Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 31

PRESENTASI KASUS

STATUS ASMATIKUS

Oleh:
Peter Darmaatmaja Setiabudi G99162069

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Asma merupakan penyakit heterogen, yang biasanya ditandai dengan
inflamasi kronis saluran napas. Infeksi kronis saluran napas didefinisikan adanya
riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak napas, dada terasa ampeg, dan batuk
yang bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya, bersamaan dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi. Variasi ini sering dipicu oleh berbagai macam
faktor seperti latihan, pajanan alergen, perubahan cuaca, atau infeksi pernapasan
akibat virus (GINA, 2016). Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara,
tetapi terlihat kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya.
Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan
jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar
mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas
udara dan berubahnya pola hidup masyarakat menjadi penyebab meningkatnya
asma (Kemenkes RI, 2014). Masih tingginya angka kejadian asma memerlukan
adanya pencegahan dan penanganan yang adekuat.
Gejala asma dapat menghilang secara spontan atau dengan pengobatan, dan
terkadang tidak muncul selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Pada
suatu waktu, pasien dapat mengalami kondisi eksaserbasi asma yang dapat
mengancam jiwa yang dikenal dengan status asmatikus (GINA, 2016).
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medik yang ditandai dengan
serangan eksaserbasi akut asma yang tidak responsif terhadap pengobatan asma
pada umumnya yaitu dengan pemberian nebulasi β2 agonis (bronkodilator) ,
steroid oral atau IV dan oksigen (Afzal & Tharrat, 2011). Status asmatikus dapat
bervariasi bentuk serangannya, ada yang ringan hingga berat dengan
bronkospasme, radang saluran napas, dan penumpukkan lendir yang dapat
menyebabkan kesulitan bernapas, retensi karbondioksida, hipoksemia, dan gagal
napas (Constantine KS, 2018). Untuk mencegah terjadinya perburukan kondisi
pada pasien dengan status asmatikus maka diperlukan pengetahuan mengenai
penatalaksanaan status asmatikus yang tepat terutama bagi dokter umum sebagai
tenaga kesehatan yang berada di garda terdepan sistem pelayanan kesehatan di
Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana patogenesis terjadinya status asmatikus?
2. Bagaimana cara mendiagnosis status asmatikus?
3. Bagaimana penatalaksanaan yang tepat pada pasien dengan status asmatikus?

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini ditulis untuk mengetahui patogenesis, diagnosis dan
penatalaksanaan status asmatikus.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asma merupakan penyakit heterogen, yang biasanya ditandai dengan
inflamasi kronis saluran napas. Infeksi kronis saluran napas didefinisikan adanya
riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak napas, dada terasa ampeg, dan batuk
yang bervariasi dari waktu ke waktu dan intensitasnya, bersamaan dengan
keterbatasan aliran udara ekspirasi. Variasi ini sering dipicu oleh berbagai macam
faktor seperti latihan, pajanan alergen, perubahan cuaca, atau infeksi pernapasan
akibat virus (GINA, 2016).
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medik yang ditandai dengan
serangan eksaserbasi akut asma yang tidak responsif terhadap pengobatan asma
pada umumnya yaitu dengan pemberian nebulasi β2 agonis (bronkodilator) ,
steroid oral atau IV dan oksigen (Afzal & Tharrat, 2011). Status asmatikus dapat
bervariasi bentuk serangannya, ada yang ringan hingga berat dengan
bronkospasme, radang saluran napas, dan penumpukkan lendir yang dapat
menyebabkan kesulitan bernapas, retensi karbondioksida, hipoksemia, dan gagal
napas (Constantine KS, 2018).

B. Epidemiologi
Angka kejadian asma bervariasi di berbagai negara, tetapi terlihat
kecenderungan bahwa penderita penyakit ini meningkat jumlahnya. Laporan
Organisasi Kesehatan Dunia WHO dalam World Health Report 2000
menyebutkan lima penyakit paru utama merupakan 17,4% dari seluruh kematian
di dunia, masing-masing terdiri dari infeksi paru 7,2%, Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK) 4,8%, tuberculosis 3,0%, kanker paru/ trake/ bronkus 2,1% dan
asma 0,3%. Saat ini penyakit asma masih menunjukkan prevalensi yang tinggi.
Berdasarkan data dari WHO (2002) dan GINA (2011), di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang menderita asma dan tahun 2025 diperkirakan
jumlah pasien asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat saja lebih besar
mengingat asma merupakan penyakit yang underdiagnosed. Buruknya kualitas
udara dan berubahnya pola hidup masyarakat menjadi penyebab meningkatnya
asma (Kemenkes RI, 2014).
Prevalensi angka kejadian asma di Indonesia tercatat pada Riskesdas tahun
2013 yang menunjukkan 18 provinsi yang mempunyai angka prevalensi penyakit
asma melebihi angka nasional, sebanyak 5 provinsi berada di urutan teratas yaitu
Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Yogyakarta, Sulawesi Selatan dan
Kalimantan Selatan. Berdasarkan data, penyakit asma banyak diderita pasien
dengan usia 25-34 tahun (5,7%), sementara usia <1 tahun memiliki prevalensi
asma terendah yaitu 1,5%. Data rawat inap menunjukkan pasien dengan status
asmatikus, tertinggi pada umur 25-44 tahun (31,56%), prevalensi terendah pada
usia 7-28 hari (0,05%). Sementara pada rawat jalan, pasien dengan status
asmatikus, tertinggi pada usia 25-44 tahun (29,95%), dan terendah pada usia 7-28
hari (0,43%) (Kemenkes RI, 2014).

C. Faktor Risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host
factor) dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik
(atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan
mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk
berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan
yaitu alergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga. Interaksi
faktor genetik/ pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :
a. pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan
genetik asma,
b. baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit
asma.
D. Patogenesis
Sampai saat ini patogenesis dan etiologi asma belum diketahui secara pasti.
Namun berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, dasar gejala asma adalah
inflamasi dan respon saluran napas yang berlebihan. Asma merupakan inflamasi
kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil,
sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai
faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma
intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai
bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang
dicetuskan aspirin (PDPI, 2011).
Seperti telah dikemukakan di atas baik asma alergik maupun non alergik
dijumpai adanya inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas. Oleh karena itu paling
tidak dikenal 2 jalur untuk mencapai kedua keadaan tersebut yaitu jalur
imunologis dan jalur saraf autonom. Pada jalur imunologis, didominasi oleh IgE,
masuknya alergen ke dalam tubuh akan diolah oleh APC (Antigen Presenting
Cells). Setelah itu alergen akan dikomunikasikan ke sel Th, sel Th akan
melepaskan interleukin atau sitokin agar sel-sel plasma membentuk IgE, serta sel-
sel radang lain seperti mastosit, makrofag, sel epitel, eosinophil, neutrophil,
trombosit serta limfosit untuk mengeluarkan mediator-mediator inflamasi.
Mediator-mediator inflamasi seperti histamin, prostaglandin (PG), leukotrien (LT),
platelet activating factor (PAF), bradikinin, tromboksan (TX) akan mempengaruhi
organ sasaran sehingga menyebabkan peningkatan permeabilitas vascular, edema
saluran napas, infiltrasi sel-sel radang, sekresi mucus, dan fibrosis sub epitel
sehingga menimbulkan hiperaktivitas saluran napas. Jalur non alergik selain
merangsang sel inflamasi, juga merangsang sistem saraf autonomy dengan hasil
berupa inflamasi dan hiperaktivitas saluran napas (Sundaru dan Sukamto, 2014).
Perbedaan pasien asma dengan orang normal adalah sifat saluran napas pasien
asma yang sangat peka terhadap berbagai rangsangan seperti iritan (debu), zat
kimia (histamine, metakolin), dan fisis (kegiatan jasmani). Pada asma alergik,
selain peka terhadap rangsangan di atas, pasien juga peka terhadap alergen yang
spesifik. Sebagian hiperaktivitas saluran napas didapat sejak lahir, sebagian lagi
didapat (Sundaru dan Sukamto, 2014). Berbagai keadaan dapat meningkatkan
hiperaktivitas saluran napas yaitu:
1. Inflamasi saluran napas
a) Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain
alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut yang
terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi
asma tipe lambat.
1) Reaksi asma tipe cepat
Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease dan newly generated
mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan
kontraksi otot polos bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
2) Reaksi asma tipe lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan
melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan
makrofag.
b) Inflamasi kronik
Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah
limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos
bronkus.
2. Airway Remodelling
Proses inflamasi kronik pada asma akan meimbulkan kerusakan jaringan
yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process)
yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian selsel mati/rusak dengan
sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang
sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan peyambung
yang menghasilkan jaringan skar. Pada asma, kedua proses tersebut
berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi yang kemudian akan
menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme sangat
kompleks dan banyak belum diketahui dikenal dengan airway remodeling.
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari
diferensiasi, migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan
penyambung dengan diikuti oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur
dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan peningkatan otot polos dan
kelenjar mucus (PDPI, 2011).
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan
remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga
komponen lainnya seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal,
matriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya,
pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan struktur yang terjadi :
Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas, Hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mucus, Penebalan membran retikular basal, Pembuluh darah
meningkat, Matriks ekstraselular fungsinya meningkat, Perubahan struktur
parenkim, Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis (PDPI,
2011).
Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda
asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan
napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling
bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobatan dari
proses tersebut (PDPI, 2011).
E. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi asma bronchial berdasarkan Konsensus PDPI 2003
Derajat Gejala Gejala Malam Faal Paru
Asma
Intermitten Gejala <1x/minggu 2x sebulan VEP1 80% nilai
Tanpa gejala diluar prediksi
serangan APE 80% nilai
Serangan singkat terbaik
Variability APE
<20%
Persisten Gejala >1x/minggu >2x sebulan VEP1 80% nilai
Ringan tapi <1x/hari prediksi
APE 80% nilai
terbaik
Variability APE
20%-30%
Persisten Gejala setiap hari >1x seminggu VEP1 60-80%
Sedang Serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80%
aktivitas dan tidur nilai terbaik
Membutuhkan Variability APE
bronkodilator tiap >30%
hari
Persisten Gejala terus Sering VEP1 <60%
Berat menerus nilai prediksi
Sering kambuh APE <60% nilai
Aktivitas fisik terbaik
terbatas Variability APE
>30%

Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan serangan asma


Gejala dan Berat Serangan Asma Keadaan
Tanda Ringan Sedang Berat Mengancam
jiwa
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -
Posisi Dapat tidur Duduk Duduk -
telentang membungkuk
Cara 1 kalimat Beberapa Kata demi -
berbicara kata kata
Kesadaran Mungkin Gelisah Gelisah Mengantuk,
gelisah gelisah,
kesadaran
menurun
RR <20x/menit 20- >30x/menit -
30x/menit
Nadi <100x/meni 100-120x >120x menit Bradikardia
t /menit
Pulsus - +/- 10-20 + -
paradoksus 10 mmHg mmHg >25 mmHg Kelelahan otot
Otot bantu - + + Torakoabdomi
napas dan nal paradoksal
retraksi
suprasterna
l
Mengi Akhir Akhir Inspirasi dan Silent chest
ekspirasi ekspirasi ekspirasi
paksa
APE > 80 % 60-80 % < 60% -
PaO2 > 80 mmHg 80-60 < 60 mmHg -
mmHg
PaCO2 < 45 mmHg < 45 > 45 mmHg -
mmHg
SaO2 > 95 % 91-95 % < 90 % -

F. Diagnosis
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema dan
hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka sebagai kompensasi penderita
bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk mengatasi menutupnya saluran
napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya
terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai
gejala lain misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas.
Riwayat penyakit / gejala :
 Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
 Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
 Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
 Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
 Respons terhadap pemberian bronkodilator
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
 Riwayat keluarga (atopi)
 Riwayat alergi / atopi
 Penyakit lain yang memberatkan
 Perkembangan penyakit dan pengobatan
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Spirometri
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti vital
paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada kemampuan penderita
sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas dan kooperasi penderita.
Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai
rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Manfaat
pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma: (PDPI, 2011)
 Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
 Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah
inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah pemberian
bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma
 Menilai derajat berat asma
2. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan termasuk
puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter relatif mudah
digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita, sebaiknya digunakan
penderita di rumah sehari-hari untuk memantau kondisi asmanya. Manuver
pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa membutuhkan koperasi penderita dan
instruksi yang jelas. Manfaat APE dalam diagnosis asma: (GINA, 2016)
 Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE > 15% setelah inhalasi bronkodilator
(uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari, atau respons
terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral, 2 minggu)
 Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan variabiliti APE
harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat digunakan menilai derajat
berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal paru
lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat berat
obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya dibandingkan
dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi normal; kecuali tidak
diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan.(GINA, 2016)
H. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah
gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang
menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat
episodik.Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai pendekatan
yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman dan dari segi
harga terjangkau (PDPI, 2011).
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
(PDPI, 2011)
Pengontrol (Controllers)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma,
diberikan setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma
terkontrol pada asma persisten. Pengontrol sering disebut pencegah, yang
termasuk obat pengontrol : (PDPI, 2011)
 Kortikosteroid inhalasi  Agonis beta-2 kerja lama, oral
 Kortikosteroid sistemik  Leukotrien modifiers
 Sodium kromoglikat  Antihistamin generasi ke dua
 Nedokromil sodium (antagonis -H1)
 Metilsantin  Lain-lain
 Agonis beta-2 kerja lama,
inhalasi
Pelega (Reliever)
Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos, memperbaiki
dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan dengan gejala akut seperti
mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas atau
menurunkan hiperesponsif jalan napas. (PDPI,2003)
 Agonis beta2 kerja singkat
 Kortikosteroid sistemik. (Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
 Antikolinergik
 Aminofillin
 Adrenalin
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.
Demikian pula penderita exercise induced asthma atau kambuh hanya bila cuaca
buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal paru
normal (PDPI, 2011).
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan alternatif
kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen dengan alternatif
kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2 kerja singkat inhalasi,
alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi teofilin kerja singkat dan
agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik inhalasi. Jika dibutuhkan
bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3 bulan, maka sebaiknya
penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan (PDPI, 2011).
Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah berat
sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi setiap hari
dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang dianjurkan 200-400
ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya, diberikan sekaligus atau
terbagi 2 kali sehari (PDPI, 2011).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari, pertimbangkan
kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan berikutnya (PDPI, 2011).
Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap
hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya
pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/ hari
atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan agonis beta-
2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya mendapatkan glukokortikosteroid
inhalasi dosis rendah (£ 400 ug BD atau ekivalennya) dan belum terkontrol; maka
harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi atau alternatifnya. Jika masih
belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan
menggunakan alat bantu/ spacer pada inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi
dalam satu kemasan (fix combination) agar lebih mudah (PDPI, 2011).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan, tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Alternatif agonis beta-
2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja singkat oral, atau
kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat. Teofilin kerja
singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah menggunakan teofilin lepas
lambat sebagai pengontrol (PDPI, 2011).
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal paru
(APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan efek
samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut umumnya
membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu pengontrol. Terapi
utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis tinggi (> 800 ug BD/
hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Kadangkala
kontrol lebih tercapai dengan pemberian glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali
sehari daripada 2 kali sehari (PDPI, 2011).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya sebagai
kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat sebagai
tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim (glukokortikosteroid inhalasi
dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika sangat dibutuhkan, maka dapat
diberikan glukokortikosteroid oral dengan dosis seminimal mungkin, dianjurkan
sekaligus single dose pagi hari untuk mengurangi efek samping. Pemberian
budesonid secara nebulisasi pada pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis
tinggi glukokortikosteroid inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik
yang sama dengan pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan
menimbulkan efek samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak
dianjurkan untuk memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar
serangan/ stabil atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang (PDPI, 2011).

Tabel 2. Tabel Pengobatan Sesuai Derajat Berat Asma

Berat Asma Medikasi Pengontrol Alternatif/Pilihan Alternatif Lain


Harian Lain
Intermitten ------ ------- ------
Persisten Ringan Glukokortikosteroid Teofilin lepas lambat ------
inhalasi (200-400 ug Kromolin
BD/hari atau Leukotriene
ekivalennya) Modifiers
Persisten Kombinasi inhalasi Glukokortikosteroid Ditambah
Sedang glukokortikosteroid inhalasi (400-800 ug agonis beta-2
(400-800 ug BD/hari BD atau ekivalennya) kerja lama
atau ekivalennya) ditambah Teofilin oral, atau
dan agonis beta-2 lepas lambat ,atau
kerja lama Ditambah
Glukokortikosteroid teofilin lepas
inhalasi (400-800 ug lambat
BD atau ekivalennya)
ditambah agonis beta-
2 kerja lama oral,
atau

Glukokortikosteroid
inhalasi dosis tinggi
(>800 ug BD atau
ekivalennya) atau

Glukokortikosteroid
inhalasi (400-800 ug
BD atau ekivalennya)
ditambah leukotriene
modifiers
Persisten Berat Kombinasi inhalasi Prednisolon/
glukokortikosteroid metilprednisolon oral
(> 800 ug BD atau selang sehari 10 mg
ekivalennya) dan ditambah agonis beta-
agonis beta-2 kerja 2 kerja lama oral,
lama, ditambah 1 di ditambah teofilin
bawah ini: lepas lambat
- teofilin lepas
lambat
- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling tidak 3
bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal mungkin
dengan kondisi asma tetap terkontrol (PDPI, 2011).
Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi (GINA, 2016)
Initial Assesment
Riwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen

Initial Treatment
Oksigen smapai saturasi oksigen >95%, inhalasi β2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan

Re-Assesment setelah 1 jam


Pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2

Kriteria episode moderate (sedang) : Kriteria episode severe (berat)


- PEF 60-80% nilai prediksi/terbaik - PEF <60% nilai prediksi/terbaik
- Tes Fisik : Gejala moderate, - Gejala berat timbul pada waktu
penggunaan otot bantu nafas istirahat
Treatment - Riwayat faktor resiko yang mendekati
- O2 (target SaO2: >95%) asma lanjut
- Inhalasi SABA nebulisasi atau 4-10 Treatment
puff tiap 20mnt selama 1 jam - O2
- Prednison : 1mg/kgBB max dewasa 50 - Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap
mg, anak 40 mg jam
- Sistemik glukokortikosteroid
- Injeksi IV magnesium

Re-Assesment setelah 1 jam

Respon baik : Respon inkomplit (1-2 Respon buruk (1-2 jam):


- PEF >70% jam): - PEF<30%
- SO2 >90% - Gejala ringan-sedang - PCO2>45mmHg
- Tidak ada distress - PEF<60% - PO2<60mmHg
pernafasan - SO2 tidak ada perubahan Intensive Care (ICU) :
Acute care setting: - O2
- O2 - Inhalasi β2-
Perubahan : kriteria - Inhalasi β2- agonist+antikolinergik
pulang agonist+antikolinergik - Pertimbangkan IV β2-
- PEF >60% - IV magnesium agonist
- Obat oral/inhalasi - Monitor PEF, SO2, nadi - Pertimbangkan IV
- Lanjutkan SABA kortikosteroid
- Lanjurkan - Intubasi dan ventilasi
prednisone 5-7 hari mekanik
Re-Assesment
- Pertimbangkan
kombinasi inhalasi
- Edukasi
Perbaikan Respon buruk : ICU
- Follow up 2-7 hari
Respon inkomplit dalam 6-
12 jam : pertimbangkan ICU
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan asma
 Dewasa
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (µg) Sedang (µg) Tinggi (µg)
Beclomethasone
dipropionate – 200-500 >500-1000 >1000-2000
CFC
Beclomethasone
dipropionate – 100-250 >250-500 >500-1000
HFA
Budesonide 200-400 >400-800 >8--0-1680
Ciclesonide 80-160 >160-320 >320-1280
Flunisolide 500-1000 >1000-2000 >2000
Fluticazone
100-250 >250-500 >500-1000
propionate
Mumetasone
200 400 >800
fuoat
Triamcinolone
400-1000 >1000-2000 >2000
acetonide

 Anak-anak
Obat Dosis Harian Dosis Harian Dosis Harian
Rendah (µg) Sedang (µg) Tinggi (µg)
Beclomethasone
100-200 >200-400 >400
dipropionate
Budesonide 100-200 >200-400 >400
Budesenide neb 250-500 >500-1000 >1000
Ciclesonide 80-160 >160-320 >320
Flunisolide 500-750 >750-1250 >1250
Fluticazone
100-200 >200-500 >500
propionate
Mumetasone
100 >200 >400
fuoat
Triamcinolone
400-800 >800-1200 >1200
acetonide
(GINA, 2016).
Tabel 3. Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan tempat
pengobatan
TEMPAT
SERANGAN PENGOBATAN
PENGOBATAN
RINGAN Terbaik: Di rumah
Aktiviti relatif normal Inhalasi agonis beta-2 Di praktek dokter/
Berbicara satu kalimat Alternatif: klinik/ puskesmas
dalam satu napas Kombinasi oral agonis beta-2
Nadi <100 dan teofilin
APE > 80%

SEDANG Terbaik: Darurat Gawat/ RS


Jalan jarak jauh Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
timbulkan gejala Alternatif: Praktek dokter
Berbicara beberapa -Agonis beta-2 subkutan Puskesmas
kata dalam satu napas -Aminofilin IV
Nadi 100-120 -Adrenalin 1/1000 0,3ml SK
APE 60-80% Oksigen bila mungkin
Kortikosteroid sistemik

BERAT Terbaik: Darurat Gawat/ RS


Sesak saat istirahat Nebulisasi agonis beta-2 tiap 4 jam Klinik
Berbicara kata perkata Alternatif:
dalam satu napas -Agonis beta-2 SK/ IV
Nadi >120 -Adrenalin 1/1000 0,3ml SK
APE<60% Aminofilin bolus dilanjutkan drip
Oksigen
Kortikosteroid IV
MENGANCAM JIWA
Kesadaran berubah/
menurun Seperti serangan akut berat Darurat Gawat/ RS
Gelisah Pertimbangkan intubasi dan ICU
Sianosis ventilasi mekanis
Gagal napas

I. Prognosis
Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama observasi dan
definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari kepustakaan
didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa sekitar 26% - 78%
(Suyono, 2006).
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih baik,
kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat dermatitis
atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan memberikan
kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai usia dewasa. Asma
yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan sukar ditanggulangi. Smith
menemukan 50% dari penderitanya mulai menderita asma sewaktu anak. Karena
itu asma pada anak harus diobati dan jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang
sendiri. Komplikasi pada asma terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan
kematian (Suyono,2006).
BAB III
ILUSTRASI KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. F
Umur : 35 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Sesak napas sejak 1 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar oleh keluarga ke IGD Rumah Sakit Dr. Moewardi
Surakarta dengan keluhan sesak napas sejak 1 jam yang lalu. Keluhan sesak napas
muncul saat pasien sedang membersihkan gudang di rumahnya dan saat itu pasien
tidak menggunakan masker. Keluhan sesak napas dirasakan terus-menerus dan
tidak membaik meskipun pasien sudah menyemprotkan obat pelega sebanyak 2
kali semprot. Pasien merasa lebih nyaman dalam posisi duduk membungkuk
daripada berbaring di kasur. Pasien hanya dapat berbicara penggal kalimat. Saat
sesak napas, pasien mengeluhkan suara ngik-ngik saat menghembuskan nafas.
Pasien mengaku mempunyai riwayat sesak napas sejak 1 tahun yang lalu.
Sesak napas timbul setiap hari yang mengganggu aktivitas pasien. Keluhan sesak
napas juga muncul di malam hari sebanyak 3 kali dalam satu minggu. Saat sesak
napas, pasien menyemprotkan obat pelega dan biasanya membaik. Pasien
mendapatkan obat pelega dari praktek dokter umum saat pertama kali serangan.
Pasien mengaku sudah tidak kontrol berobat sejak 6 bulan terakhir dan tidak mau
memakai masker ketika membersihkan rumah. Keluhan batuk berdahak (-), demam
(-), keringat malam hari (-).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat penyakit serupa : (+) sejak 1 tahun
b. Riwayat alergi : (+), sesak napas saat membersihkan rumah
c. Riwayat Keluarga : (+), ibu pasien dan kakak pasien
d. Riwayat batuk lama : disangkal

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum Sakit sedang, gelisah, sesak napas
Status Gizi BB: 55 kg
TB: 165 cm
BMI: 20,37 (normoweigh)
Tanda Vital Tensi : 110/70 mmHg
Nadi : 120 x/ menit, irama reguler, isi dan tegangan cukup
Frekuensi Respirasi : 30 x/menit
Suhu : 36,8 0C
SpO2 : 91% dengan udara ruang
Kepala Bentuk mesocephal, rambut warna hitam, uban
(-), mudah rontok (-), luka (-)
Mata Mata cekung (-/-), konjunctiva pucat (-/-), SI (-/-), perdarahan
subkonjugtiva (-/-), pupil isokor dengan diameter (3 mm/3
mm), reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-), strabismus (-/-
)
Telinga Membran timpani intak, sekret (-), darah (-), nyeri tekan
mastoid (-), nyeri tekan tragus (-), Berdenging(-)
Hidung Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi
penghidu baik
Mulut Sianosis (-), gusi berdarah (-), bibir kering (-), pucat (-), lidah
tifoid (-),stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-)
Leher JVP R+2cm (tidak meningkat), trakea di tengah, simetris,
pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran limfonodi cervical
(-), leher kaku (-), distensi vena-vena leher (-)
Thorax Bentuk normochest, simetris, pengembangan dada kanan =
kiri, retraksi intercostal (-), pernafasan torakoabdominal, sela
iga melebar (-), pembesaran KGB axilla (-/-), atropi m
pectoralis (-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II linea sternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis
dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah : SIC V 1 cm medial linea
medioklavicularis sinistra
Pinggang jantung : SIC II-III parasternalis sinistra
→ konfigurasi jantung kesan tidak melebar
Auskultasi HR : 120 kali/menit reguler. Bunyi jantung I-II, bising (-),
gallop (-).
Pulmo :
Inspeksi Normochest, simetris, sela iga melebar (-), iga mendatar (-).
Pengembangan dada kanan = kiri, sela iga melebar, retraksi
intercostal (+) sedang, retraksi suprasternal (+)
Palpasi Simetris. Pergerakan dada ka = ki, penanjakan dada ka = ki,
fremitus raba kanan = kiri
Perkusi sonor / sonor
Auskultasi Suara dasar vesikuler intensitas normal, suara tambahan
wheezing (+/+) nyaring, terdengar sepanjang ekspirasi dan
inspirasi
Punggung kifosis (-), lordosis (-), skoliosis (-), nyeri ketok kostovertebra
(-),

Abdomen :

Inspeksi Dinding perut lebih besar dari dinding thorak, distended (-),
venektasi (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusae (-)
Auscultasi Peristaltik (+) normal
Perkusi Timpani
Palpasi Supel,nyeri tekan (-)
Genitourinaria : Ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-)
Ekstremitas : Akral dingin Odem
_ _ _ _
_ _ _ _

D. Planning
1. Foto rontgen paru AP/ Lateral
2. Pemeriksaan faal paru (APE)
E. Assesment
Serangan asma akut sedang dalam asma persisten sedang
F. Terapi
1) Saat Serangan
- O2 3L/menit dengan nasal kanul
- Nebulisasi Berotect 0,1% (20 tetes) : Atrovent 0,025% (20 tetes) setiap 20
menit dalam 1 jam
- Prednisone tab 5 mg per oral
- Evaluasi respon terapi setelah 1 jam pemberian nebulisasi, bila respon terapi
baik dapat dirawat jalan dengan pemberian obat rawat jalan dan edukasi.
2) Edukasi
- Penggunaan pemakaian inhaler yang benar.
- Memberikan pemahaman kepada pasien tentang tanda-tanda serangan asma
dan bagaimana langkah mengatasinya
- Kontrol kembali 5 hari kemudian
3) Terapi Rawat Jalan
- Symbicort Turbuhaler (Budesonide 160 mcg dan Formoterol 4,5 mcg)
kemasan 60/120 dosis
Resep Saat Serangan
R/ Respiflow No. I
cum nasal kanul No. I
S imm
p
R/ Berotect 0,1% larutan inhalasi 50 ml No. I
S imm (20 tetes tiap 20 menit dalam 1 jam)
p
R/ Atrovent 0,025% larutan inhalasi 20 ml No. I
S imm (20 tetes tiap 20 menit dalam 1 jam)
P
R/ Nebu mask dewasa No. I
S imm
P
R/ Prednisone tab 5 mg No. I
S 1 dd tab I po
p
Pro : Ny. F (35 tahun)

Resep Rawat Jalan


R/ Symbicort turbuhaler No. I
S prn (1-2) dd puff II uc
P
Pro: Ny. F ( 35 tahun)

You might also like