Hti Nrni

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 2

Hati nurani adalah penghayatan tentang baik atau buruk

berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani


memerintahkan atau melarang kita melakukan sesuatu kini dan di
sini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan tentang situasi
yang sangat konkret. Misalnya seorang situasi seorang hakim ketika
terdakwa hendak menyuapnya.
Hati nurani berkait erat dengan kenyataan bahwa manusia
memunyai kesadaran. Hanya manusia yang memunyai kesadaran.
Hewan tidak. Kesadaran berarti kesanggupan mengenal diri sendiri
dan karena itu berefleksi tentang dirinya. Manusia bukan hanya
melihat pohon di kejauhan sana, melainkan menyadari bahwa dialah
yang melihatnya. Dalam diri manusia terjadi semacam penggandaan:
ia bisa kembali kepada dirinya sendiri. Manusia bisa menjadi subjek
yang mengamati juga sebagai objek yang diamati.
Kesadaran diambil dari kata Latin scire (mengetahui) dan
awalan con (turut, bersama dengan). Conscientia berarti turut
mengetahui. Kata ini dipakai untuk menunjukkan hati nurani. Dalam
diri manusia, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi moral
perbuatan-perbuatan yang dilakukannya, memberikan pujian dan
sanksi.
Dapat dibedakan dua macam hati nurani, yaitu hati
nuraniretrospektif dan hati nurani prospektif. Yang pertama menilai
perbuatan-perbuatan yang telah dilakukan. Contoh, saya telah
berbohong kepada teman. Lalu hati nurani menghukum saya dengan
perasaan bersalah. Hati nurani retrospektif bertindak dalam bentuk
menghukum, menuduh, atau mencela, juga memuji. Yang kedua
melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan yang akan
dilakukan. Bentuknya adalah mengajak atau mengatakan jangan.
Contoh, ketika seorang hakim ditawari suap, hati nuraninya akan
mengatakan jangan.
Hati nurani bersifat personal, artinya selalu berkaitan erat dengan
pribadi bersangkutan. Hati nurani hanya berbicara tentang dirinya, dan
tidak memberikan penilaian tentang perbuatan orang lain. Kita bisa
memberikan pertimbangan kepada orang lain, tetapi integritas kita
tidak akan merasa diperkosa bila orang lain melakukan perbuatan
yang menurut kita tidak baik.
Hati nurani juga bersifat adipersonal, melebihi pribadi, transenden,
seolah-olah ia merupakan instansi di atas kita. Terhadap hati nurani,
kita seakan-akan hanya menjadi pendengar, membuka diri terhadap
suatu yang datang dari luar. Dalam hal ini, hati nurani sering juga
diistilahkan suara hati, kata hati, suara batin, bahkan suara Tuhan.
Hati nurani berkait dengan rasio, karena hati nurani memberikan
penilaian. Namun keputusan yang diberikan hati nurani biasanya
langsung, bersifat intuitif, seakan-akan tidak melalui argumentasi atau
penalaran rasional. Tapi sebenarnya penalaran rasional itu bisa
ditelusuri dengan jelas, terutama hati nurani yang bersifat prospektif.
Dipandang dari sudut subjek, hati nurani adalah hakim atau
norma terakhir untuk perbuatan manusia. Hati nurani bertugas
menerjemahkan prinsip-prinsip moral yang umum ke dalam situasi
konkret. Namun demikian, belum tentu suatu perbuatan yang sesuai
hati nurani adalah baik juga secara objektif. Misalnya pembunuhan
yang dilakukan kaum teroris, bisa jadi didorong oleh suara hati. Klaim
hati nurani sulit dibuktikan dan mudah dibelokkan untuk melakukan
kejahatan.
Hati nurani harus dididik, seperti juga akal budi memerlukan
pendidikan. Sebab ada juga hati nurani yang buruk, misalnya apa
yang dalam psikiatri disebut moral insanity, kelainan jiwa yang
membuat orang buta terhadap yang baik dan buruk. Anak yang
dibesarkan dalam keluarga pencuri, misalnya, sulit untuk memunyai
hati nurani yang baik tentang hak milik. Ia akan seenaknya saja
mengambil hak orang lain.
Menurut Gabriel Madinier (1895-1958), tempat yang serasi untuk
pendidikan hati nurani adalah keluarga, bukan sekolah. Pendidikan
hati nurani harus dijalankan sedemikian rupa sehingga anak
menyadari tanggung jawabnya sendiri. Mulanya suatu perbuatan
diancam dengan sanksi fisik, lama-kelamaan ketakutan itu harus
diganti dengan kecintaan akan nilai-nilai baik.
[Disarikan dari K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2000, hal. 49-66]

You might also like