Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 28

MODUL AUTISME

1. Pendahuluan
Autisme berasal dari bahasa Yunani, “autos” yang berarti segala sesuatu yang
mengarah pada diri sendiri. Penderita autisme memiliki obsesi terhadap pikiran dan khayalan
sendiri daripada melihat kenyataan atau realita kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu
penderita autisme sering disebut orang yang hidup di “alam”nya sendiri.1
Autisme kadangkala disebut juga dengan autisme infantil (autisme masa kanak-
kanak). Pertama kali diperkenalkan oleh Leo Kanner (1943 ).1

2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan Umum
Agar peserta didik mampu memberikan penanganan KFR yang komprehensif pada
pasien autisme untuk menghindari komplikasi dan mencapai kemandirian yang optimal.
Tujuan Khusus
Peserta didik harus mampu melakukan pemeriksaan KFR pada pasien autism untuk
mengenali gangguan fungsi, disabilitas, handicap, menetapkan diagnosis dan prognosis
fungsional serta melakukan tatalaksana secara optimal.

3. Berbagai Gangguan Yang Masuk Dalam Pervasive Developmental Disorder

DSM IV ICD-10

Autistic Disorder Childhood Autism

Pervasive Developmental Disorder Not Atypical Autism


Otherwise Specified (PDD-NOS)

Rett’s Disorder Rett’s Syndrome

Childhood Disintegrative Disorder Other Childhood Disintegrative Disorder

- Overactive Disorder With MR

Asperger’s Disorder Asperger’s Syndrome

PPD-NOS Other Pervasive Developmental Disorder

1
PPD-NOS Pervasive Developmental Disorder
Unspecified

Pada DSM V istilah gangguan Autisme Spektrum (Autisme Spectrum Disorder)


menggantikan berbagai diagnosis klinis terdahulu pada DSM IV seperti Gangguan Autistik,
Sindrom Asperger, gangguan disintegratif masa kanak-kanak dan Gangguan Pervasif yang
tidak spesifik.2

4. Definisi
Gangguan spektrum autisme (Autism Spectrum Disorder–ASD) adalah sekumpulan
gejala gangguan perkembangan yang menyebabkan gangguan sosial, komunikasi dan
perilaku yang bermakna.3 Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Health
edisi V (DSM V), ASD (Autisme Spectrum Disorder) adalah gangguan perkembangan
(neurodevelopmental disorders) dengan gambaran hendaya pada komunikasi serta interaksi
sosial dan pola perilaku, aktivitas dan ketertarikan yang monoton.4 Sebelumnya pada DSM
IV edisi revisi (DSM IV-TR), ASD dikenal secara terpisah sebagai gangguan autistik
(autisme klasik, autisme infantil dini, autisme masa kanak-kanak atau autisme Kanner),
gangguan disintegratif masa kanak-kanak, gangguan perkembangan pervasif dan sindrom
Asperger.5
Sedangkan menurut ICD X, ASD merupakan bagian dari gangguan perkembangan
pervasif yang didefinisikan sebagai gangguan perkembangan yang muncul sebelum usia 3
tahun dengan adanya gambaran psikopatologis pada tiga area: tidak didapati adanya timbal
balik saat berinteraksi sosial, komunikasi serta perilaku yang terbatas, stereotipik dan
berulang-ulang.6
Perbedaan bermakna di antara kedua pengkodean diagnosa ini adalah pada ICD X
gejala harus ada sebelum usia 3 tahun, sementara DSM V tidak memasukkan batasan usia;
hal ini mengindikasikan bahwa gejala mungkin belum bermanifestasi hingga kebutuhan
sosial melebihi kapasitas anak tersebut.7

5. Epidemiologi
Perbandingan antara anak laki-laki dengan perempuan mencapai 4:1. Prevalensi
terkini dari Eropa, Asia dan Amerika Serikat bervariasi dari 1 setiap 500 hingga 1 setiap 50
anak.6 Belum terdapat data mengenai prevalensi penderita autis di Indonesia. Namun pada

2
tahun 2015 diperkirakan 1 dari 250 anak mengalami gangguan spektrum autis. Diperkirakan
pada tahun 2015 di Indonesia terdapat kurang lebih 12.800 anak penyandang autisme dan
134.000 penyandang spektrum autis.8 Perubahan kriteria diagnosa DSM IV menjadi DSM V
dapat mempengaruhi prevalensi tetapi seberapa besar perubahannya belum diketahui. Angka
kejadian ASD pada saudara kandung penderita berkisar antara 2-8%. Gejala penyerta pada
ASD dapat berupa retardasi mental (75%), dan kejang (11-39%). Angka kejadian kejang pada
ASD meningkat risikonya berbanding lurus dengan tingkat retardasi mental.7

6. Etiologi
Etiologi dari ASD belum dipahami seutuhnya. Kerusakan otak pre-perinatal baik
karena antenatal bleeding pada trimester I-II, pre–post maturitas, respiratory
distressdianggap memiliki hubungan dengan kejadian ASD.9
Konsensus umum berpendapat bahwa ASD disebabkan oleh genetik, yang
menyebabkan terjadinya gangguan perkembangan otak sehingga mempengaruhi
perkembangan sosial dan komunikasi sehingga menyebabkan ketertarikan anak yang terbatas
dan memiliki perilaku yang stereotipik.Terdapat teori-teori yang mendukung pendapat ini;
teori epigenetik, yang menyatakan bahwa terdapat gen abnormal yang menjadi aktif pada saat
perkembangan janin sehingga mempengaruhi ekspresi dari gen lain yang tidak termutasi
dengan sendirinya.7
Secara garis besar terdapat teori-teori sebagai berikut:7
1. Genetik
2. Neurobiologis
3. Lingkungan dan perinatal
4. Usia orang tua

Genetik
Terdapat peningkatan bukti dimana genetik memiliki peran terhadap terjadinya
autisme dengan alasan sebagai berikut:
1. Adanya dominasi laki-laki dengan perbandingan 4:1
2. Peningkatan risiko terjadinya ASD pada saudara kandung
3. Peningkatan angka kejadian pada anak kembar monozigot

Neurobiologis
Pencitraan neuro serta studi otopsi pada pasien membuktikan adanya kelainan otak
sebagai penyebab terjadinya ASD. Kelainan yang terjadi meliputi perbedaan ukuran dari

3
volume substansia alba dan grisea, anatomi sulkus dan girus otak, konsentrasi
neurotransmiter di otak, jaringan neural, lateralisasi otak serta proses kognitif dibandingkan
pada individu sehat.
Bukti keterlibatan kelainan otak didukung oleh temuan:7
1. Pertumbuhan lingkar kepala saat balita, serta peningkatan ukuran otak secara
keseluruhan (2-10%), mungkin terkait dengan peningkatan jumlah neuron di korteks
pre-frontal. Hal ini mungkin dapat dijelaskan dimana dalam studi neuropsikologis
ditemukan bahwa pada saat anak mendapatkan stimulasi sosial, proses emosi yang
seharusnya dilakukan oleh amigdala justru dibebankan pada area pre-frontal.
Sehingga area tersebut bekerja lebih berat. Tetapi dalam studi otopsi pembesaran
lingkar kepala sendiri didapati karena adanya peningkatan volume otak dimana
terdapat pembesaran pada area parietal,temporal dan oksipital.9
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI) fungsional mengindikasikan pada penderita
ASD, terdapat perbedaan pola konektivitas, strategi kognitif serta area otak yang
terlibat dalam proses pengolahan informasi terkait input visual dan auditorik; input
sensorik yang dibutuhkan untuk interaksi sosial.
3. Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan bahwa penderita ASD memiliki
gangguan fungsi pembentukan serotonin.
4. Elektrofisiologi otak mengindikasikan dimana individu dengan ASD mengalami
masalah dengan pengenalan wajah serta adanya keterlambatan sistem saraf dalam
mengolah tatapan mata.
5. Terdapat gangguan neural dalam mengenali dan memahami pembicaraan.
6. Penurunan jumlah sel purkinje, berperan sebagai modulator sinyal di serebelum,
mempengaruhi pengolahan bahasa, perencanaan motorik, imajinasi objek dan
perkiraan waktu.

Lingkungan dan perinatal


Terdapat bukti yang cukup yang menyatakan adanya hubungan antara faktor perinatal
seperti presentasi abnormal, berat badan lahir rendah, aspirasi mekoneum meningkatkan
risiko ASD hingga 5 kali lipat pada populasi umum. Kondisi maternal seperti diabetes
mellitus, obesitas, hipertensi, penggunaan asam valproat serta penghambat serotonin selama
kehamilan juga meningkatkan risiko ASD.
Belum terdapat cukup bukti yang mendukung adanya keterlibatan faktor lingkungan
dalam konteks keterpaparan toksin dimana sangat dipengaruhi oleh konsentrasi toksin, durasi

4
keterpaparan, mekanisme kerja toksin serta kemampuan toksin tersebut menembus sawar
darah otak.

Usia orang tua


Peningkatan usia orang tua baik ayah ataupun ibu memiliki hubungan dengan
kejadian ASD. Hal ini mungkin disebabkan oleh mutasi gen spontan.

Imunisasi
Tidak terdapat bukti adanya hubungan antara vaksin campak dan thimerosal (bahan
pengawet yang dipakai pada vaksin, mengandung merkuri) dengan ASD.7

7. Gambaran Klinis
Gejala ASD biasa terlihat pada saat anak berusia 2 tahun, tetapi mungkin juga
bermanifestasi lebih dini. Sesuai definisinya, ASD harus muncul pada masa perkembangan
dini, namun bisa saja tidak terlihat sampai pada saat anak lebih dewasa (sebagai contoh,
ketika kebutuhan hubungan sosial melebihi kapasitas anak).4 Pada kondisi tertentu dengan
gejala ASD ringan mungkin baru tampak oleh guru atau orang tua pada saat berusia 4-6
tahun.Sementara ICD X berpedoman dimana gejala harus muncul sebelum usia 3 tahun.
Gambaran klinis pada ASD pada tiap kasus berbeda, karena itulah digunakan istilah
spektrum; dimana pada autisme sendiri menunjukkan adanya cakupan gejala yang luas dari
paling ringan hingga sangat berat, dari anak-anak usia sekitar 1 tahun dengan keterlambatan
perkembangan pada aspek personal sosial ke anak-anak yang sudah mengalami
perkembangan tetapi tidak mengalami kemajuan, hingga anak-anak yang mungkin sudah
mencapai tahap perkembangan tertentu namun mengalami kemunduran. Sekitar dua dari
tigaanak-anak dengan ASD menunjukkan rendahnya kemampuan berkomunikasi pada dua
tahun pertama kehidupan. Sekitar satu dari empat anak dengan autis sudah mencapai satu
tahapan tertentu dari aspek perkembangan bahasa dan personal sosial namun mengalami
kemunduran pada usia 15-24 bulan. Kemunduran dapat bertahap atau mendadak. Penurunan
kemampuan merupakan gambaran penting dari ASD; apabila penurunan kemampuan ini
berkaitan dengan kelahiran adik atau pindah ke lingkungan yang baru, diagnosis ASD
sebaiknya ditunda.10Gambaran klinis yang sangat beragam ini juga dipengaruhi oleh: situasi
keluarga, tahapan perkembangan anak, kepribadian penderita serta berat ringannya gejala.11

Gangguan komunikasi dan interaksi sosial


Anak-anak dengan ASD tidak memiliki kemampuan untuk menyadari keberadaan
orang lain, tidak mampu ikut merasakan penderitaan yang dialami orang lain, tidak memberi

5
respons ketika diajak bermain bersama, tidak ada keinginan untuk berbagi atau bermain
bersama; semuanya ini mengakibatkan anak tidak memiliki teman dan terisolasi secara sosial.
Mereka juga tidak mampu menangkap komunikasi non verbal yang ditunjukkan oleh orang
tua, sehingga sering kali orang tua berkata anak menolak untuk dibelai, kontak mata yang
sangat minimal, tidak ingin digendong, dipeluk bahkan tidak suka bila disentuh dan tidak
menangis bila ditinggal pergi oleh ibu atau orang terdekatnya.

Perilaku yang terbatas dan aktivitas yang repetitif


Perilaku dan ketertarikan yang terbatas serta aktivitas yang repetitif ditambah dengan
respon berlebihan atau sebaliknya terhadap input sensorik merupakan gejala utama yang juga
didapati dari ASD. Perilaku stereotipik-perilaku motorik yang berulang-ulang seperti
menepuk-nepuk tangan, memutar-mutar jari, berjalan jinjit serta mempermainkan segala jenis
mainan dengan cara yang sama tanpa mempedulikan bagaimana seharusnya mainan tersebut
digunakan. Juga didapati adanya echolalia. Perilaku stereotipik ini kadang mengarah kepada
diri sendiri, karena itu perlu pengawasan karena risiko menyakiti diri sendiri. Terutama pada
anak ASD dengan gangguan kognitif, seringkali mereka membentur-benturkan kepala,
menampar wajah, menggigit atau mencubit diri sendiri. Pencetus perilaku ini dapat akibat
rasa takut, rasa gembira yang berlebihan tetapi lebih sering tidak menentu.
Dalam kehidupan sehari-hari tampak adanya rutinitas yang sangat kaku, hal ini dapat
diamati dimana mereka mungkin hanya mau makan-makanan tertentu saja dengan cara
tertentu atau pergi ke satu tujuan melalui rute yang selalu sama.
Anak-anak ASD mengalami gangguan pengolahan sensorik, sebanyak 42-99%
memiliki respon yang berlebihan, kurang atau tidak semestinya terhadap stimulus luar.
Karena itulah anak dengan ASD menolak makanan dengan rasa atau tekstur tertentu,
terganggu dengan jenis bahan pakaian tertentu, tidak suka dipegang dengan lembut namun
menyukai dipijat, memberi respon yang tidak semestinya terhadap nyeri, sangat terganggu
dengan suara tertentu tetapi pada saat yang sama dapat tidak terganggu sama sekali bila ada
suara yang lebih dekat dan lebih jelas mengganggu.

Problem tidur
Menjelang usia 1 tahun kebanyakan anak-anak mampu tidur sepanjang malam. Jika
setelah waktu ini anak secara teratur tidak mampu tidur, atau memiliki suatu periode tidur
yang telah terganggu, kemudian menjadi gangguan tidur.

6
Gangguan tidur dilaporkan sebagai masalah yang umum terjadi pada anak dan pasien
usia muda dengan ASD. Terapi perilaku seharusnya dipertimbangkan pada anak-anak dan
orang muda dengan autis yang mengalami gangguan tidur.

Gangguan bicara dan bahasa terutama pada ASD dapat dideteksi sejak dini. Di
negara Jepang, deteksi dini dilakukan pada bayi usia 18 bulan. Bayi dengan risiko tinggi
bila didapati adanya ketidakpedulian dengan ibu dan orang sekitar serta tak mau tatap mata.
Ciri-ciri anak dengan risiko tinggi: 11
 Bayi
1. Ekspresi emosi kurang
2. Tak peduli dan respons kurang terhadap perilaku ibu
3. Tak dapat ditenangkan dengan digendong atau bertemu ibu
4. Tak mampu mempertahankan kontak dengan sesuatu yang asing
5. Tidak tersenyum saat melihat ibu
6. Tak dapat bermain interaktif dengan ibu atau orang lain
7. Tidak dapat atau tidak mau menggunakan ibu sebagai tempat pelindung
 Anak usia 2 tahun
1. Tidak bermain pura-pura
2. Tidak menunjuk atau menyebut objek
3. Tidak ada minat sosial
4. Tidak ada permainan sosial
5. Gangguan perhatian
 Anak usia 3 tahun
1. Gangguan komunikasi baik verbal atau non verbal
2. Gangguan Interaksi sosial
3. Gangguan perilaku
4. Gangguan perasaan dan emosi

7
8. Kondisi lainnya

Intelektual
Kemampuan intelektual anak dengan ASD sangat beragam. Kemampuan verbal lebih
lemah dibanding kemampuan non verbalnya. Kemampuan sehari-hari yang
memerlukanhafalan, mekanis, visuospasial serta proses persepsi biasanya lebih baik
dibandingkan dengan proses menata konsep, pemberian alasan, interpretasi, menggabungkan
informasi serta berpikir abstrak.

8
Gangguan bicara dan bahasa
Gangguan bicara dan berbahasa pada anak ASD sangat beragam. Kurang dari
setengah dari jumlah penderita gagal menggunakan bicara sebagai modal komunikasi utama
mereka. Kemampuan berbahasa mungkin muncul namun tidak digunakan untuk komunikasi,
mereka mengimitasi pembicaraan orang atau mengulang kata-kata tetapi tanpa maksud
menyampaikan ide atau sesuatu yang bermakna. Pada kasus tertentu mungkin saja berupa
bicara dengan nada datar, tanpa tekanan dan intonasi. Pada kasus yang sangat ringan
mungkin mereka masih mampu berkomunikasi dan memiliki pemahaman normal dalam
aspek fonologi, tata letak bahasa serta makna bahasa, namun mereka tidak mampu
memahami perspektif lawan bicara, maksud terselubung. Mereka juga tidak mampu
memahami humor serta teguran atau perkataan kasar – sarkasme.

Defisit motorik
Anak dengan ASD mungkin memberikan gambaran defisit motorik seperti gangguan
jalan, berjalan jinjit atau tanda motorik abnormal lainnya seperti hipotonia.

Kemampuan khusus
Anak dengan ASD memiliki kemampuan khusus baik dalam ilmu hafalan,
matematika, musik, seni, puzzle, walau memang terdapat kekurangan di bidang lainnya.

9. Diagnosis
Diagnosis ASD ditegakkan secara klinis berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik serta
pengamatan perilaku anak. ASD harus dicurigai bila anak memiliki masalah interaksi sosial,
komunikasi serta adanya perilaku-ketertarikan dan aktivitas yang terbatas serta
repetitif.Penggunaan tools juga sebaiknya digunakan dalam mendiagnosis ASD. Walau
belum ada kesepakatan internasional tools mana yang digunakan American Academy of
Child and Adolescent Psychiatry, American Academy of Neurology, dan American Academy
of Pediatrics menganjurkan penggunaan tools sebagai berikut:
 Berdasarkan laporan orang tua: Autism Behavior Checklist (ABC), Gilliam
Autism Rating Scale edisi 2 (GARS-2), dan Autism Diagnostic Interview-Revised
(ADI-R).
 Berdasarkan pengamatan klinisi: Childhood Autism Rating Scale (CARS) dan
Autism Diagnostic Observation Schedule-Generic (ADOS-2).12

9
Kriteria Diagnosis
Berdasarkan DSM V, diagnosis ASD harus memenuhi kriteria berikut:4
 Gangguan komunikasi dan interaksi sosial yang menetap dan terjadi di banyak
tempat-keadaan; ditunjukkan dengan adanya gangguan pada:
o Resiprokal sosial emosi – mengulang-ulang pembicaraan, tidak mampu
berbagi kesukaan serta emosi.
o Perilaku komunikasi non verbal – kontak mata yang sangat jarang,
ketidakmampuan memahami bahasa tubuh orang lain.
o Menjaga relasi – sulit punya teman, beradaptasi dengan lingkungan sekitar,
tidak memiliki ketertarikan dengan teman sebaya-kelompok.
 Perilaku, ketertarikan serta aktivitas yang terbatas dan berulang; ditunjukkan dengan
adanya gangguan pada: (minimal 2)
o Gerakan stereotipik dan berulang-ulang – (menggunakan objek atau bicara)
o Pola perilaku ritualistik, rutinitas yang kaku tanpa mempedulikan keadaan.
o Ketertarikan yang sangat terbatas pada objek tertentu
o Respon yang berlebihan atau justru kurang terhadap input sensorik (respon
yang tidak semestinya terhadap bunyi tertentu, tidak menyukai perbedaan suhu
udara, menyentuh atau menghidu objek secara berlebihan)
 Gejala-gejala ini harus mengganggu fungsi sosial (atau akademik)
 Gejala-gejala ini harus ada pada periode awal perkembangan. Walau mungkin baru
muncul setelah kebutuhan sosial melebihi kapasitas yang dimiliki.
 Gejala-gejala ini tidak dapat sesuai dengan gangguan intelektual atau global
developmental delay.

10. Diagnosis Banding

 Global developmental delay


 Gangguan intelektual
 Gangguan komunikasi pragmatis sosial
 Gangguan perkembangan bahasa – speech delayed
 Gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH)
 Gangguan pendengaran
 Sindrom Landau-Kleffner
 Sindrom Rett
10
 Gangguan reactive attachment
 Gangguan kecemasan
 Obsessive-compulsive disorder10

Dalam praktek sehari-hari ASD seringkali memiliki gejala yang tumpang tindih
dengan GPPH dan communication disorder - speech delayed. Dimana pada penderita speech
delayed sendiri harus dipastikan ada tidaknya gangguan pendengaran, retardasi mental atau
kurang stimulasi.

Persamaan ASD dengan GPPH sebagai berikut: 11

1. Gangguan konsentrasi
2. Tak mampu menunggu giliran
3. Meminta sesuatu dengan cara non verbal
4. Kurang peduli dengan lingkungan
5. Bila marah sulit ditenangkan

Perbedaan antara ASD, GPPH dan speech delayed11

ASD GPPH Speech Delayed


Stimulasi Maju lambat dan sulit Maju bertahap Maju bertahap
Objek bermain Ingin terus sama Berganti terus Berganti bila
sudah bosan
Bila diarahkan Sangat sulit Sulit Mudah
Reaksi Sering aneh Kadang aneh Wajar
Emosi – marah Sangat sulit diredakan Sulit diredakan Mudah diredakan
Sosialisasi Tidak mau Ingin tetapi ditolak teman Tidak
Gangguan perilaku Sering menyimpang Kadang-kadang Tidak ada
Persepsi sensorik Menolak dibelai Kadang mau dibelai Senang dibelai
Pengobatan Antipsikotik Psikostimulansia Tanpa obat

11. Penatalaksanaan 12
Penderita autisme memperlihatkan lingkup gejala gangguan dalam interaksi sosial,
komunikasi, serta gangguan pola perilaku.9 Gangguan ini akan mempengaruhi kualitas hidup
penderita baik pada saat masih kanak-kanak hingga saat dewasa nanti. Pengelolaan

11
rehabilitasi medik bertujuan meningkatkan kualitas hidup pada anak dengan autisme dalam
bentuk memfasilitasi pengembangan bentuk komunikasi, interaksi sosial, dan mengatasi
gangguan sensorimotor melalui pelatihan yang terstruktur. Program rehabilitasi medik
melibatkan okupasi terapis, fisioterapis, terapis wicara, dan psikologis. Berbagai teknik
dikembangkan untuk terapi autisme, yang menggabungkan keahlian dari terapi-terapi
diatas.13
ASD tidak dapat disembuhkan juga merupakan kondisi kronis yang membutuhkan
penanganan yang menyeluruh. Tatalaksana harus disesuaikan dengan usia serta kebutuhan
mendasar anak.
Tujuan utama tatalaksana ASD adalah memaksimalkan fungsi supaya anak dapat
semandiri mungkin, serta meningkatkan kualitas hidup anak. Tujuan khususnya adalah
sebagai berikut:
 peningkatan fungsi sosial serta kemampuan bermain
 meningkatkan kemampuan komunikasi (baik fungsional dan spontanitas)
 meningkatkan kemampuan adaptasi
 menurunkan perilaku negatif atau non fungsional
 meningkatkan pencapaian akademis serta kemampuan kognitif anak.
Diagnosis dan intervensi dini memiliki potensi mempengaruhi keluaran, terutama
pada aspek perilaku, fungsional dan komunikasi. Terdapat banyak bukti yang mendukung
dimana ketika intervensi dini dilakukan akan mempengaruhi keluaran menjadi lebih
baik.Terdapat bukti yang mendukung dimana intervensi dini akan mengurangi bahkan
mencegah masalah perilaku. Tatalaksana ASD difokuskan pada intervensi perilaku dan
edukasi untuk mengatasi gejala utama dari ASD. Penggunaan obat-obatan dapat dipakai
untuk mengatasi atau mengontrol gejala tetapi tidak untuk mengatasi gangguan utamanya.

Terapi non farmakologis


Dari berbagai macam studi observasi serta kajian sistematik didapati karakteristik
terapi perilaku yang efektif, yaitu sebagai berikut:14
 Rasio guru dengan murid yang tinggi (1:1 atau 1:2)
 Program yang disesuaikan dengan masing-masing anak
 Terapis berpengalaman dalam bekerja dengan anak autis
 Minimal 25 jam per minggu
 Adanya evaluasi serta penyesuaian program

12
 Kurikulum yang terfokus pada peningkatan perhatian, imitasi, komunikasi, bermain
serta interaksi sosial
 Dapat diprediksi serta terstruktur
 Lingkungan belajar mengajar yang kondusif
 Adanya transisi dari satu program ke program lainnya
 Keterlibatan keluarga
 Adanya analisis fungsional pola perilaku
 Pengamatan detil serta adanya modifikasi program menyesuaikan kebutuhan anak
Intervensi yang diberikan dapat menggunakan kurikulum berbasis ABA (Applied
Behavior Analysis), Structured Teaching (termasuk metode Treatment and Education of
Autistic and related Communication-handicapped Children [TEACCH] model), dan atau
model berbasis perkembangan seperti Developmental Individual Difference [DIR
atauFloortime]. Belum ada bukti metode mana yang terbukti lebih baik antara satu dengan
lainnya.15
Anak dengan ASD mendapatkan keuntungan dari intervensi bahasa terutama bila
diaplikasikan dalam banyak keadaan serta dalam kegiatan sehari-hari. Terdapat banyak
metode seperti penggunaan intervensi bahasa tradisional, berbasis perilaku, menggunakan
alat bantu visual dan banyak metode lainnya. Belum ada penelitian yang dapat
menyimpulkan metode mana yang lebih baik.

Okupasi terapi
Okupasi terapi dapat membantu meningkatkan fungsi motorik halus serta
meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap lingkungan. Terapi integrasi sensorik yang juga
dilakukan okupas terapis, dapat diberikan untuk menenangkan anak terhadap input sensorik
tertentu atau sebaliknya meningkatkan respon terhadap input sensorik tertentu. Terapi
integrasi ini sangat baik bila digabungkan dengan terapi perilaku serta edukasi yang sifatnya
menyeluruh.

Terapi perilaku
Intervensi perilaku yang paling banyak dipelajari adalah Applied Behavioral Analysis
(ABA). Di Indonesia metode ini sering disebut dengan metode Lovaas, sesuai dengan nama
penemunya.Prinsip terapi ABA adalah proses yang disebut ”operant conditioning”, yaitu
bahwa consequence memiliki pengaruh yang kuat dan dapat diperkirakan terhadap perilaku.
Suatu consequence yang memperkuat perilaku disebut reinforcer (imbalan), misalnya
13
makanan, sentuhan, pelukan, pujian atau aktivitas yang disukai. bila anak mendapat imbalan
setelah berhasil berperilaku seperti yang diharapkan, maka ia akan cenderung mengulang
perilaku tersebut.

Secara sederhana proses pengajaran ABA adalah:


 A-antecedent: hal yang mendahului perilaku (stimulus/ instruksi)
 B-behavior: perilaku yang terjadi setelah antecedent diberikan (respon)
 C-consequence: akibat yang diterima setelah perilaku terjadi (konsekuensi)
Terapis ABA harus memberi prompt (petunjuk/bantuan) bila perlu supaya anak dapat
mengerti apa yang diharapkan dari mereka dan belajar ketrampilan baru, kemudian secara
bertahap mengurangi bantuan tersebut.
Teknik dasar ABA dilakukan dengan cara:
1. Terapis memberikan instruksi pertama
2. Bila anak berespon salah atau tidak berespon sama sekali, katakan ”tidak”
3. Terapis memberikan instruksi kedua
4. Anak tetap tidak berespon atau tetap salah, katakan kembali ”tidak”
5. Berikan kembali instruksi ketiga, langsung bantu anak berperilaku yang diharapkan
dan segera diikuti dengan konsekuensi positif

Pengajaran aktivitas baru dimulai dengan sistem satu guru satu murid dan satu
ruangan, kemudian bertahap meningkat ke kelompok kecil hingga kelompok besar.
Kemudian anak dicoba dimasukkan dalam suatu kelas pada sekolah umum. Di kelas anak
semula didampingi terapis yang tugasnya antara lain menjembatani instruksi dari guru kepada
anak, dan juga membantu respon anak dengan prompt. Shadow awalnya dekat dengan anak,

14
selanjutnya secara bertahap semakin menjauhkan jarak bersamaan dengan semakin
berkurangnya intensitas dan frekuensi bantuan.
Terapi ABA yang utama adalah kepatuhan, dan bila kepatuhan sudah ada maka akan
mudah memberikan pengarahan perilaku. Bila kepatuhan telah terbina, program awal yang
dijalankan adalah meniru gerakan motorik kasar, bukan semata-mata agar anak dapat
melakukan gerakan motorik yang dimaksud (seperti tepuk tangan ke atas, dll), namun yang
terpenting agar anak memahami konsep tiru, yaitu anak harus melakukan hal serupa seperti
yang dilakukan terapis bila terapis menginstruksikan“tiru”.Anak jugadilatih mengidentifikasi
atau memegang bagian tubuh dan mengikuti perintah sederhana satu tahap. Program ini
ditujukan agar anak dapat mengikuti arahan lisan (auditorik).
Pada tahap berikutnya anak dilatih meniru gerakan motorik halus, gerakan mulut yang
ditujukan sebagai persiapan bicara yaitu dalam hal kekuatan, ketepatan, kecepatan atau
kelancaran. Kemudian terapis melatih untuk menirukan suara sederhana seperti suara vokal a,
i, u, e, o dan berikutnya suku kata, kata dasar, dan akhiran dan kata-kata. Setelah anak bisa
menirukan berbagai kata, maka menggunakan kata-kata tersebut untuk melabel (menyebut
nama-nama benda atau objek). Selanjutnya anak mampu mengetahui dan menguasai secara
reseptif yaitu identifikasi bagian tubuh, benda, gambar, orang-orang terdekat keluarga, warna,
huruf, dan angka.
Berikutnya dilatih membuat kalimat sederhana seperti menjawab pertanyaan sosial
(contoh: siapa namamu, dst), menunjuk benda yang diinginkan sambil melabel (menyebut
nama) benda tersebut. Setelah itu anak dilatih menggabung kata-kata untuk membentuk
kalimat seperti “saya mau kue”.
Selain itu anak juga dilatih menggunakan konsep abstrak yaitu ya atau tidak, kata
depan, kata ganti, lawan kata dan sebelum atau sesudah. Jika mereka telah menguasai konsep
dasar tersebut di atas mereka diajarkan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan
dilibatkan pada percakapan sederhana. Hal yang juga perlu diperhatikan adalah dilakukan
generalisasi dalam hal subyek, obyek dan tempat serta dipraktekkan pada kesempatan-
kesempatan insidental atau secara kebetulan. Dari hasil prosedur yang telah teruji, anak autis
akan berkembang dari tidak bicara hingga akhirnya menguasai banyak kemampuan bicara
seperti anak-anak usia pra sekolah lainnya.16
Terapi ABA dapat memberikan hasil yang sangat baik, namun membutuhkan waktu
dan komitmen. Secara umum direkomendasikan 25-40 jam terapi per minggu oleh tenaga
ahli. Orang tua juga harus mau ikut terlibat dalam melatih anaknya di rumah. Masalah-
masalah ini dapat menghambat keberhasilan terapi ABA. 14
15
Sensorik Integrasi16

Sekarang ini banyak jenis terapi yang diperuntukkan bagi penyandang autisme.
Sering orangtua penyandang autisme tidak memperhatikan kebutuhan dasar anak penyandang
autism. Dimana kebutuhan dasar tersebut akan digunakan dalam menyerap hasil terapi lain
yang akan diserap anak autisme. Kebutuhan dasar tersebut tersebut adalah sensori.Dimana
sebagian besar anak autis mengalami gangguan dan tidak terintegrasi sensorisnya, sehingga
perlu mendapatkan pengintegrasian sensori dengan terapi sensori integrasi.

Pengertian
Pengorganisasian informasi melalui sensori-sensori (sentuhan, gerakan, kesadaran tubuh,
gravitasi, penciuman, pengecapan, penglihatan dan pendengaran) yang sangat berguna untuk
menghasilkan respon bermakna.

Fungsi sensori integrasi


 Mengatur lalu lintas informasi
Otak mengandung semua sensasi-sensasi untuk bergerak, belajar dan berperilaku secara
normal. Otak juga menempatkan, menyortir, dan mengendalikan sensasi-sensasi. Ketika
sensasi mengalir dengan teratur, otak bias menggunakan sensasi-sensasi tersebut untuk
membentuk persepsi, perilaku dan belajar.

Gangguan sensori integrasi


Gangguan sensori terjadi karena otak tidak mampu mengolah input sensori secara efisien. Hal
ini tidak berarti otak mengalami kerusakan tetapi lebih tepat dikatakan terjadi gangguan lalu

16
lintas, otak tidak mampu mengolah informasi yang tepat (Ayres, 1988). Gangguan yang
mungkin terjadi adalah:
1. Intake sensori yang kurang atau terlalu berlebih.
Saat otak terlalu banyak menerima informasi akan terjadi hipersensitifitas atau
hyperresponsiveness sehingga komputer otak kita akan overload, Saat terlalu sedikit
informasi yang diterima otak akan terjadi hiposensitifitas atau hyporresponsiveness
2. Inefisiensi input motorik, bahasa atau input emosional. Otak tidak efisien memproses
peran sensori untuk memproduksi perilaku adaptif.

Proses pengolahan berbagai Respon otomatis, efisien


Mengubah input sensoris
informasi sensoris pada otak terhadap situasi & lingkungan
menjadi sesuatu yang bermakna
manusia tertentu  aman & nyaman

Berbagai Teori Pengertian Sensori Terintegrasi


• Teori Aryes (1972 )
Proses neurologis yang mengatur berbagai sensasi, baik yang berasal dari dalam tubuh
maupun yang berasal dari lingkungan, dan proses ini memungkinkan tubuh kita dapat
bertindak sesuai dengan lingkungan.(Fokus pada sistem vestibular, propioseptif dan
taktil )
• Teori Fisher ( 1991 )
Proses mengatur sensasi dari tubuh dan lingkungan, sehingga memungkinkan tubuh
menghasilkan respon yang sesuai dalam lingkungan
Sensori Integrasi adalah pondasi proses belajar

Komponen Sensori Integrasi (Williamson dan Anzalone , 1996)

17
Registrasi sensoris
•Kewaspadaan; “sesuatu menyentuh saya”
•Ambang & intensitas tertentu
•Anxietas menurunkan ambang sensoris

Orientasi
•Perhatian; “sesuatu menyentuh lengan saya”
•Memilah tingkat kepentingan stimulus sensoris

Interpretasi
•Kualitas: “sebuah kain sutra menyentuh lengan saya dengan lembut ”
•Melibatkan pusat bahasa, memori dan emosi.

Organisasi Respon  Memilih


•Fisik, Emosi atau Kognitif

Eksekusi  Melakukan

Disfungsi Sensori Integrasi


Hiper-hipo atau mixed sensitivitas  Registrasi Sensoris
Hipo-reaktif
 Tidak tanggap terhadap suara yang keras atau tiba-tiba
 Tidak menyadari nyeri akibat benturan, memar, dll
 Tidak ada reaksi terkejut
 Tidak ada perhatian pada lingkungan, orang, ataupun barang
 Tidak pusing walaupun telah berputar cepat
 Respon yang terlambat
Hiper-reaktif
 Terganggu dengan suara tertentu
 Sensitif terhadap cahaya
 Tidak nyaman dengan tekstur tertentu
 Tidak suka bau/rasa tertentu
 Secara irasional menghindari pergerakan atau ketinggian
 Reaksi terkejut yang frekuentif
Kerangka acuan sensori integrasi :
1. Menggunakan aktivitas yang melibatkan beberapa sistem sensori akan lebih
bermanfaat untuk menciptakan respon adaptif anak.
2. Menyediakan kondisi yang memungkinkan anak untuk bermain/beraktivitas
secara mandiri untuk menciptakan respon yang adaptif.

18
3. Biarkan anak aktif, bukan pasif dengan menggerakkan tubuhnya sesuai dengan
keinginan sendiri daripada digerakkan oleh terapis.
4. Menyediakan lingkungan yang sesuai dengan level perkembangannya untuk
menghasilkan respon yang adaptif dan berfungsi untuk memfasilitasi level
perkembagannya,
5. Jika aktifitas bersifat menantang dan dapat dikerjakan oleh anak, dianjurkan
aktivitas yang sesuai dengan level perkembangannya sehingga respon adaptif
yang dicapai akan lebih baik.
6. Anak akan bersifat aktif dan eksploratif jika terapis memberi rasa aman pada
anak.
7. Pemberian umpan balik secara konstan saat terapi diberikan akan mendorong
anak mendapatkan pemahaman apa yang sedang dikerjakan dan apa yang telah
dikerjakannya.
8. Pemberian aktifitas dengan variasi dan perubahan yang terkontrol akan
mendapatkan respon adaptif.

Snoezelen
Snoezelen adalah sebuah aktivitas yang dirancang untuk mempengaruhi SSP melalui
pemberian stimuli yang cukup pada system sensori primer seperti penglihatan, pendengaran,

19
peraba, perasa lidah dan pembau, vestibuler dan proprioseptif dalam rangka mencapai
maksud relaksasi atau aktivasi pada seseorang dengan tujuan memperbaiki kualitas hidupnya.
Lingkungan Snoezelen memberikan stimulasi langsung dan tidak langsung dari
modalitas sensorik dan dapat digunakan secara individu atau sebagai koleksi untuk
memberikan pendekatan sensorik. Peralatan yang disesuaikan dengan tiap-tiap anak autisme
 Stimulasi visual: serat optik semprot, proyektor dengan gambar
 Stimulasi pendengaran ( suara ): kaset relaksasi, getaran suara dari peralatan
musik. Olfactory ( Bau ): Aroma terapi dapat mengurangi tingkat kecemasan..
 Gustatory ( Taste ): Setiap zat makanan yang menyediakan rasa yang berbeda
atau tekstur.
 Stimulasi taktil (Touch): bantal dan kasur dengan vibrasi, kain bertekstur.
 Rangsangan proprioseptif dan vestibular ( Gerakan ):kursi goyang,rocking
horses.
Snoezelen harus dianggap sebagai ' toolbox ' dengan berbagai jenis peralatan sensorik
untuk memenuhikebutuhan sensorik yang berbeda dari orang yang menggunakannya
Fungsi snoezelen :
1. Untuk fungsi relaksasi
2. Fungsi leisure environment pada beberapa anak yang berhasil melakukan aktivitas
selama sesi terapi, snoezelen dapat diberikan sebagai reward. Pada anak yang
yang tidak dapat menikmati mainan-mainan biasa , snoezelen dapat diberikan
untuk media bermain.
3. Untuk fungsi terapi. Anak yang hipoaktif akan difasilitasi untuk mau aktif
berusaha.
4. Untuk memberikan pengalaman sensori pada anak-anak dengan defisit sensori.

Gambar: Snoezelen

20
Terapi Musik
Individu dari segala usia dan semua kemampuan bisa mendapatkan keuntungan dari
terapi musik. Sebelumnya, terapi musik telah digunakan untuk mendukung perkembangan
emosional, kognitif dan sosial di banyak populasi. Terapi musik dapat membantu untuk
mempromosikan kesehatan dengan mengelola stres, meningkatkan memori, dan
meningkatkan komunikasi.
Sebuah studi dari Journal of Music Therapy 2004 menemukan bahwa musik dalam
intervensi yang digunakan dengan anak-anak dan remaja dengan ASD dapat meningkatkan
perilaku sosial, meningkatkan fokus dan perhatian, meningkatkan upaya komunikasi
(vokalisasi, verbalisasi, gerak tubuh, dan kosakata), mengurangi kecemasan, dan
meningkatkan kesadaran tubuh dan koordinasi.
Banyak studi tambahan telah menemukan bahwa anak-anak dan orang dewasa dengan
gangguan spektrum autisme (ASD) merespon dengan baik untuk musik. Seringkali, individu
dengan autisme merespon positif musik untuk mendapatkan perhatian mereka, yang membuat
musik merupakan alat terapi yang potensial.

Terapi Wicara
Karakteristik gangguan bicara dan bahasa pada anak autis: 17
1. Fonologi:
Banyak anak autis tidak bicara atau “mute”, suara tidak keluar, anak
lebih bergumam atau hanya keluar beberapa bunyi.
2. Prosodi:
Anak autis tidak mempunyai variasi nada suara, sehingga nada bicaranya
selalu datar atau kadang-kadang bernada tinggi. Sukar mengatur volume

21
suaranya, tidak tahu kapan mesti merendahkan volume suara, misal saat
membicarakan hal-hal pribadi.
3. Sintaks:
Sering terjadi gangguan pembentukan kata dalam kalimat. Ekolalia terjadi
karena ada kesulitan dalam menemukan kata atau dapat juga karena anak tidak
mengerti kata atau kalimat.
4. Komprehensi:
Hampir selalu terganggu, sehingga sering ditemukan gangguan interpretasi
bahasa. Misalnya kaki gunung diartikan gunung berkaki. Satu kata yang
mempunyai banyak arti mungkin sulit untuk dimengerti oleh mereka.
5. Semantik:
Selalu terganggu pada anak autis. Kemampuan komunikasi fungsional sangat
terbatas. Isi pembicaraan selalu konkrit, tidak ada imajinasi, dan miskin ide
bicara. Sering menggunakan kata ganti orang yang terbalik, misalnya antara
saya dan kamu, menyebut diri sendiri sebagai “kamu”.
6. Pragmatik:
Selalu ditemukan hambatan dalam komunikasi sosialnya, misalnya:
- tidak dapat berbicara secara bergilir (turn taking)
- bicara banyak tanpa mengerti apa yang dibicarakan
- tidak ada kontak mata dengan lawan bicara
- tidak ada gerakan tubuh (gestures)
- terpaku pada pendapatnya sendiri, bicara selalu ritual dan tidak
fleksibel
- sulit memulai pembicaraan
- terus mengulang pertanyaan biarpun telah mengerahui jawabannya atau
mempertahankan topik pembicaraan yang mereka sukai tanpa
mempedulikan lawan bicaranya
- sering bicara sendiri, mengulang potongan kata dari iklan televisi atau
lagu dan mengucapkannya di muka orang lain dalam suasana yang
tidak sesuai.
7. Komunikasi non verbal:
Mereka lebih banyak tidak menggunakan gerakan tubuh untuk
mengekspresikan perasaannya, misal menggelengkan kepala, melambaikan
tangan, dan sebagainya. Biasanya mereka tidak menunjuk atau memakai
22
gerakan tubuh untuk menyampaikan keinginannya, tetapi dengan memegang
tangan orang tuanya untuk dipakai mengambil barang yang dimaksud.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengajarkan bicara adalah:18
1. Faktor Anatomi dan Fisiologi
Pemeriksaan mekanisme mulut dan sekitarnya untuk mengetahui apakah ada
kelainan struktur atau fungsi organ bicara. Pada autisme, umumya secara
anatomis normal.
2. Faktor Psikologis
Tidak ada kontak dengan orang atau benda
Tidak ada minat
Tidak ada / kurang inisiatif
Tidak tahu mengekpresikan keinginannya
Sangat emosional
Lingkungan rumah yang tidak menunjang perkembangan anak
3. Faktor Neurologis
Ada lima saraf otak yang terlibat dalam innervasi musculator untuk bicara,
yaitu nn. V,VII,IX,X,XII
4. Faktor Inteligensi
Faktor ini menentukan cepat lambatnya perkembangan bicara anak, anak yang
memiliki intelegensi normal akan cepat mengolah dan memahami tugas-tugas
yang diberikan, sebaliknya anak yang berada dibawah rata-rata proses
penerimaan berfikir dan pemahamannya memakan waktu yang cukup lama

Program terapi wicara pada anak autis dapat dibagi menjadi 4 tahap: 18
1. Tahap pertama:
Yang harus dilakukan adalah mencapai dahulu kepatuhan, artinya mulai
mampu merespon jika diberikan perintah/tugas. Biasanya seorang anak autisme
yang konsisten memakai metoda ABA (Applied Behavior Analysis) dengan jumlah
jam belajar minimal empat jam perhari akan tercapai dalam 1 – 2 Bulan.
2. Tahap kedua:
Memberikan modalitas bahasa, perlu diketahui kekurangan anak autisme
dalam bahasa adalah :
 Konsep Bahasa
23
 Isi Bahasa
 Penggunaan Bahasa
3. Tahap ketiga:
Penting mengajarkan komunikasi, karena mengajarkan bicara membutuhkan
waktu lama maka mengajarkan komunikasi diutamakan, dengan cara mengajarkan
anak berinisiatif, menyampaikan keinginanya, perasaan, pikiran kepada orang lain.
4. Tahap keempat:
Mengajar bicara. Ada dua aspek yang penting untuk bicara:
1. Aspek sensorik yang meliputi pendengaran, penglihatan dan rabaan
(taktil). Modalitas sensorik ini digunakan sebagai pintu utama untuk
mengolah stimulus dari lingkungan untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuan dalam diri anak.Alat yang digunakan berupa
benda kongkrit yang mana dapat dilihat atau diraba – diproses –
diamati dan dipahami. Kemudian ditingkatkan pada tahap yang lebih
abstrak yakni foto atau gambar sebagai representasi dari obyek tadi.
2. Aspek motorik yang berhubungan dengan neurofisiologis atau saraf
bicara di otak untuk mengatur laring dan alat-alat artikulasi yang
keduanya bertanggung jawab mengeluarkan atau memproduksi suara.
Bicara dapat diajarkan setelah anak memiliki bahasa baik pasif atau ekspresif, berarti
setelah tiga sampai enam bulan terapi. Harus dibedakan mengajar bicara pada anak autisme
yang verbal atau lisan dengan yang non verbal (tidak mampu berbicara lisan). Anak non
verbal, jenis bantuan visualisasi yang efesien adalah dengan PECS (picture exchange
communication symbol) ataupun COMPIC (computer pictograms for communication), yang
baik untuk mengajar bahasa atau komunikasi.
Pada anak yang mampu bicara lisan atau verbal penggunaan PECS/ COMPIC juga
esensial, sebagai jembatan untuk anak belajar bahasa, komunikasi dan bicara, tetapi jika
ujaran spontanitasnya sudah tercapai baik dalam kata – kalimat atau dalam komunikasinya
sehari-hari, PECS/ COMPIC dapat ditinggalkan.
Tujuan terapi pada anak autisme adalah memfasilitasi pengembangan komunikasi,
interaksi sosial, dan mengatasi gangguan sensorimotor melalui pelatihan yang terstruktur.
Dalam latihan terstruktur, proses mengajarkan komunikasi pada anak dengan autisme melalui
tahapan-tahapan sebagai berikut:18
1. Menyamakan (matching)

24
Dalam konsep ini anak diajarkan untuk memasangkan benda/gambar/simbol, tujuannya
adalah agar anak paham bahwa suatu benda/gambar/simbol yang diberikan kepadanya
mempunyai makna tertentu
2. Identifikasi
Pada tahap kedua ini, anak diajari agar tahu nama benda/gambar/simbol. Anak berespon
dengan memegang, mengambil, atau menunjuk benda/gambar/simbol sesuai dengan
nama yang disebutkan oleh terapis.
3. Ekspresi
Anak diminta menjawab pertanyaan tentang nama benda/gambar yang telah dipahami
tadi dengan cara menyebutkannya (melabel) atau menunjuk simbol (bila anak belum bisa
berkomunikasi verbal).
Dalam latihan bicara, kita tidak dapat mengharapkan anak mendapat perkembangan
yang optimum bila hanya mengandalkan latihan selama sesi terapi oleh terapis wicara. Orang
tua perlu diberi pengertian dan motivasi agar turut berpartisipasi secara aktif dalam melatih
anak di rumah.
Untuk orang tua, langkah yang perlu diperhatikan adalah: 18
1. Tiru dan tambahkan
Anak meniru suara/ gerakan ibu, dan ibu menambahkan kata/ gerakan baru. Misalnya ibu
mengajarkan kata “baju” sambil memegang bajunya.
2. Interpretasikan
Ibu menginterpretasi apa yang diinginkan anak dengan menggunakan kata-kata dan/atau
tindakan. Contohnya anak menunjuk lubang di celananya sambil mengeluarkan suara
“oh, oh”, lalu ibu dengan tanggap mengatakan “oh ada LUBANG...LUBANG yang besar
di celana ya”. Dengan demikian anak tahu bahwa kita memahaminya, dan ibu dapat
memberikan informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat.
3. Perluas
Sejalan dengan berkembangnya pemahaman anak, topik pembicaraan diperluas untuk
menambah wawasan dan kemampuannya.

Peran orangtua
Intervensi dengan keterlibatan orang tua sangat membantu proses interaksi anak
dengan lingkungannya, meningkatkan perkembangan, kepuasan orang tua, memotivasi dan
sangat baik untuk kesehatan mental.Walaukeluaran maksimalnya belum diketahui,
keterlibatan orang tua merupakan hal penting yang sangat mendasar.
25
Terapi Farmakologis
Terapi perilaku harus dimaksimalkan terlebih dahulu sebelum penggunaan obat-
obatan, juga harus dipertimbangkan keuntungan dan kerugian dari obat yang akan digunakan.
Pemantauan rutin juga harus dilakukan untuk memastikan efikasi serta efek samping obat.
Bila anak dengan ASD disertai dengan gejala inatensi dan hiperaktivitas obat yang
disarankan adalah metilfenidat, dan alfa agonis (level 2A). Bila didapati adanya perilaku
agresif dan mencederai diri sendiri, obat yang disarankan adalah risperidone (level 2A).
Untuk perilaku repetitif dan adanya gangguan kecemasan, obat yang disarankan adalah
fluoxetine atau SSRI (Selective serotonin re-uptake inhibitors) lainnya sebagai lini pertama.
Untuk gejala depresi disarankan penggunaan obat SSRI atau SNRI (serotonin norepinephrine
reuptake inhibitor)sebagai lini pertama.Penanganan kejang pada anak ASD sama dengan
penanganan kejang pada penderita non ASD. Bila terdapat gangguan tidur (sulit tidur,
restlessness, sering terbangun) dapat dipertimbangkan penggunaan obat melatonin.19

12. Prognosis
Hingga saat ini autisme belum dapat disembuhkan, namun masalah yang dihadapi
anak ASD dapat dikurangi dengan pendekatan terapi multidisipliner yang komprehensif.
Prognosis umumnya ditentukan berat ringannya gejala, tingginya intelegensia, dan umur saat
diagnosis. Bila gejala ringan, kecerdasan cukup, dan/atau makin muda saat terdiagnosis,
prognosis lebih baik.

13. Kesimpulan
Autism Spectrum Disorder – ASD merupakan gangguan perkembangan yang
kompleks gangguan pada interaksi sosial, komunikasi verbal – non verbal, disertai adanya
tanda pola perilaku yang terbatas dan berulang. Diagnosis autisme ditegakkan berdasarkan
kriteria diagnosis DSM V. Penanganan anak autis memerlukan intervensi multidisipliner baik
dari bidang neurologi anak, pediatri sosial, jiwa anak serta rehabilitasi medik.
Tatalaksana utama pada anak ASD adalah terapi non medikamentosa, bila dalam
pengamatan tidak didapati kemajuan dapat dipertimbangkan terapi farmakologis sesuai gejala
yang mengganggu. Tim rehabilitasi medik baik fisioterapis, okupasi terapis, terapis wicara
serta psikolog dapat berperan dalam memfasilitasi pengembangan komunikasi, interaksi
sosial, dan mengatasi gangguan sensorimotor melalui pelatihan yang terstruktur.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Yusuf E. Autisme masa kanak. Medan: PS Psikologi FK USU; 2003.


2. Margaretha. Perubahan Diagnosa Klinis Autisme dalam DSM V. Psikologi Forensik dan
Psikopatologi. http://psikologiforensik.com/2013/09/14/perbahan-deiagnosa-klinis-autisme-
dalam-dsm-v/. Published 2013. Accessed July 10, 2016.
3. Disorders NIoDaOC. Communication Problems in Children with Autism Spectrum Disorder.
http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/Pages/Communication-Problems-in-Children-with-
Autism-Spectrum-Disorder.aspx. Accessed October 10, 2013.
4. Association AP, Force APAD-T. Diagnostic and statistical manual of mental disorders : DSM-5.
5th ed. Washington, D.C.: American Psychiatric Association; 2013.
5. American Psychiatric Association., American Psychiatric Association. Task Force on DSM-IV.
Diagnostic and statistical manual of mental disorders : DSM-IV-TR. 4th ed. Washington, DC:
American Psychiatric Association; 2000.
6. WHO. Chapter V: Mental and behavioural disorders. International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems 10th Revision (ICD-10).
http://apps.who.int/classifications/icd10/browse/2010/en#/F84.0. Published 2010.
Accessed 10 Oktober, 2013.
7. Augustine M. Terminology, epidemiology, and pathogenesis of autism spectrum disorder.
http://www.uptodate.com/contents/terminology-epidemiology-and-pathogenesis-of-
autism-spectrum-disorder. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
8. Judarwanto W. Jumlah Penderita Autis di Indonesia. Autism Spectrum Disorder.
https://klinikautism.com/2015/09/06/jumlah-penderita-autis-di-indonesia. Published 2015.
Updated 2015. Accessed July 12, 2016.
9. Hartono B. Autism: Etiology and Pathology Pelatihan Rehabilitasi Medik pada Autisme.
Semarang: Instalasi Rehabilitasi Medik - RSUP dr. Kariadi; 2002.
10. Augustine M. Clinical features of autism spectrum disorder.
http://www.uptodate.com/contents/terminology-epidemiology-and-pathogenesis-of-
autism-spectrum-disorder. Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
11. Yusuf I. Kriteria Diagnosis Autisme dan Problematikanya. Pelatihan Rehabilitasi Medik pada
Autisme. Semarang: Instalasi Rehabilitasi Medik RSUP dr. Kariadi; 2002.
12. Augustine M. Diagnosis of Autism Spectrum Disorders.
http://www.uptodate.com/contents/diagnosis-of-autism-spectrum-disorder. Published
2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
13. Soebadi R. Peranan rehabilitasi medik pada autisma. In: Tohamuslim A, Pandji T, Moeliono
M, editors. Pertemuan Ilmiah Tahunan II 2003 4-6 September; Bandung PERDOSRI. p. 83-91.
14. Puspita D. Terapi applied behavior analysis yang menyenangkan bagi anak ASD. Konferensi
Nasional Autisme I; 2003 2-4 Juli 2003; Jakarta: PPDSKJI, IDAI, PERDOSSI. p. 133-149.
15. Weissman L, Bridgemohan C. Autism spectrum disorder in children and adolescents:
Behavioral and educational interventions. http://www.uptodate.com/contents/autism-
spectrum-disorder-in-children-and-adolescents-behavioral-and-educational-interventions.
Published 2013. Accessed 10 Oktober, 2013.
16. E Yack SS, P Aquilla. Building Bridges Through Sensory Integration. 2nd ed. Las Vegas:
Sensory Resources; 2002.
17. Sipala Y. Mengajar wicara pada penyandang autisme. Konferensi nasional autisme I; 2003 2-
4 Juli 2003; Jakarta: PPDSKJI, IDAI, PERDOSSI.
18. Sjah S, Fadhilah S. Membantu anak ASD berkomunikasi secara efektif. Konferensi Nasional
Autisme I; 2003 2-4 Juli 2003; Jakarta: PPDSKJI, IDAI, PERDOSSI. p. 213-220.
19. Weissman L, Bridgemohan C. Autism spectrum disorder in children and adolescents:
Pharmacologic interventions. http://www.uptodate.com/contents/autism-spectrum-

27
disorder-in-children-and-adolescents-pharmacologic-interventions. Published 2013.
Accessed 10 Oktober, 2013.

28

You might also like