Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 28

LAPORAN TUTORIAL ILMU FORENSIK

SKENARIO 2. SUSI MINTA VISUM

KELOMPOK 3 :
ANGGOTA PENYUSUN
1. Rosyiidah Husnaa Haniifah (6130014021)
2. Anydhia Fitriana Afiuddin (6130014022)
3. Anang Maulana Yusuf (6130014023)
4. Nur Amiroh Aulia Sari (6130014024)
5. Aisyah Imas Setiawati (6130014025)
6. Niken Ayu Kusumawardani (6130014026)
7. Rahmaniah Ulfah (6130014027)
8. Athiyatul Ulya (6130014028)
9. Nurma Islamiyah (6130014029)
10. Dana Madya Puspita (6130014030)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan tutorial berjudul “Skenario 2. Susi Minta Visum” telah melalui


konsultasi dan disetujui oleh Tutor Pembimbing

Surabaya, 30 Maret 2018

Pembimbing

Irmawan Farindra, dr., M.Si


(15101027K)
ANGGOTA PENYUSUN

Rosyiidah Husnaa Haniifah (6130014021)


Anydhia Fitriana Afiuddin (6130014022)
Anang Maulana Yusuf (6130014023)
Nur Amiroh Aulia Sari (6130014024)
Aisyah Imas Setiawati (6130014025)
Niken Ayu Kusumawardani (6130014026)
Rahmaniah Ulfah (6130014027)
Athiyatul Ulya (6130014028)
Nurma Islamiyah (6130014029)
Dana Madya Puspita (6130014030)
Skenario
Susi Minta Visum
Budi 35 tahun dan Susi 29 tahun telah menikah selama 2 tahun. Budi seorang
pemarah pemarah dan ringan tangan, setiap ada masalah dalam keluarga, mereka
selalu bertengkar dan tak jarang terjadi kekerasan fisik terhadap Susi. Siang ini, Budi
dan Susi kembali terlibat pertengkaran dan terjadi pemukulan yang dilakukan Budi
kepada Susi, sehingga menimbulkan bekas memar di wajah dan lengan Susi. Kali ini
Susi tak tinggal diam sehingga segera melapor ke polisi atas perbuatan suaminya.
Polisi membuat surat permintaan visum ke dokter.

STEP 1
Identifikasi Kata Sulit :
Tidak ditemukan kata sulit

Kata kunci:
1. Budi dan Susi menikah
2. Kekerasan fisik
3. Bekas luka memar di tangan dan wajah
4. Permintaan visum

STEP 2
Identifikasi Masalah/Pertanyaan :
1. Bagaimana cara mendeskripsikan luka ?
2. Bagaimana membuat VeR hidup ?
3. Apa saja pemeriksaan yang dilakukan terhadap kasus pada skenario ?
(anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang)
4. Apa saja penatalaksanaan yang diperlukan ?
5. Bagaimana aspek medikolegal pada kasus KDRT ?
STEP 3
Jawaban Pertanyaan STEP 2 :
1.) Cara mendeskripsikan luka :
 Regio (lokasi) : wajah dan lengan kiri
 Koordinat :-
 Jumlah : lebih dari 1
 Jenis : kekerasan tumpul
 Ukuran : sebesar telapak tangan
 Karakteristik : memar
2.) Pembuatan VeR
 Ada surat permintaan VeR dari penyidik
 Isi VeR : - Pembukaan
- Pendahuluan
- Pemberitaan
- Kesimpulan
- Penutup
3.) Anamnesis : identitas, lokasi, onset, kualitas, kuantitas, kronologi, faktor
modifikasi, keluhan penyerta
Pemeriksaan luar : ditemukan luka memar di wajah dan lengan
Pemeriksaan penunjang : foto X-ray untuk lengan
4.) Kompres memar dengan air hangat, beri analgesik dan merujuk ke psikiatri
5.) Aspek Medikolegal untuk KDRT

HIPOTESIS
Ibu Susi mengalami KDRT, dengan ditemukan luka memar di wajah dan lengan
diduga akibat kekerasan benda tumpul yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan dalam melakukan pekerjaan sehingga termasuk dalam derajat luka ringan.
STEP 4
MIND MAPPING

Pasutri

Budi (35) Susi (29)

KDRT Melapor pada pihak


berwajib
Pandangan Islam

Permintaan pembuatan
VeR

Anamnesa Pemeriksaan Luar Pemeriksaan


Penunjang

Deskripsi Luka Kualifikasi Luka

Aspek Pembuatan VeR Bagian VeR


medikolegal

Pemberian VeR Pentalaksanaan


ke penyidik (medis)
STEP 5
Learning Objectives :
1. Menjelaskan tentang cara mendeskripsikan luka.
2. Menjelaskan tentang cara membuat VeR hidup.
3. Menjelaskan pemeriksaan yang dilakukan pada kasus KDRT.
4. Menjelaskan penatalaksanaan yang diperlukan .
5. Menjelaskan aspek medikolegal pada KDRT.
6. Menjelaskan kualifikasi luka.
7. Menjelaskan patomekanisme luka memar.
8. Menjelaskan pandangan Islam pada kasus.

STEP 6
Belajar Mandiri

STEP 7
Jawaban Learning Objectives :
1. Deskripsi luka
Deskripsi luka harus dibuat seobyektif mungkin, meliputi:
1. Lokasi luka (regio)
Lokasi berdasarkan regio anatominya: kepala, wajah, leher, dada, punggung,
perut, bahu, lengan/tungkai atas, lengan/tungkai bawah, tangan, jari tangan, jari
kaki.
2. Koordinat luka
Patokan anatomis dalam menentukan koordinat luka menggunakan: garis
pertengahan depan (GPD), garis pertengahan belakang (GPB), puncak kepala,
batas tumbuh rambut depan/samping/belakang, alis, sudut mata luar/dalam, pipi,
dahi, cuping hidung, cuping telinga, liang telinga, daun telinga, rahang bawah,
dagu, jakun, tulang selangka, putting susu (hanya untuk laki-laki), pusat, tulang
taju usus, tulang ekor, tulang kemaluan, puncak bahu, lengan atas/bawah sisi
depan/samping/belakang, tungkai atas/bawah sisi depan/samping/belakang, tepat
siku, tepat lutut, lipat siku, lipat pantat, lipat lutut, pergelangan tangan/kaki,
punggung tangan/kaki.
3. Jumlah luka
Jumlah luka disebutkan berdasarkan letak anatomis yang dimaksud, masing-
masing luka diberikan deskripsi berdasarkan jenis lukanya. Misalkan, ditemukan
dua buah luka lecet pada lengan atas kanan sisi depan, luka lecet pertama
berwarna merah ukuran dua sentimeter kali satu sentimeter
4. Jenis luka
Jenis luka berdasarkan kekerasan bentuk lukanya, baik akibat trauma/kekerasan
mekanik misalnya luka lecet, luka robek, memar, luka tusuk, luka bacok. Akibat
trauma kimia atau trauma suhu misalnya luka bakar.
5. Ukuran luka
Ukuran luka meliputi ukuran masing-masing sisi luka, misalnya panjang luka,
lebar luka, diameter luka, kedalaman luka. Ukuran panjang luka dilakukan
sebelum dirapatkan dan sesudah dirapatkan jika luka terbuka akibat kekerasan
tajam.
6. Karakteristik/Sifat luka
Karakteristik luka meliputi bentuk luka (teratur atau tidak teratur), tepi luka (rata
atau tidak rata), sudut luka (lancip atau tidak), terdapat jembatan jaringan atau
tidak, dasar luka (dapat berupa jaringan apa, warnanya, perabaannya), daerah
sekitar luka meliputi apa (memar/tatoase/jelaga/bekuan darah).

PADA KASUS INI


Regio : Wajah dan lengan kiri
Koordinat :-
Jumlah : lebih dari satu
Jenis : kekerasan tumpul
Ukuran : sebesar telapak tangan
Kareteristik : memar
2. Teknik pembuatan VeR korban hidup
Visum et repertum dibuat oleh dokter untuk digunakan oleh kalangan hukum/non
medis, sehingga harus ditulis dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh orang
awam/non medis. Visum et repertum sebagai alat bukti dalam proses peradilan yang
tidak hanya memenuhi standar penulisan rekam medis, tetapi juga harus memenuhi
hal-hal yang disyaratkan dalam sistem peradilan (Afandi, 2017).
Setiap visum et repertum harus dibuat memenuhi ketentuan umum sebagai
berikut:
a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa
b. Bernomor dan bertanggal
c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)
d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar
e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan temuan
pemeriksaan
f. Tidak menggunakan istilah asing
g. Ditandatangani dan diberi nama jelas
h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut
i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan
j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada lebih
dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik POM, dan
keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut dapat diberi visum
et repertum masing-masing asli.
k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya, dan
disimpan sebaiknya hingga 20 tahun. Penulisan VeR harus memenuhi suatu
disain dan format tertentu karena dokumen tersebut akan digunakan sebagai alat
bukti dalam proses peradilan.

Unsur penting dalam VeR yang diusulkan oleh banyak ahli adalah sebagai
berikut (Afandi, 2017):
1. Pro Justitia. Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et
repertum tidak perlu bermeterai. Maksud pencantuman kata "Pro justitia" adalah
sesuai dengan artinya, yaitu dibuat secara khusus hanya untuk kepentingan
peradilan. Di bagian atas tengah dapat dituliskan judul surat tersebut, yaitu :
Visum et Repertum.
2. Pendahuluan. Pada bagian pendahuluan ini minimal memuat : identitas pemohon
visum et repertum, tanggal dan pukul diterimanya permohonan visum et
repertum, identitas dokter yang melakukan pemeriksaan, identitas objek yang
diperiksa : nama, jenis kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan
dilakukan pemeriksaan, dimana dilakukan pemeriksaan.
3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan). Memuat hasil pemeriksaan yang objektif
sesuai dengan apa yang diamati terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau
benda yang diperiksa. Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke
bawah sehingga tidak ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai
dari letak anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis
tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis permanen
yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta ukurannya. Rincian
ini terutama penting pada pemeriksaan korban mati yang pada saat persidangan
tidak dapat dihadirkan kembali. Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini
terdiri dari :
a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik
pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda dengan
pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan perlukaan
serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya (status lokalis).
b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan sebaliknya,
alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya dilakukan. Uraian
meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya tindakan dan perawatan
tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk menghindari kesalahpahaman tentang-
tepat tidaknya penanganan dokter dan tepat-tidaknya kesimpulan yang
diambil.
c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan
merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus diuraikan
dengan jelas.
Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu anamnesis, tanda vital,
lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran luka, dan tindakan pengobatan
atau perawatan yang diberikan.
4. Kesimpulan. Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan
secara ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum et
repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya visum et repertum
tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2 unsur yaitu jenis luka dan
kekerasan dan derajat kualifikasi luka. Hasil pemeriksaan anamnesis yang tidak
didukung oleh hasil pemeriksaan lainnya, sebaiknya tidak digunakan dalam
menarik kesimpulan. Pengambilan kesimpulan hasil anamnesis hanya boleh
dilakukan dengan penuh hati-hati. Kesimpulan visum et repertum adalah
pendapat dokter pembuatnya yang bebas, tidak terikat oleh pengaruh suatu pihak
tertentu. Tetapi di dalam kebebasannya tersebut juga terdapat pembatasan, yaitu
pembatasan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, standar profesi dan ketentuan
hukum yang berlaku. Kesimpulan visum et repertum haruslah dapat
menjembatani antara temuan ilmiah dengan manfaatnya dalam mendukung
penegakan hukum. Kesimpulan bukanlah sekedar resume hasil pemeriksaan,
melainkan lebih ke arah interpretasi hasil temuan dalam kerangka ketentuan-
ketentuan hukum yang berlaku. Seorang dokter yang memeriksa cedera seorang
korban harus menyimpulkan dengan menggunakan bahasa awam, termasuk pasal
manakah kecederaan korban yang bersangkutan.
5. Penutup. Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat
dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat dengan
mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan pemeriksaan
serta dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum.
3. Pemeriksaan pada kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT)
A. Hal yang perlu di perhatikan sebelum pemeriksaan
1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter
harus melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang
berwenang. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan
benda bukti. Apabila korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan
polisi, korban jangan diperiksa dahul tetapi diminta untuk kembali kepada polisi
dan datang bersama polisi.
Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan
pada tubuh korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh
dokter. Jika dokter telah memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di
tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa
waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan Visum et
Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam
Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri
korban sebelum ada permintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan
rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322). Dalam hal
demikian, Korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum et Repertum
dibbuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu permintaan diajukan.
Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam bentuk Visum et
Repertum, tetaapi dalam bentuk surat keterangan.
2. Informed concern
Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu
dari pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi,
belum tentu korban menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain
itu, bagian yang akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban
sdah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak member persetujuan,
saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberi persetujuan. Sedangkan
jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka persetujuan diberikan oleh
orang tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.
Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang
dan dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi
umlah orang yang berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter perawat,
korban, dan keluarga atau teman korban apabila korban menghendakinya. Pada
saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan.
B. Anamnesis :
 Umur
 Urutan kejadian
 Jenis penderaan
 Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa,berapa kali
 Orang yang ada disekitar
 Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS
 Trauma serupa waktu lampau
C. Pemeriksaan fisik :
 Keadaan Umum, vital sign
 Gizi, higiene
 Keadaan fisik umum
 Daftar dan plot dapa diagram topografi jenis luka yang ada
 Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga, mulut, dan kelamin
 Kasus berat bisa di potret
 Raba dan periksa semua tulang

4. Penatalaksanaan KDRT dan memar


Penanganan Memar
1. Kompres dengan es selama 12-24 jam untuk menghentikan pendarahan kapiler.
2. Istirahat untuk mencegah cedera lebih lanjut dan mempercepat pemulihan
jaringanjaringan lunak yang rusak.
3. Hindari benturan di daerah cedera pada saat latihan maupun pertandingan
berikutnya.
Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Pemulihan korban berdasarkan kepada Undang-undang No. 23 tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga :
 UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 39
Untuk kepentingan pemulihan, korban dapat memperoleh pelayanan dari:
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
 UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 40
1. Tenaga kesehatan wajib memeriksa korban sesuai dengan standar profesinya
2. Dalam hal korban memerlukan perawatan, tenaga kesehatan wajib
memulihkan dan merehabilitasi kesehatan korban
 UU Nomor 23 Tahun 2004 Pasal 42
Dalam rangka pemulihan terhadap korban, tenaga kesehatan, pekerja sosial,
relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama.

Yang dimaksud dengan upaya pemulihan korban Peraturan Pemerintah RI No. 4


Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan
dalam Rumah Tangga pada Pasal 1 ayat 1 ialah :
Segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih
berdaya baik secara fisik maupun psikis.
 PP PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan bahwa Penyelenggaraan pemulihan
ialah:
Segala tindakan yang meliputi pelayanan dan pendampingan korban KDRT. PP
 PKPKKDRT Pasal 2 ayat 1 menyebutkan :
Bahwa penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi
pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk
pemulihan korban.
Hal yang sama disebutkan dalam PP RI Pasal 19 yang menyebutkan :
Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai
dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama dengan
masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasional yang
pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dari ketentuan ini, lembaga sosial mendapat kesempatan untuk berperan dalam
melakukan upaya pemulihan korban KDRT.
PP PKPKDRT Pasal 4 menyebutkan Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban
meliputi :
a. Pelayanan kesehatan
b. Pendampingan korban
c. Konseling
d. Bimbingan rohani
e. Resosialisasi

Perlindungan Saksi Dan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga Pasal 10, korban berhak mendapatkan :
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga Pasal 15, setiap orang yang mendengar, melihat, atau
mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya
sesuai dengan batas kemampuannya untuk :
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban


yang selanjutnya disebut dengan UU PSK berlaku sejak tanggal 11 Agustus 2006
setelah diundangkan di Lembaran Negara RI No. 64 Tahun 2006. Pokok materi UU
PSK ini meliputi perlindungan dan hak saksi dan korban, lembaga perlindungan saksi
dan korban, syarat dan tata cara pemberian perlindungan dan bantuan, serta ketentuan
pidana. UU PSK ini dikeluarkan karena pentingnya saksi dan korban dalam proses
pemeriksaan di pengadilan sehingga membutuhkan perlindungan yang efektif,
profesional, dan proporsional terhadap saksi dan korban.
Perlindungan saksi dan korban dilakukan berdasarkan asas penghargaan atas
harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan, tidak diskriminatif, dan kepastian
hukum. Perlindungan saksi dan korban berlaku pada semua tahap proses peradilan
pidana dalam lingkungan peradilan yang bertujuan untuk memberikan rasa aman
pada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses
peradilan pidana.
Perlindungan saksi dan korban juga dilakukan karena adanya hak-hak seorang
saksi dan korban yang harus dilindungi seperti:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan
dukungan keamanan
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan
d. Mendapat penerjemah
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan
i. Mendapat identitas baru
j. Mendapatkan tempat kediaman baru
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan
l. Mendapat nasihat hokum
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan
berakhir, dan/atau
n. Bantuan medis dan rehabilitasi psikososial dalam hal saksi dan korban
mengalami pelanggaran hak asasi manusia yang berat.

5. Aspek Medikolegal
1) Jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Mengacu kepada UU No. 23 Tahun 2004 Pasal 5 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah tangga, kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud
:
A. Kekerasan Fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan
menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan
kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau
dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher.
B. Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,
hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa
tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikisberat pada seseorang. Kekerasan
psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan,
menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.
C. Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun
pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan
seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat
haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.
D. Penelantaran rumah tangga
Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang
dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu,
penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan
ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk
bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di
bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan
anak tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri uang dalam jangka
waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.

2) Peraturan Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga


Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan
Pemerintah No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban KDRT, Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang
Komisi Nasional Terhadap Perempuan, Undang-Undang No. 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang
memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi
memberikan perlindungan hukum terhadap kasus KDRT dan termasuk lembaga-
lembaga sosial yang bergerak dalam perlindungan terhadap perempuan.
Dalam rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak
terlepas dari peran lembaga sosial.
A. Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga yang selanjutnya disebut sebagai UU PKDRT diundangkan
tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 No. 95.
Fokus UU PKDRT ini ialah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan
pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga. UU PKDRT Pasal 3
menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan
berdasarkan :
a. Penghormatan hak asasi manusia
b. Keadilan dan kesetaraan gender
c. Nondiskriminasi
d. Perlindungan korban.
UU PKDRT Pasal 4 menyebutkan Penghapusan kekerasan dalam rumah
tangga bertujuan :
a. Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga
b. Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga
c. Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga
d. Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

B. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan
Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti
Kekerasan terhadap Perempuan yang selanjutnya disebut sebagai Perpres
Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No.
181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak
berlaku Keppres No. 181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan.
Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang
menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah
satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu
usaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap
perempuan.

6. Kualifikasi Luka
Kriteria kualifikasi luka terdiri dari:
1. Luka ringan: yang tergolong luka yang tidak menimbulkan penyakit atau
halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian.
2. Luka sedang: yang tergolong luka yang menimbulkan penyakit atau halangan
untuk menjalankan pekerjaan atau pencaharian.
3. Luka berat, menurut KUHP pasal 90, maka “luka berat” berarti :
a. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh
sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut.
b. Tidak mampu secara terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau
pekerjaan pencaharian.
c. Kehilangan salah satu panca indera.
d. Mendapat cacat berat.
e. Menderita sakit lumpuh.
f. Terganggu daya pikir selama 4 minggu lebih.
g. Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

7. Patomekanisme dari luka memar (Bruise / Contusion)


Terjadinya luka memar biasanya diawali oleh adanya suatu benturan / kekerasan
dengan energi yang cukup untuk mengganggu permeabilitas sel – sel pembuluh darah
sehingga terjadi pembengkakan di sekitar daerah tubuh yang terkena benturan.
Pembengkakan ini ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel – sel sirkulasi darah ke
jaringan – jaringan interstsial.
Mula – mula pembengkakan timbul warna merah kebiruan lalu warnanya
berubah menjadi biru kehitaman pada hari ke – 1 sampai hari ke – 3. Setelah itu
warnanya berubah menjadi biru kehijauan kemudian coklat. Warna menghilang pada
minggu pertama sampai minggu ke – 4 (Price, ).

Proses perubahan struktur jaringan diatas yang sering disebut sebagai proses
peradangan (inflamasi) memiliki beberapa variasi tergantung lokasi dan struktur
jaringan disekitar luka memar. Apabila terjadi pada daerah jaringan ikat longgar
(mata, leher, atau pada lansia) maka luka memar yang tampak seringkali tidak
sebanding dengan kekerasan, dalam arti lebih luas. Ada 4 faktor yang mempermudah
terjadinya luka memar (contusion), yaitu:
1. Jaringan lemak yang berada dibawah jaringan sublutan,
2. Kulit (epidermis) yang tipis,
3. Wanita lebih mudah mengalami luka memar (contusion) daripada laki – laki,
4. Penyakit, seperti defisiensi vitamin K, penyakit kronis, hemophilia, sirosis, dan
lain – lain (Price, ).

Pada luka memar hal yang perlu diperhatikan adalah :


1. Patofisiologi / mekanisme terbentuknya : suatu kekerasan tumpul yang relative
lunak dapat tidak mengakibatkan cedera pada kulit / epidermis. Namun
kekerasan tersebut telah dapat mencederai pembuluh darah kapiler dibawahnya
sehingga terjadinya perdarahan dibawah epidermis (kulit ari), dibawah dermis
(kulit) ataupun di jaringan dan otot
2. “Marginal Hemorrhage” : memar terjadi di tepi daerah yang terkena trauma,
terjadi karena tekanan yang besar. Memar jenis ini bisa menggambarkan bentuk
benda penyebabnya, misalnya jejas ban, jejas pukulan cambuk / tongkat dsb
3. Lokasi memar tak selalu sama dengan lokasi trauma. Contoh : trauma pada dahi
yang jaringanikat dibawahnya jarang memar dapat terjadi di daerah kelopak
mata. Dengan demikian adanya brill – haematome belum menunjukkan letak
traumanya. Trauma pada betis, memar dapatterlihat di pergelangan kaki
4. Warna, sesuai dengan waktu penyembuhan luka (Memar menghilang dengan
perubahan warna; biru – hijau – coklat – kuning – hilang). Adanya warna kuning
di sekitar warna memar menunjukkan bahwa memar telah berusia lebih dari
18 jam
5. Memar merupakan salah satu tanda intravitalitas trauma, yang berarti bahwa
trauma terjadi semasa korban hidup
6. Bila letaknya di daerah atau di dekat lebam mayat, memar kadang – kadang
harus dibedakan dengan lebam mayat.

Efek samping yang terjadi pada luka memar antara lain :


1. Terjadinya penurunan darah dalam sirkulasi yang disebabkan memar yang luas
dan masif sehingga dapat menyebabkan syok, penurunan kesadaran, bahkan
kematian
2. Terjadinya agregasi darah di bawah kulit yang akan mengganggu aliran balik
vena pada organ yang terkena sehingga dapat menyebabkan ganggren dan
kematian jaringan
3. Memar dapat menjadi tempat media berkembang biak kuman. Kematian jaringan
dengan kekurangan atau ketiadaaan aliran darah sirkulasi menyebabkan saturasi
oksigen menjadi rendah sehingga kuman anaerob dapat hidup, kuman tersering
adalah golongan clostridium yang dapat memproduksi gas gangren.

Memperkirakan umur luka memar :


 Hari ke 1 : terjadi pembengkakan warna merah kebiruan
 Hari ke 2 – 3 : warna biru kehitaman
 Hari ke 4 – 6 : biru kehijauan – coklat
 > 1 minggu – 4 minggu : menghilang / sembuh

Hal yang harus diingat bahwa luka memar yang disebabkan oleh serangan benda
tumpul tidak dapat dilihat dengan segera. Dapat terlihat jejas sepanjang jaringan
tubuh atau dapat meluas jika terdapat pada bagian – bagian tubuh yang bergantung
pada grafitasi. Penampakan tempat dan waktu dari perubahan warna harus dinilai
secara teliti sebelum membuat diagnosa pasti. Luka memar yang jelas terlihat pada
muka , leher, tungkai bawah, dan di sekitar mata kaki dan kaki semua itu merupakan
daerah – daerah yang rawan salah diagnosa. Selain itu tidak semua luka memar
disebabkan oleh serangan, luka memar karena serangan dan yang bukan karena
serangan dapat bercampur jadi diperlukan penekanan untuk membedakan antara lesi
yang lama dengan yang baru ketika memeriksa sebuah kasus yang dicurigai karena
serangan. Inilah yang membedakan antara luka memar dan lebam mayat.

LUKA MEMAR (Contusion, Bruise) LEBAM MAYAT (Livor Mortis)


Intravital Post Mortem
Karena terjadi ekstrevasasi darah maka dalam
jangka waktu kurang dari 7 jam, warna Karena letaknya intravaskuler maka dalam
memar tidak hilang pada penekanan. jangka waktu kurang dari 7 jam, warna
Jika sudah lebih dari 7 jam darah sudah memar akan hilang. Batas tidak tegas karena
berpindah ke jaringan sehingga batasnya hemoglobin yang berpindah ke jaringan.
menjadi jelas.
Daerah sekitarnya terbentuk edema Daerah sekitarnya tidak terbentuk edema.
Tidak menghilang jika irisannya dibersihkan Menghilang jika dicuci
Sel PMN ada Sel PMN tidak ada
Lokasinya pada bagian tubuh mengikuti arah
Lokasinya tidak menentu
gravitasi
Mekanisme Biomolekuler
Sel sebagai bagian dari sebuah jaringan yang apabila mengalami jejas atau
cedera akan melakukan respon adaptasi tersendiri. Penyebab jejas sel, antara lain:
(Price, )
1. Hipoksia
2. Fisik
3. Obat – obatan dan zat kimia
4. Reaksi imunologis
5. Defek genetic
6. Ketidakseimbangan nutrisi.
Pada kasus luka memar, jejas sel terjadi dikarenakan trauma fisik benda tumpul.
Sel yang terkena jejas akan mengalami beberapa fase untuk beradaptasi agar dapat
kembali homeosatis. Mekanisme jejas sel pada luka memar merupakan suatu proses
biomolekuler sel yang meliputi : (Price, )
1. Ischemia.
Pada jejas reversible seperti luka memar, sel akan mengalami penurunan
aktifitas oksidasi fosforilasi karena sel mengalami iskemia (kekurangan suplai
nutrisi), sehingga terjadilah penurunan jumlah ATP (kalsium bebas dalam sitosol
meningkat) dan penurunan kemampuan pompa natrium.
Penurunan kemampuan pompa natrium ini berakibat ion natrium
berakumulasi di dalam sel, terjadi pembengkakan sel (peningkatan isoosmotik),
dan difusi ion kalium dari dalam sel.
Lain halnya dengan ion kalsium intra sel, pada kondisi ini terjadi
peningkatan ion kalsium dalam sitoplasma yang berasal dari mitokondria yang
fungsinya menurun, reticulum endoplasma, dan dari luar sel. Konsekuensi dari
kenaikan kadar ion kalsium intra sel ini adalah terjadinya aktivasi beberapa
enzim, antara lain:
a. Enzim ATP – ase (menurunkan kadar ATP)
b. Enzim Fosfoipase (menurunkan kadar fosfolipid)
c. Enzim Endonuklease (merusak inti kromatin)
d. Enzim Protease (merusal protein membrane dan sitoskeletal).
Efek dari iskemia tidak berhenti sampai disini, Jejas sel pada luka memar
juga memacu peningkatan glikolisis anaerob yang mengkibatkan :
a. Penipisan cadangan glikogen
b. Akumulasi asam laktat
c. Akumulasi fosfat anorganik
d. Penurunan pH intrasel
Pada ribosom juga terjadi penurunan sintesis protein, fungsi mitokondria
menjadi jelek, kenaikan permeabiltas membran, hingga kerusakan sitoskeleton.
Pada akhirnya mitokondria, reticulum endoplasma, dan sekitar sel ikut
membengkak.

2. Radikal Bebas (Activated Oxygen Species).


Jejas sel pada luka memar juga melibatkan radikal bebas, ini dapat dilihat
pada proses kerusakan oleh karena proses peradangan. Radikal bebas sendiri
ialah sejenis bahan kimia yang memiliki satu elektron tanpa pasangan pada orbit
luarnya. Sifat radikal bebas tidak mantap, sangat reaktif, dalam sel mengadakan
reaksi dengan bahan kimia anorganik dan organik, protein, lemak, dan
karbohidrat.
Sumber radikal bebas berasal dari hidrolisis air menjadi OH- dan H+ dengan
ionisasi radiasi, raksi reduksi – oksidasi pada fisiologi normal (respirasi, oksidasi
intrasel, dan resksi logam transisi), dan metabolism bahan kimia eksogen.
Mekanisme jejas oleh karena radikal bebas meliputi :
a. Peroksidasi lemak dalam selaput organel sampai merusak retikulum
endoplasma, mitokondria, dan komponen mikrosom lain
b. Peroksidasi lipid pada membran
c. Kerusakan pada DNA karena radikal bebas bereaksi dengan Thymine.
Karena termasuk dalam proses peradangan (inflamasi), maka luka memar
memiliki 5 tanda mayor dari peradangan, yaitu: Rubor (kemerahan), Kalor
(panas), Dolor (rasa sakit), Tumor (pembengkakan), dan Fungsio Laesa
(perubahan fungsi). Ketika luka timbul, beberapa efek kemungkinan akan
muncul, antara lain :
a. Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
b. Kehilangan seluruh atau sebagain fungsi ini atau fungsio laesa, merupakan
efek gabungan dari bengkak, nyeri yang disertai sirkulasi abnormal, dan
lingkungan kimiawi local yang abnormal
c. Respon stres simpatis
Akibat sensasi Dolor (rasa sakit) dari peradangan disebabkan oleh perubahan
pH local atau konsentrasi local ion-ion tertentu dapat merangsang ujung-
ujung syaraf. Hal yang sama, pengeluaran zat kimia tertentu seperti
histamine
d. Perdarahan dan pembekuan darah
e. Kontaminasi bakteri
f. Kematian sel.

8. Pandangan Islam mengenai KDRT


Dalam islam diajarkan bahwa suami boleh memukul istrinya, jika istrinya tidak
mentaatinya. Pukulan tersebut untuk mendidik sang istri, bukan untuk mencederai
atau melukai. Lebih jelasnya akan diterangkan di dalam Al-qur’an surat An-Nisa’
ayat 34
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah
telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab
itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka
mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. An-Nisa’:34).

Ayat tersebut turun setelah adanya laki-laki yang melukai istrinya, dan kemudian
saudaranya mengadukannya kepada Rasulullah S.A.W. Berdasarkan ayat tersebut
dalam konteks rumah tangga, pemukulan dalam hal ini hendaknya dimaknai untuk
memberikan pelajaran, bukan untuk menyakiti isteri.
Al-Jurjawi menegaskan hal-hal sebagai berikut: kewajiban untuk memberikan
pelajaran kepada istri adalah apabila ia mulai tidak taat dan menunjukkan
gelaja nusyuz kepada suami. Maka si suami wajib memberikan pelajaran, akan tetapi
pemberian pelajaran tersebut dilaksanakan dengan urut-urutan, pertama suami wajib
memberikan peringatan kepada si istri dengan lembut dan halus seperti
mengingatkannya untuk takut kepada Allah swt., apabila si istri sudah taat kembali,
maka cukup hanya sampai di situ. Apabila masih tetap membangkang, maka
tinggalkan si istri itu sendirian, dengan meninggalkannya di tempat tidur, tidak
mengumpulinya, lebih-lebih ketika syahwatnya memuncak. Apabila dia sudah taat,
maka cukup sampai di situ dan kumpulilah istri tersebut seperti sediakala. Namun
apabila tetap, maka si istri tersebut boleh ‘dipukul’ dengan catatan tidak terlalu keras
dan tidak membuat cedera.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Dedi. 2017. VISUM ET REPERTUM Tata Laksana dan Teknik Pembuatan
Edisi Kedua. Riau : Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
Arovah, Novita Intan. Diagnosis dan Manajemen Cedera Olahraga. FIK UNY.
Konsiderans Perpres No. 65 Tahun 2005 tentang Komnas Perempuan.
Peraturan Pemerintah RI No. 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama
Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Prawestyaningtyas, Eriko. 2017. Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan 2017 :
Kekerasan Pada Anak dan Aspek Medikolegal. Pekanbaru. Perhimpunan
Dokter Forensik Indonesia.
Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 1994. PATOFISIOLOGI: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit. EGC: Jakarta
UU Perlindungan Saksi dan Korban No. 13 Tahun 2006.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
www.hukumonline.com/berita/R_U_U_Perlindungan_saksi_dan_korban, akses 24
Maret 2018.

You might also like