Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 4

Definisi Demam Dengue

Demam dengue adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dengan
manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/ atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi pembesaran plasma
yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah dengue yang
ditandai oleh renjatan/syok.

Sumber: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, & Syam AF. Editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Faktor resiko dbd

Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk perkotaan yang
cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu
atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkin terjadinya KLB. Faktor risiko
lainnya adalah kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk
menyediakan rumah yang layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang
benar. Tetapi di lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama
yang biasa bepergian. Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar
rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan serta
mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan keberadaan jentik tidak menjadi faktor
risiko.

Faktor risiko yang menyebabkan munculnya antibodi IgM anti dengue yang merupakan
reaksi infesksi primer, berdasarkan hasil penelitian di wilayah Amazon Brasil adalah jenis
kelamin laki-laki, kemiskinan, dan migrasi. Sedangkan faktor risiko terjadinya infeksi sekunder
yang menyebabkan DBD adalah jenis kelamin laki-laki, riwayat pernah terkena DBD pada
periode sebelumnya serta migrasi ke daerah perkotaan.
Sumber: Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian Penyakit
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota Pekanbaru. Medan:
Universitas Sumatera Utara; 2008.

Etiologi ITP

Purpura trombositopenik idiopatika ialah suatu penyakit perdarahan didapat (acquired)


sebagai akibat dari penghancuran trombosit yang berlebihan, ditandai dengan trombositopenia
(trombosit < 150.000/mm3), purpura, gambaran darah tepi yang umumnya normal, dan tidak
ditemukan penyebab trombositopenia yang lainnya. Penyebab ITP adalah kelainan autoimun
sehingga penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial meningkat. Kelainan ini
biasanya menyertai infeksi virus atau imunisasi yang disebabkan oleh respon sistem imun yang
tidak tepat (inappropriate).

Sumber: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, & Syam AF. Editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Diagnosis ITP

Pada umumnya pasien ITP tampak sehat, namun tiba-tiba mengalami perdarahan pada
kulit (petekie atau purpura) atau pada mukosa hidung (epistaksis). Perlu juga dicari riwayat
tentang penggunaan obat atau bahan lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat
keluarga umumnya tidak didapatkan. Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti
adanya perdarahan tipe trombosit (platelet-type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan
konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu
penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa
sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP.

Lamanya perdarahan dapat membantu untuk membedakan PTI akut dan kronik, serta
tidak terdapatnya gejala sistemik dapat membantu dokter untuk menyingkirkan bentuk sekunder
dan diagnosis lain. Penting untuk anamnesis pemakaian obat-obatan yang dapat menyebabkan
trombositopenia dan pemeriksaan fisik hanya didapatkan perdarahan karena trombosit yang
rendah (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, dan perdarahan selaput lendir yang lain).
Splenomegali ringan (hanya ruang traube yang terisi), tidak ada limfadenopati. Selain
trombositopenia, hitung darah yang lain normal. Pemeriksaan darah tepi diperlukan untuk
menyingkirkan pseudotrombositopenia dan kelainan hematologi yang lain. Megatrombosit sering
terlihat pada pemeriksaan darah tepi, trombosit muda ini bisa dideteksi oleh flow sitometri
berdasarkan messenger RNA yang menerangkan bahwa perdarahan pada PTI tidak sejelas
gambaran pada kegagalan sumsum tulang pada hitung trombosit yang serupa. Salah satu
diagnosis penting adalah pungsi sumsum tulang. Pada sumsum tulang dijumpai banyak
megakariosit dan agranuler atau tidak mengandung trombosit.

Secara praktis pemeriksaan sumsum tulang dilakukan pada pasien lebih dari 40 tahun,
pasien dengan gambaran tidak khas (misalnya dengan gambaran sitopenia) atau pasien yang
tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan, banyak ahli pediatri hematologi
merekomendasikan dilakukan pemeriksaan sumsum tulang sebelum mulai terapi kortikosteroid
untuk menyingkirkan kasus leukemia akut. Pengukuran trombosit dihubungkan dengan antibodi
secara uji langsung untuk mengukur trombosit yang berikatan dengan antibodi yakni dengan
Monoclonal-Antigen-Capture Assay, sensitivitasnya 45-66%, spesifisitasnya 78-92% dan
diperkirakan bernilai positif 80-83 %. Uji negatif tidak menyingkirkan diagnosis deteksi yang
tanpa ikatan antibody plasma tidak digunakan. Uji ini tidak membedakan bentuk primer maupun
sekunder PTI.

Sumber: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, & Syam AF. Editor. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

Mekanisme terbentuknya bintik merah

Patomekanisme terjadinya bintik merah pada kulit dapat dijelaskan dengan respon imun
yang melibatkan peranan limfosit, langerhans epidermal, eosinofil, dan IgE secara global.
mekanisme timbulnya reaksi radang tergantung pada IgE sudah terpapar dengan alergen, sel
mast yang permuakaannya mengandung IgE akan mengeluarkan beberapa mediator, sitokin, dan
faktor kemotaktik leukosit (immediate reaction) setelah itu timbul late cphase reaction (LPR)
yang juga dipengaruhi oleh IgE dan ditandai dengan timbulnya beberapa molekul adhesi pada
endotel pembuluh darah sehingga menimbulkan infiltrat sel eosinofil, netrofil, sel mononuklear
ke jaringan setempat yang akan menimbulkan reaksi radang IL-1 dan TNF-a berperan timbulnya
molekul ELAM-1, ICAM-1, dan VCAM-1 sehingga terjadinya infiltrasi sel leukosit ke jaringan
yang meradang tersebur, sehingga mengakibatkan bertambahnya sel radang di tempat tersebut.

Selain itu, didapatkan pula adanya korelasi peningkatan jumlah VCAM-1 dengan jumlah
sel eosinofil termasuk MBP, EPO, ECP dan disimpulkan bahwa ekspresi VCAM-1 akan
meningkatkan pengumpulan dan infiltrat sel-sel eosinofil ke tempat radang. Faktor pelepasan
histamin ditemukan untuk mengaktivasi basofil melalui peningkatan IgE. Jadi penderita yang
hipersensitif terhadap makanan dan terpajan untuk memproduksi antigen sitokin (faktor
pelepasan histamin) interaksi dengan IgE akan mengikat pada permukaan basofil dan
menyebabkan terjadinya pelepasan histamin. Proses inflamasi terjadi saat mediator histamin
dilepaskan ketika antigen memasuki area kulit yang spesifik. Secara lokal, histamin yang
dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi yang menginduksi timbulnya kemerahan dan
peningkatan permeabilitas kapiler setempat sehingga dalam beberapa menit kemudian akan
terjadi pembengkakan pada area yang berbatas jelas.

Sumber: Siregar., 2005. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Jakarta ; EGC.

You might also like