Ontologi Konstruktivisme

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 4

“ONTOLOGI KONSTRUKTIVISME”

Anggota Kelompok 7:

1. Mochamad Azwar 11010113140383


2. Mya Dwi Permatasari 11010113140410
3. Ghina Haifa Nurhasya 11010113140449
4. Rena Puspa Ayu M. 11010113140465
5. Devy Tantry Anjani 11010113140472
6. Astrid Arsyana Dewi 11010113140473
7. Luci Andika P. 11010113140503
8. Mutia Rahma W. 11010113140508
9. Anjil Muktiono 11010113140515
10 . Fazriansyah Prambojo 11010113140548

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS HUKUM
2015
ONTOLOGI KONSTRUKTIVISME

Konstruktivisme berasal dari kata konstruktiv dan isme. Konstruktiv berarti bersifat
membina, memperbaiki, dan membangun. Sedangkan Isme dalam kamus Bahasa Inonesia
berarti paham atau aliran. Konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang
menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri (von
Glaserfeld dalam Pannen dkk, 2001: 3)
Ide mengenai konstruktivisme telah muncul sejak abad ke-5 sebelum masehi baik di
Timur, oleh Budha Gautama (560–477 SM), maupun di Barat oleh Heraklitus (535-474
SM). Sejak itu, pandangan konstruktivisme tidak banyak berkembang hingga dituliskan
ulang oleh Giambattista Vico (1668–1774) pada abad ke-17. Immanuel Kant (1724-1804)
dipandang banyak ahli sebagai peletak ide utama mengenai konstruktivisme. Kant dalam
Critique of Pure Reason menjelaskan pikiran (mind) sebagai organisme yang tidak henti-
hentinya mentransformasikan ketidakaturan (chaos) menjadi keteraturan (order). Kant
membedakan proses penyerapan informasi oleh indera (sensasi) dengan pemaknaan
personal informasi tersebut oleh individu (persepsi). Karenanya, berbagai informasi yang
diperoleh individu dari luar bisa saja ditangkap oleh indera yang sama, namun diorganisir
dan dimaknai berbeda-beda oleh tiap individu, tergantung pengetahuan dan pengalaman
sebelumnya.
Kontruktivisme menyatakan bahwa realitas dikontruksikan dalam pikiran individu.
Tiap individu memaknai pengalaman yang sama secara berbeda, tergantung pengetahuan
dan pengalaman sebelumnya. Karena kontruksivisme dimaknai secara subjektif, realitas
masih dapat berubah seiring dengan berjalannya proses ekstraksi pengetahuan dari
responden oleh peneliti.
Ontologi konstruktivisme memandang realitas sebagai sesuatu yang relatif. Realitas
dapat dipahami dalam berbagai bentuk tergantung dari konstruksi mental, sosial, dan
pemaknaan individu atau kelompok yang membentuk konstruksi mental tersebut.
Konstruktivisme adalah filsafat belajar yang dibangun atas anggapan bahwa dengan
memfreksikan pengalaman-pengalaman sendiri. Konstruktivisme merupakan landasan
berpikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh
manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan
tidak sekonyong-konyong.
Kontruktivisme dalam ilmu sosial merupakan antitesis terhadap postivisme karena
menurut konstruktivisme realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat di
generalisasikan pada semua orang yang menganut paham positivisme.
Menurut pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda
dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam
realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku di
kalangan mereka sendiri.
Ontologi dalam paradigma konstruktivisme memiliki basic belief “Relativisme”.
Relativisme ini artinya adalah orang yang dipandu oleh paradigma konstruktivisme akan
melihat bahwa segala sesuatu itu majemuk, tidaklah tunggal. Sehingga, orang ini akan
memandang bahwa segala sesuatu bebas diinterpretasikan oleh siapapun.
Kemudian dalam ontologi paradigma konstruktivisme, terdapat world view. World
view artinya adalah cara pandang penganut suatu paradigma, dalam melihat dunia. Di
dalam ontologi paradigma konstruktivisme, terdapat world view :

1) Realitas majemuk dan beragam, berdasarkan pengalaman sosial individual, lokal, dan
spesifik. Artinya adalah para penganut paradigma konstruktivisme akan memandang,
bahwa hukum itu tidak tunggal, melainkan majemuk. Kemajemukan itu didasarkan pada
pengalaman sosial individual,lokal, dan spesifik seseorang. Sehingga, setiap orang dapat
menginterpretasikan mengenai ‘bagaimanakah’ hukum, sesuai dengan subjektifitasnya.

2) Merupakan ‘konstruksi’ mental/intelektualitas manusia. Artinya adalah, bahwa hukum


yang diyakini oleh penganut paradigma konstruktivisme, adalah berdasarkan pada hal hal
yang terkonstruksi di dalam dirinya, sehingga munculah pemahaman dalam dirinya,
tentang ‘bagaimana’ hukum yang sesungguhnya.

3) Bentuk dan isi berpulang pada penganut/pemegang dapat berubah menjadi informed dan
atau sophisticated ; humanis. Artinya adalah, informasi yang didapat oleh
penganut/pemegang paradigma ini, kemudian akan dicanggihkan (dipelajari dan
dipahamkan) dalam dirinya, sehingga munculah pemahaman tentang hukum yang
sesungguhnya.
Penganut paradigma konstruktivisme, akan mendekatkan presepsi. Bukan menyatukan
presepsi. Dikarenakan, beragam presepsi tentang segala hal, menurut setiap orang belum
tentu sama. Bagi penganut paradigma konstruktivisme, semesta merupakan suatu
konstruksi, artinya bahwa semesta bukan dimengerti sebagai semesta yang otonom, akan
tetapi dikonstruksi secara sosial (Ardianto, 2009).

► Contoh Ontologi Konstruktivisme


Pada kasus pemerintahan SBY JK dimana awalnya dua tokoh nasional ini menjalankan
kepemimpinannya cukup harmonis dan dapat kita nilai cukup memberi contoh kepada
masyarakat tentang kekuasaan bersama. Namun, kebersamaan itu terciderai dengan adanya
perselisihan antara Golkar dan Demokrat. Disinilah media memainkan peran dan
mengkonstruksi berita ini, dan menambah frekuensi pemberitaan di hampir semua media
elektronik dan cetak. Dan melebih-lebihkan pemberitaan yang bertujuan untuk
mengembangkan ucapan tersebut dalam opini publik. Disinilah terlihat bahwa media
mampu mengkonstruksi suatu melalui pemberitaannya, yang mana berkembang menjadi
opini publik.

► Kesimpulan
Jadi, ontologi konstruktivisme adalah pendekatan antar pesona, melalui komunikasi
yang berbasis pada “konsep diri” . Paradigma dalam membangun (mengkonstruksi)
pemahaman atau makna, secara bersama-sama melalui pemahaman berbasis pada subjek,
dengan menggunakan suatu penjabaran kode yang mana, menghargai perasaan,
kepentingan, dan sudut pandang orang lain. Tetapi kalangan konstruktivisme meyakini
bahwa segala sesuatu yang ada karena konstruksi tertentu. Ilmu hasil konstruksi
berdasarkan interaksi peneliti terhadap objek yang ditelitinya.

You might also like