Professional Documents
Culture Documents
Congestive Heart Failure
Congestive Heart Failure
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan berkat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“Congestive Heart Failure”.
Penulisan laporan kasus ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Kardiologi dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pimpinan sidang, dr.
Yuke Sarastri,Sp.JP yang telah meluangkan waktunya dan memberikan banyak masukan
dalam penyusunan laporan kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik
dari segi isi maupun susunan bahasanya. Maka dari itu, penulis mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga
makalah laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR SINGKATAN
iii
NYHA = New York Heart Association
PERKI = Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
PND = Paroxysmal Nocturnal Dyspnea
RAAS = Renin-Angiotensin Aldosteron System
STEMI = ST-Elevation Myocardial Infarct
SV = Stroke Volume
TNF-α = Tumor Necrosis Factor α
TPR = Total Peripheral Resistance
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
hanya terdapat sedikit gambaran klinis pada tahap awal penyakit.6 Oleh karena itu, selain
anamnesis dan pemeriksaan fisik, diagnosis gagal jantung juga berdasarkan pada pemeriksaan
penunjang seperti foto toraks, elektrokardiografi, ekokardiografi, dan kateterisasi.9 Ketika
gagal jantung memiliki manifestasi berupa gejala perfusi jaringan yang buruk (seperti
kelelahan, penurunan toleransi aktifitas fisik, kebingungan) atau gejala perfusi jaringan yang
buruk yang disertai dengan gejala pembendungan pembuluh darah (seperti sesak nafas, ronki,
efusi pleura, edema paru, pelebaran vena jugularis di leher, bendungan pembuluh darah di
hati, edema perifer), maka istilah gagal jantung yang digunakan dalam hal ini adalah gagal
jantung kongestif dan untuk menegakkan Diagnosisnya harus memenuhi kriteria
Framingham.8
Kemajuan terbaru telah membuat pengenalan awal dari gagal jantung menjadi
semakin lebih penting sebagaimana pada terapi obat yang modern yang memiliki potensi
untuk memperbaiki gejala dan meningkatkan kualitas hidup, mengurangi angka kejadian
masuk ke rumah sakit, memperlambat laju progresifitas penyakit, dan meningkatkan
kelangsungan hidup. Selain itu, revaskularisasi koroner dan operasi katup jantung sekarang
rutin dilakukan, bahkan pada pasien usia lanjut.2
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk memahami tinjauan ilmu teoretis
penyakit gagal jantung dan mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap
Gagal jantung serta melakukan penatalaksanaan yang tepat, cepat, dan akurat sehingga
mendapatkan prognosis yang baik.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Menurut ESC (2012), gagal jantung dapat didefinisikan sebagai suatu kelainan
struktur atau fungsi jantung yang mengarah kepada kegagalan jantung untuk membawa
oksigen pada tingkat yang setara dengan kebutuhan metabolisme jaringan, meskipun tekanan
isian normal (atau hanya pada pengeluaran dari peningkatan tekanan isian).9
Sedangkan, menurut Manurung dan Muhadi (2014) dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, gagal jantung atau heart failure adalah suatu sindrom klinis kompleks, yang didasari
oleh ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara
adekuat, akibat adanya gangguan struktural atau fungsional dari jantung (Tabel 2.1.).11
Dan yang terbaru, menurut ESC (2016), gagal jantung adalah suatu sindrom klinis
yang ditandai dengan gejala khas (seperti sesak nafas, edema pergelangan kaki, dan
kelelahan) yang dapat disertai dengan tanda-tanda gagal jantung (peningkatan tekanan vena
jugularis, ronki paru, and edema perifer) yang disebabkan oleh abnormalitas struktural
dan/atau fungsional jantung, yang mengakibatkan penurunan curah jantung (cardiac output)
dan/atau peningkatan tekanan intrakardiak saat istirahat atau selama stres. Gagal jantung
kongestif adalah istilah yang kadang-kadang dipakai untuk menyebutkan gagal jantung akut
atau kronik yang disertai dengan bukti adanya kelebihan cairan (volume overload).10
3
2.2. Epidemiologi
Secara keseluruhan, prevalensi gagal jantung adalah 3-20 per 1.000 populasi,
meskipun jumlah ini melebihi 100 per 1.000 pada mereka yang berusia 65 tahun dan lebih.
Insidensi gagal jantung tahunan adalah 1-5 per 1.000 populasi, dan insidensi relatif meningkat
dua kali lipat untuk setiap dekade kehidupan setelah usia 45 tahun.6
Menurut ESC (2016), prevalensi gagal jantung adalah kira-kira 1–2% dari populasi
dewasa di negara berkembang dan mengalami peningkatan mencapai ≥10% di antara orang-
orang yang berusia >70 tahun. Resiko gagal jantung pada usia 55 tahun adalah 33% untuk
pria dan 28% untuk wanita.10 Proporsi pasien dengan Heart Failure preserved Ejection
Fraction (HFpEF) berkisar dari 22% sampai 73%. HFpEF dan Heart Failure reduced
Ejection Fraction (HFrEF) mempunyai profil epidemiologi dan etiologi yang berbeda.
Dibandingkan dengan HFrEF, pasien dengan HFpEF berusia lebih tua, lebih sering pada
wanita dan biasanya mempunyai riwayat hipertensi dan atrial fibrilasi, dimana riwayat
Myocardial Infarction jarang dijumpai. Karakteristik dari pasien dengan Heart Failure mid-
range Ejection Fraction (HFmrEF) berada diantara HFrEF dan HFpEF, tetapi butuh
penelitian lebih lanjut mengenai karakteristik pada populasi ini.10
Di Eropa, kejadian gagal jantung berkisar 0,4-2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Ramalan dari gagal jantung akan jelek bila dasar atau
penyebabnya tidak dapat diperbaiki. Setengah dari populasi pasien gagal jantung akan
meninggal dalam 4 tahun sejak diagnosis ditegakkan dan pada keadaan gagal jantung berat
lebih dari 50% akan meninggal dalam tahun pertama.13
Selama tahun 1980-an, studi Framingham melaporkan bahwa usia mempengaruhi
prevalensi gagal jantung keseluruhan dengan angka yang hampir sama untuk pria dan wanita.
Prevalensi meningkat secara drastis seiring dengan bertambahnya usia dengan peningkatan
kira-kira sebanyak dua kali lipat dari prevalensi gagal jantung pada setiap dekade penuaan.
Selain itu, data Framingham menunjukkan insidensi gagal jantung tahunan adalah 0,14%
pada wanita dan 0,23% pada pria. Ketahanan hidup pada wanita secara umum lebih baik
dibandingkan dengan perempuan yang mengarah kepada titik angka prevalensi yang sama.
Terdapat peningkatan kira-kira sebanyak dua kali lipat dalam insidensi gagal jantung pada
setiap dekade penuaan yang mencapai 3% pada mereka yang berusia 85-94 tahun.6
4
Tabel 2.2. Prevalensi Gagal Jantung per 1.000 Populasi pada Studi Framingham6
Usia Pria Wanita
50-59 8 8
80-89 66 79
Semua usia 7,4 7,7
Tabel 2.3. Insidensi Gagal Jantung Tahunan per 1.000 Populasi pada Studi
Framingham6
Usia Pria Wanita
50-59 3 2
80-89 27 22
Semua usia 2,3 1,4
2.3. Etiologi
Etiologi gagal jantung berbeda-beda pada setiap wilayah di dunia. Saat ini tidak
terdapat sistem klasifikasi yang disetujui untuk penybab gagal jantung, dengan banyak
tumpang tindih di antara kategori yang potensial (Tabel 2.2.). Banyak pasien akan sudah
memiliki beberapa penyakit yang berbeda, baik yang kardiovaskular maupun
nonkardiovaskular, yang bersamaan dapat menyebabkan gagal jantung. Identifikasi pada
penyakit yang berbeda ini harus menjadi bagian dari pemeriksaan diagnostik, sebagaimana
hal ini dapat menentukan keuntungan terapi yang spesifik.12
Penyebab dari gagal jantung antara lain disfungsi miokard, endokard, perikard,
pembuluh darah besar, aritmia, kelainan katup, dan gangguan irama. Di Eropa dan Amerika,
disfungsi miokard paling sering terjadi akibat penyakit jantung koroner, biasanya akibat
infark miokard, yang merupakan penyebab paling sering pada usia kurang dari 75 tahun,
disusul hipertensi dan diabetes. Sedangkan, di Indonesia belum ada data yang pasti,
sementara data rumah sakit di Palembang menunjukkan hipertensi sebagai penyebab
terbanyak, disusul penyakit jantung koroner dan katup.13
5
Tabel 2.4. Etiologi Gagal Jantung10
DISEASE MYOCARDIUM
Myocardial scar
Myocardial stunning/hibernation
Ischemic heart
Epicardial coronary artery disease
disesase
Abnormal coronary microcirculation
Endothelial dysfunction
Recreational substance Alcohol, coccaine, amphetamine, anabolic
abuse steroids
Heavy metals Copper, iron, lead, cobalt
Cytostatic drugs (e.g.anthracyclines),
immunomodulating drugs (e.g. interferons
Toxic damage
monoclonal antibodies such as trastuzumab,
Medications
cetuximab), antidepresant drugs,
antiarrhytmics, non-steroidal anti-
inflammatory drugs, anasthetics.
Radiation
Bacteria, spirochaetes, fungi, protozoa,
Related to infection parasites (Chagas disease), rickettsiae, viruses
(HIV/AIDS).
Immune-
Lymphocytic/giant cell myocarditis,
mediated and
autoimmune disease (e.g. Graves’ disease,
inflammatory
rheumatoid arthirits, connective tissue
damage Not related to infection
disorders, mainly systemic lupus
erythematous), hypersensitivity and
eosinophilic myocarditis (Churg-Strauss).
Related to malignancy Direct infiltration and metastases.
Amyloidosis, sarcoidosis, haemochromatosis
Infiltration Not related to (iron), glycogen storage disease (e.g. Pompe
malignancy disease), lysosomal storage disease (e.g.
Fabry disease).
Metabolic Thyroid diseases, parathyroid diseases,
Hormonal
derangements acromegaly, GH deficiency,
6
hypercortisolemia, Conn’s disease, Addison
disesase, diabetes, metabolic syndrome,
phaechromocytoma, pathologies related to
pregnancy and peripartum
Deficiencies in thiamine, L-carnitine,
selenium, iron, phosphates, calcium, complex
Nutritional
malnutrition (e.g. malignancy, AIDS,
anorexia nervosa), obesity.
HMC, DCM, LV non compaction, ARVC,
Diverse forms restrictive cardiomyopathy, muscular
dystrophies and laminopathies.
HCM, DCM, LV non-compaction, ARVC,
Genetic
Diverse forms restrictive cardiomyopathy, muscular
abnormalities
dystrophies and laminopathies.
ABNORMAL LOADING CONDITIONS
Hypertension
Mitral, aortic, tricuspid and pulmonary valve
Valve and Acquierd
disease
myocardium
Atrial ad ventricular septum defects and
structural defects Congenital
others
Pericardial and Constrictive pericarditis
Pericardial
endomyocardial Pericardial effusion
pathologies Endomyocardial HES, EMF, endocardial fibroelastosis.
High output Severe anemia, sepsis, thyrotoxicosis, Paget’s
states disease, ateriovenous fistula, pregnancy
Volume overload Renal failure, iatrogenic fluid overload.
ARRHYTHMIAS
Tachyarrhythmias Atrial, ventricular arrhytmias.
Sinus node dysfunctions, conduction
Bradyarrhytmias
disorders.
7
Gambar 2.1. Etiologi Gagal Jantung1
8
2.5. Klasifikasi
Klasifikasi yang digunakanuntuk gagal jantung ada 2 jenis, yaitu klasifikasi NYHA
dan klasifikasi ACC/AHA. Untuk menilai derajat gangguan kapasitas fungsional dari gagal
jantung, pertama kali diperkenalkan oleh New York Heart Associtaion (NYHA) tahun 1994,
yang membagi gagal jantung menjadi 4 klasifikasi, dari kelas 1 sampai kelas 4 tergantung
dari tingkat aktivitas dan timbulnya keluhan, misalnya sesak sudah timbul saat istirahat
menjadi kelas 4, sesak timbul pada aktivitas ringan kelas 3, sesak timbul saat aktivitas sedang
menjadi kelas 2, sedangkan kelas 1 sesak timbul saat beraktivitas berlebih (Tabel 2.5).
Klasifikasi menurut NYHA lebih banyak atau pada umumnya berdasarkan keluhan
subjektif.10
Tabel 2.5. Klasifikasi Fungsional NYHA berdasarkan pada Beratnya Gejala dan
Aktivitas Fisik9
Tidak terdapat batasan dalam melakukan aktifitas fisik. Aktifitas fisik
Kelas I
sehari-hari tidak menimbulkan kelelahan, palpitasi atau sesak nafas.
Terdapat batasan aktifitas ringan. Tidak terdapat keluhan saat istirahat,
Kelas II namun aktifitas fisik sehari-hari menimbulkan kelelahan, palpitasi atau
sesak nafas.
Terdapat batasan aktifitas bermakna. Tidak terdapat keluhan saat
Kelas III istirahat, tetapi aktifitas fisik ringan menyebabkan kelelahan, palpitasi
atau sesak nafas.
Tidak dapat melakukan aktifitas fisik tanpa keluhan. Terdapat gejala
Kelas IV
saat istirahat. Keluhan meningkat saat melakukan aktifitas.
9
faktor-faktor resiko gagal jantung seperti pada stage A dan sudah terdapat kelainan struktural,
LVH, kardiomegali dengan atau tanpa gangguan fungsional, namun bersifat asimtomatik.
Stage C, sedang dalam dekompensasi dan atau pernah gagal jantung, yang didasari oleh
kelainan struktural dari jantung. Stage D adalah yang benar-benar masuk ke dalam gagal
jantung refraktori, dan perlu tatalaksana khusus.10
2.6. Patofisiologi
2.6.1. Fisiologi Jantung yang Normal
Jumlah darah yang dipompa oleh jantung lebih dari yang periode waktu yang
diberikan dikenali sebagai cardiac output (CO), yang merupakan hasil produk dari heart rate
(HR) dan stroke volume (SV) dan biasanya sekitar 4–8 L/menit. Selain itu, faktor lain seperti
sinergitas kontraksi ventrikel, integritas dinding ventrikel, dan kompetensi katup semua
mempengaruhi cardiac output.14
SV didefinisikan sebagai jumlah darah yang dikeluarkan olehventrikel per detak
jantung, dan biasanya 1 cc/kgBB atau sekitar 60-100 cc. SV dipengaruhi oleh tiga faktor
utama: preload, yang merupakan jumlah serat miokard yang meregang pada akhir diastol;
afterload, yang merupakan perlawananyang harus diatasi agar ventrikel untuk mengeluarkan
darah;dan kontraktilitas, yang merupakan tempat inotropik jantung independen dari preload
atau afterload tersebut.14
10
Gambar 2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi CO14
11
sementara waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan
meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan ini tidak segera
teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan hipertrofi dilatasi jantung akan lebih
menambah beban jantung sehingga terjadi gagal jantung yang tidak terkompensasi.1
Dilatasi ventrikel menyebabkan disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan
retensi cairan meningkatkan volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien
secara mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada penyakit
koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas. Selain itu, kekakuan
ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi ventrikel. Pada gagal jantung kongestif
terjadi stagnasi aliran darah, embolisasi sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel
refrakter. Disamping itu, keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF
akan menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik miokard dengan
komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi listrik jantung. Beberapa data menyebutkan
bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukkan peningkatan presentase kematian
jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel dan fibrilasi ventrikel menurun. WHO
menyebutkan kematian jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis
jantung, seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik (emboli
pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas. Mekanisme yang mendasari gagal
jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah
jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan
dengan persamaan CO = HR x SV. Curah jantung yang berkurang mengakibatkan sistem saraf
simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila
mekanisme kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan memadai, maka volume
sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.
Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan kekakuan serabut otot jantung,
volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume
sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor yaitu
preload, kontraktilitas, dan afterload.1
Disfungsi ventrikel kiri dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu disfungsi sistolik
(gangguan kontraksi ventrikel dan ejeksi) dan disfungsi diastolik (kerusakan relaksasi dan
pengisian ventrikel). Meskipun ada banyak etiologi dari gagal jantung, ada beberapa yang
cenderung untuk mempengaruhi lebih buruk pada fungsi sistolik atau diastolik, meskipun
70% dari pasien dengan gagal jantung memiliki disfungsi sistolik dibandingkan dengan 30%
dengan disfungsi diastolik. Selain itu, sebagian besar pasien dengan disfungsi sistolik juga
12
memiliki komponen disfungsi diastolik. Pasien dengan gagal jantung yang memiliki disfungsi
sistolik atau diastolik tergantung pada fraksi ejeksi (EF) yang didefinisikan sebagai jumlah
darah yang dipompa dari ventrikel dalam satu detak jantung. Jika EF <40%, maka ini disebut
dengan disfungsi sistolik, sedangkan bila >40%, maka ini disebut disfungsi diastolik.14
Disfungsi sistolik ventrikel kiri didefinisikan sebagai LVEF kurang dari 40%.
Penyebab utama disfungsi sistolik ventrikel kiri adalah hilangnya miokard secara fungsional
oleh karena penyakit iskemik dan infark. Faktor utama lain adalah hipertensi yang tidak
terkontrol yang menyebabkan peningkatan tekanan yang berlebihan. Volume berlebihan
karena ketidakmampuan katup, dan gangguan kontraktilitas dari kardiotoksin dan obat
kardiotoksik juga merupakan kontributornya. Konsekuensi dari disfungsi ventrikel kiri
menurunkan karbon dioksida yang akan menyebabkan hipoperfusi secara keseluruhan. Selain
itu, disfungsi ventrikel kiri menyebabkan peningkatan jumlah darah dalam ventrikel sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan pada akhir sistolik dan volume akhir diastolik. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP) yang
menyebabkan peningkatan di tekanan atrium kiri yang akan menyebabkan kenaikan tekanan
kapiler di paru-paru. Tekanan tinggi dalam cairan paru ini keluar dari kapiler paru dan
menyebabkan kongestif paru dan gejala klinis utama dispnu.14
Hal ini penting, namun untuk memahami bahwa gejala gagal jantung sistolik dan
diastolik adalah sama, dan apakah pasien memiliki disfungsi sistolik atau diastolik tergantung
pada EF. Gejala pasien harus berkorelasi dengan klinis mereka agar dapat didiagnosis sebagai
gagal jantung. Semua tanda dan gejala disfungsi ventrikel kiri merupakanh asil dari
peningkatan tekanan atrium kiri dan kongestif paru.14
13
Gambar 2.3. Disfungsi Ventrikel Kiri11
14
2.6.4.1.Mekanisme Frank-Starling
Mekanisme Frank-Starling memainkan peran penting dalam kompensasi pada tahap
awal dari gagal jantung (Gambar 2.3.).14
Grafik (Gambar 2.3.) menggambarkan CO berfungsi sebagai LVEDP yang langsung
berhubungan dengan volume akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDV) atau preload. Titik A
adalah kurva yang mewakili pasien sehat dengan jantung yang normal. Pada kurva ini, bila
preload (LVEDV) meningkat, maka menyebabkan peningkatan LVEDP yang menyebabkan
kontraksi otot miokard yang berespon dengan peningkatan CO yang dikenal sebagai
mekanisme Frank-Starling. Ada batas untuk peningkatan CO ini; dengan meningkatnya
jumlah preload, peningkatan resultan di CO juga berkurang selaras dengan kurva yang
mendatar. Titik B dan C adalah kurva lain yang merupakan pasien dengan disfungsi sistolik.
Kurva ini di bawah jantung normal karena pada gagal jantung otot miokard tidak dapat
berkontraksi seperti dulu dan dengan demikian, SV menurun dan ada peningkatan LVEDV
(preload). Awalnya pada titik B, dimana pada bagian yang meninggi pada kurva tersebut, ada
peningkatan preload yang menyebabkan peningkatan kompensasi dalam CO, meskipun ada
dampak yang kurang seperti peningkatan preload serupa dengan yang ada pada jantung
normal. Bila gagal jantung pada pasien ini meningkat seperti yang ditunjukkan pada titik C,
SV hanya meningkat sedikit untuk peningkatan LVEDV. Akhirnya, kurva ini menjadi datar
dan bahkan ke bawah dengan dekompensasi otot jantung dan mekanisme kompensasi selesai.
Pada saat ini, terjadi peningkatan LVEDV dan LVEDP yang menyebabkan kongestif paru
dengan CO yang menurun.14
15
Gambar 2.4. Mekanisme Frank-Starling1
2.6.4.2.Aktivasi Neuroharmonal
Aktivasi neurohormonal memainkan peranan penting dalam pemeliharaan MAP dan
kompensasi selama tahap awal gagal jantung. Peningkatan MAP yang merupakan produk dari
CO dan TPR, aktivasi neurohormonal berfungsi untuk meningkatkan MAP dengan
meningkatkan TPR. Selain itu, banyak neurohormonalnya juga menyebabkan retensi natrium
dan air, yang memaksimalkan SV dan meningkatkan CO melalui mekanisme Frank-Starling.
Penurunan MAP terlihat pada gagal jantung yang mengarah kepada stimulasi sistem saraf
simpatis dan pelepasan katekolamin (norepinefrin dan epinefrin).Stimulasi ini memiliki efek
langsung pada jantung (peningkatan denyut jantung dan kontraktilitas) dan pembuluh darah
perifer (vasokonstriksi) yang meningkatkan SV dan TPR, sekaligus,meningkatkan MAP.14
Efek dari sistem saraf simpatik dimediasi oleh tiga reseptor, yaitu β1, β2, dan α1. Pada
pasien gagal jantung, reseptor β1 dan β2 diaktifkan berserta dengan reseptor α1, dan akhirnya
menyebabkan toksisitas miokard,efek yang terlihat pada penurunan EF, aritmia,dan takikardia
oleh karena overstimulasi oleh sistem saraf simpatis. Dipembuluh darah perifer, aktivasi
reseptor β1 dan α1 menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin aldosteron (RAAS) yang
menyebabkan vasokonstriksi, retensi natrium, dan haus, serta peningkatan MAP.14
Ginjal mensekresikan renin dariaktivasi simpatis ini serta berkurangnya aliran darah
ke ginjal akibat penurunan MAP. Renin kemudian berperan pada angiotensinogen di hati
untuk mensintesis angiotensin I. Angiotensin I yang bersirkulasi di dalam darah dikonversi
oleh angiotensin-converting enzyme (ACE) di paru menjadi angiotensin II yang secara
16
langsung meningkatkan vasokonstriksi dan menyebabkan pelepasan aldosteron. Pada akhir
hasil aktivasi neurohormonal tertentu, sistem ini akan memfasilitasi untuk pelepasan
norepinefrin, memicu reabsorpsi natrium, merangsang pelepasan vasopresin, dan
meningkatkan kontraktilitas.14
Vasopresin disintesis di hipotalamus dandisekresikan oleh kelenjar hipofisis posterior.
Hasilnya difasilitasi oleh pembentukan angiotensin II dan juga dikendalikan oleh negative
feedback. Ketika MAP menurun pada gagal jantung, maka akandideteksi oleh pusat
baroreseptor yang menurunkan impuls penghambat ke hipotalamus, sehingga meningkatkan
regulasi negatif dan mengarah kepada meningkatkan vasopresin. Peningkatan vasopresin
akan menyebabkan vasokonstriksi serta peningkatan retensi air, dimana meningkatkan
penurunan MAP pada gagal jantung.14
Meskipun penting dalam kompensasi selama tahap awal gagal jantung, hasil jangka
panjang dari aktivasi sistem neurohormonal ini mengakibatkan ventricular remodeling yang
selanjutnya mempercepat disfungsi miokard.14
2.6.4.3.Ventricular Remodeling
Tekanan kronis pada hemodinamik jantung akan menyebabkan perubahan dalam
ukuran, bentuk, struktur, dan fungsi ventrikel dalam proses yang dikenal sebagai remodeling.
Bila remodeling terjadi, ada perubahan pada massa ventrikel, komposisi, serta volume dan
geometri secara keseluruhan dimana menjadi kurang elips dan lebih bulat. Perubahan
geometrik pada awalnya adalah kompensasi pada gagal jantung dan menambah resiko untuk
meningkatkan volume ventrikel yang mengarah kepada SV yang lebih besar dan CO yang
lebih tinggi meskipun berkurangnya EF. Ketebalan dinding miokard dan keseluruhan jirim
ventrikel juga meningkat, yang mengarahkan untuk peningkatan kontraktilitas.14
Proses remodeling pada gagal jantung adalah progresif dan akhirnya menjadi rusak.
Bila ventrikel terus membesar dan otot miokard mengalami hipertrofi, maka akan mengarah
kepada peningkatan ketegangan dinding dan fibrosis yang pada akhirnya menyebabkan
gangguan kontraktilitas. Proses jangka panjang remodeling juga mengarah kepada
peningkatan apoptosis miokard. Selain itu, terdapat disinkronitas kontraktil yang signifikan
dalam dilatasi dan remodeling ventrikel yang menjurus pada pemompaan yang kurang
efektif.14
17
2.6.4.4.Neurohormonal Lain
Ada mekanisme neurohormonal lain pada tempat kerja gagal jantung. Yang pertama
adalah peptida natriuretik atrial (ANP), peptida natriuretik otak (BNP), dan peptida natriuretik
tipe C (CNP) yang berfungsi untuk menetralkan efek vasokontriksi dari sistem
neurohormonal lain. ANP dan BNP ditemukan pada masing-masing atrium dan ventrikel dan
dilepaskan pada kontraksi atrium atau ventrikel. CNP ditemukan terutama dalam sistem saraf
pusat. Hormon ini bertindak langsung pada pembuluh darah dan menyebabkan vasodilatasi
sehingga menyebabkan ekskresi garam dan air dan menghambat sekresi renin, aldosteron, dan
vasopressin. Peningkatan BNP diduga menjadi salah satu dari tanda awal dari gagal jantung
dan digunakan untuk perkembangan penyakit.14
Selain itu, terdapat zat vasoaktif derivat endotel yang dihasilkan oleh endotel vaskular
dan bertindak secara lokal untuk memicu vasodilatasi (oksida nitrat, bradikinin, dan
prostasiklin) atau vasokonstriksi (endotelin I). Produksi sitokin juga meningkatkan terjadinya
gagal jantung dan termasuk tumor necrosis factor α (TNF-α), interleukin 1α (IL-1α),
interleukin 6 (IL-6), dan interferon α (IFN-α). Molekul-molekul kecil ini merupakan
inotropik negatif dan menurunkan kontraktilitas, dan peningkatan kadar molekul-molekul
tersebut berhubungan dengan prognosisyang lebih buruk.14
18
Tabel 2.7. Tanda dan Gejala Gagal Jantung Ventrikel Kiri11
Gejala Tanda
Dyspnea on exertion Ronki basal
Paroxysmal nocturnal dyspnea Edema paru
Takikardi S3 gallop
Hemoptisis Efusi pleura
Pernafasan Cheyne-Stokes
2.8. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, foto toraks,
elektrokardiografi (EKG), ekokardiografi, dan kateterisasi.9
Berdasarkan ESC (2016), Diagnosis dari HFpEF membutuhkan beberapa kondisi yang
terpenuhi:
Adanya gejala dan/atau tanda dari gagal jantung
Gagal jantung tanpa penurunan EF (ditunjukkan dengan Left Ventricular Ejection
Fraction (LVEF) ≥50% atau 40-49% untuk HFmrEF)
Meningkatnya jumlah natrium peptida
Bukti objektif dari fungsional jantung lain dan perubahan struktural yang
menyebabkan gagal jantung.
Penilaian inisial berdasarkan diagnosis klinis sesuai dengan algoritma di atas dan
berdasarkan penilaian dari LVEF dengan ekokardiografi.
19
Gambar 2.5. Algoritma Diagnosis Gagal Jantung10
2.8.1. Anamnesis
Pada anamnesis pasien akan mengeluh gejala khas gagal jantung, yaitu sesak nafas
(dyspnea d’effort (DOE), orthopnea (OE), dan paroxysmal nocturnal dispnea (PND)), edema
tungkai, dan kelelahan. Selain itu, dokter juga harus menggali faktor resiko dari pasien,
seperti riwayat hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, penyakit jantung koroner,
20
kelainan katup, kelainan vaskular perifer, demam reumatik, penggunaan kardiotoksik,
alkoholisme, penyakit tiroid, dan lain-lain, dan juga riwayat keluarga, seperti penyakit
aterosklerosis, kardiomiopati, kematian mendadak, penyakit gangguan konduksi, miopati
skeletal, dan lain-lain. Gejala gagal jantung yang timbul tidak berhubungan dengan beratnya
disfungsi jantung yang terjadi dan prognosis penyakit.16,17
21
Penurunan kapasitas vital paru 1/3 dari normal
Takikardia (>120 kali/menit)
3. Mayor atau minor
Penurunan berat badan ≥4,5 kg dalam 5 hari terapi
2.8.3.2.Foto Toraks
Pemeriksaan foto toraks merupakan pemeriksaan diagnostik pendahuluan yang harus
dilakukan pada kasus gagal jantung. Pada foto toraks dapat dijumpai kardiomegali, kongesti
paru (distensi vena pulmonalis dan redistribusinya ke apeks paru dengan gambaran
opasifikasi hilus paru bisa sampai ke apeks), efusi pleura dan dapat mendeteksi penyakit atau
infeksi paru yang menyebabkan atau memperberat sesak napas.2,12,13
Tabel 2.9. Abnormalitas Foto Toraks yang Umum Ditemukan pada Gagal Jantung2
Abnormalitas Penyebab
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atrium, efusi perikardial
Hipertrofi ventrikel Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofi
Tampak paru normal Bukan kongesti paru
Kongesti vena paru Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
Edema interstisial Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
Efusi pleura Gagal jantung dengan peningkatan tekanan pengisian jika efusi
bilateral
Infeksi paru pasca bedah/keganasan
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatik
22
Area paru hiperlusen Emboli paru atau emfisema
Infeksi paru Pneumonia sekunder akibat kongesti paru
Infiltrat paru Penyakit sistemik
2.8.3.3.Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting, meliputi
frekuensi debar jantung, irama jantung, sistem konduksi, dan membantu menunjukkan
etiologi gagal jantung (infark, iskemia, hipertrofi, dan lain-lain). Abnormalitas EKG sering
dijumpai pada pasien gagal jantung namun memiliki nilai prediktif kecil dalam diagnosis.
Kelainan segmen ST berupa infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI) atau Non-
STEMI. Gelombang Q pertanda infark transmural sebelumnya. Adanya hipertrofi, bundle
branch block, disinkronitas elektrikal, interval QT yang memanjang, disritmia, atau
perimiokarditis harus diperhatikan. Selain itu, dapat juga ditemukan low voltage, T inversi,
depresi ST, dan lain-lain. Gagal jantung dekompensasi dapat terlihat gambaran sinus
takikardia atau atrial tachycardia/atrial flutter/atrial fibrillation pada EKG.2,9,10
Tabel 2.10. Abnormalitas EKG yang umum dijumpai pada gagal jantung2
Abnormalitas Penyebab Implikasi Klinis
Sinus takikardia Gagal jantung Penilaian klinis
dekompensasi, anemia, Pemeriksaan
demam, hipertroidisme laboratorium
Sinus Obat penyekat β, anti Evaluasi terapi obat
bradikardia aritmia, hipotiroidisme, Pemeriksaan
sindroma sinus sakit laboratorium
Atrial Hipertiroidisme, infeksi, Perlambat konduksi AV,
takikardia/futer/ gagal jantung konversi medik,
fibrilasi dekompensasi, infark elektroversi, ablasi
miokard kateter, antikoagulasi
Aritmia Iskemia, infark, Pemeriksaan
ventrikel kardiomiopati, laboratorium, tes latihan
miokardits, hipokalemia, beban, pemeriksaan
hipomagnesemia, perfusi, angiografi
overdosis digitalis koroner, ICD
23
Iskemia/infark Penyakit jantung koroner Ekokardiografi, troponin,
Angiografiikoroner,
revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati Ekokardiografi,
hipertrofi, LBBB, angiografii koroner
preeksitasi
Hipertrofi Hipertensi, penyakit Ekokardiografi, doppler
ventrikel kiri katup aorta,
kardiomiopati hipertrofi
Blok Infark miokard, Evaluasi penggunaan
atrioventrikular Intoksikasi obat, obat, pacu jantung,
miokarditis, sarkoidosis, penyakit sistemik
Penyakit Lyme
Mikrovoltase Obesitas, emfisema, efusi Ekokardiograf, rontgen
perikard, amiloidosis toraks
Durasi QRS > Disinkroni elektrik dan Ekokardiograf, CRT-P,
0,12detik dengan mekanik CRT-D
morfologi LBBB
LBBB = Lef Bundle Branch Block; ICD = Implantable Cardioverter
Defbrillator CRT-P = Cardiac Resynchronizaton Therapy-
PACEmaker; CRT-D = Cardiac Resynchronizaton Therapy-
Defbrillator
2.8.3.4.Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi merupakan metode yang paling berguna dalam
melakukan evaluasi disfungsi sistolik dan diastolik. Pemeriksaan ini dapat menilai informasi
yang rinci tentang fungsi dan struktur jantung, katup, dan perikard dengan cepat. Diagnostik
biasanya sensitif pada pasien dengan fraksi ejeksi rendah. Pada pemeriksaan ekokardiografi
dapat ditemukan fraksi ejeksi ventrikel kiri yang rendah (<35–40%) atau normal (>45–50%),
kelainan katup (stenosis mitral, regurgitasi mitral, stenosis trikuspid, atau regurgitasi
trikuspid), hipertrofi ventrikel kiri, dilatasi atrium kiri, kadang-kadang ditemukan dilatasi
ventrikel kanan atau atrium kanan, efusi perikard, tamponade, perikarditis.2,12
24
Ekokardiografi transesofagus
Direkomendasikan pada pasien dengan ekokardiografi transtorakal tidak adekuat
(obesitas, pasien dengan ventilator), pasien dengan kelainan katup, pasien endokardits,
penyakit jantung bawaan atau untuk mengeksklusi trombus di left atrial appendage
pada pasien fibrilasi atrial.2
Ekokardiografi beban
Ekokardiografi beban (dobutamin atau latihan) digunakan untuk mendeteksi
disfungsi ventrikel yang disebabkan oleh iskemia dan menilai viabilitas miokard pada
keadaan hipokinesis atau akinesis berat.2
Tabel 2.11. Abnormalitas ekokardiografik yang sering dijumpai pada gagal jantung2
25
Ketebalan ventrikel Hipertrofi (> 11-12 mm) Hipertensi, stenosis
Kiri aorta,
kardiomiopati hipertrofi
26
gagal jantung. jantung menunjukkan tanda-
tanda karakteristik gagal
jantung. Namun, perbedaan
yang jelas kadang-kadang
dapat tampak hanya dengan
pengukuran pertukaran gas
atau saturasi oksigen darah
atau dengan pengukuran
hemodinamik invasif selama
latihan bertingkat (yaitu, tes
latihan kardiopulmoner
dengan VO2 max).
PPOK/fibrosis Sesak dapat terjadi secara Tes fungsi paru akan
pulmoner episodik, dengan atau tanpa memberikan diagnosis pasti
pemicu lingkungan, dan dari penyakit paru obstruktif.
biasanya dibarengi dengan Kadar plasma B-type
batuk, wheezing, sputum, dan natriuretic peptide (BNP)
riwayat merokok atau paparan dapat menengah (100-400
industri. nanogram/L atau 100-400
pikogram/mL) pada PPOK.
Pneumonia Pasien dapat menunjukkan Foto thoraks dapat
gejala demam, batuk, dan menunjukkan tanda dari
menghasilkan dahak produktif, konsolidasi. Pemeriksaan
dengan tanda fokal dari darah lengkap dapat
konsolidasi (peningkatan menunjukkan peningkatan sel
fremitus vokal dan pernapasan darah putih dan kultur darah
bronkial). dapat positif terhadap
organisme penyebab.
Emboli pulmoner (EP) Nyeri dada tiba-tiba, sesak, dan EKG abnormal pada
batuk berdarah, khususnya kebanyakan pasien dengan EP
setelah melahirkan, sugestif dan dapat menunjukkan
emboli pulmoner. gelombang S yang dalam pada
lead I dan gelombang Q dalam
27
dan inversi gelombang T pada
lead III (S1-Q3-T3).
Perubahan umum lainnya
termasuk sinus takikardi,
complete atau incomplete right
bundle branch block (RBBB),
dan inversi gelombang T pada
lead inferior (II, III, aVF) atau
anterior (V1 sampai V4).
D-dimer pada level normal
dapat membantu mengeksklusi
EP tetapi peningkatan levelnya
dapat terjadi pada banyak tipe
dari kardiomiopati seperti pada
EP.
Sirosis hepatis Secara tipikal menyebabkan LFT abnormal. USG atau CT
jaundice, kelelahan, mual, Scan mungkin dapat
edema perifer, asites, memar dan mendeteksi asites dan
perdarahan memanjang, abnormalitas hati. Biopsi hati
ginekomasti, dan hematemesis. menunjukkan karakteristik
perubahan sirotik dan dapat
menunjukkan penyebab utama.
Sindroma nefrotik Secara tipikal menyebabkan Urinalisis menunjukkan
edema perifer, kelelahan, sesak, proteinuria dan albumin serum
dan kehilangan nafsu makan. menurun. Pengumpulan urin
selama 24 jam menunjukkan
>3,5 g protein. Ureum serum
dan creatinine clearance dapat
abnormal pada tahapan lanjut.
Kolesterol dan trigliserida
serum dapat meningkat. USG
dan biopsi ginjal dapat
menunjukkan penyebab
28
utamanya.
Penyakit perikard Dapat tampak dengan nyeri EKG dapat menunjukkan
dada, secara tipikal memberat perubahan elektris dan elevasi
jika berbaring, menelan atau ST dan gelombang T yang
batuk; takikardi; sesak; batuk; mendatar atau inversi.
edema; kelelahan; demam Ekokardiografi dapat
ringan. Pericardial friction rub mendeteksi efusi, tamponade,
dapat terdengar pada batas dan fibrosis perikard. Biopsi
sternum kiri atau apeks. perikard mungkin dapat
menunjukkan penyebab utama.
Stasis vena Edema memengaruhi anggota Tes Doppler dapat mendeteksi
gerak bawah saja, dan varises katup inkompetensi pada
vena dapat tampak. Kulit pada varises vena.
anggota gerak bagian bawah
dapat menghitam, dengan ulkus.
Deep vein thrombosis Secara tipikal menyebabkan Tes D-dimer dapat positif.
nyeri, bengkak, dan perih pada USG dan venografi kontras
salah satu betis, yang dapat dapat mendeteksi area dari
menjadi merah dan hangat. trombosis.
2.10. Penatalaksanaan
2.10.1. Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Penatalaksanaan gagal jantung secara nonfarmakologi dapat dibagi menjadi beberapa
cara, yaitu:3
Manajemen perawatan mandiri
Manajemen perawatan mandiri dapat didefnisikan sebagai tindakan-tindakan yang
bertujuan untuk menjaga stabilitas fisik, menghindari perilaku yang dapat memperburuk
kondisi dan mendeteksi gejala awal perburukan gagal jantung.
Ketaatan pasien berobat
Ketaatan pasien berobat menurunkan morbiditas, mortalitas dan kualitas hidup pasien.
Berdasarkan literatur, hanya 20-60% pasien yang taat pada terapi farmakologi maupun
nonfarmakologi.
Pemantauan berat badan mandiri
29
Pasien harus memantau berat badan rutin setap hari, jika terdapat kenaikan berat badan
>2 kg dalam 3 hari, pasien harus menaikan dosis diuretik atas pertmbangan dokter.
Asupan cairan
Restriksi cairan 1,5-2 liter/hari dipertimbangkan terutama pada pasien dengan gejala
berat yang disertai hiponatremia. Restriksi cairan rutin pada semua pasien dengan gejala
ringan sampai sedang tidak memberikan keuntungan klinis.
Pengurangan berat badan
Pengurangan berat badan pasien obesitas (IMT >30 kg/m2) dengan gagal jantung
dipertimbangkan untuk mencegah perburukan gagal jantung, mengurangi gejala dan
meningkatkan kualitas hidup.
30
Obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan gagal jantung adalah sebagai berikut:2
1. Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
Indikasi:Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, dengan atau tanpa gejala.
Kecuali kontraindikasi, ACEI harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %.ACEI memperbaiki fungsi ventrikel
dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan gagal
jantung, dan meningkatkan angka kelangsungan hidup. ACEI kadang-kadang
menyebabkan perburukanfungsi ginjal, hiperkalemia, hipotensi simtomatik, batuk dan
angioedema (jarang), oleh sebab itu ACEI hanya diberikan pada pasien dengan fungsi
ginjal adekuat dan kadar kalium normal. ACE Inhibitor merupakan obat pilihan untuk
gagal jantung kongestif. Obat ini bekerja dengan menghambat enzim yang berasal dari
angiotensin I membentuk vasokonstriktor yang kuat angiotensin II. Penghambat ACE
mengurangi volume dan tekanan pengisian ventrikel kiri, dan meningkatkan curah
jantung. Konsep dasar pemakaian inhibitor ACE sebagai vasodilator dalam
pengobatan gagal jantung adalah karena kemampuannya untuk menurunkan retensi
vascular perifer yang tinggi akibat tingginya tonus arteriol dan venul (peripheral
vascular resistance) dan menurunkan beban tekanan pengisian ventrikel yang tinggi
(ventricular filling pressure).
Kontraindikasi: Riwayat angioedema, stenosis renal bilateral, kadar kalium serum >5
mmol/l, serum kreatinin >2,5 mg/dl, stenosis aorta berat.
2. β-blocker (penyekat β)
Kecuali kontraindikasi, penyekat β harus diberikan pada semua pasien gagal jantung
simtomatik dan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %. Penyekat β memperbaiki fungsi
ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi perawatan rumah sakit karena perburukan
gagal jantung, dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian penyekat β: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala ringan
sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA), ACEI/ARB (dan antagonis aldosteron
jika indikasi) sudahdiberikan, pasien stabil secara klinis (tidak ada perubahan dosis
diuretik,tidak ada kebutuhan inotropik i.v. dan tidak ada tanda retensi cairan berat).
Kontraindikasi pemberian penyekat β: Asma, blok AV (atrioventrikular) derajat 2 dan
3, sindroma sinus sakit (tanpa pacu jantung permanen), sinus bradikardia (nadi <50
x/menit).
31
3. Antagonis Aldosteron
Kecuali kontraindikasi, penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus
dipertimbangkan pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan gangguan
fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan rumah sakit karena
perburukan gagal jantung dan meningkatkan kelangsungan hidup.
Indikasi pemberian antagonis aldosteron: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %, gejala
sedang sampai berat (kelas fungsional III- IV NYHA), dosis optimal penyekat β dan
ACEI atau ARB (tetapi tidak ACEI dan ARB).
Kontraindikasi pemberian antagonis aldosteron: konsentrasi serum kalium >5 mmol/l,
serum kreatinin >2,5 mg/dl, bersamaan dengan diuretik hemat kalium atau suplemen
kalium, kombinasi ACEI dan ARB.
32
4. Angiotensin Receptor Blocker (ARB)
Kecuali kontraindikasi, ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis aldosteron.
Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup, mengurangi
angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung ARB direkomedasikan
sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI. Pada pasien ini, ARB mengurangi
angka kematian karena penyebab kardiovaskular.
Indikasi pemberian ARB: Fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤40 %, sebagai pilihan alternatif
pada pasien dengan gejala ringan sampai berat (kelas fungsional II - IV NYHA) yang
intoleran ACE-I.
ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal, hiperkalemia, dan hipotensi
simtomatik sama seperti ACE-I, tetapi ARB tidak menyebabkan batuk.
Kontraindikasi pemberian ARB: Sama seperti ACE-I, kecuali angioedema, pasien
yang diterapi ACE-I dan antagonis aldosteron bersamaan.
Monitor fungsi ginjal dan elektrolit serial ketika ARB digunakan bersama ACE-I.
5. Diuretik
Diuretik merupakan cara paling efektif meredakan gejala pada pasien-pasien
dengan gagal jantung kongestif sedang sampai berat. Pada pasien dengan tanda-tanda
retensi cairan hanya sedikit pasien yang dapat diterapi secara optimal tanpa diuretik.
Tetapi diuresis berlebihan dapat menimbulkan ketidakseimbangan elektrolit dan
aktivasi neurohormonal. Kerja diuretik untuk mengurangi volume cairan ekstrasel dan
tekanan pengisian ventrikel tetapi biasanya tidak menyebabkan pengurangan curah
jantung yang penting secara klinis, terutama pada pasien gagal jantung lanjut yang
mengalami peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri.
Diuretik menghilangkan retensi natrium pada gagal jantung dengan menghambat
reabsorbsi natrium atau klorida pada sisi spesifik ditubulus ginjal. Diuretik harus
dikombinasikan dengan diet rendah garam (kurang dari 3 gr/hari).Pasien tidak
berespon terhadap diuretic dosis tinggi karena diet narium yang tinggi, atau minum
obat yang dapat menghambat efek diuretik antara lain NSAID atau penghambat
siklooksigenase-2 atau menurunnya fungsi ginjal atau perfusi. Manfaat terapi diuretik
yaitu dapat mengurangi edema pulmo dan perifer dalam beberapa hari bahkan jam.
Diuretik merupakan satu-satunya obat yang dapat mengontrol retensi cairan pada
gagal jantung. Meskipun diuretik dapat mengendalikan gejala gagal jantung dan
33
retensi cairan, namun diuretik saja belum cukup menjaga kondisi pasien dalam kurun
waktu yang lama. Risiko dekompensasi klinik dapat diturunkan apabila pemberian
diuretik dikombinasikan dengan ACEI dan beta blocker. Mekanisme aksinya dengan
menurunkan retensi garam dan air, yang menurunkan preload ventrikuler.
34
diabetes dan memiliki efek yang sama dalam memperbaiki prognosis pada pasien diabetes
maupun non diabetes. Golongan tiazolidindion (glitazon) menyebabkan retensi garam dan
cairan serta meningkatkan perburukan gagal jantung dan hospitlisasi, sehingga pemberiannya
harus dihindarkan. Metformin tidak direkomendasikan bagi pasien dengan gangguan ginjal
atau hati yang berat, karena resiko asidosis laktat, tetapi sampai saat ini merupakan terapi
yang paling sering digunakan dan aman bagi pasien gagal jantung lain. Obat antidiabetik
yang baru belum diketahui keamanannya bagi pasien gagal jantung.3
35
a. Kegemukan dan obesitas
Beberapa mekanisme dimana indeks massa tubuh yang tinggi meningkatkan resiko
jantung gagal jantung kongestif :
(a) perubahan cardiac loading
(b) perubahan dalam struktur dan fungsi jantung
(c) aktivasi neurohumoral dan jalur inflamasi
(d) peningkatan kondisi aterogen
(e) kecenderungan untuk sleep-disordered breathing
(f) penyakit ginjal kronis
Pendekatan utama pengurangan resiko pada pasien obesitas harus mencakup berat
badan kontrol dan aktivitas fisik, dan pengendalian terkait faktor resiko seperti
hipertensi, diabetes mellitus, gangguan tidur, dan komponen dari sindrom metabolik
b. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan kunci penentu baik kesehatan dan merupakan komponen
penting dari penurunan berat badan dan pemeliharaan berat badan, perbaikan profil
lipid, dan mengurangi resiko hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit arteri koroner.
Aktivitas fisik juga bisa mengurangi hipertrofi ventrikel kiri dan meningkatkan fungsi
endotel. Aktivitas fisik secara teratur mengurangi produksi sitokin oleh jaringan
adiposa, otot rangka, dan endotel dan sel-sel mononuklear dan meningkatkan enzim
antioksidan.
Berikut aktivitas fisik yang dianjurkan oleh American College of Sports Medicine dan
American Heart Association untuk orang dewasa 18-65 tahun adalah sebagai berikut:
(a) Aktivitas aerobik
Intensitas sedang selama minimal 30 menit pada lima hari setiap seminggu atau
intensitas tinggi minimal 20 menit pada tiga hari setiap minggu.
(b) Muscle-strengthening activity
Dianjurkan 8-10 latihan harus dilakukan pada dua yang tidak berurutan setiap
minggu. Untuk memaksimalkan pembangunan kekuatan, resistensi (berat) harus
memungkinkan 8-12 pengulangan dari setiap latihan.
(c) Dosis latihan
Aktivitas fisik aktif mungkin memiliki manfaat yang lebih besar daripada aktivitas
fisik intensitas sedang. Berjalan kaki telah dilaporkan sebagai pencpencegahan
primer gagal jantung kongestif.
36
c. Konsumsi alkohol
Dalam sebuah penelitian yang sama resiko gagal jantung tanpa infark miokard yg di
antara peminum berat adalah 1,7 kali lipat lebih tinggi daripada yang tidak
mengkonsumsi alkohol. Temuan serupa dilaporkan dalam penelitian kesehatan dokter
alkohol juga telah dilaporkan meningkatkan resiko hipertensi, infark miokard, dan
diabetes mellitus. Alkohol tampaknya meningkatkan kolesterol LDL, meningkatkan
sensitivitas insulin, menurunkan kadar marker inflamasi plasma dan faktor koagulasi,
dan meningkatkan adiponektin plasma.
d. Kebiasaan makan
Dalam Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH), individu didorong untuk
mengkonsumsi lebih banyak (i) buah-buahan dan sayuran, (ii) biji-bijian dan gandum,
(iii) daging tanpa lemak, ikan, unggas, (iv) dairy food yang rendah lemak atau tanpa
lemak, dan (v) kacang, biji-bijian, dan kacang-kacangan, dan mengurani konsumsi
daging merah, lemak, dan gula sambil mempertahankan natrium asupan rendah.
Awalnya, ini dipromosikan untuk hipertensi, namun penelitian terbaru menunjukkan
DASH diet mengurangi resiko gagal jantung hingga 37%.
e. Merokok
Mekanisme yang menyebabkan gagal jantung pada perokok meliputi efek tidak
langsung, yaitu dengan menyebabkan atau memperburuk penyakit penyerta yang
berkaitan dengan gagal jantung dan efek langsung pada miokardium. Perokok harus
dinasihati untuk berhenti merokok. Strategi yang direkomendasikan saat ini adalah:
Obat. Beberapa obat tersedia untuk ketergantungan tembakau. Seperti bupropion
SR, nicotine gum atau inhaler atau lozenge or nasal spray atau patch, dan
varenicline. Konseling dan dukungan psikososial.
Kombinasi konseling dan pengobatan.
37
2.13. Prognosis
Secara umum, angka kematian dirawat di rumah sakit untuk pasien dengan gagal
jantung adalah 10,4% pada 30 hari pertama, 22% pada 1 tahun pertama, dan 42,3% pada 5
tahun pertama, meskipun dengan peningkatan terapi medis yang bagus. Setiap pasien yang
dirawat inap ulang di rumah sakit mempunyai angka kematian yang meningkat sekitar 20-
22%.16
Mortalitas 50% lebih besar untuk pasien dengan gagal jantung NYHA kelas IV,
ACC/AHA stage D. Gagal jantung terkait dengan infark miokard akut memiliki angka
kematian 20-40%. Angka kematian mendekati 80% pada pasien yang juga memiliki hipotensi
(misalnya, syok kardiogenik).16
Prognosis bergantung dari etiologi. Jika penyebabnya sudah diketahui dan diterapi
dengan efektif maka prognosis akan jauh lebih baik dibandingkan yang tidak diketahui
penyebabnya. Faktor-faktor yang berhubungan dengan prognosis buruk adalah penurunan
fraksi ejeksi yang berat (<15%), penurunan ambilan oksigen (<10 mL/kg/menit), penurunan
konsentrasi natrium (<133 mEq/L), penurunan konsentrasi kalium (<3 mEq/L), peningkatan
BNP yang bermakna (>500 pg/mL), dan ventrikular ekstrasistol.2
Secara umum, angka mortalitas pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit
sebesar 10,4% dalam 30 hari, 22% dalam 1 tahun, dan 42,3% dalam 5 tahun. Setiap kali
rehospitalisasi meningkatkan mortalitas sebesar 20-22%. Mortalitas lebih dari 50% pada
pasien dengan NYHA fc IV. Mortalitas mendekati 80% pada pasien dengan hipotensi.5
2.14.1 Definisi
Gagal jantung akut merujuk pada onset cepat atau perburukan dari gejala dan/atau tanda
dari gagal jantung. Kondisi ini merupakan kondisi yang mengancam nyawa yang
membutuhkan evaluasi dan terapi segera di rumah sakit. Gagal jantung akut terjadi pada
serangan pertama atau frekuensi yang lebih sering, sebagai konsekuensi dari kompensasi akut
dari gagal jantung, dan bisa disebabkan oleh disfungsi jantung primer atau dari faktor
ekstrinsik, sering pada pasien dengan gagal jantung Kronik. Disfungsi akut miokardial
(iskemi, inflamasi atau racun), insufiensi katup akut atau perkardial tamponade adalah
penyebab tersering dari gagal jantung akut. Dekompensasi dari gagal jantung kronik bisa
terjadi tanpa faktor resiko, tapi lebih sering dengan satu atau lebih faktor, seperti infeksi,
hipertensi tak terkontrol, gangguan irama atau pengaruh obat/diet.5
38
Gambar 2.7. Definisi Gagal Jantung Akut10
39
2.14.2 Klasifikasi
Dalam praktis, klasifikasi yang paling berguna adalah yang berdasarkan presentasi
klinis, membuat klinisi dapat mengidentifikasi pasien dengan komplikasi beresiko tinggi dan
untuk memanajemen langsung target spesifik. Banyak kasus, pasien dengan Gagal Jantung
Akut menunjukkan tidak ada peningkatan tekanan darah (90-140 mmHg) atau meningkat
(>140 mmHg; GJA hipertensif) tekanan darah sistolik (TDS). Hanya 5-8% dari semua pasien
menunjukkan TDS rendah (<90 mmHg, GJA hipotensif), dimana berhubungan dengan
prognosis yang buruk, biasanya juga menunjukkan tanda hipoperfusi.10
Klasifikasi klinis dapat berdasarkan dari pemeriksaan fisik pasien pada saat pasien
berbaring untuk mendeteksi gejala klinis/ tanda dari kongesti (‘wet’ vs ‘dry’ jika ada atau
tidaknya) dan/atau tanda hipoperfusi periferal (‘cold’ vs ‘warm’ jika ada atau tidaknya).
Kombinasi dari opsi ini teridentifikasi menjadi empat grup: warm and wet (perfusi baik dan
kongesti) yang paling sering didapatkan; cold and wet (hipoperfusi dan kongesti); cold and
dry (hipoperfusi dengan tanpa kongesti); dan warm and dry (terkompensasi, perfusi baik
dengan tanpa kongesti). Klasifikasi berikut membantu untuk pemberian terapi pada fase
inisial dan prognosis lanjutan.10
40
Gambar 2.9. Profil Klinis Gagal Jantung Akut5
2.2.3 Diagnosis
Penegakkan diagnosis dibutuhkan dari sebelum perawatan di rumah sakit dan
berlanjut sampai ke bagian kegawatdaruratan untuk penentuan waktu diagnosis dan
menginisiasi manajemen terapi yang tepat. Semakin cepat penanganan akan semakin bagus
untuk pasien dengan penyakit jantung koroner untuk dipertimbangkan ke penanganan gagal
jantung akut.5
Kondisi klinis yang mengancam nyawa dan/atau faktor predisposisi yang
membutuhkan penanganan/pengkoreksian darurat harus diketahui dan ditangani dengan
cepat. Pada umumnya, gejala dan tanda dari GJA menggambarkan cairan yang berlebihan
(Kongesti baru dan/atau oedem periferal) atau menurunnya cardiac output dengan
hipoperfusi periferal. Karena sensitivitas dan spesifitas dari gejala dan tanda sering tidak
memuaskan, evaluasi klinis perlu dengan melakukan investigasi tambahan seperti:
41
Foto Thorax
Kongesti vena paru, efusi pleura, interstisial atau alveolar oedema dan kardiomegali
adalah temuan paling spesifik pada pasien GJA.
EKG
Jarang temuan EKG pada pasien GJA tampak normal (tingginya nominal negatif).
Dapat juga membantu mengidentifikasi penyebab penyakit jantung dan penyertanya
(rapid AF, miokardial iskemi akut).
Ekokardiogram
Ekokardiogram segera di wajibkan hanya pada pasen dengan hemodinaik tidak stabil
dan pada pasien suspek kelainan struktural atau fungsional jantung yang mengancam
nyawa (komplikasi mekanikal, kelainan katup).
Laboratorium
- Natriuretic peptides
42
Gambar 2.10. Algoritma Diagnosis Gagal Jantung Akut5
2.14.4 Penatalaksanaan
2.14.4.1 Identifikasi dari penyebab yang memicu dekompensasi untuk penatalaksanaan
darurat
43
Penyebab mekanik akut yang mendasari GJA
Emboli Akut
Pasien dengan persisten, sesak yang signifikan atau hemodinamik tidak stabil harus
dialokasikan cepat untuk resusitasi
Untuk pasien beresiko tinggi (persisten, sesak signifikan, hemodinamik tidak stabil,
aritmia berulang, GJA dan PJK), perawatan inisial dengan ketergantungan tinggi
harus disiapkan (ICU/CCU)
Kriteria untuk penerimaan rawat ICU/CCU sebagai berikut:
Butuh untuk di intubasi (atau sudah di intubasi)
Tanda/gejala dari hipoperfusi
Saturasi oksigen <90%
Menggunakan otot tambahan untuk bernafas, respiratory rate >25x/menit
Denyut jantung <40 atau >130x.menit, TDS <90 mmHg
Pemulihan perawatan dari ICU/CCU dilihati dari kestabilan klinis dan resolusi dari
kondisi penyerta. Terapi selanjutnya dapat dilanjutkan dengan tim yang multidisiplin
dengan perencanaan berikutnya.
44
Gambar 2.11. Algoritma Penatalaksanaan Gagal Jantung Akut5
1. Diuretik
Diuretik adalah penatalaksanaan dasar pada pasien GJA dan tanda dari
kelebihan cairan dan kongesti. Diuretik meningkatkan garam ginjal dan ekskresi air
dan mempunyai efek vasodilator. Pada pasien dengan GJA dan tanda dari hipoperfusi,
diuretik harus dihindarkan sebelum perfusi yang adekuat tercapai.
45
Pada GJA, diuretik lini pertama adalah i.v furosemide. Dosis dimulai dari
jumlah yang rendah untuk memberikan efek klinis yang adekuat dan dimodifikasi
berdasarkan fungsi ginjal dan dosis diuretik sebelumnya. Pasien dengan onset baru
GJA atau dengan GJK tanpa riwayat gagal ginjal dan penggunaan diuretik
sebelumnya dapat merespon dengan dosis i.v 20-40mg, berbeda dengan pasien yang
sudah diberikan diuretik sebelumnya yang membutuhkan dosis lebih tinggi. Bolus 10-
20mg i.v torasemide dapat membantu sebagai alternatif.10
2. Vasodilator
Vasodilator intravena adalah agen kedua pada GJA untuk meringankan gejala,
namun, tidak ada bukti kuat untuk mengkonfirmasi efek bermanfaat dari vasodilator.
Ada dua manfaat dengan mengurangi nada vena (untuk preload optimal) dan
nada arterial (mengurangi afterload). Karenanya, dapat meningkatkan stroke volume.
Vasodilator sangat berguna khususnya pada pasien dengan GJA hipertensif,
sedangkan pasien dengan TDS <90 mmHg harus dihindarkan. Kontrol pemberian
dosis harus sangat hati hati untuk menghindari kelebihan penurunan tekanan darah.
Hati-hati menggunakan vasodilator pada pasien dengan mitral atau aorta stenosis.10
46
Gambar 2.11 Dosis Vasodilator10
3. Vasopressor
Obat-Obatan yang cara kerjanya dengan vasokontriksi arteri perifer seperti
norephinephrine atau dopamine dosis tinggi dapat diberikan pada pasien dengan
hipotensi. Obat ini diberikan untuk meningkatkan tekanan darah dan mendsitribusi
darah ke oragan vital, namun, mengorbankan peningkatan di LV afterload.10
4. Pencegahan Tromboemboli
Pencegahan tromboemboli dengan heparin atau obat antikoagulan lainnya
direkomendasikan kecuali kalau ada kontraindikasi atau tidak diperlukan ( karena
terapi yang sudah diebarikan dengan antikoagulan oral).10
47
BAB 3
STATUS ORANG SAKIT
Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
ANAMNESIS
√ Autoanamnesis Alloanamnese
Status Presens:
KU : Baik Kesadaran : CM
TD : 130/80 mmHg
HR : 84x/i, reguler
RR : 28x/i
Suhu : 36,80C
Sianosis : (-) Ortopnea : (+) Dispnea: (+)
Ikterus : (-) Edema : (+) Pucat : (-)
Pemeriksaan Fisik :
Kepala : Konjungtiva palpebra inferior anemis (-/-), sklera ikterik
(-/-), edema palpebra (-/-)
Leher : TVJ R+3 cmH2O
Dinding toraks Batas Jantung
Inspeksi : Simetris Fusiformis Atas : ICS II-III LMCS
Palpasi : Fremitus Kanan < Kiri Bawah : Diafragma
Perkusi : Sonor pada lapangan Kanan : ICS V LPSD
paru kiri dan redup pada Kiri : 1 cm lateral LMCS
lapangan paru kanan tengah-bawah.
49
Auskultasi
Jantung : S1 (+) N S2 (+) N S3 (-) S4 (-) regular, Murmur (-)
Punctum maximum : - Radiasi : -
Paru : Suara pernapasan : Vesikuler (+/+); melemah pada paru kanan
Suara tambahan : Ronki basah basal pada kedua paru
Abdomen : Palpasi Hepar/Lien : tidak teraba, kesan: normal, Ascites (-)
Ekstremitas: Superior : Sianosis (-/-) Clubbing (-/-)
Inferior : Edema pretibial (+/+) Pulsasi arteri (+/+)
Akral : Hangat
Elektrokardiografi
Kesimpulan :
Kardiomegali dengan efusi pleura kanan.
51
Hasil Laboratorium ( 24-3-2017)
Darah Lengkap Rujukan
Hb : 16,0 g/dL (13-18)
Eritrosit : 5,87 juta /μL (4,50-6,50)
Leukosit : 4.670 /μL (4.000-11.000)
Hematokrit : 48% (39-54)
Trombosit : 185.000/μL (150.000-450.000)
MCV : 82 fl (81-99)
MCH : 27.3 pg (27-31)
MCHC : 33,3 g/dl (31-37)
Neutrofil : 46.90% (50-70)
Limfosit : 31.30% (20-40)
Monosit : 17.10% (2-8)
Eosinofil : 3.20% (1-3)
Basofil : 1.50% (0-1)
Metabolisme Karbohidrat
KGD sewaktu : 88 mg/dL (<200)
Elektrolit
Natrium (Na) : 130 mEq/L (135-155)
Kalium (K) : 3.4 mEq/L (3,6-5,5)
Klorida (Cl) : 99 mEq/L (96-106)
Ginjal
BUN : 12 mg/dL (9-21)
Ureum : 26 mg/dL (19-44)
Kreatinin : 0,84 mg/dL (0,7-1,3)
Faal Hemostasis
Waktu Protrombin : 27.2 s (P) 14.2 s (K)
aPTT : 40.4 s (P) 33.0 s (K)
Waktu Trombin : 23.6 s (P) 18.0 s (K)
INR : 2.08 s
52
Diagnosis kerja : CHF Fc III ec HHD + TB kategori I +Efusi Pleura Dextra
1. Fungsional : NYHA Fc III
2. Anatomi : Miokardium
3. Etiologi : Hipertensi, Penyakit Jantung Koroner
Diferensial Diagnosis:
1. CHF Fc III ec HHD + TB kategori I + Efusi Pleura Dextra
2. CHF Fc III ec CAD + TB kategori I + Efusi Pleura Dextra
3. CHF Fc III ec HHD dd/ CAD + Pneumonia + Efusi Pleura Dextra
4. CHF Fc III ec HHD dd/ CAD + Susp. Ca Paru Dextra
Pengobatan:
- Bed rest posisi semifowler
- O2 2-4 L/i via nasal canule
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
- Inj Ranitidine 50 mg/12 jam/IV
- Inj. Furosemide 40 mg/6 jam/IV
- Captopril 3 x 12.5 mg
- Spironolactone 1 x 25 mg
- Bisoprolol 1 x 1.25 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
Prognosis :
Dubia et malam
53
BAB 5
DISKUSI KASUS
TEORI DISKUSI
Faktor Resiko
Faktor resiko gagal jantung:
Hipertensi Faktor Resiko yang terdapat pada pasien:
Dislipidemia Hipertensi
Obesitas Merokok
Merokok Riwayat gangguan jantung
Diabetes Melitus
Riwayat gangguan jantung
Riwayat infark miokard
Diagnosis Anamnesis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, KU : Dyspnea
pemeriksaan fisik, foto toraks, Telaah : Sesak dirasakan sejak 6 bulan ini dan
elektrokardiografi, ekokardiografi, dan memberat selama 2 minggu belakangan ini yang
kateterisasi. dirasakan saat berjalan kaki. Tidur diganjal
Kriteria Framingham dapat pula dipakai dengan 3 bantal (+), DOE (+), OE (+). Edema
untuk diagnosis gagal jantung kongestif : pretibial (+).
1. Kriteria mayor
Paroxysmal nocturnal dyspnea Status Presens
Distensi vena leher Sensorium : CM
Peningkatan vena jugularis Tekanan darah : 130/80 mmHg
S3 gallop
Status Lokalisata
Refluks hepatojugular positif
Kepala : konjungtiva anemis (-/-), sklera
2. Kriteria minor
ikterik (-/-)
Edema ekstremitas
Leher : TVJ R+3 cmH2O
Batuk malam hari
Thorax : Inspeksi : Simetris fusiformis
54
Dyspnea d’effort Palpasi : Fremitus kanan < kiri
Hepatomegali Perkusi : Sonor di lap. paru kiri, bedah di
Efusi pleura lapangan paru kanan tengah dan bawah.
55
BAB 6
KESIMPULAN
Laporan kasus dengan pasien atas nama KZ, laki-laki, usia 52 tahun, berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien ini didiagnosis dengan
CHF Fc III ec. HHD dd/ CAD + TB kategori I + Efusi Pleura Dextra. Selama dirawat inap
pasien diterapi awal dengan :
- Bed rest posisi semifowler
- O2 2-4 L/i via nasal canule
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt/i mikro
- Inj Ranitidine 50 mg/12 jam/IV
- Inj. Furosemide 40 mg/6 jam/IV
- Captopril 3 x 12.5 mg
- Spironolactone 1 x 25 mg
- Bisoprolol 1 x 1.25 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
- Simvastatin 1 x 20 mg
Setelah 12 hari dirawat di RIC, pasien mengalami perbaikan keadaan umum dan
diperbolehkan pulang pada tanggal 4 April 2017.
56
DAFTAR PUSTAKA
1. Lilly LS, ed. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Massachusetts: Lippincolt
Williams & Wilkins. 2011.
2. Siswanto BB, Hersunarti N, Erwinanto, Barack R, Pratikto RS, Nauli SE, dkk.,
editors. Pedoman Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia; 2015.
3. Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, Simpson IA. Lecture Notes Kardiologi. Jakarta:
Erlangga. 2005.
4. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013. Available
from: www.litbang.depkes.go.id.download [Accessed 3 April 2017].
5. Gulliver GA, Sweitzer NK. Risk Factor Management and Lifestyle Modification in
Heart Failure. In: Antman EM. Cardiovascular Therapeutics: A Companion to
Braunswald’s Heart Disease. 3rd ed. Philadelphia: Saunders; 2007. p. 315–330.
6. Davis RC, Hobbs FDR, Lip GYH. History and Epidemiology. In: Davis RC, Davies
MK, Lip GYH. ABC of Heart Failure. 2nd ed. Oxford: Blackwell Publishing; 2007.
7. Marín-García J. Heart Failure: Bench to Bedside. New York: Humana Press; 2010
8. Panggabean MM. Gagal Jantung. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. h. 1132–1135.
9. McMurray JJV, Adamopoulos S, Anker SD, Auricchio A, Böhm M, Dickstein K, et
al. ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart
Failure 2012. European Heart Journal 2012;33:1787–1847.
10. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al. 2016
ESC Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute and Chronic Heart Failure.
European Heart Journal 2016;37:2129–2200.
11. Manurung D, Muhadi. Gagal Jantung Akut. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6.
Jakarta: Interna Publishing;2014. h. 1136–1147.
12. Ghanie A. Gagal Jantung Kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta:
Interna Publishing; 2014. h. 1148–1153.
13. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
PelayananKesehatan Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia; 2014.
57
14. Kemp CD, Conte JV. The Pathophysiology of Heart Failure. Cardiovascular
Pathology 2012;21:365-371.
15. British Medical Journal. Chronic Congestive Heart Failure: Differential Diagnosis.
BMJ 2016. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/61/diagnosis/differential.html.
16. Butler J. Primary Prevention Congestive Heart Failure. International Scholarly
Research Network Cardiology; 2012.
17. Dumitru I. Heart Failure [Internet]. 2016. Availabe from:
http://emedicine.medscape.com/article/163062-overview#a1.
58