Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 7

A.

Definisi
Sepsis merupakan sindrom respon inflamasi sistemik terhadap suatu
infeksi yang dapat mengakibatkan disfungsi multiorgan dan kematian (O’brien,
2007). Syok sepsis didefinisikan sebagai bagian sepsis yang timbul akibat
kelainan sirkulasi darah dan metabolik seluler yang dapat menyebabkan
kematian lebih tinggi (SSC, 2016).
B. Etiologi
Sepsis terjadi oleh karena adanya infeksi mikroorganisme yang masuk ke
dalam tubuh baik yang didapat di masyrakat atau melalui tindakan perawatan
medis di fasilitas kesehatan. Pneumonia merupakan penyebab sepsis yang
paling sering ditemukan, selain itu terdapat juga infeksi intraabdominal dan
infeksi saluran kemih. Bakteri yang sering ditemukan adalah bakteri gram
negatif seperti Eschericia coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa.
Bakteri gram positif juga ditemukan pada kasus sepsis yaitu Staphylococcus
aureus dan Streptococcus pneumonia (Ranieri et al., 2012 dan Opal SM et al.,
2003).
Faktor risiko sepsis berhubungan dengan predisposisi penyakit infeksi
pada pasien dan disfungsi organ akut yang berkembang. Beberapa faktor risiko
yang menyebabkan sepsis yaitu penyakit kronis (contoh penyakit paru
obstruktif kronik, kanker) dan penggunaan agen imunosupresif. Faktor ras,
jenis kelamin, dan etnis berpengaruh pada terjadinya sepsis pada bayi dan
orang tua, lebih tinggi pada laki-laki, dan lebih tinggi pada orang berkulit hitam
(Angus DC et al., 2001 dan Mayr FB et al., 2010).
C. Patofisiologi
Pada bakteria gram negatif, lipopolisakarida (LPS, juga disebut sebagai
endotoksin) memainkan peranan penting. LPS tertanam pada membran luar,
dan bagian molekul yang disebut sebagai lipid A terkait pada dinding sel
bakterial. Pada bakteri gram positif tidak terdapat endotoksin, namun fitur
penting pada bakteri golongan ini adalah kemampuannya untuk memproduksi
eksotoksin poten. Eksotoksin gram positif menarik perhatian besar, oleh karena
mereka memperlihatkan sifat-sifat sebagai superantigen, yang dapat berikatan
secara aktif terhadap kompleks histokompatibilitas mayor kelas II dan juga
domain-domain Vb reseptor limfosit T. Sifat-sifat ini membuat mereka dapat
menyebabkan aktivasi sel T secara masif dan melepaskan limfokin-limfokin
pro-inflamasi. Sindrom paling dikenal adalah sindrom renjatan toksik yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus penghasil toksin sindrom renjatan
toksik 1 (TSST-1; toxic shock syndrom toxin-1) dan eksotoksin pirogenik
dari Streptococcus pyogenes. Peptidoglikan dan asam lipoteikoat dari dinding
sel gram positif dapat berikatan kepada reseptor permukaan sel dan bersifat
pro-inflamatorik, meskipun demikian mereka lebih kurang aktif dibandingkan
dengan LPS (Silva E et al., 2008; Remick DG, 2007; Rudiger A, Stotz M,
Singer M, 2008).
Respon spesifik pasien bergantung pada patogen penyebab (jumlah dan
virulensi) dan pejamu (genetik dan penyakit yang ada pada pasien). Secara
umum, reaksi proinflamasi (penghilangan patogen) berperan pada kerusakan
jaringan, sementara reaksi antiinflamasi (pembatasan cedera jaringan lokal dan
sistemik) berperan dalam terjadinya infeksi sekunder (van der Poll dan Opal
SM, 2008).

Gambar 1. Respon host terhadap sepsis ditandai dengan respon proinflamasi


(panel atas, merah) dan respon imunosupresif antiinflamasi (bagian bawah
panel, berwarna biru). Arah, luas, dan durasi reaksi ini ditentukan oleh kedua
faktor inang (misalkan karakteristik gen, usia, penyakit yang menyertai, dan
obat-obatan) dan faktor patogen (misalkan jumlah patogen dan virulensi).
Respon inflamasi diprakarsai oleh interaksi antara sinyal molekuler yang
dilepaskan oleh patogen dan reseptor pengenalan sinyal diekspresikan oleh sel
inang pada permukaan sel (Toll Like-Receptor [TLR] dan reseptor lektin tipe C
[CLRs]), di endosome (TLRs), atau di sitoplasma (reseptor gen receptor 1-
asam retinoat yang dapat diinduksi [RLR] dan reseptor mirip-oligomerisasi
nukleotida yang mengikat nukleotida [NLRs]). Konsekuensi dari
pembengkakan yang berlebihan adalah kerusakan jaringan dan kematian sel
nekrotik, yang berakibat pada pelepasan pola molekuler yang terkait dengan
kerusakan, yang disebut molekul bahaya yang melanggengkan peradangan
setidaknya sebagian dengan bertindak pada reseptor pengenalan pola yang
sama yang dipicu oleh patogen.

Sepsis dikaitkan dengan terjadinya gangguan koagulasi darah yang


menyebabkan koagulasi intravaskular diseminata (Levi M dan van der Poll,
2010). Kelebihan deposisi fibrin dipengaruhi oleh koagulasi melalui faktor
jaringan, glikoprotein transmembran yang diekspresikan oleh berbagai jenis
sel. Terganggunya mekanisme antikoagulan termasuk sistem C dan
antitrombin, oleh karena adanya penyumbatan fibrin menyebabkan depresi
pada sistem fibrinolitik.
Gambar 2. Sepsis dikaitkan dengan trombosis mikrovaskular yang disebabkan
oleh aktivasi koagulasi bersama (dimediasi oleh faktor jaringan) dan penurunan
mekanisme antikoagulan sebagai konsekuensi berkurangnya aktivitas jalur
antikoagulan endogen (dimediasi oleh protein aktif C, antitrombin, dan
penghambat jalur faktor jaringan), ditambah gangguan fibrinolisis karena
peningkatan pelepasan inhibitor aktivator plasminogen tipe 1 (PAI-1).
Kapasitas untuk menghasilkan protein aktif C terganggu setidaknya sebagian
oleh ekspresi tereduksi dari dua reseptor endotel: trombomodulin (TM) dan
reseptor protein endotel C. Pembentukan trombus selanjutnya difasilitasi oleh
perangkap ekstraselular neutrofil (NET) yang terlepas dari neutrofil sekarat.
Pembentukan trombus menghasilkan hipoperfusi jaringan, yang diperparah
oleh vasodilatasi, hipotensi, dan penurunan deformabilitas sel merah. Oksigen
jaringan lebih lanjut terganggu oleh hilangnya fungsi penghalang endotelium
karena hilangnya fungsi cadherin kader vaskular (VE), perubahan pada
sambungan ketat sel ke sel endotel, tingkat angiopoietin 2 yang tinggi, dan
keseimbangan yang terganggu antara Reseptor fosfat sphingosin-1 (S1P1) dan
S1P3 di dalam dinding vaskular, yang setidaknya sebagian disebabkan oleh
induksi komersil S1P3 melalui reseptor aktif protease 1 (PAR1) sebagai hasil
dari rasio protein aktif C yang dikurangi terhadap trombin. Penggunaan
oksigen terganggu pada tingkat subselular karena kerusakan mitokondria akibat
stres oksidatif.

Sistem kekebalan seperti mekanisme seluler, humoral, dan saraf akan


mengurangi efek membahayakan dari respon proinflamasi. Sel-sel fagosit
dapat berubah menjadi respon antiinflamasi yang akan mendorong perbaikan
jaringan, sementara sel T regulator dan sel supresor myeloid akan menurunkan
inflamasi. Mekanisme saraf dapat menghambat inflamasi. Respon
neuroinflamasi akan diteruskan ke batang otak melalui nervus vagus afferen,
sementara nervus vagus eferen akan mengaktifkan saraf limpa di pleksus
seliaka yang akan menghasilkan norepinefrin di limpa dan asetilkolin yang
dihasilkan oleh CD 4+ (Andersson U dan Tracey KJ, 2012). Pasien dengan
bantuan perawatan intensif dapat menyebabkan terjadinya penekanan sistem
imun tubuh, yang terlihat dengan adanya penurunan HLA-DR pada sel
myeloid. Penekanan sistem imun tubuh ini biasanya dikarenakan adanya fokus
infeksi yang sedang berlangsung. Selain itu, adanya gangguan pada fungsi
organ yang terinfeksi seperti limpa dan paru-paru menunjukkan adanya
imunosupresi akibat terhambatnya sel T pada parenkim (Boomer JS et al.,
2011).
Mekanisme yang mendasari kegagalan organ dalam sepsis hanya sebagian
yang dijelaskan. Pada keadaan syok septik terjadi gangguan oksigenasi
jaringan. Faktor risiko seperti hipotensi, penurunan deformabilitas sel darah
merah, dan trombosis mikrovaskular. Peradangan dapat menyebabkan
disfungsi endotelium vaskular disertai kematian sel dan hilangnya barrier
menyebabkan edema subkutan dan tubuh (Goldenberg et al., 2011) Kerusakan
mitokondria yang disebabkan oleh stress oksidatif dan mekanisme lainnya
mengganggu penggunaan oksigen secara seluler (Galley HF et al., 2011).
Pelepasan mitokondria ke ekstrasel dapat mengaktifkan neutrofil dan
menyebabkan cedera jaringan lebih lanjut (Zhang Q, 2010).
Daftar Pustaka
Silva E, Passos Rda H, Ferri MB, de Figueiredo LF. Sepsis: from bench to
bedside. Clinics (Sao Paulo) 2008;63:109-20.
Remick DG. Pathophysiology of sepsis. Am J Pathol 2007;170:1435-44.
Rudiger A, Stotz M, Singer M. Cellular processes in sepsis. Swiss Med Wkly
2008;138:629-34
Andersson U, Tracey KJ. Reflex principles of immunological homeostasis. Annu
Rev Immunol 2012;30:313-335
Boomer JS, To K, Chang KC, et al. Immunosuppression in patients who die of
sepsis and multiple organ failure. JAMA 2011;306:2594-2605
Goldenberg NM, Steinberg BE, Slutsky AS, Lee WL. Broken barriers: a new take
on sepsis pathogenesis. Sci Transl Med 2011;3:88ps25-88ps25
Galley HF. Oxidative stress and mitochondrial dysfunction in sepsis. Br J
Anaesth2011;107:57-64
Zhang Q, Raoof M, Chen Y, et al. Circulating mitochondrial DAMPs cause
inflammatory responses to injury. Nature 2010;464:104-107
Levi M, van der Poll T. Inflammation and coagulation. Crit Care
Med 2010;38:Suppl:S26-S34
van der Poll T, Opal SM. Host-pathogen interactions in sepsis. Lancet Infect
Dis 2008;8:32-43
Ranieri VM, Thompson BT, Barie PS, et al. Drotrecogin alfa (activated) in adults
with septic shock. N Engl J Med 2012;366:2055-2064
Opal SM, Garber GE, LaRosa SP, et al. Systemic host responses in severe sepsis
analyzed by causative microorganism and treatment effects of drotrecogin alfa
(activated). Clin Infect Dis 2003;37:50-58
Angus DC, Wax RS. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care
Med2001;29:Suppl:S109-S116
Mayr FB, Yende S, Linde-Zwirble WT, et al. Infection rate and acute organ
dysfunction risk as explanations for racial differences in severe
sepsis. JAMA 2010;303:2495-2503
O’brien JM, Ali NA, Aberegg SK, Abraham E. 2007. Sepsis. The American
Journal of Medicine 120(12): 1012-1022.
Society of Critical Care Medicine. 2016. Surviving sepsis campaign: International
guideline for management of sepsis and septic shock.

You might also like