Jurnal Perio Translet

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 11

Efek Klinis Dan Metabolic Dari Dua Modalitas Terapi Periodontal Pada Pasien Diabetes

Dengan Residual Poket

Abstrak

Tujuan: untuk mengevaluasi kontrol metabolik dan membandingkan efek klinis antara terapi non
bedah dan bedah pada perawatan periodontal dari residual poket dengan pasien dm tipe 2.
Material dan metode: 352 periodontal sites di 16 subjek pasien dm tipe 2 dengan residual poket
kedalaman yang sama dipilih secara acak, yang kuadran kontralatera dibagi menjadi G1 dan G2
yang menjalani terapi bedah dan non bedah, masing-masing, dan dievaluasi 3 dan 6 bulan setelah
intervensi pertama. Data dianalisis menggunakan SPSS versi 20.0, menggunakan metode statistic
deskriptif dan inferensial. Menggunakan uji Fischer’s untuk mencari perbedaan antara mean yang
diperoleh pada parameter klinis pada G1 dan G2. Tingkat signifikansi yang didapatkan adalah 5%.
Hasil: rata -rata nilai HbA1c pasien berkurang secara signifikan dan nilai PD dan CIL rata-rata
dikurangi pada G1 tanpa perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan G2. Kesimpulan:
perawatan periodontal adalah efektif untuk pengendalian metabolic pada pasien dm tipe 2 dan
bahkan dengan terapi keduanya, nedah dan non bedah, berperilaku sama bila dibandingkan.

Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) adalah salah satu kelainan metabolik paling umum berupa kadar
gula darah yang tinggi. Gejala umum adalah poliuria, polidipsia, polifagia, dan berat badan turun.1
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan penyandang diabetes di Indonesia pada tahun
2030 akan mencapai 21,3 juta jiwa. Hal ini akan menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-
4 dalam hal jumlah penderita diabetes setelah Amerika Serikat, Cina, dan India.2
Secara umum berdasarkan patofisiologi nya diabetes melitus dibagi menjadi 2 tipe, dm tipe
1 dan 2. DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada
DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level
protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik
pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis.3 Diabetes Melitus Tipe 2, pada penderita DM tipe
ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan
karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang
pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati.
Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap
kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relative insulin.3 Hal tersebut
dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi
insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa.
Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik. Adanya resistensi yang
terjadi perlahan-lahan akan mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe
ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi.3
Diabetes melitus merupakan penyakit yang umum di populasi dunia, dengan menyajikan
periodontitis sebagai komplikasi oral utama, dimana studi epidimielogi telah menunjukkan
korelasi positif antara penyakit periodontal dan kontrol glikemik yg buruk pada pasien tipe 2.
Bukti menunjukkan bahwa ada siklus dan dua arah antara penyakit periodontal dan
diabetes melitus dimana kehadiran salah satu dari kondisi ini dapat mempengaruhi gangguan dari
yang lain. Pada penderita diabetes, fungsi beberapa sel yang berperan dalam respons inflamasi
seperti neutrofil, monosit, dan makrofag mengalami perubahan. Terdapat defisiensi fungsi
neutrofil yang menyebabkan terhambatnya kemotaksis, fagositosis, serta perlekatan sel. Sel-sel
tersebut merupakan lini awal pertahanan tubuh sehingga inhibisi fungsinya akan menghambat
destruksi bakteri pada poket dan meningkatkan destruksi jaringan periodontal.4
Mekanisme dimana kejadian ini terjadi belum sepenuhnya dipahami dalam literatur,
namun disarankan jika adanya infeksi kronis, seperti periodontitis, menginduksi peningkatan
mediator inflamasi yang dapat mengubah aktivitas insulin yang menyebabkan penolakan terhadap
tindakannya di tubuh. Dengan kerugian akibat kontrol glikemik. Pada penderita diabetes, fibroblas
yang merupakan sel reparatif primer pada jaringan periodonsium tidak dapat berfungsi dengan
baik.5 Selain sintesis kolagen yang berkurang, kolagen yang diproduksi fibroblas rentan
terdegradasi oleh enzim matriks metalloproteinase yang jumlah produksinya meningkat pada
pasien diabetes. Selain itu, pada kondisi hiperglikemik, terjadi pula inhibisi proliferasi osteoblas
yang menurunkan pembentukan tulang serta properti mekanik dari tulang yang baru terdeposisi.5,6
Efek penyakit periodontal terhadap diabetes melitus
Mekanisme pengaruh penyakit periodontal terhadap diabetes, pada pasien dengan
penyakit periodontal sering ditemukan peningkatan kadar proinflammatory cytokine. Pada
pasien diabetes, respons imun berlebih akan lebih meningkatkan lagi produksi
proinflammatory cytokines. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi terhadap insulin
dan mempersulit kontrol glukosa darah. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa pasien
periodontitis, terutama yang jaringan periodontalnya dikolonisasi oleh bakteri gram negatif
seperti p. gingivalis, Tannerella forsynthesis, dan Prevotella intermedia, mempunyai lebih
banyak marker peradangan seperti C-reactive protein (CRP), IL-6, dan fibrinogen
dibandingkan pasien tanpa periodontitis. Peningkatan resistensi insulin dan penurunan
kontrol glikemik juga ditemukan pada pasien periodontitis tersebut. Terapi periodontal
akan mereduksi peradangan lokal, yang diikuti dengan penurunan level C-reactive protein
(CRP), IL-6,dan TNF-α serta kontrol glikemik yang lebih baik. Hal ini membuktikan
bahwa kondisi lokal pada jaringan periodontal sangat mempengaruhi kondisi sistemik.5,6

Untuk mencegah kekambuhan dan perkembangan penyakit periodontal dan memperbaiki


kontrol metabolik setelah terapi, terapi dukungan periodontal harus dilakukan pada interval
regular, yang terdiri, seperti pada terapi awal, penghilangan deposit mikroba dari permukaan gigi
dan semen yang terkontaminasi. Dengan demikian, ada penurunan produksi mediator inflamasi,
terapi support periodontal harus dilakukan pada, terapi inisial, menghilangkan deposit mikroba
dan kontaminasi semen. Pengurangan pendarahan pemeriksaan periodontal dan pengukuran
kedalaman poket, dan keuntungan pada tingkat klinis penyisipan periodontal.
Terapi periodontal non-bedah dapat mengurangi jumlah periodontopatogen yang bertahan
dengan mengembalikan mikrobiota lokal yang kompatibel dengan kesehatan periodontal pada
pasien diabetes dan non-diabetes .
Sejak tahun 1960an, penelitian telah dilakukan dengan tujuan untuk menunjukkan
kemungkinan manfaat terapi periodontal pada kontrol glikemik pasien diabetes, di mana terapi
periodontal bedah dan non-bedah mungkin dapat mengurangi gradien inflamasi sistemik, sehingga
mendukung kontrol glikemik walaupun fakta ini belum merupakan konsensus dalam literatur
karena kurangnya studi yang lebih homogen dan kurang dipelajari dengan baik.
Beberapa percobaan telah mengevaluasi keberhasilan klinis terapi periodontal pada pasien
diabetes dalam satu sesi (mulut penuh disinfeksi) atau dalam sesi yang berbeda dengan atau tanpa
penggunaan terapi antibiotik. Namun, beberapa penelitian telah menekankan terapi bedah
periodontal sebagai alternatif untuk pengobatan residual poket pada pasien ini.
Tujuan dari studi prospektif ini adalah untuk membandingkan efek klinis periodontal antara
terapi non bedah dan bedah dalam pengobatan residual poket pada pasien diabetes tipe 2, juga
mengevaluasi efek terapi ini terhadap kontrol metabolik pasien.

Material dan metode


Periode 6 bulan (0-3-6) pada respon periodontal pasien diabetes tipe 2 ditentukan untuk
evaluasi efek metabolik dan perbandingan keberhasilan dari bedah periodontal dan skeling
konvensinal pada individu yang sama.
Sampel, kriteria inklusi dan ekslusi
Pada tahap awal, 16 subjek, yang menyelesaikan perawatan periodontal konvensional
(skeling gigi dan penghalusan akar - SRP) di antara 39 yang awalnya dipilih dalam uji coba klinis
acak dan double-blind, berpartisipasi dalam penelitian ini yang menjalani perawatan bedah
periodontal dalam satu kuadran dan perawatan konvensional (non-bedah) di kuadran kontralateral.
Untuk dimasukkan dalam penelitian ini, peserta didiagnosis dengan diabetes mellitus tipe
2, memiliki periodontitis kronis yang didiagnosis secara klinis dan radiografi. Selain itu, mereka
harus berusia ≥ 35 tahun, setidaknya memiliki 15 gigi yang ada; Glikosilasi hemoglobin (Hb1Ac)
≥ 6,5%, telah berpartisipasi dalam penelitian sebelumnya (perawatan periodontal), menyajikan
residual poket kontralateral dan setuju untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Peserta
dikecualikan jika mereka telah melakukan perawatan periodontal, kecuali untuk penelitian
sebelumnya; dan juga penggunaan antibiotik dalam 6 bulan terakhir, wanita hamil atau menyusui,
mereka yang telah menggunakan obat antiinflamasi kronis, adanya kondisi sistemik yang dapat
mengganggu perjalanan penyakit periodontal (penyakit yang berhubungan dengan respon
kekebalan tubuh) dan perokok.
DM dapat didiagnosis jika terdapat gejala khas dan pemeriksaan Glukosa Darah Sewaktu (GDS)
≥ 200 mg/dl. Hasil pemeriksaan Glukosa Darah Puasa (GDP) ≥ 126 mg/dl juga dapat digunakan
untuk pedoman diagnosis DM. Untuk pasien tanpa gejala khas DM, hasil pemeriksaan glukosa
darah abnormal satu kali saja belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan
investigasi lebih lanjut. Pemeriksaan HbA1c juga dapat menentukan diagnosis dm, nilai HbA1c
yaitu : 4% - 6% adalah normal, <7% diabetes terkontrol, 7% - 8% kontrol diabetes sedang, >8%
disarankan tindakan perbaikan pada diabetes.7
Berikut adalah skema dalam mendiagnosis pasien diabetes :

Tahap Pengobatan
Fase Awal
Semua relawan berpartisipasi dalam wawancara awal untuk memverifikasi kriteria inklusi
dan eksklusi yang diadopsi. Peserta yang disertakan dievaluasi secara periodontal oleh pemeriksa
yang sebelumnya terlatih dan dikalibrasi, di mana parameter klinis yang dievaluasi diukur dan
dicatat dengan menggunakan probe periodontal dari University of North Carolina (UNC, Hu-
Friedy, Chicago, IL, AS). Probing depth (PD), bleeding on probing (BoP), resesi gingiva (GR),
clinical insertion level (CIL) dan data plak indeks (PI). Data tentang kontrol glikemik (puasa
glikemia dan Hb1Ac) pasien yang tesnya dilakukan di Laboratorium Rumah Sakit Umum UFPE
juga dicatat.
Kelompok Pengobatan dan Perawatan dilakukan
Setelah fase kontrol plak, fase perawatan periodontal dimulai sesuai dengan masing-
masing kelompok:

 Kelompok uji (G1) - Operasi periodontal dilakukan di lokasi residual di kuadran kanan
atas, yang dipilih dengan hasil yang sederhana pada bulan ke 0. Pilihan pembedahan
adalah flap untuk dekontaminasi akar dengan menggunakan larutan salin sebagai
untuk irigasi. Untuk kinerja teknik bedah, berikut ini digunakan: pegangan pisau
bedah, slide 15c, Molt descaler (Trinity®), kuret Gracey manual 7-8,11-12,13-14
(Trinity®), needle holder dan gunting . Area yang dioperasikan dijahit dan dilindungi
dengan semen bedah periodontal (PerioBond). Kuadran kontralateral menerima
perawatan periodontal konvensional (SRP).
 Kelompok kontrol (G2) - Di bawah anestesi lokal, lokasi residu kuadran kontralateral
ke G1 menerima perawatan periodontal konvensional (SRP) dengan irigasi
subgingival dengan larutan salin pada bulan ke 0. Untuk perawatan ini, menggunakan
kuretase manual gracey 7-8,11-12,13-14 (Trinity®).

Tahap Kedua

Pada masa tindak lanjut 3 dan 6 bulan, semua pasien hanya menerima pedoman dan perangkat
kebersihan mulut dan diperiksa ulang oleh pemeriksa yang sama untuk parameter periodontal dan
glikemik. Tes laboratorium diminta pada periode 0, 3 dan 6 bulan dan dilakukan di Laboratorium
Rumah Sakit Umum UFPE.

Analisis Statistik

Data yang diperoleh dianalisis dengan Statistical Package of Social Science (SPSS) versi 20.0,
dengan menggunakan metode statistik deskriptif dan inferensial. Distribusi data normal diuji untuk
memverifikasi kecukupan uji statistik (parametrik atau non-parametrik) melalui uji Shapiro-Wilk.
Nilai rata-rata perbedaan intragroup (G1-G2) pada periode 0-3-6 dari parameter klinis dan
metabolik yang dipelajari diverifikasi menggunakan uji Friedman. Uji pasti Fisher digunakan
untuk memverifikasi perbedaan antara mean yang diperoleh pada parameter klinis antara G1 dan
G2. Tingkat signifikansi yang diadopsi adalah 5%.
Aspek Etikal

Penelitian ini disetujui oleh Research Ethics Committee (CEP) dari Pusat Ilmu Kesehatan,
Universitas Federal Pernambuco, dengan protokol No. 057993/2012. Semua subjek adalah
sukarelawan, dan setelah menjelaskan tujuan penelitian, mereka menandatangani Formulir
Persetujuan Bebas dan Informasi, sesuai dengan resolusi 466/12 dari Dewan Kesehatan Nasional.

Hasil

Sebanyak 352 sisi di 16 kuadran dan 341 sisi di 16 kuadran dievaluasi, yang menjalani terapi bedah
dan non-bedah. Tabel 1 menunjukkan hasil mengenai indeks metabolik peserta. Rata-rata nilai
glikemia puasa dan Hb1Ac menunjukkan penurunan pada waktu 0-3 dan 0-6 dengan perbedaan
yang signifikan secara statistik (p <0,05).

Sedangkan untuk parameter klinis periodontal, ada kecenderungan penurunan PI% dalam
tiga kali studi pada kedua kelompok, namun tanpa statistic, signifikansi (p> 0,05) ketika
kelompok dievaluasi sendiri atau bila dibandingkan satu sama lain (Tabel 2) . Jika
dianalisis secara terpisah, PD dan CIL menunjukkan pengurangan pada waktu (0-3) dan
(0-6) dengan hasil statistik yang signifikan (p <0,05) pada kedua kelompok tanpa
perbedaan bermakna dibandingkan dengan terapi yang dievaluasi (Tabel 2) . Mengenai
BoP, ada kecenderungan yang lebih besar untuk mengurangi indeks klinis ini pada
kelompok bedah pada waktu (0-3) dan (0-6) tanpa perbedaan yang signifikan secara
statistik (p> 0,05). Namun, penurunan yang signifikan (p <0,05) diamati antar kelompok
ketika bulan keenam dievaluasi (Tabel 2).
Diskusi

Studi telah menunjukkan adanya hubungan dua arah antara penyakit periodontal dan
diabetes mellitus. Dalam konteks ini, disarankan agar pengurangan peradangan periodontal, dari
pelaksanaan program perawatan periodontal, dapat menyebabkan perbaikan pada kontrol
metabolik pasien diabetes.

Studi analisis dan intervensi Meta-analisis telah menunjukkan perbaikan klinis dan
metabolik pada pasien diabetes saat mengevaluasi efek terapi periodontal konvensional non-bedah
terhadap kontrol glikemik pasien diabetes dengan periodontitis, walaupun fakta ini belum
merupakan konsensus dalam literatur.

Meskipun literatur telah menunjukkan bahwa intervensi bedah di periodontal dengan


penyakit rekuren sebagai metode pilihan untuk intervensi ulang di tempat-tempat ini, studi klinis
dengan metodologi yang tepat untuk mengevaluasi terapi bedah pada pasien diabetes masih
langka. Fakta ini dapat menghambat penjabaran protokol awal untuk perawatan pasien ini, dan
penelitian lebih lanjut dengan tujuan tersebut harus dilakukan. Dengan demikian, tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek klinis dan metabolik terapi bedah dan non-bedah
periodontal pada pasien diabetes dengan periodontitis dimana perbaikan metabolik dan klinis
ditunjukkan saat terapi periodontal dilakukan.
Meskipun penelitian lain telah melaporkan perbaikan klinis yang signifikan tanpa manfaat
dalam kontrol glikemik pada penderita diabetes tipe 2 saat melakukan terapi periodontal, temuan
kami mengungkapkan perbaikan klinis dan metabolik yang signifikan saat menggunakan terapi
konvensional periodontal dan bedah. Mengevaluasi data Hb1Ac dalam penelitian ini, peningkatan
yang signifikan diamati pada indeks ini, menguatkan temuan para penulis tersebut. Hasil kami
menunjukkan penurunan rata-rata Hb1Ac dari waktu ke waktu (0-3) dan kecenderungan untuk
menurun pada kuartal berikutnya, serupa dengan temuan yang diperoleh dari tinjauan sistematis,
di mana hasil yang serupa ditunjukkan. Berbeda, laporan lain tidak menemukan manfaat metabolik
saat menggunakan terapi periodontal non-bedah.

Beberapa penulis melaporkan bahwa instrumentasi bedah periodontal atau konvensional


efektif untuk mengurangi PD dan CIL pada pasien non-diabetes. Dalam uji coba klinis secara acak,
ditunjukkan bahwa kedua terapi tersebut efektif dalam mengurangi parameter periodontal pada
pasien diabetes tipe 2.

Proses perbaikan periodontal melibatkan pembentukan epitel junctional panjang yang


dapat diperoleh lebih cepat dari instrumentasi bidang terbuka (flap surgery for decontamination),
yang mendukung perolehan insersi klinis periodontal sebagai konsekuensi dari pengurangan
mediator inflamasi dan toksin mikroba. Proses perbaikan pada pasien diabetes sangat penting
karena berkurangnya risiko infeksi sistemik dimana pasien ini terpapar. Dengan demikian, uji
klinis dengan metodologi yang tepat dan sampel yang dibatasi dengan baik diperlukan dalam
penjabaran pendekatan terapeutik yang ditujukan pada pasien diabetes dalam setting klinis.

Penelitian ini mengevaluasi dan membandingkan efikasi terapi periodontal bedah dan non-
bedah dalam pengobatan kantong residu pada pasien diabetes tipe 2, menunjukkan respons klinis
yang menguntungkan pada tiga waktu terapi bedah yang dipelajari dalam mengurangi parameter
klinis periodontal. Mengingat keterbatasan penelitian, data serupa dengan penelitian lain yang
dilakukan dengan metodologi serupa, namun dengan penggunaan antibiotik sistemik, di mana
perbaikan parameter klinis diamati pada kelompok di mana operasi periodontal dilakukan pada
waktu (0-3) dan ( 0-6), meskipun kedua terapi berperilaku sama bila dibandingkan satu sama lain.

Temuan tersebut berbeda dengan indikasi bahwa terapi bedah periodontal dapat
memberikan hasil yang memuaskan pada pengurangan PD dan CIL bila dibandingkan dengan
terapi non-bedah. Perlu dicatat bahwa dalam hasil penelitian ini, kedua teknik dilakukan pada
pasien yang sama untuk mengendalikan kemungkinan efek individual seperti status glikemik, diet,
perubahan gaya hidup, yang dapat mengganggu hasil akhir. Perlu juga dicatat bahwa keuntungan
klinis yang lebih baik diamati di tempat dengan kantong dalam. Dengan demikian, hasil yang
paling memuaskan yang diverifikasi pada kelompok bedah dapat dikaitkan dengan fakta ini.

PI dan BoP juga dievaluasi dalam penelitian ini karena pentingnya klinis mereka dalam
perjalanan penyakit periodontal. BoP, terkait dengan parameter klinis lainnya, mencerminkan
perlunya intervensi terapeutik baru karena ini memberikan kemungkinan lebih besar hilangnya
perlekatan periodontal.Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan temuan lain, yang menunjukkan
peningkatan BoP yang signifikan pada bulan ke 3 dan 6 jika dibandingkan dengan terapi bedah
dan non-bedah, berlawanan dengan hasil penelitian ini, di mana perbaikan klinis yang signifikan
antara kelompok hanya diamati pada bulan ke enam.

BoP mempresentasikan kecenderungan untuk mengurangi kelompok yang diberikan pada


terapi bedah, dan dapat disarankan bahwa terapi bedah efektif dalam mengurangi peradangan
periodontal karena indeks ini mencerminkan adanya aktivitas penyakit. Namun, perlu dicatat
bahwa selama masa studi, semua pasien menerima bimbingan kebersihan mulut serta alat untuk
melakukan kebersihan mulut di rumah yang mungkin telah berkontribusi pada perbaikan klinis
pada parameter yang terkait dengan peradangan gingiva seperti yang diamati dalam penelitian ini
mengenai PI, Dimana kelompok uji dan kontrol menunjukkan kecenderungan untuk mengurangi
nilai mereka.

Kesimpulan

Terapi periodontal efektif dalam pengendalian metabolik pasien diabetes tipe 2 dan bahwa
terapi bedah dan non-bedah berperilaku dengan cara yang sama bila dibandingkan satu sama lain,
namun dengan kemanjuran terapi bedah yang lebih besar dalam mengurangi parameter klinis yang
diteliti.

Ucapan Terima Kasih

Para penulis menyatakan bahwa tidak ada konflik kepentingan dalam penelitian ini.
Penelitian ini dipikirkan dengan pengumuman MCT / CNPq No. 014/2010 – Universal
DAFTAR PUSTAKA

1. Longo D, Fauci A, Kasper D, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. Harrison’s Principles of


Internal Medicine. 18th ed; 2011: New York. McGraw-Hill.
2. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Tahun 2030
Prevalensi Diabetes Melitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. [cited 2017 Juni 5];
http://www.depkes.go.id/index.php/berita/press-release/414-tahun-2030-prevalensi-
diabetes-melitus-di-indonesia-mencapai-213-juta-orang.html.
3. Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4; 2006 Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. p. 1874-8.
4. Mealey BL. Periodontal Disease and Diabetes A Two Way Street. J. American Dental
Assoc. 2006; 137(10 supplement): 26-31.
5. Angginingtyas N, Maduratna E, Augustina EF. Status Kesehatan Jaringan Periodontal pada
Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 Dibandingkan dengan Pasien Non Diabetes Mellitus
Berdasarkan GPI; 2012 Surabaya: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga.
6. Díaz-Romero R, Ovadía R. Diabetes and Periodontal Disease: A Bidirectional
Relationship. Facta Universitatis Series: Medicine and Biology. 2007; 14(1): 6-9.
7. Newman MG, Takei HH, Carranza FA. Carranza’s Clinical Periodontology. 9thed.
Pennsylvania. Saunders. 2003. p. 561

You might also like