Bab I

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Upaya pemeliharaan kesehatan anak ditujukan untuk mempersiapkan

generasi yang akan datang yang sehat, cerdas, dan berkualitas serta untuk

menurunkan angka kematian anak. Upaya kesehatan anak antara lain diharapkan

mampu menurunkan angka kematian anak. Indikator angka kematian yang

berhubungan dengan anak yakni Angka Kematian Neonatal (AKN), Angka

Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA).

Balita merupakan istilah yang berasal dari kependekan kata bawah lima

tahun. Istilah ini cukup populer dalam program kesehatan. Balita merupakan

kelompok usia tersendiri yang menjadi sasaran program KIA (Kesehatan Ibu dan

Anak) di lingkup Dinas Kesehatan. Balita merupakan masa pertumbuhan tubuh

dan otak yang sangat pesat dalam pencapaian keoptimalan fungsinya. Periode

tumbuh kembang anak adalah masa balita, karena pada masa ini pertumbuhan

dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan kemampuan

berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional dan intelegensia berjalan

sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya (supartini, 2014)

Pneumonia merupakan proses inflamasi yang terjadi pada parenkim paru.

Pada anak, pneumonia merupakan penyakit yang paling umum terjadi dan sebagai

salah satu penyebab kesakitan dan kematian utama pada anak (paling banyak anak

di bawah usia 5 tahun). Pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, aspirasi dari

cairan lambung, benda asing, hidrokarbon, bahan-bahan lipoid, dan reaksi

1
2

hipersensitivitas. Gambaran klinis pneumonia ditandai dengan demam, takipnu,

usaha napas meningkat, disertai tarikan otot-otot dinding dada, disertai napas

cuping hidung. Pada infeksi yang berat dapat dijumpai sianosis dan gagal napas.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan ronki dan mengi.

Pneumonia merupakan penyebab dari 15% kematian balita, yaitu

diperkirakan sebanyak 922.000 balita di tahun 2015. Pneumonia menyerang

semua umur di semua wilayah, namun terbanyak terjadi di Asia Selatan dan

Afrika sub-Sahara (World Health Organization, 2017).

Sampai dengan tahun 2016, angka cakupan penemuan pneumonia balita

tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 20%-30%. Pada

tahun 2017 terjadi peningkatan menjadi 63,45%. Salah satu penyebab peningkatan

penemuan yaitu menurunnya sasaran penemuan pneumonia, yang sebelumnya

sama untuk semua provinsi (10%). Sejak tahun 2017 indikator yang digunakan

yaitu persentase kabupaten/kota yang 50% puskesmasnya melakukan pemeriksaan

dan tatalaksana pneumonia melalui program Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS). Pencapaian untuk tahun 2017 baru tercapai 14,64% sedangkan target

sebesar 20% dari seluruh kabupaten/kota yang ada. Angka kematian akibat

pneumonia pada balita sebesar 0,16%, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun

2014 yang sebesar 0,08%. Perkiraan persentase kasus pneumonia pada balita

menurut provinsi Di indonesia ditemukan bahwa perkiraan kasus pneumonia di

Aceh yaitu sebesar 4,46%. (Profil Kesehatan Indonesia, 2017)

Faktor risiko yang menyebabkan tingginya kejadian pneumonia pada anak

balita di negara berkembang terutama adalah pneumonia yang terjadi pada masa
3

bayi, berat badan lahir rendah (BBLR) dan tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI)

eksklusif. Faktor risiko lainnya penyebab kejadian pneumonia yaitu tidak

mendapat imunisasi, malnutrisi dan defisiensi vitamin A. Faktor yang

menyebabkan terjadinya pneumonia adalah bayi lahir dengan Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR), karena kelahiran bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah

(BBLR) akan lebih mudah terserang infeksi saluran pernapasan yang lebih tinggi

dibanding bayi dengan berat lahir normal. Hal ini disebabkan karena pembentukan

zat anti kekebalan tubuh kurang sempurna sehingga lebih mudah terserang

penyakit infeksi termasuk pneumonia. Pada bayi dengan Berat Badan Lahir

Rendah (BBLR) mempunyai pusat pengaturan napas yang belum sempurna, otot

pernapasan yang sangat lemah, surfaktan paru-paru masih kurang. Kemudian

kemampuan untuk membentuk antibodi belum sempurna, sehingga bayi Berat

Badan Lahir Rendah (BBLR) memiliki sistem imunitas yang masih lemah

sehingga rentan terhadap infeksi paru-paru. (Ibrahim, 2013)

Faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia terbagi atas

dua kelompok besar yaitu faktor instrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor instrinsik

meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, berat badan lahir rendah, status

imunisasi, pemberian ASI, dan pemberian vitamin A. Faktor ekstrinsik meliputi

kepadatan tempat tinggal, polusi udara, tipe rumah, ventilasi, kelembaban, letak

dapur, jenis bahan bakar, penggunaan obat nyamuk, asap rokok, penghasilan

keluarga serta faktor ibu baik pendidikan, umur ibu, maupun pengetahuan ibu.

Salah satu sumber media penularan penyakit pneumonia adalah kondisi fisik
4

rumah serta lingkungannya yang merupakan tempat hunian dan langsung

berinteraksi dengan penghuninya. (Sari, dkk, 2013)

Pneumonia dibagi atas pneumonia ringan, pneumonia berat dan

pneumonia sangat berat. Pada pneumonia berat dan sangat berat akan dilakukan

rawat inap sedangkan pada pneumonia ringan akan dilakukan pengobatan rawat

jalan. Pneumonia ringan memiliki tanda dan gejala batuk dan napas cepat. Pada

pneumonia ringan dapat dilakukan rawat jalan dimana ibu bisa memberikan

perawatan penunjang pada balitanya di rumah. Pneumonia ringan yang terjadi

pada balita dapat berubah menjadi semakin berat jika perawatan tidak dilakukan

dengan baik sebab terdapat faktor yang mempengaruhi terjadinya perubahan

seperti pemberian antibiotik, pelaporan kasus dan perawatan di rumah.

Pengetahuan ibu akan menjadi pendukung penting sebab jika memiliki

pengetahuan yang baik dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan termasuk

pneumonia. (Sari, dkk, 2013)

Dampak bila ibu tidak memberikan perawatan yang baik pada balitanya

akan memperberat penyakitnya yaitu menjadi pneumonia berat sehingga saat

dibawa ke rumah sakit keadaannya sudah semakin memburuk. Dampak lainnya

yaitu berat badan balita menurun, demam tidak berkurang dan nafsu makan

berkurang. Salah satu kriteria keberhasilan perawatan di rumah adalah bila saat 2

hari kemudian pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang dan nafsu

makan membaik dan pemberian antibiotik selama 5 hari. Penanganan penyakit

pneumonia yang tepat di rumah oleh orang tua dapat mengurangi tingkat

keparahan dan mengurangi kematian balita akibat pneumonia. Beberapa upaya


5

perawatan yang dapat dilakukan oleh ibu di rumah dengan memberikan makanan

bergizi, pemberian cairan, kompres saat demam dan membersihkan jalan napas

(Kemenkes, 2015).

Semakin dini gejala pneumonia dideteksi dan semakin cepat ditangani

hasilnya akan lebih baik dan dapat menyelamatkan jiwa. Untuk mencapai hal ini

ada tiga langkah penting yang harus dicapai tepat waktu dalam pengelolaan anak

yang sakit yaitu pengenalan penyakit oleh pengasuh, mencari pelayanan dari

tempat yang sesuai dan pemberian obat dengan dosis yang benar (Hildenwall et

al, 2013).

Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk

tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan ibu sangat berperan besar terhadap

kejadian pneumonia pada balita. Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam

memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya serta perilaku

ibu dalam pertolongan, perawatan, pengobatan, serta pencegahan pneumonia.

Pengetahuan lebih jauh tentang penyakit pneumonia dan praktek pelayanan yang

benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurun-an angka kesakitan

dan kematian pneumonia. (Djoko, 2015).

You might also like