Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 45

REFERAT

MENINGITIS

Pembimbing:
dr. Pulung. M. Silalahi, SpA

Penulis:
Eka Syafnita
1102014083

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK. I RADEN SAID SUKANTO
PERIODE 16 APRIL – 30 JUNI 2018
KATA PENGANTAR

Salam sejahtera bagi kita semua.


Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat dengan judul
“Meningitis” yang disusun dalam rangka memenuhi persyaratan kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Anak di RS Bhayangkara Tk.I Raden Said Sukanto Jakarta.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dr. Pulung M. Silalahi, Sp.A selaku pembimbing referat yang telah membimbing dan
memberikan ilmu kepada penulis.
2. Para Perawat dan Pegawai di Bagian SMF Ilmu Kesehatan Anak RS Bhayangkara Tk.I
Raden Said Sukanto Jakarta yang telah banyak membantu penulis dalam kegiatan klinik
sehari-hari.
3. Teman-teman sejawat rekan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak yang telah memberikan
bantuan dan dukungan dalam penyusunan referat ini
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu, penulis
mengharapkan kritikan serta saran yang bersifat membangun sehingga penulisan tulisan ini dapat
lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis yang sedang
menempuh pendidikan profesi dokter. Amin Ya Rabbal Alamin.

Jakarta, 10 Mei 2018

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

Meningitis adalah sindrom klinis yang ditandai dengan peradangan pada meninges atau
lapisan otak dan dapat mengenai liquor cerebrospinal (LCS). Otak dan sumsum tulang memiliki
tiga lapisan membran yang terdiri dari duramater, arachnoidmater dan piamater. Meningitis
secara anatomis dibagi menjadi inflamasi dura atau disebut juga sebagai pachymeningitis dan
inflamasi pada arakhnoid dan piamater disebut juga sebagai leptomeningitis. Secara klinis,
meningitis bermanifestasi dengan gejala meningeal seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia,
dan pleositosis dalam cairan cerebrospinal (CSS). Sampai saat ini, meningitis tetap dianggap
sebagai suatu kegawat-daruratan pada anak, terutama akibat sekuele neurologis yang dapat
bersifat permanen. Pada referat ini, saya akan membahas meningitis bakterial, meningitis viral,
dan meningitis tuberkulosis.

Penyebab paling umum peradangan pada meningens adalah iritasi meninges oleh infeksi
bakteri, virus, maupun jamur. Organisme biasanya memasuki meningens melalui aliran darah
dari bagian lain dari tubuh (hematogen) ataupun dapat secara langsung (cedera kepala ataupun
perkontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat selaput otak.

Meningitis piogenik (bakteri) terdiri dari peradangan meningens dan CSS


subarachnoid. Jika tidak diobati, meningitis bakteri dapat mengakibatkan kelemahan (debility)
seumur hidup atau kematian. Sebelum era antimikroba penyakit ini sangat fatal, namun dengan
munculnya terapi antimikroba, tingkat kematian secara keseluruhan dari meningitis bakteri
mengalami penurunan. Munculnya strain bakteri resisten telah mendorong perubahan dalam
protokol antibiotik di beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Jerman. Para agen infektif
spesifik yang terlibat pada meningitis bakteri bervariasi di antara berbagai kelompok umur
pasien, dan peradangan bisa berevolusi menjadi kondisi seperti ventriculitis, empiema, cerebritis.

Meningitis nonbakterial dapat disebabkan oleh virus dan jamur. Meningitis virus juga
disebut meningitis aseptic. Meningitis aseptic dan meningitis fungal sulit dibedakan dengan
meningitis bacterial hanya dari gejala dan temuan klinis. Perbedaan antara meningitis aseptic,
meningitis fungal, dan meningitis bacterial baru dapat ditentukan apabila telah dilakukan
pemeriksaan cairan serebrospinal yang merupakan gold standard diagnosis meningitis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Meningitis adalah terjadinya suatu proses peradangan atau inflamasi pada selaput otak
(meninges), meliputi dura mater, araknoid mater, dan pia mater. Ketiganya berfungsi sebagai
pelapis otak dan medulla spinalis. Proses peradangan atau inflamasi ini dapat didasari oleh
beberapa etiologi (infeksi dan non-infeksi), serta dapat diidentifikasi oleh adanya
peningkatan kadar leukosit di dalam cairan serebrospinal (CSS).

2.2 Anatomi
2.2.1. Lapisan Selaput Otak/Meninges
Otak dibungkus oleh selubung mesodermal, meninges. Lapisan luarnya adalah
pachymeninges atau duramater dan lapisan dalamnya adalah leptomeninges yang
dibagi menjadi arachnoid dan piamater.
A. Duramater
Duramater atau pachymeninx merupakan lapisan paling luar, terbentuk atas
struktur fibrosa yang kuat. Kedua lapisan dura ini umumnya melekat rapat, kecuali di
beberapa tempat, seperti di daerah pembentukan sinus venosus dan tempat dimana
bagian meningeal membentuk sekat di antara bagian-bagian otak. Duramater
dipisahkan dari araknoid mater oleh suatu celah sempit yang disebut sebagai ruang
subdural.
Pada dasarnya, duramater ini terdiri atas dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini selalu melekat rapat kecuali di beberapa area
seperti tempat terbentuknya sinus venosus.
- Lapisan endosteal
Sebetulnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi bagian dalam tulang
aseptic
- Lapisan meningeal
Merupakan lapisan duramater yang sejati, disebut juga sebagai kranial duramater.
Fungsi dari duramater adalah membungkus otak dan berlanjut terus melewati
foramen magnum, menjadi dura mater spinalis. Lapisan meningeal membentuk
empat septum, yang berfungsi untuk menahan pergeseran otak. Keempat septum
ini adalah:
- Falx Cerebri
Merupakan lipatan duramater yang terletak pada garis tengah di antara
kedua hemisfer serebri. Bagian anteriornya melekat pada crista galli,
sedangkan bagian posteriornya nanti menyatu dengan permukaan atas
tentorium cerebelli.
- Tentorium Cerebelli
Merupakan lipatan duramater yang berbentuk bulan sabit, letaknya
menutupi fossa cranii posterior. Septum ini juga menutupi bagian atas
serebelum dan menopang lobus occipitalis serebri.
- Falx Cerebelli
Merupakan lipata duramater yang kecil, melekat pada protuberantia
occipitalis interna.
- Diaphragm Sellae
Merupakan lipatan sirkuler kecil dari dura mater, yang menutupi sella
tursica dan fossa pituitary pada os sphenoidalis. Diafragma ini
memisahkan pituitary gland dari hipotalamus dan kiasma optikum.
Pada perpisahan antara kedua lapisan dura mater ini, di antaranya terdapat sinus
duramatris yang berisi darah vena. Sinus venosus ini menerima drainase darah dari
vena di otak dan mengalir menuju vena jugularis interna. Pada lapisan-lapisan
duramater ini, terdapat banyak cabang-cabang pembuluh darah yang berasal dari
arteri karotis interna, arteri maxillaris, arteri occipitalis, dan arter vertebralis. Pada
penerapan secara klinis, yang terpenting adalah arteri meningea media (cabang dari
arteri maxillaris), karena arteri ini umumnya sering pecah pada kasus-kasus trauma
kapitis. Selain itu, pada duramater juga terdapat banyak ujung-ujung serabut saraf
sensorik yang amat peka terhadap regangan.
Gambar 1. Lapisan-lapisan selaput otak/meninges

B. Arachnoidea
Membrana arachnoidea melekat erat pada permukaan dalam dura dan hanya
terpisah dengannya oleh suatu ruang potensial, yaitu spatium subdural. Ia menutupi
spatium subarachnoideum yang menjadi liquor cerebrospinalis, cavum
subarachnoidalis dan dihubungkan ke piamater oleh trabekulae dan septa-septa yang
membentuk suatu anyaman padat yang menjadi system rongga-rongga yang saling
berhubungan.
Dari arachnoidea menonjol ke luar tonjolan-tonjolan mirip jamur ke dalam sinus-
sinus venosus utama yaitu granulationes pacchioni (granulationes/villi arachnoidea).
Sebagian besar villi arachnoidea terdapat di sekitar sinus sagitalis superior dalam
lacunae lateralis. Diduga bahwa liquor cerebrospinali memasuki circulus venosus
melalui villi. Pada orang lanjut usia villi tersebut menyusup ke dalam tulang
(foveolae granulares) dan berinvaginasi ke dalam vena diploe.
Cavum subaracnoidea adalah rongga di antara arachnoid dan piamater yang
secara relative sempit dan terletak di atas permukaan hemisfer cerebrum, namun
rongga tersebut menjadi jauh bertambah lebar di daerah-daerah pada dasar otak.
Pelebaran rongga ini disebut cisterna arachnoidea, seringkali diberi nama menurut
struktur otak yang berdekatan. Cisterna ini berhubungan secara bebas dengan
cisterna yang berbatasan dengan rongga sub arachnoid umum.
Cisterna magna diakibatkan oleh pelebaran-pelebaran rongga di atas subarachnoid
di antara medulla oblongata dan hemisphere cerebellum; cistena ini bersinambung
dengan rongga subarachnoid spinalis. Cisterna pontin yang terletak pada aspek
ventral dari pons mengandung arteri basilaris dan beberapa vena. Di bawah cerebrum
terdapat rongga yang lebar di antara ke dua lobus temporalis. Rongga ini dibagi
menjadi cisterna chiasmaticus di ats chiasma opticum, cisterna supraselaris di atas
diafragma sellae, dan cisterna interpeduncularis di antara peduncle cerebrum.
Rongga di antara lobus frontalis, parietalis, dan temporalis dinamakan cisterna
fissure lateralis (cisterna sylvii).

C. Piamater
Lapisan pia mater ini melekat erat dengan otak dan tulang belakang, mengikuti
tiap sulcus dan gyrus yang ada. Di dalam lapisan ini, terdapat amat banyak pembuluh
darah, serta terdiri atas jaringan ikat penyambung yang halus, dan berperan besar
dalam memberi nutrisi pada jaringan saraf. Astrosit susunan saraf pusat mempunyai
ujung-ujung yang berakhir sebagai end feet dalam pia mater, untuk nanti membentuk
selaput pia-glia. Dimana selaput ini berperan dalam mencegah masuknya bahan-
bahan yang sifatnya toksik terhadap susunan saraf pusat.

2.2.2 Liquor Cerebrospinalis (LCS)


A. Pembentukan liquor cerebrospinal
Liquor cerebrospinal ini adalah hasil sekresi oleh plexus koroidalis, yang
terletak di ventrikel serebri. Plexus koroidalis ini adalah suatu struktur yang
memang secara khusus berfungsi dalam mensekresi, mendialisa, dan
menyerap liquor cerebrospinal.

B. Sirkulasi liquor cerebrospinal


Setelah disekresi oleh plexus koroidalis pada ventrikel lateral, LCS
mengalir melalui foramina intraventrikular dan masuk ke ventrikel ketiga.
Setelah itu, LCS mengalir melewati aquaductus Sylvii dan menuju ventrikel
keempat, kemudian masuk ke ruang subaraknoid melalui foramen Magendie
dan foramen Luscka. Dari sini, sebagian besar LCS mengalir ke bagian
medial dan lateral dari hemisfer serebri. Di ruang subaraknoid, LCS
merembes masuk melalui granulasi arachnoid, untuk nanti bersatu dengan
darah vena di dalam sinus sagittalis posterior. Sebagian kecil LCS mengalir
ke ruang subaraknoid di medulla spinalis.

Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

C. Absorpsi liquor cerebrospinal


Vili araknoidalis adalah tempat absorpsi LCS, untuk nanti bersatu dengan
darah vena pada sinus duramatris. Vili ini terletak di ruang subaraknoid.
Seiring dengan bertambah tuanya seseorang, vili ini akan membesar, dan
disebut sebagai pacchionian bodies atau arachnoid granulation.
D. Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal
rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel I. LCS terdapat
dalam suatu sistem yang terdiri dari spatium liquor cerebrospinalis internum
dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara keduanya melalui
dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan apetura
medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Pada orang dewasa,
volume cairan cerebrospinal total dalam seluruh rongga secara normal ± 150
ml; bagian internal (ventricular) dari sistem menjadi kira-kira setengah
jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan
direabsorpsi setiap hari.

Tabel 1. Nilai Normal Cairan Cerebrospinal


E. Fungsi
Liquor cerebrospinal memiliki berbagai fungsi. Pertama adalah untuk
mempertahan keseimbangan antara neuron dan glia. Kedua, adalah sebagai
bantalan yang melindungi otak dan medulla spinalis dari benturan. Ketiga,
LCS seringkali diambil untuk pemeriksaan penunjang.

F. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air;
perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan.
Takanan meningkat bila terdapat peningkatan pada volume intracranial
(misalnya, pada tumor), volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan
cerebrospinal (pada hydrocephalus) karena tengkorak dewasa merupakan
suatu kotak yang kaku dari tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri
terhadap penambahan volume tanpa kenaikan tekanan.
2.3 Epidemiologi
Tingkat insidensi meningitis bervariasi, sesuai dengan etiologi spesifiknya. Di
negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dilaporkan bahwa insidensinya sekitar
10x lipat lebih sering dibandingkan dengan di negara-negara yang sudah maju. Hal ini
utamanya diakibatkan oleh kurangnya akses ke upaya-upaya pencegahan.

A. Meningitis Bakterial
Di Ameriksa Serikat, sebelum diberlakukannya pemberian rutin vaksin conjugate-
pneumococcal, insidensi dari meningitis bakteri mencapai sekitar ± 3000 kasus per
tahun. Neisseria meningitides ditemukan pada 4 kasus per 100.000 anak, sedangkan
Streptococcus pneumonia ditemukan pada 7 kasus per 100.000 anak. Angka ini
menurun setelah diterapkan aturan untuk pemberian rutin dari vaksin conjugate-
pneumococcal. Akhir-akhir ini, baru dikenalkan vaksin meningococcal di Amerika
Serikat, yang diharapkan dapat makin menurunkan insidensi meningitis bakterial.
Secara umum, mortalitas dari meningitis bakterial, bervariasi menurut usia dan
etiologinya. Angka mortalitas tertinggi adalah meningitis bakterial akibat
Streptococcus pneumonia. Sedangkan berdasarkan usia, mortalitas tertinggi adalah
pada 1 tahun pertama kehidupan. Di Indonesia, angka kejadian tertinggi ada di
kelompok umur 2 bulan hingga 2 tahun. Umumnya terdapat pada anak-anak yang
kurang gizi dan yang daya tahan tubuhnya rendah. Penyakit ini menyebabkan angka
kematian yang cukup tinggi (5-10%), dengan 30% di antaranya, akan ditemukan
gejala sisa, biasanya adalah defisit neurologis.
Selain itu, tuberkulosis merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
meningitis pada anak. Meningitis tuberkulosis masih sering ditemukan di Indonesia,
oleh karena tingginya insidensi tuberkulosis pada anak. Angka kejadian tertinggi
ditemukan pada kelompok usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka mortalitas berada di
kisaran 10-20%. Dengan pada sekitar 80% dari semua kasus, ditemukan gejala sisa,
hanya sekitar 20% pasien yang dapat terus hidup normal tanpa adanya gangguan
neurologis.
B. Meningitis Viral
Insidensi meningitis viral ini 20 kali lebih tinggi pada tahun pertama kehidupan.
Di seluruh dunia, penyebab meningitis viral adalah enterovirus, mumps
(gondongan), measles (campak), varicella zoster (VZV), dan HIV. Insidensi
meningitis oleh virus mumps dan measles telah jauh berkurang, akibat telah
dimasukkannya vaksin MMR sebagai vaksinasi wajib. Oleh karena itu, akhir-akhir
ini, kasus meningitis viral telah menurun jauh, karena pada tahun 1997, menurut
WHO, mumps adalah penyebab tersering meningitis virus (± 20% dari seluruh kasus
meningitis).

Faktor risiko meningitis


Faktor resiko terjadinya meningitis :
1. Usia, biasanya pada usia < 5 tahun dan > 60 tahun
2. Imunosupresi atau penurunan kekebalan tubuh
3. Diabetes melitus, insufisiensi renal atau kelenjar adrenal
4. Infeksi HIV
5. Anemia sel sabit dan splenektomi
6. Alkoholisme, sirosis hepatis
7. Talasemia mayor
8. Riwayat kontak yang baru terjadi dengan pasien meningitis
9. Defek dural baik karena trauma, kongenital maupun operasi
10. Ventriculoperitoneal shunt

2.4 Etiologi
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus,
dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan liquor cerebrospinal. Meningitis
juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS,
keganasan, diabetes mellitus, dan cedera fisik.
Tabel 2. Penyebab meningitis pada anak

Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh bakteri, virus, dan jamur :
A. Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak dan orang dewasa muda
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitides. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri ini disebut juga sebagai meningitis meningokokus. Selama
usia bulan pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal
merefleksikan flora ibu atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B,
basili enterik gram negatif, dan Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok
ini kadang-kadang dapat karena Haemophilus influenza dan patogen lain ditemukan
pada penderita yang lebih tua. Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun
biasanya karena H. influenzae tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria
meningitidis. Penyakit yang disebabkan oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala
umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2 tahun.

Bakteri Penyebab Meningitis


Usia Paling sering Jarang
Neonates Streptococcus grup B Listeria monocytogenes
Escherichia coli Stafilokokus koagulase
Klebsiella negatif
Enterobacter Enterococcus faecalis
Citrobacter diversus
Salmonella
Pseudomonas aeruginosa
Haemophilus influenza tipe
a, b, c, d, e, f dan non
typable
>1 bulan Streptococcus pneumoniae H. influenza tipe b
Neisseria meningitidis Streptokokus grup A
Batang gram negatif
L. monocytogenes
Tabel 3. Bakteri Penyebab Meningitis

B. Virus
Meningitis aseptic adalah suatu kondisi dimana patogen bakterialnya tidak dapat
teridentifikasi. Berdasarkan penelitian, 1 dari 4 kasus meningitis aseptic, disebabkan
oleh virus. Meningitis virus pada umunya tidak menimbulkan gejala yang terlalu
berat dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan spesifik. Infeksi virus yang dapat
menyebabkan meningitis, adalah:
- Genus enterovirus (coxsackie-virus, echo-virus, rhino-virus, polio-virus)
- Virus mumps
- Varicella-zoster virus
- Haemophillus influenza
- Virus herpes simplex
- Virus Epstein-Barr
Dari seluruh etiologi virus yang insidensinya paling tinggi adalah enterovirus,
yang paling banyak menginfeksi anak berusia kurang dari 1 tahun. Dari sekian
banyak meningitis aseptic enterovirus, yang paling sering teridentifikasi sebagai
etiologi meningitis adalah coksackie-virus A9, B2, B4, dan echo-virus 6, 9, 11, 30.
Enterovirus ditransmisikan melalui jalur fekal-oral. Kasus meningitis enterovirus,
biasanya tidak disertai komplikasi apapun, bersifat jinak, dan jarang terdapat
sekuel.
Insidensi meningitis oleh virus herpes simplex juga cukup tinggi, dengan 75% di
antaranya disebabkan oleh HSV-2. Pada neonatus, biasanya bermanifestasi sebagai
lesi kulit lokal. Transmisinya dapat terjadi ketika bayi dilahirkan secara per
vaginam, melalui jalan lahir yang terinfeksi, ataupun infeksi asendes melalui
aseptic amnion yang utuh. Infeksi ini lebih sering terjadi pada bayi yang lahir dari
ibu yang menderita infeksi primer aktif (50%), dibandingkan dengan ibu yang
menderita herpes genital rekuren (5%).

2.5. Patogenesis
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui beberapa cara :

1. Aliran darah (hematogen) oleh karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsillitis,
endokarditis, pneumonia, dan infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan
kuman yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak.
2. Perluasan langsung dari infeksi (perkontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus cavernosus.
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, pungsi lumbal dan
mielokel.
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi oleh karena aspirasi cairan amnion yang terjadi
pada saat bayi melalui jalan lahir atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan
lahir dan infeksi bakteri secara transplacental.
Gambar 3. Patogenesis Meningitis

2.6 Patofisiologi

A. Meningitis Bakterial

Akhir – akhir ini ditemukan konsep baru mengenai patofisiologi meningitis bakterial,
yaitu suatu proses yang kompleks, komponen – komponen bakteri dan mediator inflamasi
berperan menimbulkan respons peradangan pada selaput otak (meningen) serta menyebabkan
perubahan fisiologis dalam otak berupa peningkatan tekanan intrakranial dan penurunan aliran
darah otak, yang dapat mengakibatkan timbulnya gejala sisa. Proses ini dimulai setelah ada
bakteriemia atau embolus septik, yang diikuti dengan masuknya bakteri ke dalam susunan saraf
pusat dengan jalan menembus rintangan darah otak melalui tempat – tempat yang lemah, yaitu di
mikrovaskular otak atau pleksus koroid yang merupakan media pertumbuhan yang baik bagi
bakteri karena mengandung kadar glukosa yang tinggi. Segera setelah bakteri berada dalam
cairan serebrospinal, maka bakteri tersebut memperbanyak diri dengan mudah dan cepat oleh
karena kurangnya pertahanan humoral dan aktivitas fagositosis dalam cairan serebrospinal
melalui sistem ventrikel ke seluruh ruang subaraknoid.

Bakteri pada waktu berkembang biak atau pada waktu mati (lisis) akan melepaskan
dinding sel atau komponen – komponen membran sel (endotoksin, teichoic acid) yang
menyebabkan kerusakan jaringan otak serta menimbulkan peradangan di selaput otak
(meningen) melalui beberapa mekanisme seperti dalam skema tersebut di bawah, sehingga
timbul meningitis. Bakteri Gram negative pada waktu lisis akan melepaskan
lipopolisakarida/endotoksin, dan kuman Gram positif akan melepaskan teichoic acid.

Gambar 4. Patofisiologi Meningitis Bakterial


Produk – produk aktif dari bakteri tersebut merangsang sel endotel dan makrofag di
susunan saraf pusat (sel astrosit dan microglia) memproduksi mediator inflamasi seperti
Interleukin – 1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF). Mediator inflamasi berperan dalam
proses awal dari beberapa mekanisme yang menyebabkan peningkatan tekanan intracranial, yang
selanjutnya mengakibatkan menurunnya aliran darah otak. Pada meningitis bacterial dapat juga
terjadi syndrome inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) diduga disebabkan oleh karena
proses peradangan akan meningkatkan pelepasan atau menyebabkan kebocoran vasopressin
endogen sistem supraoptikohipofise meskipun dalam keadaan hipoosmolar, dan SIADH ini
menyebabkan hipovolemia, oliguria dan peningkatan osmolaritas urine meskipun osmolaritas
serum menurun, sehingga timbul gejala-gejala water intoxication yaitu mengantuk, iritabel dan
kejang.

Edema otak yang berat juga menghasilkan pergeseran midline kearah kaudal dan terjepit
pada tentorial notch atau foramen magnum. Pergeseran ke kaudal ini menyebabkan herniasi dari
gyri parahippocampal, cerebellum, atau keduanya. Perubahan intrakranial ini secara klinis
menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran dan refleks postural. Pergeseran ke kaudal dari
batang otak menyebabkan lumpuhnya saraf kranial ketiga dan keenam. Jika tidak diobati,
perubahan ini akan menyebabkan dekortikasi atau deserebrasi dan dengan cepat dan progresif
menyebabkan henti nafas dan jantung.

Akibat peningkatan tekanan intrakranial adalah penurunan aliran darah otak yang juga
disebabkan karena penyumbatan pembuluh darah otak oleh trombus dan adanya penurunan
autoregulasi, terutama pada pasien yang mengalami kejang. Akibat lain adalah penurunan
tekanan perfusi serebral yang juga dapat disebabkan oleh karena penurunan tekanan darah
sistemik 60 mmHg sistole. Dalam keadaan ini otak mudah mengalami iskemia, penurunan
autoregulasi serebral dan vaskulopati. Kelainan – kelainan inilah yang menyebabkan kerusakan
pada sel saraf sehingga menimbulkan gejala sisa. Adanya gangguan aliran darah otak,
peningkatan tekanan intrakranial dan kandungan air di otak akan menyebabkan gangguan fungsi
metabolik yang menimbulkan ensefalopati toksik yaitu peningkatan kadar asam laktat dan
penurunan pH cairan srebrospinal dan asidosis jaringan yang disebabkan metabolisme anaerob,
keadaan ini menyebabkan penggunaan glukosa meningkat dan berakibat timbulnya
hipoglikorakia.
Ensefalopati pada meningitis bakterial dapat juga terjadi akibat hipoksia sistemik dan
demam. Kelainan utama yang terjadi pada meningitis bakterial adalah peradangan pada selaput
otak (meningen) yang disebabkan oleh bahan – bahan toksis bakteri. Peradangan selaput otak
akan menimbulkan rangsangan pada saraf sensoris, akibatnya terjadi refleks kontraksi otot – otot
tertentu untuk mengurangi rasa sakit, sehingga timbul tanda Kernig dan Brudzinksi serta kaku
kuduk. Manifestasi klinis lain yang timbul akibat peradangan selaput otak adalah mual, muntah,
iritabel, nafsu makan menurun dan sakit kepala. Gejala – gejala tersebut dapat juga disebabkan
karena peningkatan tekanan intracranial, dan bila disertai dnegan distorsi dari nerve roots, makan
timbul hiperestasi dan fotofobia.

Pada fase akut, bahan – bahan toksis bakteri mula – mula menimbulkan hiperemia
pembuluh darah selaput otak disertai migrasi neutrofil ke ruang subaraknoid, dan selanjutnya
merangsang timbulnya kongesti dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah hingga
mempermudah adesi sel fagosit dan sel polimorfonuklear, serta merangsang sel
polimorfonuklear untuk menembus endotel pembuluh darah melalui tight junction dan
selanjutnya memfagosit bakteri bakteri, sehingga terbentuk debris sel dan eksudat dalam ruang
subaraknoid yang cepat meluas dan cenderung terkumpul didaerah konveks otak tempat CSS
diabsorpsi oleh vili araknoid, di dasar sulkus dan fisura Sylvii serta sisterna basalis dan sekitar
serebelum.

Pada awal infeksi, eksudat hampir seluruhnya terisi sel PMN yang memfagosit bakteri,
secara berangsur-angsur sel PMN digantikan oleh sel limfosit, monosit dan histiosit yang
jumlahnya akan bertambah banyak dan pada saat ini terjadi eksudasi fibrinogen. Dalam minggu
ke-2 infeksi, mulai muncul sel fibroblas yang berperan dalam proses organisasi eksudat,
sehingga terbentuk jaringan fibrosis pada selaput otak yang menyebabkan perlekatan –
perlekatan. Bila perlekatan terjadi didaerah sisterna basalis, maka akan menimbulkan
hidrosefalus komunikan dan bila terjadi di aquaductus Sylvii, foramen Luschka dan Magendi
maka terjadi hidrosefalus obstruktif. Dalam waktu 48-72 jam pertama arteri subaraknoid juga
mengalami pembengkakan, proliferasi sel endotel dan infiltrasi neutrofil ke dalam lapisan
adventisia, sehingga timbul fokus nekrosis pada dinding arteri yang kadang-kadang
menyebabkan trombosis arteri. Proses yang sama terjadi di vena. Fokus nekrosis dan trombus
dapat menyebabkan oklusi total atau parsial pada lumen pembuluh darah, sehingga keadaan
tersebut menyebabkan aliran darah otak menurun, dan dapat menyebabkan terjadinya infark.
Infark vena dan arteri luas akan menyebabkan hemiplegia, dekortikasi atau deserebrasi,
buta kortikal, kejang dan koma. Kejang yang timbul selama beberapa hari pertama dirawat tidak
mempengaruhi prognosis, tetapi kejang yang sulit dikontrol, kejang menetap lebih dari 4 hari
dirawat dan kejang yang timbul pada hari pertama dirawat dengan penyakit yang sudah
berlangsung lama, serta kejang fokal akan menyebakan manifestasi sisa yang menetap. Kejang
fokal dan kejang yang berkepanjangan merupakan petunjuk adanya gangguan pembuluh darah
otak yang serius dan infark serebri, sedangkan kejang yang timbul sebelum dirawat sering
menyebabkan gangguan pendengaran atau tuli yang menetap.

Trombosis vena kecil di korteks akan menimbulkan nekrosis iskemik korteks serebri.
Kerusakan korteks serebri akibat oklusi pembuluh darah atau karena hipoksia, invasi kuman
akan mengakibatkan penurunan kesadaran, kejang fokal dang gangguan fungsi motorik berupa
paresis yang sering timbul pada hari ke 3-4, dan jarang timbul setelah minggu I-II; selain itu juga
menimbulkan gangguan sensorik dan fungsi intelek berupa retardasi mental dan gangguan
tingkah laku; gangguan fungsi intelek merupakan akibat kerusakan otak karena proses
infeksinya, syok dan hipoksia. Kerusakan langsung pada selaput otak dan vena di duramater atau
arakhnoid yang berupa trombophlebitis, robekan-robekan kecil dan perluasan infeksi araknoid
menyebabkan transudasi protein dengan berat molekul kecil ke dalam ruang subaraknoid dan
subdural sehingga timbul efusi subdural yang menimbulkan manifestasi neurologis fokal, demam
yang lama, kejang dan muntah.

Karena adanya vaskulitis maka permeabilitas sawar darah otak (blood brain barrier)
menyebabkan terjadinya edema sitotoksik, dan arena aliran CSS terganggu atau hidrosefalus
akan menyebabkan terjadinya edema interstitial.

Meskipun kuman jarang dapat dibiakkan dari jaringan otak, tetapi absorpsi dan penetrasi
toksin kuman dapat terjadi, sehingga menyebabkan edema otak dan vaskulitis; kelainan saraf
kranial pada meningitis bakterial disebabkan karena adanya peradangan lokal pada perineurium
dan menurunnya persediaan vaskular ke saraf cranial, terutama saraf VI, III dan IV, sedang
ataksia yang ringan, paralisis saraf kranial VI dan VII merupakan akibat infiltasi kuman ke
selaput otak di basal otak, sehingga menimbulkan kelainan batang otak.

Gangguan pendengaran yang timbul akibat perluasan peradangan ke mastoid, sehingga


timbul mastoiditis yang menyebabkan gangguan pendengaran tipe konduktif. Kelainan saraf
kranial II yang berupa papilitis dapat menyebabkan kebutaan tetapi dapat juga disebabkan karena
infark yang luas di korteks serebri, sehingga terjadi buta kortikal. Manifestasi neurologis fokal
yang timbul disebabkan oleh trombosis arteri dan vena di korteks serebri akibat edema dan
peradangan yang menyebabkan infark serebri, dan adanya manifestasi ini merupakan petunjuk
prognosis buruk, karena meninggalakan manifestasi sisa dan retardasi mental.

B. Meningitis Virus

Patogen virus dapat mencapai akses SSP melalui 2 jalur utama: hematogen atau neural.
Hematogen merupakan jalur tersering dari patogen viral yang diketahui. Penetrasi neural
menunjukkan penyebaran disepanjang saraf dan biasanya terbatas pada virus Herpes (HSV-1,
HSV-2, dan varicella zoster virus [VZV] B virus), dan kemungkinan beberapa enterovirus.

Pertahanan tubuh mencegah inokulum virus dari penyebab infeksi yang signifikan secara
klinis. Hal ini termasuk respon imun sistemik dan lokal, barier mukosa dan kulit, dan blood-brain
barrier (BBB). Virus bereplikasi pada sistem organ awal (seperti mukosa sistem respiratorius
atau gastrointestinal ) dan mencapai akses ke pembuluh darah. Viremia primer memperkenalkan
virus ke organ retikuloendotelial (hati, spleen dan kelenjar limfe / limfonodus) jika replikasinya
timbul disamping pertahanan imunologis, viremia sekunder dapat timbul, dimana dipikirkan
untuk bertanggung jawab dalam SSP. Replikasi viral cepat tampaknya memainkan peranan
dalam melawan pertahanan host.

Mekanisme sebenarnya dari penetrasi viral kedalam SSP tidak sepenuhnya dimengerti.
Virus dapat melewati BBB secara langsung pada level endotel kapiler atau melalui defek natural
(area post trauma dan tempat lainyang kurang BBB). Respon inflamasi terlihat dalam bentuk
pleositosis; leukosit polimorfonuklear (PMN) menyebabkan perbedaan jumlah sel pada 24-48
jam pertama, diikuti kemudian dengan penambahan jumlah monosit dan limfosit. Limfosit CSS
telah dikenali sebagai sel T, meskipun imunitas sel B juga merupakan pertahanan dalam
melawan beberapa virus.

Bukti menunjukkan bahwa beberapa virus dapat mencapai akses ke SSP dengan transport
retrograde sepanjang akar saraf. Sebagai contoh, jalur ensefalitis HSV-1 adalah melalui akar
saraf olfaktori atau trigeminal, dengan virus dibawa oleh serat olfaktori ke basal frontal dan
lobus temporal anterior.
Gambar 5. Patofisiologi Meningitis Virus

C. Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan


focus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru, namun Blockloch
menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenja limfe leher dan
1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari focus infeksi primer, basil masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional, dan dapat menimbulkan
infeksi berat berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastase yang
biasanya tenang.

Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951, yakni
bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak, selaput
otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer atau
selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul meningitis akibat
terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa
trauma atau factor imunologis. Basil kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau
ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi atau setelah periode laten
beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien yang sudah tersensitisasi,
maka masuknya basil ke ruang subarachnoid menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi peradangan ini mula-mula timbul di
sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian tampak jelas di selaput otak pada dasar otak dan
ependim. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa
paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena
tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal.. perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis
medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia.

Gambar 6. Patofisiologi Meningitis Tuberkulosis


2.7 Manifestasi Klinis

Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset demam yang mendadak,
sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga dapat mengeluhkan gejala lainnya seperti:

1. Gejala infeksi akut.


a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi,
sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan sebagai
diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
Gambar 7. Tanda Brudzinski Gambar 8. Tanda Kernig

Gambar 9. Manifestasi klinis pada bayi / neonatus

Gambar 10. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa


Meningitis Tuberkulosis

Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran miliar
sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.

1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala. Malaise,
snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak manifestasi
kelainan neurologis.

2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas menjadi
lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai menjadi kaku
dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan umumnya juga
terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan nistagmus. Sering
tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran lebih menurun hingga
timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial dan gerakan involunter
(tremor, koreoatetosis, hemibalismus).

3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak meninggal
tanpa kesadarannya pulih kembali. Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang
jelas antara satu dengan yang lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu
sebelum anak meninggal.
2.8 Diagnosis
A. Meningitis Bakterial

Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan tanda
saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya tanda
rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis TBC dan
meningitis aseptic. Hampir semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti meningitis hanya
dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi lumbal. Oleh karena itu
setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi lumbal.

Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini
dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan positif kuat.
Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar terdiri dari sel
polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan jumlah sel hanya ratusan permilimeter
kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan
sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang
pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium penyembuhan meningitis purulenta.
Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis
tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.

Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat ditemukan


kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman yang dapat dipercaya
hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman
pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi
ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to the left). Umumnya
terdapat anemia megaloblastik.

B. Meningitis Viral

Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat
menyebabkan penyakit ini. Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan
CSS dan perjalanan penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan penyebab
mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira, mikobakterium) agar kemungkinan
mikroorganisme penyebab lain dapat disingkirkan. Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti
uji tuberkulin, foto Rontgen thorak, mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat
menyingkirkan kemungkinan meningitis tuberkulosa.

C. Meningitis Tuberkulosis

Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam
CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto rontgen thorak dan
terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji tuberkulin
pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative), terutama dalam
stadium terminalis.

2.9 Diagnosis Banding


 Abses otak
 Encephalitis
 Herpes Simplex
 Herpes Simplex Encephalitis
 Neoplasma
 Kejang demam
 Subarachnoid Hemorrhage

2.10 Pemeriksaan Penunjang


a. Laboratorium darah : darah lengkap: HB, HT, LED, eritrosit, leukosit, elektrolit darah
dan kultur darah
b. Analisa CSS
 Kejernihan atau kekeruhan
 Tekanan
 Jumlah sel
 Glukosa
 Protein
 Neutrofil
c. Pewarnaan gram CSS
d. Kultur CSS
e. PCR
 Deteksi asam nukleat bakteri pada CSS, tidak dipengaruhi terapi antimikroba yang
telah diberikan
f. Pencitraan
 Foto rontgen kepala dan thorax
 CT scan kepala dengan kontras
 MRI kepala

Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal dilakukan untuk memperoleh liquor cerebrospinal, untuk nanti dianalisa
lebih lanjut. Hal ini cukup sering dilakukan untuk menegakkan etiologi meningitis.
Indikasi
1. Kejang atau twitching
2. Paresis atau paralisis termasuk paresis N.VI
3. Koma
4. Ubun-ubun besar membonjol
5. Kaku kuduk dengan kesadaran menurun
6. TBC milier
7. Leukemia
8. Mastoiditis kronik yang divurigai meningitis
9. Sepsis

Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal adalah pada syok, infeksi di daerah sekitar tempat pungsi,
tekanan intrakranial meninggi yang disebabkan oleh adanya proses desak ruang dalam otak
(space occupaying lesion) dan pada kelainan pembekuan yang belum diobati.
Komplikasi
Sakit kepala, infeksi, iritasi zat kimia terhadap selaput otak, bila penggunaan jarum pungsi tidak
kering, jarum patah, herniasi dan tertusuknya saraf oleh jarum pungsi karena penusukan tidak
tepat yaitu kearah lateral dan menembus saraf di ruang ekstradural.

Alat dan Bahan


1. Sarung tangan steril
2. Duk berlubang
3. Kassa steril, kapas, dan plester
4. Jarum pungsi lumbal no. 20 dan 22 beserta stylet
5. Antiseptik: povidon iodine dan alkohol 70%
6. Tabung reaksi untuk menampung cairan serebrospinal
Prosedur
1. Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik ke
arah lutut), ektremitas bawah fleksi maksimum (lutut ditarik ke arah dahi), dan sumbu
kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan tempat tidur.
2. Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebra L4 dan L5 yaitu dengan menemukan garis
potong sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika
anterior superior (SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5 atau
antara L2 dan L3 namun tidak boleh pada bayi.
3. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius 10 cm dengan larutan
povidon iodin diikuti dengan larutan alkohol 70% dan tutup dengan duk steril di mana daerah
pungsi lumbal dibiarkan terbuka.
4. Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan yang telah memakai sarung
tangan steril selama 15-30 detik yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
5. Tusukkan jarum spinal/stylet pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan jarum perlahan-
lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan mulut jarum terbuka ke atas
sampai menembus duramater. Jarak antara kulit dan ruang subarakhnoid berbeda pada tiap
anak tergantung umur dan keadaan gizi. Umumnya 1,5-2,5 cm pada bayi dan meningkat
menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm. (gambar di bawah ini.)
6. Lepaskan stylet perlahan-lahan dan cairan keluar. Untuk mendapatkan aliran cairan yang
lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk
pemeriksaan.
7. Cabut jarum dan tutup lubang tusukan dengan plester

Gambar 11. Lumbal Pungsi

Pengukuran Tekanan Cairan Serebrospinal


Hal pertama yang perlu dianalisis adalah tekanan dari liquor cerebrospinal. Ketika jarum
telah ditusukkan dan LCS telah mengalir keluar, manometer pengukur tekanan LCS
dihubungkan dengan pangkal jarum pungsi lumbar tersebut. LCS dibiarkan mengalir mengisi
manometer, dan tingginya cairan diukur dalam satuan millimeter air. Nilai normal tekanan LCS
adalah 50-200mm pada keadaan tenang. Peningkatan tekanan LCS dapat ditemukan pada anak
yang memberontak, menangis, dan batuk.

Pemeriksaan LCS
Biasanya pada LP yang berhasil LCS yang keluar ditampung dalam botol steril untuk
pemeriksaan lengkap. Cairan yang keluar diperhatikan kejernihan dan warnanya, kemudian
ditentukan adanya protein yang meninggi dengan menggunakan uji Pandy dan Nonne.
Pada uji Pandy, LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah diisi
dengan 1 ml carbolic acid. Bila kadar protein meninggi, akan didapatkan warna putih keruh pada
tabung reaksi tersebut. Sedangkan pada uji Nonne, 0.5 ml LCS diteteskan ke dalam tabung reaksi
yang sebelumnya diisi dengan 1 ml larutan ammonium-sulfat. Bila kadar protein meninggi,
didapati cincin putih pada perbatasan antara cairan ammonium-sulfat dan LCS tersebut.
Pada kesempatan selanjutnya ditentukan jumlah dan diferensiasi sel, kadar protein,
glukosa dan kuman dengan preparat langsung maupun kultur. Pada keadaan normal LCS
berwarna jernih seperti akuadest, tetapi pada neonatus bisa xantokrom.

A. Meningitis bakterial
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi :
 Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
 Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear, protein
200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat normal
dengan predominan limfosit.
 Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda peningkatan
tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan berhati-hati.
Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala peningkatan
tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga ada
komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.

B. Meningitis Viral
- Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
- Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda neurologis
abnormal untuk menyingkirkan lesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi
lumbal (LP). Kultur LCSD tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogendari
meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis bakteri dapat
timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal berikut ini merupakan
karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis meningitis viral:
 Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000x 109/L darah telah
dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan aturannya,
tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung sel biasanya
kemudian didominasi oleh limfosit pada pola LCS klasik meningitis viral. Hal ini
menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana mempunyai lebih
tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan sel; hal ini merupakan
bukan merupakan aturan yang absolute bagaimanapun.
 Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.
- Studi Pencitraan : Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat
termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan gadolinium. CT
scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi intrakranial. Scan contrast
harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan sepanjang mening dan untuk
menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema subdural, atau lesi lain. Secara
alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium dapat dilakukan. MRI dengan
contrast merupakan standar kriteria pada memvisualisasikan patologi intrakranial pada
encephalitis viral. HSV-1 lebih sering mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal
dengan gambaran sering lesi bilateral yang difus.
- Tes Lain : Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam24-48 jam harus
dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab meningitis. Dalam kasus ensefalitis
yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan visualisasi yang adekuat dari frontal
basal dan area temporal adalah diperlukan. EEG dapat dilakukan jika ensefalitis atau kejang
subklinis dicurigai pada pasien yang terganggu, Periodic lateralized epileptiform discharge
(PLEDs) seringkali terlihat pada ensefalitis herpetic.
- Prosedur : Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam mendiagnosis
meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu dan keparahan
penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan drainase ventricular atau
shunting.

C. Meningitis Tuberkulosis
- Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah. Leukosit
darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan hiponatremia
dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak adekuat.
- Pungsi lumbal :
 Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
 Jumlah sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.
 Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35 mg/dl,
rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
 Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
 Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan dapat
memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
- Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di
cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
- Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat menunjukkan
lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun hidrosefalus.
- Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
- Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
- Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan
perlambatan gelombang irama dasar.
Tabel 4. Gambaran Cairan Serebrospinal Pada Meningitis Berdasarkan Etiologinya

2.11 Tatalaksana
A. Meningitis Bakterial
Tatalaksana pada meningitis bacterial dapat mengikuti algoritma tatalaksana meningitis
bacterial pada gambar 13. Pada kasus kecurigaan meningitis bakterialis yang telah dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan kultur darah dapat dilanjutkan dengan terapi antibiotic yang
tepat dan terapi suportif.
Pengobatan pada kasus meningitis bakterial harus dilakukan sesegera mungkin karena
meningitis bakterialis merupakan kegawatdaruratan medic. Pemilihan antibiotic harus segara
dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan
laboratorik. Pemberian antibiotic empiric pada pasien meningitis bakterialis harus
berdasarkan epidemiologi lokal, usia pasien, dan adanya penyakit yang mendasari atau faktor
risiko penyerta. Pilihan antibiotic empirik yang sesuai dengan keadaan pasien dapat dilihat
pada tabel 5.
Antibiotic empiric bisa diganti dengan antibiotic yang lebih spesifik jika hasil kultur
sudah ada. Pandungan pemberian antibiotic spesifik dapat diliat pada tabel 6. Durasi terapi
antibiotic bergantung pada bakteri penyebab, keparahan penyakit dan jenis antibiotic yang
digunakan. WHO merekomendasikan terapi antibiotic paling sedikit selama 5 hari pada
situasi nonepidemik atau jika terjadi koma atau kejang yang bertahan selama lebih 24 jam.
Terapi suportif yang dapat dilakukan adalah seperti pemberian cairan untuk mencegah
gangguan elektrolit dan memastikan balans cairan berada pada level yang normal. Anak
harus menerima cairan cukup untuk menjaga output urin dan perfusi jaringan yang memadai,
serta menghindari dehidrasi.
Pada anak yang kejang, dapat diberikan terapi sesuai dengan tatalaksana kejang. Yaitu
pemberian diazepam 0,2-0,5 mg/kg BB secara intravena perlahan-lahan, apabila kejang
masih berlanjut, kembali berikan diazepam dengan dosis dan cara yang sama. Jika kejang
masih belum berhenti, berikan fenobarbital dengan dosis awal 10-20 mg/kg BB, secara
intramuskular, 24 jam kemudian, diberikan dosis maintenance 4-5 mg/kg BB h hari.
Terapi dexamethasone diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama
antibiotic dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas secara bermakna. Dexamethasone
dapat menurunkan respons inflamasi di ruang subaraknoid yang secara tak langsung dapat
menurukan risiko edema serebral, peningkatan tekanan intracranial, gangguan aliran darah
otak, vaskulitis, dan cedera neuron. Dexamethasone diberika selama 4 hari dengan dosis 10
mg setiap 6 jam secara intravena.
Agen etiologi dan penemuan klinis menjadi dasar dari lama pengobatan. Namun, pada
umumnya, lama pengobatan berkisar antara 10-21 hari. Pada beberapa kasus, perlu dilakukan
lumbal pungsi ulangan untuk memverifikasi apakah terapi yang telah diberikan, berjalan
sesuai dengan harapan atau tidak.
Gambar 12. Algoritma tatalaksana meningitis bakterialis

Tabel 5. Terapi antibiotic empiric pada meningitis bakterialis


Tabel 6. Terapi antibiotic spesifik pada meningitis bakterialis

B. Meningitis Viral

Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang diberikan cukup
terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak diindikasikan untuk rawat inap.
Pada pasien dengan defisiensi imunitas ataupun sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan
immunoglobulin intravena.

Bukti anekdotla mendukung pemberian asiklovir untuk bagian dari terapi meningitis
Herpes Simplex virus, Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus. Terapi ini biasanya
diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar dan pasien meningitis viral yang
memiliki gejala dan defisit neurologis yang berat. Selain asiklovir, dapat diberikan juga
famsiklovir, dan valasiklovir. Studi membuktikkan bahwa penggunaan ketiga golongan ini,
memiliki efektifitas yang sama-sama baik. Dosis asiklovir yang biasa digunakan adalah 10
mg/kg BB, diberikan setiap 8 jam. Hingga saat ini, belum ada rumusan pasti untuk penggunaan
famsiklovir, karena memang penggunaan obat ini masih jarang, tetapi, suatu studi menyimpulkan
bahwa dosis famsiklovir untuk anak-anak berkisar di 150-500 mg/hari. Untuk valaskilovir, dosis
yang direkomendasikan adalah 20mg / kg BB, 3x sehari, dengan dosis maximum adalah 1000mg
dalah 1 hari.
C. Meningitis Tuberkulosis

Berdasarkan rekomendasi Petunjuk Teknik Manajemen TB Anak Oleh Kemenkes RI Tahun


2013 diberikan 4 macam obat yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid ditambah etambutol atau
streptomisin selama 2 bulan dilanjutkan dengan pemberian isoniazid dan rifampisin selama 10
bulan.

Dasar pengobatan meningitis tuberkulosis adalah pemberian kombinasi obat anti-


tuberkulosa ditambah dengan kortikosteroid, pengobatan simptomatik bila terdapat kejang,
koreksi dehidrasi akibat masukan makanan yang kurang atau muntah-muntah dan fisioterapi.

Dosis obat anti-tuberkulosis (OAT) adalah sebagai berikut:

1. Isoniazid (INH) 5-10 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 300 mg/hari.


2. Rifampisin 10-20 mg/kgBB/hari dengan maksimum dosis 600 mg/hari.
3. Pirazinamid 20-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2000 mg/hari.
4. Etambutol 15-25 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 2500 mg/hari.
5. Streptomisin 15-40 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1000mg/hari
6. Prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu dilanjutkan dengan tappering off untuk
menghindari terjadinya rebound phenomenon.

2.12 Komplikasi
A. Kejang
Kejang merupakan komplikasi yang penting, sangat ditakutkan oleh keluarga
pasien, dan insidensinya cukup tinggi (hampir 1 dari 5 pasien). Kemungkinan kejang
lebih tinggi pada anak berusia kurang dari 1 tahun, mencapai 40%. Pada pasien yang
sampai di fase kejang ini, biasanya aka nada komplikasi neurologis yang sifatnya dapat
menjadi permanen.
B. Edema Serebral
Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus-kasus meningitis bakterial. Serta
merupakan penyebab kematian yang penting.
C. Kelumpuhan saraf kranial dan infark serebri
Kelumpuhan saraf kranial serta terganggunya aliran darah, merupakan sekunder
dari adanya peningkatan tekanan intrakranial. Pada beberapa kasus yang cuku parahm
pungsi lumbal mungkin diperlukan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Pada infark
serebri, terjadi pembengkakan sel endotel dan proliferasi ke dalam lumen pembuluh
darah, serta infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel inflamasi. Secara umum, infark
diakibatkan oleh thrombosis pembuluh darah, dengan vena lebih sering terkena
dibandingkan arteri.
D. Efusi Subdural
Pada setiap kasus meningitis, harus dipikarkan akan adanya kemunginan efusi
subdural, terutama pada kasus dengan demam terus menerus selama 72 jam, walaupun
telah diberikan pengobatan yang adekuat. Selain itu, pasien yang berpredileksi
mengalami komplikasi efusi subdural, biasanya mengeluhkan ubun-ubun yang besar dan
membenjol, timbul kelainan neurologis fokal, serta muntah proyektil. Selanjutnya efusi
subdural memiliki 3 kemungkinan, yaitu kering sendiri (bila jumlahnya sedikit), menetap
ataupun bertambah banyak, dan menjadi empyema. Pengobatan efusi subdural, masih
kontroversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural apabila terjadi penekanan jaringan
otak, demam yang menetap, dan penurunan kesadaran tanpa perbaikan. Jika setelah 2
minggu, tetap tidak kering, pasien perlu dikonsulkan ke bedah saraf, untuk mendapatkan
penanganan lebih lanjut.
E. Gangguan cairan dan elektrolit
Komplikasi ini paling sering ditemukan pada meningitis bakterial, kadang disertai
dengan hypervolemia, oliguria, gelisah, iritabel, dan kejang. Hal ini diakibatkan oleh
sekresi anti-diuretic hormone yang berlebihan. Oleh karena itu, harus dipastikan bahwa
dilakukan cek elektrolit yang rutin pada pasien meningitis.

2.13 Pencegahan

1. Pencegahan primer
Melakukan imunisasi yang tepat waktu dan sesuai jadwal adalah pencegahan terbaik
untuk meningitis akibat bakteri. Selain itu, pasien ataupun ibu pasien juga perlu dinasihati untuk
membiasakan hidup yang sehat (cukup istirahat dan kurangi kontak dengan penderita lain). Pada
ibu yang sedang hamil, risiko anaknya terkena meningitis oleh bakteri Listeria dapat dikurangi
dengan memasak daging hingga matang dan menghidari susu yang tidak terpasteurisasi
Berikut ini adalah beberapa vaksin untuk bakteri penyebab meningitis:

1. Neisseria meningitides
a. Direkomendasikan rutin untuk orang berusia 11-18 tahun dan anak yang
dinilai berisiko tinggi
2. Pneumococcal
a. Vaksin pneumococcus konjugasi, PCV7 (Prevnar®), yang diproduksi akhir
tahun 2000, merupakan vaksin pertama yang digunakan untuk anak-anak usia
kurang dari 2 tahun. PCV13 (Prevnar 13®), diproduksi awal tahun 2010,
menggantikan PCV7.
b. Vaksin pneumococcus sebagai pencegahan penyakit pada anak-anak usia 2
tahun atau lebih dan dewasa sudah digunakan sejak tahun 1977.
3. HiB
a. Vaksin Haemophillus influenza tipe B (Hib) mempunyai efektivitas yang
tinggi dalam mencegah terjadinya meningitis oleh bakteri Haemophillus
influenza tipe B.
b. Vaksin ini direkomendasikan untuk semua anak berusia kurang dari 5 tahun
4. Mycobacterium tuberculosis
a. Vaksin BCG dapat mengurangi faktor risiko terkenanya meningitis
tuberkulosis, hingga mencapai angka 64%
5. MMR (Measles dan Rubella)

Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung dengan
penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti
barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan
personal hygiene seperti mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih tanpa
gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan penyakit.
Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan pengobatan segera. Deteksi dini
juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala
awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-ray
(rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota keluarga
penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan penderita
secara dini.

3. Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini bertujuan
untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan membantu penderita untuk
melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang tidak diobati lagi, dan mengurangi
kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau
ketidakmampuan untuk belajar. Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan
mengurangi cacat.

2.14 Prognosis
Prognosis meningitis tergantung kepada umur, mikroorganisme spesifik yang
menimbulkan penyakit, banyaknya organisme dalam selaput otak, jenis meningitis dan lama
penyakit sebelum diberikan antibiotik. Penderita usia neonatus, anak-anak dan dewasa tua
mempunyai prognosis yang semakin jelek, yaitu dapat menimbulkan cacat berat dan kematian.
Pengobatan antibiotika yang adekuat dapat menurunkan mortalitas meningitis purulenta,
tetapi 50% dari penderita yang selamat akan mengalami sequelle (akibat sisa). Lima puluh
persen meningitis purulenta mengakibatkan kecacatan seperti ketulian, keterlambatan berbicara
dan gangguan perkembangan mental, dan 5 – 10% penderita mengalami kematian.
Penderita meningitis karena virus biasanya menunjukkan gejala klinis yang lebih
ringan, (Ibrahim & Katiandagho, 2018) (Meisadona, Soebroto, & Estiasari, 2015)penurunan
kesadaran jarang ditemukan. Meningitis viral memiliki prognosis yang jauh lebih baik. Sebagian
penderita sembuh dalam 1 – 2 minggu dan dengan pengobatan yang tepat penyembuhan total
bisa terjadi.
Pada meningitis Tuberkulosa, angka kecacatan dan kematian pada umumnya tinggi.
Prognosa jelek pada bayi dan orang tua. Angka kematian meningitis TBC dipengaruhi oleh umur
dan pada stadium berapa penderita mencari pengobatan. Penderita dapat meninggal dalam waktu
6-8 minggu.
BAB III

KESIMPULAN

Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput otak yaitu
meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu seperti pada usia yang
kurang dari 5 tahun atau lebih dari 60 tahun, kekebalan tubuh yang menurun, adanya penyakit
sistemik atau penyakit lain sebelumnya seperti tuberkulosis, mastoiditis dan sinusitis, atau
adanya riwayat kontak dengan penderita meningitis. Kejadian meningitis berhubungan dengan
suatu wilayah dan musim tertentu. Misalnya pada afrika ada suatu istilah yang disebut the
african meningitis belt, yang menunjukkan kecenderungan meningitis pada wilayah-wilayah
tertentu.

Meningitis terjadi karena berbagai penyebab, pada umumnya karena infeksi berbagai
macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi terbanyak adalah virus dan bakteri.
Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh dengan sendirinya, sementara meningitis karena
bakteri dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas yang lama akibat gejala sisa
neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Pembuatan diagnosis yang segera dan
manajemen terapi yang sesuai dapat menghentikan perjalanan penyakit dan mencegah timbulnya
komplikasi. Prognosis meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan penyakit, agen
penyebab infeksi dan respon pengobatan.

Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya meningitis (primer),
upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit dengan pengenalan dan pengobatan dini
(sekunder), dan untuk mengurangi komplikasi dan gejala sisa (tertier), sehingga diharapkan
pasien dapat tetap menjalani aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya pencegahan-
pencegahan ini dilakukan secara maksimal dalam ruang lingkup yang luas, kematian dan
kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan secara signifikan.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA
1. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Buku Ajar Neurologi Anak, Jakarta: BP IDAI;
1999
2. Ibrahim, A. M., & Katiandagho, T. R. (2018). Tatalaksana dan Pencegahan Meningitis
Meningokokus. Palu: CDK .
3. Meisadona, G., Soebroto, A. D., & Estiasari, R. (2015). Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. Jakarta: CDK .
4. Sitorus MS. Sistem ventrikel dan liquor cerebrospinal.
5. Lazoff M, Slabinski MS, Talaver F, Weiss EL, Halamka JD, Kulkarni L. Meningitis. Society
for Academic Emergency Medicine. USA: 2010.
6. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th edition. Philadelphia: Elsevier saunders;
2005
7. American Academy of Pediatrics. Meningococcal infections. In: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS, McMillan JA, eds. Red Book: 2006 Report of the Committee on Infectious
Diseases. 27th ed. Elk Grove Village, Ill: American Academy of Pediatrics; 2006: p.452–
560
8. Mann K, Jackson MA. Meningitis. Pediatr. Rev. 2008; 29: p.417-430.
9. Latief A, Napitupulu PM, Pudjiadi A, Ghazali MV, Putra ST. Dalam: Hassan R, Alatas H,
editor. Infeksi. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jilid kedua. Cetakan Kesebelas. Jakarta:
Percetakan Info Medika. 1985: h.549-659.
10. Muller ML, Jaimovich D, Windle ML, Domachowske J, Tolan RW Jr, Steele RW. Bacterial
Meningitis. University of New Mexico School of Medicine. USA: 2009.
11. Gray’s Anatomy. 2nd edition. Elsevier Saunder: 2009
12. Riordan FAI, Cant AJ. When to do a lumbar puncture. Arch Dis Child. 2002;87:p.235-237.
13. Quagliarello VJ, Scheld WM. In: Wood AJJ, editor. Treatment of Bacterial Meningitis. N
Eng J Med 1997; 336(10):p.708-716.
14. Kanra GY, Ozen H, Secmeer G, Ceyhan M, Ecevit Z, Belgin E. Beneficial effect of
Dexamethasone in Children with Pneumococcal Meningitis. Pediatr Infect Dis J 1995;
14:p.490-494.
15. Elmore JG, Horwitz RI, Quaglirello VJ. Acute meningitis with a negative Gram’s stain:
clinical and management outcome in 171 episodes. Am J Med 1996; 100:78-84.
16. Triant VA. Viral Meningitis. The Health Care of Homeless Persons – Part 1. p.175-180.
17. Vokshoor A, Wan C, Huff JS, Talavera F, Thomas FP, Lorenzo N. Viral Meningitis. St.
John’s Health Center. USA: 2009.
18. Lumongga F. Meninges dan Cerebrospinal Fluid. [homepage on the Internet]. 2007
19. Herbrandson C. Learning the Nervous System. [homepage on the Internet]. 1999
20. Quagliarello VJ, Scheld WM. Treatment of Bacterial Meningitis. The new England Journals
of Medicine [homepage on the Internet]. 2008
21. Razonable RR, dkk. Meningitis. Updated: Mar 29th, 2011. Tan TQ. Meningitis. In : Perkin
RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. Pediatric Hospital Medicine, textbook of inpatient
management. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins; 2003. h. 443-6.
22. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention.
23. Fenichel GM. Clinical Pediatric Neurology. 5th ed. Philadelphia : Elvesier saunders; 2005. h.
106-13.
24. Prober CG. Central Nervous System Infection. Dalam : Behrman, Kliegman, Jenson,
penyunting. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004. h.
2038-47.
25. Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis. May 11th, 2011.
26. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI; 1985. h.558-65, 628-9.
27. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid 1.
Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
28. Pusponegoro HD, dkk. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2004 : 200 – 208.
29. Cordia W,dkk. Meningitis Viral.

You might also like