Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tulang adalah jaringan yang strukturnya dapat berubah sebagai akibat tekanan
yang dialaminya. Tulang berfungsi sebagai pelindung dari beberapa organ lunak, tempat
lekat untuk otot skelet dan sebagai pengungkit. Pertumbuhan tulang mempunyai dua
proses, yaitu osifikasi endokondral dan osifikasi membranosa.(1,2)
Fraktur atau patah tulang merupakan suatu kondisi terputusnya kontinuitas
jaringan tulang dan/atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh trauma. Fraktur
bisa bersifat terbuka maupun tertutup. Gejala dan tanda fraktur dapat berupa nyeri,
deformitas, krepitus (mobilisasi abnormal), spasme otot dan kehilangan fungsi.(3,4,5)
Insiden fraktur secara keseluruhan di dunia adalah 11,3‰ per tahun. Insiden
fraktur pada laki-laki adalah 11.67‰ per tahun, sedangkan pada perempuan 10,65‰ per
tahun. Di Amerika Serikat, 5,6 juta kejadian patah tulang terjadi setiap tahunnya dan
merupakan 2% dari kejadian trauma. Pada tahun 2013 di Indonesia, prevalensi cedera
mencapai 8,2% dimana angka kejadian patah tulang mencapai 5,8% secara keseluruhan,
untuk laki- laki 6,6% dan perempuan 4,6%. Aceh termasuk kedalam lima besar daerah
yang memiliki angka persentase terbesar berdasarkan laporan RISKESDAS 2013
dengan persentase 7,4%. Insiden di beberapa belahan dunia akan berbeda. Hal ini
mungkin disebabkan salah satunya karena adanya perbedaan status sosioekonomi dan
metodelogi yang digunakan di area penelitian.(4,6,7)
Fraktur merupakan insiden yang relatif sering terjadi di masyarakat dan waktu
penyembuhannya yang lama. Penyembuhan fraktur di dunia medis terus berkembang.
Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk memperbaiki
kehidupanpasien dengan mengembalikan fungsi ekstremitas seperti semula dan yang
kedua adalah mempertahankan bentuk seanatomis mungkin. Prinsip penanggulangannya
adalah rekognisi (mengenali), reduksi (mengurangi pergerakan), retaining
(mempertahankan), dan rehabilitasi.(4,6,8,9)
Secara makroskopis penyembuhan fraktur dapat diamati dengan melihat
pembentukan kalus menjadi tulang. Pembentukan kalus mulai terjadi pada fase
proliferasi yang terjadi 3 hari sampai 4 minggu. Kalus terbentuk dari lapisan luar

1
2

periosteum dimana lapisan tersebutdi dorong oleh sel osteprogenitor yang membelah
diri membentuk osteoblas.(10,11,12)
Estrogenberpengaruh dalam proses penyembuhan fraktur, dimana apabila terjadi
defisiensi estrogen akan mempengaruhi sel osteoklas yang dapat menyebabkan tulang
akankehilangan massanya. Pada tulang, estrogen akan berperan meningkatkan sekresi
dan merangsang osteoprogenitor (OPG) dan Transforming Growth Factor β (TGF-β)
yang merupakan faktor pertumbuhan sel osteoblas untuk membentuk tulang dan
menghambat sel osteoklas.(13,14,15)
Pare merupakan tanaman berbuah pahit, tumbuh di daerah tropis termasuk di
kawasan Indonesia, mudah dibudidayakan, dan tidak bergantung musim. Tanaman pare
mengandung banyak senyawa aktif triterpenoid. Dimana menurut penelitian Hsuet al.
kandungan triterpenoid buah pare memiliki efek estrogenik.(16,17,18)
Penelitian oleh Gan, AK (2017) menunjukkan pemberian ekstrak etanol pare
dapat menginduksi pembentukan dan pelebaran kalus yang lebih besar pada hewan coba
dibandingkan dengan kelompok kontrol

Sesuai dengan pernyataan di atas sehingga penulis tertarik untuk melakukan


penelitian tentang khasiat triterpenoid pada buah pare yang memiliki aktivitas
estrogenik, dimana estrogen berperan penting dalam proses pembentukan kalus pada
penyembuhan fraktur.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:


1. Apakah ekstrak etanol buah pare berpengaruh terhadap pembentukan lebar kalus
tulang tibia pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar yang
mengalami fraktur?
2. Berapakah dosis ekstrak etanol buah pare yangpaling berpengaruh terhadap
pembentukan lebar kalus tulang tibia pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan
strain wistar yang mengalami fraktur?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:


3

1. Melihat pengaruh ekstrak etanol buah pare terhadap pembentukan lebar kalus
tulang tibia pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar yang
mengalami fraktur.
2. Melihat pengaruh dosis-dosis ekstrak etanol buah pare terhadap pembentukan
lebar kalus tulang tibia pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar
yang mengalami fraktur.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:


1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi untuk penelitian
lebih lanjut mengenai pengaruh ekstrak etanol buah pare terhadap lebar kalus
tulang tibia yang mengalami fraktur.
2. Diharapkan penelitian ini mengetahui kadar dosis ekstrak buah pare yang dapat
mempercepat penyembuhan fraktur.
4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tulang

Tulang merupakan jaringan hidup yang strukturnya dapat berubah sebagai akibat
tekanan yang dialaminya. Tulang selalu mengalami pembaharuan dengan pembentukan
tulang baru dan resopsi. Tulang memiliki derajat elastisitas tertentu akibat adanya
serabut-serabut organik dan bersifat keras karena matriks ektraselulernya mengalami
klasifikasi.(1) Tulang merupakan jaringan yang bersifat dinamis yang disusun olah tiga
sel: osteoblas, osteosit dan osteoklas.(12) Tulang umumnya diklasifikasikan secara
regional atau berdasarkan bentuk umumnya. Tulang mempunyai dua bentuk, tulang
kompakta dan tulang spongiosa. Dimana tulang kompakta tampak sebagai massa yang
padat dan tulang spongiosa yang terdiri atas anyaman trabekula.(1)

2.1.1 Klasifikasi Tulang


Tulang berdasarkan bentuknya dikelompokkan menjadi(1):
1) Tulang Panjang
Tulang yang ditemukan pada ektremitas, mempunyai panjangnya lebih besar
dari lebarnya.
2) Tulang Pendek
Tulang yang ditemukan pada tangan dan kaki, bentuk umumnya segiempat dan
terdiri atas tulang spongiosa yang dikelilingi oleh selapis tipis tulang kompakta.
5

3) Tulang Pipih
Tulang yang ditemukan pada tempurung kepala. Bagian dalam dan luar tulang
ini terdiri dari lapisan tipis kompakta, disebut tabula, yang dipisahkan oleh
selapis tulang spongiosa, disebut diploe.
4) Tulang Iregular
Tulang yang tidak termasuk dalam kelompok di atas, yang tersusun dari selapis
kompakta di bagian luarnya dan bagian dalamnya dibentuk oleh tulang
spongiosa.
5) Tulang Sesamoid
Tulang yang dimukan pada tendon-tendon tertentu di mana terdapat pergeseran
tendon pada permukaan tulang. Tulang ini tertanam dalam tendon dan
permukaan bebasnya diliputi cartilago.

2.1.2 Proses Pembentukan Tulang (osifikasi)


Pada saat di dalam embrio, proses pertumbuhan tulang sudah dimulai. Dimana
terdapat dua proses dalam pembentukan tulang yaitu Osifikasi Endokondral dan
Osifikasi Intramembranosa.(2,19)
a) Osifikasi endokondral
Sebagian besar tulang di tubuh berkembang melalui proses osifikasi
endokondral. Dimana pada awal pembentukan tulang oleh suatu model tulang
hialin sementara. Seiring pertumbuhan terjadilah pembentukan kondrosit, lalu
mengakibatkan hipertropi (membesar), sehingga menjadi matur, dan model
tulang rawan hialin mengalami klasifikasi yang menyebabkan berkurangnya
difusi nutrien dan gas melalui matriksnya. Akibatnya kondrosit akan mati dan
matriks yang mengalami klasifikasi berfungsi sebagai pengendapan material
tulang, sel-sel perikondriasis akan memperliahatkan potensi osteogeniknya dan
terbentuk suatu kerah periosteal tipis disekeliling bagian batang tangan tulang
dimana jaringan ikat ini disebut jaringan ikat periosteum. Sel-sel mesenkim dari
dalam lapisan periosteum tersebut berdiferensiasi menjadi sel osteoprogenitor
yang kemudian berpoliferasi dan berdiferensiasi menjadi osteoblas. Kemudian
jaringan mesenkim, osteoblas dan pembuluh darah akan membentuk pusat
osifikasi primer di tulang yang sedang tumbuh dimulai pada bagian batang dari
pada tulang panjang (diaphysis). Selanjutnya, diikuti dengan pusat osifikasi
6

sekunder yang terjadi pada permukaan ujung sendi yang memanjang (epiphysis).
Tulang rawan yang terdapat pada batang tulang dan permukaan ujung sendi,
akan berganti menjadi tulang panjang yang sedang tumbuh. Pertumbuhan
tersebut akan berlanjut dan memiliki fungsi untuk pemanjangan tulang hingga
berhentinya pertumbuhan tulang. Pada akhirnya seluruh proses osifikasi akan
menggantikan seluruh tulang rawan menjadi tulang sejati, kecuali ujung dari
persendian tulang panjang atau tulang rawan sandi.(2,19)
b) Osifikasi Intramembranosa
Proses pembentukan tulang lebih sederhana daripada proses osifikasi
endokondral. Pada pertumbuhan tulang ini tidak didahului oleh tulang rawan. (19)
Sebagian sel mesenkim berdiferensiasi menjadi osteoblas yang menghasilkan
matriks osteoid dan mengalami klasifikasi. Setelah pusat osifikasi terbentuk,
kemudian akan berhubungan satu dengan yang lainnya menghasilkan anyaman
tulang spongiosa yang terdiri dari batang, lempeng dan duri yang disebut
trabekula. Kemudian osteoblas di lakuna dikelilingi oleh tulang dan menjadi
osteosit. Sama dengan osifikasi endokondral, saat osteosit berada di lakuna,
osteosit membentuk hubungan antarsel yang kompleks melalui kanalikuli.(2)
Contoh tulang yang terbentuk pada proses ini adalah mandibula, maksila,
klavikula dan hampir seluruh tulang pipih tengkorak.(19)

2.2 Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang akibat dari beban yang
diberikan lebih besar daripada kemampuan reabsorpsinya.(20)

2.2.2 Etiologi Fraktur


Fraktur disebabkan oleh tekanan yang kuat yang diberikan pada tulang melebihi
kekuatan tulang normal, dalam mempertahankannya atau tekanan sedang yang
diberikan pada tulang yang terkena penyakit.(21,22)
Terdapat dua faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur(22):
a. Faktor ekstrinsik : meliputi tingkat beban, durasi, arah dan besar gaya yang
diberikan oleh beban terhadap tulang yang terkena.
b. Faktor intrinsik : meliputi kapasitas absorbsi energi pada tulang, elastisitas,
kelelahan, kekuatan dan kepadatan tulang.
7

2.2.3 Klasifikasi Fraktur


Fraktur memiliki klasifikasi berdasarkan keaadan tulangnya. Dimana dikatakan
fraktur lengkap apabila keadaan seluruh patah tulang, sementara fraktur tidak lengkap
melibatkan seluruh ketebalan tulang.(23) Fraktur juga dibedakan berdasarkan hubungan
dengan dunia luar menjadi fraktur terbuka, dimana fraktur yang menembus kulit
sehingga tulang berhubungan dengan dunia luar dan fraktur tertutup, dimana fraktur
yang berada di bawah permukaan kulit dan tidak menyebabkan robeknya kulit. (4,23) Dan
fraktur dengan komplikasi adalah fraktur yang diikuti dengan komplikasi seperti infeksi
pada tulang dan lainnya.(4)
Berdasarkan pola fraktur, fraktur diklasifikasikan menjadi(23–25):
a. Fraktur transversal, fraktur dengan garis patahan yang tegak lurus terhadap
sumbu panjang tulang. Fraktur ini sering diakibatkan oleh hantaman yang keras
dan sering terjadi pada lengan dan kaki.
b. Fraktur oblik, fraktur yang tidak stabil dan sulit diperbaiki akibat dari garis
patahan yang membentuk sudut terhadap tulang.
c. Fraktur spiral, fraktur yang dapat sembuh dengan cepat dengan menggunakan
imobilisasi luar karena hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaringan lunak.
Fraktur ini terjadi akibat torsi pada ekstermitas.
d. Fraktur komunitif, fraktur dengan terputusnya keutuhan jaringan lebih dari
2(dua) fragmen tulang.
e. Fraktur greenstik, fraktur yang sering terjadi pada anak-anak diamana sebagian
korteks tulang dan periosteum masih utuh.
Berdasarkan bentuk patah tulangnya(4):
a. Fraktur Komplet
Fragmen tulang mengalami pergeseran dan garis frakturnya menyilang ataupun
memotong seluruh tubuh.
b. Farktur Inkomplet
Fraktur yang hanya meliputi sebagian retakan pada sebelah sisi tulang, dimana
termasuk:
(1) Fraktur Kompresi (tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain),
(2) Fraktur Avulsi (tertariknya fraktur tulang oleh ligamen),
(3) Fraktur segmental (terpecahnya tulang menjadi beberapa bagian).

2.2.4 Diagnosa Fraktur


Gejala klasik fraktur adalah adanya riwayat trauma, rasa nyeri dan bengkak di
bagian tulang yang patah, deformitas (angulasi, rotasi, diskrepansi), gangguan fungsi
8

muskuloskeletal akibat nyeri, putusnya kontinuitas tulang, dan gangguan neurovaskuler.


Apabila gejala klasik tersebut ada, secara klinis diagnosa fraktur dapat ditegakkan
walaupun jenis konfigurasinya belum dapat ditentukan.(26,27)
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi
kejadian) dan kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat
cedera atau fraktur sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang di
konsumsi, merokok, riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.(4,10)
Pada pemeriksaan fisik dilakukan tiga hal penting, yakni inspeksi/look:
deformitas (angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan), bengkak. Palpasi/feel (nyeri
tekan, krepitasi). Lakukan juga pemerikasaan neurovaskularisasi bagian distal dan
proksimal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian cairan kapiler,
sensasi. Pemeriksaan gerakan/moving dinilai apakah adanya keterbatasan pada
pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi fraktur.(23,24)
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan antara lain laboratorium meliputi darah
rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, urinalisa dan pemeriksaan
radiologis.(26)

2.2.4 Penatalaksanaan Fraktur


Penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan kehidupanpasien dan
yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun fungsi ekstrimitasseperti
semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan frakturyang
tepat adalah (1) survey primer yang meliputi Airway, Breathing, Circulation, (2)
meminimalisir rasa nyeri (3) mencegah cedera iskemia-reperfusi, (4) menghilangkan
dan mencegah sumber-sumber potensial kontaminasi.(6)
Semua jenis fraktur memiliki prinsip penanganan yang sama dengan metode
yang berbeda-beda. Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dengan kekuatan normal dengan rehabilitasi.(5)
a. Reduksi fraktur ialah mengembalikan tulang pada kesejajaran dan rotasi
anatomi. Reduksi fraktur dilakukan secepat mungkin untuk mencegah jaringan
lunak kehilangan elastisitanya akibat infiltrasi karena edema atau perdarahan.
Reduksi semakin sulit apabila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
b. Imobilisasi ialah tindakan meluruskan ektremitas/bagian yang terkena fraktur
dalam posisi seanatomis mungkin dan membatasi gerakan pada bagian tubuh
9

yang mengalami fraktur dengan tujuan untuk mengoreksi deformitas,


memberikan tekanan pada jaringan lunak di bawahnya untuk mencegah udema
dan memberikan dukungan dan stabilitas pada sendi yang mengalami
kelemahan.
c. Rehabilitasi ialah suatu proses yang dinamis, yang berorientasi pada kesehatan
untuk membantu individu yang sakit atau cacat mencapai tingkat fungsi fisik,
mental, spiritual, sosial dan ekonomi. Rehabilitasi dimulai setelah stabilisasi
tulang tercapai. Pada awalnya pasien melakukan latihan isometrik, ROM (Range
Of Motion), mobilisasi dan melakukan ambulansi dengan alat bantu untuk
meningkatkan status fungsional.(5,6)

2.2.5 Proses Penyembuhan Fraktur


Tahapan penyembuhan tulang menurut Apley dibagi menjadi 5 fase. Fase
hematoma terjadi selama 1- 3 hari. Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di
sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat
pesediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter. Fase proliferasi terjadi
selama 3 hari sampai 2 minggu. Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi dibawah periosteum dan didalam saluran medula yang tertembus
ujung fragmen dikelilingi jaringan sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma
yang membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang
dalam daerah fraktur. Fase pembentukan kalus terjadi selama 2-6 minggu. Pada sel yang
berkembangbiak memiliki potensi untuk menjadi kondrogenik dan osteogenik jika
diberikan tindakan yang tepat selain itu akan membentuk tulang kartilago dan osteoklas.
(10,27)

Massa tulang akan menjadi tebal dengan adanya tulang dan kartilago juga
osteoklas yang disebut dengan kalus. Kalus terletak pada permukaan periosteum dan
endosteom. Terjadi selama 4 minggu, tulang mati akan dibersihkan. Fase konsolidasi
terjadi dalam waktu 3 minggu – 6 bulan. Tulang fibrosa atau anyaman tulang menjadi
padat jika aktivitas osteoklas dan osteoblastik masih berlanjut maka anyaman tulang
berubah menjadi tulang lamelar. Pada saat ini osteoblast tidak memungkinkan untuk
menerobos melalui reruntuhan garis fraktur karena sistem ini cukup kaku. Rongga
diantara fragmen dengan tulang baru akan diisi oleh osteoblas. Perlu beberapa bulan
sebelum tulang cukup untuk menumpu berat badan normal. Fase remodelling terjadi
10

selama 6 minggu hingga 1 tahun. Fraktur telah dihubungkan oleh tulang yang padat,
tulang yang padat tersebut akan diresorbsi dan pembentukan tulang yang terus menerus
lamelar akan menjadi lebih tebal, dinding-dinding yang tidak dikehendaki dibuang,
dibentuk rongga sumsum dan akhirnya akan memperoleh bentuk tulang seperti
normalnya. Terjadi dalam beberapa bulan bahkan sampai beberapa tahun.(10,27)

2.2.6 Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Farktur


Banyak faktor yang mempengaruhi penyembuhan tulang pada pasien fraktur,
yaitu : imobilisasi fragmen tulang, kontak fragmen tulang maksimal, nutrisi yang baik,
latihan pembebanan berat badan dan didukung hormon-hormon pertumbuhan.
(28)
Aktivitas hormon estrogen dapat mempengaruhi osteoblas dan osteoklas dalam proses
remodeling, dan estrogen juga diketahui dapat berperan manjadi regulator dalam
remodeling tulang.(13)Menurut Uhthoff faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur
dibagi menjadi 2 faktor utama yaitu sistemik dan lokal. Sistemik meliputi antara lain:
usia, faktor hormonal, status nutrisi, vitamin, obat yang dikonsumsi, penyakit yang
diderita. Faktor lokal antara lain adalah faktor yang berkaitan dengan trauma seperti
kerusakan soft tissue, tipe dan lokasi fraktur dan adanya bone loss.(12)

2.3 Pare (Momordica charantia L.)

Tanaman pare tumbuh menjalar dan termasuk tumbuhan semusim(annual). Daun


tanaman berbentuk menjari dengan permukaan daun atas berwarna hijau tua dan daun
bawah berwarna hijau muda atau hijau kekuningan. Dari ketiak daun tumbuh tangkai
kuntum bunga. Bunga tanaman pare tunggal, berkelamin dua dalam satu pohon,
bertangkai panjang dan berwarna kuning. Buah dihasilkan oleh bunga betina yang telah
mengalami proses penyerbukan. Buah bulat memanjang dengan rusuk 8 – 10, berbintil
tidak beraturan, panjang 8 – 30 cm, daging buahnya agak tebal, berasa pahit, berwarna
hijau, menjadi jingga yang pecah dengan 3 katup jika masak dan di dalamnya juga
terdapat sejumlah biji. Biji yang terdapat di dalam buah pare banyak, bentuknya pipih
memanjang, coklat kekuningan, berkulit agak tebal dan keras serta permukaannya tidak
rata. Pada batang tanaman pare bentuknya tidak bulat sempurna dan mempunya 5 rusuk.
Pada batang muda terdapat bulu halus, lalu menghilang setelah tua.(29)

2.3.1 Distribusi Geografis dan Habitat


11

Tanaman pare diperkirakan berasal dari kawasan asia tropis, tepatnya di bagian
timur laut India, Assam. Secara umum tanaman pare banyak tumbuh di wilayah
Amazon, Afrika, Asia, dan Karibia. Tanaman ini juga ditemukan di daerah Cina, Nepal,
Sri Langka, dan beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.(30)
Tanaman yang banyak terdapat di daerah tropis ini, tumbuh baik di dataran
rendah dan dapat ditemukan tumbuh liar di tanah terlantar atau di budidayakan dengan
dirambatkan di pagar untuk diambil buahnya. Tanaman ini tidak memerlukan banyak
sinar matahari, sehingga dapat tumbuh subur di tempat yang agak terlindung.(29)
Tanaman sayur buah ini dikenal luas oleh masyarakat Indonesia, bahkan
memiliki nama lain disetiap daerahnya. Di Sumatera dikenal dengan nama peria, foria,
papare, kambeh. Di Jawa biasa disebut dengan pare, paria, papareh. Di Nusa Tenggara
dikenal dengan sebutan paya, truwok, paita, paliak, pania, pepule. Masyarakat Sulawesi
meyebutnya poya, pudun, pentu, belenggede, sementara di Maluku lebih dikenal dengan
nama papariane, pariane, papari, kakariano, taparipong. Di Cina dikenal dengan nama
ku gua sedangkan dalam bahasa inggris disebut bitter gourd atau bitter melon.(29)

2.3.2 Taksonomi
Taksonomi dari tumbuhan pare (Momordica charantia) adalah sebagai berikut(31):
Kingdom : Plantae
Division : Magnoliophyta
Class : Magnoliosida
Ordo : Violes
Family : Cucurbitaceae
Genus : Momordica
Species : Momordica charantia L.

2.3.3 Kandungan Zat Kimia


Tanaman pare mengandung banyak senyawa aktif yang bermanfaat seperti
alkaloid, saponin, flavonoid, triterpenoid, protein, dan steroid. Senyawa aktif lainnya
juga berhasil diisolasi seperti momorcharins, momordenol, momordicilin, momordicins,
momordicinin, momordin, momordolol, charantin, charine, cryptoxanthin, cucurbitins,
cucurbitacins, cucurbitanes, cycloartenols, diosgenin, elaeostearic acids, erythrodiol,
galacturonic acids, gentisic acid, goyaglycosides, goyasaponis, multiflorenol.(17)
12

Isolasi dari ekstrak buah pare diperoleh empat jenis momordikosida yang tidak
pahit rasanya yaitu, momordikosida F1, momordikosida F2, momordikosida G, dan
momordikosida I. Bersamaan dengan itu pula telah diperoleh jenis momordikosida
utama yang pahit yaitu, momordikosida K dan momordikosida L.(32)

Tabel 2.1 Kandungan gizi dalam 100 gram buah pare(29)


Nutrisi Komposisi
Kalori 29,00 kal
Protein 1,10 g
Lemak 0,30 g
Kerbohidrat 0,60 g
Kalsium 45,00 mg
Zat besi 1,40 mg
Fosfor 64,00 mg
Vitamin A 180,00 SI
Vitamin B 0,08 mg
Vitamin C 52,00 mg
Air 91,20 g

Kandungan utama dalam buah pare berupa air sebesar 91,20 g, protein sebesar
1,10g dan karbohidrat sebesar 0,60 g serta zat lainnya seperti lemak, kalsium, zat besi,
fosfor, vitamin A, B, C.(29)

2.3.4 Manfaat Pare


Semua bagian dari tanaman pare bermanfaat sebagai obat tradisional dan
mempunyai khasiat yang berbeda pula. Buah pare dipercaya dapat berkhasiat mengobati
batuk, radang tenggorokan, demam, malaria, kencing manis, disentri, rematik, sariawan
dan infeksi cacing. Daun pare dipergunakan untuk mengobati luka, abses, bisul, demam,
sifilis dan kencing nanah.(32) Akar pare dapat digunakan untuk mengobati ambeien dan
disentri. Khasiat bunga pare mengobati gangguan pencernaan yang terganggu dan
bijinya diketahui masyarakat untuk mengobati cacingan, impotensi dan kanker.(30)

2.4 Pengaruh Ekstrak Buah Pare Terhadap Proses Penyembuhan Tulang


Fraktur

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hsuet al. buah pare mempunyai
kandungan triterpenoid yang memiliki efek esterogenik (fitoesterogen). (18) Triterpenoid
pada buah pare yang memiliki sifat agonis terhadap estrogen reseptor (ER) merupakan
cucurbitacins.(18) Fitoesterogen memiliki fungsi sebagai prekursor pada metabolisme
13

manusia serta dapat mempengaruhi atau mempunyai kendali terhadap estrogen reseptor.
(14)

Fungsi dari estrogen di dalam tubuh bukan hanya untuk reproduksi, melainkan
estrogen memiliki peran penting untuk tulang, jantung, otak serta dapat mempengaruhi
metabolisme lipid, karbohidrat, protein dan mineral. (33) Organ tulang merupakan
kelompok organ nonendokrin yang terdapat reseptor estrogen (ER). Estrogen dalam
kerjanya membutuhkan reseptor yaitu Estrogen reseptor-β (ERβ) dan Estrogen reseptor-
α (ERα).(14) Estrogen merupakan hormon steroid yang sangat berperan penting pada
tulang, karena estrogen dapat mempengaruhi aktivitas sel osteoblas maupun osteoklas
termasuk menjaga kaseimbangan kerja dari kedua sel tersebut. (15) Osteoblas dan
osteoklas memiliki peran sebagai sel pembentuk tulang dan massa tulang dan
mempunyai reseptor estrogen (Ers), dimana osteoblas berfungsi sebagai sel yang
membentuk tulang dengan sekresinya dan osteoklas berfungsi sebagai sel yang
melakukan penyerapan mineral tulang.(13,34) Regulator dari proses tersebut adalah
estrogen. Dalam kerjanya pada fase remodeling tulang, estrogen memiliki sel target
utama yang merupakan sel osteoblast.(13) Estrogen akan meningkatkan sekresi dan
merangsang Osteoprogenitor (OPG) dan Tranforming Growth Factor β (TGF-β) yang
merupakan satu-satunya faktor pertumbuhan (growth factor) pada sel osteoblas, yang
juga merupakan mediator untuk menarik sel osteoblas ke area tulang yang telah diserap
oleh osteoklas.(15) Osteoprogenitor (OPG) akan berdiferensiasi dan berpoliferasi menjadi
sel osteoblas yang mensekresikan matriks osteoid sehingga terjadi proses osifikasi
tulang yang lebih spesifik yaitu proses osifikasi primer dan sekunder.(2)
Dapat disimpulkan secara teori bahwa dengan kandungan triterpenoid dari buah
pare yang memiliki aktivitas esterogenik (fitoestrogen) apabila diberikan untuk
penanganan fraktur akan berpengaruh pada proses remodeling dimana esterogen yang
ada nantinya akan mensekresikan dan merangsang Osteoprogenitor (OPG) dan
Tranforming Growth Factor β (TGF-β) sehingga terjadilah proses osifikasi atau
pembentukan tulang oleh osteblas.
14

2.6 Kerangka Teori

Ekstrak Etanol Buah Pare


Tulang

Triterpenoid
Fraktur

Estrogen

Osteoprogenitor(OPG) TGFβ

Immobilisasi Lokalisasi Fraktur

Usia Gerakan Pasif


p

Vaskularisasi Waktu Imobilisasi

Osteoblas

Pembentukan Kalus

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Keterangan :
: Tidak Diteliti
: Diteliti

BAB III
15

METODELOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen laboratorik menggunakan


Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan metode Posttest Only Control Design. Pada
penelitian ini digunakan hewan uji berupa Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain
wistar. Hewan coba dibagi secara acak sederhana menjadi 4 perlakuan. Semua
perlakuan diberi tindakan fraktur pada tulang yang sama untuk menilai proses
penyembuhan fraktur yang diukur lewat lebar kalus tulang yang terbentuk.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat yaitu di Kandang Budidaya Hewan


Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah untuk pemeliharaan hewan uji dan Laboratorium
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Unsyiah (FMIPA) untuk pembuatan
ekstrak Buah Pare. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan September – Oktober 2017.

3.3 Jumlah Ulangan Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada hewan uji tikus putih jantan (Rattus norvegicus)
strain wistar. Besar ulangan minimal yang ditentukan menggunakan rumus dari
Frederer dengan rumus sebagai berikut:

(n-1) (t-1) ≥ 15

Sehingga dalam percobaan ini jumlah sampel minimal yang di butuhkan per
kelompok adalah sebagai berikut :
(n – 1)(4 – 1) ≥ 15
(n – 1)(3) ≥ 15
3n – 3 ≥ 15
3n ≥ 15 + 3
n ≥ 18/3
n ≥6

Keterangan:
t = Jumlah perlakuan
n = Jumlah ulangan
16

Hasil kalkulasi di atas, didapatkan nilai n = 6, sehingga pada penelitian ini


menggunakan 6 ulangan untuk jumlah perlakuan, karena ada 4 perlakuan maka total
hewan uji yang dibutuhkan untuk penelitian adalah 6 ulangan x 4 perlakuan = 24 ekor
hewan uji.
Hewan uji yang dipilih adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain
wistar 24 ekor sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagi berikut:
1) Kriteria Inklusi:
(1) Tikus putih (Rattus norvegicus) jantan strain wistar
(2) Umur 4-5 bulan
(3) Berat badan 150-200 gram
(4) Kondisi sehat (aktif dan tidak cacat)
2) Kriteria Eksklusi:
(1) Tikus sakit
(2) Tikus mati selama penelitian

Tabel 3.1 Rancangan penelitian ektrak etanol buah pare (Momordica charantia)
Perlakuan
Pengulangan
Kontrol P1 P2 P3
1 K(1) P1(1) P2(1) P3(1)
2 K(2) P1(2) P2(2) P3(2)
3 K(3) P1(3) P2(3) P3(3)
4 K(4) P1(4) P2(4) P3(4)
5 K(5) P1(5) P2(5) P3(5)
6 K(6) P1(6) P2(6) P3(6)

Keterangan:

K :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia tanpa
diberi ekstrak

P1 :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia dan

diberikan ektrak dengan dosis 100 mg/kgBB

P2 :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia dan

diberikan ektrak dengan dosis 200 mg/kgBB

P3 :Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia dan

diberikan ektrak dengan dosis 300 mg/kgBB.


17

3.4 Variabel Penelitian

1. Variabel Bebas : Ekstrak buah pare (Momordica charantia)


2. Variabel Terikat : Lebar kalus pada proses penyembuhan fraktur tulang
tibia tikus putih (Rattus norvegicus)

3.5 Definisi Operasional

1. Ekstrak Buah Pare


Ekstrak buah pare adalah buah pare yang sudah dilakukan maserasi sebanyak
3x24 jam dengan menggunakan larutan Etanol 70% sehingga didapatkan dalam
bentuk dosis 100 mg/kgBB, 200 mg/kgBB, dan 300 mg/kgBB yang diukur
dengan menggunakan timbangan obat. Dan skala ukur yang digunakan adalah
nominal.
2. Lebar Kalus Tikus
Lebar kalus tulang adalah penebalan pada tulang pada fase remodelling atau
peneymbuhan patah tulang menggunakan jangka sorong. Hasil ukur yang dinilai
dalam milimeter (mm) dengan skala ukur rasio.

3.8 Prosedur Keterampilan

3.8.1 Pembuatan Ekstrak Buah Pare


Buah pare diperoleh dari Desa Teladan, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh
Besar, sebanyak 5 kg dengan berat rata-rata 200-300 gram yang diambil untuk
pembuatan ekstrak yaitu buah pare yang masih masih utuh (belum hancur) dan tidak
busuk. Kemudian diambil batang dan daun pohon pare untuk dilakukan pemeriksaan
herbarium agar buah pare sesuai dengan sampel yang diinginkan. Ekstrak buah pare
dibuat dengan cara dicuci hingga bersih kemudian dikeringkan, dibelah menjadi 2
bagian dan bagian biji dibuang. Buah pare yang sudah terpisah dengan bijinya, diiris
tipis lalu dikeringkan dengan cara diletakkan di tempat terbuka dengan sirkulasi udara
yang baik dan tidak terkena sinar matahari langsung selama 5 hari. Buah pare yang
sudah kering kemudian dihaluskan menjadi serbuk untuk kemudian diekstraksi dengan
metode maserasi.
Bubuk buah pare dimaserasi dengan menggunakan pelarut etanol 70% selama
3x24 jam dan kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat diuapkan dengan
18

vaccum rotary evaporator untuk menghilangkan pelarut etanol dengan suhu 40°C
sampai didapatkan ekstrak kental.

3.8.2 Penentuan Dosis Ekstrak Buah Pare (Momordica charantia)


Dosis ektrak buah pare yang diberikan pada hewan uji dengan dosis rendah,
sedang dan tinggi. Dimana ektrak akan dicairkan menggunakan Larutan CMC 1%
(Carboxymethyl Cellulose) dan diberikan melalui mulut menggunakan sonde lambung.
Cara penentuan dosis ektrak buah pare dilakukan dengan cara mengklasifikasikan dosis
berdasarkan klasifikasi rendah, sedang dan tinggi, menurut penelitian Yuka dkk. dan
Cevik et al. dosis pada manusia yaitu:
Dosis rendah = 100 mg/kgBB(35)
Dosis sedang = 200 mg/kgBB(14)
Dosis tinggi = 300 mg/kgBB
Dosis Hewan uji = Dosis absolut x Konversi
Konversi = 0,018(39)

Maka, dosis ini dijadikan acuan bagi peneliti untuk melakukan penelitian dangan
kalkulasi sebagai berikut:
Dosis I = 100 mg x 0,018 = 1,8 mg/200gBB
Dosis II = 200 mg x 0,018 = 3,6 mg/200gBB
Dosis III = 300 mg x 0,018 = 5,4 mg/200gBB

3.8.3 Pemeliharaan Hewan Uji


Hewan uji ditempatkan pada kandang yang diberikan alas sekam padi. Makanan
berupa pelet serta minum. Kandang dibersihkan dan alas sekam padi diganti sedikitnya
3 hari sekali. Hewan uji diadaptasi selama 7 hari sebelumperlakuan dengan tujuan untuk
membiasakan hewan uji pada kondisi percobaan dan mengontrol kesehatannya. Hewan
uji diberikan pakan pelet sebanyak 10g/200g BB sebanyak 2 kali yaitu 11:00 WIB dan
16:00 WIB.
Selama proses adaptasi, berat badan dan aktivitas hewan uji terus diperhatikan.
Hewan uji bergerak aktif dan berat badannya tidak ada yang kurang dari 150 gram
selama dan setelah proses adaptasi sehingga tidak ada sampel yang dikeluarkan.
19

Tabel 3.2 Komposisi Ransum T79 – 4


No Nutrisi Jumlah
1 Kadar Air (g) 12%
2 Kadar Abu (g) 12%
3 Lemak (g) 6%
4 Protein (g) 16%
5 Serat Kasar (g) 8%
6 Karbohidrat (g) 46%
*ditentukan dari ransum yang digunakan

3.8.4 Perlakuan Hewan Uji


Dua puluh empat ekor hewan uji sudah dibagi menjadi 4 kelompok dan setiap
kelompok terdiri dari 6 hewan uji. Hewan uji dilakukan tindakan fraktur pada tulang
tibia dangan cara osteotomy. Dimulai dari pemberian anastesi secara injeksi
intramuscular menggunakan ketamin (80mg/kgBB) lalu dilakukan disinfeksi pada area
tindakan, kemudian insisi secara memanjang pada fasia lata tikus. Lalu mempersiapkan
tulang tibia kanan (diseksi tumpul) secara melingkar disepanjang garis tengah diafisis.
Osteotomy dilakukan dengan menggunakan gergaji.(11) setelah dilakukan osteotomy
kemudian dilakukan penjahitan pada luka dan diberikan antibiotik topikal. Tindakan
diakhiri dengan pemasangan bidai menggunakan stik kayu dan perban. Masing-masing
kelompok mendapatkan perlakuan sebagai berikut:
K1 (Kontrol) : Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia
tanpa diberi ekstrak.
P1 (Perlakuan 1) : Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia
dan diberikan ekstrak dengan dosis = 1,8 mg/200gBB
P2 (Perlakuan 2) : Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia
dan diberikan ekstrak dengan dosis = 3,6 mg/200gBB
P3 (Perlakuan 3) : Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis tulang tibia
dan diberikan ekstrak dengan dosis = 5,4 mg/200gBB
Ekstrak etanol buah pare diberikan 2 kali dalam sehari dengan cara dicekok
secara oral menggunakan sonde lambung untuk masing-masing kelompok pada pukul
11.00 WIB dan 18.00 WIB selama 14 hari yang dimulai pada hari pertama setelah
dilakukan tindakan fraktur pada penelitian.

3.8.5 Teknik Pengambilan organ tulang


20

Setelah mendapat perlakuan selama 14 hari, masing-masing hewan uji akan


dikorbankan pada hari ke 15 dengan cara menggunakan anastesi inhalasi menggunakan
eter dan metode terminasi menggunakan fraktur cervikal. Kemudian setelah hewan coba
tampak sudah tidak bergerak dilakukan pembedahan atau insisi pada bagian fasia lata
hewan uji. Kemudian mengambil organ tulang yang akan diteliti dan dilakukan
pengukuran dari kalus tulang.

3.8.6 Teknik pengukuran kalus pada tulang


Tulang yang sudah diambil dari tubuh hewan uji yang sudah dikorbankan, akan
dilakukan pengukuran pada kalus yang terbentuk dengan menggunakan jangka sorong
dengan satuan milimeter (mm). Pengukuran pada kalus yang terbentuk pada saat
penyembuhan tulang diukur diameternya dan dibandingkan dengan kelompok-
kelompok perlakuan hewan uji yang lain sehingga didapatkan hasil berupa data
nominal.

3.9 Etika Pengambilan

Etika penelitian didasarkan atas etika medik dalam memberikan perlakuan


terhadap hewan coba dan nilai-nilai yang harus dipatuhi di laboratorium. Penutupan
luka pada bekas pemberian tindakan fraktur yang dilakukan pada kaki tempat tulang
tibia berada dengan teknik penjahitan, pemberian antibiotik dan betadine agar luka
mengering, serta pemasangan bidai agar posisi kaki tidak dapat bergerak bebas.
Sebelum pengambilan organ tulang hewan dimatikan dengan metode terminasi frektur
cervical.

3.10 Analisa Data

Data yang diperoleh berupa data kuantitatif, kemudian dilakukan uji normalitas
(Shapiro-Wilk) dan uji homogenitasnya (Levene). Bila kedua uji ini terpenuhi maka
selanjutnya dilakukan uji ANOVA untuk melihat ada atau tidaknya perbedaan bermakna
antar perlakuan. Apabila uji normalitas dan homogenitas data tidak terpenuhi maka
dapat dilakukan tranformasi data untuk memperbaiki. Apabila data tetap tidak
berdistribusi normal dan tidak homogen maka digunakan uji Kruskal-Wallis. Bila telah
uji ANOVA terdapat perbedaan bermakna, maka untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dilanjutkan uji Beda Nyata Terkecil (BNT).
3.11 Alur Penelitian

24 ekor tikus wistar

Adaptasi selama 7 hari

Randomisasi

K (6 ekor) P1 (6 ekor) P2 (6 ekor) P3 (6 ekor)

K P1 P2 P3

Tikus dikorbankan dengan cara inhalasi menggunakan eter

Pengambilan organ tulang

Pengukuran lebar kalus tulang

Pengolahan data
Gambar 3.2 Alur Penelitian

Keterangan :

Kelompok kontrol (K) : Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia tanpa diberi ekstrak
Kelompok Perlakuan 1 (P1): Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia dan diberikan ekstrak dengan dosis 1,8
mg/200gBB
Kelompok Perlakuan 2 (P2): Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia dan diberikan ekstrak dengan dosis 3,6
mg/200gBB
Kelompok Perlakuan 2 (P2): Hewan uji yang diberi tindakan fraktur pada diafisis
tulang tibia dan diberikan ekstrak dengan dosis 5,4
mg/200gBBa

Daftar Pustaka
1. Snell R. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC; 2011. 281-284 p.
2. Eroschenko V. Atlas Histologi diFiore: dengan korelasi fungsional. 11th ed.
Jakarta: EGC; 2010. 83-103 p.
3. Fadlani YW, Harahap IA. Terapi Perilaku Kognitif Distraksi Terhadap Intensitas
Nyeri Pasien Dengan Fraktur Femur Yang Terpasang Traksi. Fak Keperawatan
USU. 2009;1–7.
4. Mahartha GRA, Maliawan S, Kawiyana KS. Manajemen Fraktur Pada Trauma
Muskuloskeletal. 2012;1–13.
5. Ropyanto CB. 1. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Status
Fungsional Pasien Paska Open Reduction Internal Fixation (Orif) Fraktur
Ekstremitas Bawah Di Rs. Ortopedi Prof. Soeharso Surakarta. Univ Indones.
2011;1–148.
6. Parahita, Sukma P, Kurniyanta P, Sakit R, Pusat U, Denpasar S. Management of
Extrimity Fracture in Emergency. 2010;1–18.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) 2013. Lap Nas 2013. 2013;135–45.
8. Kimberly R G, Ian S, Simon D, Jonathan J R, Miranda M, Ian H, et al. Bone
morphogenetic protein ( BMP ) for fracture healing in adults ( Review ).
Cochrane Collab. 2010;(6).
9. Nugraha MP, Magetsari R. No TitlePengaruh Pemberian Insulin Secara Lokal
Pada Daerah Fraktur Terhadap Penyembuhan Fraktur Pada Tikus Putih (Rattus
Novergicus). Universitas Gajah Mada; 2013.
10. Solomon L, Warwick DJ, Nayagam S. Apley’s System of Orthopaedics and
Fractures, Ninth Edition. Vol. 4. 2010. 992 p.
11. Kasman D. Analisa Histomorfometri Menggunakan Image J Pada Penyembuhan
Fraktur Yang Mengalami Perlakuan Mekanik Tulang Saja Dan Tulang Dan
Periosteum Pada Tikus Sprague- Dawley. 2013;(September).
12. Basyar E. Pengaruh Stimulus Elektrik Kontinyu Dan Untermiten Pada
Penyembuhan Fraktur. Semarang: Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro; 2004. p. 1–32.
13. Beil FT, Barvencik F, Gebauer M, Seitz S, Rueger JM, Ignatius A, et al. Effects
of estrogen on fracture healing in mice. J Trauma. 2010;69(5):1259–65.
14. Cevik O, Akpinar H, Oba R, Cilingir OT, Ozdemir ZN, Cetinel S, et al. The
effect of Momordica charantia intake on the estrogen receptors ESRα/ESRβ gene
levels and apoptosis on uterine tissue in ovariectomy rats. Mol Biol Rep.
2015;42(1):167–77.
15. Kawiyana IKS. Osteoporosis Patogenesis Diagnosis dan Penanganan Terkini. J
Intern Med. 2009;157–70.
16. Riyadi NH. Mengangkat potensi pare (Momordica charantia) menjadi produk
pangan olahan sebagai upaya diversifikasi. 2015;1:1167–72.
17. Murakami Toshiyuki, Emoto A, Matsuda H, Yoshikaw M. Medicinal Foodstuffs.
XXI.1) Structures of New Cucurbitane-Type Triterpene Glycosides,
Goyaglycosides-a, -b, -c, -d, -e, -f, -g, and -h, and New Oleanane-Type Triterpene
Saponins, Goyasaponins I, II, and III, from the Fresh Fruit of Japanese
Momordica cha. Chem Pharm Bull. 2001;49(1):54–63.
18. Hsu C, Hsieh CL, Kuo YH, Huang CJ. Isolation and identification of
cucurbitane-type triterpenoids with partial agonist/antagonist potential for
estrogen receptors from Momordica charantia. J Agric Food Chem.
2011;59(9):4553–61.
19. Derrickson, B. Tortora G. Principles of Anatomy and Physiology 13th ed. Willey
2012. 2012. 1-5 p.
20. Saratun H, Manurung S RE. Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal: Seri
Asuhan Keperawatan. Penerbit E. Jakarta; 2008.
21. Grace PA, Safitri A, Bornley NR. At a glance: Ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta:
Erlangga; 2007.
22. Buckley R. General Principles of Fracture Care [Internet]. Medscape. 2014.
Available from: tersedia:http://emedicine.medscape.com/article/1270717-
overview#showall
23. Price S, Lorraine M. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC; 2005. 1357-1373 p.
24. Adams JC, Hamblen DL, Simpson AHRW. Adams’s outline of fractures:
including joint injuries. 12th ed. Philadelphia: Elsavier Publisher; 2007.
25. Davies K. Buku Pintar Nyeri Tulang dan Otot. Penerbit E. Jakarta; 2007.
26. Sjamsuhidayat de J. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3rd ed. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran; 2011. 959-1083 p.
27. Salter R. Textbook Disorders and Injuries of The Musculoskeletal System. 3rd
ed. USA: Lippincott Williams and Wilkins; 1999. 417-498 p.
28. Situmorang E, Tarigan R. Kecukupan Asupan Nutrisi Untuk Penyembuhan
Tulang Pada Pasien Fraktur Di Rsup H. Adam Malik Medan. J Keperawatan
Klin. 2012;3:1–5.
29. Rukmana R. Budidaya Pare. Yogyakarta: Kanisius; 1997. 13-15, 23 p.
30. Wisam A. Manfaat dan Budi Daya Pare. Jakarta: Sinar Cemerlang Abadi; 2007.
18-22 p.
31. Sharma S, Tandon S, Semwal B, Singh K. Momordica charantia Linn.: A
Comprehensive Review on Bitter Remedy. J Pharm Res Opin. 2014;1(2):42–7.
32. Okabe H, Miyahara Y, Tatsuo Y. Studies on Constituents of Momordica charantia
L. IV. Characterization of the new Cucurbitacin Glycosides, Momordicosides K
and L. Chem Pharm Bull. 1996;58(5):481–4.
33. Suherman SK. Estrogen dan Progestin, Agonis dan Antagonisnya. Farmakologi
dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Gaya Baru; 2012. 455-462 p.
34. Raisz LG. Physiology and pathophysiology of bone remodeling. Clin Chem.
1999;45:1353–8.
35. Yuda IKA, Anthara MS, Dharmayudha AAGO. Identifikasi golongan senyawa
kimia estrak etanol buah pare (Momordica charantia) dan pengaruhnya terhadap
penurunan kadar glukosa darah tikus putih jantan (Rattus novergicus) yang
diinduksi aloksan. Bul Vet Udayana. 2013;5:87–95.

You might also like