Professional Documents
Culture Documents
Laporan Tutorial Skenario KDRT - Forensik
Laporan Tutorial Skenario KDRT - Forensik
KELOMPOK 3 :
ANGGOTA PENYUSUN
1. Rosyiidah Husnaa Haniifah (6130014021)
2. Anydhia Fitriana Afiuddin (6130014022)
3. Anang Maulana Yusuf (6130014023)
4. Nur Amiroh Aulia Sari (6130014024)
5. Aisyah Imas Setiawati (6130014025)
6. Niken Ayu Kusumawardani (6130014026)
7. Rahmaniah Ulfah (6130014027)
8. Athiyatul Ulya (6130014028)
9. Nurma Islamiyah (6130014029)
10. Dana Madya Puspita (6130014030)
Pembimbing
STEP 1
Identifikasi Kata Sulit :
Tidak ditemukan kata sulit
Kata kunci:
1. Budi dan Susi menikah
2. Kekerasan fisik
3. Bekas luka memar di tangan dan wajah
4. Permintaan visum
STEP 2
Identifikasi Masalah/Pertanyaan :
1. Bagaimana cara mendeskripsikan luka ?
2. Bagaimana membuat VeR hidup ?
3. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan terhadap kasus pada skenario ?
(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang)
4. Apa saja penatalaksanaan yang diperlukan ?
5. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus KDRT ?
STEP 3
Jawaban Pertanyaan STEP 2 :
1.) Cara mendeskripsikan luka :
Regio (lokasi) : wajah dan lengan kiri
Koordinat :-
Jumlah : lebih dari 1
Jenis : kekerasan tumpul
Ukuran : sebesar telapak tangan
Karakteristik : memar
2.) Pembuatan VeR
Ada surat permintaan VeR dari penyidik
Isi VeR : - Pembukaan
- Pendahuluan
- Pemberitaan
- Kesimpulan
- Penutup
3.) Anamnesis : identitas, lokasi, onset, kualitas, kuantitas, kronologi, faktor
modifikasi, keluhan penyerta
Pemeriksaan luar : ditemukan luka memar di wajah dan lengan
Pemeriksaan penunjang : foto X-ray untuk lengan
4.) Kompres memar dengan air hangat, beri analgesik dan merujuk ke psikiatri
5.) Aspek Medikolegal untuk KDRT
HIPOTESIS
Ibu Susi mengalami KDRT, dengan ditemukan luka memar di wajah dan lengan
diduga akibat kekerasan benda tumpul yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan dalam melakukan pekerjaan sehingga termasuk dalam derajat luka ringan.
STEP 4
MIND MAPPING
Pasutri
Permintaan pembuatan
VeR
STEP 6
Belajar Mandiri
STEP 7
Jawaban Learning Objectives :
1. Deskripsi luka
Deskripsi luka harus dibuat seobyektif mungkin, meliputi:
1. Lokasi luka (regio)
Lokasi berdasarkan regio anatominya: kepala, wajah, leher, dada, punggung,
perut, bahu, lengan/tungkai atas, lengan/tungkai bawah, tangan, jari tangan, jari
kaki.
2. Koordinat luka
Patokan anatomis dalam menentukan koordinat luka menggunakan: garis
pertengahan depan (GPD), garis pertengahan belakang (GPB), puncak kepala,
batas tumbuh rambut depan/samping/belakang, alis, sudut mata luar/dalam, pipi,
dahi, cuping hidung, cuping telinga, liang telinga, daun telinga, rahang bawah,
dagu, jakun, tulang selangka, putting susu (hanya untuk laki-laki), pusat, tulang
taju usus, tulang ekor, tulang kemaluan, puncak bahu, lengan atas/bawah sisi
depan/samping/belakang, tungkai atas/bawah sisi depan/samping/belakang, tepat
siku, tepat lutut, lipat siku, lipat pantat, lipat lutut, pergelangan tangan/kaki,
punggung tangan/kaki.
3. Jumlah luka
Jumlah luka disebutkan berdasarkan letak anatomis yang dimaksud, masing-
masing luka diberikan deskripsi berdasarkan jenis lukanya. Misalkan, ditemukan
dua buah luka lecet pada lengan atas kanan sisi depan, luka lecet pertama
berwarna merah ukuran dua sentimeter kali satu sentimeter
4. Jenis luka
Jenis luka berdasarkan kekerasan bentuk lukanya, baik akibat trauma/kekerasan
mekanik misalnya luka lecet, luka robek, memar, luka tusuk, luka bacok. Akibat
trauma kimia atau trauma suhu misalnya luka bakar.
5. Ukuran luka
Ukuran luka meliputi ukuran masing-masing sisi luka, misalnya panjang luka,
lebar luka, diameter luka, kedalaman luka. Ukuran panjang luka dilakukan
sebelum dirapatkan dan sesudah dirapatkan jika luka terbuka akibat kekerasan
tajam.
6. Karakteristik/Sifat luka
Karakteristik luka meliputi bentuk luka (teratur atau tidak teratur), tepi luka (rata
atau tidak rata), sudut luka (lancip atau tidak), terdapat jembatan jaringan atau
tidak, dasar luka (dapat berupa jaringan apa, warnanya, perabaannya), daerah
sekitar luka meliputi apa (memar/tatoase/jelaga/bekuan darah).
Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai
berikut (Afandi, 2017):
1. Pro Justitia. Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et
repertum tidak perlu bermeterai. Maksud pencantuman kata "Pro justitia" adalah
sesuai dengan artinya, yaitu dibuat secara khusus hanya untuk kepentingan
peradilan. Di bagian atas tengah dapat dituliskan judul surat tersebut, yaitu :
Visum et Repertum.
2. Pendahuluan. Pada bagian pendahuluan ini minimal memuat : identitas pemohon
visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan visum et
repertum, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang
diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan
dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan). Memuat hasil pemeriksaan yang objektif
sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau
benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke
bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai
dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis
tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen
yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian
ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan
tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini
terdiri dari :
a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya,
alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang-
tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-tidaknya kesimpulan yang
diambil.
c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan
dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital,
lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan
atau perawatan yang diberikan.
4. Kesimpulan. Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et
repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum
tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan
kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak
didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam
menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh
dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan visum et repertum adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak
tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu
pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan
hukum yang berlaku. Kesimpulan visum et repertum haruslah dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung
penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah sekedar resume hasil pemeriksaan,
melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku. Seorang dokter yang memeriksa cedera seorang
korban harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal
manakah kecederaan korban yang bersangkutan.
5. Penutup. Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum.
3. Pemeriksaan pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
A. Hal yang perlu di perhatikan sebelum pemeriksaan
1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter
harus melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang
berwenang. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan
benda bukti. Apabila korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan
polisi, korban jangan diperiksa dahul tetapi diminta untuk kembali kepada polisi
dan datang bersama polisi.
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh
dokter. Jika dokter telah memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di
tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa
waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan Visum et
Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam
Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri
korban sebelum ada permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan
rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322). Dalam hal
demikian, Korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et Repertum
dibbuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan.
Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et
Repertum, tetaapi dalam bentuk surat keterangan.
2. Informed concern
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu
dari pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi,
belum tentu korban menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain
itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban
sdah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak member persetujuan,
saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberi persetujuan. Sedangkan
jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh
orang tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang
dan dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi
umlah orang yang berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter perawat,
korban, dan keluarga atau teman korban apabila korban menghendakinya. Pada
saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan.
B. Anamnesis :
Umur
Urutan kejadian
Jenis penderaan
Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa,berapa kali
Orang yang ada disekitar
Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS
Trauma serupa waktu lampau
C. Pemeriksaan fisik :
Keadaan Umum, vital sign
Gizi, higiene
Keadaan fisik umum
Daftar dan plot dapa diagram topografi jenis luka yang ada
Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga, mulut, dan kelamin
Kasus berat bisa di potret
Raba dan periksa semua tulang
5. Aspek Medikolegal
1) Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud
:
A. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan
menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan
kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau
dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher.
B. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikisberat pada seseorang. Kekerasan
psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan,
menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.
C. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan
seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat
haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.
D. Penelantaran rumah tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu,
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan
anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri uang dalam jangka
waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.
B. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres
Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No.
181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak
berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang
menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah
satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu
usaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan.
6. Kualifikasi Luka
Kriteria kualifikasi luka terdiri dari:
1. Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
2. Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian.
3. Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat” berarti :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian.
c. Kehilangan salah satu panca indera.
d. Mendapat cacat berat.
e. Menderita sakit lumpuh.
f. Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih.
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Proses perubahan struktur jaringan diatas yang sering disebut sebagai proses
peradangan (inflamasi) memiliki beberapa variasi tergantung lokasi dan struktur
jaringan disekitar luka memar. Apabila terjadi pada daerah jaringan ikat longgar
(mata, leher, atau pada lansia) maka luka memar yang tampak seringkali tidak
sebanding dengan kekerasan, dalam arti lebih luas. Ada 4 faktor yang mempermudah
terjadinya luka memar (contusion), yaitu:
1. Jaringan lemak yang berada dibawah jaringan sublutan,
2. Kulit (epidermis) yang tipis,
3. Wanita lebih mudah mengalami luka memar (contusion) daripada laki – laki,
4. Penyakit, seperti defisiensi vitamin K, penyakit kronis, hemophilia, sirosis, dan
lain – lain (Price, ).
Hal yang harus diingat bahwa luka memar yang disebabkan oleh serangan benda
tumpul tidak dapat dilihat dengan segera. Dapat terlihat jejas sepanjang jaringan
tubuh atau dapat meluas jika terdapat pada bagian – bagian tubuh yang bergantung
pada grafitasi. Penampakan tempat dan waktu dari perubahan warna harus dinilai
secara teliti sebelum membuat diagnosa pasti. Luka memar yang jelas terlihat pada
muka , leher, tungkai bawah, dan di sekitar mata kaki dan kaki semua itu merupakan
daerah – daerah yang rawan salah diagnosa. Selain itu tidak semua luka memar
disebabkan oleh serangan, luka memar karena serangan dan yang bukan karena
serangan dapat bercampur jadi diperlukan penekanan untuk membedakan antara lesi
yang lama dengan yang baru ketika memeriksa sebuah kasus yang dicurigai karena
serangan. Inilah yang membedakan antara luka memar dan lebam mayat.
Ayat tersebut turun setelah adanya laki-laki yang melukai istrinya, dan kemudian
saudaranya mengadukannya kepada Rasulullah S.A.W. Berdasarkan ayat tersebut
dalam konteks rumah tangga, pemukulan dalam hal ini hendaknya dimaknai untuk
memberikan pelajaran, bukan untuk menyakiti isteri.
Al-Jurjawi menegaskan hal-hal sebagai berikut: kewajiban untuk memberikan
pelajaran kepada istri adalah apabila ia mulai tidak taat dan menunjukkan
gelaja nusyuz kepada suami. Maka si suami wajib memberikan pelajaran, akan tetapi
pemberian pelajaran tersebut dilaksanakan dengan urut-urutan, pertama suami wajib
memberikan peringatan kepada si istri dengan lembut dan halus seperti
mengingatkannya untuk takut kepada Allah swt., apabila si istri sudah taat kembali,
maka cukup hanya sampai di situ. Apabila masih tetap membangkang, maka
tinggalkan si istri itu sendirian, dengan meninggalkannya di tempat tidur, tidak
mengumpulinya, lebih-lebih ketika syahwatnya memuncak. Apabila dia sudah taat,
maka cukup sampai di situ dan kumpulilah istri tersebut seperti sediakala. Namun
apabila tetap, maka si istri tersebut boleh ‘dipukul’ dengan catatan tidak terlalu keras
dan tidak membuat cedera.
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Dedi. 2017. VISUM ET REPERTUM Tata Laksana dan Teknik Pembuatan
Edisi Kedua. Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Arovah, Novita Intan. Diagnosis dan Manajemen Cedera Olahraga. FIK UNY.
Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan.
Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Prawestyaningtyas, Eriko. 2017. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 :
Kekerasan Pada Anak dan Aspek Medikolegal. Pekanbaru. Perhimpunan
Dokter Forensik Indonesia.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 1994. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta
UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
www.hukumonline.com/berita/R_U_U_Perlindungan_saksi_dan_korban, akses 24
Maret 2018.