Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 36

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kesehatan Lingkungan
Kesehatan lingkungan pada hakikatnya adalah suatu kondisi atau keadaan
lingkungan yang optimal sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya
status kesehatan yang optimal. Ruang lingkup kesehatan lingkungan tersebut
antara lain mencakup: perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja),
penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah),
rumah hewan ternak (kandang), dan sebagainya.11
Usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk memperbaiki atau
mengoptimalkan lingkungan hidup manusia agar terwujudnya kesehatan yang
optimal bagi manusia yang hidup di dalamnya integrasi upaya kesehatan
lingkungan dan upaya pemberantasan penyakit berbasis lingkungan semakin
relevan dengan diterapkannya Paradigma Sehat. Dengan paradigma ini, maka
pembangunan kesehatan lebih ditekankan pada upaya promotif-preventif,
dibanding upaya kuratif-rehabilitatif. Melalui Klinik Sanitasi ke tiga unsur
pelayanan kesehatan yaitu promotif, preventif, dan kuratif dilaksanakan secara
integratif melalui pelayanan kesehatan program pemberantasan penyakit berbasis
lingkungan di luar maupun di dalam gedung.11

B. Sanitarian
Sanitarian atau ahli lingkungan adalah tenaga professional yang telah lulus
pendidikan di bidang kesehatan lingkungan, sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan memberikan perhatian terhadap aspek ksehatan lingkungan
air, udara, tanah, makanan dan vektor penyakit pada kawasan perumahan, tempat-
tempat umum, tempat kerja, industri, transportasi dan matra.12,13

1. Standar Kompetensi Sanitarian


a. Peran Sebagai Pelaksana Kegiatan Kesehatan Lingkungan
1) Menentukan komponen lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
manusia

5
2) Melaksanakan pemeriksaan dan pengukuran komponen lingkungan
secara tepat berdasarkan prosedur yang telah ditetapkan
3) Menginformasikan hasil pemeriksaan atau pengukuran
4) Menetapkan penyimpangan hasil pemeriksaan terhadap standar baku
mutu sanitasi bersih13
b. Peran Sebagai Pengelola Kesehatan Lingkungan
1) Menganalisis hasil pengukuran komponen lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan lingkungan
2) Menginterpretasikan hasil pengukuran komponen lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan manusia
3) Merancang dan merekayasa penanggulangan masalah lingkungan
yang mempengaruhi kesehatan manusia
4) Mengorganisir penanggulangan masalah kesehatan lingkungan
5) Mengevaluasi hasil penanggulangan13
c. Peran Sebagai Pengajar, Pelatih dan Pemberdayaan Masyarakat
1) Menginventarisasi pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
tentang kesehatan lingkungan
2) Menentukan pengetahuan, sikap dan perilaku tentang kesehatan
lingkungan yang perlu diintervensi
3) Merencanakan bentuk intervensi perubahan pengetahuan, sikap dan
perilaku tentang kesehatan lingkungan
4) Melaksanakan intervensi terhadap pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat yang tidak sesuai dengan kaidah kesehatan
5) Mengevaluasi hasil intervensi.13
d. Peran Sebagai Peneliti Kesehatan Lingkungan
1) Menentukan masalah lingkungan
2) Melaksanakan kegiatan penelitian teknologi tepat.13

2. Standar Prosedur Operasional Klinik Sanitasi


Standar prosedur operasional (Standard Operational Procedur (SOP)) klinik
sanitasi secara umum meliputi SOP di dalam gedung (puskesmas) dan di luar
gedung (lapangan).14

6
a. Dalam gedung
Di dalam gedung puskesmas, petugas klinik sanitasi melakukan langkah-langkah
kegiatan terhadap pasien.
1) Menerima kartu rujukan status dari petugas poliklinik.
2) Mempelajari kartu status/rujukan tentang diagnosis oleh petugas
poliklinik.
3) Menyalin dan mencatat nama penderita atau keluarganya, karakteristik
penderita yang meliputi umur, jenis kelamin, pekerjaan dan alamat, serta
diagnosis penyakitnya ke dalam buku register.
4) Melakukan wawancara atau konseling dengan penderita/keluarga,
penderita tentang kejadian penyakit, keadaan lingkungan, dan perilaku
yang diduga berkaitan dengan kejadian penyakit dengan mengacu pada
buku Pedoman Teknis Klinik Sanitasi untuk Puskesmas dan Panduan
Konseling Bagi Petugas Klinik Sanitasi di Puskesmas.
5) Membantu menyimpulkan permasalahan lingkungan atau perilaku yang
berkaitan dengan kejadian penyakit yang diderita.
6) Memberikan saran tindak lanjut sesuai permasalahan.
7) Bila diperlukan, membuat kesepakatan dengan pasien atau keluarganya
tentang jadwal kunjungan lapangan.14

b. Luar gedung
Sesuai dengan jadwal yang telah disepakati antara pasien atau keluarganya dengan
petugas, petugas klinik sanitasi melakukan kunjungan lapangan dan diharuskan
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1) Mempelajari hasil wawancara atau konseling di dalam gedung
(Puskesmas).
2) Menyiapkan dan membawa berbagai peralatan dan kelengkapan lapangan
yang diperlukan seperti formulir kunjungan lapangan, media penyuluhan,
dan alat sesuai dengan jenis penyakitnya.
3) Memberitahu atau menginformasikan kedatangan kepada perangkat
desa/kelurahan (kepala desa/lurah, sekretaris, kepala dusun, atau ketua
RW/RT) dan petugas kesehatan / bidan di desa.

7
4) Melakukan pemeriksaan dan pengamatan lingkungan dan perilaku
dengan mengacu pada Buku Pedoman Teknis Klinik Sanitasi untuk
Puskesmas, sesuai dengan penyakit/masalah yang ada.
5) Membantu menyimpulkan hasil kunjungan lapangan.
6) Memberikan saran tindak lanjut kepada sasaran (keluarga penderita dan
keluarga sekitar).
7) Apabila permasalahan yang ditemukan menyangkut sekelompok
keluarga atau kampung, informasikan hasilnya kepada petugas kesehatan
di desa / kelurahan, perangkat desa / kelurahan (kepala desa / lurah,
sekretaris, kepala dusun atau ketua RW/RT), kader kesehatan lingkungan
serta lintas sektor terkait di tingkat kecamatan untuk dapat di tindak
lanjut secara bersama.14

3. Tindak Lanjut dan Penyelesaian Masalah


a. Tindak lanjut
Tujuan tindak lanjut adalah untuk mengetahui perkembangan penyelesaian
permasalahan kesehatan lingkungan sesuai dengan rencana dan saran. Kegiatan
tindak lanjut ini dapat dilakukan secara insidentil dan berkala. Kegiatan tindak
lanjut diarahkan untuk:
1) Mengetahui realisasi atau kesesuaian antara rencana tindak lanjut
penyelesaian masalah kesehatan lingkungan dengan kenyataan
2) Keterlibatan masyarakat, lintas program dan lintas sektor dalam
perbaikan / penyelesaian masalah kesehatan lingkungan
3) Perkembangan kejadian penyakit dan permasalahan kesehatan
14
lingkungan.

b. Pencatatan dan pelaporan


Data kegiatan klinik sanitasi dicatat ke dalam buku register untuk kemudian
diolah dan dianalisis. Selain berguna untuk bahan tindak lanjut kunjungan
lapangan serta keperluan monitoring dan evaluasi, data yang ada dapat dibuat
bahan perencanaan kegiatan selanjutnya. Seluruh kegiatan klinik sanitasi dan

8
hasilnya dilaporkan secara berkala kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten /
Kota sesuai dengan format laporan yang ada.14

c. Penyelesaian masalah
Penyelesaian masalah kesehatan lingkungan, terutama masalah yang menimpa
sekelompok keluarga atau masyarakat dapat dilaksanakan secara musyawarah dan
gotong royong oleh masyarakat dengan bimbingan teknis dari petugas sanitasi dan
lintas sektor terkait.14
Apabila dengan cara demikian tidak tuntas dan atau untuk perbaikannya
memerlukan pembiayaan yang cukup besar, maka penyelesaian dianjurkan untuk
mengikuti mekanisme perencanaan yang ada, mulai perencanaan di tingkat desa,
perencanaan tingkat kecamatan dan perencanaan tingkat kabupaten / kota. Petugas
sanitasi juga dapat membantu mengusulkan kegiatan perbaikan kesehatan
lingkungan tersebut kepada sektor terkait.14

C. Jamban Sehat
1. Definisi Jamban
Kotoran manusia atau tinja adalah seluruh zat yang tidak dipakai lagi oleh tubuh
manusia dan harus dikeluarkan dari dalam tubuh.15 Pembuangan kotoran yang
baik adalah harus dibuang ke dalam tempat penampungan kotoran yang disebut
jamban. Sedangkan, jamban adalah suatu ruangan yang memiliki fasilitas
pembuangan kotoran manusia, terdiri dari tempat jongkok atau tempat duduk
dengan atau tanpa leher angsa, dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan
air untuk membersihkannya.15 Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 3/2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan
bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif untuk
memutuskan mata rantai penularan penyakit dan keracunan.14
Dengan bertambahnya penduduk yang tidak sebanding dengan area pemukiman,
masalah pembuangan kotoran manusia meningkat. Dilihat dari segi kesehatan
masyarakat, masalah pembuangan kotoran manusia merupakan masalah pokok
untuk sedini mungkin diatasi, karena kotoran manusia (faeces) adalah sumber
penyebaran penyakit yang multikompleks. Penyebaran penyakit yang bersumber

9
pada tinja dapat melalui berbagai macam jalan atau cara, antara lain lewat air,
tangan, lalat, dan tanah. Beberapa penyakit yang dapat disebabkan oleh tinja
antara lain demam typhoid, disentri, kolera, ascariasis, serta schistosomiasis.16

2. Syarat Jamban Sehat


Untuk mengurangi kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik, yaitu harus di jamban yang sehat.
Syarat jamban yang sehat sesuai dengan kaidah-kaidah kesehatan, apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut 15,16,17 :
a. Tidak mengkontaminasi sumber air
1) Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar
lubang kotoran tidak mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika
keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran harus dipadatkan
dengan tanah liat atau diplester
2) Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter
3) Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor
dari lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur
4) Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan,
empang, danau, sungai, dan laut
b. Tidak mencemari tanah permukaan
1) Lantai sedikitnya berukuran 1 x 1 meter dan dibuat cukup landai,
miring kearah lobang jongkok
2) Tidak buang air besar di sembarang tempat, seperti kebun,
pekarangan, dekat sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan
3) Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras
kotorannya, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian
c. Bebas dari hewan pengerat maupun serangga
1) Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras
setiap minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk
2) Ruangan di dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat
menjadi sarang nyamuk

10
3) Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang
dapat menjadi sarang tikus, kecoa atau serangga lainnya
4) Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
5) Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
d. Tidak menimbulkan bau
1) Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup
setiap selesai digunakan
2) Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus
tertutup rapat oleh air
3) Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi
untuk membuang bau dari dalam lubang kotoran
4) Lantai jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin.
Pembersihan harus dilakukan secara teratur
e. Mudah dibersihkan
1) Lantai jamban rata dan miring dari saluran lubang kotoran
2) Jangan membuang sampah, rokok, atau benda lain ke saluran kotoran
karena dapat menyumbat saluran
3) Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena
jamban akan cepat penuh
4) Hindari cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa
berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan
minimal 2:100
f. Aman digunakan oleh pemakainya
Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran
dengan pasangan bata, selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lainnya
yang terdapat di daerah setempat
g. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan
1) Jamban harus memiliki dinding dan pintu
2) Dianjurkan agar bangunan jamban beratap, sehingga pemakainya
terhindar dari panas dan hujan

Tabel 1. Kuesioner Jamban Sehat

11
No. Kriteria
1 Apakah penampungan akhir kotoran/jamban berjarak kurang dari 10
meter dengan sumber air?
Nilai Ya = 3, Tidak = 0
2 Apakah penutup sumur resapan jamban (penampungan akhir kotoran)
tidak kedap air?
Nilai Ya = 3, Tidak = 0
3 Apakah konstruksi jamban memungkinkan binatang penyebar penyakit,
menjamah kotoran dalam jamban?
Nilai Ya = 3, Tidak = 0
4 Apakah jamban menimbulkan bau?
Nilai Ya = 1, Tidak = 0
5 Apakah jamban tidak selalu terjaga kebersihannya?
Nilai Ya = 2, Tidak = 0
Tingkat resiko untuk mencemari lingungan:
Nilai Ya = 0 – 2  Ringan (R), Jamban sehat
Nilai Ya = 3 – 4  Sedang (S), Jamban sehat
Nilai Ya = 5 – 8  Tinggi (T), Jamban tidak sehat
Nilai Ya = 9 – 12  Amat Tinggi (AT), Jamban tidak sehat

3. Bangunan Jamban
Bangunan jamban dapat dibagi menjadi 3 bagian utama, setiap bagian diuraikan
dengan lebih terperinci di bawah ini 16 :
a. Bangunan bagian atas atau Rumah jamban
Syarat rumah jamban antara lain adanya sirkulasi udara yang cukup,
bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar, bangunan dapat
meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan),
kemudahan akses di malam hari, ketersediaan fasilitas penampungan air dan
tempat sabun untuk cuci tangan. Bagian ini secara utuh terdiri dari bagian atap,
rangka, dan dinding. Namun dalam prakteknya, kelengkapan bangunan ini
disesuaikan dengan kemampuan dari masyarakat di daerah tersebut.16
1) Atap

12
Atap akan memberikan perlindungan kepada penggunanya dari sinar matahari,
angin dan hujan. Dapat dibuat dari daun, genting, seng, dan lain-lain sesuai
adanya bahan di daerah setempat
2) Rangka
Rangka digunakan untuk menopang atap dan dinding. Dibuat dari bambu, kayu,
dan lain-lain sesuai adanya bahan di daerah setempat
3) Dinding
Dinding memberikan privasi dan perlindungan kepada penggunanya. Dapat dibuat
dari daun, anyaman bambu, batu bata, seng, kayu, dan lain-lain sesuai adanya
bahan di daerah setempat
b. Bangunan bagian tengah atau Dudukan jamban
Syarat dudukan jamban yang baik adalah terdapat penutup pada lubang sebagai
pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain, dibuat dengan
memperhatikan keamanan pengguna (tidak licin, runtuh dan terperosok ke dalam
lubang penampungan tinja), bangunan melindungi dari kemungkinan terciumnya
bau yang tidak sedap, yang berasal dari tinja dalam lubang penampungan, mudah
dibersihkan dan dipelihara. Bagian ini secara utuh terdiri dari slab dan tempat
air.16
1) Slab
Slab berfungsi untuk menutupi sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat
berpijak. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya.
Pada jamban cemplung, slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi
jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh
keberadaan air yang secara otomatis tertinggal di didalamnya. Bahan-bahan yang
digunakan untuk membuat slab harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti
kayu, beton, bambu dengan tanah liat, pasangan bata dan lainnya.16
2) Tempat abu atau air
Tempat yang dimaksud adalah wadah untuk menyimpan abu pembersih atau air.
Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan
mengurangi bau, mengurangi kadar kelembaban dan membuatnya tidak menarik
bagi lalat untuk berkembang biak. Air dan sabun dapat digunakan untuk mencuci
tangan dan membersihkan bagian yang lain.16

13
c. Bangunan bagian bawah atau Penampung tinja
1) Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk
persegi, persegi panjang atau lingkaran, disesuaikan dengan kondisi
tanah.
2) Kedalaman bergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di
musim hujan.
3) Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi
seluruhnya atau sebagian dengan bahan penguat seperti anyaman
bambu, batu bata, ring beton, dan lain-lain.
4) Syarat penampung tinja yang benar adalah mempertimbangkan
beberapa hal dibawah ini :
a) Ketinggian muka air tanah
b) Daya resap tanah (jenis tanah)
c) Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan
terhadap sumber air minum (lebih baik di atas 10 m)
d) Kepadatan penduduk (berhubungan dengan ketersediaan lahan)
e) Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang atau
kapasitas)
f) Diutamakan dapat menggunakan bahan lokal
g) Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole.16

Gambar 1. Bangunan Jamban


(Sumber: Sanitasi Total Berbasis Masyarakat, 2009)

14
4. Jenis-Jenis Jamban Keluarga
a. Jamban Cemplung (Pit latrine)
Pada jamban ini, kotoran langsung masuk ke jamban dan tidak boleh terlalu
dalam, sebab bila terlalu dalam akan mengotori air tanah dibawahnya. Dalamnya
pit latrine berkisar antara 1,5 – 3 meter saja. Jarak dari sumber air minum
sekurang-kurangnya 15 meter.16

Gambar 2. Jamban Cemplung


(Sumber : Oktama H, 2011)

Beberapa syarat pembuatan jamban cemplung adalah 17,18 :


1) Jauh dari tempat kediaman
2) Lubang digali sedalam 2-3 meter, dengan garis tengah 80 sentimeter
3) Dalamnya tergantung keadaan tanah, permukaan air tanah dan lama
penggunaan
4) Letaknya diusahakan pada tanah yang agak longgar tetapi kokoh, hingga
tidak memerlukan dinding penahan
5) Pada lubang bagian atas perlu diberi dinding dan pondasi penguat
6) Bila tanahnya terlalu longgar dan mudah runtuh, lubang bagian dalam perlu
diberi penahan atau penguat dari beton, batu-batu, kaleng atau drum,
anyaman bambu atau bahan lainnya
7) Pondasi disekitar atas lubang dibuat dari beton, batu bata bersemen, atau
balok kayu
8) Di sekitar lantai dan pondasi ditimbun tanah agar jamban tetap kering
9) Ditutup yang layak dan memenuhi syarat kesehatan

15
a. Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilation Improved Pit Latrine)
Jamban ini hampir sama dengan jamban cemplung, bedanya lebih lengkap, yakni
menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa ventilasi ini dapat
dibuat dengan bambu.18

Gambar 3. Jamban Cemplung Berventilasi (Ventilasi Improved Pit Latrine)


(Sumber : Oktama H, 2011)

b. Jamban Leher Angsa (Watersealed laterine)


Jamban tanki septik/leher angsa adalah jamban berbentuk leher angsa sehingga
akan selalu terisi air. Fungsi air ini sebagai sumbat bau busuk dari cubluk
sehingga tidak tercium di ruangan rumah kakus. Bila dipakai, faecesnya
tertampung sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke bagian yang menurun
untuk masuk ke tempat penampungannya (pit). Penampungannya berupa tangki
septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses penguraian/dekomposisi
kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya. Kakus ini yang terbaik dan
dianjurkan dalam kesehatan lingkungan.17,18

16
Gambar 4. Jamban Leher Angsa (Ventilasi Improved Pit Latrine)
(Sumber : Oktama H, 2011)

Latrin jenis septic tank ini merupakan cara yang paling memenuhi persyaratan,
oleh sebab itu, cara pembuangan tinja semacam ini dianjurkan. Septic tank terdiri
dari tangki sedimentasi yang kedap air dimana tinja dan air buangan masuk dan
mengalami dekomposisi.
Didalam tangki ini, tinja akan berada selama beberapa hari. Selama waktu tersebut
tinja akan mengalami 2 proses, yakni :
1) Proses kimiawi
Akibat penghancuran tinja akan direduksi dan sebagian besar (60-70 %) zat-zat
padat akan mengendap didalam tangki sebagai sludge. Zat-zat yang tidak dapat
hancur bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk
lapisan yang menutup permukaan air dalam tanki tersebut. Lapisan ini disebut
scum yang berfungsi mempertahankan suasana anaerob dari cairan dibawahnya,
yang memungkinkan bakteri-bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh
subur, yang akan berfungsi pada proses berikutnya.18

2) Proses biologis
Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam, sludge dan scum.
Hasilnya, selain terbentuk gas dan zat cair lainnya, adalah juga mengurangi
volume sludge sehingga memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian

17
cairan enfluent sudah tidak mengandung bagian-bagian tinja. Cairan enfluent ini
akhirnya dialirkan keluar melalui pipa dan masuk ke dalam tempat perembesan.18
Keuntungan dari jamban ini antara lain :
1) Menghindarkan atau mengurangi gangguan lalat atau serangga dan binatang
lain.
2) Mengurangi timbul dan tersebarnya bau
3) Dapat dipakai dengan aman oleh anak-anak
4) Kebersihan mudah dijaga
5) Dapat dipasang di luar maupun di dalam rumah
6) Mudah dibuat dan hemat.18
Kelemahan jamban leher angsa :
1) Memerlukan cara penggunaan dan pemeliharaan yg lebih baik,teliti dan
teratur
2) Leher angsa dapat rusak atau pecah, memerlukan perbaikan, perlu waktu,
biaya dan tenaga
3) Leher angsa dapat tersumbat
4) Kotoran tidak langsung jatuh ke dalam tempat pengumpul, tetapi harus
didorong dengan guyuran air tersendiri.18

5. Jamban Keluarga Di Pedesaan


Banyak macam jamban yang digunakan tetapi jamban pedesaan di Indonesia pada
dasarnya digolongkan menjadi 2 macam yaitu 19,20 :
a. Jamban tanpa leher angsa. Terdapat 2 jenis antara lain :
1) Jamban cemplung, bila kotoran dibuang ke tanah
2) Jamban empang, bila kotoran dialirkan ke empang atau kolam
b. Jamban dengan leher angsa. Jamban ini mempunyai 2 cara :
1) Tempat jongkok dan leher angsa atau pemasangan slab dan bowl
langsung diatas lubang galian penampungan kotoran
2) Tempat jongkok dan leher angsa tidak berada langsung diatas lubang
galian penampungan kotoran atau pemasangan slab dan bowl tapi
dibangun terpisah dan dihubungkan oleh satu saluran yang miring ke
dalam lubang galian penampungan kotoran

18
Pemilihan jenis jamban 20 :
1) Jamban cemplung digunakan untuk daerah yang sulit air
2) Jamban tangki septik/leher angsa digunakan untuk daerah yang cukup air
dan daerah padat penduduk, karena dapat menggunakan multiple latrine
yaitu satu lubang penampungan tinja/tangki septik digunakan oleh
beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5
jamban).
3) Daerah pasang surut, tempat penampungan kotoran/tinja hendaknya
ditinggikan kurang lebih 60 cm dari permukaan air pasang. Setiap
anggota rumah tangga harus menggunakan jamban untuk buang
airbesar/buang air kecil.
Dalam penentuan letak jamban ada tiga hal yang perlu diperhatikan :
1) Keadaan daerah datar atau lereng; Bila daerahnya berlereng, kakus atau
jamban harus dibuat di sebelah bawah dari letak sumber air. Andaikata
tidak mungkin dan terpaksa di atasnya, maka jarak tidak boleh kurang
dari 15 meter dan letak harus agak ke kanan atau kekiri dari letak sumur.
2) Bila daerahnya datar, kakus sedapat mungkin harus di luar lokasi yang
sering digenangi banjir. Andaikata tidak mungkin, maka hendaknya
lantai jamban (diatas lobang) dibuat lebih tinggidari permukaan air yang
tertinggi pada waktu banjir.
3) Mudah dan tidaknya memperoleh air.20

6. Manfaat Jamban Keluarga


Jamban berfungsi sebagai pengisolasi tinja dari lingkungan. Membangun dan
menggunakan jamban yang baik dapat memberikan manfaat berikut ini :
a. Peningkatan martabat dan hak pribadi
b. Lingkungan yang lebih bersih
c. Bau berkurang, sanitasi dan kesehatan meningkat
d. Keselamatan lebih baik (tidak perlu pergi ke ladang di malam hari)
e. Menghemat waktu dan uang
f. Memutus siklus penyebaran penyakit yang terkait dengan sanitasi

19
g. Melindungi pencemaran pada penyediaan air bersih dan lingkungan.16,20

7. Pemeliharaan Jamban
Jamban hendaknya dipelihara baik dengan cara :
a. Lantai jamban hendaknya selalu bersih dan kering. Minimal 1 kali seminggu
bersihkan lantai dan tempat jongkok dengan air dan sabun
b. Tidak ada sampah berserakan dan tersedia alat pembersih
c. Tidak ada genangan air di sekitar jamban
d. Rumah jamban dalam keadaan baik dan tidak ada lalat dan kecoa
e. Tempat duduk selalu bersih dan tidak ada kotoran yang terlihat
f. Tersedia air bersih dan alat pembersih di dekat jamban
g. Bila ada bagian yang rusak harus segera diperbaiki.16,20

D. Pengetahuan dan Perilaku


1. Pengetahuan
a. Definisi Pengetahuan
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan
seseorang. Pengetahuan diperlukan sebagai dukungan dalam menumbuhkan rasa
percaya diri maupun sikap dan perilaku setiap hari, sehingga dapat dikatakan
bahwa pengetahuan merupakan fakta yang mendukung tindakan seseorang.21
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah
kepercayaan yang benar (knowledgement is justified true beliefed). Pengetahuan
itu adalah semua milik atau isi pikiran. Dengan demikian, pengetahuan
merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.21
Dalam kamus filsafat, dijelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses
kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri.
Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di
dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun
yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.21
Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru
dalam diri orang tersebut menjadi proses berurutan :

20
1) Awareness, dimana orang tersebut menyadari pengetahuan terlebih
dahulu terhadap stimulus (objek)
2) Interest, dimana orang mulai tertarik pada stimulus
3) Evaluation, merupakan suatu keadaan mempertimbangkan terhadap baik
buruknya stimulus tersebut bagi dirinya
4) Trial, dimana orang telah mulai mecoba perilaku baru
5) Adaptation, dimana orang telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan kesadaran dan sikap
b. Tingkat pengetahuan
Notoatmodjo mengemukakan yang dicakup dalam domain kognitif yang
mempunyai enam tingkatan, pengetahuan mempunyai tingkatan sebagai berikut 21
:

1) Tahu (Know)
Kemampuan untuk mengingat suatu materi yang telah dipelajari, dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima. Cara kerja untuk mengukur
bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat menyebutkan,
menguraikan, mengidentifikasikan dan mengatakan.
2) Memahami (Comprehension)
Kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan
dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
3) Aplikasi (Application)
Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi yang sebenarnya. Aplikasi disini dapat diartikan sebagai pengguna
hukum-hukum, rumus, metode, prinsip-prinsip dan sebagainya.
4) Analisis (Analysis)
Kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek dalam suatu
komponenkomponen, tetapi masih dalam struktur organisasi dan masih ada
kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis dapat dilihat dari penggunaan kata
kerja seperti kata kerja mengelompokkan, menggambarkan, memisahkan.
5) Sintesis (Synthesis)

21
Kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian dalam bentuk keseluruhan
yang baru, dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi yang ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Kemampuan untuk melakukan penelitian terhadap suatu materi atau objek
tersebut berdasarkan suatu cerita yang sudah ditentukan sendiri atau
menggunakan kriteria yang sudah ada
c. Pengukuran Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket
yangberisi tentang materi yang akan diukur dari subjek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat kita
sesuaikan dengan tingkatan-tingkatan dibawah ini 21 :
1) Tingkat pengetahuan baik bila skor > 75%-100%
2) Tingkat pengetahuan cukup bila skor 61%-75%
3) Tingkat pengetahuan kurang bila skor < 60%

2. Perilaku
a. Definisi perilaku
Menurut Notoatmodjo, perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia,
baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak
luar.22 Menurut Robert kwick (1974) perilaku adalah tindakan atau perbuatan
suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Skiner (1938)
seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau
reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar).
Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau
faktor faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan
respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan
perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :
1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang
bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat
kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

22
2) Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan
fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor
lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku
seseorang.
Promosi kesehatan sebagai pendekatan terhadap faktor perilaku kesehatan, maka
keadaan ini tidak terlepas dari faktor-faktor yang menentukan perilaku tersebut.
Dengan kata lain, kegiatan promosi kesehatan harus sesuai dengan determinan
(faktor yang memperngaruhi perilaku itu sendiri). Menurut Lawree Green (1980),
perilaku ditentukan oleh 3 faktor utama yaitu :
1) Faktor predisposisi
2) Faktor pemungkin
3) Faktor penguat

Gambar 5. Hubungan Promosi Kesehatan dengan Determinan Perilaku.

E. Pemicuan Desa
Kegiatan pemicuan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) bertujuan untuk
mendorong masyarakat dan petugas kesehatan untuk melakukan upaya perbaikan
perilaku hidup bersih dan sehat terkait sanitasi melalui pendekatan STBM.
Program ini tidak memberikan bantuan dana untuk membangun sarana fisik,
tetapi berorientasi pada upaya untuk melakukan perubahan perilaku masyarakat.
Pembangunan sarana fisik harus dilakukan oleh masyarakat. Pembangunan fisik
dianggap sebagai salah satu indikator terjadinya perubahan perilaku masyarakat.
Kegiatan pemicuan STBM secara total akan dilaksanakan di 1.600 desa yang
berada di 704 puskesmas di 499 kecamatan pada 64 kabupaten di 11 provinsi. Di
Provinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah akan
dilakukan di 3 desa setiap puskesmas, sedangkan di sembilan provinsi lain akan

23
dilakukan di 2 desa per puskesmas. Dari 1.600 desa yang dipicu, ditargetkan
sebanyak 800 desa (50%) bisa SBS (Stop BAB Sembarangan) atau ODF (Open
Defecating Free).
Untuk mencapai target tersebut di atas salah satu kegiatan penting yang difasilitasi
melalui program adalah kegiatan pemicuan desa. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
Pemicuan Desa ini menjadi sangat penting dan strategis dalam upaya menjamin
kualitas pelaksanaan kegiatan sehingga menghasilkan output sesuai dengan yang
diharapkan.
Pemicuan adalah cara untuk mendorong perubahan perilaku higiene dan sanitasi
individu atau masyarakat atas kesadaraan sendiri dengan menyentuh perasaan,
pola pikir, perilaku, dan kebiasaan individu atau masyarakat, yang dilakukan
dengan melakukan pertemuan dengan masyarakat selama setengah hari dengan
difasilitasi oleh tim pemicu puskesmas dan desa yang terdiri lima (5) orang.
 Pelaku Pemicuan
Kader terlatih STBM dengan didukung oleh bidan desa, petugas / kader posyandu,
dan dipimpin oleh Tim Pemicu Puskesmas merupakan tim yang akan melakukan
pemicuan di masyarakat. Tim pemicu terdiri dari 5 orang. Kelima orang ini
masing-masing berperan sebagai (1) lead facilitator (ketua), (2) co-facilitator
(wakil), (3) content recorder (pencatat), (4) process facilitator (pengatur proses),
dan (5) environment setter (pengendali suasana). Untuk memperkuat hubungan
antara peningkatan kebutuhan sanitasi dan penyediaan jasa dan material sanitasi,
maka pengusaha sanitasi perlu mengikuti proses pemicuan.
Tim Pemicuan STBM Desa dibentuk di forum Rapat Kerja Teknis Perencanaan
Sanitasi Kecamatan sekaligus menetapkan nominasi desa yang akan dipicu. Tim
ini terdiri dari orang yang akan dilatih pemicuan yang terdiri dari 1 orang staf
pemerintah desa dan 2 orang kader desa atau salah satunya bidan desa. Setiap
puskesmas akan mengusulkan 4 – 6 desa. Desa-desa yang telah ditetapkan
menjadi wilayah pemicuan, berikut Tim Pemicuan STBM Desa, diajukan oleh
Kepala Puskesmas setempat untuk mendapatkan penetapan resmi dari Dinas
Kesehatan Kabupaten, untuk selanjutnya mengikuti kegiatan pelatihan Pemicuan
STBM.

24
Tim pemicu desa mengawali pemicuan di empat dusun terpilih kemudian
dilanjutkan ke semua dusun yang ada di desa untuk memastikan seluruh dusun
tertangani sehingga menjadi desa SBS. Pada saat pemicuan diharapkan muncul
orang-orang yang terpicu di mana mereka secara spontan menjadi sadar dan
bersedia untuk mengubah perilaku mereka. Keberhasilan proses pemicuan adalah
munculnya orang-orang yang menyatakan kesediaan untuk berubah dan tidak lagi
melakukan buang air besar sembarangan serta mereka berjanji akan membangun
jamban dalam jangka waktu tertentu, yang bisa dalam waktu hitungan hari,
minggu, atau maksimal 3 bulan. Biasanya orang-orang ini adalah pelopor, yang
disebut sebagai “champion”, dan orang-orang ini merupakan pemimpin natural
atau pemimpin informal.
 Kriteria Umum Penetapan Lokasi Desa Pemicuan
1) Belum menjadi desa SBS.
2) Tidak sedang menjadi lokasi proyek / program lain dengan pendekatan STBM.
3) Tidak sedang mengikuti kegiatan pemicuan dari proyek / program lainnya.
4) Memiliki 10 hingga 15 dusun
5) Kriteria lainnya sesuai kesepakatan dan kondisi lokal setempat
 Mekanisme Pemilihan Desa dan Dusun
1) Kantor kecamatan melakukan pertemuan dengan mengundang para wakil desa
nominasi bersangkutan untuk hadir di forum “Rapat Kerja Teknis Sanitasi tingkat
Kecamatan
2) Pada forum tersebut dilakukan sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran
tentang STBM.
3) Dari hasil sosialisasi ini kemudian dilihat desa mana yang wakilnya
mengungkapkan paling tertarik dan berkomitmen untuk menjadikan desa SBS
untuk dijadikan desa peserta.
4) Untuk mengkonfirmasi ketertarikan dan komitmen, surat kesediaan
berpartisipasi ditandatangani oleh kepala desa diserahkan ke Kepala Puskesmas.
5) Jika banyak desa yang menyatakan berminat untuk berpartisipasi dalam
program STBM melebihi target, dipilih desa terbaik, terletak dalam jangkauan
aksesibilitas dan faktor geografis, potensi menjadi desa SBS dalam waktu satu
tahun. Sukses dalam menjadi desa SBS, penting untuk memicu desa-desa terdekat

25
6) Empat dusun per desa selanjutnya dipilih untuk pelaksanaan pemicuan awal.
Dusun dipilih berdasarkan minat pemimpin dusun bersangkutan: 1) Bisa menjadi
percontohan keberhasilan bagi dusun atau kelompok masyarakat lain di desa
terpilih, 2) Diperkirakan mudah untuk meng SBS kan seluruh masyarakat di
dusun tersebut
7) Desa terpilih ditindaklanjuti dengan pembentukan Tim Pemicu Desa.
a. Kegiatan Pra Pemicuan
Sebelum melakukan pemicuan di masyarakat, hendaklah Tim pemicuan sudah
memiliki informasi dan data dasar terkait perilaku hidup bersih dan sehat di
masyarakat. Untuk itu sebaiknya sudah melakukan observasi (peninjauan)
maupun diskusi dengan masyarakat di lokasi pemicuan untuk mendapatkan
informasi tersebut. Persiapan ini dilakukan dengan melakukan kunjungan kepada
pemimpin setempat yang akan menjadi lokasi pemicuan dan menjelaskan secara
rinci kegiatan yang akan dilaksanakan selama proses pemicuan STBM termasuk
proses pemberdayaan masyarakat yang akan dilaksanakan di lapangan.
b. Langkah Pemicuan
Pemicuan awal dilakukan di 4 (empat) dusun terpilih oleh kader dan tim pemicu
desa yang dipimpin oleh tim pemicu puskesmas. Pada saat pemicuan,
mengundang kepala desa, pemimpin informal dan kepala dusun setempat.
Pelaksanaan pemicuan mengikuti langkah sebagai berikut:
(1) Perkenalan dan Penyampaian Tujuan,
(2) Bina Suasana,
(3) Kesepakatan Istilah Tinja, BAB dan Jamban,
(4) Pemetaan,
(5) Transek Walk,
(6) Simulasi Air Terkontaminasi,
(7) Memicu Perubahan,
(8) Kesepakatan Bersama,
(9) Rencana Tindak Lanjut.
Dalam melakukan pemicuan perubahan menggunakan (a) Elemen Malu, (b)
Eleman Harga Diri, (c) Elemen Jijik dan Takut Sakit, (d) Elemen yang Berkaitan
dengan Keagamaan, dan (e) Elemen yang Berkaitan dengan Kemiskinan.

26
1. Perkenalan dan Penyampaian Tujuan
Pada saat melakukan pemicuan di masyarakat, terlebih dahulu anggota tim
fasilitator memperkenalkan diri dan menyampaikan tujuannya. Tujuan tim ingin
“melihat” kondisi sanitasi dari kampung tersebut, jelaskan dari awal bahwa
kedatangan tim bukan untuk memberikan penyuluhan apalagi memberikan
bantuan. Tim hanya ingin melihat dan mempelajari bagaimana kehidupan
masyarakat, bagaimana masyarakat mendapat air bersih, bagaimana masyarakat
melakukan kebiasaan buang air besar, dan lain-lain. Tanyakan kepada masyarakat
apakah mereka mau menerima tim dengan maksud dan tujuan yang telah
disampaikan tadi.
Tujuan Kehadiran Tim adalah:
a) Bersilaturahmi dengan masyakat,
b) Berkenalan,
c) Belajar keberhasilan (cari satu/dua keberhasilan desa) atau spesifik kebanggaan
masyarakat

2. Bina Suasana
Untuk menghilangkan “jarak” antara fasilitator dan masyarakat sehingga proses
fasilitasi berjalan lancar, sebaiknya dilakukan pencairan suasana.

3. Kesepakatan Istilah Tinja, BAB dan Jamban


Agar istilah tinja, BAB & Jamban yang digunakan betul-betul istilah sehari-hari
dan cenderung bahasa kasar sehingga efektif dipakai sebagai bahasa pemicu.
Selanjutnya pada saat itu temukan istilah setempat untuk “tinja” (misalnya tai, dll)
dan BAB (ngising, naeng dan lain-lain)

4. Pemetaan
Pembuatan peta sanitasi sederhana dilakukan sendiri oleh masyarakat termasuk
wanita, pria dan anak muda yang difasilitasi oleh Tim Pemicu. Peta harus berisi
informasi tentang batas dusun, rumah yang mempunyai dan rumah tanpa jamban,
jalan, sungai, sumber air untuk minum, mandi dan mencuci, masalah sanitasi yang

27
ada. Dalam peta ditunjukkan/ditandai tempat yang biasanya digunakan untuk
buang air besar, membuang sampah dan air limbah,
Tujuan:
a) Mengetahui / melihat peta wilayah utamanya berkaitan dengan perilaku BAB
masyarakat,
b) Sebagai alat monitoring pada pasca pemicuan, setelah ada mobilisasi
masyarakat.
Alat yang diperlukan:
a) Tanah lapang atau halaman,
b) Serbuk putih untuk membuat batas wilayah,
c) Potongan kertas untuk menggambarkan rumah penduduk,
d) Serbuk kuning untuk menggambarkan kotoran,
e) Spidol,
f) Kapur tulis berwarna untuk garis akses penduduk terhadap sarana sanitasi,
(Kalau bahan tersebut tidak tersedia, bisa diganti dengan bahan lokal seperti daun,
batu, ranting, kayu ataupun bambu.
Mendiskusikan dan menanyakan isi peta kepada masyarakat tentang tempat/lokasi
mana yang paling kotor, kemudian disusul lokasi kotor berikutnya, dan
seterusnya.

5. Transect Walk
Tujuan:
Mengunjungi, melihat dan mengetahui lokasi yang paling sering dijadikan tempat
BAB, dengan mengajak masyarakat berjalan ke sana, hal ini dilakukan sambil
mengamati lingkungan, menanyakan dan mendengarkan, serta mengingat-ingat
lokasi tempat buang air besar, tempat membuang sampah dan air limbah, juga
dilakukan kunjungan ke rumah-rumah yang sudah memiliki jamban. Mengunjungi
keluarga yang telah mempunyai sumur, menjadi penting untuk mempelajari
apakah jamban dan sumur gali yang dibangun mempunyai jarak yang cukup,
sehingga sumber air tidak terkontaminasi oleh bakteri dari jamban. Sangat penting
untuk berhenti di lokasi masyarakat buang air besar sembarangan, membuang
sampah dan air limbah serta meluangkan waktu untuk diskusi dengan masyarakat

28
di sana, berdiskusi di tempat tersebut, diharapkan masyarakat akan merasa jijik.
Bagi orang yang biasa BAB di tempat tersebut akan terpicu untuk berubah karena
merasa malu.
Proses:
a) Ajak masyarakat untuk mengunjungi lokasi yang sering dijadikan tempat BAB
(didasarkan pada hasil pemetaan),
b) Lakukan analisa partisipatf di tempat tersebut, mendiskusikan alur kontaminasi
air dari kotoran tinja, dan penting juga menbahas air yang sehat dan membahas
bagaimana cara memperoleh air minum sehat,
c) Tanya siapa saja yang sering BAB di tempat tersebut atau siapa yang hari ini
telah BAB di tempat tersebut,
d) Jika di antara masyarakat yang ikut transect walk ada yang biasa melakukan
BAB di tempat tersebut, tanyakan: Bagaimana perasaannya, Berapa lama
kebiasaan itu berlangsung, Apakah besok akan melakukan hal yang sama?
e) Jika diantara masyarakat yang ikut transect walk tidak ada satupun yang
melakukan BAB di tempat tersebut, tanyakan pula bagaimana perasaannya
melihat wilayah tersebut. Tanyakan hal yang sama pada warga yang rumahnya
berdekatan dengan tempat yang sering dipakai BAB tersebut,
f) Jika ada anak kecil yang ikut dalam transect walk atau berada tidak jauh dengan
tempat BAB itu, tanyakan apakah mereka senang dengan keadaan itu? Jika anak-
anak kecil menyatakan tidak suka, ajak anakanak itu untuk menghentikan
kebiasaan itu, yang bisa dituangkan dalam nyanyian, slogan, puisi, dan
bentukbentuk kesenian (lokal) lainnya.
6. Simulasi Air Terkontaminasi
Peragaan air yang terkontaminasi tinja dilakukan oleh fasilitator atau kader
dimaksudkan agar masyarakat memahami dan merasakan ketidak nyamanan
menggunakan air yang sudah terkontaminasi. Simulasi dengan menggunakan air
dapat dilakukan pada saat transect walk, saat pemetaan atau pada saat diskusi
kelompok lainnya
Tujuan:
Mengetahui sejauh mana persepsi masyarakat terhadap air yang biasa mereka
gunakan sehari-hari.

29
Alat yang digunakan:
a) Ember/ gelas/ botol yang berisi air minum,
b) Polutan air (tinja).
c) Rambut atau lidi
Proses:
Cara pertama: Fasilitator / kader mengambil air dari sungai dengan ember
kemudian mencuci muka dan kumur dengan air tersebut. Salah seorang peserta
diminta untuk memasukkan tinja ke dalam ember kemudian minta peserta lain
mempergunakan air dalam ember tersebut untuk membasuh muka dan berkumur.
Cara kedua: Fasilitator / kader menunjukan air botol kemasan atau air minum
dalam gelas, diminta salah seorang minum air tersebut. Fasilitator mencabut
sehelai rambutnya, menunjukkan kepada semua peserta kemudian mengoleskan
ke salah satu tinja yang sedang berserakan dikerumuni lalat, dilanjutkan dengan
mencelupkan rambut ke dalam air minum. Salah seorang peserta diminta
meminum air tesebut seperti yang dilakukan sebelumnya.
Tunggu reaksi paserta yang menjadi relawan tadi. Jika menolak melakukan,
tanyakan sebabnya. Sebetulnya apa yang terjadi sama seperti kebiasaan perilaku
masyarakat selama ini, berkumur dengan air sungai yang telah tercemar tinja
ataupun minum air yang telah dihinggapi lalat.
Kemudian tanyakan kepada masyarakat semuanya apa yang akan dilakukan
selanjutnya. Apakah merekla mau berubah?
7. Hitung Volume Tinja
Tujuan dari kegiatan ini adalah bersama-sama dengan masyarakat, melihat kondisi
yang ada dan menganalisisnya, sehingga diharapkan dengan sendirinya
masyarakat dapat merumuskan yang sebaiknya dilakukan atau tidak dilakukan.
Pembahasan meliputi:
• FGD untuk menghitung volume/jumlah tinja dari masyarakat yang BAB di
sembarang tempat/tempat terbuka selama 1 hari, 1 bulan, dalam 1 tahun dst. •
FGD tentang privacy, kemiskinan agama,dll
 Elemen Pemicuan
1) Memicu Perubahan dengan Elemen Rasa Malu

30
Diskusi untuk memicu perubahan karena rasa “malu” dengan: a) Tanyakan
seberapa banyak perempuan yang biasa melakukan BAB di tempat terbuka dan
alasan mengapa mereka melakukannya b) Bagaimana perasaan kaum perempuan
ketika BAB di tempat terbuka yang tidak terlindung sementara kegiatan yang
dilakukan dapat dilihat oleh banyak orang? c) Bagaimana perasaan laki-laki ketika
istrinya, anaknya atau ibunya melakukan BAB di tempat terbuka dan dapat dilihat
oleh orang lain, baik yang kebetulan melihat secara sengaja atau tidak sengaja? d)
Apa yang dilakukan perempuan ketika harus BAB (di tempat terbuka) padahal ia
sedang mendapatkan menstruasi bulanan. Apa yang dirasakan? e) Apa yang akan
dilakukan besok hari? Apakah tetap akan melakukan kebiasaan yang sama?

2) Memicu Perubahan dengan Elemen Harga Diri


Diskusi untuk memicu perubahan karena alasan meningkatkan “harga diri”
dengan: a) Menumbuhkan kebanggaan karena telah mempunyai jamban dan telah
melaksanakan Stop BABS. b) Menimbulkan keinginan kuat untuk merubah
kebiasaan BABS dengan melaksanakan Stop BABS. c) Menimbulkan keinginan
kuat untuk membangun dan menggunakan jamban sebagai tempat BAB. d)
Tanyakan perasaan mereka kalau ada tamu yang sangat dihormatinya mau
numpang BAB dan ternyata nggak punya jamban atau e) Tanyakan perasaan
mereka, bahwa banyak orang yang lebih miskin darinya sudah mau berubah atau
sudah punya jamban? atau f) Tanyakan perasaan mereka, bahwa dirinya tidak
lebih baik dari kucing dalam hal BAB.

3) Memicu Perubahan dengan Elemen Rasa jijik dan Takut Sakit


Diskusi untuk memicu perubahan karena rasa “jijik” dan “takut sakit”: a) Ajak
masyarakat untuk menghitung kembali jumlah “tinja di kampungnya”, dan
kemana perginya tinja tersebut, b) Jika dalam diagram alir terdapat pendapat
masyarakat bahwa lalat adalah salah satu media penghantar kotoran ke mulut,
lakukan probing tentang lalat. Misalnya: jumlah dan anatomi kaki lalat,
bagaimana lalat hinggap di kotoran dan terbang kemana-mana dengan membawa
kotoran di kakinya, dan bagaimana menjamin bahwa makanan di rumah tidak
dihinggapi lalat, dsb. c) Ajak untuk melihat kembali peta, dan kemudian tanyakan

31
rumah mana saja yang pernah terkena diare (2-3 tahun yang lalu), berapa biaya
yang dikeluarkan untuk berobat, adakah anggota keluarga (terutama anak kecil)
yang meninggal karena diare, bagaimana perasaan bapak/ibu atau anggota
keluarga lainnya. d) Apa yang dilakukan kemudian?

4) Memicu Perubahan dengan Elemen Berkaitan dengan Keagamaan


Diskusi untuk memicu perubahan karena alasan yang berkaitan dengan
“keagamaan”: a) Bisa dengan mengutip hadist atau ayat serta pendapat para alim
ulama yang relevan dengan larangan atau dampak buruk dari melakukan BAB
sembarangan, seperti orang yang biasa membuang air (besar) di air yang mengalir
(sungai/kolam), di jalan dan di bawah pohon (tempat berteduh), b) Bisa dengan
mengajak masyarakat untuk mengingat hukum agama berkaitan dengan
menghilangkan “najis”. Tanyakan air apa yang selama ini digunakan masyarakat?
Apakah benar-benar bebas dari najis?, c) Apa yang akan dilakukan kemudian?

5) Memicu Perubahan dengan Elemen Berkaitan dengan Kemiskinan


Diskusi untuk memicu perubahan karena alasan yang berkaitan dengan
“kemiskinan”: Diskusi ini biasanya berlangsung ketika sebagian masyarakat
sudah terpicu dan ingin melakukan perubahan, namun terhambat dengan tidak
adanya uang untuk membangun jamban. a) Apabila masyarakat mengatakan
bahwa membangun jamban itu perlu dana besar, fasilitator bisa menanyakan
apakah benar jamban itu mahal? Bagaimana dengan bentuk ini (berikan alternatif
yang paling sederhana). b) Apabila masyarakat tetap beralasan mereka miskin
untuk bisa membangun jamban (meskipun dengan bentuk yang paling sederhana),
fasilitator bisa mengambil perbandingan dengan masyarakat yang “jauh lebih
miskin” namun tetap berupaya untuk merubah kebiasaan BAB di sembarang
tempat. c) Apabila masyarakat masih mengharapkan bantuan, tanyakan kepada
mereka: tanggung jawab siapa masalah tidak BAB Sembarangan ini? Apakah
untuk BAB di tempat yang benar saja kita harus menunggu diurus oleh
pemerintah dan minta bantuan orang lain?

32
 Kesepakatan Bersama
1) Membangun komitmen masyarakat yang mau berubah: kapan akan
merealisasikan keinginannya untuk berubah.
2) Membuat kesepakatan membentuk komite masyarakat yang akan mempelopori
pembangunan jamban di komunitasnya.
3) Minta kepada masyarakat yang terpicu untuk menuliskan komitmen /
kesanggupan mereka untuk mulai membangun jamban.
4) Minta kepada masyarakat yang terpicu: kapan hasil pembangunan jamban
mereka dapat dilihat oleh kepala dusun atau pimpinan yang lain.
5) Menyepakati bersama, peserta yang pertama kali menyatakan keinginan untuk
tidak melakukan BAB sembarangan ditunjuk sebagai pimpinan informal mereka
atau sebagai “natural leader” untuk menggalang dan mempengaruhi masyarakat
yang lain di sekitarnya,
6) Pemimpin informal bersama dengan masyarakat akan membuat rencana kerja,
difasilitasi oleh tim pemicu desa dan tim pemicu puskesmas dalam rangka
meningkatkan sanitasi lingkungan.
 Pertemuan Pleno di Kantor Desa untuk Menyusun Rencana Tindak
Lanjut
1) Mengundang 4 - 5 orang dari masing-masing dusun yang telah dipicu ke kantor
desa untuk presentasi hasil pemicuan sebelumnya. Pemicuan ulang sering
bermanfaat dilakukan untuk memperkuat semangat perubahan masyarakat. Dalam
pertemuan tersebut, mengundang kepala desa, pemimpin informal dan kepala
dusun/RW. Tujuan dari pertemuan ini adalah untuk membuat Rencana Aksi
masing-masing dusun dan membentuk komite masyarakat. Panitia yang disebut
“Tim Pemberantas BABS Dusun“ untuk tingkat dusun dan sekaligus membentuk
Komite Desa dan Komite Dusun seperti “Tim Pemberantas BABS Tingkat Desa
“(atau bahasa setempat yang lebih mereka pahami) untuk menjadikan desa SBS.
Tim Pemberantas BABS Dusun bekerja di dusun/RW mereka dan Tim
Pemberantas BABS Desa bekerja dibantu Tim Pemicu STBM Desa,
2) Kader desa dan tim pemicu desa menyusun kesepakatan untuk memicu dusun-
dusun lainnya (di luar empat dusun awal yang telah ditentukan). Selama memicu,

33
mereka diharapkan mengundang kepala desa, pemimpin informal dan kepala
dusun/ RW dan tokoh masyarakat,
3) Kader dan Tim Pemicu Desa bersama dengan dukungan Tim Pemberantas
BABS Desa memicu dusun selebihnya sampai menjadi ODF, mereka bisa berbagi
pengalaman dan menunjukkan manfaat hidup dilokasi yang sudah SBS,
4) Ditargetkan dalam waktu satu tahun, desa yang sudah dipicu akan menjadi desa
SBS, masyarakat tidak ada lagi yang BAB Sembarangan.

Pasca Pemicuan
Paska pemicuan merupakan tindak lanjut kegiatan pemicuan dan harus
dilaksanakan segera setelah pemicuan. Tujuan dari kegiatan pasca-pemicuan
adalah untuk memastikan dilaksanakanya rencana kerja SBS masyarakat. Teknis
kegiatan pasca pemicuan ini antara lain adalah:
a. Membangun ulang komitmen masyarakat
Membangun ulang komitmen masyarakat dimaksudkan untuk meningkatnya
motivasi masyarakat untuk melaksanakan rencana kegiatan yang mereka susun
pada saat membuat komitmen saat pemicuan. Membangun komitmen ini diawali
dengan mempersilahkan kepada wakil masyarakat untuk mempresentasikan
kondisi sanitasi di komunitasnya dan rencana aksi mereka ke depan. Rencana aksi
SBS akan meliputi daftar keluarga dengan kondisi jamban dan peta dusun yang
menunjukkan lokasi rumah memiliki jamban dan fasilitas cuci tangan, mendorong
para kader dan tim pemicu desa untuk selalu memperbarui peta. Selanjutnya perlu
melakukan penegasan-penegasan untuk meningkatkan motivasi masyarakat dalam
upaya pencapaian desa bebas dari BAB Sembarangan. Hasil komitmen diserahkan
oleh perwakilan kelompok masyarkat kepada pimpinan yang berwenang di daerah
untuk dilakukan tindak lanjut sesuai dengan rencana. Diharapkan pemerintah
daerah dan desa dapat menindak lanjuti dan memfasilitasi masyarakat dalam
melakukan kegiatan dengan mengintegrasikan rencana aksi masyarakat
membebaskan warga dari BABS ke dalam pembangunan desa melalui dukungan
dana desa.

34
b. Pendampingan dan monitoring
Pendampingan oleh kader, tim pemicu desa dan tim pemicu puskesmas
dilaksanakan untuk membantu masyarakat malaksanakan komitmen yang telah
dibangun oleh mereka bersama. Aksi yang dilaksanakan adalah mendorong upaya
individu masyarakat merubah perilaku tidak lagi BAB sembarangan. Dalam
upayanya, masyarakat membutuhkan bantuan mitra untuk mencari solusi atas
permasalahan yang dihadapinya. Tim pemicu desa, sanitarian dan tim pemicu
puskesmas perlu mendampingi masyarakat secara berkelanjutan untuk
mewujudkan keinginan masyarakat mempunyai jamban sehat.
c. Pilihan teknologi sanitasi
Masyarakat perlu memahami tangga sanitasi untuk memilih praktik BAB yang
diinginkan. Perilaku tangga sanitasi terendah adalah di mana masyarakat
melakukan BAB sembarangan yang kemudian ditangga berikutnya adalah
perillaku yang lebih sehat sampai tangga teratas di mana masyarakat sudah
mempraktekkan perilaku sehat secara permanen. Konsekuensi dari perkembangan
perilaku ini masyarakat membutuhkan sarana sanitasi seperti jamban sehat sesuai
tingkatanya.
d. Membangun jejaring dan layanan penyediaan sanitasi
Masyarakat yang sudah terpicu dan mau berubah akan membutuhkan sarana
sanitasi yang sehat dan layak. Tidak semua masyarakat memiliki akses dan
kemampuan keuangan untuk menyediakan sarana sanitasi yang dibutuhkannya.
Wirausaha sanitasi diundang untuk menyediakan pilihan sarana sanitasi yang
dibutuhkan masyarakat dengan proses pembiayaan yang juga sesuai dengan
kemampuan masyarakat.
Disamping itu perlunya membangun jejaring untuk mensinergikan potensi-potensi
yang ada di masyarakat dengan harapan:
• Wirausaha sanitasi dan masyarakat memperoleh kemudahan mendapatkan
fasilitas pinjaman dari lembaga kredit
• Kuatnya kerjasama antar wirausaha sanitasi melalui asosiasi dalam
melayani masyarakat akan kebutuhan fasilitas sanitasi
• Terjadinya kesempatan masyarakat dan komite saling belajar kisah sukses
desa lain dalam memfasilitasi masyarakat merubah perilaku mau BAB di jamban.

35
• Masyarakat dan komite terdorong mempersiapkan wilayahnya menjadi
SBS dan siap diverifikasi.

Pelaporan Kegiatan Paska Pemicuan


Pelaporan kegiatan pemicuan yang difasilitasi melalui program dan kegiatan rutin
paska pemicuan di dusun dituangkan pada format tertentu. Hasil analisa
perkembangan pelaporan disampaikan ke pertemuan berkala pemerintah desa
disamping disampaikan kepada sanitarian/ tenaga sanitasi puskesmas untuk
dimasukkan ke dalam server data based STBM.21

F. Kerangka Pikir Pemecahan Masalah


Masalah merupakan kesenjangan antara keadaan yang diharapkan dengan keadaan
yang dihasilkan yang menimbulkan rasa tidak puas. Urutan pemecahan masalah,
yaitu:

Gambar 6. Kerangka Pikir Pemecahan Masalah.

1. Identifikasi masalah
Menetapkan keadaan spesifik yang diharapkan, yang ingin dicapai,
menetapkan indikator tertentu sebagai dasar pengukuran kinerja. Kemudian
mempelajari keadaan yang terjadi dengan menghitung atau mengukur hasil
pencapaian. Yang terakhir membandingkan antara keadaan nyata yang terjadi,

36
dengan keadaan tertentu yang diinginkan atau indikator tertentu yang sudah
ditetapkan.22,23
2. Penentuan penyebab masalah
Penentuan penyebab masalah digali berdasarkan data atau kepustakaan
dengan curah pendapat. Penentuan penyebab masalah dilakukan dengan
menggunakan fish bone. Penyebab masalah yang paling mungkin harus dipilih
dari sebab-sebab yang didukung oleh data atau konfirmasi dan pengamatan.22,23

INPUT

MAN
MONEY
METHODE

MACHINE MATERIAL

MASALAH

P1
P3
P2

LINGKUNGAN
PROSES

Gambar 7. Diagram fish bone.

3. Menentukan alternatif pemecahan masalah


Sering kali pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mudah dari penyebab
yang sudah diidentifikasi. Jika penyebab sudah jelas maka dapat langsung pada
alternatif pemecahan masalah.22,23
4. Penetapan pemecahan masalah terpilih
Setelah alternatif pemecahan masalah ditentukan, maka dilakukan pemilihan
pemecahan terpilih. Apabila ditemukan beberapa alternatif maka digunakan
Hanlon Kualitatif untuk menentukan/memilih pemecahan terbaik.22,23
5. Penyusunan rencana penerapan
Setelah melakukan penentuan pemecahan masalah maka selanjutnya dilakukan
pembuatan plan of action (POA) serta Gann Chart, hal ini bertujuan untuk
menentukan perencanaan kegiatan.22,23

37
6. Monitoring dan evaluasi
Ada dua segi pemantauan yaitu apakah kegiatan penerapan pemecahan masalah
yang sedang dilaksanakan sudah diterapkan dengan baik dan menyangkut masalah
itu sendiri, apakah permasalahan sudah dapat dipecahkan.22,23

G. Analisis Penyebab Masalah


Dalam menganalisis masalah digunakan metode pendekatan sistem untuk
mencari kemungkinan penyebab dan menyusun pendekatan masalah, dari
pendekatan sistern ini dapat ditelusuri hal-hal yang mungkin menyebabkan
munculnya permasalahan Kesehatan lingkungan yang tidak memenuhi syarat di
wilayah Puskesmas Salaman I.
Analisis masalah dilakukan berdasarkan kerangka pemikiran pendekatan sistem
yang diawali dari input yang meliputi 5M, yaitu man, money, method, material,
dan machine, kemudian dilanjutkan dengan proses yang meliputi fungsi
manajemen (P1, P2, P3) dan manajemen mutu sehingga didapatkanlah output.
Input dan proses dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.

Gambar 8. Analisis Pemecahan Masalah dengan Pendekatan Sistem.

Masalah yang timbul terdapat pada output, dimana hasil kegiatan tidak
sesuai standar minimal. Hal yang penting pada upaya pemecahan masalah adalah
kegiatan dalam rangka pemecahan masalah harus sesuai dengan
penyebab masalah tersebut, berdasarkan pendekatan sistem masalah dapat
terjadi pada input, lingkungan maupun proses.22,23

38
H. Penentuan Pemecahan Masalah dengan Kriteria Matriks
Setelah menemukan alternatif pemecahan masalah, maka selanjutnya dilakukan
penentuan prioritas alternatif pemecahan masalah. Penentuan prioritas alternatif
pemecahan masalah dapat dilakukan dengan menggunakan metode kriteria
matriks M x I x V/C. Berikut ini proses penentuan prioritas alternatif pemecahan
masalah dengan menggunakan metode kriteria matriks :
a. Magnitude (M), adalah besarnya penyebab masalah dari pemecahan masalah
yang dapat diselesaikan. Makin besar (banyak) penyebab masalah yang dapat
diselesaikan dengan pemecahan masalah, maka semakin efektif.
b. Importancy (I), adalah pentingnya cara pemecahan masalah. Makin penting
cara penyelesaian dalam mengatasi penyebab masalah, maka semakin efektif.
c. Vulnerability (V), adalah sensitifitas cara penyelesaian masalah. Makin sensitif
bentuk penyelesaian masalah, maka semakin efektif.
d. Cost (C), adalah perkiraan besarnya biaya yang diperlukan untuk melakukan
pemecahan masalah

Magnitude Vulnerability
1 = Tidak magnitude 1 = Tidak sensitive
2 = Kurang magnitude 2 = Kurang sensitive
3 = Cukup magnitude 3 = Cukup sensitive
4 = Magnitude 4 = Sensitif
5 = Sangat magnitude 5 = Sangat sensitif
Importancy Cost
1 = Tidak penting 1 = Sangat murah
2 = Kurang penting 2 = Murah
3 = Cukup penting 3 = Cukup murah
4 = Penting 4 = Kurang Murah
5 = Sangat Penting 5 = Tidak Murah

39
Pembuatan Plan of Action
Setelah melakukan penentuan pemecahan masalah maka selanjutanya dilakukan
pembuatan plan of action, hal ini bertujuan untuk menetukan perencanaan
kegiatan.

40

You might also like