Bab Ii

You might also like

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 42

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bahasan pada bab ini, akan diulas mengenai kajian pustaka mengenai

tatanan geologi regional daerah penelitian, dalam hal ini tinjauan didasari dari

hasil pekerjaan yang dilakukan oleh para peneliti-peneliti terdahulu yang meneliti

daerah Cekungan Jawa Barat Utara sebagai acuan dalam interpretasi dan

kesebandingan, kemudian juga akan dibahas mengenai teori-teori dasar yang

didapatkan dari berbagai literatur untuk diperlukan mulai dari teori pengerjaan

hingga teori dalam proses memahami fasies batuan karbonat, model fasies pada

lingkungan pengendapan batuan karbonat dan konsep sikuen stratigrafi untuk

mengetahui paket-paket pengendapannya.

2.1 Geologi Regional Jawa Barat Utara

2.1.1 Sejarah Pembentukan Cekungan Jawa Barat Utara

Cekungan Jawa Barat Utara terletak di barat laut Jawa dan meluas sampai

lepas pantai utara Jawa. Cekungan Jawa Barat Utara secara umum dibatasi oleh

Cekungan Bogor di sebelah selatannya, di bagian barat laut dibatasi oleh Platform

Seribu, di bagian utara dibatasi oleh Cekungan Arjuna serta bagian timur laut

dibatasi oleh Busur Karimunjawa (Anonim op. cit. Narpodo, 1996).

Menurut Padmosukismo (op. cit. Narpodo, 1996), Cekungan Jawa Barat

Utara secara regional merupakan sistem busur belakang (back arc system) yang

terletak diantara lempeng mikro sunda dan tunjaman lempeng India-Australia.

7
8

Cekungan Jawa Barat Utara dipengaruhi oleh sistem block faulting yang berarah

utara-selatan. Sistem patahan yang berarah utara-selatan ini membagi Cekungan

Jawa Barat Utara menjadi graben atau beberapa sub-Cekungan dari barat ke

timur, yaitu sub-Cekungan Ciputat, sub-Cekungan Pasir Putih dan sub-Cekungan

Jatibarang. Masing-masing sub-Cekungan dipisahkan oleh tinggian (blok naik

dari sesar). Tinggian Rengasdengklok memisahkan sub-Cekungan Ciputat dengan

sub-Cekungan Pasir Putih, Tinggian Pamanukan dan Tinggian Kadanghaur

memisahkan sub-Cekungan Pasir Putih dengan sub-Cekungan Jatibarang, seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Konfigurasi sub-Cekungan dan tinggian-tinggian ini sangat mempengaruhi

penyebaran batuan sedimen Tersier, baik sebagai batuan induk maupun sebagai

batuan reservoar. Sistem patahan blok terbentuk selama orogenesa Kapur Tengah

hingga awal Paleosen dan diperkirakan mengontrol struktur Tersier di Cekungan

Jawa Barat Utara. Berdasarkan pembagian sub-Cekungan, daerah penelitian

masuk ke dalam sub-Cekungan Jatibarang.


9

Gambar 2.1. Geologi regional Cekungan Jawa Barat Utara (Martodjojo, op.
cit. Nopyansyah, 2007)

Secara tektonik, sejarah cekungan Jawa Barat Utara tidak terlepas dari

tektonik global Indonesia bagian Barat dalam hal ini tatanan tektoniknya berupa

sistem active margin, antara lempeng Hindia dengan lempeng Asia. Sistem ini

dicirikan dengan adanya zona subduksi (penunjaman) dan busur magmatik. Fase-

fase tektonik yang terjadi dalam sejarah geologi Cekungan ini adalah :

1. Fase Tektonik Pertama

Pada zaman Akhir Kapur - Awal Tersier, Cekungan Jawa Barat Utara

dapat diklasifikasikan sebagai cekungan depan busur dengan dijumpainya

orientasi struktural mulai dari Cileutuh, sub-Cekungan Bogor, Jatibarang,

Cekungan Muriah dan Cekungan Florence Barat yang mengidentifikasikan

kontrol Meratus Trend. Pada Awal Tersier, peristiwa tumbukan antara

lempeng Hindia dengan lempeng Eurasia mengaktifkan sesar mendatar

menganan utama Kraton Sunda. Sesar - sesar ini mengawali pembentukan


10

cekungan-cekungan Tersier di Indonesia Bagian Barat dan membentuk

Cekungan Jawa Barat Utara sebagai pull apart basin, seperti yang

ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Penampang Tektonik Kapur-Miosen (Martodjojo, 2003)

Pada Cekungan Jawa Barat Utara, periode Paleogen dikenal sebagai

Paleogen Extensional Rifting. Tektonik ektensi ini membentuk sesar-sesar

bongkah (half graben system) dan merupakan fase pertama rifting (Rifting

I : fill phase). Sedimen yang diendapkan pada rifting I ini disebut sebagai

sedimen syn-rift I. Cekungan awal rifting terbentuk selama

fragmentasi, rotasi dan pergerakan dari Kraton Sunda. Dua trend sesar

normal yang diakibatkan oleh perkembangan rifting-I (early fill) berarah N

60o W - N 40o W dikenal sebagai pola Sesar Sunda. Pada masa ini

terbentuk endapan lakustrin dan volkanik dari Formasi Jatibarang yang

menutup rendahan-rendahan yang ada. Proses sedimentasi ini terus


11

berlangsung dengan dijumpainya endapan transisi Formasi Talang Akar.

Sistem ini kemudian diakhiri dengan diendapkannya lingkungan karbonat

Formasi Baturaja.

2. Fase Tektonik Kedua

Fase tektonik kedua terjadi pada permulaan Neogen (Oligosen-Miosen)

dan dikenal sebagai Neogen Compressional Wrenching, ditandai dengan

pembentukan sesar-sesar geser akibat gaya kompresif dari tumbukan

Lempeng Hindia-Australia. Sebagian besar pergeseran sesar merupakan

reaktifasi dari sesar normal yang terbentuk pada periode Paleogen, seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 2.3. Peristiwa ini mengakibatkan

terbentuknya jalur penunjaman baru di selatan Jawa. Jalur volkanik

periode Miosen Awal yang sekarang ini, terletak di lepas pantai selatan

Jawa. Deretan gunung api ini menghasilkan endapan gunungapi bawah

laut yang sekarang dikenal sebagai “old andesite” yang tersebar di

sepanjang selatan Pulau Jawa. Pola tektonik ini disebut Pola Tektonik

Jawa yang merubah pola tektonik tua yang terjadi sebelumnya, menjadi

berarah barat-timur dan menghasilkan suatu sistem sesar naik, dimulai dari

Selatan Ciletuh bergerak ke Utara. Pola sesar ini sesuai dengan sistem

sesar naik belakang busur.


12

Gambar 2.3. Penampang Tektonik Geologi Miosen Awal-Akhir Miosen


Tengah (Martodjojo, 2003)

3. Fase Tektonik Akhir

Fase tektonik akhir yang terjadi adalah pada Pliosen-Pleistosen, dalam hal

ini terjadi proses kompresi kembali dan terbentuk perangkap-perangkap

struktur berupa sesar-sesar naik di jalur Selatan Cekungan Jawa Barat

Utara. Sesar-sesar naik yang terbentuk adalah sesar naik Pasirjadi dan

sesar naik Subang, sedangkan pada jalur utara Cekungan Jawa Barat Utara

terbentuk sesar turun berupa sesar turun Pamanukan. Akibat adanya

perangkap struktur tersebut terjadi kembali proses migrasi hidrokarbon.

Fase Tektonik Akhir ini diilustrasikan pada Gambar 2.4.


13

Gambar 2.4. Penampang Tektonik Geologi Miosen Akhir - Resen


(Martodjojo, 2003)

2.1.2 Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Barat Utara

Sedimentasi Cekungan Jawa Barat Utara mempunyai kisaran umur dari

kala Eosen Tengah sampai Kuarter. Deposit tertua adalah pada Eosen Tengah,

yaitu pada Formasi Jatibarang yang terendapkan secara tidak selaras di atas

Batuan Dasar. Urutan stratigrafi regional dari yang paling tua sampai yang muda

adalah Batuan Dasar, Formasi Jatibarang, Formasi Cibulakan Bawah (Talang

Akar, Baturaja), Formasi Cibulakan Atas (Massive, Main, Pre-Parigi), Formasi

Parigi dan Formasi Cisubuh, seperti yang diilustrasikan pada Gambar 2.5.
14

Gambar 2.5. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara


(Michael G. Bishop, 2000)

1. Batuan Dasar

Batuan dasar adalah batuan beku andesitik dan basaltik yang berumur

Kapur Tengah sampai Kapur Atas dan batuan metamorf yang berumur

Pra-Tersier (Sinclair dkk., 1995). Lingkungan pengendapannya merupakan


15

suatu permukaan dengan sisa vegetasi tropis yang lapuk (Koesoemadinata,

1980).

2. Formasi Jatibarang

Formasi Jatibarang tersusun oleh endapan early syn-rift, terutama dijumpai

pada bagian tengah dan timur dari Cekungan Jawa Barat Utara. Pada

bagian barat cekungan ini (daerah Tambun-Rengasdengklok), kenampakan

Formasi Jatibarang tidak banyak dijumpai. Pada bagian bawah Formasi

ini, tersusun oleh tuf bersisipan lava (aliran), sedangkan bagian atas

tersusun oleh batupasir. Formasi ini diendapkan pada fasies continental-

fluvial. Minyak dan gas di beberapa tempat pada rekahan-rekahan tuf.

Umur Formasi ini adalah dari kala Eosen Akhir sampai Oligosen Awal.

Formasi ini terletak secara tidak selaras di atas Batuan Dasar.

3. Formasi Talang Akar

Pada syn-rift berikutnya diendapkan Formasi Talang Akar. Pada awalnya

formasi ini memiliki fasies fluvio-deltaic sampai fasies marine. Litologi

formasi ini diawali oleh perselingan sedimen batupasir dengan serpih non-

marine dan diakhiri oleh perselingan antara batugamping, serpih dan

batupasir dalam fasies marine. Ketebalan formasi ini sangat bervariasi dari

beberapa meter di Tinggian Rengasdengklok sampai 254 m di Tinggian

Tambun-Tangerang, hingga diperkirakan lebih dari 1500 m pada pusat

Dalaman Ciputat. Pada akhir sedimentasi, Formasi Talang Akar ditandai

dengan berakhirnya sedimen syn-rift. Formasi ini diperkirakan

berkembang cukup baik di daerah Sukamandi dan sekitarnya. Formasi ini


16

diendapkan pada kala Oligosen sampai dengan Miosen Awal. Pada

formasi ini juga dijumpai lapisan batubara yang kemungkinan terbentuk

pada lingkungan delta. Batubara dan serpih tersebut merupakan batuan

induk untuk hidrokarbon.

4. Formasi Baturaja

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Talang Akar.

Litologi penyusun Formasi Baturaja terdiri dari baik yang berupa paparan

maupun yang berkembang sebagai reef build up (menandai fase post-rift)

yang secara regional menutupi seluruh sedimen klastik pada Formasi

Talang Akar di Cekungan Jawa Barat Utara. Pada bagian bawah tersusun

oleh batugamping masif yang semakin ke atas semakin berpori.

Perkembangan batugamping terumbu umumnya dijumpai pada daerah

tinggian. Namun, sekarang diketahui sebagai daerah dalaman. Selain itu

juga ditemukan dolomit, interkalasi serpih glaukonit, napal, chert,

batubara. Formasi ini terbentuk pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah

(terutama dari asosiasi foraminifera). Lingkungan pembentukan Formasi

ini adalah pada kondisi laut dangkal, air cukup jernih, sinar matahari

cukup (terutama dari melimpahnya foraminifera Spiroclypens Sp).

Ketebalan Formasi ini berkisar pada (50-300) m.

5. Formasi Cibulakan

Formasi ini terdiri dari perselingan antara serpih dengan batupasir dan

batugamping. Batugamping pada satuan ini umumnya merupakan

batugamping klastik serta batugamping terumbu yang berkembang secara


17

setempat-setempat. Batugamping terumbu ini dikenal sebagai Mid Main

Carbonate (MMC). Formasi ini dibagi menjadi 2 (dua) anggota, yaitu

anggota Cibulakan Atas dan anggota Cibulakan Bawah. Pembagian

anggota ini berdasarkan perbedaan lingkungan pengendapan, dalam hal ini

anggota Cibulakan Bawah merupakan endapan transisi (paralik),

sedangkan anggota Cibulakan Atas merupakan endapan neritik. Anggota

Cibulakan Bawah dibedakan menjadi dua bagian sesuai dengan korelasi

Cekungan Sumatera Selatan, yaitu : Formasi Talang Akar dan Formasi

Baturaja. Secara keseluruhan Formasi Cibulakan ini berumur Miosen

Awal sampai Miosen Tengah. Formasi Cibulakan Atas terbagi menjadi

tiga anggota, yaitu :

a. Massive

Anggota ini terendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Baturaja.

Litologi anggota ini adalah perselingan batulempung dengan batupasir

yang mempunyai ukuran butir dari halus-sedang. Pada Massive ini

dijumpai kandungan hidrokarbon, terutama pada bagian atas. Selain itu

terdapat fosil foraminifera planktonik seperti Globigerina trilobus

serta foraminifera bentonik seperti Amphistegina.

b. Main

Anggota Main terendapkan secara selaras di atas anggota Massive.

Litologi penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan

batupasir yang mempunyai ukuran butir halus-sedang (bersifat

glaukonitan). Pada awal pembentukannya, berkembang batugamping


18

dan juga blangket- blangket pasir dan pada bagian ini dibedakan

dengan anggota Main itu sendiri yang disebut dengan Mid Main

Carbonat.

c. Pre-Parigi

Anggota Pre-Parigi terendapkan secara selaras di atas anggota Main.

Litologinya adalah perselingan batugamping, dolomit, batupasir dan

batulanau. Anggota ini terbentuk pada kala Miosen Tengah-Miosen

Akhir dan diendapkan pada lingkungan Neritik Tengah-Neritik Dalam

, dengan dijumpainya fauna-fauna laut dangkal dan juga kandungan

batupasir glaukonitan.

6. Formasi Parigi

Formasi ini terendapkan secara selaras di atas Formasi Cibulakan Atas.

Litologi penyusunnya sebagian besar adalah batugamping abu-abu terang,

berfosil, berpori dengan sedikit dolomit. Adapun litologi penyusun yang

lain adalah serpih karbonatan, napal yang dijumpai pada bagian bawah.

Selain itu, kandungan koral dan alga cukup banyak dijumpai selain juga

bioherm dan biostrom. Pengendapan batugamping ini melampar ke

seluruh Cekungan Jawa Barat Utara. Lingkungan pengendapan Formasi

ini adalah laut dangkal-neritik tengah . Formasi Parigi berkembang sebagai

batugamping terumbu, namun di beberapa tempat ketebalannya menipis

dan berselingan dengan napal. Batas bawah Formasi Parigi ditandai

dengan perubahan berangsur dari batuan fasies campuran klastika karbonat

dari Formasi Cibulakan Atas menjadi batuan karbonat Formasi Parigi.


19

Kontak antara Formasi Parigi dengan Formasi Cisubuh yang berada di

atasnya sangat tegas yang merupakan kontak antara batugamping

bioklastik dengan napal yang berfungsi sebagai lapisan penutup. Formasi

ini diendapkan pada kala Miosen Akhir-Pliosen.

7. Formasi Cisubuh

Formasi ini diendapkan secara selaras di atas Formasi Parigi. Litologi

penyusunnya adalah batulempung berselingan dengan batupasir dan serpih

gampingan. Umur Formasi ini adalah kala Miosen Akhir sampai Pliosen-

Pleistosen. Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal yang

semakin ke atas menjadi lingkungan litoral-paralik.

2.1.3 Struktur Geologi Regional Cekungan Jawa Barat Utara

Pada permulaan Paleogen (Eosen-Oligosen), Cekungan Jawa Barat

mengalami proses tektonik regangan dengan pola sesar berarah utara-selatan yang

berupa sesar- sesar normal. Pola sesar tersebut dinamakan sebagai pola Sesar

Sunda (Sunda Fault). Pola sesar ini sangat sesuai dengan sistem sesar naik yang

berada di belakang busur volkanik di Sirkum Pasifik yang disebut sebagai Thrust

Fold Belt System.

Perkembangan pola sesar naik dibuktikan berdasarkan pada penyebaran

umur endapan turbidit yang makin muda ke arah utara, sehingga diambil

kesimpulan bahwa Cekungan Jawa Barat yang semula diduga sebagai cekungan

yang berkedudukan tetap, ternyata terus berpindah dari selatan ke arah utara

dan akibatnya terjadi perkembangan pola sesar naik yang sesuai dengan pola

sesar yang sering terjadi pada cekungan belakang busur. Perpindahan Cekungan
20

Jawa Barat ini juga dikombinasikan dengan timbulnya deretan jalur magmatis

baru pada umur Pliosen-Pleistosen yang ditempati oleh jalur gunungapi aktif di

sepanjang Pulau Jawa sampai sekarang. Cekungan Jawa Barat Utara sangat

dipengaruhi dengan adanya sesar bongkah berarah kurang lebih utara-selatan yang

sangat berperan sebagai pembentuk arah cekungan dan pola sedimentasi.

Penurunan daerah cekungan terus berlangsung dengan lautan yang menutupi

seluruh daerah lereng cekungan di sebelah selatan melalui jalur-jalur yang terletak

diantara bongkah-bongkah tektonik yang posisinya tinggi dan memisahkan

bagian- bagian cekungan yang lebih kecil. Denudasi dan gerak penurunan

berlangsung terus. Genang laut Miosen menutupi seluruh Cekungan Sunda dan

mengendapkan sedimen- sedimen klastik yang halus dari Formasi Cibulakan.

Dengan terisinya bagian-bagian cekungan, maka terbentuk suatu permukaan

endapan yang datar dengan pengangkatan-pengangkatan lemah pada kawasan

pinggir, menurunnya permukaan laut yang menghasilkan susut laut secara

regional, pengendapan sedimen klastik yang berbutir lebih kasar dan batugamping

dari Formasi Parigi.

Susut laut ini diakhiri oleh suatu genang laut utama pada bagian akhir kala

Miosen Tengah, yaitu pada saat diendapkannya batulempung asal laut dan

batupasir dari Formasi Cisubuh. Selama genang laut yang kedua ini telah terjadi

hubungan antar daerah Cekungan Sunda dan daerah Cekungan Sumatra Selatan.

Susut laut yang terakhir berlangsung selama kala Pleistosen sehingga

menyebabkan kondisi marin yang dijumpai dewasa ini.


21

Sebagai hasil dari pergerakan secara sinambung di zaman Tersier melalui

sistem sesar yang berarah utara-selatan di daerah Cekungan Sunda dan Jawa

Barat, maka tingkat pertumbuhan struktur serta kepadatannya adalah sangat

tinggi. Struktur- struktur umumnya berukuran besar dan luas. Gerak yang terbesar

melalui sesar selama jaman Tersier berlangsung di kala Oligosen hingga Miosen

Awal, dalam hal ini telah terjadi pergeseran vertikal dalam skala besar, sekurang-

kurangnya 120 meter sepanjang batas timur dari Cekungan Sunda. Gambar 2.6

berikut ini akan menunjukkan struktur utama pada Cekungan Jawa Barat Utara.

Gambar 2.6. Struktur utama Cekungan Jawa Barat Utara (Reminton


dan Pranyoto, 1986)
22

2.2 Sistem Petroleum (Petroleum System) Cekungan Jawa Barat Utara

Hampir seluruh Formasi di Cekungan Jawa Barat Utara dapat

menghasikan hidrokarbon yang mempunyai sifat berbeda, baik dari lingkungan

pengedapan maupun porositas batuannya.

2.2.1 Batuan Induk (Source Rock)

Pada Cekungan Jawa Barat Utara terdapat tiga tipe utama batuan induk,

yaitu lacustrine shale (oil prone), fluvio deltaic coals, fluvio deltaic shales (oil

and gas prone) dan marine claystone (bacterial gas). Studi geokimia dari minyak

mentah yang ditemukan di Pulau Jawa dan lapangan lepas pantai Arjuna

menunjukan bahwa fluvio deltaic dan shale dari Formasi Talang Akar bagian atas

berperan dalam pembentukan batuan induk yang utama. Beberapa peran serta dari

lacustrine shales juga ada, terutama pada sub-Cekungan Jatibarang. Kematangan

batuan induk di Cekungan Jawa Barat Utara ditentukan oleh analisis batas

kedalaman minyak dan kematangan batuan induk pada puncak Gunung Jatibarang

atau dasar/puncak dari Formasi Talang Akar atau bagian bawah dari Formasi

Baturaja (Reminton dan Pranyoto, 1985).

1. Lacustrine Shale

Lacustrine Shale terbentuk pada suatu periode syn-rift dan berkembang

dalam 2 macam fasies yang kaya material organik. Fasies pertama adalah

fasies yang berkembang selama initial-rift fill. Fasies ini berkembang pada

Formasi Banuwati dan ekuivalen Formasi Jatibarang sebagai lacustrine

clastics dan vulkanik klastik. Fasies kedua adalah fasies yang

terbentuk selama akhir syn-rift dan berkembang pada bagian bawah


23

ekuivalen dengan Formasi Talang Akar. Pada Formasi ini, batuan induk

dicirikan oleh klastik non-marin berukuran kasar dan interbedded antara

batupasir dengan lacustrine shale.

2. Fluvio Deltaic Coal dan Shale

Batuan induk ini dihasilkan olen ekuivalen Formasi Talang Akar yang

dideposisikan selama post-rift sag. Fasies ini dicirikan oleh coal bearing

sedimen yang terbentuk pada sistem fluvial pada Oligosen Akhir. Batuan

induk tipe ini menghasilkan minyak dan gas.

3. Marine Lacustrine

Batuan induk ini dihasilkan oleh Formasi Parigi dan Cisubuh pada

cekungan laut. Batuan induk ini dicirikan oleh proses methanogenic

bacteria yang menyebabkan degradasi material organik pada lingkungan

laut.

2.2.2 Batuan Waduk (Reservoir Rock)

Semua Formasi dari Jatibarang sampai Parigi merupakan interval dengan

sifat fisik reservoir yang baik sehingga banyak lapangan mempunyai daerah

dengan cadangan yang berlipat. Cadangan terbesar adalah yang mengandung

batupasir pada Main atau Massive dan Formasi Talang Akar. Selain itu, minyak

telah diproduksi dari rekahan volkanoklastik dari Formasi Jatibarang. Pada daerah

tempat batugamping Baturaja mempunyai porositas yang baik, akumulasi endapan

yang agak besar mungkin dapat dihasilkan. Timbunan pasokan sedimen dan laju

sedimentasi yang tinggi pada daerah shelf, diidentifikasi dari clinoforms yang
24

menandakan adanya progradasi. Pemasukan sedimen ini disebabkan oleh

perpaduan ketidakstabilan tektonik yang merupakan akibat dari subsiden yang

terus-menerus pada daerah foreland dari Lempeng Sunda (Hamilton, 1979).

Pertambahan yang cepat dalam sedimen klastik dan laju subsiden pada Miosen

Awal diinterprestasikan sebagai sebab dari perhentian deposisi batugamping

Baturaja. Anggota Main dan Massive menjadi dasar dari sequence transgressive

marin yang sangat lambat, kecuali yang berdekatan dengan akhir dari deposisi

anggota Main. Ketebalan seluruh sedimen bertambah dari 400 ft pada daerah yang

berdekatan dengan paleoshoreline menjadi lebih dari 5000 ft pada sub-Cekungan

Ardjuna.

2.2.3 Tipe Jebakan (Trap)

Tipe Jebakan di semua sistem petroleum Cekungan Jawa Barat Utara

sangat mirip. Hal ini disebabkan evolusi tektonik dari semua cekungan

sedimen sepanjang batas selatan dari Kraton Sunda, tipe struktur geologi dan

mekanisme jebakan yang hampir sama. Bentuk utama struktur geologi adalah

dome anticlinal yang lebar dan jebakan dari blok sesar yang miring. Pada

beberapa daerah dengan reservoar reef build up, perangkap stratigrafi juga

berperan. Perangkap stratigrafi yang berkembang umumnya dikarenakan

terbatasnya penyebaran batugamping dan perbedaan fasies. Himpunan batuan

dasar pada daerah lepas pantai Cekungan Jawa Barat Utara berkomposisi batuan

metamorf dan batuan beku. Berdasarkan umur batuan dasar, metamorfisme


25

regional berakhir selama zaman Kapur Akhir selama deformasi, uplift, erosi dan

pendinginan yang terus-menerus sampai dengan Paleosen (Sinclair dkk., 1995).

2.2.4 Jalur Migrasi (Proper Timing of Migration)

Migrasi hidrokarbon terbagi menjadi tiga, yaitu migrasi primer, sekunder

dan tersier. Migrasi Primer adalah perpindahan minyak bumi dari batuan induk

dan masuk ke dalam reservoar melalui lapisan penyalur (Koesoemadinata, 1980).

Migrasi sekunder dianggap sebagai pergerakan fluida dalam batuan penyalur

menuju trap. Migrasi tersier adalah pergerakan minyak dan gas bumi setelah

pembentukan akumulasi yang nyata. Jalur untuk perpindahan hidrokarbon

mungkin terjadi dari jalur kedua yang lateral atau vertikal dari cekungan awal.

Migrasi lateral mengambil tempat di dalam unit-unit lapisan dengan permeabilitas

horizontal yang baik, sedangkan migrasi vertikal terjadi ketika migrasi yang

utama dan langsung berupa tegak menuju lateral. Jalur migrasi lateral berciri tetap

dari unit-unit permeabel. Pada Cekungan Jawa Barat Utara, saluran utama untuk

migrasi lateral lebih banyak berupa celah batupasir yang mempunyai arah utara-

selatan dari Formasi Talang Akar dan mirip dengan orientasi sistem batupasir

dalam anggota Main maupun Massive (Formasi Cibulakan Atas). Sesar menjadi

saluran utama untuk migrasi vertikal dengan transportasi yang cepat dari cairan

yang bersamaan waktu dengan periode tektonik aktif dan pergerakan sesar.

2.2.5 Lapisan Tudung (Seal Rock)

Lapisan penutup atau lapisan penudung merupakan lapisan impermiabel

yang dapat menghambat atau menutup jalannya hidrokarbon. Lapisan ini juga
26

biasa disetarakan dengan lapisan overbuden. Lapisan yang sangat baik adalah

batulempung. Pada Cekungan Jawa Barat Utara, hampir setiap Formasi memiliki

lapisan penutup yang efektif. Namun, Formasi yang bertindak sebagai lapisan

penutup utama adalah Formasi Cisubuh karena Formasi ini memiliki litologi yang

impermiabel yang cocok sebagai penghalang bagi hidrokarbon untuk bermigrasi

lebih lanjut.

2.3 Fasies Batuan Karbonat

2.3.1 Definisi

Fasies adalah sebuah tubuh batuan yang dicirikan oleh kombinasi litologi,

struktur biologi atau fisika yang membedakan tubuh batuan tersebut dengan

batuan yang ada di atasnya, di bawahnya atau di bagian lain yang lateral (Walker,

1992).

Batuan Karbonat adalah batuan dengan kandungan material karbonat lebih

dari 50% yang tersusun atas partikel karbonat klastik yang tersemenkan atau

karbonat kristalin hasil presipitasi langsung, sedangkan batugamping adalah

batuan yang mengandung kalsium karbonat hingga 95%. Sehingga tidak semua

batuan karbonat adalah batugamping (Reijers & Hsu,1986).

2.3.2 Komposisi Mineralogi Batuan Karbonat

Suyoto (1993) merangkum mineral penting yang menyusun batuan

karbonat dengan persentase besar, diantaranya adalah :


27

1. Aragonit (CaCO3) : Kristal orthorombik, bersifat tidak stabil, berbentuk

jarum atau serabut yang diendapkan langsung secara kimiawi langsung

dari presipitasi air laut.

2. Kalsit (CaCO3) : Kristal hexagonal, bersifat cukup stabil, merupakan

hablur Kristal yang bagus dan jelas. Dijumpai sebagai hasil rekristalisasi

aragonite, serta sebagai semen pengisi ruang antarbutir dan rekahan.

3. Dolomit (CaMg(CO3)2) : Kristal hexagonal, hampir sama dengan kalsit

namun secara petrografis dapat dibedakan dari indeks refraksinya. Dapat

terbentuk sebagai presipitasi langsung air laut namun lebih sering sebagai

akibat dari penggantian mineral kalsit.

4. Magnesit (MgCOz) : Kristal hexagonal, terbentuk sebagai akibat

penggantian dari kalsit dan dolomit, namun sering terjadi sebagai akibat

dari rombakan batuan yang mengandung magnesium silikat.

2.3.3 Komposisi Batuan Karbonat

Dunham (1962) membagi partikel sedimen karbonat menjadi 2 bagian

berdasarkan ukurannya. Butiran dengan ukuran lebih besar dari 0,02 mm dan

dapat dilihat dengan lup disebut sebagai butiran. Sedangkan untuk partikel yang

berukuran lebih kecil dari 0,02 disebut sebagai lime mud. Jenis butiran dapat

dibedakan sebagai berikut :

1. Butiran kerangka, merupakan bagian yang keras dari organisma dalam

batugamping. Contohnya fragmen koral, moluska, crinoid, sisa ganggang

dan cangkang foraminifera.


28

2. Butiran rombakan, merupakan hasil rombakan dari batuan yang telah ada

sebelumnya. Contohnya Intraklas dan Lithoklas.

3. Pellets, merupakan butiran yang masif, berbentuk ellips atau oval dan

tidak menunjukkan adanya struktur internal. Contohnya fecal pellets dan

Favreina.

4. Lumps, merupakan butiran karbonat karbonat yang komposit atau

mengelompok dan memiliki kenampakan bentuk permukaan yang tidak

teratur. Contohnya bathryoidal lumps, incrusted lumps, dan grapstone.

5. Butiran yang berlapis konsentrik, merupakan butiran karbonat yang

memiliki sebuah inti yang dikelilingi oleh beberapa selaput tipis CaCO3

secara konsentrik. Contohnya Oolit, Pisolit dan Onkolit.

Semen adalah komponen karbonat berupa kristal kalsit yang jelas, dan secara

mikroskopis memiliki kenampakan yang jernih, berperan sebagai material pengisi

ruang antar butir dan terbentuk saat diagenesa, dikenal juga sebagai sparit.

Lumpur karbonat adalah partikel karbonat yang berukuran halus, hingga

kurang dari 4mikron. Secara mikroskopis memiliki kenampakan yang keruh

kecoklatan. Dikenal juga sebagai lime mud atau mikrit.

2.3.4 Faktor Pengendapan Batuan Karbonat

Sedimen karbonat adalah produk proses biokimia organik khususnya pada

lingkungan laut yang hangat, jernih dan dangkal. Kondisi semacam ini terutama

terdapat pada daerah tropis – subtropis. Ada beberapa faktor penting yang
29

berpengaruh dalam pembentukan karbonat yaitu posisi daerah terhadap garis

lintang (latitude), iklim, temperatur, penetrasi sinar matahai dan salinitas.

1. Garis Lintang dan Iklim

Batuan karbonat yang terbentuk saat ini secara umum terbentuk pada

sabuk ekuatorial dan area laut arus hangat. Sedimen karbonat dapat terakumulasi

dengan baik pada daerah neritik (kedalaman 0 – 200 meter di bawah muka air)

yang berada pada garis Lintang Utara 30’ – 30” Lintang Selatan. Sedimen

karbonat umumnya terbentuk hasil sekresi organisme seperti koral, dalam hal ini

koral dapat tumbuh dengan baik pada kedalaman kurang dari 30 meter di bawah

permukaan air. Sedimen karbonat plankton terdiri atas butiran mikro organime

pelagik. Sedimen plankton banyak terdapat pada lingkungan laut dalam pada

daerah dengan posisi antara 40’ lintang Utara sampai 40’ lintang Selatan.

Sedimen karbonat secara prinsip terbentuk dari sekresi kalsium karbonat

organisme. Sebagai contoh adalah endapan cangkang invertebrata yang tebal dan

skeletal pada laut yang jernih dan hangat akan menghasilkan kejenuhan kalsium

dan karbonat yang baik. Koral dan alga umumnya banyak terdapat pada karbonat

neritik dangkal pada lingkungan laut yang hangat di daerah dengan lintang yang

rendah (dekat katulistiwa) sedangkan briozoa, moluska dan formainifera banyak

terdapat pada lingkungan laut yang lebih dingin. Batuan karbonat yang berumur

Miosen umumnya akan menunjukkan Paleo-latitudes yang berada pada daerah

laut hangat subekuatorial, hal ini diindikasikan pada komposisi biotiknya.

Akumulasi sedimen karbonat pelagik berkaitan dengan tahapan kejenuhan

kimia kalsium karbonat pada laut dalan dan produktivitas plankton pada
30

permukaan laut. Faktor iklim berkaitan dengan sedimen asal darat. Influks

sedimen klastik terigenus berbutir halus seperti lempung dan lanau akan

mengurangi produktivitas sekresi karbonat oleh organisme. Sebagai contoh,

dengan sedikit akumulasi reef pada Selat Sunda, hal ini disebabkan karena

tingginya suspensi sedimen yang dibawa oleh air sungai yang masuk ke laut.

Influks sedimen asal darat erat kaitannya dengan iklim (curah hujan) dan seting

tektonik daerah tersebut.

2. Penetrasi Sinar Matahari

Penetrasi sinar matahari akan semakin turun dengan meningkatnya

kedalaman, bertambahnya posisi lintang suatu daerah dan berkurangnya

kejernihan air laut. Jika intensitas penetrasi turun, maka produktivitas sekresi

karbonat organisme juga akan turun khususnya berkaitan dengan kebutuhan

fotosintesis organisme. Penetrasi sinar dapat menembus laut sampai pada

kedalaman10 meter. Pada kondisi dimana tidak ada arus pekat yang disebabkan

oleh suspensi lempung, penyerapan sinar matahari oleh organisme akan

meningkat dan karbonat dapat terbentuk dengan baik sampai dibawah kedalam

50-60 meter.

Sekresi karbonat oleh organisme, tumbuh secara prolific pada daerah

neritik dangkal biasanya pada kedalaman diatas 10-20 meter dari permukaan air.

Batas terbawah penetrasi matahari adalah 100-150 meter, dalam hal ini daerah

tersebut merupakan batas bawah zona euphotik yaitu zona tempat organisme yang

berfotosontesis dapat tumbuh baik.

3. Salinitas
31

Organisme laut yang melimpah pada suatu daerah merupakan indikasi

bahwa terdapat faktor yang menguntungkan untuk pertumbuhan karbonat.

Salinitas normal air laut umumnya diantara 30-40 ppt (salinitas air laut normal

berkisar 32-36 ppt), kondisi semacam ini akan menguntungkan bagi pertumbuhan

biota. Terjadinya perubahan salinitas air laut biasanya akan menyebabkan

banyaknya organisme yang tidak dapat menyesuaikan diri dan mati, tapi di sisi

lain dapat menguntungakan satu atau lebih jenis biota yang dapat berada pada

kondisi hipersalin dan hiposalin. Melimpahnya satu atau lebih spesies biota

umumnya terjadi pada perubahan salinitas yang signifikan. Perubahan salinitas

biasanya akan terekam pada komposisi sedimen karbonat. Ilustrasi lengkapnya

dapat dilihat pada Gambar 2.7 .

Gambar 2.7 . Pabrik pembentukan batuan karbonat


(James & Bourque, 1992)
32

2.3.5 Klasifikasi Batuan Karbonat

Klasifikasi menurut Dunham (1962) dikelompokkan berdasarkan tekstur

pengendapannya. Unsur penyusun yang mempengaruhi klasifikasi diantaranya

adalah lumpur, butiran dan organisme. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, maka

Dunham (1962) membuat klasifikasi sebagai berikut :

1. Didominasi oleh lumpur : Mudstone ( jumlah butiran < 10%) dan

Wackestone ( jumlah butiran > 10%)

2. Didominasi oleh butiran : Packstone ( mengandung matriks ) dan

Grainstone (seluruhnya berupa butir)

3. Komponen yang saling terikat pada waktu pengendapan, dicirikan oleh

struktur tumbuh : Boundstone

4. Tekstur pengendapan tidak teramati dengan jelas karena sudah terubah

menjadi kristal : Batugamping Kristalin.

Klasifikasi batuan karbonat menurut Dunham (1962) secara lengkap dapat

dilihat pada Gambar 2.8 .

Gambar 2.8. Klasifikasi Batuan Karbonat (Dunham, 1962)


33

2.4 Konsep Dasar Rekaman Sumur

Rekaman sumur merupakan suatu grafik kedalaman atau disebut juga

waktu dari suatu set data yang menunjang parameter yang diukur secara

berkesinambungan di dalam sebuah sumur (Harsono, A 1997). Terdapat dua cara

dalam pengambilan data log, yakni melalui Wireline Log dan LWD (Logging

While Drilling). Pengambilan data wireline log dilakukan setelah pemboran

selesai, dan LWD dilakukan pada saat pemboran. Pengambilan data log ini

berguna untuk mengukur parameter petrofisika pada setiap kedalaman secara tepat

dan berkesinambungan dengan formasi yang telah ditembus lubang pemboran.

Hal ini dilakukan dengan analisis secara kualitatif dan kuantuitatif terhadap

parameter petrofisika yang ada.

Data log yang dihasilkan meliputi electric log SP (Spontaneous Potential),

Resistivity (Deep, Medium, Shallow), Radioactive Log (Log density, Log neutron),

Log Gamma Ray dan Acoustic Log (sonic).

Kegunaan data log sumur yaitu :

a. Mengetahui jenis dan tipe batuan reservoir dan non-reservoir.

b. Menghitung parameter-parameter fisika batuan yaitu Vsh, Phie, Sw dan

Perm.

c. Membedakan kandungan fluida dalam reservoir (gas/oil/water).

d. Identifikasi reservoir, korelasi dan menghitung cadangan hidrokarbon.

Sifat-sifat fisik batuan reservoir dapat dibagi menjadi empat bagian besar

yaitu sifat fisik sifat radioaktif, resonansi magnet dan sifat rambat suara dari
34

gelombang reservoir. Parameter petrofisika batuan terdiri dari porositas,

permeabilitas, resistivity, volume shale dan sturasi air yang didapat dengan

melakukan analisis petrofisika.

2.4.1 Kondisi Lubang Bor

Lubang bor yang terbentuk dalam setiap kali pemboran biasanya tidak

sesempurna permukaan dinding lubang bornya, baik permukaan yang tidak rata

(rugous), retak-retak, gerowong dan lain sebagainya. Hal ini terjadi akibat adanya

heterogenitas material penyusun bawah permukaan dan dipengaruhi oleh

pergerakan logging tools yang tidak stabil. Hal ini akan mempengaruhi lubang

sumur pada saat pemboran, yakni infiltrasi lumpur yang merembes ke dalam

formasi. Terdapat tiga zona yang terbagi akibat rembesan dari lumpur pemboran

(Harsono A., 1997), yaitu :

a. Flushed / Invaded Zone (Zona Terinvasi)

Merupakan zona infiltrasi yang terletak paling dekat dengan lubang bor

dan terisi oleh lumpur yang mendesak kandungan fluida formasi/batuan

semula.

b. Transition Zone (Zona Transisi)

Merupakan zona infiltrasi yang lebih dalam dibandingkan zona terusir.

Zona ini ditempati campuran lumpur dan fluida formasi.

c. Uninvaded Zone (Zona Tak-Terinvasi)

Merupakan zona infiltrasi yang terletak paling jauh dari lubang bor.

Seluruh rongga atau pori-pori batuan terisi oleh fluida batuan dan tidak

terpengaruh oleh adanya infiltrasi lumpur.


35

2.4.2 Jenis-Jenis Log

Proses log sumur merupakan suatu proses perekaman beberapa sifat fisika,

kimia, listrik serta jenis fluida yang terkandung di dalam tiap kedalaman. Data log

memberikan bantuan dalam mengevaluasi secara kuantitas jumlah hidrokarbon di

lapisan pada situasi dan kondisi sesungguhnya (Harsono A., 1997). Data-data log

tersebut antara lain Log Gamma Ray, Log SP, Log Resistivity, Log RHOB, dan

Log NPHI.

A. Log Self-Potetential (SP)

Log SP adalah rekaman perbedaan potensial listrik antara elektroda di

permukaan yang tetap dengan elektroda yang terdapat di dalam lubang bor

yang bergerak naik turun (Harsono, 1997). Prinsip kerja yaitu berdasarkan

pada perbedaan potensial listrik, dengan skala millivolt. Pembacaan Log

Sp secara garis besar didasarkan pada Shale Base Line yaitu batas antara

shale dengan lapisan permeabel.

B. Log Gamma Ray


Log ini mengukur emisi (pancaran) gamma ray alamiah dari variasi

lapisan dalam sumur, yang sifat-sifatnya berhubungan dengan kandungan

isotop radiogeniknya yang terdiri atas Potasium, Uranium, dan Thorium.

Kurva yang dihasilkan menunjukan besarnya intensitas radioaktif yang

terkandung dalam suatu batuan. Unsur - unsur ini (terutama Potasium)

banyak terdapat dalam mineral lempung dan mineral evaporit.

C. Log Density
36

Prinsip kerja dari log densitas ialah dengan memancarkan sinar gamma ke

formasi dan kemudian berintegerasi dengan elektron-elektron bahan dalam

batuan. Pada setiap tumbukan, sinar gamma akan kehilangan energinya

tetapi hanya sebagian, sebagian tersebar dan sebagian akan terserap

sehingga tidak akan kembali ke detektor. Sinar gamma yang tersebar dan

tercatat oleh detektor dan akan menunjukkan massa jenis batuan formasi,

walaupun yang sebenarnya yang diukur adalah massa jenis elektron

(jumlah elektron jenis-jenis batuan).

D. Log Neutron (NPHI)

Log ini mengukur konsentrasi kandungan atom hidrogen dalam formasi.

Atom hidrogen di dalam formasi berupa air formasi dan hidrokarbon,

sehingga alat ini dapat mendeteksi keberadaan fluida di dalam pori-pori

batuan. Karena berfungsi untuk menghitung porositas batuan, alat ini lebih

dikenal sebagai log porositas neutron yang dipengaruhi oleh kekompakan

batuan serta kandungan fluidanya.

E. Log Resistivity

Log resistivitas (tahanan jenis) merupakan log yang merekam daya hantar

listrik suatu batuan. Cara kerjanya ialah dengan mengukur kemampuan

lapisan batuan untuk menghantarkan arus listrik bila lapisan batuan

tersebut dialiri listrik. Semakin besar tahanan jenis batuan, maka daya

hantar listrik batuan itu semakin besar.


37

2.4.3 Bentuk Pola Kurva Log Gamma Ray

Pola-pola log menunjukan perubahan energi pengendapan, berkisar dari

energi tingkat tinggi sampai tingkat rendah. Pola-pola log selalu diamati dengan

kurva gamma ray dan log SP, tetapi kesimpulan yang sama juga dapat didukung

oleh log neutron-densitas. Log suatu sumur memiliki beberapa bentuk dasar yang

bisa mencirikan karakteristik suatu lingkungan atau energi pengendapan. Pola

respon log gamma ray dapat dilihat pada Gambar 2.9 .

Gambar 2. 9. Respon Log Gamma Ray dan Interpretasi Fasies (Kendall, 2003)

2.5 Konsep Korelasi dan Sikuen Stratigrafi

2.5.1 Konsep Korelasi

Menurut Tearpock and Bischke (1991), korelasi merupakan suatu

pekerjaan menghubungkan titik dengan titik lain pada penampang, dengan

anggapan bahwa titik – titik tersebut terletak pada bidang perlapisan yang sama,
38

dalam hal ini bidang perlapisan merupakan bidang kesamaan umur/ waktu dan

bidang ini dijadikan dasar penarikan garis korelasi. Korelasi dimaksudkan untuk

mengetahui dan merekonstruksi kondisi geologi bawah permukaan, baik kondisi

stratigrafi maupun kondisi struktur yang digunakan untuk keperluan pembuatan

penampang dan pemetaan bawah permukaan.

Korelasi log biasanya menggunakan data log SP dan GR. Korelasi log

dilakukan untuk mengetahui pola dan arah penyebaran lapisan batuan. Sebelum

memulai korelasi pada suatu area, sebaiknya dibuat suatu perencanaan yang

disebut log correlation plan. Hal ini bermanfaat untuk menentukan dari mana

sebaiknya korelasi dimulai dan log apa yang sebaiknya dipakai. Dengan demikian,

korelasi log akan lebih sistematik dan dapat memberikan tujuan yang ingin

dicapai dari korelasi tersebut (Tearpock and Bischke, 1991).

Pada kondisi bawah permukaan, korelasi dilakukan antar sumur yang

berdekatan dengan menggunakan data wireline log. Korelasi tersebut sangat

penting artinya karena diperlukan untuk pembuatan penampang dan peta bawah

permukaan yang bermanfaat dalam penentuan geometri reservoar, strategi

produksi, cadangan terambil dan sebagainya (Allen and Chambers, 1994).

Korelasi well log harus dilakukan dengan mempertimbangan seluruh data yang

tersedia, sehingga kalibrasi dengan data core sangat diperlukan. Langkah pertama

dalam melakukan korelasi well log adalah mencari suatu unit litologi yang

mewakili suatu peristiwa stratigrafi yang menerus secara regional. Peristiwa

tersebut biasanya menandai terjadinya perubahan tiba-tiba dalam lingkungan

pengendapan, misalnya trangresi. Marker yang paling baik untuk korelasi


39

stratigrafi adalah maximum flooding surface (MFS) atau permukaan yang

menunjukkan kenampakan khas seperti batubara (coal) atau lapisan organic shale

(Allen, 1994). Marker ini merupakan hasil identifikasi pada log dan digunakan

untuk memudahkan dalam korelasi dan untuk estimasi sekecil mungkin resiko

kesalahan dalam korelasi.

2.5.2 Sikuen Stratigrafi Batuan Karbonat

Sikuen stratigrafi adalah studi hubungan antar batuan dalam kerangka

kronostratigrafi dalam hal ini suksesi batuan bersifat siklus dan tersusun oleh unit

strata yang berhubungan genetis. Sikuen stratigrafi digunakan untuk membuat

cerita kronostratigrafi untuk korelasi dan pemetaan fasies sedimen untuk prediksi

stratigrafi.

Parasikuen adalah suksesi yang relatif selaras dari lapisan atau set lapisan

yang berhubungan genetik dibatasi oleh flooding surface laut dan permukaan

korelatifnya. Ilustrasi dari sikuen stratigrafi batuan karbonat bisa dilihat pada

Gambar 2.10 .

Gambar 2.10. Sikuen Stratigrafi Karbonat (Kendall, 2003)


40

System Tract dibagi menjadi 3 yaitu Lowstand System Tract,

Transgressive System Tract dan Highstand System Tract.

Lowstand System Tract pada batuan karbonat sangat berbeda dengan yang

terjadi pada silisiklastik. Produksi karbonat berhenti atau berubah menjadi

menggantung di pinggiran slope. Pada bagian yang lebih tinggi terjadi subaerial

exposure sehingga menyebabkan karst dan permukaan ketidakselarasan. Pada

Transgressive system tract, produksi karbonat berkembang sangat optimum.

Penambahan ruang akomodasi menghasilkan pengisian topografi yang

sebelumnya, akumulasi paket sedimen yang tebal dan subtidal serta pertumbuhan

terumbu. Highstand system tract pada batuan karbonat dan silisiklastik memiliki

kondisi yang cenderung sama. Selama tahap awal, topografi pengendapan pada

punggungan terisi dan terumbu mencapai sea level dan berkembang secara lateral.

Selama tahap akhir, produksi karbonat bersifat intermiten yaitu saat terjadi

pembanjiran. Karena ruang akomodasi pada puncak platform kecil, maka terjadi

pengendapan peritidal. Platform memproduksi banyak sedimen menghasilkan

biostrom berbutir kasar, arus gravitasi dan progradasi tebal.

2.6 Metode Seismik

2.6.1 Konsep Dasar Metode Seismik

Skema sederhana mengenai konsep dasar metoda seismik refleksi ditunjukkan

pada Gambar 2.11. Pulsa seismik merambat melewati batuan dalam bentuk

gelombang elastis yang mentransfer energi menjadi pergerakan partikel batuan.


41

Penjalaran gelombang seismik dapat diterjemahkan dalam bentuk kecepatan dan

tekanan partikel yang disebabkan oleh vibrasi selama penjalaran gelombang

tersebut. Kecepatan gelombang dalam batuan, dalam hal ini pergerakan partikel

mengalirkan energi yang terjadi, menentukan kecepatan gelombang seismik dalam

batuan tersebut.

Salah satu sifat akustik yang khas pada batuan adalah Impedansi Akustik

(IA) yang merupakan hasil dari perkalian antara densitas () dan kecepatan (V).

IA = Impedansi Akustik (gr/cc . m/s)


IA = V
 = densitas gr/cc

V = kecepatan (m/s)

Impedansi akustik merupakan sifat batuan yang dipengaruhi oleh jenis

litologi, porositas, kandungan fluida, kedalaman, tekanan, dan temperatur. Oleh

karena itu impedansi akustik dapat pula digunakan sebagai indikator litologi,

porositas, hidrokarbon, pemetaan litologi, pemetaan satuan aliran sampai dengan

alat analisa kuantitatif.


42

Gambar 2.11 Unsur dasar metoda seismik refleksi. (a) Skema wavelet sumber.
(b) Refleksi dan refraksi pada batas IA. (c) Geometri refleksi pada reflektor
horizontal.

Dalam mengontrol harga IA, kecepatan mempunyai arti lebih penting

daripada densitas. Sebagai contoh, porositas, atau material pengisi pori batuan

(air, minyak, gas) lebih mempengaruhi harga kecepatan daripada densitas.

Refleksi gelombang seismik akan timbul bila ada perubahan harga IA yang cukup

besar. Perubahan IA akan merubah koefisien refleksi yang selanjutnya akan

merubah pula amplitudo dan karakter reflektor seismik.

Kecepatan akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman karena efek

kompaksi dan diagenesa, sedangkan frekuensi akan berkurang akibat efek

atenuasi. Oleh karena itu dengan bertambahnya kedalaman, resolusi vertikal dan

horizontal akan berkurang sedangkan efek interferensi akan semakin besar akibat

meningkatnya panjang pulsa sehubungan dengan berkurangnya frekuensi. Pada


43

kedalaman rendah, frekuensi gelombang seismik akan sangat tinggi sehingga

menghasilkan refleksi yang juga beramplitudo tinggi. Sebagai contoh, dengan

bertambahnya kedalaman, lempung akan mengalami kompaksi dan batugamping

berkurang porositasnya. Ini akan mengakibatkan berkurangnya kontras IA dengan

bertambahnya kedalaman. Hal ini kemudian akan mengakibatkan peningkatan

panjang gelombang terhadap kedalaman, perubahan bentuk gelombang dan

berkurangnya frekuensi serta resolusi (Gambar 2.12).

Gambar 2.12 Efek frekuensi gelombang pada respon seismik (Anstey, 1986)

Porositas merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh terhadap

kecepatan. Batuan yang memiliki nilai porositas tinggi biasanya memiliki

kecepatan rendah dan begitu pula sebaliknya. Porositas batuan klastik umumnya

berkurang terhadap kedalaman akibat kompaksi, berkurangnya pemilahan, dan

meningkatnya sementasi.
44

2.6.2 Arti Geologi Rekaman Seismik

Data seimik merupakan data bawah permukaan yang mampu memberikan

gambaran secara luas pelamparan lateral kondisi bawah permukaan. Kemampuan

memperlihatkan keadaan bawah permukaan dengan cakupan daerah yang lebih

besar dan luas merupakan kelebihan data seismik yang tidak dimiliki oleh data log

dan core. Secara sepintas, hubungan antara kondisi geologi dan rekaman seismic

terkait terlihat seperti sederhana dan tidak komplek. Meskipun begitu, patut

diingat bahwa terdapat perbedaan mendasar antara fakta yang terekam oleh

seismik dengan fakta geologi sebenarnya. Seismik hanya mampu mendeteksi

batas litologi bila terdapat perubahan impedansi akustik di sepanjang batas

tersebut.

Parameter yang paling dekat hubungannya dengan litologi adalah

amplitudo, polaritas, kontinuitas, spacing atau frekuensi refleksi. Amplitudo

adalah ketinggian puncak (peak) atau palung (trough) refleksi yang besarnya

tergantung pada koefisien refleksi. Perubahan vertikal amplitudo dapat digunakan

untuk membantu mengidentifikasi ketidakselarasan (unconformity), sedangkan

perubahan lateral dapat digunakan untuk identifikasi perubahan fasies seismik.

Kontinuitas refleksi mencerminkan konsistensi kemenerusan lateral

refleksi. Refleksi yang diskontinu adalah bila terdapat kelurusan yang menerus,

tapi bagian yang menerus tersebut terpotong oleh suatu gap yang lebarnya bisa

mencapai dua-tiga tras. Refleksi yang kontinu mempunyai karakter yang menerus

sepanjang jarak yang signifikan (km). Derajat kontinuitas dideskripsikan sebagai

sangat kontinu sampai diskontinu. Kontinuitas refleksi juga mencerminkan


45

kondisi perubahan lateral impedansi akustik dan oleh karenanya juga litologi.

Refleksi yang diskontinu mencerminkan lingkungan pengendapan dimana

dominan terjadi perubahan lateral fasies, misal pada sistem fluvial.

Perubahan vertikal frekuensi refleksi dapat digunakan untuk mendeteksi

batas antar sekuen pengendapan, sedangkan perubahan lateral dapat digunakan

untuk menduga perubahan fasies. Apabila reflektor terpisah lebih dari 100 ms,

maka mungkin dihitung kecepatan interval terkait sehingga dapat juga dilakukan

pendugaan jenis litologi. Penting untuk diingat bahwa besar kecepatan satu

litologi dan litologi lainnya sering overlap sehingga dapat menimbulkan kesalahan

dalam interpretasi.

Kecuali refleksi akibat kontak fluida, hampir semua refleksi primer berasal

dari batas impedansi akustik akibat perubahan litologi. Akibatnya, arti perubahan

litologi merupakan kunci untuk memahami hubungan antara rekaman seismik dan

kondisi geologi terkait. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam

menginterpretasi kondisi geologi pada rekaman data seismik yaitu :

1. Refleksi seismik cenderung untuk dihasilkan dari batas atas dan bawah

unit lapisan dan cenderung mengikuti suatu kombinasi dari garis dan

rumpang waktu. Bila terdapat struktur internal yang berskala signifikan

(missal klinoform skala besar), refleksi dari bidang atas maupun dasar

akan mengikuti ketidakselarasan.

2. Refleksi mengikuti batas litologi dan bukan batas fasies. Perubahan lateral

fasies umumnya akan dicerminkan oleh perubahan amplitudo, bentuk

gelombang, frekuensi, dan kontinuitas.


46

3. Pada lingkungan klastik dangkal, kebanyakan unit individual sangat tipis

sehingga terletak antara ketebalan tuning dan detectable limit. Oleh

karenanya perubahan ketebalan hanya akan mempengaruhi amplitudo

refleksi.

4. Pada sikuen argilit, refleksi dihasilkan terutama dari interferensi dan akan

paralel dengan garis waktu.

Secara keseluruhan kondisi geologi pada data seismik dapat dilihat pada

Gambar 2.13 .
47

Gambar 2.13 Atribut refleksi seismik berupa kontinuitas, amplitudo,


dan frekuensi/spasi (Badley, 1985)

You might also like