Professional Documents
Culture Documents
Mendeley 20180107195033
Mendeley 20180107195033
PENDAHULUAN
Tulang adalah jaringan yang strukturnya dapat berubah sebagai akibat tekanan
yang dialaminya. Tulang berfungsi sebagai pelindung dari beberapa organ lunak, tempat
lekat untuk otot skelet dan sebagai pengungkit. Pertumbuhan tulang mempunyai dua
proses, yaitu osifikasi endokondral dan osifikasi membranosa.(1,2)
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma. Fraktur
bisa bersifat terbuka maupun tertutup. Gejala dan tanda fraktur dapat berupa nyeri,
deformitas, krepitus (mobilisasi abnormal), spasme otot dan kehilangan fungsi.(3,4,5)
Insiden fraktur secara keseluruhan di dunia adalah 11,3‰ per tahun. Insiden
fraktur pada laki-laki adalah 11.67‰ per tahun, sedangkan pada perempuan 10,65‰ per
tahun. Di Amerika Serikat, 5,6 juta kejadian patah tulang terjadi setiap tahunnya dan
merupakan 2% dari kejadian trauma. Pada tahun 2013 di Indonesia, prevalensi cedera
mencapai 8,2% dimana angka kejadian patah tulang mencapai 5,8% secara keseluruhan,
untuk laki- laki 6,6% dan perempuan 4,6%. Aceh termasuk kedalam lima besar daerah
yang memiliki angka persentase terbesar berdasarkan laporan RISKESDAS 2013
dengan persentase 7,4%. Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini
mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan
metodelogi yang digunakan di area penelitian.(4,6,7)
Fraktur merupakan insiden yang relatif sering terjadi di masyarakat dan waktu
penyembuhannya yang lama. Penyembuhan fraktur di dunia medis terus berkembang.
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk memperbaiki
kehidupanpasien dengan mengembalikan fungsi ekstremitas seperti semula dan yang
kedua adalah mempertahankan bentuk seanatomis mungkin. Prinsip penanggulangannya
adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengurangi pergerakan), retaining
(mempertahankan), dan rehabilitasi.(4,6,8,9)
Secara makroskopis penyembuhan fraktur dapat diamati dengan melihat
pembentukan kalus menjadi tulang. Pembentukan kalus mulai terjadi pada fase
proliferasi yang terjadi 3 hari sampai 4 minggu. Kalus terbentuk dari lapisan luar
1
2
periosteum dimana lapisan tersebutdi dorong oleh sel osteprogenitor yang membelah
diri membentuk osteoblas.(10,11,12)
Estrogenberpengaruh dalam proses penyembuhan fraktur, dimana apabila terjadi
defisiensi estrogen akan mempengaruhi sel osteoklas yang dapat menyebabkan tulang
akankehilangan massanya. Pada tulang, estrogen akan berperan meningkatkan sekresi
dan merangsang osteoprogenitor (OPG) dan Transforming Growth Factor β (TGF-β)
yang merupakan faktor pertumbuhan sel osteoblas untuk membentuk tulang dan
menghambat sel osteoklas.(13,14,15)
Pare merupakan tanaman berbuah pahit, tumbuh di daerah tropis termasuk di
kawasan Indonesia, mudah dibudidayakan, dan tidak bergantung musim. Tanaman pare
mengandung banyak senyawa aktif triterpenoid. Dimana menurut penelitian Hsuet al.
kandungan triterpenoid buah pare memiliki efek estrogenik.(16,17,18)
Penelitian oleh Gan, AK (2017) menunjukkan pemberian ekstrak etanol pare
dapat menginduksi pembentukan dan pelebaran kalus yang lebih besar pada hewan coba
dibandingkan dengan kelompok kontrol
1. Melihat pengaruh ekstrak etanol buah pare terhadap pembentukan lebar kalus
tulang tibia pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar yang
mengalami fraktur.
2. Melihat pengaruh dosis-dosis ekstrak etanol buah pare terhadap pembentukan
lebar kalus tulang tibia pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar
yang mengalami fraktur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tulang
Tulang merupakan jaringan hidup yang strukturnya dapat berubah sebagai akibat
tekanan yang dialaminya. Tulang selalu mengalami pembaharuan dengan pembentukan
tulang baru dan resopsi. Tulang memiliki derajat elastisitas tertentu akibat adanya
serabut-serabut organik dan bersifat keras karena matriks ektraselulernya mengalami
klasifikasi.(1) Tulang merupakan jaringan yang bersifat dinamis yang disusun olah tiga
sel: osteoblas, osteosit dan osteoklas.(12) Tulang umumnya diklasifikasikan secara
regional atau berdasarkan bentuk umumnya. Tulang mempunyai dua bentuk, tulang
kompakta dan tulang spongiosa. Dimana tulang kompakta tampak sebagai massa yang
padat dan tulang spongiosa yang terdiri atas anyaman trabekula.(1)
3) Tulang Pipih
Tulang yang ditemukan pada tempurung kepala. Bagian dalam dan luar tulang
ini terdiri dari lapisan tipis kompakta, disebut tabula, yang dipisahkan oleh
selapis tulang spongiosa, disebut diploe.
4) Tulang Iregular
Tulang yang tidak termasuk dalam kelompok di atas, yang tersusun dari selapis
kompakta di bagian luarnya dan bagian dalamnya dibentuk oleh tulang
spongiosa.
5) Tulang Sesamoid
Tulang yang dimukan pada tendon-tendon tertentu di mana terdapat pergeseran
tendon pada permukaan tulang. Tulang ini tertanam dalam tendon dan
permukaan bebasnya diliputi cartilago.
sekunder yang terjadi pada permukaan ujung sendi yang memanjang (epiphysis).
Tulang rawan yang terdapat pada batang tulang dan permukaan ujung sendi,
akan berganti menjadi tulang panjang yang sedang tumbuh. Pertumbuhan
tersebut akan berlanjut dan memiliki fungsi untuk pemanjangan tulang hingga
berhentinya pertumbuhan tulang. Pada akhirnya seluruh proses osifikasi akan
menggantikan seluruh tulang rawan menjadi tulang sejati, kecuali ujung dari
persendian tulang panjang atau tulang rawan sandi.(2,19)
b) Osifikasi Intramembranosa
Proses pembentukan tulang lebih sederhana daripada proses osifikasi
endokondral. Pada pertumbuhan tulang ini tidak didahului oleh tulang rawan. (19)
Sebagian sel mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas yang menghasilkan
matriks osteoid dan mengalami klasifikasi. Setelah pusat osifikasi terbentuk,
kemudian akan berhubungan satu dengan yang lainnya menghasilkan anyaman
tulang spongiosa yang terdiri dari batang, lempeng dan duri yang disebut
trabekula. Kemudian osteoblas di lakuna dikelilingi oleh tulang dan menjadi
osteosit. Sama dengan osifikasi endokondral, saat osteosit berada di lakuna,
osteosit membentuk hubungan antarsel yang kompleks melalui kanalikuli.(2)
Contoh tulang yang terbentuk pada proses ini adalah mandibula, maksila,
klavikula dan hampir seluruh tulang pipih tengkorak.(19)
2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang akibat dari beban yang
diberikan lebih besar daripada kemampuan reabsorpsinya.(20)
Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga
osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan
endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan. Fase konsolidasi
terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman tulang menjadi
padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang
berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk
menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Rongga
diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal. Fase remodelling terjadi
10
selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang yang padat,
tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus
lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti
normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.(10,27)
Tanaman pare diperkirakan berasal dari kawasan asia tropis, tepatnya di bagian
timur laut India, Assam. Secara umum tanaman pare banyak tumbuh di wilayah
Amazon, Afrika, Asia, dan Karibia. Tanaman ini juga ditemukan di daerah Cina, Nepal,
Sri Langka, dan beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.(30)
Tanaman yang banyak terdapat di daerah tropis ini, tumbuh baik di dataran
rendah dan dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar atau di budidayakan dengan
dirambatkan di pagar untuk diambil buahnya. Tanaman ini tidak memerlukan banyak
sinar matahari, sehingga dapat tumbuh subur di tempat yang agak terlindung.(29)
Tanaman sayur buah ini dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan
memiliki nama lain disetiap daerahnya. Di Sumatera dikenal dengan nama peria, foria,
papare, kambeh. Di Jawa biasa disebut dengan pare, paria, papareh. Di Nusa Tenggara
dikenal dengan sebutan paya, truwok, paita, paliak, pania, pepule. Masyarakat Sulawesi
meyebutnya poya, pudun, pentu, belenggede, sementara di Maluku lebih dikenal dengan
nama papariane, pariane, papari, kakariano, taparipong. Di Cina dikenal dengan nama
ku gua sedangkan dalam bahasa inggris disebut bitter gourd atau bitter melon.(29)
2.3.2 Taksonomi
Taksonomi dari tumbuhan pare (Momordica charantia) adalah sebagai berikut(31):
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliosida
Ordo : Violes
Family : Cucurbitaceae
Genus : Momordica
Species : Momordica charantia L.
Isolasi dari ekstrak buah pare diperoleh empat jenis momordikosida yang tidak
pahit rasanya yaitu, momordikosida F1, momordikosida F2, momordikosida G, dan
momordikosida I. Bersamaan dengan itu pula telah diperoleh jenis momordikosida
utama yang pahit yaitu, momordikosida K dan momordikosida L.(32)
Kandungan utama dalam buah pare berupa air sebesar 91,20 g, protein sebesar
1,10g dan karbohidrat sebesar 0,60 g serta zat lainnya seperti lemak, kalsium, zat besi,
fosfor, vitamin A, B, C.(29)
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hsuet al. buah pare mempunyai
kandungan triterpenoid yang memiliki efek esterogenik (fitoesterogen). (18) Triterpenoid
pada buah pare yang memiliki sifat agonis terhadap estrogen reseptor (ER) merupakan
cucurbitacins.(18) Fitoesterogen memiliki fungsi sebagai prekursor pada metabolisme
13
manusia serta dapat mempengaruhi atau mempunyai kendali terhadap estrogen reseptor.
(14)
Fungsi dari estrogen di dalam tubuh bukan hanya untuk reproduksi, melainkan
estrogen memiliki peran penting untuk tulang, jantung, otak serta dapat mempengaruhi
metabolisme lipid, karbohidrat, protein dan mineral. (33) Organ tulang merupakan
kelompok organ nonendokrin yang terdapat reseptor estrogen (ER). Estrogen dalam
kerjanya membutuhkan reseptor yaitu Estrogen reseptor-β (ERβ) dan Estrogen reseptor-
α (ERα).(14) Estrogen merupakan hormon steroid yang sangat berperan penting pada
tulang, karena estrogen dapat mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas
termasuk menjaga kaseimbangan kerja dari kedua sel tersebut. (15) Osteoblas dan
osteoklas memiliki peran sebagai sel pembentuk tulang dan massa tulang dan
mempunyai reseptor estrogen (Ers), dimana osteoblas berfungsi sebagai sel yang
membentuk tulang dengan sekresinya dan osteoklas berfungsi sebagai sel yang
melakukan penyerapan mineral tulang.(13,34) Regulator dari proses tersebut adalah
estrogen. Dalam kerjanya pada fase remodeling tulang, estrogen memiliki sel target
utama yang merupakan sel osteoblast.(13) Estrogen akan meningkatkan sekresi dan
merangsang Osteoprogenitor (OPG) dan Tranforming Growth Factor β (TGF-β) yang
merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan (growth factor) pada sel osteoblas, yang
juga merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke area tulang yang telah diserap
oleh osteoklas.(15) Osteoprogenitor (OPG) akan berdiferensiasi dan berpoliferasi menjadi
sel osteoblas yang mensekresikan matriks osteoid sehingga terjadi proses osifikasi
tulang yang lebih spesifik yaitu proses osifikasi primer dan sekunder.(2)
Dapat disimpulkan secara teori bahwa dengan kandungan triterpenoid dari buah
pare yang memiliki aktivitas esterogenik (fitoestrogen) apabila diberikan untuk
penanganan fraktur akan berpengaruh pada proses remodeling dimana esterogen yang
ada nantinya akan mensekresikan dan merangsang Osteoprogenitor (OPG) dan
Tranforming Growth Factor β (TGF-β) sehingga terjadilah proses osifikasi atau
pembentukan tulang oleh osteblas.
14
Triterpenoid
Fraktur
Estrogen
Osteoprogenitor(OPG) TGFβ
Osteoblas
Pembentukan Kalus
BAB III
15
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan pada hewan uji tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
strain wistar. Besar ulangan minimal yang ditentukan menggunakan rumus dari
Frederer dengan rumus sebagai berikut:
(n-1) (t-1) ≥ 15
Sehingga dalam percobaan ini jumlah sampel minimal yang di butuhkan per
kelompok adalah sebagai berikut :
(n – 1)(4 – 1) ≥ 15
(n – 1)(3) ≥ 15
3n – 3 ≥ 15
3n ≥ 15 + 3
n ≥ 18/3
n ≥6
Keterangan:
t = Jumlah perlakuan
n = Jumlah ulangan
16
Tabel 3.1 Rancangan penelitian ektrak etanol buah pare (Momordica charantia)
Perlakuan
Pengulangan
Kontrol P1 P2 P3
1 K(1) P1(1) P2(1) P3(1)
2 K(2) P1(2) P2(2) P3(2)
3 K(3) P1(3) P2(3) P3(3)
4 K(4) P1(4) P2(4) P3(4)
5 K(5) P1(5) P2(5) P3(5)
6 K(6) P1(6) P2(6) P3(6)
Keterangan:
K :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia tanpa
diberi ekstrak
P1 :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia dan
P2 :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia dan
P3 :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia dan
vaccum rotary evaporator untuk menghilangkan pelarut etanol dengan suhu 40°C
sampai didapatkan ekstrak kental.
Maka, dosis ini dijadikan acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian dangan
kalkulasi sebagai berikut:
Dosis I = 100 mg x 0,018 = 1,8 mg/200gBB
Dosis II = 200 mg x 0,018 = 3,6 mg/200gBB
Dosis III = 300 mg x 0,018 = 5,4 mg/200gBB
Data yang diperoleh berupa data kuantitatif, kemudian dilakukan uji normalitas
(Shapiro-Wilk) dan uji homogenitasnya (Levene). Bila kedua uji ini terpenuhi maka
selanjutnya dilakukan uji ANOVA untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan bermakna
antar perlakuan. Apabila uji normalitas dan homogenitas data tidak terpenuhi maka
dapat dilakukan tranformasi data untuk memperbaiki. Apabila data tetap tidak
berdistribusi normal dan tidak homogen maka digunakan uji Kruskal-Wallis. Bila telah
uji ANOVA terdapat perbedaan bermakna, maka untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
3.11 Alur Penelitian
Randomisasi
K P1 P2 P3
Pengolahan data
Gambar 3.2 Alur Penelitian
Keterangan :
Kelompok kontrol (K) : Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia tanpa diberi ekstrak
Kelompok Perlakuan 1 (P1): Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia dan diberikan ekstrak dengan dosis 1,8
mg/200gBB
Kelompok Perlakuan 2 (P2): Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia dan diberikan ekstrak dengan dosis 3,6
mg/200gBB
Kelompok Perlakuan 2 (P2): Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia dan diberikan ekstrak dengan dosis 5,4
mg/200gBBa
Daftar Pustaka
1. Snell R. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2011. 281-284 p.
2. Eroschenko V. Atlas Histologi diFiore: dengan korelasi fungsional. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2010. 83-103 p.
3. Fadlani YW, Harahap IA. Terapi Perilaku Kognitif Distraksi Terhadap Intensitas
Nyeri Pasien Dengan Fraktur Femur Yang Terpasang Traksi. Fak Keperawatan
USU. 2009;1–7.
4. Mahartha GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. 2012;1–13.
5. Ropyanto CB. 1. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Fungsional Pasien Paska Open Reduction Internal Fixation (Orif) Fraktur
Ekstremitas Bawah Di Rs. Ortopedi Prof. Soeharso Surakarta. Univ Indones.
2011;1–148.
6. Parahita, Sukma P, Kurniyanta P, Sakit R, Pusat U, Denpasar S. Management of
Extrimity Fracture in Emergency. 2010;1–18.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;135–45.
8. Kimberly R G, Ian S, Simon D, Jonathan J R, Miranda M, Ian H, et al. Bone
morphogenetic protein ( BMP ) for fracture healing in adults ( Review ).
Cochrane Collab. 2010;(6).
9. Nugraha MP, Magetsari R. No TitlePengaruh Pemberian Insulin Secara Lokal
Pada Daerah Fraktur Terhadap Penyembuhan Fraktur Pada Tikus Putih (Rattus
Novergicus). Universitas Gajah Mada; 2013.
10. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures, Ninth Edition. Vol. 4. 2010. 992 p.
11. Kasman D. Analisa Histomorfometri Menggunakan Image J Pada Penyembuhan
Fraktur Yang Mengalami Perlakuan Mekanik Tulang Saja Dan Tulang Dan
Periosteum Pada Tikus Sprague- Dawley. 2013;(September).
12. Basyar E. Pengaruh Stimulus Elektrik Kontinyu Dan Untermiten Pada
Penyembuhan Fraktur. Semarang: Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2004. p. 1–32.
13. Beil FT, Barvencik F, Gebauer M, Seitz S, Rueger JM, Ignatius A, et al. Effects
of estrogen on fracture healing in mice. J Trauma. 2010;69(5):1259–65.
14. Cevik O, Akpinar H, Oba R, Cilingir OT, Ozdemir ZN, Cetinel S, et al. The
effect of Momordica charantia intake on the estrogen receptors ESRα/ESRβ gene
levels and apoptosis on uterine tissue in ovariectomy rats. Mol Biol Rep.
2015;42(1):167–77.
15. Kawiyana IKS. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. J
Intern Med. 2009;157–70.
16. Riyadi NH. Mengangkat potensi pare (Momordica charantia) menjadi produk
pangan olahan sebagai upaya diversifikasi. 2015;1:1167–72.
17. Murakami Toshiyuki, Emoto A, Matsuda H, Yoshikaw M. Medicinal Foodstuffs.
XXI.1) Structures of New Cucurbitane-Type Triterpene Glycosides,
Goyaglycosides-a, -b, -c, -d, -e, -f, -g, and -h, and New Oleanane-Type Triterpene
Saponins, Goyasaponins I, II, and III, from the Fresh Fruit of Japanese
Momordica cha. Chem Pharm Bull. 2001;49(1):54–63.
18. Hsu C, Hsieh CL, Kuo YH, Huang CJ. Isolation and identification of
cucurbitane-type triterpenoids with partial agonist/antagonist potential for
estrogen receptors from Momordica charantia. J Agric Food Chem.
2011;59(9):4553–61.
19. Derrickson, B. Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology 13th ed. Willey
2012. 2012. 1-5 p.
20. Saratun H, Manurung S RE. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri
Asuhan Keperawatan. Penerbit E. Jakarta; 2008.
21. Grace PA, Safitri A, Bornley NR. At a glance: Ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:
Erlangga; 2007.
22. Buckley R. General Principles of Fracture Care [Internet]. Medscape. 2014.
Available from: tersedia:http://emedicine.medscape.com/article/1270717-
overview#showall
23. Price S, Lorraine M. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2005. 1357-1373 p.
24. Adams JC, Hamblen DL, Simpson AHRW. Adams’s outline of fractures:
including joint injuries. 12th ed. Philadelphia: Elsavier Publisher; 2007.
25. Davies K. Buku Pintar Nyeri Tulang dan Otot. Penerbit E. Jakarta; 2007.
26. Sjamsuhidayat de J. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran; 2011. 959-1083 p.
27. Salter R. Textbook Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System. 3rd
ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 1999. 417-498 p.
28. Situmorang E, Tarigan R. Kecukupan Asupan Nutrisi Untuk Penyembuhan
Tulang Pada Pasien Fraktur Di Rsup H. Adam Malik Medan. J Keperawatan
Klin. 2012;3:1–5.
29. Rukmana R. Budidaya Pare. Yogyakarta: Kanisius; 1997. 13-15, 23 p.
30. Wisam A. Manfaat dan Budi Daya Pare. Jakarta: Sinar Cemerlang Abadi; 2007.
18-22 p.
31. Sharma S, Tandon S, Semwal B, Singh K. Momordica charantia Linn.: A
Comprehensive Review on Bitter Remedy. J Pharm Res Opin. 2014;1(2):42–7.
32. Okabe H, Miyahara Y, Tatsuo Y. Studies on Constituents of Momordica charantia
L. IV. Characterization of the new Cucurbitacin Glycosides, Momordicosides K
and L. Chem Pharm Bull. 1996;58(5):481–4.
33. Suherman SK. Estrogen dan Progestin, Agonis dan Antagonisnya. Farmakologi
dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2012. 455-462 p.
34. Raisz LG. Physiology and pathophysiology of bone remodeling. Clin Chem.
1999;45:1353–8.
35. Yuda IKA, Anthara MS, Dharmayudha AAGO. Identifikasi golongan senyawa
kimia estrak etanol buah pare (Momordica charantia) dan pengaruhnya terhadap
penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan (Rattus novergicus) yang
diinduksi aloksan. Bul Vet Udayana. 2013;5:87–95.