Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 2

Khilafiyyah Furuiyyah

‫ ول يشدد عليهم‬. ‫ وقد قال أحمد في رواية المروذي ل ينبغي للفقيه أن يحمل الناس على مذهبه‬.

"Imam Ahmad berkata dalam sebuah riwayat al Maruzi, tidak seharusnya seorang ahli fiqih membebani
manusia untuk mengikuti madzhabnya dan tidak boleh bersikap keras kepada mereka.

(Adab Asy Syar’iyyah).

-Mufti fatwa madzhab safe'i Imam An Nawawi

"Dan Adapun yg terkait masalah ijtihad, tidak mungkin orang awam menceburkan diri ke dalamnya,
mereka tidak boleh mengingkarinya, tetapi itu tugas ulama. Kemudian, para ulama hanya mengingkari
dalam perkara yg disepakati para imam. Adapun dalam perkara yg masih diperselisihkan, maka tidak
boleh ada pengingkaran di sana. Karena berdasarkan dua sudut pandang setiap mujtahid adalah benar.
Ini adalah sikap yg dipilih olah mayoritas para ulama peneliti (muhaqqiq). Sedangkan pandangan lain
mengatakan bahwa yg benar hanya satu, dan yg salah kita tidak tahu secara pasti, dan dia telah
terangkat dosanya".

(Syarah Muslim).

Jadi, yg boleh diingkari hanyalah yg jelas² bertentangan dengan nash qath’i dan ijma’. Adapun zona
ijtihadiyah, maka tidak bisa saling menganulir.

-Imam As Suyuthi ketika membahas kaidah² syariat, berkata dalam kitab al Asybah wa An Nazhair:

‫ وإنما ينكر المجمع عليه‬, ‫القاعدة الخامسة والثلثاون ” ل ينكر المختلف فيه‬

"Tidak boleh ada pengingkaran terhadap masalah yg masih diperselisihkan. Seseungguhnya


pengingkaran hanya berlaku pd pendapat yg bertentangan dengan ijma’ (kesepakatan) para ulama.
Sesungnya perselisihan dalam cabang (furu’) agama adalah hal yg NISCAYA tidak mungkin kita bisa
menyatukan pandangan dan madzhab dalam masalah furu’ disebabkan beberapa hal perbedaan
kemampuan akal dalam mengistimbath dan dalam memahami dalalah hadits. Dan juga perbedaan
dalam kemampuan menyelami makna dan hubungan antara hakikat satu dengan yg lainnya. Juga
perbedaan wawasan keilmuan. Seseorang memiliki wawasn yg tidak dimiliki orang lain.

Dari sekian banyak persoalan khilafiyah furu atau diperselisihkan antara ulama dalam masalah "cabang.
Salah satunya ialah seperti apakah membaca basmalah di shalat² fardhu yg diharuskan mengeraskan
bacaannya, antara lain Shalat Maghrib, Isya’, dan Shubuh. Apakah basmalah tersebut dibaca dengan
keras pula atau cukup dibaca pelan sebagaimana Shalat Zhuhur dan Ashar !?

Sekilas pendapat lintas mazhab.

Mestinya, umat saat ini, tak perlu saling menuding dan mengklaim paling benar.
Ada tiga pendapat utama terkait soalan ini.

- Pendapat pertama pilihan Mazhab Hanafi (80- .150) & Ahmad (163- 239) tidak mengeraskan sirr ( lirih).

Pendapat ini merujuk pada sejumlah dalil antaralain hadis dari Anas bin Malik ra riwayat Bukhari dan
Muslim. Selaku, orang yg sering menemani Rasulullah, Anas belum pernah mendengar Rasul membaca
basmalah dengan keras selama shalat. Ini dikuatkan pula dengan riwayat Abdullah bin Mughaffil ra,
riwayat Nasai dan Tirmidzi.

- Pendapat yg kedua mengatakan, hendaknya membaca basmalah di kategori shalat tersebut secara
keras. Ini adalah pandangan Imam Syafi’i (150 - 204). Rujukan madzhab ini ialah hadis dari, Abu Hurairah
ra membaca basmalah sebelum Fatihah.

Imam an Nawawi mufti fatwa mazdhab Safeiiyah mengatakan, pembacaan basmalah secara keras adalah
pendapat mayoritas ulama dari sahabat, tabiin, para ahli fiqh dan para qari. Dari kalangan sahabat ada
nama Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Ammar bin Yasir, Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Abdullah
bin Abbas.

- Sementara, pihak yg ketiga mencoba menggabungkan kedua pendapat di atas. Seseorang leluasa
memilih apakah harus mengeraskan bacaan basmalah atau hendak memelankannya. Akan sangat baik
bila sesekali dibaca keras dan di lain waktu dibaca pelan. Ini adalah pendapat Ishaq bin Rahawaih dan Ibn
Hazm (era imam Malik 93 H)

Selain ketiga pendapat di atas, masih terdapat pendapat yg lain. Mazhab Maliki misalnya. Mazhab yg
berafiliasi pada Imam Malik bin Anas tersebut, menilai hukumnya makruh membaca basmalah ketika
shalat secara mutlak.

Baik sebelum pembacaan surah al Fatihah, atau surah berikutnya. Dan apapun cara pembacaannya,
secara pelan atau keras, maka makruh. Hanya saja, Imam Qarafi dari Mazhab Maliki lebih memilih
membuat pernyataan yg berbeda dari kebanyakan imam di mazhabnya tersebut. Ia menyatakan, sebagai
bentuk kehati-hatian dan keluar dari perbedaan, maka tetap membaca basmalah. Cukup pelan saja.

Wallohu a'lam

You might also like