termasuk obat pencegah.
Meskipun sebenarnya kurang tepat, karena obat-obat tersebut mencegah dalam ruang
lingkup yang terbatas misalnya mengurangi serangan asma, mengurangi gejala asma
kronik, memperbaiki fungsi paru, menurunkan reaktifitas bronkus dan memperbaiki kualitas
hidup. Obat anti inflamasi dapat mencegah terjadinya inflamasi serta mempunyai daya
profilaksis dan supresi. Dengan pengobatan anti inflamasi jangka panjang ternyata
perbaikan gejala asma, perbaikan fungsi paru serta penurunan reaktifitas bronkus lebih baik
bila di bandingkan bronkodilator. Termasuk golongan pencegah adalah kortikosteroid hirup,
kortikosteroid sistemik, natrium kromolin, natrium nedokromil, teofilin lepas lambat (TLL),
agonis beta 2 kerja panjang hirup (salmaterol dan formoterol) dan oral dan obat-obat anti
alergi.

Penghilang gejala (reliever) yaitu obat-obat yang dapat merelaksasi bronko konstriksi dan
gejala-gejala akut yang menyertainya dengan segera. Termasuk dalam golongan ini yaitu
agosnis beta 2 hirup kerja pendek (short acting), kortikosteroid sistemik, anti koinergik hirup,
teofilin kerja pendek, agonis beta2 oral kerja pendek.
Agonis beta 2 hirup (fenoterol, salbutamol, terbutalin, prokaterol) merupakan obat terpilih
untuk gejala asma akut serta bila diberikan sebelum kegiatan jasmani, dapat mencegah
104
serangan asma karena kegiatan jasmani. Agonis beta 2 hirup juga dipakai sebagai
penghilang gejala pada asma periodik.
Peran kortikosteroid sitemik pada asma akut untuk mencegah perburukan gejala lebih lanjut.
Obat tersebut secara tidak langsung mencegah atau mengurangi frekuensi perawatan di
ruang rawat darurat atau rawat inap. Antikolinergik hirup atau ipatropium bromida selain
dipakai sebagai tambahan terapi agonis beta 2 hirup pada asma akut, juga dipakai sebagai
obat alternatif pada pasien yang tidak dapat mentoleransi efek samping agonos beta 2.
Teofilin maupun agonis beta2 oral dipakai pada pasien yang secara teknis tidak bisa
memakai sediaan hirup.

Pengobatan farmakologis berdasarkan anak tangga


Berdasarkan pengobatan sistemik anak tangga, maka mnurut berat ringannya gejala, asma
dapat dibagi menjadi 4 derajat, obat yang dipakai setiap hari obat-obat pencegah, dosis
tinggi, kortikosteroid hirup, bronkodilator kerja panjang, kortikosteroid oral jangka panjang
(tabel 3).
Tabel 3. Pengobatan asma jangka panjang menurut sistem anak tangga
Tahap Obat Pencegah Harian Pilihan Lain
Asma Intermitten Tidak diperlukan
Asma Persisten Ringan Kortikosteroid hirup Teofilin lepas lambat
500μg BDP Kromolin
(beclomethasone Anti leukotrin
diproprionate) atau
ekuivalen
Asma Persisten Sedang Kortikosteroid hirup (200- - Kortikosteroid hirup
1000 μg BDP atau 500-1000μg BDP atau
ekuivalen) + LABA (long ekuivalen + teofilin lepas
acting beta agonist) lambat atau
- Kortikosteroid hirup
500-1000μg BDP atau
ekuivalen + oral LABA
atau
- Kortikosteroid hirup
dosis lebih tinggi
>1000μg BDP atau
ekuivalen
- Kortikosteroid hirup
dosis lebih tinggi
>1000μg BDP atau
ekuivalen + anti leukotrin

Asma Persisten Berat Kortikosteroid hirup


(>1000 μg BDP atau
ekuivalen) + LABA satu
atau lebih obat berikut
bila diperlukan
- Teofilin
lepas lambat
- Anti
leukotrin
- LABA oral

105
- Kortikoster
oid oral
- Anti IgE

DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis, I. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale.


Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI: Jakarta, Majalah Kedokteran Indonesia,
Volume: 58; No.11;Nopember 2008.

2. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H,


Siregar SP, et al. Allergy And Asthma, The Scenario In Indonesia. In: Shaikh WA.
Editor. Principles And Practice Of Tropical Allergy And Asthma. Mumbai: Vicas
Medical Publisher; 2006.707-36

3. Anonim. 2009. Patofisiologi asma.


http://ayosz.wordpress.com/2009/01/07/patofisiologi-asma/

4. Ohrui T, Yasuda H, Yamaya M, Matsui T, Sasaki H. Transient Relief Of


Asthma Symptoms During Jaundice: A Possible Beneficial Role Of Bilirubin.
Department of Geriatric and Respiratory Medicine, Tohoku University School of
Medicine

5. Tanjung, D. 2008. Asma bronhkiale.


http://forbetterhealth.wordpress.com/author/forbetterhealthy/asma-bronkhiale diakses
tanggal 08 September 2017

6. Healthzone. 2008. Asma bronkhiale.


http://puskesmas-oke.blogspot.com/2008/12/asma-bronkial.html di akses tanggal 08
September 2017

7. Alsagaff, H., Mukty, A. 2009. Anatomi dan Faal Pernapasan dalam Dasar-
Dasar Ilmu Penyakit Paru, Edisi 6. Airlangga University Press: Surabaya

8. Rahmawati, I., Yunus, F., Wiyono, WH. 2003. Artikel: Tinjauan Kepustakaan
Patogenesis dan Patofisiologi Asma. Bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ Rumah Sakit Persahabatan:
Jakarta, Cermin Dunia Kedokteran No. 141, 2003

9. Sukamto, Sundaru, H. 2006. Asma Bronkhiale Dalam Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia: Jakarta

106
DEFISIENSI IMUN KONGENITALYANG DIDAPAT

I. Definisi
- Imunitas
Imunitas atau kekebalan merupakan sistem mekanisme pada organisme yang
melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan mengindentifikasi dan
membunuh patogen serta sel tumor. Sistem imun dapat mendeteksi berbagai
macam pengaruh biologis luar yang luas, sehingga organisme akan melindungi
tubuh dari infeksi, bakteri, virus hingga cacing parasit serta menghancurkan zat-zat
asing lain dan memusnahkannya dari sel organisme yang sehat agar jaringan tetap
dapat berfungsi seperti biasa.
- Defisiensi Imun
Defisiensi imun merupakan keadaan saat fungsi sistem imun menurun atau tidak
berfungsi dengan baik yang muncul ketika satu atau lebih komponen sistem imun
tidak aktif dan kemampuan sistem imun untuk merespon patogen berkurang baik
pada anak-anak maupun dewasa karena respon imun dapat berkurang pada usia 50
tahun. Respon imun yang kurang baik akan terjadi juga pada pengguna Alkohol dan
narkoba. Namun kekurangan nutrisi adalah akibat paling umum yang menyebabkan
defisiensi imun terjadi di negara berkembang. Diet yang kekurangan cukup protein
berhubungan dengan gangguan imunitas selular, aktivitas komplemen, fungsi
fagosit, konsentrasi antibody, IgA dan produksi sitokin. Defisiensi nutrisi seperti Zinc,
Selenium, Zat besi, Tembaga, Vitamin A, C, E, B6 dan Asam folik (Vitamin B9) juga
mengurangi respon imun.
Defisiensi imun juga dapat didapat dari Chronic Granulomatus Disease (penyakit
yang menyebabkan kemampuan fagosit untuk menghancurkan fagosit berkurang),
misalnya seperti AIDS dan beberapa tipe kanker.
Secara garis besar defisiensi imun dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
 Defisiensi Imun Kongenital Atau Defisiensi Imun Primer
Defisiensi imun Kongenital atau defisiensi imun primer disebabkan oleh kelainan
respon imun bawaan yang dapat berupa kelainan dari sistem fagosit dan
komplemen atau kelainan dalam deferensiasi fungsi limfosit.
 Defisiensi Imun Dapatan
Defisiensi imun dapatan disebabkan oleh berbagai faktor antara lain infeksi virus
yang dapat merusak sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-obat sitotoksik dan
kortikosteroid, serta akibat penyakit kanker seperti pengakit Hodgkin, Leukemia,
Myeloma, dan Limfositik kronik.
Penyakit defisiensi imun adalah sekumpulan dari berbagai penyakit yang karena
memiliki satu atau lebih ketidaknormalan sistem imun, sehingga terjadi peningkatan
kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer tidak berhubungan dengan
penyakit lain yang mengganggu sistem imun, dan kebanyakan merupakan akibat
kelainan genetik dengan pola bawaan khusus. Defisiensi imun sekunder terjadi
sebagai akibat dari penyakit lain, umur, trauma, atau pengobatan.

II. Gambaran Umum Defisiensi Imun


Gambaran umum defisiensi imun, dapat ditandai dengan ditemukannya tanda-tanda
klinik sebagai berikut :
a. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi dan jenis infeksinya
tergantung dari komponen sistem imun yang defektif;
b. Penderita dengan defisiensi imun juga rentan terhadap jenis kanker
tertentu;
107
c. Defisiensi imun dapat terjadi akibat defek pematangan limfosit atau
aktivitas atau dalam mekanisme efektor imunitas non-spesifik dan
spesifik;
d. Yang merupakan paradoks adalah bahwa imunodefisiensi tertentu
berhubungan dengan peningkatan insidens autoimunitas. Mekanismenya
tidak jelas, diduga berhubungan dengan defisiensi sel Tr.

Gangguan fungsi sistem imun yang umum yang biasanya ditemukan dalam keadaan
difesiensi imun diantara adalah :
Gangguan Fungsi Sistem Penyakit Yang Menyertai
Imun
Defisiensi
Sel B Infeksi bakteri rekuren seperti otitis media, pneumonia
rekuren
Sel T Kerentanan meningkat terhadap virus, jamur dan
protozoa
Fagosit Infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaan
biasa mempunyai virulensi rendah, infeksi bakteri
piogenik
Komplemen Infeksi bakteri, autoimunitas
Disfungsi
Sel B Gamopati monoclonal
Sel T Peningkatan sel Ts yang menimbulkan infeksi dan
penyakit limpoproliferatif
Fagosit Hipersensitivitas, beberapa penyakit autoimun
Komplemen Edem angioneurotik akibat tidak adanya inhibitor
esterase C1

Penyakit imun dapat ditimbulkan oleh karena tidak adanya fungsi spesifik defisiensi
imun atau aktivitas yang berlebihan.

III. Pembagian Defisiensi Imun


Defisiensi imun adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, ketika sistem
kekebalan tidak berfungsi secara kuat, maka infeksi lebih sering terjadi, lebih sering
berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya. Jika suatu
infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak maupun
dewasa), serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka kemungkinan
masalahnya terletak pada sistem kekebalan. Gangguan pada sistem kekebalan juga
menyebabkan kanker atau infeksi virus, jamur atau bakteri yang tidak biasa.
Imunodefisiensi atau defisiensi imun dapat dibagi 2 (dua), yaitu :
 Defesiensi Imun Non Spesifik yang meliputi Defesiensi Komplemen,
Interferon Dan Lisozim, Sel NK dan Sistem Fagositosit.
 Defesiensi Imun Spesifik yang meliputi Defisiensi kongenital atau
primer, Defisiensi imun spesifik fisologik, dan Defesiensi imun yang
didapat atau sekunder.

1. Defisiensi Imun Non Spesifik


- Defisiensi Komplemen
Defisiensi komponen atau fungsi komplemen berhubungan dengan
peningkatan insidens infeksi dan penyakit autiomun seperti LES. Komponen
komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis,
108
pencegah penyakit autoimun dan eliminasi kompleks antigen antibodi.
Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat seperti infeksi
bakteri yang rekuren dan peningkatan sensitivitas terhadap penyakit
autoimun. Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.
Konsekuensi defisiensi komplemen tergantung dari komponen yang kurang.
Defisiensi C2 tidak begitu berbahaya. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh
karena mekanisme jalur alternatif tidak terganggu. Defisiensi C3 biasanya
menimbulkan infeksi rekuren bakteri piogenik dan negatif-Gram yang
mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya faktor kemotaktik, opsonisasi
dan aktivitas bakterisidal.
Pada defisiensi komplemen terdapat beberapa macam, diantaranya adalah :
a. Defisiensi Komplemen Kongenital
Defisiensi komplemen biasanya menimbulkan infeksi yang berulang atau
penyakit kompleks imun seperti LES dan glomerulonefritis. Seperti :
Defisiensi inhibitor esterase C1; Defisiensi C2 dan C4; Defisiensi C3;
Defisiensi C5; Defisiensi C6, C7 dan C8.
b. Defisiensi Komplemen Fisiologik
Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang
disebabkan kadar C3, C5 dab faktor B yang masih rendah.
c. Defisiensi Komplemen didapat
Defisiensi komplemen didapat disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya
pada sirosis hati dan malnutrisi protein atau kalori. Pada anemia sel
sabitditemukan gangguan aktivitas komplemen yang meningkatkan risiko
infeksi Salmonela dan Pneumokok. Seperti : Defisiensi Clq,r,s; Defisiensi
C4; Defisiensi C2; Defisiensi C3; Defisiensi C5-C8; dan Defisiensi C9.
- Defisiensi Interferon dan Lisozim
a. Defisiensi Interferon Kongenital
Defisiensi interferon congenital dapat menimbulkan infeksi mononukleosis
yang fatal.
b. Defisiensi Interferon Dan Lisozim Didapat
Defisiensi interferon dan lisozim didapat dapat ditemukan pada malnutrisi
protein atau kalori.
- Defisiensi sel NK
a. Defisiensi Kongenital
Defisiensi kongenital telah ditemukan pada penderita dengan
osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadar IgG, IgA dan
kekerapan autoimun biasanya meningkat.
b. Defisiensi Didapat
Defisiensi sel NK yang didapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi.
- Defisiensi Sistem Fagosit
Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. Kerentanan
terhadap infeksi piogenik berhubungan langsung dengan jumlah neutrofil
yang menurun. Resiko infeksi meningkat bila jumlah fagosit turun sampai di
bawah 500/mm3.
a. Defisiensi Kuantitatif
Neutropenia atau granulositopenia dapat disebabkan oleh penurunan
produksi neutropil yang diakibatkan karena pemberian depresan sumsum
tulang (kemoterapi pada kanker), leukemia, kondisi genetik yang
menimbulkan defek dalam perkembangan semua sel progenitordalam
sumsum tulang termasuk precursor myeloid dan peningkatan destruksi

109
neutropil dapat merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat
tertentu seperti kuinidin dan oksasilin.

b. Defisiensi Kualitatif
Defisiensi kualitatif dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis,
menelan/ memakan dan membunuh mikroba intraseluler. Seperti :
Chronic Granulomatous Disease (CGD); Defisiensi Glucose – 6 –
phosphate dehydrogenase (G6PD); Defisiensi Mieloperoksidase (DMP);
Sindrom Chediak – Higashi (SCH); Sindrom Job; Sindrom Leukosit Malas
(Lazy Leucocyte); Defisiensi Adhesi Leukosit.
2. Defisiensi Imun Spesifik
Gangguan dalam system imun spesifik dapat terjadi kongenital, fisiologik
dan didapat.
- Defisiensi Imun Kongenital atau Primer
Defisiensi imun spesifik kongenital atau primer sangat jarang terjadi.
a. Defisiensi Imun Primer Sel B
Defisiensi sel B dapat berupa gangguan perkembangan sel B serta
ditandai dengan infeksi sekuren oleh bakteri. Seperti : X – linked
hypogamaglobulinemia; Hipogamablobulinemia sementara; Common
variable Hypogamaglobulinemia; Defisiensi Imunoglobulin yang Selektif
(Disgamablobulinemia).
b. Defisiensi Imun Primer Sel T
Penderita defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus,
jamur dan protozoa. Seperti : Aplasi Timun Kongenital (Sindrom
DigGeorge); Kandidiasis Mukokutan Kronik.
c. Defisiensi Kombinasi Sel B dan Sel T yang Berat
Defisisensi kombinasi sel B dan sel T yang berat (Severe Combined
Immonodeficiency Disease); Sindrom Nezelop; Sindrom Wiskott-Aldrich;
Ataksia Telangiektasi.
- Defisiensi Imun Spesifik Fisiologik
a. Kehamilan
Defisiensi dapat terjadi pada wanita hamil karena terjadinya peningkatan
aktivitas sel Ts atau efek supresi faktor humoral yang dibentuk trofoblas
yang mungkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang
merupakan allografi dengan antigen paternal. Wanita hamil memproduksi
Ig yang meningkat atas pengaruh estrogen.
b. Usia Tahun Pertama
Sistem imun pada anak usia 1-5 tahun pertama masih belum matang.
Meskipun jumlah sel T pada neonatus tinggi, namun kemampuan sel T
masih belum sempurna sehingga tidak memberikan respon adekuat
terhadap antigen.
c. Usia Lanjut
Golongan usis lanjut lebih sering mendapat infeksi dibanding usia muda
karena terjadi atrofi timus dengan fungsi yang menurun. Pada usia lanjut,
imunitas humoral menurun sehingga terjadi perubahan dalam kualitas
respon antibody mengenai :
 Spesifisitas antibody dari autoantigen asing;
 Isotipe antibody dari IgG dan IgM;
 Afinitas antibody dari tinggi menjadi rendah.
Hal tersebut terjadi karena adanya penurunan kemampaun sel T untuk
menginduksi kematangan sel B.
110
3. Defisiensi Imun Didapat atau Sekunder
Faktor – faktor yang dapat menimbulkan defisiensi imun sekunder, diantaranya
adalah :
Faktor Komponen yang Terkena
Proses penuaan Infeksi meningkat, penurunanrespon terhadap
vaksinasi, penurunan respon terhadap sel T dan B serta
perubahan dalam kualitas respon imun.
Malnutrisi Malnutrisi protein – kalori dan kekurangan elemen gizi
tertentu (Besi, seng/ Zn); sebab tersering defisiensi
imun sekunder.
Mikroba Contohnya : Malaria, virus, campak, terutama HIV;
imunosupresif mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T dan
APC.
Obat Steroid
imunosupresif
Obat sitotoksik/ Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga
Iradiasi membunuh sel penting dari system imun termasuk sel
induk, progenitor neutrofil dan limfosit yang cepat
membelah dalam organ limfoid.
Tumor Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui
penglepasan molekul imunoregulator imunosupresif
(TNF – β).
Trauma Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan
penglepasan molekul imunosupresif seperti
glukokortikoid.
Penyakit lain Diabetes sering berhubungan dengan infeksi.
seperti Diabetes
Lain-lain Depresi, penyakit Alzheimer, penyakit celiac,
sarkoidosis, penyakit limpoproliferatif,
makroglobulinemia Waldenstrom, anemia aplastik,
neoplasia.

4. AIDS
Beberapa jenis virus dapat mengganggu respon imun dengan menekan fungsi
sistem imun atau dengan meninfeksi sel sistem imun.
Contoh – contoh virus yang meninfeksi sel sistem imun, diantaranya adalah :
Sel Virus Akibat
Transformasi dan aktivasi sel B
Sel B Virus Epstein - Barr
poliklonal.
Campak Replikasi sel T yang diaktifkan
Virus – 1 sel leukemi
Sel T Limfoma sel T atau leukemi
manusia
HIV AIDS
Dengue
Makrofag Lassa Virus demam berdarah
Marburg – Ebola

Perjalanan penyakit pada HIV, diantaranya melalui berbagai tahapan sebagai


berikut :
1) Transmisi virus;

111
2) Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut) 2 – 6 minggu;
3) Serokonversi;
4) Infeksi kronik asimptomatik (5 – 10 tahun);
5) Infeksi kronik simptomatik;
6) AIDS (CD4+ <200/mm3), infeksi oportunistik;
7) Infeksi HIV lanjut (CD4+ <50mm3).

Ciri – ciri klinis dari infeksi HIV dapat dilihat dari beberapa fase sebagai berikut
:

Fase Penyakit Ciri Klinis


Demam, sakit kepala, sakit tenggorok dengan
Penyakit HIV akut
faringitis, limfadenopati umum, ruam.
Periode klinis latel Jumlah sel CD4+ menurun.
Infeksi oportunistik;
Protozoa (T. kriptospodium);
Bakteri (M. avium,nokardia, salmonella)
Jamur (kandida, K. neoformans, H. kapsulatum,
pneumocystis)
Virus (CMV, Herpes simpleks, Verisela – zoster)
AIDS
Tumor :
Limfoma (EBV – limfoma yang berhubungan dengan
sel B),
Sarkoma Kaposi,
Ensefalopati,
Wasting syndrome.

Kelainan khas dari imun yang dapat ditemukan pada infeksi HIV, diantaranya
adalah sebagai berikut :

Tahap Kelainan khas yang ditemukan


Struktur Kelenjar Limfoid
Dini Infeksi dan destruksi SD; kerusakan beberapa struktur
Lambat Kerusakan luas dan nekrosis jaringan; SD folikular dan senter
germinal hilang; tidak mampu menangkap antigen atau menolong
aktivasi sel T dan sel B.
Th
Dini Tidak ada respons proliferasi in vitro terhadap antigen spesifik.
Lambat Jumlah sel Th menurun dan berhubungan dengan aktivasinya;
tidak ada respons terhadap mitogen sel T atau alloantigen.
Produksi Antibodi
Dini Peningkatan produksi IgG dan IgA nonspesifik; tetapi penurunan
sintesis IgM.
Lambat Tidak ada proliferasi sel B spesifik untuh HIV – 1; tidak ditemukan
antibodi terhadap anti HIV pada beberapa penderita; peningkatan
jumlah sel B dengan CD21 yang rendah dan peningkatan sekresi
immunoglobulin.
Produksi Sitokin
Dini Peningkatan ambang beberapa sitokin.
Lambat Pengalihan produksi sitokin dari Th1 ke Th2

112
Hipersensitivitas lambat
Dini Penurunan kapasitas proliferasi Th1 yang sangant bermakna dan
penurunan reaktivitas tes kulit.
Lambat Respons DHT dieliminasi; reaktivasi tes kulit sama sekali tidak
ada.
Tc
Dini Reaktivitas normal.
Lambat Penurunan tetapi bukan hilangnya aktivitas CTL yang disebabkan
oleh gangguan kemampuan untuk menghasilkan CTL dari sel Tc.

IV. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Dalam penegakan diagnosis defisiensi imun, hal penting yang harus diketahui
adalah riwayat kesehatan pasien dan keluarganya, yaitu sejak masa kehamilan,
persalinan dan morbiditas yang ditemukan sejak lahir secara detail. Walaupun
penyakit defisiensi imun tidak mudah untuk didiagnosis, secara klinis sesuai dengan
gejala dan tanda klinis tersebut maka dapat diarahkan terhadap kemungkinan
penyakit defisiensi imun.
Defisiensi antibodi primer yang didapat lebih sering terjadi dibandingkan dengan
yang diturunkan, dan 90% muncul setelah usia 10 tahun. Pada bentuk defisiensi
antibodi kongenital, infeksi rekuren biasanya terjadi mulai usia 4 bulan sampai 2
tahun, karena IgG ibu yang ditransfer mempunyai proteksi pasif selama 3 – 4 bulan
pertama. Beberapa defisiensi antibodi primer bersifat diturunkan melalui autosom
resesif atau X-linked. Defisiensi imunoglobulin sekunder lebih sering terjadi
dibandingkan dengan defek primer.
Pemeriksaan laboratorium penting untuk diagnosis. Pengukuran imunoglobulin
serum dapat menunjukkan abnormalitas kuantitatif secara kasar. Imunoglobulin yang
sama sekali tidak ada (agamaglobulinemia) jarang terjadi, bahkan pasien yang sakit
berat pun masih mempunyai IgM dan IgG yang dapat dideteksi. Defek sintesis
antibodi dapat melibatkan satu isotop imunoglobulin, seperti IgA atau grup isotop,
seperti IgA dan IgG. Beberapa individu gagal memproduksi antibodi spesifik setelah
imunisasi meskipun kadar imunoglobulin serum normal. Sel B yang bersirkulasi
diidentifikasi dengan antibodi monoklonal terhadap antigen sel B. Pada darah
normal, sel – sel tersebut sebanyak 5 – 15 % dari populasi limfosit total. Sel B matur
yang tidak ada pada individu dengan defisiensi antibodi membedakan infantile X-
linked agamaglobulinaemia dari penyebab lain defisiensi antibodi primer dengan
kadar sel B normal atau rendah.

A. Gejala Klinis Defisiensi Imun


i. Gejala Yang Biasanya Dijumpai
Infeksi saluran napas atas berulang; Infeksi bakteri yang berat; Penyembuhan
inkomplit antar episode infeksi atau respons pengobatan inkomplit.
ii. Gejala Yang Sering Dijumpai
Gagal tumbuh atau retardasi tumbuh; Jarang ditemukan kelenjar atau tonsil
yang membesar; Infeksi oleh mikroorganisme yang tidak lazim; Lesi kulit (rash,
ketombe, pioderma, abses nekrotik atau noma, alopesia, eksim, teleangiektasi,
warts yang hebat).
 Oral thrush yang tidak menyembuh dengan pengobatan;
 Jari tabuh;
 Diare dan malabsorpsi;
 Mastoiditis dan otitis persisten;
 Pneumonia atau bronkitis berulang;
113
 Penyakit autoimun;
 Kelainan hematologis (anemia aplastik, anemia hemolitik,
neutropenia, trombositopenia).
iii. Gejala Yang Jarang Dijumpai
Berat badan turun; Demam Periodontitis.
 Limfadenopati
 Hepatosplenomegali
 Penyakit virus yang berat
 Artritis atau artralgia
 Ensefalitis kronik
 Meningitis berulang
 Pioderma gangrenosa
 Kolangitis sklerosis
 Hepatitis kronik (virus Reaksi simpang terhadap vaksinasi
 Bronkiektasis
 Infeksi saluran kemih
 Lepas/puput tali pusat terlambat (> 30 hari)
 Stomatitis kronik
 Granuloma
 Keganasan limfoid
 atau autoimun)

B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang merupakan sarana yang sangat penting untuk mengetahui
penyakit defisiensi imun. Karena banyaknya pemeriksaan yang harus dilakukan
(sesuai dengan kelainan klinis dan mekanisme dasarnya) maka pada tahap pertama
dapat dilakukan pemeriksaan penyaring dahulu, yaitu:
i. Pemeriksaan darah tepi
 Hemoglobin
 Leukosit total
 Hitung jenis leukosit (persentasi)
 Morfologi limfosit
 Hitung trombosit
ii. Pemeriksaan imunoglobulin kuantitatif (IgG, IgA, IgM, IgE)
iii. Kadar antibodi terhadap imunisasi sebelumnya (fungsi IgG)
 Titer antibodi Tetatus, Difteri
 Titer antibodi H.influenzae
iv. Penilaian komplemen (komplemen hemolisis total = CH50)
v. Evaluasi infeksi (Laju endap darah atau CRP, kultur dan pencitraan yang
sesuai)

V. Pengobatan
Sesuai dengan keragaman penyebab, mekanisme dasar, dan kelainan klinisnya
maka pengobatan penyakit defisiensi imun sangat bervariasi. Pada dasarnya
pengobatan tersebut bersifat suportif, substitusi, imunomodulasi, atau kausal.
Pengobatan suportif meliputi perbaikan keadaan umum dengan memenuhi
kebutuhan gizi dan kalori, menjaga keseimbangan cairan, elektrolit, dan asam-basa,
kebutuhan oksigen, serta melakukan usaha pencegahan infeksi. Substitusi dilakukan
terhadap defisiensi komponen imun, misalnya dengan memberikan eritrosit, leukosit,
plasma beku, enzim, serum hipergamaglobulin, gamaglobulin, imunoglobulin

114
spesifik. Kebutuhan tersebut diberikan untuk kurun waktu tertentu atau selamanya,
sesuai dengan kondisi klinis.
Pengobatan imunomodulasi masih diperdebatkan manfaatnya, beberapa memang
bermanfaat dan ada yang hasilnya kontroversial. Obat yang diberikan antara lain
adalah faktor tertentu (interferon), antibodi monoklonal, produk mikroba (BCG),
produk biologik (timosin), komponen darah atau produk darah, serta bahan sintetik
seperti inosipleks dan levamisol.
Terapi kausal adalah upaya mengatasi dan mengobati penyebab defisiensi imun,
terutama pada defisiensi imun sekunder (pengobatan infeksi, suplemen gizi,
pengobatan keganasan, dan lain-lain). Defisiensi imun primer hanya dapat diobati
dengan transplantasi (timus, hati, sumsum tulang) atau rekayasa genetik.
VI. Prognosis
Prognosis penyakit defisiensi imun untuk jangka pendek dipengaruhi oleh seberapa
berat komplikasi infeksi. Sedangkan untuk jangka panjang sangat tergantung dari
jenis dan penyebab defek sistem imun. Akan tetapi, pada umumnya dapat dikatakan
bahwa perjalanan penyakit defisiensi imun primer buruk dan berakhir fatal, seperti
pada beberapa penyakit defisiensi imun sekunder (AIDS) diperkirakan 1/3 dari
penderita defisiensi imun meninggal pada usia muda karena komplikasi infeksi.
Mortalitas penderita defisiensi imun humoral adalah sekitar 29%. Namun pada
beberapa penderita defisiensi IgA selektif dilaporkan sembuh spontan Sedangkan
hampir semua penderita defisiensi imun berat gabungan akan meninggal pada usia
dini.
Defisiensi imun ringan, terutama yang berhubungan dengan keadaan fisiologik
(pertumbuhan atau kehamilan), infeksi, dan gangguan gizi dapat diatasi dengan baik
bila belum disertai defek imunologik yang menetap.

115
DAFTAR PUSTAKA

1) Bratawidjaja, K.G., 2004. Imunologi Dasar .edisi ke-6. Fakultas Kedokteran


UI.Jakarta.

2) http://murwatifadlilah.blogspot.com/2013/04/makalah-penyakit-defisiensi-imun.html
3) Abbas AK, Lichtman AH,Pober JS. Disease caused by humoral and cell-
mediatedimmunereactions. Dalam: Cellular and molecular immunology. Philadelphia:WB
Saunders,1991;353-76.

4) Judarwanto.2010. Penyakit Defisiensi Imun


Imunitas.http://childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/05/19/penyakit-defisiensi-
imun/ [diakses tanggal 08 September 2017].

5) Mayariance.2010.Defisienis.http://mayariance.wordpress.com/2010/05/04/defisiensi-
imunitas/ [diakses 08 September 2017].

116
IMUNOPATOGENESIS INFEKSI CACING

a. Ascaris Lumbricoides
Ascariasis disebabkan oleh cacing Ascaris lumbricoides biasa disebut ―round worm of man ‖
yaitu suatu penyakit parasit usus pada manusia yang terbesar, disebut juga cacing gelang.
Penyebarannya luas dan merata di daerah tropic, sub-tropik dan lebih banyak ditemukan di
daerah pinggiran dibandingkan di kota. Cacing ini hidup di rongga usus halus.
SIKLUS HIDUP

Gambar 1. siklus hidup Ascaris l


Pada tinja penderita askariasis yang membuang air tidak pada tempatnya dapat
mengandung telur askariasis yang telah dubuahi. Telur ini akan matang dalam waktu 21
hari. bila terdapat orang lain yang memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris dan
tidak mencuci tangannya, kemudian tanpa sengaja makan dan menelan telur Ascaris.
Telur akan masuk ke saluran pencernaan dan telur akan menjadi larva pada usus. Larva
akan menembus usus dan masuk ke pembuluh darah. Ia akan beredar mengikuti sistem
peredaran, yakni hati, jantung dan kemudian di paru-paru.
Pada paru-paru, cacing akan merusak alveolus, masuk ke bronkiolus, bronkus, trakea,
kemudian di laring. Ia akan tertelan kembali masuk ke saluran cerna. Setibanya di usus,
larva akan menjadi cacing dewasa.
Cacing akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur. Telur ini pada
akhirnya akan keluar kembali bersama tinja. Siklus pun akan terulang kembali bila penderita
baru ini membuang tinjanya tidak pada tempatnya
GEJALA PENYAKIT
Gejala klinis akan ditunjukkan pada stadium larva maupun dewasa.
Pada stadium larva, Ascaris dapat menyebabkan gejala ringan di hati dan di paru-paru akan
menyebabkan sindrom Loeffler. Sindrom Loeffler merupakan kumpulan tanda seperti
demam, sesak nafas, eosinofilia, dan pada foto Roentgen thoraks terlihat infiltrat yang akan
hilang selama 3 minggu.
Pada stadium dewasa, di usus cacing akan menyebabkan gejala khas saluran cerna seperti
tidak nafsu makan, muntah-muntah, diare, konstipasi, dan mual. Bila cacing masuk ke
saluran empedu makan dapat menyebabkan kolik atau ikterus. Bila cacing dewasa

117
kemudian masuk menembus peritoneum badan atau abdomen maka dapat menyebabkan
akut abdomen.

Gambar 2. penderita penyakit ascariasis


PATOGENESIS
Ada dua fase ascariasis
1. fase perpindahan larva dari darah ke paru-paru. Selama perpindahannya ke
paru-paru larva menyebabkan pneumonia. Gejala pneumonia ini adalah demam
rendah, batuk, ada sedikit darah di sputum, asma. Sejumlah bessar wanita, menigkat
reaksi alerginya. Umumnya ada eosinofil. Manifestasi klinik ini disebut juga Loeffler‘s
syndrome
2. fase dewasa di usus. Adanya sedikit cacing dewasa di usus halus tidak
menghasilkan gejala, tapi bisa meningkatkan nyeri pada abdominal yang samar-
samar atau intermiten colic, terutama pada anak-anak. Penyakit yang berat bisa
menyebabkan malnutrisi. Manifestasi yang lebih serius telah diteliti. Penyebaran
cacing dewasa bisa dihambat oleh lumen apendik atau cairan empedu dan
mengalami pervorasi pada dinding usus. Komplikasi ascaraiasis bisa terjadi seperti
obstruksi usus , apendikcitis, biliari ascariasis, perforasi usus, cholecystitis,
pancreatitis dan peritonitis dll.yang paling banyak adalah biliary ascariasis.
b. Trichuris trichiura
Siklus Hidup

118
Gambar 3. Siklus hidup dari Trichuris trichiura
Dari gambar siklus hidup Trichuris trichiura di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut.
Trikuriasis merupakan penyakit yang dapat terjadi jika manusia menelan telur
cacingTrichuris trichiura. Misalnya melalui makanan yang terkontaminasi telur cacing (tidak
dicuci dengan bersih atau dimasak kurang matang). Di dalam duodenum (bagian dari usus
halus) larva akan menetas, menembus dan berkembang di mukosa usus halus dan menjadi
dewasa di sekum, akhirnya melekat pada mukosa usus besar. Siklus ini berlangsung
selama lebih kurang 3 bulan; cacing dewasa akan hidup selama 1 sampai 5 tahun dan
cacing betina dewasa akan menghasilkan 3.000 sampai 20.000 telur setiap harinya
Telur yang telah dibuahi kemudian akan dikeluarkan dari tubuh manusia atau
hospesbersama dengan tinja. Telur tersebut akan matang dalam waktu 3 sampai 6 minggu
pada lingkungan yang sesuai, yaitupada tanah yang lembab dan tempat yang teduh. Telur
matang adalah telur yang berisi larva dan merupakan bentuk infektif dari Trichuris trichiura.
Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai cacing dewasa betina meletakkan
telur kurang lebih selama 30 sampai 90 hari.
Hospes definitive cacing ini adalah manusia dan T.trichiura tidak membutuhkan
hospes intermediet (Natadisastra dan Ridad, 2009).Telur yang dihasilkan tidak akan
berkembang bila berada di lingkungan yang terpapar sinar matahari secara langsung dan
akan mati bila berada pada suhu dibawah -9oC atau diatas 52oC. Cacing dewasa umumnya
bisa ditemukan pada epitel sekum atau kolon.Namun, pada infeksi berat cacing dewasa
juga bisa ditemukan pada apendiks, rektum, atau bagian distal ileum.

Patogenesis
Kerusakan yang ditimbulkan dari penyakti ini tergantung dari spesies yang diserang. Pada
manusia dan anjing dapat menyebabkan peradangan pada caecum. Cacing menempel
pada mukosa caecum dengan alat penghisap yang menembus mukosa sampai pembuluh
darah kapiler dan cacing ini menghisap makanan darah. Kadang-kadang ditemukan
perdarahan dan odema pad mukosa caecum. Bila terjadi infeksi akut terjadi diarhe profus.
Pada babi dilaporkan bahwa infeksi cacing ini menyebabkan nekrosis, perdarahan dan
oedema pada sekum babi (terutama babi berumur 8-14 minggu).
Gejala klinis
Cacing akan memasukan bagian anteriornya kedalam mukosa usus dan
menyebabkan trauma serta iritasi pada mukosa usus. Pada tempat perlekatan ini terjadi
pendarahan. Cacing akan mengkonsumsi sekresi dari jaringan mukosa usus sehingga dapat
menyebabkan anemia dan defisiensi zat besi . Cacing dewasa terutama hidup di
sekum namun dapat juga ditemukan di kolon asendens. Derajat keparahan trikuriasis
ditentukan oleh intensitas infeksi pada saluran gastrointestinal dan variabel lain yang
119
mempengaruhi keadaan hospes sepert iusia, kesehatan umum, dan asupan zat besi. Pada
orang yang sangat sensitif, infeksi dapat menyebabkan respon yang tidak spesifik, seperti
gugup, anoreksia, dan urtikaria.
Pada infeksi ringan, trikuriasis umumnya tidak menunjukkan gejala. Pada infeksi
sedang, dimana terdapat sekitar 20 cacing dewasa dalam tubuh, akan terlihat gejala nyeri
perut, diare (jarang terdapat darah), muntah, kembung, kehilangan berat badan, serta
anemia dan defesiensi zat besi. Pada infeksi berat trikuriasis dapat ditemukan sekitar 200
cacing dewasa di dalam tubuh. Gejala klinis yang tampak adalah diare yang disertai darah,
nyeri perut, tenesmus, anemia berat, prolapsus rekti, dan eosinofilia derajat sedang.
Infeksi berat pada anak-anak dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan
rendahnya kesehatan fisik serta status nutrisi. Infeksi trikuriasis berat pada anak-anak akan
memperlihatkan persebaran cacing di seluruh kolon dan rektum (Putri, 2012). Infeksi berat
T. trichiura juga sering disertai dengan infeksi cacing lainnya atau protozoa (Staf Pengajar
Departemen Parasitologi FKUI, 2008).Infeksi cacing dan protozoa yang biasanya menyertai
infeksi T. trichiura antara lain Ascaris lumbricoides, cacing tambang, danEntamoeba
hystolica. Pada orang dengan infeksi T. trichiura seringkali ditemukan juga infeksiAscaris
lumbricoides
Trikuriasis dapat didiagnosis ketika ditemukannya telur T. trichiura pada pemeriksaan
tinja .Data yang didapat dari hasil pemeriksaan tinja adalah jumlah telur yang dinyatakan
dalam satuan telur per gram (eggs per gram / epg). WHO menetapkan klasifikasi infeksi T.
trichiura pada individu dengan didasarkan pada hasil pemeriksaan tinja, sesuai tabel berikut:
Tabel 1. Klasifikasi Infeksi T. trichiura
No. Beratnya Infeksi Jumlah telur per gram (epg)
1 Ringan 1-999
2 Sedang 1000-9999
3 Berat ≥ 10000
Selain dengan pemeriksaan tinja, diagnosis T. trichiura dapat dilakukan dengan teknik
colonoscopy.Namun, colonoscopy merupakan teknik yang kurang biasa
digunakan.Colonoscopy biasanya dilakukan untuk evaluasi jika muncul gejala
gastrointestinal non-spesifik seperti sakit perut, diare, dan anemia.Colonoscopy dilakukan
seperti pada endoskopi, yaitu melihat keadaan pada usus individu dengan bantuan alat
yang akan memvisualisasikan keadaan usus di dalam tubuh individu. Jika terdapat infeksi,
maka hasil colonoscopyakan menunjukkan adanya cacing T. trichiura yang menempel pada
usus, seperti gambar berikut:

Gambar 4. Hasil colonoscopyyang menunjukkan adanya T.trichiura pada usus

120
c. Cacing tambang (Hookworm)
Cacing tambang atau cacing cambuk (hookworm) adalah cacing parasit (nematoda)
yang hidup di usus kecil, pada mamalia seperti kucing, anjing ataupun manusia.
Spesies cacing tambang yang menginfeksi manusia yaitu Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus.
Ankilostoma duodenale

Necator americanus

Patofisiologi dan Klinis Penyakit


Invasi Larva Pada Jaringan
Beberapa rata-rata tertinggi dari penularan cacing tambang terjadi di daerah pantai dunia, di
mana tahap ketiga larva yang bisa menginfeksi dapat bermigrasi secara bebas pada tanah
berpasir di mana temperatur dan kelembaban cukup optimal untuk kelangsungan hidup
larva. Di wilayah-wilayah ini, terpapar yang terjadi berulang-ulang oleh tahap ketiga larva N.
americanus atau A. duodenale menyebabkan pruritis local, erythematous, papular local
yang dikenal sebagai ―ground itch‖. Walaupun seluruh permukaan tubuh rentan, ground itchi
lebih sering muncul di tangan dan kaki, yang merupakan tempat utama masuk untuk tahap
ketiga larva. Berbeda dengan ground itch, kulit yang diinvasi oleh zoonotik A. braziliense
tahap ketiga larva menghasilkan larva migrans cutaneous, atau ―creeping eruption,‖ sebuah
kondisi dermatologis yang self-limited yang ditandai oleh lubang serpiginous, 1 – 5 cm
panjangnya. Disebabkan oleh tahap ketiga larva yang bermigrasi pada epidermis, lubang
mucul pada kaki di 39 persen kasus (Gambar 1), pada bokong sebanyak 18 persen, dan
pada abdomen sebanyak 16 persen; dalam kasus yang lain, lubang kebanyakan muncul
dibagian bawah kaki, lengan dan wajah. Di Amerika Serikat, larva migrans cutaneous
umumnya terlihat pada personel militer, pada pelancong yang pulang dari tempat berlibur
yang memiliki pantai berpasir, dan pada penduduk Florida dan Gulf Coast; larva migrans ini
berhasil ditangani dengan sukses dengan penggunaan pengobatan oral jangka pendek
dengan albendazole atau ivermectin..
Sementara di tanah, tahap ketiga larva berada dalam keadaan pemberhentian
perkembangan; perkembangan mulai kembali sesudah larva masuk ke dalam host. Pada
manusia, jalan masuk melalui kulit diikuti dalam waktu 10 hari oleh migrasi larva ke dalam
paru-paru menyebabkan batuk dan sakit tenggorokan. Infeksi cacing tambang paru-paru
menyerupai sindrom Löffler karena hubungannya dengan eosinophilia dalam paru-paru.
Dalam kasus yang jarang, pneumonitis menyertai larva migrans cutaneous. Cacing tambang
pneumonitis biasanya tidak parah, walaupun mungkin akan bertahan selama lebih dari
sebulan, sampai larva meninggalkan paru-paru dan masuk ke saluran percernaan. Hal ini
121
tidak dikenali secara umum bahwa A. duodenale tahap ketiga larva menginfeksi manusia
melalui mulut dan kulit. Ketika infeksi oleh A. duodenale terjadi melalui mulut, migrasi awal
dari tahap ketiga larva menyebabkan sebuah sindrom yang dikenal dengan penyakit
Wakana, yang ditandai dengan mual, muntah, iritasi pharyngeal, batuk, kesulitan bernafas,
dan suara serak. Peningkatan tingkat sirkulasi IgE terjadi sebagai respon pada migrasi larva
tingkat tiga di paru-paru dan usus.

Gambar 2. Siklus kehidupan Necator americanus dan Ancylostoma duodenale


Manusia mendapatkan cacing tambang ketika tahap ketiga larva yang bersifat infektif
berada di tanah menembus kulit (seperti halnya juga N. americanus and A. duodenale) atau
ketika larva tersebut tertelan (hanya A. duodenale). Larva masing-masing panjangnya kira-
kira 600 µm dan terhenti secara perkembangan. Setelah memasuki host, larva menerima
signal yang berasal dari host yang menyebabkan mereka kembali berkembang. Larva
kemudian migrasi melalui pembuluh darah dan tersapu oleh sirkulasi aferen ke sisi kanan
jantung dan kemudian ke pembuluh darah paru-paru. Dari kapiler paru-paru, larva pecah
dan memasuki parenkim, di mana mereka naik ke alveoli, bronchioles, bronkus dan trakea.
Setelah terbatukan dan tertelan, larva memasuki saluran perncernaan, di mana mereka
berganti kulit dua kali dan berkembang menjadi dewasa. Kira-kira enam atau delapan
minggu berlalu dari saat pertama larva menginfeksi manusia sampai mereka mencapai
kematangan seksual dan berpasangan. Tiap cacing tambang betina menghasilkan ribuan
telur tiap harinya. Kehilangan darah usus pada host inang dimulai tepat sebelum produksi
telur dan pelepasan dan berlanjut untuk kehidupan cacing tambang. Cacing tambang ke luar
dari tubuh melalui tinja. Ketika tersimpan dalam tanah, dengan kehangatan yang memadai,
keteduhan, dan kelembaban, telur menetas dalam waktu 24 – 48 jam dan berkembang
menjadi larva tahap pertama. Larva-larva ini berganti kulit dua kali ketika mereka
berkembang menjadi tahap tiga. Larva adalah organism yang tidak diberi makan/nonfeeding
yang dapat hidup untuk beberapa minggu dalam tanah, sampai mereka menghabiskan
penggunaan cadangan metabolis lipid mereka. Penularan cacing tambang yang paling
dominan di daerah-daerah di mana ada kelembaban yang tinggi dan kondisi tanah yang

122
sesuai. Tanah berpasir yang mengandung lumpur (contohnya, ―lempung pasir‖) adalah yang
paling disukai dan menjadi satu-satunya faktor prevalensi tinggi infeksi cacing tambang di
daerah-daerah pantai.

Klinis Penyakit
a. Stadium larva
Larva filariform yang menembus kulit dalam jumlah yang banyak secara sekaligus dapat
menyebabkan perubahan kulit berupa :
 Gatal atau pruritus kulit, terutama di kaki (ground itch).
 Dermatitis dan kadang ruam makulopapula sampai vesikel; merupakan tanda
pertama yaNg dihubungkan dengan invasi larva cacing.
 Perubahan yang terjadi pada paru biasanya ringan. Selama berada di paru,
larva dapat menyebabkan kapiler-kapiler dalam alveoli paru menjadi peah
sehingga terjadi batuk darah. Berat ringannya kondisi ini ditentukan oleh jumlah
larva cacing yang melakukan penetrasi ke dalam kulit.
 Gejala-gejala pada usus terjadi dalam waktu 2 minggu setelah larva melakukan
penetrasi terhadap kulit. Larva cacing menyebabkan iritasi usus halus. Gejala
dari iritasi usus halus diantaranya adalah rasa tidak enak di
eprut, kembung, sering mengeluarkan gas (flatus), serta
menret-mencret.
b. Stadium dewasa
Gejala yang terjadi bergantung pada:
 S
pesies dan jumlah cacing
Setiap satu cacing Ancylostoma duodenale akan menyebabkan
kehilangan darah sebanyak 0,08-0,34 cc setiap hari.

Keadaan gizi penderita (Fe dan protein)
Infeksi cacing Ancylostoma dalam stadium dewasa dapat
menyebabkan terjadinya anemia hipokromik normositer serta
eosinofilia. Anemia terjadi setelah infestasi cacing dalam tubuh
berlangsung selama 10-20 mingggu. Jumlah cacing dewasa
yang diperlukan untuk menimbulkan gejala anemia adalah lebih
dari 500, tetapi bergantung pada keadaan gizi hospes.
Eosinofilia akan jelas terlihat pada bulan pertama infeksi
cacing. Toksin cacing yang dapat menyebabkan anemia belum
dapat dibuktikan. Ancylotomiasis biasanya tidak menyebabkan
kematian, tetapi menyebabkan daya tahan tubuh berkurang.
Prestasi kerja juga dapat menurun akibat ancylostomiasis.
Sejumlah penderita penyakit cacing tambang yang dirawat di
Yogyakarta mempunyai kadar Hb yang semakin rendah
bilaman penyakit semakin berat. Golongan ringan, sedang,
berat, dan sangat berat mempunyai kadar Hb rata-rata berturut-turut 11,3 g%,
8,8 g%, 4,8 g% dan 2,6 g%.
Gejala klinik dan diagnosis gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak
bergairah, konsentrasi belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja
menurun, dan anemia (anemia hipokrom mikrositer). Di samping itu juga terdapat eosinofilia
Cacing tambang
utama yang berhubungan dengan cedera pada manusia terjadi ketika parasit dewasa
menyebabkan kehilangan darah pada interstitial. Istilah ―penyakit cacing tambang‖ merujuk

123
utamanya pada anemia karena kekurangan zat besi yang merupakan akibat dari infeksi
yang yang sedang atau berat. Kehilangan darah terjadi ketika cacing-cacing tersebut
menggunakan alat pemotong untuk menempelkan mereka pada mucosa dan submucosa
intestinal/usus dan mengerutkan esophagi otot mereka untuk menciptakan tekanan
negative, yang menghisap potongan jaringan kedalam kapsul buccal mereka (Gambar 3).
Kapiler dan arteriol pecah bukan hanya secara mekanis tetapi juga secara kimiawi, melalui
aksi dari enzim hidrolitis. Untuk memastikan aliran darah, cacing tambang dewasa
mengeluarkan agen/unsure anticlotting. (Salah satunya, sebuah faktor VIIa/faktor inhibitor
jaringan, yang sedang dikembangkan sebagai sebuah unsure terapetis untuk memblokir
coagulopathy dari infeksi fulminant dikarenakan virus Ebola) Cacing tambang mencerna
sebagian dari darah extravasasi. Beberapa sel darah merah mengalami lisis, sehingga
melepaskan hemoglobin, yang dicerna oleh sebuah kaskade hemoglobinases yang
menandai usus parasit.

d. Enterobius vermicularis
Enterobiasis/penyakit cacing kremi adalah infeksi usus pada manusia yang
disebabkan oleh cacing E. vermicularis.
Siklus Hidup Enterobius vermicularis
Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif E. vermicularis dan tidak
diperlukan hospes perantara. Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada
malam hari dan akan melakukan migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan
perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal migration. Di daerah perinium tersebut
cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus, kemudian telur melekat
didaerah tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama
pada temperatur optimal 23-26 ºC dalam waktu 6 jam.
Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari tertelan telur matang sampai
menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi kedaerah perianal, berlangsung kira-
kira 2 minggu sampai 2 bulan. Mungkin daurnya hanya berlangsung kira-kira I bulan
karena telur-telur cacing dapat ditemukan kembali pada anus paling cepat 5 minggu
sesudah pengobatan.
Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui tiga jalan :
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada
orang lain sesudah memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas
tempat tidur atau pakaian dalam penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita
sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi
kembali ke usus penderita dan tumbuh menjadi cacing dewasa.

124
Gambar. Siklus hidup E. Vermicularis

e. Entamoeba hystolitica
Kista Entamoeba histolytica memiliki ciri-ciri morfologi sebagai berikut:
1. bentuk memadat mendekati bulat, ukuran 10-20 μm
2. kista matang memiliki 4 buah inti entamoba tidak dijumpai lagi eritrosit
didalam sitoplasma.
3. kista yang belum matang memiliki glikogen (chromatoidal bodies)
berbentuk seperti cerutu, namun biasanya menghilang setelah kista matang.
Dalam peralihan bentuk trofozoit menjadi kista, ektoplasma memendek dan
di dalam sitoplasma tidak dijumpai lagi eritrosit. Bentuk ini dikenal dengan
istilah prekista (dulu disebut minuta). Bentuk prekista dari Entamoeba
histolytica sangat mirip dengan Bentuk trofozoit dari Entamoeba coli, spesies
lainnya dari amoeba usus.
Patogenesis Entamoeba Hystolitica
Patogenesis yang disebabkan oleh Entamoeba histolytica dapat terjadi dalam 2 fase,
yaitu :

1. Fase Primer : pada fase ini penderita mengalami Amebiasis


Intestinal, dan organ yang diserangnya adalah bagian caecum yang
terutama, serta bagian-bagian yang lain, hal ini sangat tergantung pada :

a. resistensi hostnya sendiri


b. virulensi dari strain amoeba
c. kondisi dari lumen usus/dinding usus, seperti infek atau
tidaknya dinding usus
d. Kondisi makanan, apabila makanan banyak mengandung karbohidrat,
mak amoeba tersebut menjadi pathogen
e. keadaan normal flora usus.

125
Adanya assosiasi amoeba dengan bakteri-bakteri tertentu, akan menentukan
sifat amoeba menjadi aktif, yaitu mengadakan lesi pada usus dan pada
umumnya sampai mencapai mukosa. Gambaran lesi pada usus (mukosa),
tampak adanya nekrosis tanpa reaksi keradangan, kecuali bila ada sekunder
infeksi. Pada keadaan lanjut proses ini dapat sampai ke submukosa dan dari
sini amoeba akan ke sirkulasi darah, selanjutnya akan timbul lesi-lesi ekstra
intestinal. Bentuk lesi berupa settle neck ulcus. Sekunder infeksi biasanya oleh
kuman-kuman : Clostridium perfringens, Shigella dan umumnya prognosa
menjadi jelek, sebab terjadinya gangren usus, serta sering menyebabkan
kematian penderita.
Pada ulkus yang dalam (sampai mencapai subjek-mukosa), sering terjadi
perdarahan-perdarahan ini dapat dilihat pada feses penderita, kadang-kadang
dapat dilihat adanya sel-sel mukosa. Disamping itu ulkus yang dalam ini juga
dapat menyebabkan terjadinya perforasi, hingga prognosa akan menjadi jelek.

2. Fase Sekunder : terjadi pada amebiasis ekstra intestinal. Proses ekstra


intestinal ini dapat terjadi akibat penyebaran parasit secara hematogen dan
organ yang sering terkena adalah hepar (hati) yang dapat menimbulkan
amoebik hepatis dan selanjutnya akan menimbulkan abses hepatikum. Abses
hepatikum ini dapat single atau multiple dan 85% pada lobus di ekstra.
Selanjutnya dapat terjadi pula amoeba ekspansi karena pecahnya abses hati
atau secara hematogen, yaitu pada pleura, paru-paru, kulit dan adanya
ulcerasi pada sigmoid dan rektum akan dapat menyebabkan komplikasi atau
akan berekspansi ke vagina bagi penderita wanita. Proses amoebiasis ekstra
intestinal dapat terjadi dengan cara sebagai berikut :

a. Amebiasis hati, terjadi karena abses hati terutama pada posteosuperior


lobus kanan, dengan gejala klinis nyeri daerah hipokondrium kanan,
demam disertai ikterus, hepatomegali (diare dan disentri negative), jika
tidak diobati/tidak sempurna maka abses berkembang berbagai arah
yang akan menyebabkan abses organ sekitar. komplikasi pecahnya
abses hati kanan mengakibatkan kelainan kulit, paru, rongga pleura
kanan, diafragma dan rongga peritoneum.

b. Amebiasis kulit, terjadi karena abses hati kanan pecah sehingga


mengakibatkan granuloma kutis.

c. Amebiasis paru, terjadi karena abses hati kanan pecah, kemudian masuk
ke daerah organ paru, sputum berwarna coklat merah tua dan dapat
ditemukan tropozoit pada bahan sputum.
d. Amebiasis pleura kanan terjadi karena abses hati kanan pecah dan
menyerang empiema torax.
e. Diafragma terkena jika abses hati kanan pecah, kemudian terjadi abses
subfrenik.

f. Rongga peritoneum dapat terkena jika abses hati kanan pecah dan
menyerang bagian rongga peritonium dan menyebabkan peritonitis
umum.

g. Abses limpa, terjadi karena komplikasi amubiasis hati atau langsung


penularan dari tropozoit kolon.
126
Jika komplikasi terjadi karena pecahnya abses hati kiri, maka akan terjadi kelainan
pada daerah lambung, rongga perikardium, kulit & rongga pleura kiri, hal ini dapat
mengakibatkan gejala klinis sebagai berikut :
a. Pada lambung dapat terjadi hematemesis.
b. Pada rongga perikardium dapat perikarditis purulen yang dapat menyebabkan
kematian.
c. Amoebiasis organ lain : Pulmonary amoebiasis.

f. Giardia lamblia
Giardia intestinalis (sinonim dengan Lamblia intestinalis dan Giardia duodenalis)
adalah protozoa parasit flagellata yang menyebabkan Giardiasis atau Lambliasis.
Parasit ini pertama kali dilihat oleh Van Leeuwenhoek pada tahun 1681.
Flagelata ini pertama kali dikenal dan dibahas oleh Lambl (1859), yang
memberikan nama ―intestinalis‖. Kemudian Stiles (1915) memberikan nama baru,
Giardia lamblia. Parasit ini mempunyai 2 stadium yaitu:
a. Stadium trofozoit: Ukuran 12-15 mikron; berbentuk simetris bilateral seperti
buah jambu monyet yang bagian anteriornya membulat dan bagian
posteriornya meruncing. Permukaan dorsal cembung (konveks) dan pipih di
sebelah ventral dan terdapat batil isap berbentuk seperti cakram yang cekung
dan menempati setengah bagian anterior badan parasit. Ia mempunyai
sepasang inti yang letaknya di bagian anterior, bentuknya oval dengan
kariosom di tengah atau butir-butir kromatin tersebar di plasma inti. Trofozoit
ini mempunyai 4 pasang flagel yang berasal dari 4 pasang blefaroplas.
Terdapat 2 pasang yang lengkung dianggap sebagai benda parabasal,
letaknya melintang di posterior dari batil isap.
b. Stadium kista: Berbentuk oval berukuran 8-12 mikron, mempunyai dinding
yang tipis dan kuat. Sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya jelas terpisah
dari dinding kista. Kista yang baru terbentuk mempunyai 2 inti; yang matang
mempunyai 4 inti, letaknya pada satu kutub.

gambar Tropozoit Giardia lamblia

127
Kista berukuran lebih kecil daripada trofozoit yaitu panjang 8-18 μm dan lebar 7-
10 μm. Letak kariosom lebih eksentrik bila dibandingkan dengan trofozoit. Pada
kista yang telah matur terdapat 4 buah median bodies, 4 buah nuclei, dan dapat
pula ditemukan longitudinal fibers.

Gambar Kista Giardia lamblia


Siklus hidup Giardia lamblia
Siklus hidup Giardia lamblia dimulai dari penularan dimulai dari menelan parasit
dalam bentuk kista. Dinding kista yang tebal akan pecah terkena asam lambung,
dan keluarlah bentuk tropozoit Bentuk tropozoit segera membelah dua, dan
bergerombol dengan parasit lain di daerah usus halus, yang kemudian mulai
menimbulkan gejala gangguan saluran cerna.
Bentuk tropozoit ini mirip buah pear yang dibelah dan mempunyai sepasang
cambuk (flagella) untuk membantu bergerak dan berenang bebas di dalam
lumen usus. Bentuk tropozoit ini kontak dengan cairan empedu, mengubah
campuran makanan dan enzim pencernaan, Kemudian mulai menembus lapisan
selaput lendir usus, sambil terus membelah memperbanyak diri sampai bertahun
tahun. Bentuk (Cermin Dunia Kedokteran No. 152, 2006,22) tropozoit ada yang
mati karena enzim pencernaan dan ada yang berubah menjadi bentuk kista
berdinding tebal dan keras.Yang ikut aliran cairan usus, akan ikut keluar
bersama kotoran, mencemari air sungai, air danau, air selokan, atau mata air di
pegunungan. Parasit G. lamblia mencemari air permukaan, bersama-sama, Virus
Hepatitis A, menyebabkan sakit kuning (hepatitis), Kuman Salmonella
menyebabkan penyakit demam tipus, kuman Campilobacter menyebabkan diare
pada manusia yang tertular melalui konsumsi daging babi, atau susu mentah.
Sanitasi air minum perlu diperhatikan untuk menghindari penularan parasit, virus
dan kuman penyebab penyakit tersebut.

128
Untuk lebih jelasnya mengenai siklus hidup Giardia lamblia bisa dilihat pada
gambar di bawah ini:

G.lamblia hidup di rongga usus kecil, yaitu duodenum dan bagian proksimal yeyenum
dan kadang-kadang di saluran dan kandung empedu. Bila kista matang tertelan oleh
hospes, maka akan terjadi ekskistasi di duodenum, kemudian sitoplasma membelah dan
flagel tumbuh dari aksonema sehingga terbentuk 2 trofozoit. Dengan pergerakan flagel
yang cepat trofozoit yang berada di antara villi usus bergerak dari satu tempat ke tempat
lain. Bila berada pada villi, trofozoit dengan batill isap akan melekatkan diri pada epitel
usus. Trofozoit kemudian berkembangbiak dengan cara belah pasang longitudinal. Bila
jumlahnya banyak sekali maka trofozoit yang melekat pada mukosa dapat menutupi
permukaan mukosa usus halus. Trofozoit yang tidak melekat pada mukosa usus, akan
mengikuti pergerakan peristaltik menuju ke usus bagian distal yaitu usus besar. Enkistasi
terjadi dalam perjalanan ke kolon, bila tinja mulai menjadi padat, sehingga stadium kista
dapat ditemukan dalam tinja yang padat. Cara infeksi dengan menelan kista matang yang
dapat terjadi secara tidak langsung melalui air dan makanan yang terkontaminasi, atau
secara langsung melalui fecal-oral. Giardia lamblia mempunyai bentuk tropozoit dan
kista, dan hidup di duodenum dan di proksimal jejenum. Makan di ambil dari isi usus,
meskipun parasite ini mungkin mendapat makanan dengan mempergunkan batil isapnya
dari sel-sel epitel. Sedangkan cara berkembang biaknya dengan cara pembelahan
mitosis selama terbentuk kista.
Bentuk tropozoid simetris berukuran 15-20 x 5-15 mikron dan rata-rata 14x7 mikron.
Mempunyai 2 inti/nucleus (Nu) dan kariosome (k) letaknya ditengah-tengah, bagian
129
dorsal bentuknya convex (cembung), bagian ventral bentuknya mendatar dan terdapat 2
buah alat pengisap (AD = Adhesive Disc;sucking dise), yang berfungsi sebagai alat
melekatkan diri pada dinding mukosa, pada bagian anteriornya terdapat blefaroplas,
sitoplasma terdapa bintik-bintik halus, ujung posterior terdapat parabasal body
(MB;Median Bodies). Mempunyai 4 pasang flagella (fg), yang terdiri dari : 2 psang cros
lateral flagel (bagian anterior), sepasang uncross lateral flagel (tubuh bagian lateral),
sepasang uncross flagella (terletak bagian posterior).
Parasit ini mempunyai bentuk trofozoit dan bentuk kista bentuk trofozoit ini bilateral
simetris seperti buah buah jambu monyet dan begian anteriornya membulat dan bagian
posteriornya meruncing.permukaan dorsal cembung(konveks)dan pipih disebelah ventral
dan terdapat batil isap berbentuk seperti cakram yang cekung menempati setengah
menempati anterior badan parasit.Ukuran parasit ini 12-15 mikron dan mempunyai
sepasang inti yang letaknya di bagian anterior,bentuknya oval dengan kromosom di
tengah atau butir-butar kromatin yang tersebar di plasma inti .Trofozoit mempunyai empat
pasang flagel yang berasal dari 4 pasang blefaroplas.sepasang flagel keluar dari 2
blefaroplas anteriol.sepasang flagel lateral berasal dari 2 blefaroplas lateral di antara dua
inti dan kedua aksonema berjalan ke anteriol.lalu saling menyilang di garis tengah dan
garis lengkung dipinggir batil isap,kemudian masing-masing keluar dari sisi lateral kanan
dan kiri .sepasang aksonema yang agak tebal (disebut aksostil)berasal dari 2 blefaroplas
median berjalan ke posterior dan keduanya keluar dari ujung posterior .dari sepasang
blefaroplas yang leteknya di tengah-tengah dua batil isap ,keluar sepasang aksonema
pendek sebagai flagel sentral.dua batang yang agak melengkung dianggap sebagai
benda parabasal ,leteknya melintang di posterior dari batil isap. Trofozoit berukuran
panjang 9-20 μm, lebar 5-15 μm. Berbentuk oval hingga ada yang berbentuk buah pear
atau bentuk hati. Bentuk trofozoit spesies ini memiliki : sucking disc pada ujung
anteriornya, yaitu area konkaf yang menutupi setengah dari permukaan ventral. Dua
buah nuclei yang terletak simetris bilateral. Nuklei tersebut mengandung sedikit kromatin
perifer namun memiliki kariosom besar yang berada di tengah. Sebuah axostyle, terdiri
dari 2 axonema yang membagi dua tubuhnya. Dua buah median bodies (parabasal
bodies), diduga memiliki peranan dalam proses metabolisme. Empat flagella yang
terletak di lateral, 2 lateral di ventral, dan 2 terletak di kaudal.
Kista yang bentuknya oval berukuran 8-12 mikron,mempunyi dinding tipis dan kuat
.sitoplasmanya berbutir halus dan letaknya jelas terpisah dari dinding kista kista yang
baru terbentuk mempunyai 2 inti ; yang matang mempunyai 4 inti,letaknya pada satu
kutub .waktu kista dibentuk ,trofozoit menarik kembali flagel-flagel kedalam aksonema
,sehingga tampak sebagai 4 pasang benda sabit yaitu sisa dari flag.G.lamblia hidup di
rongga usus kecil,yaitu duodenum dan bagian proksimal yeyenum dan kadang-kadang di
saluran dan kandung empedu dengan pergerakaqn flagel yang cepat trofozoit bergerak
dari Satu tempat ke tempat yang lain dengan batil isap ,melekatkan diri pada epitel
usus.trofozoit berkembang biak dengan belah pasang longitudinal dalam tinja cair
biasanya hanya ditemukan trofozoit.el.enkistasi terjadi dalam perjalanan ke kolon,bila
tinja mulai padat.bila kista matang tertelan oleh hospes maka terjadi eksistasi di
duodenum ,kemudian sitoplasmanya membelah dan flagel tumbuh dari aksonema
sehingga terbentuklah 2 trofozoit.Giardiasis harus dianggap sebagai penyakit kekurangan
vitamin B12, ini akibat dari masalah-masalah yang disebabkannya di dalam sistem
penyerapan usus.

130
DAFTAR PUSTAKA

1. Lynne S, Bruckner, D.A, Diagnostik Parasitologi Kedokteran, Jakarta :EGC,


1997
2. Juni Prianto LA., Tjahayu P.U., Darwonto. Atlas Parasitologi Kedokteran,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006
3. Ali S.A., Akhtar T., Maqbool A., Hussan A., Ikram S. 2013. Ancylostoma
Duodenale Seperated from Contaminated Soil. International Journal of Zoology and
Research. 3: 27-38.
4. Basuni Madihah, Muhi Jamail, Othman Nurulhasanah, Verweij Jaco J.,
Ahmad Maimunah, Miswan Noorizan, Rahumatullah Anizah, et al. 2011. A Pentaplex
Real-Time Polymerase Chain Reaction Assay for Detection of Four Species of Soil-
Transmitted Helminths. Am. J. Trop. Med. Hyg., 84(2), pp. 338–343

131
IMUNOPATOGENESIS INFEKSI PLASMODIUM DAN TROPOZOA
I. INFEKSI PLASMODIUM
Definisi Malaria
Malaria merupakan suatu penyakit akut maupun kronik, yang disebabkan oleh protozoa
genus Plasmodium dengan manifestasi klinis berupa demam, anemia dan pembesaran
limpa. Sedangkan meurut ahli lain malaria merupakan suatu penyakit infeksi akut maupun
kronik yang disebakan oleh infeksi Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai
dengan ditemukannya bentuk aseksual dalam darah, dengan gejala demam, menggigil,
anemia, dan pembesaran limpa.
Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit, inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah
daripada koagulasi intravaskuler. Oeleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit
maka akan terjadi anemia. Beratnya anemi tidak sebanding dengan parasitemia
menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Hal ini diduga
akibat adanya toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian
eritrosit pecah melalui limpa sehingga parasit keluar. Faktor lain yang menyebabkan
terjadinya anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah
pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis
dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi
hyperplasia dari retikulosit diserta peningkatan makrofag.
Pada malaria beratm mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur danmbiomolekular sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme, diantaranya transport membran sel, sitoadherensi,
sekuestrasi dan resetting
Sitoadherensi merupakan peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P. falciparum
pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat
melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset.
Resetting adalah suatu fenomena perlekatan antara sebuah eritrosit yang mengandung
merozoit matang yang diselubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non parasit, sehingga
berbentu seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya resetting adalah
golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang bertindak
sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi.
Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah multifaktorial dan berhubungan
dengan hal-hal sebagai berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tetapi juga terhadap
eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan hipoksemia
jaringan. Pada hemolisis intravascular yang berat dapat terjadi hemoglobinuria (black white
fever) dan dapat menyebabkan gagal ginjal
2. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitive
endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran
cerna dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF) yang
merupakan suatu monokin, ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang
terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin dapat menimbulkan demam, hipoglikemia, dan
sndrom penyakit pernapasan pada orang dewasa.
3. Sekuestrasi eritrosit yang terluka

132
Eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium dapat membentuk tonjolan-tonjolan (knobs) pada
permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi dengan antibodi
malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung parasit terhadap
endothelium kapiler alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung di sirkulasi alat dalam.
Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endothelium dan membentuk gumpalan yang
mengandung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema jaringan.
Patologi Malaria
Sporozoit pada fase eksoeritrosit bermultiplikasi dalam sel hepar tanpa menyebabkan reaksi
inflamasi, kemudian merozoit yang dihasilkan menginfeksi eritrosit yang merupakan proses
patologi dari penyakit malaria. Proses terjadinya patologi malaria serebral yang merupakan
salah satu dari malaria berat adalah terjadinya perdarahan dan nekrosis di sekitar venula
dan kapiler. Kapiler dipenuhi leukosit dan monosit, sehingga terjadi sumbatan pembuluh
darah oleh roset eritrosit yang terinfeksi.
Manifestasi Klinis
Malaria sebagai penyebab infeksi yang disebabkan oleh Plasmodium mempunyai gejala
utama yaitu demam. Demam yang terjadi diduga berhubungan dengan proses skizogoni
(pecahnya merozoit atau skizon), pengaruh GPI (glycosyl phosphatidylinositol) atau
terbentuknya sitokin atau toksin lainnya. Pada beberapa penderita, demam tidak terjadi
(misalnya pada daerah hiperendemik) banyak orang dengan parasitemia tanpa gejala.
Gambaran karakteristik dari malaria ialah demam periodic, anemia dan splenomegali.
Manifestasi umum malaria adalah sebagai berikut:
1. Masa inkubasi
Masa inkubasi biasanya berlangsung 8-37 hari tergantung dari spesies parasit (terpendek
untuk P. falciparum dan terpanjanga untuk P. malariae), beratnya infeksi dan pada
pengobatan sebelumnya atau pada derajat resistensi hospes. Selain itu juga cara infeksi
yang mungkin disebabkan gigitan nyamuk atau secara induksi (misalnya transfuse darah
yang mengandung stadium aseksual).
2. Keluhan-keluhan prodromal
Keluhan-keluhan prodromal dapat terjadi sebelum terjadinya demam, berupa: malaise, lesu,
sakit kepala, sakit tulang belakang, nyeri pada tulang dan otot, anoreksia, perut tidak enak,
diare ringan dan kadang-kadang merasa dingin di punggung. Keluhan prodromal sering
terjadi pada P. vivax dan P. ovale, sedangkan P. falciparum dan P. malariae keluhan
prodromal tidak jelas.
3. Gejala-gejala umum
Gejala-gejala klasik umum yaitu terjadinya trias malaria (malaria proxym) secara berurutan:
 Periode dingin
Dimulai dengan menggigil, kulit dingin, dan kering, penderita sering membungkus dirinya
dengan selimut atau sarung pada saat menggigil, sering seluruh badan gemetar, pucat
sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung antara 15 menit
sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
 Periode panas
Wajah penderita terlihat merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tubuh tetap
tinggi, dapat sampai 40oC atau lebih, penderita membuka selimutnya, respirasi
meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah dan dapat terjadi syok.
Periode ini berlangsung lebih lama dari fase dingin dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti
dengan keadaan berkeringat.
 Periode berkeringat
Penderita berkeringan mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, penderita merasa capek
dan sering tertidur. Bial penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan
pekerjaan biasa.

133
Anemia merupakan gejala yang sering ditemui pada infeksi malaria, dan lebih sering
ditemukan pada daerah endemik. Kelainan pada limpa akan terjadi setelah 3 hari dari
serangan akut dimana limpa akan membengkak, nyeri dan hiperemis.
Hampir semua kematian akibat malaria disebabkan oleh P. falciparum. pada infeksi P.
falciparum dapat meimbulkan malaria berat dengan komplikasi umumnya digolongkan
sebagai malaria berat yang menurut WHO didefinisikan sebagai infeksi P. falciparum
stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi sebagai berikut:
1. Malaria serebral, derajat kesadaran berdasarkan GCS kurang dari 11.
2. Anemia berat (Hb<5 gr% atau hematokrit <15%) pada keadaan hitung parasit
>10.000/µl.
3. Gagal ginjal akut (urin kurang dari 400ml/24jam pada orang dewasa atau <12
ml/kgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi, diserta kelainan kreatinin
>3mg%.
4. Edema paru.
5. Hipoglikemia: gula darah <40 mg%.
6. Gagal sirkulasi/syok: tekanan sistolik <70 mmHg diserta keringat dingin atau
perbedaan temperature kulit-mukosa >1oC.
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, saluran cerna dan atau disertai
kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2 kali/24jam setelah pendinginan pada
hipertermis.
9. Asidemia (Ph<7,25) atau asidosis (plasma bikarbonat <15mmol/L).
10. Makroskopik hemaglobinuri oleh karena infeksi malaria akut bukan karena
obat antimalaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
11. Diagnosa post-mortem dengan ditemukannya parasit yang padat pada
pembuluh kapiler jaringan otak.

134
II. INFEKSI PROTOZOA

Toksoplasmosis serebral adalah penyakit infeksi opportunistik biasanya menyerang pasien-


pasien dengan HIV-AIDS dan merupakan penyebab paling sering terhadap abses serebral
pada pasien-pasien ini.
Penyakit ini disebabkan oleh parasit Toxoplasma gondii, yang dibawa oleh kucing, burung
dan hewan lainyang dapat ditemukan pada tanah yang tercemar oleh tinja kucing dan
kadang pada daging mentah atau kurang matang. Apabila parasit masuk ke dalam system
kekebalan, ia menetap di dalam tubuh tetapi sistem kekebalan pada orang yang sehat dapat
melawan parasit tersebut hingga tuntas dan dapat mencegah penyakit. Transmisi pada
manusia terutama terjadi bila memakan daging babi atau domba yang mentah yang
mengandung oocyst (bentuk infektif dari T.gondii). Bisa juga dari sayur yang terkontaminasi
atau kontak langsung dengan feses kucing. Selain itudapat terjadi transmisi lewat
transplasental, transfuse darah, dan transplantasi organ. Infeksi akut pada individu yang
immunokompeten biasanya asimptomatik. Pada manusia dengan imunitas tubuh yang
rendah dapat terjadi reaktivasi dari infeksi laten. Yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi
opportunistik dengan predileksi di otak.

Gambar 1 : Siklus Hidup Toxoplasmosis

Siklus Hidup dan Morfologi Toxoplasmosis


Toxoplasma gondii terdapat dalam 3 bentuk yaitu bentuk trofozoit, kista, dan Ookista:
 Tachyzoit berbentuk oval dengan ukuran 3-7 um, dapat menginvasi semua
sel mamalia yang memiliki inti sel. Dapat ditemukan dalam jaringan selama masa
akut dari infeksi. Bila infeksi menjadi kronis tachyzoit dalam jaringan akan membelah
secara lambat dan disebut bradizoit.

135
Gambar 2: Tachyzoit

 Bentuk kedua adalah kista yang terdapat dalam jaringan dengan jumlah
ribuan berukuran 10-100 um. Kista penting untuk transmisi dan paling banyak
terdapat dalam otot rangka, otot jantung dan susunan syaraf pusat.

Gambar 3 : Kista
 Bentuk yang ke tiga adalah bentuk Ookista yang berukuran 10-12 um.
Ookista terbentuk di sel mukosausus kucing dan dikeluarkan bersamaan dengan
feces kucing. Dalam epitel usus kucing berlangsung siklus aseksual atau schizogoni
dan siklus atau gametogeni dan sporogoni. Yang menghasilkan ookista dan
dikeluarkan bersama feces kucing. Kucing yang mengandung toxoplasma gondii
dalam sekali ekskresiakan mengeluarkan jutaan ookista. Bila ookista initertelan oleh
pejamu perantara seperti manusia, sapi,kambing atau kucing maka pada berbagai
jaringanpejamu perantara akan dibentuk kelompok-kelompok trofozoit yang
membelah secara aktif. Pada pejamuperantara tidak dibentuk stadium seksual tetapi
dibentuk stadium istirahat yaitu kista. Bila kucing makantikus yang mengandung kista
maka terbentuk kembali stadium seksual di dalam usus halus kucing tersebut.

Gambar4:Ookista

Patomekanisme
Penularan pada manusia dimulai dengan tertelannya tissue cyst atau oocyst diikuti
oleh terinfeksinya sel epitel usus halus oleh bradyzoites atau sporozoites secara berturut-
turut. Setelah bertransformasi menjadi tachyzoites,organisme ini menyebar ke seluruh tubuh
136
lewat peredaran darah atau limfatik. Parasit ini berubah bentuk menjadi tissue cysts begitu
mencapai jaringan perifer. Bentuk ini dapat bertahan sepanjan ghidup pejamu,dan
berpredileksi untuk menetap pada otak,myocardium, paru, otot skeletal dan retina.
Pada manusia dengan imunitas tubuh yang rendah dapat terjadi reaktivasi dari
infeksi laten yang akan mengakibatkan timbulnya infeksi oportunistik dengan predileksi di
otak. Tissue cyst menjadi rupture dan melepaskan invasive tropozoit (takizoit). Takisoit ini
akan menghancurkan sel dan menyebabkan focus nekrosis

Ookista (Daging mentah)

Tachyzoit (usus)

Darah & Limfe

Imune Respon

Bradyzoit (otak, skeletal,


myocard, retina)

Immunocompromized

→reaktivasi

Gambar 5 :Patogenesis Toxoplasmosis


Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapatmenjadi prediktor
kemungkinan adanya infeksi oportunistik. HIV secara signifikan berdampak pada kapasitas
fungsionaldankualitas kekebalan tubuh. HIV mempunyai target sel utamayaitu sel limfosit
T4, yang mempunyai reseptor CD4. Beberapa sel lain yangjuga mempunyai reseptor CD4
adalah : sel monosit, selmakrofag, sel folikular dendritik, sel retina, sel leher rahim, dan sel
langerhans. Infeksi limfosit CD4 oleh HIV dimediasi oleh perlekatan virus ke permukaan sel
reseptor CD4, yang menyebabkan kematian sel dengan meningkatkan tingkat apoptosis
pada sel yang terinfeksi. Selain menyerang sistem kekebalan tubuh, infeksi HIV juga
berdampak pada sistem saraf dan dapat mengakibatkan kelainanpada saraf. Infeksi
oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada penderita HIV/AIDS.
Infeksi tersebut dapat menyerang sistem saraf yang membahayakan fungsi dan kesehatan
sel saraf. Mekanisme bagaimana HIV menginduksi infeksi oportunistik seperti toxoplasmosis
sangat kompleks. Ini meliputi deplesi dari sel T CD4; kegagalan produksi IL-2, IL-12, dan
IFN-gamma; kegagalan aktivitas Limfosit T sitokin. Sel-sel dari pasien yang terinfeksi HIV
menunjukkan penurunan produksi IL-12 dan IFN-gamma secara invitro dan penurunan
ekspresi dari CD 154 sebagai respon terhadap T gondii.

137
Tachyzoit

Aktivasi CD4 sel T

sel dendritik dan


makrofag
ekspresi CD154
IL-12

Sel T→INF-y

Respon antitoxoplasmik
Gambaran Klinis
Gejala toxoplasmosis cerebral tidak bersifat spesifik dan agak sulit untuk dibedakan dengan
penyakit lain seperti lymphoma, tuberculosis dan infeksi HIV akut. Toksoplasmosis dapatan
tidak diketahui karena jarang menimbulkan gejala. Gejala yang ditemui pada dewasa
maupun anak-anak umumnya ringan.
Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti demam, nyeri otot,
sakit tenggorokan, nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior,
supraklavikula dan suoksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sefalgia,
muntah, depresi, nyeri otot, pneumonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat
terjadi kejang.
Gejala-gejala klinis pada toksoplasmosis pada umumnya sesuai dengan kelainan
patologi yang terjadi dapat digolongkan menjadi dua kelompok yaitu gejala-gejala klinis
pada toksoplasmosis congenital dan toksoplasmosis didapat.
Gejala cerebral toksoplasma atau dikenali sebagai toksoplasma otak termasuk
ensefalitis, demam, sakit kepala hebat yang tidak ada respon terhadap pengobatan, lemah
pada satu sisi tubuh, kejang, kelesuan, kebingungan meningkat, masalah penglihatan,
vertigo, afasia, masalah berjalan, muntah dan perubahan kepribadian. Tidak semua pasien
menunjukan tanda infeksi. Pada ensefalitis fokal ditemukan nyeri kepala dan rasa bingung
kerna adanya pembentukan abses akibat dari terjadinya infeksi toksoplasma. Pasien
dengan sistem immunonya menurun, gejala-gejala fokalnya cepat sekali berkembang dan
penderita mungkin akan mengalami kejang dan penurunan kesadaran.
Toksoplasmosis serebral sering muncul dengan onset subakut dengan gejala fokal
nerologik. Walaubagaimanapun, terdapat juga onset yang tiba-tiba disertai kejang atau
pendarahan serebral. Hemiparesis dan gangguan percakapan sering ditemui sebagai gejala
klinis awal.
Keterlibatan batang otak bisa menghasilkan lesi saraf cranial dan pasien akan
mempamerkan disfungsi serebral seperti disorientasi, kesadaran menurun, lelah atau koma.
Pengibatan medulla spinalis akan menghasilkan gangguan motorik dan sensorik bagi
beberapa anggota badan serta kantung kemih atau kesakitan fokal.

138
DAFTAR PUSTAKA

1. Harijanto PN. Malaria. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III, edisi IV. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 2006; Hal: 1754-60.
2. Rampengan TH. Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto PN (editor). Malaria,
Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan. Jakarta: EGC, 2000;
Hal: 249-60.
3. Nugroho A & Tumewu WM. Siklus Hidup Plasmodium Malaria. Dalam Harijanto PN
(editor). Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis dan Penanganan.
Jakarta: EGC, 2000; Hal: 38-52.
4. Ganiem AR, Dian S, Indriati A, Chaidir L, Wisaksana R, Sturm P, et al. Cerebral
Toxoplasmosis Mimicking Subacute Meningitis in HIV-Infected Patients; a Cohort Study
from Indonesia. PLOS Neglected Tropical Disease J. 2013:1-6.
5. Communicable Disease Manageent Protocol : Toxoplasmosis. Mantoba Health
Public Health. November 2001.
6. Advisory Commitee on the Microbiological Safety of Food: Risk profile in Relation to
Toxoplasma in the Food Chain.
7. Yasuhiro Suzuki. Immunopathogenesis of Cerebral Toxoplasmosis. Department of
Biomedical Science and Pathology, Virginia. 2002.

139
ANEMIA

1. Definisi
Anemia secara umum didefinisikan sebagai berkurangnya volume eritrosit atau konsentrasi
hemoglobin. Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan disebabkan oleh bermacam-
macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak
menimbulkan gejala objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala
keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivitas, takikardia, dilatasi jantung, dan gagal
jantung.(1)

2. Klasifikasi Anemia
Tabel 1. Klasifikasi Anemia menurut morfologi eritrosit
Anemia mikrositik Anemia Normokromik Anemia Makrositik
hipokromik (MCV < 80 fl ; Normositik (MCV 80-95 ( MCV> 95 fl)
MCH < 27 pg) fl; MCH 27-34 pg)

 Anemia defisiensi  Anemia a. Anemia


besi pascaperdarahan akut megaloblastik
 Thalassemia  Anemia aplastik-  Anemia
 Anemia akibat hipoplastik defisiensi asam
penyakit kronis  Anemia hemolitik- folat
 Anemia terutama didapat  Anemia
sideroblastik  Anemia akibat defisiensi vitamin
penyakit kronik B12
 Anemia b. Nonmegaloblastik
mieloptisik  Anemia
 Anemia pada pada penyakit
gagal ginjal kronik hati kronik
 Anemia pada  Anemia
myelofibrosis pada hipotiroid
 Anemia pada  Anemia
sindrom mielodisplastik pada sindrom
 Anemia pada mielodisplastik
leukemia akut

140
ANEMIA YANG SERING
Gambar 1. PADA ANAKdiagnostik anemia terhadap nilai
Pendekatan
MCV dan jumlah retikulosit

1. Anemia Defisiensi Besi(5)

141
Anemia akibat defisiensi besi untuk sintesis Hb merupakan penyakit darah yang
paling sering pada bayi dan anak. Anemia defisiensi besi adalah kondisi dimana kandungan
besi tubuh total menurun dibawah kadar normal, sehingga penyediaan besi untuk
eritopoesis berkurang yang pada akhirnya pembentukan hemoglobin berkurang.
Etiologi
1. Kebutuhan yang meningkat secara fisiologis
o Pertumbuhan
Pada bayi premature dan pada usia pertumbuhan cepat (pada satu tahun pertama
dan masa remaja).
o Menstruasi
2. Kurangnya besi yang diserap
o Masukan besi dari makanan yang tidak adekuat
Pada satu tahun pertama kehidupan, bayi membutuhkan makanan yang banyak
mengandung besi. Pada bayi cukup bulan kebutuhan besi yang diserap kurang lebih 200
mg pada satu tahun pertama (0,5 mg/hari). Pada bayi yang mendapatkan ASI eksklusif
lebih jarang ditemukan kekurangan besi pada enam bulan pertama, hal ini disebabkan
besi yang terkandung dalam ASI lebih mudah diserap (40%) dibandingkan besi yang
terkandung dalam susu formula (10%).
o Malabsorpsi besi
Keadaan ini terjadi pda anak kurang gizi yang mukosa usunya mengalami
perubahan secara histologis dan fungsional. Pada orang yang telah mengalami
gastrektomi parsial atau total sering disertai ADB walaupun penderita mendapatkan
cukup besi. Asam lambung yang berkurang jumlahnya, serta makanan lebih cepat
melewati usus halus bagian atas menjadi alas utama kurangnya penyerapan besi
heme dan non heme.
3. Perdarahan
Kehilangan darah akan mempengaruhi keseimbangan status besi. Kehilangan darah
sebanyak 1 ml akan mengakibatkan kehilangan besi 0,5 mg, kehilangan darah 3
sampai 4 ml/hari (1,5-2 mg besi) dapat mengakibatkan keseimbangan negative besi.
Perdarahan yang terjadi dapat berupa perdarahan saluran cerna, milk induced
enteropathy, ulkus peptikum, perdaraha akibat obat-obatan (asam asetil salisilat,
kortikosteroid, indometasin, NSAID), dan cacing (Ancylostoma duodenale dan
Necator americans).
4. Transfusi feto-maternal
Kebocoran darah yang kronis ke dalam sirkulasi ibu akan menyebabkan ADB pda
akhir masa fetus dan awal usia neonatus.
5. Hemoglobinuria
Ditemukan pada anak dengan katup jantung buatan.
6. Iatrogenic blood loss
Pada anak yang banyak diambil darah vena untuk pemeriksaan laboratorium.
7. Idiopathic pulmonary hemosiderosis
Penyakit yang jarang terjadi ini ditandai dengan perdarahan paru yang hebat dan
berulang, serta adanya infiltrat pada paru yang hilang timbul. Keadaan ini dapat
menurunkan Hb drastic hinggal 1,5 sampai 3 g/dL dalam 24 jam.
8. Latihan yang berlebihan
Terjadi pada atlet yang berolahraga berat seperti lintas alam. Perdarahan saluran cerna
yang tidak tampak sebagian akibat iskemia yang hilang timbul pada usus selama latihan
berat terjadi pda 50% pelari.
Metabolisme zat besi(7)
Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Besi juga terdapat dalam beberapa enzim
142
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmitter, dan
proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak yang merugikan
terhadap sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular, imunitas
dan perubahan tingkat selular.
Jumlah zat besi yang diserap oleh tubuh dipengaruhi oleh jumlah besi dalam makanan,
biovailabilitas besi dalam makanan dan penyerapan oleh mukosa usus. Di dalam tubuh
orang dewasa mengandung zat besi sekitar 55 mg/kgBB atau sekitar 4 gram. Lebih
kurang 67% zat besi tersebut dalam bentuk hemoglobin, 30% sebagai cadangan dalam
bentuk feritin atau hemosiderin dan 3% dalam bentuk mioglobin. Hanya sekitar 0,07%
sebagai transferin dan 0,2% sebagai enzim. Bayi baru lahir dalam tubuhnya
mengandung besi sekitar 0,5 gram.
Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam
bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu
menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah bentuk heme
(sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa
memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang
dikonsumsi.
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk
kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam
sel mukosa, besi akan dilepaskan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen usus.
Sebagian besi bergabung dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi yang
tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah dan berikatan dengan
apotransferin membentuk transferin serum.
Penyerapan besi berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum
sampai pertengahan jejenum, makin kearah distal usus penyerapannya semakin
berkurang. Besi dalam makanan terbanyak dalam bentuk senyawa besi non heme
berupa kompleks besi inorganic (feri/Fe 3+) yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin
C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk fero (Fe 2+). Bentuk fero
diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan didalam sel usus bentuk fero ini mengalami
oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan apoferitin menjadi
feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran darah setelah melalui
reduksi menjadi bentuk fero dan didalam plasma ion fero direoksidasi kembali menjadi
bentuk feri. Yang kemudian berikatan dengan 1 globulin membentuk transferin.
Absorpsi besi non heme akan meningkat pada penderita ADB. Transferin berfungsi
untuk mengangkut besi lain untuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.
Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit (retikulosit) yang
selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin
dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120 hari fungsinya
kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan didalam sel retikuloendotelial.
Hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya
biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam
plasma dan mengikuti siklus seperti di atas atau akan tetap sebagai cadangan
tergantung aktivitas eritropoisis.
Biovailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makan. Asam askorbat,
daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme. Jenis
makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopi), kalsium, fitat,
beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antacid, tetrasiklin dan
kolestiramin) akan mengurangi penyerapan besi.
Besi heme didalam lambung dipisahkan dari proteinnya oleh asam lambung dan enzim
proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan masuk
ke dalam sel mukosa usus secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim heme
143
oksigenese menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini akan
mengalami siklus seperti di atas.
Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yaitu feritin yang bersifat mudah larut,
tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Hemosiderin yang tidak
mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan
terutama dalam sel Kupfer hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan
besi ini akan berfungsi untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila
pemasukan besi dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan
cadangan besi untuk mempertahankan kadar Hb.
Status besi pada bayi baru lahir
Bayi baru lahir(BBL) cukup bulan di dalam tubuhnya mengandung besi 65-90 mg/KgBB.
Bagian terbesar (sekitar 50mg/KgBB) merupakan massa hemoglobin, sekitar 25
mg/KgBB sebagai cadangan besi dan 5 mg/KgBB sebagai myoglobin dan besi dalam
jaringan. Kandungan besi BBL ditentukan oleb berat badan lahir dan massa Hb.
Bayi cukup bulan dengan berat badan lahir 4000 gram mengandung 320 mg besi,
sedangkan bayi kurang bulan mengandung besi kurang dari 50 mg. Konsentrasi Hb
pada pembuluh darah tali pusat bayi cukup bulan adalah 13,5-20,1 gr/dL.
Kontraksi uterus selama 3 menit pada waktu persalinan menyebabkan darah plasenta
yang melalui tali pusat ke janin bertambah sekitar 87%. Perpindahan tersebut
menambah jumlah volume darah + 20 ml/KgBB. Pemotongan tali pusat yang terlalu
cepat setelah persalinan akan mengurangi kandungan besi sekitar 15-30%, sedangkan
bila ditunda selama 3 menit dapat menambah jumlah volume sel darah merah sekitar
58%.
Setelah dilahirkan terjadi perubahan metabolisme besi pada bayi. Selama 6-8 minggu
terjadi penurunan yang sangat drastis dan aktivitas eritropoesis sebagai akibat dari
kadar O2 yang meningkat, sehingga terjadi penurunan kadar Hb. Karena banyak zat
besi yang tidak dipakai, maka cadangan besi akan meningkat. Selanjutnya terjadi
peningkatan aktivitas eritropoesis disertai masuknya besi ke sumsum tulang. Berat
badan bayi dapat bertambah dua kali lipa tanpa mengurangi cadangan besi. Pada bayi
cukup bulan keadaan tersebut dapat berlangsung sekitar 4 bulan, sedangkan pada bayi
kurang bulan hanya 2-3 bulan. Setelah melewati masa tersebut kemampuan bayi untuk
mengabsorpsi besi akan sangat menentukkan dalam mempertahankan keseimbangan
besi dalam tubuh. Pada bayi cukup bulan untuk mendapatkan jumlah besi yang cukup
harus mengabsorpsi 200 mg besi selama 1 tahun pertama agar dapat
mempertahankan kadar Hb yang normal yaitu 11 g/dl. Bayi kurang bulan harus mampu
mengabsorpsi 2-4 kali dari jumlah biasa. Pertumbuhan bayi kurang bulan jauh lebih
cepat dibanfingkan bayi cukup bulan sehingga cadangan besinya lebih cepat
berkurang. Untuk mencukupi kebutuhan besi, bayi cukup bulan membutuhkan 1 mg
besi/KgBB/hari, sedangkan BBLR memerlukan 2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal
15 mg/kgBB/hari. Bayi dengan BBL<1000 gram membutuhkan suplementasi besi 4
mg/kgBB/hari, BBL 1500 gram memerlukan 3 mg/kgBB/hari, BBL 1500-2000 gram
memerlukan 2 mg/kgBB/hari. Pemberian sumplementasi tersebut dianjurkan sampai
usia 1 tahun. Oleh karena pada masa tersebut terjadi peningkatan ketergantungan besi
dari makanan, maka bila tidak terpenuhi akan menimbulakan risiko terjadinya ADB.
Prevalens ADB paling tinggi terjadi pada usia 6 bulan- 3 tahun karena pada masa ini
cadangan besi sangat berkurang. Pada bayi kurang bulan ADB bahkan dapat terjadi
mulai usia 2-3 bulan.

144
Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan hasil akhir keseimbangan negatif besi yang berlangsung
lama. Bila kemudian keseimbangan besi yang negatif ini menetap akan menyebabkan
cadangan besi terus berkurang. tahap defisiensi besi, yaitu:6
a) Tahap pertama
Tahap ini disebut iron depletion atau storage iron deficiency, ditandai dengan
berkurangnya cadangan besi atau tidak adanya cadangan besi. Hemoglobin dan
fungsi protein besi lainnya masih normal. Pada keadaan ini terjadi peningkatan
absorpsi besi non heme. Feritin serum menurun sedangkan pemeriksaan lain untuk
mengetahui adanya kekurangan besi masih normal.
b) Tahap kedua
Pada tingkat ini yang dikenal dengan istilah iron deficient erythropoietin atau iron
limited erythropoiesis didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang
eritropoisis. Dari hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh nilai besi serum menurun
dan saturasi transferin menurun sedangkan total iron binding capacity (TIBC)
meningkat dan free erythrocyte porphyrin (FEP) meningkat.
c) Tahap ketiga
Tahap inilah yang disebut sebagai iron deficiency anemia. Keadaan ini terjadi bila
besi yang menuju eritroid sumsum tulang tidak cukup sehingga menyebabkan
penurunan kadar Hb. Dari gambaran darah tepi didapatkan mikrositosis dan
hipokromik yang progresif. Pada tahap ini telah terjadi perubahan epitel terutama
pada anemia defisiensi besi yang lebih lanjut.
Table 2. Tahapan kekurangan besi6
Hemoglobin Tahap I (Normal) Tahap II (sedikit Tahap III (menurun
menurun) jelas) Mikrositik
Cadangan besi (mg) <100 0 0
Fe serum (ug/dl) Normal <60 <40
TIBC (ug/dl) 360-390 >390 >410
Saturasi transferin 20-30 <15 <10
(%)
Feritin serum (ug/dl) <20 <12 <12
Sideroblas (%) 40-60 <10 <10
FEP (ug/dl eritrosit >30 >100 >200
MCV Normal Normal Menurun

Manifestasi Klinis
Pucat merupakan tanda paling penting pada defisiensi besi. Sclera berwarna biru
juga sering, meskipun ini juga ditemukan pada bayi normal. Pada defisiensi ringan sampai
sedang (Hb 6-10 g/dL). Pagofagia, yaitu keinginan untuk makan bahan yang tidak biasa
seperti es atau tanah, mungkin ada. Bila Hb menurun sampai di bawah 5g/dL, iritabilitas dan
anoreksia mencolok. Takikardia dan dilatasi jantung terjadi, dan bising sistolik sering ada.
Limpa teraba membesar pada 10-15% penderita. Pada kasus menahun dpaat terjadi
pelebaran diploe tulang tengkorak yang mirip dengan yang terlihat pada anemia hemolitik
kongenital. Peruahan ini membaik dengan perlahan-lahan bersamaan terapi subsitusi. Anak
dengan defisiensi besi mungkin gemuk atau kurang berat, dengan tanda lain kurang gizi.
Iritabilitas dan anoreksia yang khas untuk kasus lanjut mungkin merupakan gambaran
defisiensi besi jaringan, karena dengan terapi besi perbaikan yang nyata dalam perilaku
sering terjadi sebelum terjadi perbaikan hematologi yang nyata. Defisiensi besi dapat
memperngaruhi fungsi neurologis dan intelektual.Satu gejala aneh yang cukup karakteristik
untuk defisiensi zat besi adalah Pica, dimana pasien memiliki keinginan makan yang tidak

145
dapat dikendalikan terhadap bahan seperti tepung (amilofagia), es (pagofagia), dan tanah
liat (geofagia). Beberapa dari bahan ini, misalnya tanah liat dan tepung, mengikat zat besi
pada saluran makanan, sehingga memperburuk defisiensi. Konsekuensi yang menyedihkan
adalah meningkatnya absorpsi timbal oleh usus halus sehingga dapat timbul toksisitas
timbal disebabkan paling sedikit sebagian karena gangguan sintesis heme dalam jaringan
saraf, proses yang didukung oleh defisiensi zat besi.Penyebabnya hingga kini masih belum
diketahui dengan jelas. Tapi beberapa peneliti menduga kurangnya zat besi dan anemia
memicu pola makan tersebut. Penderita Pica biasanya sering makan tanah, pasir, daun,
batu, kapur, puntung rokok, lampu, pensil, besi, es, cat, tanah liat, bulu binatang, lumpur
bahkan kotoran binatang.
Penyakit Pica tidak ada tanda maupun gejalanya. Satu-satunya cara untuk mengetahuinya
adalah dengan melakukan tes darah guna mengetahui kandungan besi dan seng. Meskipun
anak-anak memang sering memasukkan semua benda ke dalam mulutnya, tapi orang tua
harus waspada dan curiga jika hal itu menjadi kebiasaan.10

Temuan Laboratorium
Untuk menegakkan diagnosis ADB, diperlukan pemeriksaan laboratoriun yang meliputi
pemeriksaan darah rutin seperti Hb, PCV, leukosit, trombosit ditambah pemeriksaan indeks
eritrosit, retikolusit, morfologi darah tepid an pemeriksaan status besi (Fe serum, Total iron
binding capacity (TIBC), saturasi transferin, FEP (feritin), dan apus sumsum tulang.
Menentukan adanya anemia dengan memeriksa kadar Hb dan atau PCV merupakan hal
pertama yang penting untuk memutuskan pemeriksaan lebih lanjut dalam menegakkan
diagnosis ADB. Pada ADB nilai indeks eritrosit MCV, MCH, MCHC menurun sejajar dengan
penurunan kadar Hb. Jumlah retikulosit biasanya normal, pada keadaan berat karena
pendarahan, jumlahnya meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan
hipokromik, mikrositik, anisositosis dan poikilositosis ( dapat ditemukan sel pensil, sel target,
ovalosit, mikrosit dan sel fragmen).
Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi pada ADB yang berlangsung lama dapat terjadi
granulositopenia. Pada keadaan yang disebabkan infestasi cacing sering ditemukan
eosinofilia. Jumlah trombosit meningkat 2-4 kali dari nilai normal. Trombositosis hanya
terjadi pada penderita dengan pendarahan yang massif. Kejadian trombositopenia
dihubungkan dengan anemia yang sangat berat. Namun demikian kejadian trombositosis
dan trombositopenia pada bayi dan anak hampir sama, yaitu trombositosis sekitar 35% dan
trombositopenia 28%.
Pada pemeriksaan status besi didapatkan kadar Fe menurun dan TIBC meningkat.
Pemeriksaan Fe serum untuk menentukan jumlah besi yang dapat terikat pada trasferin,
sedangkan TIBC untuk mengetahui jumlah transferin yang berada dalam sirkulasi darah.
Perbandingan antara Fe serum dan TIBC (saturasi transferin) yang dapat dengan
menghitung Fe serum/TIBC x 100% merupakan suatu nilai yang menggambarkan suplai
besi ke eritroid sumsum tulang dan sebagai penilaian terbaik untuk mengetahui pertukaran
besi antara plasma dan cadangan besi dalam tubuh. Bila saturasi trasferin (ST) < 16%
menunjukkan suplai besi yang tidak adekuat untuk mendukung eritropoisis. ST < 7%
diagnosis ADB dapat ditegakkan, sedangkan pada kadar ST 7-16% dapat dipakai untuk
mendiagnosis ADB bila didukung oleh nilai MCV yang rendah atau pemeriksaan lainnya.
Untuk mengetahui kecukupan penyediaan besi ke eritroid sumsum tulang dapat diketahui
dengan memeriksa kadar Free Erythrocyte Protoporhyrin (FEP). Pada pembentukan eritrosit
akan dibentuk cincin porfirin sebelum besi terikat untuk membentuk heme. Bila penyediaan
besi tidak adekuat menyebabkan terjadinya penumpukan porfirin didalam sel. Nilai FEP >
100 ug/dl eritrosit menunjukkan adanya ADB. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adanya
ADB lebih dini. Meningkatnya FEP disertai ST yang menururn merupakan tanda ADB yang
progresif.
146
Jumlah cadangan besi tubuh dapat diketahui dengan memeriksa kadar feritin serum. Bila
kadar feritin < 10-12 ug/l menunjukkan telah terjadi penurunan cadangan besi dalam tubuh.
Pada pemeriksaan apus sumsum tulang dapat ditemukan gambaran yang khas ADB yaitu,
hyperplasia system eritropoitik dan berkurangnya hemosiderin. Untuk mengetahui ada atau
tidaknya besi dapat diketahui dengan pewarnaan Prussian blue.
Diagnosis Banding(7)
Diagnosis Banding ADB adalah semua keadaan yang memberikan gambaran anemia
hipokrom mikrositik lain. Keadaan yang sering memberikan gambaran klinis laboratorium
yang hampir sama dengan ADB adalah talasemia minor dan anemia karena penyakit kronis.
Keadaan lainnya adalah lead poisoning/keracunan timbale dan anemia sideroblastik. Untuk
membedakannya diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan
laboratorium.
Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara sederhana
untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat jumlah sel darah merah
yang meningkat meski sudah anemia ringan dan mikrositosis, sebaliknya ADB jumlah sel
darah merah menururn sejajar dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat
diperoleh dengan cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < 13
menunjukkan talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talsemia minor
didapatkan basophilic stippling, peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar
HbA2.
Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya normokrom
normositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik. Terjadinya anemia pada penyakit
kronis disebabkan terganggunya moibilisasi besi dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe
serum dan TIBC menurun meskipun cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai
saturasi transferin normal atau sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar
reseptor transferin/transferring receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan anemia
karena penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena pada
inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya menurun.
Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.
Tabel 3. Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan ADB(7)
Pemeriksaan Lab ADB Talasemia Minor Anemia peny.
Kronis
MCV Menurun Menurun Normal, Menurun
Fe serum Menurun Normal Menurun
TIBC Meningkat Normal Menurun
Saturasi Menurun Normal Menurun
transferitin
FEP Meningkat Normal Normal, Meningkat
Feritin serum Menurun Normal Menurun

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB tetapi
didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP
meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah. Anemia
sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis heme, bisa
didapat atau herediter. Pada keadaan ini didapatkan gambaran hipokrom mikrositik dengan
peningkatan kadar RDW yang disebabkan oleh populasi sel darah merah yang dimorfik.
Kadar fe serum dan ST biasanya meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang
didapatkan sel darah merah berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam
mitokondria) yang disebut ringed sideroblast anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.

147
Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksnaan ADB adalah mengetahui faktor penyebab dan mengatasinya serta
memberikan terapi penggantian dengan preparat besi. Sekitar 80-85% penyebab ADB dapat
diketahui sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan tepat. Pemberian preparat Fe
dapat secara peroral atau parenteral. Pemberian peroral lebih aman, murah dan sama
efektifnya dengan pemberian secara parenteral. Pada penderita yang tidak dapat memakan
obat peroral atau kebutuhan besinya tidak dapat terpenuhi secara peroral karena ada
gangguan pencernaan.6
Pemberian preparat besi
Pemberian preparat besi peroral
Garam ferous diabsorpsi sekitar 3 kali lebih baik dibandingkan garam feri. Preparat yang
tersedia berupa ferous glukonat, fumarat dan suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous
sulfat karena harganya yang lebih murah. Ferous glukonat, ferous fumarat dan ferous
suksinat diabsorpsi sama baiknya. Untuk bayi tersedia preparat besi berupa tetes (drop).
Untuk mendapatkan respons pengobatan dosis besi yang dipakai 4-6 mg besi/ kgBB/hari.
Dosis obat dihitung berdasarkan kandungan besi yang ada dalam garam ferous. 5
Garam ferous sulfat mengandung besi sebanyak 20%. Dosis obat yang terlalu besar akan
menimbulkan efek samping pada saluran pencernaan dan tidak memberikan efek
penyembuhan yang lebih cepat. Absorpsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung
kosong, diantara dua waktu makan, akan tetapi dapat menimbulkan efek samping pada
saluran cerna. Untuk mengatasi hal tersebut pemberian besi dapat dilakukan pada saat
makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorpsi obat sekitar 40-
50%. Obat diberikan dalam 2-3 dosis sehari. Tindakan tersebut lebih penting karena dapat
diterima tubuh dan akan meningkatkan kepatuhan penderita. Preparat besi ini harus terus
diberikan selama 2 bulan setelah anemia pada penderita teratasi. Respons terapi dari
pemberian preparat besi dapat dilihat secara klinis dan dari pemeriksaan laboratorium,
seperti tampak pada tabel di bawah ini.5

Table 4. Respon terhadap pemberian besi pada ADB


Waktu setelah Respon
pemberian besi
12-24 jam Penggantian enzim besi intraseluler,
keluhan subyektif berkurang, nafsu
makan bertambah
36-48 jam Respon awal dari sumsum tulang :
hyperplasia eritroid
48-72 jam Retikulosit, puncaknya pada hari ke 5-7
4-30 hari Kadar Hb meningkat
1-3 bulan Penambahan cadangan besi

Ikatan dokter Anak Indonesia (IDAI) memberikan rekomendasi suplementasi zat besi yang
dapat diberikan pada anak. Rekomendasi tersebut adalah suplementasi besi diberikan
kepada semua anak, dengan prioritas usia balita (0-5 tahun), terutama usia 0-2 tahun. Dosis
dan lama pemberian suplementasi besi dapat dilihat pada tabel dibawah ini.(9)

148
Tabel 5. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi(9)

Dosis besi
Usia (tahun) elemental Lama pemberian
Usia 1 bulan sampai 2
Bayi* : BBLR (< 2.500 g) 3 mg/kgBB/hari tahun
Usia 4 bulan sampai 2
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari tahun
2 - 5 (balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
> 5 - 12 (usia sekolah) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
12 - 18 (remaja) 60 mg/hari# 2x/minggu selama 3 bulan
berturut-turut setiap tahun
Keterangan: *Dosis maksimum untuk bayi: 15 mg/hari, dosis tunggal

#
Khusus remaja perempuan ditambah 400 µg asam folat

Pemberian preparat besi parenteral


Pemberian besi secara intramuskular menimbulkan rasa sakit dan harganya mahal. Dapat
menyebabkan limfadenopati regional dan reaksi alergi. Kemampuan untuk menaikkan kadar
Hb tidak lebih baik dibanding peroral. Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi.
Larutan ini mengandung 50 mg besi/ml. Dosis dihitung berdasarkan:
Dosis besi (mg) — BB(kg) x kadar Hb yang diinginkan (g/dl) x 2,5. 5

Transfusi darah
Transfusi darah jarang diperlukan. Transfuse darah hanya diberikan pada keadaan anemia
yang sangat berat atau yang disertai infeksi yang dapat mempengaruhi respon terapi.
Koreksi anemia berat dengan transfusi tidak perlu secepatnya, malah akan membahayakan
karena dapat menyebabkan hipervolumia dan dilatasi jantung. Pemberian PRC dilakukan
secara perlahan dalam jumlah yang cukup untuk menaikkan kadar Hb samapai tingkat
aman sambil menunggu respon terapi besi. Secara umum, untuk penderita anemia berat
dengan kadar Hb < 4 g/dl hanya diberi PRC dengan dosis 2-3 ml/kgBB persatu kali
pemberian disertai pemberian diuretik seperti furosemid. Jika terdapat gagal jantung yang
nyata dapat dipertimbangkan pemberian transfusi tukar menggunakan PRC yang segar.
Kasus-kasus dengan perdarahan yang hebat kadang-kadang dibutuhkan transfusi yang
cepat sampai 6-7 bag dalam setengah jam. Setelah sirkulasi tampak membaik dikurangi
hingga 1 bag tiap 15 menit.
Tidak dianjurkan memberi obat antihistamin , antipiretika, atau diuretika secara rutin
sebelum transfusi untuk mencegah reaksi. Reaksi panas pada dasarnya adalah tanda
bahaya bahwa sedang terjadi reaksi transfusi. Diuretika hanya diperlukan pada pasien
anemia kronis yang berat, yang perlu transfusi sampai 20 ml/kgBB dalam 24 jam.

149
Gambar 2. Anemia Mikrositik Hipokromik

2. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai anemia yang terjadi ketika kecepatan destruksi
premature sel darah merah melampaui kapasitas sumsum tulang dalam memproduksi
eritrosit. Pada anemia hemolitik, usia eritrosit memendek, jumlah eritrosit menurun, EPO
meningkat, dan terjadi peningkatan aktivitas sumsum tulang. Peningkatan eritropoiesis
direfleksikan dengan ditemukannya peningkatan retikulosit di dalam darah. Sumsum tulang
dapat meningkatkan produksinya sebanyak 2-3 kali lipat dari normal dalam keadaan akut
dengan kapsitas maksimum sampai 6-8 kali pada hemolysis kronik.(7)

Etiologi
Anemia hemolitik pada anak diklasifikasikan mejadi anemia hemolitik dengan defek
seluler (intrinsic) dan defek ekstraseluler (ekstrinsik). Mayoritas defek seluler adalah
penyakit yang diturunkan. Pada defek seluler yaitu defek membrane (hereditary
spherocytosis, hereditary elliptocytosis), defisiensi enzim (defisiensi piruvat kinase (PK) dan
defisiensi G6PD), dan hemoglobinopati (sickle cell disease dan thalasemia). Sedangkan
pada defek ekstraseluler yang umumnya didapat yaitu autoimun, factor mekanik, dan factor
plasma.(7)

Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Pendekatan inisial pada pasien anemia, antara lain anamnesis yang detil, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan laboratorium esensial yang minimal. Manifestasi klinis dari anemia secara
umum tergantung dari tingkat keparahan dan laju penurunan kapasitas angkut oksigen
(oxygen-carrying capacity) dari darah, kapasitas kompensasi dari sistem kardiovaskular dan
respirasi, dan fitur yang terasosiasi dengan etiologi utama yang menyebabkan
anemia. Anemia yang progresifitasnya terjadi secara gradual tanpa disertai penyakit
150
kardiopulmonal dapat menyebabkan kompensasi tubuh yang efektif sehingga pasien tidak
akan mengalami gejala dan tanda klinis anemia sampai kadar Hb turun sampai atau
dibawah 8 g/dL. Sebaliknya, bila anemia terjadi secara akut, sesak nafas, pusing atau
pingsan (terutama dalam keadaan transisi dari posisi duduk atau tidur telentang), dan
kelelahan hebat merupakan gejala yang prominen.
Dalam anamnesis, gejala anemia hemolitik yang mungkin ditemukan antara lain gejala
anemia non spesifik seperti kelemahan, toleransi aktivitas berkurang, sesak nafas atau
gejala-gejala seperti sakit kepala, pusing, sinkop, demam, menggigil, nyeri abdomen dengan
atau tanpa distensi, nyeri pinggang, urin gelap seperti teh atau kola (hemoglobinuria,
biasanya pada anemia hemolitik intravaskular), ikterus (keadaan sekarang atau riwayat
ikterus saat neonatus (biasanya berhubungan dengan etiologi anemia hemolitik kongenital
seperti hereditary spherocytosis atau defisiensi G6PD), dan riwayat batu empedu. Etnis,
usia, dan jenis kelamin pasien memiliki nilai cukup penting dalam mengarahkan diagnosis
anemia hemolitik. Hemoglobinopati, seperti hemoglobin S dan C lebih umum ditemukan
pada orang kulit hitam; thalassemia beta lebih umum ditemukan pada orang kulit putih;
thalassemia alfa paling sering ditemukan pada orang kulit hitam dan kuning. Etiologi anemia
hemolitik yang dicurigai pada neonatus adalah anemia hemolitik kongenital, sedangkan
pada usia 3-6 bulan merupakan hemoglobinopati. Pada anak laki-laki etiologi anemia
hemolitik kongenital yang dicurigai adalah penyakit yang diturunkan terpaut X (X-linked
disorder) seperti defisiensi G6PD dan piruvat kinase. Selain itu, riwayat keluarga (anemia,
ikterus, batu empedu atau splenomegali), riwayat pengobatan (obat-obat pencetus anemia
hemolitik), dan riwayat transfusi darah dapat pula mengarahkan diagnosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda ikterik (hiperbilirubinemia yang biasa
ditemukan pada anemia hemolitik), pucat (tanda umum anemia), splenomegali, petekie atau
purpura (anemia hemolitik autoimun dengan trombositopenia), ulkus pada ekstremitas
bawah (hemoglobinopati), perubahan bentuk wajah (anemia hemolitik kongenital,
thalassemia mayor), dan katarak (defisiensi G6PD).
Penurunan kadar hemoglobin dan serum haptoglobin, peningkatan hitung retikulosit,
bilirubin indirek, serum lactate dehydrogenase (LDH), urobilinogen urin, dan hemoglobinuria
(+ darah pada urine dipstick, namun tidak ada eritrosit pada urin) merupakan hasil
pemeriksaan penunjang yang dapat ditemukan pada anemia hemolitik. 19 Pada pasien yang
diduga dengan anemia hemolitik, pemeriksaan apusan darah tepi harus dilakukan karena
mayoritas etiologi anemia hemolitik berhubungan dengan kelainan morfologi yang dapat
dilihat pada apusan darah tepi. Direct antiglobulin test (DAT) atau yang dikenal
dengan Coombs test dapat diperiksa untuk mengidentifikasi antibodi dan komponen
komplemen pada permukaan eritrosit. Coombs test yang positif akan mengarahkan
diagnosis ke autoimmune hemolytic anemia (AIHA). Pemeriksaan untuk mengkonfirmasi
diagnosis anemia hemolitik lainnya, antara lain elektroforesis Hb, panel enzim eritrosit
(G6PD, piruvat kinase), dan osmotic fragility test.8
Penatalaksanaan
Terapi pada anemi hemolitik umunya bersifat suportif, seperti terapi transfuse,
suplemen asam folat, dan splenektomi. Terapi spesifik diberikan tergantung etiologi dari
anemia hemolitik itu sendiri. Terapi trasnfusi diberikan untuk anemia hemolitik berat. Indikasi
utama pada transfuse eritrosit adalah pemberian eritrosit yang cukup untuk mencegah atau
mengembalikan keadaan hipoksia jaringan yang diakibatkan kompensasi yang tidak
adekuat. Splenektomi dilakukan untuk mengurangi anemia yang terjadi. Pembesaran limpa
dapat menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jomlah normal sehingga dapat
menyebabkan anemia. (8)
3. Anemia defisiensi Vitamin B12
Vitamin B12 dihasikan dari kobalamin dalam makanan, terutama sumber hewani,
produksi sekunder oleh mikroorganisme. Manusia tidak mampu mensintesis vitamin B12.
151
Defisiensi vitamin B12 dapat terjadi akibat ketidakadekuatan masukan pada vegetarian yang
ketat, kegagalan absorbs saluran gastrointestinal, tidak terdapatanya factor-faktor intrinsic
(anemia pernisiosa), penyakit yang melibatkan ilium atau pancreas ynag merusak absorpsi
vitamin B12, dan gastrektomi. (8)

Patofisologi
Kobalamin adalah vitamin yang memiliki susunan komponen organometalik yang kompleks,
dimana atom cobalt terletak dalam inti cincin, struktur yang mirip porfirin darimana heme
terbentuk. Tidak seperti heme, kobalamin tidak dapat disintesis dalam tubuh dan harus
dipenuhi dari makanan. Sumber utama hanya dari daging dan susu. Kebutuhan sehari
minimal untuk kobalamin ±2,5mg.
Selama pencernaan dalam lambung, kobalamin dalam makanan dikeluarkan dalam bentuk-
bentuk kompleks, yang stabil dengan pengikat gaster R. Saat memasuki duodenum, ikatan
kompleks kobalamin-R dicerna, dan menghasilkan kobalamin, yang kemudian terikat pada
faktor intrinsik (FI), suatu glikoprotein dengan berat 50-kDa yang dihasilkan oleh sel-sel
parietal dari lambung. Sekresi dari faktor intrinsik umumnya sejalan dengan asam lambung.
Ikatan kompleks kobalamin-FI dapat melawan proteolitik dan terus menuju ileum distal,
dimana reseptor spesifik terdapat pada fili mukosa dan menyerap kompleks tersebut.
Reseptor pengikat kompleks kobalamin-FI akan dibawa masuk ke sel mukosa ileum, dimana
FI kemudian dimusnahkan dan kobalamin dipindahkan ke protein pengangkut lain, yaitu
transkobalamin (TC) II. Kompleks kobalamin-TC II lalu masuk ke dalam sirkulasi, menuju
hati, sumsum tulang, dan sel-sel lain.
Normalnya ± 2 mg kobalamin disimpan dalam hati, dan 2 mg lagi disimpan dalam jaringan
seluruh tubuh. Kurang lebih dibutuhkan 3-6 tahun bagi individu normal untuk menjadi
kekurangan kobalamin bila absorpsi dihentikan secara tiba-tiba. Metilkobalamin adalah
bentuk yang diperlukan untuk metionin sintase, yang bertindak sebagai katalisator dalam
perubahan homosistein menjadi metionin. Bila reaksi tersebut terganggu, metabolisme folat
akan menjadi kacau dan timbul kerusakan DNA.
Pada defisiensi kobalamin, maka N5-metiltetrahidrofolat yang tak terkonjugasi, yang baru
diambil dari aliran darah, tidak dapat diubah menjadi bentuk lain dari tetrahidrofolat oleh
transfer metil. Ini yang disebut hipotesis folat trap. Karena N5-metiltetrahidrofolat adalah
substrat yang tak baik untuk enzim konjugasi, ia akan tetap dalam bentuk tak terkonjugasi
dan dengan perlahan keluar dari sel, sehingga defisiensi folat di jaringan terjadi, dan
menimbulkan hematopoiesis megaloblastik. Hipotesis ini menerangkan mengapa dengan
pemberian folat yang besar dapat menghasilkan remisi hematologik parsial pada pasien
dengan defisiensi kobalamin.

Manifestasi Klinis
Gejala anemia pernisiosa juvenile menjadi nyata pada umur 9 bulan sampai 11
tahun. Rentang waktu ini sesuai dengan habisnya simpanan vitamin B12 ynag diperoleh in
utero. Ketika anemia menjadi berat, terjadi kelemahan, iritabilitas, anoreksia, dan kurang
gairah. Lidah licin, merah, dan nyeri. Manifestasi neurologis meliputi ataksia, parestesia,
hiporefleksi, respon Babinski, klonus, dan koma. (8)
Pemeriksaan Laboratorium
 Anemia makrositer dengan peningkatan MCV
 Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami
hipersegmentasi dengan granula kasar (giant stab-cell)
 Trombositopenia ringan ( rata-rata 100-150 x 103 /mm3
 Sumsum tulang hiperseluler dengan gambaran megaloblastik
 Serum cobalamin rendah (100 pg/ml)

152
 Serum folat normal / tinggi
 Antibodi faktor intrinsic
 Schilling test : radiolabeled B12 absorption test akan menunjukkan absorpsi
cobalamin yang rendah yang menjadi normal dengan pemberian faktor intrinsik
lambung
 Cairan lambung : sekresi berkurang, rata-rata 15 ml/jam (kira-kira 10%
normal), aklorhidira, pH>6
 Masa hidup eritrosit berkurang, rata-rata 20 - 75 hari
 LDH meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit akibat eritropoiesis
yang tidak efektif di dalam sumsum tulang
 MCV : pada anemia berkisar antara 100-110 fl, pada anemia berat berkisar
antara 110-130 fl
Penatalaksanaan
Respon hematologis segera terjadi setelah pemberian vitamin B12 1mg parenteral,
biasanya terjadi retikulosis pada hari 2-4, kecuali jika disertai denga penyakit inflamasi.
Kebutuhan fisiologis vitamin B12 adalah 1-5ug/hari dan respon hematologis telah terjadi
pada pemberian vitamin B12 dosis rendah, hal ini menunjukkan bahwa pemberian dosis
rendah dapat dilakukan sebagai tes terapeutik pada keadaan diagnosis defisiensi vitamin
B12 masih diragukan. Jika terjadi perbaikan neurologis, harus diberikan injeksi vitamin B12
1 mg intramuscular minimal selama 2 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan seumur hidup dengan cara pemberian injeksi 1mg vitamin B12/ bulan. Pada
keadaan risiko terjadi defisiensi vitamin B12(seperti pada gastrektomi total, reseksi ileum)
dapat diberikan pemberian vitamin B12 profilaksis.
4. Anemia Defisiensi Asam Folat
Asam folat adalah vitamin yang penting untuk pembentukan sel darah merah normal.
Defisiensi terjadi pada individu yang jarang makan sayuran atau buah dimasak. Pasien
dengan pemberian makan IV atau nutrisi parenteral jangka panjang akan mengalami
defisiensi folat setelah beberapa bulan tanpa suplemen IM. (8)
Patofisiologi
Penyakit pada usus halus dapat mengganggu absorpsi asam folat dari makanan dan
resirkulasi folat lewat siklus enterohepatik. Pada alkoholisme akut atau kronik, asupan
harian folat dalam makanan akan terhambat, dan siklus enterohepatik akan terganggu oleh
efek toksik dari alkohol pada sel parenkim hati. Ini yang menjadi penyebab utama defisiensi
folat yang menimbulkan eritropoiesis megaloblastik.
Obat-obat yang menghambat dihidrofolat reduktase (mis: metotreksat, trimetoprim) atau
yang mengganggu absorpsi dan penyimpanan folat dalam tubuh (antikonvulsan tertentu,
kontrasepsioral), mampu mengakibatkan penurunan kadar folat plasma, sehingga timbul
anemia megaloblastik. Hal ini dikarenakan adanya gangguan maturasi yang disebabkan
oleh defek inti sel.
Folat dalam plasma ditemukan dalam bentuk dari N5-metiltetrahidrofolat, suatu
monoglutamat, yang ditranspor ke dalam sel-sel oleh zat pengangkut khusus, yaitu dalam
bentuk tetrahidro dari vitamin. Setelah di dalam sel, gugus N5-metil dilepas ke dalam reaksi
kobalamin yang diperlukan, dan folat diubah menjadi bentuk poliglutamat. Konjugasi pada
poliglutamat mungkin bermanfaat untuk penyimpanan folat di dalam sel.
Fungsi utama senyawa folat adalah memindahkan ―1-karbon moieties‖ seperti
gugus-gugus metil dan formil ke berbagai senyawa organik. Sumber dari ―1-karbon
moieties‖ biasanya adalah serin, yang bereaksi dengan tetrahidrofolat menghasilkan glisin
dan N5-10-metilentetrahidrofolat. Sumber pilihan lain adalah asam formiminoglutamat, suatu
lanjutan dalam metabolisme histidin, yang menyampaikan gugus formiminotetrahidrofolat
dan asam glutamat. Senyawa-senyawa penerima yang sesuai, membentuk lanjutan

153
metabolik dengan mengubah pembentukan blok-blok yang digunakan untuk sintesis
makromolekul. Bentuk aktif folat adalah tetrahidrofolat (THF). Yang sangat penting dalam
pembentukan blok-blok tersebut adalah purin, Deoksitimidilat monofosfat (tDMP), dan
Metionin, dibentuk oleh peralihan dari gugus metil dari N5-metiltetrahidrofolat ke
homosistein.
Manifestasi Klinis
Tanda anemia megaloblastik berupa glositis (lidah pucat dan licin), stomatitis angularis,
diare/konstipasi, anoreksia, ikterus ringan, sterilitas, neuropati perifer bilateral, pigmentasi
melalui pada kulit. Kegagalan penutupan neural tube dapat terjadi di daerah kranial dan
spinal mengakibatkan anensefalus, meningokel, ensefalokel, spina bifida dan hidrosefalus.
(8)

Pemeriksaan Laboratorium
Pada anemia karena defisiensi vitamin B12, kadar vitamin B12 <100pg/ml(menurun). Kadar
besi dan asam folat serum normal atau meningkat. Kadar LDH meningkat menggambarkan
adanya eritropoiesis yang tidak efektif. Dapat disertai peningkatan kadar bilirubin sampai 2-3
mg/dl. Masa hidup eritrosit berkurang. Terdapat peningkatan ekskresi asam metilmalonik
dalam urin dan ini merupakan indeks defisiensi vitamin B12 ynag sensitive. Pda
pemeriksaan tes Schilling dengan cara radiolabeled B12 absorption test akan menunjukkan
absorbs kobalamin yang rendah yang menjadi normal setelah pemberian faktor intrinsic
lambung.4

Penatalaksanaan
Terapi awal dimulai dengan pemberian asam folat dengan dosis 0.5-1mg/hari, diberikan
peroral atau parenteral. Respon klinis dan hematologis dapat timbul segera, dalam 1-2 hari
terlihat perbaikan nafsu makan dan keadaan membaik. Dalam 24-48jam terjadi penurunan
kadar besi serum dan dalam 2-4 hari terjadi peningkatan kadar retikulosit yang mencapai
puncaknya pada hari 4-7, diikuti kenaikan kadah Hb menjadi normal dalam waktu 2-6
minggu. Lamanya pemberian asam folat tidak diketahui secara pasti, namun biasanya terapi
diberikan selama beberapa bulan sampai terbentuk populasi eritrosit yang normal. Pendapat
lain menyatakan pemberian asam folat dilanjutkan selama 3-4 minggu sampai sudah

154
terjadi perbaikan hematologis yang menetap, dilnjutkan pemeliharaan dengan multivitamin
yang mengandung 0.2mg asam folat.
Untuk mencegah terjadinya anemia pada bayi premature terutama yang berat badannya <
1500 gram direkomendasikan untuk mendapatkan asam folat profilaksis 1mg/ hari. Terapi
selama 4 bulan biasanya cukup untuk memperbaiki gejala klinis dan untuk mengganti sel
darah
Pada keadaan diagnosis pasti masih diragukan dapat dilakukan tes diagnostic
dengan pemberian preparat asam folat dosis kecil 0.1mg/ hari selama 1 minggu karena
respon hematologis diharapkan sudah terjadi dalam 72 jam. Dosis yang lebih besar dapat
memperbaiki anemia karena defisiensi vitamin B12 namun dapat memperburuk kelainan
neurologisnya. Transfuse diberikan hanya pada keadaan anemia yang sangat berat.. (4)
Diagnosis Banding
Setiap keadaan yang menberikan gambaran anemia makrositer, seperti : leukemia
akut, anemia hemolitik (pada krisis hemolitik), anemia aplastic, gangguan sintesis DNA
kongenital, gangguan sintesis DNA didapat.

155
DAFTAR PUSTAKA

1. Samitta, M. Bruce. Anemia, dalam Nelson, E Waldo., Kliegmen, Robert. Buku


Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EKG. 2000; h 1680-1712.
2. Irawan H. Pendekatan diagnosis anemia pada anak. Cermin Dunia
Kedokteran. 2013;40(6):422–5.
3. I Made Bakta. 2012. Hematologi Klinik Ringkas. EGC; Jakarta
4. Rosdiana N. Pendekatan Diagnosis Pucat Pada Anak. 2008: Majalah
Kedokteran Nusantara; 2008.
5. Purnomo BH, Sutaryo, UgrasenaI. Buku Ajar Hematologi-Onkologi
Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia;2012.
6. Raspati H, Reniarti L, Susanah S. Anemia Defisiensi Besi. In: Permono HB,
Sutaryo, Ugrasena I, Windiastuti E, Abdulsalam M, editors. Buku Ajar Hematologi
Anak. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2012. p. 30–57.
7. Berman BW, Chapter. Pallor and Anemia. In: Kliegman RM, Greenbaum LA,
Lye PS. Practical strategies in pediatric diagnosis and therapy. Ed. 2. Phiadelphia:
Saunders. 2004. 873-4.
8. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Ilmu kesehatan anak. Ed. 15. Jilid. 2.
Jakarta: EGC. 2000.
9. Gatot D, Idjradinata P, Abdulsalam M, Lubis B, Hendarto A, Ringoringo HP,
et al. Suplementasi Besi Untuk Anak [Internet]. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011
[cited 2017 September 08]. p. 1–6. Available from: http://www.idai.or.id/wp-
content/uploads/2013/02/Rekomendasi-IDAI_Suplemen-Zat-Besi.pdf
10. Harrison, Isselbacher, et al. Prinsip- Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi 13,
volume 3; 1919-1921; penerbit buku kedokteran EGC

156
POLISITEMIA VERA

A. Definisi
Polisitemia vera, merupakan suatu penyakit atau kelainan pada sistem mieloproliferatif
yang melibatkan unsur-unsur hemopoetik dalam sumsum tulang. Mulainya diam-diam
tetapi progresif, kronik dan belum diketahui penyebabnya. Seperti diketahui pada orang
dewasa sehat, eritrosit, granulosit, dan trombosit yang beredar dalam darah tepi
diproduksi dalam sumsum tulang1.
B. Epidemiologi
Polisitemia vera biasanya mengenai pasien berumur 40-60 tahun, walaupun kadang-
kadang ditemukan + 5% pada mereka yang berusia lebih muda. Angka kejadian
polisitemia vera ialah 7 per satu juta penduduk dalam setahun. Penyakit ini dapat terjadi
pada semua ras/bangsa, walaupun didapatkan angka kejadian yang lebih tinggi di
kalangan bangsa Yahudi. Pada pria didapatkan dua kali lebih banyak dibandingkan pada
wanita.
C. Etiologi
Polisitemia Vera merupakan penyakit kronik progresif dan belum diketahui penyebabnya,
suatu penelitian sitogenetik menemukan adanya kelainan molekular yaitu adanya kariotip
abnormal di sel induk hemopoisis yaitu kariotip 20q, 13q, 11q, 7q, 6q, 5q, trisomi 8, dan
trisomi 9.(1.5)
Penemuan mutasi JAK2V617F tahun 2005 merupakan hal yang penting pada
etiopatogenesis Polisitemia vera, dan membuat diagnosis Polisitemia Vera lebih mudah.
JAK2 merupakan golongan tirosin kinase yang berfungsi sebagai perantara reseptor
membran dengan molekul signal intraselulur. Dalam keadaan normal proses eritropoisis
dimulai dengan ikatan eritropoitin (EPO) dengan reseptornya (EPO-R), kemudian terjadi
fosforilasi pada protein JAK, yang selanjutnya mengaktivasi molekul STAT ( Signal
Tranducers and Activator of Transcription), molekul STAT masuk kedalam inti sel dan
terjadi proses transkripsi. Pada Polisitemia vera terjadi mutasi yang terletak pada posisi
617 (V617F) sehingga menyebabkan kesalahan pengkodean quanin-timin menjadi valin-
fenilalanin sehingga proses eritropoisis tidak memerlukan eritropoitin. sehingga pada
pasien Polisitemia Vera serum eritropoetinnya rendah yaitu < 4 mU/mL, serum eritropoitin
normal adalah 4-26 mU/mL.(6,7)
Hal ini jelas membedakan dari Polisitemia sekunder dimana eritropoetin meningkat
secara fisiologis (sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat), atau
eritopoetin meningkat secara non fisiologis pada sindrom paraneoplastik yang
mensekresi eritropoetin.(2,5,8)
Peningkatan hemoglobin dan hematokrit dapat disebabkan karena penurunan volume
plasma tanpa peningkatan sel darah merah disebut polisitemia relatif, misalnya pada
dehidrasi berat, luka bakar dan reaksi alergi. 8

D. Patofisiologi
Perubahan-perubahan anatomi utama berasal dari peningkatan volume darah dan
pengentalan yang dihasilkan oleh eritrositosis. Bendungan yang melimpah pada semua
jaringan dan alat tubuh merupakan ciri khas polisitemia vera. Hati membesar dan sering
mengandung fokus-fokus metaplasi mieloid. Limpa juga agak membesar, mencapai 250
sampai 300 gram, dan sangat kenyal. Sinus-sinus limpa dipadati oleh sel darah merah,
seperti juga semua pembuluh darah limpa. Pembuluh darah utama secara seragam
melebar, biasanya karena pengentalan darah yang kekurangan oksigen.
157
Akibat peningkatan kekentalan dan bendungan vaskuler, trombosis dan infark sering
terjadi paling sering mengenai jantung, limpa dan ginjal. Perdarahan terjadi pada kira-kira
sepertiga penderita, mungkin karena pelebaran pembuluh darah dan kelainan fungsi
trombosit. Biasanya mengenai saluran pencernaan, orofaring atau otak. Meskipun
dikatakan perdarahan ini kadang-kadang terjadi spontan, lebih sering terjadi setelah
berbagai trauma minor ataupun tindakan bedah. Ulkus peptikum dinyatakan pada kira-
kira seperlima penderita.
Polisitemia vera sebagai suatu penyakit neoplastik yang berkembang lambat, terjadi
karena sebagian populasi eritrosit berasal dari satu klon sel induk darah yang abnormal.
Berbeda dengan keadaan normalnya, sel induk darah yang abnormal ini tidak
membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya (eritropoetin serum < 4
mu/mL).(UI)
Penyakit polisitemia vera juga berkaitan dengan proliferasi berlebihan prekursor eritroid,
granulositik dan megakariositik. Di sini eritrositosis merupakan manifestasi primer.
Konsentrasi eritropoetin dalam serum pada polisitemia vera rendah tetapi tidak
menghilang. Prekursor eritroid pada pasien Polisitemia berespon terhadap eritropoetin
dan mungkin hipersensitif terhadap kerja hormon ini. Sel sumsum tulang dari pasien
polisitemia vera membentuk koloni prekursor eritroid dalam biakan tanpa ditambahkan
eritropoetin. Fenomena ini jarang dijumpai pada penyakit lain. Banyak dari pembentukan
koloni eritroid endogen pada polisitemia vera ini dihambat oleh penambahan antibodi
terhadap eritropoetin, yang mengisyaratkan peningkatan kepekaan terhadap eritropoetin.
Namun sebagian pembentukan sel darah merah pada polisitemia vera mungkin autonom
dalam kaitannya dengan eritropoetin. Selain itu terdapat peningkatan progenitor mieloid
dan megakariositik di sumsum tulang, yang mengisyaratkan bahwa panmielosis pada
polisitemia vera ditandai oleh ekspansi cadangan sel prekursor.
Di dalam sirkulasi darah tepi pasien polisitemia vera didapati peninggian nilai hematokrit.
Terjadinya peningkatan konsentrasi eritrosit terhadap plasma dapat mencapai > 49%
pada wanita (kadar Hb > 16 mg/dL) dan > 52% pada pria (kadar Hb > 17 mg/dL), serta di
dapati pula peningkatan jumlah total eritrosit (hitung eritrosit > 6 juta/mL).
Mekanisme yang diduga menyebabkan peningkatan proliferasi sel induk
hematopoitik adalah 1 :
a. Tidak terkontrolnya proliferasi sel induk hematopoitik yang bersifat Neoplastik.
b. Adanya faktor mieloproliferatif abnormal yang mempengaruhi proliferasi sel induk
hematopoitik normal
c. Peningkatan sensitivitas sel induk hematopoitik terhadap eritropoitin, Interleukin 1,3,
GMCSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), Stem cell factor.
Adapun perjalanan klinis pasien polisitemia vera adalah :
a. Fase eritrositik atau fase polisitemia.
Fase ini merupakan fase permulaan. Pada fase ini di dapatkan peningkatan
jumlah eritrosit yang dapat berlangsung hingga 5-25 tahun. Pada fase ini dibutuhkan
flebotomi secara teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal.
b. Fase burn out ( terbakar habis ) atau spent out ( terpakai habis ).
Dalam fase ini kebutuhan flebotomi menurun sangat jauh atau pasien memasuki
periode panjang yang tampaknya seperti remisi, kadang-kadang timbul anemia tetapi
trombositosis dan leukositosis biasanya menetap.
c. Fase mielofibrotik
Jika terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, manifestasi klinis dan
perjalanan klinis menjadi serupa dengan mielofibrosis dan metaplasi mieloid. Kadang-
kadang terjadi metaplasia mieloid pada limpa, hati, kelenjar getah bening dan ginjal.
d. Fase terminal

158
Pada kenyataannya kematian pasien dengan polisitemia vera diakibatkan oleh
kompilasi trombosis atau perdarahan. Kematian karena meilofibrosis terjadi pada kurang
dari 15%.

E. Klasifikasi
Klasifikasi Polisitemia Vera tergantung volume sel darah merah yaitu Polisitemia Relatif
dan Polisitemia Aktual atau Polisitemia Vera, dimana pada Polisitemia Relatif terjadi
penurunan volume plasma tanpa peningkatan yang sebenarnya dari volume sel darah
merah, seperti pada pada keadaan dehidrasi berat, luka bakar, reaksi alergi.8
Sedangkan secara garis besar Polisitemia dibedakan atas Polisitemia Primer dan
Polisitemia sekunder. Pada Polisitemia Primer terjadi peningkatan volume sel darah
merah tanpa diketahui penyebabnya, sedangkan Polisitemia sekunder, terjadinya
peningkatan volume sel darah merah secara fisiologis karena kompensasi atas
kebutuhan oksigen yang meningkat seperti pada penyakit paru kronis, penyakit jantung
kongenital atau tinggal didaerah ketinggian dll, disamping itu peningkatan sel darah
merah juga dapat terjadi secara non fisiologis pada tumor yang menghasilkan eritropoitin
seperti tumor ginjal, hepatoma, tumor ovarium dll.9
Klasifikasi Eritrositosis9
I. Primary (Autonomaus )
A. Polycythemia vera
B. Polycythemia familial primer
II. Secondary.
A.Physiologically appropriate (decreased tissue oxygenation )
1. High altitude
2. Chronic lung disease
3. Alveolar Hypoventilation.
4. Cardiovascular right-to-left shunt
5. High oxygen affinity Hemoglobinopathy
159
6. Carboxyhemoglobinemia ( Smokers erythrocytosis )
7. Congenital Decreased 2,3 – diphosphoglycerate
B.Physiologically inappropriate erythropoietin
1. Tumor producing erythropoietin
a. Renal cell carcinoma
b. Hepatocelular carcinoma
c. Cerebellar hemangioblastoma
d. Uterine leiomyoma
e. Ovarian carcinoma
f. Pheochromocytoma
2. Renal diseases
a. Cysts
b. Hydronephrosis
3. Adrenal cortical hypersecretion
4. Exogenous androgens
5. Unexplained (essential )

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis Polisitemia Vera terjadi karena peningkatan jumlah total eritrosit akan
meningkatkan viskositas darah yang kemudian akan menyebabkan penurunan kecepatan
aliran darah sehingga dapat menyebabkan trombosis dan penurunan laju transport
oksigen. Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan.
Berbagai gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ yaitu berupa 1:
1. Hiperviskositas
Peningkatan jumlah total eritrosit akan meningkatkan viskositas darah yang kemudian
akan menyebabkan :
 Penurunan kecepatan aliran darah (shear rate), lebih jauh lagi akan menimbulkan
eritrostasis sebagai akibat penggumpalan eritrosit.
 Penurunan laju transport oksigen
Kedua hal tersebut akan mengakibatkan terganggunya oksigenasi jaringan. Berbagai
gejala dapat timbul karena terganggunya oksigenasi organ sasaran (iskemia/infark)
seperti di otak, mata, telinga, jantung, paru, dan ekstremitas.
2. Penurunan shear rate
Penurunan shear rate akan menimbulkan gangguan fungsi hemostasisprimer yaitu
agregasi trombosit pada endotel. Hal tersebut akan mengakibatkan timbulnya perdarahan
walaupun jumlah trombosit > 450.000/mm3. Perdarahan terjadi pada 10 - 30 % kasus
Polisitemia Vera, manifestasinya dapat berupa epistaksis, ekimosis dan perdarahan
gastrointestinal.
3. Trombositosis (hitung trombosit > 400.000/mm3).
Trombositosis dapat menimbulkan trombosis. Pada Polisitemia Vera tidak ada korelasi
trombositosis dengan trombosis.
4. Basofilia
Lima puluh persen kasus Polisitemia Vera datang dengan gatal (pruritus) di seluruh tubuh
terutama setelah mandi air panas, dan 10% kasus polisitemia vera datang dengan
urtikaria suatu keadaan yang disebabkan oleh meningkatnya kadar histamin dalam darah
sebagai akibat meningkatnya basofilia. Terjadinya gastritis dan perdarahan lambung
terjadi karena peningkatan kadar histamin.
5. Splenomegali
Splenomegali tercatat pada sekitar 75% pasien Polisitemia vera. Splenomegali ini terjadi
sebagai akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis ekstramedular
160
6. Hepatomegali
Hepatomegali dijumpai pada kira-kira 40% Polisitemia Vera.Sebagaimana halnya
splenomegali, hepatomegali juga merupakan akibat sekunder hiperaktivitas hemopoesis
ekstramedular.
7. Gout
Sebagai konsekuensi logis hiperaktivitas hemopoesis dan splenomegali adalah
sekuentrasi sel darah makin cepat dan banyak dengan demikian produksi asam urat
darah akan meningkat. Di sisi lain laju fitrasi gromerular menurun karena penurunan
shear rate. Artritis Gout dijumpai pada 5-10% kasus polisitemia .
8. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat
Laju siklus sel darah yang tinggi dapat mengakibatkan defisiensi asam folat dan vitamin
B12. Hal ini dijumpai pada ± 30% kasus Polisitemis Vera karena penggunaan untuk
pembuatan sel darah, sedangkan kapasitas protein tidak tersaturasi pengikat vitamin B12
(Unsaturated B12 Binding Capacity) dijumpai meningkat > 75% kasus.
9. Muka kemerah-merahan (Plethora)
Gambaran pembuluh darah dikulit atau diselaput lendir, konjungtiva hiperemis sebagai
akibat peningkatan massa eritrosit.
10. Keluhan lain yang tidak khas seperti : cepat lelah, sakit kepala, cepat lupa,
vertigo, tinitus, perasaan panas.
11. Manifestasi perdarahan (10-20 %), dapat berupa epistaksis, ekimosis,
perdarahan gastrointestinal menyerupai ulkus peptikum. Perdarahan terjadi karena
peningkatan viskositas darah akan menyebabkan ruptur spontan pembuluh darah
arteri. Pasien Polisitemia Vera yang tidak diterapi beresiko terjadinya perdarahan
waktu operasi atau trauma. 9
Tanda dan gejala Polisitemia Vera 10
Signs and Symptoms of Polycythema vera
More Common Less Common
 Hematocrit level > 52 % in  Bruising/epistaxis
whit men, > 47 % in blacks  Budd-chiari Syndrome
and women  Erythromelalgia
 Hemoglobin Level > 18 g /  Gout
dL in white men, > 16 g / dL in  Hemorrhagic Events
blacks and women  Hepatomegaly
 Plethora  Ischemic digit
 Pruritus after bathing  Thrombotic events
 Splenomegaly  Transient Neuralgic
 Weight loss Complaints (headache, tinnitus
 Sweating Dizziness, blurred)
 Atypical chest pain
Tanda dan gejala yang predominan terbagi dalam 3 fase 1
1. Gejala awal (early symptoms )
Gejala awal dari Polisitemia Vera sangat minimal dan tidak selalu ada kelainan walaupun
telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48 %), telinga
berdenging (43 %), mudah lelah (47 %), gangguan daya ingat, susah bernafas (26 %),
hipertensi (72 %), gangguan penglihatan (31 %), rasa panas pada tangan / kaki (29 %),
pruritus (43 %), perdarahan hidung, lambung (24 %), sakit tulang (26 %).
2. Gejala akhir (later symptom) dan komplikasi
Sebagai penyakit progresif, pasien Polisitemia Vera mengalami perdarahan / trombosis,
peningkatan asam urat (10 %) berkembang menjadi gout dan peningkatan resiko ulkus
peptikum.
161
3. Fase Splenomegali (Spent phase )
Sekitar 30 % gejala akhir berkembang menjadi fase splenomegali. Pada fase ini terjadi
kegagalan Sum-sum tulang dan pasien menjadi anemia berat, kebutuhan tranfusi
meningkat, hati dan limpa membesar.

G. Diagnosis
Polisitemia Vera merupakan Penyakit Mieloproliferatif, sehingga dapat menyulitkan dalam
menegakkan diagnosis karena gambaran klinis yang hampir sama, sehingga tahun 1970
Polycythenia Vera Study Group menetapkan kriteria diagnosis berdasarkan Kriteria
mayor dan Kriteria minor.1.2
Kriteria Diagnosis menurut Polycythemia Vera Study Group 1970 1
Kriteria Mayor Kriteria Minor
1. Massa eritrosit : laki-laki 1. Trombositosis > 400.000 /
>36 ml / kg, perempuan > 32 ml mm3
/ kg 2. Lekositosis > 12.000 / mm3
2. Saturasi Oksigen > 92 % 3. Aktivasi Alkali fosfatase
3. Splenomegali lekosit >100 ( tanpa ada demam
/ infeksi )
4. B 12 serum > 900 pg / ml
atau UBBC (Unsaturated B12
Binding Capasity ) > 2200 pg /
ml
Diagnosa Polisitemia Vera
1. 3 kriteria mayor, atau
2. 2 kriteria mayor pertama + 2 kriteria minor

Beberapa kriteria ( alkali fosfatase lekosit, B12 serum,UBBC) dianggap kurang sensitif,
sehingga dilakukan revisi kriteria diagnostik Polisitemia Vera sebagai berikut 1:

Kriteria kategori A :
A1. Peningkatan massa eritrosit lebih dari 25 % diatas rata-rata angka normal.
A2. Tidak ada penyebab polisitemia sekunder.
A3. Splenomegali
A4. Petanda klon abnormal (Kariotipe abnormal ).
Kriteria kategori B :
B1. Trombositosis : > 400.000/mm3
B2. Leukositosis : >12.000/mm3 (tidak ada infeksi).
B3. Splenomegali pada pemeriksaan radio isotop atau ultrasonografi
B4. Penurunan serum eritropoitin.
Diagnosis Polisitemia Vera : Kategori A1 +A2 dan A3 atau A4 atau
Kategori A1 + A2 dan 2 kriteria kategori B.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Eritrosit
Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian massa eritrosit haruslah
didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada hitung sel jumlah eritrosit
dijumpai > 6 juta/mL, dan sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecuali
jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi
ke arah metaplasia meiloid di akhir perjalanan penyakit ini.
2. Granulosit

162
Granulosit jumlahnya meningkat terjadi pada 2/3 kasus policitemia, berkisar antara 12-25
ribu/mL tetap dapat sampai 60 ribu?mL. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat
basofilia.
3. Trombosit
Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450-800 ribu/mL, bahkan dapat > 1 juta/mL.
Sering didapatkan dengan morfologi trombosit yang abnormal.
4. B12 Serum
B12 serum dapat meningkat, hal ini dijumpai pada 35 % kasus, tetapi dapat pula
menurun, yaitu pada + 30% kasus, dan kadar UB12BC meningkat pada > 75% kasus
policitemia.
5. Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan ini tidak diperlukan untuk diagnostik, kecuali bila ada kecurigaan terhadap
penyakit mieloproliferatif lainnya seperti adanya sel blas dalam hitung jenis leukosit.
Sitologi sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik berupa
hiperplasi trilinier seri eritrosit, megakariosit, dan mielosit. Sedangkan dari gambaran
histopatologi sumsum tulang adanya bentuk morfologi megakariosit yang
patologis/abnormal dan sedikit fibrosis merupakan petanda patognomonik policitemia.
6. Pemeriksaan JAK2V617F ditemukan 90% pasien Polisitemia Vera dan 50% pasien
Trombositosis Esensial dan Mielofibrosis Idiopatik.7.8
7. Pemeriksaan sitogenetik
Pada pasien policitemia yang belum mendapat pengobatan P53 atau kemoterapi
sitostatik dapat dijumpai kariotip 20q-,=8,+9,13q-,+1q. Variasi abnormalitas sitogenetik
dapat dijumpai selain bentuk tersebut di atas terutama jika pasien telah mendapatkan
pengobatan P53 atau kemoterapi sitostatik sebelumnya.

H. Diagnosa Banding
1. Polisitemia Sekunder
Biasanya tidak disertai dengan penambahan jumlah lekosit dan trombosit, pada
pemeriksaan saturasi oksigen dalam eritrosit menurun (pada PV normal). Kadar alkali
fosfatase normal (pada PV meningkat). Pada polisitemia sekunder biasanya didapatkan
kelainan dasar penyakit seperti kelainan jantung bawaan, arterio venous shunt, penyakit
paru obstruktif menahun. Penyebab lain yang jarang dijumpai seperti tumor otak, tumor
ginjal, cushing sindrome, dan lain-lain. Hipoksemia biasanya disertai dengan sianosis dan
clubbing.
Pada polisitemia sekunder biasanya tidak disertai dengan penambahan jumlah leukosit
dan trombosit. Oleh karenanya M:E rasio dalam sumsum tulang berubah. Pemeriksaan
saturasi oksigen dalam eritrosit di dapatkan penurunan, sedangkan kadar LAF normal.
2. Polisitemia Relatif
Tidak disertai peninggian jumlah lekosit dan trombosit. Terjadi akibat berkurangnya
volume plasma karena dehidrasi atau renjatan hipovolemik, tidak terdapat peninggian
jumlah leukosit dan trombosit.
3. Leukemia Granulositik kronika stadium awal
Terdapat peninggian kadar hb tetapi jumlah eritrosit jarang melebihi angka 6 juta/mL,
biasanya jumlah leukosit M:E rasio akan berubah sampai 8:1.
4. Polisitemia Stres
Biasanya ditemukan pada laki-laki dengan hipertensi yang labil. Secara klinis sukar
dibedakan dengan polisitemia vera stadium awal, untuk mengetahuinya diperlukan
observasi yang agak lama. Pada Polisitemia stres pada riwayat penyakitnya didapatkan
adanya riwayat stres emosional.
5. Sindroma Pickwichian

163
Polisitemia yang terjadi pada obesitas, dimana akan dijumpai sedikit peningkatan jumlah
eritrosit, penurunan kapasitas vital, hipertensi, tidak ada splenomegali. Terjadinya
polisitemia disebabkan karena adanya hipoventilasi alveoli sebagai akibat diafragma
yang kurang dapat bergerak bebas.

6. Mielofibrosis mieloid metaplasia


Biasanya didapatkan eritrosit bentuk tetesan dan pada pemeriksaan sumsum tulang akan
menghasilkan suatu ―dry tap‖.
7. Hyper thyroidisme
Secara klinis dapat menyerupai polisitemia vera karena ada perasaan panas dan
hiperhidrosis.
I. Tatalaksana
Penatalaksanan Polisitemia Vera yang optimal masih kontroversial, tidak ada terapi
tunggal untuk Polisitemia Vera. Tujuan utama terapi adalah mencegah terjadinya
trombosis. PVSG merekomendasikan plebotomoi pada semua pasien yang baru
didiagnosis untuk mempertahankan hematokrit <45% untuk mengontrol gejala. Untuk
terapi jangka panjang ditentukan berdasarkan status klinis pasien.6
Setelah penemuan mutasi JAK2V617F mulailah berkembang terapi anti JAK2V617F
seperti yang dilaporkan tahun 2007 pada pertemuan American Society of Hematology.
Obat ini dapat menghambat mutasi JAK2V617F. Suatu alternatif anti JAK2 yang
digunakan sekarang adalah Tirosin Kinase Inhibitor seperti Imatinib dan Erlotinib.3
1. Prinsip pengobatan
a. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal kasus (individual) dan
mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi.
b. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/ polisitemia yang belum
terkendali.
c. Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment)
d. Menghindari obat yang mutagenik, teragenik dan berefek sterilisasi pada pasien usia
muda.
e. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi
sitostatik pada pasien di atas 40 tahun bila didapatkan :
 Trombositosis persisten di atas 800.00/mL, terutama jika disertai gejala trombos
 Leukositosis progresif
 Splenomegali yang simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik
 Gejala sistemis yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan,
penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.
2. Media Pengobatan
a. Flebotomi
Indikasi flebotomi :
 Polisitemia vera fase polisitemia
 Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht ≤ 55%)
 Polisitemia sekunder non fisiologis bergantung pada derajat penatalaksanaan
terbatas gawat darurat sindrom paraneoplastik.
Tujuan flebotomi :
 Mempertahankan Ht ≤ 42 % pada wanita dan ≤ 47 % pada pria.
 Mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate.
Prosedur flebotomi :
 250 – 500 cc darah dikeluarkan dengan blood donor collection set standar setiap 2
hari. Pada pasien dengan usia lebih dari 55 tahun atau penyakit vascular aterosklerotik

164
yang serius, flebotomi hanya boleh dilakukan dengan prinsip isovolemik yaitu mengganti
plasma darah yang dikeluarkan dengan cairan pengganti plasma, untuk mencegah
timbulnya bahaya iskemia serebral atau jantung karena status hipovolemik.
 Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 mL darah (normal total body iron ± 5
g). defisiensi besi merupakan efek samping pengobatan flebotomi berulang. Gejala
defisiensi besi seperti glositis, keilosis, disfagia dan astenia cepat hilang dengan
pemberian preparat besi.
b. Kemoterapi Sitostatika
Indikasi kemoterapi sitostatika :
 Hanya untuk polisitemia vera.
 Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan.
 Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis.
 Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antitistamin.
 Splenomegali simtomatik atau mengancam ruptur limpa.
Prosedur pemberian kemoterapi sitostatik :
 Hidroksiurea (Hydrea @ 500 mg/tablet) dengan dosis 800-1200 mg/m2/hari atau
diberikan sehari 2 kali dengan dosis 10-15 mg/kg BB/kali, jika telah tercapai target dapat
dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.
 Klorambusil (Leukeran @ 2 mg/tablet) dengan dosis induksi 0,1 – 0,2 mg/kg BB/hari
selama 3 – 6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mg/kg BB tiap 2 – 4 minggu.
 Busulfan (Myleran @ 2 mg/tablet) 0,06 mg/kg BB/hari atau 1,8 mg/m 2/hari, jika telah
mencapai target dapat dilanjutkan dengan pemberian intermiten untuk pemeliharaan.
Pemberian obat dihentikan jika hematokrit :
 Pada pria ≤ 47% dan memberikannya lagi jika > 52%
 Pada wanita ≤ 42% dan memberikannya lagi jika > 49%.
c. Fosfor Radioaktif ( P32 )
P32 pertama kali diberikan dengan dosis ± 2-3 mCi/m2 secara iv, apabila diberikan peroral
maka dosis dinaikkan 25%. Selanjutnya jika setelah 3-4 minggu pemberian P32 pertama :
 Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu.
 Tidak mendapatkan hasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama dan
diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama.
d. Kemoterapi biologi ( Sitokin )
Tujuan pengobatan terutama untuk mengontrol trombositemia (hitung trombosit >
800.000/mm3). Produk biologi yang digunakan Interferon  (Intron –A@ 3 dan 5 juta IU,
Roveron –A@ 3 dan 9 juta IU) digunakan terutama pada keadaan trombositemia yang
tidak dapat dikendalikan. Dosis yang dianjurkan 2 juta IU/m 2/ subkutan atau IM 3 kali
seminggu.
Kebanyakan klinisi mengkombinasikan dengan sitostatik siklofosfamid (Cytoxan @ 25 mg
dan 50 mg/tablet) dengan dosis 100 mg/m 2/hari, selama 10 – 14 hari atau target telah
tercapai (hitung trombosit < 800.000 / mm 3) kemudian dapat dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 100 mf/m 2 1-2 kali seminggu.
e. Pengobatan Suportif
 Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-699 mg/hari oral pada pasien dengan
penyakit yang aktif dengan memperlihatkan fungsi ginjal.
 Pruritus dan urtikaria dapat diberikan antitistamin, jika diperlukan dapat diberikan
Psoralen dengan penyinaran ultraviolet range A (PUVA).
 Gastritis atau Ulkus peptikum dapat diberikan penghambat reseptor H 2.
 Antiagregasi trombosit analgrelide turunan dari quinazolin disebutkan juga dapat
menekan trombopoesis.
3. Pembedahan Pada Pasien Polisitemia
165
a. Pembedahan Darurat
Sedapat-dapatnya ditunda atau dihindari. Dalam keadaan darurat, dilakukan flebotomi
agresif dengan pronsip isovolemik dengan mengganti plasma yang terbuang dengan
plasmafusin 4% atau cairan plasma ekspander lainnya, bukan cairan isotonis/ garam
fisiologis, suatu prosedur yang merupakan tindakan penyelamatan hidup (life-saving).
Splenektomi sangat berbahaya untuk dilakukan pada semua fase polisitemia, dan harus
dihindari karena dalam perjalanan penyakitnya jika terjadi fibrosis sumsum tulang organ
inilah yang diharapkan sebagai pengganti hemopoesisnya.
b. Pembedahan Berencana
Pembedahan berencana dapat dilakukan setelah pasien terkendali dengan baik. Lebih
dari 75% pasien dengan polisitemia vera tidak terkendali atau belum diobati akan
mengalami perdarahan atau komplikasi trombosis pada pembedahan. Kira-kira sepertiga
dari jumlah pasien tersebut akan meninggal. Angka komplikasi akan menurun jauh jika
eristrositosis sudah dikendalikan dengan adekuat sebelum pembedahan. Makin lama
telah terkendali, makin kecil kemungkinan terjadinya komplikasi pada pembedahan.
Darah yang didapat dari flebotomi dapat disimpan untuk transfusi autologus pada saat
pembedahan.
Algoritma untuk Evaluasi dan Penatalaksanaan Polisitemia Vera

J. Komplikasi
1. Trombosis
Terjadi disebabkan oleh karena hiperviskositas, arteriosklerosis dan trombositosis.
2. Perdarahan
Disebabkan karena regangan pembuluh darah akibat adanya hipervolemia dan
gangguan fungsi trombosit.
3. Gagal Jantung

166
Disebabkan karena beban jantung terlalu berat akibat dari hipervolemia, hiperviskositas,
hipertusi dan kemungkinan infrak miokard akibat trombosis.
4. Leukimia Mieloblastik
Sering terjadi pada pasien yang diberikan terapi dengan radioterapi atau fosfor radioaktif.
5. Mielofibrosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang dapat khemoterapi intensif.
6. Gout dan nefrolithiasis
Disebabkan karena tingginya kadar asam urat.
K. Prognosis
Sekitar 30% penderita meninggal karena komplikasi trombosis, yang
biasanya mempengaruhi otak dan jantung. Disamping itu, 10 sampai 15% lagi meninggal
karena berbagai komplikasi perdarahan.
Pada penderita yang tidak mendapatkan pengobatan, kematian diakibatkan kelainan
vaskuler, yang terjadi setelah beberapa bulan diagnosis dibuat. Tetapi bila massa sel
darah merah masih bisa dipertahankan mendekati normal melalui flebotomi,
kelangsungan hidup median 10 tahun dapat diusahakan.
Prognosis polisitemia vera pada umumnya adalah cukup baik, kecuali apabila sering
terjadi komplikasi trombosis, penderita tidak kooperatif terhadap terapi yang diberikan
atau apabila ada tanda-tanda gagal jantung.
Penggunaan P32 dan terapi mielosupresif dengan obat alkilasi, walaupun dapat
mengontrol penyakit, menyebabkan peningkatan insidensi leukemia akut, dan saat ini
terapi tersebut jarang digunakan. Terapi modern kemungkinan menyebabkan perubahan
perjalanan penyakit. Dahulu sebagian besar pasien meninggal akibat penyulit
kardiovaskular. Leukemia akut dapat timbul pada 2% pasien yang tidak mendapat obat
alkilasi atau radioterapi.

167
DAFTAR PUSTAKA
1. Prenggono D.Polisitemia vera. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV.
Penerbit IPD FKUI. 2006:702-705.
2. Tefferi A. Polycthemia Vera :A Comprehensive Review and Clinical
Recommendations.Mayo Clin Proc.2003;78:174-194.
3. George TI. Polycythemia Vera.In Chconic Myeloproliferative Syndromes. Wintrobes
Atlas of Clinical Hematology.2007;2:104-108.
4. Paquette R.Hiller E.The Myieloproliferative Syndromes. Modern
Hematology.2007:2:137-150Hillman, Robert S.Polycythemia.Hematology in clinical
Practice. 2005 4:137-143.
5. Supandiman I,Sumahtri R.Polisitemia Vera.Pedoman diagnosis dan terapi
Hematologi Onkologi Medik.2003:83-90.
6. Levine RL, Gilliland DG.Myeloproliferative Disorders. Blood.2008;112:2190-2198.
7. Mazza, Joseph J.Polycythemia Vera. Myeloproliferative Diseases. Manual of Clinical
Hematology.2002:3; 137-142.
8. Hillman.Robert S.Kenneth A. Polycythemia. Hematology in Clinical
Practice.2005;4:1-25.
9. Stuart B J,Viera AJ.Polycythemia Vera.Polycythemia :primary an
Secundary.Practical diagnosis of hematologyc disordrers.2000:3;221-22 Mazza, Joseph
J.Classification. Myeloproliferative Diseases. Manual of Clinical Hematology.2002:3;93-
98.
10. Schafer AI. Molecular basis of the diagnosis and treatment of Polycythemia Vera an
Essensial Thrombocythemia.Blood.2006;107:4214-4222.

168
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)

I. Definisi
KID merupakan suatu sindrom patologiklinis yang menyebabkan berbagai
komplikasi. Hal ini ditandai dengan aktivasi sistemik jalur menuju dan mengatur
koagulasi, yang dapat mengakibatkan generasi bekuan fibrin yang dapat menyebabkan
kegagalan organ bersamaan dengan konsumsi trombosit dan faktor koagulasi yang
dapat mengakibatkan klinis perdarahan.1

II. Etiologi
Telah diketahui berbagai penyakit yang dapat mencetuskan KID seperti dibawah ini :1

1. Penyakit yang mencetuskan KID fulminan :


a. Hematologi : reaksi transfusi, hemolisis berat, transfusi masif,
leukemia.
b. Infeksi :
i.Septikemia : gram negatif (endotoksin), gram positif (lipopolisakarida)
ii.Viremia : HIV, hepatitis, varisela, CMV, DHF
iii.Parasit : malaria
iv.Trauma
v.Penyakit hati akut : gagal hati akut, obstructive jaundice.
vi.Luka bakar
vii.Alat protese : Leveen atau Denver shunt, alat bantu balon aorta.
viii.Kelainan vaskuler.

2. Penyakit disertai KID derajat rendah :


a. Keganasan
b. Penyakit kardiovaskuler
c. Penyakit autoimun
d. Penyakit ginjal menahun
e. Peradangan
f. Penyakit hati menahun

Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu sistem koagulasi sehingga terjadi
KID. Akibat hemolisis, eritrosit melepaskan ADP atau membran fosfolipid eritrosit yang
mengaktifkan sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan
menyebabkan KID. Pada septikemia, KID terjadi akibat endotoksin atau mantel poli-
sakarida bakteri memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan Faktor XII menjadi F XIIa,
menginduksi pelepasan reaksi trombosit, menyebabkan endotel terkelupas yang
dilanjutkan aktivasi XII menjadi XIIa atau X-XIa, dan pelepasan materi prokoagulan dari
granulosit, dan semuanya ini dapat mencetuskan KID. Terakhir dilaporkan bahwa
organisme gram positif dapat menyebabkan KID dengan mekanisme seperti endotoksin
yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mikropolisakarida menginduksi KID. 1
Viremia termasuk HIV, varisela, hepatitis, virus sitomegalo, demam berdarah dengue,
dapat disertai KID. Mekanisme tidak jelas tetapi mungkin atas dasar antigen antibodi
mengaktifkan F XII, reaksi pelepasan trombosit atau endotel terkelupas dan terpapar
kolagen subendotel dan membran basalis.

169
Hepatitis virus berat dan gagal hati akut ataupun etiologinya termasuk obat, toksin atau
infeksi dapat menyebabkan KID sukar dibedakan dengan koagulasi karena gangguan
fungsi hati yang berat. Kolestasis intrahepatik atau ekstrahepatik yang sudah lebih dari 5
hari bisa disertai KID.1,2
Pada penderita keganasan, terutama yang sudah menyebar sering ditemukan KID
dengan atau tanpa gejala klinik, dengan bukti laboratorium. Pada kasus hematologi
selain keganasan, penyakit lain sering disertai KID derajat rendah seperti polisitemia
vera, sedang pada paroksimal noktural hemoglobinuria (PNH) ditemukan KID yang lebih
bermanifestasi sebagai trombosis.1
Asidosis dan alkalosis walaupun jarang tetapi dapat memicu KID. Pada asidosis yang
menjadi pemicu, kemungkinan adalah endotel terkelupas mengaktifkan F XII menjadi F
XIIa, dan atau XI-XIa dan reaksi pelepasan trombosit yang diakhiri dengan aktivasi
sistem prokoagulan. Pada alkalosis mekanismenya belum jelas.
Pasien dengan luka bakar yang luas sering disertai dengan KID disebabkan
mikrohemolisis eritrosit melepaskan ADP dan fosfolipid. Selain itu nekrosis jaringan
yang terbakar melepaskan material tromboplastin dan kedua faktor tersebut akan
memicu KID. Pada trauma, nekrosis jaringan merupakan materi tromboplastin atau
material menyerupai fosfolipid masuk ke sirkulasi darah dan mengaktifkan sistem
koagulasi sehingga terjadi KID. 1
Kelainan pembuluh darah seperti sindrom Kasabach-Merrit yang disertai hemangioma
cavernosa raksasa pada + 25% kasus ditemukan KID derajat rendah atau kompensasi
yang dapat berubah menjadi KID fulminan tanpa ada petunjuk yang jelas. Lebih kurang
50% pasien dengan telangiektasis hemoragik herediter disertai KID derajat rendah yang
kadang-kadang dapat menjadi fulminan.
Penyakit sistemik pembuluh darah kecil seperti fenomena vasospastik termasuk sindrom
Raynaud, angiopati diabetes berat, atau angiopati pada penyakit autoimun atau sindrom
Leriche yang disertai KID kompensasi sering berkembang menjadi KID fulminan.
Penyakit vaskular kolagen terutama apabila mengenai pembuluh darah kecil dapat
disertai KID. KID kompensasi juga terlihat pada pasien rematoid artritis berat, SLE,
sindrom Sjorgen dermatosis, penyakit hati kronis dan ginjal kronis. 2
III. PATOFISIOLOGI

170
Pada pasien dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID), fibrin terbentuk sebagai
hasil dari generasi dimediasi oleh trombin faktor jaringan. Faktor jaringan, diekspresikan
pada permukaan sel-sel mononuklear dan sel endotel teraktivasi, mengikat dan
mengaktifkan faktor VII. Kompleks faktor jaringan dan VIIA faktor dapat mengaktifkan faktor
X langsung (panah hitam) atau tidak langsung (panah putih) dengan cara diaktifkan faktor IX
dan faktor VIII. Faktor X diaktifkan, dalam kombinasi dengan faktor V, dapat mengkonversi
protrombin (faktor II) menjadi trombin (faktor IIa). Secara bersamaan, ketiga cara fisiologis
dari antikoagulasi - antitrombin III, protein C, dan faktor jaringan-jalur inhibitor (TFPI) -
terganggu. 2,3
Pembentukan intravaskular yang dihasilkan dari fibrin tidak seimbang dengan penghapusan
memadai fibrin karena fibrinolisis endogen ditekan oleh kadar plasma tinggi plasminogen
aktivator tipe-inhibitor 1 (PAI-1). Tingginya tingkat PAI-1 menghambat plasminogen
aktivator-aktivitas dan akibatnya mengurangi tingkat pembentukan plasmin. Kombinasi
peningkatan pembentukan fibrin dan penghapusan tidak memadai hasil fibrin dalam
trombosis intravaskular diseminata. FDPs menunjukkan fibrin-degradasi. 2
Apabila sistem koagulasi diaktifkan oleh berbagai hal misalnya tromboplastin yang
dikeluarkan akibat kerusakan jaringan, maka trombin dari plasma beredar dalam
sirkulasi darah. Trombin memecah fibrinogen hingga terbentuk fibrinopeptida A dan B
dan fibrin monomer. Fibrin monomer mengalami polimerisasi membentuk fibrin yang
beredar dalam sirkulasi membentuk trombus dalam mikrovaskuler dan makrovaskuler
sehingga meng-ganggu aliran darah dan menyebabkan terjadi iskemia perifer dan
berakhir dengan kerusakan organ. Karena fibrin dideposit dalam mikrosirkulasi,
trombosit terperangkap dan diikuti trombositopenia. Selain itu plasmin juga beredar
dalam sirkulasi dan memecahkan terminal akhir karboksi fibrinogen menjadi fibrin
degradation product (FDP; hasil degradasi fibrin), membentuk fragmen yang dikenal
dengan X, Y, D dan E. Hasil degradasi fibrinogen (FDP) dapat bergabung dengan
fibrinogen monomer dan kompleks FDP dan fibrin monomer ini disebut fibrin monomer
larut. Fibrin monomer larut ini merupakan dasar reaksi para-koagulasi untuk uji gelasi
etanol dan uji protamin sulfat.2

171
Apabila protamin sulfat atau etanol ditambahkan pada plasma pasien yang berisikan
fibrin monomer larut, maka etanol atau protamin sulfat akan membersihkan FDP dan
fibrin monomer, dan fibrin monomer mengalami polimerisasi dan membentuk benang
fibrin dalam tabung dan inilah yang diartikan sebagai protamin sulfat atau gelation test
positif. Jadi FDP dalam sistem sirkulasi akan mengganggu polimerisasi monomer, yang
selanjutnya mengganggu pembekuan dan menyebabkan perdarahan. Fragmen D dan E
mempunyai afinitas terhadap membran trombosit dan menyebabkan fungsi trombosit
terganggu. Hal ini akan menyebabkan atau memperberat perdarahan yang sudah ada
pada KID.2
Berbeda dengan trombin, plasmin adalah suatu enzim proteolitik global dan
mempunyai afinitas yang sama terhadap fibrinogen dan trombin. Plasmin juga efektif
menghancurkan (biodegradasi) faktor V, VIII, IX dan X dan plasma protein lain termasuk
hormon pertumbuhan, kortikotropin dan insulin. Plasmin menghancurkan fibrin ikat
silang (cross-linked fibrin) dan menghasilkan D-Dimer. Jadi bila D-Dimer positif berarti
terjadi fibrin-olisis sekunder yang secara klinis ada trombosis atau KID.2

XII
prekalikrein
kininogens
Kerusakan endotel kolagen

XIIa kalikrein
kinins

Kompleks Ag-Ab
XI

plasminogen PLASMIN
XIa
Endotoksin

X Xa
Kerusakan jaringan

Protrombin
Aktivitas tromboplastin Aktivasi
komplemen
Kerusakan VII P-F. 1-2
trombosit
fosfolipid
Fibrinogen

ADP TROMBIN FDP

Fibrin D-Dimer

Kerusakan eritrosit (release)

Gambar 1. Mekanisme pencetusan KID

Plasmin juga mengaktifkan komplemen C1 sampai C8-C9 dan aktivitas komplemen ini
akan meningkatkan permeabilitas vaskular yang dapat menyebabkan hipotensi dan
syok. Selain itu faktor XIIa mengubah prekalikrein menjadi kalikrein yang kemudian
172
mengubah kininogen dengan BM tinggi menjadi kinin. Kinin beredar dalam sirkulasi
akan mening-katkan permeabilitas vaskuler sehingga dapat menyebabkan hipotensi dan
syok. Sebagai ke-simpulan, pada KID trombin yang beredar dalam sistem sirkulasi
darah menyebabkan terjadi deposit fibrin monomer dan fibrin ikat silang yang
membentuk trombosis pada mikrosirkulasi dan kadang dalam pembuluh besar sehingga
terjadi hipoksia atau kerusakan organ, sedangkan plasmin yang beredar dalam sirkulasi
darah dalam tubuh menyebabkan terbentuk FDP yang mengganggu polimerasi fibrin
monomer dan fungsi trombosit, sehingga terjadi gangguan pembekuan yang
menyebabkan perdarahan.2
Selain itu plasmin juga menyebabkan lisis faktor V, VIII dan X. Terjadi defisiensi
faktor pembekuan menyebabkan perdarahan. Dari konsep patofisiologi ini dapat
dimengerti bahwa mengapa pasien dengan KID dapat terjadi trombosis dan perdarahan
dalam waktu yang bersamaan. Para klinisi sering lebih menaruh perhatian pada gejala
perdarahan, tapi kurang perhatian terhadap trombosis. Padahal morbiditas dan
mortalitas lebih banyak diten-tukan oleh trombosis. 1,3
Untuk mencapai hasil pengobatan yang optimal perlu memperhatikan kedua gejala
ini yaitu perdarahan yang nyata maupun trombosis yang difus. Dari penjelasan
patofisiologi KID sebelumnya dapat disimpulkan pada KID terjadi : 3
1. Aktivasi sistem pembekuan darah
2. Aktivasi sistem fibrinolisis
3. Konsumsi penghambat
4. Hipoksia atau keruskan organ.
Keempat patofisiologi tersebut perlu diingat dan dicatat sebagai tolak ukur laboratorik
yang tepat untuk suatu diagnosis KID secara objektif.

IV. GEJALA KLINIS

Gejala klinis KID tergantung penyakit dasar, akut atau kronis dan proses patologis
mana yang lebih utama, apakah akibat trombosis mikrovaskular atau diatesis hemoragik.
Kedua proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat
ditemukan dalam waktu yang bersamaan.2,3
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat, dapat terlihat sebagai petekie,
ekimosis, atau hematoma di kulit, hematuria, melena, epistaksis, perdarahan gusi,
hemoptisis dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala
akibat trombosis mikrovaskuler dapat ditemukan kesadaran menurun sampai koma,
gagal ginjal akut, gagal nafas akut dan iskemia fokal serta gangren pada kulit. 2
Mengatasi perdarahan pada KID sering lebih mudah daripada mengobati akibat
trombosis pada mikrovaskuler yang menyebabkan gangguan aliran darah, iskemia dan
berakhir dengan kerusakan organ dan kematian.2

173
V. DIAGNOSA BANDING

Manifestasi klinis atau kelainan laboratorium dari beberapa kondisi dapat menyerupai atau
dibedakan dari yang ada di DIC, dan penting untuk membedakan kondisi ini dari DIC akut.
Empat dari kondisi yang lebih umum adalah :4
• thrombocytopenic purpura trombotik
• kronis DIC (Trousseau sindrom)
• Gagal hati fulminan
• HELLP syndrome (hemolisis, tes fungsi hati yang tinggi, dan trombosit rendah).

VI.PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Rumitnya patofisiologi KID menyebabkan hasil laboratorium yang didapatkan ber-
variasi. Rumit dan sulit diinterpretasi bila patofisiologi tidak jelas dimengerti dan
pemerik-saan yang dilakukan tidak cukup. Tetapi jika pemeriksaan yang diminta cukup
dan interpre-tasi tepat akan dapat memberikan kriteria diagnosis yang objektif. Saat ini
banyak metode baru tersedia untuk uji laboratorium yang memudahkan pemeriksaan
pasien dengan KID. Dibawah ini dijelaskan kriteria laboratorik yang objektif yang
diperlukan untuk diagnosis KID yang didasarkan atas pengetahuan patofisiologinya ,4,5

1. Masa Protrombin (protrombin time)


Masa protrombin bisa abnormal pada KID karena beberapa hal. Oleh karena masa
protrombin tergantung dari perubahan fibrinogen menjadi fibrin maka dapat dimengerti
pada pasien KID masa protrombin yang memanjang bisa karena hipofibrinogenemia,
gangguan FDP pada polimerisasi fibrin monomer dan karena plasmin menginduksi lisis
faktor V dan faktor IX.
Masa protrombin ditemukan memanjang pada 50-75% pasien KID sedang pada
<50% pasien bisa dalam batas normal atau memendek. Normal atau memendeknya
masa protrombin ini terjadi karena (1) beredarnya faktor koagulasi aktif seperti trombin
atau faktor Xa yang dapat mempercepat pembentukan fibrin; (2) hasil degradasi awal
dapat mempercepat pembekuan oleh trombin dan sistem pembentukan gel yang cepat.
Masa protrombin umumnya kurang bermanfaat dalam evaluasi KID.

174
2. Partial Thrombin Time (PTT)
PTT yang diaktifkan seharusnya juga memanjang pada KID fulminan karena
berbagai sebab sehingga parameter ini lebih berguna daripada masa protrombin.
Plasmin menginduksi biodegradasi faktor V, VIII, IX, Xi yang seharusnya menyebabkan
PTT memanjang. Selain itu sama halnya dengan masa protrombin, PTT juga akan
memanjang bila kadar fibrinogen <100 mg/dl.
PTT juga memanjang pada KID karena FDP menghambat polimerisasi fibrin
monomer. Namun PTT yang memanjang hanya ditemukan pada 50-60% pasien KID
dan oleh sebab itu PTT yang normal tidak dapat dipakai untuk menyingkirkan KID.
Mekanisme terjadinya PTT normal atau memendek pada 40-50% pasien KID sama
seperti pada masa protrombin.

3. Kadar Faktor Pembekuan


Pemeriksaan kadar faktor pembekuan memberikan sedikit informasi yang berarti
pada pasien KID. Sebagaimana sudah disebut sebelumnya pada kebanyakan pasien
KID fulminan faktor pembekuan yang aktif beredar dalam sirkulasi terutama faktor Xa,
IXa dan trombin. Pemeriksaan faktor yang didasarkan atas standar PTT dan masa
protrombin dengan teknik menggunakan defisiensi substrat akan memberikan hasil yang
tidak dapat diinterpretasi. Sebagai contoh jika faktor VIII diperiksa sedang pada
penderita KID disertai faktor Xa maka jelas faktor VIII yang dicatat akan tinggi karena
dalam uji sistem ini faktor Xa meminta kebutuhan faktor VIII sehingga terjadi perubahan
fibrinogen menjadi fibrin dengan cepat dan waktu yang dicatat dalam kurva standar
pendek dan ini akan diinterpretasi sebagai kadar faktor VIII yang tinggi.

4. FDP
Kadar FDP akan meningkat pada 85-100% kasus KID. Hasil degradasi ini adalah
akibat biodegradasi fibrinogen atau fibrin oleh plasmin, sehingga secara tidak langsung
menunjukkan jumlah plasmin melebihi jumlah normal dalam darah.
Tes protamin sulfat atau etanol biasanya positif bila dalam sirkulasi darah ada fibrin
monomer solubel. Tetapi sama seperti FDP, ini bukan sebagai diagnostik karena fibrin
monomer solubel lain dapat dijumpai pada keadaan klinis lain, seperti pada wanita
dengan kontrasepsi oral, pasien dengan emboli paru, pada beberapa pasien infark
miokard, pasien penyakit ginjal tertentu, trombosis vena atau arteri serta tromboembolik.

5. D-Dimer
Tes terbaru untuk KID adalah D-Dimer yang merupakan hasil degradasi dari fibrin
ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin dan kemudian diaktifkan oleh
faktor XIII. Dari pemeriksaan atau tes yang paling banyak dilakukan untuk menilai KID,
tampak-nya D-Dimer merupakan tes yang paling dapat dipercaya untuk menilai
kemungkinan KID. Analisis beberapa pemeriksaan yang dilakukan pada KID, ditemukan
D-Dimer abnormal pada 93% kasus, kadar AT III abnormal pada 89% kasus, kadar
fibrinopeptida abnormal pada 88% kasus dan titer FDP abnormal pada 75% kasus.
Kadang titer FDP dan reaksi parakoagulasi dapat negatif pada KID. Hal ini disebab-
kan pada KID akut jumlah plasmin yang beredar sangat banyak dan fibrinolisis sekunder
mengakibatkan degradasi fragmen D dan E, padahal fragmen inilah yang dideteksi
sebagai FDP. Selain itu pelepasan yang berlebihan dari protease-granulosit,
kolagenase dan elastase dapat juga melakukan degradasi pada semua sisa fragmen D
dan E dan akhirnya memberikan hasil FDP negatif. Jadi FDP negatif belum dapat
menyingkirkan diagnosis KID. Dengan tersedianya pemeriksaan D-Dimer, pemeriksaan
FDP dan tes protamin sulfat menjadi terbatas dalam diagnosis KID.
175
6. Plasmin
Pemeriksaan sistem fibrinolisis yang tersedia sekarang dalam lab klinik yang
berguna pada KID yaitu pemeriksaan plasminogen dan plasmin. Fibrinolisis sekunder
merupakan respons tubuh mencegah trombosis dalam upaya tubuh menghindari
kerusakan organ yang ireversibel pada pasien KID. Jika terjadi gangguan sistem
fibrinolisis, morbiditas dan mortal-itas akan meningkat sebagai akibat terjadinya
kerusakan organ. Aktivasi sistem fibrinolisis dapat dinilai dengan mengukur kadar
plasminogen dan plasmin dengan teknik substrat sinte-tis. Masa lisis euglobin
memberikan sedikit manfaat untuk menilai sistem fibrinolisis pada KID.

7. Trombosit
Trombositopenia khas pada KID; jumlah trombosit bervariasi mulai yang paling
rendah 2000-3000/mm3 hingga >100.000/mm 3. Pada kebanyakan pasien KID trombosit
yang diperiksa dalam sediaan apus darah tepi pada umumnya jumlahnya rata-rat
6000/mm3.
Uji fungsi trombosit seperti masa perdarahan, agregasi trombosit biasanya
bergantung pada KID. Gangguan ini disebabkan FDP menyelubungi membran
trombosit. Jadi tidak ada alasan dan tidak perlu melakukan uji trombosit pada KID.
Faktor 4 trombosit (PF4) dan beta-tromboglobulin merupakan petanda terjadinya re-
aktivitas dan pelepasan trombosit dan biasanya meningkat pada KID. Bila pada KID
kadar PF4 dan beta-tromboglobulin meningkat dan kemudia menurun sesudah
pengobatan, hal ini menunjukkan pengobatan berhasil. Meningkatnya PF4 dan beta-
tromboglobulin pada KID selain merupakan bukti tidak langsung adanya aktivasi
prokoagulan, juga bermanfaat pada pemantauan pengobatan.

Berdasarkan patofisiologi KID dapat dibagi menjadi 4 kelompok : 6


(1) aktivasi sistem prokoagulan; (2) aktivasi sistem fibrinolisis; (3) konsumsi
penghambat; (4) kerusakan atau kegagalan organ.

(1) Aktivasi sistem prokoagulan meliputi protrombin, fragmen 1+2, fibrinopeptida


A dan B, kompleks trombin-antitrombin (TAT) dan D-Dimer. Semuanya ini
meningkat pada KID.
(2) Aktivasi sistem fibrinolisis meliputi D-Dimer, FDP, plasmin dan plasmin
antiplasmin kompleks (PAP), semuanya meningkat pada KID.
(3) Konsumsi penghambat ada yang meningkat ada yang menurun. Yang
meningkat : kompleks TAT, kompleks PAP. Yang menurun : antitrombin, alfa-2-
antiplasmin, heparin, kofaktor II, protein C dan S.
(4) Kerusakan atau kegagalan organ. Yang meningkat adalah laktat
dehidrogenase, kreatinin dan yang menurun : pH dan PaO 2.

VII. PENATALAKSANAAN
Dalam mengobati pasien ada 2 prinsip yang perlu diperhatikan :
1. Khusus : pengobatan KID bersifat individual,
2. Umum : mengobati pembekuan darah dan mengatasi perdarahan.

1. Terapi Individu
Berhubungan dengan banyak macam penyakit yang mencetuskan KID dan derajat
penyakit maupun KID bervariasi. Maka pengobatan kasus demi kasus mendapat
perhatian yang besar. Kadang pemberian heparin pada kasus yang satu sangat
176
diperlukan, sebaliknya pada kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi setiap individu
harus dilihat keuntungan dan kerugian dari pengobatan.2,7

2. Terapi Umum
Didasarkan atas etiologi KID, umur, keadaan hemodinamik, beratnya perdarahan,
beratnya trombus dan gejala klinis. 7
a. Pengobatan faktor pencetus
Pengobatan pada KID fulminan yaitu mengobati secara progresif dan menghilangkan
penyakit pencetus KID.
b. Menghentikan proses koagulasi.
Dapat dilakukan dengan memberikan antikoagulan misalnya heparin. Indikasi
pemberian heparin : (1) bila penyakit dasar tidak dapat dihilangkan dalam waktu
singkat; (2) penderita yang masih perdarahan bila penyakit dasar sudah dihilangkan;
(3) bila ada tanda terjadi trombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati.
Cara pemberian heparin klasik pada KID dimulai dengan dosis awal 100-200 U/
kgBB iv, selanjutnya pemberian dosis ditentukan dari hasil APTT atau masa pembekuan
dan diperiksa 2-3 jam sesudah pemberian heparin. Target APTT 1,5-2,5 kontrol atau
masa pem-bekuan 2-3 kali kontrol. Bila APTT kurang dari 1,5 kali kontrol atau MP
kurang 2 kali kon-trol dosis heparin dinaikkan. Bila APTT lebih dari 2,5 kali kontrol atau
MP lebih dari 3 kali kontrol maka diulang 2 jam. Kemudian bila APTT atau MP tetap
lebih dari 2,5 atau 3 kali kontrol dosis dinaikkan, sedang bila kurang dosis diturunkan.
Bila APTT 1,5-2,5 kali kontrol atau MP 2-3 kali kontrol, dosis heparin diteruskan.5,6
Heparin diberikan tiap 4-6 jam dan dosis diberikan berkisar 100.000 – 200.000 U/
hari. Akhir-akhir ini dianjurkan heparin subkutan dosis 80-100 U/kg tiap 4-6 jam.
Heparin juga dapat diberikan dengan kombinasi AT III atau anti agregasi trombosit.
Kontraindikasi pemberian heparin subkutan maupun intravena pada KID yaitu pasien
dengan perdarahan SSP dan gagal hati fulminan. KID fulminan berhasil diobati dengan
pemberian AT III tiap 8 jam. Dosis yang dibutuhkan dapat dihitung dengan jumlah total
yang dibutuhkan = kenaikan kadar yang diinginkan – kadar permulaan x 0,6 x BB.
Kadar yang diinginkan biasanya > 125%. 7

3. Terapi Substitusi
Bila perdarahan masih terus berlangsung sesudah penyakit dasar diobati dan
sesudah antikoagulan diberikan, untuk ini dapat diberikan plasma beku segar (fresh
frozen plasma; FFP). Bila trombosit turun sampai <25.000/mm3 pemberian trombosit
konsentrat perlu diberikan.7

4. Anti Fibrinolisis
Asam traneksamat atau epsilon-asam amino kaproat hanya diberikan bila trombosis
tidak ada dan terjadi fibrinolisis.
Menurut penelitian lain penatalaksanaan KID secara teoritis, intervensi pada langkah
patofisiologis yang terlibat dalam asal-usul KID dapat bermanfaat, tetapi uji klinis telah
mengungkapkan hanya beberapa langkah-langkah untuk digunakan sebagai terapi. 7

1. Pengobatan Penyebab Utama dan Perawatan Umum


Para penyebab penyakit KID harus diperlakukan dengan penuh waspada untuk
membalikkan proses. Misalnya, dalam kasus sepsis, antibiotik harus dimulai, dan jika gigitan
ular adalah faktor pencetus, anti racun harus dimulai. Jaringan perfusi dan fungsi
177
pernafasan harus dijaga dengan mengganti cairan intravena dan memberikan dukungan
oksigen untuk memperbaiki hipoksia. Kekurangan asam folat akut dapat terjadi seiring
perjalanan KID kronis dan mengarah ke produksi platelet terganggu, dan harus segera
diatasi. Koagulopati dapat diatasi oleh pemberian vitamin K 10mg pada dua hari berturut-
turut.4

2. Dukungan hemostatik (Replacement Therapy)


Pada pasien yang memiliki tingkat rendah trombosit, fibrinogen dan faktor pembekuan lain
seperti yang ditunjukkan oleh PT berkepanjangan, APTT, TT, penggantian faktor ini
berguna. Meskipun ada beberapa kekhawatiran bahwa penggantian ini menyediakan 'bahan
bakar ke api', tidak ada data klinis untuk mendukung kekhawatiran ini. Terapi penggantian
tidak diindikasikan jika tidak ada perdarahan klinis dan ada prosedur invasif yang
direncanakan. Jika pasien mengalami perdarahan atau prosedur diperlukan, maka upaya
untuk mengembalikan kapasitas hemostatik dengan mengganti trombosit dan faktor
koagulasi ditunjukkan.4
Mengukur konsentrasi trombosit dan fibrinogen dan menilai waktu protrombin dan waktu
tromboplastin parsial teraktivasi sangat penting untuk membimbing manajemen.
Penggantian dipantau oleh efek langsung setelah transfusi dan beberapa jam kemudian
untuk menentukan kebutuhan untuk melanjutkan penggantian lebih lanjut. Komponen darah
yang tersedia ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Komponen umum digunakan dalam
LPS adalah: plasma beku segar (FFP), kriopresipitat, trombosit konsentrat dan dikemas sel
darah merah atau darah.2,3
Dosis awal yang diberikan dalam tabel 3 adalah panduan kasar dan dosis lanjutan akan
bervariasi tergantung pada tingkat konsumsi dan apakah DIC akan datang terkendali.
Penggantian dapat dihentikan bila ada kenaikan jumlah trombosit, kadar fibrinogen dan
penurunan FDPs. 4

178
3.Terapi heparin
Penggunaan heparin secara teori menarik karena harus berhenti pembentukan trombin
dan proses DIC, tapi dalam prakteknya manfaat ini jarang terlihat. Untuk pasien yang
secara aktif perdarahan, heparin akan memperburuk pendarahan sebelum manfaat
potensial. Dalam sebagian besar situasi khas DIC akut (yang mencakup 95% atau lebih
pasien) terapi heparin belum terbukti berguna dan mungkin berbahaya. Heparin telah
terbukti memiliki efek yang menguntungkan dalam kecil, studi terkontrol pasien dengan
koagulasi intravaskular diseminata, tetapi tidak dalam uji klinis terkontrol. Namun ada
beberapa indikasi terbatas terapi heparin, seperti pendarahan yang berlebihan terkait
dengan hemangioma raksasa.6

VIII. KESIMPULAN
Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) atau dalam bahasa Indonesia dikenal
dengan Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) merupakan salah satu kedaruratan
medik karena mengancam nyawa dan memerlukan penanganan segera. DIC
merupakan penyakit yang membutuhkan penanganan segera. Berhubungan dengan
banyak macam penyakit yang mencetuskan KID dan derajat penyakit maupun KID
bervariasi, maka pengobatan kasus demi kasus mendapat perhatian yang besar.
Tatalaksana pada kasus DIC memiliki 2 prinsip yang perlu diperhatikan yaitu hal khusus
dan umum. Prognosis baik jika DIC ditangani secara dini dan dilakukan tatalaksana
dengan baik.

179
DAFTAR PUSTAKA

1. Tambunan KL. Koagulasi Intravaskular Diseminata. Dalam : Hadinegoro SRH, Satari


HI (penyunting). Demam Berdarah Dengue : Naskah Lengkap Pelatihan Bagi Pelatih
Dokter Spesialis Anak Dan Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus
DBD. Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. 2009:167-79.
2. Levi M, ten Cate H. Disseminated Intravascular Coagulation : Current concept. N
Engl J Med. 2008;341:586-91.
3. Furlong MA, Furlong BR. Disseminated Intravascular Coagulation. E-medicine. 2005.
Available at http://www.emedicine.com/emerg/HEMATOLOGY_AND_ONCOLOGY.html
4. Sudoyo, W. Aru. et. al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta :
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2007.
5. Blackwell Publishing Ltd, British Journal of Haematology, 145, 24–33 25 Guidelines
for the diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation.2010.
6. Labelle Carrie Ann, Kitchens Craig S.Disseminated intravascular coagulation:Treat
the cause, not the lab values, on Cleaveland Clinic Journal of Medicine Volume 72
Number 5.2008.
7. Kumar R, Gupta1 V, Disseminated Intravascular Coagulation: Current Concepts, on
Indian Journal of Pediatrics Volume 75.2010.

180
VON WILLEBRAND
I. Definisi
Penyakit von Willebrand (PVW) adalah kelainan pendarahan herediter dikarenakan
oleh defisiensi atau disfungsi faktor von Willerbrand (FVW) 1,2. FVW adalah suatu
glikoprotein multimer heterogen dalam plasma dengan dua fungsi utama. 2
1. Memudahkan adhesi trombosit pada kondisi stress berat dengan
menghubungkan reseptor membran trombosit ke subendotel pembuluh darah
2. Bekerja sebagai pembawa plasma bagi faktor VIII, suatu protein koagulasi
darah yang penting.
Umumnya faktor von Willebrand membantu trombosit melekat pada dinding pembuluh darah
yang normal.
2. Etiologi
Kelainan perdarahan kronis yang ditandai dengan agregasi tronbosit maupun
pembentukan bekuan tidak terjadi secara memadai. Kelainan adhesi trombosit mungkin
karena kelainan reseptor trombosir intrinsik atau kelainan/defisiensi molekul pelekat seperti
FVW.2
3. Epidemiologi
penyakit von Willebrand (PVW) adalah kelainan bawaan perdarahan paling umum pada
manusia. PVW klinis yang signifikan terjadi pada sekitar 125 orang per juta, 1-2% dari
penduduk umum.
181
Namun, kelainan pada FVW dapat dideteksi pada sekitar 8000 orang per juta ketika
teknik laboratorium yang cermat digunakan untuk menunjukkan sangat tingginya insiden
penyakit pada subklinis. PVW pertama kali dijelaskan oleh von Willebrand Erik pada tahun
1926.3
4. Patogenesis
penyakit von Willebrand (PVW) adalah penyakit karena kekurangan faktor von Willebrand
(FVW). FVW disintesis oleh sel endotel, di mana disimpan di badan Weibel-Palade, dan
oleh platelet, di mana ia disimpan dalam granula-α. PVW adalah gangguan heterogen yang
telah diklasifikasikan ke dalam beberapa subtipe. Tipe I PVW, adalah tipe PVW yang paling
umum dan diwariskan sebagai sifat dominan autosom (Lihat Tabel). Varian ini adalah
karena defisiensi kuantitatif sederhana dari semua multimers FVW. Tipe 2 PVW juga dibagi
lebih lanjut tergantung pada apakah protein disfungsional mengalami penurunan atau
paradoks peningkatan fungsi dalam tes laboratorium tertentu yang mengikat trombosit. Tipe
3 PVW, secara klinis paling berat dan ditandai oleh pewarisan resesif dan hampir tidak ada
FVW. Berikut klasifikasi dari tipe penyakit von Willerbrand.2,3

Revisi klasifikasi penyakit von Willebrand


Tipe
Gambaran Tipe dahulu
revisi
1 Defisiensi parsial I-2
I-2
IA
2A Varian FVW yang ditandai dengan kehilangan multimer IIA IIF
BM tinggi dan fungsinya yang tergantung trombosit IIC IIG

182
(platelet dependent) IID IIH
IIE
2B FVW dengan kehilangan multimer BM tinggi yang IIB
disebabkan oleh peningkatan afinitas terhadap GP1b I New York
trombosit Malmo
2M Varian FVW dengan penurunan fungsi tergantung Ib
trombosit yang tidak berkaitan dengan kehilangan Vicenza
multimer BM tinggi IC
ID
2N Varian FVW dengan penurunan afinitas terhadap faktor Defective VII
VIII Binding
Normandy
3 Defisiensi berat FVW III

5. Diagnosis
Pasien dengan tipe 1 biasanya memiliki PVW ringan atau pendarahan trombosit sedang
(terutama yang melibatkan integumen dan membran mukosa). Pasien dengan PVW tipe 2
biasanya memiliki tingkat pendarahan sedang sampai pendarahan hebat yang dialami saat
masa kecil atau remaja.4
Gejala yang paling sering terjadi pada PVW meliputi:2
 Pendarahan gusi
 Hematuri
 Epistaksis
 Pendarahan saluran kemih
 Darah dalam feses
 Mudah memar
 menoragi
Pemeriksaan labolatorium : 2
 Pemanjangan BT
 Penurunan kadar FVW plasma
 Penurunan secara paralel kadar aktivitas biologi diperiksa dengan penentuan
kadar kofaktor risosetin.
 Penurunan aktivitas faktor VIII
Evaluasi penapisan : 2
Untuk PVW harus mencakup pemeriksaan BT, hitung trombosit, PT dan APTT.
 PVW ringan tipe I biasanya hasil pemeriksaannya normal. Bila penyakit lebih
berat BT memanjang antara 15-30 menit sedang hirung trombosit normal.
 Pasien dengan defisiensi berat FVW atau kelainan faktor VIII mengikat FVW
berakibat pemanjangan APTT, sekunder akibatnya menurun kadar faktor VIII dalam
plasma.
 Untuk menetapkan diagnosis diperlukan pemeriksaan khusus kadar FVW
dan fungsinya.

183
Diagnosis labolatorium penyakit von willebrand.3,4

6. Penatalaksanaan
Pengelolaan segera
Fungsi trombosit yang abnormal sering yang pertama tampak sebagai komplikasi penyakit
akut atau pembedahan. Pada keadaan demikian, diagnosis yang tepat dapat ditunda,
namun tindakan harus disesuaikan dengan sebanyak mungkin faktor yang potensial.2
Daftar ini termasuk:
 Menghentikan obat yang menghambat fungsi trombosit
 Secara empiris memberikan FVW
 Transfusi trombosit yang normal, tergantung beratnya pendarahan.

Pengelolaan jangka panjang


Kelainan fungsi trombosit harus didasari diagnosis yang tepat. Pasien dengan
kelainan kongenital harus dinasihati untuk menghindari obat yang memperberat kelainan
fungsi dan menyebabkan pendarahan.2
 Aspirin dan analgesik non steroid adalah offender primer, pasien-pasien PVW
dan trombasteni menunjukan pemanjangan bermakana BT dengan pemberian
aspirin dan merupakan risiko lebih besar terhadap pendarahan klinis.
 Pasien demikian juga harus benar-benar diajari tentang sifat kelainan mereka
 Harus membawa serta identifikasi atau memakai gelang peringatan (warning)
Protokol ini dapat bermanfaat sebagai petunjuk untuk transfusi yang memadai pada
keadaan darurat.

DDVAP (Desopresin)
Bentuk sediaan intravena dan intranasal. 2
 DDVAP diberikan intravena dengan dosis 0,3 mg/kg; harus diencerkan dalam
30-50 mL salin dan diberikan dalam 10-20 menit untuk meminimalkan efek samping,

184
terutama takikardia dan hipotensi. Efek samping lainnya berupa nyeri kepala, pusing,
nausea, dan muka kemerahan pada pasien terutam jika diberikan secara cepat.
 DDVAP diberikan secara intranasal dengan dosis 300 µg, diberikan dengan
aplikasi 100 µL dari larutan 1,5 mg/mL ke lubang hidung. Dengan metode pemberian
seperti ini dapata meningkatkan kadar FVW, pada umumnya 2 sampai 3 kali lipat.
Kekurangannya ialah dari efek yang ditimbulkan berlangsung singkat (12-24 jam).
Metode seperti ini efektif untuk pendarahan ringan selama pembedahan minor.
 Dikontraindikasikan untuk pasien PVW tipe 2B dan tipe trombosit.
DDAVP harus dihindari pada wanita preenklamsi (grade C, level IV).5

FAKTOR VON WILLEBRAND


Penggantian FVW dapar diperoleh dengan: tranfusi plasma segar atau konsentrat
yang mengandung kompleks FVW-VIII.
Kriopresipitat adalah konsentrat yang mudah didapat dan efektif. Namun jika kriopresipitat
tidak didapatkan, salah satu bentuk konsentrat faktor VIII/FVW dapat diberikan dengan
dosis faktor VIII 50 U/kg secara parenteral tiap 12jam biasanya akan cukup. 2
7. Prognosis
Penyakit von Willebrand (PVW) adalah kelainan pendarahan herediter disebabkan oleh
defisiensi faktor von Willerbrand (FVW). PVW sendiri telah diklasifikasikan menjadi
beberapa tipe yakni tipe I. IIA, IIB, III. Untuk penangannya ada yang bersifat segera dan ada
pula yang jangka panjang. Semakin cepat dan tepat penanganan yang diberikan maka akan
semakin baik pula prognosisnya.

185
DAFTAR PUSTAKA
1. Department of Health and Human Service (US). The Diagnosis, Evaluation,
and Management of von Willebrand disease. US: Department of Health and Human
Service; 2007.
2. Sudoyo AW, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid dua. Edisi
Kelima. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD FK UI; 2006
3. Riley RS, von Willebrand disease. [Accesed 10 September 2017] Available
from http://www.pathology.vcu.edu/clinical/coag/vWD.pdf
4. Stephen J. McPhee, MD . Current medical diagnosis and treatment. New
York: Mc Graw Hill Medical; 2010
5. K. J. Pasi, P.W. Collins. Management of von Willebrand disease: a guideline
from the UK Haemophilia Centre Doctors‘ Organization. Department of Haematology,
Barts and the London, Queen Mary‘s School of Medicine and Dentistry, London;
2004

186
HEMOFILIA

1. Definisi
Hemofilia adalah penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah
yang diturunkan (herediter) secara sex-linked recessive pada kromosom X ( X E).
Hemofilia merupakan penyakit pembekuan darah kongenital yang disebabkan
karena kekurangan faktor pembekuan darah, yaitu faktor VIII dan faktor IX yang bersifat
herediter secara sex-linked recessive pada kromosom X (X ). Factor tersebut
merupakan protein plasma yang merupakan komponen yang sangat dibutuhkan oleh
pembekuan darah khususnya dalam pembentukan bekuan fibrin pada daerah trauma.
2. Epidemiologi
Insidens hemofilia A adalah 1:5000-10000 kelahiran bayi laki-laki, sedangkan hemofilia B
adalah 1:30.000-50.000 kelahiranbayi laki-laki, diperkirakan terdapat sekitar 400.000
penderita hemofilia diseluruh dunia. Di indonesia dengan jumlah penduduk kurang lebih 220
juta jiwa, diperkirakan terdapat sekitar 20.000 penderita hemofilia, tetapi hingga Desember
2007 baru tercatat 1130 pasien hemofilia
3. Klasifikasi
saat ini dikenal 2 macam hemophilia yang diturunkan secara sex-linked recessive yaitu
:
1. Hemofilia A (hemofila klasik), akibat defisiensi atau disfungsi factor
pembekuan VII (F VIIIc).
2. Hemofilia B (Chistmas disease) akibat defisiensi atau disfungsi F IX ( Faktor
Christmas).

Klasifikasi hemophilia menurut berat ringannya penyakit :


1. Berat : <1%
2. Sedang : 1 ± 5%
3. Ringan : 5 ± 25%
4. Patofisiologi
Hemofilia adalah penyakit gangguan pembekuan darah yang diturunkan melalui
kromosom X. Karena itu, penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria karena mereka
hanya mempunyai kromosom X, sedangkan wanita umumnya menjadi pembawa sifat
saja (carrier). Namun, wanita juga bisa menderita hemofilia jika mendapatkan kromosom X
dari ayah hemofilia dan ibu pembawa carrier.
Penyakit hemofilia ditandai oleh perdarahan spontan maupun perdarahan yang sukar
berhenti. Selain perdarahan yang tidak berhenti karena luka, penderita hemophilia juga
bisa mengalami perdarahan spontan di bagian otot maupun sendi siku.
Pada orang normal, ketika perdarahan terjadi maka pembuluh darah akan
mengecil dan keping-keping darah (trombosit) akan menutupi luka pada pembuluh. Pada
saat yang sama, trombosit tersebut bekerja membuat anyaman (benang-benang fibrin)
untuk menutup luka agar darah berhenti mengalir keluar dari pembuluh. Pada penderita
hemofilia, proses tersebut tidak berlangsung dengan sempurna.
Kurangnya jumlah faktor pembeku darah menyebabkan anyaman penutup luka tidak
terbentuk sempurna sehingga darah terus mengalir keluar dari pembuluh yang dapat
berakibat berbahaya. Perdarahan di bagian dalam dapat mengganggu fungsi sendi
yakni mengakibatkan otot sendi menjadi kaku dan lumpuh, bahkan kalau perdarahan
berlanjut dapat mengakibatkan kematian pada usia dini.
5. Manisfestasi klinis
a) Hemofilia berat : kadar F VIII C di dalam plasma <1%. Perdarahan spontan
sering terjadi. Perdarahan pada sendi-sendi (hemarthrosis) sering terjadi.
187
Perdarahan karena luka atau trauma dapat mengancam jiwa.
b) Hemofilia sedang: Perdarahan serius biasanya terjadi bila ada trauma.
Hemarthrosis dapat terjadi walaupun jarang dan akalu ada biasanya tanpa cacat.
c) Hemofilia ringan : Perdarahan spontan biasanya tidak terjadi.
Hemarthrosis tidak ditemukan. Perdarahan biasanya ditemukan sewaktu operasi
berat, atau trauma.
6. Diagnosis
1. Anamnesis
 Saat lahir biasanya terjadi perdarahan dari tali pusat
 Pada anak yang lebih besar biasanya terjadi perdarahan sendi sebagai
akibat jatuh pada saat belajar berjalan, riwayat timbulnya, riwayat timbulnya biru-biru
bila terbentur (perdarahan abnormal)
 Riwayat perdarahan keluarga
 Adanya keluhan perdarahan spontan yang biasanya berlangsung lama
2. Pemeriksaan fisik
Ditemukan perdarahan berupa:
 Hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
 Hemartrosis
 Sering dijumpai perdarahan interistial yang akan menyebabkan atrofi otot,
pergerakan akan terganggu dan terjadi kontraktur sendi. Sendi yang paling sering
terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha, dan sendi bahu
 Sering dijumpai perdarahan di ronggamulut, kerongkongan, hidung,
perdarahan retroperineal, hematuri.
3. Pemeriksaan penunjang
 Pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan penurunan kadar hemoglobin bila
terjadi perdarahan masif.
 Waktu perdarahan normal/memanjang
 Waktu pembekuan memanjang (closing time/CT)
 Masa tromboplastin parsial memanjang (activated partial thromboplastin
time/APTT)
 Waktu trombin dan protombin normal
 Diagnosis pasti yaitu dengan pemeriksaan kadar faktor VIII dan faktor IX
7. Diagnosis banding
1. Hemofilia A dan B dengan defisiensi faktor XI dan XII.
2. Hemofilia A dengan penyakit von Willerbrand (khususnya varian
Normandy) inhibitor F VIII yang didapat dan dikombinasi defisiensi F VIII dan
kongeital.
3. Hemofilia B dengan penyakit hari, pemakaian warfarin, defisiensi vitamin
K, sangat jarang inhibitor F IX yang didapat.
8. Penatalaksanaan
Prinsip umum penanganan hemofili yaitu:
1. Pencegahan terjadinya perdarahan
2. Perdarahan akut pada sendi/otot :
 Pertolongan pertama: dilakukan (rest, ice, compression,elevation)
 Dalam waktu kurang dari 2 jam pasien harus mendapat replacement
therapy faktor VII/IX
 Untuk perdarahan yang mengancam jiwa (intrakranial, intraabdomen,
atau saluran napas),replacement therapy harus diberikan sebelum
pemerikasaan lebih lanjut.
Subtitusi faktor VIII: cryoprecipitate
Subtitusi faktor IX : konsentrat pada plasma beku segar 10-20% unit/kgatau
188
konyne 500 u/vial

Pengobatan kriopresipitat pada penderita hemofilia disesuaikan dengan berat ringannya


perdarahan. Pada perdarahan ringan bila kadar F VIII mencapai 30% sudah cukup untuk
menghentikan perdarahan.
Perdarahan sedang memerlukan kadar F VIII 50% dan pada perdarahan berat
memerlukan F VIII 100%. Jumlah kriopresipitat yang dibutuhkan dapat dihitung
dengan ketentuan bahwa 1 u F VIII/kgBB akan menaikkan kadar F VIII 2%.
Sedangkan untuk F IX, 1 u/kgBB akan menaikkan kadar F IX 1%. Rata-rata
standard orang normal ialah 1 u/ml adalah sama dengan 100%. Tabel berikut akan
menjelaskan pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat.
Komponen utama krioprisipitat adalah faktor VIII atau anti hemophylic globulin.
Penggunaannya ialah untuk menghentikan perdarahan karena berkurangnya AHG
di dalam darah penderita hemofili A. Faktor VIII atau AHG ini tidak bersifat ―genetic
marker antigen‖ seperti granulosit, trombosit atau eritrosit, tetapi pemberian yang
berulang-ulang dapat menimbulkan pembentukan antibodi yang bersifat ―inhibitor‖
terhadap faktor VIII karena itu pemberiannya tidak dianjurkan sampai dosis
maksimal, tetapi diberikan sesuai dosis optimal untuk suatu keadaan klinis. Untuk
jelasnya terlihat dalam tabel kutipan ini.
Tabel 1. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan pada hemofili
Kadar faktor Simptom
VIII (%)
<1 Perdarahan spontan sendi dan otot
1-5 Perdarahan hebat setelah luka kecil
5-25 Perdarahan hebat setelah operasi
25-30 Cenderung perdarahan setelah luka atau
operasi

Tabel 2. Hubungan faktor VIII dan simtom pada perdarahan pada hemofili
Lesi Kadar faktor VIII Dosis faktor VIII
(% normal) (unit/kg BB)
Hemarthrosis
ringan, 15 – 20% 10-15
hematoma

Hemarthrosis
berat dan
hematoma otot 20-40% 15-20
di daerah-
daerah penting 80-100% 40-50

Operasi besar

Setiap kantong krioprisipitat mengandung 150 U faktor VIII, sedangkan


krioprisipitat produksi LPTD-PMI ditaksir hanya mengandung 100 U faktor
VIII/kantong. Hal ini disebabkan karena darah yang diambil dari donor lebih sedikit.
Cara pemberian krioprisipitat aialah dengan menyuntikkan intravena langsung
tidak melalui tetesan infus. Komponen tidak tahan pada suhu kamar, jadi
pemberiannya sesegera mungkin setelah komponen mencair.
Tabel 3. Pengobatan hemofilia dengan kriopresipitat.

189
Jenis perdarahan Kadar faktor yang Dosis F VIII Dosis F IX
diinginkan (%) (u/kg/bb) (u/kg/bb)
Ringan 30% Dosis mula tidak Dosis mula 30
diperlukan u/kgBB seterusnya
diberikan 15 10 u/kgBB tiap 12
u/kgBB tiap 12 jam –24 jam selama 2-
selama 2-4 hari 4 hari
Sedang 50% Dosis mula 30 Dosis mula 60
u/kgBB dilanjutkan u/kgBB seterusnya
10-15 u/kgBB tiap 10 u/kgBB tiap 12
8 jam selama 1-2, jam
hari, seterusnya
dosis yang sama
tiap 12 jam
Berat 100% Dosis mula 40-50 Dosis mula 60
u/kgBB diteruskan u/kgBB diteruskan
sesuai dosis sesuai dosis
sedang sedang

Obat-obat yang diperlukan pada penderita hemofilia :


1. DDAVP
Suatu hormon sintesis anti diuretik yaitu 1-deamino-8-D-arginine vasopressine (DDAVP)
dapat menaikkan kadar F VIII C. Pada hemofilia ringan sampai sedang obat ini
menaikkan kadar F VIII C 3-6 kali lipat. Diberikan pada hemofilia dan penyakit vol
Willebrand dengan dosis 0,2-0,5 ug/kgBB. Obat ini dilarutkan dalam 30 cc garam
fisiologis dan diinfus selama 15-20 menit. Dapat diulang dalam beberapa jam. Infus yang
diberikan dengan cepat dapat menimbulkan takikardia dan muka menjadi merah. Hasil
pengobatan sangat bervariasi.
2. EACA dan Tranexamic Acid
Epsilon Amino Caproid Acid (EACA) dan asama traneksamik (Tranexamic Acid), dapat
mengurangi perdarahan pada hemofilia. Hal ini dapat diterangkan karena sifat anti
fibrinolisis EACA dan asam traneksamik menyebabkan fibrin yang sudah terbentuk tidak
segera dilisiskan, oleh plasmin. Dengan dosis 50-100 mg/kgBB intravena atau peroral,
segerak sebelum tindakan dimulai, kemudian diulang 3 jam berikutnya, dan seterusnya
setiap 6 jam selama 1 minggu berikutnya memberikan hasil yang baik. Juga dapat
diberikan dosis 4-5 g tiap 4 jam pada orang dewasa dengan hasil yang baik.
3. Kortikosteroid
Pada sinovitis akut yang terjadi sesudah serangan akut hemarthrosis pemberian
kortikosteroid sangat berguna. Kortikosteroid juga diberikan bila timbul anti koagulan
atau reaksi anafilaksis sesudah pemberian kriopresipitat.
4. Analgetik
Bila terjadi suatu rasa sakit yang hebat pada sendi, atau rasa sakit sebab lainnya, obt
analgetik dapat diberikan. Sebaiknya aspirin harus dihindarkan, begitu pula obat
analgetik lainnya yang mengganggu agregasi trombosit.
Pengobatan utama pada penderita hemofilia C terutama dengan pemberian produk
plasma (FFP). Keuntungan pemberian FFP ini adalah mudah dilakukan, sedangkan
kerugiannya dalam bentuk dapat terjadi over volume darah, potensial untuk transmisi agen
infektif, dan kemungkinan terjadi reaksi alergi. Fresh frozen plasma ini juga dapat digunakan
jika tidak didapatkan konsentrat faktor XI. Dosis pemberian untuk loading dose adalah 15-20
mL/kg IV, yang selanjutnya diberikan 3-6 mL/kg 4 kali 12 jam setelah hemostasis terjadi.
Selama pemberian harus selalu dimonitor overload cairan terutama pada anak-anak kecil;
190
adanya reaksi alergi; premedikasi yang diberikan adalah acetaminophen dan anti histamin
(seperti diphenhydramine) untuk mengurangi reaksi alergi.

9. Prognosis
Pemberian profilaktik anti hemofili faktor lebih awal secara dramatis dapat mengurangi
morbiditas dan mortalitas penderita hemofilia A dan B. Angka bertahan hidup penderita
dapat mencapai 11 tahun atau kurang tergantung dari beratnya penyakit dan pengobatan
yang diberikan. Prognosis ini akan diperburuk oleh komplikasi virus yang terjadi selama
pemberian terapi pengganti. Demikian juga halnya jika terjadi perdarahan intrakranial
maupun organ vital lainnya.

191
DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. 2002. Kamus Kedokteran, edisi 26, Jakarta : Penerbit Buku


Kedokteran EGC, Pp 523,638,1119.
2. Tambunan KL, Widjanarko A. Kelainan hemostasis bawaan. Dalam :
Soeparman dkk (eds). Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta,
2010 : 452-9.
3. Elzinga HS. Hemophilia. In : Christopher T. Coughlin (ed). Hematology. 2012.
Http://www.Hemophilia.Html.
4. Agaliotis DP. Hemophilia, overview. Department of Medicine, Division of
Hematology/Medical Oncology. University of Florida Health Science Center at
Jacksonville. Copyright 2012, eMedicine.com, Inc. Http://www. eMedicine.com.html
5. Price, Sylvia Anderson.2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit. (Edisi VI). Jakarta: EGC.Pp. 340-84
6. Hardiono, dkk. 2005. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.ED.1.2004.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
7. Antonius, dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jilid.1. 2010. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI

192
LIMFOMA HODGKIN

1. Definisi
Penyakit Hodgkin adalah keganasan sistem limforetikuler dan jaringan pendukungnya yang
sering menyerang kelenjar getah bening dan disertai gambaran histopatologi yang khas. Ciri
histopatologis yang dianggap khas adalah adanya sel Reed –Steinberg atau variannya yang
disebut sel Hodgkin dan gambaran pleimorfik kelenjar getah bening
2. Etiologi
Penyebab penyakit ini multifaktor dan belum jelas diketahui. Perubahan genetik, disregulasi
gen-gen faktor pertumbuhan, virus Epstein-Barr. dan efek imunologis, semuanya dapat
merupakan faktor tumorigenik penyakit ini.
3. Klasifikasi histologik
REAL (Revised American European Lymphoma) dan WHO membuat klasifikasi baru
sebagai berikut:
Tabel. Klasifikasi Histologik Penyakit Hodgkin Menurut REAL/WHO

Lymphocyte Predominant/ Sel RS tidk dijumpai, terdapat sel


Nodular±diffuse areas limfosit B polimorfik abnormal
(limfositik dan histiositik)
Penyakit Hodgkin Klasik (Classical Hodgkin Lymphoma = CHL)
Nodular Sclerosis (NSHL) Pita Kolagen masuk dari kapsula
mengelilingi nodul jaringan abnormal. Sel
lakunar yang khas sering dijumpai.
Infiltrate seluler mungkin bersifat
lymphocyte predominant, mixed cellularity
atau lymphocyte-depleted, eosinofilia
sering dijumpai.
Mixed Cellularity (MCHL) Terdapat bayak sel RS, jumlah sel limfosit
moderat (LDHL)
Lymphocyte Depleted Polanya dapat berupa pola retikuler
dengan sel R-S dominant dengan sedikit
limfosit atau pola fibrotic difus dimana
kelenjar getah bening diganti oleh jaringan
ikat dengan sedikit limfosit. Sel R-S
mungkin juga sedikit pada tipe ini
Lymphocyte rich (LRCHL) Sel R-S sedikit, bayak dijumpai limfosit
kecil dengan sedikit eosinofil dan sel
plasma, dapat berupa pola difus atau
noduler.

4. Manifestasi klinis
Penyakit Hodgkin dapat dijumpai pada semua umur, tetapi jarang terjadi pada anak-anak,
insiden puncak pada dekade ketiga dan pada orang tua. Terdapat predominasi pria
berbanding wanita 2:1. Gejala klinik yng dijumpai adalah:
1. Gejala utama berupa pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri,
asimetrik, padat kenyal sepert karet. Urutan kelenjar yang terkena : leher (60-70%),
aksila (10-15%), inguinal (6-12%), mediastinal (6-11%), kelenjar paraaorta dan
retroperitoneal.
2. Splenomegali sering dijumpai pada 35-50% kasus, tetapi jarang massif,
hepatomegali lebih jarang dijumpai
193
3. Mediastinum terkena pada 6-11% kasus, lebih sering pada tipe noduler
skleosis dan wanita muda. Dapat disertai efusi pleura dan sindrom vena cava
superior, lebih sering pada tipe noduler skleosis dan wanita muda.
4. Kadang-kadang lesi muncul pada jaringan ekstranodal secara primer, yaitu
pada kulit, paru, otak, dan sumsum tulang
5. Gejala konstitusional terdiri atas :
a. Simtom B : demam, penurunan BB>10% dan keringat malam
b. Demam tipe Pel-Ebstein : khas tapi jarang dijumpai
c. Pruritus dijumpai pada 25% kasus
d. Rasa nyeri setelah minum alkohol

5. Pemeriksaan penunjang

a. Laboratorium
Pada pasien penyakit Hodgkin serta pada penyakit neoplastik atau kronik lainnya mungkin
ditemukan anemia normokromik normositik derajat sedang yang berkaitan dengan
penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi, tetapi dengan simpanan besi yang normal
atau meningkat di sumsum tulang sering terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat,
terutama pada pasien dengan gejala dan biasanya menghilang dengan pengobatan.
Eosinofilia absolute perifer ringan tidak jarang ditemukan, terutama pada pasien yang
menderita pruritus. Juga dijumpai monositosis absolute limfositopenia absoluit (<1000 sel
per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut. Telah
dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indicator keparahan penyakit.
Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau terbaik, tetapi pemeriksaan
ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun masih terdapat penyakit residual.
Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase
alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan reaktan fase akut lain dalam serum
b. Sitologi Biopsi Aspirasi
Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH) sering digunakan pada diagnosis pendahuluan
limfadenopati untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti reaksi hiperplastik
kelenjar getah bening, metastasis karsinoma dan limfoma malignum.
c. Histopatologi
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtype histopatologi
walaupun sitologi biopsy aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi dilakukan bukan sekedar
mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah jaringan biopsy tersebut dapat
memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih pada rantai KGB di leher.
d. Radiologi
Termasuk didalamnya :
1. foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan
pasca aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan
sekaligus menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan
LH

6. Stadium Penyakit
Staging yang dianut saat ini adalah staging menurut Ann Arbor yang di modifikasi
sesuai konferensi Cotswald.

Table. Staging menurut system Ann Arbor modifikasi Costwald.


194
Stage I : Penyakit menyerang satu regio kelenjar getah bening atau satu struktur
limfoid (missal : limpa, timus, cincin Waldeyer).
Stage II : Penyakit menyerang dua atau lebih regio kelenjar pada satu
sisi diafragma, jumlah regio yang diserang dinyatakan dengan
subskrip angka, misal : II2, II3, dsb.
Stage III : Penyakit menyerang regio atau struktur limfoid di atas dan di bawah
diafragma.
III1 : menyerang kelenjar splenikus hiler, seliakal, dan portal
III2 : menyerang kelenjar para-aortal, mesenterial dan iliakal.
Stage IV : Penyakit menyerang organ-organ ekstra nodul, kecuali yang tergolong
E (E: bila primer menyerang satu organ ekstra nodal).

A : bila tanpa gejala sistemik


B : bila disertai gejala sistemik yaitu: panas badan ≥ 38˚C yang tak jelas sebabnya;
penurunan berat badan 10 % atau berkeringat malam atau setiap kombinasi dari 3
gejala itu selama 6 bulan terakhir penyakit ini
X : bila ada bulky mass (≥ 1/3 lebar thorax dan ≥ 10 cm untuk ukuran kelenjar).
S : bila limpa (spleen) terkena.

7. Penatalaksanaan
Terapi dapat dilihat dari beberapa aspek:
a. Penyakit yang sudah atau belum pernah diobati.
b. Penyakit yang dini (st I+II) atau yang sudah lanjut (st III+IV)
c. Akan memakai sarana-terapi-tunggal (radioterapi atau kemoterapi saja) atau
sarana terapi kombinasi (sarana terapi kombinasi bukan kemoterapi-kombinasi).
Kemoterapi penyakit ini dapat kemoterapi tunggal (memakai satu obat), kemoterapi
kombinasi (memakai banyak obat) dan akhir-akhir ini dikembangkan kemoterapi
dosis tinggi plus pencangkokan Stem Cell Autologus untuk rescue (penyelamatan)
aplasi system darah yang diakibatkan oleh kemoterapi dosis tinggi tadi. (KDT +
rPSC autologus).
1. Kasus-kasus yang sebelumnya belum pernah diobati (terapi awal)
a. Radioterapi saja.
Secara histories radioterapi saja dapat kuratif untuk penyakit Hodgkin dini (st
I+II) A. kurabilitasnya menurun bila ada penyakit dibawah diafragma, karena itu
untuk stadium IA dan IIA yang direncanakan akan diberi terapi radiasi kuratif saja
perlu dilakukan staging laparotomy untuk memastikan ada tidaknya lesi dibawah
diafragma. Bila ada lesi di bawah diafragma maka radioterapi saja tidak cukupperlu
ditambah dengan kemoterapi. Apabila bila ada tanda-tanda prognosis yang buruk
seperti : B symptoms dan bulky tumor, perlu kombinasi radioterapi + kemoterapi
(kombinasi sarana pengobatan = combined modality therapy) karena radioterapi saja
tidak lagi kuratif. Untuk kemoterapinya biasanya MOPP 6x dianggap cukup sebagai
adjuvan (tambahan) pada radioterapi. Bila tidak ada lesi dibawah diafragma
(dibuktikan dengan staging-laparotomy) untuk stadium IA diberikan radioterapi
extended field, untuk stadium IIA diberikan total nodal irradiation (TNI),dianggap
cukup kuratif.
b. Kombinasi radioterapi + kemoterapi.
Untuk semua keadaan dimana ada penyakit dibawah diafragma radioterapi harus
ditambah dengan kemoterapi adjuvant, baru dianggap kuratif. Terapi dengan
kombinasi modalitas ini juga diindikasikan bila penyakitnya stadium IIA tetapi pasien
menolak laparotomi atau memang tidak akan dilakukan laparotomi karena ada
kontraindikasi.
195
Untuk stadium yang lanjut (st III dan IV) terapi kuratif utama adalah
kemoterapi. Kalau ada lesi yang besar (bulky mass) dengan tambahan huruf X pada
stadiumnya, maka pada tempat ini ditambahkan radioterapi adjuvant dosis kuratif,
sesudah kemoterapi.
Kombinasi radio + kemoterapi ini juga dianjurkan pada mereka yang menunjukkan
tanda-tanda prognosis yang buruk, yaitu : 1. Massa mediastinum yang besar. 2. B-
symtoms. 3. kelainan dihilus paru. 4. histologinya bukan Lymphocytic predominant
dan 5. Stadium ≥ III.
c. Kemoterapi
Semula kemoterapi sebagai terapi utama diberikan untuk stadium III dan IV saja,
namun sering terjadi relaps, terutama bila ada bulky mass karena itu untuk tempat-
tempat yang lesinya bulky sesudah kemoterapi perlu radioterapi adjuvant pada
tempat yang semula ada bulky mass tadi. Dengan cara ini angka kesembuhan nya
cukup tinggi.
Banyak regimen kemoterapi yang dibuat untuk penyakit Hodgkin. Ada yang
mengunakan alkylating agent, ada yang tidak. Alkylating agent dicurigai sebagai
penyebab timbulnya kanker sekunder dan sterilitas. Adrianisin menyebabkan
kelainan jantung; Bleomisin kelainan paru; terutama bila dikombinasikan dengan
radioterapi mediastinum.
Regimen-regimen yang kuratif selalu menggunakan kombinasi obat. Regimen yang
menggunakan alkylating agent, misalnya :
MOPP : -M = Mustard nitrogen 6mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- O = Onkovin = Vinkristin 1,2 mg/sqm i.v. hari ke 1,8
- P = Prokarbazin 100 mg/sqm p.o hari ke 1-14
- P = Prednison 40 mg/sqm p.o. hari ke 1-14 diulang selang 28 hari bila
memenuhi syarat.

Modifikasi regimen MOPP ini juga ada yaitu COPP dan LOPP.
Pada COPP M diganti dengan C + Cyclophosphamide 800 mg/sqm i.v. hari ke 1,8
atau 3x50 mg/sqm p.o. dd hari ke 1-14. sedangkan pada LOPP M diganti dengan L
+ Leukeren = Chlorambucil 8 mg/sm dd p.o. hari ke1-14.
Regimen yang tanpa alkylating agent misalnya ABVD atau ABV saja.
A = Adriamisin 25 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
B = Bleomisin 10 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
V = Vinblastin 6 mg/sqm i.v. hari ke 1 dan 14
(D)= DTIC 150 mg/sqm i.v. hari ke 1-5 diulang selang 4 minggu
Jadi kedua regimen itu dipakai sebagai terapi awal. Kedua regimen itu tidak cross
resistant. Sesuai dengan hipotesis dari Goldie dan Coldman dapat dipakai MOPP
dulu, atau ABV(D) dulu atau begantian MOPP-ABVD-MOPP-ABVD dst atau regimen
hibrida MOPP-ABV(D), hasilnya sama baik, namun masih ada silang pendapat.
2. Terapi kasus yang telah diobati sebelumnya
Disini dimaksudkan terapi untuk kasus yang relaps, refrakter sejak terapi awal, atau
setelah diobati beberapa kali. Kadang-kadang MOPP atau ABVD masih dapat
dipakai untuk mendapatkan remisi karena dua regimen ini non-cross-resistant,
namun angka remisinya kecil dan cepat kambuh lagi. Kalau kedua regimen baku itu
tidak dapat menolong lagi dipakai regimen-regimen lain yang digolongkan dalam
salvage-therapy (= terapi penyelamatan). Jadi salvage kemoterapi diberikan untuk
mereka yang :
1. mengalami relaps sesudah remisi lengkap
2. resistant terhadap terapi

196
8. Prognosis
Prognosis penyakit Hodgkin ini relatif baik. Prognosis ditentukan oleh derajat penyakit,
umur, volume lesi, dan tipe histologik. Secara umum, masa hidup penderita Limfoma
Hodgkin menurut penyakitnya adalah :
Masa bebas penyakit 5 tahun setelah terapi :
Derajat I-II : 85%
Derajat IIIA : 70%
Derajat IIB&IV : 50%
Oleh karena dapat hidup lama, kemungkinan mendapatkan late complication makin besar.
Late complication itu antara lain :
1. timbulnya keganasan kedua atau sekunder
2. disfungsi endokrin yang kebanyakan adalah tiroid dan gonadal
3. penyakit CVS terutama mereka yang mendapat kombinasi radiasi dan
pemberian antrasiklin terutama yang dosisnya banyak (dose related)
4. penyakit pada paru pada mereka yang mendapat radiasi dan bleomisin yang
juga dose related
5. pada anak-anak dapat terjadi gangguan pertumbuhan

197
DAFTAR PUSTAKA

1. Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rogers GM. Parasvekas F Glader B.


Wintrobe’s Clinical Hematology. 11th edition. Philadelphia : Lippincott-William &
Wilkins, 2004
2. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi.
Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2005
3. Waspadji S, Rachman. Limfoma Hodgkin dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi V. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit
FKUI, 2009.
4. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 2000

198
LIMFOMA NON HODGKIN

1. Definisi
Limfoma maligna adalah suatu penyakit keganasan primer dari jaringan limfoid dan jaringan
pendukunnya. Penyakit ini dibagi dalam 2 golongan besar yaitu Limfoma Hodgkin dan
Limfoma non hodgkin.
Limfoma Non Hodgkin pada dasarnya adalah sel limfosit yang berada pada salah satu
tingkat defernsiasinya dan berpoliferasi secara banyak
2. Etiologi
- Abnormalitas sitogenik, seperti translokasi kromosom
- Infeksi virus: virus Epstein –Barr yang berhubungan dengan limfoma Burkit
- Infeksi HTLV-1 (Human Tlymphotropic Virus tipe 1)
3. Gejala Klinis dan Klasifikasi

Tabel. Klasifikasi Limfoma NonHodgkin


IWF Raport Lukes & Collins
*Low Grade Lymphoma
- small lymphocyte DLWD SL
- Folliculer, small cleaved cell NLPD SC-FCC
- Folliculer, mixed small cleaved NML SC-FCC; Lg C-Fcc
- Folliculer, mixed small cleaved and
large cell
*Intermediate Grade Lymphoma
-Folliculer, large cell NH Lg C; Lg NC-FCC
-Diffuse, small cleaved cell DLPD SC-FCC-D
-Diffuse, mixed (small and large cell) DM SC-D; Lg C-D
-Difuse, large cell DH LgC-Fcc-D; LgNC-Fcc-D
*High Grade
-Immunoblastik (large cell) Lymphoblastic Lb1 sarcoma
-Lymphoblastic Burkit Convulated T cell
-Small non cleaved cell SNC-FCC
Keterangan
DLWD =Diffuse Lymphocyte Well Differentiated
NLPD = Noduler Lymphocytic poorly Differentiated
DLPD = Diffuse Lymphocytic poorly Differentiated
DML = Diffuse Mixed Lymphoma
DHL = Diffuse Hitiocytic Lymphoma
DUL = diffuse Undifferentiated lymphoma
NML = Noduler mixed lymphoma
NH = Noduler Histiocytic
NC = Non cleaved
FCC = Folliculer centre cell
Lbl = Lymphoblastic
C = Cleaved
S = Small
Lg = Large
D = Diffuse

Gejala klinis meliputi keluhan – keluhan penderita dan gejala sistemik, pembesaran
kelenjar dan penyebaran ektra nodal. Pembesaran kelenjar getah bening merupakan
keluhan utama sebagian besar penderita limfoma maligna yaitu 56,1%. Urutan
199
kelenjar getah bening yang paling sering terkena adalah kelenjar servikal (78,1%),
kelenjar inguinal (65,6%), kelenjar aksiler (46,6%), kelenjar mediastinal (21,8%),
kelenjar mesenterial (6,2%). Penyebaran extra nodal yang paling sering dijumpai
adalah ke hepar, pleura, paru-paru dan sum-sum tulang. Penyebaran yang jarang
tapi pernah dilaporkan adalah ke kulit, kelenjar prostat, mammae, ginjal, kandung
kencing, ovarium, testis, medula spinalis serta traktus digestivus.
Ukurannya bervariasi, mungkin akan berikatan dengan jaringan ikat tapi mudah
digerakkan dibawah kulit. Pada jenis yang ganas dan pada penyakit yang sudah
stadium lanjut sering dijumpai gejala sistemik.

4. Stadium Penyakit
Untuk menentukan stadium penyakit atau menentukan luasnya penyebaran penyakit dipakai
staging menurut simposium penyakit Hodgkin di Ann Arbor yaitu Rye staging yang
disempurnakan oleh kelompok dari Stanford University yang ditetapkan pada simposium
tersebut.
Stadium klinik dari limfoma maligna menurut ANN Arbor
Stadium Kelenjar – organ yang terserang
I I Tumor terbats pada kelenjar getah bening di satu
IE regio
II II Bila mengenai satu organ ekstralimfatik/ektranodal
Tumor mengenai dua kelenjar getah bening di satu
IIE sisi diafragma
Satu organ ekstra limfatik disertai kelenjar getah
IIS bening di dua sisi diafragma
IIES Limpa disertai kelenjar getah bening di satu diafragma
III III Keduanya
Tumor mengenai kelenjar getah bening di dua sisi
IIIE diafragma
Satu organ ekstralimfatik disertai kelenjar getah
IIIS bening di dua sisi diafragma
Limpa disertai kelenjar getah bening di dua sisi
IIIES diafragma
IV IV Keduanya
Penyebaran luas pada kelenjar getah bening dan
organ ekstralimfatik

Masing-masing stadium masih dibagi lagi menjadi dua subklasifikasi A dan B


A. Bila tanpa keluhan
B. Bila terdapat keluhan sistemik sebagi berikut:
- Panas badan yang tidak jelas sebabnya, kumat-kumatan dengan suhu diatas
38oC
- Penurunan berat badan lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan
- Keringat malam dan gatal-gatal

5. Pendekatan Diagnositik
Untuk menegakkan diagnosis Limfoma maligna diperlukan berbagai macam pemeriksaan,
disamping untuk memastikan penyakitnya juga untuk menentukan jenis histopatologinya
maupun staging penderita
- Stadium klinis
Pemeriksaan-pemeriksaan yang diperlukan untuk menentukan stadium klinik adalah:

200
1. Anamnesa mengenai keluhan pembesaran kelenjar dan keluhan sistemik
berupa demam, penurunan berat badan, keringat malam dan gatal-gatal. Penderita
tanpa keluhan masuk dalam subklasifikasi A, sedangkan bila disertai keluhan
sistemik masuk dalam subklasifikasi B dari Ann Arbor.
2. Pemeriksaan fisik dengan mencari adanya pembesaran kelenjar getah
bening diseluruh tubuh, cincin waldeyer, pembesaran organ ekstra limfatik yang
sering terjadi pada limfoma non Hodgkin
3. Biopsi kelenjar getah bening untuk menentukan apakah penderita LH atau
LNH.
4. Pemeriksaan radiologi meliputi foto dada PA/ lateral, tomografi mediastinum,
limfografi kedua tungkai bawah.
5. Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah lengkap, tes faal hati
termasuk alkali fosfatase dan elektroforese protein, tes faal ginjal termasuk urin
lengkap, BUN, serum kreatinin, asam urat dan elektrolit namun semuanya
pemeriksaan ini tidak spesifik
Stadium Patologi
Untuk menentukan stadium patologi diperlukan pemeriksaan antara lain
1. Pemeriksaan aspirasi biopsi sum-sum tulang daerah kristailiaka dengan
jarum jamshidi
2. Pemeriksaan laparaskopi dengan indikasi pada staging klinis IB, IIB, IIIA dan
IIIB
3. Pemeriksaan laparatomi dengan indikasi pada staging klinik I-II (A dan B) dan
IIIA
4. Pemeriksaan cairan effusi secara sitomorfologi.
Disamping pemeriksaan tersebut di atas guna penentuan stadium klinis dan patologi masih
terdapat banyak pemeriksaan yang hanya dilakukan pada pusat kedokteran tertentu dalam
rangka penelitian lanjutan untuk penderita limfoma.
Pemeriksaan yang dimaksud adalah:
a. Pemeriksaan Whole body scintigram dengan Galium-67 dan selenium 75
b. Whole body computed tomography
c. Ultrasonografi hati dan abdomen
d. Berbagai pemeriksaan immunologi guna menentukan status imunologi
penderita
e. Penentuan serum ion, total iron capacity, ceruloplasmin, zinc, hepatoglobin,
fibrinogen, hydroxyprolin dalam urin, leucocyte alkali phospatase, hitung limfosit
absolut, antibodi pada virus epstein barr serta HLA
6. Tatalaksana
Sesudah diagnosis patologi dan stagingnya ditentukan maka mulailah dipikirkan
tentang pengobatannya.
Pengobatan penderita LNH menurut klasifikasi rapport
Patologi Definisi Stadiu Pengobatan
m
Unfavourable Semua limfoma difus I, II Radiasi dari kelenjar yang terserang
histologi kecuali DLWD (DLPD, disertai pemberian kemoterapi
DH, DM, DU, NH) ajuvant C-MOPP, BACOP, CVP
III, IV atau ABP
kemoterapi CVP, C-MOPP,
Favourable Semua limfoma noduler I BACOP, CHOP, BCM, ABP
histology kecuali noduler histiocytic Radiasi pada daerah yang
II,III,IV terserang atau sedikit meluas

201
Kemoterapi menggunakan
chlorambucil atau kombinasi CVP.
Radioterapi diperlukan untuk tumor
besar disatu tempat
Keterangan:
C-MOPP : Cyclophosphamide, Vincristine, procarbazine, prednisolone
CVP : Cyclophosphamide, Vincristine, prednisolone
BACOP : Bleomycine, adriamycine, Cyclophospamide,
vincristine, prednisolone
CHOP : Adriamycine, Bleomycine, prednisolone

Pengobatan penderita dengan LNH menurut klasifikasi IWF


Gradasi Lokal Lanjut
Rendah Radiasi bagian yang terserang Kemoterapi (Chlorambucil atau CVP)
Sedang Kemoterapi (CHOP) di sertai Kemoterapi (minimal CHOP atau
radiasi bagian yang terserang kombinasi kemoterapi generasi baru)
Tinggi Kemoterapi intensif radiasi Kemoterapi intensif radiasi

7. Prognosis
Prognosis dari penderita limfoma sangat ditentukan dari:
a. Stadium dari penyakitnya dan tipe histologinya
b. Usia penderita. Pada usia diatas 60 tahun mempunyai prognosis yang kurang
baik
c. Besarnya tumor. Pada penderita dengan ukuran tumor yang besar (ukuran
diameter lebih dari 10cm) terutama kalau terletak di mediastenum mempunyai
prognosis yang kurang baik.
d. Pada penderita yang terserang extra nodal yang multipel terutama apabila
mengenai sum-sum tulang dan hati mempunyai prognosis yang kurang baik.
e. Pada penderita yang progesif selama mendapat pengobatan atau relaps
dalam waktu kurang dari satu tahun setelah mendapat kemoterapi yang intensif
mempunyai prognosis yang kurang baik

202
DAFTAR PUSTAKA
1. Mansjoer A,Kuspuji T, Rakhmi S, editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi II.
Jilid 1. Penerbit Buku Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta, 2001
2. Hoffbrand A V, Pettit J E, Darmawan I, editor. Kapita Selekta Haematologi
(Essential Haematology). Edisi 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta, 2005
3. Reksodiputro A. H.Limfoma Non Hodgkin dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Edisi V. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta : Balai penerbit
FKUI, 2009.
4. Isselbacher K.J, Braunwald E, Asdie H Dr Prof, et al. HARRISON Prinsip-
prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 4. Edisi 13. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta, 2000

203
LIMFADENITIS

1. Definisi
Peradangan pada satu atau beberapa kelenjar getah bening. Peradangan tersebut akan
menimbulkan hiperplasia kelenjar getah bening hingga terasa membesar secara klinik.

2. Etiologi
Limfadenitis bisa disebabkan oleh infeksi dari berbagai organisme yaitu bakteri,virus,
protozoa, riketsia atau jamur. Secara khusus penyebaran ke kelenjar getah bening
terjadi melalui infeksi kulit, telinga, hidung atau mata. Lymphadenitis hampir selalu
dihasilkan dari sebuah infeksi, yang kemungkinan disebabkan oleh bakteri, virus,
protozoa, ricketsia, atau jamur. Ciri khasnya, infeksi tersebut menyebar menuju kelenjar
getah bening dari infeksi kulit, telinga, hidung, atau mata atau dari beberapa infeksi
seperti infectious mononucleosis, infeksi cytomegalovirus, infeksi streptococcal,
tuberkulosis, atau sifilis. Infeksi tersebut bisa mempengaruhi kelenjar getah bening atau
hanya pada salah satu daerah pada tubuh.

3. Patofisiologi
Kelenjar getah bening (KGB) adalah bagian dari sistem pertahanan tubuh. Tubuh kita
memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya di daerah sub
mandibular, ketiak atau lipat paha yang teraba normal pada orang sehat. Terbungkus
kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pembentuk pertahanan tubuh dan
merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembuluh-pembuluh getah
bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke kelenjar getah
bening sehingga dari lokasi kelenjar getah bening akan diketahui aliran pembuluh limfe
yang melewatinya. Oleh karena dilewati oleh aliran pembuluh getah bening yang dapat
membawa antigen dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang
menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahanan tubuh
yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening
membesar.

Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel pertahanan
tubuh yang berasal dari kelenjar getah bening itu sendiri seperti limfosit, sel plasma,
monosit dan histiosit atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk
mengatasi infeksi di kelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi sel-sel ganas atau
timbunan dari penyakit metabolite macrophage (gaucher disease). Dengan mengetahui
lokasi pembesaran kelenjar getah bening maka kita dapat mengarahkan kepada lokasi
kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran kelenjar getah bening.
Benjolan, bisa berupa tumor baik jinak atau ganas, bisa juga berupa pembesaran
kelenjar getah bening. Kelenjar ini ada banyak sekali di tubuh kita, antara lain di daerah
leher, ketiak, dalam rongga dada dan perut, di sepanjang tulang belakang kiri dan
kanan sampai mata kaki. Kelenjar getah bening berfungsi sebagai penyaring bila ada
infeksi lokal yang disebabkan bakteri atau virus. Jadi, fungsinya justru sebagai benteng
pertahanan tubuh.

Jika tidak terjadi infeksi, kemungkinan adalah tumor. Apalagi bila pembesaran kelenjar
didaerah-daerah tersebut di atas, pertumbuhannya cepat dan mudah membesar. Bila
sudah sebesar biji nangka, misalnya, bila ditekan tidak sakit, maka perlu diwaspadai.
Jalan terbaik, adalah dilakukan biopsy di kelenjar tersebut. Diperiksa jenis sel-nya untuk
memastikan apakah sekedar infeksi atau keganasan. Jika tumor dan ternyata ganas,
204
pembesaran kelenjar akan cepat terjadi. Dalam sebulan, misalnya sudah membesar
dan tak terasa sakit saat ditekan. Beda dengan yang disebabkan infeksi, umumnya
tidak bertambah besar dan jika daerah di sekitar benjolan ditekan,terasa sakit.

4. Manifestasi Klinis
Gejala untuk menganalisa apakah terkena penyakit ini adalah kelenjar getah bening
yang terserang biasanya akan membesar dan jika diraba terasa lunak dan nyeri,
selain itu gejala klinis yang timbul adalah demam, nyeri tekan, dan tanda radang.
Kulit di atasnya terlihat merah dan terasa hangat, pembengkakan ini akan
menyerupai daging tumbuh atau biasa disebut dengan tumor. Dan untuk
memastikan apakah gejala-gejala tersebut merujuk pada penyakit limfadenitis maka
perlu adanya pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan di bawah mikroskop.

Limfadenitis pada taraf parah disebut limfadenitis kronis. Limfadenitis ini terjadi
ketika penderita mengalami infeksi kronis, misal pada kondisi ketika seseorang
dengan faringitis kronis akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening leher
(limfadenitis). Pembesaran di sini ditandai oleh tanda radang yang sangat minimal
dan tidak nyeri. Pembesaran kronis yang spesifik dan masih banyak di Indonesia
adalah akibat tuberkulosa. Limfadenitis tuberkulosa ini ditandai oleh pembesaran
kelenjar getah bening, padat/keras, multiple dan dapat berhubungan satu sama lain.
Dapat pula sudah terjadi perkijuan seluruh kelenjar, sehingga kelenjar itu melunak
seperti abses tetapi tidak nyeri seperti abses banal. Apabila abses ini pecah kekulit,
lukanya sulit sembuh oleh karena keluar secara terus menerus sehingga seperti
fistula.
Limfadenitis tuberculosa pada kelenjar getah bening dapat terjadi sedemikian rupa,
besar dan berhubungan sehingga leher penderita itu disebut seperti bull neck. Pada
keadaan seperti ini kadang-kadang sulit dibedakan dengan limfoma malignum.
Limfadenitis tuberkulosa diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologi,
terutama yang tidak disertai oleh tuberkulosa paru.

5. Diagnosis
Diagnosis dilakukan berdasarkan gejala-gejalanya. Untuk membantu menentukan
penyebabnya, bisa dilakukan biopsi (pengangkatan jaringan untuk diperiksa di bawah
mikroskop).
Biasanya, lymphadenitis bisa didiagnosa berdasarkan gejala-gejala dasar, dan hal itu
menyebabkan infeksi sekitarnya yang nyata. Ketika penyebab tersebut tidak dapat

205
diidentifikasi dengan mudah, biopsi (pengangkatan dan penelitian pada contoh jaringan
di bawah mikroskop) dan kultur (contoh dikirim ke laboratorium dan diletakkan pada
kultur medium yang membiarkan mikroorganisme untuk berkembang) kemungkinan
diperlukan untuk memastikan diagnosa dan untuk mengidentifikasikan organisme
penyebab infeksi.

 Anamnesis

Dari anamnesis dapat diperoleh:


1. Lokasi pembesaran kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening pada dua sisi leher secara mendadak
biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan bagian atas. Pada
infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya pembesaran KGB hanya satu sisi saja.
Apabila berlangsung lama (kronik) dapat disebabkan infeksi oleh mikobakterium,
toksoplasma, ebstein barr virus atau citomegalovirus.

2. Gejala-gejala penyerta (symptoms)


Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab infeksi
saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan penurunan berat
badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau keganasan. Demam yang
tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri sendi meningkatkan kemungkinan
oleh penyakit kolagen atau penyakit serum (serum sickness), ditambah riwayat
obat-obatan.

3. Riwayat penyakit
Adanya peradangan tonsil (amandel) sebelumnya mengarahkan kepada infeksi
oleh streptokokus. Adanya infeksi gigi dan gusi dapat mengarahkan kepada
infeksi bakteri anaerob.

4. Riwayat pekerjaan dan perjalanan


Paparan terhadap infeksi / kontak sebelumnya kepada orang dengan infeksi
saluran nafas atas, faringitis oleh Streptococcus, atau tuberculosis turut
membantu mengarahkan penyebab limfadenopati. Riwayat perjalanan atau
pekerjaan, misalnya perjalanan ke daerah-daerah Afrika dapat mengakibatkan
penyakit Tripanosomiasis. Orang yang bekerja di hutan dapat terkena
Tularemia.

 Pemeriksaan Fisik

Karakteristik dari kelenjar getah bening:


Kelenjar Getah Bening dan daerah sekitarnya harus diperhatikan. Kelenjar getah
bening harus diukur untuk perbandingan berikutnya. Harus dicatat ada tidaknya nyeri
tekan, kemerahan, hangat pada perabaan, dapat bebas digerakkan atau tidak dapat
digerakkan, apakah ada fluktuasi, konsistensi apakah keras atau kenyal.
 Ukuran: normal bila diameter <1cm (pada epitroclear >0,5cm dan lipat
paha >1,5cm dikatakan abnormal).
 Nyeri tekan: umumnya diakibatkan peradangan atau proses
perdarahan.
 Konsistensi: keras seperti batu mengarahkan kepada keganasan,
padat seperti karet mengarahkan kepada limfoma; lunak mengarahkan
206
kepada proses infeksi; fluktuatif mengarahkan telah terjadinya
abses/pernanahan.
 Penempelan: beberapa Kelenjar Getah Bening yang menempel dan
bergerak bersamaan bila digerakkan. Dapat akibat tuberkulosis, sarkoidosis
keganasan.

Pembesaran KGB leher bagian posterior (belakang) terdapat pada infeksi rubela dan
mononukleosis. Pada pembesaran KGB oleh infeksi virus, KGB umumnya bilateral
(dua sisi-kiri/kiri dan kanan), lunak dan dapat digerakkan. Bila ada infeksi oleh
bakteri, kelenjar biasanya nyeri pada penekanan, baik satu sisi atau dua sisi dan
dapat fluktuatif dan dapat digerakkan. Adanya kemerahan dan suhu lebih panas dari
sekitarnya mengarahkan infeksi bakteri dan adanya fluktuatif menandakan terjadinya
abses. Bila limfadenitis disebabkan keganasan, tanda-tanda peradangan tidak ada,
KGB keras dan tidak dapat digerakkan (terikat dengan jaringan di bawahnya).

Pada infeksi oleh mikobakterium pembesaran kelenjar berjalan mingguan-bulanan,


walaupun dapat mendadak, KGB menjadi fluktuatif dan kulit diatasnya menjadi tipis,
dan dapat pecah.

 Tanda-tanda penyerta (sign):


Adanya tenggorokan yang merah, bercak-bercak putih pada tonsil, bintik-bintik
merah pada langit-langit mengarahkan infeksi oleh bakteri streptokokus. Adanya
selaput pada dinding tenggorok, tonsil, langit-langit yang sulit dilepas dan bila dilepas
berdarah, pembengkakan pada jaringan lunak leher (bull neck) mengarahkan kepada
infeksi oleh bakteri difteri. Faringitis, ruam-ruam dan pembesaran limpa
mengarahkan kepada infeksi epstein barr virus. Adanya radang pada selaput mata
dan bercak koplik mengarahkan kepada campak. Adanya pucat, bintik-bintik
perdarahan (bintik merah yang tidak hilang dengan penekanan), memar yang tidak
jelas penyebabnya, dan pembesaran hati dan limpa mengarahkan kepada leukemia.

6. Diagnosis Banding

Benjolan di leher yang seringkali disalahartikan sebagai pembesaran KGB leher :


1. Gondongan: pembesaran kelenjar parotits akibat infeksi virus, sudut rahang
bawah dapat menghilang karena bengkak.
2. Kista Duktus Tiroglosus: berada di garis tengah dan bergerak dengan
menelan.
3. Kista Dermoid: benjolan di garis tengah dapat padat atau berisi cairan.
4. Hemangioma: kelainan pembuluh darah sehingga timbul benjolan berisi
jalinan pembuluh darah, berwarna merah atau kebiruan

7. Penatalaksanaan

a. Pengobatan
Pengobatan tergantung dari organisme penyebabnya. Untuk infeksi bakteri,
biasanya diberikan antibiotik per-oral (melalui mulut) atau intravena (melalui
pembuluh darah). Untuk membantu mengurangi rasa sakit, kelenjar getah bening
yang terkena bisa dikompres hangat. Biasanya jika infeksi telah diobati, kelenjar
akan mengecil secara perlahan dan rasa sakit akan hilang. Kadang-kadang kelenjar
yang membesar tetap keras dan tidak lagi terasa lunak pada perabaan.

207
Pembesaran KGB biasanya disebabkan oleh virus dan sembuh sendiri, walaupun
pembesaran KGB dapat berlangsung mingguan. Pengobatan pada infeksi KGB oleh
bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10 hari dengan pemantauan dalam 2 hari
pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap
antibiotic golongan penicillin dapat diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan
500 mg) tiga kali sehari atau erythromycin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali
sehari.

Bila penyebab limfadenopati adalah mycobacterium tuberculosis maka diberikan


obat anti tuberculosis selama 9-12 bulan. Bila disebabkan mycobacterium selain
tuberculosis maka memerlukan pengangkatan KGB yang terinfeksi atau bila
pembedahan tidak memungkinkan atau tidak maksimal diberikan antibiotic golongan
makrolida dan anti-mycobacterium

b. Pencegahan
Menjaga kesehatan dan kebersihan badan bisa membantu mencegah terjadinya
berbagai infeksi.

8. Prognosis

Prognosis untuk pemulihan adalah baik jika segera diobati dengan antibiotik. Dalam
kebanyakan kasus, infeksi dapat dikendalikan dalam tiga atau empat hari. Namun,
dalam beberapa kasus mungkin diperlukan waktu beberapa minggu atau bulan untuk
pembengkakan menghilang, panjang pemulihan tergantung pada penyebab infeksi.
Penderita dengan limfadenitis yang tidak diobati dapat mengembangkan abses,
selulitis, atau keracunan darah (septikemia), yang kadang-kadang fatal.

208
DAFTAR PUSTAKA
Price, A. Sylvia. 2006. Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.

209
LIMFADENOPATI
1. Definisi
Limfadenopati merupakan pembesaran kelenjar getah bening dengan ukuran lebih
besar dari 1 cm. Kepustakaan lain mendefinisikan limfadenopati sebagai
abnormalitas ukuran atau karakter kelenjar getah bening. Terabanya kelenjar getah
bening supraklavikula, iliak, atau poplitea dengan ukuran berapa pun dan terabanya
kelenjar epitroklear dengan ukuran lebih besar dari 5 mm merupakan keadaan
abnormal.
2. Etiologi
Banyak keadaan yang dapat menimbulkan limfadenopati. Keadaan-keadaan
tersebut dapat diingat dengan mnemonik MIAMI: malignancies (keganasan),
infections (infeksi), autoimmune disorders (kelainan autoimun), miscellaneous and
unusual conditions (lain-lain dan kondisi tak-lazim), dan iatrogenic causes (sebab-
sebab iatrogenik)
Obat-obat yang dapat menyebabkan limfadenopati, antara lain: alopurinol, atenolol,
kaptopril, karbamazepin, emas, hidralazin, penisilin, fenitoin, primidon, pirimetamin,
kuinidin, trimetoprimsulfametoksazol, sulindak.

210
Keterangan: ACE angiotensin-converting enzyme, ANA antinuclear antibody, CMV
cytomegalovirus, dsDNA double-stranded DNA, EBV Ebstein-Barr virus, HIV human
immunodeficiency virus, MIF titer immunoglobulin M microimmunofluorescence to
lymphogranuloma venerum antigen, Monospot heterophile antibody agglutination testing,
PPD purified protein derivative

3. Patofisiologi
Patofisiologi limfadenopati berdasarkan etiologi yang mendasari. Beberapa plasma dan
sel (misalnya sel kanker dan mikroorganisme) dalam ruang interstisial, bersama dengan
bahan selular tertentu, antigen dan partikel asing masuk ke pembuluh limfatik, menjadi
cairan limfe.
Kelenjar getah bening menyaring cairan limfe dalam perjalanan ke sirkulasi vena
sentral, menghilangkan sel-sel dan bahan lainnya. Proses penyaringan juga menyajikan
antigen kepada limfosit yang terkandung dalam KGB. Respon imun dari limfosit
211
melibatkan proliferasi sel limfosit dan makrofag, yang dapat menyerang KGB untuk
memperbesar (limfadenopati reaktif). Patogen mikroorganisme dibawa dalam cairan
limfe, dapat juga langsung menginfeksi KGB yang akan menyebabkan limfadenitis, dan
apabila terdapat sel-sel kanker dapat menginfiltrasi langsung atau proliferasi sel di KGB.

4. Lokasi Limfadenopati
Limfadenopati Servikal

Limfadenopati Epitroklear
Penyebabnya meliputi infeksi di lengan bawah atau tangan, limfoma, sarkoidosis,
tularemia dan sifilis skunder. Sebagian besar merupakan tanda keganasan.

Limfadenopati Aksila

Limfadenopati Supraklavikula
Limfadenopati supraklavikula mempunyai keterkaitan erat dengan keganasan.
Limfadenopati supraklavikula kanan berhubungan dengan keganasan di mediastinum,
paru atau esophagus. Sedangkan limfadenopati supraklavikula kiri (nodus Virchow)
berhubungan dengan keganasan abdominal (lambung, kandung empedu, pancreas,
testis, ovarium atau prostat).

212
Limfadenopati Inguinal

Limfadedenopati inguinal jarang disebabkan oleh keganasan. Limfadenopati reaktif


yang jinak dan infeksi merupakan penyebab tersering limfadenopati inguinal.
Limfadenopati generalisata
Limfadenopati generalisata lebih sering disebabkan oleh infeksi serius, penyakit autoimun,
dan keganasan, dibandingkan dengan limfadenopati lokalisata. Penyebab jinak pada anak
adalah infeksi adenovirus. Limfadenopati generalisata dapat disebabkan oleh leukemia,
limfoma, atau penyebaran kanker padat stadium lanjut.
Limfadenopati generalisata pada penderita luluh imun (immunocompromised) dan AIDS
dapat terjadi karena tahap awal infeksi HIV, tuberkulosis, kriptokokosis, sitomegalovirus,
toksoplasmosis, dan sarkoma Kaposi. Sarkoma Kaposi dapat bermanifestasi sebagai
limfadenopati generalisata sebelum timbulnya lesi kulit.
Lokasi kelenjar getah bening daerah leher dapat dibagi menjadi 6 level. Pembagian ini
berguna untuk memperkirakan sumber keganasan primer yang mungkin bermetastasis ke
kelenjar getah bening tersebut dan tindakan diseksi leher.
5. Diagnosis Limfadenopati
1. Anamnesis
• Umur penderita dan lamanya limfadenopati
Kemungkinan penyebab keganasan sangat rendah pada anak dan meningkat seiring
bertambahnya usia. Kelenjar getah bening teraba pada periode neonatal dan
sebagian besar anak sehat mempunyai kelenjar getah bening servikal, inguinal, dan
aksila yang teraba. Sebagian besar penyebab limfadenopati pada anak adalah
infeksi atau penyebab yang bersifat jinak. Berdasarkan sebuah laporan, dari 628
penderita yang menjalani biopsi karena limfadenopati, penyebab yang jinak dan
swasirna (self-limiting) ditemukan pada 79% penderita berusia kurang dari 30 tahun,
59% penderita antara 31-50 tahun, dan 39% penderita di atas 50 tahun.
Di sarana layanan kesehatan primer, penderita berusia 40 tahun atau lebih dengan
limfadenopati mempunyai risiko keganasan sekitar 4%. Pada usia di bawah 40
tahun, risiko keganasan sebagai penyebab limfadenopati sebesar 0,4%.
Limfadenopati yang berlangsung kurang dari 2 minggu atau lebih dari 1 tahun tanpa
progresivitas ukuran mempunyai kemungkinan sangat kecil bahwa etiologinya
adalah keganasan.
• Pajanan
Anamnesis pajanan penting untuk menentukan penyebab limfadenopati. Pajanan
binatang dan gigitan serangga, penggunaan obat, kontak penderita infeksi dan
riwayat infeksi rekuren penting dalam evaluasi limfadenopati persisten. Pajanan
213
setelah bepergian dan riwayat vaksinasi penting diketahui karena dapat berkaitan
dengan limfadenopati persisten, seperti tuberkulosis, tripanosomiasis, scrub typhus,
leishmaniasis, tularemia, bruselosis, sampar, dan anthrax. Pajanan rokok, alkohol,
dan radiasi ultraviolet dapat berhubungan dengan metastasis karsinoma organ
dalam, kanker kepala dan leher, atau kanker kulit. Pajanan silikon dan berilium dapat
menimbulkan limfadenopati. Riwayat kontak seksual penting dalam menentukan
penyebab limfadenopati inguinal dan servikal yang ditransmisikan secara seksual.
Penderita acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) mempunyai beberapa
kemungkinan penyebab limfadenopati; risiko keganasan, seperti sarkoma Kaposi
dan limfoma maligna non-Hodgkin meningkat pada kelompok ini. Riwayat keganasan
pada keluarga, seperti kanker payudara atau familial dysplastic nevus syndrome dan
melanoma, dapat membantu menduga penyebab limfadenopati.

• Gejala yang menyertai


Gejala konstitusi, seperti fatigue, malaise, dan demam, sering menyertai
limfadenopati servikal dan limfositosis atipikal pada sindrom mononukleosis.
Demam, keringat malam, dan penurunan berat badan lebih dari 10% dapat
merupakan gejala limfoma B symptom. Pada limfoma Hodgkin, B symptom
didapatkan pada 8% penderita stadium I dan 68% penderita stadium IV. B symptom
juga didapatkan pada 10% penderita limfoma non-Hodgkin. Gejala artralgia,
kelemahan otot, atau ruam dapat menunjukkan kemungkinan adanya penyakit
autoimun, seperti artritis reumatoid, lupus eritematosus, atau dermatomiositis. Nyeri
pada limfadenopati setelah penggunaan alkohol merupakan hal yang jarang, tetapi
spesifik untuk limfoma Hodgkin.
2. Pemeriksaan Fisik
• Karakter dan ukuran kelenjar getah bening
Kelenjar getah bening yang keras dan tidak nyeri meningkatkan kemungkinan
penyebab keganasan atau penyakit granulomatosa. Limfoma Hodgkin tipe sklerosa
nodular mempunyai karakteristik terfiksasi dan terlokalisasi dengan konsistensi
kenyal. Limfadenopati karena virus mempunyai karakteristik bilateral, dapat
digerakkan, tidak nyeri, dan berbatas tegas. Limfadenopati dengan konsistensi lunak
dan nyeri biasanya
disebabkan oleh inflamasi karena infeksi. Pada kasus yang jarang, limfadenopati
yang nyeri disebabkan oleh perdarahan pada kelenjar yang nekrotik atau tekanan
dari kapsul kelenjar karena ekspansi tumor yang cepat.
Pada umumnya, kelenjar getah bening normal berukuran sampai diameter 1 cm,
tetapi beberapa penulis menyatakan bahwa kelenjar epitroklear lebih dari 0,5 cm
atau kelenjar getah bening inguinal lebih dari 1,5 cm merupakan hal abnormal.
Terdapat laporan bahwa pada 213 penderita dewasa, tidak ada keganasan pada
penderita dengan ukuran kelenjar di bawah 1 cm, keganasan ditemukan pada 8%
penderita dengan ukuran kelenjar 1-2,25 cm dan pada 38% penderita denganukuran
kelenjar di atas 2,25 cm.
Pada anak, kelenjar getah bening berukuran lebih besar dari 2 cm disertai gambaran
radiologi toraks abnormal tanpa adanya gejala kelainan telinga, hidung, dan
tenggorokan merupakan gambaran prediktif untuk penyakit granulomatosa
(tuberkulosis, catscratch disease, atau sarkoidosis) atau kanker (terutama limfoma).
Tidak ada ketentuan pasti mengenai batas ukuran kelenjar yang menjadi tanda
kecurigaan keganasan. Ada laporan bahwa ukuran kelenjar maksimum 2 cm dan 1,5
cm merupakan batas ukuran yang memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk
menentukan ada tidaknya keganasan dan penyakit granulomatosa.

214
3. Pemeriksaan Penunjang Limfadenopati
 Laboratorium :
- Darah tepi lengkap, hapusan darah, Laju Endap Darah (LED)
Darah lengkap dan hapusan untuk melihat kemungkinan infeksi atau keganasan
darah, sedangkan LED untuk melihat adanya tanda inflamasi.
- Fungsi hati dan analisis urin: untuk melihat penyakit sistemik penyebab
limfadenopati, sebagai tambahan dapat diperiksan Laktat Dehiroginase (LDH),
asam urat, kadar kalsium dan fosfat, untuk melihat tanda keganasan.
- Serologi (toxoplasma, EBV, CMV, HIV,dll)
- Tes mantoux: jika dicurigai adanya infeksi tuberculosis.
- Rotgen Thorax: dilakukan apabila dicurigai adanya kelainan di paru seperti
tuberculosis, lymphoma dan neuroblastoma.
 Ultrasonografi (USG)
- USG merupakan salah satu teknik yang dapat mendiagnosis limfadenopati
servikalis. Dengan menggunakan USG dapat mengetahui ukuran, bentuk,
gambaran mikronodular, nekrosis intranodular serta ada atau tidaknya kalsifikasi.
Biopsi aspiasi jarum halus juga dapat digunakan utuk lebih meyakini diagnosa
limfadenopati.
 CT Scan
Dapat mendeteksi pembesaran KGB servikalis dengan diameter 5 mm atau lebih.

215
 Biopsi
Dapat dilakukan dengan mengambil sel melalui jarum. Biopsi KGB memiliki nilai
sensitivitas 98 % dan spesifisitas 95%.
6. Tatalaksana Limfadenopati
Kegagalan mengecil setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk
dilaksanakannya biopsy KGB. Biopsi dilakukan terutama bila terdapat tanda dan
gejala yang mengarah kepada keganasan. KGB yang menetap atau yang bertambah
besar, walaupun dengan pengobatan yang adekuat, mengindikasikan diagnosis
yang belum tepat.
Pembedahan atau limfadenektomi (ICD9-40.2) dilakukan jika dijumpai adanya abses
dan evaluasi dengan menggunakan USG, diperlukan untuk menangani pasien.

216
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood. L., Fisiologi Manusia: dari sel ke Sistem, Penerbit Buku Kedokteran.
EGC., Jakarta, 2001
2. Price, A. Sylvia. Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 2007
3. Oehadian, A., Pendekatan Diagnostik Limfadenopati, Continuing Medical Education,
2010.
4. Farrer, Robert., Lymphadenopathy., Differential diagnosis of lymphadenopathy.
http://www.aafp.org/afp/1998 /1015/p1313.html (diunduh tanggal 1 September 2017)
5. Price. A. Sylvia., Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran. EGC., Jakarta. 2007

217
HIV – AIDS
1. DEFINISI
Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah kumpulan gejala atau penyakit yang
diakibatkan karena penurunan kekebalan tubuh akibat adanya infeksi oleh Human
Imunodeficiency Virus (HIV) yang termasuk famili retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir
dari infeksi HIV.
2. EPIDEMIOLOGI
Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25 juta jiwa
sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha diperkirakan
mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar penderitanya adalah usia produktif ,
15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah anak-anak. Dengan jumlah kasus
baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, sekitar 370 ribu di
antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih dari dua juta orang
meninggal karena AIDS.
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya
sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya
disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika.
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia. Sebagian
besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan
prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS),
dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa Timur telah
tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated level of
epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic)
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru AIDS
yang semakin cepat terutama dalam 3 tahun terakhir dimana terjadi kenaikan tiga kali lipat
dibanding jumlah yang pernah dilaporkan pada 15 tahun pertama epidemi AIDS di
Indonesia. Dalam 10 tahun terakhir terjadi laju peningkatan jumlah kumulatif kasus AIDS
dimana pada tahun 1999 terdapat 352 kasus dan data tahun 2008 jumlah tersebut telah
mencapai angka 16.110 kasus. (Mustikawati DE dkk, 2009 ).
Dari jumlah kumulatif 16.110 kasus AIDS yang dilaporkan pada Desember 2008, sekitar
74,9% adalah laki-laki dan 24,6% adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan,
dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3% pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada
homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran
dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok heteroseksual dan penasun. Jumlah
kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008 mencapai 1.255 orang. Kumulatif
kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–29 tahun (50,82%), disusul
kelompok usia 30–39 tahun.
Rate kumulatif nasional kasus AIDS per 100.000 penduduk hingga akhir Desember 2008
adalah sebesar 7,12 per 100.000 penduduk (dengan jumlah penduduk Indonesia
227.132.350 jiwa berdasarkan data BPS tahun 2005). Proporsi kasus yang dilaporkan
meninggal sebesar 20,89%. Lima infeksi oportunistik terbanyak yang dilaporkan adalah TBC
sebanyak 8.986 kasus, diare kronis 4.542 kasus, kandidiasis orofaringeal 4.479 kasus,
dermatitis generalisata 1.146 kasus, dan limfadenopati generalisata sebanyak 603 kasus.

3. ETIOLOGI
AIDS disebabkan oleh infeksi HIV. HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang
termasuk retrovirus dari famili Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa
lapisan dimana lapisan terluar (envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada
glikoprotein gp41. Selubung glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada
218
permukaan T-helper lymphosit dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam
terdiri dari protein p17. Inti HIV dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua
rantai RNA dan enzim transkriptase reverse (reverse transcriptase enzyme). ( Merati TP
dkk,2006)
Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global terutama
disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya. Tipe yang
terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang berhubungan
erat dengan Afrika Barat. (Merati TP dkk,2006)
4. MODE PENULARAN
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui mukosa genital
(hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum suntik yang
terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi vertikal
dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas kesehatan.
Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh
.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin

5. PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena virus
mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro
dan invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular

219
dendritik, mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel
trofoblast, limfosit CD8, sel retina dan epitel ginjal.
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV dengan
bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks molekul
adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell specific
intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini diketahui
bahwa selain molekul CD4 dan ko- 4 7 sebagai
reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan HIV akan
berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan mediasi
antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4, sampul HIV
akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan bantuan enzim
transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan DNA pejamu
dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut sebagai provirus.
Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan bantuan enzim
polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi dengan
protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua protein
virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang nantinya
akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan membran
sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar replikasi
HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.
Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV

Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun, akan
terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada
berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi
pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut
masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun
yang dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi
antibodi tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang
220
pendek. Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T
sitolitik yang sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8
ini tinggi tapi ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.
6. PERJALANAN PENYAKIT
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali
seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah
10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan
gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan
gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang
juga bertahap.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala infeksi
primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang berlangsung
selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan penyakitnya amat
cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat (non-progessor).
Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan gejala-gejala
akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa lemah,
pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-
lainnya.
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok Gejala Kekerapan (%)
Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang -
mata
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan memburuk
bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan
menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.
221
Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit
CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati
generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan
turnover HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pejalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80% pengguna
narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang
dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada ODHA yang
tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus dengan infeksi
pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika suntikan, makin
mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini akan
menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan virus
HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain itu
juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan
penyakitnya biasanya lebih progresif.
7. DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Dari Anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik
riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV


- Penjaja seks laki-laki atau perempuan
- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender
(waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

222
b. Pemeriksaan fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada
tabel 6
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau kanker yang
terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma serviks
invasif.
c. Pemeriksaan penunjang
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium
yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap
HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam tubuh
yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah limfosit
Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm 3

223
Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha
Tes antibodi terhadap HIV (AI);
Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis,
tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan pemeriksaan
Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya dilakukan
jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan
narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular
seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah adanya
infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca
tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C
yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan hanya dilakukan
dengan informed consent.
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki sensitivitas
tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif, maka
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya
infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik Western
Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima vaksin
HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV
positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal dari
darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan. (Djoerban Z dkk,2006)
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang
tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang
digunakan adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3.
Bila hasil tes tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga
non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka
keadaan ini disebut sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat
pajanan atau berisiko tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau
tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.
(Djoerban Z dkk,2006).
Table 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

224
d. Stadium Klinis
Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :
a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala
yang timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala
kulit (bercak-bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber,
gangguan kognitif danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase
ini penyakit tersebut sangat menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas
merupakan reaksi tubuh terhadap masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2
minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya
sekitar 5 tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi
replikasi virus secara lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami
pembengkakan kelenjar lomfe menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun
ini bukanlah hal yang bersifat prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita.
Saat ini sudah mulai terjadi penurunan jumlah sel CD4 sebagai petunjuk
menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada tingkat 500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala
penyakit ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat
imunitas pemderita.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap


• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB
involunter > 10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis
aseptik, mielopati, neuropati perifer, miopati.

225
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M.
Tuberculosis, Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes
simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita
TB atau komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan


darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap
AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex)
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:

a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan
satu gejala minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti
kanker,malnutrisi berat atau pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua
gejala minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,
malnutrisi berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis

8. PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun
data selam 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pegobatan
dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . Secara umum, penatalaksanaan odha
terdiri atas beberapa jenis, yaitu:
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral
(ARV).
226
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang
menyertai infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis,
toksoplasmosis, sarkoma kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan
dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan.
Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan,
harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

a. Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn
 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,
zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens
dan nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.
Waktu memulai terapi ARV harus dipertimbangkan dengan seksama karena obat
antiretroviral akan diberikan dalam jangka panjang. Proses memulai terapi ARV meliputi
penilaian terhadap kesiapan pasien untuk memulai terapi ARV dan pemahaman tentang
tanggung jawab selanjutnya (terapi seumur hidup, adherence, toksisitas). Jangkauan pada
dukungan gizi dan psikososial, dukungan keluarga atau sebaya juga menjadi hal penting
yang tidak boleh dilupakan ketika membuat keputusan untuk memulai terapi ARV.
Dalam hal tidak tersedia tes CD4, semua pasien dengan stadium 3 dan 4 harus memulai
terapi ARV. Pasien dengan stadium klinis 1 dan 2 harus dipantau secara seksama,
setidaknya setiap 3 bulan sekali untuk pemeriksaan medis lengkap atau manakala timbul
gejala atau tanda klinis yang baru.Adapun terapi HIV-AIDS berdasarkan stadiumnya seperti
pada tabel 10.

Tabel 10. Terapi pada ODHA dewasa


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm 3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA
dengan CD4 <350 dengan TB paru atau
infeksi bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4

1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh,


TB paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).

227
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm 3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan
CD4 tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium
II atau III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak
ada pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada
saat ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya
terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah
sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit akan
lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila terapi
dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi
ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum
untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui,
dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun
imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 /
mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan
pada pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian
klinis saja dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam
darah (viral load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang aktif.
Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu.
Namun pada kondisi-kondisi dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi
kekebalan dengan ARV maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII).
Contohnya pada kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya,
misal pada infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah
terapi TB dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga
untuk mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.
b. Panduan Kombinasi Obat ARV
Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang dianjurkan
oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau HAART.
Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV
menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan
manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.
WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan
1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT, lamivudin
(3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin (NVP) dan
efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS seperti pada
tabel 11.

228
Tabel 11 : Terapi ARV

Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC + NVP.
Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +
NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik d4T
seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ dapat
digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada perempuan
hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV golongan NRTI
tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-masing obat.
Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 12. Pilihan obat ARV golongan NR

229
Tabel 13 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat ARV
golongan ini.
Tabel 13 : Kombinasi ARV

PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada awal
terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber
dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama
(bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan
CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan
intoleransi NNRTI.

230
DAFTAR PUSTAKA
1. Djoerban Z, Djauzi S. HIV/AIDS di Indonesia. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

2. Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan


dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2002.

3. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease: AIDS and
related disorders. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hause SL,
Jameson JL. editors. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. The United
States of America: McGraw-Hill

4. Kelompok Studi Khusus AIDS FKUI. In: Yunihastuti E, Djauzi S, Djoerban Z,


editors. Infeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta: Balai Penerbit FKUI 2005.

5. Merati TP, Djauzi S. Respon imun infeksi HIV. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta:
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI 2006

6. Mustikawati DE. Epidemiologi dan pengendalian HIV/AIDS. In: Akib AA,


Munasir Z, Windiastuti E, Endyarni B, Muktiarti D, editors. HIV infection in infants and
children in Indonesia: current challenges in management. Jakarta: Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FKUI-RSCM 2009

7. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral. ―Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi


HIV pada orang Dewasa dan Remaja‖ edisi ke-2, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2007

8. UNAIDS-WHO. Report on the global HIV/AIDS epidemic 2010: executive


summary. Geneva. 2010.

231
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS PADA ANAK

A. DEFINISI
Sistemik Lupus Eritematosus adalah sebuah penyakit autoimun yang menyerang
berbagai jaringan dan organ tubuh. Istilah ‘lupus eritematosus sistemik‘ dapat diartikan
secara bahasa sebagai ‘gigitan serigala‘, mungkin istilah ini muncul dari adanya gejala
klinis yaitu ruam pada wajah penderita SLE yang perjalanan penyakitnya sudah lama
dan belum mendapat terapi. Secara istilah, SLE dapat didefinisikan sebagai suatu
penyakit yang bersifat episodik, multisistem dan autoimun ditandai dengan adanya
proses inflamasi yang meluas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, serta munculnya
antinuklear-antibodi (ANA) pada pemeriksaan penunjang, terutama antibodi untuk
double-stranded DNA (dsDNA). Karena beragamnya organ yang dapat terkena, dan
karena sulitnya dalam menegakkan diagnosis, SLE seringkali disebut sebagai penyakit
seribu wajah (masquerader, The Great Imitators). 2,4,5

B. ETIOLOGI
Etiologi SLE belum diketahui secara pasti, namun ada faktor predisposisi secara
genetik yang dapat menyebabkan penyakit ini. Diperkirakan SLE, layaknya penyakit
autoimun lain, muncul pada seseorang yang secara genetis rentan terpapar satu atau
beberapa faktor pencetus yang ada di lingkungan. SLE berhubungan dengan munculnya
HLA-haplotype spesifik yang diwariskan: a) allel A1, B8, DR3, dan C4a muncul
umumnya pada kulit putih. b) DR2 ditemukan pada penderita SLE yang afro-amerika.
Antigen HLA A11, B8 dan B35 masing-masing memliki hubungan dengan SLE. Keluarga
maupun sanak saudara memiliki peningkatan insidens terhadap penyakit yang
berhubungan dengan disfungsi atau disregulasi sistem imun (misal: imunodefisiensi
primer, dan keganasan limforetikuler), hipergammaglobulinemia, RF, ANA dan penyakit
autoimun lainnya.4
Sebenarnya, apa yang menyebabkan berbagai kelainan imunologi yang ditemukan
pada SLE yaitu disfungsi sel T, produksi autoantibodi, pembentukan kompleks imun,
hipokomplementemia yang akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan sampai saat ini
belum dapat dipastikan. Beberapa fakta telah ditemukan tetapi belum merupakan suatu
hipotesis yang mencakup semuanya. Agaknya etiologi SLE merupakan multifaktor. 1
Beberapa hal yang disepakati berperan pada SLE adalah: 1,6,7
1. Faktor genetik sebagai predisposisi, didukung oleh adanya beberapa fakta:
- SLE ditemukan pada 70% kembar identik
- Frekuensi penemuan genotipe HLA-DR3 dan DR2 meningkat
- Frekuensi pasien SLE pada anggota keluarga yang lain juga meningkat
2. Faktor hormonal, didukung oleh fakta bahwa:
- Pasien perempuan jauh lebih banyak, terutama pada masa pubertas dan
pasca pubertas
- Pada binatang percobaan, yaitu tikus NZB/W yang dibuat menderita SLE.
Bila pada yang betina diberi hormon androgen, gejala lupus akan membaik.
Sebaliknya pada tikus jantan akan menyebabkan gejala SLE bertambah
jelek.
3. Beberapa faktor pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE
adalah, stress fisik maupun mental, infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan.
Banyak obat2 telah dilaporkan dapat memicu SLE. Namun, lebih dari 90% nya
terjadi sebagai efek samping dari salah satu dari obat2 berikut: hydralazine
(digunakan untuk hipertensi), quinidine dan procainamide (digunakan untuk
irama jantung abnormal), fenitoin (digunakan untuk epilepsi), isoniazid (Nydrazid,
Laniazid, digunakan untuk tuberculosis), d-penicillamine (digunakan untuk
232
rheumatoid arthtritis). Obat-obatan ini diketahui menstimulasi sistem imun dan
menyebabkan SLE. Untungnya, SLE yang dipicu obat-obatan jarang (kurang dari
5% dari seluruh pasien SLE) dan biasanya membaik jika obat-obat tersebut
dihentikan
4. Virus sebagai penyebab SLE pernah mendapat perhatian besar oleh karena
ditemukan struktur retikular intrasitoplasma yang menyerupai agregat intrasel
miksovirus. Tetapi ternyata kemudian dibantah dan sampai sekarang masih tetap
dianggap tidak ada bukti nyata virus sebagai etiologi.
C. EPIDEMIOLOGI
Lupus adalah penyakit yang langka, namun tidak jarang. Kejadian lupus jarang pada
anak usia sekolah, namun frekuensinya meningkat pada remaja.
SLE terjadi pada 6 dari 1.000.000 orang dibawah umur 15 tahun, dengan 17% orang
dengan SLE muncul gejala pada usia kurang dari 16 tahun dan 3,5% diantaranya mulai
pada usia kurang dari 10 tahun. Pada individu dibawah 20 tahun, sekitar 73%
didiagnosis SLE pada umur lebih dari 10 tahun. Ini membuat SLE dikelompokkan
sebagai penyakit pada usia remaja. SLE dapat muncul pada pria maupun wanita, dari
etnis manapun, berapapun usianya. Namun diagnosis SLE 4,3 kali lebih sering muncul
pada anak perempuan dibandingkan laki-laki. Perbedaan ini tidak nyata sampai usia 9
tahun keatas, ketika beberapa penelitian menunjukkan perbandingan perempuan : laki-
laki sebanyak 10:1 pada akhir usia remaja. Dalam hal etnis, lupus lebih sering muncul
pada penduduk Afrika, penduduk asli Amerika, Hispanik dan Asia, dibandingkan dengan
ras Kaukasia. 2,3,4
D. PATOGENESIS 1,8
SLE adalah penyakit autoimun yang mengenai multipel organ. Kadang-kadang, yang
menonjol hanya satu organ tubuh yang terkena, misalnya ginjal pada nefritis lupus,
tetapi lambat laun organ-organ lain akan menyusul. Gambaran klinis yang ditemukan
terjadi akibat terbentuknya autoantibodi terhadap berbagai macam antigen jaringan.
Autoantibodi yang paling banyak ditemukan adalah terhadap inti sel, yaitu terhadap DNA
tubuh sendiri berupa anti DNA double stranded (ds-DNA), juga anti DNA single stranded
(ss-DNA).
Gangguan imunitas pada SLE ditandai oleh persistensi limfosit B dan T yang bersifat
autoreaktif. Autoantibodi yang terbentuk akan berikatan dengan autoantigen membentuk
kompleks imun yang mengendap berupa depot dalam jaringan. Akibatnya akan terjadi
aktivasi komplemen sehingga terjadi reaksi inflamasi yang menimbulkan lesi di tempat
tersebut.
Faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 25-50%
pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, diduga menunjukkan kaitannya
dengan faktor genetik. Penyakit lupus disertai oleh petanda penyakit genetik seperti
defisiensi herediter komplemen (seperti C1q, C1r, C1s, C4 dan C2) dan imunoglobulin
(IgA), atau kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik
yang berperan dalam SLE bersifat multipel, kompleks dan interaktif.
Jumlah sel B meningkat pada pasien dengan lupus yang aktif dan menghasilkan
peningkatan kadar antibodi dan hipergamaglobulinemia. Jumlah sel B yang
memproduksi IgG di darah perifer berkorelasi dengan aktivitas penyakit. Aktivasi sel B
poliklonal disebabkan oleh antigen eksogen, antigen yang merangsang proliferasi sel B
atau abnormalitas intrinsik dari sel B. Antibodi IgG anti-dsDNA dengan afinitas tinggi
juga merupakan karakteristik, yang disebabkan oleh hipermutasi somatik selama aktivasi
sel B poliklonal yang diinduksi oleh faktor lingkungan seperti virus atau bakteri.
Selain memproduksi autoantibodi, sel B juga mempengaruhi presentasi antigen dan
respon diferensiasi sel Th. Gangguan pengaturan produksi autoantibodi disebabkan
gangguan fungsi CD8+, natural killer cell dan inefisiensi jaringan idiotip-antiidiotip.
233
Imunoglobulin mempunyai struktur tertentu pada bagian determinan antigenik yang
disebut idiotip, yang mampu merangsang respons pembentukan antibodi antiidiotip.
Sebagai respons tubuh terhadap peningkatan kadar idiotip maka akan dibentuk
antiidiotip yang bersifat spesifik terhadap berbagai jenis struktur determin antigen sesuai
dengan jenis idiotip yang ada. Secara teoritis mungkin saja salah satu dari antiidiotip
mempunyai sifat spesifik antigen diri hingga dengan pembentukan berbagai antiidiotip
dapat timbul aktivitas autoimun. Persistensi antigen dan antibodi dalam bentuk kompleks
imun juga disebabkan oleh pembersihan yang kurang optimal dari sistem
retikuloendotelial. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas sistem retikuloendotelial
dalam membersihkan kompleks interaksi antara autoantibodi dan antigen yang terlalu
banyak. Dengan adanya kadar autoantibodi yang tinggi, pengaturan produksi yang
terganggu dan mekanisme pembersihan kompleks imun yang terganggu akan
menyebabkan kerusakan jaringan oleh kompleks imun.
Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis autoantibodi
terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis autoantibodi yang paling sering
dijumpai pada penderita lupus adalah antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA,
RNA, nukleoprotein, kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer anti-DNA
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit lupus.
Beberapa antibodi antinuklear mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat
sitotoksik dengan mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah
destruksi sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc
imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai sitopenia autoimun.
Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat membahayakan karena dapat berinteraksi
dengan substansi antikoagulasi, diantaranya antiprotrombinase (antibodi terhadap
glikoprotein trombosit), sehingga dapat terjadi trombositopenia, dan trombosis disertai
perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk kompleks imun
yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.
Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis ataupun bernilai
sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi antinuklear dapat ditemukan pada
bukan penderita lupus, atau juga dalam darah bayi sehat dari seorang ibu penderita
lupus. Selain itu diketahui pula bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan
secara pasif dengan serum penderita lupus.
Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis SLE didasarkan pada
adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang terkena (glomerulus renal, tautan
dermis-epidermis, pleksus koroid) dan aktivasi komplemen oleh kompleks imun
menyebabkan hipokomplemenemia selama fase aktif dan adanya produk aktivasi
komplemen.
Beberapa kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa
terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan afinitas
tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada dsDNA dan
menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.
Kompleks imun menyebabkan lesi inflamasi melalui aktivasi kaskade komplemen.
Akibatnya terdapat faktor kemotaktik (C3a, C5a), adanya granulosit dan makrofag
sehingga terjadi inflamasi, seperti vaskulitis. Beberapa faktor terlibat dalam deposit
kompleks imun pada SLE, antara lain banyaknya antigen, respon autoantibodi yang
berlebih dan penurunan pembersihan kompleks imun karena inefisiensi atau kelelahan
sistem retikuloendotelial. Penurunan fungsi ini dapat disebabkan oleh penurunan
reseptor komplemen CR1 pada permukaan sel. Pada lupus nefritis, lesi ginjal mungkin
terjadi karena mekanisme pertahanan di daerah membran basal glomerulus, yaitu ikatan
langsung antara antibodi dengan membran basal glomerulus, tanpa intervensi kompleks
imun.
234
Pasien dengan SLE aktif mempunyai limfositopenia T, khususnya bagian CD4+ yang
mengaktivasi CD8+ (T-supressor) untuk menekan hiperaktif sel B. Terdapat perubahan
(shift) fenotip sitokin dari sel Th0 ke sel Th2. Akibatnya sitokin cenderung untuk
membantu aktivasi sel B melalui IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6.
Autoantibodi yang terdapat pada SLE ditujukan pada antigen yang terkonsentrasi
pada permukaan sel apoptosis. Oleh karena itu abnormalitas dalam pengaturan
apoptosis mempunyai peranan penting dalam patogenesis SLE. Pada SLE terjadi
peningkatan apoptosis dari limfosit. Selain itu, terjadi pula persistensi sel apoptosis
akibat defek pembersihan (clearance). Kadar C1q yang rendah mencegah ambilan sel
apoptosis oleh makrofag. Peningkatan ekspresi Bcl-2 pada sel T dan protein Fas pada
CD8+ mengakibatkan peningkatan apoptosis dan limfositopenia.
Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun
mempunyai peranan penting dalam predisposisi dan derajat keparahan penyakit.
Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan menopause, diikuti
anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh Cooper dkk menyatakan bahwa
menars yang terlambat dan menopause dini juga dapat mendapat LES, yang
menandakan bahwa pajanan estrogen yang lebih lama bukan risiko terbesar untuk
mendapat LES.
Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon estrogen
merupakan karakteristik pada SLE. Anak-anak dengan SLE juga mempunyai kadar
hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH (Luteinizing hormone) dan prolaktin yang
meningkat. Pada perempuan dengan SLE, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa
hidroksiestron dan estriol. Frekuensi SLE juga meningkat saat kehamilan trimester
ketiga dan postpartum. Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat
perkembangan penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan
mempertinggi angka kematian penderita jantan.
Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi
genetiknya belum dapat diungkapkan secara jelas, menunjukkan faktor lingkungan juga
berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry
yang mengacau regulasi sistem imun.

E. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini seringkali diawali dengan gejala yang samar-samar, seperti demam,
fatigue, dan kehilangan berat badan. Tanda dan gejala yang muncul pada anak tidaklah
sama dengan pada dewasa. Lupus yang dimulai pada masa anak-anak biasanya secara
klinis lebih berat. Pada penyakit yang sudah lanjut dan berbulan bulan sampai tahunan
barulah menunjukkan manifestasi klinis yang lebih spesifik dan lengkap serta cenderung
melibatkan multiorgan. 2,6
Dua gejala yang sering muncul pada anak adalah ruam kulit dan arthritis. Ruam
malar yang khas, atau disebut butterfly rash (ruam kupu-kupu) muncul akibat adanya
sensitifitas yang berlebihan terhadap cahaya matahari (photosensitive) dan dapat
memburuk dengan adanya infeksi virus atau stress emosional. Ruam ini tidak sakit dan
tidak gatal. Jumlah ruam menjadi sedikit pada lipatan nasolabial dan kelopak mata.
Ruam lain biasanya muncul pada telapak tangan, serta telapak kaki. Ruam malar dapat
sembuh sempurna tanpa parut dengan terapi. Mungkin terdapat ulkus pada membran
mukosa. Rambut dapat berubah menjadi lebih kering dan rapuh, bahkan sampai
alopesia. Arthritis seringkali muncul, dan dapat berlanjut menjadi pembengkakan sendi
jari-jari tangan atau kaki. 2,4,7

235
Gambar 1: Butterfly rash (ruam kupu-kupu / malar rash) pada anak dengan lupus

Manifestasi kulit didapatkan pada lupus diskoid dan biasanya dapat menyebabkan
parut. Pada lupus diskoid, hanya kulit yang terlibat. Ruam kulit pada lupus diskoid sering
ditemukan pada wajah dan kulit kepala. Biasanya berwarna merah dan mempunyai tepi
lebih tinggi. Ruam ini biasanya tidak sakit dan tidak gatal, tetapi parutnya dapat
menyebabkan kerontokan rambut permanen. 5%-10% pasien dengan lupus diskoid bisa
menjadi SLE. 7

Gambar 2: Ruam pada lupus diskoid

Manifestasi klinis lain adalah petekie dan perdarahan karena trombositopenia. Pada
anak mungkin tidak ada gejala sistemik lain selain itu, dan biasanya didiagnosis sebagai
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP). Kelainan neurologis dapat pula ditemukan
pada sebagian anak. Umumnya gejala berupa nyeri kepala yang tidak spesifik. Akhir-
akhir ini, khorea lebih umum ditemukan sebagai manifestasi klinis dari SLE daripada
demam reumatik. Ensefalopati, myelitis atau polineuropati jarang ditemukan. Fenomena
Raynaud sering ditemukan pada anak dengan lupus, biasanya dihubungkan dengan
krioglobulin. 2,4
Diagnosis SLE biasanya mulai dipertimbangkan pada seorang anak dengan sakit
lebih dari satu minggu yang tidak diketahui sebabnya. Umumnya anak didiagnosis
dengan ‘suspect infeksi virus‘ sebelum akhirnya diagnosis lupus ditegakkan, walaupun
sangat sedikit infeksi virus yang gejalanya lebih dari seminggu, dan kebanyakan infeksi
lain biasanya sudah dapat ditentukan sebabnya dalam minggu pertama. Anak dengan
demam dan kehilangan berat badan seringkali dipikirkan adanya keganasan atau
penyakit inflamasi kronis lain (misal: Crohn disease, atau vaskulitis sistemik). 2

236
Tabel 1: Manifestasi klinis SLE (yang dicetak tebal: paling sering ditemukan)5

Mudah lelah
Demam dan malaise
Keadaan umum
Penurunan berat badan
Limfadenopati

Ruam kupu-kupu dengan fotosensitifitas


Alopesia
Lesi diskoid
Kulit Lesi pada kuku
Lupus tumidus
Lupus kutaneus subakut
Purpura vaskulitis

Arthritis / arthralgia non-erosif


Tenosinovitis
Muskuloskeletal
Miopati
Nekrosis avaskular

Ulserasi oral dan nasal


Anoreksia, penurunan berat badan, nyeri perut difus
Dismotilitas esofagus
Sistem Pencernaan Kolitis
Hepato-splenomegali
Pankreatitis
Protein losing enteropathy / sindrom malabsorbsi

Fenomena Raynaud
Perikarditis
Lesi valvular
Lesi vaskulitik
Trombophlebitis
Kardiovaskuler
Kelainan konduksi jantung
Miokarditis
Endokarditis Libman-Sacks
Accelerated coronary artery disease
Gangren perifer

Pleuritis, efusi pleura


Subklinis (hanya kelainan pada tes fungsi paru)
Sistem Pernapasan Pneumonitis, infiltrat pulmoner, atelektasis
Perdarahan
Paru menyusut (disfungsi diafragma)
Pneumotoraks

237
Migrain
Depresi / cemas
Psikosis organik
Sistem Persarafan Kejang
Neuropati saraf pusat dan saraf tepi
Khorea
Kelainan serebrovaskular

Retinopati, cotton wool spots


Sistem Penglihatan
Papiloedema

Glomerulonefritis
Ginjal Hipertensi
Gagal ginjal

Anemia hemolitik dengan Coomb‘s positif


Hematologi Trombositopenia
Sindrom antifosfolipid

Endokrin Hipo / hipertiroidism

Diagnosis lupus sering hampir dapat dipastikan pada keadaan lupus yang berat.
Pada kasus yang lebih ringan, seringkali dokter kesulitan untuk menegakkan diagnosis.
American College of Rheumatology (ACR) membuat kriteria untuk klasifikasi SLE.

238
Tabel 2: Kriteria ACR (American College of Rheumatology) Revisi 1997, untuk
Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik 2

Ruam malar (butterfly rash)


Ruam diskoid-lupus
Fotosensitif
Ulkus pada oral atau nasal
Arthritis non-erosif
Nefritis
Proteinuria >0,5 g/hari
Silinder selular
Ensefalopati
Kejang
Psikosis
Pleuritis atau perikarditis
Kelainan hematologi
Anemia hemolitik
Leukopenia
Limfopenia
Trombositopenia
Pemeriksaan imunoserologis positif
Antibodi terhadap dsDNA
Antibodi terhadap Smith nuclear antigen
Antibodi antifosfolipid (+), berdasarkan:
Antibodi IgG atau IgM antikardiolipin
Lupus antikoagulan
Positif palsu pada tes serologis untuk sifilis dalam waktu 6 bulan
Tes antinuklear antibodi (ANA) positif

Jika didapatkan 4 dari 11 kriteria diatas kapanpun dalam masa observasi penyakit,
diagnosis SLE dapat dibuat dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 96%.

F. BENTUK-BENTUK LUPUS

F. 1. Nefritis Lupus
Lebih dari 80% anak dengan lupus memiliki bukti adanya keterlibatan ginjal pada
suatu masa dalam penyakitnya. Bahkan bila pada semua pasien lupus dilakukan
pemeriksaan biopsi ginjal dan diperiksa dengan mikroskop imunofloresensi akan
ditemukan kelainan pada hampir semua kasus meskipun pada pemeriksaan
urinalisisnya belum ada kelainan (silent NL). 5,8
Gambaran klinis pasien nefritis lupus sangat bervariasi, karena kelainan patologi
anatomik ginjal pada NL dapat mengenai berbagai struktur parenkim ginjal, yaitu
glomerulus, tubulus dan pembuluh darah. Mulai dari tanpa kelainan pada urinalisis, atau
hanya edema, proteinuria/hematuria ringan sampai gambaran klinis yang berat yaitu
sindrom nefrotik, glomerulonefritis yang disertai penurunan fungsi ginjal yang progresif,
atau hipertensi yang dapat disertai ensefalopati hipertensif. 1

Diagnosis 1

239
Untuk menegakkan diagnosis NL maka haruslah ditemukan dulu adanya SLE pada
pasien. Diagnosis SLE dilakukan berdasarkan kriteria ACR yang telah direvisi pada
tahun 1997 seperti yang telah disampaikan diatas.
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > 4 dari 11 kriteria. Pada pemeriksaan
laboratorium pada sebagian besar pasien NL ditemukan sel LE atau LE reaksi (+),
peninggian LED, penurunan kadar komplemen C3, C4, dan komplemen total (CH50),
peninggian kadar antibodi antinuklear dan adanya antibodi terhadap DNA double-
stranded (ds-DNA). Pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria, proteinuria,
dan macam-macam silinder, antara lain: torak, sel darah merah, dan sel darah putih.
Derajat proteinuria sering berkorelasi dengan beratnya penyakit dan dapat mencapai
kadar proteinuria pada sindrom nefrotik yaitu >40 mg/jam/m 2. Pemeriksaan darah tepi
juga bervariasi, yaitu dapat berupa leukositosis atau leukopenia, dengan atau tanpa
trombositopenia. Apabila ditemukan anemia, perlu diperiksa uji coombs untuk melihat
adanya anemia hemolitik autoimun. NL dengan anemia dilaporkan mempunyai
prognosis yang kurang baik dan umumnya progresif.
Pemeriksaan lain yang kadang-kadang positif yaitu uji reumatoid dan serologi
terhadap sifilis yang merupakan reaksi positif palsu. Pemeriksaan laboratorium yang
perlu dilakukan pada pasien nefritis lupus ataupun lupus eritematosus sistemik pada
umumnya dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Pemeriksaan Laboratorium pada NL / SLE 1
1. Urinalisis
2. Darah tepi, termasuk LED
3. Proteinuria kuantitatif 24 jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu
4. Pemeriksaan fungsi ginjal
- darah ureum dan kreatinin
- klirens ureumdan kreatinin
5. Kimia darah
- albumin, globulin, kolesterol
6. Pemeriksaan khusus
- sel LE
- komplemen darah (C3, C4, CH50)
- C-reaktif protein (CRP)
- Antibodi anti ds-DNA
- Uji coombs
- Uji serologi sifilis
- Serum imunoglobulin, terutama IgG
- krioglobulin
7. Biopsi ginjal

Bila memungkinkan dapat diperiksa anti Ro, anti Sm, dan anti kardiolipin (anti
fosfolipid).

240
Gambaran Patologi Anatomi (PA)1
Gambaran PA pada NL sampai saat ini berdasarkan pada klasifikasi WHO.
Tabel 3. Klasifikasi Histopatologi NL Menurut WHO1
Tipe I Normal
a. Normal pada semua pemeriksaan
b. Normal dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, tetapi ditemukan
deposit pada pemeriksaan mikroskop imun
Tipe II Glomerulonefritis mesangial
a. Pelebaran daerah mesangium dengan/tanpa hiperselular ringan
b. Hiperselular sedang
Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental
a. Dengan lesi nekrosis aktif
b. Dengan lesi sklerosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis
Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus
a. Tanpa lesi segmental
b. Dengan lesi nekrosis aktif
c. Dengan lesi sklerosis aktif
d. Dengan lesi sklerosis
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
a. Murni
b. Disertai gambaran tipe II (a atau b)
Tipe VI Glomerulonefritis sklerosis kronik

Biopsi ginjal terindikasi pada semua pasien nefritis lupus, dengan kata lain pada
pasien SLE dengan kelainan urinalisis atau gejala NL yang lain yaiu hipertensi,
peningkatan kadar ureum/kreatinin darah. Klasifikasi histopatologi ginjal diperlukan
untuk: 1. Memastikan diagnosis NL, 2. Menetapkan klasifikasi pasien NL, 3. Menetapkan
jenis pengobatan, 4. Menetapkan prognosis, 5. Menilai keberhasilan pengobatan
(dengan biopsi ulang).

Tipe I Glomerulus normal


Pengertian normal disini termasuk adanya penambahan sedikit matriks dan sel
mesangial pada pemeriksaan mikroskop cahaya. Pada tipe I bila dilakukan pemeriksaan
imunofluoresensi akan ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq, kadar IgA dan IgM
di mesangium. Juga pada mikroskop elektron dapat ditemukan deposit elektron dense di
mesangium. Gambaran ini ditemukan pada 6% NL.
Tipe II Glomerulonefritis mesangeal
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan penambahan matriks dan sel
mesangial yang jelas. Pada pemeriksaan dengan mikroskop imuofluoresensi dan
elektron kelainan yang ditemukan sama dengan tipe I. Tipe I ditemukan pada 20% NL
Tipe III Glomerulonefritis proliferatif fokal segmental
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel mesangial dan
endotel yang bersifat fokal dan segmental. Selain itu pada beberapa tempat (fokal) dapat
terlihat nekrosis fibrinoid, infiltrasi sel neutrofil, dan penebalan membran basal. Pada
pemeriksaan dengan mikroskop imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3,
C4, Clq, kadang-kadang IgM dan IgA di daerah mesangial dan beberapa dinding kapiler.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron, terlihat deposit electron dense pada daerah
241
mesangial dan di beberapa tempat subendotel dan subepitel. Tipe III ditemukan pada
23% NL.

Tipe IV Glomerulonefritis proliferatif difus


Pada pemeriksaan mikroskop cahaya ditemukan proliferasi sel difus mesangial dan
endotel pada semua glomerulus. Pada beberapa kasus dijumpai proliferasi sel epitel
glomerulus dan pembentukan kresen fibroepitelial yang dapat mencapai lebih dari 50%.
Juga dapat terlihat nekrosis fibrinoid disertai infiltrasi sel neutrofil di glomerulus.
Membran basal glomerulus menebal dan menunjukkan gambaran lesi wire loop
eosinofilik. Hal ini disebabkan adanya deposit subendotel yang besar dan difus. Kadang-
kadang dapat terlihat arteritis pada arteri dan trombosis pada kapiler glomerulus. Pada
pemeriksaan mikroskop imunofloresensi akan terlihat gambaran deposit granular di
mesangium dan sepanjang dinding kapiler terdiri atas IgG, C3, C4, Clq, kadang-kadang
IgA dan IgM.
Kresen epitel memberi warna positif dengan fibrin. Pada pemeriksaan dengan
mikroskop elektron, dijumpai deposit electron dense di mesangium dan daerah
subendotel, kadang juga subepitel. Tipe IV dijumpai pada 40% pasien NL.
Tipe V Glomerulonefritis membranosa
Pada pemeriksaan mikroskop cahaya dijumpai gambaran seperti pada nefropati
membranosa idiopatik yaitu tidak adanya proliferasi sel dan ditemukan penebalan
membran basal. Pada pewarnaan perak dapat dijumpai gambaran sisir (spike). Pada
pemeriksaan imunofluoresensi ditemukan deposit granular IgG, C3, C4, Clq,
disepanjang dinding kapiler glomerulus. Pada pemeriksaan mikroskop elektron,
ditemukan deposit elektron dense di daerah subepitel kapiler glomerulus dan kadang-
kadang di daerah mesangial dan subendotel. Tipe V ditemukan pada kurang dari 10%.
Tipe VI Glomerulosklerosis
Glomerulosklerosis adalah gambaran akhir dari kerusakan ginjal pada NL yang
bersifat ireversibel. Secara morfologik, akan terlihat gambaran penambahan matriks
mesangial, sklerosis glomerulus, atrofi tubulus, sklerosis vaskular, dan fibrosis
interstisial. Tipe VI ditemukan pada 0,7%.
Berbeda dengan gambaran patologi anatomi pada penyakit glomerulus lainnya
antara lain sindrom nefrotik idiopatik pada NL dapat terjadi perubahan morfologi
glomerulus dari tipe yang ringan menjadi yang berat atau sebaliknya. Perubahan dari
bentuk ringan tipe II dapat menjadi tipe IV bila tidak diobati, sedangkan dengan terapi
tipe IV proliferatif difus dapat berubah menjadi tipe II mesangial atau tipe V membranosa
yang lebih ringan.
Biopsi kulit akhir-akhir ini mendapat perhatian baik pada NL maupun SLE karena
dapat dipakai dalam diagnosis banding dengan penyakut reumatoid lain dan
membedakan NL dengan granulopati idiopatik. Pada lupus ditemukan deposit granuler
pada pertemuan daerah dermis dan epidermis. Deposit tersebut dengan teknik
imunofluoresensi terdiri atas IgG, C3, properdin dan antibodi DNA. Ada laporan terdapat
korelasi antara beratnya gambaran histolologi ginjal dan gambaran deposit di kulit, tetapi
ini belu dapat dikonfirmasi peneliti lain.
Korelasi antara gambaran patologi anatomi dan klinis1
Pada umumnya, terdapat kerelasi yang kuat antara gambaran PA dan klinis. Pasien
dengan gambaran PA glomerulus normal (tipe I) dan mesangeal (tipe II) menunjukkan
presentasi klinis yang ringan yaitu urinalisis normal atau minimal dan fungsi ginjal yang
normal. Gambaran PA proliferatif difus (tipe IV) biasanya menunjukkan gambaran PA
glomerulonefritis akut atau sindrom nefrotik dengan hipertensi dan gagal ginjal. Bila tipe
IV ini disertai kresen yang > 50% akan disertai gagal ginjal progresif (glomerulonefritis
progresif cepat). Pasien dengan gambaran PA tipe V GN membranosa menunjukkan
242
gambaran klinis sindrom nefrotik yang bersifat menahun, hipertensi, dan penurunan
fungsi ginjal yang perlahan-lahan (progresif lambat). Tipe V glomerulosklerosis
merupakan stadium lanjut NL yang diakhiri dengan gagal ginjal terminal.
F. 2. Lupus Diskoid
Sebesar 2 sampai 3% lupus diskoid terjadi pada usia dibawah 15 tahun. Lesi kulit
diskoid pada pasien anak terdiri dari bercak eritema yang menimbul dengan adherent
keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi dan
banyak muncul pada kulit yang sering terkena sinar matahari, sebagaimana halnya pada
pasien dewasa. Lesi diskoid sering menyebabkan timbulnya jaringan parut dan dapat
kambuh kembali jika pasien terpapar sinar ultraviolet. Sekitar 7% lupus diskoid akan
menjadi SLE dalam waktu 5 tahun. Walaupun belum ada penelitian yang menyebutkan
lupus diskoid dapat berkembang menjadi SLE pada anak, namun presentasi lupus
diskoid pada anak yang cukup jarang harus mendapatkan perhatian dari dokter yang
merawat. Hasil pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear
(ANA) yang disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan leukopeni ringan. Bukti klinis
dan laboratoris lain yang menunjukkan adanya penyakit sistemik penting untuk
memantau progresifitas penyakit ini menjadi SLE. 3,8
F. 3. Sistem Saraf Pusat
Gejala SSP muncul pada 20 – 30% pada anak dan dewasa dengan SLE, dan dapat
melibatkan gejala-gejala neurologis atau psikiatrik. Tidak seperti manifestasi penyakit
lain, keterlibatan SSP dapat terlihat di tahun pertama penyakit pada 75-85% pasien yang
akan berkembang menjadi penyakit SSP. Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi
serebral global dengan kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala
dan kehilangan memori. Gejala neuropsikiatrik ada pada 33 – 60% pasien SLE dewasa
dengan kelainan SSP. Resiko pada wanita delapan kali lebih besar daripada pria, dan
resiko tertinggi ada pada wanita kulit hitam. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan
evaluasi untuk menyingkirkan ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Disarankan untuk mengkonsultasikan hal ini dengan ahli psikiatri.
Secara klinis, ada banyak kemiripan SLE dengan gejala SSP pada anak dan
dewasa. Diantaranya psikosis, depresi, organic brain syndrome, dan disfungsi kognitif.
Gangguan motorik (khorea) lebih sering pada anak, mungkin berhubungan dengan
adanya antibodi anti-fosfolipid. Nyeri kepala juga sering menjadi gelaja dari SLE namun
penyebab nyeri kepala lain juga tidak kalah banyaknya. Nyeri kepala ini harus dibuktikan
bukan berasal dari kelainan intrakranial, biasanya disebabkan oleh trombosis vena
serebralis dan hipertensi intrakranial. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan
antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, konfirmasi dengan
CT Scan perlu dilakukan. 3,8
F. 4. Arthritis Lupus
Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri
tekan, bengkak atau efusi. Pada lebih dari 90% pasien anak, seringkali muncul
poliarthritis yang mengenai sendi-sendi besar maupun kecil. Arthritis biasanya lebih
mudah untuk diterapi, dibandingkan dengan kelainan organ lain pada SLE. Tidak seperti
reumatoid arthritis, arthritis SLE terasa sangat nyeri, dan nyeri yang dirasakan pasien
tidak sebanding dengan temuan klinisnya yang terlihat ringan. Pemeriksaan radiologi
pada sendi yang terkena, menunjukkan osteopenia tanpa adanya perubahan pada
tulang sendi. Anak dengan RA sendi poliartikular beberapa tahun kemudian dapat
menjadi LES. 3
F. 5. Serositis Lupus (pleuritis, perikarditis)
Riwayat nyeri pleura atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura
pada pemeriksaan fisik, menunjukkan adanya pleuritis pada pasien. Nyeri pleura adalah
nyeri dada yang tajam, yang diperburuk oleh batuk, menarik nafas dalam dan perubahan
243
tertentu posisi tubuh. Atau dapat pula muncul sebagai perikarditis, dibuktikan dengan
EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada
pemeriksaan fisik. 7,8
F. 6. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat.
Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi
komplemen lokal.8
F. 7. Gangguan Darah
Terdapat salah satu diantara kelainan darah ini: 1) Anemia hemolitik dengan
retikulositosis, 2) Leukopenia < 4000/mm 3 pada > 1 pemeriksaan, 3) Limfopenia <
1500/mm3 pada > 2 pemeriksaan, 4) Trombositopenia < 100.000/mm 3 tanpa adanya
intervensi obat.8

G. LUPUS NEONATUS 6,9


Lupus neonatus, merupakan komplikasi kehamilan yang mengenai janin pada ibu
dengan SLE. Bayi-bayi yang terkena dapat menderita ruam, trombositopenia atau
blokade jantung kongenital, kelainan hepar dan berbagai manifestasi sistemik lainnya
Sindrom lupus neonatus dianggap disebabkan oleh faktor-faktor maternal pada janin,
tetapi patogenesis yang tepat belum pasti.
Untuk menegakkan diagnosis lupus neonatus, The Research Registry for Neonatal
Lupus memberikan dua kriteria sebagai berikut :
1. Adanya antibodi 52 kD SSA/Ro, 60 kD SSA/Ro atau 48 kD SSB/La pada serum
ibu.
2. Adanya blok jantung atau rash pada kulit neonatus. Kelainan konduksi
jantung/blok jantung kongenital ditemukan 1 diantara 20 000 kelahiran hidup
(0,005%), tergantung dari adanya anti SSA/Ro atau anti SSB/La. Apabila antibodi
tersebut ditemukan pada penderita LES maka risiko bayi mengalami blok jantung
kongenital berkisar antara 1,5% sampai 20% dibandingkan bila antibodi tersebut
tidak ada yaitu sekitar 0,6% dengan distribusi yang sama antara bayi laki dan wanita.
Patogenesis blok jantung kongenital neonatus pada penderita LES dengan anti
SSA/Ro dan Anti SSB/La positip belum jelas diketahui. Mekanisme yang dipercaya saat
ini adalah adanya transfer antibodi melalui plasenta yang terjadi pada trimester ke dua
yang menyebabkan trauma imunologik pada jantung dan sistem konduksi jantung janin.
Sekali terjadi tranfer antibodi ini maka kelainan yang terjadi bersifat menetap dan akan
manifes pada saat bayi lahir. Usaha untuk menghentikan transfer antibodi ini ke janin
seperti pemberian kortiokosteroid, gammaglobulin intravena atau plasmaparesis telah
gagal mencegah kejadian blok jantung kongenital neonatal. Oleh karena itu pemeriksaan
antibodi ini sangat penting untuk seorang ibu yang menderita SLE dan ingin hamil.7

H. PENATALAKSANAAN
Telah disebutkan bahwa angka mortalitas pada pasien lupus pada dekade terakhir
ini telah mengalami banyak perbaikan. Hal ini terutama disebabkan karena penggunaan
obat kortikosteroid dan sitostatik. Gejala ekstra renal akan cepat menghilang pada
pemberian kortikosteroid. Pada pasien dengan gejala ekstra-renal ringan, tidak diperluka
terapi kortikosteroid, cukup diberi obat salisilat, anti malaria (hidroksi klorokuin), atau
obat anti inflamasi non steroid. 1
Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan
organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah
terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang
dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
244
Penyakit SLE adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan relaps. Terapi
suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan anak penting dalam
merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi dan konseling memerlukan
tim ahli yang berpengalaman dalam menangani penyakit multisistem pada anak dan
remaja, dan harus meliputi ahli reumatologi anak, perawat, petugas sosial dan
psikologis. Nefrologis perlu dilibatkan pada awal penyakit untuk pengamatan yang
optimal terhadap komplikasi ginjal. Demikian pula keterlibatan dermatologis dan
nutrisionis juga diperlukan. Perpindahan terapi ke masa dewasa harus direncanakan
sejak remaja.2,3
H. 1. Kortikosteroid
Prednison hampir selalu menjadi pilihan dalam penatalaksanaan SLE. Meskipun
efek samping jangka panjang kortikosteroid banyak, obat ini dianggap yang terbaik untuk
nefritis lupus dan SLE pada umumnya. Harus dipertimbangkan pada anak, bahwa efek
samping kortikosteroid jangan sampai lebih buruk daripada penyakitnya itu sendiri. Hal
ini dapat menyebabkan anak menjadi tidak mau melanjutkan terapi yang dijalaninya. 1,2
Karena efek sampingnya yang banyak, dosisnya harus dikurangi segera setelah
muncul perbaikan secara klinis dan pemeriksaan laboratorium. Pada permulaan penyakit
anak biasanya diberikan jadwal minum obat prednison tiga kali sehari. Pada
pertengahan, dosis diturunkan namun tetap dilanjutkan. 2
Pemberian awal kortikosteroid dimulai dari dosis tinggi, yaitu 2 mg/kgBB/hari atau 60
mg/m2/hari (maksimum 80 mg.hari) dan diturunkan secara bertahap; bila terdapat
perbaikan gejala penyakit, proteinuria, fungsi ginjal, normalisasi komplemen darah, dan
penurunan titer anti ds-DNA. Penurunan dosis berlangsung selama 4-6 minggu. Dosis
prednison diturunkan secara bertahap sampai 5-10 mg/hari atau 0,1-0,2 mg/kgBB dan
dipertahankan selama 4-6 minggu. Bila tidak terjadi relaps, pemberian steroid diuah
manjadi selang sehari dan diberikan pada pagi hari. Bila timbul relaps, dosis dinaikkan
lagi menjadi 2 mg/kgBB/hari.1
Efek samping yang paling mengganggu pada usia remaja terutama adalah
peningkatan berat badan. Penggunaan dosis rendah harian kortikosteroid dengan
dosis tinggi intermitten intravena disertai suplementasi vitamin D dan kalsium bisa
mempertahankan densitas mineral tulang. Fraktur patologis jarang terjadi pada anak
SLE. Resiko fraktur bisa dicegah dengan intake kalsium dan program exercise yang
lebih baik. Melalui program alternate, efek samping steroid pada pertumbuhan bisa
dikurangi. Sebelum menetapkan efek obat, penyebab endokrin seperti tiroiditis dan
defisiensi hormon pertumbuhan harus dieksklusi. Nekrosis avaskuler bisa terjadi pada
10-15% pasien LES anak yang mendapat steroid dosis tinggi dan jangka panjang. 8 Pada
beberapa anak, pota tidur dapat terganggu karena pengaruh kortikosteroid. Sebagian
anak menjadi lebih hiperaktif, moody, dan sulit memulai tidur. Hal ini dapat diatasi
dengan memberikan kortikosteroid malam hari lebih awal. Beberapa anak dengan terapi
kostikosteroid dosis tinggi mengalami peningkatan dalam frekuensi BAK malam hari
sehingga sulit untuk memulai tidur kembali. Jika ada efek negatif seperti ini, dosis
kortikosteroid dapat disesuaikan. Beberapa efek samping kortikosteroid dapat dilihat
pada tabel 4.

245
Tabel 4. Efek Samping Kortikosteroid 2
Efek samping Rekomendasi
Peningkatan nafsu makan dan berat Diet rendah garam dan lemak. Konsultasi gizi
badan, moon face bila perlu

Acne Krim anti-acne topikal


Gangguan mood Diskusikan dengan anak dan angota
keluarga yang lain bahwa terkadang
perubahan mood ini sulit untuk dikontrol.
Pertumbuhan lebih lambat Beri pengertian tentang kearusan anak
mengejar ketinggalan dalam
pertumbuhannya
Osteopenia Suplemen kalsium dan vitamin D
Avaskular nekrosis (AVN) Lakukan roentgen atau MRI, konsultasikan
kepada dokter ahli ortopedi
Mudah terkena infeksi Vaksinasi pneumonia dan varisella jika anak
tidak sedang menderita cacar
Tekanan darah meningkat Monitor berkala, obat antihipertensi bila perlu
Katarak Biasanya tidak mempengaruhi penglihatan.
Konsultasikan kepada dokter spesialis mata
Peningkatan resiko atherosklerosis Cek profil lipid sebelum terapi kortikosteroid
maupun hidroklorokuin.

H. 2. Hidroklorokuin
Hidroklorokuin mulai diberikan sebagai terapi standar, digunakan pada lupus derajat
sedang atau sebagai kombinasi dengan obat lain pada lupus yang berat. Ada beberapa
studi menunjukkan pemakaian obat ini secara berkala dapat menurunkan resiko
kekambuhan penyakit. Hidroklorokuin juga memiliki efek pada lipid plasma dan dapat
menurunkan resiko komplikasi kadriovaksular. Pemakaian jangka panjang
Hidroklorokuin dapat menyebabkan retinopati, namun resiko ini dapar diminimalisasi
dengan mengatur pemberian tidak lebih dari 6 mg/kgBB/hari. 2
H. 3. Asam asetilsalisilat dan obat-obat AINS
Asetil salisilat dosis rendah (3-5 mg/kgBB/hari) dapat digunakan sebagai profilaksis
episode trombositopeni. Biasanya digunakan pada anak dengan antibodi antifosfolipid
yang tinggi dan/atau anak dengan lupus antikoagulan.
Anti inflamasi non steroid (AINS) digunakan untuk gejala dan tanda pada
muskuloskeletal, yang dapat menjadi parah secara tiba-tiba pada anak dengan terapi
kortikosteroid dosis sedang atau tinggi. AINS juga dapat mengobati serositis. 2
H. 4. Obat-obatan Imunosupresif
Pengobatan dengan agen imunosupresan (sitostatik) dipakai dalam kombinasi
dengan kortikosteroid. Obat yang paling sering dipakai adalah siklofosfamid dan
azatioprin.
Indikasi pemakaian obat sitostatik adalah:
- Bila dengan kortikosteroid hasil yang didapat tidak memuaskan untuk
mengontrol penyakit
- Bila timbul efek samping pada penggunaan kortikosteroid, misalnya
hipertensi

246
- Bila NL berat yaitu NL proliferatif difus, sejak awal diberikan kombinasi
kortikosteroid dan sitostatik.
Biasanya obat sitistatik diberikan secara oral, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan
penggunaan sitistatik secara parenteral yaitu siklofosfamid dengan cara pulse terapi
yaitu dengan memberi bolus intravena 0,5-1 gram/m2 secara infus selama 1 jam. Pada
hari pemberian infus anak dianjurkan sering kencing untuk mencegah timbulnya
komplikasi sistitis hemoragik.
Lehman dkk (1989) melaporkan hasil baik dengan pemberian pulse siklofosfamid
sekali sebulan selama 6-12 bulan dengan hasil perbaikan fungsi ginjal pada NL
proliferasi difus. Dosis yang dipakai adalah 500 mg/m 2 pada bulan pertama, 750 mg/m 2
pada bulan kedua dan selanjutnya 1 gram/m 2 (dosis maksimal 40 mg/kgBB). Pada
pasien dengan kelainan fungsi ginjal atau hepar hanya dipakai dosis 500 mg/m 2. Bila
jumlah leukosit <2000/m2 dosis tidak boleh dinaikkan, dan bila <1000/m2 dosis
diturunkan 125 mg/m2.1
H. 5. Plasmapharesis
Telah digunakan bertahun-tahun pada lupus yang refrakter. Terkadang ada
manfaatnya terutama bila dikombinasi dengan kortikosteroid dosis tingi dan
siklofosfamid. Namun ini bukanlah terapi yang efektif.2
H. 6. Splenektomi
Untuk anak dengan sitopenia refrakter yang tidak responsif dengan terapi standar
untuk idiopatik trombositopenia, splenektomi biasanya menjadi efektif. Namun hal ini
meningkatkan resiko terjadinya sepsis, terutama dari kuman-kuman salmonella dan
pneumokokus.2
H. 7. Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca
Transplantasi Sumsum Tulang atau Sel Punca secara autologous atau alogenik lebih
efektif pada pasien dewasa. Terdapat angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi
dengan pendekatan terapi semacam ini, sehingga ini merupakan pilihan terakhir. 2
I. MEMONITOR PERJALANAN PENYAKIT
Memonitor SLE tidaklah mudah. Ada beberapa faktor yang harus diperatikan dan
kesemuanya harus diperhitungkan sebelum keputusan terapi dilakukan. Pemeriksaan
laboratorium sangat penting dan sebaiknya dikerjakan secara rutin. Pemeriksaan
laboratorium termasuk: hematologi, ESR (erytrocyte sedimentation rate), C3, C4, anti ds-
DNA (kuantitatif), SGOT, SGPT, LDH, albumin, kreatinin, dan urinalisis. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan setiap 2-4 minggu sekali saat mulai terdiagnosis, sampai 2 bulan
sekali ketika penyakit sudah dapat dikontrol.
Ada beberapa skor yang bertujuan mengontrol penyakit. Beberapa diantaranya
adalah SLE Disease Activity Index (SLEDAI), Lupus Activity Index (LAI), the European
Consensus Lupus Activity Measurement (ECLAM), Systemic Lupus Activity Measure
(SLAM) dan British Isles Lupus Assessment Group (BILAG). Skor-skor ini sensitif pada
perubahan perjalanan penyakit.2
I. 1. Proteksi Terhadap Matahari
Pajanan pada sinar matahari atau sumber lain yang ada sinar ultraviolet (terutama
UV-A atau UV-B) dapat menyebabkan kekambuhan ruam pada lupus dan juga gejala
sistemik seperti nyeri sendi dan fatigue. bisa juga menyebabkan serangan pertama.
Jadi, untuk menghindari pajanan yang terus menerus dengan sinar UV, setiap pasien
atau siapapun juga harus menggunakan topi atau krim tabir surya. Pasien yang
menggunakan krim tabir surya secara rutin (SPF 15 atau yang lebih besar) memiliki
resiko lebih rendah untuk terkena lupus nefritis, trombositopenia, dan membutuhkan
lebih sedikit dosis siklofosfamid. Setiap anak dengan SLE sebaiknya selalu
menggunakan krim tabir surya setiap hari pada seluruh kulitnya yang terpajan sinar

247
matahari (kecuali telinga) tidak hanya pada siang hari, karena awan tidak dapat
menghilangkan sinar UV. 2,4

I. 2. Imunisasi 2
Anak dengan SLE memiliki resiko tinggi terkena infeksi bakteri dan virus. Pada anak-
anak ini seharusnya dilakukan semua jenis imunisasi yang diwajibkan namun tidak boleh
yang mengandung vaksin hidup.
- Vaksin cacar (varicella) dianjurkan untuk semua anak yang belum pernah
terinfeksi virus varicella-zoster. Termasuk kedalam vaksin hidup (live vaccine)
sehingga harus diberikan sebelum terapi dengan kortikosteroid dimulai.
- Vaksin pneumokokus dianjurkan untuk semua anak pada saat diagnosis SLE
ditegakkan, dan setiap 5 tahun. Infeksi pneumokokus yang invasif sering terjadi
pada anak dengan SLE.
- Vaksin influenza. Anak SLE yang di imunisasi dengan vaksin influenza memiliki
respon antibodi yang protektif, walaupun jumlahnya lebih sedikit dari anak yang
normal.
- Vaksin Haemophilus influenza (Hib) dan meningokokus dianjurkan pada setiap
anak dengan SLE.
I. 3. Diet dan Olahraga 2,10
Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Sebenarnya tidak ada diet
khusus untuk pasien SLE, namun karena adanya kenaikan berat badan akibat
penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari makanan junk food atau makanan
mengandung tinggi sodium dan tinggi garam untuk menghindari kenaikan berat badan
berlebih. Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk
mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan
karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan.

J. PROGNOSIS 8
Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh
fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan
diartikan sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang
memerlukan perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang
kurang ganas dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah
dikenal dapat menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu
pajanan sinar ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik
yang membentuk siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin,
dan antikonvulsan, serta kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya,
bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian
tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan
kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.
Penyebab kematian lain dapat ditimbulkan oleh efek samping pengobatan, misalnya
pada penyakit ateromatosa (infark miokard, gagal jantumg, aksiden vaskular serebral
iskemik) akibat kortikoterapi; atau neoplasma (kanker, hemopati) akibat pemakaian obat
imunosupresan; atau oleh keadaan defisiensi imun akibat penyakit lupus. Frekuensi
kejadian ini makin meningkat karena harapan hidup (survival) penderita lupus lebih
panjang.
248
Infeksi dan sepsis merupakan penyebab kematian utama pada lupus, bukan hanya
akibat kortikoterapi tetapi juga karena defisiensi imun akibat penyakit lupusnya itu
sendiri. Pengurangan risiko infeksi hanya dapat dilakukan dengan pencegahan terhadap
semua sumber infeksi serta deteksi dini terhadap infeksi.
Secara skematis evolusi penyakit lupus memperlihatkan 2 puncak kejadian
kematian, yaitu satu puncak prekoks akibat komplikasi viseral yang tidak terkontrol, dan
satu puncak lain yang lebih jauh akibat komplikasi kortikoterapi.
Pada tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar 83%-93%. Beberapa peneliti
melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat hidup selama 10 tahun sebesar 88%
dari pasien mengalami sedikitnya cacat dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka
panjang dan menetap.

249
DAFTAR PUSTAKA

1. Alatas, Husein, dkk. 2004. Buku Ajar Nefrologi Anak Edisi 2. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Malleson, Pete dan Jenny Tekano. 2007. Diagnosis and Management of
Systemic Lupus Erythematosus in Children. From: Journal of Pediatric and Child
Health 18:2. Published by Elsevier Ltd.
3. Gitelman, Marisa Klein, etc. 2002. Systemic Lupus Erythematosus in
Childhood. From Journal: Rheumatic Disease Clinics of North America. Published by
WBS.
4. Rudolph, Abraham M, etc. 1996. Rudolph Pediatrics. USA: Appleton &
Lange.
5. Webb, Nicholas and Robert Postlethwaite. 2003. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd Edition. USA: Oxford University.
6. Kusuma, Anak Agung Ngurah Jaya. 2007. Lupus Eritematosus Sistemik pada
Kehamilan. Dari: Jurnal Penyakit Dalam vol 8 no. 2. Diterbitkan oleh: Divisi Feto
Maternal SMF Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RSUP Sanglah, Denpasar.
7. Panca, Widianto. 2009. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). Available on:
http://widiantopanca.blogdetik.com/systemic-lupuserythematosus. Accessed at:
January, 17th 2010.
8. Judarwanto, Widodo. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.
Available on: http://childrenclinic.wordpress.com/sle-anak. Accessed at: January,
17th 2010.
9. Nelson, Waldo E, etc. 2000. NELSON Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15.
Jakarta: EGC

250
Lupus Eritematosus Sistemik Pada Dewasa

1. Definisi

Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus Eritematosus Sistemik adalah gangguan


jaringan penyambung generalisata kronik yang dapat bersifat ringan hingga fulminans
dimana adanya temuan autoantibodi yang menyerang komponen sitoplasma dan inti sel,
ditandai oleh adanya erupsi kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis,
leucopenia atau trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik,
limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya.5 Sedangkan menurut
buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES adalah prototipe penyakit autoimun yang ditandai
oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas.1 Perjalanan penyakit LES bersifat fluktuatif yang ditandai
dengan periode tenang dan eksaserbasi.6
Kata ―lupus‖ dalam bahasa latin berarti serigala, ‖erythro‖ berasal dari bahasa yunani
yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah sekitar hidung
dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.4
2. Epidemiologi

Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik utama di dunia
dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali lipat karena kemajuan
ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis LES melalui kriteria ACR. 1,7 Di
Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu 52 kasus per 100.000 penduduk dengan
insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per 100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik,
prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3 kasus per 100.000 penduduk dengan Australia
sebagai negara dengan prevalensi tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di
Asia, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara
Cina memiliki insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk. 4
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus LES
pada tahun 1998-1990.1 Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi
Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin Bandung terdapat 291
pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik Reumatologi. 3
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16 tahun
dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia muda
dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.1,7 Rasio penyakit
LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1.3 Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada perempuan yaitu sekitar
7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4 kasus, sedangkan
prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 0.4-
0.8 kasus tiap tahunnya.4
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana angka kematian
pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. 3 Dilaporkan
survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan 108 orang
pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.3 Sedangkan berdasarkan usia, angka survival
rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%,
251
64-80%, dan 53-64%.3 Hasil studi yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012
menyatakan survival rate LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-
94% dalam 10 tahun.4 Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan
aktivitas penyakit dan infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan
protozoa), sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular
aterosklerosis Penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara
Asia-Pasifik yaitu 30-80% karena infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40%
keterlibatan kardiovaskular, dan 7-36% karena adanya abnormalitas ginjal.4

3. Etiologi

Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai etiologi LES, yang
mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan hormon berperan sebagai
pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor lingkungan yang dianggap sebagau
pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental
maupun fisik.8

a) Antibodi Antinuklear (ANA)9

ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat


dikelompokkan menjadi empat kategori:

1. Antibodi terhadap DNA

2. Antibodi terhadap histon

3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA

4. Antibodi terhadap antigen nucleolus

b) Faktor Genetik 7,9

1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan


kembar dizigotik (1-3%).

2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita


LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara
kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit
LES.

3. Pada populasi kulit orang putih di Amerika Utara terdapat hubungan


positif antara LES dengan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-
DQ.

4. Beberapa pasien LES sekitar 6% mengalami defisiensi komponen


komplemen yang diturunkan. Kekurangan komplemen akan
mengganggu

252
pembersihan kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi
jaringan, yang menimbulkan jejas jaringan.

Tabel 2.1 Antibodi Antinuklear Pada Berbagai Penyakit Autoimun

c) Faktor Lingkungan 2,7,9

Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat


tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu
ekspresi dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan
menstimulus ekspresi antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan
prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai
gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.

Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat


memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien
LES akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan
meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan pembentukan
kompleks imun DNA / anti-DNA yang dapat menstimulus respon autoimun
pada LES.

253
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik
yang akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian
asam amino yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan
menstimulus respon autoimun pada LES.

d) Faktor Imunologis 9

Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B pada


pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda
member petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan
acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B
oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh,
antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan
antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah
anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas
pada LES telah beralih ke sel T helper CD4+.

e) Faktor Hormonal 2

Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal ini
disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis antibodi.
Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat kandungan
estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therap
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan berikatan pada
reseptor sel T dan sel limfosit B, meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit
B tersebut.

Gambar 2.1 Keterkaitan antara factor genetik, epigenetic dan lingkungan pada LES.

4. Patogenesis

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri.


Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara
254
langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut melawan
komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap organ.9 Proses ini
diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia.
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh yaitu 8:

1. Sel T dan sel B menjadi autorektif

2. Pembentukan sitokin yang berlebihan

3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain

a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun


sitokin di dalam tubuh

b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis


c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen kerena adanya mimikri molekuler

Gambar 2.2 Model pathogenesis LE

255
Akibat proses tersebut, maka terbentuk
berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut autoantibodi. Selanjutnya
antibodi tersebut akan membentuk
kompleks imun. Kompleks imun tersebut
akan terdeposisi pada jaringan atau organ
yang akhirnya menimbulkan gejala
inflamasi atau kerusakan jaringan.8
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu
sistem imun yang menyerang
nuklearendogen yang dianggap
sebagai autoantigen. Autoantigen
dikeluarkan oleh sel yang mengalami
apoptosis kemudian akan
dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel
T. Sel T mensekresikan sitokin yaitu
interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang
mengaktivasi sel B untuk memproduksi
antibodi. Nukleosome endogen dapat
berikatan dengan molekular patogen

reseptor dan dapat menstimulus


pengeluaran interferon α (IFN α)
sehingga memicu terjadinya inflamasi.
Selain itu juga nucleosome dapat
berikatan dengan reseptor permukaan
sel seperti BCR (B cell antigen
reseptor) dan TLR (Toll like reseptor).
Pada pasien dengan SLE yang aktif
terdapat peningkatan ekspresi TLR9.7

Gambar 2.3 Tiga tahap pathogenesis

penyakit kompleks imun sistemik


Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel
dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan
sel limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan
CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu poduksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun
256
yang terdeposisi di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang
diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi
jaringan.2

Gambar 2.4 Patogenesis pada LES

5. Patofisiologi

257
Gambar 2.5 Mekanisme sistemik pada LES

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya serum
antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks imun pada organ
target yang menyebabkan kerusakan organ.11 Defek mekanisme regulasi imun seperti
klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai
dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor
lingkungan sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri
dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal. 2

Gambar 2.6 Patofisiologi LES


Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan klirens
kompleks imunt, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan penurun uptake
kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit
kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap
pada berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ tersebut.
Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab
timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan
atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, kulit
dan sebagainya.2

6. Manifestasi Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
sistem imun.12
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun. Penyakit ini
mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat spontan

258
atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi
virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa. 12
A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling


sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,
limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-
menerus. 13

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa


athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling
sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.
Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi
pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif
terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES.
Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan
kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul
belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid. 13
C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.

1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk
kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus
pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu
termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada
erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena
sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal
dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.
Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas.13

Gambar 2.7 Lupus eritematosus kutaneus akut

259
2). Lesi Kulit Sub Akut

Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
3). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15


tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5
tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan
laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam
diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada,
punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas,
dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri.
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan
atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.
Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik. Lesi diskoid
tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih sering
sebagai manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus
erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa
kanak-kanak.14

Gambar 2.9 Facial discoid

260
4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.


Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk
kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan
eritema periungual.13

Gambar 2.10 A) Livido retikularis B) eritema periungual.

5). Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis.14

D. Kelainan pada Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus
nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun
pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis
lupus nefritis adalah:

i. Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

ii. Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

iii. Kelas III: focal lupus nephritis

iv. Kelas IV: diffuse lupus nephritis

v. Kelas V: membranous lupus nephritis

vi. Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering


ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis
pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa.
Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal
sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan.
Ditandai dengan sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta
perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.2,13
261
E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan
radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura
lebih sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura.
Biasanya efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat. 13
F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering
tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap
lanjut.13

G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut
abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis
intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya
mendapat pengobatan yang adekuat. 13
H. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang


disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau
kembali normal. 13
I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus.


Biasanya berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak.
Kelenjar parotis membesar pada 60% kasus LES. 13
J. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.

Biasanya bersifat sementara. 15

K. Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan


kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan
kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi
untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik.
Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.
Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem
lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala
khas kelainan organik otak.10 Kejang-kejang yang timbul biasanya
termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah
korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia,
262
psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif
global, melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor
yang memegang peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin
di pleksus koroideus. 15
L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,


Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis
13
trombositopenia, dan lekopenia.
M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali
hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh
darah dan aktivasi komplemen lokal. 13
N. Kardiovaskuler

LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya


dapat mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina
pektoris, valvulitis, vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa
manifestasi lainnya.13

7. Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997
yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11
kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut.3

263
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.3

8. Pemeriksaan Penunjang

Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia nomositer,
leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat, hiperglobulinemia dan bila
terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah. Biasanya kelainan faal hepar dan
penurunan komplemen serum juga ada. Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria,
merupakan gejala penting. Faktor rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa
untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk
menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES.
Berikut pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES3 :
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)

2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan


pemeriksaan kreatinin darah

3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)

264
4. PT dan aPTT

5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4

6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

Rekomendasi 3

- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE

- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE

- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif
tidak menyingkirkan diagnosis SLE

Fenomena Sel S.E dan tes sel S.E

Sel L.E terdiri atas granulosit neutrofilik yang mengandung bahan nuclear
basofilik yang telah difagositosis, segmen nuklearnya berpindah ke perifer.
Fenomena ini disebabkan oleh factor antinuclear (factor L.E dan yang lain) yang
menyerang bahan nuclear di dalam sel yang rusak. Bahan nuclear yang berubah
dikelilingi neutrofil (bentuk rosette) yang memfagositosis bahan tersebut. Tes sel
L.E kini tidak penting karena pemeriksaan antibodi antinuclear lebih sensitif.

Antibodi antinuclear (ANA)

Pada pemeriksaan imunofluoresensi tak langsung dapat ditunjukkan (ANA) pada


90% kasus.12 Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui adanya antibody yang
mampu menghancurkan inti dari sel-sel tubuh sendiri. Selain mendeteksi adanya
ANA, juga berguna untuk mengevaluasi pola dari ANA dan antibody spesifik. Pola
ANA dapat diketahui dari pemeriksaan preparat yang diperiksa di bawah lampu
ultraviolet.13 Terdapat 4 pola ANA ialah membranosa (anular, peripheral),
homogen, berbintik dan nuclear. Yang dianggap spesifik untuk L.E.S ialah pola
membranosa, terutama jika titernya tinggi. Pola berbintik juga umum terdapat
pada L.E.S. Pada homogen kurang spesifik.16

Lupus band test

Pada pemeriksaan imunofluoresens langsung dapat dilihat pita terdiri atas deposit
granular immunoglobulin G, M atau A dan komplemen C3 pada taut epidermal-
dermal yang disebut lupus band. Caranya disebut lupus band test, specimen
diambil dari kulit yang normal. Tes tersebut positif pada 90-100% kasus L.E.S dan
90-95% kasus L.E.D.16

Anti-ds-DNA

Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
265
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
proteinuria.16

Anti-Sm

Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
penyakit lain.16

9. Diagnosis Banding3

Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:

a. Undifferentiated connective tissue disease

b. Sindroma Sjögren

c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)

d. Fibromialgia (ANA positif)

e. Purpura trombositopenik idiopatik

f. Lupus imbas obat

g. Artritis reumatoid dini

h. Vaskulitis

Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala yang


dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.12

Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di


pagi hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,
bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada
pagi hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.14

Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.


Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.12

Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka


(terutama pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah
ungu kadang-kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai
paralisi otot-otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-
266
perubahan kutan yang menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan
di muka menjalar ke leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi
patognomonik ialah papul Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral
sendi interfalangeal dan atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam
intermiten, takikardi, hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.12

Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom


Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa
ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.15
2.10 Derajat Berat Ringannya LES

Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:

1. Secara klinis tenang

2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa

3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung,


gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.

Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.

Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:

1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)

3. Serositis mayor

Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan


keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:

1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri


koronaria, miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.

2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru,


pneumonitis, emboli paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking
lung.

3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.

4. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.

5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)

6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke,


mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
267
sindroma demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi.

7. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit


<1.000/mm3), trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik
trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

11. Tatalaksana
Pengobatan LES Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.3

a. Pengobatan LES Ringan

Pilar pengobatan pada LES ringan dijalankan secara bersamaan dan


berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

- Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

- Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.

- Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan


potensi ringan)

- Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin

250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat

awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara


hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan.

- Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang


setara .

- Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15).3

b. Pengobatan LES Sedang

Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu
serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang
refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.

c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

268
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum pada bagan .3

Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat


beratnya.

Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE

Jenis Obat Dosis Jenis Evaluasi Pemantauan

Toksisitas Awal
Klinis Laboratorik

OAINS Tergantung Perdarahan Darah rutin, Gejala Darah rutin,


saluran
OAINS cerna, kreatinin, gastro- kreatinin,
hepatotoksik, urin rutin, intestinal AST/ALT
sakit kepala, AST/ALT setiap 6 bulan.
hipertensi,
aseptic,
meningitis,
nefrotoksik.

Kortiko- Tergantung Cushingoid, Gula darah, Tekanan Glukosa


steroid derajat SLE hipertensi, profil lipid, darah
dislipidemi, DXA,
ostoenekrosis
, tekanan

hiperglisemia, darah
katarak,
osteoporosis.

269
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati, Evaluasi Fundusk
(3,5-4 keluhan GIT, mata, G6PD opi dan
mg/kgBB/ rash, mialgia, pada pasien lapangan
hari) sakit kepala, berisiko pandang

Anemi mata
Hidrosiklor 200-400mg/
hemolitik setiap 3-
o- kuin hari
Dengan 6 bulan.
defisiensi
G6PD.

Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


per hari, , lengkap, mielo- lengkap tiap 1-
dosis hepatotoksik, kreatinin, supresif 2 minggu dan
terbagi 1-3, gangguan AST/ALT selanjutnya 1-3
tergantung limfoprolifera bulan interval.
berat badan Tif AST tiap tahun
dan pap smear
secara teratur.

Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
mg/m2 keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.

Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi


minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,
dosis hepatic, foto toraks, supresif, Terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak Hitung
terbagi 3. Infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.

270
Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,
A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.

Mikofenolat 1000-2000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi


mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, gastroint Lengkap
dosis. feses estinal; Terutama
lengkap. mual, leukosit dan
muntah. Hitung
jenisnya.

Kortikortikosteroid

Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.

Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, kortikosteroid

tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi dan imunosupresi.

Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi.

Indikasi Pemberian Kortikortikosteroid ;

Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus

rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis

sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi

pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus,

lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu,

dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek


samping.
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang biasa digunakan
pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil.

271
Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau
sitopenia, seringkali diberikan gabungan antara kortikortikosteroid dan imunosupresan
/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik.3

12. Pencegahan17

Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang


sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan
adalah:
Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah

Memakai pakaian yang menutup ekstremitas

Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.

Istirahat

Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus
diobati dengan segera.

Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada


stress oksidatif

Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.

Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam
infeksi, gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional.
Upaya mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan
aktivitas yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
Hindari Merokok

Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi

Hindari stres dan trauma fisik

Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia

Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai


15.00

Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon


estrogen.

13. Prognosis

Penyakit lupus berevolusi secara spontan dengan bangkitan serangan diselingi oleh
fase remisi, dengan masa dan kualitas yang bervariasi. Menurut Sibley, bangkitan diartikan
sebagai eksaserbasi atau perkembangan tanda atau keluhan baru yang memerlukan
perubahan terapi. Fase remisi sebetulnya merupakan bentuk klinis yang kurang ganas
dengan gangguan predominan pada sendi dan kulit. Beberapa faktor telah dikenal dapat
menimbulkan bangkitan aktivitas lupus di luar masa evolusi spontan, yaitu pajanan sinar
272
ultraviolet, infeksi, beberapa jenis obat tertentu seperti misalnya antibiotik yang membentuk
siklus aromatik (penisilin, sulfa, tetrasiklin), garam emas, fenotiazin, dan antikonvulsan, serta
kehamilan.
Pada masa reaktivasi yang mendadak, gambaran penyakit berubah bervariasi dari
bentuk yang semula jinak dapat menjadi ganas dengan komplikasi viseral. Sebaliknya,
bentuk yang ganas dapat dikontrol atau seperti sembuh di bawah pengobatan.
SLE memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%. Penyebab kematian
dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal ginjal, hipertensi maligna,
kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Tetapi belakangan ini kematian
tersebut semakin menurun karena perbaikan cara pengobatan, diagnosis lebih dini, dan
kemungkinan pengobatan paliatif seperti hemodialisis lebih luas.

273
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku

ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.

2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S.,


Kasper D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison‘s Principles of
Internal

Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H
2724-35.

3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus


Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.

4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus


erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical
features, and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-
68.

5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28 th ed. Hartanto YB,


editor. Jakarta: EGC; 2012.

6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed


IV. Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 842-45.

7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and


clinical

features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.

8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas


Airlangga; 2007. h 235-41.

9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7 th ed.
Jakarta: EGC; 2009.

10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of


north America. Elsevier 2010; 36(1).

11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus


erythematosus: lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-
9.

12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.

274
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.

14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape;


2014 [cited 2015 Mei 19]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview

15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus


Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan
kelamin Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.

17. Fritzpatrick‘s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of

Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5 th edition. 2005.


h 384-7.

275
HENOCH-SCHÖNLEIN PURPURA

I. DEFINISI
Henoch-Schönlein Purpura adalah sindrom klinis yang disebabkan oleh vaskulitis
pembuluh darah kecil sistemik yang ditandai dengan lesi spesifik berupa purpura
nontrombositopenik, artritis atau atralgia, nyeri abdomen atau perdarahan
gastrointestinalis, dan kadang – kadang nefritis atau hematuria(1,2,3). Purpura Henoch-
Schönlein merupakan penyakit autoimun (IgA mediated) berupa hipersensitivitas
vaskulitis, paling sering ditemukan pada anak-anak.(CDK) Nama lain penyakit ini adalah
purpura anafilaktoid, purpura alergik dan vaskulitis alergik.(1)

II. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terutama terdapat pada anak umur 2 – 15 tahun (usia anak sekolah) dengan
puncaknya pada umur 4 – 7 tahun. Terdapat lebih banyak pada anak laki – laki
dibanding anak perempuan (1,5 : 1).(1,3) Rata-rata 14 kasus per 100.000 anak usia
sekolah. HSP umumnya merupakan benign self-limited disorder; < 5% kasus menjadi
kronis; hanya < 1 % kasus berkembang menjadi gagal ginjal.

III. ETIOLOGI
Sampai sekarang penyebab penyakit ini belum diketahui. Diduga beberapa faktor
memegang peranan, antara lain faktor genetik, infeksi traktus respiratorius bagian atas,
makanan, gigitan serangga, paparan terhadap dingin, imunisasi ( vaksin varisela,
rubella, rubeolla, hepatitis A dan B, paratifoid A dan B, tifoid, kolera) dan obat – obatan
(ampisillin, eritromisin, kina, penisilin, quinidin, quinin). (1,3,4,5) Infeksi bisa berasal dari
bakteri (spesies Haemophilus, Mycoplasma, Parainfluenzae, Legionella, Yersinia,
Shigella dan Salmonella) ataupun virus (adenovirus, varisela, parvovirus, virus Epstein-
Barr).(1,3) Vaskulitis juga dapat berkembang setelah terapi antireumatik, termasuk
penggunan metotreksat dan agen anti TNF (Tumor Necrosis Factor).(1) Namun, IgA jelas
mempunyai peranan penting, ditandai dengan peningkatan konsentrasi IgA serum,
kompleks imun dan deposit IgA di dinding pembuluh darah dan mesangium renal. (1,3)
HSP adalah suatu kelainan yang hampir selalu terkait dengan kelainan pada IgA1
daripada IgA2.(3)
Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan HSP antara lain:(3)
 Infeksi : - Mononukleosis - Infeksi
parvovirus B19
- Infeksi Streptokokus grup A - Infeksi Yersinia
- Sirosis karena Hepatitis-C - Hepatitis
- Infeksi Mikoplasma - Infeksi Shigella
- Virus Epstein-Barr - Infeksi Salmonella
- Infeksi viral Varizella-zoster - Enteritis Campylobacter
 Vaksin : - Tifoid - Kolera
- Campak - Demam kuning
 Alergen - Obat (ampisillin, eritromisin, penisilin, kuinidin, kuinin)
- Makanan
- Gigitan serangga

276
- Paparan terhadap dingin
 Penyakit idiopatik : Glomerulocystic kidney disease

IV. PATOFISIOLOGI
Dari biopsi lesi pada kulit atau ginjal, diketahui adanya deposit kompleks imun yang
mengandung IgA. Diketahui pula adanya aktivasi komplemen jalur alternatif. Deposit
kompleks imun dan aktivasi komplemen mengakibatkan aktivasi mediator inflamasi
termasuk prostaglandin vaskular seperti prostasiklin, sehingga terjadi inflamasi pada
pembuluh darah kecil di kulit, ginjal, sendi dan abdomen dan terjadi purpura di kulit,
nefritis, artritis dan perdarahan gastrointestinalis.(1,3)

Beberapa faktor imunologis juga diduga berperan dalam patogenesis PHS, seperti

perubahan produksi interleukin dan faktor pertumbuhan yang berperan dalam mediator
inflamasi.(1) TNF, IL-1 dan IL-6 bisa memediasi proses inflamasi pada HSP.
Meningkatnya kadar faktor pertumbuhan hepatosit selama fase akut HSP dapat
menunjukkan adanya kemungkinan kerusakan atau disfungsi sel endotel. (1,3)
Meningkatnya faktor pertumbuhan endotel vaskuler dapat setidaknya menginduksi
sebagian perubahan ini. Sitokin dianggap terlibat dalam patogenesis HSP, dan endotelin
(ET), yang merupakan hormon vasokonstriktor yang diproduksi oleh sel endotelial, juga
dianggap turut berperan. Kadar ET-1 jauh lebih besar pada fase akut penyakit ini
dibanding pada fase remisi.(1,3) Namun tingginya kadar ET-1 tidak memiliki hubungan
dengan tingkat morbiditas, keparahan penyakit, atau respon reaktan fase akut. (3).

V. MANIFESTASI KLINIS
HSP biasanya muncul dengan trias berupa ruam purpura pada ekstremitas bawah, nyeri
abdomen atau kelainan ginjal dan artritis. Namun trias tidak selalu ada, sehingga
seringkali mengarahkan kepada diagnosis yang tidak tepat.(5)

277
Pada 1/2 - 2/3 kasus pada anak ditandai dengan infeksi saluran napas atas yang muncul
1-3 minggu sebelumnya berupa demam ringan dan nyeri kepala. Gejala klinis mula –
mula berupa ruam makula eritomatosa pada kulit ekstremitas bawah yang simetris yang
berlanjut menjadi palpable purpura tanpa adanya trombositopenia. Ruam awalnya
terbatas pada kulit maleolus tapi biasanya kemudian akan meluas ke permukaan dorsal
kaki, bokong dan lengan bagian luar. Dalam 12 – 24 jam makula akan berubah menjadi
lesi purpura yang berwarna merah gelap dan memiliki diameter 0,5 – 2 cm. Lesi dapat
menyatu menjadi plak yang lebih besar yang menyerupai echimosis yang kemudian
dapat mengalami ulserasi.(1,3)
Purpura terutama terdapat pada kulit yang sering terkena tekanan (pressure-bearing
surfaces). Kelainan kulit ini ditemukan pada 100% kasus dan merupakan 50% keluhan
penderita pada waktu berobat. Kelainan kulit dapat pula ditemukan pada wajah dan
tubuh. Kelainan pada kulit dapat disertai rasa gatal. Pada bentuk yang tidak klasik,
kelainan kulit yang ada dapat berupa vesikel hingga menyerupai eritema multiform.
Kelainan akut pada kulit ini dapat berlangsung beberapa minggu dan menghilang, tetapi
dapat pula rekuren. Edema skrotum juga dapat terjadi dan gejalanya mirip dengan torsio
testis. Gejala prodromal dapat terdiri dari demam dengan suhu tidak lebih dari 38°C,
nyeri kepala dan anoreksia.(1,2,3,4)
Pada anak berumur kurang dari 2 tahun, gambaran klinis bisa didominasi oleh edema
kulit kepala, periorbital, tangan dan kaki. Gambaran ini disebut AHEI (Acute
Hemorrhagic Edema of Infancy).(3)
Selain purpura, ditemukan pula gejala artralgia dan artritis yang cenderung bersifat
migran dan mengenai sendi besar ekstremitas bawah seperti lutut dan pergelangan kaki,
namun dapat pula mengenai pergelangan tangan, siku dan persendian di jari
tangan.(1,2,3,4,5) Kelainan ini timbul lebih dulu (1 – 2 hari) dari kelainan kulit. Sendi yang
terkena dapat menjadi bengkak, nyeri dan sakit bila digerakkan, biasanya tanpa efusi,
kemerahan ataupun panas. Kelainan teutama periartrikular dan bersifat sementara,
dapat pula rekuren pada masa penyakit aktif tetapi tidak menimbulkan deformitas
menetap.(1,3)
Pada penyakit ini dapat ditemukan adanya gangguan abdominal berupa nyeri abdomen
atau perdarahan gastrointestinalis.(1,3) Keluhan abdomen biasanya timbul setelah timbul
kelainan pada kulit (1 – 4 minggu setelah onset). Organ yang paling sering terlibat
adalah duodenum dan usus halus.(3) Nyeri abdomen dapat berupa kolik abdomen yang
berat, lokasi di periumbilikal dan disertai mual, muntah, bahkan muntah darah dan
kadang – kadang terdapat perforasi usus dan intususepsi ileoileal lebih sering terjadi
dibanding ileokolonal.(1,2) Intususepsi atau perforasi disebabkan oleh vaskulitis dinding

278
usus yang menyebabkan edema dan perdarahan submukosa dan intramural. (1,3) Kadang
dapat juga terjadi infark usus yang disertai perforasi maupun tidak.(3)
Selain itu dapat juga ditemukan kelainan ginjal, meliputi hematuria, proteinuria (<2g/d),
sindrom nefrotik (proteinuria >40mg/m 2/jam) atau nefritis.(1,3) Penyakit pada ginjal juga
biasanya muncul 1 bulan setelah onset ruam kulit. Adanya kelainan kulit yang persisten
sampai 2 – 3 bulan, biasanya berhubungan dengan nefropati atau penyakit ginjal yang
berat. Resiko nefritis meningkat pada usia di atas 7 tahun, lesi purpura persisten,
keluhan abdomen yang berat dana penurunan aktivitas faktor XIII. Gangguan ginjal
biasanya ringan, meskipun beberapa ada yang menjadi kronik. (1) Seringkali derajat
keparahan nefritis tidak berhubungan dengan parahnya gejala HSP yang lain. (3) Pada
pasien HSP dapat timbul adanya oedem. Oedem ini tidak bergantung pada derajat
proteinuria namun lebih pada derajat vaskulitis yang terjadi. Namun oedem tersebut
memang dihubungkan dengan kejadian proteinuria pada pasien.(3)
Kadang – kadang HSP dapat disertai dengan gejala – gejala gangguan sistem saraf
pusat, terutama sakit kepala. Pada HSP dapat ditemukan adanya vaskulitis serebral.
Pada beberapa kasus langka, HSP diduga dapat menyebabkan gangguan serius seperti
kejang, paresis atau koma. Gejala – gejala gangguan neurologis lain yang dapat muncul
antara lain perubahan tingkat kesadaran, apatis, somnolen, hiperaktivitas, iritabilitas,
ketidakstabilan emosi, kejang (parsial, parsial kompleks, umum, status epileptikus), dan
defisit neurologis fokal (afasia, ataxia, korea, hemiparesis, paraparesis, kuadraparesis.
Dapat juga terjadi poliradikuloneuropati (sindroma Guillain-Barré) dan mononeuropati
(nervus fasialis, femoralis, ulnaris).(3)
Hati dan kandung empedu juga bisa terlibat dengan gejala hepatomegali, hidrops
kandung empedu, kolesistitis. Semua ini bisa menyebabkan keluhan nyeri abdomen
pada pasien. Apendisitis akut juga pernah dilaporkan terjadi pada pasien HSP. (3)
Gejala - gejala lain yang pernah dilaporkan tetapi jarang terjadi antara lain vaskulitis
miokardia, vaskulitis paru yang menyebabkan perdarahan paru bilateral, ureteritis
stenosis, oedem penis, orkitis, priapisme, perdarahan intrakranial, hematoma
subperiosteal orbital bilateral, hematoma adrenal dan pankreatitis akut. (3)

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pada pemeriksaan laboratorium tidak terlihat adanya kelainan spesifik. Jumlah trombosit
normal atau meningkat, membedakan purpura yang disebabkan oleh
(1,2,3,5)
trombositopenia. Dapat terjadi leukositosis moderat dan anemia normokromik,
biasanya berhubungan dengan perdarahan gastrointestinal. Biasanya juga terdapat
eosinofilia. Laju endap darah dapat meningkat maupun normal.(1,2,3) Kadar komplemen
seperti C1q, C3 dan C4 dapat normal maupun menurun. Pemeriksaan kadar IgA dalam
darah mungkin meningkat, demikian pula limfosit yang mengandung IgA. (1,3) Analisis urin
dapat menunjukkan hematuria, proteinuria maupun penurunan kreatinin klirens
menandakan mulai adanya kerusakan ginjal atau karena dehidrasi, demikian pula pada
feses dapat ditemukan darah.(1,2,3) Pemeriksaan ANA dan RF biasanya negatif, faktor VII
dan XIII dapat menurun.(3)
Biopsi lesi kulit menunjukkan adanya vaskulitis leukositoklastik.(1,5) Imunofluorosensi
menunjukkan adanya deposit IgA dan komplemen pada dinding pembuluh darah. (1) Pada
pemeriksaan radiologi dapat ditemukan penurunan motilitas usus yang ditandai dengan
pelebaran lumen usus ataupun intususepsi melalui pemeriksaan barium.(1,3) Terkadang
pemeriksaan barium juga dapat mengkoreksi intususepsi tersebut. (3)

279
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis lebih banyak ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang spesifik daripada
dengan bantuan pemeriksaan penunjang. Gejala yang dapat mengarahkan kepada
diagnosis HSP yaitu ruam purpurik pada kulit terutama di bokong dan ekstremitas
bagian bawah dengan satu atau lebih gejala berikut: nyeri abdomen atau perdarahan
gastrointestinalis, artralgia atau artritis, dan hematuria atau nefritis.(1,2,3,4,5)

Tabel 1. Kriteria Diagnosis HSP


Kriteria Definisi
Purpura non trombositopenia (palpable Lesi kulit hemoragik yang dapat diraba,
purpura) terdapat elevasi kulit, tidak
berhubungan dengan trombositopenia
Usia onset ≤ 20 tahun Onset gejala pertama ≤ 20 tahun
Gejala abdominal / gangguan saluran Nyeri abdominal difus, memberat
cerna (Bowel angina) setelah makan atau diagnosis iskemia
usus, biasanya termasuk BAB berdarah
Granulosit dinding pada biopsi Perubahan histologi menunjukkan
granulosit pada dinding arteriol atau
venula
Untuk kepentingan klasifikasi, pasien dikatakan mempunyai HSP bila memenuhi
setidaknya 2 dari kriteria yang ada. Tabel diambil dari Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak
2007.
Selain itu, terdapat beberapa kriteria diagnosis menurut American College of
Rheumatology 1990: Bila memenuhi minimal 2 dari 4 gejala, yaitu: (1) Palpable purpura
non trombositopenia; (2) Onset gejala pertama < 20 tahun; (3) Bowel angina; (4) Pada
biopsi ditemukan granulosit pada dinding arteriol atau venula.
Menurut European League Against Rheumatism (EULAR) 2006 dan Pediatric
Rheumatology Society (PreS) 2006 apabila terdapat palpable purpura dan diikuti
minimal satu gejala berikut: nyeri perut difus, deposisi IgA yang predominan (pada biopsi
kulit), artritis akut dan kelainan ginjal (hematuria dan atau proteinuria)
Diferensial diagnosis dari HSP berdasarkan gejala yang dapat timbul antara lain akut
abdomen, meningitis akibat meningokokus, SLE, endokarditis bakterial, ITP, demam
reumatik, Rocky mountain spotted fever, reaksi alergi obat – obatan, nefropati IgA,
artritis reumatoid.(2,3,4,5)

VIII. PENGOBATAN
Tidak ada pengobatan definitif pada penderita HSP. Pengobatan adalah suportif dan
simtomatis, meliputi pemeliharaan hidrasi, nutrisi, keseimbangan elektrolit dan
mengatasi nyeri dengan analgesik.(1,2,5) Untuk keluhan artritis ringan dan demam dapat
digunakan OAINS seperti ibuprofen.(1,2,5) Dosis ibuprofen yang dapat diberikan adalah
10mg/kgBB/6 jam.(2) Edema dapat diatasi dengan elevasi tungkai. Selama ada keluhan
muntah dan nyeri perut, diet diberikan dalam bentuk makanan lunak. Penggunaan asam
asetil salisilat harus dihindarkan, karena dapat menyebabkan gangguan fungsi trombosit
yaitu petekie dan perdarahan saluran cerna. Bila ada gejala abdomen akut, dilakukan
operasi. Bila terdapat kelainan ginjal progresif dapat diberi kortikosteroid yang
dikombinasi dengan imunosupresan. Metilprednisolon IV dapat mencegah perburukan
penyakit ginjal bila diberikan secara dini.(1) Dosis yang dapat digunakan adalah

280
metilprednisolon 250 – 750 mg/hr IV selama 3 – 7 hari dikombinasi dengan siklofosfamid
100 – 200 mg/hr untuk fase akut HSP yang berat. Dilanjutkan dengan pemberian
kortikosteroid (prednison 100 – 200 mg oral) selang sehari dan siklofosfamid 100 – 200
mg/hr selama 30 – 75 hari sebelum akhirnya siklofosfamid dihentikan langsung dan
tappering-off steroid hingga 6 bulan.(1,3)
Terapi prednison dapat diberikan dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hr secara oral, terbagi
dalam 3 – 4 dosis selama 5 – 7 hari. Kortikosteroid diberikan dalam keadaan penyakit
dengan gejala sangat berat, artritis, manifestasi vaskulitis pada SSP, paru dan testis,
nyeri abdomen berat, perdarahan saluran cerna, edema dan sindrom nefrotik persisten.
Pemberian dini pada fase akut dapat mencegah perdarahan, obstruksi, intususepsi dan
perforasi saluran cerna.(1)

IX. PROGNOSIS
Pada umumnya prognosis adalah baik, dapat sembuh secara spontan dalam beberapa
hari atau minggu (biasanya dalam 4 minggu setelah onset). Rekurensi dapat terjadi pada
50% kasus. Pada beberapa kasus terjadi nefritis kronik, bahkan sampai menderita gagal
ginjal. Bila manifestasi awalnya berupa kelainan ginjal yang berat, maka perlu dilakukan
pemantauan fungsi ginjal setiap 6 bulan hingga 2 tahun pasca sakit.(1,2,3,5)
Penyulit yang dapat terjadi antara lain perdarahan saluran cerna, obstruksi, intususepsi,
perforasi, gagal ginjal akut dan gangguan neurologi. Penyulit pada saluran cerna, ginjal
dan neurologi pada fase akut dapat menimbulkan kematian, walaupun hal ini jarang
terjadi.(1)
Prognosis buruk ditandai dengan penyakit ginjal dalam 3 minggu setelah onset,
eksaserbasi yang dikaitkan dengan nefropati, penurunan aktivitas faktor XIII, hipertensi,
adanya gagal ginjal dan pada biopsi ginjal ditemukan badan kresens pada glomeruli,
infiltrasi makrofag dan penyakit tubulointerstisial.(1)

281
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuly, A. Purpura Henoch-Schönlein. Dalam Cermin Dunia Kedokteran Edisi 194 Volume
139 Nomor 6. 2012.
2. Matondang CS, Roma J. Purpura Henoch-Schonlein. Dalam: Akip AAP, Munazir Z,
Kurniati N, penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak. Edisi ke-2. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2007;373-7.
3. Bossart P. Henoch-Schönlein Purpura. eMedicine, 2005. Diakses dari
www.emdecine.com/emerg/topic845.htm Diakses tanggal 11 September 2017.
4. Scheinfeld NS. Henoch-Schönlein Purpura. eMedicine, 2008. Diakses dari
www.emedicine.medscape.com/article/984105-overview Diakses tanggal 11 September
2017
5. D’Alessandro DM. Is It Really Henoch-Schönlein Purpura. Pediatric Education, 2009.
Diakses dari http://www.pediatriceducation.org/2009/02/ Diakses tanggal 11 September
2017
6. Kraft DM, McKee D, Scott C. Henoch-Schönlein Purpura: A Review. American Family
Physician, 1998. Diakses dari http://www.aafp.org/afp/980800ap/kraft.html Diakses tanggal
11 September 2017

282
PENYAKIT KAWASAKI

1. Definisi
Penyakit Kawasaki (PK) atau mucocutaneous lymphnodes syndrome (MCLS) adalah suatu
penyakit peradangan pada anak yang ditandai oleh demam persisten, peradangan
mukokutaneus dan adenopati servikalis, radang bibir dan rongga mulut, dan eritema serta
edema pada tangan dan kaki.2,3
2. Epidemiologi
Sejak awal ditemukan pada tahun 1967, lebih dari 170.000 anak telah didiagnosis dengan KD di
Jepang. Baru-baru ini, serangkaian negara Eropa seperti Inggris dan Italia telah melaporkan
kasus KD. Di Jepang, insiden tersebut diperkirakan melebihi 1000 / 1 juta anak usia di bawah 5
tahun. Di Amerika Serikat Epidemi sindrom Kawasaki terjadi terutama pada akhir musim dingin
dan musim semi, dengan interval 2-3 tahun. Sekitar 3000 anak dengan sindrom Kawasaki
dirawat setiap tahunnya di Amerika Serikat. Pada umur kurang dari 8 tahun, ternyata anak
Amerika–Asia lebih sering diserang dari pada anak kulit hitam (3:1). Penyakit ini banyak menarik
perhatian, karena mengakibatkan lesi arteri koronaria asimtomatik sebagai sekuele pada 5–10%
kasus.1,2,3
3. Etiologi
Hingga saat ini penyebab pasti belum dapat diketahui, meskipun klinis, laboratorium dan
epidemiologi mengacu kepada penyakit infeksi. Diduga penyakit ini dipicu oleh gangguan imun
yang didahului oleh proses infeksi. Walaupun Rickettsia-like bodies telah ditemukan pada
jaringan beberapa penderita, tetapi uji serologik urnumnya negatif, demikian pula biakan negatif.
Penyebab lain yang juga menjadi perkiraan antara lain strain propionibacterium acnes yang
dipindahkan oleh tungau ke manusia, reaksi imun abnormal terhadap virus Epstein -Barr,
rubeola, rubella, hepatitis, parainfluensa, toksin yang diproduksi oleh atau reaksi imunologik
terhadap streptokokus sanguis, treponema pallidum, leptospira, brucella atau mikoplasma.1,3
4. Patofisiologi
Pada stadium awal penyakit, sel endotelial dan lapisan tengah vaskuler (tunika media) menjadi
edema, tetapi lamina elastis interna masih utuh. Lalu, kira-kira 7-9 hari setelah onset demam,
masuknya netrofil pada permukaan intima, yang dengan cepat diikuti oleh proliferasi limfosit
CD8+ (sitotoksik) dan sel plasma penghasil IgA. Sel-sel inflamasi mensekresi bermacam-
macam sitokin (seperti tumor necrosing factor (TNF), faktor pertumbuhan endotelial
vaskular, faktor kemotaksis dan aktifasi monosit), interleukin (IL, misal: IL-1, IL-4, IL-6),
dan matriks metaloproteinase (MMP, terutama MMP3 dan MMP9) yang menargetkan sel-
sel endotel dan menyebabkan serangkaian peristiwa yang menghasilkan fragmentasi
lamina elastis internal dan kerusakan vaskular.
Selama beberapa minggu atau bulan berikutnya, sel-sel inflamasi yang aktif digantikan oleh sel
fibroblas dan monosit, dan jaringan ikat fibrosa mulai terbentuk dalam dinding pembuluh darah.
Dinding intima berproliferasi dan menebal. Dinding pembuluh akhirnya menjadi menyempit atau
tersumbat akibat stenosis atau trombus. Sebagian besar patologi dari penyakit ini disebabkan
oleh vaskulitis arteri sedang. Awalnya, neutrofil yang hadir dalam jumlah besar, tapi dengan
cepat beralih dan menyusup ke sel mononuklear, limfosit T, dan imunoglobulin A (IgA)-yang
memproduksi sel plasma. Semua peradangan melibatkan tiga lapisan pembuluh. Selama
seluruh proses, kerusakan vaskular yang terbesar adalah ketika terjadinya peningkatan

283
progresif jumlah trombosit dalam serum, dan ini adalah titik puncak penyakit dengan risiko yang
paling signifikan adalah kematian.3

5. Manifestasi Klinis

Sering kali penyakit ini terlupakan dan baru terdiagnosis setelah anak menderita demam tinggi
berkepanjangan dan pemeriksaan darah terhadap adanya infeksi yang rutin dikerjakan (seperti
infeksi typhus, infeksi hepatitis, tuberkulosis) menunjukkan hasil yang negative. Pada saat yang
bersamaan berbagai antibiotika telah dicoba. Memang sebagian anak yang terjangkit baru
menunjukkan gejala Kawasaki yang khas setelah demam tinggi 5 hari. Tetapi ada petunjuk
gejala inti yang bisa dipakai sebagai pegangan untuk secara dini mencurigai anak terpapar
infeksi ini.5
a. Perjalanan penyakit
- Fase Akut (10 hari pertama )
Anak tampak sangat sakit dan mudah tersinggung. Kriteria diagnostic mayor yang ditetapkan
oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah sebagai berikut :
a. Demam mendadak tinggi selama 5 hari atau lebih. Injeksi konjungtiva bilateral.
b. Orofaringeal eritema, lidah"Strawberry", atau bibir kering merah.
c. Eritema dan edema tangan dan kaki, deskuamasi periungal.
d. Ruam eritematus umum
e. Limfadenopati serviks lebih dari 0,6 inci (1,5 cm)
f. Perikarditis, miokarditis, kardiomegali, gagal jantung, dan efusi pleura.
g.Temuan terkait lainnya termasuk meningitis, arthritis, piuria steril,muntah dan diare

- Fase Subakut (hari 11-25)


a) Gejala akut dari tahap I mereda sampai temperatur kembali normal.
b) Anak tetap mudah tersinggung dan tidak nafsu makan.
c) Kering, celah bibir pecah.
d) Deskuamasi jari tangan dan jari kaki.
e) Trombus koroner, aneurisma, infark miokard, dan gagal jantung.
f) Trombositosis puncak pada 2 minggu.

- Fase Konvalesen (6 – 8 minggu dari awitan)


Pada fase ini laju endap darah dan hitung trombosit mencapai nilai normal kembali, dapat
dijumpai garis transfersa yang dikenal sebagai ―Beau‘s line‖. Meskipun anak tampak
menunjukkan perbaikan klinis, namun kelainan jantung dapat berlangsung terus.

284
Gambar 1.a.injeksi konjungtiva bilateral tanpa eksudat pada Kawasaki6

Gambar 1.b.wajah pasien penyakit kawasaki dengan injeksi konjungtiva, bibir pecah-pecah, dan
skin rashes9

Gambar 2a. Lidah Strawberry9

Lidah strawberry (gambar2 B)10

285
Gambar 3 a.Eritem dan edema pada Kawasaki 6

Gambar3b.Bibir pecah-pecah dan pembengkakan sendi


jari9

Gambar 4 a.Rash pada kawasaki6

286
Gambar 4 b.skin rash dismorfik pada penyakit
6
kawasaki

Gambar 5.Skin rash dan lymphadenopati servikal (sisi


kanan, diameter >1.5 cm ).9

Gambar 6.Indurasi tempat suntikan BCG.9

287
Gambar 7.Deskuamasi pada Kawasaki6

Gambar 8.Beau‘s line pada kawasaki6

6. Diagnosis
Gejala-gejala penyakit Kawasaki adalah karena peradangan sistemik. Adalah penting untuk
menyadari bahwa tidak semua gejala sering hadir pada saat yang sama, sehingga pemeriksaan
ulang mungkin diperlukan sebelum diagnosis dapat dibuat. Diagnosis penyakit kawasaki
didasarkan pada gejala klinis semata. Diagnosis penyakit kawsaki dapat ditegakkan jika
ditemukan gejala demam ditambah empat dari lima kriteria lain.Tidak ada pemeriksaan
penunjang yang dapat memastikan diagnosis. Empat atau lebih dari gejala berikut tedapat pada
(Tabel 1):7
Tabel 1. Kriteria diagnostik untuk penyakit Kawasaki
Diagnosis membutuhkan demam yang tidak jelas selama ≥ 5 hari disertai adanya ≥
4 tanda sebagai berikut:
etak, faring eritema , atau
lidah stroberi

pembengkakan tangan dan kaki, deskuamasi periungual dalam fase penyembuhan)


Sumber : The Permanente Journal/ Winter 2009/ Volume 13 No. 1

dengan nilai rata-rata 700.000 / mm3


dan low-
density lipoprotein dan penurunan tingkat high-density lipoprotein.

288
aneurisma arteri koroner

Ekokardiografi
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan yang terpenting dan harus dilakukan pada semua
pasien yang didiagnosis penyakit kawasaki atau kecurigaan penyakit kawasaki. Tujuan
ekokardiografi terutama mendeteksi kelainan arteri kororner dan gangguan fungsi jantung yang
lain. Ekokardiografi pertama dilakukan saat diagnosis ditegakkan. Jika tidak ditemukan kelainan,
ekokardiografi diulang 2 minggu setelah awitan dan kemudian diulang lagi setelah 6 minggu
sejak awitan. Jika hasilnya normal dan laju endap darah sudah normal maka ekokardiografi
tidak harus diulang lagi. Jika ditemukan kelainan pada fase akut, ekokardiografi dapat diulang
setidaknya sekali seminggu, bahkan jika perlu tiap 48 jam untuk memantau pertambahan
dimensi aneurisma arteri koroner atau pembentukan trombus. Ukuran normal diameter arteri
koroner pada anak 2 mm dan pada remaja 5 mm. 1,8
Kementrian kesehatan Jepang mendefinisikan arteri koroner yang abnormal dengan diameter
lumen >3 mm pada anak <5 tahun dan >4 mm pada anak yang berusia >5 tahun. Segmen arteri
koroner yang sakit atau terserang dapat menunjukkan tanda ireguler, diameter yang membesar
dari proksimal ke distal, dinding yang menebal atau tidak jelas atau lumen yang tidak terlihat
akibat oklusi trombus. Kadang jika bagian distal dari arteri koroner terkena, menyulitkan deteksi
secara ekokardiografi. Kelainan arteri koroner kiri lebih banyak dijumpai dari yang kanan.
Penurunan fungsi ventrikel kiri dapat dijumpai. Regurgitasi katup trikuspid, mitral dan aorta
dapat dijumpai pada 50 % anak pada fase akut, diduga akibat miokarditis, infark miokard atau
oklusi arteri koroner. Dapat juga dijumpai efusi perikardium.1,8

289
Gambar 8. Evaluasi penyakit Kawasaki diduga tidak lengkap.1
Dengan tidak adanya gold standar untuk diagnosis, algoritma ini tidak dapat menjadi bukti
melainkan mewakili pendapat komite ahli. Konsultasi dengan para ahli harus dicari bila
diperlukan. Bayi > 6 bulan demam hari ke-7 tanpa penjelasan lainnya harus menjalani
pemeriksaan laboratorium, jika bukti peradangan sistemik ditemukan, lakukan ekokardiogram,
bahkan jika bayi tidak memiliki kriteria klinis.1
7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kawasaki sering berkaitan dengan infeksi virus pada tahap awal pada
penyakit. Berikut ini adalah tabel perbandingan antara penyakit kawasaki dengan infeksi
lainnya.12

290
8. Penatalaksanaan
Oleh karena penyebab penyakit kawasaki belum diketahui, maka tidak tersedia terapi spesifik.
Pengobatan biasanya bersifat suportif. Terapi untuk keterkaitan kardiovaskular sangat rumit dan
tidak terdapat keseragaman cara tatalaksaanya. Berbagai regimen dianjurkan untuk pengobatan
penyakit kawasaki dengan kelebihan dan kelemahannya. Untuk mengurangi resiko komplikasi,
penatalaksanaan dilakukan segera setelah kemunculan gejala dan tanda, terutama apabila
masih ada demam. Tujuan penatalaksanaan awal adalah menurunkan demam dan inflamasi
serta mencegah kerusakan jantung. Untuk mencapai tujuan itu, penatalaksanaan awal antara
lain:11
Gamaglobulin. Pemberian gamaglobulin secara intravena dapat menurunkan resiko masalah
arteri koronarius. Di masa lalu, IVIG diberikan sebagai dosis rendah selama 4 hari (400 mg / kg /
hari), namun studi baru telah menunjukkan bahwa dosis tunggal yang tinggi lebih efektif. Dalam
prakteknya saat ini, dosisnya adalah 2 g / kg secara intravena dalam waktu 10-12 jam.
Aspirin. Aspirin dosis tinggi dapat membantu menangani inflamasi. Aspirin juga bisa
mengurangi rasa sakit dan inflamasi sendi, juga menurunkan demam. Penanganan sindrom
Kawasaki merupakan pengecualian terhadap aturan tidak boleh menggunakan aspirin pada
anak-anak. Sebagian besar ahli menggunakan dosis tinggi aspirin untuk jangka waktu
bervariasi, diikuti dengan dosis rendah aspirin untuk efek antiplatelet. Aspirin dosis tinggi (80-
100 mg / kg / hari secara oral dibagi dalam 4 dosis) diberikan pada fase akut untuk efek anti-
inflamasi. Hal ini berlanjut sampai hari ke-14 penyakit atau sampai pasien telah afebris untuk
48-72 jam. Setelah pasien tetap afebris untuk 48-72 jam, dosis rendah aspirin dimulai untuk

291
aktivitas antiplatelet nya. Dosisnya adalah 3-5 mg / kg / hari untuk total 6-8 minggu selama
pasien tidak menunjukkan bukti kelainan koroner. Untuk pasien yang memiliki aneurisma,
aspirin harus dilanjutkan sampai aneurisma resolusi atau harus dilanjutkan tanpa batas.
Karena risiko komplikasi serius, penatalaksanaan awal biasanya diberikan di rumah sakit.
Setelah penatalaksanaan awal
Setelah demam turun pasien diberikan aspirin dosis rendah selama 6 – 8 minggu, dan lebih
lama jika sudah mengalami aneurisma arteri koronarius. Aspirin membantu mencegah
penggumpalan darah. Tetapi, jika pasien mengalami flu atau cacar air (varicella/chickenpox)
selama pengobatan, aspirin harus dihentikan. Pemberian aspirin berhubungan dengan sindrom
Reye, penyakit jarang dan serius yang mempengaruhi darah, hati, dan otak anak dan remaja
setelah infeksi virus.
Tanpa pengobatan, sindrom Kawasaki bertahan selama kira-kira 12 hari, meskipun komplikasi
jantung dapat muncul setelahnya dan bertahan lama. Dengan pengobatan, pasien dapat
membaik segera setelah pemberian gamaglobulin pertama.12
Pengobatan terhadap Sindrom Kawasaki yang resisten terhadap IVIG
Pasien yang dosis kedua terapi IVIG gagal dapat diobati dengan kortikosteroid. Metilprednisolon
intravena dapat diberikan 30 mg / kg selama 2-3 jam diberikan sekali sehari selama 1-3 hari.
Pengobatan alternatif adalah infliximab (Remicade) 5 mg / kg, yang merupakan antibodi
monoklonal tikus-manusia chimeric diarahkan terhadap tumor necrosis factor-alpha solubel dan
terikat membran. Beberapa studi telah menemukan infliximab berguna dalam mengobati
penyakit Kawasaki yang tahan terhadap IVIG. Burns dkk melaporkan infliximab sama efektifnya
dengan dosis kedua IVIG pada pasien yang tidak respon dengan dosis pertama IVIG.
Terapi alternatif lain untuk kasus resisten antara lain siklofosfamide dengan dan tanpa
methotrexate, namun, efektivitas perawatan ini masih belum pasti karena mereka telah
digunakan hanya dalam sejumlah kecil kasus. Berikut ini adalah terapi tambahan untuk pasien
yang tidak merespon terapi konvensional.
Ulinastatin adalah inhibitor tripsin manusia dimurnikan dari urin manusia. Telah digunakan
hanya di Jepang untuk kasus-kasus yaang sukar disembuhkan dari penyakit Kawasaki dan
diyakini berfungsi dengan menghambat elastase neutrofil dan sintase prostaglandin H2 pada
tingkat mRNA.
Di masa depan, dengan mengidentifikasi tanda tangan genetic untuk kelompok ini, terapi lebih
agresif, seperti terapi antitoksin, plasmaferesis, atau siklosporin A, dapat digunakan untuk
mengurangi komplikasi perifer.
Observasi masalah jantung
Jika pasien menunjukkan masalah jantung, pemeriksaan lanjutan untuk memeriksa jantung
dilakukan sekitar enam sampai delapan minggu setelah penyakit mulai. Jika pasien mengalami
masalah jantung yang berkelanjutan, pasien dapat dirujuk ke spesialis jantung anak. Pada
beberapa kasus, anak dengan aneurisma arteri koronarius membutuhkan: 13
Antikoagulan. Obat-obat seperti aspirin, klopidogrel, warfarin, dan heparin membantu
mencegah pembentukan gumpalan darah.
Angioplasti arteri koronarius. Prosedur ini membuka arteri yang telah menyempit sampai
menghambat aliran darah ke jantung.
Pemasangan stent. Prosedur ini menanam alat pada arteri yang tersumbat untuk membantu
membiarkan arteri tetap terbuka dan mengurangi resiko sumbatan ulang. Pemasangan stent

292
dapat menemani angioplasti.
Bypass graft arteri koronarius. Operasi ini membuat saluran baru melewati arteri yang
tersumbat atau menyempit dengan mengambil pembuluh darah dari kaki, dada, atau tangan
sebagai graft.

9. Komplikasi dan Prognosis


Penyakit Kawasaki adalah penyebab utama penyakit jantung didapat pada anak. Sekitar 1 dari
5 anak dengan sindrom ini mengalami masalah jantung, tetapi hanya sedikit yang mengalami
kerusakan permanen. Komplikasi jantung meliputi: Miokarditis, Mitral regurgitasi, Disritmia,
Aneurisma arteri koronaria,vaskulitis.12
Masing-masing komplikasi dapat menyebabkan kerusakan pada jantung. Inflamasi arteri
koronarius dapat menuju pelemahan dan penonjolan dinding arteri (aneurisma). Aneurisma
meningkatkan resiko gumpalan darah terbentuk dan menyumbat arteri, yang dapat
menyebabkan serangan jantung atau menyebabkan perdarahan internal yang mengancam
nyawa. Pada sedikit anak yang mengalami masalah arteri koronarius, sindrom Kawasaki dapat
berakibat fatal meskipun dengan perawatan.12
Dengan penanganan tepat dan cepat, prognosis bagus. Data terbatas, tetapi di Amerika Serikat,
kematian terjadi kira-kira 1% dari anak-anak yang terkena penyakit ini. Pada anak-anak di
bawah 1 tahun, tingkat kematian melebih 4%. Pada anak-anak berumur 1 tahun atau lebih,
tingkat kematian kurang dari 1%. Rata-rata tingkat kematian di Jepang adalah 0,1-0,3%. Puncak
kematian terjadi 15-45 hari setelah onset demam. Sampai sekarang, tidak ada kematian
dilaporkan pada kasus sindrom Kawasaki pada orang dewasa.13

293
DAFTAR PUSTAKA
1. Jane W. Newburger, Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki
Disease, P: 1708-1728, PEDIATRICS Vol. 114 No. 6 December 2004.
2. Candra K. Siregar, Kelainan Jantung Pada Penyakit Kawasaki, Lembaga Emu Kesehatan
Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin/ RS Ujung Pandang, Ujung Pandang. Hal :
38-40, Cermin Dunia Kedokteran No. 75, 2004
3. Noah S Scheinfeld, Kawasaki Disease , Available at: http://emedicine.medscape.com/ diakses
05 September 2017.
4. Mahr A. Kawasaki disease. Orphanet Encyclopedia, June 2004, P : 1-5
5. Rubiana S. Penyakit Kawasaki Penyebab Kelainan Pada Pembuluh Darah Koroner Anak,
Staf Kardiologi Anak Pelayanan Jantung Terpadu, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta
6. Circulation . (2001) .Diagnostic Guidelines for Kawasaki Disease. Diperoleh 05 September
2017, dari http://circ.ahajournals.org/content/103/2/335.full.pdf+html
7. Janelle R Cox, Recognition of Kawasaki Disease, The Permanente Journal/ Winter 2009/
Volume 13 No. 1
8. Anne H. Rowley, Kawasaki Disease, In : Richard E Behrman, Nelson Textbook of Pediatrics
17th Edition, Chapter : 156
9. Molecules to humans .(2006).Cardiovascular Lesions of Kawasaki Disease: From Genetic
Study to Clinical Management .Diperoleh 05 September 2017.dari http:// cdn.intechopen.com
/pdfs-wm/37890.pdf
10. Scheinfeld, Kawasaki Disease,(2014). Diperoleh 05 September 2017.
http://emedicine.medscape.com/article/965367-overview#aw2aab6b2b5aa)
11. Hay WW, Levin MJ, Sondheimer JM, Deferding RR. Kawasaki Disease. In: Hay WW, Levin
MJ, Sondheimer JM, Deferding RR. Lange Current Diagnosis & Treatment Pediatrics. 19th ed.
USA 2009: 556-7.
12. Rowley AH, Shulmen ST. Kawasaki Disease. In: Behrman RE, Kleigemen RM, Jenson HB.
Nelson text bok of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia 2007: 1036-1042.

294
IMUNISASI DAN KIPI

DEFINISI
Imunisasi adalah suatu cara meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu
antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen yang serupa tidak terjadi penyakit.
Imunisasi berasal dari kata immune yang berarti kebal atau resisten. Imunisasi terhadap suatu
penyakit hanya akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga
untuk terhindar dari penyakit yang lain diperlukan imunisasi lainnya.3
Imunisasi biasanya terutama diberikan pada anak-anak karena sistem kekebalan tubuh mereka
masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan terhadap serangan penyakit infeksi yang
berbahaya. Beberapa imunisasi tidak cukup diberikan hanya satu kali, tetapi harus dilakukan
secara bertahap dan lengkap untuk mendapatkan kekebalan dari berbagai penyakit yang sangat
membahayakan kesehatan dan hidup anak.1
Imunisasi merupakan suatu proses transfer antibodi secara pasif dengan memberikan
imunoglobulin.
Vaksinasi, merupakan suatu tindakan yang dengan sengaja memberikan paparan pada
suatu antigen berasal dari suatu patogen. Antigen yang diberikan telah dibuat demikian rupa
sehingga tidak menimbulkan sakit namun memproduksi limfosit yang peka, antibodi dan sel
memori. Cara ini menirukan infeksi alamiah yang tidak menimbulkan sakit namun cukup
memberikan kekebalan. Tujuannya adalah memberikan ― infeksi ringan ― yang tidak berbahaya
namun cukup untuk menyiapkan respon imun sehingga apabila terjangkit penyakit yang
sesungguhnya dikemudian hari anak tidak menjadi sakit karena tubuh dengan cepat
membentuk antibodi dan mematikan antigen / penyakit yang masuk tersebut.
Vaksinasi mempunyai keuntungan :
Pertahanan tubuh yang terbentuk akan dibawa seumur hidupnya.
Vaksinasi cost-effective karena murah dan efektif.
Vaksinasi tidak berbahaya. Reaksi yang serius sangat jarang terjadi, jauh lebih
jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit tersebut secara
almiah.
Vaksin adalah mikroorganisme bakteri, virus atau riketsia) atau toksoid yang diubah (
dilemahkan atau diamtikan) sedemikian rupa sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang,
tetapi tetap mengandung sifat antigenisitas. Bila vaksin diberikan kepada manusia maka akan
menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.
Vaksinasi merupakan upaya pencegahan primer. Secara konvensional, upaya pencegahan
penyakit dan keadaan apa saja yang akan menghambat tumbuh kembang anak dapat dilakukan
dalam tiga tingkatan yaitu pencegahan primer, pencegahan sekunder dan pencegahan tersier.
Pencegahan primer adalah semua upaya untuk menghindari terjadinya sakit atau kejadian yang
dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat. Pencegahan sekunder
adalah upaya kesehatan agar tidak terjadi komplikasi yang tidak diinginkan, yaitu meninggal
atau meninggalkan gejala sisa, cacat fisik maupun mental. Pencegahan tersier adalah
membatasi berlanjutnya gejala sisa tersebut dengan upaya pemulihan seseorang penderita agar
dapat hidup mandiri tanpa bantuan orang lain.

295
EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan laporan WHO tahun 2002, setiap tahun terjadi kematian sebanyak 2,5 juta balita,
yang disebabkan penyakit yang dapat dicegah melalui vaksinasi. Radang paru yang disebabkan
oleh pneumokokus menduduki peringkat utama (716.000 kematian), diikuti penyakit campak
(525.000 kematian), rotavirus (diare), Haemophilus influenza tipe B, pertusis dan tetanus. Dari
jumlah semua kematian tersebut, 76% kematian balita terjadi dinegara-negara sedang
berkembang, khususnya Afrika dan Asia Tenggara (termasuk Indonesia). 1
WHO mengatakan bahwa penyakit infeksi yang dapat dicegah melalui vaksinasi akan dapat
diatasi bilamana sasaran imunisasi global tercapai. Dalam hal ini bisa tercapai bila lebih dari >
90% populasi telah mendapatkan vaksinasi terhadap penyakit tersebut. 1
RESPON IMUN
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap
antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Dikenal dua macam pertahanan tubuh yaitu : 1)
mekanisme pertahanan nonspesifiik disebut juga komponen nonadaptif atau innate artinya tidak
ditujukan hanya untuk satu macam antigen , tetapi untuk berbagai macam antigen, 2)
mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau komponen adaptif ditujukan khusus terhadap satu
jenis antigen, terbentuknya antibodi lebih cepat dan lebih banyak pada pemberian antigen
berikutnya. Hal ini disebabkan telah terbentuknya sel memori pada pengenalan antigen pertama
kali. Bila pertahanan nonspesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas
spesifik akan terangsang. Mikroorganisme yang pertama kali dikenal oleh sistem imun akan
dipresentasikan oleh sel makrofag ( APC = antigen presenting cel ) Pada sel T untuk antigen TD
( T dependent ) sedangkan antigen TI ( T independent ) akan langsung diperoleh oleh sel B.
Mekanisme pertahanan spesifik terdiri atas imunitas selular dan imunitas humoral.
Imunitas humoral akan menghasilkan antibodi bila dirangsang oleh antigen. Semua antibodi
adalah protein dengan struktur yang sama yang disebut imunoglobulin ( Ig ) yang dapat
dipindahkan secara pasif kepada individu yang lain dengan cara penyuntikan serum. Berbeda
dengan imunitas selular hanya dapat dipindahkan melalui sel, contohnya pada reaksi penolakan
organ transplantasi oleh sel limfosit dan pada graft versus-host-disease.

Proses imun terdiri dari dua fase :


 Fase pengenalan, diperankan oleh sel yang mempresentasikan antigen ( APC =
antigen presenting cells ), sel limfosit B, limfosit T.
 Fase efektor, diperankan oleh antibodi dan limfosit T efektor

KEBERHASILAN IMUNISASI
Tergantung dari beberapa faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu, serta
kualitas dan kuantitas vaksin.
Status imun pejamu
Terjadinya antibodi spesifik pada pejamu terhadap vaksin yang diberikan akan
mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang semasa fetus mendapat
antibodi maternal spesifik terhadap virus campsk, bila vaksinasi campak diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik campak masih tinggi akan membeikan hasil yang kurang memuaskan.
Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA sekretori (sIgA) terhadap virus polio
dapat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi polio yang diberikan secara oral. Namun pada

296
umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah pada waktu bayi berumur
beberapa bulan. Pada penelitian di Sub Bagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM,
Jakarta ternyata sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5 bulan.
Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila vaksinasi polio diberikan pada masa
pemberian kolostrum ( kurang atau sama dengan 3 hari setelah bayi lahir ), hendaknya ASI (
kolostrum ) jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum dan sesudah vaksinasi.
Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi neonatus fungsi
makrofag masih kurang. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu masih kurang.
Jadi dengan sendirinya, vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang kurang
dibandingkan pada anak. Maka, apabila imunisasi diberikan sebelum bayi berumur 2 bulan,
jangan lupa memberikan imunisasi ulangan.
Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang mendapat obat imunosupresan,
menderita defisiensi imun kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi
imun sekunder seperti pada penyakit keganasan juga akan mempengaruhi keberhasilan
vaksinasi. Bahkan adanya defisiensi imun merupakan kontraindikasi pemberian vaksin hidup
karena dapat menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Demikian pula vaksinasi pada
individu yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak, tuberkulosis milier akan
mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.
Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun seperti makrofag dan
limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar
globulin normal atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat mengikat
antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam amino yang dibutuhkan untuk sintesis
antibodi. Kadar komplemen juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya
respons terhadap vaksin atau toksoid berkurang.
Faktor genetik pejamu
Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas genetik. Secara genetik
respons imun manusia dapat dibagi atas responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen
tertentu. Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu, tetapi terhadap
antigen lain dapat lebih tinggi. Karena itu tidak heran bila kita menemukan keberhasilan
vaksinasi yang tidak 100%.
Kualitas dan kuantitas vaksin
Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa sehingga
patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap mengandung sifat antigenisitas.
Beberapa faktor kualitas dan kuantitas vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasi, seperti
cara pemberian, dosis, frekuensi pemberian ajuvan yang dipergunakan, dan jenis vaksin.
 Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang timbul. Misalnya
vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal disamping sistemik, sedangkan vaksin
polio parenteral akan memberikan imunitas sistemik saja.
 Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi respons imun
yang terjadi. Dosis terlalu tinggi akan menghambat respons imun yang diharapkan.
Sedang dosis terlalu rendah tidak merangsang sel-sel imunokompeten.Dosis yang tepat
dapat diketahui dari hasil uji klinis, karena itu dosis vaksin harus sesuai dengan dosis
yang direkomendasikan.

297
 Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang terjadi. Disamping
frekuensi, jarak pemberianpun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila
pemberian vaksin berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,
maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik yang masih tinggi
tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunkompaten. Bahkan dapat terjadi
apa yang dinamakan reaksi arthus, yaitu bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen
akibat pembentukan kompleks antigen antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.
Karena itu pemberian ulang ( booster ) sebaiknya mengikuti apa yang dianjurkan sesuai
dengan hasil uji klinis.
 Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan respons imun
terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons imun dengan mempertahankan
antigen pada atau dekat dengan tempat suntikan, dan mengaktivasi APC ( antigen
presenting cells ) untuk memproses antigen secara efektif dan memproduksi interleukin
yang akan mengaktifkan sel imunokompeten lainnya.
 Jenis Vaksin, vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik dibanding
vaksin mati atau yang diinaktivasi ( killed atau inactivated ) atau bagian ( komponen )
dari mikroorganisme. Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi
adalah untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit yang
sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan memodifikasi kondisi tempat tubuh
mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah, kondisi anerob, atau
menambah empedu pada media kultur seperti pada pembuatan vaksin BCG yang sudah
ditanam selama 13 tahun. Dapat pula dipakai mikroorganisme yang virulen untuk
spesies lain tetapi untuk manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN
1. Mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan memproduksi
interleukin.
2. Mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel memori
3. Mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop, untuk mengatasi variasi
respons imun yang ada dalam populasi karena adanya polimorfisme MHC.
4. Memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel folikular dendrit jaringan
limfoid tempat sel B memori direkrut sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu
menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus sehingga kadarnya tetap
tinggi.
Vaksin yang dapat memenuhi ke empat persyaratan tersebut adalah vaksin virus hidup.

JENIS VAKSIN
Pada dasarnya, vaksin dibagi menjadi 2 jenis, yaitu :
 Live attenuated ( bakteri atau virus hidup yang dilemahkan )
 Inactivate ( bakteri, virus atau komponenmnya dibuat tidak aktif )
Vaksin hidup attenuated
Diproduksi di laboratorium dengan cara melakukan modifikasi virus atau bakteri
penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan masih memiliki kemampuan untuk

298
tumbuh menjadi banyak ( replikasi) dan menimbulkan kekebalan tetapi tidak menyebabkan
penyakit.
Vaksin hidup dibuat dari virus atau bakteri liar ( wild ) penyebab penyakit. Virus atau
bakteri liar ini dilemahkan ( attinuated ) dilaboratorium, biasanya dengan cara pembiakan
berulang-ulang. Misalnya vaksin campak yang dipakai sampai sekarang, diisolasi untuk
mengubah virus liar campak menjadi virus vaksin dibutuhkan 10 tahun dengan cara melakukan
penanaman pada jaringan media pembiakan secara serial dari seorang anak yang menderita
penyakit campak pada tahun 1954.
o Supaya dapat menimbulkan respons imun, vaksin hidup atteuated harus
berkembang biak ( mengadakan replikasi ) di dalam tubuh resipien.
o Apapun yang merusak organisme hidup dalam botol ( misalnya panas atau
cahaya ) atau pengaruh luar terhadap replikasi organisme dalam tubuh ( antibodi yang
beredar ) dapat menyebabkan vaksin tersebut tidak efektif.
o Respons imun terhadap vaksin hidup attenuated pada umumnya sama dengan
yang diakibatkan oleh infeksi alamiah. Respons imun tidak membedakan antara suatu
infeksi dengan virus vaksin yang dilemahkan dan infeksi dengan virus liar.
o Vaksin virus hidup attenuated secara teoritis dapat berubah menjadi bentuk
patogenik seperti semula. Hal ini hanya terjadi pada vaksin polio hidup.
o Antibodi dari sumber apapun ( misalnya transplasental, transfusi ) dapat
mempengaruhi perkembangan vaksin mikroorganisme dan menyebabkan tidak adanya
respons ( non response ). Vaksin campak merupakan mikroorganisme yang paling
sensitif terhadap antibodi yang beredar dalam tubuh. Virus vaksin polio dan rotavirus
paling sedikit terkena pengaruh.
o Vaksin hidup attenuated bersifat labil dan dapat mengalami kerusakan bila kena
panas dan sinar, maka harus dilakukan pengelolaan dan penyimpanan dengan baik dan
hati-hati.

Vaksin hidup attenuated yang tersedia


 Berasal dari vrius hidup : Vaksin campak, gondongan ( parotitis ), rubela, polio,
rotavirus, demam kuning ( yellow fever ).
 Berasal dari bakteri : Vaksin BCG dan demam tifoid oral.

Vaksin Inactivated
o Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara mambiakkan bakteri atau virus dalam
media pembiakan ( persemaian ), kemudian dibuat tidak aktif dengan penambahan
bahan kimia ( biasanya formalin ).
o Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka seluruh dosis
antigen dimasukkan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit ( walaupun
pada orang dengan defisiensi imun ) dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk
patogenik. Antigen inactivated tidak dipengaruhi oleh antibodi yang beredar. Vaksin
inactivated dapat diberikan saat antibodi berada di dalam sirkulasi darah.
o Vaksin inactivated selalu memerlukan dosis ganda. Pada umumnya pada dosis
pertama tidak menghasilkan imunitas protektif, tetapi hanya memacu atau menyiapkan
sistem imun. Respons imun protektif baru timbul setelah dosis kedua atau ketiga. Hal ini

299
berbeda dengan vaksin hidup, yang mempunyai respons imun yang mirip atau sama
dengan infeksi alami, respons imun terhadap vaksin inactivated sebagian besar humoral,
hanya sedikit atau tak menimbulkan imunitas selular. Titer antibodi terhadap antigen
inactivated menurun setelah beberapa waktu.
o Pada beberapa keadaan suatu antigen untuk melindungi terhadap penyakit
masih memerlukan vaksin seluruh sel ( whole cell ), namun vaksin bakterial seluruh sel
bersifat paling reaktogenik dan menyebabkan paling banyak reaksi ikutan atau efek
samping. Ini disebabkan respons terhadap komponen-komponen sel yang sebenarnya
tidak diperlukan untuk perlindungan ( contoh antigen pertusis dalam vaksin DPT ).

Vaksin Inactivated yang tersedia saat ini berasal dari :


 Seluruh sel virus yang inactivated, contoh influenza, polio, rabies, hepatitis A.
 Seluruh bakteri yang inactivated, contoh pertusis, tifoid, kolera, lepra.
 Vaksin fraksional yang masuk sub-unit, contoh hepatitis B, influenza, pertusis a-
seluler, tifoid Vi, lyme disease.
 Toksoid, contoh difteria, tetanus, botulinum.
 Polisakarida murni, contoh pneumokokus, meningokokus, dan haemophilus
influenzae tipe b.
 Gabungan polisakarida ( haemophillus influenzae tipe B dan pneumokokus ).

VAKSIN DAN SISTEM KEKEBALAN


Sebelum membahas bagaimana pemberian vaksin dapat memberikan perlindungan terhadap
seseorang, terlebih dahulu perlu diketahui sistem kekebalan tubuh kita bekerja melawan
mikroorganisme (virus, bakteri, parasit, dsb).1

Gambar 11
Manusia dapat terhindar atau sembuh dari serangan penyakit infeksi karena telah dilengkapi
dengan 2 sistem kekebalan tubuh, yaitu :1
1. Kekebalan tidak spesifik (Non Spesific Resistance)
Disebut sebagai sistem imun non spesifik karena sistem kekebalan tubuh kita tidak ditujukan
terhadap mikroorganisme atau zat asing tertentu. Contoh bentuk kekebalan non-spesifik :
- Pertahanan fisis dan mekanis, misalnya silia atau bulu getar hidung yang
berfungsi untuk menyaring kotoran yang akan masuk ke saluran nafas bagian bawah.
- Pertahanan biokimiawi - air susu ibu yang mengandung laktoferin - berperan
sebagai antibakteri

300
- Interferon - pada saat tubuh kemasukan virus, maka sel darah putih akan
memproduksi interferon untuk melawan virus tersebut.
- Apabila mikroorganisme masuk ke tubuh, maka sistem kekebalan non-spesifik
yang diperankan oleh pertahanan selular (monosit dan makrofag) akan menangkap,
mencerna, dan membunuh mikroorganisme tersebut.
2. Kekebalan Spesifik (Spesific Resistance)
Sistem kekebalan spesifik dimainkan oleh dua komponen utama, yaitu sel T dan sel B.
Sistem kekebalan spesifik tidak mengenali seluruh struktur utuh mikroorganisme, melainkan
sebagai prrotein saja yang akan merangsang sistem kekebalan. Bagian dari struktur protein
mikroorganisme yang dapat merangsang sistem kekebalan spesifik ini disebut antigen.
Adanya antigen akan merangsang diaktifkannya sel T atau sistem kekebalan selular.
Selanjutnya sel T ini akan memacu sel B atau sel humoral untuk mengubah bentuk dan
fungsi menjadi sel plasma yang selanjutnya akan memproduksi antibodi. Kelebihan dari
sistem kekebalan spesifik adalah dilengkapi dengan sel memori. Semakin sering tubuh kita
kontak dengan antigen dari luar, maka semakin tinggi pula peningkatan kadar antibodi tubuh
karena sel-sel memori telah mengenali antigen tersebut.
Yang membangkitkan sistem kekebalan spesifik kita adalah antigen yang merupakan
bagian dari mikroorganisme (virus atau bakteri). Antigen ini selanjutnya akan ditanggapi oleh
sistem kekebalan tubuh dengan memproduksi antibodi. Berdasarkan cara memperoleh
kekebalan, maka kekebalan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :1,3
1. Kekebalan pasif
Kekebalan yang diperoleh dari luar, yang berarti bahwa tubuh mendapat bantuan dari luar
antibodi yang sudah jadi. Sifat kekebalan pasif tidak berlangsung lama, umumnya tidak
kurang dari 6 bulan. Misalnya bayi yang secara alami telah memiliki kekebalan pasif dari
ibunya.
2. Kekebalan aktif
Yang umum disebut imunisasi diperoleh melalui pemberian vaksinasi dan berlangsung
bertahun tahun, karena tubuh memiliki sel memori terhadap antigen tertentu.
Dalam rangka memacu sistem kekebalan spesifik tubuh, maka vaksin dapat dibuat dari2 :
 Live attenuated (vaksin hidup yang dilemahkan)
 Inactivated (bakteri, virus atau komponennya dibuat tidak aktif)
 Vaksin rekombinan
 Virus – like particle vaccine.
Vaksin hidup attenuated atau Live attenuated diproduksi dilaboratorium dengan cara
memodifikasi virus atau bakteri penyebab penyakit. Vaksin mikroorganisme yang dihasilkan
masih memiliki kemampuan untuk tumbuh menjadi banyak (replikasi) dan menimbulkan
kekebalan tetapi tidak menyebabkan penyakit. Supaya dapat menimbulkan respon imun,
vaksin hidup attenuated harus berkembang biak (mengadakan replikasi) di dalam tubuh
resipien. Suatu dosis kecil virus atau bakteri yang diberikan, yang kemudian mengadakan
replikasi di dalam tubuh dan meningkat jumlahnya sampai cukup besar untuk memberi
rangsangan suatu respons imun. Vaksin hidup attenuated yang tersedia berasal dari virus
hidup yaitu vaksin campak, gondongan (parotitis), rubela, polio, rotavirus, demam kuning
(yellow fever) dan yang berasal dari bakteri yaitu vaksin BCG dan demam tifoid .

301
Vaksin inactivated dihasilkan dengan cara membiakan bakteri atau virus dalam media
pembiakan, kemudian dibuat tidak aktif (inactivated dengan penambahan bahan kimia
(biasanya formalin). Untuk vaksin fraksional, organisme tersebut dibuat murni dan hanya
komponen-komponennya yang dimaksukkan dalam vaksin (misalnya kapsul polisakarida
dari kuman pneumokokus). Vaksin inactivated tidak hidup dan tidak dapat tumbuh, maka
seluruh dosis antigen dimasukan dalam suntikan. Vaksin ini tidak menyebabkan penyakit
dan tidak dapat mengalami mutasi menjadi bentuk patogenik. Vaksin inactivated yang
tersedia saat ini berasal dari seluruh sel virus yang inactivated contoh influenza, polio,
rabies, hepatitis A. Kemudian dari seluruh bakteri yang inactivated contoh pertusis, tifoid,
kolera, lepra. Juga dari toksoid misalnya difteria, tetanus dapat juga dari polisakarida murni
misalnya pneumokokus, meningokokus dan haemophilus influenza tipe B.
Vaksin rekombinan. Macam vaksin demikian diperoleh melalui proses rekayasa genetik,
misalnya vaksin hepatitis B, vaksin tifoid, dan rotavirus. Vaksin hepatitis B dihasilkan
dengan cara memasukkan suatu segmen gen vius hepatitis B ke dalam sel ragi. Sela ragi
yang telah diubah ini kemudian menghasilkan antigen permukaan hepatitis B murni.
Virus – like particle vaccine atau vaksin yang dibuat dari partikel yang mirip dengan virus,
contohnya adala vaksin human papillomavirus (HPV) tipe 16 untuk mencegah kanker leher
rahim. Atigen diperoleh melalui protein virus HPV yang diolah sedimikian rupa sehingga
menghasilkan struktur mirip dengan seluruh struktur HPV (atau dikenal sebagai pseudo –
particles of HPV tipe 16).
PEMBERIAN IMUNISASI
Tata cara pemberian imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan mengikuti tata cara sebagai berikut :
 Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila tidak
divaksinasi.
 Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila terjadi
reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
 Baca dengan teliti informasi tentang produk ( vaksin ) yang akan diberikan dan
jangan lupa mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua
atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
 Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang diberikan.
 Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
 Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan dengan
baik.
 Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda perubahan.
Periksa tanggal kadarluwarsa dan catat hal-hal istimewa, misalnya adanya perubahan
warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
 Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan pula
vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal ( catch up vaccination ) bila
diperlukan.
 Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai pemilihan jarum
suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan posisi bayi/anak penerima vaksin.
 Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal sebagai berikut :

302
 Berilah petunjuk ( sebaiknya tertulis ) kepada orang tua atau pengasuh
apa yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan
yang lebih berat.
 Catat imuniasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
 Catatan imunisasi secar rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang Pemberantasan Penyakit Menular.
 Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.
Penyimpanan
Aturan umum untuk sebagian besar vaksin, Bahwa vaksin harus didinginkan pada
temperatur 2-8°C dan tidak membeku. Sejumlah vaksin ( DPT, Hib, hepatitis B, dan hepatitis A )
menjadi tidak aktif bila beku

Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular


Jarum suntik harus disuntikan dengan sudut 45 0-600 ke dalam otot vastus lateralis atau otot
deltoid. Untuk suntikan otot vastus lateralis, jarum diarahkan ke arah lutut sedangkan untuk
suntikan pada deltoid jarum diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular
dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90 0.

Tempat Suntikan yang Dianjurkan


Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk vaksinasi pada bayi dan
anak umur di bawah 12 bulan. . Vaksin harus disuntikkan ke dalam batas antara sepertiga otot
bagian tengah yang merupakan bagian yang paling tebal dan padat. Regio deltoid adalah
alternatif untuk vaksinasi pada anak yang lebih besar ( mereka yang telah dapat berjalan ) dan
orang dewasa.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur dibawah 12 bulan adalah :
 Menghindari risiko kerusakan saraf iskiadika pada suntikan daerah gluteal.
 Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap suntikan
secara adekuat.
 Imunogenitas vaksin hepatitis B dan rabies akan berkurang apabila disuntikkan di
daerah gluteal
 Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuknya nodulus di tempat suntikan yang
menahun.
 Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian anterior.

303
Gambar 2. Lokasi Penyuntikan intramuscular Pada Bayi (a) dan Anak Besar (b)

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Subkutan
Perhatian
 Penyuntikan subkutan diperuntukan imunisasi MMR, varisela,
meningitis
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak

Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum


Bayi (lahir s/d12 Paha Jarum 5/8‘‘-3/4 Arah jarum 45o
bulan) anterolateral Spuit no 23-25 Terhadap kulit
1-3 tahun paha Jarum 5/8‘‘-3/4 Cubit tebal untuk
anterolateral/ Spuit no 23-25 suntikan subkutan
Lateral
lengan atas
Anak > 3 tahun Lateral Jarum 5/8‘‘-3/4 Aspirasi spuit
lengan atas Spuit no 23-25 sebelum disuntikan
Untuk suntikan
multipel diberikan

304
pada ekstremitas
berbeda

CARA PENYUNTIKAN VAKSIN


Intramuskular
Perhatian:
 Diperuntukan Imunisasi DPT, DT,TT, Hib, Hepatitis A & B, Influenza.
 Perhatikan rekomendasi untuk umur anak
Umur Tempat Ukuran jarum Insersi jarum
Bayi (lahir s/d 12 Otot vastus Jarum 7/8‘‘-1‘‘ 1. Pakai jarum yang
bulan lateralis pada Spuit n0 22-25 cukup panjang untuk
paha daerah mencpai otot
anterolateral
1-3 tahun Otot vastus Jarum 5/8‘‘-1 ¼‘‘ 2. Suntik dengan
lateralis pada (5/8 untuk arah jarum 80-90o.
paha daerah suntikan di lakukan dengan
anterolateral deltoid umur 12- cepat
sampai masa 15 bulan 1. Tekan kulit
otot deltoid Spuit no 22-25 sekitar tepat
cukup besar suntikan dengan ibu
(pada umumnya jari dan telunjuk saat
umur 3 tahun jarum ditusukan
Anak > 3 tahun Otot deltoid, di Jarum 1‘‘-1 ¼‘‘ 2. Aspirasi spuit
bawah akromion Spuit no 22-25 sblm vaksin
disuntikan, untuk
meyakinkan tidak
masuk ke dalam
vena.Apabilaterdapa
t darah, buang dang
ulangi dengan suntik
yang baru.
3. Untuk suntikan
multipel diberikan
pada bagian
sekstremitas
berbeda

Keadaan Bayi atau Anak sebelum Imunisasi


Orangtua atau pengantar bayi/anak dianjurkan mengingat dan memberitahukan secara
lisan atau melalui dafatr isian tentang hal-hal yang berkaitan dengan indikasi kontra atau risiko
kejadian ikutan pasca imunisasi tersebut di bawah ini :
 Pernah mengalami kejadian ikutan pasca imunisasi yang berat ( memerlukan
pengobatan khusus atau perlu perawatan di rumah sakit ).
 Alergi terhadap bahan yang juga terdapat di dalam vaksin ( misalnya neomisin ).

305
 Sedang mendapat pengobatan Steroid jangka panjang, radioterapi, atau
kemoterapi.
 Tinggal serumah dengan orang lain yang imunitasnya menurun ( leukimia,
kanker, HIV/AIDS ).
 Tinggal serumah dengan orang lain dalam pengobatan yang menurunkan
imunitas ( radioterapi, kemoterapi, atau terapi steroid ).
 Pada bulan lalu mendapat imunisasi yang berisi vaksin virus hidup ( vaksin
campak, poliomielitis, rubela ).
 Pada 3 bulan yang lalu mendapat imunoglobulin atau tranfusi darah.
 Menderita penyakit susunan syaraf pusat

Pencatatan Imunisasi dan Kartu Imunisasi


Setiap bayi/anak sebaiknya mempunyai dokumentasi imunisasi seperti kartu imunisasi
yang dipegang oleh orangtua atau pengasuhnya. Setiap dokter atau tenaga paramedis yang
memberikan imunisasi harus mencatat semua data-data yang relevan pada kartu imunisasi
tersebut. Orangtua/pengasuh yang membawa anak ke tenaga medis atau paramedis untuk
imunisasi diharapkan senantiasa membawa kartu imunisasi tersebut.
Data yang harus dicatat pada kartu imunisasi adalah sebagai berikut :
o Jenis vaksin yang diberikan, termasuk nomor batch dan nama dagang
o Tanggal melakukan vaksinasi
o Efek samping bila ada
o Tanggal vaksinasi berikutnya
o Nama tenaga medis/paramedis yang memberikan vaksin

KIPI ( KEJADIAN IKUTAN PASCA-IMUNISASI )1


Setiap tindakan medis apa pun bisa menimbulkan risiko bagi pasien si penerima layanan baik
dalam skala ringan maupun berat. Demikian halnya dengan pemberian vaksinasi, reaksi yang
timbul setelah pemberian vaksinasi disebut kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) atau adverse
following immunization (AEFI). Dengan semakin canggihnya teknologi pembuatan vaksin dan
semakin meningkatnya teknik pemberian vaksinasi, maka reaksi KIPI dapat diminimalisasi.
Meskipun risikonya sangat kecil, reaksi KIPI berat dapat saja terjadi. Oleh karena itu, petugas
imunisasi atau dokter mempunyai kewajiban untuk menjelaskan kemungkinan reaksi KIPI apa
saja yang dapat terjadi. Dan bagi orang yang hendak menerima vaksinasi mempunyai hak untuk
bertanya dan mengetahui apa saja reaksi KIPI yang dapat terjadi.
Secara khusus KIPI dapat didefinisikan sebagai kejadian medik yang berhubungan dengan
imunisasi, baik oleh karena efek vaksin maupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas,
efek farmakologis, kesalahan program, reaksi suntikan, atau penyebab lain yang tidak dapat
ditentukan. Secara umum, reaksi KIPI dapat dikategorikan sebagai akibat kesalahan program,
reaksi suntikan, dan reaksi vaksin.
Kesalahan program. Sebagian besar kasus KIPI berhubungan dengan kesalahan teknik
pelaksanaan vaksinasi, misalnya kelebihan dosis, kesalahan memilih lokasi dan cara menyuntik,
sterilitas, dan penyimpanan vaksin. Dengan semakin membaiknya pengelolaan vaksin,

306
pengetahuan, dan ketrampilan petugas pemberi vaksinasi, maka kesalahan tersebut dapat
diminimalisasi.
Reaksi suntikan. Reaksi suntikan tidak berhubungan dengan kandungan vaksin, tetapi lebih
karena trauma akibat tusukan jarum, misalnya bengkak, nyeri, dan kemerehan di tempat
suntikan. Selain itu, reaksi suntikan dapat terjadi bukan akibat dari trauma suntikan melainkan
karena kecemasan, pusing, atau pingsan karena takut terhadap jarum suntik. Reaksi suntikan
dapat dihindari dengan melakukan teknik penyuntikan secara benar.
Reaksi vaksin. Gejala yang muncul pada reaksi vaksin sudah bisa diprediksi terlebih dahulu,
karena umumnya perusahaan vaksin telah mencantumkan reaksi efek samping yang terjadi
setelah pemberian vaksinasi. Keluhan yang muncul umumnya bersifat ringan (demam, bercak
merah, nyeri sendi, pusing, nyeri otot). Meskipun hal ini jarang terjadi, namun reaksi vaksin
dapat bersifat berat, misalnya reaksi anafilaksis dan kejang. Untunglah bahwa reaksi alergi
serius relatif jarang terjadi, misalnya reaksi alergi serius akibat campak kemungkinan
kejadiannya hanya 1/1000.000 dosis.
Mengingat hampir setiap vaksin mempunyai potensi memberikakn reaksi efek samping atau
KIPI, maka sebaiknya bertanya terlebih dahulu kepada petugas gejala apa saja yang dapat
terjadi setelah vaksinasi. Bila keluhan KIPI bersifat ringan, misalnya demam, nyeri tempat
suntikan, atau bengkak maka dapat dilakukan pengobatan sederhana, misalnya dengan minum
obat antipiretik saja. Tetapi bila kejadian pasca imunisasi bersifat serius, maka harus secepat
mungkin dibawa kerumah sakit. Setiap pelayanan kesehatan yang melakukan pemberian
vaksinasi mempunyai kewajiban untuk melaporkan KIPI ke Dinas Kesehatan Tingkat
Kabupaten, dengan tembusan ke Sekretariat KOMDA PP KIPI yang berkedudukan di setiap
provinsi.

VAKSINASI YANG DIANJURKAN1


Tidak semua negara menerapkan kebijaksanaan vaksinasi yang sama pada masyarakatnya.
Namun, biasanya rekomendasi vaksinasi lebih diprioritaskan bagi bayi dan anak-anak, karena
kelompok usia ini dianggap belum mempunyai sistem kekebalan tubuh sempurna. Diindonesia,
pemerintah mengambil kebijakan dalam pemberian vaksinasi menjadi dua, yaitu vaksin wajib
(sebagai program imunisasi nasional) serta vaksin yang dianjurkan (bukan merupakan program
imunisasi nasional)
Vaksinasi yang dianjurkan Pemerintah 2010
- Tuberculosis - MMR (campak, gondong,
- Hepatitis B rubella)
- DPT (Difteri, tetanus, - Haemophilus influenza
pertusis) tipe B
- Poliomielitis - Demam tifoid
- Campak - Varisela
- Hepatitis A
- Influenza
- Pneumokokus
- Rotavirus
- Yellow fever
- Japannesse encephalitis

307
- Meningokokus
Tabel 1.Vaksinasi yang dianjurkan (Satgas Imunisasi – I katan Dokter Anak Indonesia, 2010)1

1. Vaksinasi Tuberkulosis1,3,4
Adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis dibiak berulang selama 1-3 tahun
sehingga di dapat basil yang tidak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.Vaksin
BCG merupakan vaksin hidup yang memberi perlindungan terhadap penyakit TB. Vaksin TB
tidak mencegah infeksi TB, tetapi mencegah infeksi TB berat (meningitis TB dan TB milier).
Vaksin BCG membutuhkan waktu 6-12 minggu untuk menghasilkan efek (perlindungan)
kekebalannya. Vaksinasi BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80%
terhadap tuberkulosis. Pemberian vaksinasi BCG sangat bermanfaat bagi anak.
Di Indonesia, vaksin BCG merupakan vaksin yang diwajibkan pemerintah. Vaksin ini
diberikan pada bayi yang baru lahir dan sebaiknya diberikan pada umur sebelum 2 bulan.
Vaksin BCG juga diberikan pada anak usia 1-15 tahun yang belum divaksinasi (tidak ada
catatan atau tidak ada scar).
Dosis untuk bayi kurang dari 1 tahun adalah untuk 0,05 ml dan untuk anak 0,10 ml,
diberikan secara intrakutan di daerah insersio M. deltoideus kanan. WHO tetap
menganjurkan pemberian vaksin BCG di insersio M. deltoid kanan dan tidak di tempat lain
(bokong, paha), penyuntikan secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah dilakukan
(tidak terdapat lemak subkutis yang tebal), ulkus yang terbentuk tidak mengganggu struktur
otot setempat (dibandingkan pemberian di daerah gluteal lateral atau paha anterior) dan
sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila diperlukan.
Vaksin BCG merupakan vaksin hidup, maka tidak diberikan pada pasien
imunokompromais (leukemia, dalam pengobatan steroid jangka panjang atau pada infeksi
HIV).
KIPI yang didapat setelah vaksinasi adalah papul merah yang kecil timbul dalam waktu 1
– 3 minggu. Papul ini akan semakin lunak, hancur, dan menimbulkan parut. Luka ini
mungkin memakan waktu sampai 3 bulan untuk sembuh. Biarkan vaksinasi sembuh sendiri
dan pastikan agar tetap bersih dan kering.

308
2. Vaksinasi Hepatitis B1,3
Di Indonesia, vaksinasi hepatitis B merupakan vaksinasi wajib bagi bayi dan anak karena
pola penularannya bersifat vertikal. Ada berbagai jenis pilihan vaksin yang diproduksi oleh
beberapa perusahaan farmasi dan dosis serta cara pemberiannya sebagaimana dapat
dilihat pada tabel 2.
Nama Produsen Cara Dosis Interval
Dagang Pemberian Pemberian

Engerix B GSK IM Anak 10 mcg Bulan ke-


Dewasa 20 mcg 0,1,6
Euvax Sanofi IM Anak 10 mcg Bulan ke-
pasteur Dewasa 20 mcg 0,1,6
HB VAX II MSD IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepavax Kalbuitech IM Anak 10 mcg Bulan ke-
Gene Dewasa 20 mcg 0,1,6
Hepatitis Bio Farma IM Anak 10 mcg Bulan ke-
B 20 mcg 0,1,6
Tabel 2. Produsen, Jenis, Cara pemberian, Dosis, dan Interval Pemberian Vaksin Hepatitis
B (Ali sulaiman dan J. Sundoro,2007)
Secara umum, vaksin diberikan 3 kali pemberian, disuntikan secara dalam (sampai ke otot).
Vaksinasi diberikan dengan jadwal 0, 1, 6 bulan (kontak pertama, 1 bulan, dan 6 bulan
kemudian). Khusus vaksinasi bayi baru lahir diberikan dengan jadwal berikut :
1. Dosis pertama : sebelum umur 12 jam
2. Dosis kedua : umur 1-2 bulan
3. Dosis ketiga : umur 6 bulan
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah meperoleh imunisasi hepatitis B,
maka secepatnya diberikan.
Untuk ibu dengan HbsAg positif, selain vaksin hepatitis B diberikan juga hepatitis B
immunoglobulin (HBIg) 0,5 ml disisi tubuh yang berbeda dalam 12 jam setelah lahir. Sebab,
Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi
meskipun hanya jangka pendek (3-6 bulan).
Reaksi KIPI yang sering terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan bersifat
sementara, terkadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari. Sampai saat ini
tidak ada kontraindikasi absolut pemberian vaksin Hepatitis B. Kehamilan dan laktasi bukan
kontraindikasi vaksin Hepatitis B.

3. Vaksinasi DTP1,3
Vaksinasi Difteri
Jenis vaksin difteri yang diberikan harus sesuai dengan usia saat pemberian. Sebagai
imunisasi dasar, vaksin difteri diberikan bersamaan dengan imunisasi tetanus dan pertusis,
dalam bentuk vaksin DPT. Pada beberapa dekade terakhir, pemberian vaksin DPT telah
menjadi imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah. Vaksin DPT (DtaP atau DTwP)

309
diberikan untuk anak usia diatas 6 minggu sampai 7 tahun. Untuk anak usia 7-18 tahun
diberikan vaksin difteri dalam bentuk vaksin Td (Tetanus dan Difteri) atau vaksin Tdap
(tetanustoxoid, reduced diphteria toxoid, dan acellular pertusis vaccine adsorbed). Vaksin Td
diberikan juga pada anak dengan kontraindikasi terhadap komponen pertusis dan dianjurkan
pada anak usia lebih dari 7 tahun untuk memperkecil kejadian ikutan pasca-imunisasi
karena toxoid difteri.
Jadwal vaksinasi yang dianjurkan saat ini dimulai pada usia 2 bulan, melalui suntikan
intramuskular. Vaksin diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-
6 bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 15-18 bulan) dan ulangan
kedua diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (4-6 tahun).
Dari laporan yang ada, daya proteksi vaksin difteri sebesar 98,45% setelah suntikan yang
ketiga, namun kekebalan yang terbentuk setelah imunisasi dasar hanya bertahan selama 10
tahun, sehingga perlu diberikan booster setiap 10 tahun sekali. Pemberian booster cukup
dengan vaksin Td (tetanus dan difteri).
Dianjurkan memberikan booster pada usia 11 sampai dengan 12 tahun atau minimal 5 tahun
setelah pemberian terakhir. Setelah itu direkomendasikan untuk memberikan booster setiap
10 tahun.
Jadwal vaksinasi untuk usia 7 - 18 tahun sebagai imunisasi primer dengan menggunakan
vaksin Td, yaitu 3 dosis dengan jarak 4 minggu diantara dosis pertama dan kedua, dan 6
bulan diantara dosis kedua dan ketiga. Ikuti dengan dosis booster 6 bulan setelah dosis
ketiga.
KIPI dan Kontra Indikasi
Reaksi KIPI dari vaksin DPT adalah terjadinya demam ringan dan reaksi lokal berupa
kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi suntikan. Demam yang timbul dapat
mengakibatkan kejang demam (sekitar 0,06%).
Vaksin DPT tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi dan kejang pada
pemberian vaksin yang pertama.

Vaksinasi Pertusis
Bayi baru lahir memiliki kekebalan terhadap pertusis yang didapat dari ibu, namun
kekebalan ini hanya bertahan sampai usia 4 bulan. Oleh karena itu, sebaiknya anak usia
kurang dari 1 tahun diberikan vaksin. Vaksin pertusis diberikan dalam bentuk vaksin DPT
(DTwP atau DtaP) dimulai pada saat bayi berusia 2 bulan melalui suntikan ke dalam otot.
Imunisasi dasar diberikan sebanyak 3 kali dengan selang waktu 6-8 minggu (usia 2-4-6
bulan). Ulangan pertama dilakukan 1 tahun sesudahnya (usia 18 bulan) dan ulangan kedua
diberikan 3 tahun setelah ulangan yang pertama (usia 4-6 tahun).
Pada awal pembuatan vaksin DPT, komponen pertusis yang digunakan merupakan whole
pertusis (DTwP), yaitu seluruh bakteri Bordetella pertusis yang telah di non aktifkan. Namun,
sejak tahun 1962 mulai beredear vaksin dengan menggunakan fraksi sel/aselular (DtaP)
yang mengandung satu atau lebih protein Bordetella pertusis. Dengan penggunaan vaksin
DtaP, ternyata efek samping, baik lokal maupun sistemik yang ditimbulkan lebih rendah
(75%) jika dibandingkan dengan vaksin DTwP. Vaksin ini tidak dapat mencegah pertusis
seluruhnya, namun terbukti dapat meperingan durasi dan tingkat keparahan pertusis.
KIPI

310
Demam ringan dengan reaksi lokal berupa kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi
suntikan. Demam yang timbul dapat mengakibatkan kejang demam (0,06%), anak gelisah
dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan (inconsolable crying).
KIPI yang berat dapat terjadi ensefalopati akut atau reaksi alergi berat (anafilaksis).
Kontra indikasi
Vaksin tidak boleh diberikan pada anak dengan riwayat alergi berat dan ensefalopati pada
pemberian vaksin sebelumnya. Keadaan lain yang perlu mendapatkan perhatian khusus
adalah bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat demam tinggi, respon dan gerak yang
kurang (hipotonik- hiporesponsif) dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 2
jam, dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DPT.

Vaksinasi Tetanus
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT. DPT diberikan
satu seri yang terdiri atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan
terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Pemberian vaksin DPT pada anak-anak
harus ditunda jika anak mengalami demam tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami
gangguan pertumbuhan.
KIPI
KIPI pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat ringan, berupa rasa nyeri, warna
kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan, dan demam.
Imunisasi DPT adalah suatu vaksin 3-in-1 yang melindungi terhadap Difteri, Tetanus dan
Pertusis. Biasanya vaksin DPT atau DT diberikan dalam bentuk suntikan, yang disuntikkan
pada otot lengan atau paha secara intramuskular atau subkutan sebanyak 0,5 ml.2
Imunisasi DPT diberikan 3 kali yaitu sejak umur 2 bulan (DPT I), umur 3 bulan (DPT II)
dan pada umur 4 bulan (DPT III) dengan selang waktu tidak kurang dari 4 minggu.
Imunisasi DPT ulangan (DPT IV) diberikan 1 tahun setelah DPT III yaitu pada umur 18-24
bulan dan DPT V diberikan pada saat usia prasekolah (5-6 tahun).2
Setelah mendapatkan serangkaian imunisasi awal, sebaiknya diberikan booster vaksin
DT pada usia 14-16 tahun dan kemudian dilanjutkan setiap 10 tahun karena vaksin
memberikan perlindungan selama 10 tahun dan setelah 10 tahun diberikan booster.
Hampir 85% anak yang mendapatkan minimal 3 kali suntikan yang mengandung vaksin
difteri, akan memberikan perlindungan terhadap difteri selama 10 tahun. 2
Jika anak mengalami reaksi alergi terhadap vaksin pertusis, maka sebaiknya diberikan
DT, bukan DPT. Jika anak menderita penyakit yang lebih serius dari flu ringan, imunisasi
DPT bisa ditunda sampai anak sehat. Jika ada riwayat kejang, penyakit otak atau
perkembangannya abnormal, penyuntikan DPT sering ditunda sampai kondisinya membaik
atau kejangnya bisa dikendalikan.2
Dosis vaksin DTP atau TT diberikan dengan dosis 0,5 ml secara intramuskular baik pada
imunisasi dasar maupun ulangan.

4. Vaksinasi Polio1,3
Pada saat ini ada dua jenis vaksin polio yaitu OPV (oral polio vaccine) dan IPV (inactivated
polio vaccine). OPV diberikan 2 tetes melalui mulut, sedangkan IPV diberikan melalui
suntikan dengan dosis 0,5 ml dengan suntikan subkutan dalam 3 kali di lengan dengan jarak

311
2 bulan. Vaksin polio oral diberikan pada bayi baru lahir kemudian dilanjutkan dengan
imunisasi dasar, diberikan pada usia 2, 4, dan 6 bulan. Pada PIN (pekan imunisasi nasional)
semua balita harus mendapat imunisasi tanpa memandang status imunisasi kecuali pada
penyakit dengan daya tahan tubuh menurun (imunokompromais). Bila pemberiannya
terlambat, jangan mengulang pemberiannya dari awal tetapi lanjutkan dan lengkapi
imunisasi sesuai dengan jadwal. Bagi ibu yang anaknya diberikan OPV, diberikan 2 tetes
dengan jadwal seperti imunisasi dasar. Pemberian air susu ibu tidak berpengaruh terhadap
respons pembentukan daya tahan tubuh terhadap polio, jadi saat pemberian vaksin, anak
tetap bisa minum ASI.
Imunisasi polio ulangan diberikan saat masuk sekolah (5-6 tahun) dan dosis berikutnya
diberikan pada usia 15-19 tahun. Sejak tahun 2007, semua calon jemaah haji dan umroh
dibawah usia 15 tahun harus mendapat 2 tetes OPV.
KIPI
Pernah dilaporkan bahwa penyakit poliomielitis terjadi setelah pemberian vaksin polio.
Vaksin polio pada sebagian kecil orang dapat menimbulkan gejala pusing, diare ringan, dan
nyeri otot. Vaksinasi polio tidak dianjurkan diberikan ketika seseoarang sedang demam,
muntah, diare, sedang dalam pengobatan radioterapi atau obat penurun daya tahan tubuh,
kanker, penderita HIV, dan alergi pada vaksin polio.
OPV tidak diberikan pada bayi yang masih dirumah sakit karena OPV berisi virus polio yang
dilemahkan dan vaksin jenis ini bisa diekskresikan melalui tinja selama 6 minggu, sehingga
bisa membahayakan bayi lain. Untuk bayi yang dirawat dirumah sakit, disarankan pemberian
IPV.

5. Imunisasi Campak1,3
Vaksin campak merupakan bagian dari imunisasi rutin pada anak-anak. Vaksin biasanya
diberikan dalam bentuk kombinasi dengan gondongan dan campak jerman (vaksin MMR).
Jika hanya mengandung campak vaksin diberikan pada usia 9 bulan dalam 1 dosis 0,5 ml
subkutan dalam. Terdapat 2 jenis vaksin campak, yaitu vaksin yang berasal dari virus
campak hidup dan dilemahkan (tipe Edmonston-B) dan vaksin yang berasal dari virus
campak yang dimatikan (virus campak yang berada dalam larutan formalin yang dicampur
dengan garam aluminium).
Imunisasi ulangan juga dianjurkan dalam situasi tertentu :1
a. Mereka yang memperoleh imunisasi sebelum umur 1 tahun dan terbukti bahwa
potensi vaksin yang digunakan kurang baik (tampak peningkatan insidens kegagalan
vaksinasi). Pada anak-anak yang memperoleh imunisasi ketika berumur 12-14 bulan tidak
disarankan mengulangi imunisasinya tetapi hal ini bukan kontra indikasi
b. Apabila terdapat kejadian luar biasa peningkatan kasus campak, maka anak SD,
SLTP dan SLTA dapat diberikan imunisasi ulang
c. Setiap orang yang pernah memperoleh imunoglobulin
d. Seseorang yang tidak dapat menunjukkan catatan imunisasinya

312
Kontraindikasi :
Bagi mereka yang sedang menderita demam tinggi, sedang memperoleh pengobatan
imunosupresif, hamil, memiliki riwayat alergi, sedang memperoleh pengobatan
imunoglobulin atau bahan-bahan berasal dari darah, alergi terhadap protein telur.
KIPI
- Demam lebih dari 39,50C yang terjadi pada 5%-15% kasus, demam dijumpai
pada hari ke-5 sampai ke-6 sesudah imunisasi dan berlangsung selama 2 hari
- Kejang demam
- Ruam timbul pada hari ke-7 sampai ke-10 sesudah imunisasi dan berlangsung
selama 2-4 hari
- Reaksi KIPI yang berat dapat menyerang sistem saraf, yang reaksinya
diperkirakan muncul pada hari ke-30 sesudah imunisasi.

6. Vaksinasi MMR1,3
Vaksin MMR merupakan vaksin kering, mengandung virus hidup. Bagi Balita, pada usia 12-
15 bulan (jika tidak mendapatkan imunisasi campak) dapat diberikan vaksinasi MMR untuk
mencegah risiko tinggi yang membahayakan bagi kesehatan.
Imunisasi MMR adalah imunisasi kombinasi untuk mencegah penyakit campak, gondongan,
dan rubella. Pemberian vaksin biasanya dilakukan pada usia anak 12-15 bulan. Dosis
tunggal 0,5 ml diberikan secara intramuskular atau subkutan dalam.
Terdapat 2 jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia, yaitu :
Galur virus yang
dilemahkan
Campak Gondongan Rubella
Edmonston Jerryl lyn Wistar RA 27/3
Schwarz Urabe AM-9 Wistar RA 27/3
Tabel 3 . Dua jenis vaksin MMR yang beredar di Indonesia
Daya lindung MMR sebesar 95%, namun kadar antibodi yang dibentuk melalui vaksinasi
lebih rendah dibandingkan dengan antibodi yang diperoleh setelah menderita
gondongan. Vaksinansi MMR tidak dianjurkan diberikan pada: anak yang alergi terhadap
telur/neomycin, yang sedang dalam pengobatan imunosupresif, anak dengan alergi
berat, anak dengan demam akut, setelah pemberian imunoglobulin atau transfusi darah.
KIPI
Reaksi sistemik, seperti malaise, demam, atau ruam yang sering terjadi 1 minggu
setelah imunisasi dan berlangsung selama 2-3 hari.

7. Vaksinasi Hib (Haemophilus influenza tipe b)1,3


Vaksin Hib merupakan vaksin yang tidak aktif, dibuat dari kapsul Haemophilus influenza
Tipe B yang disebut polyribosribitol phospat (PRP).
Terdapat 2 jenis vaksin Hib di Indonesia yaitu PRP-T dan PRP-OMP. Kedua vaksin ini
termasuk vaksin konjugasi. Vaksin Hib PRP-T diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Vaksin
Hib PRP-OMP diberikan pada usia 2 dan 4 bulan. Dosis ketiga tidak diperlukan. Vaksin
ulangan, baik PRP-T maupun PRP-OMP diberikan pada usia 15 - 18 bulan. Apabila anak
datang pada usia 1-5 tahun, maka vaksin Hib hanya diberikan 1 kali. Vaksin ini diberikan

313
secara intramuskular sebanyak 0,5 ml didaerah paha atas. Kekebalan tubuh akan mulai
terbentuk setelah pemberian suntikan yang pertama dengan vaksin jenis PRP-OMP dan
setelah 2 kali suntikan dengan vaksin jenis PRP-T.
Anak-anak usia diatas 6 bulan yang belum mendapat vaksin diberikan 2 kali suntikan,
sedangkan bagi anak diatas usia 1 tahun cukup mendapat 1 kali suntikan saja tanpa perlu
pemberian ulangan. Dengan pemberian vaksin ini diharapkan 95% anak-anak terlindungi
dari infeksi Hib setelah dosis kedua atau ketiga.
Reaksi KIPI setelah pemberian vaksinasi Hib, 5%-30% anak memperoleh vaksinasi bisa
mengalami demam, bengkak kemerahan, dan nyeri pada tempat suntikan selama 1-3 hari.
Vaksin Hib tidak direkomendasikan diberikan bila seseorang sedang demam, mengalami
infeksi akut, dan orang dengan riwayat alergi yang mengancam jiwa.

8. Vaksinasi Pneumokokus 1,3


Saat ini telah tersedia 2 macam vaksin untuk mencegah penyakit yang disebabkan bakteri
pneumokokus, yaitu PPV23 dan PCV7. PPV23 adalah vaksin pneumokokus yang berisi
polisakarida murni dengan 23 serotipe, vaksin jenis ini kurang bereaksi baik jika diberikan
pada anak usia kurang dari 2 tahun karena fungsi sel imun yang belum matang. Vaksin ini
hanya memberikan kekebalan dalam jangka pendek. Sedangkan PCV7 adalah vaksin
pneumokokus generasi kedua yang berisi polisakarida konjugasi. Vaksin ini dapat diberikan
pada anak usia kurang dari 2 tahun meskipun sel imun mereka belum matur. Vaksin ini
mencakup 7 serotipe yang berbahaya yang banyak mengakibat kematian pada anak usia < 5
tahun.
Vaksin pneumokokus diberikan secara intramuskular atau subkutan di daerah deltoid atau
paha tengah lateral sebanyak 0,5 ml. Vaksin ini diberikan sejak usia 2 bulan dengan interval
2 bulan sebanyak 3 kali. Kemudian ulangan hanya dilakukan pada anak yang memiliki risiko
tinggi tertular pneumokokus pada usia 12-18 bulan. PCV7 sebaiknya diberikan jika anak
sudah berusia lebih dari 2 bulan, diberikan pada bayi umur 12-15 bulan. Interval antara 2
dosis minimal 4-8 minggu. Anak yang telah mendapat imunisasi PCV7 lengkap sebelum
umur 2 tahun, pada umur 2 tahun diberi PPV23 1 dosis, dengan selang waktu suntik > 2
bulan setelah PCV7 terakhir.
Reaksi KIPI pada 30-50% resipien yang mendapatkan vaksin ini akan mengalami
eritema atau nyeri pada tempat suntikan, biasanya berlangsung kurang dari 48 jam. Reaksi
lain berupa demam, gelisah, pusing, nafsu makan menurun, mialgia (pada anak <1%).
Demam ringan sering timbul. Reaksi ikutan pasca imunisasi ini biasanya terjadi setelah
pemberian dosis kedua, namun berlangsung tidak lama dan menghilang dalam 3 hari.
Ada beberapa kondisi dimana imunisasi pneumokokus ini tak dapat diberikan, yaitu:
Kontraindikasi absolut: bila timbul anafilaksis setelah pemberian vaksin.
Kontraindikasi relatif:
- Usia kurang dari 2 tahun, karena respon terhadap vaksin masih kurang baik
- Dalam pengobatan imunosupresif atau radiasi kelenjar limfe.

9. Vaksinasi Influenza1,3
Virus influenza mengandung virus yang tidak aktif (inactivated influenza virus). Terdapat 2
macam vaksin, yaitu whole virus dan split-virus vaccine.

314
Dosis bagi anak berumur < 3 tahun adalah 0,25 ml dan dosis bagi anak berumur > 3 tahun
adalah 0,5 ml disuntikan di otot paha. Bila anak telah berusia > 9 tahun, vaksin cukup
diberikan satu dosis dan diulang setiap tahun.
KIPI dari penyuntikan vaksin yang mungkin terjadi adalah bengkak, nyeri, kemerahan pada
tempat suntikan, demam, dan pegal. Gejala-gejala tersebut dapat terjadi setelah
penyuntikan dan bertahan 1-2 hari.

10. Vaksinasi Tifoid1,3


Vaksin tifoid ada dua macam, yaitu: 10
a. Vaksin oral: berasal dari kuman Salmonella typhi yang dilemahkan. Disimpan
dalam suhu 2-8oC dan dikemas dalam bentuk kapsul. Vaksin oral diberikan pada saat
anak berusia 6 tahun atau lebih sebanyak 4 kapsul dengan jarak setiap 1 hari (hari 1-3-
5-7). Pemberiannya dapat diulang tiap 5 tahun. Respon imun akan terbentuk 10-14 hari
setelah dosis terakhir.
Yang perlu diperhatikan dalam pemberian vaksin ini adalah tidak boleh dilakukan saat
sedang demam, tidak boleh dilakukan pada orang dengan penurunan sistem kekebalan
tubuh (HIV, keganasan, sedang kemoterapi atau sedang terapi steroid) dan riwayat
anafilaksis, tidak boleh kepada orang yang alergi gelatin.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini cukup ringan, yaitu muntah, diare, demam, dan
sakit kepala. Dengan efektivitas vaksin yang lebih tinggi dan disertai efek samping yang
lebih rendah daripada jenis vaksin tifoid lainnya, maka vaksin tifoid oral ini merupakan
pilihan utama. Sayangnya, vaksin oral belum tersedia di Indonesia.
b. Vaksin parenteral: berasal dari polisakarida Vi dari kapsul salmonella typhi, yang
dimatikan. Susunan vaksin polisakarida setiap 0,5 ml mengandung kuman Salmonella
typhi, polisakarida 0,025 mg, fenol dan larutan bufer yang mengandung natrium klorida,
disodium fosfat, monosodium fosfat dan pelarut untuk suntikan. Disimpan dalam suhu 2-
8oC dan tidak boleh dibekukan. Diberikan pada anak berusia 2 tahun atau lebih. Satu
dosis dapat diberikan setiap 2-3 tahun. Dilakukan secara intramuskular atau subkutan di
deltoid atau paha atas. Respon imunitas akan terbentuk dalam 15 hari sampai 3 minggu
setelah imunisasi.
Keadaan yang dihindarkan saat pemberian vaksin adalah jangan diberikan sewaktu
demam, riwayat alergi, dan keadaan penyakit akut.
KIPI yang timbul berupa demam, pusing, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot tempat
suntikan.

11. Imunisasi Hepatitis A1,3


Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa vaksinasi Hepatitis A dapat memberikan
perlindungan hampir 100% dan dapat bertahan sekitar 15 - 20 tahun. Vaksin Hepatitis A
berisi virus Hepatitis A yang dilemahkan dan tersedia dalam 2 kemasan dosis, yaitu
untuk anak-anak 2-18 tahun dan dewasa usia > 18 tahun. Vaksin diberikan sebanyak 2
kali, suntikan kedua diberikan 6-12 bulan dari suntikan pertama, dan selanjutnya tidak
diperlukan pengulangan. Untuk pemberian yang cepat dapat langsung diberikan suntikan

315
2 dosis sekaligus dengan daya perlindungan > 90% dalam 2 minggu. Dosisnya
bervariasi bergantung pada produk dan usia, disuntik secara intramuskular di deltoid.
Jenis Vaksin Usia Dosis Volume (ml) Jadwal
(bulan ke-)
Havrix (Glaxo 2 - 18 th 720 ELISA 0,5 Dua dosis :
SmithKline) units 0 dan 6-12
> 18 th ELISA units 1 Dua dosis :
0 dan 6-12
Vaqta (Merck) 2 - 18 th 25 U 0,5 Dua dosis :
0 dan 6-18
> 18 th 50 U 1 Dua dosis :
0 dan 6-12
Twinrix > 17 tahun 720 ELISA 1 Tiga dosis :
(GlaxoSmithKline) units 0, 1, dan 6
Tabel 4. Vaksinasi Hepatitis A dan Pemberian Imunoglobulin (Craig & William S 2004)
KIPI
Umumnya aman dan KIPI yang sering ditemukan adalah reaksi lokal tetapi umumnya ringan,
kadang-kadang juga ada sedikit demam. Efek samping akibat pemberian vaksinasi terbanyak
10 %-15% berupa nyeri dan bengkak di tempat injeksi. Vaksin tidak boleh diberikan pada
individu yang mengalami efek samping berat sesudah pemberian dosis pertama.

12. Vaksinasi Varisela1,3


Vaksin berisi virus hidup varicella-zoster yang dilemahkan yang berasal dari galur OKA.
Vaksin ini berasal dari virus varicella zooster liar yang diisolasi dari seorang anak yang
bernama belakang oka berusia 3 tahun. Vaksin ini dikembangkan pertama kali di Jepang oleh
Takahashi dan di Amerika mendapat lisensi untuk digunakan pada anaksejak tahun 1995.
Menurut rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak seluaruh Indonesia), vaksin varisela
dianjurkan pada anak dengan usia > 1 tahun, cukup 1 dosis. Namun berdasarkan penelitian
mengenai pencegahan dan penanganan wabah varisela maka pada tahun 2006 The
Advisory Commitee on Immunization Practices (ACIP) dan America Academy of Pediatrics
(AAP) merekomendasikan 2 dosis untuk semua anak. Hal ini disebabkan masih timbulnya
wabah varisela terutama pada populasi yang sebagian besar telah dievakuasi. Disimpan
dalam suhu 2-8oC. Suntikan pertama diberikan saat usia 12-15 bulan dan suntikan kedua
pada usia 4-6 tahun sebanyak 0,5 ml secara subkutan.11
KIPI
Jarang terjadi, tetapi bila terjadi reaksi yang muncul bersifat lokal (1%) yaitu bengkak dan
kemerahan pada tempat suntikan yang terjadi beberapa jam sesudah suntikan. Kadang-
kadang didapatkan demam (1%) dan timbul bercak kemerahan dan lenting ringan.
Kontra indikasi
Vaksin varisela tidak dapat diberikan pada keadaan demam tinggi, gangguan kekebalan
karena pengobatan penyakit keganasan atai sesudah diradioterapi, pasien yang mendapat
pengobatan kortikosteroid tinggi dan alergi neomisin.

316
13. Vaksinasi Rotavirus1,3
Pada tahun 1998, vaksin Rotashield telah digunakan untuk mencegah diare rotavirus.
Namun, karena efek samping yang ditimbulkan (berupa gangguan usus), maka vaksin
tersebut ditarik dari peredaran. Saat ini terdapat 2 vaksin rotavirus, yaitu ;
- Rotarix (GSK) yang merupakan vaksin monovalen karena hanya mengandung strain
manusia P(8)G1.
- Rotateg yang merupakan vaksin prevalen karena mengandung strain manusia-sapi
P(8)G1-G4.
Keduanya diberikan melalui mulut (oral). Kedua vaksin tersebut terbukti aman dari risiko
gangguan usus. Efektivitas vaksin berkurang apabila diberikan bersama vaksin polio oral.
Kejadian ikutan pasca pemberian vaksin dilaporkan adalah diare 7,5%; muntah 8,7%; dan
demam 12,1%
Nama Vaksin Rotavirus
Sasaran imunisasi Bayi sedini usia 4 minggu
Macam vaksin Rotarix, Rotateg
Dosis Rotarix, 3 dosis; Rotareg, 2 dosis
Jadwal Pemberian Rotarix : usia (4, 8) minggu; Rotateg :
usia (4,8,12) minggu
Cara Pemberian Oral
Efektivitas Belum diketahui secara pasti
Kontraindikasi - Sebaiknya tidak diberikan
bersama-sama dengan vaksin polio oral
- Adanya infeksi bakteri patogen di
Usus
KIPI Diare, muntah, demam

Tabel 5 . Vaksinasi rotavirus

14. Vaksin Japanesse Encephalitis1


Pencegahan penyakit JE pada manusia bisa dilakukan dengan pemberian vaksin JE. Vaksin
diberikan secara serial dengan dosis 1 ml secara subkutan pada hari ke-0, hari ke-7 dan hari
ke-28. Untuk anak berumur 1-3 tahun, dosis yang diberikan masing-masing 0,5 ml dengan
jadwal yang sama. Dosis penguat dapat diberikan 3 tahun kemudian bagi mereka yang
tinggal di daerah rawan terinfeksi virus JE.
KIPI pemberian vaksin JE bias berupa kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan,
demam, sakit kepala, menggigil, mual dan muntah. Di Indonesia pemberian vaksin JE pada
manusia belum disosialisasikan, karena kebijakan penggunaan vaksin masih belum diatur.
Nama Vaksin Vaksin Japannesse encephalitis
Indikasi Semua umur terutama yang tinggal di daerah rawan JE atau
yang akan mengadakan perjalanan ke dearah yang rawan
penyakit JE
Dosis dan 1 ml secara subkutan pada hari 0, 7, dan 28. Untuk anak
jadwal berumur sapai 1-3 tahun; dosis 0,5ml, dengan jadwal yang
sama

317
Efektivitas 90%
KIPI Kemerahan dan bengkak di temppat penyuntikan, demam,
sakit kepala, menggigil, mual dan muntah
Kontraindikasi Alergi
Tabel 6 . Vaksinasi Japannesse encephalitis

15. Vaksinasi Meningitis1


Pencegahan secara khusus dilakukan dengan pemberian vaksin. Vaksin meningococcus
pertama diperkenalkan pada tahun 1978. Awalnya, vaksin ini hanya mampu melindungi dari 2
subtipe bakteri moningococcus (A & C). Namun, vaksin ini telah mengalami banyak
perkembangan, sekarang dapat melindungi 4 subtipe dari bakteri meningococcus, yaitu
subtype A, C, Y,dan W-135.
Vaksin ini disebut vaksin tetravalent, yaitu MPSV4 (meningococcal polysacarida vaccine A,
C, Y, W-135) dan yang terbaru MCV4 ( Meningococcaal conjugated vaccine A,C, Y, W-135).
Pemberian vaksin diutaman bagi anggota militer yang tinggal di barak perkemahan, pegawai
laboratorium yang kontak serta dengan bakteri Neisseria meningitidis, siswa yang tinggal di
daerah pesantren, dan bagi jemaah haji serta turis yang hendak masuk ke daerah endemik.

Vaksin Polisakarida Meningococcus A, C, Y, W-135 (MPSV4)


Vaksin ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 1981, diberikan pada anak usia 2-10 tahun
dan usia di atas 55 tahun. Pemberian vaksin tidak dianjurkan bagi anak usia kurang dari 2
tahun dan anak sekolah di atas 11 tahun. Yang lebih dianjurkan untuk usia ini adalah vaksin
jenis MCV4, namun jika tidak tersedia vaksin jenis MCV4, maka vaksin ini (MPSV4) juga
dapat digunakan.
Vaksin MPSV4 diberikan dengan satu kali suntikan secara subkutan (di bawah kulit).
Perlindungan yang didapatkan sekitar 85%-100% dan akan bertahan selama 3-5 tahun.
Kekebalan yang terbentuk akan menurun dalam 2-3 tahun, sehingga diperlukan imunisasi
ulangan setiap 3-5 tahun.
KIPI yang timbul akibat vaksin ini relatif ringan, yakni hanya berupa nyeri dan kemerahan
pada tempat suntikan, dapat terjadi demam (5%). Reaksi alergi jarang terjadi (kurang dari
0,1/100.000).

Vaksin Conjugasi Meningococcus (MCV 4)


MCV4 pertama kali dikeluarkan pada tahun 2005 dengan harapan dapat lebh baik daripada
vaksin sebelumnya dan dapat memberikan perlindungan yang lebih lama. Vaksin ini
diberikan bagi anak di atas usia 2 tahun, terutama pada usia 11-12 tahun. Pertimbangan
pemberian vaksin untuk anak usia di atas 11 tahun adalah karena respon kekebalan yang
terbentuk terhadap vaksin ini tidak optimal, sehingga daya perlindungan yang didapatkan
tidak maksimal.
Pemberian vaksin dilakukan 1 kali melalui suntikan di otot lengan dan boleh diberikan
bersamaan dengan vaksin lainnya, asalkan pada tempat yang berbeda.
Kekebalan mulai terbentuk dalam 10 - 14 hari setelah pemberian vaksin dan dapat bertahan
selama 10 tahun. Dengan demikian tidak perlu pemberian ulangan, tetapi untuk yang
menerima vaksin di bawah usia 4 tahun kekebalan tubuh yang terbentuk akan lebih cepat

318
menurun dalam 3 tahun pertama. Pemberian ulangan diberikan jika ada risiko penularan
secara terus menerus.
Jadwal ulangan adalah 1 tahun untuk anak yang menerima vaksin pada usia kurang dari 4
tahun. Bagi anak yang menerima vaksin pada usia di atas 4 tahun, maka ulangan diberikan
setelah satu tahun.
KIPI yang ditimbulkan oleh vaksin ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan vaksin jenis
MPSV4. Namun, biasanya sangat ringan, yakni berupa rasa sakit dan tibul kemerahan pada
tempat suntikan yang akan hilang dalam 1-2 hari. Efek lain yang dapat timbul adalah
kesemutan atau rasa seperti terbakar, tetapi angka kejadiannya sangat jarang (kurang dari
1/10.000 orang). Guillain-Barre Syndrome atau terjadi kelumpuhan merupakan efek samping
yang ditakutkan, namun risiko terjadinya efek ini sangat kecil. Vaksin ini tidak boleh diberikan
pada seseorang dengan riwayat alergi dengan bahan vaksin, alergi latex, dan pada orang
dengan infeksi akut, serta pada wanita hamil.

16. Vaksin Yellow Fever1


Orang (berumur > 1 tahun) yang hendak bepergian ke Amerika dan Amerika Latin harus
mendapatkan vaksinasi demam kuning. Aturannya adalah 10 hari setelah mendapatkan
vaksinasi, orang tersebut akan memperoleh International Certificate of Vaccination yang
berlaku sampai 10 tahun. Vaksin demam kuning berupa virus hidup yang dilemahkan, dari
galur 17 D. Vaksin disuntikkan di bawah kulit sebanyak 0,5 ml berlaku untuk semua umur dan
sangat efektif dalam memberikan proteksi dalam kurun waktu 10 tahun. Vaksin tidak
direkomendasikan pada anak < 9 bulan, ibu hamil, alergi telur, dan orang yang sedang
mengalami penurunan daya tahan tubuh.,
KIPI pemberian vaksin demam kuning pada umumnya bersifat ringan. Sekitar 2%-5%
penerima vaksin ini merasa pusing, nyeri otot, dan demam yang terjadi 5-10 hari setelah
mendapatkan vaksinasi.

17. Vaksinasi HPV


Pengembangan vaksin pencegahan vaksin HPV menawarkan harapan baru untuk
mencegah kanker leher rahim. Uji klinis dari 2 generasi pertama vaksin, satu untuk HPV tipe 16
dan 18, sedangkan yang lainnya untuk tipe 6, 11, 16, 18 telah memperlihatkan proteksi yang
cukup tinggi melawan insiden dan infeksi persisten.
Vaksin diberikan 3 dosis (bulan ke-0, ke-1, dan ke-6) secara intramuskular lengan atas. Vaksin
tidak akan memberikan proteksi maksimal jika tidak menyeleseikan ke-3 dosis tersebut. Sampai
saat ini, penelitian selama 5 tahun dan masih berjalan bahwa vaksin ini tidak memerlukan
booster, sehingga masih efektif setidaknya untuk 5 tahun.
Vaksin HPV aman dan efektif jika diberikan pada wanita usia 9-26 tahun. Namun panduan dari
Himpunan Onkologi Ginekologi Indonesia (HOGI) menyarankan vaksin diberikan pada wanita
usia 10-55 tahun. Vaksin pencegahan terhadap infeksi HPV akan bekerja secara efisien bila
vaksin ini diberikan sebelum individu terpapar infeksi HPV.
Vaksin HPV relatif aman, reaksi KIPI relatif ringan dapat berupa nyeri pada lokasi penyuntikan,
sakit kepala, demam, mual, dan demam.

319
JADWAL IMUNISASI
Jadwal Imunisasi IDAI 2008 secara garis besar sama dibandingkan dengan jadwal 2004.
Perbedaan terletak pada penambahan vaksin pneumokokus konjugasi (PCV=pneumococcal
conjugate vaccine), vaksin influenza pada program imunisasi yang dianjurkan (non-PPI) serta
jadwal imunisasi varisela yang dianjurkan diberikan pada umur 5 tahun (jadwal tahun 2007).
Pada jadwal 2008 ditambahkan vaksin Rotavirus untuk diare pada anak dan HPV (Human
Papilloma Virus). Pada tahun 2010 ini berdasarkan rekomendasi IDAI (Ikatan Dokter Anak
Indonesia) tidak adanya lagi perbedaan program imunisasi yang diwajibkan dan dianjurkan serta
ada perbedaan waktu pemberian awal imunisasi seperti varisela atau imunisasi ulangan seperti
hepatitis B.

Gambar. Jadwal imunisasi 2011-20127

320
DAFTAR PUSTAKA

1. Suharjo, JB. Vaksinasi cara ampuh cegah penyakit infeksi. Kanisius : 2010
2. Sri, Rezeki S Hadinegoro. Prof. Dr. dr. SpA(K), dkk. Pedoman imunisasi di
Indonesia. Ikatan Dokter Indonesia. Edisi ke-2. Jakarta 2005
3. Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, penyunting.
Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ketiga. Jakarta: Satgas Imunisasi Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2008.
4. Rahajoe NN, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita CB, penyunting. Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak. Edisi kedua. Jakarta: UKK Respiratologi PP IDAI; 2007.
5. Lawrence M Tierney Jr MD, Stephen J McPhee MD, Maxine A Papadakis MD.
Current Medical Diagnosis and Treatment 2002. Page 1313-1319.
6. Eric AF Simoes MD DCH and Jessie R Groothius MD. Immunization. Page 235-
258.
7. Jadwal Imunisasi Anak - Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) 2008
[image on the Internet]. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008 Available from :
http://pediatricinfo.wordpress.com/2009/04/20/jadwal-imunisasi-2008-idai/

321
ZAT-ZAT GIZI ESENSIAL YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA

Beberapa zat gizi diperlukan dalam pembentukan sel darah merah,


yang paling penting adalah zat besi, vitamin B 12 dan asam folat; tetapi tubuh juga memerlukan
sejumlah kecil vitamin C, riboflavin dan tembaga serta keseimbangan hormon,
terutama eritropoietin (hormon yang merangsang pembentukan sel darah merah). Tanpa zat gizi
dan hormon tersebut, pembentukan sel darah merah akan berjalan lambat dan tidak mencukupi,
dan selnya bisa memiliki kelainan bentuk dan tidak mampu mengangkut oksigen sebagaimana
mestinya.
a. Besi (Fe)
Besi merupakan salah satu elemen penting dalam metabolisme tubuh, terutama dalam
pembentukan sel darah merah (eritripoiesis). Selain itu juga terlibat dalam berbagai proses di
dalam sel (intraseluler) pada semua jaringan tubuh. Mitokondria mengandung suatu system
pengangkutan electron dari susbstrat dalam sel ke mol O2 bersamaan dengan pembentukan
ATP. Dalam system ini turut serta sejumlah komponen besi yang memindahkan atom.
Kegagalan system ini dapat terjadi bila pemasokan (suplai) O2 ke jaringan kurang dan
mengakibatkan produksi energi berkurang. Dalam proses pembentukan energi ini terlibat enzim
sitokrom.
Hemoglobin mempunyai berat molekul 64.500 terdiri dari 4 golongan heme yang masing-masing
mengikat 1 atom besi dan dihubungkan dengan 4 rantai polipeptid dan dapat mengikat 4 mol
oksigen. Konfigurasi ini memungkinkan pertukaran gas yang sangat sempurna.
Besi juga terlibat dalam bermacam-macam tingkatan proses metabolic seperti reaksi hidrolisasi
yang berhubungan dengan detoksifikasi obat, sintesis steroid, DNA, metabolisme katekolamin
dan pembentukan kolagen. Bila sel mengambil besi lebih dari yang diperlukan untuk kebutuhan
metabolisme khusus maka keleebihan ini akan merangsang sintesis feritiin dan sejumlah kecil
disimpan dalam sel. Komponen besi yang disimpan dalam feritin dan hemosiderin terutama
ditemukan dalam system retikuloendotelial (RES) ;hati, limpa dan sum-sum tulang, tapi juga
ditemukan dalam sel parenkim. Inilah sebabnya mengapa besi di dalam serum meningkat pada
penyakit hepatitis.
Jumlah besi di dalam tubuh seorang normal berkisar antara 3-5 g tergantung dari jenis kelamin,
berat badan dan hemoglobin. Besi di dalam tubuh terdapat dalam hemoglobin sebanyak 1,5-3,0
g dan sisa lainnya terdapat dalam plasma dan jaringan. Di dalam plasma besi terikat dengan
protein yang disebut transferin sebanyak 3-4 g. Sedangkan dalam jaringan berada dalam suatu
status esensial (non-available) dan bukan esensial (available). Disebut esensial karena tidak
dapat dipakai untuk pembentukan hemoglobin maupun keperluan lainnya. Dalam mioglobin
terdapat enzim sitokrom, katalase, dan peroksidase dalam jumlah lebih kurang 0,3 g sedangkan
yang esensial ditemukan dalam bentuk feritin dan hemosiderin siap untuk dipakai baik untuk
pembentukan sel darah merah maupun keperluan lainnya dalm sel retikuloendotelial hati dan
sumsum tulang.
Besi diabsorbsi terutama di dalam duodenum dalam bentuk fero dan dalam suasana asam.
Absorbsi besi ini dipengaruhi oleh factor endogen, eksogen dan usus sendiri. Faktor endogen
mengatur jumlah besi yang akan diabsorbsi dan tergantung dari jumlah cadangan besi di dalam
tubuh, aktivitas eritopoiesis dan kadar Hb. Bila cadangan besi berkurang atau aktivitas
eritropoiesis meningkat, atau kadar Hb rendah, maka jumlah besi yang diabsorbsi akan

322
meningkat dan sebaliknya bila cadangan besi cukup, aktivitas eritropoiesis kurang atau Hb
normal akan mengurangi absorbsi besi.
Faktor eksogen ditentukan oleh komposisi, sumber, sifat kimia dan cara proses makanan.
Sumber hwani lebih mudah diabsorbsi daripada sumber nabati dan vit C mempermudah
absorbsi karena mereduksi besi dari bentuk feri menjadi bentuk fero yang lebih mudah
diabsorbsi. Sebaliknya kasium, fosfor, dan asam fitat menghambat absorbsi karena dengan besi
membentuk suatu persenyawaan yang tidak larut. Faktor usus juga berpengaruh karena asam
klorida lambung mempermudah absorbsi untuk melepaskan besi dari kompleks feri sedang
secret pancreas menghambat absorbsi besi. Pada pankreatitis dan sirosis hepatic, absorbsi besi
bertambah karena sekresi pankreas berkurang.
Jumlah besi yang dibutuhkan setiap hari tergantung dari umur, jenis kelamin dan berat badan.
Laki-laki dewasa normal memerlukan 1-2 mg besi setiap hari, sedangkan anak dalam masa
pertumbuhan dan wanita dalam masa menstruasi perlu penambahan 0,5-1 mg dari kebutuhan
normal lelaki dewasa. Wanita hamil dan yang menyusui memerlukan rata-rata 3-4 mg besi
setiap hari. Berbeda dengan mineral lainnya, tubuh tidak dapat mengatur keseimbangan besi
melalui ekskresi. Besi dikeluarkan dari tubuh relative konstan berkisar antara 0,5-1,0 mg setiap
hari melalui rambut, kuku, keringat, air kemih, dan terbanyak melalui deskuamasi sel epitel
saluran pencernaan. Lain halnya dengan wanita yang sedang meenstruasi setiap hari
kehilangan besi 0,5-1,0 mg atau 40-80 ml darah dan wanita yang sedang menyusui sebanyak
1,0 mg sehari. Wanita yang melahirkan dengan perdarahan normal akan kehilangan besi 500-
550mg.
b. Vitamin B12
Vitamin B12 (kobalamin) mempunyai struktur cincin yang kompleks (cincin corrin) dan serupa
dengan cincin porfirin, yang pada cincin ini ditambahkan ion kobalt di bagian tengahnya. Vitamin
B12 disintesis secara eksklusif oleh mikroorganisme. Dengan demikian, vitamin B12 tidak
terdapat dalam tanaman kecuali bila tanaman tersebut terkontaminasi vitamin B12 tetapi
tersimpan pada binatang di dalam hati temapat vitamin B12 ditemukan dalam bentuk
metilkobalamin, adenosilkobalamin, dan hidroksikobalamin.
Absorbsi intestinal vitamin B12 terjadi dengan perantaraan tempat-tempat reseptor dalam ileum
yang memerlukan pengikatan vitamin B12, suatu glikoprotein yang sangat spesifik yaitu faktor
intrinsik yang disekresi sel-sel parietal pada mukosa lambung. Setelah diserap vitamin B12
terikat dengan protein plasma, transkobalamin II untuk pengangkutan ke dalam jaringan.
Vitamin B12 disimpan dalam hati terikat dengan transkobalamin I.
Koenzim vitamin B12 yang aktif adalah metilkobalamin dan deoksiadenosilkobalamin.
Metilkobalamin merupakan koenzim dalam konversi Homosistein menjadi metionin dan juga
konversi Metil tetrahidro folat menjadi tetrafidrofolat. Deoksiadenosilkobalamin adalah koenzim
untuk konversi metilmalonil Ko A menjadi suksinil Ko A.
Kekurangan atau defisiensi vitamin B12 menyebabkan anemia megaloblastik. Karena defisiensi
vitamin B12 akan mengganggu reaksi metionin sintase . anemia terjadi akibat terganggunya
sintesis DNA yang mempengaruhi pembentukan nukleus pada ertrosit yang baru . Keadaan ini
disebabkan oleh gangguan sintesis purin dan pirimidin yang terjadi akibat defisiensi
tetrahidrofolat. Homosistinuria dan metilmalonat asiduria juga terjadi .Kelainan neurologik yang
berhubungan dengan defisiensi vitamin B12 dapat terjadi sekunder akibat defisiensi relatif
metionin.

323
c. Asam folat
Nama generiknya adalah folasin . Asam folat ini terdiri dari basa pteridin yang terikat dengan
satu molekul masing-masing asam P- aminobenzoat acid (PABA ) dan asam glutamat.
Tetrahidrofolat merupakan bentuk asam folat yang aktif. Makanan yang mengandung asam folat
akan dipecah oleh enzim-enzim usus spesifik menjadi monoglutamil folat agar bisa diabsorbsi .
kemudian oleh adanya enzim folat reduktase sebagian besar derivat folat akan direduksi
menjadi tetrahidrofolat dala sel intestinal yang menggunakan NADPH sebagai donor ekuivalen
pereduksi.
Tetrahidrofolat ini merupakan pembawa unit-unit satu karbon yang aktif dalam berbagai reaksi
oksidasi yaitu metil, metilen, metenil, formil dan formimino.Semuanya bisa dikonversikan.
Serin merupakan sumber utama unit satu karbon dalam bentuk gugus metilen yang secara
reversible beralih kepada tetrahidrofolat hingga terbentuk glisin dan N5, N10–metilen–H4folat
yang mempunyai peranan sentral dalam metabolisme unit satu karbon. Senyawa di atas dapat
direduksi menjadi N5–metil–H4folat yang memiliki peranan penting dalam metilasi homosistein
menjadi metionin dengan melibatkan metilkobalamin sebagai kofaktor. Defisiensi atau
kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik karena terganggunya
sintesis DNA dan pembentukan eritrosit.

324
DAFTAR PUSTAKA
1. I Made Bakta. 2012. Hematologi Klinik Ringkas. EGC; Jakarta
2. Harrison, Isselbacher, et al. Prinsip- Prinsip Ilmu Penyakit Dalam edisi
13, volume 3; 1919-1921; penerbit buku kedokteran EGC

325
Alergi dan Intoleransi Makanan Dan Fungsi Imun

I. Definisi
Alergi makanan adalah reaksi abnormal dari sistem imun tubuh terhadap komponen makanan
(protein) dan menimbulkan gejala yang merugikan tubuh. Semua zat yang menyebabkan reaksi
imunologi disebut alergen. Apabila alergen masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan
membentuk antibodi yang selanjutnya akan menyerang alergen tersebut sehingga memicu
reaksi alergi (gatal-gatal, bengkak lidah atau bibir, pusing, pingsan, dan dalam kasus yang
parah, kematian). Gejala alergi berlangsung dengan cepat setelah mengkonsumsi alergen.
Pada orang yang sangat sensitif, konsumsi sedikit saja makanan alergen dapat memicu alergi.
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh
yang ditimbulkan oleh alergi terhadap makanan. Dalam beberapa kepustakaan alergi makanan
dipakai untuk menyatakan suatu reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi
hipersensitifitas tipe I dan hipersensitifitas terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi
hipersensitifitas tipe III dan IV. Alergi makanan adalah reaksi imunologis (kekebalan tubuh) yang
menyimpang karena masuknya bahan penyebab alergi dalam tubuh. Sebagian besar reaksi ini
melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1.
Potensi terjadinya alergi makanan pada seseorang sering merupakan keturunan. Beberapa
makanan yang sering menimbulkan alergi pada anak-anak adalah susu, kacang dan telur
sementara pada orang dewasa adalah kerang. Alergi bisa hilang dengan bertambahnya usia.
Sebagai contoh, alergi protein susu pada anak bisa menghilang ketika anak dewasa.
Intoleransi makanan merupakan reaksi negatif terhadap makanan dan menimbulkan beberapa
gejala (cenderung berhubungan dengan pencernaan, seperti kram, diare, gas dan kembung),
namun tidak melibatkan sistem imun tubuh. Penyebab intoleransi makanan adalah karena sistim
pencernaan penderita kekurangan enzim yang dibutuhkan untuk mencerna zat tertentu dalam
makanan. Contoh intoleransi adalah intoleransi laktosa dan penyakit celiac. Intoleransi laktosa
terjadi pada orang yang kekurangan enzim laktase di saluran cernanya sehingga tidak bisa
minum susu (kecuali jika laktosanya telah dihilangkan), sementara penderita penyakit celiac
tidak bisa mengkonsumsi produk yang mengandung terigu karena penderita tidak dapat
mencerna gluten yang terdapat didalam terigu.
Intoleransi makanan adalah reaksi makanan nonimunologik dan merupakan sebagian besar
penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat
yang terkandung dalam makanan karena kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi
oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat
farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi
atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi lactase, maltase atau respon idiosinkrasi
pada pejamu.
Menurut cepat timbulnya reaksi maka alergi terhadap makanan terbagi dua macam, yaitu :
1. Reaksi cepat (Immediate Hipersensitivity/rapid onset reaction) : reaksi ini terjadi
berdasarkan reaksi kekebalan tubuh tipe tertentu. Terjadi beberapa menit sampai beberapa jam
setelah makan atau terhirup pajanan alergi.
2. Reaksi lambat (delayed onset reaction) : reaksi ini terjadi lebih dari 8 jam setelah makan
bahan penyebab alergi.

326
Reaksi simpang makanan (Adverse food reactions) adalah stilah umum untuk reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini dapat merupakan reaksi sekunder
terhadap alergi makanan atau intoleransi makanan.
Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan merupakan reaksi alergi murni,
tetapi banyak dokter atau masyarakat awam menggunakan istilah alergi makanan untuk semua
reaksi yang tidak diinginkan dari makanan, baik yang imunologik atau non imunologis.
Reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan seringkali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Reaksi tersebut dapat diperantarai oleh mekanisme yang bersifat imunologi, farmakologi, toksin,
infeksi, idiosinkrasi, metabolisme serta neuropsikologis terhadap makanan. Dari semua reaksi
yang tidak diinginkan terhadap makanan dan zat aditif makanan sekitar 20% disebabkan karena
alergi makanan.
II. Mekanisme Terjadinya Alergi Makanan
Struktur limfoepiteal usus yang dikenal dengan istilah GALT (Gut-Associated Lymphoid Tissues)
terdiri dari tonsil, patch payer, apendiks, patch sekal dan patch koloni. Pada keadaan khusus
GALT mempunyai kemampuan untuk mengembangkan respon lokal bersamaan dengan
kemampuan untuk menekan induksi respon sistemik terhadap antigen yang sama.
Pada keadaan normal penyerapan makanan,merupakan peristiwa alami sehari-hari dalam
sistem pencernaan manusia. Faktor-faktor dalam lumen intestinal (usus), permukaan epitel
(dinding usus) dan dalam lamina propia bekerja bersama untuk membatasi masuknya benda
asing ke dalam tubuh melalui saluran cerna. Sejumlah mekanisme non imunologis dan
imunologis bekerja untuk mencegah penetrasi benda asing seperti bakteri, virus, parasit dan
protein penyebab alergi makanan ke dinding batas usus (sawar usus).
Pada paparan awal, alergen maknan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk selanjutnya
mengekspresikan pada sel-T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T tersensitisasi dan akan
merangsang sel-B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe. Alergen yang intake akan
diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel pembentuk antibodi di
dalam mukosa usus dan orgalimfoid usus. Pada umumnya anak-anak membentuk antibodi
dengan subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak atopi terdapat kecenderungan lebih banyak
membentuk IgE, selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada saluran cerna, saluran
napas, kulit dan banyak organ tubuh lainnya. Sel epitel intestinal memegang peranan penting
dalam menentukan kecepatan dan pola pengambilan antigen yang tertelan. Selama terjadinya
reaksi yang dihantarkan IgE pada saluran cerna, kecepatan dan jumlah benda asing yang
terserap meningkat. Benda asing yang larut di dalam lumen usus diambil dan dipersembahkan
terutama oleh sel epitel saluran cerna dengan akibat terjadi supresi (penekanan) sistem imun
atau dikenal dengan istilah toleransi. Antigen yang tidak larut, bakteri usus, virus dan parasit
utuh diambil oleh sel M (sel epitel khusus yang melapisi patch peyeri) dengan hasil terjadi
imunitas aktif dan pembentukan IgA. Ingesti protein diet secara normal mengaktifkan sel
supresor TCD8+ yang terletak di jaringan limfoid usus dan setelah ingesti antigen berlangsung
cukup lama. Sel tersebiut terletak di limpa. Aktivasi awal sel-sel tersebut tergantung pada sifat,
dosis dan seringnya paparan antigen, umur host dan kemungkinan adanya lipopolisakarida
yang dihasilkan oleh flora intestinal dari host. Faktor-faktor yang menyebabkan absorpsi antigen
patologis adalah digesti intraluminal menurun, sawar mukosa terganggu dan penurunan
produksi IgA oleh sel plasma pada lamina propia. Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya alergi
makanan, yaitu :

327
1. Faktor Genetik
Alergi dapat diturunkan dari orang tua atau kakek/nenek pada penderita . Bila ada orang tua
menderita alergi kita harus mewaspadai tanda alergi pada anak sejak dini. Bila ada salah satu
orang tua yang menderita gejala alergi maka dapat menurunkan resiko pada anak sekitar 20–
40%, ke dua orang tua alergi resiko meningkat menjadi 40 - 80%. Sedangkan bila tidak ada
riwayat alergi pada kedua orang tua maka resikonya adalah 5 – 15%. Pada kasus terakhir ini
bisa saja terjadi bila nenek, kakek atau saudara dekat orang tuanya mengalami alergi. Bisa saja
gejala alergi pada saat anak timbul, setelah menginjak usia dewasa akan banyak berkurang.
2. Imaturitas Usus
Alergi makanan sering terjadi pada usia anak dibandingkan pada usia dewasa. Fenomena lain
adalah bahwa sewaktu bayi atau usia anak mengalami alergi makanan tetapi dalam
pertambahan usia membaik. Hal itu terjadi karena belum sempurnanya saluran cerna pada
anak. Secara mekanik integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung masuknya
alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi asam lambung dan enzim pencernaan menyebabkan
denaturasi allergen. Secara imunologik IgA pada permukaan mukosa dan limfosit pada lamina
propia dapat menangkal allergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus imatur (tidak matang)
sistem pertahanan tubuh tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan
alergen masuk ke dalam tubuh. Pada bayi baru lahir sel yang mengandung IgA, Imunoglobulin
utama di sekresi eksternal, jarang ditemui di saluran cerna. Dalam pertambahan usia akan
meningkat sesuai dengan maturasi (kematangan) sistem kekebalan tubuh.
Dilaporkan persentasi sampel serum yang mengandung antibodi terhadap makanan lebih besar
pada bayi berumur kurang 3 bulan dibandingkan dengan bayi yang terpapar antigen setelah
usia 3 bulan. Penelitian lain terhadap 480 anak yang diikuti secara prospektif dari lahir sampai
usia 3 tahun. Sebagian besar reaksi makanan terjadi selama tahun pertama kehidupan.
3. Pajanan Alergi
Pajanan alergi yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi sejak bayi dalam
kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap penisilin, gandum, telur dan
susu. Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah bayi
yang hipersensitif terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Beberapa jenis makanan
yang dikonsumsi ibu akan sangat berpengaruh pada anak yang mempunyai bakat alergi.
Pemberian PASI meningkatkan angka kejadian alergi.
III. Penyebab dan Pencetus Alergi Makanan
Penyebab alergi di dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan berat
molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas dan tahan ensim proteolitik. Sebagian besar
alergen pada makanan adalah glikoprotein dan berkisar antara 14.000 sampai 40.000 dalton.
Molekul-molekul kecil lainnya juga dapat menimbulkan kepekaan (sensitisasi) baik secara
langsung atau melalui mekanisme hapten-carrier. Perlakuan fisik misalnya pemberian panas
dan tekanan dapat mengurangi imunogenisitas sampai derajat tertentu. Pada pemurnian
ditemukan allergen yang disebut sebagai Peanut-1 suatu glikoprotein dengan berat molekul
180.000 dalton. Pemurnian pada udang didapatkan allergen-1 dan allergen-2 masing-masing
dengan berat molekul 21.000 dalton dan 200.000 dalton. Pada pemurnian alergen pada ikan
diketahui allergen- M sebagai determinan walau jumlahnya tidak banyak. Ovomukoid ditemukan
sebagai alergen utama pada telur.

328
Pada susu sapi yang merupakan alergen utama adalah Betalaktoglobulin (BLG),
Alflalaktalbumin (ALA), Bovin FERUM Albumin (BSA) dan Bovin Gama Globulin (BGG).
Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen utama pada gandum. Diantaranya BLG
adalah alergen yang paling kuat sebagai penyabab alergi makanan. Protein kacang tanah
alergen yang paling utama adalah arachin dan conarachi.
Beberapa makanan yang berbeda kadang menimbulkan gejala alergi yang berbeda pula,
misalnya pada alergi ikan laut menimbulkan gangguan kulit berupa urtikaria, kacang tanah
menimbulkan gangguan kulit berupa papula (bintik kecil seperti digigit serangga) atau furunkel
(bisul). Sedangkan buah-buahan menimbulkan gangguan batuk atau pencernaan. Hal ini juga
tergantung dengan organ yang sensitif pada tiap individu. Meskipun demikian ada beberapa
pakar alergi makanan yang berpendapat bahwa jenis makanan tidak spesifik menimbulkan
gejala tertentu.
Timbulnya gejala alergi bukan saja dipengaruhi oleh penyebab alergi, tapi juga dipengaruhi oleh
pencetus alergi. Beberapa hal yang menyulut atau mencetuskan timbulnya alergi disebut faktor
pencetus. Faktor pencetus tersebut dapat berupa faktor fisik seperti tubuh sedang terinfeksi
virus atau bakteri, minuman dingin, udara dingin, panas atau hujan, kelelahan, aktifitas
berlebihan tertawa, menangis, berlari, olahraga. Faktor psikis berupa kecemasan, sedih, stress
atau ketakutan. Hal ini ditunjukkan pada seorang penderita autisme yang mengalami infeksi
saluran napas, biasanya gejala alergi akan meningkat. Selanjutnya akan berakibat
meningkatkan gangguan perilaku pada penderita. Fenomena ini sering dianggap penyebabnya
adalah karena pengaruh obat.
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi, tetapi menyulut terjadinya
serangan alergi. Tanpa paparan alergi maka faktor pencetus tidak akan terjadi. Bila anak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi disertai dengan adanya pencetus maka keluhan atau
gejala alergi yang timbul jadi lebih berat. Tetapi bila tidak mengkonsumsi makanan penyebab
alergi meskipun terdapat pencetus, keluhan alergi tidak akan muncul. Hal ini yang dapat
menjelaskan kenapa suatu ketika meskipun dingin, kehujanan, kelelahan atau aktifitas
berlebihan seorang penderita asma tidak kambuh. Karena saat itu penderita tersebut sementara
terhindar dari penyebab alergi seperti makanan, debu dan sebagainya. Namun bila anak
mengkonsumsi makanan penyebab alergi bila terkena dingin atau terkena pencetus lainnya
keluhan alergi yang timbul lebih berat. Jadi pendapat tentang adanya alergi dingin pada anak
adalah tidak sepenuhnya benar.
IV. Gejala Alergi Makanan
Alergi pada anak tidak sesederhana seperti yang pernah kita ketahui. Sebelumnya kita sering
mendengar dari dokter spesialis penyakit dalam, dokter anak, dokter spesialis yang lain bahwa
alergi itu gejala adalah batuk, pilek, sesak dan gatal. Padahal alergi dapat menyerang semua
organ tanpa terkecuali mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan berbagai bahaya dan
komplikasi yang mungkin bisa terjadi. Belakangan terungkap bahwa alergi menimbulkan
komplikasi yang cukup berbahaya, karena alergi dapat mengganggu semua organ atau sistem
tubuh kita termasuk gangguan fungsi otak. Karena gangguan fungsi otak itulah maka timbul
ganguan perkembangan dan perilaku pada anak seperti gangguan konsentrasi, gangguan
emosi, keterlambatan bicara, gangguan konsentrasi hingga autism.
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak
menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan

329
depannya diare selanjutnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang
berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas
dasar organ sasaran pada organ tubuh.
Berikut akan dijelaskan gambaran klinis yang dapat ditemukan pada alergi makanan yang
diperantarai IgE dan non-IgE.
Ø Alergi Makanan yang Diperantarai IgE (IgE Mediated Food Allergy)
Diagnosis ini ditegakkan berdasarkan anamnesis menyeluruh berdasarkan keluhan/gejala yang
ada. Reaksi alergi umumnya timbul dalam 30 menit setelah menelan alergen, dan menimbulkan
satu/lebih tanda dan gejala berikut:
Kulit : eritema, urtikaria, angioedema
gastrointestinal : muntah, diare, nyeri perut
saluran napas : batuk, suara serak, stridor
kardiovaskular : hipotensi, pingsan
Ø Alergi Makanan yang Tidak Diperantarai IgE (Non IgE Mediated Food Allergy)
Tanda dan gejala tinbul beberapa jam/hari setelah menelan alergen. Macamnya adalah:
1. Sindrom enterokolitis yang dipicu oleh protein makanan. Kelainan ini timbul pada bayi yang
mengkonsumsi susu sapi atau susu kedelai, atau makanan seperti sereal beras. Gejala timbul
dalam 1 – 3 jam setelah menelan alergen, berupa muntah terus-menerus cairan berwarna
empedu. Hipotensi terjadi pada 15% kasus, dengan gejala pucat dan lemas, sehingga sering
disalahdiagnosiskan sebagai sepsis. Tidak jarang gejala berulang sampai akhirnya diketahui
alergi makanan sebagai penyebabnya.
2. Enteropati yang dipicu oleh protein makanan. Gejala muncul pada bayi berupa diare,
muntah, dan gagal tumbuh. Paling sering akibat protein susu sapi, dapat juga secara tidak
langsung dari kedelai, telur, gandum, beras, ayam, dan ikan.
Ø Alergi Makanan Campuran IgE dan Non IgE (Mixed IgE and Non IgE Mediated Food
Allergy)
Penyakit alergi lain yang dialami oleh kelompok ini:
1. Esofagitis Eosinofilik Alergika (Allergic Eosinophilic Esophagitis). Muncul pada bayi sampai
remaja, dengan gejala refluks gastroesofagus kronik yang tidak pulih dengan obat-obatan anti
refluks, yakni: muntah, tidak mau makan, nyeri perut, dan rewel.
2. Gastritis Eosinofilik Alergika (Allergic Eosinophilic Gastritis). Dapat timbul pada bayi sampai
remaja, dengan gejala setelah makan seperti mual, muntah, nyeri perut dan tidak mau makan,
sampai obstruksi/sumbatan saluran cerna.
3. Gastroenteritis Eosinofilik Alergika (Allergic Eosinophilic Gastroenteritis). Terjadi pada
semua umur dengan gejala gagatumbuh (failure to thrive), berat badan turun, dan gejala-gejala
esofagitis dan gastritis.
4. Proktokolitis Eosinofilika (Eosinophilic Proctocolitis). Timbul pada bayi akibat masuknya
protein makanan melalui ASI atau pada susu formula sapi/kedelai. Ditemukan darah pada tinja,
namun bayi tidak tampak sakit dengan pertumbuhan baik.
V. Manifestasi Klinik
Keluhan alergi sering sangat misterius, sering berulang, berubah-ubah datang dan pergi tidak
menentu. Kadang minggu ini sakit tenggorokan, minggu berikutnya sakit kepala, pekan
depannya diare selanjutrnya sulit makan hingga berminggu-minggu. Bagaimana keluhan yang

330
berubah-ubah dan misterius itu terjadi. Ahli alergi modern berpendapat serangan alergi atas
dasar target organ (organ sasaran).
Reaksi alergi merupakan manifestasi klinis yang disebabkan karena proses alergi pada
seseorang anak yang dapat menggganggu semua sistem tubuh dan organ tubuh anak. Organ
tubuh atau sistem tubuh tertentu mengalami gangguan atau serangan lebih banyak dari organ
yang lain. Mengapa berbeda, hingga saat ini masih belum banyak terungkap. Gejala tergantung
dari organ atau sistem tubuh , bisa terpengaruh bisa melemah. Jika organ sasarannya paru bisa
menimbulkan batuk atau sesak, bila pada kulit terjadi dermatitis atopik. Tak terkecuali otakpun
dapat terganggu oleh reaksi alergi. Apalagi organ terpeka pada manusia adalah otak. Sehingga
dapat dibayangkan banyaknya gangguan yang bisa terjadi.
Tabel 2. Manifestasi yang sering menyertai penderita alergi pada bayi baru lahir hingga 1 tahun
ORGAN/SISTEM GEJALA DAN TANDA
TUBUH
1 Sistem Pernapasan Bayi lahir dengan sesak (Transient Tachipneu Of The
newborn), cold-like respiratory congestion (napas
berbunyi/grok-grok).
2 Sistem Pencernaan sering rewel/colic malam hari, hiccups (cegukan),
sering ―ngeden‖, sering mulet, meteorismus, muntah,
sering flatus, berak berwarna hitam atau hijau, berak
timbul warna darah. Lidah sering berwarna putih.
Hernia umbilikalis, scrotalis atau
inguinalis.

3 Telinga Hidung Sering bersin, Hidung berbunyi, kotoran hidung


Tenggorok berlebihan. Cairan telinga berlebihan. Tangan sering
menggaruk atau memegang telinga.
3 Sistem Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri dada,
Pembuluh Darah dan colaps, pingsan, tekanan darah rendah
jantung
4 Kulit Erthema toksikum. Dermatitis atopik, diapers
dermatitis. urticaria, insect bite, berkeringat
berlebihan.
5 Sistem Saluran Kemih Sering kencing, nyeri kencing, bed wetting (ngompol)
Frequent, urgent or painful urination; inability to control
bladder; bedwetting; vaginal discharge; itching,
swelling, redness or pain in genitals; painful
intercourse.
6 Sistem Susunan Saraf Sensitif, sering kaget dengan rangsangan
Pusat suara/cahaya, gemetar, bahkan hingga kejang.
7 Mata Mata berair, mata gatal, kotoran mata berlebihan, bintil
pada mata, conjungtivitis vernalis.

331
Manifestasi yang sering menyertai penderita alergi pada anak usia lebih dari 1 tahun
ORGAN/SISTEM TUBUH GEJALA DAN TANDA
1 Sistem Pernapasan Batuk, pilek, bersin, mimisan, hidung buntu,
sesak(astma), sering menggerak-gerakkan
/mengusap-usap hidung
2 Sistem Pencernaan Nyeri perut, sering buang air besar (>3
kali/perhari), gangguan buang air besar
(kotoran keras, berak, tidak setiap hari,
berak di celana, berak berwarna hitam atau
hijau, berak ngeden), kembung, muntah, sulit
berak, sering flatus, sariawan, mulut berbau
3 Telinga Hidung Hidung : Hidung buntu, bersin, hidung gatal,
Tenggorok pilek, post nasal drip, epitaksis, salam
alergi, rabbit nose, nasal
creases Tenggorokan : tenggorokan
nyeri/kering/gatal, palatum gatal, suara
parau/serak, batuk pendek (berdehem),
Telinga : telinga terasa penuh/
bergemuruh/berdenging, telinga bagian
dalam gatal, nyeri telinga dengan gendang
telinga kemerahan atau normal, gangguan
pendengaran hilang timbul, terdengar suara
lebih keras, akumulasi cairan di telinga
tengah, pusing, gangguan keseimbangan.
3 Sistem Pembuluh Darah Palpitasi, flushing (muka ke merahan), nyeri
dan jantung dada, colaps, pingsan, tekanan darah
rendah,
4 Kulit Sering gatal, dermatitis, urticaria, bengkak di
bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam
seperti digigit nyamuk, berkeringat
berlebihan.
5 Sistem Saluran Kemih Nyeri, urgent atau sering kencing, nyeri
dan kelamin kencing,bed wetting (ngompol); tidak mampu
mengintrol kandung kemih; mengeluarkan
cairan di vagina; gatal, bengkak atau nyeri
pada alat kelamin. Sering timbul infeksi
saluran kencing
6 Sistem Susunan Saraf NEUROANATOMIS :Sering sakit kepala,
Pusat migrain, kejang gangguan tidur.
NEUROANATOMIS FISIOLOGIS:
Gangguan perilaku : emosi berlebihan,
agresif, impulsive, overaktif, gangguan

332
belajar, gangguan konsentrasi, gangguan
koordinasi, hiperaktif hingga autisme.
6 Jaringan otot dan tulang Nyeri tulang, nyeri otot, bengkak di leher
7 Mata Mata berair, mata gatal, sering belekan, bintil
pada mata. Allergic shiner (kulit di bawah
mata tampak ke hitaman).

VI. Penatalaksanaan
Diagnosis alergi makanan dibuat berdasarkan diagnosis klinis, yaitu anamnesa (mengetahui
riwayat penyakit penderita) dan pemeriksaan yang cermat tentang riwayat keluarga, riwayat
pemberian makanan, tanda dan gejala alergi makanan sejak bayi dan dengan eliminasi dan
provokasi.
Pemeriksaan yang dilakukan untuk mencari penyebab alergi sangat banyak dan beragam. Baik
dengan cara yang ilmiah hingga cara alternatif, mulai yang dari yang sederhana hingga yang
canggih. Diantaranya adalah uji kulit alergi, pemeriksaan darah (IgE, RASt dan IgG),
Pemeriksaan lemak tinja, Antibody monoclonal dalam sirkulasi, Pelepasan histamine oleh
basofil (Basofil histamine release assay/BHR), Kompleks imun dan imunitas seluler, Intestinal
mast cell histamine release (IMCHR), Provokasi intra gastral melalui endoskopi, biopsi usus
setelah dan sebelum pemberian makanan. Selain itu terdapat juga pemeriksaan alternative
untuk mencari penyebab alergi makanan diantaranya adalah kinesiology terapan (pemeriksaan
otot), Alat Vega (pemeriksaan kulit elektrodermal), Metode Refleks Telinga Jantung, Cytotoxic
Food Testing, ELISA/ACT, Analisa Rambut, Iridology dan Tes Nadi.
Diagnosis pasti alergi makanan tidak dapat ditegakkan hanya dengan tes alergi baik tes kulit,
RAST, Immunoglobulin G atau pemeriksaan alergi lainnya. Pemeriksaan tersebut mempunyai
keterbatasan dalam sensitifitas dan spesifitas, Sehingga menghindari makanan penyebab alergi
atas dasar tes alergi tersebut seringkali tidak menunjukkan hasil yang optimal. Untuk
memastikan makanan penyebab alergi harus menggunakan Provokasi makanan secara buta
(Double Blind Placebo Control Food Chalenge = DBPCFC). DBPCFC adalah gold standard atau
baku emas untuk mencari penyebab secara pasti alergi makanan. Mengingat cara DBPCFC
tersebut sangat rumit dan membutuhkan biaya dan waktu yang tidak sedikit. Beberapa pusat
layanan alergi anak melakukan modifikasi terhadap metode pemeriksaan tersebut. Children
Family Clinic Rumah Sakit Bunda Jakarta melakukan modifikasi dengan melakukan “Eliminasi
Provokasi Makanan Terbuka Sederhana”.
Dalam diet sehari-hari dilakukan eliminasi atau dihindari beberapa makanan penyebab alergi
selama 2-3 minggu. Setelah 3 minggu bila keluhan alergi dan gangguan perilaku menghilang
maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Setelah itu dilakukan diet
provokasi 1 bahan makanan dalam 1 minggu bila timbul gejala dicatat. Disebut sebagai
penyebab alergi bila dalam 3 kali provokasi menimbulkan gejala.
Penanganan alergi makanan dengan gangguan Spektrum Autisme harus dilakukan secara
holistik. Beberapa disiplin ilmu kesehatan anak yang berkaitan harus dilibatkan. Bila perlu harus
melibatkan bidang Neurologi anak, Psikiater anak, Tumbuh Kembang anak, Endokrinologi anak,
Alergi anak, Gastroenterologi anak dan lainnya. Seringkali pendapat dari beberapa ahli tersebut
bertentangan sedangkan manifestasi alergi lainnya jelas pada anak tersebut. Maka tidak ada
salahnya kita lakukan penatalaksanaan alergi makanan dengan ―eliminasi terbuka‖. Eliminasi

333
makanan tersebut dievaluasi setelah 3 minggu dengan memakai catatan harian. Bila gejala dan
gangguan perilaku penderita Autism tersebut terdapat perbaikkan maka dapat dipastikan bahwa
gangguan tersebut dapat diperberat atau dicetuskan oleh alergi makanan. Selanjutnya
dilakukan eliminasi provokasi untuk mencari penyebab alergi makanan tersebut satu persatu.
Masih banyak perbedaan dan kontroversi dalam penanganan alergi makanan sesuai dengan
pengalaman klinis tiap ahli atau peneliti. Sehingga banyak tercipta pola dan variasi pendekatan
diet yang dilakukan oleh para ahli dalam menangani alergi makanan dan autisme.
Banyak kasus pengendalian alergi makanan tidak berhasil optimal, karena penderita
menghindari beberapa penyebab alergi makanan hanya berdasarkan pemeriksaan yang bukan
merupakan baku emas atau ―Gold Standard‖. Penanganan autisme dengan disertai adanya
alergi makanan haruslah dilakukan secara benar, paripurna dan berkesinambungan. Pemberian
obat terus menerus bukanlah jalan terbaik dalam penanganan alergi makanan. Paling ideal
adalah menghindari penyebab yang bisa menimbulkan keluhan alergi tersebut. Pemberian obat
anti alergi, anti jamur dan anti bakteri jangka panjang berarti terdapat kegagalan dalam
mengendalikan penyebab alergi makanan.

VII. Diagnosis
· Alergi Makanan yang Diperantarai IgE
Adanya antibodi IgE makanan tertentu dapat dideteksi dengan uji kulit Prick (Prick Skin
Test/PST) atau pemeriksaan darah (RAST – Radioallergosorbent test) yang mengukur kadar
antibodi IgE alergen tertentu di kulit atau darah. Uji kulit Prick sederhana, cepat, dan tidak terlalu
mahal, namun harus dilakukan oleh dokter yang terlatih dalam metodologi dan
pembacaan/interpretasi hasil, mengingat hasil positif palsu (false positive) cukup sering. Hasil
negatif pemeriksaan ini cukup dapat dipercaya (jarang terjadi negatif palsu). Sedangkan uji
RAST lebih mahal, dengan keterbatasan jumlah akergen yang dapat diperiksa dalam satu
waktu. Hasil pemeriksaan juga baru dapat diperoleh dalam satu minggu.
Diagnosis definitif/pasti alergi makanan ditegakkan dengan melihat reaksi segera dari
pemaparan makanan yang bertahap (graded food challenge). Pengujian ini tidak boleh
dilakukan di rumah, jika ada kecurigaan alergi makanan yang diperantarai oleh IgE.
Masih ada beberapa teknik lain pengujian terhadap alergi makanan, namun belum memiliki
pegangan ilmiah yang diakui, mahal, dan dapat berdampak pada pemantangan terhadap
makanan-minuman yang tidak seharusnya.
· Alergi Makanan yang Tidak Diperantarai IgE
Belum ada pemeriksaan penunjang/diagnostik spesifik terhadap sindroma hipersensitivitas
makanan yang tidak diperantarai IgE. Satu-satunya cara adalah penghindaran/pemantangan
jenis makanan tertentu, diikuti oleh pemaparan kembali (food challenge). Penghindaran
makanan ini dilakukan dengan pengawasan dokter yang berkompetensi dalam alergi, dan untuk
memastikan asupan gizi juga tercukupi.
Pada sindroma campuran IgE/non-IgE, uji kulit Prick dapat digunakan. Endoskopi dan biopsi
saluran cerna dapat menunjang pemeriksaan, jika melibatkan tanda-gejala keterlibatan saluran
cerna.

VIII. Prognosis

334
Meskipun tidak bisa hilang sepenuhnya, tetapi alergi makanan biasanya akan membaik pada
usia tertentu. Setelah usia 2 tahun biasanya imaturitas saluran cerna akan membaik. Sehingga
setelah usia tersebut gangguan saluran cerna karena alergi makanan juga akan ikut berkurang.
Bila gangguan saluran cerna akan membaik maka biasanya gangguan perilaku yang terjadipun
akan berkurang. Selanjutnya pada usia di atas 5 atau 7 tahun alergi makananpun akan
berkurang secara bertahap. Perbaikan gejala alergi makanan dengan bertambahnya usia inilah
yang menggambarkan bahwa gejala autismepun biasanya akan tampak mulai berkurang sejak
periode usia tersebut. Meskipun alergi makanan tertentu biasanya akan menetap sampai
dewasa, seperti udang, kepiting atau kacang tanah.

IX. Contoh Gangguan Alergi Makanan


1. Anafilaksis- gangguan tipe 1.
Istilah ananfalaksis (ana : kembali atau berbalik; filaksis : proteksi) berasal dari paradoksal ini.
Reaksi-reaksi pada manusia sudah ditemukan pada awal abad ini dan tetap merupakan bentuk
respon alergi yang timbul paling cepat dan berbahaya. Reaksi sistemik akut umumnya timbul
setelah penyuntikan antigen kuat (alergen) ke orang yang sangat peka , walaupun kadang –
kadang terjadi dengan menelan agen tersebut. Dahulu, antiserum yang diperoleh dari spesies
lain (khususnya kuda) paling sering bertanggung jawab atas reaksi-reaksi ini: belakangan ini
penyuntikan penisilin serum-ACTH, insulin menjadi penyebab utama, dan obat-obatan lain
lebih jarang dikaitkan. Reaksi-reaksi juga timbul setelah sengatan serangga dan lebih jarang
berupa serang oleh makhluk berbisa pada penderita yang sudah disensitisasikan sebelumnya.
Reaksi sistemik akut umumnya mulai timbul beberapa menit setelah masuknya elergen; reaksi
tipe lambat yang lebih lama dari 1 jam sangat jarang terjadi. Pada kepekaan yang ekstrem,
penyuntikan alergen dapat menyebabkan reaksi letal atau hampir subletal, disertai respon hebat
maksimal yang paling cepat timbul. Orang yang terkena merasakan keadaan tidak tenang,
dengan cepat diikuti dengan rasa ringan dikepala, yang mengakibatkan sinkop (kehilangan
kesadaran), sering dirasakan gatal ditelapak tangan dan kulit kepala dan dapat mendahului
urtikaria dan menutupi sebagian besar kulit. Pembekakan jaringan lokal (angioudema) dapat
timbul dalam beberapa menit dan khususnya dapat mengubah bentuk kelopak mata, bibir, lidah,
tangan, kaki, dan genetalia. Pembengkakan (udema) uvula dan larynx kurang nyata.
Semua bukti yang berlaku mengesankan bahwa anafilaksis baik pada manusia dan hewan
melibatkan suatu reaksi alergen muiltifokal yang mendadak dengan IgE spesifik yang terikat-
mast sel, disusul oleh respon jaringan yang tersebar luas pada inspeksi tetapi khususnya nyata
pada anafilksis pada manusia dan dapat menyebabkan kematian karena obstruksi pernapasan.
Udema larynx menyebabkan rasa haus yang nyata, gangguan fonasi, suara napas keras, batuk
bernada tinggi. Kesulitan bernapas dapat juga disebabkan oleh penyempitan bronkus, disertai
stridor yang mirip sama asma spontan.
Semua bukti yang berlaku mengesankan bahwa anaflaksis baik pada manusia maupun pada
hewan melibatkan suatu reaksi allergen multifokal yang mendadak denga IgE spesifik yang
terikat-mast sel, disusul oleh respon jaringan yang tersebar luas terhadap zat-zat mediator
(misalnya histamine, SR-A) yang sudah dilepaskan; faktor-faktor lain tampak hanya bersifat
sekunder. Banyak gambaran respon ini yang berupa urtikaria dapat ditimbulkan oleh
penyuntikan agen-agen yang secara langsung melepaskan mast- sel in vivo, walaupun tidak
oleh histamine parenteral. Reaksi-reaksi sistemik terhadap agen tertentu yang disuntikan

335
(misalnya, media kontras sinar X) dapat merupakan contoh pelepasan mediator imonologik
seperti itu. Pengobatan anafilaksis yang efektif memerlukan pertama, jaminan adanya udara
yang paten. Observasi yang teliti dan kontinyu adalah penting karna intubasi orofarynx atau
lebih sering trakeostomi mungkin perlu untuk mencegah asfiksia oleh udema larynx. Hipotensi
jika parah dan atau lama, yang dapat mengakibatkan kerusakan otak, ginjal atau jantung,
hanya merupakan ancaman yang tidak membahayakan. Pada beberapa orang, dapat terjadi
reaksi-reaksi sistemik, seperti yang dapat ditimbulkan oleh obat dan serum. Setelah
gigitan serangga (lebah dan sebangsanya) dan kadang-kadang lalat kerbau. Respon-respon ini
kelihatannya diperantarai oleh IgE dan dapat berakhir dengan kematian.

2. Penyakit Atopik
Sensitisasi anfilaktik pada manusia umumnya memerlukan penyuntikan allergen yang kuat,
walaupun parasit tertentu saluran cerna dan pernapasan juga menimbulkan respon IgE yang
menyelok. Selain itu banyak orang yang mempunyai respon IgE spesifik terhadap kontak
mukosa ( yaitu dengan inhalasi atau menelan) denga bahan-bahan yang sama sekali tidak
berbahaya termasuk makanan, tepung sari, dan bahan yang berasal dari hewan. Adanya IgE
alergen spesifik yang terikat pada jaringan dapat dibuktikan dengan mudah dengan melakukan
tes kulit dan melihat timbulnya kemerahan lokal (eritema) dalam 5 sampai 15 menit sering
disertai rasa gatal ditengahnya. Sebagian orang yang mudah disensitikasi terhadap respon tipe
1 (dengan perantaraan IgE) seperti ini bila mukosanya terkena IgE, juga menunjukkan satu atau
lebih yang berkaitan, jenis yang paling sering dijumpai rhinitis alergika, asma alergika
(ekstrinsik), dan dermatitis atropik. Alergi makanan dapat juga mempengaruhi organ-organ yang
jauh termasuk kulit dan bronkus, keadaan seperti ini sering disebut penyakit atopik dan
predisposisi yang mempermudah timbulnya penyakit atopik yang disebut atopi. Dasar
patofisiologi atopi belum jelas seluruhnya, namun pembentukan IgE yang menyolok dari mukosa
yang terkena alergen kelihatannya merupakan penyebab utama. Antibodi IgE yang terikat pada
jaringan, yang terbentuk dengan cara ini sering disebut reagen atopik.

3. Rhinitis Alegi
Alergi hidung adalah keadaan atopik yang paling sering dijumpai, yang merupakan 20 %
penyakit anak-anak tertentu dan populasi dewasa-muda di Amerika Utara dan Eropa Barat.
Ditempat lain, keadaan atopik dan penyakit atopik lainnnya kelihatannya lebih rendah, walaupun
data prevalensi sering tidak lengkap. Orang dengan rhinitis elergika mengalami hidung
tersumbat yang menyolok, sekresi hidung yang berlebihan, dan bersin yang terjadi berulang dan
cepat. Pruritus mukosa hidung, tenggorakan, telinga itu sering mengganggu dan disertai
dengan kemerahan konjuktiva, pruritus mata, dan lakrimasi.
Walapun rhinitis alergika abadi jarang merupakan merupakan sumber gejala yang
dramatis, obstruksim parsial hidung yang menetap dapat menimbulkan komplikasi yang
berbahaya. Pada kebanyakan kejadian, penderita rhinitis kronis terpaksa bernapas melalui
mulut dengan mendengkur dan kekeringan orofaring. Sering timbul lingkaran gelap dan jaringan
berlebihan di bawah mata; yang secara popular dikenal sebagai ―mata bengkak alergis‖,
perubahan ini dapat mencerminkan obstruksi hidung yang sudah berjalan lama oleh sebab
apapun. Mukosa yang bengkak dengan mudah terinfeksi bakteri, dan sering dijumpai obstruksi
muara sinus paranasalis, mengakibatkan sinus sitis rekuren atau sinusitis kronis. Khususnya

336
pada infeksi rekuren, mukosa hidung yang bengkak mudah terbentuk tonjolan lokal, atau polip,
yang akan menyumbat jalan udar lebih lanjut.
Riwayat klinis dari gejala akibat kontak dengan suatu alergen petunjuk yang paling nyata
penyebab alergi pernapasan. Variasi gejala selama dan setelah perjalanan perlu mendapat
perhatian khusus, dan dapat dicari pengaruh kontak yang nyata terhadap agen-agen termasuk
debu dalam rumah, produk hewan bulu binatang, bulu, biji-bijian, sutera, dan serat kapuk. Jika
observasi-observasi yang sepintas ini tidak cukup, riwayat klinik dapat dibuat denga menambah
atau mengurangi kontak dengan alergen tertentu, seperti tehadap makanan atau hewan
piaraan, dalam waktu singkat untuk melihat hasil yang diperoleh. Selain itu, waktu dan tempat
timbulnya gejala dapat melengkapi petunjuk etiologis yang tidak nyata pada penderita.
Tiga pertimbangan pokok menguasai penanganan alergi pernapasan seperti rhinitis alergika:
1. Usaha untuk mengurangi kontak dengan alergen.
2. Pengobatan supresi untuk mengurangi gejala-gejala secara nonspesifik.
3. Hoposentisasi khusus untuk mengurangi respon terhadapo alergen yang tidak dapat
dihindari.
Tindakan penghindaran adalah paling mudah dilakukan untuk alergen yang berhubungan
dengan rumah tangga dan pekerjaaan, seperrti debu, dalam rumah, zat yang berasal dari
hewan dan hasil-hasil pertanian.

337
DAFTAR PUSTAKA

Arifianto.www.sehatgroup.web.id/guidelines/isiGuide.asp?guideID=31 diunduh pada tanggal 08


September 2017
Judarwanto,Widodo.www.childrenallergyclinic.wordpress.com/2009/03/25/alergi-makanan-
komplikasi-dan-permasalahannya/ diunduh pada tanggal 08 September 2017
Price, Sylvia Anderson. 1990. Konsep Klinik Proses-Proses Penyakit. Jakarta : Kedokteran EGC
Syamsir, Elvira. www. id.shvoong.com/medicine-and-health/1971078-alergi-dan-intoleransi-
makanan/ diunduh pada tanggal 08 September 2017

338
MODUL PRAKTIKUM

339
BAB I
PEMBUATAN DAN PEWARNAAN SEDIAAN APUS

A. Pra Analitik
 Persiapan pasien: tidak memerlukan persiapan khusus
 Persiapan sampel:
- Darah kapiler segar akan memberikan morfologi dan hasil pewarnaan yang
optimal pada sediaan apus.
- Darah EDTA (etilen diamin tetra asetat). EDTA dapat dipakai karena tidak
berpengaruh terhadap morfologi eritrosit dan lekosit serta mencegah trombosit
bergumpal. Tes sebaiknya dilakukan dalam waktu kurang dari 2 jam. Tiap 1 ml
EDTA digunakan untuk 1 ml darah vena

 Prinsip tes:
- Prinsip sediaan apus : dibuat apusan darah pada kaca objek.
Prinsip pewarnaan didasarkan pada sifat kimiawi dalam sel. Zat warna yang bersifat
asam akan bereaksi dengan komponen sel yang bersifat alkalis, demikian pula
sebaliknya. Pewarnaan sediaan apus menggunakan prinsip Romanosky yaitu
menggunakan dua zat warna yang berbeda yang terdiri dari Azure B
(trimethylthionin) yang bersifat basa dan eosin Y (tetrabromoflourescein) yang
bersifat asam seperti yang dianjurkan oleh The International Council for
Standardization in Hematology, dan pewarnaan yang dianjurkan adalah Wright-
Giemsa dan May Grunwald-Giemsa (MGG).

 Alat dan bahan Alat:


- Kaca Objek 25x75 mm
- Batang gelas
- Rak kaca
- Pipet Pasteur
- Bahan/reagen :
1. Metanol absolut dengan kadar air kurang dari 4%, disimpan dalam botol
yang tertutup rapat untuk mencegah masuknya uap air dari udara .
2. Zat warna Wright
Zat warna Wright ……………. 1 gr
Methanol absolut ……………. 600 ml
Penambahan alkohol sedikit demi sedikit, sambil dikocok dengan baik. Tutup
rapat untuk mencegah penguapan dan disimpan ditempat yang gelap selama 2 –
3 mg, dengan sering-sering dikocok, saring sebelum dipakai.
3. Larutan dapar pH 6,4
Na2 HPO4 2,56g KH2PO4 6,63 g Air suling 1 L
Sebagai pengganti larutan dapar, dapat dipakai air suling yang pHnya diatur
dengan penambahan tetes demi tetes larutan Kalium bikarbonat 1% atau
larutan HCl 1% sampai indikator Brom Thymol Blue (larutan 0,04 % dalam air
suling ) yang ditambahkan mencapai warna biru.

340
4. Zat warna
Giemsa
Zat warna giemsa 1g
Methanol absolut 10 ml
Hangatkan campuran ini sampai 50°C dan biarkan selama 15 menit, kemudian
disaring. Sebelum dipakai, campuran ini diencerkan sebanyak 20 x dengan
larutan dapar pH 6,6. Untuk mencari parasit malaria, dianjurkan menggunakan
larutan dapar pH 7,2
5. Zat warna May -
Grunwald
Methylene blue dalam methanol
1% eosin dan 1 % methylene blue

B. Analitik
Cara Membuat Sediaan Apus
1. Dipilih kaca objek yang bertepi rata untuk digunakan sebagai „kaca penghapus‟
sudut kaca objek yang dipatahkan, menurut garis diagonal untuk dapat menghasilkan
sedian apus darah yang tidak mencapai tepi kaca objek
2. Satu tetes kecil darah diletakkan pada ± 2 –3 mm dari ujung kaca objek. Kaca
penghapus diletakkan dengan sudut 30 – 45 derajat terhadap kaca objek didepan tetes
darah.
3. Kaca pengapus ditarik ke belakang sehingga tetes darah, ditunggu sampai
darah menyebar pada sudut tersebut.
4. Dengan gerak yang mantap, kaca penghapus didorong sehingga terbentuk
apusan darah sepanjang 3 – 4 cm pada kaca objek. Darah harus habis sebelum kaca
penghapus mencapai ujung lain dari kaca objek. Apusan darah tidak bolah terlalu tipis
atau terlalu tebal, ketebalan ini dapat diatur dengan mengubah sudut antara kedua kaca
objek dan kecepatan menggeser. Makin besar sudut atau makin cepat menggeser, maka
makin tipis apusan darah yang dihasilkan.
5. Apusan darah dibiarkan mengering di udara. Identitas pasien ditulis pada
bagian tebal apusan dengan pensil kaca.

Gambar 1. Cara membuat sediaan apus

341
Sediaan Yang Baik Mempunyai Ciri – ciri :
1. Tidak melebar sampai tepi kaca objek, panjangnya setengah sampai dua
pertiga panjang kaca.
2. Mempunyai bagian yang cukup tipis untuk diperiksa, pada bagian itu
eritrosit terletak berdekatan tanpa bertumpukan.
3. Rata , tidak berlubang-lubang dan tidak bergaris-garis.
4. Mempunyai penyebaran lekosit yang baik, tidak berhimpun pada pinggir-
pinggir atau ujung-ujung sediaan.

Gambar 2. Ciri-ciri sediaan apus yang baik

342
Cara Mewarnai Sediaan Apus
a. Pewarnaan Wright
1. Letakkan sediaan apus pada dua batang gelas.
2. Fiksasi sediaan apus dengan metanol absolut 2 – 3 menit.
3. Genangi sediaan apus dengan zat warna Wright biarkan 3 – 5 menit.
4. Tambahkan larutan dapar tercampur rata dengan zat warna. Biarkan selama 5 –
10 menit.
5. Bilas dengan air ledeng, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat
dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Letakkan sediaan hapus
dalam rak dalam posisi tegak dan biarkan mengering.

b. Pewarnaan Giemsa
1. Letakkan sediaan apus pada dua batang gelas di atas bak tempat pewarnaan.
2. Fiksasi sediaan apus dengan metanol absolut 2 – 3 menit.
3. Genangi sediaan apus dengan zat warna Giemsa yang baru diencerkan.
Larutan Giemsa yang dipakai adalah 5%, diencerkan dulu dengan larutan dapar.
Biarkan selama 20 – 30 menit.
4. Bilas dengan air ledeng, mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat
dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Letakkan sediaan hapus
dalam rak dalam posisi tegak dan biarkan mengering.

c. Pewarnaan May Grunwald – Giemsa (MGG)


1. Letakkan sediaan apus yang telah difiksasi diatas rak pewarnaan
2. Genangi sediaan apus dengan zat warna May Grunwald yang telah siap pakai,
biarkan 2 menit.
3. Tambahkan larutan buffer pH 6.4 sama banyak dengan larutan MGG yang telah
diberikan sebelumnya. Tiup agar larutan dapat tercampur rata dengan zat warna.
Biarkan selama 2 menit
4. Bilas dengan air (buang kelebihan zat warna)
5. Genangi dengan larutan Giemsa 5% (larutan buffer pH 6.4 10 ml + Giemsa 0,5
ml) biarkan selama 10-15 menit.
6. Bilas dengan air ledeng , mula-mula dengan aliran lambat kemudian lebih kuat
dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna. Letakkan sedian dalam
sikap vertikal dan biarkan mengering sendiri.

Sumber Kesalahan
1. Kesalahan dalam persiapan penderita, pengambilan dan penyimpanan bahan
pemeriksaan
2. Sediaan apus terlalu biru memungkinkan disebabkan oleh apusan yang
terlampau tebal, pewarnaan terlalu lama, kurang pencucian, zat warna atau larutan
dapar yang alkalis.
3. Sediaan apus terlalu merah mungkin disebabkan oleh sat warna sediaan atau
larutan dapar yang asam. Larutan dapar yang terlalu asam dapat menyebabkan lekosit
hancur.

343
4. Bercak-bercak zat warna pada sediaan apus dapat disebabkan oleh zat warna
tidak disaring sebelum dipakai atau pewarnaan terlalu lama sehingga zat warna
mengering pada sedian.
5. Morfologi sel yang terbaik adalah bila menggunakan darah tepi langsung tanpa
anti koagulan. Bila menggunakan anti koagulan sediaan apus harus dibuat
segera, tidak lebih dari satu jam setelah pengambilan darah. Penggunaan
antikogulan heparin akan menyebabkan latar belakang berwarna biru dan lekosit
menggumpal
6. Sediaan hapus yang tidak rata dapat disebabkan oleh kaca pengapus yang
tidak bersih atau pinggirannya tidak rata atau oleh kaca objek yang berdebu, berlemak
atau bersidik jari.
7. Fiksasi yang tidak baik menyebabkan perubahan morfologi dan warna sediaan.
Ini mungkin terjadi apabila fiksasi dilakukan menggunakan methanol yang tidak absolut
karena telah menyerap uap air akibat penyimpanan yang tidak baik.
8. Fiksasi yang tidak dilakukan segera setelah sediaan apus kering dapat
mengakibatkan perubahan morfologi lekosit.

Nilai Rujukan
a. EVALUASI ERITROSIT
Yang perlu diperhatikan dalam mengevaluasi eritrosit adalah morfologi, perhatikan:
- Ukuran (size):
Diameter eritrosit yang normal (normositik) adalah 6 – 8 µm atau kurang lebih sama
dengan inti limfosit kecil
- Bentuk (shape):
- Bentuknya bikonkaf bundar dimana bagian tepi lebih merah daripada bagian
sentralnya
- Warna (staining):
Bagian sentral lebih pucat disebut akromia sentral yang luasnya antara 1/3 -1/2 kali
diameter eritrosit
- Benda-benda inklusi (structure intracel):
- Distribusi : merata

b. EVALUASI LEKOSIT
Lekosit adalah sel berinti. Dalam darah tepi yang paling banyak ditemukan adalah sel
polimorfonuklear netrofil (PMN). Jenis lekosit yang normal yang ditemukan dalam darah
tepi adalah eosinofil (1% - 3%), basofil (0-1%), netrofil batang (2%-6%), netrofil segmen
atau sel PMN (50%-70%), limfosit (20%-40%) dan monosit (2%-8%). Dalam keadaan
normal diperkirakan terdapat 1 lekosit per 500 eritrosit

c. EVALUASI TROMBOSIT
Diameter trombosit adalah 1-3 µm, tidak berinti, mempunyai granula dan bentuknya
reguler. Perkiraan jumlah trombosit dalam keadaan normal diperkirakan terdapat 1
trombosit per 15 – 20 eritrosit atau 5 – 15 per lapangan pandang imersie

344
C. Pasca Analitik

Evaluasi Eritrosit
Dengan pemeriksaan ini dapat ditemukan berdasarkan morfologi yakni
- Anemia Mikrositik Hipokrom misalnya pada penderita defisiensi Fe.
- Anemia Normositik Normokrom misalnya pada pendarahan akut.
- Anemia Mikrositik misalnya pada defisiensi Vit. B12 dan asam folat.

Bentuk eritrosit hemolisis :


- Morfologi secara umum adalah polikromatofilik, makrosit, dan sel eritrosit berinti.
Bentuk morfologi khusus bervariasi tergantung etiologi kerusakan eritrosit:
 Akantosit pada abetalipoproteinemia, sirosis, uremia, Haemolytic Uremic
Syndrome (HUS), anemia hemolitik.
 Ekinosit pada abetalipoproteinemia, sirosis, uremia HUS,
 Sel Target pada Hb C atau E, penyakit hati, ikterus obstruktif, talasemia, pasca
splenektomi.
 Sel tetes Air Mata pada mielofibrosis, talasemia, anemia hemolitik,
mieloftisis.
 Sickle Cell pada sickle cell anemia.
 Sferosit pada hemolisis didapat maupun herediter. Ovalosit pada ovalositosis
herediter.
 Sistosit pada talasemia, anemia hemolitik, mikroangiopati.

Distribusi abnormal eritrosit


 Rouleaux formation pada multipel mielomamakroglobulinemia
 Waldenstorm. Benda-benda inklusi dalam eritrosit
 Basophilic Stippling anemia sindroma Mielodisplasia.
 Howell Jolly Bodies pada anemia megaloblastik, asplenia, hemolisis berat.
 Cabot’s, Ring pada hemolisis berat.
 Heinz Bodies pada talasemia, anemia hemolitik karena obat, leukemia
 Parasit : plasmodium malaria, biasanya disertai dengan tanda-tanda hemolitik.

Evaluasi Lekosit
Pada APK ditemukan tanda infeksi seperti persentase jumlah netrofil, limfosis meningkat,
hipersegmentasi, granulasitoksis, dan vakuolisasi sitoplasma.

Evaluasi Trombosit
Trombositosis dapat ditemukan pada :
 Mieloproliferatif, pendarahan akut, infeksi, penyakit inflamasi, Hodgkin,
trombosis vena, post splenektomi.
Trombositopenia dapat ditemukan pada :

345
 Radiasi eritroleukimia, anemia megaloblastik, giant hemangioma,Thrombotic
Purpura (TTP), Disseminated Intravasucular Coagulation (DIC), purpura
trombositopenia karena obat, pasca tranfusi, SLE, Immunologic, Thrombocytopenia
Purpura (ITP) Trombosit besar dapat ditemukan pada: May Hegglin anomaly,
Sindroma Mielodisplasia, AML.

346
BAB III
HITUNG JENIS LEKOSIT

Menghitung jenis lekosit sebenarnya menghitung jumlah relatif masing – masing jenis lekosit;
dalam hal ini jumlah suatu jenis lekosit dinyatakan dalam (%) dari 100 lekosit (semua jenis)
Hitung jenis lekosit pada garis besarnya ada 2 macam yaitu :
1. Cara otomatis
2. Cara visual

A. Cara otomatis
1. Berdasarkan ukuran sel
Dibedakan menurut ukuran sel limfosit dan mielosit setelah dilisiskan dengan
saponin.
Lekosit dikelompokkan dengan 3 kelompok .
- Sel kecil : 30 – 60 fl (limfosit)
- Sel sedang : 61 – 150 fl (monosit, eosinofil, basofil)
- Sel besar : > 150 fl (netrofil, mielosit, metamielosit, limfosit besar)
Di BLK Makassar dengan alat sel Dyn 1600, lekosit dikelompokkan menjadi 2,
yaitu PMN dan Limfosit.

2. Flow Cytometri
Sel lekosit diwarnai dan dikelompokkan menjadi netrofil, eosinofil, basofil, monosit,
limfosit. Jika ada sel-sel muda, alat akan memberikan tanda yang harus dikonfirmasikan
dengan sediaan apus darah (Technicon). Alat yang menggunakan prinsip flow-cytometri
dalam waktu 1 menit dapat menghitung 10.000 sel dengan presisi yang tinggi dan
dalam waktu yang singkat .
3. Pattern Recognation
Adaptasi dari hitungan jenis visual dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi
dengan photosensor dan komputer. Gambaran sel yang ditemukan: ukuran, bentuk,
granula, rasio inti dengan sitoplasma dll dibandingkan dengan gambaran sel yang
tersimpan di memori komputer. Alat dengan prinsip ini (Heitz Hematrat, Hitachi 8200 )
dalam waktu 2 – 6 menit mampu menghitung 500 sel.

B. Cara visual
Hitung jenis lekosit biasanya dilakukan pada sediaan apus yang dibuat pada kaca objek
dengan pewarnaan tertentu. Sediaan apus yang dibuat dan dipulas dengan baik merupakan
mutlak untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang baik

Cara Pemeriksaan:
1. Sediaan apus diletakkan di mikroskop.
2. Diperiksa dengan pembesaran lemah (lensa obyektif 10x dan lensa okuler 10x)
untuk mendapatkan gambaran menyeluruh.
3. Pada daerah yang eritrositnya saling berdekatan adalah daerah yang paling
baik untuk melakukan hitungan jenis lekosit. Dengan pembesaran sedang (lensa

347
obyektif 40x dan lensa okuler 10x) dilakukan hitung jenis lekosit. Bila diperlukan dapat
dilakukan penilaian lebih lanjut dari sediaan apus menggunakan lensa objektif 100 x
menggunakan minyak imersi.

Gambar 1 . Lokasi dan arah pergerakan lapang pandang pada pemeriksaan sediaan
apus darah tepi

Dalam keadaan normal lekosit yang dapat dijumpai menurut ukuran yang telah dibakukan
adalah Basofil, Eosinofil, Netrofil batang, dan Netrofil segmen, Limfosit, Monosit. Keenam
jenis sel tersebut berbeda dalam ukuran, bentuk, inti, warna sitoplasma serta granula di
dalamnya. Proporsi jumlah masing- masing jenis lekosit tersebut dapat mempunyai arti klinik
yang penting.

1. Basofil.
Sel ini tidak selalu dapat dijumpai, bentuk dan ukurannya menyerupai neutrofil,
sitoplasmanya mengandung granula bulat besar tidak sama besar, berwarna biru tua,
granula dapat menutupi inti. Kadang-kadang dapat dijumpai adanya vakuol kecil di
sitoplasma.

2. Eosinofil
Bentuk dan ukurannya sama dengan netrofil, akan tetapi sitoplasmanya dipenuhi oleh
granula yang besar, bulat, ukurannya sama besar dan berwarna kemerahan

3. Neutrofil
Berukuran lebih besar dari limfosit kecil, berbentuk bulat dengan sitoplasma yang banyak
agak kemerahan. Inti berwarna ungu, berbentuk batang atau segmen. Dikatakan berbentuk
batang apabila lekukan inti melebihi setengah diameter inti; berbentuk segmen bila inti
terbagi menjadi beberapa bagian yang saling dihubungkan dengan benang kromatin.
Sitoplasma bergranula warna keunguan.

4. Limfosit
Dikenal beberapa macam limfosit yang antara lain limfosit kecil dan limfosit besar. Limfosit
kecil berukuran 8-10 um , berbentuk bulat, berinti kira-kira sebesar ukuran eritrosit normal,
inti limfosit mengisi sebagian besar dari ukuran sel dengan kromatin yang padat bergumpal
berwarna biru ungu tua, dan sitoplasmanya tidak mengandung granula.

348
Limfosit besar berukuran 12 – 16 um, berbentuk bulat atau agak tak beraturan; berinti oval
atau bulat, terletak di tepi sel. Sitoplasmasnya relatif lebih banyak dibandingkan limfosit
kecil, biru muda atau dapat mengandung granula azurofil yang berwarna merah.
5. Mo
nosit
Merupakan sel yang paling besar dibandingkan yang lain, berukuran 14 – 20 um, berbentuk
tak beraturan, mempunyai inti yang bentuknya macam-macam, umumnya berbentuk seperti
ginjal berwarna biru ungu dengan kromatin seperti girus otak. Sitoplasma berwarna keabu-
abuan, mengandung granula halus kemerahan dan kadang – kadang bervakuol.
Dibawah ini adalah morfologi lekosit normal yang dapat dijumpai pada sediaan apus darah

N.Segmen N.Batang Eosinofil

a. Eritrosit b. Trombosit Limfosit Monosit Ba

Selain sel-sel di atas, pada keadaan abnormal mungkin pula dijumpai sel muda. Pada
keadaan demikian, urutan hitung jenis lekosit harus disusun menurut urutan maturasi seri
granulosit, yaitu mieloblast, promielosit, mielosit, metamielosit, batang, segmen, basofil,
eosinofil, limfosit, dan monosit. Perlu diingat bahwa kebenaran perhitungan jenis sel
dipengaruhi oleh jumlah sel yang dihitung, yang mengikuti hukum distribusi Poisson.
Makin banyak lekosit yang dihitung, makin kecil kesalahan yang terjadi. Hasil hitung jenis
berdasarkan 100 sel sebenarnya hanya bermakna jika dalam keadaan normal, yaiitu normal
jumlah lekosit dan normal morfologinya. Pada keadaan lekositosis jumlah lekosit yang dihitung
harus lebih banyak; pada lekositosis antara 10.000 – 20.000 hitung jenis berdasarkan 200 sel,
lekositosis antara 20.000 – 50.000 hitung jenis berdasarkan pada 300 sel dan lekositosis lebih
dari 50.000 hitung jenis didasarkan pada 400 sel.
Untuk melakukan hitung jenis, sediaan digerakkan sedemikian rupa satu lapangan pandangan
tidak dinilai lebih satu kali. Catatlah semua jenis lekosit yang dijumpai, seperti terlihat pada
gambar 1, gunakan alat differential cell counter, apabila tidak tersedia buatlah kolom-kolom
seperti gambar
.

349
Differential Cell Counter
Bila alat differential cell counter tidak tersedia buatlah kolom-kolom berikut:
Macam sel jumlah
Basofil -
Eosinofil 4
Batang 4
Segmen 65
Limfosit 34
Monosit 3
Jumlah 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 100
Gambar 3. Kolom – kolom pada perhitungan hitung jenis lekosit

Interpretasi
Pada berbagai keadaan klinik dapat terjadi kelainan jumlah pada masing-masing jenis
lekosit, baik berupa peninggian jumlah atau penurunan jumlah nilai dari normalnya.
Peninggian jumlah jenis lekosit dapat disertai atau tanpa disertai peninggian jumlah lekosit
secara keseluruhan. Peninggian yang relatif adalah peninggian jumlah suatu jenis lekosit
tanpa disertai kenaikan jumlah lekosit secara keseluruhan .

Nilai rujukan hasil hitung jenis lekosit


Eosinofil :1–3%
Basofil :0–1%
Netrofil Batang :2–6%
Segmen : 50 - 70 %
Limfosit : 20 – 40 %
Monosit :2–8%

Tabel 1. Nilai rujukan hitung jenis lekosit relatif dan absolut pada orang
dewasa per ul darah

Absolute number
Type of cell Per cent Average Minimum Maximum
Total Leukocytes 7,000 5,000 10,000
Myelocytes 0 0 0 0
Juvenile neutrophils 3-5 300 150 400
Segmented 54-62 4,000 3,000 5,800
neutrophils 1-3 200 50 250
Eosinophils 0-0,75 25 15 50
Basophils 25-33 2,100 1,500 3,000
Lymphocytes 3-7 375 285 500
Monocytes

350
SEBAB-SEBAB LEUKOSITOSIS NEUTROFIL
1. Infeksi bakteri (terutama bakteri piogenik, setempat atau generalisata)
2. Peradangan dan nekrosis jaringan (misalnya miositis, vaskulitis, infark
miokard, trauma)
3. Penyakit metabolik (misalnya uraemia, eklampsia, asidosis, gout )
4. Neoplasma semua jenis (misalnya karsinoma, limfoma, melanoma)
5. Perdarahan atau hemolisis akut
6. Terapi kortikosteroid
7. Penyakit mieloproliferatif (misalnya leukemia granulositik kronis,
polisitemia vera, mielosklerosis)

SEBAB - SEBAB NEUTROPENIA


- NEUTROPENIA SELEKTIF
 Karena obat ( drug-incuded)
 Obat anti-radang (aminopirin, fenilbutazon)
 Obat anti bakteri ( khloramfenikol, ko- trimoksazol)
 Antikonvulsi (fenitoin)
 Obat hipoglikemik ( tolbutamid) Fenotiazin (khlorpromazin, prometazin)
 Macam-macam (mepakrin, fenindion dan banyak lainnya)
 Anti tiroid (karbimazol)
 Benigna (ras atau familia) Siklikal Macam-macam
 Infeksi virus, misalnya hepatitis, influenza Infeksi
 bakteri ganas (fulminant), misalnya tifus abdominalis, tuberkulosis milier
 Hipersensitivitas dan anafilaksis
 Neutropenia otoimun
 Sindroma Felty
 Systemic lupus

351
BAGIAN DARI PANSITOPENIA UMUM
- Kegagalan sumsum tulang Splenomegali
Gambar dibawah ini adalah makna deferensial diagnosis dari pergeseran neutrofil di dalam
daerah darah perifer :

Pada keadaan normal tidak ditemukan sel-sel muda dari mieloblas, promielosit,
metamielosit, metamielosit. Ditemukan neutrofil batang 3-5%, neutrofil segmen60% dan
neutrofil hipersegmentasi sampai 3%
Pada keadaan pergeseran kiri fisiologis ditandai dengan peningkatan neutrofil batang,
metamielosit dan mungkin sedikit mielosit. Gambaran yang ditemukan mielosit 3%,
metamielosit 6%, neutrofil batang 25% dan neutrofil segmen 40%. Keadaan ini didapatkan
pada infeksi akut dan penyakit menular, status asidosis dan koma, stress fisik.
Pada keadaan pergeseran kiri patologis ditandai dengan ditemukannya semua bentuk
prekursor granulopoetik termasuk mieloblas dan promielosit. Persentasenya kurang lebih
sebagai berikut mieloblas 5%, mielosit 25%, metamielosit 30%, batang 20% dan segmen 5%.
Keadaan ini didapatkan pada CML, eritroleukemia kronik, osteo-mielosklerosis, metastase
tulang dari tumor ganas.

352
Eosinofilia
9
Peningkatan eosinofilia darah di atas 0,4 x 10 /L terjadi pada:
1. Penyakit alergi teristimewa hipersensitivitas jenis atopik, misalnya asma
bronchial, ―hay fever‖, urtikaria dan alergi terhadap makanan.
2. Penyakit parasit, misalnya, amubiasis, cacing tambang, askariasis,
infestasi, cacing pita, filariasis, skistosomiasis dan trikinosis
3. Pemulihan dari infeksi akut
4. Penyakit kulit tertentu, misalnya psoriasis, pemfigus dan dermatitis herpetiformis
5. Eosinopilia pulmoner dan sindroma hipereosinofilik
6. Sensitivitas terhadap obat
7. Poliarteritisnodosa
8. Penyakit Hodgkin dan beberapa tumor lain
9. Leukemia eosinofilik ( jarang )

Eosinopenia
1. Pemberian hormon / obat (kortikosteroid, adrenalin, efedrin, insulin)
2. Stress: emosi, operasi, trauma, dingin
3. Cushing Syndrom

Basofilia
9
Peningkatan basofil darah diatas 0,1 x 10 /L tidak umum. Penyebab biasa adalah
kelainan mieloproliferatif seperti leukemia granulositik kronis atau polisitemia vera.
Peningkatan basofil reaktif kadang-kadang terlihat pada myxedema, selama infeksi cacar
atau cacar air, dan pada kolitis ulserativa.

Basofilopenia
1. Alergi
2. Hipertiroidisme
3. Infark miokard
4. Terapi kortikosteroid jangka panjang
5. Cushing‘s Syndrom

Limfositosis
Infeksi akut :
1. Mononukleosis infeksiosa
2. Rubella
3. Pertusis
4. Limfositosis infeksiosa akut
5. Hepatitis (infeksiosa, virus)

Infeksi kronik :
1. Tuberkulosis
2. Toksoplasmosis

353
3. Bruselosis

Tirotoksikosis
Leukemia limfositik kronis (dan beberapa limfoma)

Limfopenia
Limfopenia tidak umum, dapat tidak terjadi pada kegagalan sumsum tulang berat, dengan
terapi kortikosteroid dan imunosupresif lain, pada penyakit Hodgkin dan dengan penyinaran
luas.

Monositosis
1. Infeksi bakteri kronis: tuberkulosis, bruselosis, endokarditis bakterialis, tifus
abdominalis.
2. Penyakit protozoa
3. Neutropenia kronis
4. Penyakit Hodgkin
5. Leukemia mielomonosit

354
BAB IV
HITUNG RETIKULOSIT

Retikulosit adalah eritrosit muda yang sitoplasmanya mengandung sisa-sisa ribosom dan
RNA yang berasal dari sisa inti. Ribosom mempunyai kemampuan untuk bereaksi dengan cat
tertentu seperti Brilliant Cresyl Blue atau New Methylene Blue untuk membentuk endapan
granula atau filamen yang berwarna biru. Reaksi ini hanya terjadi pada pewarnaan terhadap
sel yang masih hidup dan tidak difiksasi, oleh karena itu disebut pewarnaan Supravital.
Retikulosit paling muda (imature) mengandung ribosome terbanyak, sebaliknya retikulosit tua
hanya mempunyai beberapa titik ribosom. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi
menggambarkan aktivitas eritropoesis yang hampir akurat. Hitung retikulosit dinyatakan
sebagai persentasi jumlah retikulosit per 100 eritrosit.

A. Pra Analitik
1. Persiapan pasien
2. Persiapan sampel
3. Prinsip :
Darah dicampur dengan larutan, Brilliant Crecyl Blue atau larutan New
Methylene Blue, lalu dibuat sediaan. Dan jumlah retikulositnya dihitung dibawah
mikroskop. Jumlah retikulosit dihitung per 1000 eritrosit dan dinyatakan dalam %
4. Alat dan bahan
- Tabung reaksi kecil
- Kaca obyek dan kaca penggeser
- Pipet Pasteur
- Penangas air
- Mikroskop.
- REAGENS :
Brilliant Cresyl Blue atau
New Methylene Blue (Colour Index 52030) ................. 1g
Larutan sitrat salin ........................................................ 100 ml
Larutan sitrat salin dibuat dengan mencampur :
1 bagian natrium sitrat 30 g/l
4 bagian larutan Na Cl 9,0 g/l

B. Analitik
I. SEDIAAN KERING
1. Kedalam tabung reaksi kecil teteskan 3 tetes larutan Brilliant Cresyl Blue
(BCB) atau New Methylene Blue (NMB).
2. Tambahkan 3 tetes darah, campurkan baik-baik dan biarkan pada suhu
ruangan selama 15 menit agar pewarnaan sempurna.
Cara yang lain :
Setelah ditambahkan 3 tetes darah, campurkan baik-baik, tabung ditutup
dengan parafilm dan diinkubasi pada 37 C selam 30-60 menit.

355
3. Setelah inkubasi, tabung dihomogenkan lagi dan ambil 1 tetes untuk membuat
sediaan apus. Keringkan di udara dan diperiksa di bawah mikroskop.
4. Periksalah dengan perbesaran obyektif 100 kali.
Dicari daerah yang baik yaitu eritrosit tidak tumpang tindih. Retikulosit tampak
sebagai sel yang lebih besar dari eritrosit, mengandung filamen atau granula.
Dengan BCB, eritrosit berwarna biru keunguan dengan filamen atau granula
berwarna ungu. Bila menggunakan NMB, retikulosit berwarna biru dengan filamen
atau granula berwarna biru tua.
5. Hitunglah jumlah retikulosit per 1000 eritrosit dengan lensa emersi
6. Jumlah retikulosit dapat dinyatakan persen / per mil terhadap jumlah eritrosit
total atau dilaporkan dalam jumlah mutlak.

II. SEDIAAN BASAH


1. Taruh 1 tetes larutan BCB ditengah-tengah kaca obyek.
2. Tambahkan 2 tetes darah dilarutan BCB, homogenkan darah dengan larutan
BCB dengan menggunakan sudut kaca obyek.
3. Tutup dengan kaca penutup
4. Periksa dengan minyak emersi
5. Cara penghitungan sama dengan sediaan kering

Jika didapatkan jumlah retikulosit yang tinggi atau disertai dengan nilai hematokrit rendah
maka dilakukan koreksi terhadap nilai retikulosit. Nilai koreksi ini disebut indeks retikulosit
(Reticulocyte Production Indeks)
RP I = % Retikulosit x Ht penderita x faktor koreksi
Ht normal
Tabel. Faktor Koreksi Hemaktokrit
Hematokrit Penderita Faktor Koreksi
40-45 1,0
35-40 1,5
25-34 2,0
15-24 2,5
< 15 3,0

C. Pasca Analitik
Nilai rujukan = 0,5 – 1,5%
Hitung retikulosit meningkat pada = perdarahan akut, hemolisis,
RPI <2% = kegagalan sum-sum tulang membentuk eritrosit.
RP I 2 – 3% = respons baik terhadap anemia hemolitik
RPI >3% = Hiperproliferasi

356
Sumber kesalahan
1. Volume darah yang digunakan tidak sesuai dengan volume zat warna
2. Zat warna tidak disaring akan mengendap di eritrosit sehingga tampak seperti
retikulosit
3. Waktu inkubasi campuran darah dan zat warna kurang lama
4. Tidak menghomogenkan campuran zat warna dengan darah sebelum
membuat sediaan apus. Retikulosit mempunyai berat jenis yang lebih
rendah dari eritrosit sehingga berada dibagian atas dari campuran.
5. Menghitung di daerah yang terlalu padat
6. Jumlah eritrosit yang dihitung tidak mencapai 1000

357
BAB V
TES COOMB’S

Tes Coomb‟s diindikasikan pada pasien dengan dugaan Anemia Hemolitik Autoimun
(AIHA). AIHA adalah kelainan yang ditandai oleh pemendekan umur eritrosit yang disebabkan
oleh adanya antibodi dalam serum penderita yang bereaksi dengan eritrosit penderita itu
sendiri. Autoantibodi tersebut dapat berupa imunoglubulin G (IgG) atau imunoglobulin M
(IgM).

A. Pra Analitik
1. Persiapan pasien : Catat daftar obat yang sedang dikonsumsi pasien.
Obat yang dapat mempengaruhi tes ini adalah : penisilin,
sefalosporin, antihipertensi dan lain-lain
2. Persiapan sampel : hindari sampel hemolisis, sampel darah dengan antikoagulan
natrium sitrat 3,8%. Tes sebaiknya dilakukan selambatnya 2 jam.
3. Prinsip : Penambahan serum Coomb‟s (serum hewan yang
mengandung antibodi spesifik terhadap globulin manusia) pada eritrosit yang
tersensitisasi / eritrosit yang terbungkus dengan imunoglobulin atau komplemen akan
menimbulkan suatu aglutinasi
4. Alat dan bahan :
- Alat : Tabung reaksi
Pipet tetes Sentrifus Inkubator
Kaca obyek dan kaca penggeser
- Bahan : Darah sitrat (1:9)
Larutan NaCl fisiologis (0,9%)
Reagen Coomb‘s

B. Analitik
1. Sebanyak 0,5 ml darah yang diperiksa dimasukkan ke dalam tabung reaksi
2. Lakukan pencucian eritrosit 4 kali berturut-turut dengan setiap kali dilakukan
sentrifus kemudiaN plasma dibuang
3. Buatlah suspensi eritrosit yang tertinggal dalam tabung setelah sentrifus
terakhir dengan menambah sekian banyak NaCl fisiologis sampai suspensi eritrosit
mempunyai nilai hematokrit 2%
4. Ke dalam tabung 75 x 10 mm, masukkan 1 tetes suspensi tadi
kemudian tambahkan dengan 2 tetes reagen Coomb‟s
5. Campur kemudian inkubasikan pada suhu 370 C selama 30-50 menit
6. Kocok dengan hati-hati tabung tersebut lihat adanya aglutinasi, konfirmasikan
dengan menggunakan mikroskop
7. Jika hasilnya negatif lakukan sentrifus kembali dengan 1000 rpm selama 1 menit
8. Periksa kembali adanya aglutinasi seperti langkah 6
9. Bandingkan hasil tes dengan kontrol positif dan kontrol negatif
Nilai rujukan : Negatif

358
C. Pasca Analitik
Terjadi aglutinasi membuktikan adanya antibodi yang melapisi eritrosit.
Tes Coomb‟s positif ditemukan pada :
 Penyakit hemolitik pada bayi baru lahir
 Anemia hemolitik autoimun
 Anemia hemolitik karena obat- obatan
 Reaksi transfusi hemolitik

359
BAB VI
GOLONGAN DARAH ABO & Rh

Sejak penemuan Landsteiner (1901) sampai sekarang, telah ditemukan lebih dari 100
antigen golongan darah dalam eritrosit. Untuk kegunaan praktek, klinis yang terpenting
hanya sistem golongan darah ABO dan Rh.
Pada sistem golongan darah ABO hanya ada 4 golongan darah yaitu. A, B, AB dan O.
Golongan tersebut. berdasarkan atas ada atau tidak adanya antigen dan antigen B. Disamping
itu juga ada 2 sub golongan dari golongan A1 dan AlB serta - A2 dan A2B. Dalam serum
golongan O normal mengandung anti-A dan anti-B, serta golongan A hanya mengandung
anti-B, golongan B mengandung anti-A dan golongan AB tidak mengandung baik anti-A
maupun anti.-B. Antibodi yang hanya reaktif terhadap Al dan A1B adalah anti-Al kadang
terdapat pada seseorang golongan A2. Antibodi yang paling kuat yang reaktif terhadap
golongan A2. Antibodi yang paling kuat yang reaktif terhadap golongan O dan A2 disebut anti-
H, kadang juga terdapat pada seseorang dengan golongan darah Al, atau AlB atau B. Tetapi
untungnya bahwa kedua antibodi ini termasuk cold-agglutinin atau aglutinin dingin yang jarang
sekali reaktif terhadap antigen eritrosit pada suhu >30°C.
Pada sistem Rh untuk kepentingan klinik cukup menentukan apakah seseorang negatif.
Biasanya dengan memeriksa reaksi sel eritrosit seseorang penderita terhadap antigen Rh yang
dikenal dengan nama anti-D.
Oleh karena reaksi yang terjadi antara antigen – antibodi adalah aglutinasi maka antigen (Ag)
disebut juga aglutinasi & antibodi (Ab) disebut agglutinin.

A. Pra Analitik
1. Persiapan penderita: tidak memerlukan persiapan khusus
2. Persiapan sampel:
Suspensi eritrosit yanq akan diperiksa dari darah utuh atau darah EDTA atau darah
antikoagulan lainnya yang dicuci dalam saline 0.85 % 3x, lalu eritrosit yang telah dicuci
tambah 0.3 ml saline = suspensi 50 % atau dari serum yang akan diperiksa.
3. Prinsip:
Reaksi antigen-antibodi, suspensi eritrosit direaksikan dengan macam-macam antibodi
yang telah diketahui, golongan darah sesuai dengan antigen yang terkandung dalam
eritrosit (dimana terjadi aglutinasi). Bila antigen ada dalam eritrosit seseorang maka
serumnya tidak mengandung antibodinya

golongan darah antigen dalam eritrosit antibodi dalam serum


O nihil anti-A dan anti-B
A A anti- B
B B anti- A
AB AB nihil

Ada 2 cara :
a) menggunakan antiserum yang telah diketahui serta sel eritrosit yang diperiksa.
b) menggunakan sel-sel eritrosit golongan Al dan B serta serum yang diperiksa.

360
4. Alat dan bahan
 Suatu panel serum yang terdiri atas:
a. serum anti-A biasanya berwarna biru atau hijau,
b. serum anti-B biasanya berwarna kuning,
c. serum inti-AB biasanya berwarna merah muda/tak berwarna.
 Suatu panel sel terdiri atas
a. sel-sel golongan A1
b. sel-sel golongan B
5. Larutan saline 0.85%
6. Pipet Pasteur, tabung reaksi 75 x 8 mm
7. Alat sentrifus dan mikroskop

B. Analitik
a. Cara Kerja : Ada 2 metode
1. Metode kaca objek :
- Buatlah suspensi eritrosit yang akan diperiksa/donor/ resipien sebagai berikut: ke
dalam tabung reaksi masukkan 3 tetes darah, tambahkan saline secukupnya, tutup
dengan parafilm/plastik dan campur dengan membolak- balikkan tabung 3x :
kemudian sentrifus dengan 1.000 ppm selama 1 menit dan buanglah cairan
supernatannya. Ulangilah 3 kali, sesudah itu encerkan dengan saline sebanyak 27
tetes, sehingga didapat suspensi eritrosit 10 %.
- Pada sebuah kaca obyek teteskan 1 tetes serum anti-A disebelah kiri, tetes
serum, anti-B ditengah dan 1 tetes serum anti-AB disebelah kanan. Pada kaca
obyek yang lain teteskan 1 tetes serum anti-D disebelah kiri dan 1 tetes serum
yang akan diperiksa sebagai kontrol disebelah kanan.
2. Pada masing-masing serum teteskan 2 tetes suspensi eritrosit, campurkan
dengan cara goyangkan ke depan dan ke belakang, sambil diamati aglutinasi yang
akan terjadi. Pengamatan dilakukan dalam waktu 2 menit setelah percampuran
serum dan suspensi eritrosit.
b. Metode tabung reaksi
1. Buatlah suspensi eritrosit 2 % (dengan cara seperti di atas).
2. Kedalam 5 tabung reaksi 75 x 8 mm, masing-masing diberi label dan diisi
sesuai dengan labelnya yaitu 1 tetes serum anti-A, serum anti-B, serum anti- AB,
serum anti-D -dan serum yang diperiksa sebagai kontrol.
3. Ke dalam masing-masing tabung ditambah 2 tetes suspensi eritrosit yang
akan diperiksa 2 %. Campur dan sentrifus masing-masing tabung pada 1.000 ppm
selama 1 menit, kemudian amatilah aglutinasi yang terjadi.

361
C. Pasca Analitik

Aglutinasi terjadi pada


anti-A anti-B anti-AB anti-D golongan darah Rh
+ - + + A Positif
- + + - B Negatif
+ + + - AB Negatif
- - - - 0 Negatif

Serum kontrol tidak terjadi aglutinasi, bila terjadi aglutinasi dan tidak ada kesalahan maka
kemungkinan mempunyai antibodi (aglutinin) dingin/panas, perlu pemeriksaan lebih lanjut.

Sumber kesalahan
1. Masing-masing serum tidak boleh tercemar oleh serum yang lain.
2. Suspensi eritrosit juga tidak boleh tercemar oleh panel sel.
3. Kalau hasil pengamatan aglutinasi meragukan, maka dapat diamati dibawah
mikroskop (Hati-hati jangan sampai keliru dengan reauleoux).

362
BAB VII
HEMOSTASIS

Hemostasis adalah istilah umum untuk menyatakan seluruh mekanisme yang digunakan oleh
tubuh untuk melindungi diri terhadap kemungkinan perdarahan atau kehilangan darah.
Pendarahan ialah keluarnya darah dari salurannya yang normal ( arteri, vena atau kapiler ) ke
dalam ruangan ekstravaskuler oleh karena hilangnya kontinuitas pembuluh darah. Perdarahan
dapat berhenti melalui 3 mekanisme yaitu kontraksi pembuluh darah, pembentukan gumpalan
trombosit dan pembentukan trombin serta fibrin yang memperkuat gumpalan trombosit.
Bila terdapat gangguan atau kelainan pada salah satu atau lebih dari ketiganya mekanisme
tersebut terjadilah pendarahan yang abnormal yang seringkali tidak dapat berhenti sendiri.
Gangguan atau kelainan dapat terjadi pada
- Pembuluh darah ( vaskuler)
- Trombosit (jumlah maupun fungsinya)
- Mekanisme pembekuan
Dengan pemeriksaan sederhana yaitu hitung trombosit masa pendarahan, masa pembekuan,
Rumple leede dapat dibedakan secara garis besar penyebab perdarahan.
Tes masa pendarahan dan hitung trombosit juga dapat dilakukan sebagai tes penyaring pada
pasien yang akan dilakukan tindakan bedah, obstetri atau pencabutan gigi setelah tes masa
protrombin dan masa tromboplastin parsial.
Pada tulisan ini akan dijelaskan pemeriksaaan hemostasis sederhana yaitu hitung trombosit,
masa pendarahan ( bleeding time ), masa pembekuan ( clotting time) dan Rumple Leed.

363
BAB VIII
BLEEDING TIME

Terjadinya perdarahan berkepanjangan setelah trauma superfisal yang terkontrol, merupakan


petunjuk bahwa ada defisiensi trombosit. Masa perdarahan memanjang pada keadaan
3 3 )
trombositopenia ( <100.000/mm ada yang mengatakan < 75.000 mm , penyakit von
willebrand, sebagian besar kelainan fungsi trombosit dan setelah minum obat aspirin.
Pembuluh kapiler yang tertusuk akan mengeluarkan darah sampai luka itu tersumbat oleh
trombosit yang menggumpal. Bila darah keluar dan menutupi luka, terjadilah pembekuan dan
fibrin yang terbentuk akan mencegah perdarahan yang lebih lanjut. Pada tes ini darah yang
keluar harus dihapus secara perlahan-lahan sedemikian rupa sehingga tidak merusak
trombosit. Setelah trombosit menumpuk pada luka, perdarahan berkurang dan tetesan darah
makin lama makin kecil.
Tes masa perdarahan ada 2 cara yaitu metode Duke dan metode Ivy. Kepekaan metode Ivy
lebih baik, dengan nilai rujukan 1 - 7 menit dan metode Duke dengan nilai rujukan 1 – 3 menit.

A. METODE
DUKE
 Pra Analitik
1. Persiapan Pasien : tidak memerlulakan persiapan khusus
2. Persiapan sample : darah kapiler
3. Prinsip:
Dibuat perlukaan standar pada daun telinga, lamanya perdarahan sampai berhenti
dicatat.
4. Alat dan bahan
 Disposable Lanset steril
 Kertas saring bulat
 Stop Watch
 Kapas alkohol

 Analitik
1. Bersihkan daun telinga dengan kapas alkohol , biarkan mengering.
2. Buat luka dengan disposable lanset steril panjang 2 mm dalam 3 mm. sebagai
pegangan pakailah kaca objek dibalik daun telinga dan tepat pada saat darah keluar
jalankan stop watch.
3. Setiap 30 detik darah yang keluar diisap dengan kertas saring bulat tetapi
jangan sampai menyentuh luka
4. Bila perdarahan berhenti , hentikan stop watch dan catatlah waktu
perdarahan
Catatan : 1. Bila perdarahan 10 menit, hentikan perdarahan dengan menekan luka
dengan kapas alkohol . Dianjurkan untuk diulang dengan cara yang sama atau
dengan metode Ivy.
Digunakan untuk bayi dan anak – anak
Kepekaannya kurang.

364
 Pasca Analitik
Nilai rujuk : 1 – 3 menit

B. METODE IVY
 Pra Analitik
1. Persiapan pasien: tidak memerlukan persiapan khusus
2. Persiapan sampel : darah kapiler
3. Prinsip: Dibuat perlukaan standar pada permukaan volar lengan bawah,
lamanya perdarahan diukur.
4. Alat dan bahan:
- Tensimeter
- Disposable lanset steril dengan ukuran lebar 2 mm dan 3 mm
- Stop watch
- Kertas saring bulat
- Kapas alcohol

 Analitik
1. Pasang manset tensimeter pada lengan atas dan pompakan tensimeter sampai
40 mm Hg selama pemeriksaan . Bersihkan permukaan volar lengan bawah
dengan kapas alkohol 70 % . Pilih daerah kulit yang tidak ada vena superfisial , kira
- kira 3 jari dari lipatan siku.
2. Rentangkan kulit dan lukailah dengan lebar 2 mm dalam 3mm.
3. Tepat pada saat terjadi perdarahan stop watch dijalankan
4. Setiap 30 detik hapuslah bintik darah yang keluar dari luka. Hindari jangan
sampai menutup luka.
5. Bila perdarahan berhenti ( diameter <1 mm ) hentikan stop watch dan lepaskan
manset tensimeter . Catat waktu perdarahan dengan pembulatan 0,5 menit.
Catatan : 1. Bila perdarahan sampai 15 menit belum berhenti, tekanlah lukanya .Tes
diulangi lagi terhadap lengan lainnya . Bila hasilnya sama, hasil dilaporkan bahwa
masa perdarahan > 15 menit
Kesulitan dalam membuat luka yang standar. Jika hasil < 2 menit tes diulang

365
C. Pasca Analitik
Nilai rujuk : 1 – 7 menit
Berikut adalah gambar tes perdarahan metode Duke ,Ivy dan Template Ivy

366
BAB IX
CLOTTING TIME

Tes masa masa pembekuan menurut Lee - White merupakan tes yang paling tua yang
paling dan kurang ketelitiannya . Tes ini mengukur waktu yang diperlukan oleh darah
lengkap untuk membeku di dalam tabung.
Metode Lee - White menggunakan 4 tabung masing - masing terisi 1 ml darah lengkap,
diinkubasi dalam suhu 370C. Tabung perlahan - lahan dimiringkan setiap 30 detik supaya
darah bersentuhan dengan dinding tabung sekaligus melihat sudah terjadinya pembekuan.
Darah normal membeku 4 - 10 menit dalam suhu 370C.
Defisiensi faktor pembekuan dari ringan sampai sedang belum dapat dideteksi dengan
metode ini, defisiensi faktor pembekuan yang berat baru dapat.dideteksi. Heparin
memperpanjang masa pembekuan sehingga dapat digunakan untuk memantau terapi
dengan heparin.

A. Pra Analitik
1. Persiapan pasien: tidak memerlukan persiapan khusus
2. Persiapan sample: darah vena
3. Prinsip : Diambil darah vena dan dimasukkan kedalam tabung kemudian
dibiarkan membeku. Sedang waktu dari saat pengambilan darah sampai saat darah
membaku dicatat sebagai masa pembekuan
4. Alat dan bahan
- Tabung reaksi 10 X 100 mm = 4 buah
- Stop watch
- Water bath

B. Analitik
1. Tempatkan ke 4 tabung reaksi ke dalam water bath (37 0C)
2. Ambil darah vena 4 ml, segera jalankan stop watch pada saat darah tampak
didalam jarum . Tuangkan 1 ml kedalam setiap tabung.
3. Setelah 3 menit mulailah mengamati tabung 1 . Angkat tabung keluar dari
water bath dalam posisi tegak lurus, lalu miringkan perhatikan apakah darah masih
bergerak atau tidak ( membeku ). Lakukan hal ini pada tabung 1 setiap selang
waktu 30 detik sampai terlihat darah dalam tabung sudah tidak bergerak (darah
sudah membeku).
4. Catat selang waktu dari saat pengambilan darah sampai darah membeku
sebagal masa pembekuan.
Rumus : Rata - rata dari tabung 2,3,dan 4, hasil dibulatkan 0,5 menit.
: waktu 2+3+4
3
Catatan : Nlilai rujukan 4-10 menit (370C). Tes dapat dilakukan tanpa menggunakan
water bath, masa pembekuan pada suhu kamar lebih panjang. Disarankan tiap
laboratorium untuk membuat nilai rujukan masing - masing.

367
C. Pasca Analitik
Nilai rujukan : 4 – 10 menit (37 oC)
Hasil Praktikum Clotting Time (Masa Pembekuan)

No Tabung Waktu sampai membeku


1 5 Menit
2 6 Menit
3 4 Menit
4 4 Menit

Rumus : Waktu 2+3+4 = 14 = 4,6 5 menit


3 3

Dari hasil praktikum Clotting time didapatkan waktu rata-rata yaitu 5 menit yang berarti
masig dalam nilai rujukan atau normal yaitu 4-10 menit.

368
BAB X

TES RUMPLE LEED

A. Pra Analitik
1. Persiapan pasien: tidak memerlukan persiapan khusus
2. Prinsip : Terhadap kapiler diciptakan suasana anoksia dengan jalan
membendung aliran darah vena. Terhadap anoksia dan penambahan tekanan internal
akan terlihat kemampuan kapiler bertahan . Jika ketahanan kapiler turun akan timbul
"' Petechiae "' di kulit.
3. Alat dan bahan:
- Tensimeter dan Stetoskop
- Timer
- Spidol

B. Analitik
1. Pasang manset tensimeter pada lengan atas . Carilah tekanan sistolik (TS)
dan tekanan diastolik (TD).
2. Buat lingkaran pada bagian volar lengan bawah :
- Radius 3 cm
- Titik pusat terletak 2 cm di bawah garis lipatan siku.
3. Pasang lagi tensimeter dan buatlah tekanan sebesar 1/2 X (TS+TD)
pertahankan tekanan ini selama 5 menit.
4. Longgarkan manset lalu perhatikan ada tidaknya petechieae dalam
lingkaran yang telah dibuat

C. Pasca Analitik
Nilai Rujukan : < 10 : Normal ( Negatif)
10 - 20 : Dubia ( Ragu – ragu )
> 201 : Abnormal ( Positif )
Tes Rumple Leede merupakan tes yang sederhana untuk melihat gangguan pada vaskuler
maupun trombosit. Tes Rumple Leede akan positif bila ada gangguan pada vaskuler
maupun trombosit.

369
DAFTAR PUSTAKA

1. Bain BJ, Lewis SM, Bates I. Basic haematological techniques. In : Dacie and Lewis.
Practical Haematology. 10th ed. Churchill Livingstone. Philadelphia 2006. 25-78

2. Hutchison RE, McPherson RA. Hematology. In : Henry‟s Clinical Diagnosis and


Management by Laboratory Methods. 21st ed. Saunders Elsevier. Philadelphia. 2007.
457-503
3. Ernst DJ. Applied Phlebotomy. Lippincott Williams & W ilkins. Philadelphia. 2005.
1-157
4. Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Dian Rakyat. Jakarta. 2004.
5. Nomura T, Furusawa S. Essentials of Microscopic Hematology. Igaku-Shoin. Tokyo.
1991. 1-85
6. Merck. Hematological Laboratory Methods. Frankfurt. 1983. 7-80

370
MODUL TUTORIAL

371
TUTORIAL
LANGKAH-LANGKAH DISKUSI TUTORIAL

A. Kegiatan dalam tutorial:


1. Tentukan ketua kelompok.
2. Tentukan sekretaris 1 dan 2.
3. Berdoa sebelum diskusi tutorial.
4. Diskusi tutorial dengan metode 7 jumps.
5. Refleksi dan sharing oleh tutor.
6. Berdoa setelah selesai diskusi tutorial.

B. Langkah-langkah diskusi tutorial metode 7 jumps


1. Klarifikasi kata-kata sulit
2. Mendefinisikan masalah/pertanyaan
3. Curah pendapat/jawab secara singkat pertanyaan-pertanyaan
4. Analisis masalah/diskusi pertanyaan-pertanyaan secara lebih mendetil
5. Memformulasikan tujuan belajar/menyusun learning objective (LO)
6. Belajar mandiri
7. Diskusi hasil belajar mandiri

C. Tugas ketua kelompok:


1. Menghubungi tutor/peer tutor.
2. Memastikan diskusi tutorial berjalan tepat waktu.
3. Memastikan setiap anggota kelompok mematuhi tata tertib tutorial.
4. Memimpin diskusi tutorial.
5. Mengajak setiap anggota kelompok terlibat aktif dalam tutorial.
6. Memastikan setiap anggota mengerti LO yang disepakati.
7. Memimpin kelompok untuk berdiskusi mandiri di luar waktu tutorial.
8. Memastikan semua LO terjawab di tutorial 2 (langkah 7).
9. Menyepakati bersama perwakilan kelompok yang ditugaskan
untuk mempresentasikan hasil diskusi pada saat pleno.

Tugas sekretaris 1:
1. Merangkum hasil diskusi.
2. Menuliskan hasil diskusi di flipchart atau papan tulis.
3. Ikut terlibat aktif dalam diskusi.

Tugas sekretaris 2:
1. Menyalin hasil diskusi yang ditulis oleh sekretaris 1 di buku.
2. Membacakan ulang LO yang disepakati di akhir tutorial.
(Dent & Harden, 2009; Groves, Régo, & O‘Rourke, 2005; Maastricht, 2006)
Tugas tutor:
1. Mengabsen dan mengenal peserta tutorial.
2. Memastikan peserta tutorial mematuhi tata tertib tutorial.
3. Memfasilitasi jalannya diskusi.
4. TIDAK memberikan jawaban tetapi mengarahkan peserta untuk mencari
jawaban.

372
5. Mencetuskan rasa ingin tahu peserta dan meng-encourage peserta untuk
belajar lebih jauh.
6. Memberikan kesempatan kepada peserta untuk berani berpendapat dan
menerima pendapat dengan baik.
7. Meng-encourage peserta untuk bisa menjelaskan dan mempresentasikan ide
dengan media. Misalnya maju ke depan dan menggambar di papan tulis /
menggunakan gambar untuk menjelaskan dari laptop.
8. Mengisi lembar penilaian.
9. Membuat catatan mengenai proses diskusi dan perilaku mahasiswa untuk
feedback kepada mahasiswa.
10. Mendampingi mahasiswa untuk refleksi pada akhir setiap tutorial dan
memberikan feedback dalam rangka perbaikan attitude dan perbaikan proses diskusi
dalam tutorial berikutnya.
11. Memberikan feedback kepada MEU terkait perbaikan dan penyempurnaan
modul tutorial.

Catatan:
Mahasiswa tidak diperkenankan membuka laptop kecuali untuk keperluan menjelaskan
dalam diskusi dan wajib meminta ijin terlebih dahulu kepada tutor.

373
MODUL 1.

ANEMIA

TUJUAN PEMBELAJARAN
KOMPETENSI:

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan proses


hematopoesis, mengenal sel-sel darah, metabolisme darah, penyebab, patogfisiologi,
diagnostik, penatalaksanan, komplikasi, pencegahan dan pengendalian anemia.
1. Menjelaskan proses hematopoiesis dan menggambarkan sel-sel darah
1.1. Menjelaskan proses eritropoiesis
1.2. Menjelaskan proses granulopoiesis
1.3. Menjelaskan proses trombopoiesis
1.4. Menyebutkan jenis-jenis sel darah
1.5. Menggambarkan jenis morfologi sel darah
2. Menjelaskan metabolisme sel-sel darah
2.1. Menjelaskan struktur dan fungsi membran sel darah merah
2.2. Menjelaskan struktur dan fungsi sel darah merah
2.3. Menjelaskan struktur dan fungsi hemoglobin
3. Menjelaskan zat-zat gizi esensial yang berhubungan dengan anemia
4. Menjelaskan jenis-jenis anemia menurut morfologi dan penyebabnya
4.1. Menjelaskan tentang anemia penyakit kronis
4.2. Menjelaskan tentang anemia karena perdarahan
4.3. Menjelaskan tentang anemia hemolitik
4.4. Menjelaskan tentang anemia defisiensi Fe
4.5. Menjelaskan tentang anemia aplastik
4.6. Menjelaskan tentang anemia megaloblastik
4.7. Menjelaskan tentang thalasemia, hemoglobinopati lainnya

374
KASUS
Skenario 1
Seorang pria, berusia 52 tahun, datang ke puskesmas dengan keluhan, cepat lelah dan
merasa lemah, disaat bersepeda pernah hampir pingsan. Penderita sering demam dan
mimisan. Menurut keluarganya dia terlihat lebih pucat dari biasanya.

Daftar Pertanyaan :
1. Apa jenis anemia yang mungkin diderita oleh pasien tersebut ?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya anemia pada penderita tersebut ?
3. Bagaimana metabolisme sel darah yang terjadi sehingga menyebabkan anemia ?
4. Bagaimana proses hematopoiesis dari sel darah tersebut ?
5. Zat gizi apa yang mempengaruhi proses terjadinya keadaan anemia tersebut ?

Skenario 2
Seorang anak perempuan umur 5 tahun, datang ke rumah sakit dengan ibunya
karena mendapat rujukan dari puskesmas karena anemia

Daftar Pertanyaan
1.Apa jenis anemia atau kelainan lain yang mungkin diderita oleh pasien tersebut ?
2. Bagaimana patofisiologi terjadinya keadaan diatas pada penderita tersebut ?
3. Bagaimana metabolisme sel darah yang terjadi sehingga menyebabkan keadaan diatas?
4. Bagaimana proses hematopoiesis dari sel darah tersebut ?
5. Zat gizi apa yang mempengaruhi proses terjadinya keadaan diatas ?
6. Jenis transfusi apa yang sebaiknya diberikan kepada pasien tersebut ?

375
MODUL 2

Pilek Menahun

KOMPETENSI
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan tentang
penyakit-penyakit yang menyebabkan gejala pilek, patomekanisme penyakit tersebut,
terutama imunopatogenesis terjadinya reaksi alergi, kerusakan jaringan, gejala dan tanda
kelainan organ dan penatalaksanaan penyakit-penyakit dengan gejala pilek

1. Menjelaskan imunopatogenesis terjadinya penyakit


2. Menjelaskan mekanisme dasar alergi dan tipe-tipe hipersensitifitas yang
dapat terjadi
3. Menjelaskan perubahan histologi atau patologi anatomi yang terjadi karena
reaksi alergi yang terjadi
4. Menjelaskan patomekanisme penyakit dengan gejala pilek
5. menjelaskan gejala dan tanda penyakit akibat reaksi alergi
6. Menjelaskan zat gizi yang berhubungan dengan penyakit alergi
7. Menjelaskan pentingnya imunisasi pada kekebalan tubuh

376
KASUS

Skenario I
Seorang perempuan umur 16 tahun datang puskesmas dengan riwayat pilek selama kira-
kira 1 tahun. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang dirasakan
berasal dari belakang hidung. Pada waktu kecil ia sering menderita sesak nafas.

Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana mekanisme terjadinya pilek
2. Sel-sel imun apa saja yang turut berperan dan bagaiman cara kerja sel-sel imun
3. Bagaimana imunopatogenesis terjadinya penyakit dengan gejala diatas ?
4. Bagaimana mekanisme dasar alergi dan tipe-tipe hipersensitifitas yang dapat terjadi
?
5. Bagaimana perubahan histologi atau patologi anatomi yang terjadi karena reaksi
alergi yang terjadi
6. Bagaimana patomekanisme, gejala dan tanda penyakit dengan gejala pilek akibat
reaksi alergi
7. Jelaskan zat gizi yang berhubungan dengan penyakit alergi
8. Jelaskan pentingnya imunisasi pada kekebalan tubuh

377
Bahan Bacaan dan Sumber Bacaan

Hematologi
1. Dacie JV and Lewis SM. Practical Haematology
2. Wintrobe‘s Clinical Hematology
3. William Hematology
4. Henry‘s Clinical Diagnosis and Management by Laboratory Method

Imunologi
1. Abbas : Basic Immunology Function and Disorders of the Immune System, Saunders
2. Abbas : Cellular and molecular Imunology, WB. Saunders

378

You might also like