Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi Regional/ Lokal

Anestesi regional merupakan anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia
tanpa menimbulkan kehilangan kesadaran. Anestesi regional dibagi menjadi dua yaitu :1

 Blok sentral meliputi blok spinal, epidural, dan kaudal.


 Blok perifer misalnya anestesi topikal dan infiltrasi lokal.

Jenis blok sentral yang dilakukan antara lain :


 Anestesi Spinal
Anestesi spinal (intratekal) didapatkan dengan menyuntikkan obat anestesi lokal secara
langsung ke adalam cairan serebrospinalis di dalam ruang subarakhnoid. Jarum spinal
hanya dapat diinsersikan di bawah lumbal 2 dan di atas vertebra sakralis 1. Batas atas ini
dikarenakan adanya ujung medula spinalis dan batas bawah dikarenakan penyatuan
vertebra sakralis yang tidak memungkinkan dilakukan insersi. Anestesi lokal biasanya
diberikan dalam bolus tunggal.5

 Anestesi Epidural
Anestesi epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi lokal ke dalam rongga
potensial di luar duramater. Rongga ini dimulai dari perbatasan kranioservikal pada C1
sampai membrana sakrokoksigea di mana secara teoritis anestesi epidural dapat dilakukan
di setiap daerah tersebut.
Dalam praktik, anestesi epidural dilakukan apda tempat di dekat akar saraf yang
menginervasi daerah pembedahan, misalnya epidural lumbal untuk operasi daerah pelvis
dan ekstremitas bawah, dan epidural thorakal untuk operasi daaerah abdomen atas. Injeksi
obat anestesi lokal dapat berupa bolus tunggal atau dengan kateter untuk injeksi
intermitten atau infus kontinyu. Untuk membantu mengidentifikasi rongga epidural, dapat
digunakan teknik loss of resistance ataupun hanging drop.5

2
Tabel 1. Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural
Anestesi spinal Anestesi epidural
Tempat insersi Hanya vertebra lumbal (di Sakral, lumbal, thorak,
bawah L2/3) dan servikal
Tempat injeksi Ruang subarakhnoid (LCS) Ruang epidural
Dosis obat Kecil Besar
Onset Cepat Lebih lambat
Blok motorik Kuat Sedang
Komplikasi Henti jantung, PDPH, spinal Intoksikasi lokal
tinggi, total spinal anestetik, hematom
epidural
Analgesia Tidak Ya, dengan kateter
postop

Obat anestesi lokal dibagi menjadi dua golongan berdasarkan struktur kimianya, yaitu
ester-amide dan amide-amide.1

Tabel 2. Penggolongan Anestetik Lokal, Potensi, dan Durasi1

Golongan Potensi Durasi


Ester-amide
 Prokain (Novocaine) 1 Singkat
 Kokain 2 Menegah
 Tetrakain (Pantocaine) 16 Panjang
Amide-amide
 Mepivakain (Carcocaine, Isocaine) 2 Menegah
 Prilokain (Citanest) 3 Menegah
 Lidokain(Xylocaine) 4 Menegah
 Etidokain (Duranest) 16 Panjang
 Bupivakain (Marcaine) 16 Panjang

3
 Ropivakain 16 Panjang
 Levobupivakain 16 Panjang

Perbedaan penting antara anestetik lokal ester dan amid adalah efek samping yang
ditimbulkan dan mekanisme metabolisme metabolitnya, di mana golongan ester kurang stabil
dalam larutan (prokain, ametokain), lebih mudah dipecah oleh kolinesterase plasma, waktu paruh
sangat pendek sekitar 1 menit. Sedangkan obat anestesi golongan amid sedikit dimetabolisir dan
cenderung terakumulasi dalam plasma. Ikatan amid akan dipecah di hepar sehingga dapat
merugikan penderita penyakit hepar berat. Bentuk amid lebih stabil dan larutan dapat disterilkan
dengan autoklaf. Obat anestesi golongan amide-amide lebih luas didistribusikan dalam jaringan
daripada golongan ester-amide.1 Contoh obat golongan ini antara lain : lidokain, mepivakain,
bupivakain, etidokain, dan ropivakain.

Tabel 3. Dosis Anestetik Lokal untuk Infiltrasi dan Blok Saraf1

Obat Konsentrasi Durasi Dosis max


Prokain (Novocaine) 2-4 % 0,5 jam 1000 mg
Lidokain (Xylocaine) 1-2 % 1-2 jam 500 mg
Mepivakain (Carbocaine) 1-2 % 1-2 jam 500 mg
Tetrakain (Pantocaine) 0,1-0,25 % 2-3 jam 75 mg
Kloroprokain (Nesacaine) 1-2 % 1000 mg
Piperokain (Metycaine) 1-2 % 750 mg
Heksilkain (Cyclaine) 1-2 % 500 mg
Prilokain (Citanest) 1-2 % 500 mg
Bupivakain (Marcaine) 0,5 % 5-7 jam 200 mg
Etidokain (Duranest) 0,5-1% 4-6 jam 200 mg

Terdapat tiga macam anestesi lokal yang sering dipakai di Indonesia yaitu Prokain,
Lidokain, dan Bupivakain.1

4
Tabel 4. Perbedaan antara Prokain, Lidokain, dan Bupivakain1

Prokain Lidokain Bupivakain


Golongan ester-COO- amide-CNH- amide-CNH-
Onset 2 menit 5 menit 15 menit
Durasi 30-45 menit 45-90 menit 2-4 jam
Metabolisme Plasma Hepar Hepar
Dosis max 12 mg/kg BB 6 mg/kg BB 2 mg/kg BB
Potensi 1 3 15
Dosis 1 3 10

2.1.1 Mekanisme Kerja

Infiltrasi anestetik lokal di sekitar saraf, menyebabkan keluarnya Ca2+ dari reseptor dan
anestetik lokal akan menempati reseptor tersebut sehingga terjadi blokade gerbang Na+ dan
depresi kecepatan induksi, sehingga tidak dapat mencapai nilai potensial dan tidak terjadi
potensial aksi.1

2.1.2 Farmakokinetik

2.1.2.1 Konstanta disosiasi (pKa) anestetik lokal1

Konstanta disosiasi atau pKa adalah nilai pH di mana bentuk ionisasi dan non ionisasi
dari anestetik lokal tersebut berada dalam jumlah yang seimbang, dengan demikian kurang dari
separuh anestetik lokal berada dalam bentuk lipid soluble nonionized pada pH 7,4. Sebagai
contoh pada pH 7,4 hanya 5% tetrakain yang tetap berada dalam bentuk tidak terionisasi. Bentuk
nonionized ini menentukan terjadinya difusi. Lingkungan asidosis di sisi penyuntikan misalnya
pada infeksi jaringan akan menaikkan bentuk ionisasi dari obat dan keadaan ini akan
menurunkan kualitas anestesi lokal.
Kelarutan dalam lemak menunjukkan potensi intrinsik anestetik lokal, karena 90%
membran saraf adalah lemak.

5
Onset obat diartikan sebagai kemampuan difusi nonionized lipid soluble form melewati
membran saraf. Anestetik lokal dengan pKa mendekati pH fisiologis, onsetnya lebih cepat
karena rasio bentuk ionized menjadi optimal.
Anestetik lokal juga bisa digunakan untuk terapi aritmia, misalnya prokain dan lignokain.
Dapat menembus sawar darah otak, berdepolarisasi cepat dan repolarisasi pada fokus epileptik
sangat sensitif, sehingga lignokain dapat digunakan untuk terapi status epileptikus. Konsentrasi
lebih tinggi akan menghambat neuron-neuron sentral, mengakibatkan depresi pusat pernapasan
diikuti oleh pusat-pusat lainnya.
Anestetik lokal memiliki efek venodilatasi, kecuali kokain. Infiltrasi ke daerah inflamasi
tidakmenghasilkanefek anestetik yang optimal, karena jaringan yang inflamasi tersebut
keasamannya meningkat, di mana pH nanah sekitar 5, sehingga akan menurunkan aktivitas
anestetik lokal.
Tabel 5. pKa Anestetik Lokal1

Anestetik Lokal pKa


Benzocaine 7.5
Mepivacaine 7.7
Lidocaine 7.8
Etidocaine 7.9
Prilocaine 7.9
Ropivacaine 8.1
Bupivacaine 8.1
Tetracaine 8.4
Cocaine 8.6
Dibucaine 8.8
Procaine 8.9
Chloroprocaine 9.1
Hexilcaine 9.3
Procainamide 9.3
Piperocaine 9.8

6
2.1.2.2 Absorpsi dan Distribusi

Absorpsi anestetik lokal dari tempat penyuntikan ke dalam sirkulasi sistemik dipengaruhi oleh: 1

1. Tempat penyuntikan dan dosis,


2. Penggunaan epinefrin
3. Karakteristik farmakologik

Golongan amide-amide lebih luas didistribusikan dalam jaringan daripada golongan ester-amide.
Konsentrasi dalam plasma ditentukan oleh kecepatan distribusi jaringan dan klirens obat.

Absorpsi anestetik lokal ke berbagai jaringan adalah sebagai berikut:

 Kulit : tidak tembus sehingga tidak efektif digunakan pada kulit yang utuh
 Subkutan : tergantung vaskularisasi, kecuali bila ditambahkan adrenalin
 Mata : efektif dapat menembus konjungtiva, dapat diguakan sebagai obat tetes atau
suntikan sub konjungtiva
 Membran mukosa : absorpsi pada mukosa hidung, faring, trakea, bronkus, dan alveolus
secepat intravena.
 Vasokonstriktor : tidak memperlambat absorpsi pada mukosa
 Esofagus : pada mukosa esofagus, absorpsinya tidak bermakna.
 Saluran cerna dan uretra : cepat absorpsinya
 Kanalis spinalis : pada dosis anestesi spinal, absorpsi ke darah berjalan ;ambat, level
dalam darah jarang terdeteksi. Vasokonstriktor memperlambat absorbs dan meningkatkan
durasi anesthesia sampai 60%.
 Ruang epidural : menyebar secara difus sepanjang saraf melewati foramen intra vertebra.
Absorpsi mirip seperti jaringan sub kutan dan penambahan vasokonsttriktor akan
memperlambat absorpsi.

Distribusi1

 Ekstraksi oleh paru : paru mampu mengekstraksi anestetik lokal seoerti lidokain,
bupivakain, dan prilokain dari sirkulasi.

7
 Transfer plasenta : distribusi dalam jaringan akhirnya akan mencapai plasenta. Ikatan
protein plasma mempengaruhi kecepatan dan derajat difusi obat melewati plasenta.
Bupivakain yang mempunyai ikatan protein tinggi (95%) dibanding lidokain yang hanya
70%. Golongan ester karena cepat terhidrolisa, menjadi tidak bermakna saat melewati
plasenta.

2.2 Obat Anestesi Lokal

2.2.1 Bupivakain HCl

Bupivacaine HCl merupakan serbuk kristal putih yang larut dalam 95% etanol, air, dan
larut sedikit di kloroform atau aseton. Secara kimia obat ini merupakan anestesi lokal golongan
aminoacyl. Obat ini homolog dengan mepivacaine dan secara kimia mirip lidocaine. Bupivacaine
HCl tersedia dalam sediaan cairan isotonik dengan atau tanpa epinefrin.5 Bupivacaine HCl tanpa
epinefrin yang terlarut dalam air memiliki komposisi sebagai berikut :

Tabel 6. Komposisi Bupivakain HCl5

Konsentrasi Bupivakain HCl mg/mL Sodium Klorida mg/mL


0,25 % 2,5 8,6
0,5 % 2 8,1
0,75 % 7 7,6

Indikasi Anestesi Regional Spinal atau Epidural1

Tindakan anestesi lokal diindikasikan pada keadaan-keadaan sebagai berikut :

 Setiap prosedur di mana anestesi lokal akan menghasilkan kondisi operasi yang
nyaman/memuaskan. Misalnya operasi “trans urethral resection prostat”. Bila dilakukan
anestesi regional, maka perdarahan menjadi tidak terlalu banyak. Bila ada komplikasi
seperti hiponatermi akibat tertariknya ion Na+ oleh air irrigator dapat cepat dikenali
dengan adanya penurunan kesadaran, mual, dan kejang.

8
 Penyakit paru, di mana posisi operasi masih dapat ditolerir oleh pasien. Misalnya operasi
tumor paha depan pada pasien paru yang sikap terpaksanya tidur setengah duduk (agar
napas tidak sesak).
 Riwayat reaksi yang tidak baik dengan anestetik umum. Kadang-kadang pasien setelah
anestesi umum dapat mengalami muntah-muntah cukup lama, pulih sadar terlambat, dan
lainnya.
 Antisipasi masalah-masalah dengan rumatan jalan napas atau intubasi. Misal pasien
dengan adhesi leher-dada akibat sikatrik pasca luka bakar. Dilakukan pemotongan
perlekatan dengan anestesi lokal dulu, baru intubasi dan anestesi umum.
 Operasi darurat tanpa puasa yang adekuat, hal ini dimaksudkan untuk menghindari
aspirasi isi lambung (bila terjadi muntah, pasien masih dalam keadaan sadar sehingga
dapat melakukan proteksi).

Kontraindikasi Anestesi Regional

1. Kontraindikasi absolut/mutlak :
 Pasien menolak anestesi lokal
 Infeksi didekat atau pada tempat suntikan
 Terapi antikoagulan
 Riwayat alergi terhadap anestetik lokal
 Gangguan perdarahan
 Pemakaian adrenalin pada anestetik lokal untuk pasien yang sedang menjalani
terapi trycyclic anti depressant
 Tidak diperbolehkan pada organ end arteri (jari, penis) karea akan terjadi nekrosis
akibat vasokonstriksi.
2. Kontraindikasi relatif :
 Pasien kurang paham tentang anestesi regional atau kurang kooperatif
 Pasien dengan kelainan neurologis

Khusus untuk anestesi spinal dan epidural, terdapat kontraindikasi absolut, antara lain :

 Infeksi di dekat atau pada area suntikan


 Terapi anti koagulan

9
 Gangguan perdarahan
 Hipovolemi dan syok
 Terapi beta blocker
 Septikemia
 Curah jantung yang terbatas
 Tekanan intra kranial yang meningkat

Kontraindikasi relatif dari anestesi spinal dan epidural, antara lain :

 Terapi MAOI
 Penyakit neurologi aktif
 Penyakit jantung iskemik
 Skoliosis
 Riwayat operasi laminektomi

2.3 Analgetik

2.3.1 Fentanil

Fentanil merupakan opioid agonis turunan fenil piperidin yang kekuatannya 75-125 kali
lebih kuat dibanding morfin. Fentanil bekerja pada mesensefalon. Pada balans anestesi, fentanil
diberikan dengan loading dose 2-8 µg/kg BB iv dialjutkan dengan infus kontinyu 0,5-3 µg/kg
BB/jam. Sebagai obat tunggal untuk menimbulkan surgikal anestesia diperlukan dosis 50-150
µg/kg BB iv. Dosis 2-10 µg iv dipakai untuk mencegah gejolak kardiovaskuler pada tindakan
laringoskopi intubasi.6

Onset : 30 detik

Puncak : 5 menit

Kelarutan : Dalam lemak, menembus sawar darah otak

Metabolisme : Hepar

10
Ekskresi : Empedu dan urin

Waktu paruh : 185-219 menit

Fentanil dapat menyebabkan ketergantungan, euforia, perlambatan EKG, miosis, mual


dan muntah yang tergantung pada dosis. Efek pada jantung minimal. Fentanil juga dapat
menyebabkam depresi respirasi dan kekakuan otot rangka khususnya otot thorak, abdomen, dan
ekstremitas terutama pada pemberian intravena cepat.6

Fentanil tidak mempengaruhi aliran darah paru dan hepar. Meningkatkan tekanan intra bilier
dengan singkat. Fentanil tidak menyebabkan pelepasan histamin.6

2.3.2 Tramadol

Tramadol merupakan analgetik yang bekerja di sentral yang memiliki afinitas sedang
pada reseptor mu (µ) dan afinitasnya lemah pada reseptor kappa dan delta opioid.7 Obat
golongan opioid sendiri telah banyak digunakan sebagai obat anti nyeri kronis dan nyeri non-
maligna.8 Tramadol tergolong dalam opioid sintetik lemah, sehingga dapat berikatan dengan
reseptor morfin pada tubuh manusia.9
Tramadol dapat diberikan secara oral, i.m. atau i.v. dengan dosis 50-100 mg dan dapat
diulang setiap 6-7 jam dengan dosis maksimal 400 mg per hari.10,11 Kadar terapeutik dalam darah
berkisar antara 100-300 ng/ml. Obat ini dapat melakukan penetrasi pada sawar darah dengan
baik, sehingga konsentrasi tramadol dapat dihitung pada cairan serebrospinal.12
Tramadol 3mg/kg yang diberikan secara oral, i.m. atau i.v. efektif pada pengobatan nyeri
sedang hingga berat. Penurunan yang nyata keadaan menggigil setelah operasi yang telah tercatat
pada pasien yang ditangani dengan obat ini dan efek depresi pernafasan yang minimal
merupakan keuntungan dari obat ini. Tramadol memperlambat pengosongan lambung, meskipun
efeknya kecil dibandingkan dengan opioid lain.13 Selain itu, tramadol juga dapat menyebabkan
sensasi berputar, konstipasi, pusing, dan penurunan kesadaran. Penggunaan tramadol sebaiknya
dihentikan bila didapatkan gejala seperti kejang, nadi lemah, dan kesulitan bernafas.14
Dibandingan dengan analgesik NSAID, Tramadol lebih aman untuk digunakan karena
tidak memiliki efek yang serius terhadap pencernaan, sistem koagulasi, dan ginjal. Obat ini
bermanfaat pada penanganan nyeri kronik karena obat ini tidak menyebabkan toleransi atau
adiksi dan tidak berkaitan dengan toksisitas organ utama atau efek sedatif yang signifikan. Obat

11
ini juga bermanfaat pada pasien yang mengalami intoleransi pada obat anti inflamasi non steroid.
Kerugian tramadol antara lain interaksinya dengan antikoagulan koumadin dan kejadian kejang.
Oleh karena itu pada pasien epilepsi, penggunaan tramadol sebaiknya dihindari. Selanjutnya efek
samping tramadol yang paling sering terjadi adalah meningkatnya insidensi mual dan muntah
pada pasien perioperatif.15

2.3.3 Ketorolak

Ketorolak merupakan salah satu obat analgetik dari golongan NSAID yang merupakan
suatu grup yang terdiri dari berbagai struktur kima yang memiliki potensi sebagai antiinflamasi,
antipiretik dan analgetik. Obat dengan golongan jenis ini bekerja melalui jalur siklooksigenase
yang berdampak pada terjadinya pencegahan sensitisasi nosiseptor perifer karena terjadinya
hambatan biosintesis prostaglandin.13
Ketorolak dapat diberikan secara oral, intramuskular atau intravena. Pemberian secara
intratekal dan epidural tidak dianjurkan. Obat ini memiliki potensi yang besar dalam
menanggulangi nyeri berat akut, namun memiliki aktivitas anti inflamasi yang sedang bila
diberikan secara intra muscular dan intra vena. Ketorolak dapat diberikan sebagai analgesik
pasca operatif atau sebagai kombinasi bersama opioid.13
Cara kerja ketorolak adalah dengan cara menghambat sintesis prostaglandin secara
reversibel di perifer tanpa mengganggu reseptor opioid pada sistem pusat. Ketorolak akan
menghambat nyeri dan reaksi inflamasi, sehingga akan mempercepat proses penyembuhan luka.
Obat ini juga memiliki potensi untuk menghambat produksi tromboksan platelet dan agregasi
platelet. Ketorolak secara kompetitif menghambat kedua isoenzim COX, COX-1 dan COX-2
dengan potensi yang berbeda, untuk menghasilkan efek farmakologis antiinflamasi, analgesi, dan
antipiretik.16,17 Sama seperti NSAID lain, obat ini tidak dianjurkan diberikan untuk wanita hamil,
menghilangkan nyeri persalinan wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia kurang dari 4
tahun, gangguan perdarahan dan bedah tosilektomi.7
Keuntungan dari penggunaan analgesik ketorolak adalah obat ini tidak menyebabkan
depresi ventilasi atau kardiovascular. Selain itu, ketorolak hanya memiliki sedikit atau tidak ada
efek pada dinamika saluran empedu, menjadikan obat ini lebih berguna sebagai analgesik pada
pasien spasme gangguan empedu.13

12
Sifat analgetik ketorolak setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolak yang sama dengan
12 mg morfin atau 100 mg petidin.7 Sifat antipiretik pada ketorolak tergolong rendah.
Penggunaan secara oral tidak terlalu bermanfaat pada nyeri akut pasca operasi terutama dengan
dosis maksimal sebesar 30 mg/hari.18 Waktu paruh pada orang yang masih muda sekitar 3,5 – 9,2
jam, dengan ekskresi lewat ginjal sekitar 91,4% sedangkan lewat empedu 6,1%. Pemberian dosis
ketorolak yang dianjurkan adalah 3-4 kali/hari dengan dosis maksimal im/iv tidak lebih dari 120
mg/hari.7

2.3. Striktur Uretra

Striktur uretra adalah penyempitan lumen uretra akibat adanya jaringan parut dan
kontraksi. Penyakit ini lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita karena adanya perbedaan
panjang uretra. Uretra pria dewasa berkisar antara 23-25 cm, sedangkan uretra wanita sekitar 3-5
cm.19 Karena itulah uretra pria lebih rentan terserang infeksi atau terkena trauma dibanding
wanita. Beberapa faktor resiko lain yang diketahui berperan dalam insiden penyakit ini,
diantaranya adalah pernah terpapar penyakit menular seksual, ras orang Afrika, berusia diatas 55
tahun, dan tinggal di daerah perkotaan.20 Striktur dapat terjadi pada semua bagian uretra, namun
kejadian yang paling sering pada orang dewasa adalah di bagian pars bulbosa-membranasea,
sementara pada pars prostatika lebih sering mengenai anak-anak.21 Infeksi yang paling sering
menimbulkan striktur uretra adalah infeksi oleh kuman gonokokus, yang sempat menginfeksi
uretra sebelumnya. Trauma yang dapat menyebabkan striktur uretra adalah trauma tumpul pada
selangkangannya (straddle injury), fraktur tulang pelvis, atau cedera pasca bedah akibat insersi
peralatan bedah selama operasi transurethral, pemasangan kateter, dan prosedur sitoskopi.19,22
Striktur kongenital sangat jarang terjadi. Striktur ini disebabkan karena penyambungan yang
tidak adekuat antara ureta anterior dan posterior, tanpa adanya faktor trauma maupun
peradangan.23

Proses radang akibat trauma atau infeksi pada uretra akan menyebabkan terbentuknya
jaringan parut pada uretra. Jaringan parut ini berisi kolagen dan fibroblast, dan ketika mulai
menyembuh jaringan ini akan berkontraksi ke seluruh ruang pada lumen dan menyebabkan
pengecilan diameter uretra, sehingga menimbulkan hambatan aliran urine. Karena adanya
hambatan, aliran urine mencari jalan keluar di tempat lain dan akhirnya mengumpul di rongga

13
periuretra. Karena ekstravasasi urine, daerah tersebut akan rentan terjadi infeksi akan
menimbulkan abses periuretra yang kemudian bisa membentuk fistula uretrokutan (timbul
hubungan uretra dan kulit). Selain itu resiko terbentuknya batu buli-buli juga meningkat, timbul
gejala sulit ejakulasi dan gagal ginjal. Derajat penyempitan lumen uretra dibagi menjadi 3
tingkatan. Termasuk tingkat ringan jika oklusi yang terjadi kurang dari 1/3 diameter lumen,
tingkat sedang jika terdapat oklusi mencapai ½ lumen uretra, dan tingkat berat oklusi lebih dari
½ diameter lumen uretra.19

Diagnosis striktur uretra dapat kita tegakkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang. Gejala penyakit ini mirip seperti gejala penyebab retensi urine tipe
obstruktif lainnya. Diawali dengan sulit kencing atau pasien harus mengejan untuk memulai
kencing namun urine hanya keluar sedikit-sedikit. Gejala tersebut harus dibedakan dengan
inkontinensia overflow, yaitu keluarnya urine secara menetes, tanpa disadari, atau tidak mampu
ditahan pasien. Gejala-gejala lain yang harus ditanyakan ke pasien adalah adanya disuria,
frekuensi kencing meningkat, hematuria, dan perasaan sangat ingin kencing yang terasa sakit.
Jika curiga penyebabnya adalah infeksi, perlu ditanyakan adanya tanda-tanda radang seperti
demam atau keluar nanah.19,21 Pemeriksaan fisik dilakukan lewat inspeksi dan palpasi. Pada
inspeksi kita perhatikan meatus uretra eksterna, adanya pembengkakan atau fistel di sekitar
penis, skrotum, perineum, dan suprapubik. Kemudian kita palpasi apakah teraba jaringan parut
sepanjang uretra anterior pada ventral penis, jika ada fistel kita pijat muaranya untuk
mengeluarkan nanah di dalamnya. Pemeriksaan colok dubur berguna untuk menyingkir
diagnosis lain seperti pembesaran prostat.19

Pemeriksaan penunjang berguna untuk konfirmasi diagnosis dan menyingkirkan


diagnosis banding. Uroflowmetri adalah alat untuk mengetahui pancaran urine secara obyektif.
Derasnya pancaran diukur dengan membagi volume urine saat kencing dibagi dengan lama
proses kencing. Kecepatan pancaran normal adalah 20 ml/detik. Jika kecepatan pancaran kurang
dari 10 ml/detik menandakan adanya obstruksi. Namun pemeriksaan foto Retrograde Uretrogram
dikombinasikan dengan Voiding Cystouretrogram tetap dijadikan standar pemeriksaan untuk
menegakan diagnosis. Radiografi ini dapat menentukan panjang dan lokasi dari striktur.
Penggunaan ultrasonografi (USG) cukup berguna dalam mengevaluasi striktur pada pars
bulbosa. Dengan alat ini kita juga bisa mengevaluasi panjang striktur dan derajat luas jaringan

14
parut, contohnya spongiofibrosis. Ini membantu kita memilih jenis tindakan operasi yang akan
dilakukan kepada pasien. Kita dapat mengetahui jumlah residual urine dan panjang striktur
secara nyata, sehingga meningkatkan keakuratan saat operasi. Pemeriksaan yang lebih maju
adalah dengan memakai uretroskopi dan sistoskopi, yaitu penggunaan kamera fiberoptik masuk
ke dalam uretra sampai ke buli-buli. Dengan alat ini kita dapat melihat penyebab, letak, dan
karakter striktur secara langsung.19,22,24 Pencitraan menggunakan magneting resonance imaging
bagus dilakukan sebelum operasi karena dapat mengukur secara pasti panjang striktur, derajat
fibrosis, dan pembesaran prostat. Namun alat ini belum tersedia secara luas dan biayanya sangat
mahal sehingga jarang digunakan. Pemeriksaan laboratorium seperti urinalisis atau cek darah
lengkap rutin dikerjakan untuk melihat perkembangan pasien dan menyingkirkan diagnosis
lain.23,24

Penanganan Striktur Uretra

Tujuan dari pengobatan striktur uretra adalah kesembuhan permanen, tidak hanya
sembuh sementara. Pengobatan terhadap striktur uretra tergantung pada lokasi striktur,
panjang/pendek striktur, dan kedaruratannya. Contohnya, jika pasien datang dengan retensi urine
akut, secepatnya lakukan sistostomi suprapubik untuk mengeluarkan urine dari buli-buli.
Sistostomi adalah tindakan operasi dengan membuat jalan antara buli-buli dan dinding perut
anterior. Jika dijumpai abses periuretra, kita lakukan insisi untuk mengeluarkan nanah dan
berikan antibiotika.19 Jika lokasi striktur di uretra pars bulbosa dimana terdapat korpus
spongiosum yang lebih tebal daripada di uretra pars pedularis, maka angka kesuksesan prosedur
uretrotomi akan lebih baik jika dikerjakan di daerah tersebut. Penanganan konvensional seperti
uretrotomi atau dilatasi masih tetap dilakukan, walaupun pengobatan ini rentan menimbulkan
kekambuhan. Hasil sebuah studi mengindikasikan 80% striktur yang ditangani dengan internal
uretrostomi mengalami kekambuhan dalam 5 tahun berikutnya. Pemasangan stent adalah
alternatif bagi pasien yang sering mengalami rekurensi striktur. Namun tidak menutup
kemungkinan untuk terjadi komplikasi seperti hiperplasia jaringan uretra sehingga menimbulkan
obstruksi sekunder.23,24 Beberapa pilihan terapi untuk striktur uretra adalah sebagai berikut:

15
1. Dilatasi uretra

Ini merupakan cara yang paling lama dan paling sederhana dalam penanganan striktur uretra.
Direkomendasikan pada pasien yang tingkat keparahan striktur masih rendah atau pasien yang
kontra indikasi dengan pembedahan. Dilatasi dilakukan dengan menggunakan balon kateter atau
busi logam dimasukan hati-hati ke dalam uretra untuk membuka daerah yang menyempit.19
Pendarahan selama proses dilatasi harus dihindari karena itu mengindikasikan terjadinya luka
pada striktur yang akhirnya menimbulkan striktur baru yang lebih berat. Hal inilah yang
membuat angka kesuksesan terapi menjadi rendah dan sering terjadi kekambuhan.23

2. Uretrotomi interna
Teknik bedah dengan derajat invasive minim, dimana dilakukan tindakan insisi pada
jaringan radang untuk membuka striktur. Insisi menggunakan pisau otis atau sasche. Otis
dikerjakan jika belum terjadi striktur total, sedangkan pada striktur lebih berat pemotongan
dikerjakan secara visual menggunakan kamera fiberoptik dengan pisau sasche.
Tujuan uretrotomi interna adalah membuat jaringan epitel uretra yang tumbuh kembali di
tempat yang sebelumnya terdapat jaringan parut. Jika tejadi proses epitelisasi sebelum kontraksi
luka menyempitkan lumen, uretrotomi interna dikatakan berhasil. Namun jika kontraksi luka
lebih dulu terjadi dari epitelisasi jaringan, maka striktur akan muncul kembali. Angka kesuksesan
jangka pendek terapi ini cukup tinggi, namun dalam 5 tahun angka kekambuhannya mencapai
80%.23 Selain timbulnya striktur baru, komplikasi uretrotomi interna adalah pendarahan yang
berkaitan dengan ereksi, sesaat setelah prosedur dikerjakan, sepsis, inkontinensia urine, dan
disfungsi ereksi.20

3. Pemasangan stent
Stent adalah benda kecil, elastis yang dimasukan pada daerah striktur. Stent biasanya
dipasang setelah dilatasi atau uretrotomi interna. Ada dua jenis stent yang tersedia, stent
sementara dan permanen. Stent permanen cocok untuk striktur uretra pars bulbosa dengan
minimal spongiofibrosis. Biasanya digunakan oleh orang tua, yang tidak fit menjalani prosedur
operasi. Namun stent permanen juga memiliki kontra indikasi terhadap pasien yang sebelumnya
menjalani uretroplasti substitusi dan pasien straddle injury dengan spongiosis yang dalam. Angka

16
rekurensi striktur bervariasi dari 40%-80% dalam satu tahun. Komplikasi sering terjadi adalah
rasa tidak nyaman di daerah perineum, diikuti nyeri saat ereksi dan kekambuhan striktur.23

4. Uretroplasti
Uretroplasti merupakan standar dalam penanganan striktur uretra, namun masih jarang
dikerjakan karena tidak banyak ahli medis yang menguasai teknik bedah ini. Sebuah studi
memperlihatkan bahwa uretroplasti dipertimbangkan sebagai teknik bedah dengan tingkat invasif
minimal dan lebih efisien daripada uretrotomi.25 Uretroplasti adalah rekonstruksi uretra terbuka
berupa pemotongan jaringan fibrosis. Ada dua jenis uretroplasti yaitu uretroplasti anastomosis
dan substitusi. Uretroplasti anastomosis dilakukan dengan eksisi bagian striktur kemudian uretra
diperbaiki dengan mencangkok jaringan atau flap dari jaringan sekitar. Teknik ini sangat tepat
untuk striktur uretra pars bulbosa dengan panjang striktur 1-2 cm. Uretroplasti substitusi adalah
mencangkok jaringan striktur yang dibedah dengan jaringan mukosa bibir, mukosa kelamin, atau
preputium. Ini dilakukan dengan graft, yaitu pemindahan organ atau jaringan ke bagian tubuh
lain, dimana sangat bergantung dari suplai darah pasien untuk dapat bertahan. roses graft terdiri
dari dua tahap, yaitu imbibisi dan inoskulasi. Imbibisi adalah tahap absorsi nutrisi dari pembuluh
darah paien dalam 48 jam pertama. Setelah itu diikuti tahap inokulasi dimana terjadi
vaskularisasi graft oleh pembuluh darah dan limfe. Jenis jaringan yang bisa digunakan adalah
buccal mucosal graft, full thickness skin graft, bladder epithelial graft, dan rectal mucosal graft.
Dari semua graft diatas yang paling disukai adalah buccal mucosal graft atau jaringan
mukosa bibir, karena jaringan tersebut memiliki epitel tebal elastis, resisten terhadp infeksi, dan
banyak terdapat pembuluh darah lamina propria. Tempat asal dari graft ini juga cepat sembuh
dan jarang mengalami komplikasi.25 Angka kesuksesan sangat tinggi mencapai 87%. Namun
infeksi saluran kemih, fistula uretrokutan, dan chordee bisa terjadi sebagai komplikasi pasca
operasi.23

5. Prosedur rekonstruksi multiple


Adalah suatu tindakan bedah dengan membuat saluran uretra di perineum. Indikasi
prosedur ini adalah ketidakmampuan mencapai panjang uretra, bisa karena fibrosis hasil operasi
sebelumnya atau teknik substitusi tidak bisa dikerjakan. Ketika terjadi infeksi dan proses radang
aktif sehingga teknik graft tidak bisa dikerjakan, prosedur ini bisa menjadi pilihan operasi.

17
Rekonstruksi multiple memang memerlukan anestesi yang lebih banyak dan menambah lama
rawat inap pasien, namun berguna bila pasien kontra indikasi terhadap teknik lain. Karena
rentannya kekambuhan dan komplikasi pasca operasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan
para ahli medis agar operasi berjalan baik. Pertama saat pre-operasi kita perkirakan panjang
striktur dan derajat fibrosis yang terjadi. Gunakan pemeriksaan radiologi seperti yang disebutkan
di atas. Analisis urine dan kultur harus dikerjakan sebelum operasi, karena urine harus steril saat
kita melakukan intervensi, untuk mencegah infeksi. Riwayat seksual pasien juga harus
ditanyakan. Saat operasi, menjaga sfingter dan inervasinya dengan cara memotong jaringan
konektif antara sfingter dan uretra berguna dalam mencegah kontinesia dan gangguan ereksi
pasca operasi. Eksisi seluruh jaringan parut, mencegah mobilisasi uretra yang berlebih, dan
drainase urine sebelum operasi adalah hal-hal penting yang harus diperhatikan untuk
meningkatkan angka kesuksesan terapi.21 Antibiotik diberikan pada pasien yang dicurigai
mengalami infeksi saluran kemih dan jenisnya diberikan sesuai dengan hasil tes kepekaan. Jika
hasil kepekaan steril, maka dapat diberikan antibiotik profilaksis seperti ampicillin atau
cephalosporin.

18

You might also like