Bab Ii Tinjauan Pustaka: 2.1 Rumah

You might also like

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah

Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang

layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya,

serta aset bagi pemiliknya (UU RI No. 1 Tahun 2011).

2.2 Rumah Sehat

Rumah sehat adalah bangunan rumah tinggal yang memenuhi syarat

kesehatan, yaitu memiliki jamban sehat, sarana air bersih, tempat pembuangan

sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi rumah yang baik, kepadatan hunian

rumah yang sesuai dan lantai rumah tidak terbuat dari tanah (Depkes, 2005).

Rumah yang tidak sehat dapat menjadi reservoir penyakit bagi seluruh

lingkungan, jika kondisi tidak sehat bukan hanya pada satu rumah tetapi pada

kumpulan rumah (lingkungan pemukiman). Timbulnya permasalahan kesehatan

dilingkungan pemukiman pada dasarnya disebabkan karena tingkat kemampuan

ekonomi yang rendah, karena rumah dibangun berdasarkan kemampuan penghuninya

(Notoatmodjo, 2007).

2.3 Komponen Rumah

Kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan factor

risiko terjadinya penyakit, khususnya penyakit berbasis lingkungan. Beberapa


penelitian menunjukkan bahwa kondisi rumah yang tidak sehat mempunyai hubungan

terhadap kejadian penyakit (Lestari, 2015).

Berdasarkan pedoman teknis penilaian rumah sehat Depkes RI (2007), salah

satu aspek rumah yang perlu dinilai adalah komponen rumah yang terdiri dari : langit-

langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela ruang keluarga dan ruang tamu,

ventilasi, dapur dan pencahayaan.

2.3.1 Langit-Langit

Langit-langit adalah sebuah penutup yang dipasang di bawah kerangka atap.

Pemasangan bahan material langit-langit seperti yang tercantum dalam kriteria

Rumah Sehat Sederhana (RSS) adalah triplek (Mukono, 2011).

Tujuan pemasangan langit-langit adalah:

1. Untuk menutup seluruh konstruksi atap dan kuda-kuda penyangga agar tidak

terlihat dari bawah, sehingga ruangan terlihat rapi dan bersih.

2. Untuk menahan debu kotoran lain yang jatuh dan juga menahan tetesan air

hujan yang menembus melalui celah-celah atap.

3. Untuk membuat ruangan antara yang berguna sebagai penyekat sehingga

panas atas tidak mudah menjalar kedalam ruangan dibawahnya.

Persyaratan langit-langit yang baik adalah:

a. Langit-langit harus dapat menahan debu dan kotoran lain yang jatuh dari atap.
b. Langit-langit harus menutup rata kerangka atap / kuda-kuda penyangga

dengan konstruksi bebas tikus.

c. Tinggi langit-langit sekurang-kurangnya 2,40 meter dari permukaan lantai.

2.3.2 Dinding

Dinding harus tegak lurus agar dapat memikul berat dinding sendiri dan beban

tekanan angin. Dan bila sebagai dinding pemikul harus dapat memikul beban

diatasnya. Dinding harus terpisah dari fondasi oleh lapisan kedap air agar air tanah

tidak meresap naik sehingga dinding terhindar dari basah, lembab dan tampak bersih

tidak berlumut (Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999).

Pemakaian tembok sebagai bangunan dinding rumah tergolong baik karena

tembok merupakan bahan material yang tidak mudah terbakar dan juga merupakan

bahan bangunan yang kokoh dan dapat melindungi dari panas dan dingin. Sedangkan

untuk bahan bangunan yang semi permanen dapat dilakukan kegiatan penambahan

semen pada pasangan bata atau batu yang belum diplester secara utuh karena salah

satu kriteria Rumah Sehat Sederhana (RSS) adalah berdinding batu bata dan diplester

(Mukono, 2011).

2.3.3 Lantai

Lantai merupakan alas atau penutup ruangan bagian bawah. Konstruksi lantai

rumah harus rapat air dan selalu kering agar mudah di bersihkan dari kotoran dan

debu. Selain itu dapat menghindari meningkatnya kelembaban dalam ruangan. Untuk

mencegah masuknya air ke dalam rumah, maka lantai rumah sebaiknya dinaikkan 20
cm dari permukaan tanah. Keadaan lantai rumah perlu dibuat dari bahan yang kedap

terhadap air sehingga lantai tidak menjadi lembab dan selalu basah seperti tegel,

semen, dan keramik (Suyono, 2005).

Jenis lantai rumah yang tidak memenuhi syarat, sulit dibersihkan, berdebu,

cenderung lembab dan gelap merupakan kondisi yang ideal bagi bakteri untuk tetap

hidup (Mahpudin dan Mahkota, 2007).

2.3.4 Ventilasi

Menurut Kepmenkes No. 829/Menkes/SK/VII/1999, ventilasi adalah proses

penyediaan udara segar ke dalam suatu ruangan dan pengeluaran udara kotor suatu

ruangan baik alamiah maupun secara buatan. Ventilasi yang lancer diperlukan untuk

menghindari pengaruh buruk yang dapat merugikan kesehatan.

Ventilasi yang baik dalam ruangan harus mempunyai syarat-syarat,

diantaranya :

a. Luas lubang ventilasi tetap, minimum 5% dari luas lantai ruangan. Sedangkan

luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimum 5%.

Jumlah keduanya menjadi 10% kali luas lantai ruangan.

b. Udara yang masuk harus udara bersih, tidak dicemari oleh asap kendaraan,

dari pabrik, sampah, debu dan lainnya.

c. Aliran udara diusahakan Cross Ventilation dengan menempatkan dua lubang

jendela berhadapan antara dua dinding ruangan sehingga proses aliran udara

lebih lancar.
Ventilasi udara berhubungan dengan pertukaran udara dari dalam ke luar

ruangan. Ketika seseorang berada di dalam ruangan terjadi peningkatan kelembaban

udara yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit atau karena pernafasan.

Pada kondisi tidak terjadi pertukaran udara secara baik maka akan terjadi peningkatan

jumlah dan konsentrasi kuman (Yusup dan Sulistyorini, 2005).

2.3.5 Pencahayaan

Pencahayaan alam atau buatan dapat menerangi seluruh bagian ruangan

minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan (Kepmenkes No.

829/Menkes/SK/VII/1999). Rumah harus cukup mendapatkan penerangan baik pada

siang maupun malam hari. Idealnya, penerangan didapat dengan bantuan listrik.

Setiap ruang diupayakan mendapat sinar matahari terutama di pagi hari (Chandra,

2007).

Menurut Azwar (1996), cahaya yang cukup kuat untuk penerangan di dalam

rumah merupakan kebutuhan manusia. Penerangan ini dapat diperoleh dengan

pengaturan cahaya alami dan cahaya buatan.

a. Pencahayaan alami

Penerangan alami diperoleh dengan masuknya sinar matahari ke dalam

ruangan melalui jendela, celah maupun bagian lain dari rumah yang terbuka, selain

untuk penerangan, sinar ini juga mengurangi kelembaban ruangan, mengusir nyamuk

atau serangga lainnya dan membunuh kuman penyebab penyakit tertentu. Suatu cara

sederhana menilai baik tidaknya penerangan alam yang terdapat dalam sebuah rumah
adalah: baik bila jelas membaca dengan huruf kecil, cukup bila samar-samar bila

membaca huruf kecil, kurang bila hanya huruf besar yang terbaca, dan buruk bila

sukar membaca huruf besar.

b. Pencahayaan buatan

Penerangan dengan menggunakan sumber cahaya buatan, seperti lampu

minyak tanah, listrik dan sebagainya. Untuk penerangan malam hari terutama untuk

ruang baca dan ruang kerja, penerangan minimal 150 lux yang setara dengan 40 watt

lampu pijar.

2.4 Sarana Sanitasi

Sanitasi adalah suatu usaha pencegahan penyakit yang menitikberatkan

kegiatan pada usaha kesehatan lingkungan hidup manusia (Widyati dan Yuliarsih,

2002).

Menurut Kepmenkes No 852/MENKES/SK/IX/2008 tentang strategi nasional

STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), sanitasi dasar rumah meliputi sarana

buang air besar, sarana pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga.

Ruang lingkup sanitasi dalam laporan Riskesdas (2013) meliputi penggunaan

fasilitas buang air besar (BAB), jenis tempat BAB, tempat pembuangan akhir tinja,

jenis tempat penampungan air limbah, jenis tempat penampungan sampah, dan cara

pengelolaan sampah. Penyediaan air bersih dan sanitasi lingkungan yang tidak

memenuhi syarat dapat menjadi faktor risiko terhadap penyakit diare dan kecacingan.
Diare merupakan penyebab kematian nomor 4 sedangkan kecacingan dapat

mengakibatkan produktifitas kerja menurun dan dapat menurunkan kecerdasan anak

sekolah (Chandra, 2007).

Ketersediaan sanitasi dasar seperti air bersih, pemanfaatan jamban,

pembuangan air limbah, pembuangan sampah, rumah dan lingkungan yang sehat

serta membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari

perlu dilakukan untuk mencegah meningkatnya kejadian penyakit berbasis

lingkungan, termasuk diare (Taosu dan Azizah, 2013).

Berdasarkan pedoman teknis penilaian rumah sehat Depkes RI (2007), salah

satu aspek rumah yang perlu dinilai adalah sarana sanitasi yang terdiri dari : sarana

air bersih, sarana pembuangan kotoran (jamban), sarana pembuangan air limbah

(SPAL), dan sarana pembuangan sampah (tempat sampah).

2.4.1 Sarana Air Bersih

Menurut Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990, air merupakan suatu

kebutuhan yang mendasar dan penting untuk kehidupan manusia. Air bersih adalah

air yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dengan kuantitas

dan kualitas yang memenuhi syarat kesehatan serta dapat digunakan sebagai air

minum apabila air tersebut sudah dimasak terlebih dahulu (Ginanjar, 2008).

Sarana air bersih dalam sanitasi dasar rumah tangga meliputi sumber

penyediaan air bersih, kuantitas, dan kualitas air bersih.


1. Sumber Penyediaan Air Bersih

Sumber penyediaan air bersih adalah sumber air yang dipergunakan untuk

memenuhi kebutuhan hidup masyarakat, yaitu untuk minum, mandi, dan mencuci

(Putri, 2008).

a. Sumur Gali (SGL)

Sumur gali adalah jenis sarana air bersih yang mengambil dan memanfaatkan

air tanah dengan cara menggali tanah menggunakan peralatan sampai mendapatkan

sumber air. Pengambilan air dapat menggunakan pompa tangan maupun pompa

mesin (Putri, 2008).

Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Jarak minimal dari sumber pencemar minimal 10 meter

2. Lantai kedap air, minimal 1 meter dari tepi/dinding sumur

3. Tidak retak/bocor

4. Tinggi bibir sumur 80 cm dari lantai dan kedap air

5. Tertutup rapat jika diambil dengan pompa listrik

b. Sumur Pompa Tangan (SPT)

Sumur pompa tangan adalah sarana air bersih yang mengambil atau

memanfaatkan air tanah dengan cara membuat lubang ditanah, menggunakan alat,

baik secara manual ataupun dengan alat bor mesin (Putri, 2008).
Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Jarak minimal dari sumber pencemar minimal 10 meter

2. Lantai kedap air, minimal 1 meter dari tepi/dinding sumur

3. Tidak retak/bocor

4. Tinggi bibir sumur 80 cm dari lantai dan kedap air

c. Perpipaan

Sarana perpipaan adalah bangunan beserta peralatan dan perlengkapannya

yang menghasilkan, menyediakan dan membagi air bersih untuk masyarakat melalui

jaringan perpipaan atau distribusi. Air yang dimanfaatkan adalah air tanah atau air

permukaan dengan pengolahan atau tanpa pengolahan (Putri, 2008).

Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Pipa yang terpasang tidak terendam air kotor

2. Angka kebocoran tidak lebih dari 5 %

3. Bak penampung harus rapat dan tidak tercemar

4. Pengambilan air menggunakan keran

d. Penampungan Air Hujan (PAH)

Penampungan air hujan adalah sarana air bersih yang memanfaatkan air hujan

untuk pengadaan air bersih (Putri, 2008).


Persyaratan teknis (Depkes RI, 2002):

1. Terdapat talang air

2. Terdapat bak penyaring

3. Terdapat saringan nyamuk agar tidak menjadi breeding place

4. Terdapat bak serapan dengan batu kerikil

e. Perlindungan mata air

Perlindungan mata air adalah suatu bangunan penangkap mata air yang

menampung atau menangkap air dari mata air. Mata air yang ditangkap tersebut

mempunyai debit paling sedikit 0,3 liter/detik (Putri, 2008).

2. Kuantitas dan Kualitas Air Bersih

Pemenuhan kebutuhan akan air bersih haruslah memenuhi dua syarat yaitu

kuantitas dan kualitas (Depkes RI, 2002).

a. Syarat Kuantitatif

Syarat kuantitatif adalah jumlah air yang dibutuhkan setiap hari tergantung

kepada aktifitas dan tingkat kebutuhan. Makin banyak aktifitas yang dilakukan maka

kebutuhan air akan semakin besar. Secara kuantitas di Indonesia diperkirakan

dibutuhkan air sebanyak 138,5 liter/orang/hari dengan perincian yaitu untuk mandi

cuci kakus 12 liter, minum 2 liter, cuci pakaian 10,7 liter, kebersihan rumah 31,4 liter,

taman 11,8 liter, cuci kendaraan 21,8 liter, wudhu 16,2 liter, lain-lain 33,3 liter

(Slamet, 2007).
b. Syarat Kualitatif

Menurut Permenkes No.416/Menkes/Per/IX/1990, air bersih adalah air yang

digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan

dan dapat diminum apabila telah dimasak.

Menurut Slamet (2009), air dikatakan bersih jika memenuhi 3 syarat utama,

antara lain :

1. Parameter Fisik Air

Persyaratan fisik adalah air yang tidak berbau, tidak berwarna, tidak keruh atau

jernih, dan dengan suhu di bawah suhu udara sehingga menimbulkan rasa nyaman.

2. Parameter Mikrobiologis

Air tidak boleh mengandung suatu mikroorganisme. Misal sebagai petunjuk

bahwa air telah dicemari oleh faces manusia adalah adanya E. coli karena bakteri ini

selalu terdapat dalam faces manusia baik yang sakit, maupun orang sehat serta relatif

lebih sukar dimatikan dengan pemanasan air.

3. Parameter Kimia

Air yang tidak tercemar secara berlebihan oleh zat kimia, terutama yang

berbahaya bagi kesehatan. Parameter kimia anorganik terdiri atas air raksa (Hg),

alumunium (Al), Arsen (As), barium (Ba), besi (Fe), flourida (F), kadmium (Cd),

kesadahan, khlorida, khromium, mangan, natrium, nitrat dan nitrit, perak, pH,

selenium, seng, sianida, sulfat, sulfida, tembaga, dan timbal.


2.4.2 Jamban (Sarana Pembuangan Kotoran)

Jamban adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan

mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat

tertentu dan tidak menjadi penyebab penyakit serta mengotori permukaan/lingkungan.

Jamban sebagai pembuangan kotoran manusia sangat erat kaitannya dengan kondisi

lingkungan dan risiko penularan penyakit (Sudasman, 2014).

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangankotoran

manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau

tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan

air untuk membersihkannya (Proverawati, 2012).

Menurut Irianto (2014), jamban dapat dibedakan atas beberapa macam, yaitu:

1. Cubluk (Pit – privy)

Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan

diameter 80-120 cm sedalam 2,5- 8 meter. Dindingnya diperkuat dengan batu bata,

dapat tembok agar tidak mudah ambruk. Lama penggunaannya antara 5-15 tahun.

Jika permukaan eksreta sudah mencapai 50 cm dari permukaan tanah, dianggap

cubluk sudah penuh. Cubluk penuh ditimbun dengan tanah. Tunggu 9- 12 bulan,

isinya digali kembali untuk pupuk, sedangkan lubangnya dapat digunakan kembali.

Sementara yang penuh ditimbun, untuk defekasi cubluk yang baru.


2. Cubluk berair (Aqua – privy)

Jamban ini terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai

tempat pembuangan eksreta. Proses pembusukan sama seperti halnya pembusukan

feses dalam air kali. Untuk jamban ini agar berfungsi dengan baik, perlu pemasukan

air setiap hari baik sedang dipergunakan atau tidak. Macam jamban ini hanya baik

dibuat di tempat yang banyak air. Jika airnya penuh, kelebihannya dapat dialirkan ke

sistem lain, misalnya sistem roil atau sumur resapan.

3. Watersealed latrine (Angsa – trine)

Jamban ini bukanlah merupakan tipe jamban tersendiri tapi hanya modifikasi

klosetnya saja. Pada jamban ini klosetnya berbentuk leher angsa sehingga akan selalu

terisi air. Fungsi air ini gunanya sebagai sumbat sehingga bau busuk dari jamban

tidak tercium di ruangan rumah jamban. Bila dipakai, fesesnya tertampung sebentar

dan bila disiram air, baru masuk ke bagian yang menurun untuk masuk ke tempat

penampungannya (pit).

4. Hole latrine

Jamban ini sama dengan jamban cubluk hanya ukurannya lebih kecil karena

untuk pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara.

Kerugiannya bila air permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah permukaan

(meluap).
5. Bucket latrine (Pail – closet)

Feses ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di

tempat lain, misalnya untuk penderita yang tidak dapat meninggalkan tempat tidur.

6. Trench latrine

Dibuat dalam tanah sedalam 30 – 40 cm untuk tempat defekasi. Tanah

galiannya dipakai untuk menimbunnya.Pembuangan tinja yang buruk sekali

berhubungan dengan kurangnya penyediaan air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya.

Jamban keluarga sehat adalah jamban yang memenuhi syarat-syarat sebagai

berikut : (Depkes RI, 2002).

1. Tidak mencemari sumber air minum, letak lubang penampungan berjarak

10 – 15 meter dari sumber air minum.

2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

3. Cukup luas dan landai/miring ke arah lubang jongkok agar tidak

mencemari tanah disekitarnya.

4. Mudah dibersihkan dan aman penggunaanya.

5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna

terang.

6. Cukup penerangan.

7. Lantai kedap air.

8. Ventilasi cukup baik

9. Tersedia air dan alat pembersih


Masing-masing keluarga seharusnya memiliki jamban pribadi. Sesuai dengan

penelitian Amaliah (2010), kepemilikan jamban sendiri mengurangi factor risiko

terkena diare.

2.4.3 Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL)

Menurut Ehless dan Steel, air limbah adalah cairan buangan yang berasal dari

rumah tangga, industri, dan tempat-tempat umum lainnya dan biasanya mengandung

bahan-bahan atau zat yang dapat membahayakan kehidupan manusia serta

mengganggu kelestarian lingkungan (Chandra,2007).

Air limbah rumah tangga berasal dari air bekas mandi, bekas cuci pakaian,

maupun cuci perabot, bahan makanan, dan sebagainya. Air ini sering disebut sullage

atau gray water yang banyak mengandung sabun atau deterjen dan mikroorganisme

penyebab berbagai penyakit. Salah satu penyebab penyakit dari mikroorganisme yang

ada pada air limbah yaitu penyakit diare. Mikroorganisme ini akan dibawa oleh

vektor atau serangga yang akan diinfeksikan kepada manusia melalui makanan dan

minuman. Untuk memutus mata rantai penyakit tersebut diperlukan saluran

pembuangan air limbah (SPAL) rumah tangga yang memenuhi syarat-syarat

kesehatan (Slamet, 2014).

Menurut Chandra (2007), saluran pembuangan air limbah (SPAL) yang

diterapkan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Tidak mengakibatkan kontaminasi terhadap sumber-sumber air minum

2. Tidak mengakibatkan pencemaran air permukaan


3. Tidak menimbulkan pencemaran pada flora dan fauna yang hidup

4. Tidak dihinggapi oleh vektor atau serangga yang menyebabkan penyakit

5. Tidak terbuka dan harus tertutup

6. Tidak menimbulkan bau atau aroma tidak sedap.

2.4.4 Sarana Pembuangan Sampah (Tempat Sampah)

Sampah adalah semua produk sisa sebagai akibat aktifitas manusia yang

dianggap sudah tidak bermanfaat dan dapat membahayakan kesehatan manusia,

sehingga perlu tempat sampah sebagai tempat penyimpanan sementara sebelum

sampah dibuang (dimusnahkan).

Menurut Irianto (2014), syarat tempat sampah adalah :

1. Terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan, kuat sehingga tidak mudah

bocor, kedap air.

2. Harus ditutup rapat sehingga tidak menarik serangga atau binatang-binatang

lainnya seperti tikus, kucing dan sebagainya.

Pengaruh sampah terhadap kesehatan dapat dikelompokkan menjadi efek

yang langsung dan tidak langsung. Yang dimaksud dengan efek langsung adalah efek

yang disebabkan karena kontak yang langsung dengan sampah tersebut. Misalnya,

sampah beracun, sampah yang korosif terhadap tubuh, yang karsinogenik,

teratogenik, dan lain-lain. Selain itu ada pula sampah yang mengandung kuman

patogen, sehingga dapat menimbulkan penyakit. Pengaruh tidak langsung dapat

dirasakan masyarakat akibat proses pembusukan, pembakaran, dan pembuangan


sampah. Efek tidak langsung lainnya berupa penyakit bawaan vektor yang

berkembang biak di dalam sampah. Sampah bila ditimbun sembarangan dapat dipakai

sarang lalat dan tikus. Dimana lalat adalah vektor berbagai penyakit perut, salah

satunya diare (Slamet, 2014).

2.5 Tuberkulosis Paru

2.5.1 Pengertian Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-

paru manusia. Sama dengan penyakit infeksi lainnya, tuberculosis disebabkan oleh

kuman Mycobacterium tuberculosis sehingga tuberkulosis bukan merupakan penyakit

keturunan dan dapat ditularkan dari seseorang terhadap yang lain. dahulu (Aditama,

1994).

Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit menular yang sampai saat

ini masih tinggi kasusnya di masyarakat. TB berdampak luas terhadap kualitas hidup

dan ekonomi bahkan mengancam keselamatan jiwa manusia. TB dapat diderita oleh

siapa saja, orang dewasa atau anak-anak dan dapat mengenai seluruh organ tubuh

kita, walaupun yang banyak diserang adalah organ paru (WHO, 2014).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya infeksi oleh Mycobacterium

tuberculosis adalah adanya sumber infeksi yaitu penderita dengan kasus terbuka atau

hewan yang menderita tuberkulosis (walaupun jarang ada), jumlah basil sebagai

penyebab infeksi harus cukup, virulensi yang tinggi dari basil tuberkulosis, dan daya
tahan tubuh yang menurun yang memungkinkan basil berkembang biak dan keadaan

ini menyebabkan timbulnya penyakit tuberculosis paru (Alsagaff dan Mukty, 2010).

Sebagian besar basil Mycobacterium tuberculosis masuk ke dalam jaringan

paru melalui airborene disease. Keadaan ini hanya berlangsung beberapa saat dan

akan berhenti bila jumlah kuman yang masuk sedikit dan telah terbentuk daya tahan

tubuh yang spesifik terhadap basil ini. Pada permulaan infeksi, basil tuberkulosis

masuk ke dalam tubuh yang belum mempunyai kekebalan, selanjutnya tubuh

mengadakan perlawanan dngan cara yang umum yaitu melalui infiltrasi sel-sel radang

ke jaringan tubuh yang mengandung tuberkulosis. Reaksi tubuh ini disebut reaksi non

spesifik (tahap pra-alergis) yang berlangsung kurang lebih 3-7 minggu. Setelah reaksi

radang non spesifik dilampaui, reaksi tubuhmemasuki tahap alergis yang berlangsung

kurang lebih 3-7 minggu (Alsagaff dan Mukty, 2010).

Penularan yang sering terjadi ialah melalui saluran pernapasan yang dikenal

sebagai droplet infection, dimana basil tuberkulosis dapat masuk sampai ke alveol.

Penularan lebih mudah terjadi bila ada hubungan yang erat dan lama dengan

penderita tuberkulosis paru aktif, yakni golongan penderita yang lebih dikenal

sebagai open case. Bentuk penularan lain adalah melalui debu yang beterbangan di

udara yang mengandung basil tuberkulosis (Alsagaff dan Mukty, 2010).

Keluhan yang paling sering dirasakan penderita biasanya memang adalah

batuk yang berdahak. Keluhan ini biasanya berlangsung beberapa minggu. Karena itu

banyak negara termasuk Indonesia yang menganjurkan warganya supaya segera


memeriksakan dahaknya karena terdapat kemungkinan tuberkulosis bila seseorang

batuk berdahak lebih dari 2 atau 3 minggu. Selain batuk berdahak, batuk darah juga

sering dijumpai pada penderita tuberkulosis (Aditama, 1994).

2.6 Perilaku penghuni

Notoatmodjo (2003), perilaku dipandang dari segi biologis adalah suatu

kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Jadi, perilaku manusia pada

hakekatnya adalah suatu aktivitas dari pada manusia itu sendiri. Perilaku dan gejala

yang tampak pada organisme tersebut dipengaruhi baik oleh faktor genetik

(keturunan) dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan faktor genetik dan

lingkungan merupakan penentu dari perilaku mahluk hidup termasuk dari manusia.

Hereditas atau faktor keturunan adalah merupakan konsepsi dasar atau modal untuk

perkembangan perilaku mahluk hidup itu untuk selanjutnya. Sedangkan faktor

lingkungan adalah merupakan kondisi atau merupakan lahan untuk perkembangan

perilaku tersebut.

Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta

interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan,

sikap dan tindakan. Perilaku merupakan respon atau reaksi individu terhadap stimulus

yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Respon ini bersifat pasif (tanpa

tindakan) maupun aktif (disertai tindakan) (Sarwono, 2003).


1) Bentuk Perilaku

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respon organisme atau

seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek. Respon ini dibedakan

menjadi 2 (dua):

a) Perilaku tertutup (covert bahavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup

(covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian,

persepsi, pengetahuan/kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang memerima

stimulus tersebut danbelum dapat diamati secara jelas oleh orang lain.

b) Perilaku terbuka (overt behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau

terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam tindakan atau praktek,

yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut

overt behavior, tindakan nyata atau praktek (practice) misal, seorang ibu memeriksa

kehamilannya atau membawa anaknya ke puskesmas untuk diimunisasi.

Berdasarkan batasan perilaku dari Skiner tersebut, maka perilaku kesehatan

adalah suatu respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan

sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, minuman, serta

lingkungan. Dari batasan ini, perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3

kelompok. Perilaku pemeliharaan kesehatan (health maintanance) Adalah perilaku

atau usaha - usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak

sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit. Oleh sebab itu perilaku

pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3 aspek.


(1) Perilaku pencegahan penyakit, dan penyembuhan penyakit bila sakit, serta

pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit.

(2) Perilaku peningkatan kesehatan, apabila seseorang dalam keadaan sehat. Perlu

dijelaskan disini, bahwa kesehatan itu sangat dinamis dan relatif, maka dari

itu orang yang sehat pun perlu diupayakan supaya mencapai tingkat kesehatan

yang seoptimal mungkin.

(3) Perilaku gizi (makanan dan minuman). Makanan dan minuman dapat

memelihara dan meningkatkan kesehatan seseorang, tetapi sebaliknya

makanan dan minuman dapat menjadi penyebab menurunnya kesehatan

seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit. Hal ini sangat tergantung

pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut.

(4) Perilaku pencarian dan penggunaan sistem atau fasilitas pelayanan kesehatan

atau disebut perilaku pencarian pengobatan (health seeking behavior).

(5) Perilaku kesehatan lingkungan adalah bagaimana seseorang merespons

lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial budaya, dan sebagainya,

sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya. Misalnya:

bagaimana mengelola pembuangan tinja, air minum, tempat sampah,

pembuangan limbah, dan sebagainya (Tarigan, 2010).

Menurut Adriyani (2010) perilaku yang dinilai dalam rumah sehat antara lain:

membuka jendela kamar tidur, membuka jendela ruang keluarga, membersihkan

rumah dan halaman, membuang tinja balita ke jamban, membuang sampah pada

tempat sampah, kebiasaan merokok, penggunaan obat nyamuk.


2.6 Kerangka Konsep

Penilaian Rumah
Sehat

1. Komponen Kepmenkes RI No.


Rumah 829/Menkes/SK/VII Penyakit TB Paru
2. Sarana /1999
Sanitasi
3. Perilaku
Penghuni

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian Penilaian Rumah Sehat

You might also like