Professional Documents
Culture Documents
Gerakan Islam Pra Kemerdekaan
Gerakan Islam Pra Kemerdekaan
Pada awal tahun 1803 kota Mekkah berhasil ditaklukkan oleh kaum
pembaharu Islam yang dikenal dengan sebutan kaum Wahabbi. Mereka
merupakan penganjur pembersihan Islan dari ketidakmurnian. Dalam sejarah
Islam, di masa-masa krisis sering terjadi gerakan besar kebangiktan kembali
kesadaran beragama. Gerakan ini biasanya ditandai dengan aspek politik dan
militer yang kuat serta didasarkan pada pembedaaan yang tegas. Berdasarkan
inspirasi yang diberikan oleh kaum Wahabi, para Haji yang baru pulang dari
Mekkah menyebarkan gagasan untuk melakukan pembaharuan Islam di kalangan
1 Christine Dobbin, Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847,
Jakarta: Komunitas Bambu, 2008, hal. 4.
2 Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, hal. 311
Gerakan Purifikasi
5El Fadl, Khaled Abou. 2005. SelamatkanIslam dari Muslim Puritan, Jakarta: Serambi, hal. 29
6Noer, Deliar , 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1990-1942 , Jakarta, LP3ES, hal. 32
Salafiyah sebagai aliran paham (mazhab) atau gerakan, muncul pada abad
ke-7 Hijriyah, yang dikembangkan oleh para ulama atau pengikut mazhab Hanbali
(Ahmad Ibn Hanbal), yang menghidupkan aqidah ulama Salaf dan berusaha
memerangi paham lainnya. Aliran ini dihidupkan dan dikembangkan dengan
pemikiran pembaruan oleh Syaikh al-Islam, Ibn Taimiyyah. Pada abad ke-12
pemikiran Salafiyah itu muncul dan dihidupkan kembali di jazirah Arab oleh
Muhammad Ibn Abdul Wahhab dengan pengikutnya kaum Wahabbi, yang
menyebarluaskan paham ini dengan berkerjasama dalam kekuasaan Ibn Saud di
jazirah Arab yang menampilkan gerakan yang sangat keras dan membangkitkan
amarah sebagian ulama.
7Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik Dan ‘Aqidah Dalam Islam, terjemahan Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Jakarta, Logos
8 Mengenai land rent system lihat Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda: Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa
1795-1880, Jakarta: Djambatan dan KITLV, 2004, hal. 57-61
9 Peter Carey, Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855), Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014,
hal. 90.
Masa baru Islam dimulai pada abad ke delapan belas yang ditandai dengan
munculnya gerakan Wahabi yang dipelopori oleh Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Tujuan gerakan ini adalah memurnikan agama Islam dari segala bentuk bid’ah.
Gerakan Wahabi ini merupakan gerakan reformisme yang bercorak lama. Gerakan
yang Wahabi ini berpengaruh kenegara yang mayoritas Islam seperti Mesir, Turki,
Iran, India dan Pakistan. Setelah Abdul Wahhab juga terdapat tokoh pembaharu
Islam seperti Jamaluddin al-Afgani, dan Muhammad Abduh. Gerakan pembaharu
yang mereka bawa juga berpengaruh di Indonesia. Dalam gerakan reformisme
sendiri memiliki beberapa kecenderungan yaitu:
Selaku penganut paham Pan Islam, tentu Syekh Ahmad Surkati bertahan
dengan Islamisme. Semaun berpendirian, hanya dengan komunisme lah Indonesia
bisa merdeka. Dua jam perdebatan berlangsung, tidak ditemukan titik temu.
Namun Syekh Ahmad Surkati ternyata menghargai positif pendirian Semaun.
“Saya suka sekali orang ini, karena keyakinannya yang kokoh dan jujur bahwa
hanya dengan komunisme lah tanah airnya dapat dimerdekakan!”Peristiwa ini
sekaligus membuktikan bahwa para pemimpin Al-Irsyad pada tahun 1922 sudah
berbicara masalah kemerdekaan Indonesia!. Seperti yang diajarkan Muhammad
Abduh di Mesir, Al-Irsyad mementingkan pelajaran Bahasa Arab sebagai alat
utama untuk memahami Islam dri sumber-sumber pokoknya. Dalam sekolah-
sekolah Al-Irsyad dikembangkan jalan pikiran anak-anak didik dengan
menekankan pengertian dan daya kritik. Tekanan pendidikan diletakkan pada
tauhid, fikih, dan sejarah.
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul
Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah kelompok Islam di
Indonesia yang bertujuan untuk pembentukan negara Islam di Indonesia. Ini
dimulai pada 7 Agustus 1942 oleh sekelompok milisi Muslim, dikoordinasikan oleh
seorang politisi Muslim radikal, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa
Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai sumber hukum yang valid. Gerakan
ini telah menghasilkan pecahan maupun cabang yang terbentang dari Jemaah
Islamiyah ke kelompok agama non-kekerasan.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru
saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada pada masa perang dengan tentara
Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar
negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam
Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya
dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah
Al Quran dan Sunnah". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas
menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang
berlandaskan syariat Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain
Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir".
Pergerakan
Setelah Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada 1962, gerakan ini
menjadi terpecah, namun tetap eksis secara diam-diam meskipun dinyatakan
sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah Indonesia.[4][5]
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan
di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak
melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI).
Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya
melakukan pendekatan damai kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan
untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat
berpura-pura menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri
dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya terpaksa
menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada
akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap
dan dihukum mati.[7][8][9]
16 Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, (Yogyakarta: LKIS,
2002), hal. 15
17 Faisal Ismail, Pijar-pijar Islam: Pergumulan Kultur dan Struktur, (Jakarta: Departemen Agama Proyek
Lebih dari itu, kebesaran Kyai Hasyim bukan hanya karena ia seorang ulama
yang teguh, tetapi juga seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa
kenal lelah mendidik santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang
bangsa untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Kyai
Hasyim bukan hanya melawan kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga
kolonialisme kultural.
Resolusi itu berisi seruan kepada umat Islam untuk membangkitkan perang
suci (jihad) dalam rangka mempertahankan kemerdekaan dengan mengusir
tentara Sekutu dan Belanda di belakangnya yang hendak kembali menjajah
Indonesia. Resolusi itu sendiri didasarkan atas fatwa Kyai Hasyim bahwa Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamasikan Soekarno-Hatta adalah
sah secara fikih.
Dengan demikian, Kyai Hasyim telah memberi status kepada NKRI sebagai
negara yang sah di mata hukum agama (fikih). Di samping seorang nasionalis,
Kyai Hasyim juga bukan sosok yang haus jabatan. Ia tidak pernah tergoda untuk
berpolitik praktis. Ketika diberi jabatan oleh Jepang sebagai Kepala Shumubu
(Kantor Urusan Agama), misalnya, jabatan itu ia serahkan kepada putranya, KH.
A. Wahid Hasyim. Jadi Kyai Hasyim hanya menjadi kepala secara de jure.
Demikian juga jabatan sebagai Ketua Masyumi. Semua urusan politik praktis
didelegasikan kepada putranya, sementara Kyai Hasyim sendiri tetap istiqamah
berdakwah dan menjadi guru di pesantren. Ia tidak pernah meninggalkan-apalagi
melalaikan-tugas utamanya sebagai kyai pesantren.
Dengan demikian, Kyai Hasyim melibatkan diri dalam urusan politik untuk
jangka waktu tertentu, sementara urusan politik praktis diserahkan kepada orang
lain yang pas di bidang itu. Ibarat seorang resi yang hanya turun dari padepokan
di atas gunung ketika situasi masyarakat sedang kacau dan membutuhkannya.
Kalau situasi sudah normal, sang resi akan kembali berkhalwat di padepokannya.
Demikian juga Kyai Hasyim. Ia hanya terjun ke dunia politik dalam situasi dan
alasan khusus. Selebihnya ia kembali ke pesantren mengabdikan hidupnya untuk
pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan umat.
Kelahiran Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926 silam sebenarnya tak bisa
dilepaskan dengan perkembangan kelompok Islam yang secara relatif berhaluan
pembaruan ke arah “yang disebut” pemurnian (purifikasi) ajaran Islam.
Ditambah lagi pada saat itu gerakan pembaruan Islam di Timur Tengah di
bawah pengaruh kuat ajaran Muhammad bin Abdul Wahab (Wahabi) dianggap
sudah kebablasan karena sudah sampai pada keinginan membongkar makam
Rasulullah SAW. Kalangan ulama Indonesia berhaluan Sunni akhirnya
membentuk komite (yang disebut Komite Hijaz) yang selanjutnya diutus khusus
untuk menemui Raja Fahd di Arab Saudi.
Dalam perjalanannya, karena watak reaktif itu pula NU kerap kali terjebak
pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para
tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah
politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis.
Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa
politik yang riil yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar kuat.
Periode akhir abad 18 dan awal abad 19 merupakan masa transisi dalam
sejarah dunia. Revolusi Perancis yang diikuti dengan revolusi industri telah
mengubah mengubah dunia dalam pengertian yang mendasar. Sejak itu tatanan
lama di dunia Barat mulai ditinggalkan dan gagasan-gagasan yang lebih memberi
peluang kebebasan kepada masyarakat semakin mengemuka. Efek kejut dari
perubahan-perubahan tersebut segera melanda kekuatankekuatan kolonial lama.
salah satu diantaranya adalah Belanda. Selama abad 17 dan 18 Belanda
merupakan salah satu kekuatan perdagangan dunia. VOC adalah salah satu
Begitu juga yang dilakukan KH. Hasyim Asy’ari sebagai pendiri NU dan
ulama terkemuka berpengaruh kuat pada sikap beragama umat Islam Indonesia.
Bahkan sampai saat ini pemikiran KH. Hasyim Asy’ari yang diformulasikan dalam
organisasi NU menjadi acuan dalam beragama. Berbagai lembaga pendidikan yang
didirikan seperti pesantren dan perguruan tinggi Islam merupakan tonggak
sejarah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama NU, yang hingga kini masih tetap eksis
dan terus berkembang.