Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 18

PRESENTASI KASUS

ANESTESI REGIONAL PADA HERNIA INGUINALIS LATERALIS RESIDIF

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Kepaniteraan Klinik

Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif RSUD Temanggung

Disusun oleh:

Faris Bariqi

20174011049

Pembimbing:

dr. Argo Seto, Sp. An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD TEMANGGUNG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018

1
BAB I

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. W
Jenis kelamin : Laki-Laki
Umur : 66 tahun
Alamat : Temanggung
Tanggal masuk : 11 Februari 2018
No RM : 077067
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Benjolan pada lipat paha kanan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien laki-laki berusia 66 tahun datang ke poliklinik bedah karena merasakan
benjolan pada lipat paha kanannya. Benjolan tidak terasa nyeri, menghilang
ketika berbaring, dan muncul ketika berdiri atau mengangkat beban.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien pernah mengalami hal serupa sebelumnya, dengan diagnosis hernia
inguinalis lateralis dextra, dilakukan operasi di Parakan pada tahun 2014
Riwayat alergi : disangkal
Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
Riwayat asma : disangkal
Riwayat hipertensi : Hipertensi terkontrol
Riwayat peny. jantung : disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Diagnosis AKI oleh spesialis penyakit dalam
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat keluhan serupa.
Riwayat Hipertensi : disangkal
Riwayat DM : disangkal

C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign
 Tekanan darah: 160/90 mmHg
 Nadi : 84x/menit
 Pernapasan : 20x/menit
 Suhu : 36,5

2
Head to toe
Kepala : CA(-/-), SI (-/-),
Leher : Lnn tidak membesar
Thorax : Inspeksi : simetris, retraksi dada (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
Perkusi : sonor
Auskultasi : SDV (+/+), ronkhi (-/-), cor S1-S2
regular
Abdomen : Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani
Urogenitalia : Tidak terpasang Kateter
Ekstremitas : Oedem (-), akral dingin (-)

2. Status Lokalis (Inguinalis Dextra)


Look : Massa (+) di regio buccal maksila bentuk bulat, diameter ± 5-7cm
Feel : konsistensi keras, bertangkai, tidak mudah berdarah
Move : massa immobile (terfiksasi)

3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


DARAH LENGKAP
Hb 19,1 (H) 13,2-17,3
Hematokrit 54 (H) 40-52
Leukosit 9,0 3,6-11,0
Trombosit 220 150-440
HITUNG JENIS
Limfosit 13,0 25,0-40,0
Eritrosit 6,72 (H) 4,4-5,9
Neutrofil 75,6 (H) 50,0-70,0
Monosit 11,3 (H) 2,0-8,0
KIMIA KLINIK
GDS 119 70-140
Ureum 126,7 (H) 10,0-50,0
Creatinin 1,85 (H) 0,60-1,20
IMUNOLOGI
Anti HAV Reaktif Non reaktif

E. DIAGNOSIS
Status fisik ASA II pada pasien hernia inguinalis lateralis dextra residif.
F. PENATALKASANAAN
1. Terapi awal
- Inj. Ceftriaxon 2x1gr
2. Asesmen anestesi pra operasi

Subjective
 Riwayat Penyakit Sekarang : Benjolan pada lipat paha kanan
 Riwayat Penyakit Dahulu : Hipertensi
 Riwayat Penyakit Keluarga : (-)
 Riwayat Operasi : (-)
 Kebiasaan Sehari-hari : Operasi hernia pada 2014
 Alergi : (-)
 Obat yang dikonsumsi : (+)
Objective
 Pemeriksaan fisik : Hernia Inguinalis Lateralis Dextra
Residif
 Hasil Pemeriksaan Penunjang : Acute Kidney Injury
Assessment
 ASA : II
Planning

4
 Rencana Pelayanan : Regional Anesthesia
 Rencana Anestesi : Umum
 Daftar Masalah : Geriatri, Acute Kidney Injury
 Saran Persiapan Tindakan Anestesi : Puasa, Premed, sedia 1 klf PRC
 Rencana Analgesi Post Anestesi : Drip
3. Intra operasi
Dilakukan operasi hernia repair dengan teknik anestesi regional pada tanggal
13 Januari 2018 pukul 10.55 WIB.

Laporan Anestesia
a. Jenis anesthesia : besar
b. Risiko anesthesia : besar
c. Monitoring : EKG, TD, N, SpO2
TD : 160/80 mmHg, N: 76x/menit, RR: 20x/menit, SpO2 100%
d. Prainduksi
ASA: II
BB: 60 kg
Jantung: dbn
e. Induksi
Pasien posisi duduk dengan kepala menunduk  Inj. Bupivacain 20 mg +
Fentanyl 25 mcg intra ruang subarachnoid  pasien diposisikan telentang

5
f. Maintenance
O2 2,5 l/m, monitor tanda vital pasien
Cairan :
Maintenance : (10 x 4 )+(10x2)+(40x1)= 100 ml
S.O : Bb x konstanta operasi besar = 60x8 = 480ml
Pengganti Puasa : 8 x maintenance = 8x100 = 800

Jam 1 : 1/2p.p + M + S.o = 400 + 100 + 480 =980 ml


Jam 2 dan 3 : 1/4p.p + M + S.o= 200 + 100 + 480 = 780 ml
Jam 4 dan seterusnya : M + S.o = 100 + 480 = 580 ml
4. Post Operasi
Operasi selesai  O2 tetap diberikan  ruang pemulihan.
a. Ruang pemulihan
Monitoring keadaan umum pasien (Aldrete score):

Pada pasien tersebut skonya 13.

6
Monitoring dengan skor Bromage

b. Bangsal
- Pengawasan TD/N/RR tiap ½ jam pada 2 jam pertama
- Program cairan : Tutofusin ops + fentanyl 100 mcg + antrain 1 gr
20 tpm makro
- Program analgetik : inj. Tramadol 100 mg
- Diit bebas
- Mobilisasi 24 jam setelah operasi selesai

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hernia
1. Definisi

Hernia merupakan protrusi atau penonjolan isi suatu rongga melalui


defek atau bagian lemah dari dinding rongga bersangkutan. Pada hernia
abdomen, isi perut menonjol melalui defek atau bagian lemah dari lapisan
muskulo-aponeurotik dinding perut.

Hernia terdiri atas cincin, kantong, dan isi hernia. Berdasarkan


terjadinya, hernia dibagi atas hernia bawaan atau kongenital dan hernia dapatan
atau akuisita.

2. Etiologi

Faktor predisposisi dari hernia secara umum dibagi menjadi dua, yaitu,
kelemahan dinding abdomen dan peningkatan tekanan abdomen.
Kelemahan dinding abdomen dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
usia, kelemahan jaringan dan otot, adanya daerah yang luas di regio
inguinal, dan akibat dari trauma. Peningkatan tekanan intra abdomen dapat
terjadi karena obesitas, kebiasaan mengangkat benda berat, batuk kronik,
pasien hamil, dan kebiasaan mengejan atau riwayat konstipasi.

3. Patofisiologi

Hernia berkembang ketika tekanan intraabdomen meningkat, tekanan


tersebut akan menyebabkan kelemahan pada dinding abdominal karena
tipis atau tidak kuatnya pada daerah tersebut. Awalnya terjadi kerusakan
minimal pada dinding abdominal, kemudian dalam waktu yang cukup
lama dan tekanan yang terus berlanjut terjadi penonjolan dan
menyebabkan kerusakan lebih lanjut.

4. Klasifikasi

8
Hernia diklasifikasikan berdasarkan beberapa unsur. Berdasarkan
tempatnya, hernia pada regio abdomen secara umum dibagi menjadi lima:

a. Hernia femoralis adalah hernia isi perut yang tampak di daerah fosa
femoralis.

b. Hernia umbilikalis adalah hernia isi perut yang tampak di daerah


umbilical.

c. Hernia diafragmatik adalah hernia yang masuk melalui lubang


diafragma ke dalam rongga dada

e. Hernia Inguinalis adalah hernia isi perut yang tampak di daerah sela
paha (regio inguinalis) melalui canalis inguinalis

Berdasarkan mobilitas dari isi hernia, hernia dibagi menjadi dua yaitu,
hernia reponibel dimana isi hernia dapat kembali masuk, biasanya ketika
pasien berbaring, sedangkan hernia ireponibel terjadi ketika isi hernia
terjepit sehingga tidak dapat kembali ke posisi awal.

Berdasarkan komplikasinya, hernia dibagi menjadi dua yaitu hernia


inkarserata dan hernia strangulate. Hernia inkarserata terjadi ketika isi
hernia berupa usus terjepit oleh cincin hernia sehingga menyebabkan
pasase usus terganggu. Hernia strangulata adalah kondisi hernia dimana isi
hernia yang terjepit mengalami gangguan vaskularisasi sehingga isi hernia
kekurangan nutrisi dan jaringannya mulai mati.

5. Penegakkan Diagnosis

Penegakan diagnosis hernia secara umum dapat dilihat dari anamnesis


dan pemeriksaan fisik. Pasien dengan hernia biasanya merasakan benjolan
pada lokasi hernia yang tidak terasa nyeri, dan pada awalnya biasanya dapat
dimasukkan kembali. Benjolan awalnya dapat keluar ketika berdiri dan masuk
ketika berbaring. Jika terjadi hernia ireponibel karena isi hernia terjepit cincin
hernia, benjolan tidak dapat dimasukkan, tetapi tetap tidak terasa nyeri.

Aktivitas sehari-hari dapat mempengaruhi timbulnya hernia. Aktivitas


yang meningkatkan tekanan intra abdomen seperti mencangkul, dan

9
mengangkat beban berat dapat meningkatkan tekanan intra abdomen yang
dapat menimbulkan hernia. Beberapa kondisi penyakit seperti BPH, tumor
rekti, batuk kronis, dan striktur uretra adalah beberapa contoh yang dapat
meningkatkan tekanan intra abdomen.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan benjolan yang dapat dimasukkan


kembali pada hernia reponibel. Pada hernia ireponibel benjoln tidak dapat
dimasukkan kembali. Benjolan biasanya memiliki warna sama dengan kulit
sekitar, kecuali pada kasus hernia strangulate dimana lama kelamaan muncul
kemerahan pada benjolan yang menandakan proses nekrosis pada bagian isi
hernia dan mulai terasa nyeri. Pada kasus hernia dimana isi hernia adalah usus,
dapat ditemukan bising usus ketika dilakukan auskultasi.

Terdapat beberapa pemeriksaan tambahan untuk memeriksa asal hernia.


Pemeriksaan yang paling sering dilakukan adalah tes Ziemen dan tes Finger.
Pada tes ziemen pemeriksa menggunakan tiga jari untuk memeriksa apakah
hernia berasal dari canalis inguinalis, anulus inguinalis eksternus, atau fosa
femoralis. Sedangkan pda tes Finger awalnya isi hernia dimasukkan kembali
lalu pasien diminta mengejan. Pemeriksa akan menentukan dari arah mana
hernia berasal dan menentukan asal hernia.

6. Tatalaksana
Tatalaksana pasien hernia dapat dibagi menjadi non operatif dan operatif.
Tatalaksana non operatif tidak akan benar-benar menyembuhkan kondisi
hernia. Untuk tatalaksana non operatif, pasien bisa diposisikan dengan posisi
Trendelenburg dimana pasien berbaring dengan posisi kaki lebih tinggi dari
kepala. Hal ini dilakukan dengan maksud agar hernia perlahan-lahan dapat
masuk kembali.
Terapi definitif pada kasus hernia adalah operasi hernia repair. Hernia
repair adalah operasi yang terdiri dari tiga bagian, herniotomy, hernioplasty,
dan hernioraphy. Herniotomy adalah proses memotong kantong hernia dengan
tujuan meniadakan kemungkinan isi abdomen untuk masuk ke kantong hernia.
Hernioplasty adalah proses mengembalikan isi hernia keposisi awalnya.
Hernioraphy adalah proses memperkuat daerah disekitar cincin hernia dengan
cara menjahit dan memberikan suatu lapisan sintetis untuk memperkuat

10
jaringan dan otot disekitarnya dengan harapan mencegah munculnya hernia
lagi.

B. Anestesi Regional pada Hernia Inguinalis Lateralis Dextra Residif


1. Definisi Anestesi Regional
Anestesi regional atau spinal adalah salah satu metode anestesi yang
diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke
dalam cairan cerebro-spinal (CSF). Anestesi spinal dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgesik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah
antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.
Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersifat sebagai
analgesik karena menghilangkan nyeri dan pasien tetap sadar. Oleh sebab
itu, Teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya menghilangkan
persepsi nyeri saja. Jiak diberi tambahan obat hipnotik atau sedatif, disebut
sebagai balance anesthesia dan masuk kedalam trias anestesi.pada anestesi
regional hanya regio yang diblok saja yang tidak merasakan sensasi nyeri.
Anestesi regional dibagi menjadi dua, blok sentral dan blok perifer.
Blok sentral terdiri dari blok spinal, epidural, dan kaudal. Blok perifer
terdiri atas anestesi topical, infiltrasi local, dan blok lapangan.
Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan
menembus kulis  subkutis  Lig. Supraspinosum  Lig. Interspinosum
 Lig. Flavum  ruang epidural  durameter  ruang subarachnoid.

11
 Indikasi:
1. Bedah ekstremitas bawah
2. Bedah panggul
3. Tindakan sekitar rektum perineum
4. Bedah obstetrik-ginekologi
5. Bedah urologi
6. Bedah abdomen bawah
7. Pada bedah abdomen atas dan bawah pediatrik biasanya
dikombinasikan dengan anesthesia umum ringan

Kontra indikasi absolut:


1. Pasien menolak
2. Infeksi pada tempat suntikan
3. Hipovolemia berat, syok
4. Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan
5. Tekanan intrakranial meningkat
6. Fasilitas resusitasi minim
7. Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi.

 Kontra indikasi relatif:


1. Infeksi sistemik
2. Infeksi sekitar tempat suntikan
3. Kelainan neurologis
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama
6. Penyakit jantung
7. Hipovolemia ringan
8. Nyeri punggung kronik

12
2. Status Fisik Pasien
Pada dasarnya, setiap pasien harus dinilai status fisiknya, untuk
menunjukkan apakah kondisi tubuhnya normal atau memiliki kelainan
yang membutuhkan perhatian khusus. Status fisik dinyatakan dalam status
ASA (American Society of Anesthesiologists), dibagi menjadi beberapa
tingkatan, yaitu:

 ASA 1, yaitu pasien normal (sehat) tanpa kelainan organik, fisiologis


atau kejiwaan.
 ASA 2, yaitu pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
baik karena penyakit bedah maupun penyakit lainnya. Contohnya
pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol, atau pasien
apendisitis akut dengan lekositosis dan febris.

 ASA 3, yaitu pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat


namun tidak mengancam jiwa. Contohnya pasien gagal jantung
kongestif terkontrol, angina stabil atau pasien ileus obstruksi dengan
iskemia miokardium.

 ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara


langsung mengancam kehiduannya.

 ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun


dioperasi atau tidak, risiko besar kematian, kegagalan multi organ,
sindrom sepsis dengan ketidakstabilan hemodinamik. Contohnya
pasien tua dengan perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena
ruptur hepatik.

 ASA 6, pasien mati batang otak akan mendonorkan organnya

3. Teknik Anestesi Spinal

Posisi duduk atau posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan


pada garis tengah ialah posisi yang paling sering dikerjakan. Biasanya

13
dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi dan hanya
diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi
berlebihan dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya
obat. Adapun langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal adalah
sebagai berikut:
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral
dekubitus. Beri bantal kepala, selain nyaman untuk pasien juga
supaya tulang belakang stabil. Buat pasien membungkuk maximal
agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain adalah duduk.
2. Penusukan jarum spinal dapat dilakukan pada L2-L3, L3-L4, L4-L5.
Tusukan pada L1-L2 atau diatasnya berisiko trauma terhadap medulla
spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.
4. Beri anastesi lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-
2% 2-3ml.
5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal besar 22G,
23G, 25G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil
27G atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum yaitu jarum
suntik biasa spuit 10cc. Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2cm
agak sedikit kearah sefal, kemudian masukkan jarum spinal berikut
mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Jika menggunakan jarum tajam
(Quincke-Babcock) irisan jarum (bevel) harus sejajar dengan serat
duramater, yaitu pada posisi tidur miring bevel mengarah keatas atau
kebawah, untuk menghindari kebocoran likuor yang dapat berakibat
timbulnya nyeri kepala pasca spinal. Setelah resensi menghilang,
mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang spuit berisi
obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5ml/detik) diselingi
aspirasi sedikit, hanya untuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.
Kalau anda yakin ujung jarum spinal pada posisi yang benar dan
likuor tidak keluar, putar arah jarum 90º biasanya likuor keluar. Untuk
analgesia spinal kontinyu dapat dimasukan kateter.
6. Posisi duduk sering dikerjakan untuk bedah perineal misalnya bedah
hemoroid (wasir) dengan anestetik hiperbarik. Jarak kulit-ligamentum
flavum dewasa ± 6cm.

4. Obat-obatan Anestesi Spinal

Berat jenis cairan cerebrospinalis pada 37 derajat celcius adalah 1.003-


1.008. Anastetik lokal dengan berat jenis sama dengan css disebut isobarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih besar dari css disebut hiperbarik.
Anastetik lokal dengan berat jenis lebih kecil dari css disebut hipobarik.

14
Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis hiperbarik diperoleh
dengan mencampur anastetik local dengan dextrose.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
1. Lidokaine (xylobain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100mg (2-5ml)
2. Lidokaine (xylobain, lignokaine) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis
1.033, sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
3. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
4. Bupivakaine(markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
Bupivakain merupakan obat anestesi lokal dengan rumus bangun
sebagai berikut: 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide
hydrochloride. Bupivakain adalah derivat butil dari mepivakain yang kurang
lebih tiga kali lebih kuat daripada asalnya. Obat ini bersifat long Secara
komersial bupivakain tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan
kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris
menyebabkan obat ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan
dan pasca bedah.

Pada tahun-tahun terakhir, larutan bupivakain baik isobarik maupun


hiperbarik telah banyak digunakan pada blok subrakhnoid untuk operasi
abdominal bawah. Pemberian bupivakain isobarik, biasanya menggunakan
konsentrasi 0,5%, volume 3-4 ml dan dosis total 15-20 mg, sedangkan
bupivakain hiperbarik diberikan dengan konsentrasi 0,5%, volume 2-4ml dan
total dosis 15-22,5 mg. Bupivakain dapat melewati sawar darah uri tetapi
hanya dalam jumlah kecil.

5. Fentanyl
Fentanyl termasuk obat golongan analgesik narkotika. Fentanyl bekerja
di dalam sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Beberapa efek
samping juga disebabkan oleh aksinya di dalam sistem syaraf pusat. Pada
pemakaian yang lama dapat menyebabkan ketergantungan tetapi tidak sering
terjadi bila pemakaiannya sesuai dengan aturan. Ketergantungan biasa terjadi

15
jika pengobatan dihentikan secara mendadak. Sehingga untuk mencegah efek
samping tersebut perlu dilakukan penurunan dosis secara bertahap.
BAB III

PEMBAHASAN

Dari pemeriksaan fisik dan penunjang, maka diperoleh gambaran status


pasien. Pada kasus ini, status fisik pra anestesi pasien berada pada kategori ASA II.
Berdasarkan status fisik pasien, jenis anestesi yang digunakan untuk hernia inguinalis
lateralis dextra residif dengan tindakan hernia repair adalah regional dengan
bupivacaine. Pemilihan teknik anestesi ini berdasarkan pertimbangan bahwa organ
yang akan di operasi berada di regio inguinalis, selain itu juga karena durasi operasi
yang tidak lama maka diputuskan untuk menggunakan teknik ini. Fase tindakan
anestesi meliputi induksi dengan bupivacaine yang diinjeksikan kedalam ruang
subarachnoid untuk memblok proses penjalaran impuls saraf. Fase selanjutnya adalah
memonitor tanda-tanda vital pasien selama proses operasi sampai dengan pasien
keluar dari ruang pemulihan.

16
BAB IV

KESIMPULAN

Anestesi regional spinal adalah suatu umum adalah salah satu metode anestesi
yang diinduksi dengan menyuntikkan sejumlah kecil obat anestesi lokal ke dalam
cairan cerebro-spinal (CSF). Dalam hal ini, hanya persepsi nyeri yang hilang,
sedangkan kesadaran pasien tetap terjaga. Tindakan anestesi yang memadai meliputi
tiga komponen yaitu sedasi (tidak tertidur/mengantuk/tenang), analgesi (tidak
merasakan sakit) dan relaksasi otot rangka (kelumpuhan otot skelet). Oleh karena itu
anestesi regional tidak memenuhi trias anestesi. Agen anestesi local diinjeksikan
kedalam ruang subarachnoid dengan dosis tertentu untuk memblok penjalaran impuls
saraf. Terdapat beberapa teknik anestesi regional diantaranya blok sentral yaitu
anestesi spinal, kaudal dan epidural, serta blok perifer yan gterdiri atas anestesi
topical, local, dan blok lapangan. Masing-masing teknik digunakan sesuai dengan
keadaan pasien dengan mempertimbangkan indikasi dan kontraindikasi.

17
DAFTAR PUSTAKA

Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010. Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Indeks Jakarta, Jakarta. 42-45, 60-63.
Pramono, Ardi, Sp.An. Buku Kuliah Anestesi. FK UMY. Jakarta : EGC, 2015
Schwartz S, Shires G, Spencer F. Principles of Surgery. Edisi 10. New york :
McGraw-Hill Education. 2015
Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 2010
Soenarto, Ratna. Chandra, S. Buku Ajar Anestesiologi. Departemen Anestisiologi dan
Intensive Care Fakultas kedokteran Universitas Indonesia/RS Cipto
Mangunkusumo Jakarta. 2012
Wrobel, M. Werth, M. Pokok-Pokok Anestesi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2012

18

You might also like