Professional Documents
Culture Documents
Case Study 1 Blok HTS Anestesi
Case Study 1 Blok HTS Anestesi
TUTOR:
DISUSUN OLEH:
DEWI SARTIEKA PUTRI
G1B015004
2018
ANESTESI
A. Anestesi Lokal
Langkah yang paling penting dalam perawatan endodontik adalah menghilangkan
rasa sakit dalam proses melakukan tindakan perawatan tersebut. Untuk
menghilangkan rasa sakit digunakan anestetik lokal, yang bertujuan mencapai
keadaan teranestesi pada daerah setempat. Anestesi lokal adalah suatu obat yang
dapat menghambat penghantaran sinyal-sinyal sepanjang pembuluh saraf agar
tercapai efek analgesia (hilangnya sensasi nyeri) dan paralisis (hilangnya kekuatan
otot) yang reversible (Rao, 2009). Anestesi lokal didefinisikan sebagai kehilangan
sensasi di daerah terbatas pada tubuh akibat depresi pada ujung saraf yang
menghambat konduksi di dalam saraf perifer (Garg, 2011).
Menurut Harty dan Ogston (1995), anestesi lokal adalah hilangnya rasa atau
sensasi pada bagian tubuh yang terlokalisir dan disebabkan oleh adanya blokade
impuls secara mekanis atau karena pemakaian obat tanpa disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat reversibel. Obat anestesi lokal tersebut bekerja didalam akson
dengan membentuk beberapa molekul terionisasi yang akan memblok kanan
Na+ sehingga potensial aksi tidak mungkin terjadi (Rahardjo, 2009).. Terdapat empat
manfaat dari anestesi, yaitu manfaat diagnosis, terapeutik, menimbulkan rasa nyaman
selama operasi (perioperatif), dan mengurangi rasa sakit pada postoperatif.
Menurut Raharjo (2009) terdapat beberapa sifat anestesi lokal, diantaranya:
a. Tidak iritasi dan merusak jaringan
b. Batas keamanan obat lebar
c. Waktu kerja obat lama
d. Masa pemulihan tidak terlalu lama
e. Larut dalam air
f. Stabil dalam larutan
g. Dapat disterilkan tanpa mengalami perubahan
Keefektifan anestesi lokal sangat penting dan menjadi dasar penghilangan rasa
sakit di bidang endodontik karena perawatan endodontik tidak dapat dilakukan tanpa
menghilangkan rasa sakit (Reader, 2006). Agar dapat dicapai anesthesia yang efektif,
maka harus diketahui keadaan emosional dan fisik pasien, pemahaman efek obat-
obatan yang diinjeksikan, penggunaan teknik anestesi yang tepat dan benar, serta
keuntungan dan kerugian penambahan vasokonstriktor (Wilder, 2011).
Anestesi lokal yang diberikan kepada pasien harus dalam dan seringkali untuk
mencapai keadaan ini tidak hanya menggunakan teknik konvensional saja, tetapi
memerlukan anestesi tambahan, seperti anestesi intra osseus, ligamen periodonsium
dan intra pulpa (Wray, 2003). Dengan demikian dapat dicapai tingkat anestesi yang
memadai sehingga dapat memberikan kenyamanan kepada pasien selama perawatan
endodontik berlangsung. Selain itu prosedur endodontik dapat dilaksanakan dengan
baik agar tercapai keberhasilan perawatan yang diberikan (Walton, 2009).
1. Macam bahan anestesi lokal dan karakteristiknya
Bahan anestesi lokal berdasarkan ikatan kimianya dibagi menjadi dua
golongan besar, yaitu golongan ester (-COO-) dan golongan amida (-NHCO-).
Perbedaan keduanya terletak pada tempat metabolismenya, dimana golongan
ester di metabolisme di plasma, sedangkan golongan amida di metabolisme di
hati. Beberapa bahan anestesi lokal juga ditambahkan dengan vasokonstriktor
untuk mengurangi efek toksiknya dan membatasi agen anestesi hanya pada
daerah yang terlokalisir walaupun vasokonstriktor memiliki kontraindikasi pada
beberapa keadaan tertentu (Yagiela, 2011).
a. Golongan Ester
Menurut Katzung, dkk (2014), bahan anestesi lokal golongan ester
dihidrolisis di dalam plasma oleh enzim pseudocholinesterase. Kadar hidrolisis
ini akan berpengaruh pada potensi toksisitas dari obat anestesi. Hasil
metabolisme dari golongan ester dapat menghasilkan PABA yang dapat
menimbulkan reaksi alergi. Bahan anestesi yang termasuk dalam golongan
ester, yaitu kokain, prokain, benzokain, ametocaine, piperokain, tetrakain, dan
kloroprokain.
1) Kokain
Pada umumnya, penggunaan kokain hanya terbatas pada anestesi
topikal untuk tindakan hidung, telinga, dan tenggorokan, karena kokain
memiliki efek vasokonstriktor yang kuat sehingga dapat mengurangi
terjadinya perdarahan. Sekarang kokain sudah jarang digunakan karena
digantikan dengan penggunaan bahan anestesi lain yang dicampur dengan
vasokonstriktor agar mengurangi efek toksisitas secara sistemik (Katzung,
dkk., 2014).
2) Prokain
Sejak diperkenalkan pada tahun 1905 dengan nama novokain, prokain
menjadi anestesi yang paling digemari selama lebih dari lima puluh tahun,
akan tetapi kini kegunaan prokain sudah digantikan dengan lignokain dari
golongan amida karena lebih aman dan durasinya lebih panjang (Yagiela,
2011).
Pada awalnya, prokain digunakan untuk segala jenis anestesi, namun
karena potensinya rendah, onsetnya lambat, dan durasinya pendek, maka
kini penggunaannya sebatas untuk anestesi infiltrasi saja. Prokain juga
memiliki efek samping seperti bisa menimbulkan reaksi hipersensitivitas,
yang terkadang dalam dosis rendah sudah dapat mengakibatkan kolaps
hingga kematian (Yagiela, 2011).
3) Benzokain
Benzokain merupakan turunan dari prokain. Bahan ini tidak bisa larut
sempurna dalam cairan encer. Benzokain memiliki toksisitas yang rendah
karena cenderung bersifat menetap di lokasi aplikasi dan tidak mudah
diserap ke dalam sirkulasi sistemik (Katzung, dkk., 2014). Benzokain sangat
disarankan untuk anestesi pada permukaan besar dalam rongga mulut.
Efek samping yang ditimbulkan benzokain adalah warna kebiruan pada
kuku, bibir, kulit, atau telapak tangan (Syarif, 2007).
b. Golongan Amida
Golongan amida dihidrolisis oleh degradasi enzim, tepatnya oleh enzim
mikrosomal di hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida di dalam hati
sangat bervariasi pada setiap individu, akibatnya toksisitas dari golongan
amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Bahan
anestesi yang termasuk dalam golongan ini, yaitu lignokain, mepivakain,
prilokain, bupivakain, etidokain, dibukain, ropivakain, dan levobupivakain
(Katzung, dkk., 2014).
1) Lignokain (Lidokain)
Lignokain merupakan anestesi lokal yang kuat dan dapat digunakan
secara luas dengan pemberian secara topikal maupun suntikan. Anestesi ini
bereaksi lebih cepat, lebih kuat, dengan durasi yang lebih panjang daripada
prokain. Pada larutan 0,5% toksisitasnya sama dengan prokain, akan tetapi
pada larutan 2%, lignokain lebih toksik daripada prokain. Kerja lignokain
akan lebih baik apabila ditambahkan dengan vasokonstriktor (Katzung, dkk.,
2014).
Vasokonstriktor yang paling umum digunakan adalah epinefrin
(adrenalin) dengan konsentrasi 1:100.000 atau 1:80.000. sediaan yang
paling umum ditemukan adalah pehacaine yang merupakan kombinasi
dari lignokain, HCL (pelarut), dan vasokonstriktornya (Howe dan
Whitehead, 2013).
2) Mepivakain
Farmakologi dari mepivakain sangat mirip dengan lignokain.
Mepivakain lebih banyak digunakan untuk anestesi secara suntik karena
kurang efektif sebagai bahan anestesi topikal. Mepivakain juga
ditambahkan dengan vasokonstriktor, biasanya dengan konsentrasi
1:80.000, akan tetapi untuk pasien yang memiliki kontraindikasi dengan
penggunaan vasokonstriktor, mepivakain juga dipasarkan dalam bentuk
larutan 3% tanpa vasokonstriktor (Howe dan Whitehead, 2013).
3) Prilokain
Prilokain hanya digunakan untuk anestesi secara suntik karena tidak
efektif untuk anestesi topikal. Aksi yang ditimbulkan oleh prilokain lebih
cepat daripada lignokain, akan tetapi efek yang ditimbulkan tidak terlalu
dalam. Penggunaan prilokain kontraindikasi pada bayi, wanita hamil,
penderita metahaemoglobinemia, gangguan hati, ginjal, dan gagal jantung
(Howe dan Whitehead, 2013).
2. Dosis, Onset, dan Durasi Bahan Anestesi Lokal
1. Prokain
Nama agen : Prokain 2% dengan adrenalin 1:50.000
Nama dagang : Novocaine
Dosis maksimal :dengan vasokonstriktor 500 mg/Kg; tanpa
vasokonstriktor 200 mg/Kg
Onset : infiltrasi 31/2 menit; regional 71/4 menit
Durasi : infiltrasi 21/4 jam; regional 21/4 jam
(Howe dan Whitehead, 2013).
2. Kokain
Nama agen : Kokain hidroklorida spray 4%
Dosis maksimal : tanpa vasokonstriktor 2,8 mg/Kg
Onset : 4 menit
Durasi : 2-30 menit
(Howe dan Whitehead, 2013).
3. Lignokain (Lidokain)
Nama agen : Lignokain 2% dengan adrenalin 1:80.000
Nama dagang : Pensacain
Dosis maksimal : dengan vasokonstriktor 500 mg/Kg; tanpa
vasokonstriktor 200 mg/Kg
Onset : infiltrasi 11/2 menit; regional 4 menit
Durasi : infiltrasi 3 jam; regional 3 jam
(Howe dan Whitehead, 2013).
4. Mepivakain
Nama agen : Mepivacaine 3%
Nama dagang : Carbocaine
Dosis maksimal : tanpa vasokonstriktor 400 mg/Kg
Onset : infiltrasi 21/2 menit; regional 41/2 menit
Durasi : infiltrasi 1 jam; regional 2 jam
(Howe dan Whitehead, 2013).
5. Prilokain
Nama agen : Prilokain 3% dengan adrenalin 1:30.000
Nama dagang : Citanest
Dosis maksimal : dengan vasokonstriktor 600 mg/Kg; tanpa
vasokonstriktor 400 mg/Kg
Onset : infiltrasi 11/2 menit; regional 4 menit
Durasi : infiltrasi 2 jam; regional 3 jam
(Howe dan Whitehead, 2013).
B. Pembahasan Kasus
Skenario kasus 1A
Seorang pasien anak laki-laki berusia 5,5 tahun datang bersama ibunya ke RSGM
untuk memeriksakan gigi depan atas kanan yang sudah goyah dan bisa digerak-
gerakkan dengan lidah, serta benih gigi penggantinya sudah sedikit terlihat. Pasien
terlihat sangat kooperatif dan komunikatif. Setelah dilakukan pemeriksaan, terlihat gigi
61 yang telah goyah derajat 2 dan gigi 21 terlihat sudah mulai erupsi sebagian pada
sisi palatal gigi 61. Dokter memutuskan untuk mencabut gigi 61 tersebut.
1. Pemeriksaan subjektif, objektif, diagnosis dan rencana perawatan
a. Pemeriksaan subjektif
1) Identitas Pasien
a) Nama : tidak ada keterangan
b) Usia : 5,5 tahun
c) Jenis kelamin : laki-laki
d) Alamat : tidak ada keterangan
2) Anamnesa
a) Chief complain :gigi depan atas kanan goyah dan bisa digerak-
gerakkan dengan lidah
b) Present illness : gigi 61 goyah dan bisa digerak-gerakkan
dengan lidah, serta benih gigi penggantinya sudah sedikit terlihat
c) Past medical history : tidak ada keterangan
d) Past dental history : tidak ada keterangan
e) Family history : tidak ada keterangan
f) Social history : tidak ada keterangan
b. Pemeriksaan objektif
1) Keadaan umum pasien : compos mentis
2) Pemeriksaan ekstraoral : tidak ada keterangan
3) Pemeriksaan intraoral : ditemukan gigi 61 dengan luksasi derajat 2 dan
gigi 11 sudah terlihat erupsi sebagian pada sisi palatal gigi 61
c. Diagnosis
Gigi 51 persistensi
d. Rencana perawatan
1) Anestesi lokal gigi 61 dengan etil klorida spray
2) Ekstraksi gigi 61
3) Medikamentosa berupa analgesik (ibuprofen) selama 3 hari untuk
mengurangi rasa nyeri apabila dan antibiotik (amoxicillin) selama 5 hari
untuk mencegah infeksi bakteri. Obat yang diberikan dalam sediaan syrup
atau puyer
4) Edukasi untuk menjaga kebersihan rongga mulut dan penggunaan obat
pada pendamping pasien (ibu)
2. Alat dan bahan anestesi yang digunakan
a. Alat : diagnostic set, cotton roll, kapas/kassa, APD.
b. Bahan :
1) Larutan povidone iodine 10% (larutan antiseptik)
2) Larutan etil klorida (larutan anestesi lokal)
3. Teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
a. Teknik
Teknik anestesi yang dilakukan pada pasien dengan luksasi derajat 2
berupa anestesi topikal. Pada kasus ini diberikan anestesi topikal berupa spray
dengan larutan etil klorida.
b. Prosedur
1) Persiapan pasien terlebih dahulu pada posisi semisupine. Kaki bertumpu
dan lakukan prosedur Tell Show Do pada pasien anak.
2) Posisi operator berdiri setengah membungkuk dan menghadap pada
pasien.
3) Mengeringkan daerah yang akan dianestesi dan dilanjutkan dengan
melakukan tindakan asepsis pada rongga mulut pasien dengan povidone
iodine 10% bila perlu.
4) Menyemprotkan larutan anestesi berupa etil klorida pada kapas.
5) Meletakkan kapas tersebut pada daerah mukosa sekitar gigi 51, tunggu
sekitar 1 menit sebelum melakukan ekstraksi. Durasi yang didapatkan
sekitar 10 menit.
Skenario kasus 1B
Seorang perempuan berusia 22 tahun datang ke poli gigi dengan keluhan gigi
geraham kanan bawah yang berlubang besar dan sempat sakit dua minggu yang
lalu. Ketika sakit, pasien minum obat pereda sakit gigi di warung. Pada saat ini gigi
tersebut sudah tidak sakit, sehingga pasien menginginkan gigi tersebut untuk
dicabut. Hasil pemeriksaan intraoral terdapat kavitas pada gigi 46 yang sudah
mengenai kamar pulpa. Tes sensitivitas dengan CE (-), sonde (-), perkusi (-),
palpasi (-). Dokter gigi tersebut mengedukasi pasien untuk mempertahankan gigi
tersebut dengan perawatan saluran akar, namun pasien tersebut menolak dan tetap
ingin gigi tersebut dicabut. Kondisi umum pasien baik dan tidak memiliki riwayat
penyakit sistemik. Pemeriksaan vital sign dalam batas normal.
1. Pemeriksaan subjektif, objektif, diagnosis dan rencana perawatan
a. Pemeriksaan subjektif
1) Identitas Pasien
a) Nama : tidak ada keterangan
b) Usia : 22 tahun
c) Jenis kelamin : perempuan
d) Alamat : tidak ada keterangan
2) Anamnesa
a) Chief complain : pasien dating dengan keluhan geraham bawah kanan
berlubang besar dan sakit, pasien menginginkan giginya dicabut
b) Present illness : terdapat kavitas pada gigi 46 yang sudah mencapai
kamar pulpa dan sempat sakit satu minggu lalu. Pasien sudah sempat
konsumsi obat dan keadaan sekarang sudah tidak sakit
c) Past medical history : tidak ada keterangan
d) Past dental history : tidak ada keterangan
e) Family history : tidak ada keterangan
f) Social history : tidak ada keterangan
b. Pemeriksaan objektif
1) Keadaan umum pasien : compos mentis
2) Vital sign : normal
3) Pemeriksaan ekstraoral : tidak ada keterangan
4) Pemeriksaan intraoral : terdapat kavitas pada gigi 46 yang
sudah mengenai kamar pulpa. Tes sensitivitas dengan etil klorida (-),
sonde (-), perkusi (-), palpasi (-).
Keterangan:
a) Tes termal dengan etil klorida negatif, menunjukkan bahwa pulpa
non vital
b) Sondasi negatif, menunjukkan gigi 46 non-vital
c) Perkusi negatif, menunjukkan status periodontal baik
d) Palpasi negatif, menunjukkan tidak terjadinya inflamasi
c. Diagnosa
Nekrosis pada gigi 46.
d. Rencana perawatan
1) Premedikasi dengan antibiotik (amoxicillin) dan antiinflamasi (asam
mefenamat)
2) Pemberian anestesi lokal berupa anestesi topikal, anestesi blok
mandibula, dan anestesi infiltrasi pada nervus buccalis longus
3) Ekstraksi gigi 46
4) Medikamentosa berupa analgesik (ibuprofen) selama 3 hari untuk
mengurangi rasa nyeri apabila timbul
2. Alat dan bahan anestesi yang digunakan
a. Alat : diagnostic set, disposable injection syringe, APD.
b. Bahan :
1) Larutan povidone iodine 10% (larutan antiseptik)
2) Lidokain spray 10% (larutan anestesi lokal)
3) Lidokain 2% dengan adrenalin 1:80.000 dalam ampul 2 cc (larutan
anestesi lokal)
3. Teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
a. Teknik
Teknik yang digunakan adalah anestesi topikal spray dengan
lignokain 10%, kemudian blok mandibula untuk menganestesi nervus
alveolaris inferior, nervus lingualis, dan nervus buccalis longus. Seluruh
gigi akan teranestesi kecuali insisivus sentral dan lateral yang menerima
inervasi dari serabut saraf sisi kontralateralnya. Selain itu, anestesi
biasanya kurang menyeluruh pada aspek bukal gigi-gigi molar, maka perlu
dilakukan anestesi pada nervus buccalis longus dengan teknik infiltrasi.
b. Prosedur
1) Persiapan pasien terlebih dahulu pada posisi semisupine.
2) Mengeringkan daerah yang akan dianestesi dan dilanjutkan dengan
melakukan tindakan asepsis pada rongga mulut pasien dengan
povidone iodine 10% bila perlu.
3) Melakukan anestesi topikal dengan lignokain 10% sediaan spray.
Larutan anestesi disemprotkan pada gulungan kecil kapas, kemudian
kapas tersebut diletakkan pada daerah yang akan disuntikkan selama
kurang lebih 1 menit.
4) Injeksi mandibula dilakukan dengan memblok nervus alveolaris
inferior, dengan teknik palpasi fosa retromolar dengan jari telunjuk
hingga kuku jari menempel pada linea oblique. Syringe diletakkan
diantara kedua premolar pada sisi yang berlawanan, jarum diarahkan
sejajar dengan dataran oklusal gigi pada ramus mandibular kearah
ramus dan jari, selanjutnya jarum ditusukkan pada apeks trigonum
pterygomandibular dan diteruskan gerakan jarum di antara ramus dan
ligamen serta otos yang menutupi permukaan dalam ramus sampai
ujungnya berkontak pada dinding posterios sulkus mandibularis. Zat
di deponirkan 1,5 cc di sekitar foramen mandibula, selanjutnya nervus
lingualis dianestesi dengan cara mengarahkan jarum pada
pertengahan perjalanan masuknya jarum suntik.
5) Injeksi infiltrasi nervus buccalis dengan memasukkan jarum pada
lipatan mukosa pada suatu titik tepat di depan gigi molar pertama.
Perlahan-lahan tusukkan jarum sejajar dengan korpus mandibula
dengan bevel mengarah ke bawah, ke suatu titik sejauh molar ketiga.
Bahan anestesi dideponir secara perlahan seperti waktu memasukkan
jarum melalui jaringan.
Skenario kasus 1C
Seorang pasien laki-laki berusia 61 tahun datang ke dokter gigi untuk
mencabutkan gigi kanan atas yang tinggal sisa radix namun belum goyah.
Berdasarkan pemeriksaan objektif, terdapat radixes gigi 25, tes sensitivitas perkusi
(-), palpasi (-). Berdasarkan Past Medical History (PMH), pasien memiliki riwayat
penyakit hipertensi dan mengkonsumsi obat rutin berupa obat amlodipin 5 mg satu
kali sehari. Berdasarkan pemeriksaan fisik, tekanan darah pasien adalah normal
yaitu 130/80 mmHg. Dokter tersebut memutuskan untuk melakukan tindakan
pencabutan pada radix tersebut.
1. Pemeriksaan subjektif, objektif, diagnosa, dan rencana perawatan
a. Pemeriksaan subjektif
1) Identitas Pasien
a) Nama : tidak ada keterangan
b) Usia : 61 tahun
c) Jenis kelamin : laki-laki
d) Alamat : tidak ada keterangan
2) Anamnesa
a) Chief complain :pasien ingin mencabutkan gigi kanan
atas yang tinggal sisa radiks namun belum goyah
b) Present illness : terdapat radiks gigi 25 yang belum
goyah
c) Past medical history : pasien memiliki riwayat penyakit
hipertensi dan mengkonsumsi obat rutin yaitu amlodipine 5 mg satu
kali sehari
d) Past dental history : tidak ada keterangan
e) Family history : tidak ada keterangan
f) Social history : tidak ada keterangan
b. Pemeriksaan objektif
1) Keadaan umum pasien : compos mentis
2) Vital sign : tekanan darah pasien 130/80 mmHg
(normal)
3) Pemeriksaan ekstraoral : tidak ada keterangan
4) Pemeriksaan intraoral : terdapat radiks gigi 25 yang belum
goyah. Tes sensitivitas perkusi (-) dan palpasi (-).
Keterangan:
a) Perkusi negatif, menunjukkan status periodontal baik.
b) Palpasi negatif, menunjukkan tidak terjadinya inflamasi.
c. Diagnosa
Terdapat sisa akar gigi 25
d. Rencana perawatan
1) Melakukan anestesi lokal dengan teknik infiltrasi supraperiosteal.
2) Ekstraksi radiks gigi 25
3) Medikamentosa berupa analgesik (paracetamol), antibiotik
(clindamycin) dan antiseptic (povidone iodine kumur).
2. Alat dan bahan anestesi yang digunakan
a. Alat : diagnostic set, disposable injection syringe, APD.
b. Bahan :
1) Povidone iodine 10% (larutan antiseptik)
2) Lignokain spray 10% (larutan anestesi lokal)
3) Lignokain 2% dengan adrenalin 1:80.000 dalam ampul 2 cc (larutan
anestesi lokal)
3. Teknik dan prosedur anestesi sesuai kasus
a. Teknik
Anestesi dilakukan dengan teknik infiltrasi supraperiosteal pada kedua
cabang persarafan, yaitu nervus alveolaris superior media dan nervus
palatinus mayor.
b. Prosedur
1) Persiapan pasien terlebih dahulu pada posisi semisupine.
2) Mengeringkan daerah yang akan dianestesi dan dilanjutkan dengan
melakukan tindakan asepsis pada rongga mulut pasien dengan
povidone iodine 10% bila perlu.
3) Melakukan anestesi topikal dengan lidokain 10% sediaan spray.
Larutan anestesi disemprotkan pada gulungan kecil kapas, kemudian
kapas tersebut diletakkan pada daerah yang akan disuntikkan selama
kurang lebih 1 menit.
4) Anestesi nervus alveolaris media dengan titik suntikan berada pada
lipatan mukobukal diatas gigi premolar pertama. Sebelum injeksi,
lakukan aspirasi, apabila negatif deponirkan cairan anestetikum
secara perlahan sebanyak 1-2 cc.
5) Anestesi nervus palatinus mayor. Nervus palatinus mayor
menginervasi 2/3 mukoperiosteum palatum sampai ke daerah
kaninus. Titik suntikan terletak pada sekitar 1 cm ke media dari bagian
distal gigi molar kedua maksila. Injeksikan anestetikum sedikit ke
mesial dari titik tersebut dari sisi kontralateral sebanyak 0,5 cc.
6) Ekstraksi radiks gigi 25.
DAFTAR PUSTAKA
Garg, N., Garg, A., 2011, Textbook of Endodontics. 2nd Ed., Brothers Medical Publishers
(P) Ltd, New Delhi.
Harty, F. J.dan Ogston, R., 1995, Kamus Kedokteran Gigi, EGC, Jakarta.
Irmaleny, 2012, Anestesia Lokal dalam Prosedur Endodontik, Jurnal Bagian Konservasi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung.
Katzung, B. G., Masters S. B., Trevor A. J., Farmakologi Dasar dan Klinik Vol. 1, Ed. 12,
EGC, Jakarta.
Norton, N. S., 2012, Netter’s Head and Neck Anatomy for Dentistry, Elsevier Saunders,
Philadelphia.
Rao, R.N., 2009, Advanced Endodontics, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd,
Malaysia.
Reader , A., Nusstein, J., Hargreaves, K.M., 2006, Local Anesthesia in Endodontics. In:
Cohen S, Hargreaves KM, editors. Pathway of the pulp, 9th Ed. Elsevier; St Louis:
Mosby.
Walton,R.E., Reader, A,. Nusstein, J.M., 2009, Local anesthesia. In: Torabinejad M,
Walton RE, editors. Endodontics principles and practice 4th edition, Saunders
Elsevier, St. Louis, Missouri.
Wilder , A.D., 2011, Preliminary Considerations for Operative Dentistry. In: Roberson TM,
Heymann HO, Swift EJ, editors. Sturdevant’s art and Science of Operative
Dentistry. 5th ed., Mosby Elsevier; St. Louis, Missouri.
Wray, D., Stenhouse, D., Lee, D., Clark, A. J. E., 2003, Textbook of General and Oral
Surgery, Elsevier, China.
Yagiela, J. A., 2011, Pharmacology and Therapeutics for Dentistry, Ed. 6, Mosby Elsevier,
USA.