Rumaysho

You might also like

Download as doc, pdf, or txt
Download as doc, pdf, or txt
You are on page 1of 234

CANTIK ISTRI ATAU BIDADARI SURGA?

Banyak hadits menerangkan bahwa istri kita di surga tetap lebih baik dari
hurul ‘iin (bidadari surga). Walaupun hadits yang membicarakan hal tersebut
dho’if.

Namun para ulama menerangkan bahwa istri kita lebih utama dari bidadari di
surga.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin pernah ditanya, apakah istri


shalihah di dunia akan menjadi bidadari di surga?

Beliau rahimahullah menjawab,

Istri kita di dunia ketika masuk surga akan lebih baik dari bidadari surga,
bahkan istri kita sendiri yang paling disenangi dan paling disukai suaminya.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa rombongan
yang pertama kali masuk surga berbentuk semisal bulan di malam purnama.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ditanya pula, apakah kecantikan bidadari surga sama
dengan istri kita sebagaimana disebut dalam Al-Quran?

Jawab Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, yang nampak, istri kita
lebih baik daripada bidadari surga dilihat dari kecantikannya. Demikian
disebut dalam Fatawa Nur ‘ala Ad-Darb 2/4 sebagaimana penomoran Asy-
Syamilah

Namun yang perlu diperhatikan bahwa manusia itu bertingkat-tingkat di


akhirat. Penduduk surga pun bertingkat-tingkat dalam kenikmatan yang
diperoleh.

Semoga Allah memudankan kita memasuki surga dan dimudahkan pada


jalan-jalan menuju surga.

Referensi:
Fatwa Al-Islam Sual wa Jawab no. 218912: https://islamqa.info/ar/218912
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
JUMLAH ISTRI DI SURGA

Jumlah istri mau berapa di surga kelak?

Kita lihat dahulu, ada kekhususan bagi syuhada (yang mati syahid di medan
perang), akan mendapatkan 72 bidadari. Dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib Al-
Kindi radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صاَلل رَيِنغدفرَر دلرَه دفىِ أدشودل ددنفدعلة دوديِدرىَ دمنقدعددهرَ دمدن انلدجشندة دورَيِدجاَرَر دمنن دعدذا د‬
‫ب‬ ‫خ د‬‫ت د‬ ‫ا دس ت‬ ‫دللِششدهيِدد دعنندد ش د‬
َ‫ضرَع دعدلِىِ درنأدسده دتاَرَج انلدودقاَدر انلديِاَرَقودترَة دمنندهاَ دخنيِرر دمدن التدننديِا‬
‫انلدقنبدر دوديِأندمرَن دمدن انلدفدزدع الدنكدبدر دورَيِو د‬
‫دودماَ دفيِدهاَ دورَيِدزشورَج انثدندتنيِدن دودسنبدعيِدن دز نودجةة دمدن انلرَحودر انلدعيِدن دورَيِدششفرَع دفىِ دسنبدعيِدن دمنن أددقاَدردبده‬
“Bagi orang yang mati syahid di sisi Allah enam keutamaan: (1) ia diampuni
tatkala pertama kali darahnya muncrat; (2) ia melihat tempat duduknya di
surga; (3) ia diselamatkan dari siksa kubur; (4) ia diamankan tatkala hari
kebangkitan; (4) kepalanya diberi mahkota kewibawaan, satu berlian yang
menempel di mahkota itu lebih baik dari pada dunia seisinya; (5) ia dinikahkan
dengan 72 gadis dengan matanya yang gemulai; (6) ia diberi hak memberi
syafaat 70 orang dari kerabatnya.” (HR. Ahmad, 4: 131; Tirmidzi, no. 1663;
Ibnu Majah, no. 2799. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini
hasan)

Bayangkan lagi hadits berikut ini.

ِ‫صرَل دفيِ انلديِ نودم إددلى‬


‫ إدشن الشررَجدل لدديِ د‬: ‫صرَل إددلىِ دندساَدئدناَ دفيِ انلدجشندة ؟ دفدقاَدل‬
‫ِهلل دهنل دن د‬،‫ا‬
‫دقنيِدل ديِاَ دررَس نودل د‬
‫دماَدئدة دعنذدرادء‬
Ada yang bertanya pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah,
apakah kita akan berhubungan dengan bidadari-bidadari kita di surga?”
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Seseorang di surga mampu
berhubungan dengan 100 bidadari dalam sehari.” (HR. Abu Nu’aim dalam
Shifat Al-Jannah, 1: 169; Al-Bazzar dalam musnadnya, 3525; Ath-Thabrani
dalam Ash-Shaghir, 2: 12. Dikatakan bahwa sanad hadits ini shahih oleh
Syaikh Al-Albani dalam Silsihah Al-Ahadits As-Shahihah, no. 367)

Hadits di atas bukan menunjukkan jumlah istri 100, namun kekuatannya


bisa menjimak (menyetubuhi) 100 bidadari dalam sehari.
Juga kalau dilihat dari hadits lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan mengenai
penduduk surga yang paling rendah kedudukannya dan paling terakhir
terselamatkan dari neraka,

‫ل الشدذىَ أدنحديِاَ د‬
َ‫ك دلدنا‬ ‫رَثشم ديِندرَخرَل دبنيِدترَه دفدتندرَخرَل دعدلِنيِده دز نودجدتاَهرَ دمدن انلرَحودر انلدعيِدن دفدترَقولددن انلدحنمرَد د ش د‬
‫ت‬َ‫ك – دقاَدل – دفديِرَقورَل دماَ أ رَنعدطدىِ أددحرد دمنثدل دماَ أ رَنعدطيِ ر‬‫دوأدنحديِاَدناَ دل د‬
“Kemudian ia masuk rumahnya dan masuklah menemuinya dua biadadari
surga, lalu keduanya berkata: Segala puji bagi Allah yang telah
menghidupkanmu untuk kami dan yang menghidupkan kami untukmu. Lalu
laki-laki itu berkata: “Tidak ada seorangpun yang dianugerahi seperti yang
dianugerahkan kepadaku.” (HR. Muslim, no. 188)

Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri inilah, Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan,

‫دوالشدذيِ ديِنظدهر أدشن انلرَمدراد أدشن أددقلل دماَ لدرَكلُل دوا د‬


‫حد دمننرَهنم دز نودجدتاَدن‬
“Yang nampak dari hadits tersebut, setiap orang itu minimal punya dua istri
(di surga).” (Fath Al-Bari, 6: 325)

Hal ini dikuatkan pula dengan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صرَقودن دفيِدهاَ دولد‬َ‫ِهلل لد ديِنب ر‬، ‫صودردة انلدقدمدر دلنيِدلِدة انلدبنددر‬ َ‫صودررَترَهنم دعدلِىِ ر‬ َ‫أدشورَل رَزنمدرلة دتلِدرَج انلدجشندة ر‬
‫ب دوانلدف ش‬
‫ِهلل دودمدجاَدمرَررَهرَم‬، ‫ضدة‬ ‫طرَهنم دمدن الشذده د‬ َ‫ِهلل أدنمدشاَ ر‬، ‫ب‬
َ‫ِهلل آدنديِرَترَهنم دفيِدهاَ الشذده ر‬، ‫طودن‬َ‫طودن دولد ديِدتدغشو ر‬ َ‫خ ر‬
‫ديِنمدت د‬
‫حلد دمننرَهنم دز نودجدتاَدن‬ ‫ِهلل دولدرَكلُل دوا د‬، ‫ك‬ َ‫ِهلل دودرنشرَحرَهرَم انلدمنس ر‬، َ‫الدلرَشوةر‬
“Rombongan yang pertama kali masuk surga berbentuk rembulan di malam
purnama. Mereka tidak akan meludah, tidak akan berdahak, dan tidak akan
buang air di dalamnya. Bejana-bejana dan sisir-sisir mereka terbuat dari emas
dan perak. Tempat bara api mereka terbuat dari kayu wangi. Keringat mereka
adalah minyak kesturi. Setiap mereka memiliki dua istri.” (HR. Bukhari, no.
3245 dan Muslim, no. 5065)

Kalau istri atau bidadari banyak di surga, bagaimana bisa melayaninya?

Dari Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,
‫إدشن الشررَجدل دمنن أدنهدل انلدجشندة رَيِنعدطىِ قرَشودة دماَدئدة دررَجلل دفىِ الدنكدل دوالتشنر د‬
‫ب دوالششنهدودة دوانل د‬
‫جدماَدع‬
“Sungguh seorang lelaki penduduk surga diberi kekuatan sebagaimana 100
orang lelaki, dalam hal makan, minum, syahwat dan jima’.“(HR. Ahmad, 4:
371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Itulah mengapa di surga disebut sangat sibuk sebagaimana dalam firman


Allah Ta’ala,

َ‫ب انلدجشندة انلديِ نودم دفيِ ر‬


‫شرَغلل دفاَدكرَهودن‬ ‫إدشن أد ن‬
‫صدحاَ د‬
“Sungguh para penduduk surga itu dalam kesibukan yang menyenangkan.”
(QS. Yasin: 55)

Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Sa’id bin Al-Musayyib, ‘Ikrimah, Al-Hasan Al-
Bashri, Qatadah, Al-A’masy, Sulaiman At-Taimi, Al-Auza’i, semuanya
menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah mereka sibuk menggauli
para perawan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Kartsir, 6: 347)

Kesimpulan: Berapa jumlah istri di surga?

Tentunya jika seorang mukmin menghendaki lebih dari dua bidadari maka
akan dikabulkan oleh Allah berdasarkan keumuman firman Allah,

‫دودلرَكنم دفيِدهاَ دماَ دتنشدتدهيِ أدننفرَرَسرَكنم دودلرَكنم دفيِدهاَ دماَ دتشدرَعودن‬


“Di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta.” (QS. Fusshilat: 31)

Juga firman Allah,

َ‫س دودتدلِتذ النعرَيِرَن دوأدننرَتنم دفيِدها‬ ‫ب دوأدنكدوا ل‬


َ‫ب دودفيِدهاَ دماَ دتنشدتدهيِده الننفرَ ر‬ ‫ف دمنن دذده ل‬ َ‫رَيِدطاَ ر‬
‫ف دعدلِنيِدهنم دب د‬
‫صدحاَ ل‬
(٧١) ‫دخاَلدرَدودن‬
“Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala dan di
dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap
(dipandang) mata dan kamu kekal di dalamnya.” (QS. Az-Zukhruf : 71)

Apa saja yang dihasratkan dan diminta oleh penghuni surga maka akan
dikabulkan oleh Allah.
Dari ‘Abdullah bin Qais, dari bapaknya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫طولرَدهاَ دستتودن دميِلة لدنلِرَم نؤدمدن دفيِدهاَ أدنهرَلِودن‬ َ‫حددلة رَمدجشودفلة ر‬


‫إدشن لدنلِرَم نؤدمدن دفىِ انلدجشندة لددخنيِدمةة دمنن لرَ نؤلرَدؤلة دوا د‬
َ‫ضا‬ َ‫ف دعلِدنيِدهرَم انلرَم نؤدمرَن دفلد ديِدرىَ دبنع ر‬
‫ضرَهنم دبنع ة‬ َ‫طو ر‬َ‫ديِ ر‬
“Bagi seorang mukmin di surga sebuah kemah dari sebuah mutiara yang
berongga, panjangnya 60 mil, dan bagi seorang mukmin dalam kemah mutiara
tersebut istri-istrinya, sang mukmin berkeliling mengitari mereka sehingga
sebagian mereka tidak melihat sebagian yang lain.” (HR. Bukhari, no. 3243
dan Muslim, no. 7337)

Semoga Allah memudahkan mendapatkan bidadari di surga, dan Allah


memudahkan bagi kita jalan untuk memasukinya.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


YANG LEBIH PARAH SETELAH SYIRIK

Ibnu Hazm rahimahullah berkata:


“Tidak ada dosa yang dinilai PARAH di sisi Allah SETELAH DOSA SYIRIK
selain dua dosa:
1- MENINGGALKAN SHALAT FARDHU DENGAN SENGAJA hingga keluar
waktunya.
2- Membunuh seorang mukmin atau mukminah dengan sengaja tanpa jalan
yang benar.”

‫ل ذنب عند ا عز وجل بعد الشرك أعظم من شيئين‬ :


‫تعمد ترك صلةا فرض حتى يخرج وقتها‬: ‫أحدهما‬.
[‫]ابن حزم‬.‫قتل مؤمن أو مؤمنة عمدا بغير حق‬:‫الثاني‬

(Dinukil dari kanal @almunajjid)

Kita kadang tak sadar dengan perkara syirik, masih saja diri kita terjerumus
di dalamnya begitu juga orang sekitar kita. Karena syirik ada yang berupa
amalan hati seperti RIYA’ dan TAWAKKAL pada selain Allah. Begitu pula
banyak di antara kita yang meremehkan perkara shalat. Lihatlah banyak yang
mengaku muslim namun shalatnya sering bolong-bolong.

INGATLAH!
Syirik tidak akan diampuni jika dibawa mati. Lebih parah lagi, sudah
terjerumus syirik ditambah lagi meninggalkan shalat.

Wallahul musta’an, hanya Allah tempat berlindung.

Moga Allah memberikan kita taufik dan hidayah supaya dijauhkan dari DOSA
SYIRIK dan DOSA MENINGGALKAN SHALAT.

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal


PAMER STATUS FACEBOOK “ALHAMDULILLAH, SUDAH BANGUN
TAHAJUD”, BAIKKAH?

Bolehkah membuat status Facebook, “Alhamdulillah, sudah bangun tahajud”?


Apa itu termasuk riya’ atau tidak ikhlas?

Patut dipahami, amalan yang terbaik adalah amalan yang dilakukan


sembunyi-sembunyi kalau memang amalan tersebut yang terbaik adalah
disembunyikan. Dan itulah tanda ikhlas, di antara tandanya adalah berusaha
menyembunyikan amalan shalih.

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

‫ب انلدعنبدد الشتدقشىِ انلدغدنشىِ انلدخدفلىِد‬


‫ح ت‬ ‫إدشن ش د‬
‫ا رَيِ د‬
“Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya
selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim, no.
2965. Lihat Syarh Shahih Muslim, 18: 84). Makna mengasingkan diri di sini
adalah mengasingkan amalannya agar tidak terlihat yang lainnya.

Coba perhatikan balasan untuk mereka yang lambungnya jauh dari tempat
tidurnya karena sibuk shalat malam,

‫( دفدل‬16) ‫جدع ديِندرَعودن درشبرَهنم دخ نوةفاَ دودطدمةعاَ دودمشماَ دردزنقدناَرَهنم رَيِنندفرَقودن‬ ‫دتدتدجاَدفىِ رَجرَنورَبرَهنم دعدن انلدم د‬
‫ضاَ د‬
(17) ‫س دماَ أ رَنخدفديِ دلرَهنم دمنن قرَشردة أدنعرَيِلن دجدزاةء دبدماَ دكاَرَنوا ديِنعدمرَلِودن‬
‫دتنعدلِرَم دننف ر‬
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada
Rabbnya dengan penuh rasa takut dan harap, serta mereka menafkahkan apa
apa rezki yang Kami berikan. Tak seorangpun mengetahui berbagai nikmat
yang menanti, yang indah dipandang sebagai balasan bagi mereka, atas apa
yang mereka kerjakan.” (QS. As-Sajdah: 16-17)

Allah membalas dengan surga yang belum pernah dilihat oleh mata dan belum
pernah didengar oleh telinga. Kenapa dibalas dengan sesuatu yang tidak
pernah kita lihat? Hal itu dikarenakan shalat malam itu dilakukan diam-diam.
Karenanya Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan,

‫أخفىِ القوم أعماَل فأخفىِ ا تعاَلىِ لهم ماَ ل عيِن رأت ول أذن سمعت‬
“Jika suatu kaum menyembunyikan amalannya, maka Allah akan
menjanjikan pada mereka sesuatu yang mereka tidak pernah memandangnya
dan tidak pernah mendengarnya.” (Tafsir Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkam Al-
Qur’an, Penerbit Dar Al-Fikr, 14: 67)

Ibnul Qayyim juga berkata,

‫تاَمل كيِف قاَبل ماَ اخفوه من قيِاَم اللِيِل باَلجزاء الذيِ اخفاَه لهم مماَ ل تعلِمه نفس‬
“Renungkanlah, bagaimanakah bentuk balasan bagi yang melaksanakan
shalat malam dengan sembunyi-sembunyi, mereka mendapatkan balasan
dengan sesuatu yang jiwa mereka tidak mengetahuinya.”

Ada cerita juga dari Ayyub As-Sikhtiyani bahwasanya ia melakukan shalat


malam semalam penuh, lalu ia sembunyikan amalan tersebut. Ketika datang
Shubuh, ia sengaja mengeraskan suaranya seakan-akan baru bangun pada
waktu tersebut. (Hilyah Al-Auliya’, 3: 8. Dinukil dari Ta’thir Al-Anfas, hlm. 234)
Lihatlah Ayyub, dia shalat semalam suntuk, benar-benar jaga amalannya
jangan sampai diketahui oleh orang lain. Sedangkan kita, baru beramal
sebentar sudah memamerkan amalan dalam status FB kita.

Kalau amalan shalat malam kita disembunyikan, maka akan terhapus dosa
sebagaimana kata Ka’ab Al-Ahbar,

‫من تعبد ل ليِلِة حيِث ل يِراه أحد يِعرفه خرج من ذنوبه كماَ يِخرج من ليِلِته‬
“Siapa yang beribadah pada Allah pada malam hari saat tak seorang pun
melihatnya, maka dosa-dosanya akan keluar sebagaimana ia mau keluar
untuk shalat malamnya.” (Hilyah Al-Auliya’, 5: 383. Dinukil dari Ta’thir Al-
Anfas, hlm. 235)

Mau pamer-pamer status Facebook lagi kalau sudah shalat malam?


Silakan ditimbang-timbang. Moga Allah memberi taufik pada kita untuk
beramal yang ikhlas karena-Nya.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


"KISAH ISTRI SHOLEHAH…" (BERHAK UNTUK DIBACA…!!)

Seorang istri menceritakan kisah suaminya pada tahun 1415 H, ia berkata :

Suamiku adalah seorang pemuda yang gagah, semangat, rajin, tampan,


berakhlak mulia, taat beragama, dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Ia
menikahiku pada tahun 1390 H. Aku tinggal bersamanya (di kota Riyadh) di
rumah ayahnya sebagaimana tradisi keluarga-keluarga Arab Saudi. Aku
takjub dan kagum dengan baktinya kepada kedua orang tuanya. Aku
bersyukur dan memuji Allah yang telah menganugerahkan kepadaku suamiku
ini. Kamipun dikaruniai seorang putri setelah setahun pernikahan kami.

Lalu suamiku pindah kerjaan di daerah timur Arab Saudi. Sehingga ia


berangkat kerja selama seminggu (di tempat kerjanya) dan pulang tinggal
bersama kami seminggu. Hingga akhirnya setelah 3 tahun, dan putriku telah
berusia 4 tahun… Pada suatu hari yaitu tanggal 9 Ramadhan tahun 1395 H
tatkala ia dalam perjalanan dari kota kerjanya menuju rumah kami di Riyadh
ia mengalami kecelakaan, mobilnya terbalik. Akibatnya ia dimasukkan ke
Rumah Sakit, ia dalam keadaan koma. Setelah itu para dokter spesialis
mengabarkan kepada kami bahwasanya ia mengalami kelumpuhan otak. 95
persen organ otaknya telah rusak. Kejadian ini sangatlah menyedihkan kami,
terlebih lagi kedua orang tuanya lanjut usia. Dan semakin menambah
kesedihanku adalah pertanyaan putri kami (Asmaa') tentang ayahnya yang
sangat ia rindukan kedatangannya. Ayahnya telah berjanji membelikan
mainan yang disenanginya…

Kami senantiasa bergantian menjenguknya di Rumah Sakit, dan ia tetap


dalam kondisinya, tidak ada perubahan sama sekali. Setelah lima tahun
berlalu, sebagian orang menyarankan kepadaku agar aku cerai darinya
melalui pengadilan, karena suamiku telah mati otaknya, dan tidak bisa
diharapkan lagi kesembuhannya. Yang berfatwa demikian sebagian syaikh
-aku tidak ingat lagi nama mereka- yaitu bolehnya aku cerai dari suamiku jika
memang benar otaknya telah mati. Akan tetapi aku menolaknya, benar-benar
aku menolak anjuran tersebut.
Aku tidak akan cerai darinya selama ia masih ada di atas muka bumi ini. Ia
dikuburkan sebagaimana mayat-mayat yang lain atau mereka membiarkannya
tetap menjadi suamiku hingga Allah melakukan apa yang Allah kehendaki.

Akupun memfokuskan konsentrasiku untuk mentarbiyah putri kecilku. Aku


memasukannya ke sekolah tahfiz al-Quran hingga akhirnya iapun menghafal
al-Qur'an padahal umurnya kurang dari 10 tahun. Dan aku telah
mengabarkannya tentang kondisi ayahnya yang sesungguhnya. Putriku
terkadang menangis tatkala mengingat ayahnya, dan terkadang hanya diam
membisu.

Putriku adalah seorang yang taat beragama, ia senantiasa sholat pada


waktunya, ia sholat di penghujung malam padahal sejak umurnya belum 7
tahun. Aku memuji Allah yang telah memberi taufiq kepadaku dalam
mentarbiyah putriku, demikian juga neneknya yang sangat sayang dan dekat
dengannya, demikian juga kakeknya rahimahullah.

Putriku pergi bersamaku untuk menjenguk ayahnya, ia meruqyah ayahnya,


dan juga bersedekah untuk kesembuhan ayahnya. Pada suatu hari di tahun
1410 H, putriku berkata kepadaku : Ummi biarkanlah aku malam ini tidur
bersama ayahku. Setelah keraguan menyelimutiku akhirnya akupun
mengizinkannya.

Putriku bercerita :
Aku duduk di samping ayah, aku membaca surat Al-Baqoroh hingga selesai.
Lalu rasa kantukpun menguasaiku, akupun tertidur. Aku mendapati seakan-
akan ada ketenangan dalam hatiku, akupun bangun dari tidurku lalu aku
berwudhu dan sholat –sesuai yang Allah tetapkan untukku-.

Lalu sekali lagi akupun dikuasai oleh rasa kantuk, sedangkan aku masih di
tempat sholatku. Seakan-akan ada seseorang yang berkata kepadaku,
"Bangunlah…!!, bagaimana engkau tidur sementara Ar-Rohmaan (Allah)
terjaga??, bagaimana engkau tidur sementara ini adalah waktu dikabulkannya
doa, Allah tidak akan menolak doa seorang hamba di waktu ini??"

Akupun bangun…seakan-akan aku mengingat sesuatu yang terlupakan…lalu


akupun mengangkat kedua tanganku (untuk berdoa), dan aku memandangi
ayahku –sementara kedua mataku berlinang air mata-. Aku berkata dalam
do'aku, "Yaa Robku, Yaa Hayyu (Yang Maha Hidup)…Yaa 'Adziim (Yang Maha
Agung).., Yaa Jabbaar (Yang Maha Kuasa)…, Yaa Kabiir (Yang Maha Besar)…,
Yaa Mut'aal (Yang Maha Tinggi)…, Yaa Rohmaan (Yang Maha Pengasih)…, Yaa
Rohiim (Yang Maha Penyayang)…, ini adalah ayahku, seorang hamba dari
hamba-hambaMu, ia telah ditimpa penderitaan dan kami telah bersabar, kami
Memuji Engkau…, kemi beriman dengan keputusan dan ketetapanMu
baginya…

Ya Allah…, sesungguhnya ia berada dibawah kehendakMu dan kasih


sayangMu.., Wahai Engkau yang telah menyembuhkan nabi Ayyub dari
penderitaannya, dan telah mengembalikan nabi Musa kepada ibunya…Yang
telah menyelamatkan Nabi Yuunus dari perut ikan paus, Engkau Yang telah
menjadikan api menjadi dingin dan keselamatan bagi Nabi Ibrahim…
sembuhkanlah ayahku dari penderitaannya…

Ya Allah…sesungguhnya mereka telah menyangka bahwasanya ia tidak


mungkin lagi sembuh…Ya Allah milikMu-lah kekuasaan dan keagungan,
sayangilah ayahku, angkatlah penderitaannya…"

Lalu rasa kantukpun menguasaiku, hingga akupun tertidur sebelum subuh.

Tiba-tiba ada suara lirih menyeru.., "Siapa engkau?, apa yang kau lakukan di
sini?". Akupun bangun karena suara tersebut, lalu aku menengok ke kanan
dan ke kiri, namun aku tidak melihat seorangpun. Lalu aku kembali lagi
melihat ke kanan dan ke kiri…, ternyata yang bersuara tersebut adalah
ayahku…

Maka akupun tak kuasa menahan diriku, lalu akupun bangun dan
memeluknya karena gembira dan bahagia…, sementara ayahku berusaha
menjauhkan aku darinya dan beristighfar. Ia barkata, "Ittaqillah…(Takutlah
engkau kepada Allah….), engkau tidak halal bagiku…!". Maka aku berkata
kepadanya, "Aku ini putrimu Asmaa'". Maka ayahkupun terdiam. Lalu akupun
keluar untuk segera mengabarkan para dokter. Merekapun segera datang,
tatkala mereka melihat apa yang terjadi merekapun keheranan.
Salah seorang dokter Amerika berkata –dengan bahasa Arab yang tidak fasih- :
"Subhaanallahu…". Dokter yang lain dari Mesir berkata, "Maha suci Allah
Yang telah menghidupkan kembali tulang belulang yang telah kering…".
Sementara ayahku tidak mengetahui apa yang telah terjadi, hingga akhirnya
kami mengabarkan kepadanya. Iapun menangis…dan berkata, ‫ظا ووهاوو‬ ‫اا اخييررا رحافف ر‬
‫ يووتتتووللى ال ل‬Sungguh Allah adalah Penjaga Yang terbaik, dan Dialah yang
‫صتتالففحييون‬
Melindungi orang-orang sholeh…, demi Allah tidak ada yang kuingat sebelum
kecelakaan kecuali sebelum terjadinya kecelakaan aku berniat untuk berhenti
melaksanakan sholat dhuha, aku tidak tahu apakah aku jadi mengerjakan
sholat duha atau tidak..??

Sang istri berkata : Maka suamiku Abu Asmaa' akhirnya kembali lagi bagi
kami sebagaimana biasnya yang aku mengenalinya, sementara usianya
hampir 46 tahun. Lalu setelah itu kamipun dianugerahi seorang putra,
Alhamdulillah sekarang umurnya sudah mulai masuk tahun kedua. Maha
suci Allah Yang telah mengembalikan suamiku setelah 15 tahun…, Yang telah
menjaga putrinya…, Yang telah memberi taufiq kepadaku dan
menganugerahkan keikhlasan bagiku hingga bisa menjadi istri yang baik bagi
suamiku…meskipun ia dalam keadaan koma…

Maka janganlah sekali-kali kalian meninggalkan do'a…, sesungguhnya tidak


ada yang menolak qodoo' kecuali do'a…barang siapa yang menjaga syari'at
Allah maka Allah akan menjaganya.

Jangan lupa juga untuk berbakti kepada kedua orang tua… dan hendaknya
kita ingat bahwasanya di tangan Allah lah pengaturan segala sesuatu…di
tanganNya lah segala taqdir, tidak ada seorangpun selainNya yang ikut
mengatur…

Ini adalah kisahku sebagai 'ibroh (pelajaran), semoga Allah menjadikan kisah
ini bermanfaat bagi orang-orang yang merasa bahwa seluruh jalan telah
tertutup, dan penderitaan telah menyelimutinya, sebab-sebab dan pintu-pintu
keselamatan telah tertutup…

Maka ketuklah pintu langit dengan do'a, dan yakinlah dengan pengabulan
Allah….
Demikianlah….Alhamdulillahi Robbil 'Aaalamiin (SELESAI…)
Janganlah pernah putus asa…jika Tuhanmu adalah Allah…
Cukup ketuklah pintunya dengan doamu yang tulus…
Hiaslah do'amu dengan berhusnudzon kepada Allah Yang Maha Suci
Lalu yakinlah dengan pertolongan yang dekat dariNya…

(sumber : http://www.muslm.org/vb/archive/index.php/t-416953.html ,
Diterjemahkan oleh Firanda Andirja)
SUDAH PENUHI HAL INI PADA ORANG TUA KITA?

Ada beberapa bentuk berbuat baik pada orang tua mungkin di antara kita
belum memenuhinya dan patut untuk diingatkan:
1. Berbuat baik dan mengabdi pada keduanya dengan JIWA DAN HARTA
selama mereka masih hidup.
2. Memenuhi janji mereka yang belum dipenuhi setelah meninggal dunia.
3. Mendo’akan mereka berdua di SETIAP WAKTU.
4. Memuliakan teman-teman dekat dari orang tua. Dalam hadits disebutkan,
bentuk berbakti yang paling baik adalah menyambung hubungan dengan
teman baik dari bapaknya.

Dari Abu Usaid Malik bin Rabi’ah As-Sa’idi, ia berkata,


“Suatu saat kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ketika itu ada datang seseorang dari Bani Salimah, ia berkata, “Wahai
Rasulullah, apakah masih ada bentuk berbakti kepada kedua orang tuaku
ketika mereka telah meninggal dunia?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, “Iya (masih tetap ada bentuk berbakti pada keduanya, pen.).
(Bentuknya adalah) mendo’akan keduanya, meminta ampun untuk keduanya,
memenuhi janji mereka setelah meninggal dunia, menjalin hubungan
silaturahim (kekerabatan) dengan keluarga kedua orang tua yang tidak pernah
terjalin dan memuliakan teman dekat keduanya.” (HR. Abu Daud no. 5142 dan
Ibnu Majah no. 3664. Hadits ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al-Hakim,
juga disetujui oleh Imam Adz-Dzahabi. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan)

Bentuk durhaka yang sederhana saja yang disebutkan oleh para ulama, coba
perhatikan ungkapan di bawah ini.
“Ketika orang tuamu memandangmu (ingin berbicara padamu, pen.), engkau
malah menoleh pada lainnya.”

Disarikan dari kitab ‘Adab Al-‘Isyrah wa Dzikru Ash-Shuhbah wa Al-Ukhuwah


karya Abul Barakat Badaruddin Muhammad Al-Ghazi (904 – 984 H), hlm. 73.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


BUAH BERBAKTI KEPADA AYAH

Sahabat dekatku (seorang polisi di kota Madinah) bercerita kepadaku kemarin


malam di masjid Nabawi setelah isya, tanggal 19 Desember 2013):

"Pamanku, kakak ayahku adalah seorang yang sangat berbakti kepada


ayahnya. Pada suatu hari –seperti kebiasaannya- ia menyiapkan
sendal/sepatu dan memakaikan sendal ke kedua kaki ayahnya. Namun pada
saat itu, ada sesuatu hal yang lain yang tidak biasa dilakukan oleh pamanku.
Tatkala ia memakaikan kedua sendal/sepatu ke kedua kaki ayahnya,
pamanku terus memandang wajah ayahnya sambil memakaikan kedua
sendalnya. Maka sang ayahpun tertegun, dan berkata bahkan menghardiknya,
"Kenapa engkau memandangku terus?". Maka pamanku –yang tatkala itu
masih muda belia dan belum menikah- berkata : "Wahai ayahanda, aku ingin
puas memenuhi kedua mataku dengan memandang wajahmu…"

Mendengar jawaban pamanku maka sang ayah langsung sujud syukur


seketika itu juga lalu mendoakan agar Allah memberkahi pamanku,
memberkahi hartanya, dan anak keturunannya.

Sekarang pamanku masih hidup, sedangkan ayahku sudah meninggal,


padahal pamanku lebih tua dari ayahku. Pamanku setelah itu menikahi 4
orang wanita, dan dianugrahi 29 anak laki-laki, anak perempuan entah
berapa. Dan rizkinya dilapangkan oleh Allah ta'ala.

Jika pamanku membeli makanan di kios, selalu ia membeli sayuran


berkarton-karton, membeli roti berdos-dos, membeli sesuatu dalam jumlah
yang banyak. Sehingga pemilik kios kaget melihat pamanku, seakan-akan ia
mau menyiapkan makanan untuk orang sekampung?!. Ini semua karena
pamanku adalah keluarga yang sangat besaaar…!

Anak lelaki yang paling kecil seumuran denganku (yaitu sekitar 45 tahunan).
Yang menakjubkan, seluruh anak-anaknya berbakti kepada pamanku".

Demikianlah tuturan sahabatku, mengingatkan kepada kita bahwa berbakti


bukan hanya kepada ibu, ayahpun memiliki hak yang besar untuk kita
berbakti. Semoga Allah menjadikan kita anak-anak yang berbakti, dan
menjadikan anak-anak kita kelak juga berbakti kepada kita.

Oleh : Firanda Andirja


SULITNYA MEMBALAS BUDI BAIK ORANG TUA

Mampukah kita membalas budi orang tua? Terutama ibu kita yang
menanggung kesulitan ketika hamil, melahirkan, menyusui hingga menyapih.
Ada seorang anak yang diceritakan pernah memikul ibunya ketika thowaf
keliling Ka’bah, itu pun belum bisa dikatakan membalas setarik nafas yang ia
keluarkan ketika melahirkan kita. Wallahul musta’an.

Ada dua hadits yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Adabul
Mufrod pada hadits no. 10 dan 11 yang menerangkan bagaimana balas budi
pada orang tua sebagaimana berikut ini.

Tidak Bisa Membalas Budi Orang Tua

Dari Abu Hurairah dari “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau


bersabda,

‫لو يويجفزىِ وولودد ووالفودها إفلل أوين يوفجودها وميملايوركا فويويشتوفريوها فويايعتفقوها‬

“Seorang anak tidak dapat membalas budi kedua orang tuanya kecuali jika dia
menemukannya dalam keadaan diperbudak, lalu dia membelinya kemudian
membebaskannya.” (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam Adabul Mufrod no. 10,
shahih) Lihat Al Irwa’ (1737): [Muslim: 20, kitab Al ‘Itqu, hal 25-26]

Faedah dari hadits di atas:


1- Agungnya hak orang tua dalam Islam, sampai sulit untuk dibalas jasa-jasa
mereka.
2- Jika orang tua adalah seorang budak (hamba sahaya), maka seorang anak
wajib membeli orang tuanya lantas memerdekakannya.
3- Budak dinyatakan merdeka bisa jadi hanya dengan kepemilikan anggota
kerabatnya.
4- Anak tidaklah menunaikan hak orang tua yang menjadi budak hingga ia
memerdekakannya ketika telah membelinya.

Sambil Menggendong Ibu di Punggung


Dari Abi Burdah, ia melihat melihat Ibnu Umar dan seorang penduduk
Yaman yang sedang thawaf di sekitar ka’bah sambil menggendong ibunya di
punggungnya. Orang itu bersenandung,

‫ت فروكاباوها لويم أايذوعار‬


‫إفنني لووها بوفعيياروها ايلامتفذللال – إفين أايذفعير ا‬

Sesungguhnya diriku adalah tunggangan ibu yang sangat patuh.


Apabila tunggangan yang lain lari, maka aku tidak akan lari.

‫ف ايبان اعومور فوأ ووتى ايلوموقاوم فو و‬


‫صللى وريكوعتوييفن ثالم‬ ‫طا و‬‫ٍ ثالم و‬،‫ لو وولو بفوزيفورةةا ووافحودةةا‬: ‫ يا و ايبون اعومور أوتوورافنى وجوزييتاوها ؟ وقاول‬: ‫ثالم وقاول‬
‫ ويا يبون أوفبى اميووسى إفلن اكلل وريكوعتوييفن تاوكفنورافن وما أووماومهاوما‬: ‫وقاول‬

Orang itu lalu berkata, “Wahai Ibnu Umar apakah aku telah membalas budi
kepadanya?” Ibnu Umar menjawab, “Belum, walaupun setarik nafas yang ia
keluarkan ketika melahirkan.” Beliau lalu thawaf dan shalat dua raka’at pada
maqam Ibrahim lalu berkata, “Wahai Ibnu Abi Musa (Abu Burdah),
sesungguhnya setiap dua raka’at (pada makam Ibrahim) akan menghapuskan
berbagai dosa yang diperbuat sesudahnya.” (Dikeluarkan oleh Bukhari dalam
Adabul Mufrod no. 11, shahih secara sanad)

Faedah dari hadits di atas:


1- Dorongan berbakti pada ibu.
2- Besarnya hak orang tua yang mesti dipenuhi oleh anak.
3- Shalat menghapuskan berbagai dosa kecil.
4- Keutamaan thowaf dan shalat di belakang maqam (bebas jejak kaki)
Ibrahim.
5- Sulitnya membalas jasa orang tua walaupun dengan menggendongnya
ketika thowaf, seperti itu belum bisa membalas seluruh jasa mereka.

Jika kita telah melihat kedua hadits di atas bahwa jasa orang tua (terutama
ibu) teramat sulit itu dibalas, lantas bagaimana kita membalas jasa mereka?

Jadilah anak yang berbakti, taat pada perintah mereka selama dalam
kebaikan, jadi pula anak sholih yang rajin menyertai mereka dalam do’a-do’a
kita. Jika mereka telah tiada, banyak doakan mereka, jadilah anak sholih yang
giat ibadah karena setiap amalan anak bermanfaat bagi orang tua yang sudah
tiada, juga ikatlah hubungan baik dengan kerabat dan kolega mereka. Ibnu
Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صول اللراجال أويهول اوند أوبفييفه‬


‫إفلن أوبولر ايلبفنر أوين يو ف‬
“Sesungguhnya kebajikan terbaik adalah perbuatan seorang yang
menyambung hubungan dengan kolega ayahnya.” (Disebutkan dalam Adabul
Mufrod no. 41, shahih)Lihat As Silsilah Ash Shahihah (3063): [Muslim: 45-
Kitab Al Birr wash Shilah wal Adab, hal. 11-13]

Semoga kita jadi anak yang berbakti dan dimudahkan untuk meraih surga
dengan bakti tersebut. Wallahu waliyyut taufiq.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


KHITAN DAN HUKUMNYA

Sekarang kita akan mengetahui lebih jauh mengenai khitan dan hukumnya.

Semoga bermanfaat. Berkhitan (ada yang menyebutnya dengan ‘sunat’,-pen)


adalah memotong kulit yang menutupi kepala/ujung kemaluan bagi laki-laki
dan memotong kulit bagian atas kemaluan bagi perempuan. (Lihat Shohih
Fiqh Sunnah, I/98).

Tujuan Khitan Tujuan khitan

adalah untuk menjaga agar di sana tidak terkumpul kotoran, juga agar leluasa
untuk kencing, dan supaya tidak mengurangi kenikmatan dalam
bersenggama. (Fiqh Sunnah, 1/37)

Berkhitan adalah sunnah yang telah ada sejak lama sekali

Sebagaimana hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫“ ايختوتوون إفيبورافهيتتام بويعتتود ثوومتتافنيون وستتنوةر ووايختوتوتتون فبايلقوتتادوفم‬Ibrahim berkhitan setelah mencapai usia 80
tahun, dan beliau berkhitan dengan Al Qodum.” (HR. Bukhari, inilah lafadz
yang terdapat dalam Shahih Bukhari yang berbeda dalam kitab Fiqh Sunnah,
-pen).

Syaikh Sayid Sabiq mengatakan bahwa yang dimaksud dengan Al Qodum di


sini adalah alat untuk memotong kayu (kampak) atau suatu nama daerah di
Syam. (Lihat Fiqh Sunnah, 1/37)

Hukum khitan

Ada 3 pendapat dalam hal ini :


1. Wajib bagi laki-laki dan perempuan
2. Sunnah (dianjurkan) bagi laki-laki dan perempuan
3. Wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan (Lihat Shohih Fiqh
Sunnah, I /98)
Wajibnya khitan bagi laki-laki

Dalil yang menunjukkan tentang wajibnya khitan bagi laki-laki adalah :


1. Hal ini merupakan ajaran dari Nabi terdahulu yaitu Nabi Ibrahim ‘alaihis
salam dan kita diperintahkan untuk mengikutinya.
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya,“Ibrahim -Al
Kholil- berkhitan setelah mencapai usia 80 tahun, dan beliau berkhitan
dengan kampak.” (HR. Bukhari)

Allah Ta’ala berfirman, ‫ك أوفن اتلبفيع فمللةو إفيبورافهيوم وحفنيفرتتا ووومتتا وكتتاون فمتتون ايلاميشتتفرفكيون‬
‫“ ثالم أويووحييونا إفلويي و‬Kemudian
kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang
yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan.” (An Nahl : 123)

2. Nabi memerintah laki-laki yang baru masuk Islam dengan sabdanya,” ‫ك‬ ‫أويل ف‬
‫ق وعين و‬
‫ وشتتتتيعور ايلاكيفتتتتفر ووايختوتفتتتتين‬Hilangkanlah rambut kekafiran yang ada padamu dan
berkhitanlah.” (HR. Abu Daud dan Baihaqi, dan dihasankan oleh Al Albani).
Hal ini menunjukkan bahwa khitan adalah wajib.

3. Khitan merupakan pembeda antara kaum muslim dan Nashrani. Sampai-


sampai tatkala di medan pertempuran umat Islam mengenal orang-orang
muslim yang terbunuh dengan khitan. Kaum muslimin, bangsa Arab sebelum
Islam, dan kaum Yahudi dikhitan, sedangkan kaum nashrani tidak demikian.
Karena khitan sebagai pembeda, maka perkara ini adalah wajib.

4. Menghilangkan sesuatu dari tubuh tidaklah diperbolehkan. Dan baru


diperbolehkan tatkala perkara itu adalah wajib. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah,
I /99 dan Asy Syarhul Mumthi’, I/110)

Khitan tetap disyari’atkan bagi perempuan

Adapun untuk perempuan, khitan tetap disyari’atkan.

Dalilnya adalah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang


artinya,”Apabila bertemu dua khitan, maka wajib mandi.” (HR. Ibnu Majah,
shahih). Hadits ini menunjukkan bahwa perempuan juga dikhitan. Adapun
hadits-hadits yang mewajibkan khitan, di dalamnya tidaklah lepas dari
pembicaraan, ada yang dianggap dha’if (lemah) dan munkar. Namun hadits-
hadits tersebut dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash
Shohihah.

Jika hadits ini dha’if, maka khitan tetap wajib bagi perempuan sebagaimana
diwajibkan bagi laki-laki, karena pada asalnya hukum untuk laki-laki juga
berlaku untuk perempuan kecuali terdapat dalil yang membedakannya dan
dalam hal ini tidak terdapat dalil pembeda.

Namun terdapat pendapat lain yang mengatakan bahwa khitan bagi


perempuan adalah sunnah (dianjurkan) sebagai bentuk pemuliaan terhadap
mereka. Pendapat ini sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitabnya Asy Syarhul Mumthi’. Beliau
mengatakan, ”Terdapat perbedaan hukum khitan antara laki-laki dan
perempuan.

Khitan pada laki-laki terdapat suatu maslahat di dalamnya karena hal ini
akan berkaitan dengan syarat sah shalat yaitu thoharoh (bersuci). Jika kulit
pada kemaluan yang akan dikhitan tersebut dibiarkan, kencing yang keluar
dari lubang ujung kemaluan akan ada yang tersisa dan berkumpul pada
tempat tersebut.

Hal ini dapat menyebabkan rasa sakit/pedih tatkala bergerak dan jika
dipencet/ditekan sedikit akan menyebabkan kencing tersebut keluar sehingga
pakaian dapat menjadi najis. Adapun untuk perempuan, tujuan khitan adalah
untuk mengurangi syahwatnya.

Dan ini adalah suatu bentuk kesempurnaan dan bukanlah dalam rangka
untuk menghilangkan gangguan.” (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, I/99-100 dan
Asy Syarhul Mumthi’, I/110)

Kesimpulan :

Ada perbedaan pendapat tentang hukum khitan bagi perempuan. Minimal


hukum khitan bagi perempuan adalah sunnah (dianjurkan) dan yang paling
baik adalah melakukannya dengan tujuan sebagaimana perkataan Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin di atas yaitu untuk mengurangi syahwatnya.
Dianjurkan melakukan khitan pada hari ketujuh setelah kelahiran

Hal ini sebagaimana hadits dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata
bahwa, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaqiqah Hasan dan
Husain dan mengkhitan mereka berdua pada hari ketujuh (setelah kelahiran,-
pen).” (HR. Ath Thabrani dalam Ash Shogir)

Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan,”Ada tujuh sunnah bagi bayi


pada hari ketujuh, yaitu : pemberian nama, khitan, …” (HR. Ath Thabrani
dalam Al Ausath)

Kedua hadits ini memiliki kelemahan, namun saling menguatkan satu dan
lainnya. Jalur keduanya berbeda dan tidak ada perawi yang tertuduh berdusta
di dalamnya. (Lihat Tamamul Minnah, 1/68)

Adapun batas maksimal usia khitan adalah sebelum baligh. Sebagaimana


perkataan Ibnul Qoyyim : “Orang tua tidak boleh membiarkan anaknya tanpa
dikhitan hingga usia baligh.” (Lihat Tamamul Minnah, 1/69)

Sangat baik sekali jika khitan dilakukan ketika anak masih kecil agar luka
bekas khitan cepat sembuh dan agar anak dapat berkembang dengan
sempurna. (Lihat Al Mulakkhos Al Fiqh, 37). Selain itu, khitan pada waktu
kecil akan lebih menjaga aurat, dibanding jika dilakukan ketika sudah besar.
Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat.

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal


MENGENAL SALAF DAN SALAFI

Para pembaca yang budiman -semoga Allah menunjuki kita kepada


kebenaran-. Salaf dan salafi mungkin merupakan kata yang masih asing bagi
sebagian orang atau kalau toh sudah dikenal namun masih banyak yang
beranggapan bahwa istilah ini adalah sebutan bagi suatu kelompok baru
dalam Islam. Lalu apa itu sebenarnya salaf? Dan apa itu salafi? Semoga
tulisan berikut ini dapat memberikan jawabannya.

Pengertian Salaf

Salaf secara bahasa berarti orang yang terdahulu, sebagaimana disebutkan


dalam firman Allah yang artinya,” Maka tatkala mereka membuat Kami murka,
Kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut).
Dan Kami jadikan mereka sebagai SALAF dan contoh bagi orang-orang yang
kemudian.” (Az Zukhruf: 55-56), yakni kami menjadikan mereka sebagai
SALAF -yaitu orang yang terdahulu- agar orang-orang sesudah mereka dapat
mengambil pelajaran dari mereka (salaf).

Oleh karena itu, Fairuz Abadi dalam Al Qomus Al Muhith mengatakan, ”Salaf
juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang dan
orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu.” (Lihat Al
Manhajus Salaf ’inda Syaikh al-Albani , ’Amr Abdul Mun’im Salim dan Al Wajiz
fii Aqidah Salafish Sholih , Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary)

Kata ’Salaf’ Tidaklah Asing di Kalangan Ulama

Mungkin banyak orang saat ini yang merasa asing dengan kata salaf, namun
kata ini tidaklah asing di kalangan ulama. Imam Bukhari -ahli hadits
terkemuka- menuturkan,”Rasyid bin Sa’ad mengatakan,’Dulu para SALAF
menyukai kuda jantan, karena kuda seperti itu lebih tangkas dan lebih kuat’.”

Kemudian Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fathul Bari bahwa salaf tersebut
adalah para sahabat dan orang setelah mereka.

Imam Nawawi –ulama besar madzhab Syafi’i- mengatakan dalam kitab beliau
Al Adzkar, ”Sangat bagus sekali do’a para SALAF sebagaimana dikatakan Al
Auza’i rahimahullah Ta’ala, ’Orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat
istisqo’ (minta hujan), kemudian berdirilah Bilal bin Sa’ad, dia memuji Allah
…’.” Salaf yang dimaksudkan oleh Al Auza’i di sini adalah Bilal bin Sa’ad, dan
Bilal adalah seorang tabi’in. (Lihat Al Manhajus Salaf ’inda Syaikh al-Albani )

Siapakah Salaf?

Salaf menurut para ulama adalah sahabat, tabi’in (orang-orang yang


mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in).
Tiga generasi awal inilah yang disebut dengan salafush sholih (orang-orang
terdahulu yang sholih).

Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam,”Sebaik-baik manusia adalah
generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya
lagi.” (HR. Ahmad, Ibnu Abi ’Ashim, Bukhari dan Tirmidzi).

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam telah mempersaksikan ’kebaikan’ tiga


generasi awal umat ini yang menunjukkan akan keutamaan dan kemuliaan
mereka, semangat mereka dalam melakukan kebaikan, luasnya ilmu mereka
tentang syari’at Allah, semangat mereka berpegang teguh pada sunnah beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam. (Lihat Al Wajiz fii Aqidah Salafish Sholih dan
Mu’taqod Ahlis Sunnah wal Jama’ah, Dr. Muhammad Kholifah At Tamimi)

Wajib Bagi Kita Mengikuti Jalan Salafush Sholih

Setelah kita mengetahui bahwa salaf adalah generasi terbaik umat ini, maka
apakah kita wajib mengikuti jalan hidup salaf?

Allah telah meridhai secara mutlak para salaf dari kaum muhajirin dan anshor
serta kepada orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah Ta’ala
berfirman yang artinya,”Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama
(masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di
dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100).
Untuk mendapatkan keridhaan yang mutlak ini, tidak ada jalan lain kecuali
dengan mengikuti salafush sholih.

Allah juga memberi ancaman bagi siapa yang mengikuti jalan selain orang
mukmin. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang
bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa: 115).

Yang dimaksudkan dengan orang-orang mukmin ketika ayat ini turun adalah
para sahabat (para salaf). Barangsiapa yang menyelisihi jalan mereka akan
terancam kesesatan dan jahannam. Oleh karena itu, mengikuti jalan salaf
adalah wajib.

Menyandarkan Diri pada Salafush Sholih

Setelah kita mengetahui bahwa mengikuti jalan hidup salafush sholih adalah
wajib, maka bolehkah kita menyandarkan diri pada salaf sehingga disebut
salafi (pengikut salaf)? Tidakkah ini termasuk golongan/kelompok baru
dalam Islam?

Jawabannya kami ringkas sebagai berikut:


[1] Istilah salaf bukanlah suatu yang asing di kalangan para ulama,
[2] Keengganan untuk menyandarkan diri pada salaf berarti berlepas diri dari
Islam yang benar yang dianut oleh salafush sholih,
[3] Kenapa penyandaran kepada berbagai madzhab/paham dan pribadi
tertentu seperti Syafi’i (pengikut Imam Syafi’i) dan Asy’ari (pengikut Abul
Hasan Al Asy’ari) tidak dipersoalkan?! Padahal itu adalah penyandaran kepada
orang yang tidak luput dari kesalahan dan dosa!!
[4] Salafi adalah penyandaran kepada kema’shuman secara umum
(keterbebasan dari kesalahan) sehingga memuliakan seseorang,
[5] Penyandaran kepada salaf bertujuan untuk membedakan dengan kelompok
lainnya yang semuanya mengaku bersandar pada Al Qur’an dan As Sunnah,
namun tidak mau beragama (bermanhaj) seperti salafush sholih yaitu para
sahabat dan pengikutnya. (Lihat Al Manhajus Salafi ’inda Syaikh al-Albani ).
Kesimpulannya sebagaimana dikatakan Syaikh Salim Al Hilali,
”Penamaan salafi adalah bentuk penyandaran kepada salaf. Penyandaran
seperti ini adalah penyandaran yang terpuji dan cara beragama
(bermanhaj) yang tepat. Dan bukan penyandaran yang diada-adakan
sebagai madzhab baru.” (Limadza Ikhtartu Al Manhaj As Salaf )

Solusi Perpecahan Umat

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam telah memberikan solusi mengenai


perpecahan umat Islam saat ini untuk berpegang teguh pada sunnah Nabi dan
sunnah khulafa’ur rasyidin –yang merupakan salaf umat ini-. Beliau
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan sesungguhnya orang
yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak, maka
berpegang teguhlah kalian terhadap sunnahku dan sunnah khulafa’rosyidin
yang mendapat petunjuk. Maka berpegang teguh dengannya dan gigitlah
dengan gigi geraham.” (Hasan Shohih, HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

Jalan Salaf adalah Jalan yang Selamat

Orang yang mengikuti jalan hidup Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam dan
sahabatnya (salafush sholih) inilah yang selamat dari neraka. Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda yang artinya,”Yahudi telah terpecah
menjadi 71 golongan; satu golongan masuk surga, 70 golongan masuk neraka.
Nashrani terpecah menjadi 72 golongan; satu golongan masuk surga, 71
golongan masuk neraka. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-
Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 golongan; satu golongan masuk surga
dan 72 golongan masuk neraka.

Ada sahabat yang bertanya,’Wahai Rasulullah! Siapa mereka yang masuk


surga itu?’ Beliau menjawab,’Mereka adalah Al-Jama’ah’.” (HR. Ibnu Majah,
Abu Daud, dishahihkan Syaikh Al Albani). Dalam riwayat lain para sahabat
bertanya,’Siapakah mereka wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ’Orang yang
mengikuti jalan hidupku dan para sahabatku.’ (HR. Tirmidzi)

Sebagai nasehat terakhir, ’Ingatlah, kata salafi –yaitu pengikut salafush


sholih– bukanlah sekedar pengakuan (kleim) semata, tetapi harus dibuktikan
dengan beraqidah, berakhlaq, beragama (bermanhaj), dan beribadah
sebagaimana yang dilakukan salafush sholih.’

Ya Allah, tunjukilah kami pada kebenaran dengan izin-Mu dari jalan-jalan


yang menyimpang dan teguhkan kami di atasnya.

Alhamdulillahillazi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ’ala


Nabiyyina Muhammad wa ’ala alihi wa shohbihi wa sallam.

oleh : Muhammad Abduh Tuasikal


KATA IMAM SYAFI’I, TINGGALKAN PENDAPATKU JIKA MENYELISIHI HADITS

Ketika suatu pendapat manusia berseberangan dengan sabda Rasul


shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang harus kita dahulukan adalah pendapat
Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Tidak seperti sebagian orang ketika sudah disampaikan hadits shahih


melarang ini dan itu atau memerintahkan pada sesuatu, eh dia malah
mengatakan, “Tapi Pak Kyai saya bilang begini eh.” Ini beda dengan imam
yang biasa jadi rujukan kaum muslimin di negeri kita.

Ketika ada hadits shahih yang menyelisihi perkataannya, beliau


memerintahkan untuk tetap mengikuti hadits tadi dan acuhkan pendapat
beliau.

Imam Asy Syafi’i berkata,


“Jika terdapat hadits yang shahih, maka lemparlah pendapatku ke dinding.
Jika engkau melihat hujjah diletakkan di atas jalan, maka itulah pendapatku.”

Ar Rabie’ (murid Imam Syafi’i) bercerita, Ada seseorang yang bertanya kepada
Imam Syafi’i tentang sebuah hadits, kemudian (setelah dijawab) orang itu
bertanya, “Lalu bagaimana pendapatmu?”, maka gemetar dan beranglah Imam
Syafi’i.

Beliau berkata kepadanya,


“Langit mana yang akan menaungiku, dan bumi mana yang akan kupijak kalau
sampai kuriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian
aku berpendapat lain…!?”

Imam Syafi’i juga berkata,


“Jika kalian mendapati dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan
sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka sampaikanlah sunnah
tadi dan tinggalkanlah pendapatku –dan dalam riwayat lain Imam Syafi’i
mengatakan– maka ikutilah sunnah tadi dan jangan pedulikan ucapan orang.”

“Setiap hadits yang diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
itulah pendapatku meski kalian tak mendengarnya dariku.”
“Setiap masalah yang di sana ada hadits shahihnya menurut para ahli hadits,
lalu hadits tersebut bertentangan dengan pendapatku, maka aku menyatakan
rujuk (meralat) dari pendapatku tadi baik semasa hidupku maupun sesudah
matiku.”

“Kalau ada hadits shahih, maka itulah mazhabku, dan kalau ada hadits shahih
maka campakkanlah pendapatku ke (balik) tembok.”

“Kaum muslimin sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sebuah
sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tak halal
baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena mengikuti pendapat siapa
pun.”

Perkataan Imam Syafi’i di atas memiliki dasar dari dalil-dalil berikut ini di
mana kita diperintahkan mengikuti Al Qur ’an dan hadits dibanding perkataan
lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Rabbmu
sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak
menyadarinya” (QS. Az Zumar: 55). Sebaik-baik yang diturunkan kepada kita
adalah Al Qur ’an dan As Sunnah adalah penjelas dari Al Qur ’an.

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di


antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal” (QS. Az Zumar: 18). Kita
sepakati bersama bahwa Al Qur ’an dan As Sunnah adalah sebaik-baik
perkataan dibanding perkataan si fulan.

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr: 7).

Dalam hadits Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam menasehati para sahabat radhiyallahu ‘anhum,
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang
mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah
tersebut dengan gigi geraham kalian.”

Semoga kata-kata Imam Syafi’i di atas menjadi teladan bagi kita dalam
berilmu dan beramal. Tidak membuat kita jadi fanatik dan taklid buta pada
suatu madzhab. Boleh saja kita menjadikan madhzab Syafi’i sebagai jalan
mudah dalam memahami hukum Islam. Namun ingat, ketika pendapat
madzhab bertentangan dengan dalil, maka dahulukanlah dalil.

Wallahu waliyyut taufiq.

oleh : Muhammad Abduh Tuasikal


IMAM SYAFI’I: DZIKIR SETELAH SHALAT TIDAK DIKERASKAN

Kalau kita mau melihat perkataan Imam Syafi’i secara seksama yang
dikatakan oleh Imam Nawawi, akan ada petunjuk bahwa dzikir setelah shalat
tidak perlu dikeraskan terus menerus.

Silakan kaji.

Dari Ibnu Jarir, ia berkata, ‘Amr telah berkata padaku bahwa Abu Ma’bad –
bekas budak Ibnu ‘Abbasmengabarkan

kepadanya bahwa Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,


“Mengeraskan suara pada dzikir setelah shalat wajib telah ada di masa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ibnu ‘Abbas berkata, “Aku mengetahui bahwa
shalat telah selesai dengan mendengar hal itu, yaitu jika aku mendengarnya.”
(HR. Bukhari, no. 805; Muslim, no. 583)

Dalam riwayat lainnya disebutkan,


“Kami dahulu mengetahui berakhirnya shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melalui suara takbir.” (HR. Bukhari no. 806; Muslim, no. 583)

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan mengenai hadits di atas, menurut


sebagian ulama salaf, disunnahkan mengeraskan bacaan takbir setelah
shalat, termasuk pula bacaan dzikir setelahnya.

Di antara ulama belakangan yang menganjurkan adalah Ibnu Hazm Az-Zahiri,


begitu pula dinukil pendapat ini dari Ibnu Batthol dan ulama lainnya.

Sedangkan ulama madzhab dan selain mereka sepakat tidak disunnahkan


mengeraskan suara untuk dzikir setelah shalat, termasuk pula takbir.

Adapun Imam Syafi’i rahimahullah memaknai hadits di atas bahwa waktu


menjaherkan hanya sebentar sekali sehingga diketahui bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam itu berdzikir. Namun dzikir tadi bukan
dikeraskan terus menerus.

Cukup bagi imam dan makmum berdzikir pada Allah setelah selesai shalat
dengan disirrkan (dilirihkan). Kecuali jika imam ingin mengajarkan pada
makmum, maka ia boleh menjaherkan hingga makmum itu paham, setelah itu
tetap disirrkan (dilirihkan). Demikian hadits tersebut dipahami. (Syarh Shahih
Muslim, 5: 76)

Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
Al- Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj . Cetakan pertama, tahun 1433
H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Oleh : Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi : Muhammad Abduh Tuasikal


3 SIFAT NABI IBRAHIM YANG PATUT DITIRU

Ada tiga sifat nabi Ibrahim – kholilullah (kekasih Allah)- yang bisa kita tiru.
Apalagi bagi orang yang ditimpa musibah dan mengharap terus jalan keluar
dari Allah, termasuk juga bagi yang berharap memiliki keturunan namun tak
kunjung diberi.

Ibrahim begitu menanti memiliki seorang anak. Ia sangat merindukannya.


Ketika malaikat datang padanya untuk mengabarkan akan kelahiran
puteranya, Ishaq, ia begitu kaget. Begitu pula dengan istrinya, begitu kaget
karena istrinya sudah divonis mandul sedangkan Ibrahim pun sudah tua.

Allah lantas menyifati Ibrahim dengan tiga sifat sebagaimana disebutkan


dalam ayat berikut.
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba
dan suka kembali kepada Allah .” (QS. Huud: 75).

Sifat Ibrahim yang dimaksud dalam ayat adalah:


1. beliau sangat suka agar hukuman (yang menimpa kaum Luth) ditunda saja,
2. beliau begitu sangat tunduk pada Rabbnya dengan tak pernah putus asa
dalam do’a,
3. beliau juga hamba yang terus ingin bertaubat. (Al-Mukhtashar fii At-Tafsir,
hlm. 230)

Dalam Tafsir As-Sa’di disebutkan penjelasan lainnya bahwa Ibrahim memiliki


sifat:
1. beliau memiliki akhlak yang baik dan begitu berlapang dada dan tidaklah
marah ketika menghadapi orangorang yang tidak tahu,
2. beliau terus beribadah pada Allah di setiap waktu beliau,
3. beliau kembali (bertaubat) pada Allah dengan mengenal dan mencintai-Nya,
serta berpaling dari selain-Nya.
Oleh karenanya beliau sangat ingin tahu, kenapa sampai ada kaum yang
diberi azab oleh Allah. Makanya beliau terus mencari tahu tentang sebab
kebinasaan kaum Luth. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 403)

Sifat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang patut ditiru:


1. Berakhlak yang mulia dan ingin agar azab yang menimpa suatu kaum bisa
ditunda.
2. Rajin beribadah dan berdo’a.
3. Rajin bertaubat.

Moga kita bisa meniru sifat mulia Nabi Ibrahim di atas. Wallahu waliyyut
taufiq.

Referensi:

Al-Mukhtashar fii At-Tafsir. Penerbit Markaz At-Tafsir li Ad-Dirasat Al-Qur’an.


Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Oleh : Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi : Muhammad Abduh Tuasikal


DOSA MENINGGALKAN SHALAT LIMA WAKTU LEBIH BESAR DARI DOSA BERZINA

Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita semua
pasti tahu bahwa shalat adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat
termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang bisa membuat bangunan
Islam tegak.

Namun, realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat berbeda. Kalau
kita melirik sekeliling kita, ada saja orang yang dalam KTP-nya mengaku
Islam, namun biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini. Mungkin di
antara mereka, ada yang hanya melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun
kalau ingat.

Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan shalat sekali dalam seminggu
yaitu shalat Jum’at. Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat dan
melaksanakan shalat dalam setahun dua kali yaitu ketika Idul Fithri dan Idul
Adha saja.

Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat saat ini. Banyak yang
mengaku Islam di KTP, namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu,
pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat pembahasan mengenai
hukum meninggalkan shalat.

Semoga Allah memudahkannya dan memberi taufik kepada setiap orang yang
membaca tulisan ini.

Para Ulama Sepakat Bahwa Meninggalkan Shalat Termasuk Dosa Besar yang
Lebih Besar dari Dosa Besar Lainnya

Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah- mengatakan, ”Kaum muslimin


bersepakat bahwa meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja adalah
dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh,
merampas harta orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman keras.
Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah
serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash Sholah, hal. 7)

Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu Hazm –rahimahullah-


berkata, “Tidak ada dosa setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa
meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan membunuh seorang
mukmin tanpa alasan yang bisa dibenarkan.” (Al Kaba’ir, hal. 25)

Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan, “Orang yang mengakhirkan


shalat hingga keluar waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu shalat saja- dianggap
seperti orang yang berzina dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau
luput darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang yang
meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk pelaku dosa besar sampai dia
bertaubat. Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat termasuk orang
yang merugi, celaka dan termasuk orang mujrim (yang berbuat dosa).” (Al
Kaba’ir, hal. 26-27)

Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Bisa Kafir alias Bukan Muslim?

Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para ulama bersepakat bahwa


meninggalkan shalat termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih pendapat dalam masalah ini.
Namun, yang menjadi masalah selanjutnya, apakah orang yang meninggalkan
shalat masih muslim ataukah telah kafir?

Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa tidak ada beda pendapat di


antara kaum muslimin tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat
karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila meninggalkan shalat
karena malas dan tetap meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana
kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-, maka dalam hal ini ada
perbedaan pendapat (Lihat Nailul Author, 1/369).

Mengenai meninggalkan shalat karena malas-malasan dan tetap meyakini


shalat itu wajib, ada tiga pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat harus
dibunuh karena dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat ini
adalah pendapat Imam Ahmad, Sa’id bin Jubair, ‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An
Nakho’i, Abu ‘Amr, Al Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al Mubarrok,
Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin Habib (ulama Malikiyyah), pendapat
sebagian ulama Syafi’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana dikatakan oleh
Ath Thohawiy), pendapat Umar bin Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh
Ibnu Hazm), Mu’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Abu Hurairah, dan
sahabat lainnya.

Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat


dibunuh dengan hukuman had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat
Malik, Syafi’i, dan salah salah satu pendapat Imam Ahmad.

Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat karena


malas-malasan adalah fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus
dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah pendapat Hanafiyyah.
(Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 22/186-187)

Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah ini di antara para ulama
termasuk pula ulama madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat
menurut Al Qur’an dan As Sunnah? Silakan simak pembahasan selanjutnya.

Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Al Qur’an

Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al Qur’an, namun yang kami
bawakan adalah dua ayat saja.

Allah Ta’ala berfirman,

‫صالفرحا‬ ‫ف يويلقويوون وغ يريا إفلل ومين وتا و‬


‫ب ووآوومون وووعفمول و‬ ‫صولةاو وواتلبواعوا اللشهوووا ف‬
‫ت فووسيو و‬ ‫ف أو و‬
‫ضااعوا ال ل‬ ‫ف فمين بويعفدفهيم وخيل د‬
‫فووخلو و‬
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh.”
(QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat
tersebut adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan,
yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)

Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu sungai di Jahannam-
sebagai tempat bagi orang yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat
(hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan shalat adalah orang yang
hanya bermaksiat biasa, tentu dia akan berada di neraka paling atas,
sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa. Tempat ini (ghoyya) yang
merupakan bagian neraka paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.

Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,

‫ب ووآوومون وووعفمول و‬
‫صالفرحا‬ ‫إفلل ومين وتا و‬
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya
orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat
untuk beriman.

Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

‫فوإ فين وتاابوا ووأووقااموا ال ل‬


‫صولةاو ووآوتواوا اللزوكاةاو فوإ فيخووانااكيم ففي النديفن‬

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka


(mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (QS. At Taubah [9] : 11).

Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan persaudaraan seiman dengan


mengerjakan shalat. Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara
seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan shalat bukanlah mukmin
karena orang mukmin itu bersaudara sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

‫إفنلوما ايلاميؤفمانوون إفيخووةاد‬

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49] : 10)

Pembicaraan Orang yang Meninggalkan Shalat dalam Hadits

Terdapat beberapa hadits yang membicarakan masalah ini.


Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صلوفةا‬ ‫بوييون اللراجفل ووبوييون النشيرفك ووايلاكيففر توير ا‬


‫ك ال ل‬

“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan serta kekafiran adalah


meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 257).

Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صولةاا فوإ فوذا تووروكوها فوقويد أويشور و‬


‫ك‬ ‫بوييون الوعيبفد ووبوييون الاكيففر ووافلييومافن ال ل‬

“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah


shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” (HR.
Ath Thobariy dengan sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no. 566).

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,

‫وريأ ا‬
‫س الويمفر افليسلوام وووعاموادها ال ل‬
‫صلوةاا‬

”Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan tiangnya (penopangnya) adalah
shalat.” (HR. Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam
Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi).

Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam agama Islam ini adalah
seperti penopang (tiang) yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa roboh
(ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu juga dengan islam, bisa ambruk
dengan hilangnya shalat.

Para Sahabat Berijma’ (Bersepakat), Meninggalkan Shalat adalah Kafir

Umar mengatakan,

‫صلوةاو‬ ‫لو إفيسلووم لفومين توور و‬


‫ك ال ل‬

”Tidaklah disebut muslim bagi orang yang meninggalkan shalat.”

Dari jalan yang lain, Umar berkata,

‫صلوةاو‬ ‫ولووحظل ففي افليسلوفم لفومين توور و‬


‫ك ال ل‬

“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”
(Dikeluarkan oleh Malik. Begitu juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot,
Ibnu Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthniy
dalam sunannya, juga Ibnu ’Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209).
Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala menjelang sakratul maut,
tidak ada satu orang sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu,
hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir termasuk ijma’ (kesepakatan)
sahabat sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash
Sholah.

Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang yang meninggalkan shalat


dengan sengaja adalah kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in,
Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,

‫ لو يووريوون وشييرئا فمون الويعومافل تويراكها اكيفدر وغييور ال ل‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ‫ب اموحلمةد‬
‫صلوفةا‬ ‫وكاون أو ي‬
‫صوحا ا‬

“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah


menganggap suatu amal yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali
shalat.” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari Abdullah bin Syaqiq
Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung
dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini
adalah shohih. (Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal
Kitab, hal. 52)

Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al Qur’an, hadits dan


perkataan sahabat bahkan ini adalah ijma’’ (kesepakatan) mereka menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah kafir (keluar
dari Islam). Itulah pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama yang ada.

Ibnul Qayyim mengatakan, ”Tidakkah seseorang itu malu dengan mengingkari


pendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal ini
telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur’an), As Sunnah dan kesepakatan
sahabat. Wallahul Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi taufik).”
(Ash Sholah, hal. 56)

Berbagai Kasus Orang Yang Meninggalkan Shalat

[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari


kewajibannya sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh,
ora sholat oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak
apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya
shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara
para ulama.

[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat dengan menganggap
gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak untuk
melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam ini berlaku hadits-
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang
yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas
ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.

[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak
rutin dalam melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka
dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan
tidak kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap
lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang
benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan akhir
hidupnya].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika seorang hamba melakukan


sebagian perintah dan meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan sesuai
dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan
bisa jadi pada seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya
sebagian besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah
selalu menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total.
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang
semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku
bagi mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan
semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen. Maka
lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang tidak.”
(Majmu’ Al Fatawa, 7/617)

[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang meninggalkan shalat dan
tidak mengetahui bahwa meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka
hukum bagi orang semacam ini adalah sebagaimana orang jahil (bodoh).
Orang ini tidaklah dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang
dinilai sebagai faktor penghalang untuk mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang mengerjakan shalat hingga
keluar waktunya. Dia selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering
mengerjakan di luar waktunya. Maka orang semacam ini tidaklah kafir,
namun dia berdosa dan perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah
berfirman,

‫ووييدل لفيلام و‬
‫( اللفذيون هايم وعين و‬4) ‫صنليون‬
(5) ‫صولتففهيم وسااهوون‬

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang


lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi
‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)

Penutup

Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu. Barangsiapa yang selalu
menjaganya, berarti telah menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan lagi.

Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,


“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat.
Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa
yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“

Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan perkataan yang serupa,


“Setiap orang yang meremehkan perkara shalat, berarti telah meremehkan
agama. Seseorang memiliki bagian dalam Islam sebanding dengan
penjagaannya terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang dikatakan
semangat dalam Islam adalah orang yang betul-betul memperhatikan shalat
lima waktu. Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah! Janganlah
engkau menemui Allah, sedangkan engkau tidak memiliki bagian dalam Islam.
Kadar Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat dalam hatimu.“ (Lihat
Ash Sholah, hal. 12)

Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini (membenarkan) bahwa


shalat lima waktu itu wajib. Namun haruslah disertai dengan
melaksanakannya (inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan tashdiq
(membenarkan), namun harus pula disertai dengan inqiyad (melaksanakannya
dengan anggota badan).

Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan membenarkan (tashdiq).


Namun bukan hanya sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa
melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah membenarkan (tashdiq)
saja, tentu iblis, Fir’aun dan kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang
membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan Allah (mereka meyakini hal
ini sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua
akan disebut orang yang beriman (mu’min-mushoddiq).“

Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya dengan angan-angan (tanpa ada


amalan). Namun iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan
dibenarkan dengan amal perbuatan.“ (Lihat Ash Sholah, 35-36)

Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi kaum muslimin. Semoga kita
dapat mengingatkan kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya
meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi
wa sallam

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


MAAF, ISTRIKU BUKAN JADI KONSUMSI UMUM

Baiknya istri kita tidak jadi konsumsi umum. Yang biasa terjadi adalah di
media sosial seperti Facebook, dll. Ada istri foto selfie sendirian. Ada pula yang
memamerkan kemesraan dengan suami di medsos.

Yang terjadi pula istri suka berdandan untuk orang lain ketika keluar rumah.
Sedangkan untuk suami? Dandannya pas-pasan, bahkan lebih senang
memamerkan bau keringat daripada kecantikannya.

Begini alasannya …

Seorang suami ketika sudah melakukan akad nikah, berarti perwalian dari
orang tua perempuan sudah berpindah padanya. Sehingga nafkah istri
sepenuhnya jadi tanggung jawab suami.

Nah … jika demikian berarti kecantikan istri secara mutlak milik suami dong.
Jika demikian, apakah layak istri itu diobral, ditonton banyak orang? Setiap
orang boleh menikmati kecantikannya?

Kalau penulis sendiri lebih senang kecantikan dan keelokan istri jadi milik
suami. Bukan diumbar di depan umum. Tidak pula dengan menyuruh istri
berdandan ketika keluar rumah.

Salah satu contoh istri teladan adalah Ummu Sulaim yang memiliki nama asli
Rumaysho. Meskipun anaknya kala itu meninggal dunia, ia masih tetap
berdandan cantik untuk suaminya. Dandanannya itu spesial untuk suaminya,
bukan yang lainnya. Kisahnya sebagai berikut.

َ‫ت َلنبهلهنهاَ َنل َكتنددثكوُا َأننباَ َطنبلنحنة َهباَببنههه َنحتت َأنككوُنن َأنننا‬ ‫ه‬
‫ت َاببنن َلنهب َطنبلنحنة َمبن َأكدم َكسلنبيمم َفنفنقاَلن ب‬ ‫س َقناَنل َنماَ ن‬‫نعبن َأنن م‬
‫ه‬
‫صنتكع‬ ‫ت َلنكه َأنبحنسنن َنماَ َنكاَنن َتن ن‬ ‫صنتفنع ب‬‫ب َ– َفنفنقاَنل َ– َ كتث َتن ن‬ ‫ت َإهلنبيه َنعنشاَءء َفنأننكنل َنونشهر ن‬ ‫أكنحددثككه َ– َنقاَنل َ– َفننجاَنء َفنفنقتربن ب‬
‫ت َلنبوُ َأنتن َقنفبوُءماَ َأننعاَكروا‬ ‫ك َفنفوُقنع َهباَ َفنفلنتماَ َرأنت َأننته َقنبد َنشبهع َوأنصاَ ه‬ ‫ه‬
‫ت َنياَ َأننباَ َطنبلنحنة َأننرأنيب ن‬
‫ب َمبنفنهاَ َنقاَلن ب‬
‫نن ن ن‬ ‫ن ب ك‬ ‫قنفببنل َنذل ن ن ن ن‬
‫ب َنونقاَنل‬ ‫ه‬ ‫ت َنفاَبحتنهس ه‬ ‫م‬
‫َ َنقاَلن ب‬.‫نعاَهرينفتنفكهبم َأنبهنل َبفنبيت َفنطنلنبكوُا َنعاَهرينفتنفكهبم َأننلكبم َأنبن َنبيننفكعوُكهبم َنقاَنل َنل‬
‫َ َقناَنل َفنفغنض ن‬.‫ك‬ ‫ب َاببفنن ن‬
‫ َفنأنبخبنفنركه َه نباَ َنكاَنن‬-‫صلى َال َعليه َوسلم‬-َ ‫َ َنفاَنبطنلننق َنحتت َأننتى َنركسوُنل َاللتهه‬.‫ت َ كتث َأنبخبنفبرتههن َهباَببهن‬ ‫تنفنربكتهن َنحتت َتنفلنطتبخ ك‬
‫ه‬
‫ه‬ ‫ه‬
‫ت‬‫َ َنقاَنل َفننحنملن ب‬.«َ َ‫ َ» َنباَنرنك َاللتكه َلنككنماَ َهف َنغاَبههر َنبليفلنتككنما‬-‫صلى َال َعليه َوسلم‬-َ ‫فنفنقاَنل َنركسوُكل َاللته‬
Dari Anas, ia berkata mengenai putera dari Abu Thalhah dari istrinya Ummu
Sulaim. Ummu Sulaim berkata pada keluarganya, “Jangan beritahu Abu
Thalhah tentang anaknya sampai aku yang memberitahukan padanya.”

Diceritakan bahwa ketika Abu Thalhah pulang, istrinya Ummu Sulaim


kemudian menawarkan padanya makan malam. Suaminya pun menyantap
dan meminumnya. Kemudian Ummu Sulaim berdandan cantik yang belum
pernah ia berdandan secantik itu. Suaminya pun menyetubuhi Ummu Sulaim.
Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas dan telah menyetubuhi
dirinya, ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum
meminjamkan sesuatu kepada salah satu keluarga, lalu mereka meminta
pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?” Abu Thalhah
menjawab, “Tidak.” Ummu Sulaim, “Bersabarlah dan berusaha raih pahala
karena kematian puteramu.”

Abu Thalhah lalu marah kemudian berkata, “Engkau biarkan aku tidak
mengetahui hal itu hinggga aku berlumuran janabah, lalu engkau kabari
tentang kematian anakku?”

Abu Thalhah pun bergegas ke tempat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


dan mengabarkan apa yang terjadi pada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendo’akan, “Semoga Allah
memberkahi kalian berdua dalam malam kalian itu.” Akhirnya, Ummu Sulaim
pun hamil lagi. (HR. Muslim no. 2144)

Kenapa dandanan istri hanya untuk suaminya, bukan jadi konsumsi umum?
Lihatlah perintah Allah,

‫لاَههلهيتهة َا ب ك‬
‫لونل‬ ‫ه‬
‫نوقنفبرنن َهف َبفككيوُتككتن َنونل َتنفبنفتربجنن َتنفبنفرنج َا بن‬
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan
bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyyah yang dahulu.” (QS. Al Ahzab:
33).

Maqatil bin Hayan mengatakan bahwa yang dimaksud berhias diri adalah
seseorang memakai khimar (kerudung) di kepalanya namun tidak
menutupinya dengan sempurna. Dari sini terlihatlah kalung, anting dan
lehernya. Inilah yang disebut tabarruj (berhias diri) ala jahiliyyah. Silakan kaji
dari kitab Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir, 6: 183 (terbitan Dar
Ibnul Jauzi).

Itu tanda wanita shalihah tidaklah suka dandan keluar rumah. Dandanan
cantiknya spesial untuk suaminya saja.

Jika Anda -para suami- mendapati istri yang disayangi, yang selalu menjaga
kecantikannya hanya untuk suami saja, maka bersyukurlah. Karena itulah
ciri-ciri wanita terbaik sebagaimana disebut dalam hadits berikut ….

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,

‫خيفنر َنقاَنل َالتهت َتنكسركه َإهنذا َ نظننر َنوتكهطيعككه َإهنذا َأننمنر َنونل َكتناَلهكفكه َهف‬ ‫ه‬ ‫صتلى َاللتكه َنعلنبيهه َنونسلتنم َأن ر‬ ‫ه ه ه ه‬
‫ي َالندنساَء َ ن ب‬ ‫قينل َلنركسوُل َاللته َ ن‬
‫ه ه‬ ‫ه‬
‫نفبفسنهاَ َنونماَ نلاَ َبناَ َينبكنرهك‬
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah
wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami
pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai no.
3231 dan Ahmad 2: 432. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad
hadits ini hasan)

Bandingkan dengan wanita saat ini, bahkan yang sudah berhijab. Mereka
lebih ingin jadi konsumsi umum daripada untuk suaminya sendiri. Itulah
bedanya wanita muslimah dahulu yang shalihah dengan yang sekarang yang
semakin rusak.

Semoga Allah beri hidayah pada para istri untuk menjadi istri shalihah serta
membahagiakan suami dan keluarga.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


HUKUM MENGAMBIL FOTO DENGAN KAMERA

Bismillah … Segala pujian hanyalah milik Allah. Shalawat dan salam kepada
Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Masalah ini adalah masalah nawazil (kontemporer) yang tidak didapati di


masa silam. Oleh karena itu, bagaimana hukum dalam masalah ini, para
ulama berselisih pendapat karena perbedaan dalam memahami dalil dan
punya pilihan ijtihad masing-masing. Pada kesempatan kali ini, kami akan
berusaha menyajikan masalah ini secara ringkas.

Hukum Menggambar

Tentang masalah hukum tashwir (menggambar), hukumnya haram. Berikut


adalah dalil-dalil yang menunjukkan hal ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Saya mendengar Nabi


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ضةر أويو لفيويخلااقوا وذلرةار‬


‫ق وكوخيلفقي فويليويخلااقوا بواعو و‬
‫ب يويخلا ا‬ ‫اا وعلز وووجلل ووومين أو ي‬
‫ظلوام فملمين وذهو و‬ ‫وقاول ل‬

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang
yang berkehendak mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan lalat
atau semut kecil (jika mereka memang mampu)!” (HR. Bukhari no. 5953 dan
Muslim no. 2111, juga Ahmad 2: 259, dan ini adalah lafazhnya)

Juga dari Abu Hurairah dalam riwayat lain disebutkan,

‫ٍ أويو لفيويخلااقوا وحبلةر أويو وشفعيورةار‬، ‫ٍ فويليويخلااقوا وذلرةار‬، ‫ق وكوخيلفقى‬


‫ب يويخلا ا‬ ‫اا وعلز وووجلل ووومين أو ي‬
‫ظلوام فملمين وذهو و‬ ‫وقاول ل‬

“Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, “Siapakah yang lebih zholim daripada orang
yang mencipta seperti ciptaan-Ku. Coba mereka menciptakan semut kecil, biji
atau gandum (jika mereka memang mampu)! ” (HR. Bukhari no. 7559)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda,

‫اف يويووم ايلقفوياومفة ايلام و‬


‫صنواروون‬ ‫إفلن أووشلد اللنا ف‬
‫س وعوذاربا فعينود ل‬

“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya di sisi Allah pada hari
kiamat adalah tukang penggambar.” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no.
2109)

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫صووور ياوعلذابوون يويووم ايلقفوياومفة ياوقاال لوهايم أويحايوا وما وخلويقتايم‬ ‫إفلن اللفذيون يو ي‬
‫صنواعوون هوفذفه ال ص‬

“Sesungguhnya mereka yang membuat gambar-gambar akan disiksa pada hari


kiamat. Akan dikatakan kepada mereka, “Hidupkanlah apa yang kalian
ciptakan.” (HR. Bukhari no. 5961 dan Muslim no. 5535)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫س بفونافف ة‬
‫خ ففيوها‬ ‫صوورةار اعنذ و‬
‫ب وحلتى يوينفاوخ ففيوها الصرووح وولويي و‬ ‫ومين و‬
‫صلوور ا‬

“Barangsiapa yang membuat gambar, ia akan disiksa hingga ia bisa meniupkan


ruh pada gambar yang ia buat. Namun kenyataannya ia tidak bisa meniupnya.”
(HR. An Nasai no. 5359 dan Ahmad 1: 216. Syaikh Al Albani mengatakan
bahwa hadits ini shahih)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dalam hadits ini dibedakan antara


gambar hewan (yang memiliki ruh, pen) dan bukan hewan. Hal ini
mengandung pelajaran bahwa boleh saja menggambar pohon dan benda logam
di baju atau kain, dan menggambar yang lain (yang tidak memiliki ruh, pen).”
(Majmu’ Al Fatawa, 29: 370)
‫‪Dalam hadits berikut juga menunjukkan bahwa jika kepala dihapus dari‬‬
‫‪gambar, maka gambarnya tidak jadi bermasalah.‬‬

‫‪Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,‬‬

‫ف أويداخال ووففي بوييتف و‬


‫ك‬ ‫ايستوأيوذون فجيبفريال وعلوييفه اللسلم وعولى النلبفني صلى ا عليه وسلم فووقاول ‪ » :‬ايداخيل « ‪ .‬فووقاول ‪ » :‬وكيي و‬
‫صافويار‬‫طأ ا فوإ فلنا وميعوشور ايلوملئفوكفة ل نويداخال بوييرتا ففيفه تو و‬ ‫طوع ارؤُواسوها أويو تايجوعول بفوسا ر‬
‫طا ايو و‬ ‫صافويار فوإ فلما أوين تايق و‬
‫فسيتدر ففيفه تو و‬

‫‪“Jibril ‘alaihis salam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda,‬‬
‫‪“Masuklah.” Lalu Jibril menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di‬‬
‫‪dalam rumahmu ada tirai yang bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan‬‬
‫‪bagian kepala-kepalanya atau kamu menjadikannya sebagai alas yang dipakai‬‬
‫‪berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk rumah yang di dalamnya‬‬
‫”‪terdapat gambar-gambar.‬‬ ‫‪(HR.‬‬ ‫‪An-Nasai‬‬ ‫‪no.‬‬ ‫‪5365.‬‬ ‫‪Syaikh‬‬ ‫‪Al‬‬ ‫‪Albani‬‬
‫)‪mengatakan bahwa hadits ini shahih‬‬

‫‪Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,‬‬

‫صيوورةاد‬ ‫صيوورةاد اللريأ ا‬


‫س ‪ ٍ،‬فوإ فوذا قافطوع فولو ا‬ ‫وال ص‬

‫‪“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut‬‬
‫‪gambar.” (HR. Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini‬‬
‫)‪shahih dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1921‬‬

‫!‪Hati-Hati dengan Penghasilan dari Melukis‬‬

‫‪Mari kita perhatikan hadits Sa’id bin Abil Hasan berikut ini.‬‬

‫س إفننى‬‫س – رضى ا عنهما – إفيذ أووتاها وراجدل فووقاول ويا أووبا وعلبا ة‬ ‫ت فعينود ايبفن وعلبا ة‬‫وعين وسفعيفد يبفن أوفبى ايلوحوسفن وقاول اكين ا‬
‫ت‬‫ك إفلل وما وسفميع ا‬ ‫س لو أاوحندثا و‬‫صافويور ‪ .‬فووقاول ايبان وعلبا ة‬‫صنواع هوفذفه التل و‬ ‫صينوعفة يوفدىِ ‪ ٍ،‬ووإفننى أو ي‬
‫إفينوسادن ‪ ٍ،‬إفنلوما ومفعيوشفتى فمين و‬
‫او اموعنذباها ‪ ٍ،‬وحلتى يوينفاوخ ففيوها‬ ‫صوورةار فوإ فلن ل‬
‫صلوور ا‬ ‫اف – صلى ا عليه وسلم – يواقوال وسفميعتاها يواقوال » ومين و‬ ‫وراسوول ل‬
‫صنووع ‪ٍ،‬‬‫ت إفلل أوين تو ي‬ ‫ك إفين أوبويي و‬ ‫خ ففيوها أوبوردا « ‪ .‬فووروبا اللراجال وريبووةار وشفديودةار ووا ي‬
‫صفولر وويجهاها ‪ .‬فووقاول ووييوح و‬ ‫الصرووح ‪ ٍ،‬وولويي و‬
‫س بفونافف ة‬
‫س ففيفه ارودح‬ ‫ك بفهووذا اللشوجفر ‪ ٍ،‬اكنل وشيىةء لويي و‬ ‫فووعلويي و‬
Dari Sa’id bin Abil Hasan, ia berkata, “Aku dahulu pernah berada di sisi Ibnu
‘Abbas –radhiyallahu ‘anhuma-. Ketika itu ada seseorang yang mendatangi
beliau lantas ia berkata, “Wahai Abu ‘Abbas, aku adalah manusia.

Penghasilanku berasal dari hasil karya tanganku. Aku biasa membuat gambar
seperti ini.” Ibnu ‘Abbas kemudian berkata, “Tidaklah yang kusampaikan
berikut ini selain dari yang pernah kudengar dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam. Aku pernah mendengar beliau bersabda, “Barangsiapa yang
membuat gambar, Allah akan mengazabnya hingga ia bisa meniupkan ruh
pada gambar yang ia buat. Padahal ia tidak bisa meniupkan ruh tersebut
selamanya.” Wajah si pelukis tadi ternyata berubah menjadi kuning. Kata
Ibnu ‘Abbas, “Jika engkau masih tetap ingin melukis, maka gambarlah pohon
atau segala sesuatu yang tidak memiliki ruh.” (HR. Bukhari no. 2225)

Hadits ini menunjukkan bahwa gambar yang masih dibolehkan untuk dilukis
adalah gambar yang tidak memiliki ruh yaitu selain hewan dan manusia.
Hadits Sa’id di atas juga menunjukkan terlarangnya pekerjaan pelukis yang
hasil karyanya dengan melukis makhluk yang memiliki ruh. Namun jika yang
digambar adalah pepohonan, laut, gunung dan selain gambar yang memiliki
ruh, tidaklah masalah.

Imam Muhammad bin Isma’il Al Bukhari rahimahullah membawakan hadits di


atas dalam kitab shahihnya, “Bab jual beli gambar makhluk yang tidak
memiliki ruh dan yang menunjukkan terlarangnya pekerjaan dari gambar yang
memiliki ruh.”

Hukum Foto dengan Kamera

Jika kita sudah mengetahui secara jelas hukum gambar makhluk yang
memiliki ruh, sekarang kita beralih pada permasalahan yang lebih
kontemporer yang tidak dapati di masa silam. Mengenai masalah foto dari
jepretan kamera, para ulama ada khilaf (silang pendapat). Ada yang melarang
dan menyatakan haram karena beralasan:

Hadits yang membicarakan hukum gambar itu umum, baik dengan melukis
dengan tangan atau dengan alat seperti kamera. Lalu ulama yang melarang
membantah ulama yang membolehkan foto kamera dengan menyatakan bahwa
alasan yang dikemukakan hanyalah logika dan tidak bisa membantah sabda
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga mengharamkan dengan
alasan bahwa foto hasil kamera masih tetap disebut shuroh (gambar) walaupun
dihasilkan dari alat, tetapi tetap sama-sama disebut demikian.

Sedangkan ulama lain membolehkan hal ini dengan alasan dalil-dalil di atas
yang telah disebutkan. Sisi pendalilan mereka:

Foto dari kamera bukanlah menghasilkan gambar baru yang menyerupai


ciptaan Allah. Gambar yang terlarang adalah jika mengkreasi gambar baru.
Namun gambar kamera adalah gambar ciptaan Allah itu sendiri. Sehingga hal
ini tidak termasuk dalam gambar yang nanti diperintahkan untuk ditiupkan
ruhnya. Foto yang dihasilkan dari kamera ibarat hasil cermin. Para ulama
bersepakat akan bolehnya gambar yang ada di cermin.

Alasan kedua ini disampaikan oleh Syaikhuna –Syaikh Sa’ad Asy Syatsri
hafizhohullah, yang di masa silam beliau menjadi anggota Hay-ah Kibaril
‘Ulama (kumpulan ulama besar Saudi Arabia).

Pendapat kedua yang membolehkan foto hasil kamera, kami rasa lebih kuat
dengan alasan yang sudah dikemukakan.

Demikian pembahasan kami secara singkat dari penjelasan para ulama yang
kami peroleh. Moga bermanfaat. Semoga Allah senantiasa memberikan kita
ketakwaan untuk menjauhi segala yang Allah larang.

Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi
sempurna. Hanya Allah yang memberi taufik.

[1] Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah guru penulis sendiri,
Syaikh Sholeh Al Fauzan –hafizhohullah-. Kami mendengar langsung ketika
beliau menjelaskan mengenai hukum gambar dari kitab Ad Durun Nadhid
karya Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 18 Muharram 1433 H.

[2] Syaikh Sa’ad Asy Syatsri menyampaikan hal ini dalam sesi tanya jawab
Dauroh sehari mengenai masalah fitnah, 20 Muharram 1433 H di Masjid
Jaami’ ‘Utsman bin ‘Affan, Riyadh, KSA. Beliau menjadi pemateri ketiga
dengan materi “Qowa’id wa Dhowabith Ta’amul ‘indal Fitnah”. Tanya jawab ini
di rekaman penulis berada pada menit 83 – 85.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Hukum Boneka
Aug 24, 2013Muhammad Abduh Tuasikal, MScUmum17

Kita sudah mengetahui hukum patung sebelumnya. Lantas bagaimana dengan hukum boneka
untuk mainan anak-anak?

Kebanyakan ulama -dari Malikiyah, Syafi’iyah dan Hambali- berpendapat bahwa diharamkan
membuat gambar dan patung kecuali untuk boneka (mainan anak-anak).

Al Qodhi ‘Iyadh menukil akan kebolehan tersebut dan ia katakan bahwa ini adalah pendapat
mayoritas ulama. Begitu pula Imam Nawawi mengikuti pendapat ini dalam Syarh Muslim.
Beliau rahimahullah berkata bahwa dikecualikan dari larangan gambar atau patung yaitu jika
dimaksudkan untuk boneka anak-anak karena ada dalil yang menunjukkan keringanan hal ini.

Kebolehan di sini terserah mainan tersebut dalam bentuk manusia atau hewan, baik berbentuk
tiga dimensi ataukah tidak, begitu pula yang berbentuk imajinasi yang tidak ada wujud aslinya
seperti kuda yang memiliki sayap.

Namun ulama Hambali memberikan syarat kebolehannya jika tidak ada kepala atau anggota
badannya tidak sempurna sehingga tidak dianggap bernyawa. Sedangkan ulama lainnya tidak
mempersyaratkan seperti itu.

Jumhur (baca: mayoritas ulama) berdalil dengan pengecualian di atas berdasarkan hadits ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, di mana ia berkata,

‫ٍ فووكاون وراسوال ل‬، ‫ب يويلوعيبون ومفعى‬


‫اف – صلى‬ ‫صووافح ا‬ ‫ت فعينود النلبفنى – صلى ا عليه وسلم – وووكاون فلى و‬ ‫ب فبايلبوونا ف‬
‫ت أويلوع ا‬
‫اكين ا‬
‫ى فويويلوعيبون ومفعى‬
‫ٍ فوياوسنرباهالن إفلو ل‬، ‫ا عليه وسلم – إفوذا ودوخول يوتوقولميعون فمينها‬
“Aku dahulu pernah bermain boneka di sisi Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam. Aku memiliki
beberapa sahabat yang biasa bermain bersamaku. Ketika Rasululah shallallahu ‘alaihi wa
salam masuk dalam rumah, mereka pun bersembunyi dari beliau. Lalu beliau menyerahkan
mainan padaku satu demi satu lantas mereka pun bermain bersamaku” (HR. Bukhari no. 6130).

Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menyebutkan, “Para ulama berdalil dengan hadits ini akan
bolehnya gambar (atau patung atau boneka) berwujud perempuan dan bolehnya mainan untuk
anak perempuan. Hadits ini adalah pengecualian dari keumumann hadits yang melarang
membuat tandingan yang serupa dengan ciptaan Allah. Kebolehan ini ditegaskan oleh Al Qodhi
‘Iyadh dan beliau katakan bahwa inilah pendapat mayoritas ulama.” (Fathul Bari, 10: 527).

Sedangkan Ibnu Hajar berpendapat bahwa kebolehan bermain dengan boneka seperti ini telah
mansukh (dihapus). Namun hadits ‘Aisyah lainnya menunjukkan bahwa klaim mansukh tersebut
tidaklah tepat.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

‫ت ونافحيوةو النسيتفر‬
‫ت فريدح فووكوشفو ي‬ ‫ك أويو وخييبوور ووففى وسيهووتفوها فسيتدر فوهوبل ي‬ ‫ فمين وغيزووفةا توابو و‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ‫ا‬ ‫قوفدوم وراسوال ل ف‬
‫ع فووقاول » وما‬‫ وووروأىِ بويينوهالن فووررسا لوها وجوناوحافن فمين فروقا ة‬.‫ت بوونافتى‬ ‫ وقالو ي‬.« ‫ب فووقاول » وما هووذا ويا وعائفوشةا‬ ‫ت لفوعائفوشةو لاوع ة‬
‫وعين بوونا ة‬
‫و‬
.« ‫س لها وجوناوحافن‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫و‬
‫ قاول » فور د‬.‫ قالت وجوناوحافن‬.« ‫ قاول » وووما هوذا الفذىِ وعلييفه‬.‫س‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫و‬
‫ قالت فور د‬.« ‫هووذا اللفذىِ أورىِ وويسطهان‬
‫ي‬
‫ك وحلتى ورأويي ا‬
.‫ت نوووافجوذاه‬ ‫ضفح و‬ ‫ت أولن لفاسلوييوماون وخييلر لووها أويجنفوحةد وقالو ي‬
‫ت فو و‬ ‫ت أووما وسفميع و‬‫وقالو ي‬
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tiba dari perang Tabuk atau Khoibar, sementara
kamar ‘Aisyah ditutup dengan kain penutup. Ketika ada angin yang bertiup, kain tersebut
tersingkap hingga mainan boneka ‘Aisyah terlihat. Beliau lalu bertanya, “Wahai ‘Aisyah, apa
ini?” ‘Aisyah menjawab, “Itu mainan bonekaku.” Lalu beliau juga melihat patung kuda yang
mempunyai dua sayap. Beliau bertanya, “Lalu suatu yang aku lihat di tengah-tengah boneka ini
apa?” ‘Aisyah menjawab, “Boneka kuda.” Beliau bertanya lagi, “Lalu yang ada di bagian
atasnya itu apa?” ‘Aisyah menjawab, “Dua sayap.” Beliau bertanya lagi, “Kuda mempunyai dua
sayap!” ‘Aisyah menjawab, “Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Nabi Sulaiman
mempunyai kuda yang punya banyak sayap?” ‘Aisyah berkata, “Beliau lalu tertawa hingga aku
dapat melihat giginya.” (HR. Abu Daud no. 4932 dan An Nasai dalam Al Kubro no. 890. Al
Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan). Hadits ini diceritakan setelah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Tabuk. Ini sudah menunjukkan bahwa
hadits ini tidak dimansukh (dihapus) karena datangnya belakangan.

Ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali beralasan dengan pengecualian tersebut bahwa
mainan tadi dibolehkan karena ada hajat untuk mendidik anak. Ini berarti, jika tujuannya hanya
sekedar dipajang di rumah, maka tentu tidak dibolehkan karena ada bahasan sendiri tentang
hukum memajang gambar.

Dari penjelasan di atas, berarti dibolehkan boneka untuk mainan anak perempuan dalam rangka
mendidik mereka supaya anak perempuan bisa jadi lebih penyayang. Namun aman dan lebih
selamat (baca: sikap wara’), boneka tersebut tanpa wujud yang sempurna, tanpa kepala atau
wajahnya dihilangkan. Wallahu a’lam.

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Al Hafizh Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al ‘Asqolani,
terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Wizaroh Al Awqof wasy Syu-un Al Islamiyyah, Kuwait, jilid
ke-12.

Sumber : https://rumaysho.com/3568-hukum-boneka.html
Hukum Membuat Patung
Aug 23, 2013Muhammad Abduh Tuasikal, MScUmum8

Bagaimana hukum membuat patung? Ada patung yang tidak diagungkan, hanya sedekar
dipajang. Ada juga patung besar yang dijadikan sebagai monumen. Ada pula yang diagungkan
secara berlebihan sehingga akhirnya disembah atau diibadahi seperti di zaman nabi Nuh ‘alaihis
salam. Mari kita lihat ulasan para ulama secara singkat mengenai hukum membuat patung.

Menyerupakan dengan Ciptaan Allah

Menurut jumhur ulama dari madzhab Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hambali berpendapat akan
haramnya membuat shuroh, baik itu gambar tiga dimensi (yaitu patung), begitu pula gambar
selain itu. Bahkan Imam Nawawi katakan bahwa haramnya hal ini adalah ijma’ (kata sepakat
ulama). Namum klaim ijma’ tersebut tidaklah tepat karena ulama Malikiyah menyelisihi dalam
hal ini. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih tepat berdasarkan dalil-dalil larangan
membuat sesuatu yang serupa dengan ciptaan Allah.

Dalil-dalil larangan yang dimaksud adalah sebagai berikut.

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

‫ٍ فولولما ورآها وراسوال‬، ‫ت بفقفوراةم فلى وعولى وسيهووةةا فلى ففيوها توومافثيال‬ ‫ا – صلى ا عليه وسلم – فمين وسفوةر ووقويد وستوير ا‬ ‫قوفدوم وراسوال ل ف‬
‫ت فووجوعيلوناها‬ ‫ق ل‬
‫ وقالو ي‬. « ‫اف‬ ‫ضااهوون بفوخيل ف‬ ‫س وعوذاربا يويووم ايلقفوياومفة اللفذيون يا و‬‫ا – صلى ا عليه وسلم – هوتووكها وووقاول » أووشصد اللنا ف‬ ‫لف‬
‫فووساودةار أويو فووساودتوييفن‬

“Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dari suatu safar dan aku ketika itu
menutupi diri dengan kain tipis milikku di atas lubang angin pada tembok lalu di kain tersebut
terdapat gambar-gambar. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat hal itu, beliau
merobeknya dan bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling berat siksanya pada hari kiamat
adalah mereka yang membuat sesuatu yang menandingi ciptaan Allah.” ‘Aisyah mengatakan,
“Akhirnya kami menjadikan kain tersebut menjadi satu atau dua bantal.” (HR. Bukhari no.
5954 dan Muslim no. 2107).

Dalam riwayat lain disebutkan,

‫ٍ فوياوقاال لوهايم أويحايوا وما وخلويقتايم‬، ‫صووفر يويووم ايلقفوياومفة ياوعلذابوون‬


‫ب هوفذفه ال ص‬ ‫إفلن أو ي‬
‫صوحا و‬
“Sesungguhnya pembuat gambar ini akan disiksa pada hari kiamat. Dikatakan pada mereka,
“Hidupkanlah apa yang telah kalian ciptakan (buat).” (HR. Bukhari no. 2105 dan Muslim no.
2107)

Dalam riwayat lain disebutkan,

‫اف يويووم ايلقفوياومفة ايلام و‬


‫صنواروون‬ ‫إفلن أووشلد اللنا ف‬
‫س وعوذاربا فعينود ل‬

“Sesungguhnya orang yang peling berat siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah al
mushowwirun (pembuat gambar).” (HR. Bukhari no. 5950 dan Muslim no. 2109).

Hukum Membuat Patung


Shuwar (gambar) dibagi menjadi dua macam yaitu bentuk 2 dimensi dan bentuk 3 dimensi
(patung). Yang kita bahas adalah jenis yang terakhir.

Mengenai hukum membuat bentuk tiga dimensi (patung), mayoritas ulama -selain Malikiyah-
mengharamkannya karena berdalil dengan dalil-dalil di atas. Dikecualikan untuk mainan anak-
anak, sesuatu yang dianggap remeh (dihinakan), begitu pula sesuatu yang sifatnya temporer
(tidak permanen) seperti jika dibuat dari manis-manisan dan adonan roti.

Alasan diharamkannya membuat gambar dan patung:

1- Menandingi Allah dalam mencipta.

2- Dapat menjadi perantara untuk berlebih-lebihan terhadap selain Alllah dengan


mengagungkannya lebih-lebih patungnya adalah patung orang sholih.

3- Menyerupai orang musyrik dalam membuat patung walau patung tersebut tidak disembah.
Jika sampai disembah, maka lebih jelas lagi terlarangnya.

Yang termasuk dalam larangan adalah untuk patung yang memiliki ruh yaitu manusia dan hewan,
tidak pada tumbuhan. Lihat bahasan “Hukum Memajang Foto Makhluk Bernyawa“.

Patung Tanpa Kepala

Dalam Al Mughni karya Ibnu Qudamah disebutkan, “Ketika gambar atau patung dibentuk dari
badan tanpa kepala atau kepala tanpa badan atau dijadikan kepala tetapi bagian lainnya adalah
berbentuk lainnnya selain hewan, ini semua tidak termasuk dalam larangan.”

Namun menurut ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa jika bagian tubuh lain tidak ada, lalu
masih tersisa kepala, maka pendapat yang rojih (kuat), gambar atau patung tersebut masih tetap
haram.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‫صيوورةاد‬ ‫صيوورةاد اللريأ ا‬


‫ٍ فوإفوذا قافطوع فولو ا‬، ‫س‬ ‫وال ص‬

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR.
Al-Baihaqi 7: 270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash
Shohihah no. 1921)

Gambar atau Patung Hasil Imajinasi

Membuat gambar atau patung imajinasi tetap masuk dalam hukum haram menurut ulama
Syafi’iyah. Seperti misalnya manusia yang memiliki sayap dan sapi yang memiliki paruh yang
ini semua tidak pernah nyata ada di makhluk. Namun beda halnya jika gambar atau patung untuk
mainan anak-anak karena ‘Aisyah dahulu pernah memiliki mainan berupa kuda yang memiliki
sayap. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah tertawa karena melihat ‘Aisyah
seperti itu sampai kelihatan gigi geraham beliau.[1]

Kalau demikian terlarang membuat patung, maka jelaslah bagaimana hukum jual beli patung dan
berprofesi sebagai pembuat patung, semuanya dihukumi haram. Namun penjelasannya akan
dihadirkan sendiri.

Demikian materi hukum membuat patung yang Rumaysho.Com sampaikan. Penjelasan di atas
penulis ringkas dari Ensiklopedia Fikih yang diterbitkan oleh Kementrian Agama Kuwait. Moga
bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, juz ke 12, hal. 92-111, terbitan Wizaroh Al Awqof wasy Syu-un Al
Islamiyyah.

Sumber : https://rumaysho.com/3566-hukum-membuat-patung.html
Hukum Memajang Foto Makhluk Bernyawa
Mar 14, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScUmum417

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.

Dalam berbagai hadits dilarang bagi kita untuk memajang gambar makhluk bernyawa. Gambar
yang terlarang dibawa ini adalah gambar manusia atau hewan, bukan gambar batu, pohon dan
gambar lainnya yang tidak memiliki ruh. Jika gambar tersebut memiliki kepala, maka
diperintahkan untuk dihapus. Karena kepala itu adalah intinya sehingga gambar itu bisa
dikatakan memiliki ruh atau nyawa. Agar lebih jelas perhatikan terlebih dahulu hadits-hadits
yang menerangkan hal tersebut. Hanya Allah yang beri taufik.

Keterangan dari Berbagai Hadits[1]

Dalam hadits muttafaqun ‘alaih disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫إفلن ايلوملوئفوكةو لو تويداخال بوييرتا ففيفه ا‬


‫صوورةاد‬

”Para malaikat tidak akan masuk ke rumah yang terdapat gambar di dalamnya (yaitu gambar
makhluk hidup bernyawa)” (HR. Bukhari 3224 dan Muslim no. 2106)

Hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

‫ت وونووهى أوين يو ي‬
‫صنووع وذلف و‬
‫ك‬ ‫صووفر ففي ايلبويي ف‬
‫نووهى رسول ا صلى ا عليه وسلم وعفن ال ص‬

“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang adanya gambar di dalam rumah dan beliau
melarang untuk membuat gambar.” (HR. Tirmizi no. 1749 dan beliau berkata bahwa hadits ini
hasan shahih)

Hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
kepadanya,

‫أوين لو تووديع تفيموثالر إفلل و‬


‫طوميستوها وولو قويبررا اميشوررفا إفلل وسلوييتوها‬

“Jangan kamu membiarkan ada gambar kecuali kamu hapus dan tidak pula kubur yang
ditinggikan kecuali engkau meratakannya.” (HR. Muslim no. 969) Dalam riwayat An-Nasai,

‫ت إفلل و‬
‫طوميستووها‬ ‫صوورةار ففي بويي ة‬
‫ووول ا‬

“Dan tidak pula gambar di dalam rumah kecuali kamu hapus.” (HR. An Nasai no. 2031. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dia berkata,


‫ت وووروأىِ إفيبورافهيوم‬‫ت يويعفني ايلوكيعبوةو لويم يويداخيل ووأوومور بفوها فوامفحيو ي‬
‫صووور ففي ايلبويي ف‬ ‫اا وعلوييفه وووسللوم لولما وروأىِ ال ص‬‫صللى ل‬ ‫أولن النلبف ل‬
‫ي و‬
‫اف وما ايستويقوسوما فبايلويزولفم قو ص‬
‫ط‬ ‫اا وو ل‬ ‫ووإفيسومافعيول وعلوييفهوما اللسولم بفأ وييفديفهوما ايلويزولام فووقاول وقاتولوهايم ل‬

“Bahwa tatkala Nabi melihat gambar di (dinding) Ka’bah, beliau tidak masuk ke dalamnya dan
beliau memerintahkan agar semua gambar itu dihapus. Beliau melihat gambar Nabi Ibrahim
dan Ismail ‘alaihimas ssalam tengah memegang anak panah (untuk mengundi nasib), maka
beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka, demi Allah keduanya tidak pernah
mengundi nasib dengan anak panah sekalipun. “ (HR. Ahmad 1/365. Kata Syaikh Syu’aib Al
Arnauth bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari dan periwayatnya tsiqoh, termasuk
perowi Bukhari Muslim selain ‘Ikrimah yang hanya menjadi periwayat Bukhari)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku
sementara saya baru saja menutup rumahku dengan tirai yang padanya terdapat gambar-gambar.
Tatkala beliau melihatnya, maka wajah beliau berubah (marah) lalu menarik menarik tirai
tersebut sampai putus. Lalu beliau bersabda,

‫س وعوذاربا يويووم ايلقفوياومفة اللفذيون ياوشبناهوون بفوخيل ف‬


‫ق ل‬
‫اف‬ ‫إفلن فمين أووشند اللنا ف‬
“Sesungguhnya manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah mereka yang
menyerupakan makhluk Allah.” (HR. Bukhari no. 5954 dan Muslim no. 2107 dan ini adalah
lafazh Muslim). Dalam riwayat Muslim,

‫ فوقوطويعتاها فووساودتوييفن‬: ‫ت‬ ‫صافويار فوودوخول وراسوال ل‬


‫ٍ وقالو ي‬، ‫اف صلى ا عليه وسلم فونووزوعها‬ ‫ت فسيتررا ففيفه تو و‬ ‫أونلوها نو و‬
‫صبو ي‬

“Dia (Aisyah) memasang tirai yang padanya terdapat gambar-gambar, maka Rasulullah masuk
lalu mencabutnya. Dia berkata, “Maka saya memotong tirai tersebut lalu saya membuat dua
bantal darinya.”

Dari Ali radhiyallahu anhu, dia berkata,

‫ي صلى ا عليه وسلم فووجاوء فوودوخول فووروأىِ فسيتررا ففيفه تو و‬


‫ إفلن‬: ‫ وووقاول‬. ‫صافويار فووخوروج‬ ‫ت النلبف ل‬ ‫ت و‬
‫طوعارما فوودوعيو ا‬ ‫صنويع ا‬
‫و‬
‫ي‬
‫الوملئفوكةو ل تويداخال بوييرتا ففيفه تو و‬
‫صافويار‬

“Saya membuat makanan lalu mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk datang.
Ketika beliau datang dan masuk ke dalam rumah, beliau melihat ada tirai yang bergambar,
maka beliau segera keluar seraya bersabda, “Sesungguhnya para malaikat tidak akan masuk ke
dalam rumah yang di dalamnya ada gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5351. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata,

‫ف أويداخال ووففي بوييتف و‬


‫ك‬ ‫ » وكيي و‬: ‫ فووقاول‬. « ‫ » ايداخيل‬: ‫ايستوأيوذون فجيبفريال وعلوييفه اللسلم وعولى النلبفني صلى ا عليه وسلم فووقاول‬
‫صافويار‬ ‫طأ ا فوإ فلنا وميعوشور ايلوملئفوكفة ل نويداخال بوييرتا ففيفه تو و‬ ‫طوع ارؤُواسوها أويو تايجوعول بفوسا ر‬
‫طا ايو و‬ ‫صافويار فوإ فلما أوين تايق و‬
‫فسيتدر ففيفه تو و‬
“Jibril ‘alaihis salam meminta izin kepada Nabi maka Nabi bersabda, “Masuklah.” Lalu Jibril
menjawab, “Bagaimana saya mau masuk sementara di dalam rumahmu ada tirai yang
bergambar. Sebaiknya kamu menghilangkan bagian kepala-kepalanya atau kamu
menjadikannya sebagai alas yang dipakai berbaring, karena kami para malaikat tidak masuk
rumah yang di dalamnya terdapat gambar-gambar.” (HR. An-Nasai no. 5365. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Pelajaran:

Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas, menunjukkan bahwa yang dimaksud
gambar yang terlarang dipajang adalah gambar makhluk bernyawa (yang memiliki ruh) yaitu
manusia dan hewan, tidak termasuk tumbuhan. Sisi pendalilannya bahwa Jibril menganjurkan
agar bagian kepala dari gambar tersebut dihilangkan, barulah beliau akan masuk ke dalam
rumah. Ini menunjukkan larangan hanya berlaku pada gambar yang bernyawa karena gambar
orang tanpa kepala tidaklah bisa dikatakan bernyawa lagi.

Dalam hadits lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

‫صيوورةاد‬ ‫صيوورةاد اللريأ ا‬


‫ٍ فوإ فوذا قافطوع فولو ا‬، ‫س‬ ‫وال ص‬

“Gambar itu adalah kepala, jika kepalanya dihilangkan maka tidak lagi disebut gambar.” (HR.
Al-Baihaqi 7/270. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shahih dalam As Silsilah Ash
Shohihah no. 1921)

Menghapus Gambar Makhluk Bernyawa

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah ditanya, “Bisakah engkau jelaskan
mengenai jenis gambar yang mesti dihapus?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Gambar yang mesti dihapus adalah setiap gambar manusia
atau hewan. Yang wajib dihapus adalah wajahnya saja. Jadi cukup menghapus wajahnya
walaupun badannya masih tersisa. Sedangkan gambar pohon, batu, gunung, matahari, bulan dan
bintang, maka ini gambar yang tidak mengapa dan tidak wajib dihapus. Adapun untuk gambar
mata saja atau wajah saja (tanpa ada panca indera, pen), maka ini tidaklah mengapa, karena
seperti itu bukanlah gambar dan hanya bagian dari gambar, bukan gambar secara hakiki.” (Liqo’
Al Bab Al Maftuh, kaset no. 35)

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam kesempatan yang
lain bahwa gambar makhluk bernyawa boleh dibawa jika darurat. Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
ditanya, “Dalam majelis sebelumnya, engkau katakan bahwa boleh membawa gambar dengan
alasan darurat. Mohon dijelaskan apa yang jadi kaedah dikatakan darurat?”

Syaikh rahimahullah menjawab, “Darurat yang dimaksud adalah semisal gambar yang ada pada
mata uang atau memang gambar tersebut adalah gambar ikutan yang tidak bisa tidak harus turut
serta dibawa atau keringanan dalam qiyadah (pimpinan). Ini adalah di antara kondisi darurat
yang dibolehkan. Orang pun tidak punya keinginan khusus dengan gambar-gambar tersebut dan
di hatinya pun tidak maksud mengagungkan gambar itu. Bahkan gambar raja yang ada di mata
uang, tidak seorang pun yang punya maksud mengagungkan gambar itu.” (Liqo’ Al Bab Al
Maftuh, kaset no. 33)

Penjelasan hukum dalam tulisan di atas semata-mata berdasarkan dalil dari sabda Nabi kita
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan atas dasar logika semata. Semoga Allah
menganugerahkan sifat takwa sehingga bisa menjauhi setiap larangan dan mudah dalam
melakukan kebaikan. Wallahu waliyyut taufiq.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Sumber : https://rumaysho.com/1620-hukum-memajang-foto-makhluk-bernyawa.html
KITA AKAN DIPIMPIN OLEH YANG SEMISAL KITA

Pemilihan pemimpin di beberapa propinsi, kabupaten dan kota yang baru-


baru ini diadakan, sebenarnya bisa kita ambil beberapa hikmah dan pelajaran.

Di antaranya, kita bisa tahu bagaimanakah keadaan umat Islam saat ini. Ada
yang berilmu dan paham akan akidah, sehingga daerahnya memiliki pemimpin
yang baik dan seorang muslim.

Sebaliknya ada yang butuh pembinaan sehingga daerahnya memiliki


pemimpin yang tidak baik dari sisi akhlak, bahkan yang terpilih non-muslim.

Ini tanda bahwa pemimpin itu cerminan dari rakyatnya.

Coba lihat dari beberapa dalil berikut.

Dalil pertama,

‫ت أدنيِدديِرَكنم دوديِنعرَفو دعنن دكدثيِلر‬ ‫دودماَ أد د‬


‫صاَدبرَكنم دمنن رَم د‬
‫صيِدبلة دفدبدماَ دكدسدب ن‬
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allâh memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu.” (QS. Asy-Syura: 30]

Kezhaliman seorang pemimpin adalah musibah yang mengancam umat. Allah


sudah memberitahukan bahwa penyebab musibah tersebut adalah kesalahan
umat.

Dalil kedua,

‫ض الشظاَلددميِدن دبنع ة‬ ‫ذ‬


‫ضاَ دبدماَ دكاَرَنوا ديِنكدسرَبودن‬ ‫ك رَندولُليِ دبنع د‬
‫دودكدذلد د‬
“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zhalim itu
menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka
usahakan.” (QS. Al-An’am: 129)

Dalil ketiga,

Muhammad Haqqi saat menafsirkan makna firman Allâh di bawah ini :


‫ك دمشمنن دتدشاَرَء دورَتدعتز دمنن دتدشاَرَء دورَتدذتل‬ ‫ك دمنن دتدشاَرَء دودتنندزرَع انلرَمنلِ د‬ ‫ك انلرَمنلِدك رَت نؤدتيِ انلرَمنلِ د‬
‫قرَدل اللِشرَهشم دماَلد د‬
‫ك دعلِدذىِ رَكلُل دشنيِلء دقدديِرر‬ ‫ك انلدخنيِرَر ۖ إدشن د‬
‫دمنن دتدشاَرَء ۖ دبديِدد د‬
Katakanlah, “Wahai Rabb Yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan
kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan
dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau
kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan
Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala
sesuatu”. (QS. Ali ‘Imran: 26)

Kandungan ayat ini adalah “Jika kalian adalah orang-orang yang taat dan
patuh niscaya Allâh Azza wa Jalla akan menjadikan orang yang penuh kasih
sayang sebagai pemimpin kalian. Namun jika kalian pelaku kemaksiatan,
niscaya Allâh akan menjadi orang jahat sebagai penguasa kalian.”

Dalil keempat,

Qatadah rahimahullah berkata, “Dahulu Bani Israil pernah mengatakan,


‘Wahai Tuhan kami! Engkau di langit sementara kami di bumi, lalu bagaimana
kami dapat mengetahui ridha dan murka-Mu?’ Lalu Allâh Azza wa Jalla
mengilhamkan kepada sebagian para Nabi-Nya “Kalau Aku angkat orang-
orang baik sebagai pemimpin kalian, berarti Aku ridha kepada kalian. Kalau
Aku angkat orang-orang jahat sebagai pemimpin kalian, berarti Aku murka
kepada kalian.’

Dalil kelima,

Dalil lain adalah kisah perjalanan hidup Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa


sallam yang memfokuskan diri untuk mendakwahi masyarakat umum, tidak
fokus pada jajaran konglomerat, pejabat, penguasa serta tokoh masyarakat.
Cara dakwah semacam inilah yang merupakan metode berdakwahnya para
Nabi.

Ada perkataan yang sudah masyhur pula walau berasal dari hadits dho’if,

‫كماَ تكونوا يِول علِيِكم‬


“Bagaimana keadaanmu, itulah juga keadaan orang yang memimpinmu.”
Kalau kita tahu demikian, tugas kita sebagai rakyat haruskah bagaimana
menghadapi situasi politik yang mencengangkan saat ini?

Pertama, giatkan terus majelis ilmu, karena umat Islam akan semakin jaya
dengan majelis ilmu dan dakwah.

Kedua, perbaiki akidah umat. Karena dakwah seperti inilah yang lebih
maslahat yang akan memperbaiki akidah umat sehingga Islam bisa jaya.
Allah Ta’ala berfirman,

َ‫ر‬
‫دولددقند دبدعنثدناَ دفيِ رَكلُل أشملة دررَسوةل أددن انعرَبرَدوا ش د‬
‫ا دوانجدتدنرَبوا الشطاَرَغو د‬
‫ت‬
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang
mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36). Ayat yang
mulia ini menunjukkan bahwa dakwah seluruh rasul adalah dakwah tauhid.
Kalau kita tempuh dakwah ini, itulah jalan keselamatan dan jalan terbaik
yang kita tempuh.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah pada kita semua.

Yang ketiga, patut diingat adalah dakwah dengan akhlak. Karena dakwah
seperti inilah yang lebih mengena dan akan lebih membuat tertarik non-Islam.

‫لقَاد‬ ‫ت ل رَدتلُمدم د‬
‫صاَلددح الدنخ د‬ َ‫إدشندماَ رَبدعنث ر‬
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan baiknya akhlaq.” (HR.
Ahmad, 2: 381, shahih)

Oleh : Muhammad Abduh Tuasikal


SHALAT DI MUSHOLLA PESAWAT

Waktu menunjukkan pukul 04.30 di jam tangan kami. Dan memang sengaja
kami setting agar tetap mengikuti Waktu Indonesia Barat.

Menurut kebiasaan, jam segitu sudah menunjukkan masuk shalat shubuh


untuk Pulau Jawa. Namun masalahnya pesawat baru memasuki perairan
Thailand, sekitar laut Andaman. Pada waktu tersebut, kami sudah
dibangunkan oleh teman di samping. Kami lihat ke langit-langit, belum masuk
waktu Shubuh.

Beranjak ke bagian buritan pesawat. Kami lihat ada seorang pramugara di


belakang (tampak wajah Saudi) sedang duduk di kursi penumpang sambil
mengutak-atik layar.

Kami bertanya, “Saya ingin tahu waktu shalat shubuh.”


Ia menjawab, “Insya-Allah nanti akan diumumkan.”
Saat itu … orang-orang berhidung mancung, nampak sekali perawakan Saudi
sedang menuju bagian belakang dari pesawat.
Kami lihat-lihat, ternyata di bagian belakang memang ada musholla, tempat
shalat.
Walhamdulillah …

Mereka semangat berbondong-bondong ke ruang shalat (musholla pesawat)


padahal waktu masih menunjukkan jam lima pagi.

Sambil menunggu, masing-masing sibuk shalat sunnah. Mumpung masih ada


kesempatan menambah shalat tahajud dan witir.

Saat pukul 05.35, waktu di jam tangan kami, dari ruang pilot sudah
meneriakkan, “Sekarang waktu Shalat Fajar (Shalat Shubuh).”

Barulah saat itu dilaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah dengan


jamaah sekitar sepuluh orang.
Ternyata habis shalat, sudah banyak yang mengantri di belakang. Dan orang-
orang yang ingin shalat terus berdatangan ke musholla yang hanya berukuran
dua kali dua.

Pelajaran Penting

1. Orang Saudi sangat memperhatikan waktu shalat, sepertinya mereka sudah


merasa Shubuh sudah akan masuk karena sebelum waktu shalat tiba, mereka
sudah berkumpul untuk menanti.

2. Kami baru tahu ada musholla di dalam pesawat. Ini baru kami temui di
pesawat Saudia Airlines, belum di maskapai lainnya.

3. Pilot Saudia sangat memperhatikan kemaslahatan jamaah, sebelum masuk


shubuh ia selalu memperhatikan keadaan langit. Lalu ia umumkan mengenai
waktu shalat.

4. Sempat terjadi dialog dengan orang Indo yang ikut shalat. Kala itu ia
mengambil tayamum dengan debu di dinding pesawat. Orang Saudi sempat
menasihati. “Masih ada air dan bisa gunakan sedikit-sedikit saja. Tidak boleh
beralih pada tayamum.”

Memang benar, kami juga praktikkan seperti itu selama shalat di pesawat. Air
masih ada, dan Insya-Allah masih cukup untuk jamaah 400-an. Tak boleh
beralih sama sekali pada tayamum dalam kondisi ada air yang mencukupi
seperti itu.

Akhirnya, setelah dinasihati dengan baik dan santun, sambil kami juga
menerjemahkan perkataan orang Saudi, orang Indo pun beralih memakai air.

5. Semangat shalat malam walau di pesawat.

6. Mau rela ngantri menunggu gantian menggunakan musholla.

7. Tetap semangat menjaga shalat jamaah meskipun di pesawat.


8. Tetap melakukan shalat dalam keadaan berdiri dan menghadap kiblat
sedangkan arah pesawat saat itu ke arah timur.

Semoga bisa jadi pelajaran berharga dan jadi penyemangat kita untuk
beribadah.

Akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal


TAHLILAN ADALAH BID'AH MENURUT MADZHAB SYAFI'I
Kategori: Fiqh Diterbitkan pada 22 March 2013 Klik: 397329

Sering kita dapati sebagian ustadz atau kiyai yang


mengatakan, "Tahlilan kok dilarang?, tahlilan kan artinya Laa ilaah illallahh?".

Tentunya tidak seorang muslimpun yang melarang tahlilan, bahkan yang melarang tahlilan
adalah orang yang tidak diragukan kekafirannya. Akan tetapi yang dimaksud dengan istilah
"Tahlilan" di sini adalah acara yang dikenal oleh masyarakat yaitu acara kumpul-kumpul di
rumah kematian sambil makan-makan disertai mendoakan sang mayit agar dirahmati oleh Allah.

Lebih aneh lagi jika ada yang melarang tahlilan langsung dikatakan "Dasar wahabi"..!!!

Seakan-akan pelarangan melakukan acara tahlilan adalah bid'ah yang dicetus oleh kaum
wahabi !!?

Sementara para pelaku acara tahlilan mengaku-ngaku bahwa mereka bermadzhab syafi'i !!!.
Ternyata para ulama besar dari madzhab Syafi'iyah telah mengingkari acara tahlilan, dan
menganggap acara tersebut sebagai bid'ah yang mungkar, atau minimal bid'ah yang makruh.
Kalau begitu para ulama syafi'yah seperti Al-Imam Asy-Syafii dan Al-Imam An-Nawawi dan
yang lainnya adalah wahabi??!!

A. Ijmak Ulama bahwa Nabi, para sahabat, dan para imam madzhab tidak pernah tahlilan

Tentu sangat tidak diragukan bahwa acara tahlilan –sebagaimana acara maulid Nabi dan bid'ah-
bid'ah yang lainnya- tidaklah pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak juga
para sahabatnya, tidak juga para tabi'in, dan bahkan tidak juga pernah dilakukan oleh 4 imam
madzhab (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafii, dan Ahmad rahimahumullah).

Akan tetapi anehnya sekarang acara tahlilan pada kenyataannya seperti merupakan suatu
kewajiban di pandangan sebagian masyarakat. Bahkan merupakan celaan yang besar jika
seseorang meninggal lalu tidak ditahlilkan. Sampai-sampai ada yang berkata, "Kamu kok tidak
mentahlilkan saudaramu yang meninggal??, seperti nguburi kucing aja !!!".

Tidaklah diragukan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah kehilangan banyak
saudara, karib kerabat, dan juga para sahabat beliau yang meninggal di masa kehidupan beliau.
Anak-anak beliau (Ruqooyah, Ummu Kaltsum, Zainab, dan Ibrahim radhiallahu 'anhum)
meninggal semasa hidup beliau, akan tetapi tak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Apakah semuanya dikuburkan oleh Nabi seperti menguburkan
kucing??.

Istri beliau yang sangat beliau cintai Khodijah radhiallahu 'anhaa juga meninggal di masa hidup
beliau, akan tetapi sama sekali tidak beliau tahlilkan. Jangankan hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100,
ke-1000 bahkan sehari saja tidak beliau tahlilkan. Demikian juga kerabat-kerabat beliau yang
beliau cintai meninggal di masa hidup beliau, seperti paman beliau Hamzah bin Abdil
Muthholib, sepupu beliau Ja'far bin Abi Thoolib, dan juga sekian banyak sahabat-sahabat beliau
yang meninggal di medan pertempuran, tidak seorangpun dari mereka yang ditahlilkan oleh Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam.

Demikian pula jika kita beranjak kepada zaman al-Khulafaa' ar-Roosyidin (Abu Bakar,
Umar, Utsman, dan Ali) tidak seorangpun yang melakukan tahlilan terhadap saudara mereka atau
sahabat-sahabat mereka yang meninggal dunia.

Nah lantas apakah acara tahlilan yang tidak dikenal oleh Nabi dan para sahabatnya, bahkan
bukan merupakan syari'at tatkala itu, lantas sekarang berubah statusnya menjadi syari'at yang
sunnah untuk dilakukan??!!, bahkan wajib??!! Sehingga jika ditinggalkan maka timbulah
celaan??!!

Sungguh indah perkataan Al-Imam Malik (gurunya Al-Imam Asy-Syaafi'i rahimahumallahu)

‫فوومتتتتتتتتتتتتتتتتتا ولتتتتتتتتتتتتتتتتتيم يواكتتتتتتتتتتتتتتتتتين يويوومفئتتتتتتتتتتتتتتتتتةذ فدييرنتتتتتتتتتتتتتتتتتا لو يواكتتتتتتتتتتتتتتتتتيوان ايلويتتتتتتتتتتتتتتتتتيووم فدييرنتتتتتتتتتتتتتتتتتا‬

" aka perkara apa saja yang pada hari itu (pada hari disempurnakan Agama kepada Nabi, yaitu
M
masa Nabi dan para sahabat-pen) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga
bukan merupakan perkara agama.”(Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Bagaimana bisa suatu perkara yang jangankan merupakan perkara agama, bahkan tidak dikenal
sama sekali di zaman para sahabat, kemudian lantas sekarang menjadi bagian dari agama !!!

B. Yang Sunnah adalah meringankan beban keluarga mayat bukan malah memberatkan

Yang lebih tragis lagi acara tahlilan ini ternyata terasa berat bagi sebagian kaum muslimin
yang rendah tingkat ekonominya. Yang seharusnya keluarga yang ditinggal mati dibantu,
ternyata kenyataannya malah dibebani dengan acara yang berkepanjangan…biaya terus
dikeluarkan untuk tahlilan…hari ke-3, hari ke-7, hari ke-40, hari ke-100, hari ke-1000…

Tatkala datang kabar tentang meninggalnya Ja'far radhiallahu 'anhu maka Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam berkata :

‫طوعارمتتتتتتتتتتتتتتتا وفتتتتتتتتتتتتتتتإ فنلها وقتتتتتتتتتتتتتتتيد أووتتتتتتتتتتتتتتتتاهايم ومتتتتتتتتتتتتتتتا يايشتتتتتتتتتتتتتتتفغلاهايم‬


‫صتتتتتتتتتتتتتتتنواعوا فلفل وجيعوفتتتتتتتتتتتتتتتور و‬
‫اف ي‬

"Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena sesungguhnya telah datang kepada mereka
perkara yang menyibukan mereka" (HR Abu Dawud no 3132

Al-Imam Asy-Syafi'I rahimahullah berkata :

‫طوعارما يايشبفاعهايم فإن ذلك اسنلةد ووفذيكدر وكفريدم وهو متتن‬ ‫ت وولوييلوتففه و‬
‫ت في يويوفم يوامو ا‬ ‫ت أو فذيِ قوورابوتففه أوين يويعومالوا فلويهفل ايلومين ف‬‫ب لففجيورافن ايلومين ف‬ ‫ووأافح ص‬
‫اا عليه وسلم ايجوعالوا فلفل وجيعفوةر طووعارمتا فتإنه قتد وج اوءهايم‬ ‫اف صلى ل‬ ‫ي وجيعفوةر قال رسول ل‬ ‫ففيعفل أويهفل ايلوخييفر قويبلوونا ووبويعودونا فلونلها لولما جاء نويع ا‬
‫أو يمتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتدر يو يشتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتوغلاهايم‬

"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi
keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat.
Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang
baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar,
karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

C. Argumen Madzhab Syafi'i Yang Menunjukkan makruhnya/bid'ahnya acara Tahlilan


Banyak hukum-hukum madzhab Syafi'i yang menunjukkan akan makruhnya/bid'ahnya acara
tahlilan. Daintaranya :

PERTAMA : Pendapat madzhab Syafi'i yang mu'tamad (yang menjadi patokan) adalah
dimakruhkan berta'ziah ke keluarga mayit setelah tiga hari kematian mayit. Tentunya hal ini jelas
bertentangan dengan acara tahlilan yang dilakukan berulang-ulang pada hari ke-7, ke-40, ke-100,
dan bahkan ke-1000

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

"Para sahabat kami (para fuqohaa madzhab syafi'i) mengatakan : "Dan makruh ta'ziyah (melayat)
setelah tiga hari. Karena tujuan dari ta'ziah adalah untuk menenangkan hati orang yang terkena
musibah, dan yang dominan hati sudah tenang setelah tiga hari, maka jangan diperbarui lagi
kesedihannya. Dan inilah pendapat yang benar yang ma'ruf…." (Al-Majmuu' Syarh Al-
Muhadzdzab 5/277)

Setalah itu al-Imam An-Nawawi menyebutkan pendapat lain dalam madzhab syafi'i yaitu
pendapat Imam Al-Haromain yang membolehkan ta'ziah setelah lewat tiga hari dengan tujuan
mendoakan mayat. Akan tetapi pendapat ini diingkari oleh para fuqohaa madzhab syafi'i.

Al-Imam An-Nawawi berkata :

"Dan Imam al-Haromain menghikayatkan –satu pendapat dalam madzhab syafi'i- bahwasanya
tidak ada batasan hari dalam berta'ziah, bahkan boleh berta'ziah setelah tiga hari dan meskipun
telah lama waktu, karena tujuannya adalah untuk berdoa, untuk kuat dalam bersabar, dan
larangan untuk berkeluh kesah. Dan hal-hal ini bisa terjadi setelah waktu yang lama. Pendapat ini
dipilih (dipastikan) oleh Abul 'Abbaas bin Al-Qoosh dalam kitab "At-Talkhiis".

Al-Qoffaal (dalam syarahnya) dan para ahli fikih madzhab syafi'i yang lainnya
mengingkarinya. Dan pendapat madzhab syafi'i adalah adanya ta'ziah akan tetapi tidak ada
ta'ziah setelah tiga hari. Dan ini adalah pendapat yang dipastikan oleh mayoritas ulama.

Al-Mutawalli dan yang lainnya berkata, "Kecuali jika salah seorang tidak hadir, dan hadir setelah
tiga hari maka ia boleh berta'ziah"

(Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzdzab 5/277-278)

Lihatlah dalam perkataan al-Imam An-Nawawi di atas menunjukkan bahwasanya dalih untuk
mendoakan sang mayat tidak bisa dijadikan sebagai argument untuk membolehkan acara tahlilan
!!!

KEDUA : Madzhab syafi'i memakruhkan sengajanya keluarga mayat berkumpul lama-lama


dalam rangka menerima tamu-tamu yang berta'ziyah, akan tetapi hendaknya mereka segera pergi
dan mengurusi kebutuhan mereka.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :


"Adapun duduk-duduk untuk ta'ziyah maka Al-Imam Asy-Syafi'i menashkan (menyatakan)
dan juga sang penulis al-Muhadzdzab serta seluruh ahli fikih madzhab syafi'i akan
makruhnya hal tersebut…

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Yang dimaksud dengan "duduk-duduk untuk
ta'ziyah" adalah para keluarga mayat berkumpul di rumah lalu orang-orang yang hendak
ta'ziyah pun mendatangi mereka.

Mereka (para ulama madzhab syafi'i) berkata : Akan tetapi hendaknya mereka (keluarga mayat)
pergi untuk memenuhi kebutuhan mereka, maka barang siapa yang bertemu mereka memberi
ta'ziyah kepada mereka. Dan hukumnya tidak berbeda antara lelaki dan wanita dalam hal
dimakruhkannya duduk-duduk untuk ta'ziyah…"

Al-Imam Asy-Syafi'i berkata dalam kitab "Al-Umm" :

"Dan aku benci al-maatsim yaitu berkumpulnya orang-orang (di rumah keluarga mayat –pen)
meskipun mereka tidak menangis. Karena hal ini hanya memperbarui kesedihan, dan
membebani pembiayayan….". ini adalah lafal nash (pernyataan) Al-Imam Asy-syafi'i dalam
kitab al-Umm. Dan beliau diikuti oleh para ahli fikih madzhab syafi'i.

Dan penulis (kitab al-Muhadzdzab) dan yang lainnya juga berdalil untuk pendapat ini dengan
dalil yang lain, yaitu bahwasanya model seperti ini adalah muhdats (bid'ah)" (Al-Majmuu'
Syarh Al-Muhadzdzab 5/278-279)

Sangat jelas dari pernyataan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah ini bahwasanya para ulama
madzhab syafi'i memandang makruhnya berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayat karena ada
3 alasan :

(1) Hal ini hanya memperbarui kesedihan, karenanya dimakruhkan berkumpul-kumpul meskipun
mereka tidak menangis

(2) Hal ini hanya menambah biaya

(3) Hal ini adalah bid'ah (muhdats)

KETIGA : Madzhab syafi'i memandang bahwa perbuatan keluarga mayat yang membuat
makanan agar orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayat adalah perkara bid'ah

Telah lalu penukilan perkataan Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah :

‫ت وولوييلوتففه طووعارما يايشبفاعهايم فإن ذلك اسنلةد ووفذيكدر وكفريدم وهو متتن‬ ‫ت في يويوفم يوامو ا‬ ‫ت أو فذيِ قوورابوتففه أوين يويعومالوا فلويهفل ايلومين ف‬‫ب لففجيورافن ايلومين ف‬ ‫ووأافح ص‬
‫طوعارمتا فتإنه قتد وج اوءهايم‬ ‫اا عليه وسلم ايجوعالوا فلفل وجيعفوةر و‬ ‫اف صلى ل‬ ‫ي وجيعفوةر قال رسول ل‬ ‫ففيعفل أويهفل ايلوخييفر قويبلوونا ووبويعودونا فلونلها لولما جاء نويع ا‬
‫أو يمتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتدر يو شتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتتوغلهايم‬
‫ا‬ ‫ي‬
"Dan aku menyukai jika para tetangga mayat atau para kerabatnya untuk membuat makanan bagi
keluarga mayat yang mengenyangkan mereka pada siang dan malam hari kematian sang mayat.
Karena hal ini adalah sunnah dan bentuk kebaikan, dan ini merupakan perbuatan orang-orang
baik sebelum kami dan sesudah kami, karena tatkala datang kabar tentang kematian Ja'far maka
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'afar,
karena telah datang kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka" (Kitab Al-Umm 1/278)

Akan tetapi jika ternyata para wanita dari keluarga mayat berniahah (meratapi) sang mayat maka
para ulama madzhab syafi'i memandang tidak boleh membuat makanan untuk mereka (keluarga
mayat).

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

Para sahabat kami (para ahli fikih madzhab syafi'i) rahimahullah berkata, "Jika seandainya para
wanita melakukan niahah (meratapi sang mayat di rumah keluarga mayat-pen) maka tidak boleh
membuatkan makanan bagi mereka. Karena hal ini merupakan bentuk membantu mereka dalam
bermaksiat.

Penulis kitab as-Syaamil dan yang lainnya berkata : "Adapun keluarga mayat membuat makanan
dan mengumpulkan orang-orang untuk makan makanan tersebut maka tidak dinukilkan sama
sekali dalilnya, dan hal ini merupakan bid'ah, tidak mustahab (tidak disunnahkan/tidak
dianjurkan)".

Ini adalah perkataan penulis asy-Syaamil. Dan argumen untuk pendapat ini adalah hadits Jarir
bin Abdillah radhiallahu 'anhu ia berkata, "Kami memandang berkumpul di rumah keluarga
mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah". Diriwayatkan
oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih" (Al-Majmuu' Syarh Al-
Muhadzdzab 5/290)

D. Fatwa para ulama 4 madzhab di kota Mekah akan bid'ahnya tahlilan

Diantara para ulama madzhab syafi'i lainnya yang menyatakan dengan tegas akan bid'ahnya
tahlilan adalah :

Dalam kitab Hasyiah I'aanat at-Thoolibin, Ad-Dimyaathi berkata :

"Aku telah melihat pertanyaan yang ditujukan kepada para mufti kota Mekah tentang makanan
yang dibuat oleh keluarga mayat dan jawaban mereka tentang hal ini.

(Pertanyaan) : Apakah pendapat para mufti yang mulia di tanah haram –semoga Allah senantiasa
menjadikan mereka bermanfaat bagi manusia sepanjang hari- tentang tradisi khusus orang-orang
yang tinggal di suatu negeri, yaitu bahwasanya jika seseorang telah berpindah ke daarul jazaa'
(akhirat) dan orang-orang kenalannya serta tetangga-tetangganya menghadiri ta'ziyah (melayat)
maka telah berlaku tradisi bahwasanya mereka menunggu (dihidangkannya) makanan. Dan
karena rasa malu yang meliputi keluarga mayat maka merekapun bersusah payah untuk
menyiapkan berbagai makanan untuk para tamu ta'ziyah tersebut. Mereka menghadirkan
makanan tersebut untuk para tamu dengan susah payah. Maka apakah jika kepala pemerintah
yang lembut dan kasih sayang kepada rakyat melarang sama sekali tradisi ini agar mereka
kembali kepada sunnah yang mulia yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dimana beliau berkata, "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far", maka sang kepala
pemerintahan ini akan mendapatkan pahala karena pelarangan tersebut?. Berikanlah jawaban
dengan tulisan dan dalil !!"

Jawaban :

"Segala puji hanya milik Allah, dan semoga shalawat dan salam untuk Nabi Muhammad,
keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya setelahnya. Ya Allah aku meminta kepadMu
petunjuk kepada kebenaran.

Benar bahwasanya apa yang dilakukan oleh masyarakat berupa berkumpul di keluarga mayat dan
pembuatan makanan merupakan bid'ah yang munkar yang pemerintah diberi pahala atas
pelarangannya ….

Dan tidaklah diragukan bahwasanya melarang masyarakat dari bid'ah yang mungkar ini,
padanya ada bentuk menghidupkan sunnaah dan mematikan bid'ah, membuka banyak
pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan. Karena masyarakat benar-benar bersusah
payah, yang hal ini mengantarkan pada pembuatan makanan tersebut hukumnya haram. Wallahu
a'lam.

Ditulis oleh : Yang mengharapkan ampunan dari Robnya : Ahmad Zainy Dahlan, mufti madzhab
Syafi'iyah di Mekah"

Adapun jawaban Mufti madzhab Hanafiyah di Mekah sbb :


"Benar, pemerintah (waliyyul 'amr) mendapatkan pahala atas pelarangan masyarakat dari
perbuatan-perbuatan tersebut yang merupakah bid'ah yang buruk menurut mayoritas ulama….

Penulis Raddul Muhtaar berkata, "Dan dibenci keluarga mayat menjamu dengan makanan karena
hal itu merupakan bentuk permulaan dalam kegembiraan, dan hal ini merupakan bid'ah"…

Dan dalam al-Bazzaaz : "Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama, hari ketiga,
dan setelah seminggu, serta memindahkan makanan ke kuburan pada waktu musim-musim
dst"…

Ditulis oleh pelayan syari'at dan minhaaj : Abdurrahman bin Abdillah Sirooj, Mufti madzhab
Hanafiyah di Kota Mekah Al-Mukarromah…

Ad-Dimyathi berkata : Dan telah menjawab semisal dua jawaban di atas Mufti madzhab
Malikiah dan Mufti madzhab Hanabilah" (Hasyiah I'aanat at-Thoolibin 2/165-166)

Penutup

Pertama : Mereka yang masih bersikeras melaksanakan acara tahlilan mengaku bermadzhab
syafi'iyah, akan tetapi ternyata para ulama syafi'iyah membid'ahkan acara tahlilan !!. Lantas
madzhab syafi'iyah yang manakah yang mereka ikuti ??

(silahkan baca juga : http://hijrahdarisyirikdanbidah.blogspot.com/2010/06/tahlilan-dalam-


pandangan-nu.html)

Kedua : Para ulama telah ijmak bahwasanya mendoakan mayat yang telah meninggal
bermanfaat bagi sang mayat. Demikian pula para ulama telah berijmak bahwa sedekah atas nama
sang mayat akan sampai pahalanya bagi sang mayat. Akan tetapi kesepakatan para ulama ini
tidak bisa dijadikan dalil untuk melegalisasi acara tahlilan, karena meskipun mendoakan mayat
disyari'atkan dan bersedakah (dengan memberi makanan) atas nama mayat disyari'atkan, akan
tetapi kaifiyat (tata cara) tahlilan inilah yang bid'ah yang diada-adakan yang tidak dikenal oleh
Nabi dan para sahabatnya. Kreasi tata cara inilah yang diingkari oleh para ulama syafi'iyah,
selain merupakan perkara yang muhdats juga bertentangan dengan nas (dalil) yang tegas :

- Dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu 'anhu : "Kami memandang berkumpul di rumah
keluarga mayat dan membuat makanan setelah dikuburkannya mayat termasuk niyaahah".
Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dan Ibnu Maajah dengan sanad yang shahih"

- Berlawanan dengan sunnah yang jelas untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayat
dalam rangka meringankan beban mereka

Bid'ah sering terjadi dari sisi kayfiyah (tata cara). Karenanya kita sepakat bahwa adzan
merupakan hal yang baik, akan tetapi jika dikumandangkan tatkala sholat istisqoo, sholat
gerhana, sholat 'ied maka ini merupakan hal yang bid'ah. Kenapa?, karena Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam dan para sahabatnya tidak pernah melakukannya.

Demikian juga bahwasanya membaca ayat al-kursiy bisa mengusir syaitan, akan tetapi jika ada
seseorang lantas setiap kali keluar dari masjid selalu membaca ayat al-kursiy dengan dalih untuk
mengusir syaitan karena di luar masjid banyak syaitan, maka kita katakan hal ini adalah bid'ah.
Kenapa?, karena kaifiyyah dan tata cara seperti ini tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya.

Ketiga : Kalau kita boleh menganalogikan lebih jauh maka bisa kita katakan bahwasanya orang
yang nekat untuk mengadakan tahlilan dengan alasan untuk mendoakan mayat dan
menyedekahkan makanan, kondisinya sama seperti orang yang nekat sholat sunnah di waktu-
waktu terlarang. Meskipun ibadah sholat sangat dicintai oleh Allah, akan tetapi Allah telah
melarang melaksanakan sholat pada waktu-waktu terlarang.

Demikian pula berkumpul-kumpul di rumah keluarga kematian dan bersusah-susah membuat


makanan untuk para tamu bertentangan dan bertabrakan dengan dua perkara di atas:

- Sunnahnya membuatkan makanan untuk keluarga mayat

- Dan hadits Jarir bin Abdillah tentang berkumpul-kumpul di keluarga mayat termasuk
niyaahah yang dilarang.

Keempat : Untuk berbuat baik kepada sang mayat maka kita bisa menempuh cara-cara yang
disyari'atkan, sebagaimana telah lalu. Diantaranya adalah mendoakannya kapan saja –tanpa harus
acara khusus tahlilan-, dan juga bersedakah kapan saja, berkurban atas nama mayat, menghajikan
dan mengumrohkan sang mayat, dll.

Adapun mengirimkan pahala bacaan Al-Qur'an maka hal ini diperselisihkan oleh para ulama.
Dan pendapat yang dipilih oleh Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah bahwasanya mengirimkan
pahala bacaan al-Qur'an tidak akan sampai bagi sang mayat.

Kelima : Kalaupun kita memilih pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengirim bacaan al-
qur'an akan sampai kepada mayat, maka kita berusaha agar kita atau keluarga yang
mengirimkannya, ataupun orang lain adalah orang-orang yang amanah.

Adapun menyewa para pembaca al-Qur'an yang sudah siap siaga di pekuburan menanti
kedatangan para peziarah kuburan untuk membacakan al-quran dan mengirim pahalanya maka
hendaknya dihindari karena :

- Tidak disyari'atkan membaca al-Qur'an di kuburan, karena kuburan bukanlah tempat


ibadah sholat dan membaca al-Qur'an

- Jika ternyata terjadi tawar menawar harga dengan para tukang baca tersebut, maka hal ini
merupakan indikasi akan ketidak ikhlasan para pembaca tersebut. Dan jika keikhlasan mereka
dalam membaca al-qur'an sangat-sangat diragukan, maka kelazimannya pahala mereka juga
sangatlah diragukan. Jika pahalanya diragukan lantas apa yang mau dikirimkan kepada sang
mayat??!!

- Para pembaca sewaan tersebut biasanya membaca al-Qur'an dengan sangat cepat karena
mengejar dan memburu korban penziarah berikutnya. Jika bacaan mereka terlalu cepat tanpa
memperhatikan tajwid, apalagi merenungkan maknanya, maka tentu pahala yang diharapkan
sangatlah minim. Terus apa yang mau dikirimkan kepada sang mayat ??!!

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 10-05-1434 H / 22 Maret 2013 M


Abu Abdil Muhsin Firanda
MIMPI HABIB MUNZIR KETEMU NABI

Pertanyaan :
Ustadz, saya ada pertanyaan. Apakah mungkin melihat Nabi shallallahu 'alahi
wa sallam dalam mimpi?, dan jika mungkin, maka bagaimana dengan
pengakuan Habib Munzir bahwa Ia bertemu Nabi dalam mimpi dan Nabi
mengabarkan bahwa Habib Munzir akan menyusul Nabi sebelum umur 40
tahun?? Jazaakallahu khoiron atas jawabannya.

JAWAB :
Bermimpi ketemu Nabi shallallahu 'alahi wasallam merupakan perkara yang
mungkin terjadi berdasarkan dalil-dalil yang shahih. Akan tetapi para ulama
telah sepakat jika seseorang bermimpi bertemu dengan Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam pun, lalu Nabi menyampaikan sesuatu dalam mimpi tersebut maka
mimpi tersebut tidak bisa dijadikan dalil dalam penentuan hukum yang baru,
apalagi sampai merubah atau memansukhkan suatu hukum.

Demikian juga halnya jika Nabi mengabarkan hal yang ghoib tentang masa
depan. Paling banter hanya sebagai 'isti'naas (penguat) saja dan bukan
penentu atau kepastian.

Berikut ini perkataan ulama madzhab Syafi'iyyah tentang hal ini.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

‫طاون ول يوتوومثلال ففي ا‬


‫ٍ وولوفكين ول يايعومال بفوما يويسوماعها اللرافئي‬،‫صوورتففه‬ ‫ ووأولن اللشيي و‬.‫ ففي ايلومونافم فوقويد ورآها وحريقا‬- ‫اا وعلوييفه وووسللوم‬ ‫صللى ل‬ ‫ و‬- ‫أونلها ومين ورآها‬
‫ٍ فوإ فلن ايلوخبوور ول يايقبوال إفلل فمين و‬،‫ٍ ول فلللشنك ففي الصريؤُيوفة‬،‫ضيبفط اللرافئي‬
‫ضابفةط اموكلل ة‬
‫ٍ وواللنائفام‬،‫ف‬ ‫ٍ لفوعودفم و‬،‫ق فبايلويحوكافم‬ ‫فمينها ففي ايلومونافم فملما يوتووعلل ا‬
‫بففخولفففه‬

"Sesungguhnya barang siapa yang melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam


dalam mimpi maka ia telah melihatnya sesungguhnya. Dan sesungguhnya
syaitan tidak bisa menyerupai bentuk Nabi. Akan tetapi tidak diamalkan apa
yang didengar oleh seorang yang mimpi dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam mimpi, tentang apa yang berkaitan dengan hukum. Karena orang yang
mimpi tidak dhobith (tidak memiliki kemampuan menangkap dan menghafalkan
berita atau riwayat yang didengarnya-pen) bukan dari sisi ragu akan mimpinya
melihat Nabi akan tetapi suatu khobar/berita tidaklah diterima kecuali dari
seseorang yang dhobith mukallaf. Adapun seorang yang sedang tidur tidaklah
demikian" (Roudhotut Thoolibin 7/16)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga berkata :

‫ضاون‬ ‫اا وعلوييفه وووسللوم ففي ايلومونافم فووقاول لوها الللييلوةا أولوال وروم و‬
‫صللى ل‬ ‫س ايلفهولول فووروأىِ إينوسادن النلبف ل‬
‫ي و‬ ‫ت لوييلوةا الثلولفثيون فمين وشيعوباون وولويم يوور اللنا ا‬
‫لويو وكانو ي‬
‫ضي‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫و‬
‫صوحابفونا وونوقول القا ف‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ي‬
‫ب الومونافم ووول لغيره ذكره القاضي حسين ففي الفوتاووىِ ووآوخاروون فمين أ ي‬ ‫ي‬ ‫صافح ف‬ ‫ي‬ ‫و‬
‫صيوام بفهوذا الومونافم ول لف و‬
‫صلح ال ل‬ ‫لويم يو ف‬
‫ع وعلوييفه‬‫ض ا ي فليجوما و‬
‫فعويا د‬

"Kalau seandainya pada malam hari ke 30 bulan Sya'ban, dan orang-orang


tidak ada yang melihat hilal, lalu ada seseorang melihat Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam dalam mimpinya, lalu Nabi berkata kepadanya, "Malam ini adalah
malam pertama bulan Ramadhan" maka berpuasa dengan berdalil pada mimpi
tersebut tidaklah sah, tidak sah bagi orang yang bermimpi demikian juga tidak
sah bagi selainnya. Hal ini telah disebutkan oleh Al-Qoodhi Husain dalam
fatwa-fatwanya, demikian juga para ulama Syafi'iyah yang lainnya. Dan Al-
Qoodhi 'Iyaadh menukilkan ijmak akan hal ini"

Al-Imam An-Nawawi melanjutkan :

‫ط اللرافويِ ووايلاميخبفور وواللشافهود أوين يواكوون امتويوقن ر‬


‫ظا وحافل التلوحصمفل ووهووذا‬ ‫صارها أولن وشير و‬
‫ح اميسلفةم وواميختو و‬‫صفحي ف‬ ‫ح و‬ ‫ووقويد قولريرتاها بفودولئفلففه ففي أولوفل وشير ف‬
‫ك ففي الصريؤُيوفة‬‫ضيبفط اللرافويِ ول فلللش ن‬ ‫ك ايلوعومال بفهووذا ايلومونافم فليختفولفل و‬ ‫ضيب و‬
‫ط فوتافر و‬ ‫ظ ففيفه ووول و‬‫اميجومدع وعلوييفه وووميعالودم أولن النليووم ول تويوصق و‬

Aku telah menjelaskan dengan disertai dalil-dalil di awal dari (kitab) Syarh
Shahih Muslim…, bahwasanya syarat seorang perawi dan pembawa kabar
berita, serta syarat seorang saksi, adalah harus dalam keadaan sadar/terjaga
tatkala menerima berita. Dan ini merupakan perkara yang disepakati (ijmak)
para ulama. Dan tentunya pada tidur tidak ada sikap terjaga dan juga tidak
ada sifat ad-dobth, maka ditinggalkan mengamalkan mimpi ini, dikarenakan
ketidakberesan dhobth sang perawi, bukan karena ragu tentang mimpinya"
(Al-Majmuu' 6/281-282))

Al-Imam An-Nawawi juga berkata :

‫فنقلوا التفاق على أنه ل يغير بسبب ما يراه النائم ما تقرر فى الشرع وليس هذا الذىِ ذكرناه مخالفا لقوله صلى اتت عليتته وستتلم‬
‫من رآنى فى المنام فقد رآنى فان معنى الحديث أن رؤُيته صحيحة وليست من أضغاث الحلم وتلبيس الشيطان ولكتتن ل يجتتوز‬
‫اثبات حكم شرعى به لن حالة النوم ليست حالة ضبط وتحقيق لما يسمعه الرائى وقد اتفقوا على أن من شتترط متتن تقبتتل روايتتته‬
‫وشهادته أن يكون متيقظا ل مغفل ول سىء الحفظ ول كثير الخطأ ول مختل الضبط والنائم ليس بهتتذه الصتتفة فلتتم تقبتتل روايتتته‬
‫ أما اذا رأىِ النبى صلى ا عليه و سلم يأمره بفعل ما هو مندوب إليه أو ينهاه عن منهى عنتته أو يرشتتده إلتتى‬... ‫لختلل ضبطه‬
‫فعل مصلحة فل خلف فى استحباب العمل على وفقه لن ذلك ليس حكما بمجرد المنام بل تقرر من أصل ذلك الشيء وا أعلم‬

"Mereka (para ulama syafi'iyyah) telah menukilkan kesepakatan bahwasanya


apa yang dilihat oleh orang yang mimpi tidaklah merubah hukum yang telah
berlaku dalam syari'at. Dan apa yang kami sebutkan ini tidaklah bertentangan
dengan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

‫ومين رآفني ففي ايلومونافم فوقويد ورآفني‬

"Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia telah melihatku"

Karena makna hadits ini adalah bahwasanya mimpi melihat Nabi adalah benar
dan bukan dari jenis mimpi-mimpi kosong dan tipuan syaitan, akan tetapi
tidak boleh menetapkan hukum syari'at dengan mimpi tersebut.

Karena kondisi tidur bukanlah kondisi dhobth dan tahqiq terhadap apa yang
didengar oleh orang yang mimpi tersebut.

Mereka telah bersepakat bahwasanya diantara syarat seseorang diterima


riwayatnya dan persaksiannya adalah ia harus dalam keadaan terjaga, bukan
dalam keadaan lalai, buruk hafalan, banyak salahnya, dan tidak beres
dhobithnya.

Dan orang yang sedang tidur tidak memiliki sifat-sifat ini maka tidaklah
diterima riwayatnya karena ketidakberesan dhobithnya…

Adapun jika ia melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi)


memerintahkannya untuk melakukan perkara yang dianjurkan atau
melarangnya dari perkara yang dilarang atau mengarahkannya untuk
melakukan suatu kemaslahatan maka tidak ada khilaf tentang disukainya
mengerjakan mimpi tersebut, karena hal ini bukanlah penetapan suatu
hukum karena hanya sekedar mimpi, akan tetapi memang sudah ditetapkan
oleh hukum asalnya sesuatu tersebut" (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim
1/115)
Syaikhul Islaam Zakariya Al-Anshoori berkata :

‫ضيبفط اللنائففم ول‬‫ق فبايلويحوكافم لفوعودفم و‬


‫صفحيوحييفن ووول يايعومال بها ففيوما يوتووعلل ا‬ ‫طاون ول يوتوومثلال بففه كما ثوبو و‬
‫ت ذلك في ال ل‬ ‫ق فإن اللشيي و‬
‫وواريؤُيوتاها في النليوفم وح ق‬
‫ك في اريؤُيوتففه‬ ‫ل‬
‫فللش ن‬

"Dan melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi adalah


kebenaran, karena Syaithan tidak bisa meniru Nabi sebagaimana telah valid
dalam shahih Al-Bukhari dan shahih Muslim, dan tidaklah diamalkan mimpi
tersebut tentang apa-apa yang berkaitan dengan hukum-hukum dikarenakan
tidak adanya dhobth dari orang yang mimpi, bukan karena keraguan akan
benarnya ia mimpi" (Asna Al-Mathoolib 3/106)

Syaitan Tidak Bisa Meniru Rupa dan Sifat Nabi Tapi Bisa Mengaku Sebagai
Nabi

Diantara cara syaitan menyesatkan sebagian orang adalah dengan datang


melalui mimpi mereka dengan mengaku sebagai Rasulullah lalu mengajarkan
kepada mereka hal-hal yang bertentangan dengan syari'at Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam.

Memang benar bahwasanya Syaitan tidak bisa meniru rupa dan bentuk Nabi
meskipun dalam mimpi, akan tetapi syaitan bisa mengaku sebagai Nabi
dengan rupa selain rupa Nabi.

Dari Abu Hurairoh radhiallahu 'anhu bahwasanya Rasulullah shallallahu


'alaihi wa sallam bersabda :

‫ٍ فوإ فلن اللشيي و‬،‫ومين ورآفني ففي ايلومونافم فوقويد ورآفني حقرا‬
‫طاون ول يوتوومثلال فبي‬

"Barang siapa yang melihatku di mimpi maka ia sungguh telah melihatku,


karena syaitan tidak bisa meniruku" (HR Al-Bukhari no 110 dan Muslim no
2266)

Dari Abu Qotaadah radhiallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam


bersabda :

‫ووإفلن اللشيي و‬
‫طاون لو يوتووراوءىِ فبي‬
"Dan sesungguhnya syaitan tidak bisa menampakkan dirinya dengan rupaku"
(HR Al-Bukhari no 6995)

Dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, dengan lafal

‫فوإ فلن اللشيي و‬


‫طاون لو يوتووخيلال فبي‬

"Karena syaitan tidak bisa menkhayalkan menjadi diriku" (HR Al-Bukhari no


6994)

Karenanya barang siapa yang melihat Nabi dalam mimpinya sebagaimana


sifat-sifat fisik Nabi yang ma'ruuf (sebagaimana sifat-sifatnya telah
tersebutkan dalam hadits-hadits dan juga kitab syama'il) maka sungguh ia
telah benar melihat Nabi, karena syaitan tidak bisa meniru Nabi dan tidak bisa
menampakkan dirinya dengan rupa Nabi.

Adapun jika seseorang melihat dalam mimpinya ada yang mengaku sebagai
Nabi akan tetapi ternyata sifat-sifatnya menyelisihi dengan sifat-sifat Nabi
yang ma'ruuf maka bukan Nabilah yang telah ia lihat, akan tetapi syaitan yang
mengaku sebagai Nabi.

Inilah pendapat yang benar yang sesuai dengan dzohir hadits-hadits tentang
melihat Nabi dalam mimpi, dan juga sesuai dengan praktek para sahabat dan
tabi'in. Jika ada orang yang mengaku melihat Nabi dalam mimpinya dan
ternyata tidak sesuai dengan sifat-sifat Nabi maka di sisi mereka dia tidaklah
melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Al-Hakim meriwayatkan :

‫ »ومين ورآفنتتي‬:‫صللى اا وعلوييفه وووسللوم‬ ‫اف و‬ ‫ وقاول وراسوال ل‬:‫اا وعينها يواقوال‬ ‫ضوي ل‬ ‫ٍ أونلها وسفموع أووبا هاورييورةاو ور ف‬،‫ وحلدثوفني أوفبي‬:‫ٍ وقاول‬،‫ب‬‫صفم يبفن اكلويي ة‬ ‫وعين وعا ف‬
‫ات وعلوييتتفه وووستللوم فوتتوذوكير ا‬
‫ت‬ ‫ا‬ ‫لى‬ ‫ل‬ ‫صت‬
‫و ا و‬‫ه‬ ‫ا‬
‫تت‬ ‫ي‬
‫ي‬ ‫و‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ي‬
‫د‬ ‫و‬
‫تت‬ ‫ق‬ ‫ا‬
:‫ت‬ ‫ي‬
‫لت‬ ‫ا‬ ‫ق‬‫و‬ ٍ،‫س‬
‫ة و‬ ‫بتا‬
‫ل‬ ‫ع‬ ‫ن‬
‫فف و و‬ ‫ي‬
‫تت‬
‫ب‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫ب‬ ‫ت‬‫ا‬ ‫ي‬
‫ث‬ ‫ل‬
‫د‬ ‫ح‬
‫و‬ ‫و‬ ‫ف‬ :‫بي‬‫و‬
‫و ف‬‫أ‬ ‫ل‬ ‫و‬
‫قا‬ «‫بي‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫ث‬
‫و و و ا ف‬‫م‬‫و‬ ‫ت‬‫ي‬ ‫ل‬‫و‬ ‫ن‬ ‫و‬
‫طا‬ ‫ي‬
‫ي‬ ‫ل‬
‫ش‬ ‫ال‬ ‫ل‬
‫ن‬ ‫إ‬ ‫ني‬
‫و ف ف‬ ‫رآ‬ ‫ي‬
‫د‬ ‫و‬ ‫ق‬‫و‬ ‫ف‬ ‫ففي ايلومونافم‬
‫ »إفنلها وكاون يايشبفهاها‬:‫س‬ ‫ٍ فووقاول ايبان وعلبا ة‬،‫»الوحوسون يبون وعلفيي فووشبليهتاها بففه‬ ‫ي‬

Dari 'Ashim bin Kulaib ia berkata, "Ayahku (Kulaib) menyampaikan kepadaku


bahwa ia mendengar Abu Huroiroh berkata : Rasulullah shallallahu 'alahi wa
sallam bersabda, "Barang siapa yang melihatku dalam mimpi maka sungguh ia
telah melihatku, karena syaitan tidak bisa meniruku".
Akupun menyampaikan hadits ini kepada Ibnu Abbas, dan aku berkata
kepadanya, "Aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam
mimpi). Lalu akupun menyebutkan Al-Hasan bin Ali, dan aku menyamakan
Nabi dengan Al-Hasan. Maka Ibnu 'Abbaas berkata, "Nabi mirip dengan Al-
Hasan" (HR Al-Hakim dan Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 12/384 berkata,
"Sanadnya jayyid/baik")

Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya berkata :

‫ إفوذا ورآها ففي ا‬: ‫وقاول ايبان فسييفريين‬


‫صيوورتففه‬

"Ibnu Sirin berkata : (Yaitu) jika ia melihat Nabi dengan rupa Nabi" (Atsar
mu'allaq ini disebutkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahihnya setelah
hadits no 6993)

Riwayat ini juga telah diriwayatkan dengan sanad bersambung oleh Al-Hafiz
Ibnu Hajar :

‫صتتفوةر لو‬ ‫ف لوها ف‬‫ص و‬ ‫ٍ فوإ فين وو و‬،‫ف فلي اللفذيِ ورأوييتواه‬ ‫ ف‬: ‫ص وعلوييفه وراجدل أونلها وروأىِ النلبفلي صلى ا عليه و سلم وقاول‬
‫ص ي‬ ‫وكاون اموحلماد يبان فسييفريين إفوذا قو ل‬
‫و‬ ‫و‬ ‫ا‬
‫ ليم توورها‬: ‫يويعفرفوها قاول‬

Adalah Muhammad bin Sirin jika ada seseorang menceritakan bahwa ia


melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (dalam mimpi), maka Ibnu Sirin
berkata, "Sebutkanlah ciri-ciri orang yang kau lihat dalam mimpimu". Jika
ternyata ia menyebutkan sifat-sifat (ciri-ciri) yang tidak diketahui oleh Ibnu
Sirin maka Ibnu Sirin berkata, "Engkau tidak melihat Nabi" (Fathul Baari
12/384, dan Ibnu Hajar berkata, "Sanadnya shahih")

Asy-Syaathibi rahimahullah berkata (menukil perkataan Ibnu Rusyd) :

‫ٍ بفودفليةل أولن اللرائفتتوي قوتتيد يوتتوراها‬،‫ٍ أولن اكلل ومين وروأىِ ففي ومونافمفه أونلها ورآها فوقويد ورآها وحفقيقورة‬،«‫ »ومين ورآفني فوقويد ورآفني وحريقا‬:‫س وميعونى قويولففه‬ ‫ وولويي و‬:‫ثالم وقاول‬
‫ل‬
‫صتتلى ااتت وعلوييتتفه‬ ‫ل‬ ‫صووار النلبفني و‬‫ف ا‬ ‫و‬
‫ ووول يواجواز أين تويختولف و‬.ِ‫صفوةة أيخورى‬ ‫ا‬ ‫ٍ وووغييفرفه وعولى ف‬،‫صفوةة‬ ‫ٍ وويووراها اللرافئي وعولى ف‬،‫صووةر اميختولففوةة‬ ‫ت وعولى ا‬ ‫وملرا ة‬
‫ا‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫و‬
:‫ٍ إفذ لتيم يوقتيل‬،‫ٍ إفذ ل يوتومثال الشييطان فبي‬،‫ فقد ورآفني‬.‫صوورتفي الفتي خلفقت وعلييوها‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫و‬
‫ ومن ورآفني وعلى ا‬:‫ث‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫ا‬
‫ٍ ووإفنوما وميعنى الوحفدي ف‬،‫صفاتاه‬ ‫و‬ ‫وووسللوم وول ف‬
‫و‬
‫ي قوتتيد‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ا‬
‫صلها يويرفجتتاع إفلوتتى ألن الوميرئفتت ل‬ ‫ٍ وووحا ف‬،‫فوهووذا وما ناقفول وعفن ايبفن اريشةد‬... ٍ،«‫ »ومين ورآفني فوقويد ورآفني‬:‫ومين وروأىِ أونلها ورآفني فوقويد ورآفني؛ ووإفنلوما وقاول‬
‫ٍ ووإففن ايعتوقوود اللرافئي أونلها هاوو‬،‫اا وعلوييفه وووسللوم‬ ‫صللى ل‬ ‫يواكوان وغييور النلبفني و‬.

"Kemudian Ibnu Rusyd berkata : Dan bukanlah makna sabda Nabi ((Barang
siapa yang melihatku maka telah melihat aku sesungguhnya)) bahwasanya
seluruh orang yang melihatnya dalam mimpi berarti telah melihatnya secara
sesungguhnya.

Buktinya bahwasanya orang yang mimpi terkadang melihat Nabi dalam rupa
yang bervariasi. Seseorang yang mimpi melihat Nabi dengan sifat tertentu, dan
orang lain mimpi dengan sifat yang lain.

Dan tidak boleh rupa-rupa Nabi berbeda-beda demikian juga sifat-sifatnya.

Akan tetapi makna hadits adalah "Barang siapa yang melihatku dalam rupaku
yang aku diciptakan di atas rupa tersebut, maka ia sungguh telah melihatku,
karena syaitan tidak bisa menyerupaiku".

Karena Nabi tidaklah berkata, "Barang siapa yang melihat bahwasanya ia telah
melihatku maka ia sungguh telah melihatku". Akan tetapi Nabi hanyalah
berkata, "Barang siapa yang melihatku maka sungguh ia telah melihatku"…

Inilah yang dinukil dari Ibnu Rusyd, yang kesimpulannya adalah kembali
kepada bahwasanya yang dilihat dalam mimpi bisa jadi bukan Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun dalam keyakinan orang yang bermimpi
apa yang dilihatnya adalah Nabi" (Al-I'tishoom 1/335)

Adapun pendapat sebagian ulama bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa


sallam mungkin untuk dilihat dalam mimpi dengan selain rupa beliau maka
merupakan pendapat yang kurang kuat.

Tidak ada hadits yang mendukung pendapat ini kecuali hadits yang lemah
sebagaimana telah dijelaskan kelemahannya oleh Ibnu Hajar.

Setelah menyebut atsar Ibnu Abbas dan Muhammad bin Sirin yang
menyatakan bahwa melihat Nabi harus dengan rupa Nabi, Ibnu Hajar
berkata :

‫ويعارضه ما أخرجه بن أبي عاصم من وجه آخر عن أبي هريرةا قال قال رسول ا صلى ا عليه و سلم متتن رآنتتي فتتي المنتتام‬
‫فقد رآني فوإ فنني أاورىِ ففي اكنل ا‬
‫صيوور ةةا وفي سنده صالح مولى التوأمة وهو ضتتعيف لختلطتته وهتتو متتن روايتتة متتن ستتمع منتته بعتتد‬
‫الختلط‬

"Dan atsar-atsar (Ibnu Abbas dan Ibnu Sirin-pen) bertentangan dengan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi 'Aashim dari sisi lain dari Abu Huroiroh, ia
berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Barang siapa
yang melihatku dalam mimpi maka ia sungguh telah melihatku, karena
sesungguhnya aku dilihat dalam seluruh bentuk". Pada sanadnya seorang
rawi yang bernama Sholeh Maula At-Tauamah karena ikhtilaath, dan ini
adalah riwayat dari orang yang mendengar darinya setelah ikhtilath" (Fathul
Baari 12/384)

Para ulama yang berpendapat mungkinnya Nabi dilihat dalam mimpi dalam
rupa selain beliau, mereka mengatakan : Jika Nabi dilihat dalam rupa selain
rupa beliau maka mimpi tersebut butuh takwil.

Akan tetapi –wallahu A'lam- pendapat yang benar bahwa disyaratkan untuk
melihat Nabi dalam mimpi adalah dalam rupa Nabi yang sesungguhnya, jika
tidak maka apa faedah dari sabda Nabi "Karena sesungguhnya syaitan tidak
bisa meniru rupaku" (dalam riwayat lain: "Tidak bisa menampakkan dirinya
dengan rupaku", dalam riwayat lain : Tidak bisa mengkhayalkan dengan
rupaku")??

Karenanya jika ada seseorang yang melihat Nabi dalam bentuk seorang yang
sudah tua yang rambut dan janggutnya semuanya sudah putih maka dia tidak
melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena disebutkan dalam hadits-
hadits bahwasanya jumlah rambut uban Nabi shallallahu 'alahi wa sallam
kurang dari 20 helai.
KHUROFAT SEPUTAR MIMPI BERTEMU NABI

Banyak khurofat yang timbul akibat pengakuan sebagian orang bahwa mereka
telah bermimpi bertemu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi.

Bertemu dengan Nabi dalam mimpi tidak menjadi permasalahan,


kebenarannya kita serahkan kepada orang yang mimpi, dan kita
berhusnudzon bahwa mungkin saja mereka yang mengaku-ngaku itu benar.

Akan tetapi menjadi permasalahan adalah tatkala mimpi tersebut dijadikan


dalil untuk suatu hukum, mengajarkan perkara-perkara yang baru dalam
agama, apalagi sampai mengajarkan perkara-perkara yang bertentangan
dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Diantara khurofat-khurofat tersebut adalah :

Pertama :

Kisah surat wasiat dari penjaga kuburan Nabi yang bernama Syaikh Ahmad
yang sempat heboh beberapa waktu yang lalu, yang ternyata hanyalah
kedustaan. Isi surat tersebut adalah :

“Ini adalah wasiat dari Madinah Munawwarah dari Ahmad Khodim Al Haram
An Nabawi ”

Dalam wasiat ini dikatakan: pada suatu malam Jum’at aku pernah tidak tidur,
membaca Al Qur’an, dan setelah membaca Asma’ul Husna aku bersiap siap
untuk tidur, tiba tiba aku melihat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
yang telah membawa ayat-ayat Al Qur’an dan hukum-hukum yang mulia,
kemudian beliau berkata: wahai Syaikh Akhmad, aku menjawab: ya, ya
Rasulullah, wahai orang yang termulia diantara makhluk Allah, beliau berkata
kepadaku: aku sangat malu atas perbuatan buruk manusia itu, sehingga aku
tak bisa menghadap Tuhanku dan para malaikat, karena dari hari Jum’at ke
Jum’at telah meninggal dunia sekitar seratus enam puluh ribu jiwa (160 000)
dengan tidak memeluk agama Islam.
Kemudian beliau menyebut contoh contoh dari perbuatan maksiat itu, dan
berkata: “maka wasiat ini sebagai rahmat bagi mereka dari Allah Yang Maha
Perkasa”, selanjutnya beliau menyebutkan sebagian tanda tanda hari kiamat
dan berkata: “wahai Syaikh Ahmad, sebarkanlah wasiat ini kepada mereka,
sebab wasiat ini dinukil dari Lauhul Mahfudz, barang siapa yang menulisnya
dan mengirimnya dari suatu negara ke negara lain, dari suatu tempat ke
tempat yang lain, baginya disediakan istana dalam surga, dan barang siapa
yang tidak menulis dan tidak mengirimnya, maka haramlah baginya syafaatku
di hari kiamat nanti, barang siapa yang menulisnya sedangkan ia fakir maka
Allah akan membuat dia kaya, atau ia berhutang maka Allah akan
melunasinya, atau ia berdosa maka Allah pasti mengampuninya, dia dan
kedua orang tuanya, berkat wasiat ini, sedangkan barang siapa yang tidak
menulisnya maka hitamlah mukanya di dunia dan ahirat.”

Kemudian beliau melanjutkan: “Demi Allah 3x wasiat ini adalah benar, jika
aku berbohong, aku keluar dari dunia ini dengan tidak memeluk agama Islam,
barang siapa yang percaya kepada wasiat ini, ia akan selamat dari siksaan
neraka, dan jika tidak percaya maka kafirlah ia.” (silahkan lihat bantahan
Syaikh Bin Baaz terhadap surat ini di
http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/02/09/wasiat-bohong-dari-syaikh-
ahmad-penjaga-kubur-rasulullah/)

Kedua :

Khurofat Ibnu 'Arobi (tokoh pujaan kaum sufi, wafat 638 H) dalam kitabnya
"Fushus Al-Hikam". Ia berkata di pembukaan kitabnya :

"Amma ba'du, sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi


wa sallam dalam suatu mimpi kabar gembira yang aku melihatnya pada
sepuluh terakhir di bulan Muharoom tahun 627 Hijriyah di Damaskus. Dan
ditangan Nabi shallallahu 'alahi wa sallam ada sebuah buku. Maka Nabi
berkata kepadaku, "Ini adalah kitab Fushus Al-Hikam, ambilah kitab ini dan
keluarkan untuk manusia agar mereka mengambil manfaat darinya". Maka
aku berkata, "Mendengar dan Ta'at kepada Allah, RasulNya, dan para Ulil
Amri diantara kami". Maka akupun mewujudkan angan-angan, lalu aku
mengikhlaskan niat, serta aku fokuskan dan konsentrasikan tujuan dan
semangat untuk memunculkan kitab ini kepada manusia sebagaimana yang
ditentukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tanpa ada sedikitpun
tambahan dan pengurangan" (Fushus Al-Hikam, Ibnu 'Arobi, tahqiq : Abul
'Alaa 'Afifi, Daar Al-Kitaab 'Arobi)

Lihatlah khurofat kelas kakap yang dipropagandakan oleh Ibnu 'Arobi. Buku
yang katanya langsung pemberian Rasulullah ini (tanpa ada tambahan dan
pengurangan sedikitpun) ternyata isinya adalah kekufuran yaitu aqidah
wihdatul wujud. Dan buku ini isinya cukup panjang dan tebal sekitar 200
halaman, yang ini menunjukkan bahwa Ibnu 'Arobi mimpinya sangat lama,
karena dia harus menghafal isi kitab tersebut yang diajarkan oleh Nabi,
karena ia mengaku tidak menambah satu huruf pun. Jangan-jangan
mimpinya selama seminggu ??!!

Diantara kekufuran Ibnu 'Arobi, ia menyatakan Fir'aun meninggal dalam


keadaan beriman. Ibnu 'Arobi berkata :

"Musa adalah penyejuk mata bagi Fir'aun dengan keimanan yang Allah
berikan kepada Fir'aun tatkala tenggelam. Maka Allahpun mencabut
nyawanya dalam keadaan suci dan tersucikan, tidak ada sedikit dosapun,
karena Allah mencabut nyawanya tatkala ia beriman sebelum ia melakukan
dosa apapun. Dan Islam menghapuskan dosa-dosa sebelumnya. Dan Allah
menjadikan Fir'aun sebagai tanda atas perhatianNya kepada siapa yang Ia
kehendaki, agar tidak seorangpun putus asa dari rahmat Allah" (Fushush Al-
hikam hal 201)

Bahkan Ibnu 'Arobi –penjual faham wihdatul wujud- menyatakan

bahwa peraktaan Fir'aun "Aku adalah Tuhan kalian Yang Tertinggi" adalah
perkataan yang benar, karena Fir'aun dzatnya adalah Allah itu sendiri,
meskipun rupanya adalah rupa Fir'aun. (Fushush Al-Hikam hal 211)

Ketiga :

Mengetahui shahih atau lemahnya suatu hadits dengan menunggu hukum


dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melalui mimpi??

Jika perkaranya demikian maka percuma mempelajari ilmu hadits dan juga
ilmu al-Jarh wa At-Ta'diil…!!!. Sungguh letih dan percuma keletihan mereka
para ahlul hadits yang telah meletakan kerangka ilmu mushtolah Al-Hadits,
dan juga ilmu Al-Jarh wa At-Ta'diil???

Kalau setiap permasalahan agama langsung ditanyakan kepada Nabi, maka


buat apa susah-susah para ulama berselisih pendapat dengan mengemukakan
dalil-dalil mereka. Kan perkaranya tinggal mudah, tinggal ditanyakan kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam !!. Anehnya saya tidak pernah mendapatkan
seorang ahli haditspun dalam buku-buku mereka yang menshahihkan dan
melemahkan hadits dengan dalih bertanya kepada Nabi melalui mimpi…!!!.

Demikian juga saya tidak pernah menemukan dalam kitab fikih madzhab
manapun ada seorang ulama yang kemudian merojihkan suatu pendapat dan
melemahkan pendapat yang lain dengan dalih bahwa ia sudah
menanyakannya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melalui mimpi…!!!
Bahkan kenapa para sahabat mesti khilaf dalam banyak hal…bahkan hingga
terjadi pertumpahan darah jika ternyata bisa dengan mudah mendiskusikan
permasalahan kepada Nabi lewat mimpi??!!
Kesimpulan dalam masalah mimpi bertemu Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam adalah sebagai berikut :

1. Jika ada seseorang yang mengaku bermimpi ketemu Nabi, maka tidak perlu
kita dustakan, apalagi jika seseorang tidak dikenal pendusta. Berbeda jika
halnya yang mengaku tersebut adalah seseorang yang terkenal suka
berdusta

2. Jika yang dilihatnya dalam mimpi memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-


sifat Nabi shallallahu 'alahi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih
maka kita benarkan mimpinya tersebut

3. Jika ternyata dalam mimpi tersebut Nabi memerintahkan dia untuk


melakukan hal-hal kebaikan dan menjauhi larangan-larangan maka itu
merupakan tanda baik, dan mimpi tersebut sebagai penyemangat untuk
bertakwa dan beramal sholeh

4. Jika ternyata dalam mimpi tersebut Nabi mengajarkan hukum-hukum baru


dalam Islam berupa amalan-amalan ibadah baru, maka tentu tidak bisa
dijadikan pegangan, dan kemungkinan yang dilihatnya bukanlah Nabi,
akan tetapi syaitan yang mengaku sebagai Nabi. Karena tatkala Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam meninggal dunia agama ini telah sempurna
‫" ))ايليوتتيووم أويكوميلتت ا‬Pada hari ini telah Aku
sebagaimana Allah berfirman (( ‫ت لواكتتيم فديينواكتتيم‬
sempurnakan bagi kalian agama kalian". Jika ternyata masih ada syari'at-
syari'at yang akan menyusul melalui mimpi maka terbatalkanlah ayat
tersebut.

5. Jika ternyata dalam mimpi tersebut Nabi juga menyuruh untuk


mengkhususkan suatu hukum syari'at yang umum, atau memansukhkan
suatu hukum syari'at maka ini juga menunjukkan apa yang dilihatnya
bukanlah Nabi, karena melazimkan belumlah sempurnanya syari'at Allah
tatkala meninggalnya Nabi.

6. Jika ternyata Nabi shallallahu 'alahi wasallam mengabarkan tentang


kenyataan yang ada atau tentang masa depan, maka tidak bisa otomatis
kita benarkan. Karena sebagaimana penjelasan Ulama bahwasanya mimpi
Nabi hanya sebatas isti'nas (penguat) dan bukan suatu kepastian. Apalagi
jika Nabi menyampaikan tentang masa depan??

Mimpi Habib Munzir

Adapun mengenai mimpi Habib Munzir, maka terlebih dahulu kita cantumkan pengakuan Habib
Munzir tentang mimpinya tersebut sebagai berikut :

((PESAN & WASIAT HABIB :

Aku teringat mimpiku beberapa minggu yg lalu, aku berdiri dg pakaian lusuh bagai kuli yg
bekerja sepanjang hari, dihadapanku Rasulullah saw berdiri di pintu kemah besar dan megah,
seraya bersabda : “semua orang tak tega melihat kau kelelahan wahai munzir, aku lebih tak tega
lagi…, kembalilah padaku, masuklah kedalam kemahku dan istirahatlah…

Ku jenguk dalam kemah mewah itu ada guru mulia, seraya berkata :kalau aku bisa keluar dan
masuk kesini kapan saja, tapi engkau wahai munzir jika masuk kemah ini kau tak akan kembali
ke dunia..

Maka Rasul saw terus mengajakku masuk, “masuklah.. kau sudah kelelahan.., kau tak punya
rumah di dunia(memang saya hingga saat ini masih belum punya rumah) , tak ada rumah
untukmu di dunia, karena rumahmu adalah disini bersamaku.., serumah denganku.., seatap dg
ku…, makan dan mium bersamaku .. masuklah,,,

Lalu aku berkata : lalu bagaimana dg Fatah Jakarta? (Fatah tegaknya panji kedamaian Rasul
saw), maka beberapa orang menjawab dibelakangku : wafatmu akan membangkitkan ribuan hati
utk meneruskan cita citamu,..!!, masuklah,,,!

Lalu malaikat Izrail as menggenggamku dari belakang, ia memegang dua pundakku, terasa
seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata : mari… kuantar kau masuk.. mari…

Maka kutepis tangannya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka
Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..

Aku terbangun…

Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun wajahnya
tidak bertentuk kecuali hanya cahaya, ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail as..

Kukatakan padanya : belum… belum.. aku masih ingin bakti pada guru muliaku.. pergilah dulu,
maka ia pun menghilang raib begitu saja.

Tahun 1993 aku bermimpi berlutut dikaki Rasul saw, menangis rindu tak kuat untuk ingin
jumpa, maka Sang Nabi saw menepuk pundakku… tenang dan sabarlah..sebelum usiamu
mencapaii 40 tahun kau sudah kumpul bersamaku”

Usia saya kini 37 tahun pada 23 feb 73, dan usia saya 38 tahun pada 19 muharram ini.

Peradangan otak ini adalah penyakit terakhirku, aku senang wafat dg penyakit ini, karena Rasul
saw beberapa bulan sebelum wafatnya terus nebgeluhkan sakit kepala..

Salam rinduku untuk kalian semua jamaah Majelis Rasulullah saw kelak, jika terjadi sesuatu
padaku maka teruskan perjuanganku.. ampuni kesalahanku.., kita akab jumpa kelak dg
perjumpaan yg abadi..
Amiin..

Kalau usiaku ditakdirkan lebih maka kita terus berjuang semampunya, tapi mohon jangan siksa
hari hariku.. hanya itu yg kuminta)) (lihat http://majeliskecil.wordpress.com/2011/05/06/pesan-
wasiat-habib-munzir/)

Habib Munzir juga berkata

((namun saya sangat mencintai Rasul saw, menangis merindukan Rasul saw, dan sering
dikunjungi Rasul saw dalam mimpi, Rasul saw selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu
waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau saw, dan berkata wahai Rasulullah saw
aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa dg mu..,
ataukan matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini,,, Rasul saw menepuk bahu saya dan
berkata :

munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dgn ku.., maka
saya terbangun….))

Habib Munzir juga berkata : ((usia saya kini 38 tahun jika dg perhitungan hijriah, dan 37 th jika
dg perhitungan masehi, saya lahir pd Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 februari 1973 M.
Perjanjian Jumpa dg Rasul saw adalah sblm usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1432 H,
mungkin sblm sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dg Rasul saw, namun apakah
Allah swt akan menambah usia pendosa ini..?)) (lihat :
http://majeliskecil.wordpress.com/2011/04/10/biografi-habib-munzir-bin-fuad-al-musawa/)

Jika kita memperhatikan pengakuan Habib Munzir di atas maka dalam mimpi tersebut
nampak bahwa Nabi mengabarkan kepada Habib Munzir tentang masa depan, yaitu bahwa
Habib Munzir akan meninggal sebelum berumur 40 tahun

Tentunya sebagaimana telah kita jelaskan, bahwasanya mimpi ketemu Nabi yang seperti ini tidak
bisa dijadikan sebagai kepastian, akan tetapi sebagai kemungkinan, karena para ulama telah
sepakat mimpi bukanlah dalil dan hujjah.

Hal ini terbukti jika kita memperhatikan umur Habib Munzir tatkala meninggal usianya telah
melewati 40 tahun tidak sebagaimana yang dikabarkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dalam mimpinya. Karena Habib Munzir lahir pada tanggal 23 februari 1973 (bertepatan dengan
19 Muharram 1393 H) dan wafat pada tanggal 15 September 2013 (bertepatan dengan 9
Dzulqo'dah 1434 H). Sehingga dengan demikian beliau wafat tatkala berumur 40 tahun lebih
sekitar 7 bulan (menurut kalender masehi) atau berumur 41 tahun lebih sekitar 11 bulan
(menurut kalender Hijriyah)

Jika kita menjadikan mimpi sebagai dalil maka melazimkan Nabi telah salah atau berdusta dalam
mimpi tersebut... karena pengkhabaran Nabi menyelisihi kenyataan.

Habib Munzir Menolak Malaikat 'Izroil

Akan tetapi ada yang sangat menarik perhatian saya dari perkataan Habib Munzir berikut
dalam mimpinya ((Lalu malaikat Izrail as menggenggamku dari belakang, ia memegang dua
pundakku, terasa seluruh uratku sudah digenggamannya, seraya berkata : mari… kuantar kau
masuk.. mari…

Maka kutepis tangannya, dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka
Rasul saw memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..Aku terbangun…))

Ini adalah mimpi yang aneh, karena kita ketahui bersama bahwasanya malaikat Izrail bukan
berada dibawah perintah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena kenyataannya jika malaikat
maut menjemput Khadijah istri Nabi, atau anak-anak beliau, atau sahabat-sahabat beliau, atau
paman beliau, maka Nabi tidak bisa menolak tugas malaikat maut tersebut untuk mencabut
nyawa mereka. Karenanya Nabipun bersedih dengan wafatnya Khodijah, demikian juga
pamannya Hamzah, serta putra beliau Ibrahim, akan tetapi Nabi tidak kuasa untuk mengatur
malaikat maut (atau yang disebut Izrail). Akan tetapi namanya mimpi memang sering aneh-aneh
dan tidak bisa disamakan dengan kenyataan.

Lebih anehnya lagi, Habib Munzir mengaku melihat dan menolak malaikat Izrail yang hendak
mencabut nyawanya dalam keadaan terjaga. Seakan-akan Habib Munzir ingin membuktikan
kebenaran mimpinya tersebut. Perhatikan perkataan Habib Munzir ((Maka kutepis tangannya,
dan aku berkata, saya masih mau membantu guru mulia saya…, maka Rasul saw
memerintahkan Izrail as untuk melepaskanku..Aku terbangun…

Semalam ketika aku rebah dalam kegelapan kulihat dua tamu bertubuh cahaya, namun
wajahnya tidak bertentuk kecuali hanya cahaya, ia memperkenalkan bahwa ia adalah Izrail
as..

Kukatakan padanya : belum… belum.. aku masih ingin bakti pada guru muliaku..
pergilah dulu, maka ia pun menghilang raib begitu saja)), demikian perkataan Habib
Munzir…

Sungguh ini merupakan karomah yang luar biasa dari sisi :

- Dalam keadaan terjaga Habib Munzir bertemu malaikat yang bercahaya. Yang ternyata
malaikat tersebut adalah Izrail. Karomah ini tidak pernah dialami oleh Abu Bakar, Umar bin Al-
Khottob, Utsman bin 'Affaan, dan Ali bin Abi Tholib

- Habib Munzir bisa menolak malaikat Izra'il yang hendak mencabut nyawanya….,
sungguh karomah yang luar biasa yang mengalahkan para sahabat??!!

Para ulama telah membahas apakah mungkin manusia bisa bertemu denga malaikat dengan rupa
aslinya (berupa cahaya)??. Karena dalil-dalil yang ada dalam al-Qur'an tatkala para Nabi
bertemu hanya bertemu dengan para malaikat tatkala malaikat menjelma seperti manusia, bukan
dalam bentuk bercahaya. Bahkan tatkala para malaikat bertemu dengan Nabi Ibrahim (dalam
bentuk manusia sebagai tamu Nabi Ibrahim), sampai-sampai Nabi Ibrahim tidak mengetahui
kalau mereka itu malaikat. Nabi Ibrahim menyangka mereka manusia biasa, sampai-sampai
beliau menghidangkan makanan buat para malaikat tersebut.

Allah berfirman :

‫غ إفولى أويهلففه فووجاوء بففعيجةل‬‫(فوورا و‬٢٥) ‫(إفيذ ودوخالوا وعلوييفه فووقاالوا وسلرما وقاول وسلدم قويودم امينوكاروون‬٢٤) ‫ف إفيبورافهيوم ايلاميكورفميون‬ ‫ضيي ف‬‫ث و‬ ‫ك وحفدي ا‬ ‫هويل أووتا و‬
‫و‬
‫ت ايمورأتاتتها ففتتي و‬
‫صتتلرةةا‬ ‫ي‬ ‫و‬ ‫ل‬
‫(فوأقبولو ف‬٢٨) ‫ف ووبوشاروها بفاغلةم وعفليةم‬ ‫ا‬ ‫ر‬
‫س فمنهايم فخيفوة وقالوا ل تووخ ي‬‫ي‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫ي‬ ‫و‬
‫(فوأيووج و‬٢٧) ‫(فوقولربوها إفلوييفهيم وقاول أل توأاكلوون‬٢٦) ‫وسفميةن‬
‫(وقاالوا‬٣١) ‫طبااكيم أوصيوها ايلاميروسالوون‬ ‫(وقاول فووما وخ ي‬٣٠ ) ‫ك وقاول ورصبفك إفنلها هاوو ايلوحفكيام ايلوعفليام‬‫(وقاالوا وكوذلف و‬٢٩) ‫ت وعاجودز وعفقيدم‬‫ت وويجهووها وووقالو ي‬ ‫صلك ي‬ ‫فو و‬
(٣٤) ‫ك لفلاميسفرففيون‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫ر‬ ‫ر‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫و‬
‫(اموسلوومة فعنود وربن و‬٣٣) ‫(لفنيرفسول وعلييفهيم فحوجاورةا فمين فطيةن‬٣٢) ‫إفنا أيرفسلونا إفلى قويوةم اميجفرفميون‬ ‫ي‬ ‫ا‬ ‫ل‬

"Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (Yaitu malaikat-
malaikat) yang dimuliakan?. (ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan:
"Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal."
Maka dia (Ibrahim) pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya
daging anak sapi gemuk. Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan
anda makan." (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap
mereka. mereka berkata: "Janganlah kamu takut", dan mereka memberi kabar gembira
kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). Kemudian isterinya datang
memekik lalu menepuk mukanya sendiri seraya berkata: "(Aku adalah) seorang perempuan tua
yang mandul". Mereka berkata: "Demikianlah Tuhanmu memfirmankan" Sesungguhnya Dialah
yang Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui. Ibrahim bertanya: "Apakah urusanmu Hai Para
utusan?". Mereka menjawab: "Sesungguhnya Kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum
Luth), agar Kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah, yang ditandai di sisi Tuhanmu
untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas" (QS Adz-Dzaariyaat : 24-34)

Demikian juga tatkala Jibril bertemu dengan Maryam 'alaihas salaam, Allah berfirman :

‫ت فمين ادونففهيم فحوجاربا فوأ ويروسيلونا إفلوييوها ارووحونا فوتوومثلول لووها بووشررا وسفورييا‬
‫وفاتلوخوذ ي‬

Maka ia (Maryam) Mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus
roh Kami (Jibril) kepadanya, Maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang
sempurna" (QS Maryam : 17)

Demikian juga para sahabat telah melihat malaikat Jibril tatkala malaikat Jibril 'alaihis Salam
datang menemui Nabi dalam bentuk manusia. Akan tetapi saya belum menemukan riwayat yang
shahih bahwasanya ada seorang sahabat yang bertemu malaikat dalam bentuk cahaya, bentuk
aslinya !!! Seluruh riwayat-riwayat tentang para sahabat yang melihat malaikat semuanya tatkala
malaikat dalam bentuk manusia, dan juga para sahabat semuanya menyangka bahwa para
malaikat tersebut hanyalah manusia biasa.

Adapun melihat malaikat dalam bentuk aslinya (bercahaya) maka Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wa sallam –yang merupakan manusia termulia, dan juga diberikan kekuatan
ruhani- namun tatkala melihat malaikat Jibril dalam bentuk aslinya maka Nabi mengalami
ketakutan yang sangat luar biasa. Itupun Nabi hanya melihat Jibril dalam rupa aslinya dua kali.

Hal ini dikarenakan Allah tidak menciptakan kekuatan pada manusia untuk mampu melihat
malaikat dalam rupa aslinya. Karenanya tatkala kaum musyrikin meminta agar diutus rasul dari
malaikat maka Allah tidak memenuhi permintaan mereka. Allah berfirman :

‫ض وملئفوكتتةد يويماشتتوون‬ ‫(قاتتيل لوتتيو وكتتاون ففتتي الير ف‬٩٤) ‫ااتت بووشتتررا وراستتول‬ ‫س أوين يايؤفمانوا إفيذ وجاوءهاام ايلهاتتودىِ فإل أوين قوتتاالوا أوبووعتت و‬
‫ث ل‬ ‫وووما ومنووع اللنا و‬
‫ر‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ن‬
(٩٥) ‫امطومئفنيون لنوزلونا وعلييفهيم فمون اللسومافء وملكا وراسول‬ ‫ي‬

"Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk
kepadanya, kecuali Perkataan mereka: "Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi
rasuI?" Katakanlah: "Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai
penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang Malaikat menjadi
Rasul" (Al-Isroo' 94-95)

Akan tetapi kaum musyrikin akan bertemu dengan malaikat tatkala adzab akan menimpa mereka
atau tatkala kematian menjemput mereka. Allah berfirman :

‫يويووم يووريوون ايلوملئفوكةو ل بايشورىِ يويوومئفةذ لفيلاميجفرفميون وويواقوالوون فحيجررا وميحاجوررا‬

"Pada hari mereka melihat malaikat (yaitu di hari kematian mereka-pen) dihari itu tidak ada
kabar gembira bagi orang-orang yang berdosa mereka berkata: "Hijraan mahjuuraa" (QS Al-
Furqon : 22)
Intiny…apakah yang dilihatnya oleh Habib Munzir Nabi atau bukan?? Apakah benar ia bertemu
dengan malaikat??, Jika benar, lantas apakah tubuh yang bercahaya tersebut benar-benar
malaikat?? Benarkah ia bisa menolak malaikat maut ('Izroil) ??.

Bagaimanapun juga akhirnya tatkala malaikat 'Izroil mendatangi Habib Munzir di kamar
mandi maka Habib Munzir tidak bisa lagi menolaknya. Wallahu A'lam.

Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 22-11-1434 H / 28 September 2013 M


Abu Abdil Muhsin Firanda
TIGA YANG MENEMANI, DUA PULANG, SATU TERSISA

Tiga yang menemani kita sampai ke kubur, dua akan pulang, satu akan tetap
menemani kita di alam kubur.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ِهلل دفديِنردجرَع انثدناَدن دوديِنبدقىِ دمدعرَه دوا د‬، ‫ت دثلددثرة‬


‫ِهلل دفديِنردجرَع أدنهلِرَرَه‬، ‫ِهلل ديِنتدبرَعرَه أدنهلِرَرَه دودماَلرَرَه دودعدملِرَرَه‬، ‫حرد‬ ‫ديِنتدبرَع انلدملُيِ د‬
َ‫ِهلل دوديِنبدقىِ دعدمرَلِهر‬، ‫دودماَلرَرَه‬

“Yang mengikuti mayit sampai ke kubur ada tiga, dua akan kembali dan satu
tetap bersamanya di kubur. Yang mengikutinya adalah keluarga, harta dan
amalnya. Yang kembali adalah keluarga dan hartanya. Sedangkan yang tetap
bersamanya di kubur adalah amalnya.” (HR. Bukhari, no. 6514; Muslim, no.
2960)

‘Ali bin Muhammad Abul Hasan Nuruddin Al-Mala Al-Harawi Al-Qari


(meninggal dunia tahun: 1014 H) menyatakan bahwa seseorang ketika mati
ada tiga yang mengikutinya hingga ke kubur.

Pertama adalah keluarganya, yaitu anak dan kerabatnya, begitu pula sahabat
dan kenalannya.

Kedua adalah hartanya, seperti budak laki-laki atau perempuannya, juga


hewan tunggangannya.

Ketiga adalah amalannya, yaitu amal baik atau buruk yang pernah ia lakukan.
Keluarga dan harta tadi akan kembali.

Yang tersisa hanyalah amalnya yang menemani ia di kubur. (Mirqah Al-Mafatih


Syarh Misykah Al-Mashabih, 8: 3235. Dinukil dari Fatwa Al-Islam Sual wa
Jawab, no. 199542)
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

‫ت دل ديِنتدبرَعرَه إدشل دعدملِرَرَه دفدقطن‬


‫ب دملُيِ ل‬ ‫دق نولرَرَه ) ديِنتدبرَعرَه أدنهلِرَرَه دودماَلرَرَه دودعدملِرَرَه ( دهدذا ديِدقرَع دفيِ انلدنغلِد د‬
‫ِهلل دورَر ش‬، ‫ب‬

“Mayit akan diikuti oleh keluarga, harta dan amalnya. Itu adalah umumnya.
Bisa jadi ada mayit yang hanya diikuti oleh amalnya saja, tanpa membawa
harta dan keluarga ketika diantar ke kuburan.” (Fath Al-Bari, 11: 365)

Disebutkan dalam hadits Al-Bara’ bin ‘Azib yang panjang tentang pertanyaan
di alam kubur. Ada ketika itu datang seseorang yang berwajah tampan dan
berpakaian bagus, baunya pun wangi. Ia adalah wujud dari amalan shalih
seorang hamba.

Sedangkan orang kafir didatangi oleh orang yang berwajah jelek. Itu adalah
wujud dari amalan jeleknya. (HR. Ahmad, 4: 287. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth
menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih, perawinya adalah perawi yang
shahih)

Lantas amal kita bagaimana? Sudahkah amal kita siap untuk menemani kita
kelak di alam kubur?

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


JANGANLAH KELIRU: YAHUDI BUKANLAH ISRAEL

Di antara fenomena ganjil yang tersebar di tengah kaum muslimin adalah


menamai dan menyebut negeri Yahudi yang dimurkai oleh Allah dengan
sebutan Israel. Kemudian Israel dan negeri Israel-lah yang dicela dan dicerca.

Apakah tepat kita mencela Israel? Simaklah pembahasan berikut untuk


menjawab pertanyaan ini.

Ketahuilah bahwa Israel sebenarnya adalah Nabi Ya’qub ‘alaihis salam

Dalam tafsir Ibnu Abi Hatim, dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu ‘anhu
mengatakan,

« ‫ اللهتتم‬: ‫ « هل تعلمون أن إسرائيل يعقتتوب ؟ » فقتتالوا‬: ‫حضرت عصابة من اليهود نبي ا صلى ا عليه وسلم فقال لهم‬
‫ « أشهد عليهم‬: ‫ٍ قال النبي صلى ا عليه وسلم‬، ‫« نعم‬

“Suatu saat sekelompok orang Yahudi mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam. Ketika itu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya pada mereka:
‘Apakah kalian mengetahui bahwa Israel adalah Ya’qub.’ Orang-orang Yahudi
itu pun menjawab, ‘Itu betul.’ Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
‘Ya Allah saksikanlah perkataan mereka.”

Jadi, sangat jelas dalam hadits ini bahwa Israel adalah Nabi Ya’qub ‘alaihis
salam.

Kedudukan Israel (Nabi Ya’qub) dalam Islam

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut,

‫( ووإفنلهايم فعينودونا‬46) ‫صةة فذيكورىِ اللدافر‬


‫صوناهايم بفوخالف و‬ ‫ب اأوفلي ايلوييفديِ ووايلويب و‬
‫( إفلنا أويخلو ي‬45) ‫صافر‬ ‫ووايذاكير فعوباودونا إفيبورافهيوم ووإفيسوحا و‬
‫ق وويويعاقو و‬
(47) ‫طفوييون ايلويخويافر‬ ‫ص و‬‫“ لوفمون ايلام ي‬

Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Yaqub yang mempunyai
perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya
Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka)
akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.
Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang
pilihan yang paling baik.” (QS. Shad: 45-47)

Lihatlah dalam ayat ini, Allah betul-betul memuji Nabi Allah Ya’qub, begitu
pula kakeknya Nabi Ibrahim dan bapaknya Nabi Ishaq.

Ibnul Jauzi mengatakan bahwa mereka memiliki ‘ulil aydi’ yaitu kekuatan
dalam melakukan ketaatan dan memiliki ‘al abshor’ yaitu kepandaian dalam
agama dan ilmu.

Dalam tafsir Al Jalalain dikatakan bahwa mereka memiliki kekuatan dalam


beribadah dan kepandaian dalam agama.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di menyimpulkan bahwa Allah


menyifati mereka dengan ilmu nafi’ (ilmu yang bermanfaat) dan amal sholeh
yang banyak.

Itulah pujian Allah kepada Ya’qub dan sangat mulianya kedudukan beliau
‘alaihis salam dalam agama ini.

Sebaliknya Allah Mencela Orang Yahudi

Berkebalikan dengan Nabi Ya’qub ‘alaihis salam, Allah sangat sering mencela
orang Yahudi di dalam Al Qur’an dan melaknat mereka serta Allah sangat
murka pada mereka.

Namun Allah murka dan mencela demikian dengan menggunakan nama


Yahudi dan nama orang kafir dari Bani Isroil, bukan dengan nama
Israel/Isroil yang merupakan nabi yang mulia, putra dari Nabi yang mulia
yaitu Ishaq dan keturunan kholilullah (kekasih Allah) yaitu Ibrahim ‘alaihimus
salam.

Perhatikanlah ayat berikut, Allah Ta’ala melaknat Yahudi disebabkan


perkataan mereka, ‫ت أوييتتفديفهيم وولافعناتتوا بفومتتا قوتتاالوا‬ ‫ت ايليواهواد يواد ل‬
‫اف وميغالولوةد اغلل ي‬ ‫“ وووقالو ف‬Orang-orang Yahudi
berkata: Tangan Allah terbelenggu , sebenarnya tangan merekalah yang
dibelenggu dan merekalah yang dilanat disebabkan apa yang telah mereka
katakan itu.” (QS. Al Ma’idah: 64)
Perhatikanlah pula ayat berikut, Allah Ta’ala telah melaknat orang kafir dari
Bani Isroil, ‫صتتيوا وووكتاانوا يويعتوتتادوون‬ ‫لافعون اللفذيون وكفواروا فمين بوفني إفيسورافئيول وعولى لفوسافن ودااووود ووفعيوسى ايبفن وميريووم وذلفتت و‬
‫ك بفومتتا وع و‬
“Telah dilanati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa
putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu
melampaui batas.” (QS. Al Maidah: 78)

Yang Paling Dekat dengan Agama Nabi Ya’qub bukan Orang Yahudi

Yang mewarisi agama Nabi Ya’qub dan kakeknya Ibrahim ‘alaihimas salam
adalah orang-orang yang beriman.

Allah Ta’ala berfirman, ‫ات ووفلتصي ايلامتيؤفمفنيون‬ ‫إفلن أويوولى اللنا ف‬


‫س بفإ فيبورافهيوم لوللتفذيون اتلبواعتوها وووهتوذا النلفبتصي وواللتفذيون آوومانتوا وو ل ا‬
“Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang
yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang
beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang
yang beriman.” (QS. Ali Imran: 68)

Perhatikan pula dalam ayat berikut diceritakan bahwa Ibrahim ‘alaihis salam
berlepas diri dari orang Yahudi, Nashrani dan orang musyrik.

Allah Ta’ala berfirman, ‫صورانفرييا وولوفكين وكاون وحفنيرفتا اميستلفرما ووومتا وكتاون فمتون ايلاميشتفرفكيون‬
‫وما وكاون إفيبورافهيام يواهوفدرييا ووول نو ي‬
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi
dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali
bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Walaupun orang Yahudi berasal dari keturunan Ibrahim dan Israel (Ya’qub),
namun kita umat Islam harus meyakini bahwa mereka adalah musuh-musuh
Allah dan musuh para Rasul yaitu Muhammad, Ibrahim dan Israel (Ya’qub).

Kedekatan orang Yahudi denga Ibrahim dan Israel (Ya’qub) tidaklah


bermanfaat sama sekali karena mereka tidak beriman pada wahyu yang
diturunkan oleh Allah.

Jadi, orang yang paling dekat dengan Ibrahim dan Ya’qub adalah orang yang
beriman dan bukanlah orang Yahudi yang merupakan musuh Allah.
Janganlah Mengarahkan Celaan Pada Seorang Nabi

Setelah kita tahu bahwa Yahudi bukanlah Israel, lantas pantaskah kita
mengarahkan cercaan dan celaan pada Israel atau negeri Israel?

Yang lebih tepat adalah cercaan tersebut diarahkan pada mereka orang
Yahudi yang merupakan musuh Allah, bukan kepada Israel yakni Nabi Ya’qub
yang penuh dengan kemuliaan. Semoga hal ini bisa jadi perenungan bagi kita
semua.

Ketahuilah bahwa celaan kepada Nabi yang mulia ini yaitu dengan mencela
Israel (Ya’qub) tidaklah akan berpengaruh padanya sama sekali sebagaimana
pula dahulu orang Quraisy mencela Nabi yang mulia yaitu Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun celaan tersebut tidak berpengaruh dan
dipalingkan dari beliau. Marilah kita merenungkan hadits yang mulia ini,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫اا وعننتتى وشتتيتوم‬ ‫ف ل‬


‫صفر ا‬ ‫أولو تويعوجابوون وكيي و‬
‫ف يو ي‬
‫ش وولويعنوهايم يويشتفاموون اموذلمرما وويويلوعانوون اموذلمرما ووأوونا اموحلمتتدد‬
‫“ قاوريي ة‬Tidakkah kalian heran, bagaimana Allah
bisa memalingkan celaan dan laknat kaum Quraisy padaku. Mereka ingin
mencaci dan melaknat orang yang tercela, padahal aku adalah Muhammad
(nabi yang mulia).” (HR. Bukhari no. 3533).

Jadi kesimpulan pembahasan ini adalah janganlah kita menyebut orang


Yahudi dengan Israel. Dan juga janganlah kita mencela Israel karena dia
adalah seorang Nabi yang mulia. Yang lebih pantas dicela dan dicerca adalah
orang Yahudi yang merupakan musuh Allah. Inilah yang harus kita
renungkan.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh


Tuasikal.
9 WATAK ORANG YAHUDI YANG MESTI KITA TAHU

Saat terjadinya konflik antara Yahudi (bukan Israel) dengan saudara kami
sesama muslim di Palestina barulah kami berani menghadirkan pembahasan
ini ke tengah-tengah pembaca. Lihatlah korban ratusan jiwa berjatuhan
diakibatkan ulah mereka dan setiap harinya korban masih terus bertambah.

Ingatlah saudaraku, kejadian yang terjadi saat ini menandakan bahwa mereka
kaum Yahudi tidaklah pernah ridho dengan kita umat Islam sampai kita mau
melepaskan agama kita. Inilah watak jelek mereka yang pertama.

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut. ‫صاورىِ وحلتى توتلبفوع فمللتوهايم‬ ‫ك ايليواهواد ووول النل و‬
‫ضى وعين و‬
‫وولوين توير و‬
‫ك فمتون ايلفعيلتفم ومتا ولت و‬
‫ك فمتون ل‬
‫افتت فمتتين وولفتتيي ووول نو ف‬
‫صتيةر‬ ‫ت أويهوواوءهايم بويعود اللفذيِ وجاوء و‬
‫اف هاوو ايلهاودىِ وولوئففن اتلبويع و‬
‫ قايل إفلن هاودىِ ل‬Orang-
orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu
mengikuti agama mereka. (QS. Al Baqarah: 120)

Perhatikanlah saudaraku. Janganlah engkau terpengaruh dengan kaum


sekuler yang keliru dalam memahami ayat ini. Kaum sekuler berpendapat
bahwa ayat ini ditujukan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja ketika
beliau masih hidup.

Yahudi dan Nashrani pada zaman ini berbeda dengan yang dulu. Benarkah
demikian? Ini sungguh kekeliruan yang sangat besar yang berasal dari orang
yang ingin mengaburkan ajaran Islam.

Ketahuilah bahwa ayat ini memang ditujukan pada Rasulullah shallallahu


‘alaihi wa sallam, tetapi pembicaraan ini juga mencakup umatnya karena yang
menjadi hukum adalah keumuman dan bukan hanya orang yang diajak
bicara. Itulah yang dipahami oleh ulama Ahlus Sunnah (semacam Syaikh As
Sa’di dalam tafsirnya), berbeda dengan mereka yang sudah diracuni dengan
pemikiran orang barat yang kafir.

Berdasarkan ayat di atas sangat jelas sekali bahwa Yahudi dan Nashrani tidak
akan ridho kepada kita selamanya. Inilah watak orang Yahudi dan Nashrani
sampai hari kiamat. Dari watak jelek mereka yang pertama ini, sekarang
kita akan melihat watak mereka yang lainnya.
Watak Yahudi Kedua: Orang Yahudi selalu menyembunyikan kebenaran

Mereka kaum Yahudi sebenarnya tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam diutus sebagai penutup para rasul di akhir zaman ini, tetapi mereka
selalu menyembunyikan kebenaran ini.

Allah Ta’ala berfirman, ‫ق ووهاتتيم‬‫ب يويعفرافونوها وكوما يويعفرافوون أويبوناوءهايم ووإفلن فوفريرقا فمينهايم لويويكتااموون ايلوح ل‬
‫اللفذيون آوتوييوناهاام ايلفكوتا و‬
‫“ يويعلواموون‬Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat
dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya
sendiri. Dan sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan
kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 146)

Al Qurtubhi mengatakan: Diriwayatkan bahwasanya Umar berkata pada


Abdullah bin Salam, “Apakah engkau (sebelum masuk Islam) mengenal
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana engkau mengenal
anak-anakmu sendiri? Abdullah pun menjawab, “Ya, bahkan lebih dari itu. ”
Ibnu Katsir mengatakan bahwa kadang pula maksud ‘seperti mereka
mengenal anak-anaknya sendiri’ adalah mereka mengenal sekumpulan anak-
anak manusia lalu mereka tidak merasa ragu sedikit pun untuk mengenal
anak mereka sendiri jika mereka melihatnya di antara sekumpulan anak tadi.

Walaupun mereka sudah mengenal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan


sangat yakinnya, namun Allah katakan, “sebahagian diantara mereka
menyembunyikan kebenaran”. Maksudnya adalah mereka menyembunyikan
sifat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada pada kitab mereka pada
manusia padahal mereka mengetahuinya. (Lihat Tafsir Al Qur’anil Azhim, pada
tafsir surat Al Baqarah ayat 146).

Watak Yahudi Ketiga: Tokoh agama Yahudi sangat sulit menerima


kebenaran Islam

Dalam shohih Muslim, dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda, ‫ىِ إفلل أويستتلووم‬ ‫“ لوتتيو توتتابووعفنى وعيشتتورةاد فمتتون ايليوهاتتوفد لوتتيم يويبتت و‬Seandainya
‫ق وعلوتتى ظويهفرهوتتا يواهتتوفد ق‬
sepuluh (pemuka agama) Yahudi mengikuti agamaku, maka sungguh tidak
akan tersisa lagi orang Yahudi di muka bumi ini kecuali dalam keadaan
Islam.” (HR. Muslim no. 2793)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫لويو آومون فبى‬

‫ىِ وعولى وويجفه الوير ف‬


‫ض‬ ‫“ وعيشورةاد فمين أويحوبافر ايليواهوفد لومون فبى اكصل يواهوفد ي‬Seandainya sepuluh pemuka agama
Yahudi beriman kepadaku, sungguh semua orang Yahudi di muka bumi ini
akan turut beriman padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini shohih ligoirihi, yaitu shohih dilihat dari jalur
lainnya)

Watak Yahudi Keempat: Orang Yahudi menyembah pemuka agamanya


sendiri

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini, ‫افتت‬ ‫اتلوختاذوا أويحبوتتاورهايم وواريهوبتانوهايم أويروباربتا فمتين ادوفن ل‬
‫ ووايلومفسيوح ايبون وميريووم وووما أافماروا إفلل لفيويعابتادوا إفلورهتا ووافحتردا ول إفولتهو إفلل اهتوو اس يبوحانوها وعلمتا يايش فراكوون‬Mereka menjadikan
orang-orang alimnya, dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb selain Allah, dan
(juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka
hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Rabb yang
berhak disembah selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan. (QS. At Taubah : 31)

Hudzaifah ibnul Yaman, Abdullah bin ‘Abbas dan selainnya mengatakan


mengenai tafsir ‘Mereka menjadikan orang-orang alimnya, dan rahib-rahib
mereka sebagai Rabb selain Allah’, maksudnya adalah mereka mengikuti
pemuka agama mereka dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan
yang halal. Itulah yang disebut dengan menyembah mereka sebagaimana
dimaksudkan dalam hadits dari ‘Adi bin Hatim. (Lihat Tafsir Al Qur’an Al
‘Azhim, tafsir surat At Taubah ayat 31)

Watak Yahudi Kelima: Orang Yahudi pernah menyihir Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam

Dalam shohih Muslim pada Bab Sihir, ‘Aisyah berkata, ‫صلى ا عليه‬- ‫اف‬ ‫وسوحور وراسوول ل‬

‫ق ياوقاال لوها لوفبياد يبان الويع و‬


‫صفم‬ ‫ىِ فمين يواهوفد بوفنى ازوريي ة‬
‫ يواهوفد ق‬-‫“ وسلم‬Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah disihir oleh seorang Yahudi dari Bani Zuraiq yang bernama Lubaid bin
Al A’shom.” (HR. Muslim no. 2189)
Watak Yahudi Keenam: Wanita Yahudi pernah meracuni Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, ‫ت وراسوول‬ ‫أولن ايمورأوةار يواهوفديلةر أوتو ي‬
‫ فووسأ ولووها وعتتين وذلفتت و‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ‫اف‬
‫ك فووقتالو ي‬
‫ت‬ ‫ بفوشاةةا وميساموومةة فوأ ووكول فمينوها فوفجىوء بفوها إفولى وراسوفل ل‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ‫اف‬ ‫ل‬
‫ قوتتاول فوومتتا فزيلتت ا‬.« ‫ وقاول قوتتاالوا أولو نويقتالاهوتتا قوتتاول » لو‬.« ‫ى‬
‫ت‬ ‫ وقاول أويو وقاول » وعلو ل‬.« ‫ك‬
‫ك وعولى وذا ف‬ ‫ت لويقتالو و‬
‫ وقاول » وما وكاون ل‬.‫ك‬
‫اا لفياوسلنطو ف‬ ‫أووريد ا‬
‫صتلى اتت عليتته وستتلم‬- ‫افتت‬ ‫ت وراستتوفل ل‬ ‫أويعفرفاهوتتا ففتى لوهوتتووا ف‬-. “Sesungguhnya seorang wanita Yahudi
pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa
daging kambing yang sudah diracuni. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam memakan daging tersebut. Lalu wanita tadi dipanggil untuk
menghadap beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bertanya tentang perbuatan wanita tersebut tadi. Wanita
tersebut pun berkata, “Aku ingin membunuhmu.” Lantas Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Allah tidaklah memberimu kekuatan untuk
maksudmu tadi.” (Periwayat hadits ini ada yang mengatakan), “(Allah tidaklah
memberimu kekuatan) untuk mencelakakanku.” Lantas para sahabat berkata,
“Apakah sebaiknya dia dibunuh saja?” (HR. Bukhari no. 2617 dan Muslim no.
2190)

Watak Yahudi Ketujuh: Orang Yahudi berusaha memurtadkan kaum


muslimin

Allah Ta’ala berfirman, ‫ب لويو يوارصدونواكيم فمين بويعفد فإيومانفاكيم اكلفاررا وحوسردا فمين فعينتتفد أوينفافستفهيم فمتتين‬ ‫وولد وكفثيدر فمين أويهفل ايلفكوتا ف‬
‫او وعولى اكنل وشييةء قوفديدر‬ ‫صفواحوا وحلتى يوأيتفوي ل‬
‫اا بفأ ويمفرفه إفلن ل‬ ‫“ بويعفد وما توبويلون لوهاام ايلوح ص‬Sebahagian besar Ahli
‫ق وفايعافوا ووا ي‬
Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan
biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya . Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 109)

Watak Yahudi Kedelapan: Orang Yahudi berusaha menyesatkan kaum


‫ضللوون إئدل أوتَّنفك و‬
muslimin Allah Ta’ala berfirman, ‫سسسكهتَّم‬ ‫ضللونوككتَّم وووماَ يك ئ‬ ‫طاَئئفوةة ئمتَّن أوتَّهئل اتَّلئكوتاَ ئ‬
‫ب لوتَّو يك ئ‬ ‫ووددتَّت و‬
َّ‫“ ووومسساَ يو ت‬Segolongan dari Ahli Kitab ingin menyesatkan kamu, padahal
‫شسسكعكروون‬
mereka (sebenarnya) tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan
mereka tidak menyadarinya.” (QS. Ali Imran: 69)
Watak Yahudi Kesembilan: Mendoakan celaka atau mati bila bertemu
dengan kaum muslimin

Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‫إفوذا‬
‫“ وسللوم وعلويياكام ايليواهواد فوإ فنلوما يواقوال أووحادهاام اللساام وعلويي و‬Jika seorang Yahudi memberi salam
‫ فوقاتتيل وووعلوييتت و‬. ‫ك‬
‫ك‬
padamu dengan mengatakan ‘Assaamu ‘alaikum’ (semoga kamu mati), maka
jawablah ‘wa ‘alaika’ (semoga do’a tadi kembali padamu).” (HR. Bukhari no.
6257)

Setelah kita mengetahui sebagian watak jelek Yahudi, masihkan ada rasa
simpati pada perlakuan dan tindak tanduk mereka. Sudah nampak jelas
kejahatan mereka orang Yahudi, bukan hanya dengki dan menyembunyikan
kebenaran yang mereka perbuat bahkan mereka menyakiti dan ingin
membunuh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apakah kita kaum muslimin
yang sudah lama ditinggal oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
masih berharap kebaikan mereka? Inilah sunatullah (ketetapan Allah) yang
terjadi saat ini di negeri Palestina. Mereka kaum Yahudi memborbardir umat
Islam tanpa henti. Tunggu saatnya pembalasan kami.

Ya Allah tolonglah kami kaum muslimin terhadap musuh-musuh kami.


Kuatkanlah iman dan aqidah kami, sehingga kami bisa betul-betul kokoh
menghadapi mereka.

Marilah kita bantu saudara kita di Palestina baik dengan harta


maupun dengan do’a.

Yang selalu mengharapkan rahmat dan ampunan Rabbnya Muhammad Abduh


Tuasikal
AKU TIDAK INGIN AMAL IBADAHKU SIA-SIA

Para pembaca yang semoga selalu mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Allah
menciptakan kita, tidaklah untuk dibiarkan begitu saja. Tidaklah kita
diciptakan hanya untuk makan dan minum atau hidup bebas dan gembira
semata. Akan tetapi, ada tujuan yang mulia dan penuh hikmah di balik itu
semua yaitu melakukan ibadah kepada Sang Maha Pencipta. Ibadah ini bisa
diterima hanya dengan adanya tauhid di dalamnya. Jika terdapat noda-noda
syirik, maka batallah amal ibadah tersebut.

Tauhid adalah Syarat Diterimanya Ibadah

Perlu pembaca sekalian ketahui bahwa ibadah tidak akan diterima kecuali
apabila memenuhi 2 syarat :

Pertama, memurnikan ibadah kepada Allah semata (tauhid) dan tidak


melakukan kesyirikan.

Kedua, mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah


apapun yang tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat ini, maka ibadah
tersebut tidak diterima.

Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan,”Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah


dilakukan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah
maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah
sesuai dengan tuntunan Rasulullah, namun tidak ikhlas, maka amalan
tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai
dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jaami’ul Ulum
wal Hikam)

Ada permisalan yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama
yaitu tauhid. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahab dalam risalahnya yang berjudul Al Qawa’idul Arba’. Beliau
rahimahullah berkata,”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut
ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata,
pen). Sebagaimana shalat tidaklah disebut shalat kecuali dalam keadaan
thaharah (baca: bersuci).
Apabila syirik masuk dalam ibadah tadi, maka ibadah itu batal. Sebagaimana
hadats masuk dalam thaharah.” Maka setiap ibadah yang di dalamnya tidak
terdapat tauhid sehingga jatuh kepada syirik, maka amalan seperti itu tidak
bernilai selamanya. Oleh karena itu, tidaklah dinamakan ibadah kecuali
bersama tauhid. Adapun jika tanpa tauhid sebagaimana seseorang
bersedekah, memberi pinjaman utang, berbuat baik kepada manusia atau
semacamnya, namun tidak disertai dengan tauhid (ikhlas mengharap ridha
Allah) maka dia telah jatuh dalam firman Allah yang artinya,”Dan Kami hadapi
segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu
yang beterbangan.” (Al Furqon : 23). (Abrazul Fawa’id)

Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai

Syaikh rahimahullah membuat permisalan yang sangat mudah dipahami


dengan permisalan shalat. Tidaklah dinamakan shalat kecuali adanya
thaharah yaitu berwudhu. Apabila seseorang tidak dalam keadaan berwudhu
lalu melakukan shalat yang banyak, memanjangkan berdiri, ruku’, dan
sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin
sepakat shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat
karena agungnya syarat shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian
apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.”(Muttafaqun ‘alaihi).
Sebagaimana shalat dapat batal karena tidak adanya thaharah, maka ibadah
juga bisa batal karena tidak adanya tauhid di dalamnya.

Namun syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja jauh berbeda
jika dibanding dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Apabila seseorang
shalat dalam keadaan hadats dengan sengaja, maka terdapat perselisihan
pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, para ulama
tidak pernah berselisih pendapat tentang kafirnya orang yang beribadah pada
Allah dengan berbuat syirik kepada-Nya (yaitu syirik akbar) yang dengan ini
akan menjadikan tidak ada satu amalnya pun diterima. (Lihat Syarhul
Qawa’idil Arba’, Syaikh Sholeh Alu Syaikh)
Syirik Akbar Akan Menghapus Seluruh Amal

Ingatlah saudaraku, seseorang bisa dinyatakan terhapus seluruh amalnya


(kafir) bukan hanya semata-mata dengan berpindah agama (alias: murtad).
Akan tetapi, seseorang bisa saja kafir dengan berbuat syirik yaitu syirik akbar,
walaupun dalam kehidupannya dia adalah orang yang rajin melakukan shalat
malam. Apabila dia melakukan satu syirik akbar saja, maka dia bisa keluar
dari agama ini dan amal-amal kebaikan yang dilakukannya akan terhapus.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Seandainya mereka mempersekutukan
Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al
An’am: 88). Apabila dia tidak bertaubat darinya maka diharamkan baginya
surga, sebagaimana firman-Nya yang artinya,”Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang
zalim itu seorang penolongpun.” (Al Maidah: 72)

Contoh syirik akbar adalah melakukan tumbal berupa sembelihan kepala


kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan) di laut selatan agar laut tersebut
tidak ngamuk (yang kata pelaku syirik: tumbal tersebut dipersembahkan
kepada penguasa laut selatan yaitu jin Nyi Roro Kidul). Padahal menyembelih
merupakan salah satu aktivitas ibadah karena di dalamnya terkandung unsur
ibadah yaitu merendahkan diri dan tunduk patuh. Allah Ta’ala berfirman yang
artinya,”Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al An’am: 162). Barangsiapa yang
memalingkan perkara ibadah yang satu ini kepada selain Allah maka dia telah
jatuh dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam. (Lihat At
Tanbihaat Al Mukhtashot Syarh Al Wajibat)

Syirik Ashgar Dapat Menghapus Amal Ibadah

Jenis syirik yang berada di bawah syirik akbar dan tidak mengeluarkan
pelakunya dari Islam adalah syirik ashgar (syirik kecil). Walaupun dinamakan
syirik kecil, akan tetapi tetap saja dosanya lebih besar dari dosa besar seperti
berzina dan mencuri. Salah satu contohnya adalah riya’ yaitu memamerkan
amal ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Dosa ini yang Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatirkan akan menimpa para sahabat
dan umatnya.
Pada kenyataannya banyak manusia yang terjerumus di dalam dosa syirik
yang satu ini. Banyak orang yang mengerjakan shalat dan membaca Al Qur’an
ingin dipuji dengan memperlihatkan ibadah yang mulia ini kepada orang lain.
Tatkala orang lain melihatnya, dia memperpanjang ruku’ dan sujudnya dan
dia memperbagus bacaannya dan menangis dengan dibuat-buat. Semua ini
dilakukan agar mendapat pujian dari orang lain, agar dianggap sebagai ahli
ibadah dan Qori’ (mahir membaca Al Qur’an).

Wahai saudaraku, waspadalah terhadap jerat setan yang dapat membatalkan


amal ibadahmu ini!! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang
artinya,”Allah berfirman: Aku itu paling tidak butuh sekutu. Barangsiapa
melakukan suatu amalan lantas dia mencampurinya dengan berbuat syirik di
dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia bersama amal
syiriknya itu.” (HR. Muslim). Apabila ibadah yang dilakukan murni karena
riya’, maka amal tersebut batal.

Namun apabila riya’ tiba-tiba muncul di pertengahan ibadah lalu pelakunya


berusaha keras untuk menghilangkannya, maka hal ini tidaklah membatalkan
ibadahnya. Namun apabila riya’ tersebut tidak dihilangkan, malah dinikmati,
maka hal ini dapat membatalkan amal ibadah. Wahai saudaraku, bersikaplah
sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam -kekasih Allah yang bersih tauhidnya
dari perbuatan syirik-. Beliau masih berdo’a kepada Allah :”Jauhkanlah aku
beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35). Jika
beliau yang sempurna tauhidnya saja masih takut terhadap syirik, tentu kita
semua yang miskin ilmu dan iman tidak boleh merasa aman darinya.

Ibrahim At Taimi berkata: ”Dan siapakah yang lebih merasa aman tertimpa
bala’ (yaitu syirik) setelah Nabi Ibrahim.” Tidaklah seseorang merasa aman
dari syirik kecuali dia adalah orang yang paling bodoh tentang syirik. (Fathul
Majid)

Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedang kami


mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu atas sesuatu yang
kami tidak mengetahuinya.

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST (Artikel Buletin At Tauhid)


ANJURAN HUBUNGAN INTIM PADA MALAM JUMAT

Di kalangan awam, terjadi pemahamann bahwa pada malam Jum’at itu


disunnahkan. Bahkan inilah yang dipraktekkan. Memang ada hadits yang
barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang
dipahami oleh mereka.

Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ِهلل دكاَدن دلرَه دبرَكلُل‬، ‫ت‬ ‫ِهلل دودددناَ دوانسدتدمدع دوأدنن د‬، ‫ِهلل دودبشكدر دوانبدتدكدر‬، ‫دمنن انغدتدسدل ديِ نودم انلرَجرَمدعدة دودغشسدل‬
‫ص د‬
َ‫رَخنطدولة ديِنخ ر‬
‫طودهاَ أدنجرَر دسدنلة د‬
َ‫صديِاَرَمدهاَ دودقديِاَرَمدها‬
“Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci kepala dan
anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia pergi dan mendapati
khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam, mendengar khutbah serta diam,
maka setiap langkah kakinya terhitung seperti puasa dan shalat setahun.” (HR.
Tirmidzi no. 496. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ada ulama yang menafsirkan maksud hadits penyebutan mandi dengan


ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci
anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3.
Bahkan inilah makna yang lebih tepat.

Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana
kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad,

‫ِهلل وكذا فشسره وكيِع‬، ‫ جاَمع أهلِه‬: ِ‫ )دغشسل( أي‬: ‫قاَل الماَم أحمد‬
Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian
ditafsirkan pula oleh Waki’.

Tafsiran di atas disebutkan pula dalam Fathul Bari 2: 366 dan Tuhfatul
Ahwadzi, 3: 3. Tentu hubungan intim tersebut mengharuskan untuk mandi
junub.
Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud hubungan
intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam harinya.

Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak
memahaminya pada malam Jum’at.

‫ أيِعجز أحدكم أن يِجاَمع أهلِه فيِ كل‬:‫ ويِؤيِده حديِث‬:‫وقاَل السيِوطيِ فيِ تنويِر الحوالك‬
ِ‫ أخرجه البيِهقيِ في‬.‫ِهلل وأجر غسل امرأته‬،‫ أجر غسلِه‬:‫ِهلل فإن له أجريِن اثنيِن‬،‫يِوم جمعة‬
.‫شعب اليِماَن من حديِث أبيِ هريِرة‬
As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits tersebut
berkata: Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada setiap hari
Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena menyetubuhi saat itu
mendapat dua pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2) pahala menyebabkan istri
mandi (karena disetubuhi). Yaitu hadits yang dimaksud dikeluarkan oleh Al
Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu Hurairah.

Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi
junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al-
Majmu’, 1: 326)

Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di masyarakat


awam.

Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada pagi hari ketika
mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari.

Tentang anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena


tafsiran yang berbeda dari mereka mengenai hadits yang kami bawakan di
awal.

Wallahu a’lam.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Muhammad Abduh Tuasikal


FAEDAH SURAT YASIN: ISTRI, BUAH-BUAHAN DAN KENIKMATAN DI
SURGA

Mau tahu bagaimana kenikmatan di surga? Silakan kaji faedah surat Yasin
berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

‫( رَهنم دوأدنزدوارَجرَهنم دفيِ دظدللل دعدلِىِ انلددرادئدك‬55) ‫شرَغلل دفاَدكرَهودن‬ َ‫ب انلدجشندة انلديِ نودم دفيِ ر‬ ‫إدشن أد ن‬
‫صدحاَ د‬
(57) ‫( دلرَهنم دفيِدهاَ دفاَدكدهرة دودلرَهنم دماَ ديِشدرَعودن‬56) ‫رَمشتدكرَئودن‬
“Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam
kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang
teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. Di surga itu mereka memperoleh buah-
buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan):
“Salam”, sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang.” (QS.
Yasin: 55-57)

Kesimpulan Mutiara Ayat

1. Yang dimaksud penghuni surga dalam keadaan sibuk, kata Al-Hasan Al-
Bashri, “Mereka sibuk menikmati kenikmatan yang ada di surga,
sedangkan penduduk neraka sibuk dengan azab di neraka.” Ibnu Kisan
mengatakan bahwa yang dimaksud adalah di surga mereka sibuk berziarah
(berkunjung) satu dan lainnya. (Tafsir Al-Baghawi, 23: 644)

2. Maksud ayat 56, mereka dan istri mereka berada di naungan pohon-pohon,
bertelekan (berbaring) di atas dipan-dipan. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:
347). “Muttaki’iina” yang dimaksud disebutkan dalam tafsir surat Al-Kahfi
ayat 31, yaitu bersandar. Ada juga yang mengartikan berbaring atau duduk
bersila. Al-araik, bentuk plural dari kata arikah. Secara bahasa
maksudnya, tempat duduk panjang yang ada sandaran seperti sofa. Namun
secara jelas yang dimaksud arikah adalah ranjang yang berada di bawah
hajalah, yaitu rumah seperti kubah yang dihiasi dengan kain dan penutup
(seperti kamar mempelai). (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 156)

3. Maksud ayat 57, orang yang di surga akan menikmati berbagai buah.
(Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6: 348)
4. Semua kesenangan di surga diperoleh secara sempurna. Yang didapatkan
oleh yang masuk surga adalah istri yang begitu cantik menawan yang enak
dipandang. Bidadari tersebut adalah bidadari bermata jelita serta
tergabung padanya kecantikan wajah, keelokan badan, dan kebagusan
akhlak. Yang masuk surga tersebut akan bertelekan di atas dipan yang
dihiasi dengan kain yang dipercantik dan terlihat menawan. Ia pun
bersandarkan pada dipan dengan begitu santainya, terlihat begitu
mendapatkan nikmat dan menyenangkan. Buah-buahan yang ia rasakan
begitu banyak yang bentuknya beraneka ragam seperti anggur, buah tin,
delima dan lainnya. Apa saja yang ia minta di surga akan diberi. (Tafsir As-
Sa’di, hlm. 739)

Semoga bermanfaat, moga kita semua dimudahkan jalan menuju surga


sehingga bisa mendapatkan berbagai kenikmatan seperti di atas.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


Mandi Jumat di Pagi Hari
Feb 20, 2015Muhammad Abduh Tuasikal, MScThoharoh0

Bolehkah mandi Jumat sejak pagi hari?

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang mandi Jum’at sebelum terbit fajar
(sebelum masuk waktu Shubuh, -pen), maka mandi Jum’atnya tidak sah menurut pendapat
terkuat dalam madzhab Syafi’i, seperti ini pula dikatakan oleh mayoritas ulama. Namun Al
Auza’i menganggapnya sah.”

Imam Nawawi rahimahullah kembali melanjutkan, “Jika seseorang mandi setelah terbit fajar,
maka mandi Jum’atnya sah menurut ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama. Demikian
dinyatakan oleh Ibnul Mundzir, Al Hasan Al Bashri, Mujahid, An Nakho’i, Ats Tsauri, Ahmad,
Ishaq, Abu Tsaur. Sedangkan Imam Malik berpendapat bahwa mandi Jum’at tidak sah kecuali
dilakukan ketika hendak berangkat shalat Jum’at. Namun para ulama tadi menyatakan bahwa
mandi Jum’at sebelum terbit fajar tidaklah sah, dan yang menyatakan sah hanyalah Al Auza’i. Al
Auza’i menyatakan bahwa boleh mandi sebelum fajar bagi yang ingin mandi junub dan mandi
Jum’at.” (Lihat Al Majmu’ Syarh Al Muhaddzab, Imam Nawawi, 2; 285)

Al Bahuti Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Awal mandi Jum’at adalah ketika terbit fajar
dan tidak boleh sebelumnya. Namun yang paling afdhol adalah ketika hendak berangkat shalat
Jum’at. Inilah yang lebih mendekati maksud.” (Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, Al Bahuti, 1:
415, Mawqi’ Al Islam)

Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa mandi Jumat dibolehkan di pagi hari. Adapun yang
lebih afdhol adalah jika dilakukan menjelang akan berangkat shalat Jum’at.

Wallahu waliyyut taufiq.

Selesai disusun di Panggang, Gunungkidul, 1 Jumadal Ula 1436 H di Darush Sholihin

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/10339-mandi-jumat-di-pagi-hari.html
Amalan Istimewa di Hari Jumat
Mar 18, 2010Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan28

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala aalihi wa shohbihi ajma’in.

Dalam tulisan kali kami akan memberikan pembahasan mengenai amalan-amalan istimewa di
hari Jum’at yang penuh berkah yang bisa dimanfaatkan oleh setiap muslim sebagai tabungan
pahala baginya di hari kiamat yang hanya bermanfaat amalan.

Pertama: Terlarang mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat dan siang harinya dengan
berpuasa

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صوياةم فمين بوييفن الوليافم إفلل أوين يواكوون ففى‬


‫صوا يويووم ايلاجاموعفة بف ف‬‫صوا لوييلوةو ايلاجاموعفة بفقفوياةم فمين بوييفن الللويافلى وولو تواخ ص‬
‫لو تويختو ص‬
‫صوامها أووحاداكيم‬‫صيوةم يو ا‬
‫و‬
“Janganlah mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat tertentu dan janganlah
mengkhususkan hari Jum’at dengan berpuasa kecuali jika berpapasan dengan puasa yang mesti
dikerjakan ketika itu.”[1]

An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini menunjukkan dalil yang tegas dari
pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah dan yang sependapat dengan mereka mengenai
dimakruhkannya mengerjakan puasa secara bersendirian pada hari Jum’at. Hal ini dikecualikan
jika puasa tersebut adalah puasa yang berpapasan dengan kebiasaannya (seperti berpapasan
dengan puasa Daud, puasa Arofah atau puasa sunnah lainnya, pen), ia berpuasa pada hari
sebelum atau sesudahnya, berpapasan dengan puasa nadzarnya seperti ia bernadzar meminta
kesembuhan dari penyakitnya. Maka pengecualian puasa ini tidak mengapa jika bertepatan
dengan hari Jum’at dengan alasan hadits ini.”[2]

Kedua: Ketika shalat Shubuh di hari Jum’at dianjurkan membaca Surat As Sajdah dan Surat Al
Insan

Sebagaimana terdapat dalam hadits Abu Hurairah, beliau berkata,

‫ب )الم توينزيال( ففى اللريكوعفة ا ا‬


‫لوولى ووففى اللثانفيوفة‬ ‫ح يويووم ايلاجاموعفة ف‬ ‫ وكاون يويقورأا ففى ال ص‬-‫صلى ا عليه وسلم‬- ‫ى‬
‫أولن النلبف ل‬
‫ف‬ ‫صيب ف‬
(‫) هويل أووتى وعولى افلينوسافن فحيدن فمون اللديهفر لويم يواكين وشييرئا وميذاكوررا‬

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca pada shalat Shubuh di hari Jum’at “Alam
Tanzil …” (surat As Sajdah) pada raka’at pertama dan “Hal ataa ‘alal insaani hiinum minad dahri
lam yakun syai-am madzkuro” (surat Al Insan) pada raka’at kedua.”[3]

Catatan: Maksud membaca surat As Sajdah adalah membaca suratnya bukan memaksudkan
untuk mengkhususkan ketika itu dengan surat yang ada ayat sajdahnya sebagaimana hal ini
disalahpahami oleh sebagian orang. Sehingga tidak perlu mencari surat-surat lain yang terdapat
ayat sajdah dan dibaca ketika Shalat Shubuh pada hari Jum’at. Ini sungguh salah dalam
memahami hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Cukup perkataan Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu berikut sebagai nasehat,
‫ضللوةد‬
‫ٍ اكصل بفيدوعةة و‬،‫ٍ وول تويبتوفداعوا فوقويد اكففيتايم‬،‫اتلبفاعوا‬
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena
(sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.”[4]

Ketiga: Memperbanyak shalawat Nabi di hari Jum’at

Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ٍ فوومين وكاون أويكثوورهايم‬، ‫ى ففى اكنل يويوفم اجاموعةة‬‫ض وعلو ل‬ ‫صلوةاو أالمفتى تايعور ا‬ ‫صلوفةا ففى اكنل يويوفم اجاموعةة فوإ فلن و‬ ‫أويكثفاروا وعلو ل‬
‫ى فمون ال ل‬
‫صلوةار وكاون أويقوربوهايم فمننى ومينفزلوةر‬
‫ى و‬ ‫وعلو ل‬
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan
diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku,
dialah yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.”[5]

Keempat: Dianjurkan membaca Surat Al Kahfi

Dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫إن من قرأ سورةا الكهف يوم الجمعة أضاء له من النور ما بين الجمعتين‬

“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, maka ia akan disinari oleh cahaya di
antara dua jum’at”[6]. Dalam lafazh lainnya dikatakan,

‫ت ايلوعفتي ف‬
.‫ق‬ ‫ضاوء لوها فمون الصنوفر ففيوما بويينوها ووبوييون ايلبويي ف‬
‫ف لوييلوةو ايلاجاموعفة أو و‬
‫ومين قوورأو اسوورةاو ايلوكيه ف‬
“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, maka ia akan mendapat cahaya
antara dirinya dan rumah yang mulia (Mekkah).”[7]

Juga dari Abu Sa’id Al Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ٍ ومن قرأ عشر آيات من‬، ‫ٍ كانت له نورا يوم القيامة من مقامه إلى مكة‬، ‫من قرأ سورةا الكهف كما أنزلت‬
‫ سبحانك اللهم وبحمدك ل إله إل أنت أستغفرك‬: ‫ٍ ومن توضأ ثم قال‬، ‫آخرها ثم خرج الدجال لم يسلط عليه‬
‫ٍ ثم طبع بطابع فلم يكسر إلى يوم القيامة‬، ‫وأتوب إليك كتب في رق‬

“Barangsiapa membaca surat Al Kahfi sebagaimana diturunkan, maka ia akan mendapatkan


cahaya dari tempat ia berdiri hingga Mekkah. Barangsiapa membaca 10 akhir ayatnya, kemudian
keluar Dajjal, maka ia tidak akan dikuasai. Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia ucapkan:
Subhanakallahumma wa bi hamdika laa ilaha illa anta, astagh-firuka wa atuubu ilaik (Maha suci
Engkau Ya Allah, segala pujian untuk-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain
Engkau, aku senantiasa memohon ampun dan bertaubat pada-Mu), maka akan dicatat baginya
dikertas dan dicetak sehingga tidak akan luntur hingga hari kiamat.”[8]

Dari hadits-hadits di atas menunjukkan dianjurkannya membaca surat Al Kahfi, bisa dilakukan
pada malam Jum’at atau siang hari di hari Jum’at.

Kelima: Memperbanyak do’a di hari Jum’at

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan mengenai hari
Jum’at lalu ia bersabda,

‫او تووعاولى وشييرئا إفلل أويع و‬


‫طاها إفلياها‬ ‫ٍ يويسأ وال ل‬، ‫صنلى‬
‫ٍ وويهوو وقائفدم يا و‬، ‫ففيفه وساوعةد لو ياوواففقاوها وعيبدد اميسلفدم‬
“Di dalamnya terdapat waktu. Jika seorang muslim berdoa ketika itu, pasti diberikan apa yang
ia minta” Lalu beliau mengisyaratkan dengan tangannya tentang sebentarnya waktu tersebut.[9]

Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan hadits ini beliau menyebutkan 42
pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud. Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang
kuat.

Pendapat pertama, yaitu waktu sejak imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at,
berdasarkan hadits:

‫هي ما بين أن يجلس المام إلى أن تقضى الصلةا‬

“Waktu tersebut adalah ketika imam naik mimbar sampai shalat Jum’at selesai”[10]. Pendapat
ini dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.

Pendapat kedua, yaitu setelah ashar sampai terbenamnya matahari. Berdasarkan hadits:

‫يوم الجمعة ثنتا عشرةا يريد ساعة ل يوجد مسلم يسأل ا عز وجل شيئا إل أتاه ا عز وجل فالتمسوها آخر‬
‫ساعة بعد العصر‬

“Dalam 12 jam hari Jum’at ada satu waktu, jika seorang muslim meminta sesuatu kepada Allah
Azza Wa Jalla pasti akan dikabulkan. Carilah waktu itu di waktu setelah ashar”[11]. Pendapat
ini dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih masyhur
dikalangan para ulama.

Pendapat ketiga, yaitu setelah ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari
oleh riwayat dari Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan
pendapat ini.

Pendapat keempat, yang juga dikuatkan oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua
pendapat yang ada. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam
berdoa pada dua waktu yang disebutkan”.

Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak doanya di hari Jum’at tidak pada
beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil
Barr.[12]

Semoga bermanfaat.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel https://rumaysho.com

[1] HR. Muslim no. 1144.

[2] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/19, Dar Ihya’ At Turots,
cetakan kedua, 1392.

[3] HR. Muslim no. 880.


[4] Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy
mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam
kitab shohih.

[5] HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1673.

[6] HR. Hakim. Beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.

[7] HR. Ad Darimi no. 3407. Syaikh Husain Salim Asad mengatakan bahwa sanad hadits ini
shahih sampai Abu Sa’id dan mauquf padanya.

[8] HR. Al Hakim (1/564). Syaikh Musthofa Al ‘Adawi mengatakan bahwa hadits ini shahih
karena banyak terdapat syawahid (dalil penguat).

[9] HR. Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852, dari sahabat Abu Hurairah.

[10] HR. Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu

[11] HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al
Albani di Shahih Abi Daud

[12] Point ini dicuplik dari tulisan saudara kami Yulian Purnama di Buletin At Tauhid.

Sumber : https://rumaysho.com/917-amalan-istimewa-di-hari-jumat.html
KIAMAT TERJADI PADA HARI JUMAT

Hari Jum’at adalah hari yang utama dalam sepekan. Pada hari tersebut ada
kejadian-kejadian besar, di antaranya adalah terjadinya kiamat. Juga pada
hari tersebut Adam diciptakan, di hari itu pula beliau dimasukkan dalam
surga, juga pada hari tersebut beliau dikeluarkan dari surga.

Dari Aus bin ‘Aus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ض ووففيفه النليفوخةا ووففيفه ال ل‬


‫صيعقوةا‬ ‫ضفل أوليافماكيم يويووم ايلاجاموعفة ففيفه اخلف و‬
‫ق آودام ووففيفه قابف و‬ ‫إفلن فمين أويف و‬
“Sesungguhnya di antara hari kalian yang paling utama adalah hari Jum’at. Di
hari itu, Adam diciptakan; di hari itu, Adam meninggal; di hari itu, tiupan
sangkakala pertama dilaksanakan; di hari itu pula, tiupan kedua dilakukan.”
(HR. Abu Daud no. 1047, An Nasai no. 1374, Ibnu Majah no. 1085 dan Ahmad
4: 8. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

‫ٍ وولو توقايوام اللساوعةا‬،‫ٍ ووففييفه أايخفروج فمينوها‬،‫ق آودام ووففييفه أايدفخول ايلوجنلوة‬
‫ٍ ففييفه اخلف و‬،‫س يويوام ايلاجاموعفة‬
‫ت وعلوييفه اللشيم ا‬
‫طلووع ي‬
‫وخييار يويوةم و‬
‫إفلل ففيي يويوفم ايلاجاموعفة‬

“Sebaik-baik hari dimana matahari terbit adalah hari Jum’at. Pada hari Jum’at
Adam diciptakan, pada hari itu dia dimasukkan ke dalam surga dan pada hari
Jum’at itu juga dia dikeluarkan dari Surga. Hari Kiamat tidaklah terjadi kecuali
pada hari Jum’at.” (HR. Muslim no. 854).

Beberapa faedah dari hadits di atas:

1- Hadits di atas menyebutkan keistimewaan hari Jum’at dibanding hari-hari


lainnya. Hari Jum’at adalah hari terbaik dalam sepekan. Sedangkan hari
Arofah adalah hari terbaik dalam setahun.

2- Dalam hadits di atas tidak semuanya menyebutkan keutamaan hari Jum’at.


Mengenai keluarnya Adam dari surga dan terjadinya kiamat tidaklah
teranggap sebagai keutamaan hari Jum’at namun menceritakan mengenai
perkara besar yang nanti akan terjadi. Demikian penjelasan Al Qodhi ‘Iyadh.

3- Hadits tersebut menunjukkan bahwa seorang hamba di hari Jum’at


hendaklah mempersiapkan diri dengan berbagai amalan sholih supaya
mendapatkan rahmat Allah dan tercegah dari murka Allah. Demikian juga
penjelasan dari Al Qodhi ‘Iyadh.

4- Hari kiamat disegerakan sebagai balasan bagi para nabi, shiddiqin, para
wali Allah dan selainnya, juga untuk menampakkan karomah dan kemuliaan
mereka.

(Disarikan dari Syarh Muslim, Imam Nawawi, 6: 142)

Namun kapan tanggal pasti kiamat itu datang, tidak ada yang mengetahuinya.

‫ك لووعلل اللساوعةو تواكوان قوفريربا‬ ‫س وعفن اللساوعفة قايل إفنلوما فعيلاموها فعينود ل‬
‫اف وووما يايدفري و‬ ‫يويسأ ولا و‬
‫ك اللنا ا‬

“Manusia bertanya kepadamu tentang hari berbangkit. Katakanlah:


“Sesungguhnya pengetahuan tentang hari berbangkit itu hanya di sisi Allah”.
Dan tahukah kamu (hai Muhammad), boleh jadi hari berbangkit itu sudah dekat
waktunya.” (QS. Al Ahzab: 63)

Wallahul muwaffiq.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Keistimewaan Hari Jumat
Nov 14, 2014Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan 1

Hari Jumat adalah hari yang istimewa dan memiliki beberapa keistimewaan.

Saudaraku, yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Perlu diketahui, bahwa setiap waktu
memiliki kelebihan dari waktu lainnya. Di antara waktu yang memiliki keutamaan untuk beramal
sholeh adalah hari Jum’at. Sebagaimana dikatakan oleh Qotadah bahwa Allah telah memilih hari
yang termasuk istimewa dari yang hari lainnya yaitu hari Jum’at. (Tafsir Ibnu Katsir, surat At
Taubah ayat 36)

Saudaraku, para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh Allah Ta’ala. Hari Jum’at adalah
hari yang memiliki keutamaan di sisi Allah Ta’ala. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫ضنل َهمبن َيفنبوُهم َابلككمنعهة‬ ‫م‬


‫ب َنعنلى َيفنبوُم َأنفب ن‬
‫س َنول َتنفبغكر ك‬
‫ل َتنطبلككع َالتشبم ك‬
“Tidaklah matahari terbit dan tenggelam pada suatu hari yang lebih utama dari hari Jum’at.”
(HR. Ahmad, ‘Abdur Rozaq, Ibnu Hibban, Al Baihaqi. Syaikh Al Albani mengatakan dalam
Shahih At Targib wa At Tarhib bahwa hadits ini hasan)

Pada hari Jum’at juga terdapat beberapa kejadian luar biasa sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫س َيفنبوُكم َابلككمنعهة َهفيهه َكخلهنق َآندكم َنوهفيهه َأكبدهخنل َابلننتنة َنوهفيهه َأكبخهرنج َهمبنفنهاَ َنونل َتنفكقوُكم َالتساَنعةك‬ ‫م‬ ‫ش‬
‫ت‬ ‫خيفر َيفوُمم َطنلنعت َعلني ه‬
‫ه َال‬
‫ك‬ ‫ب‬ ‫نب ك نب ن ب ن ب‬
‫ل َهف َيفنبوُهم َابلككمنعهة‬
‫إه ت‬

“Hari yang baik saat terbitnya matahari adalah hari Jum’at. Hari tersebut adalah hari
diciptakannya Adam, hari ketika Adam dimasukkan ke dalam surga dan hari ketika Adam
dikeluarkan dari surga. Hari kiamat tidaklah terjadi kecuali pada hari Jum’at”. (HR. Muslim)

Hari Jum’at juga adalah hari ‘ied (hari raya) kaum muslimin setiap pekannya. Dari Anas bin
Malik, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya pada Jibril, “Hari apa ini?”. Jibril pun
menjawab,

‫هه‬
‫ك َنوهلكتمته ن‬
‫ك‬ ‫ل َهعبيءدا َلن ن‬
‫نهذه َالككمنعكة َنجنعلننهاَ َا ك‬
“Hari ini adalah hari Jum’at yang Allah jadikan sebagai ‘ied (hari raya) bagimu dan umatmu.”
(Diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam musnadnya. Hasan)

Semoga bermanfaat dan semakin semangat untuk beramal shalih di hari Jumat.

Tulisan lawas @ Pangukan, Sleman, 16 Jumadits Tsani 1430 H

Oleh Al Faqir Ilallah: M. Abduh Tuasikal, MSc


Sumber : https://rumaysho.com/9515-keistimewaan-hari-jumat.html
JANGAN LUPAKAN MEMBACA SURAT AL KAHFI DI HARI (MALAM) JUMAT

“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan
disinari cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An Nasa’i dan Baihaqi. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul
Jami’ no. 6470)

Betapa banyak orang lalai dari amalan yang satu ini ketika malam Jum’at
atau hari Jum’at, yaitu membaca surat Al Kahfi. Atau mungkin sebagian orang
belum mengetahui amalan ini.

Padahal membaca surat Al Kahfi adalah suatu yang dianjurkan (mustahab) di


hari Jum’at karena pahala yang begitu besar sebagaimana berita yang
dikabarkan oleh orang yang benar dan membawa ajaran yang benar yaitu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits yang membicarakan hal ini kami
bawakan sebagian pada posting yang singkat ini. Semoga bermanfaat.

Hadits pertama:

‫ت اتَّلوعئتيِ ئ‬
‫ق‬ ‫ف لوتَّيِلوةو اتَّلكجكموعئة أو و‬
‫ضاَوء لوهك ئمون اللنوئر ئفيِوماَ بوتَّيِنوهك ووبوتَّيِون اتَّلبوتَّيِ ئ‬ ‫ومتَّن قوورأو ك‬
‫سوورةو اتَّلوكتَّه ئ‬
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada malam Jum’at, dia akan
disinari cahaya antara dia dan Ka’bah.” (HR. Ad Darimi. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no.
6471)

Hadits kedua:

‫ف ئفىِ يوتَّوئم اتَّلكجكموعئة أو و‬


‫ضاَوء لوهك ئمون اللنوئر وماَ بوتَّيِون اتَّلكجكموعتوتَّيِئن‬ ‫ومتَّن قوورأو ك‬
‫سوورةو اتَّلوكتَّه ئ‬
“Barangsiapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari
cahaya di antara dua Jum’at.” (HR. An Nasa’i dan Baihaqi. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shohih sebagaimana dalam Shohihul Jami’ no.
6470)

Inilah salah satu amalan di hari Jum’at dan keutamaan yang sangat besar di
dalamnya. Akankah kita melewatkan begitu saja [?]
Semoga Allah selalu memberikan kita ilmu yang bermanfaat dan dimudahkan
untuk beramal sholeh sesuai tuntunan Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala
nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya

Muhammad Abduh Tuasikal


Hari Jumat, Hari Konsentrasi Ibadah
Dec 12, 2013Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan0

Apa saja keistimewaan hari Jum’at? Bagi setiap umat, ada waktu yang Allah pilih sebagai hari
yang jadi pemusatan pikiran untuk ibadah. Dalam sepekan, hari jum’at adalah hari untuk
mengkonsentrasikan diri dalam ibadah. Di antara yang bisa diamalkan adalah memperbanyak
shalawat dan membaca surat Al Kahfi.

Ketika menjelaskan keistimewaan hari Juma’t, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

Hari Jum’at adalah hari yang disunnahkan untuk memusatkan perhatian untuk ibadah. Hari
Jum’at dibanding dengan hari lainnya memiliki keistimewaan di mana di dalamnya terdapat
amalan wajib maupun sunnah.

Allah juga telah memberikan suatu hari bagi setiap umat di mana mereka punya waktu untuk
berkonsentrasi dalam ibadah. Pada hari tersebut, mereka menyendiri untuk beribadah pada Allah.
Adapun hari Jum’at adalah hari ibadah bagi umat Islam.

Hari Jum’at adalah hari yang istimewa dari hari-hari lainnya, ibarat bulan Ramadhan adalah
bulan istimewa dibanding bulan-bulan lainnya. Waktu dikabulkannya do’a pada hari Jum’at
sama halnya seperti bulan Ramadhan yang memiliki satu waktu dikabulkannya do’a yaitu di
malam Lailatul Qadar. Karenanya, siapa saja yang baik pada hari Jum’atnya, maka baik pula
hari-hari lainnya. Begitu pula siapa saja yang baik Ramadhannya, maka baik bulan-bulan lainnya
dalam setahun. Juga siapa yang baik hajinya, maka baik pula umurnya.

Hari Jum’at adalah timbangan baiknya hari dalam sepekan, sebagaimana Ramadhan adalah
timbangan baiknya bulan dalam setahun. Adapun haji adalah timbangan baiknya umur
seseorang. Wabillahit taufiq. (Zaadul Ma’ad, 1: 386).

Demikian, semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik.

Tengah malam di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 10 Safar 1435 H

Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/5128-hari-jumat-hari-konsentrasi-ibadah.html
Perbanyaklah Shalawat di Hari Jumat
Feb 13, 2009Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan0

Amalan yang satu ini juga mungkin banyak dilalaikan oleh kamu muslimin atau mungkin belum
diketahui. Amalan tersebut adalah shalawat kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Janganlah kita sampai melalaikan amalan ini.

Keutamaan Bershalawat Kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ت َنعلنبيهه َنشنفاَنعهت َيفنبوُنم َالهقنياَنمهة‬ ‫ه‬


‫صتلى َنعلنتي َأنبو َنسأننل َهل َالنوُ ب‬
‫سيفلننة َنحتق ب‬ ‫نمبن َ ن‬
“Barangsiapa bershalawat kepadaku atau meminta agar aku mendapatkan wasilah, maka dia
berhak mendapatkan syafa’atku pada hari kiamat nanti.” (Hadits ini terdapat dalam Fadhlu Ash
Sholah ‘alan Nabiy no. 50, Isma’il bin Ishaq Al Jahdiy. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani)

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صتلى َاللتكه َنعلنبيهه َنعبشءرا‬ ‫ه‬


‫صتلى َنعلنتى َنواحندءة َ ن‬
‫نمبن َ ن‬
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku sekali, maka Allah akan bershalawat kepadanya
sepuluh kali.” (HR. Muslim no. 408)

Keutamaan Bershalawat di Hari Jum’at

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َفننمبن َنكاَنن َأنبكثْنفنركهبم‬،َ ‫ض َنعلنتى َهف َككدل َيفنبوُهم َكجكنعمة‬ ‫صلننة َأكتمهت َتفكبعنر ك‬
‫ه م‬ ‫أنبكثْهروا َعلنى َهمن َال ت ه‬
‫صلنة َهف َككدل َيفنبوُم َكجكنعة َفنهإتن َ ن‬ ‫ك ن ت ن‬
‫صلنءة َنكاَنن َأنقبفنربفنكهبم َهمدن َنمبنهزلنةء‬
‫نعلنتى َ ن‬
“Perbanyaklah shalawat kepadaku pada setiap Jum’at. Karena shalawat umatku akan
diperlihatkan padaku pada setiap Jum’at. Barangsiapa yang banyak bershalawat kepadaku, dialah
yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti.” (HR. Baihaqi dalam Sunan Al Kubro.
Hadits ini hasan ligoirihi –yaitu hasan dilihat dari jalur lainnya-)

Amalkanlah Shalawat Berikut

Di antara shalawat yang dianjurkan yang dapat kita amalkan adalah:

[1] Dari Zaid bin Abdullah berkata bahwa sesungguhnya mereka dianjurkan mengucapkan,

‫م‬
‫اللتكهتم َ ن‬
‫صدل َنعنلى َكمنتمد َالنته د‬
‫ب َالكدمدي‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad an nabiyyil ummiyyi. [Ya Allah, berilah shalawat kepada
Muhammad Nabi yang Ummi]” (Fadhlu Ash Sholah ‘alan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam no.
60. Syaikh Al Albani mengomentari bahwa hadits ini shohih)

[2] Dari Ka’ab bin ‘Ujroh, beliau mengatakan,

“Wahai Rasulullah, kami sudah mengetahu bagaimana kami mengucapkan salam padamu. Lalu
bagaimana kami bershalawat padamu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ucapkanlah,

‫حبيند َ نهمبيند‬
‫ك َ نه‬ ‫ه ه‬ ‫ه م‬ ‫م‬
‫ت َنعنلى َآهل َهإببفنراهبينم َانت ن‬
‫صلتبي ن‬ ‫اللتكهتم َ ص‬
‫صدل َنعنلى َكمنتمد َنونعنلى َآل َكمنتمد َنكنماَ َ ن‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shollaita ‘ala ali Ibrahim,
innaka hamidun majid” [Ya Allah, berilah shalawat kepada Muhammad dan kerabatnya karena
engkau memberi shalawat kepada kerabat Ibrahim. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi
Maha Mulia] (Fadhlu Ash Sholah ‘alan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam no. 56. Syaikh Al
Albani mengomentari bahwa sanad hadits ini shohih)

[3] Dalam riwayat Bukhari no. 3370 terdapat lafazh shalawat sebagai berikut,

،َ ‫حيند َ نهميند‬‫ك َ نه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه م‬ ‫م‬


‫ َإهنت ن‬،َ ‫ت َنعنلى َهإببفنراهينم َنونعنلى َآهل َهإببفنراهينم‬
‫صلتبي ن‬
‫ َنكنماَ َ ن‬،َ ‫ َنونعنلى َآل َكمنتمد‬،َ ‫صدل َنعنلى َكمنتمد‬ ‫اللتكهتم َ ن‬
‫حيند َ نهميند‬‫ك َ نه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه م‬ ‫م‬
‫ َإهنت ن‬،َ ‫ َنونعنلى َآهل َهإببفنراهينم‬،َ ‫ت َنعنلى َهإببفنراهينم‬
‫ َنكنماَ َنباَنربك ن‬،َ ‫ َنونعنلى َآل َكمنتمد‬،َ ‫اللتكهتم َنباَهربك َنعنلى َكمنتمد‬
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kama shollaita ‘ala Ibrahim wa ‘ala
ali Ibrahim, innaka hamidun majid. Allahumma barik ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad
kama barokta ‘ala Ibrahim wa ‘ala ali Ibrahim, innaka hamidun majid.” [Ya Allah, berilah
shalawat kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi shalawat kepada Ibrahim
dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, berilah
keberkahan kepada Muhammad dan kerabatnya karena engkau memberi keberkahan kepada
Ibrahim dan kerabatnya. Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia]

Itulah bacaan shalawat yang dapat kita amalkan dan hendaknya kita mencukupkan diri dengan
shalawat yang telah diajarkan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam. Janganlah kita
mengamalkan shalawat yang sebenarnya tidak ada tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, apalagi mengandung kesyirikan semacam shalawat nariyah. Butuh pembahasan tersendiri
untuk membahas shalawat nariyah ini.

Penutup

Saudaraku, perbanyaklah shalawat di hari Jum’at. Ingatlah, makna shalawat adalah sebagaimana
yang dikatakan oleh Abul ‘Aliyah,

‫صلنكة َاللتهه َثفننناَكؤكه َنعلنبيهه َهعبنند َالبنملنئهنكهة‬


‫ن‬
“Shalawat Allah adalah pujian-Nya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan para
malaikat.” (HR. Bukhari no. 10)

Sebagian ulama mengatakan bahwa makna shalawat dari Allah adalah rahmat, dari malaikat
adalah istigfar (mohon ampunan) dan dari manusia adalah do’a. Namun makna shalawat dari
Allah yang lebih tepat adalah sebagaimana perkataan Abul ‘Aliyah di atas sebagaimana yang
dikuatkan oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi’ dan Syarh
Bulughul Marom.
Semoga kita dimudahkan oleh Allah untuk mengamalkannya. Semoga Allah selalu memberi kita
ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shollallahu ‘ala
nabiyyiina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Panggang, Gunung Kidul, 16 Shofar 1430 H

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/203-perbanyaklah-shalawat-di-hari-jumat.html
Doa di Hari Jumat
May 18, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan0

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.

Para pengunjung rumaysho.com yang semoga selalu mendapat penjagaan Allah. Hari Jum’at hari
penuh barokah. Di antara barokah di hari tersebut, Allah Ta’ala memberi satu waktu utama untuk
memanjatkan do’a kepada-Nya. Di mana do’a saat itu adalah do’a yang mustajab (mudah
diijabahi).

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang hari Jum’at,
lantas beliau bersabda,

‫شتَّيِئئاَ إئلد أوتَّع و‬


‫طاَهك إئدياَهك‬ ‫سأ وكل د‬
‫او تووعاَولىِ و‬ َّ‫ يو ت‬، ِ‫صللى‬ َّ‫ساَوعةة لو يكووافئقكوهاَ وعتَّبةد كم ت‬
‫ ووتَّهوو وقاَئئةم يك و‬، ‫سلئةم‬ ‫ئفيِئه و‬
“Di hari Jum’at terdapat suatu waktu yang tidaklah seorang hamba muslim yang ia berdiri
melaksanakan shalat lantas ia memanjatkan suatu do’a pada Allah bertepatan dengan waktu
tersebut melainkan Allah akan memberi apa yang ia minta.”[1]

Kapan waktu mustajab yang dimaksud?

Para ulama menyebutkan beberapa pendapat dalam masalah ini yaitu tentang kapan waktu yang
dimaksud. Ada riwayat dari Imam Muslim, yaitu hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu yang
menyebutkan waktu yang dimaksud.

Dari Abu Burdah bin Abi Musa Al Asy’ari. Ia berkata, “’Abdullah bin ‘Umar bertanya padaku,
‘Apakah engkau pernah mendengar ayahmu menyebut suatu hadits dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengenai waktu mustajabnya do’a di hari Jum’at?” Abu Burdah menjawab,
“Iya betul, aku pernah mendengar dari ayahku (Abu Musa), ia berkata bahwa Rasul shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

‫صلوةك‬ ‫س ائلوماَكم إئولىِ أوتَّن تكتَّق و‬


‫ضىِ ال د‬ ‫ئهوىِ وماَ بوتَّيِون أوتَّن يوتَّجلئ و‬
“Waktu tersebut adalah antara imam duduk ketika khutbah hingga imam menunaikan shalat
Jum’at.”[2]

Kata Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, “Hadits ini memiliki ‘illah (cacat) dan tidak shahih. Al Hafizh
Ad Daruquthni rahimahullah menyatakan cacatnya hadits tersebut. Al Hafizh Ibnu Hajar juga
menyatakan hal yang sama bahwa hadits tersebut memiliki ‘illah karena adanya idhthirob dan
inqitho’ (sebab yang membuat hadits menjadi dho’if, pen).”

Ada hadits lain yang secara sanad shahih menyebutkan tentang kapan waktu mustajab di hari
Jum’at yang dimaksud. Hadits tersebut adalah hadits Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

‫شتَّيِئئاَ إئلد آوتاَهك د‬


‫اك وعدز وووجدل‬ ‫سأ وكل د‬
‫او وعدز وووجدل و‬ َّ‫سلئةم يو ت‬َّ‫ساَوعةئ » لو كيووجكد كم ت‬ َّ‫» يوتَّوكم اتَّلكجكموعئة ثئتَّنوتاَ وع ت‬
‫ يكئريكد و‬.« ‫شورةو‬
.« ‫صئر‬َّ‫ساَوعةة بوتَّعود اتَّلوع ت‬ ‫سووهاَ آئخور و‬‫وفاَتَّلتوئم ك‬
“(Waktu siang) di hari Jum’at ada 12 (jam). Jika seorang muslim memohon pada Allah ‘azza wa
jalla sesuatu (di suatu waktu di hari Jum’at) pasti Allah ‘azza wa jalla akan mengabulkannya.
Carilah waktu tersebut yaitu di waktu-waktu akhir setelah ‘Ashar.”[3] Kata Syaikh Musthofa,
“Walaupun sanadnya shahih, namun hadits tersebut memiliki ‘illah (cacat)”. Karena hadits
dikatakan shahih tidak semata-mata dilihat dari sanadnya yang selamat, namun juga dilihat
adakah ‘illah (cacat) dalam hadits tersebut ataukah tidak. Demikianlah yang dapat dipahami dari
ilmu mustholah hadits.

Pendapat yang disebut dari hadits terakhir, itulah yang lebih mendekati tentang maksud waktu di
hari Jum’at. Kata Syaikh Musthofa Al ‘Adawi rahimahullah, “Namun demikian, sudah
sepantasnya seorang muslim berusaha untuk memperbanyak do’a di hari Jum’at di waktu-waktu
yang ada secara umum.”

Ibnu Hajar sendiri menyebutkan ada 40 pendapat dalam masalah ini. Beliau rahimahullah
mengatakan,

‫ وو و د‬، ‫ساَوعة اتَّلومتَّذككوورة ومتَّركفوئعاَ ووتَّهم‬


. ‫ا أوتَّعولم‬ ‫أودن ككلل ئروواوية وجاَوء ئفيِوهاَ توتَّعئيِيِن ووتَّقت ال د‬
“Setiap riwayat yang menyebutkan penentuan waktu mustajab di hari Jum’at secara marfu’
(sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) memiliki wahm (kekeliruan). Wallahu a’lam.”[4]

Jadi, yang mestinya dilakukan adalah hendaknya setiap muslim memperbanyak do’a di
sepanjang hari Jum’at untuk mendapatkan keutamaan terkabulnya do’a, tidak dikhususkan pada
waktu tertentu mengingat alasan yang telah diulas di atas. Moga Allah perkenankan setiap do’a-
do’a kita.[5]

Wallahu waliyyut taufiq. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan
sahabatnya.

Panggang-Gunung Kidul, 14 Jumadats Tsaniyah 1432 H (17/05/2011)

www.rumaysho.com

[1] HR. Bukhari no. 935 dan Muslim no. 852.

[2] HR. Muslim no. 853.

[3] HR. Abu Daud no. 1048. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh
Musthofa Al ‘Adawi menyatakan adanya cacat dalam hadits ini walaupun sanadnya shahih.

[4] Fathul Bari, 11/199.

[5] Tulisan ini adalah faedah ilmu dari pembahasan Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah
(ulama Mesir dan termasuk murid Syaikh Muqbil) dalam kitab beliau Fiqhud Ad Du’a, terbitan
Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H, hal. 46-48.

Sumber : https://rumaysho.com/1748-doa-di-hari-jumat.html
Perbedaan Itu Rahmat
May 19, 2011Muhammad Abduh Tuasikal, MScJalan Kebenaran0

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Ikhtilafuhum rohmah”, perbedaan ulama


(dalam masalah fiqih) adalah rahmat. Beliau mengatakan hal ini dalam kitab beliau Lum’atul
I’tiqod.

Perkataan beliau di atas boleh jadi benar dari satu sisi, dan keliru ditinjau dari sisi yang lain.

Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama dalam
berijtihad sehingga muncullah berbagai macam pendapat yang ada. Dari sisi ini kita dapat
katakan bahwa perbedaan pendapat kala itu adalah rahmat. Jadi tinjauan yang benar ini dilihat
dari sisi usaha keras para ulama yang melakukan ijtihad.

Namun jika yang dimaksud perbedaan adalah rahmat ditinjau dari sisi umat yang mengikuti
berbagai macam pendapat, bisa jadi keliru. Ada yang ikut pendapat ulama A, Syaikh B, kyai C,
dst, padahal ada di antara pendapat-pendapat tersebut yang jelas bertentangan dengan petunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari sisi inilah dapat kita katakan tidak tepatnya mengatakan
bahwa perbedaan itu rahmat. Tinjauannya adalah dari sisi umat yang ikut berbagai ragam
pendapat. Karena beragam pendapat di tengah umat seperti itu membuat umat terpecah belah.
Maka jelas perbeadaan saat itu bukanlah rahmat.

Jadi perkataan perbedaan itu rahmat dapat ditafsirkan benar dan keliru. Bisa saja perkataan
tersebut disalah tafsirkan dan bisa jadi pemahamannya benar.

Yang benar adalah bersatu itu tentu saja lebih baik daripada mesti berbeda. Tetapi kita tidak bisa
lepas dari perbedaan yang sudah jadi sunnatullah. Tinggal tugas kita mengikuti manakah yang
sesuai ajaran Islam atau ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang jauh dari ajaran beliau,
tentu kita tinggalkan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫فووعلويياكيم بفاسنلفتى وواسنلفة ايلاخلووفافء اللرافشفديون ايلوميهفدنييون وع ص‬


‫ضوا وعلوييوها فبالنلووافجفذ‬

“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan
petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut dengan gigi geraham
kalian.” (HR. Abu Daud no. 4607, At Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 42. At Tirmidizi
mengatakan hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat
Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)

Imam Asy Syafi’i rahimahullah mengatakan,

‫ لويم يوفحلل لوها أوين يوودوعوها لفقويوفل أووحةد‬: ‫ت لوها اسنلةا وراسيوفل اف‬
‫أويجوموع الاميسلفاميوون وعولى أولن ومفن ايستووبانو ي‬

“Kaum muslimin telah sepakat bahwa siapa saja yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang
lainnya.” (I’lamul Muwaqi’in, 2/282).

Wallahu waliyyut taufiq.


Reference:

Syarh Lum’atul I’tiqod (Ibnu Qudamah Al Maqdisi), Syaikh Sholeh bin ‘Abdil ‘Aziz Alu Syaikh
(Menteri Agama Saudi Arabia), terbitan Darul Kautsar, 2008.

Sumber : https://rumaysho.com/1750-perbedaan-itu-rahmat.html
NIKAH MEMBUKA PINTU REZEKI
Muslimah

Apa benar menikah membuka pintu rezeki?

Banyak yang sudah membuktikan bahwa dengan menikah akan terbuka pintu
rezeki. Awalnya cuma hidup pas-pasan dengan gaji pas-pasan dan hidup di
rumah kontrakan yang sempit serta makan yang pas-pasan. Ternyata Allah
beri kelapangan setelah kesempitan. Karena Allah menolong setiap orang yang
menikah yang ingin menjaga kesucian dirinya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ada tiga orang yang akan mendapatkan pertolongan Allah: (1) orang yang
berjihad di jalan Allah, (2) orang yang menikah demi menjaga kesucian dirinya,
(3) budak mukatab yang ingin membebaskan dirinya.” (HR. An-Nasa’i, no.
3218; Tirmidzi, no. 1655; Ibnu Majah, no. 2518. Al-Hafizh Abu Thahir
mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Apalagi rezekinya dijamin pula oleh Allah jika ia rajin menafkahi istri dan
anaknya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ketika hamba berada di setiap pagi, ada dua malaikat yang turun dan berdoa,
“Ya Allah berikanlah ganti pada yang gemar berinfak (rajin memberi nafkah
pada keluarga).” Malaikat yang lain berdoa, “Ya Allah, berikanlah
kebangkrutan bagi yang enggan bersedekah (memberi nafkah).” (HR. Bukhari,
no. 1442; Muslim, no. 1010)

Ibnu Batthol menyebutkan bahwa yang dimaksud adalah mengeluarkan infak


yang wajib seperti nafkah untuk keluarga dan nafkah untuk menjalin
hubungan kekerabatan (silaturahim).
Berarti siapa yang beri nafkah pada keluarga, pada kerabat, dan rajin pula
mengeluarkan sedekah sunnah, maka malaikat akan mendoakan supaya
orang tersebut mendapatkan ganti. Hal ini serupa seperti yang disebutkan
dalam ayat Al Qur’an,

“Katakanlah: “Sesungguhnya Tuhanku melapangkan rezki bagi siapa yang


dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan bagi (siapa
yang dikehendaki-Nya).” Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka
Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS.
Saba’: 39).

Maksud ayat, siapa saja yang mengeluarkan nafkah dalam ketaatan pada
Allah, maka akan diberi ganti.

Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: Wahai anak Adam, berinfaklah, Allah


akan mengganti infakmu.” (HR. Bukhari, no. 4684; Muslim, no. 993)

Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan


hadits doa malaikat di atas, “Para ulama menyatakan bahwa infak yang
dimaksud adalah infak dalam ketaatan, infak untuk menunjukkan akhlak
yang mulia, infak pada keluarga, infak pada orang-orang yang lemah, serta
lainnya. Selama infak tersebut tidaklah berlebihan, alias boros.” (Syarh Shahih
Muslim, 7: 87)

Semoga Allah memberi keberkahan dalam pernikahan.


Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Mau Tahu Rezeki yang Paling Besar?
Apr 21, 2016Muhammad Abduh Tuasikal, MScManajemen Qolbu2

Sebagian kita menyangka bahwa rezeki hanyalah berputar pada harta dan makanan. Setiap
meminta dalam do’a mungkin saja kita berpikiran seperti itu.

Perlu kita ketahui bahwa rezeki yang paling besar yang Allah berikan pada hamba-Nya adalah
surga (jannah).

Inilah yang Allah janjikan pada hamba-hamba-Nya yang shalih. Surga adalah nikmat dan rezeki
yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, dan tidak pernah
tergambarkan dalam benak pikiran. Setiap rezeki yang Allah sebutkan bagi hamba-hamba-Nya,
maka umumnya yang dimaksudkan adalah surga itu sendiri. Hal ini sebagaimana maksud dari
firman Allah Ta’ala,

‫ه‬ ‫صاَ ه ه‬ ‫لهيجهز ه‬


‫لاَت َكأولنئه ن‬
‫ك َنلكبم َنمبغفنرنة َنوهربزنق َنكهرين‬
‫ه‬
‫ي َالتذينن َآننمنكوُا َنونعملكوُا َال ت ن‬
‫نب ن‬
“Supaya Allah memberi Balasan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
yang saleh. mereka itu adalah orang-orang yang baginya ampunan dan rezeki yang mulia.” (QS.
Saba’: 4)

َ‫ل َلنكه َهربزءقا‬ ‫هه ه‬ ‫ه ه‬ ‫م‬ ‫ل َويفعمل َصاَ ه ه‬ ‫ه ه ه‬


‫لاَ َيكبدخبلكه َنجتناَت َ نبتهري َمبن َ نبتتنهاَ َالننبفنهاَكر َنخاَلدينن َفينهاَ َأنبنءدا َقنبد َأنبحنسنن َا ك‬
‫نونمبن َيفكبؤمبن َباَ ن ن ب ن ب ن ء‬
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan
memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal
di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezeki yang baik kepadanya.”
(QS. Ath-Thalaq: 11)

Surga yang paling tinggi adalah surga Firdaus sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ط َابلننتهة َنوأنبعنلى َابلننتهة‬


‫ َفنهإنتكه َأنبونس ك‬،َ ‫س‬ ‫ه‬ ‫ت‬ ‫ه‬
‫فنإنذا َنسأنلبتككم َاللنه َنفاَبسأنكلوُكه َالبفبرندبو ن‬
“Jika kalian meminta pada Allah, mintalah pada-Nya surga Firdaus. Surga tersebut adalah
surga yang paling utama dan surga yang paling tinggi.” (HR. Bukhari, no. 2790)

Bagaimana cara meraih surga Firdaus tersebut, lakukanlah enam hal berikut:

1. Khusyu’ dalam shalat.


2. Meninggalkan hal yang sia-sia.
3. Menunaikan zakat.
4. Menjaga kemaluan kecuali pada istri sebagai pasangan yang halal.
5. Memegang amanat dan janji.
6. Menjaga shalat.
Perhatikan dalilnya berikut,

‫( َنوالتهذينن َكهبم‬3)َ ‫ضوُنن‬ ‫ه‬ ‫( َالتهذين َهم َهف َ هه ه‬1)َ ‫قنبد َأنفبفلنح َالبمبؤهمكنوُنن‬
‫( َنوالتذينن َكهبم َنعهن َاللتبغهوُ َكمبعهر ك‬2)َ ‫صنلتبم َنخاَشكعوُنن‬ ‫ن كب ن‬ ‫ن ك‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه ه‬ ‫ه‬ ‫ه ه ه‬
‫ت َأنبنياَنفككهبم َفنهإنفتكهبم َ نب‬
‫غيفكر‬ ‫( َإهتل َنعنلى َأنبزنواجهبم َأنبو َنماَ َنملننك ب‬5)َ ‫( َنوالتذينن َكهبم َلكفكروجهبم َنحاَفكظوُنن‬4)َ ‫للتزنكاَة َنفاَعكلوُنن‬
(8)َ ‫( َنوالتهذينن َكهبم َهلننماَنناَهتهبم َنونعبههدههبم َنراكعوُنن‬7)َ ‫ك َكهكم َالبنعاَكدونن‬ ‫ك َفنكأولنئه ن‬
‫ه‬
‫( َفننمهن َاببفتنفنغى َنونرانء َنذل ن‬6)َ ‫ي‬ ‫ه‬
‫نمكلوُم ن‬
)َ ‫س َكهبم َهفينهاَ َنخاَلهكدونن‬ ‫ته ه ه‬ ‫ه‬ ‫والتهذين َهم َعنلى َ هه ه‬
‫( َكأولنئه ن‬9)َ ‫صلننوُاتبم َكيناَفكظوُنن‬
‫( َالذينن َينركثوُنن َالبفبرندبو ن‬10)َ ‫ك َكهكم َالبنوُاركثوُنن‬ ‫ن ن كب ن ن‬
(11
1. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,
2. (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,
3. dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada
berguna,
4. dan orang-orang yang menunaikan zakat,
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya,
6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.
7. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui
batas.
8. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
9. dan orang-orang yang memelihara shalatnya.
10. Mereka itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.

(QS. Al-Mu’minun: 1-11)

Semoga Allah melapangkan kita rezeki di dunia dan di surga kelak.

@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 13 Rajab 1437 H

Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/13330-mau-tahu-rezeki-yang-paling-besar.html
Syarat Wanita Bekerja dan Berkarir
Oct 15, 2016Muhammad Abduh Tuasikal, MScMuslimah0

Apakah boleh wanita bekerja (menjadi wanita karir) sehingga sering berada di luar rumah?

Yang Lebih Baik Bagi Wanita

Sebelum pertanyaan di atas dijawab, perlu dipahami bahwa sebaik-baik tempat bagi wanita
adalah di rumahnya. Inilah yang dipuji dalam berbagai ayat.

َ‫دودقنردن دفيِ رَبرَيِودترَكشن دودل دتدبشرنجدن دتدبتردج انلدجاَدهلِدشيِدة ا ن ر‬


ِ‫لودلى‬
“Dan tinggallah kalian di dalam rumah-rumah kalian dan janganlah kalian berdandan
sebagaimana dandan ala jahiliah terdahulu.” (QS Al Ahzab: 33).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat di atas bahwa janganlah wanita keluar rumah kecuali ada hajat
seperti ingin menunaikan shalat di masjid selama memenuhi syarat-syaratnya. (Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 6: 182).

Wanita yang betah di rumah inilah yang lebih menjaga diri. Wanita karir begitu bebas bergaul
dengan lawan jenis di kantor, tanpa kenal batas. Padahal Allah Ta’ala memuji wanita yang
menjaga dirinya,

‫ب دبدماَ دحدفدظ ش‬
َ‫ار‬ ‫ت لدنلِدغنيِ د‬
‫ت دحاَدفدظاَ ر‬
‫ت دقاَدندتاَ ر‬
َ‫صاَلددحاَ ر‬
‫دفاَل ش‬
“Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada.” (QS. An Nisa’: 34).

Ath-Thabari berkata dalam kitab tafsirnya (6: 692), “Wanita tersebut menjaga dirinya ketika
tidak ada suaminya, juga ia menjaga kemaluan dan harta suami. Di samping itu, ia wajib
menjaga hak Allah dan hak selain itu.”

Alasan wanita lebih baik di rumah, menjadi IRT (Ibu Rumah Tangga) karena wanita itu aurat.
Disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‫ دماَ درآدنيِ أددحرد دإل‬:‫ت دمنن دبنيِدتدهاَ انسدتنشدردفدهاَ الششنيِدطاَرَن دفدترَقورَل‬ ‫ِهلل دوإدشندهاَ إددذا دخدردج ن‬،‫إدشن انلدمنرأددة دع نودرةر‬
‫ب دماَ دترَكورَن إددلىِ ش د‬
‫ا إددذا دكاَدن ن‬
َ‫ت دفيِ دقنعدر دبنيِدتدها‬ َ‫ِهلل دوأدنقدر ر‬،‫أدنعدجنبرَترَه‬
“Sesungguhnya perempuan itu aurat. Jika dia keluar rumah maka setan menyambutnya.
Keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah adalah ketika dia berada di dalam
rumahnya.” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 1685 dan Tirmidzi no. 1173. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Syarat Wanita Bekerja dan Berkarir di Luar Rumah

Syaikh Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah, guru kami saat belajar di
Riyadh menyebutkan dalam kitab Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtash bi Al-Mu’minaat (hlm. 12)
mengenai syarat wanita boleh bekerja di luar rumah sebagai berikut:

Pertama :

Pekerjaan tersebut adalah pekerjaan yang ia butuhkan atau pekerjaan yang dibutuhkan
masyarakat karena tidak mungkin tergantikan oleh laki-laki.

Kedua:

Bekerja di luar rumah dilakukan setelah pekerjaan pokok di rumah beres.

Ketiga:

Pekerjaan yang dilakukan berada di lingkungan para wanita (jauh dari interaksi dengan pria)
seperti sebagai pengajar bagi murid-murid perempuan dan merawat pasien wanita.

Semoga Allah menjadikan para wanita sebagai qurrata a’yun bagi suaminya.

Referensi:

Tambihaat ‘ala Ahkam Takhtash bi Al-Mu’minaat. Cetakan kelima, tahun 1429 H. Syaikh Dr.
Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al-Fauzan. Penerbit Darul Ifta’.

@ DS, Panggang, Gunungkidul, Sabtu pagi, 13 Muharram 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


Sumber : https://rumaysho.com/14618-syarat-wanita-bekerja-dan-berkarir.html

WANITA YANG BERPAKAIAN TAPI TELANJANG, SADARLAH!


Muslimah

Saat ini sangat berbeda dengan beberapa tahun silam. Sekarang para wanita
sudah banyak yang mulai membuka aurat. Bukan hanya kepala yang dibuka
atau telapak kaki, yang di mana kedua bagian ini wajib ditutupi. Namun,
sekarang ini sudah banyak yang berani membuka paha dengan memakai
celana atau rok setinggi betis. Ya Allah, kepada Engkaulah kami mengadu,
melihat kondisi zaman yang semakin rusak ini.

Kami tidak tahu beberapa tahun mendatang, mungkin kondisinya akan


semakin parah dan lebih parah dari saat ini. Mungkin beberapa tahun lagi,
berpakaian ala barat yang transparan dan sangat memamerkan aurat akan
menjadi budaya kaum muslimin. Semoga Allah melindungi keluarga kita dan
generasi kaum muslimin dari musibah ini.

Tanda Benarnya Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Ada dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat: [1]
Suatu kaum yang memiliki cambuk seperti ekor sapi untuk memukul manusia
dan [2] para wanita yang berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,
kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Wanita seperti itu tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium
selama perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 2128)

Hadits ini merupakan tanda mukjizat kenabian. Kedua golongan ini sudah ada
di zaman kita saat ini. Hadits ini sangat mencela dua golongan semacam ini.
Kerusakan seperti ini tidak muncul di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam karena sucinya zaman beliau, namun kerusakan ini baru terjadi
setelah masa beliau hidup (Lihat Syarh Muslim, 9/240 dan Faidul Qodir,
4/275).

Wahai Rabbku. Dan zaman ini lebih nyata lagi terjadi dan kerusakannya lebih
parah.

Saudariku, pahamilah makna ‘kasiyatun ‘ariyatun’

An Nawawi dalam Syarh Muslim ketika menjelaskan hadits di atas mengatakan


bahwa ada beberapa makna kasiyatun ‘ariyatun.

Makna pertama: wanita yang mendapat nikmat Allah, namun enggan


bersyukur kepada-Nya.

Makna kedua: wanita yang mengenakan pakaian, namun kosong dari amalan
kebaikan dan tidak mau mengutamakan akhiratnya serta enggan melakukan
ketaatan kepada Allah.

Makna ketiga: wanita yang menyingkap sebagian anggota tubuhnya, sengaja


menampakkan keindahan tubuhnya. Inilah yang dimaksud wanita yang
berpakaian tetapi telanjang.

Makna keempat: wanita yang memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian
dalam tubuhnya. Wanita tersebut berpakaian, namun sebenarnya telanjang.
(Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Pengertian yang disampaikan An Nawawi di atas, ada yang bermakna konkrit


dan ada yang bermakna maknawi (abstrak). Begitu pula dijelaskan oleh ulama
lainnya sebagai berikut.

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun


adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis yang menggambarkan
bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi (anggota tubuh yang
wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang berpakaian, namun pada
hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Muslimah, 125-126)
Al Munawi dalam Faidul Qodir mengatakan mengenai makna kasiyatun
‘ariyatun, “Senyatanya memang wanita tersebut berpakaian, namun
sebenarnya dia telanjang. Karena wanita tersebut mengenakan pakaian yang
tipis sehingga dapat menampakkan kulitnya. Makna lainnya adalah dia
menampakkan perhiasannya, namun tidak mau mengenakan pakaian takwa.
Makna lainnya adalah dia mendapatkan nikmat, namun enggan untuk
bersyukur pada Allah. Makna lainnya lagi adalah dia berpakaian, namun
kosong dari amalan kebaikan.

Makna lainnya lagi adalah dia menutup sebagian badannya, namun dia
membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib ditutupi) untuk
menampakkan keindahan dirinya.” (Faidul Qodir, 4/275)
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ibnul Jauziy.

Beliau mengatakan bahwa makna kasiyatun ‘ariyatun ada tiga makna.

Pertama: wanita yang memakai pakaian tipis, sehingga nampak bagian dalam
tubuhnya. Wanita seperti ini memang memakai jilbab, namun sebenarnya dia
telanjang.

Kedua: wanita yang membuka sebagian anggota tubuhnya (yang wajib


ditutup). Wanita ini sebenarnya telanjang.

Ketiga: wanita yang mendapatkan nikmat Allah, namun kosong dari syukur
kepada-Nya. (Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, 1/1031)

Kesimpulannya adalah kasiyatun ‘ariyat dapat kita maknakan: wanita yang


memakai pakaian tipis sehingga nampak bagian dalam tubuhnya dan wanita
yang membuka sebagian aurat yang wajib dia tutup.

Tidakkah Engkau Takut dengan Ancaman Ini

Lihatlah ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memakaian pakaian


tetapi sebenarnya telanjang, dikatakan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “wanita seperti itu tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium
baunya, walaupun baunya tercium selama perjalanan sekian dan sekian.”
Perhatikanlah saudariku, ancaman ini bukanlah ancaman biasa.
Perkara ini bukan perkara sepele. Dosanya bukan hanya dosa kecil. Lihatlah
ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. Wanita seperti ini
dikatakan tidak akan masuk surga dan bau surga saja tidak akan dicium.
Tidakkah kita takut dengan ancaman seperti ini?

An Nawawi rahimahullah menjelaskan maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi


wa sallam: ‘wanita tersebut tidak akan masuk surga’.

Inti dari penjelasan beliau rahimahullah:

Jika wanita tersebut menghalalkan perbuatan ini yang sebenarnya haram dan
dia pun sudah mengetahui keharaman hal ini, namun masih menganggap
halal untuk membuka anggota tubuhnya yang wajib ditutup (atau
menghalalkan memakai pakaian yang tipis), maka wanita seperti ini kafir,
kekal dalam neraka dan dia tidak akan masuk surga selamanya.
Dapat kita maknakan juga bahwa wanita seperti ini tidak akan masuk surga
untuk pertama kalinya. Jika memang dia ahlu tauhid, dia nantinya juga akan
masuk surga. Wallahu Ta’ala a’lam. (Lihat Syarh Muslim, 9/240)

Jika ancaman ini telah jelas, lalu kenapa sebagian wanita masih membuka
auratnya di khalayak ramai dengan memakai rok hanya setinggi betis? Kenapa
mereka begitu senangnya memamerkan paha di depan orang lain? Kenapa
mereka masih senang memperlihatkan rambut yang wajib ditutupi? Kenapa
mereka masih menampakkan telapak kaki yang juga harus ditutupi? Kenapa
pula masih memperlihatkan leher?!

Sadarlah, wahai saudariku! Bangkitlah dari kemalasanmu! Taatilah Allah dan


Rasul-Nya! Mulailah dari sekarang untuk merubah diri menjadi yang lebih baik

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


APAKAH SETIAP SELESAI SHALAT HARUS BERDO’A?
Keluarga

Mungkin sebagian saudara kami masih rancu mengenai perkara do’a. Apakah
memang setiap selesai shalat harus berdoa? Inilah yang akan kami jelaskan
pada posting kali ini.

Memang ada hadits yang menjelaskan dianjurkannya beberapa do’a pada


dubur shalat (akhir shalat) sebagaimana yang disebutkan dalam hadits
semacam ini :

“Aku wasiatkan padamu wahai Mu’adz. Janganlah engkau tinggalkan untuk


berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat) : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa
syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir pada-
Mu, bersyukur pada-Mu, dan memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. Abu Daud
no. 1522. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Namun apakah yang dimaksud dengan dubur shalat (akhir shalat)? Apakah
sebelum salam atau sesudah salam?

Untuk memahami hal ini, alangkah baiknya kita memperhatikan penjelasan


Syaikh Ibnu Baz berikut (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/194-196) yang kami
sarikan berikut ini.

Dubur shalat kadang bermakna sebelum salam dan kadang pula bermakna
sesudah salam.

Terdapat beberapa hadits yang menunjukkan hal ini. Mayoritasnya


menunjukkan bahwa yang dimaksud dubur shalat adalah akhir shalat
sebelum salam jika hal ini berkaitan dengan do’a. Sebagaimana dapat dilihat
dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah mengajarkannya tasyahud padanya, lalu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kemudian terserah dia memilih do’a yang dia sukai untuk berdo’a
dengannya.” (HR. Abu Daud no. 825).

Dalam lafazh lain,

“Kemudian terserah dia memilih setelah itu (setelah tasyahud) do’a yang dia
kehendaki (dia sukai).” (HR. Muslim no. 402, An Nasa’i no. 1298, Abu Daud
no. 968, Ad Darimi no. 1340)

Di antara contoh do’a yang dibaca sebelum salam adalah yang terdapat dalam
hadits Mu’adz bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat
padanya,

“Janganlah engkau tinggalkan untuk berdo’a setiap dubur shalat (akhir shalat)
[1] : Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik. [Ya Allah,
tolonglah aku untuk berdzikir pada-Mu, bersyukur pada-Mu, dan
memperbagus ibadah pada-Mu].” (HR. An Nasa’i no. 1286, Abu Daud no. 1301.
Sanad hadits ini shohih)

Contoh lain dari do’a yang dibaca sebelum salam adalah do’a yang diajarkan
oleh Sa’ad bin Abi Waqosh radhiyallahu ‘anhu.

“Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari sifat kikir, aku berlindung pada-Mu
dari hati yang lemah, aku berlindung dari dikembalikan ke umur yang jelek,
aku berlindung kepada-Mu dari musibah dunia dan aku berlindung pada-Mu
dari siksa kubur.”[2]

Adapun letak bacaan dzikir adalah setelah shalat, setelah salam berdasarkan
hadits-hadits shohih yang ada. Contoh yang dimaksud adalah ketika selesai
salam kita membaca :

Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah.

Allahumma antas salam wa minkas salam tabarokta yaa dzal jalali wal ikrom.
Dzikir ini dibaca oleh imam, makmum ataupun orang yang shalat sendirian
(munfarid).

Kemudian setelah itu imam berbalik ke arah makmum sambil menghadapkan


wajahnya ke arah mereka. Setelah itu imam, makmum, atau orang yang shalat
sendirian membaca dzikir :

Laa ilaha illalah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa
huwa ‘ala kulli sya’in qodir,

laa hawla quwwata illa billah.

Laa ilaha illallah wa laa na’budu illa iyyah, lahun ni’mah wa lahul fadhlu wa
lahuts tsana’ul hasan.

Laa ilaha illallah mukhlishina lahud din wa law karihal kaafirun.

Allahumma laa mani’a lima a’thoita wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa
yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.

Inilah yang dianjurkan bagi muslim dan muslimah untuk membaca dzikir-
dzikir ini setelah shalat lima waktu.

Lalu setelah itu dia membaca tasbih (subhanallah), membaca tahmid


(alhamdulillah), dan membaca takbir (Allahu Akbar).

Lalu dia menggenapkan bacaan dzikir ini menjadi seratus dengan membaca :

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu, wa
huwa ‘ala kulli sya’in qodir.

Semua dzikir ini terdapat dalam hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Lalu dianjurkan setelah membaca dzikir-dzikir ini agar membaca ayat kursi
sekali secara lirih (sir).
Lalu setelah itu membaca qul huwallahu ahad dan al maw’idzatain (Al Falaq
dan An Naas) masing-masing sekali setelah selesai shalat; kecuali untuk
shalat maghrib dan shubuh, ketiga surat ini dibaca masing-masing sebanyak
tiga kali.

Dianjurkan pula bagi setiap muslim dan muslimah setelah selesai shalat
maghrib dan shubuh untuk membaca dzikir :

Laa ilaha illallah wahdahu laa syarika lah lahul mulku wa lahul hamdu yuhyi
wa yumit wa huwa ‘ala kulli sya’in qodir,

dibaca sebanyak sepuluh kali sebagai tambahan dari bacaan-bacaan dzikir


tadi, sebelum membaca ayat kursi, sebelum membaca tiga surat tadi.

Amalan seperti ini terdapat dalam hadits yang shohih. Wallahu waliyyut
taufiq.

Kesimpulan : Yang dimaksud dengan dubur shalat adalah :

[1] Setelah tasyahud, sebelum salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk
berdo’a.

[2] Setelah shalat, sesudah salam. Ini adalah letak kita dianjurkan untuk
berdzikir. Kalau Ingin Berdo’a, Sebaiknya Dilakukan Sebelum Salam
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah (Liqo’at Al Bab Al
Maftuh, 82/19, Asy-syabkah Al Islamiyah) berkata : Oleh karena itu dapat kita
katakan bahwa apabila engkau ingin berdo’a kepada Allah, maka berdo’alah
kepada-Nya sebelum salam.

Hal ini karena dua alasan :

Alasan pertama : Inilah yang diperintahkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa


sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membicarakan tentang tasyahud,
“Jika selesai (dari tasyahud), maka terserah dia untuk berdo’a dengan do’a
yang dia suka.”
Alasan kedua : Jika engkau berada dalam shalat, maka berarti engkau sedang
bermunajat kepada Rabbmu. Jika engkau telah selesai mengucapkan salam,
berakhir pula munajatmu tersebut.

Lalu manakah yang lebih afdhol (lebih utama), apakah meminta pada Allah
ketika bermunajat kepada-Nya ataukah setelah engkau berpaling (selesai) dari
shalat?

Jawabannya, tentu yang pertama yaitu ketika engkau sedang bermunajat


kepada Rabbmu.

Adapun ucapan dzikir setelah menunaikan shalat (setelah salam) yaitu ucapan
astagfirullah sebanyak 3 kali. Ini memang do’a, namun ini adalah do’a yang
berkaitan dengan shalat.

Ucapan istighfar seseorang sebanyak tiga kali setelah shalat bertujuan untuk
menambal kekurangan yang ada dalam shalat.

Maka pada hakikatnya, ucapan dzikir ini adalah pengulangan dari shalat.

Semoga Allah selalu memberikan pada kita ilmu yang bermanfaat dan
memudahkan untuk melakukan amalan sholeh.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya.


MASIHKAH KITA BUTUH RASUL BARU?
Aqidah

Sungguh sangat menyayangkan sekali kondisi umat Islam saat ini. Di antara
kaum muslimin masih saja bingung mencari kebenaran. Sehingga di antara
mereka mempercayai beberapa orang yang mengaku sebagai rasul dan
mengikuti ajarannya. Hal ini sudah berlangsung sejak dulu dengan pengakuan
Musailamah Al Kadzdzab sebagai Nabi.

Kemudian pada abad ke-20 ini muncul lagi ajaran-ajaran yang baru yang
mengaku sebagai ajaran Islam, padahal sungguh sangat jauh dari Islam. Di
antara ajaran tersebut adalah ajaran Ahmadiyah dari India, begitu juga ajaran
seorang wanita yang bernama Lia Aminudin yang mengaku sebagai penyampai
wahyu yang diberikan kepada anaknya yang diangkat sebagai Nabi dan akhir-
akhir ini muncul pula aliran yang bernama Al Qiyadah Al Islamiyah yang juga
mempunyai rasul yang baru muncul tahun 2000.

Maka benarlah sabda suri tauladan kita hingga akhir zaman yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setiap perkataannya adalah jujur dan
dibenarkan (yang artinya),”Tidak akan tiba hari kiamat sampai dibangkitkan
dajjal-dajjal pendusta yang berjumlah sekitar 30 orang. Semuanya mengklaim
bahwa dirinya adalah Rasulullah. (HR. Bukhari).

Wajibnya Beriman kepada Para Rasul

Beriman kepada para Rasul merupakan salah satu rukun iman. Para rasul
inilah perantara antara Allah Ta’ala dan hamba-Nya dalam penyampaian
risalah (wahyu) dan penegakkan hujjah.

Keimanan kepada para Rasul adalah dengan membenarkan risalah (wahyu)


dan menetapkan nubuwwah (kenabian) mereka.
Dalil yang menunjukkan wajibnya beriman kepada para rasul amatlah
banyak. Di antaranya firman Allah Ta’ala (yang artinya), ”Sesungguhnya orang-
orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud
memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan
mengatakan: Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap
sebahagian (yang lain), serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil
jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang
yang kafir sebenar-benarnya.” (QS. An Nisa’ [4] : 151).

Dari ayat di atas, Allah menghukumi kafir orang-orang yang membedakan


antara beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya karena dia telah
beriman pada sebagian dan kufur pada sebagian yang lain.

Maka hal ini menunjukkan bahwa beriman kepada para rasul mulai dari
Nabi Adam ’alaihis salam hingga Nabi kita -Muhammad shallallahu ’alaihi
wa sallam- adalah wajib. Hikmah Diutusnya Para Rasul

Pengutusan para rasul merupakan nikmat Allah bagi para hamba-Nya. Karena
kebutuhan hamba pada para rasul sangat mendesak (primer). Seorang hamba
tidak mungkin mengatur kondisi dan menegakkan agama tanpa perantara
mereka. Kebutuhan hamba pada rasul melebihi kebutuhannya pada makan
dan minum.

Karena Allah Ta’ala telah menjadikan para rasul sebagai perantara antara Dia
dan hamba-Nya, dalam mengenal Allah, mengetahui sesuatu yang bermanfaat
atau membahayakannya, juga dalam mengenal rincian syari’at berupa
perintah, larangan, dan hal yang dibolehkan, serta menjelaskan pula hal-hal
yang dicintai Allah dan dibenci-Nya.

Tidak ada jalan mengetahui yang demikian kecuali melalui para rasul, karena
akal tidak dapat menunjuki pada rincian perkara ini.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),”Manusia itu adalah umat yang satu
(setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi
peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab yang benar, untuk
memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan.” (QS. Al Baqarah [2] : 213).
Kenabian (Nubuwwah) adalah Pilihan Allah

Perlu pembaca sekalian ketahui, bahwasanya kenabian (nubuwwah)


merupakan pilihan Allah Ta’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),”Allah
memilih utusan-utusan-(Nya) dari malaikat dan dari manusia. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Al Hajj [22] : 75).

Kenabian (nubuwah) bukanlah hasil kerja keras hamba, yang dicari dengan
membebani diri melakukan berbagai macam ibadah, menghiasi diri dengan
akhlaq dan selalu melatih diri, sebagaimana dikatakan para filosof dan juga
diyakini oleh ahli tasawuf.

Allah membantah perkataan mereka ini dalam firman Allah lainnya (yang
artinya),”Mereka berkata: Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada
kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan
Allah. Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS.
Al An’am [6] : 124).

Oleh karena itu, kenabian merupakan pilihan Allah sesuai dengan hikmah
dan ilmu-Nya siapa yang pantas mengemban kenabian ini. Kenabian bukanlah
usaha seorang hamba sedikitpun.

Nabi Terakhir, Untuk Seluruh Umat dan Penutup Risalah

Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam memiliki kekhususan dibanding


dengan nabi lainnya. Di antaranya adalah :

[1] Beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi,


sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya),”Muhammad itu sekali-kali
bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah
Rasulullah dan penutup para nabi.” (QS. Al Ahzab [33] : 40) dan sabda
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam (yang artinya),”Aku adalah penutup
para Nabi dan tidak ada Nabi lagi sesudahku.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah,
dan Ahmad dengan sanad shohih menurut Muslim)
[2] Syari’at beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah umum untuk
seluruh umat, bukan hanya untuk orang Arab. Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya),”Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan.”
(QS. Saba’ [34] : 28). ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk
(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al Anbiya’ [21] : 107). ”Katakanlah:
Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS.
Al A’raf [7] : 158).

Maka sungguh sangat tidak tepat, perkataan aliran JIL yang mengambil
perkataan kaum orientalis barat bahwa agama Islam adalah hanya untuk
orang Arab. Semoga Allah melindungi kita dari semua ajaran mereka yang
sesat dan menyesatkan.

[3] Berakhirnya wahyu adalah dengan diutusnya Nabi Muhammad


shallallahu ’alaihi wa sallam. Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda (yang artinya),”Sesungguhnya risalah (wahyu) dan nubuwwah
(kenabian) telah terputus, tidak ada Rasul dan Nabi sesudahku.” (HR.
Tirmidzi. Syaikh Al Albani mengatakan sanadnya shohih).

Adapun turunnya Nabi Isa ’alaihis salam di akhir zaman nanti, tidak berarti
wahyu belum berakhir. Wahyu (risalah) sudah berakhir karena Nabi Isa
’alaihis salam turun bukan membawa syari’at baru lagi, tetapi beliau
beribadah dengan syariat Nabi kita Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.

Ini berarti syari’at Nabi Isa ’alaihis salam telah dihapus dengan diutusnya Nabi
Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam.

Perlukah Diutus Rasul Baru ?

Inilah yang menjadi inti pembahasan kita saat ini. Banyak aliran baru yang
mengaku sebagai Islam yang muncul pada abad milenium saat ini dengan
membawa ajaran dan pemahaman baru yang tidak ada contoh dari generasi
terbaik umat ini yaitu para sahabat.

Padahal Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam sudah menjelaskan bahwa


tidak ada nabi dan rasul lagi sesudah beliau. Dan tidak ada wahyu lagi setelah
diutusnya beliau shallallahu ’alaihi wa sallam sebagaimana kami jelaskan di
atas.

Maka untuk menjawab syubhat mereka yang mengatakan masih perlu adanya
rasul baru, kami akan membawakan empat sebab yang bisa menjadi alasan
diutusnya rasul baru dan akan kami jawab.

SEBAB I, pada suatu umat, sebelumnya telah diutus seorang Nabi. Namun,
Nabi tersebut tidak mengajari mereka. Nabi tersebut diutus kepada umat
lainnya dan ajaran tersebut sampai kepada mereka. Jawaban : Sebab ini tidak
mungkin ada setelah diutusnya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, karena
Islam saat ini sudah tersebar di setiap negeri hingga pelosok, sehingga tidak
butuh lagi adanya rasul baru.

SEBAB II, pada suatu umat, sebelumnya telah diutus seorang Nabi. Namun
ajarannya telah hilang karena telah dilupakan atau telah bercampur dengan
berbagai penyimpangan hingga umat tersebut tidak dapat mengikuti ajaran
tersebut dengan benar dan sempurna. Jawaban : Sebab ini juga tidak
mungkin ada, karena Al Qur’an dan As Sunnah telah Allah jaga dan pelihara.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya,”Sesungguhnya Kami-lah yang
menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.”
(QS. Al Hijr [15] : 9). Sehingga tidak perlu diutus rasul baru lagi.

SEBAB III, pada umat tersebut, sebelumnya telah diutus seorang Nabi dan
ajarannya juga berlaku untuk umat sesudahnya. Ini berarti sangat
dibutuhkan diutusnya Nabi selanjutnya untuk menyempurnakan ajarannya.
Jawaban : Sebab ini tidak mungkin ada setelah diutusnya Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam, karena agama ini telah sempurna sebagaimana
firman Allah Ta’ala yang artinya,”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-
ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah [5] : 3). Maka tidak perlu
diutus rasul baru lagi.

SEBAB IV, pada umat tersebut telah diutus seorang nabi. Namun, sangat
dibutuhkan pula diutusnya nabi bersamanya untuk membenarkan dan
menguatkannya. Jawaban : Jika ini memang sangat perlu dan sangat
mendesak untuk membenarkan dan menguatkan ajaran Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam tentu saja Allah akan mengutus seorang Nabi di zaman
beliau shallallahu ’alaihi wa sallam. Namun kenyataannya tidak ada seorang
Nabi yang Allah utus pada zaman tersebut. (Empat sebab ini disebutkan oleh
Abul A’la Al Maududi sebagai bantahan kepada Ahmadiyah yang kami nukil
dari Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod)

Kesimpulan :

Keempat sebab ini sudah tidak ada lagi setelah diutusnya Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam. Oleh karena itu, tidak ada nabi-nabi baru lagi sesudah
beliau shallallahu ’alaihi wa sallam.

Maka sungguh sangat sesat sekali orang-orang yang beranggapan boleh


adanya nabi atau rasul setelah nabi yang terakhir dan penutup para nabi
(Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam).

Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai penyimpangan dan menunjuki


kita untuk mengikuti jejak suri tauladan kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan
juga jejak generasi terbaik umat ini dari para sahabat dan tabi’in. Innahu
huwas sami’ul ’alim.

Sumber rujukan : (1) Al Irsyad ila Shohihil I’tiqod, Syaikh Sholih Al Fauzan,
(2) Minhajul Muslim, Abu Bakr Jabir Al Jazairi

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh


Tuasikal
MEMBALAS KEBAIKAN ORANG LAIN
Akhlaq

Semoga dengan merenungkan hadits-hadits berikut ini -yang dibawakan oleh


Bukhari dalam Adabul Mufrod– kita bisa menjadi orang yang selalu membalas
budi orang lain terutama pada orang tua dan orang yang telah memberikan
kita banyak ilmu dalam masalah akhirat. Janganlah lupakan hal ini.

Siapa yang Memperoleh Kebaikan Orang Lain Hendaklah Membalasnya

Hadits Pertama

Dari Jabir bin Abdillah Al Ansahary, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda,

ٍ،‫ٍ ووإفين وكتوومها فوقويد وكفووراه‬،‫ٍ فوإ فين لويم يايجفزيئها فويليايثفن وعلوييفه؛ فوإ فنلها إفوذا أويثونى وعلوييفه فوقويد وشوكوراه‬،‫ف فويليايجفزيئاه‬
‫صنفوع إفلوييفه وميعيراو د‬
‫ومين ا‬
‫س ثويوبويي ازيوةر‬ ‫و‬
‫ٍ فووكأنلوما لوبف و‬،‫ط‬ ‫ل‬
‫ووومين تووحلى بووما لويم يايع و‬

“Siapa yang memperoleh kebaikan dari orang lain, hendaknya dia


membalasnya. Jika tidak menemukan sesuatu untuk membalasnya,
hendaklah dia memuji orang tersebut, karena jika dia memujinya maka dia
telah mensyukurinya. Jika dia menyembunyikannya, berarti dia telah
mengingkari kebaikannya. Seorang yang berhias terhadap suatu (kebaikan)
yang tidak dia kerjakan atau miliki, seakan-akan ia memakai dua helai
pakaian kepalsuan.”
(Shahih) Takhrijut Targhib (2/55), Ash Shahihah (617): [Tirmidzi: 25-Kitab Al
Birr wash Shilah, 87-Bab Maa Jaa-a fii Man Tasyabba’a bimaa Lam Yu’thihi].

Hadits Kedua

Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda,
ٍ،‫ٍ فادعوا له‬،‫ٍ فإن لم تجدوا‬،‫ٍ ومن أتى إليكم معروفا ر فكافئوه‬،‫من استعاذ بال فأعياذوها ومن سأل بال فأعطوه‬
‫حتى يعلم أن قد كافأتموه‬

“Siapa yang memohon perlindungan dengan mengatasnamakan Allah , maka


lindungilah dia. Dan siapa yang meminta dengan mengatasnamakan Allah,
maka berilah ia. Dan siapa yang berbuat baik kepadamu, balaslah
kebaikannya. Jika anda tidak mampu, maka doakanlah dia sampai dia tahu
bahwa kalian telah memberinya yang setimpal.”
(Shahih) Ash Shahihah (254): [Abu Dawud: 9-Kitab Az Zakah, 38-Bab ‘Athiyatu
Man Sa-ala billah].

Siapa yang Tidak Mampu Membalas Kebaikan Orang Lain Hendaklah Dia
Mendo’akan Kebaikan Bagi Orang Tersebut

Dari Anas, ia berkata, “Kaum Muhajirin berkata, “Wahai rasulullah! Apakah


kaum Anshar telah memborong seluruh pahala [atas kebaikan yang mereka
berikan kepada kami]?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak. Selama kalian
mendo’akan kebaikan kepada mereka dan kalian memuji atas kebaikan yang
mereka berikan.”
(Shahih) At Ta’liq Ar Raghib: (2/56): [Abu Dawud: 40-Kitab Al Adab, 11-Bab Fii
Syukril Ma’ruf. Tirmidzi: 35-Kitab Al Qiyamah, 44-Bab Haddatsana Al Husain
ibnul Hasan].

Seorang yang Tidak Mensyukuri (Berterima Kasih pada) Manusia Belum


Merealisasikan Syukur pada Allah

Dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

‫لو يويشاكار او ومين لو يويشاكار اللنا و‬


‫س‬

”Seorang belum merealisasikan rasa syukur kepada Allah selama ia tidak


mampu bersyukur (berterimakasih) atas kebaikan orang lain terhadap
dirinya.”
(Shahih) Ash Shahihah (416)
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Apakah Setiap Berdo’a Harus Mengangkat Tangan?


Dec 26, 2008Muhammad Abduh Tuasikal, MScKeluarga0

Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST Sumber: Berbagai Fatwa Ulama Besar
Saudi Arabia Inilah yang masih belum dipahami sebagian orang. Mereka
menganggap bahwa setiap berdoa harus mengangkat tangan, semacam
ketika berdoa sesudah shalat. Untuk lebih jelas marilah kita melihat
beberapa penjelasan berikut. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin –
rahimahullah- pernah ditanyakan, “Bagaimanakah kaedah (dhobith)
mengangkat tangan ketika berdo’a?” (Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 51/13, Asy
Syabkah Al Islamiyah) Beliau –rahimahullah- menjawab dengan rincian yang amat bagus :
Mengangkat tangan ketika berdo’a ada tiga keadaan : Pertama, ada dalil yang menunjukkan
untuk mengangkat tangan. Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika
berdo’a. Contohnya adalah ketika berdo’a meminta diturunkannya hujan. Jika seseorang
meminta hujan pada khutbah jum’at atau khutbah shalat istisqo’, maka dia hendaknya
mengangkat tangan. Contoh lainnya adalah mengangkat tangan ketika berdo’a di Bukit Shofa
dan Marwah, berdo’a di Arofah, berdo’a ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari-hari tasyriq
dan juga Jumroh Al Wustho. Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat (yang
dianjurkan) untuk mengangkat tangan (ketika berdo’a) yaitu : [1] ketika berada di Shofa, [2]
ketika berada di Marwah, [3] ketika berada di Arofah, [4] ketika berada di Muzdalifah setelah
shalat shubuh, [5] Di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq, [6] Di Jumroh Al Wustho di hari-hari
tasyriq. Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi dianjurkan untuk mengangkat tangan ketika
itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini. Kedua,
tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan. Contohnya adalah do’a di dalam
shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a istiftah : Allahumma ba’id baini
wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi …; juga membaca do’a duduk
di antara dua sujud : Robbighfirli; juga berdo’a ketika tasyahud akhir; namun beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu pula dalam khutbah
Jum’at, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut).
Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah
terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (alias bid’ah) dan melakukan semacam
ini terlarang. Ketiga, tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka
hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdo’a. Hal ini
berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi
Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan
kepada-Nya , lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa..” (HR. Abu Daud no.
1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud
mengatakan bahwa hadits ini shohih) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah
menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu,
lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan : “Wahai Rabbku! Wahai
Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang
haram. Bagaimana mungkin do’anya bisa dikabulkan? (HR. Muslim no. 1015) Dalam hadits tadi,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab
terkabulnya do’a. Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdo’a. Namun,
ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan do’a diperbolehkan
mengusap wajah dengan kedua tangan? Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah
dengan kedua telapak tangan sehabis berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah
hadits yang lemah (dho’if) yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Apabila kita melihat
seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdo’a, maka
hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdo’a karena hadits yang menjelaskan hal
ini adalah hadits yang lemah (dho’if). Hukum Mengangkat Tangan untuk Berdo’a Sesudah
Shalat Fardhu Pembahasan berikut adalah mengenai hukum mengangkat tangan untuk berdo’a
sesudah shalat fardhu. Berdasarkan penjelasan di atas, kita telah mendapat pencerahan bahwa
memang mengangkat tangan ketika berdo’a adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Namun,
apakah ini berlaku dalam setiap kondisi? Sebagaimana penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas
bahwa hal ini tidak berlaku pada setiap kondisi. Ada beberapa contoh dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa beliau tidak mengangkat tangan ketika berdo’a.
Agar lebih jelas, mari kita perhatikan penjelasan Syaikh Ibnu Baz mengenai hukum mengangkat
tangan ketika berdo’a sesudah shalat. Beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181)
mengatakan :

Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdo’a) pada kondisi yang kita
tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu.
Contohnya adalah berdo’a ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud
(membaca do’a robbighfirli, pen) dan ketika berdo’a sebelum salam, juga ketika khutbah jum’at
atau shalat ‘ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika
berdo’a) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. Namun ketika
meminta hujan pada saat khutbah jum’at atau khutbah ‘ied, maka disyariatkan untuk mengangkat
tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka ingatlah kaedah yang disampaikan oleh beliau –rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya
(11/181) berikut :

“Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan,
maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi
wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.”

Bagaimana Jika Tetap Ingin Berdo’a Sesudah Shalat? Ini dibolehkan, namun setelah
berdzikir, dengan catatan tidak dengan mengangkat tangan. Syaikh Ibnu Baz –rahimahullah-
dalam Majmu’ Fatawanya (11/178) mengatakan :

“Begitu pula berdo’a sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang
untuk berdo’a ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. Namun perlu
diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. Wajib bagi setiap muslim senantiasa
untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam
menyelisihi keduanya. Wallahu waliyyut taufik.”

Mengangkat Tangan Untuk Berdo’a Sesudah Shalat Sunnah Syaikh Ibnu Baz –
rahimahullah- dalam Majmu’ Fatawanya (11/181) mengatakan : Adapun shalat sunnah, maka aku
tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdo’a setelah selesai shalat. Hal
ini berdasarkan keumuman dalil. Namun lebih baik berdo’a sesudah selesai shalat sunnah tidak
dirutinkan. Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para
sahabat –radhiyallahu ‘anhum jami’an- rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan
beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya. Adapun hadits yang masyhur
(sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di
dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau
mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah : Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!”
Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan
ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq. Semoga Allah senantiasa memberikan pada kita ilmu
yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima. Yang selalu mengharapkan
ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Sumber : https://rumaysho.com/39-apakah-setiap-berdoa-harus-mengangkat-tangan.html
PAKAIAN YANG MESTI ENGKAU PAKAI, SAUDARIKU!
Muslimah

Betapa banyak kita lihat saat ini, wanita-wanita berbusana muslimah, namun
masih dalam keadaan ketat. Sungguh kadang hati terasa perih. Apa bedanya
penampilan mereka yang berkerudung dengan penampilan wanita lain yang
tidak berkerudung jika sama-sama ketatnya[?]

Oleh karena itu, pembahasan kita saat ini adalah mengenai pakaian wanita
muslimah yang seharusnya mereka pakai. Pembahasan kali ini adalah
lanjutan dari pembahasan “Wanita yang Berpakaian Tetapi Telanjang“.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah lah yang dapat memberi taufik dan hidayah.

Allah Ta’ala berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan


isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mendekatkan jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka“. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk
dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (QS. Al Ahzab [33] : 59).

Jilbab bukanlah penutup wajah, namun jilbab adalah kain yang dipakai oleh
wanita setelah memakai khimar. Sedangkan khimar adalah penutup kepala.

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan


pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nuur [24] :
31).

Berdasarkan tafsiran Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Atho’ bin Abi Robbah, dan
Mahkul Ad Dimasqiy bahwa yang boleh ditampakkan adalah wajah dan kedua
telapak tangan.

Dari tafsiran yang shohih ini terlihat bahwa wajah bukanlah aurat. Jadi,
hukum menutup wajah adalah mustahab (dianjurkan). (Lihat Jilbab Al Mar’ah
Al Muslimah, Amru Abdul Mun’im, hal. 14)

Syarat Pakaian Wanita yang Harus Diperhatikan

Pakaian wanita yang benar dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya
memiliki syarat-syarat. Jadi belum tentu setiap pakaian yang dikatakan
sebagai pakaian muslimah atau dijual di toko muslimah dapat kita sebut
sebagai pakaian yang syar’i. Semua pakaian tadi harus kita kembalikan pada
syarat-syarat pakaian muslimah.

Para ulama telah menyebutkan syarat-syarat ini dan ini semua tidak
menunjukkan bahwa pakaian yang memenuhi syarat seperti ini adalah
pakaian golongan atau aliran tertentu. Tidak sama sekali. Semua syarat
pakaian wanita ini adalah syarat yang berasal dari Al Qur’an dan hadits yang
shohih, bukan pemahaman golongan atau aliran tertentu. Kami mohon jangan
disalah pahami.

Ulama yang merinci syarat ini dan sangat bagus penjelasannya adalah Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah –ulama pakar hadits abad
ini-. Lalu ada ulama yang melengkapi syarat yang beliau sampaikan yaitu
Syaikh Amru Abdul Mun’im hafizhohullah. Ingat sekali lagi, syarat yang para
ulama sebutkan bukan mereka karang-karang sendiri.

Namun semua yang mereka sampaikan berdasarkan Al Qur’an dan hadits


yang shohih.
Syarat pertama: pakaian wanita harus menutupi seluruh tubuh kecuali
wajah dan telapak tangan. Ingat, selain kedua anggota tubuh ini wajib ditutupi
termasuk juga telapak kaki.

Syarat kedua: bukan pakaian untuk berhias seperti yang banyak dihiasi
dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar
makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik! Yang terkahir
ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan di antara kaum muslimin.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu ber-tabarruj


seperti orang-orang jahiliyyah pertama.” (QS. Al Ahzab : 33).

Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan


kecantikannya serta segala sesuatu yang mestinya ditutup karena hal itu
dapat menggoda kaum lelaki.

Ingatlah, bahwa maksud perintah untuk mengenakan jilbab adalah perintah


untuk menutupi perhiasan wanita. Dengan demikian, tidak masuk akal bila
jilbab yang berfungsi untuk menutup perhiasan wanita malah menjadi
pakaian untuk berhias sebagaimana yang sering kita temukan.

Syarat ketiga: pakaian tersebut tidak tipis dan tidak tembus pandang yang
dapat menampakkan bentuk lekuk tubuh. Pakaian muslimah juga harus
longgar dan tidak ketat sehingga tidak menggambarkan bentuk lekuk tubuh.

Dalam sebuah hadits shohih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda, “Dua golongan dari penduduk neraka yang belum pernah aku lihat,
yaitu : Suatu kaum yang memiliki cambuk, seperti ekor sapi untuk memukul
manusia dan para wanita berpakaian tapi telanjang, berlenggak-lenggok,
kepala mereka seperti punuk unta yang miring, wanita seperti itu tidak akan
masuk surga dan tidak akan mencium baunya, walaupun baunya tercium
selama perjalanan ini dan ini.” (HR.Muslim)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Makna kasiyatun ‘ariyatun


adalah para wanita yang memakai pakaian yang tipis sehingga dapat
menggambarkan bentuk tubuhnya, pakaian tersebut belum menutupi
(anggota tubuh yang wajib ditutupi dengan sempurna). Mereka memang
berpakaian, namun pada hakikatnya mereka telanjang.” (Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah, 125-126)

Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat
yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan
bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.
Syarat keempat: tidak diberi wewangian atau parfum.
Dari Abu Musa Al Asy’ary bahwanya ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

“Perempuan mana saja yang memakai wewangian, lalu melewati kaum pria
agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah wanita pezina.” (HR. An
Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Shohihul
Jami’ no. 323 mengatakan bahwa hadits ini shohih). Lihatlah ancaman yang
keras ini!

Syarat kelima: tidak boleh menyerupai pakaian pria atau pakaian non
muslim.

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata,

“Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum
wanita yang menyerupai kaum pria.” (HR. Bukhari no. 6834)

Sungguh meremukkan hati kita, bagaimana kaum wanita masa kini


berbondong-bondong merampas sekian banyak jenis pakaian pria. Hampir
tidak ada jenis pakaian pria satu pun kecuali wanita bebas-bebas saja
memakainya, sehingga terkadang seseorang tak mampu membedakan lagi,
mana yang pria dan wanita dikarenakan mengenakan celana panjang.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

”Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari
mereka” (HR. Ahmad dan Abu Dawud. Syaikhul Islam dalam Iqtidho’
mengatakan bahwa sanad hadits ini jayid/bagus)
Betapa sedih hati ini melihat kaum hawa sekarang ini begitu antusias
menggandrungi mode-mode busana barat baik melalui majalah, televisi, dan
foto-foto tata rias para artis dan bintang film. Laa haula walaa quwwata illa
billah.

Syarat keenam: bukan pakaian untuk mencari ketenaran atau popularitas


(baca: pakaian syuhroh).

Dari Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa mengenakan pakaian syuhroh di dunia, niscaya Allah akan


mengenakan pakaian kehinaan padanya pada hari kiamat, kemudian
membakarnya dengan api neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Syaikh Al
Albani mengatakan hadits ini hasan)

Pakaian syuhroh di sini bisa bentuknya adalah pakaian yang paling mewah
atau pakaian yang paling kere atau kumuh sehingga terlihat sebagai orang
yang zuhud. Kadang pula maksud pakaian syuhroh adalah pakaian yang
berbeda dengan pakaian yang biasa dipakai di negeri tersebut dan tidak
digunakan di zaman itu. Semua pakaian syuhroh seperti ini terlarang.

Syarat ketujuh: pakaian tersebut terbebas dari salib.


Dari Diqroh Ummu Abdirrahman bin Udzainah, dia berkata,

“Dulu kami pernah berthowaf di Ka’bah bersama Ummul Mukminin (Aisyah),


lalu beliau melihat wanita yang mengenakan burdah yang terdapat salib.
Ummul Mukminin lantas mengatakan, “Lepaskanlah salib tersebut.
Lepaskanlah salib tersebut. Sungguh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
ketika melihat semacam itu, beliau menghilangkannya.” (HR. Ahmad. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Ibnu Muflih dalam Al Adabusy Syar’iyyah mengatakan, “Salib di pakaian dan
lainnya adalah sesuatu yang terlarang. Ibnu Hamdan memaksudkan bahwa
hukumnya haram.”

Syarat kedelapan: pakaian tersebut tidak terdapat gambar makhluk bernyawa


(manusia dan hewan).
Gambar makhluk juga termasuk perhiasan. Jadi, hal ini sudah termasuk
dalam larangan bertabaruj sebagaimana yang disebutkan dalam syarat kedua
di atas. Ada pula dalil lain yang mendukung hal ini.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa


sallam memasuki rumahku, lalu di sana ada kain yang tertutup gambar
(makhluk bernyawa yang memiliki ruh, pen). Tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam melihatnya, beliau langsung merubah warnanya dan menyobeknya.

Setelah itu beliau bersabda,

”Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat


adalah yang menyerupakan ciptaan Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah dan ini adalah lafazhnya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim, An Nasa’i dan Ahmad)

Syarat kesembilan: pakaian tersebut berasal dari bahan yang suci dan halal.

Syarat kesepuluh: pakaian tersebut bukan pakaian kesombongan.

Syarat kesebelas: pakaian tersebut bukan pakaian pemborosan.

Syarat keduabelas: bukan pakaian yang mencocoki pakaian ahlu bid’ah.


Seperti mengharuskan memakai pakaian hitam ketika mendapat musibah
sebagaimana yang dilakukan oleh Syi’ah Rofidhoh pada wanita mereka ketika
berada di bulan Muharram. Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa
pengharusan seperti ini adalah syi’ar batil yang tidak ada landasannya.

Inilah penjelasan ringkas mengenai syarat-syarat jilbab. Jika pembaca ingin


melihat penjelasan selengkapnya, silakan lihat kitab Jilbab Al Mar’ah Al
Muslimah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Kitab
ini sudah diterjemahkan dengan judul ‘Jilbab Wanita Muslimah’.

Juga bisa dilengkapi lagi dengan kitab Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah yang
ditulis oleh Syaikh Amru Abdul Mun’im yang melengkapi pembahasan Syaikh
Al Albani.
Terakhir, kami nasehatkan kepada kaum pria untuk memperingatkan istri,
anggota keluarga atau saudaranya mengeanai masalah pakaian ini. Sungguh
kita selaku kaum pria sering lalai dari hal ini.

Semoga ayat ini dapat menjadi nasehatkan bagi kita semua.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-
malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang
diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semua dalam mematuhi setiap
perintah-Nya dan menjauhi setiap larangan-Nya.

Alhamdullillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihat.

Rujukan:
1. Faidul Qodir Syarh Al Jami’ Ash Shogir, Al Munawi, Mawqi’ Ya’sub, Asy
Syamilah
2. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
Maktabah Al Islamiyah-Amman, Asy Syamilah
3. Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, Syaikh ‘Amru Abdul Mun’im Salim, Maktabah
Al Iman
4. Kasyful Musykil min Haditsi Ash Shohihain, Ibnul Jauziy, Darun
Nasyr/Darul Wathon, Asy Syamilah
5. Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, An Nawawi, Mawqi’ Al Islam, Asy Syamilah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


INGIN MAKMUR SEPERTI NEGERINYA RAJA SALMAN

Kita akui bahwa negerinya Raja Salman (Saudi Arabia) bisa lebih makmur dari
kita padahal di sana negeri padang pasir dan tandus. Kenapa bisa?

Mau tahu bagaimanakah makmurnya negeri padang pasir seperti Kerajaan


Saudi Arabia? Padahal negara Saudi Arabia tidak sehijau negeri kita. Air di
daratan sana tidak sebanyak di negeri kita. Namun mereka terlihat lebih
makmur dan lebih maju.

Kenapa?

Ini keadaan Saudi Arabia dengan berbagai kemakmurannya:

1. BBM jenis oktan 91 hanya dihargai 0,75 riyal. Sedangkan BBM jenis oktan
95 hanya seharga 0,90 riyal. Di negeri kita Pertamax yang angka oktannya
92, dijual Rp.8.050 dan Pertalite yang angka oktannya 90, dijual
Rp.7.350,-. Bensin Saudi dengan angkat oktan terbaik (95) bisa diperoleh
dengan harga Rp.3.600,- dengan kurs Rp.4000,- per riyal. Harga segitu di
sana sudah mendapatkan satu aqua botol sedang seharga 1 riyal. Jadi
harga bensin kelas tinggi hampir sama dengan aqua botol sedang.

2. Sekolah hingga kuliah di Saudi Arabia gratis dan dapat tunjangan hidup
dan dapat asrama. Parahnya berlaku juga untuk warga asing seperti kita
yang ingin sekolah di sana dari Indonesia.

3. Pengangguran di Arab Saudi menerima tunjangan sebesar 2,000 Riyal (±


Rp.8 Juta) perbulan. Sedangkan mahasiswa di seluruh Universitas Negeri
mendapat uang saku bulanan sekitar 900 Riyal (± Rp.3,6 juta), asrama
gratis dan tanpa dipungut biaya kuliah sama sekali.
4. Minimal gaji bersih yang harus diterima oleh Saudi sebesar 2500 riyal (±
Rp.10 Juta) per bulan untuk posisi (terendah) sebagai pegawai junior
semisal sopir atau petugas keamanan.

5. Arab Saudi adalah produsen terbesar di dunia dan eksportir minyak, dan
memiliki seperempat dari cadangan minyak dunia yang dikenal – lebih dari
260 miliar barel. Sebagian besar berada di Provinsi Timur, termasuk bidang
onshore terbesar di Ghawar dan bidang lepas pantai terbesar di Safaniya di
Teluk Arab. Kilang Arab Saudi memproduksi sekitar 8 juta barel minyak
per hari, dan ada rencana untuk meningkatkan produksi menjadi sekitar
12 juta barel per hari.

6. Jalanan di Arab Saudi adalah jalan tol semua dan gratis semua.

7. Tidak ada pajak untuk warga negara Saudi. Sehingga harga mobil pun bisa
lebih murah dari negeri produsennya. Contoh mobil innova diproduksi di
Indonesia dan dibawa ke Saudi Arabia dengan harga 60.000 riyal (± Rp.240
Juta). Sedangkan di Indonesia, mobil tersebut dijual dengan harga di atas
300-an juta rupiah.

Apa yang menyebabkan Saudi Arabia terlihat begitu maju dan makmur:

1- Negara tersebut memegang teguh TAUHID

Ini dibuktikan lewat dakwah Syaikh Al-Imam Al-Mujaddid Muhammad bin


Abdul Wahhab sejak abad ke-18. Yang dahulu bekerja sama dengan
Muhammad bin Saud.

Muhammad bin Abdul Wahhab dan Muhammad bin Saud membentuk


kesepakatan untuk mendedikasikan diri mereka untuk memulihkan ajaran
Islam yang murni kepada komunitas Muslim. Dalam semangat itu, bin Saud
mendirikan negara pertama Arab Saudi, dengan bimbingan spiritual Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab.
Dakwah tauhid inilah yang menjadi dakwah Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam dan dakwah para Rasul.

Dalam ayat disebutkan,

‫دولددقند دبدعنثدناَ دفيِ رَكلُل أ رَشملة دررَسوةل أددن انعرَبرَدوا ش‬


‫اد دوانجدتدنرَبوا الشطاَرَغو د‬
‫ت‬

“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang
mengajak; sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36).

Makanya di Saudi Arabia, tidak terlihat warganya doyan memakai jimat,


susuk dan pelet; warganya juga sangat tidak suka dengan dunia perdukunan;
juga di Saudi Arabia benar-benar kubur orang shalih tidak diperlakukan
secara berlebihan (ghuluw atau ekstrim).

2- Rakyatnya memperhatikan shalat

Saudi Arabia adalah satu-satunya negara yang mengharuskan penduduknya


untuk menghentikan seluruh aktivitas perdagangan selama pelaksanaan
shalat berjamaah yang mana setiap toko harus ditutup ketika telah
dikumandangkan azan tanda masuknya waktu shalat wajib.

Orang yang menjaga shalat jamaah dan rajin menunggu shalat, pantas
mendapatkan rahmat Allah. Itulah di antara buah dari menjaga shalat.

Para malaikat mendoakan orang yang menunggu shalat,

‫اللِشرَهشم انردحنمرَه اللِشرَهشم انغدفنر دلرَه اللِشرَهشم رَت ن‬


‫ب دعدلِنيِده‬

“Ya Allah, rahmatilah ia. Ya Allah, ampunilah dia. Ya Allah, terimalah


taubatnya.” (HR. Bukhari, no. 477 dan Muslim, no. 649)

Kata Umar bin Khattab, orang yang memperhatikan shalat tentu urusan
lainnya akan lebih dimudahkan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –radhiyallahu ‘anhu– mengatakan,
“Sesungguhnya di antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat.
Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah menjaga agama. Barangsiapa
yang menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih disia-siakan
lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi orang yang meninggalkan shalat.“
(Lihat Ash-Shalah karya Ibnul Qayyim, hlm. 12)

3- Kriminalitas relatif rendah dan ditindak tegas

Tingkat kriminalitas di Arab Saudi relatif rendah dibandingkan kebanyakan


negara di dunia, namun setiap tindak kriminalitas akan ditanggapi secara
serius. Tindak kejahatan seperti pemerkosaan, pembunuhan, kemurtadan,
perampokan bersenjata dan perdagangan narkoba terancam hukuman mati
dibawah hukum syariat Islam yang ketat yang diberlakukan otoritas Saudi.

Karena takut pada Allah dan menjalankan hukum Islam, akhirya buahnya
adalah berkah dari langit dan bumi,

‫ت دمدن الشسدماَدء دوانلدنر د‬


‫ض دودلدكنن دكشذرَبوا دفأ ددخنذدناَرَهنم دبدماَ دكاَرَنوا ديِنكدسرَبودن‬ ‫دودل نو أدشن أدنهدل انلقرَدرىَ آددمرَنوا دواشتدق نوا دلدفدتنحدناَ دعدلِنيِدهنم دبدردكاَ ل‬

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah


Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi
mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)

Lihatlah karena mau beriman dengan benar dalam hati yang dibuktikan
dengan amalan, juga karena bertakwa pada Allah dengan menjauhi segala
yang diharamkan, maka berkah dari langit dan dari dalam bumi akan dibuka.
(Lihat Tafsir As-Sa’di, hlm. 305)

4- Saudi Arabia berusaha kembali pada Islam yang murni (pemahaman


salaf/salafi)

Karena kembali pada Islam yang murni seperti yang dibawa oleh Rasul dan
para sahabat radhiyallahu ‘anhum itulah yang membuat kita selamat dari
kesesatan.
‫ا دورَسشندة دندبلُيِده‬ ‫ضلِت نوا أددبةدا دكدتاَ د‬
‫ب د‬ ‫صنمرَتنم دبده دفلِدنن دت د‬ َ‫إدلُنيِ دقند دتدرنك ر‬
‫ت دفنيِرَكنم دماَ إدنن دانعدت د‬

“Aku telah tinggalkan bagi kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat
selamanya jika berpegang teguh dengan keduanya yaitu: Al Qur’an dan
Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Al-Hakim, sanadnya shahih
kata Al Hakim).

Islam yang hakiki bukan hanya berpegang pada Al Qur’an dan Hadits, namun
juga mesti ditambah dengan mengikuti para sahabat dalam beragama. Karena
para sahabatlah yang mengetahui bagaimana wahyu itu turun. Dalam ayat,
Allah Ta’ala memuji keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan orang-
orang yang mengikuti mereka dalam firman-Nya,

‫دفإدنن آدمرَنوا دبدمنثدل دماَ آدمننرَتنم دبده دفدقدد انهدتدد نوا‬

“Dan jika mereka beriman seperti keimanan kalian, maka sungguh mereka telah
mendapatkan petunjuk (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 137)

Jadi tidaklah cukup dengan berpegang dengan Al-Qur’an dan Hadits saja,
namun hendaklah ditambahkan berpegang pula dengan pemahaman para
sahabat (para salaf) radhiyallahu ‘anhum.

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal


Faedah Surat Yasin: Sebab Orang Sulit Menerima
Kebenaran
Sep 09, 2015Muhammad Abduh Tuasikal, MScArtikel Terhangat, Tafsir Al Qur'an0

Ada beberapa sebab orang sulit menerima kebenaran. Ada pula sifat yang mudah menerima
kebenaran.

Yang perlu dipahami, manusia hanyalah pemberi peringatan atau mengajarkan ilmu. Namun
untuk membuat seseorang menjadi baik dan dapat hidayah adalah wewenang Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman,

‫( َإهتناَ َنجنعبلنناَ َهف َأنبعنناَقه ه بم َأنبغنلءل َفن ه ني َإهنل َابلنبذنقاَهن َفنفكهبم‬7)َ ‫لننقبد َنحتق َالبنقبوُكل َنعنلى َأنبكثْنهرههبم َفنفكهبم َنل َيفكبؤهمكنوُنن‬
‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫( َوجعبلناَ َهمن َبف ه ه‬8)َ ‫مبقمحوُنن‬
‫( َنونسنوُاءن‬9)َ ‫شيفنناَكهبم َفنفكهبم َنل َيفكببصكرونن‬ ‫ي َأنيبدي ه بم َنسددا َنومبن َنخبلف ه بم َنسددا َفنأنبغ ن ب‬ ‫ن ن ن ن ب نب‬ ‫ك نك‬
‫ب َفنفبندشركه َهبنبغهفرةم‬ ‫( َإهتنناَ َتفكبنهذر َنمهن َاتفبننع َالدذبكر َونخهشي َالتربحنن َهباَلبغنبي ه‬10)َ ‫نعلنبي ه م َأنأننبنذبرتنفكهم َأنبم َ نبل َتفكبنهذبركهم َنل َيفكبؤهمكنوُنن‬
‫ب ن‬ ‫ن‬ ‫نن ن‬ ‫ك‬ ‫ب‬ ‫ب‬ ‫ب‬
(11)َ ‫نوأنبجمر َنكهرمي‬
“Sesungguhnya telah pasti berlaku perkataan (ketentuan Allah) terhadap kebanyakan mereka,
karena mereka tidak beriman. Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka,
lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan
di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata)
mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi
peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka
tidak akan beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang
mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah walaupun dia
tidak melihatnya. Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang
mulia.” (QS. Yasin: 7-11)

Faedah penting dari ayat di atas adalah siapa yang mengamalkan isi Al-Qur’an (diambil dari
faedah ayat sebelumnya) dan punya rasa takut yang besar pada Allah adalah sebab ia mudah
masuk surga.

Penentangan adalah penghalang bagi seseorang untuk mendapatkan hidayah. (Al-Mukhtashar fi


At-Tafsir, hlm. 440)

Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang mudah menerima kebenaran memiliki dua sifat:
 Punya niatan yang baik dalam mencari kebenaran.
 Takut pada Allah. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 734)

Kalau kita kaji, ada tiga sebab utama kenapa kebenaran itu ditolak oleh
seseorang:

1- Kebodohan

Kebodohan adalah penghalang terbesar bagi seseorang untuk menerima kebenaran.

2- Adanya kepentingan duniawi yang lebih ingin dikejar

Seperti Heraklius yang sebenarnya menerima kebenaran Islam, namun karena kepentingan
duniawi yaitu takut pengikutnya lari, akhirnya ia pun mengurungkan niatnya untuk masuk Islam.

3- Hasad (benci akan nikmat yang ada pada orang lain)

Sifat ini yang membuat Iblis enggan sujud pada Adam ‘alaihis salam. Penyakit ini punya yang
menyebabkan orang Yahudi enggan beriman pada Isa bin Maryam. Begitu pula ketika Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka hasad pula sehingga lebih memilih kafir
daripada keimanan. Nabi Isa sebenarnya datang untuk menyempurnakan ajaran yang ada pada
Taurat. Ada ajaran Nabi Isa yang memberikan keringanan dengan menghalalkan hal yang
sebelumnya dilarang sebagai bentuk kasih sayang. Tentu sikap mereka dengan Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih menolak dengan keras karena Nabi Muhammad membawa
syari’at baru yang berdiri sendiri dan menghapus syari’at sebelumnya.

Demikian kami ringkaskan dari penjelasan Ibnul Qayyim dalam Hidayah Al-Hayara fi Ajwibah
Al-Yahud wa An-Nashara, hlm. 16.

Nasihat di atas sangat bermanfaat bagi setiap yang berdakwah …

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Al-Mukhtashar fi At-Tafsir. Penerbit Markaz Tafsir li Dirasah Al-Islamiyyah.

Hidayah Al-Hayara fi Ajwibah Al-Yahud wa An-Nashara. Muhammad bin Abu Bakr Ibnu
Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Al-Jami’ah Al-Islamiyyah Al-Madinah Al-Munawwarah.

Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 25 Dzulqa’dah 1436 H


Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/11844-faedah-surat-yasin-sebab-orang-sulit-menerima-kebenaran.html
PERINGATAN HARI IBU BAGI MUSLIM
Jalan Kebenaran

Apakah boleh umat Islam turut memperingati hari ibu?

Hari Ibu adalah hari peringatan atau perayaan terhadap peran seorang ibu
dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anak, maupun lingkungan
sosialnya.

Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebastugaskankan


ibu dari tugas domestik yang sehari-hari diang`gap merupakan kewajibannya,
seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya.

Di Indonesia hari Ibu dirayakan pada tanggal 22 Desember dan ditetapkan


sebagai perayaan nasional.

Berbakti pada Ibu Lebih Utama

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

. « ‫صوحاَبوئتىِ وقاَول » أكلموك‬


‫سئن و‬ ‫ائ ومتَّن أووح ل‬
َّ‫ق بئكح ت‬ ‫سوول د‬‫ائ – صلىِ ا عليِه وسلم – فووقاَول وياَ ور ك‬ ‫سوئل د‬ ‫وجاَوء وركجةل إئولىِ ور ك‬
« ‫ وقاَول ثكدم ومتَّن وقاَول » ثكدم أوكبووك‬. « ‫ وقاَول ثكدم ومتَّن وقاَول » أكلموك‬. « ‫وقاَول ثكدم ومتَّن وقاَول » أكلموك‬

“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu


berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian
siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia
berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari no. 5971
dan Muslim no. 2548).

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat dorongan


untuk berbuat baik kepada kerabat dan ibu lebih utama dalam hal ini,
kemudian setelah itu adalah ayah, kemudian setelah itu adalah anggota
kerabat yang lainnya.

Para ulama mengatakan bahwa ibu lebih diutamakan karena keletihan yang
dia alami, curahan perhatiannya pada anak-anaknya, dan pengabdiannya.
Terutama lagi ketika dia hamil, melahirkan (proses bersalin), ketika menyusui,
dan juga tatkala mendidik anak-anaknya sampai dewasa” (Syarh Muslim, 8:
331).

Berbakti pada Ibu itu Setiap Waktu, Bukan Setahun Sekali

Allah Ta’ala berfirman,

‫صيِكر‬ ‫ساَون بئووالئودتَّيئه وحوملوتَّتهك أكلمهك ووتَّهئناَ وعولىِ ووتَّهةن ووفئ و‬


َّ‫صاَلكهك ئفيِ وعاَومتَّيِئن أوئن ا ت‬
‫شككتَّر ئليِ وولئووالئودتَّيوك إئلوديِ اتَّلوم ئ‬ ‫صتَّيِوناَ ا تَّ ئلتَّن و‬
‫وووو د‬

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-
bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu” (QS. Lukman: 14).

PERINTAH BERBAKTI DI SINI BUKAN HANYA BERLAKU PADA BULAN


DESEMBER SAJA, NAMUN SETIAP WAKTU.

Sebab Larangan Memperingati Hari Ibu bagi Muslim

1- Tasyabbuh dengan orang kafir

Peringatan hari ibu bukanlah perayaan umat Islam. Islam tidak pernah
mengajarkannya sama sekali. Yang ada, perayaan tersebut diperingati hanya
meniru-niru orang kafir. Islam hanya memiliki dua hari besar. Anas bin Malik
mengatakan,
‫سلدوم اتَّلومئدينوةو وقاَول وكاَون لوككتَّم‬ ‫اك وعلوتَّيِئه وو و‬ ‫صدلىِ د‬ ‫سنوةة يوتَّلوعكبوون ئفيِئهوماَ فولودماَ قوئدوم الندبئليِ و‬ ‫وكاَون ئلوتَّهئل اتَّلوجاَئهلئيِدئة يوتَّووماَئن ئفيِ ككلل و‬
ِ‫ضوحى‬ َّ‫طئر وويوتَّووم اتَّلو ت‬ ‫يوتَّووماَئن توتَّلوعكبوون ئفيِئهوماَ ووقوتَّد أوتَّبودلوككتَّم د‬
َّ‫اك بئئهوماَ وختَّيِئرا ئمتَّنكهوماَ يوتَّووم اتَّلفئ ت‬

“Orang-orang Jahiliyah dahulu memiliki dua hari (hari Nairuz dan Mihrojan) di
setiap tahun yang mereka senang-senang ketika itu. Ketika Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau mengatakan, ‘Dulu kalian memiliki
dua hari untuk senang-senang di dalamnya. Sekarang Allah telah
menggantikan bagi kalian dua hari yang lebih baik yaitu hari Idul Fithri dan
Idul Adha.’” (HR. An Nasa’i no. 1557. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa
sanad hadits ini shahih. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani).

Dari Ibnu ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫شبدهو بئقوتَّوةم فوكهوو ئمتَّنكهتَّم‬


‫ومتَّن تو و‬

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari


mereka.“(HR. Abu Daud no. 4031. Hadits ini hasan shahih kata Syaikh Al
Albani).

Ada hadits juga dalam kitab Sunan,

‫شبدكهوا ئباَتَّليِوكهوئد وولو ئباَلند و‬


َ‫صاَورى‬ ‫شبدهو بئوغتَّيِئروناَ لو تو و‬ ‫لوتَّيِ و‬
‫س ئمدناَ ومتَّن تو و‬

“Bukan termasuk golongan kami yaitu siapa saja yang menyerupai (meniru-
niru) kelakukan selain kami. Janganlah kalian meniru-niru Yahudi, begitu pula
Nashrani.” (HR. Tirmidzi no. 2695, hasan menurut Syaikh Al Albani).

2- Tidak pernah dituntunkan dalam ajaran Islam

Perayaan tersebut adalah perayaan yang mengada-ngada, tidak pernah


dituntunkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Mereka adalah orang-orang terbaik di masa salaf, namun tidak pernah
memperingati hari tersebut. Jadi, peringatan tersebut bukan ajaran Islam.
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi, ulama besar dari Mesir pernah ditanya mengenai
hukum perayaan hari Ibu. Beliau hafizhohullah menjawab, “Tidak ada dalam
syari’at kita peringatan hari Ibu. Namun kita memang diperintahkan untuk
berbakti kepada kedua orang tua kita. Dan ibu lebih utama untuk kita
berbakti. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya siapakah
yang lebih utama bagi kita untuk berbuat baik. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab, ibumu sebanyak tiga kali, lalu bapakmu.”

Guru kami, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi hafizhohullah berkata, “Perayaan
hari Ibu adalah perayaan dari barat. Mereka orang-orang kafir di sana punya
perayaan hari ibu, juga ada peringatan hari anak. Kita -selaku umat Islam-
tidak butuh pada peringatan hari Ibu karena Allah Ta’ala sudah
memerintahkan kita untuk berbakti pada ibu kita dengan perintah yang
mulia. Begitu pula Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, siapakah
yang lebih berhak bagi kita untuk berbakti. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab, ibumu, ibumu, ibumu lalu bapakmu. …

Intinya, kita selaku umat Islam tidaklah butuh pada peringatan hari ibu.
Karena kita diperintahkan berbakti pada ibu setiap saat, tidak perlu bakti
tersebut ditunjukkan dengan peringatan dan semisal itu. Intinya, peringatan
tersebut tidaklah dituntunkan dalam Islam dan seorang muslim sudah
sepantasnya tidak memperingatinya.”

3- Istri Punya Kewajiban Bakti pada Suami

Jika yang diperingati pada peringatan hari ibu adalah membebastugaskankan


ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya,
seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya, maka ini
pun keliru. Karena berbaktinya istri pada suami dalam mengurus rumah
tangga adalah suatu kewajiban. Bagaimana kewajiban ini dilalaikan hanya
karena ada peringatan hari ibu? Padahal istri yang taat suami adalah wanita
yang paling baik.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,


ِ‫سلرهك إئوذا نوظوور ووتكئطيِكعهك إئوذا أوومور ووول تكوخاَلئفكهك ئفي‬
‫ساَئء وختَّيِةر وقاَول الدئتيِ تو ك‬ ‫ي النل و‬‫سلدوم أو ل‬ ‫صدلىِ د‬
‫اك وعلوتَّيِئه وو و‬ ‫سوئل د‬
‫ائ و‬ ‫ئقيِول لئور ك‬
‫نوتَّف ئ‬
‫سوهاَ وووماَلئوهاَ بئوماَ يوتَّكورهك‬

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah


wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika
dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami
pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An Nasai no.
3231 dan Ahmad 2: 251. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
shahih)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal


Faedah Surat Yasin: Apa Nabi Muhammad Diutus Hanya
untuk Bangsa Arab?
Aug 12, 2015Muhammad Abduh Tuasikal, MScArtikel Terhangat, Tafsir Al Qur'an0

Apa benar Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus hanya untuk bangsa Arab, tidak
umat lainnya?

Allah Ta’ala berfirman,

(5)َ ‫( َتنفبنهزينل َالبنعهزيهز َالترهحيهم‬4)َ ‫( َنعنلى َهصنرامط َكمبستنهقيمم‬3)َ ‫ي‬ ‫ه‬


‫ك َلنمنن َالبكمبرنسل ن‬
‫( َإهنت ن ه‬2)َ ‫( َوالبكقرآنهن َابلهكيهم‬1)َ ‫يس‬
‫ن ب ن‬
(6)َ ‫هلتكفبنهذنر َقنفبوُءماَ َنماَ َأكنبهذنر َآننباَكؤكهبم َفنفكهبم َنغاَفهكلوُنن‬
“Yaa siin. Demi Al Quran yang penuh hikmah, Sesungguhnya kamu salah seorang dari rasul-
rasul, (yang berada) di atas jalan yang lurus, (sebagai wahyu) yang diturunkan oleh Yang Maha
Perkasa lagi Maha Penyayang, agar kamu memberi peringatan kepada kaum yang bapak-bapak
mereka belum pernah diberi peringatan, karena itu mereka lalai.” (QS. Yaasiin: 1-6)

Penjelasan Umum

Enam ayat di atas menerangkan tentang diutusnya Nabi kita Muhammad –semoga shalawat dan
salam tercurah pada beliau-, di mana Rasul yang diutus tersebut menempuh jalan yang lurus.
Juga ayat-ayat tersebut menerangkan tentang diturunkannya Al-Qur’an.

Point penting yang ingin dijelaskan kali ini tentang diutusnya Rasul untuk memberi peringatan.
Indzar yang dimaksud dalam ayat adalah peringatan untuk menakut-nakuti. Lalu peringatan
tersebut apakah hanya untuk orang Arab sebagaimana maksud ayat?

Faedah Ayat

Pertama:

Rasul diutus untuk memberi peringatan. Indzar yang dimaksud dalam ayat adalah untuk
menakut-nakuti artinya memberikan ancaman bagi orang-orang yang menyimpang atau yang
tidak menghiraukan perintah Allah. Namun Rasul juga diutus sebagai mubasysyir yaitu pemberi
kabar gembira bagi orang-orang yang beriman, yang mau menerima dakwah. Allah Ta’ala
berfirman,
‫نوهباَبلندق َأننبفنزلبنناَكه َنوهباَبلندق َنفنزنل َنونماَ َأنبرنسبلنناَنك َإهتل َكمبندشءرا َنونهذيءرا‬
“Dan Kami turunkan (Al Quran) itu dengan sebenar-benarnya dan Al Quran itu telah turun
dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan sebagai pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Al-Isra’: 105)

‫نونماَ َأنبرنسبلنناَنك َإهتل َكمبندشءرا َنونهذيءرا‬


“Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan hanya sebagai pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan.” (QS. Al-Furqan: 56)

‫نونماَ َأنبرنسبلنناَنك َإهتل َنكاَفتءة َهللتناَهس َبنهشءيا َنونهذيءرا َنولنهكتن َأنبكثْنفنر َالتناَهس َنل َيفنبعلنكموُنن‬
“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai
pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada
mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

Pelajaran yang bisa diambil dari para da’i, dakwah bukanlah hanya memberi kabar gembira saja
misal dengan mendakwahkan baiknya hati dan balasan-balasan yang baik. Dakwah juga mesti
mengingatkan ketika ada penyimpangan di tengah masyarakat misal ada yang berbuat syirik,
bid’ah, khurafat, dosa besar dan maksiat lainnya.

Kedua:

Ayat ini menunjukkan bahwa Nabi diutus untuk orang Arab. Dalam ayat dikatakan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan kepada kaum yang bapak-
bapaknya belum dapat peringatan, berarti dipahami bahwa beliau diutus pada bangsa Arab.
Namun ayat Al-Qur’an bukan dipahami secara parsial seperti itu. Kita tidak boleh melihat pada
sebagian ayat saja lalu meninggalkan ayat yang lain yang begitu banyak. Hendaklah Al-Qur’an
dipahami secara utuh dari awal hingga akhir. Karena kaum yang sesat memahami agama hanya
sebagian-sebagian saja.

Alasan lainnya, ada kaedah yang dikemukakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin
rahimahullah,

‫ه‬ ‫ه‬ ‫ه‬ ‫أنتن َهذبكر َبفع ه ه ه ه‬


‫ض َأنفبفنراد َالنعاَم َبكبكهم َيفكنوُافكق َالنعاَنم َنل َيفنبقتنضي َالتبخصبي ك‬
‫ص‬ ‫ن نب‬
“Penyebutan hukum dari sebagian anggota dari yang umum yang sesuai dengan yang umum
tidak menunjukkan pengkhususan.” (Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surat Yasin, hlm. 23)

Contoh: Kita perintahkan, “Muliakanlah setiap tamu.” Lalu kita sebut lagi, “Muliakanlah Zaid.”
Karena Zaid ketika itu adalah tamu. Pemuliaan pada Zaid bukanlah menunjukkan bahwa hanya
Zaid saja yang dimuliakan.

Terkait dengan bahasan kita, kalau dalam surat Yasin diceritakan bahwa Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan memberi peringatan pada orang Arab, ini bukan
berarti pada orang Arab saja. Ada dalil lain yang menunjukkan bahwa risalah beliau berlaku
untuk semesta alam. Maka Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus kepada
seluruh umat, pada orang Arab dan non-Arab, termasuk pula pada Yahudi dan Nashrani.

Allah Ta’ala berfirman,


‫ه ه‬
‫نونماَ َأنبرنسبلنناَنك َإهتل َنربحنءة َلبلنعاَلنم ن‬
‫ي‬
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.”(QS. Al-Anbiya’: 107).

Ath-Thabari rahimahullah menyatakan bahwa pendapat yang paling bagus dalam menafsirkan
ayat ini dan itulah yang paling tepat yaitu riwayat dari Ibnu ‘Abbas yaitu Allah mengutus
nabinya Muhammad sebagai rahmat untuk semesta alam baik bagi mukmin maupun kafir.
Adapun orang beriman, Allah memberi petunjuk padanya lewat perantaraan Nabi Muhammad
dan memasukkan orang beriman tersebut dengan iman dan amal shalihnya pada surga.
Sedangkan orang kafir, dengan diutusnya Muhammad, siksaan bagi mereka di dunia dihilangkan
(sebagai rahmat untuk mereka, pen.). Padahal umat sebelumnya yang mendustakan Rasul
langsung ditimpakan bencana (besar) di dunia. (Tafsir Ath-Thabari, 10: 138)

Ayat lain yang menerangkan bahwa Rasul Muhammad diutus kepada setiap umat,

‫قكل َياَ َأنيفرهاَ َالتناَس َإهدن َرسوُكل َاللتهه َإهلنيككم َ نه‬


َ‫جيءعا‬ ‫ب ب‬ ‫ك نك‬ ‫بن ن‬
“Katakanlah: “Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (QS. Al-
A’raf: 158).

‫ي َنهذيءرا‬ ‫ه ه‬ ‫هه ه‬ ‫ه‬


‫تنفنباَنرنك َالتذي َنفتزنل َالبكفبرنقاَنن َنعنلى َنعببده َلينككوُنن َلبلنعاَلنم ن‬
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al-Furqan: 1)

Ketiga:

Ayat dari surat Yasin yang kita bahas menunjukkan akan celaan bagi orang-orang yang lalai dari
wahyu (risalah). Mereka ini yang tidak menghiraukan wahyu atau syari’at secara umum. Namun
ada yang juga yang lalai dari mencari ilmu yang sifatnya juz’iyyat. Misalnya enggan mempelajari
hukum shalat dan zakat. Seperti ini tercela. Kita dapat katakan bahwa harus ada yang
mempelajari hukum-hukum tertentu, mempelajarinya dihukumi fardhu kifayah. Sedangkan ada
juga masalah yang perlu dipelajari setiap individu yang mempelajarinya dihukumi fardhu ‘ain
yaitu ilmu agama yang mesti diketahui biar setiap individu bisa menjalani ibadah dengan benar.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa setiap penuntut ilmu itu memenuhi
fardhu kifayah. Sehingga ketika belajar diharapkan bisa memahami masalah tersebut. Kalau
setiap pelajar agama memahami demikian, tentu ia akan serius untuk belajar sehingga bisa
meraih kebaikan yang banyak.

Demikian beberapa faedah dari ayat surat Yasin yang kita kaji. Moga manfaat. Hanya Allah yang
memberi taufik.

Referensi:

Jami’ Al-Bayan ‘an Ta’wil Ay Al-Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1423 H. Ibnu Jarir Ath-
Thabari. Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Surat Yasin. Cetakan kedua, tahun 1424 H. Syaikh Muhammad bin
Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsaraya.

Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, menjelang Isya’ 28 Syawal 1436 H

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/11590-faedah-surat-yasin-apa-nabi-muhammad-diutus-hanya-untuk-
bangsa-arab.html

Faedah Surat Yasin: Pendakwah Hanya Menyampaikan,


Hidayah Milik Allah
Oct 22, 2015Muhammad Abduh Tuasikal, MScArtikel Terhangat, Tafsir Al Qur'an4

Ingatlah, sebagai pendakwah hanya menyampaikan sedangkan yang beri hidayah adalah Allah.

Mari kita ambil pelajaran dari bahasan surat Yasin berikut, yang rata-rata sudah dihafalkan oleh
kaum muslimin di negeri kita …

‫ي َفننكتذبوُكهاَ َفنفعتزبزنناَ َبهنثْاَله م‬ ‫ه‬


‫ث‬ ‫( َإهبذ َأنبرنسبلنناَ َإهلنبيهكم َاثبفننف ب ه ك ن ن‬13)َ ‫ب َالبنقبرينة َإهبذ َنجاَءننهاَ َالبكمبرنسكلوُنن‬ ‫صنحاَ ن‬ ‫ضهر ب‬
‫ب َنلكبم َنمثْنءل َأن ب‬ ‫نوا ب‬
)َ ‫( َقناَلكوُا َنماَ َأننبفتكبم َإهتل َبننشنر َهمثْبفلكنناَ َنونماَ َأننبفنزنل َالتربحنكن َهمبن َنشبيمء َإهبن َأننبفتكبم َإهتل َتنبكهذكبوُنن‬14)َ ‫فنفنقاَلكوُا َإهتناَ َإهلنبيككبم َكمبرنسكلوُنن‬
(17)َ ‫ي‬ ‫( َنونماَ َنعنبليفنناَ َإهتل َالببننل ك‬16)َ ‫( َنقاَلكوُا َنربفرنناَ َيفنبعلنكم َإهتناَ َإهلنبيككبم َلنكمبرنسكلوُنن‬15
‫غ َالبكمبه ك‬
“Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-
utusan datang kepada mereka.

(yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan
keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu
berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang diutus kepadamu.”

Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha
Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka.”

Mereka berkata: “Rabb kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus
kepada kamu.”

Dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas.” (QS.
Yasin: 13-17)

Penjelasan Ayat

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan permisalan suatu negeri
yang diutus dua orang utusan (rasul). Mereka berdakwah untuk mengajak manusia supaya bisa
beribadah pada Allah semata dan mengikhlaskan ibadah pada-Nya. Mereka pun berdakwah
untuk melarang dari kesyirikan dan maksiat.

Ada dua orang yang telah diutus, lalu diutus lagi rasul yang ketiga, jadilah ada tiga utusan. Tetap
saja dakwah ditolak. Malah kaum yang didakwahi berkata, “Kami juga manusia semisal kalian.”
Maksud mereka, apa yang membuat para rasul lebih unggul daripada mereka, padahal sama-
sama rasul juga manusia. Namun para Rasul mengatakan pada umatnya,

‫نقاَلنت َنلم َرسلكهم َإهبن َ نبنن َإهتل َبشر َهمثْبفلكككم َولنهكتن َاللته َنيكرن َعنلى َمن َيشاَء َهمن َهعباَهدهه‬
‫ن ن نب نن ك ب ن‬ ‫بن‬ ‫ك ن نن‬ ‫ب كب ك ك ك ب‬
“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu,
akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-
Nya.” (QS. Ibrahim: 11)

Kaum tersebut intinya masih mengingkari wahyu yang diturunkan dan mereka pun mendustakan
para rasul yang diutus. Namun rasul ketiga mengatakan, “Rabb kami Maha Tahu kalau kami
adalah utusan untuk kalian.” Maksudnya, kalau para rasul itu berdusta tentu mereka akan
mendapatkan siksa.

Tugas setiap utusan (rasul) hanyalah memberikan penjelasan yang segamblang-gamblangnya


sesuai yang diperintahkan. Sedangkan untuk memberikan hukuman bukanlah tugas para rasul.
Jika yang dijelaskan itu diterima, maka itu adalah taufik dari Allah. Jika tidak diterima dan yang
didakwahi tetap dalam keadaan belum mendapat hidayah, maka rasul utusan tak bisa bertindak
apa-apa.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 734-735)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

‫ َوإن َل‬،‫ َفإذا َأطعتم َكاَنت َلكم َالسعاَدة َف َالدنياَ َوالخرة‬،‫يقوُلوُن َإناَ َعليناَ َأن َنبلغكم َماَ َأرسلناَ َبه َإليكم‬
‫تيبوُا َفستعلموُن َهغ ت‬
َ.‫وال َأعلم‬،َ ‫ب َذلك‬
“Utusan itu berkata, sesungguhnya kami hanyalah menyampaikan apa yang mesti disampaikan
pada kalian. Jika kalian taat, maka kebahagiaan bagi kalian di dunia dan akhirat. Jika tidak mau
mengikuti, kalian pun sudah tahu akibat jelek di balik itu semua. Wallahu a’lam.” (Tafsir Al-
Qur’an Al-‘Azhim, 6: 333)

Pelajaran lain yang bisa diambil dari ayat di atas:

1. Baiknya memberikan perumpamaan ketika memberikan penjelasan. Dalam ayat yang dibahas
dijelaskan bahwa kalau Nabi Muhammad ditolak dakwahnya, maka itu juga terjadi untuk rasul
atau utusan yang lain.
2. Orang kafir sama miripnya dilihat dari zaman dan tempat, sama-sama sulit menerima kebenaran.

3. Orang kafir telah diberikan peringatan dan penjelasan. Jika menolak, mereka akan mendapatkan
siksa. (Aysar At-Tafasir, hlm. 1068)

Hidayah Milik Allah

Dalam shirah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dijelaskan bahwa paman Nabi -Abu Thalib-
biasa melindungi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari gangguan kaumnya. Perlindungan yang
diberikan ini tidak ada yang menandinginya. Oleh karenanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengharapkan hidayah itu datang pada pamannya. Saat menjeleng wafatnya, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjenguk pamannya tersebut dan ingin menawarkan pamannya masuk Islam.
Beliau ingin agar pamannya bisa menutupi hidupnya dengan kalimat “laa ilaha illallah” karena
kalimat inilah yang akan membuka pintu kebahagiaan di akhirat. Berikut kisah yang disebutkan
dalam hadits.

Dari Ibnul Musayyib, dari ayahnya, ia berkata, “Ketika menjelang Abu Thalib (paman Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-) meninggal dunia, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menemuinya. Ketika itu di sisi Abu Thalib terdapat ‘Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu Jahl.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan pada pamannya ketika itu,

‫ك َ هنباَ َهعبنند َاللتهه‬ ‫ه‬ ‫ َقكبل َنل َإهلننه َإه ت‬،َ ‫أنبى َنعدم‬
‫َ َنكلنمءة َأكنحاَرج َلن ن‬.َ ‫ل َاللتكه‬
“Wahai pamanku, katakanlah ‘laa ilaha illalah’ yaitu kalimat yang aku nanti bisa beralasan di
hadapan Allah (kelak).”

Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abu Umayyah berkata,

‫ َتنفرنغب َنعبن َهملتهة َنعببهد َالبمطتله ه‬،َ ‫ب‬


‫ب‬ ‫نياَ َأننباَ َنطاَله م‬
‫ك‬ ‫ب ك‬
“Wahai Abu Thalib, apakah engkau tidak suka pada agamanya Abdul Muthallib?” Mereka
berdua terus mengucapkan seperti itu, namun kalimat terakhir yang diucapkan Abu Thalib adalah
ia berada di atas ajaran Abdul Mutthalib.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengatakan,

‫ه‬
‫لنبستنفبغفنرتن َلن ن‬
‫ك َنماَ َ نبل َأكنبنه َنعبنهك‬
“Sungguh aku akan memohonkan ampun bagimu wahai pamanku, selama aku tidak dilarang
oleh Allah”

Kemudian turunlah ayat,

‫ه ه‬ ‫ه ه ه‬ ‫ماَ َنكاَنن َهللنته ه‬


‫ب‬
‫صنحاَ ك‬ ‫ب َنوالتذينن َآننمنكوُا َأنبن َينبستنفبغفكروا َلبلكمبشهرك ن‬
‫ي َنولنبوُ َنكاَنكوُا َأكوهل َقكفبرنب َمبن َبفنبعد َنماَ َتنفبنف ت ن‬
‫ي َنلكبم َأننفتكهبم َأن ب‬ ‫د‬ ‫ن‬
‫ابلنهحيهم‬
“Tidak pantas bagi seorang Nabi dan bagi orang-orang yang beriman, mereka memintakan
ampun bagi orang-orang yang musyrik, meskipun mereka memiliki hubungan kekerabatan,
setelah jelas bagi mereka, bahwa orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahanam”
(QS. At-Taubah: 113)

Allah Ta’ala pun menurunkan ayat,

‫ه‬
‫إهنت ن‬
‫ك َنل َتنفبهدي َنمبن َأنبحبنبب ن‬
‫ت‬
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada
orang-orang yang engkau cintai” (QS. Al-Qasshash: 56) (HR. Bukhari no. 3884)

Dari pembahasan hadits di atas dapat disimpulkan hidayah itu ada dua macam:
1. Hidayah irsyad wa dalalah, maksudnya adalah hidayah berupa memberi petunjuk pada orang
lain.
2. Hidayah taufik, maksudnya adalah hidayah untuk membuat seseorang itu taat pada Allah.

Hidayah pertama, bisa disematkan pada manusia. Contohnya pada firman Allah,

‫ك َنلتنفبههدي َإهنل َهصنرامط َكمبستنهقيمم‬


‫نوإهنت ن‬
“Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Asy-
Syura: 52). Memberi petunjuk yang dimaksud di sini adalah memberi petunjuk berupa
penjelasan. Ini bisa dilakukan oleh Nabi dan yang lainnya.

Namun untuk hidayah kedua, yaitu hidayah supaya bisa beramal dan taat tidak dimiliki kecuali
hanya Allah saja. Seperti dalam firman Allah Ta’ala,

‫ه‬
‫إهنت ن‬
‫ك َنل َتنفبهدي َنمبن َأنبحبنبب ن‬
‫ت‬
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada
orang-orang yang engkau cintai” (QS. Al-Qasshash: 56)

‫ه ت ه‬
‫ك َكهنداكهبم َنولنكتن َاللنه َيفنبهدي َنمبن َيننشاَءك‬
‫س َنعلنبي ن‬
‫لنبي ن‬
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 272) (Lihat
bahasan Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid, 1: 618 dan Hasyiyah Kitab At-Tauhid, hlm. 141)

Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.

Referensi:

Aysar At-Tafasir li Kalam Al-‘Aliyyi Al-Kabir. Cetakan pertama, tahun 1419 H. Syaikh Abu Bakr
Jabir Al-Jazairi. Penerbit Maktabah Adhwa’ Al-Manar.

Hasyiyah Kitab At-Tauhid. Cetakan keenam, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdur Rahman bin
Muhammad bin Qasim Al-Hambali An-Najdi.

Tafsir Al-Qur’an Al-Karim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Ibnu Katsir. Penerbit Dar Ibnul
Jauzi.

Tafsir As-Sa’di (Taisir Al-Karim Ar-Rahman). Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.

Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid fi Syarh Kitab At-Tauhid. Cetakan kedua, tahun 1429 H. Syaikh
Sulaiman bin ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Penerbit Dar Ash-Shami’iy.

Selesai disusun di Darush Sholihin Panggang, Gunungkidul, 9 Muharram 1437 (hari Tasu’ah)
menjelang ‘Ashar

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal


Sumber : https://rumaysho.com/12155-faedah-surat-yasin-pendakwah-hanya-menyampaikan-hidayah-
milik-allah.html

Keutamaan Surat Yasin untuk Orang yang Akan Mati


Mar 22, 2016Muhammad Abduh Tuasikal, MScAmalan, Artikel Terhangat0

Bagaimana keutamaan membaca surat Yasin dari orang yang hadir saat ada yang mengalami
sakaratul maut?

Ada hadits yang menyebutkan sebagai berikut,

‫ه‬
‫نعبن َنمبعقهل َببهن َيننساَمر َنقاَنل َنقاَنل َالنته ر‬
َ.«َ ‫ َ» َاقبفنرءكوا َ)يس( َنعنلى َنمبوُنتاَككبم‬-‫صلى َال َعليه َوسلم‬-َ ‫ب‬
Dari Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bacakanlah surat Yasin pada orang yang hampir mati di antara kalian.” (HR. Abu Daud, no.
3121; Ibnu Majah, no. 1448; An-Nasa’i dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, no. 1074. Kata
Ibnu Hajar dalam Bulugh Al-Maram, no. 538, hadits ini dianggap shahih oleh Ibnu Hibban)

Penilaian Hadits

Hadits ini memiliki dua alasan dha’if:

1. Hadits ini mengalami idhthirab dalam sanad. Hadits ini diriwayatkan dari Abu ‘Utsman, dari
bapaknya, dari Ma’qil secara marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Ada pula
riwayat yang menyebutkan dari Abu ‘Utsman, dari Ma’qil secara marfu’, tanpa menyebut bapak
dari Abu ‘Utsman. Juga ada riwayat yang menyebut dari seseorang (tanpa menyebut nama), dari
bapaknya, dari Ma’qil secara marfu’. Ada juga riwayat dari Ma’qil secara mawquf (hanya sampai
pada sahabat Nabi saja, artinya jadi perkataan Ma’qil).
2. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I’tidal fii Naqd Ar-Rijal, Abu
‘Utsman dan bapaknya adalah perawi majhul (tidak dikenal) yang tidak diketahui siapa mereka.

Namun perlu dipahami, Abu ‘Utsman yang dimaksud di atas bukanlah Abu ‘Utsman An-Nahdi.
Karena Sulaiman At-Taimi biasa memiliki riwayat dari Abu ‘Utsman An-Nahdi, nama aslinya
adalah ‘Abdurrahman bin Mall. Abu ‘Utsman An-Nahdi di sini kredibel, seorang yang terpercaya
dan seorang ahli ibadah sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrib. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam
At-Talkhish (2: 110) menukil dari Ibnul ‘Arabi, dari Ad-Daruquthni, ia berkata, “Sanad hadits ini
dha’if, matannya majhul (tidak diketahui). Tidak ada hadits yang shahih dalam bab ini sama
sekali.” (Lihat Minhah Al-‘Allam, 4: 241-242)

Al-Hafizh Abu Thahir dalam Tahqiq sunan Abu Daud juga mengatakan bahwa sanad hadits ini
dha’if.

Dari kesimpulan hadits di atas, berarti pembacaan surat Yasin untuk orang yang akan mati
tidaklah disyari’atkan karena hadits tersebut dha’if.

Yang Sesuai Tuntunan

Sebenarnya sudah cukup dengan mentalqinkan orang yang akan meninggal dunia dengan kalimat
laa ilaha illallah sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

‫لندقنكوُا َنمبوُنتاَككبم َنل َإهلننه َإه ت‬


‫ل َاللتهك‬
“Ingatkanlah (talqinkanlah) pada orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dengan
kalimat laa ilaha illallah (tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah).” (HR. Muslim,
916, dari Abu Sa’id Al-Khudri; no. 917, dari Abu Hurairah)

Kata Imam Nawawi, yang dimaksud di sini adalah ingatkanlah pada orang yang akan mati di
antara kita dengan kalimat laa ilaha illallah agar menjadi akhir kalimatnya. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫نمبن َنكاَنن َآهخكر َنكلنهمهه َنل َإهلننه َإه ت‬


‫ل َاللتكه َندنخنل َابلننتةن‬
“Siapa yang akhir perkataannya adalah kalimat laa ilaha illallah, maka ia akan masuk surga.”
(HR. Abu Daud, no. 3116; Ahmad, 5: 247. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan)

Imam Nawawi menyebutkan bahwa perintah talqin di sini adalah sunnah (anjuran). Para ulama
sepakat bahwa talqin ini dituntunkan. Para ulama memakruhkan untuk talqin ini diperbanyak dan
dibaca terus menerus secara berturut-turut. Biar orang yang ditalqinkan tadi tidaklah bosan,
apalagi karena menghadapi sakratul maut begitu berat. Dimakruhkan jika laa ilaha illallah itu
hanya ada di hati dan dimakruhkan pula ketika keadaan sakratul maut seperti berbicara yang
tidak pantas.

Para ulama berkata, jika sudah ditalqin lalu ia mengucapkan laa ilaha illallah sekali, maka jangan
diulang lagi kecuali kalau yang akan meninggal dunia tersebut mengucapkan kata-kata lain.
Kalau ia mengucapkan kalimat lain, maka talqin laa ilaha illallah tersebut diulang supaya
menjadi akhir perkataannya. (Syarh Shahih Muslim, 6: 197)

Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.


Referensi:

Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi.
Penerbit Dar Ibnu Hazm.

Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan ketiga, tahun 1432 H. Syaikh ‘Abdullah
bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi.

Taisir Musthalah Al-Hadits. Cetakan kesepuluh, tahun 1425 H. Dr. Mahmud Ath-Thahan.
Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.

@ Darush Sholihin, Panggang, GK, saat hujan mengguyur, 13 Jumadats Tsaniyyah 1437 H

Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/13136-keutamaan-surat-yasin-untuk-orang-yang-akan-mati.html
HUKUM VAKSINASI DARI ENZIM BABI
Umum

Bismillah … Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita
Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Sebagian vaksinasi atau imunisasi (seperti imunisasi polio) diduga berasal dari
enzim babi. Babi jelas najis dan termasuk hewan yang haram dikonsumsi.
Taruhlah jika pernyataan atau isu ini benar, lalu bagaimana hukum fikih
dalam masalah ini? Karena masalah ini menjadi polemik hingga saat ini.
Sampai-sampai sebagian orang enggan bahkan menyalah-nyalahkan orang
yang mengambil keputusan untuk ikut imunisasi.

Baiklah ada dua kaedah terlebih dahulu yang akan kami utarakan. Lalu kami
tutup dengan fatwa dari Majelis Ulama Eropa akan hal ini. Allahumma yassir
wa a’in …

Memahami kaedah pertama: Istihalah

Istihalah secara bahasa memiliki dua makna. Salah satu maknanya adalah,

‫شيّء عن طبعه ووصفه‬


‫تغييرّ ال ي‬
“Berubahnya sesuatu dari tabi’at asal atau sifatnya yang awal.”

Yang termasuk dalam istihalah adalah berubahnya sesuatu yang najis.


Istihalah atau perubahan tadi bisa terjadi pada kondisi apa saja? Istihalah bisa
terjadi pada ‘ain (zat) najis, seperti kotoran, khomr (bagi yang mengatakannya
najis), dan babi. Istihalah bisa terjadi pula pada ‘ain (zat) najis yang berubah
sifat-sifatnya. Bisa jadi dia berubah karena dibakar atau karena berubah
menjadi cuka. Atau mungkin perubahan itu terjadi karena ada sesuatu yang
suci yang bercampur dengannya. Seperti contohnya babi yang najis yang jatuh
dalam garam, akhirnya menjadi garam.

Para ulama telah menyepakati bahwa apabila khomr berubah menjadi cuka
dengan sendirinya (karena dibiarkan begitu saja), maka khomr tersebut
menjadi suci. Namun para ulama berselisih jika khomr tadi berubah menjadi
cuka melalui suatu proses tertentu.

Adapun untuk najis yang lainnya, apabila ia berubah dari bentuk asalnya,
maka para ulama berselisih akan sucinya.[1]

Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, juga menjadi salah satu pendapat Imam
Ahmad, menyatakan bahwa najis pada ‘ain (dzat) dapat suci dengan istihalah.
Jika najis sudah menjadi abu, maka tidak dikatakan najis lagi. Garam (yang
sudah berubah) tidak dikatakan najis lagi walaupun sebelumnya berasal dari
keledai, babi atau selainnya yang najis. Begitu pula dianggap suci jika najis
jatuh ke sumur dan berubah jadi tanah. Misal yang lain, khomr ketika
berubah menjadi cuka baik dengan sendirinya atau dengan proses tertentu
dari manusia atau cara lainnya, maka itu juga dikatakan suci. Hal ini semua
dikarenakan zat yang tadi ada sudah berubah. Aturan Islam pun menetapkan
bahwa sifat najis jika telah hilang, maka sudah dikatakan tidak najis lagi
(sudah suci).

Jadi jika tulang dan daging berubah menjadi garam, maka yang dihukumi
sekarang adalah garamnya. Garam tentu saja berbeda statusnya dengan
tulang dan daging tadi.

Perkara semisal ini amatlah banyak. Intinya, istihalah pada zat terjadi jika
sifat-sifat najis yang ada itu hilang.

Adapun ulama Syafi’iyah dan pendapat ulama Hambali yang lebih kuat, najis
‘ain (zat) tidaklah dapat suci dengan cara istihalah. Jika anjing atau selainnya
dilempar dalam garam, akhirnya mati dan jadi garam, maka tetap dihukumi
najis. Begitu pula jika ada uap yang berasal dari api yang bahannya najis, lalu
uap itu mengembun, maka tetap dihukumi najis.

Dikecualikan dalam masalah ini adalah untuk khomr, yaitu khomr yang
berubah menjadi cuka dengan sendirinya, tidak ada campur tangan. Cuka
yang berasal dari khomr seperti itu dianggap suci. Alasan najisnya khomr tadi
adalah karena memabukkan. Saat jadi cuka tentu tidak memabukkan lagi,
maka dari itu dihukumi suci. Hal ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan para
ulama).

Adapun jika khomr berubah menjadi cuka dengan proses tertentu misalnya
ada gas yg masuk, maka ketika itu tidaklah suci.[2]

Dari perselisihan di atas, pendapat yang rojih (kuat) dalam masalah ini
adalah yang menyatakan bahwa suatu zat yang najis yang berubah (dengan
istihalah) menjadi zat lain yang baru, dihukumi suci.

Di antara alasannya adalah karena hukum itu berputar pada ‘illah-nya (alasan
atau sebab). Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada. Jika sifat-sifat najis
telah hilang, maka hukum najis itu sudah tidak ada. Demikianlah yang
dijelaskan dalam kaedah ushuliyah,

‫عللهت ه‬
ً‫ه مثمبكوتتاً يويعيدتما‬ ‫ع ه‬ ‫حكك م‬
‫م ييمدكومر يم ي‬ ‫ال م‬.
“Hukum itu berputar pada ‘illahnya. Jika ‘illah itu ada, maka hukum itu ada.
Begitu sebaliknya jika ‘illah itu tidak ada, maka hukum itu tidak ada.”

Pendapat inilah yang lebih tepat, apalagi diterapkan di zaman saat ini. Kita
masih ingat bahwa minyak bumi itu asalnya dari bangkai hewan yang
terpendam ribuan tahun. Padahal bangkai itu jelas najis. Jika kita katakan
minyak bumi, itu najis karena berpegang pada pendapat Syafi’iyah dan
Hambali, maka jadi problema untuk saat ini.

Jika seseorang memahami kaedah istihalah ini, ia akan tahu bagaimanakah


menghukumi suatu najis apabila najis tersebut sudah berubah menjadi benda
lain yang tidak nampak lagi atsar-atsarnya (bekas-bekasnya). Kaedah ini
berlaku pula dalam masalah vaksinasi dari enzim babi.
Memahami kaedah kedua: Istihlak

Yang dimaksud dengan istihlak adalah bercampurnya benda haram atau najis
dengan benda lainnya yang suci dan halal yang jumlahnya lebih banyak
sehingga menghilangkan sifat najis dan keharaman benda yang sebelumnya
najis, baik rasa, warna dan baunya.

Apakah benda najis yang terkalahkan oleh benda suci tersebut menjadi suci?
Pendapat yang benar adalah bisa menjadi suci.

Alasannya adalah dua dalil berikut.

Hadits pertama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ايلومااء و‬
‫طاهودر ول يانونجاسها وشييدء‬

“Air itu suci, tidak ada yang dapat menajiskannya.”[3]

Hadits kedua, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫إفوذا بولووغ ايلومااء قاللتوييفن لويم يويحفمفل ايلوخبو و‬


‫ث‬

“Jika air telah mencapai dua qullah, maka tidak mungkin dipengaruhi kotoran
(najis).”[4]

Dua hadits di atas menjelaskan bahwa apabila benda yang najis atau haram
bercampur dengan air suci yang banyak, sehingga najis tersebut lebur tak
menyisakan warna atau baunya, maka dia menjadi suci.

Jadi suatu saat air yang najis, bisa berubah menjadi suci jika bercampur
dengan air suci yang banyak. Tidak mungkin air yang najis selamanya berada
dalam keadaan najis tanpa perubahan. Tepatlah perkataan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah,

“Siapa saja yang mau merenungkan dalil-dalil yang telah disepakati dan
memahami rahasia hukum syari’at, niscaya akan jelas baginya bahwa
pendapat inilah yang lebih tepat. Sangat tidak mungkin ada air atau benda cair
yang tidak mungkin mengalami perubahan menjadi suci (tetap najis). Ini
sungguh bertentangan dengan dalil dan akal sehat. Jika ada yang menganggap
bahwa hukum najis itu tetap ada padahal (sifat-sifat) najis telah dihilangkan
dengan cairan atau yang lainnya, maka ini sungguh jauh dari tuntutan dalil
dan bertentangan dengan qiyas yang bisa digunakan.”[5]

Catatan:

Kaedah di atas jadi tidak berlaku, jika berdasarkan pernyataan para pakar
yang ada bahwa enzim tripsin pada imunisasi atau vaksinasi hanya berupa
katalisator. Katalisator atau enzim hanyalah menjadi pemicu reaksi, dan
bukan menjadi bagian dari vaksin. Sehingga jika berasal dari babi sekali pun,
campuran tersebut sudah hilang. Coba pahami baik-baik maksud katalisator.
Banyak penjelasan dari berbagai pihak, salah satunya dari Drs. Iskandar,
Apt., MM, -Direktur Perencanaan dan pengembangan PT. Bio Farma (salah
satu perusahaan pembuat vaksin di Indonesia)- yang mengatakan bahwa
enzim tripsin babi masih digunakan dalam pembuatan vaksin, khususnya
vaksin polio (IPV). Beliau mengatakan,

“Air PAM dibuat dari air sungai yang mengandung berbagai macam kotoran dan
najis, namun menjadi bersih dan halal stetalh diproses”. Beliau juga
mengatakan, “Dalam proses pembuatan vaksin, enzim tripsin babi hanya
dipakai sebagai enzim proteolitik [enzim yang digunakan sebagai katalisator
pemisah sel/protein]. Pada hasil akhirnya [vaksin], enzim tripsin yang
merupakan unsur turunan dari pankreas babi ini tidak terdeteksi lagi. Enzim ini
akan mengalami proses pencucian, pemurnian dan penyaringan.” [sumber:
http://www.scribd.com/doc/62963410/WHO-Batasi-Penggunaan-Babi-Untuk-
Pembuatan-Vaksin]

Jika ini benar, maka tidak bisa kita katakan bahwa vaksin ini haram, karena
minimal bisa kita kiaskan dengan binatang jallalah, yaitu binatang yang biasa
memakan barang-barang najis. Binatang ini bercampur dengan najis yang
haram dimakan, sehingga perlu dikarantina kemudian diberi makanan yang
suci dalam beberapa hari agar halal dikonsumsi. Sebagian ulama berpendapat
minimal tiga hari dan ada juga yang berpendapat sampai aroma, rasa dan
warna najisnya hilang.

Imam Abdurrazaq As-Shan’ani rahimahullah meriwayatkan,


ً‫ضيها‬ ‫ة ثييلثيتة إهيذا أييرايد أيكن ييكأمك ي‬
‫ل بيكي ي‬ ‫ج ي‬
‫جاً ي‬
‫س اللد ي‬
‫حهب م‬ ‫ميرّ أينلمه يكاً ي‬
‫ن يي ك‬ ‫ن مع ي‬
‫ن اكب ه‬
‫يع ه‬
”Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma bahwasanya beliau mengurung
[mengkarantina] ayam yang biasa makan barang najis selama tiga hari jika
beliau ingin memakan telurnya.” [Mushannaf Abdurrazaq no. 8717]

Kalau saja binatang yang jelas-jelas bersatu langsung dengan najis -karena
makanannya kelak akan menjadi darah dan daging- saja bisa dimakan, maka
jika hanya sebagai katalisator sebagaimana penjelasan di atas serta tidak
dimakan, lebih layak lagi untuk dipergunakan atau minimal sama. [Dinukil
dari http://muslim.or.id/fiqh-dan-muamalah/pro-kontra-hukum-imunisasi-
dan-vaksinasi.html]

Fatwa Majelis Ulama Eropa

Majelis Ulama Eropa untuk Fatwa dan Penelitian telah memberikan jawaban
untuk masalah vaksin yang digunakan dalam vaksinasi anak terhadap polio.
Vaksin ini menggunakan enzim yang disebut tripsin dan diambil dari babi.
Jumlah tripsin yang ditambahkan konsentrasinya sangat rendah. Tripsin ini
nantinya akan hilang, tidak tersisa lagi. Kemudian tumbuh virus polio untuk
bereproduksi dan akhirnya jadilah vaksin yang diberikan tiga tetes untuk
setiap anak dalam mulut. Karena alasan inilah sebagian orang apalagi di Asia
Timur karena dalam rangka hati-hati, mereka melarang mengonsumsi vaksin
semacam ini untuk anak-anak muslim karena tripsin itu berasal dari babi.

Dalam masalah di atas, Majelis Ulama Eropa memutuskan dua hal:

Pertama:

Penggunaan obat semacam itu ada manfaatnya dari segi medis. Obat
semacam itu dapat melindungi anak dan mencegah mereka dari kelumpuhan
dengan izin Allah. Dan obat semacam ini (dari enzim babi) belum ada gantinya
hingga saat ini. Dengan menimbang hal ini, maka penggunaan obat semacam
itu dalam rangka berobat dan pencegahan dibolehkan. Hal ini dengan alasan
karena mencegah bahaya (penyakit) yang lebih parah jika tidak
mengkonsumsinya. Dalam bab fikih, masalah ini ada sisi kelonggaran yaitu
tidak mengapa menggunakan yang najis (jika memang cairan tersebut dinilai
najis). Namun sebenarnya cairan najis tersebut telah mengalami istihlak
(melebur) karena bercampur dengan zat suci yang berjumlah banyak. Begitu
pula masalah ini masuk dalam hal darurat dan begitu primer yang
dibutuhkan untuk menghilangkan bahaya. Dan di antara tujuan syari’at
adalah menggapai maslahat dan manfaat serta menghilangkan mafsadat dan
bahaya.

Kedua:

Majelis merekomendasikan pada para imam dan pejabat yang berwenang


hendaklah posisi mereka tidak bersikap keras dalam perkara ijtihadiyah ini
yang nampak ada maslahat bagi anak-anak kaum muslimin selama tidak
bertentangan dengan dalil yang definitif (qoth’i).[6]

Di Antara Alasan Pro Vaksinasi

1. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Karena telah banyak kasus ibu
hamil membawa virus Toksoplasma, Rubella, Hepatitis B yang
membahayakan ibu dan janin. Bahkan bisa menyebabkan bayi baru lahir
langsung meninggal. Dan bisa dicegah dengan vaksin.

2. Vaksinasi penting dilakukan untuk mencegah penyakit infeksi berkembang


menjadi wabah seperti kolera, difteri, dan polio. Apalagi saat ini
berkembang virus flu burung yg telah mewabah. Hal ini menimbulkam
keresahan bagi petugas kesahatan yang menangani. Jika tidak ada, mereka
tidak akan mau dekat-dekat. Juga meresahkan masyarakat sekitar.

3. Walaupun kekebalan tubuh sudah ada, akan tetapi kita hidup di negara
berkembang yang notabene standar kesehatan lingkungan masih rendah.
Apalagi pola hidup di zaman modern. Belum lagi kita tidak bisa menjaga
gaya hidup sehat. Maka untuk antisipasi terpapar penyakit infeksi, perlu
dilakukan vaksinasi.
4. Efek samping yang membahayakan bisa kita minimalisasi dengan tanggap
terhadap kondisi ketika hendak imunisasi dan lebih banyak cari tahu jenis-
jenis merk vaksin serta jadwal yang benar sesuai kondisi setiap orang.

5. Jangan hanya percaya isu-isu tidak jelas dan tidak ilmiah. Contohnya
vaksinasi MMR menyebabkan autis. Padahal hasil penelitian lain yang lebih
tersistem dan dengan metodologi yang benar, kasus autis itu ternyata
banyak penyebabnya. Penyebab autis itu multifaktor (banyak faktor yang
berpengaruh) dan penyebab utamanya masih harus diteliti.

6. Jika ini memang konspirasi atau akal-akalan negara barat, mereka pun
terjadi pro-kontra juga. Terutama vaksin MMR. Disana juga sempat ribut
dan akhirnya diberi kebebasan memilih. Sampai sekarang negara barat
juga tetap memberlakukan vaksin sesuai dengan kondisi lingkungan dan
masyarakatnya.

7. Mengapa beberapa negara barat ada yang tidak lagi menggunakan


vaksinasi tertentu atau tidak sama sekali? Karena standar kesehatan
mereka sudah lebih tinggi, lingkungan bersih, epidemik (wabah) penyakit
infeksi sudah diberantas, kesadaran dan pendidikan hidup sehatnya tinggi.
Mereka sudah mengkonsumsi sayuran organik. Bandingkan dengan negara
berkembang. Sayuran dan buah penuh dengan pestisida jika tidak bersih
dicuci. Makanan dengan zat pengawet, pewarna, pemanis buatan, mie
instant, dan lain-lain. Dan perlu diketahui jika kita mau masuk ke
beberapa negara maju, kita wajib divaksin dengan vaksin jenis tertentu.
Karena mereka juga tidak ingin mendapatkan kiriman penyakit dari negara
kita.

8. Ada beberapa fatwa halal dan bolehnya imunisasi. Ada juga sanggahan
bahwa vaksin halal karena hanya sekedar katalisator dan tidak menjadi
bagian vaksin. Contohnya Fatwa MUI yang menyatakan halal. Dan jika
memang benar haram, maka tetap diperbolehkan karena mengingat
keadaan darurat, daripada penyakit infeksi mewabah di negara kita. Harus
segera dicegah karena sudah banyak yang terjangkit polio, Hepatitis B, dan
TBC.[7]
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. Walhamdulillahilladzi bi ni’matihi
tatimmush sholihaat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad,
keluarga dan sahabatnya.

[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, index “214-3/213 ,”‫اسسستحاًلة‬, terbitan


Kementrian Agama dan Urusan Islamiyah Kuwait.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, index “ 279-10/278 ,”ّ‫تحيول‬
[3] HR. Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, dan Ahmad. Hadits ini dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 478
[4] HR. Ad Daruquthni. Para ulama berselisih mengenai keshahihan hadits air
dua qullah. Sebagian ulama menilai bahwa hadits tersebut mudhthorib
(termasuk dalam golongan hadits dho’if/lemah) baik secara sanad maupun
matan (isi hadits). Namun ulama hadits abad ini, yaitu Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini shahih.
Beliau rahimahullah mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ad
Darimi, Ath Thohawiy, Ad Daruquthniy, Al Hakim, Al Baihaqi, Ath Thoyalisiy
dengan sanad yang shohih. Hadits ini juga telah dishohihkan oleh Ath
Thohawiy, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, Adz Dzahabiy, An
Nawawiy dan Ibnu Hajar Al ‘Asqolaniy. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Mayoritas pakar hadits menyatakan bahwa hadits ini hasan dan
berhujah dengan hadits ini. Mereka telah memberikan sanggahan kepada
orang yang mencela (melemahkan) hadits ini.” (Disarikan dari Tawdhihul
Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al Bassam,
1/116, cetakan pertama, 1425 H)
[5] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 21/508
[6] Disarikan dari http://www.islamfeqh.com/Forums.aspx?g=posts&t=203
[7] Info dari saudara kami, dr. Raehanul Bahraen, semoga Allah membalas
amalan baik beliau.
21 Pelajaran dari Kisah Nabi Ayyub Sang Penyabar
Mar 11, 2017Muhammad Abduh Tuasikal, MScTeladan0

Nabi Ayyub berasal dari Rum (Romawi), beliau adalah Ayyub bin Mush bin Razah bin Al-‘Ish
bin Ishaq bin Ibrahim Al-Khalil. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq dalam kitab Tarik Ath-
Thabari. Ada juga ulama yang menyebutkan bahwa nama beliau adalah Ayyub bin Mush bin
Raghwil bin Al-‘Ish bin Ishaq bin Ya’qub. Ibnu ‘Asakir menyebutkan bahwa ibu dari Nabi
Ayyub adalah puteri Nabi Luth ‘alaihis salam. Istri beliau sendiri adalah Layaa binti Ya’qub.
Sedangkan yang paling masyhur, nama istri beliau adalah Rahmah binti Afraim bin Yusuf bin
Ya’qub. (Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, 1: 506)

Nabi Ayyub ‘alaihis salam disebutkan bersama nabi lainnya pada ayat,

‫ك دكدماَ أد نودحنيِدناَ إددلىِ رَنولح دوالشندبلُيِيِدن دمنن دبنعددده دوأد نودحنيِدناَ إددلىِ إدنبدرادهيِدم دوإدنسدماَدعيِدل‬‫إدشناَ أد نودحنيِدناَ إددلنيِ د‬
‫س دودهاَرَرودن دورَسدلِنيِدماَدن دوآددتنيِدناَ ددارَوودد‬‫ب دورَيِورَن د‬‫ب دوانلدنسدباَدط دودعيِدسىِ دوأدتيِو د‬ ‫دوإدنسدحاَدقَا دوديِنعرَقو د‬
‫دزرَبوةرا‬
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan
wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula)
kepada Ibrahim, Isma’il, Ishak, Ya’qub dan anak cucunya, Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan
Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud.” (QS. An-Nisaa’: 163)

Dulunya Nabi Ayyub terkenal sangat kaya dengan harta yang berlimpah ruah, contohnya saja
sapi, unta, kambing, kuda dan keledai dalam hal jumlah tak ada yang bisa menyainginya. Beliau
juga memiliki tanah yang luas di negeri Batsniyyah yang termasuk daerah Huran. (Lihat Al-
Bidayah wa An-Nihayah, 1: 507 dan Tafsir Al-Baghawi, 17: 176)

Allah juga memberikan kepada beliau karunia berupa keluarga dan anak laki-laki dan
perempuan. Ayyub sangat terkenal sebagai orang yang baik, bertakwa, dan menyayangi orang
miskin. Beliau juga biasa memberi makan orang miskin, menyantuni janda, anak yatim, kaum
dhuafa dan ibnu sabil (orang yang terputus perjalanan). Beliau adalah orang yang rajin bersyukur
atas nikmat Allah dengan menunaikan hak Allah. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 176)

Setelah itu Nabi Ayyub diuji penyakit yang menimpa badannya, juga mengalami musibah yang
menimpa harta dan anaknya, semua pada sirna. Ia pun terkena penyakit kulit, yaitu judzam (kusta
atau lepra). Yang selamat pada dirinya hanyalah hati dan lisan yang beliau gunakan untuk banyak
berdzikir pada Allah sehingga dirinya terus terjaga. Semua orang ketika itu menjauh dari Nabi
Ayyub hingga ia mengasingkan diri di suatu tempat. Hanya istrinya sajalah yang mau menemani
Ayyub atas perintahnya. Sampai istrinya pun merasa lelah hingga mempekerjakan orang lain
untuk mengurus suaminya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349)

As-Sudi menceritakan pula bahwa Nabi Ayyub menderita sakit hingga terlihat sangat-sangat
kurus tanpa daging, hingga urat syaraf dan tulangnya terlihat. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim,
5: 349)

Ketika setan menggodanya saat beliau tertimpa musibah, Nabi Ayyub ‘alaihis salam
menyatakan,

َ‫ل اللُذيِ رَهدو أدنعدطاَدهاَ دورَهدو أددخدذدها‬


‫الدحنمرَد د‬
“Segala puji bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang berhak mengambil.” Lalu
Nabi Ayyub juga menyebutkan bahwa dia tidak memiliki harta dan jiwa sama sekali. (Lihat
Tafsir Al-Baghawi, 17: 177)

Berapa lama Nabi Ayyub menjalani musibah?

Ibnu Syihab mengatakan bahwa Anas menyebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapat musibah
selama 18 tahun. Wahb mengatakan selama pas hitungan tiga tahun. Ka’ab mengatakan bahwa
Ayyub mengalami musibah selama 7 tahun, 7 bulan, 7 hari. Al-Hasan Al-Bashri menyatakan pula
selama 7 tahun dan beberapa bulan. (Lihat Tafsir Al-Baghawi, 17: 181, juga lihat riwayat-riwayat
dalam Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 351).

Namun Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah menyatakan bahwa penyebutan


jenis penyakitnya secara spesifik dan lamanya beliau menderita sakit sebenarnya berasal dari
berita israiliyyat. (Lihat Adhwa’ Al-Bayan, 4: 852)

Saat mengurus dan membawa bekal pada beliau, istrinya sampai pernah bertanya kepada Nabi
Ayyub yang sudah menderita sakit sangat lama, “Wahai Ayyub andai engkau mau berdoa pada
Rabbmu, tentu engkau akan diberikan jalan keluar.” Nabi Ayyub menjawab, “Aku telah diberi
kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah timpakan sampai aku
bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.” Istrinya pun semakin cemas. Akhirnya
karena tak sanggup lagi, istrinya mempekerjakan orang lain untuk mengurus suaminya sampai
memberi makan padanya. (Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5: 349-350)

Tentang kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam disebutkan dalam ayat berikut ini.

Allah Ta’ala berfirman,

َ‫( دفاَنسدتدجنبدناَ دلرَه دفدكدشنفدناَ دما‬83) ‫حدميِدن‬ ‫ت أدنردحرَم الشرا د‬ ‫ب إدنذ دناَددىَ درشبرَه أدلُنيِ دمشسدنديِ ال ت‬
‫ضتر دوأدنن د‬ ‫دوأدتيِو د‬
(84) ‫ضرر دوآددتنيِدناَهرَ أدنهدلِرَه دودمنثدلِرَهنم دمدعرَهنم درنحدمةة دمنن دعنندددناَ دودذنكدرىَ لدنلِدعاَدبدديِدن‬
َ‫دبده دمنن ر‬
“Dan (ingatlah kisah) Ayub, ketika ia menyeru Rabbnya: “(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah
ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha Penyayang di antara semua penyayang.”
Maka Kamipun memperkenankan seruannya itu, lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada
padanya dan Kami kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan
mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang
menyembah Allah.” (QS. Al-Anbiya’: 83-84)

Setelah Nabi Ayyub ‘alaihis salam sabar menghadapi cobaan dan doa beliau terkabul, akhirnya
beliau diberi kembali istri dan anak seperti yang dulu ada.

Disebutkan bahwa Nabi Ayyub mendapatkan ganti istri yang lebih muda dan memiliki 26 anak
laki-laki. Wahb mengatakan bahwa beliau memiliki sembilan puteri dan tiga putera. Ibnu Yasar
menyatakan bahwa anak beliau adalah tujuh putera dan tujuh puteri. (Lihat Tafsir Al-Baghawi,
17: 185)

Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengungkapkan bahwa keluarga dan hartanya kemudian kembali.
Allah karuniakan lagi pada Nabi Ayyub keluarga dan harta yang banyak. Itu semua disebabkan
kesabaran dan keridhaan beliau ketika menghadapi musibah. Inilah balasan yang disegerakan di
dunia sebelum balasan di akhirat kelak. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 556)

Al-Hasan Al-Bashri dan Qatadah mengatakan, “Allah Ta’ala menghidupkan mereka kembali
untuknya dan menambahkan orang-orang yang semisal mereka.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 6:
430. Riwayatnya dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabari dengan sanad yang shahih)

Kesembuhan Nabi Ayyub sendiri disebutkan dalam ayat berikut,

‫ض دبدرنجلِد د‬
‫ك‬ ‫( انررَك ن‬41) ‫ب‬ ‫ب دودعدذا ل‬ ‫ص ل‬ ‫ب إدنذ دناَددىَ درشبرَه أدلُنيِ دمشسدنديِ الششنيِدطاَرَن دبرَن ن‬ ‫دوانذرَكنر دعنبدددناَ أدتيِو د‬
ِ‫لودلي‬ َ‫( دودودهنبدناَ دلرَه أدنهدلِرَه دودمنثدلِرَهنم دمدعرَهنم درنحدمةة دمشناَ دودذنكدرىَ د ر‬42) ‫ب‬ ‫دهدذا رَمنغدتدسرل دباَدررد دودشدرا ر‬
‫صاَدبةرا دننعدم انلدعنبرَد إدشنرَه‬ ‫ب دبده دودل دتنحدن ن‬
‫ث إدشناَ دودجنددناَهرَ د‬ ‫ضدر ن‬ ‫ضنغةثاَ دفاَ ن‬
‫ك د‬‫( دورَخنذ دبديِدد د‬43) ‫ب‬ ‫انلدنلدباَ د‬
(44) ‫ب‬ ‫أدشوا ر‬
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya: “Sesungguhnya aku
diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (Allah berfirman): “Hantamkanlah kakimu;
inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” Dan Kami anugerahi dia (dengan
mengumpulkan kembali) keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka
pula sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai fikiran. Dan
ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah kamu
melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-
baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad: 41-44)

Allah begitu penyayang, memerintah Ayyub untuk beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba air
memancar serta memerintahkannya untuk mandi, hingga hilanglah seluruh penyakit yang
diderita tubuhnya. Kemudian Allah memerintahkannya lagi untuk menghentakkan tanah yang
lain dengan kakinya, maka muncul pula mata air lain, lalu Allah memerintahkannya untuk
minum air tersebut hingga seluruh penyakit dalam batinnya, sehingga sempurnalah kesehatan
lahir dan batinnya.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ِهلل دفدجدعدل أدتيِو ر‬، ‫ب‬


َ‫ِهلل دفدناَدداهر‬، ‫ب ديِنحدتدثىِ دفىِ دث نودبده‬ ‫ب ديِنغدتدسرَل رَعنرديِاَةناَ دفدخشر دعلِدنيِده دجدرارد دمنن دذده ل‬ َ‫دبنيِدناَ أدتيِو ر‬
‫ك‬‫ك دولددكنن لد دغدنىِ دبىِ دعنن دبدردكدت د‬ ‫ك دعشماَ دتدرىَ دقاَدل دبدلِىِ دودعشزدت د‬ ‫ِهلل أدلدنم أدرَكنن أدنغدننيِرَت د‬، ‫ب‬
َ‫درتبرَه ديِاَ أدتيِو ر‬
“Di saat Ayyub mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah seekor belalang dari emas.
Lalu Ayyub ‘alaihis salam mengantonginya di bajunya, maka Allah berfirman, “Bukankah aku
telah mencukupimu dari apa yang engkau lihat?” Ayyub ‘alaihis salam menjawab, “Betul, wahai
Rabbku. Akan tetapi aku tidak akan merasa cukup dari berkah-Mu.” (HR. Bukhari, no. 279)
Adapun ayat,

‫ب دبده دودل دتنحدن ن‬


‫ث‬ ‫ضنغةثاَ دفاَ ن‬
‫ضدر ن‬ ‫دورَخنذ دبديِدد د‬
‫ك د‬
“Dan ambillah dengan tanganmu seikat (rumput), maka pukullah dengan itu dan janganlah
kamu melanggar sumpah.” Dahulu Nabi Ayyub ‘alaihis salam pernah marah kepada istrinya atas
satu perkara yang dilakukan sang istri.

Satu pendapat mengatakan bahwa istrinya telah menjual tali pengekangnya dengan sepotong roti
untuk memberikan makan kepadanya, lalu dia mencela istrinya dan bersumpah bahwa jika Allah
Ta’ala menyembuhkan dirinya, niscaya dia akan memukul istrinya sebanyak seratus kali.

Pendapat lain menyatakan bahwa ketika Allah menyembuhkan Nabi Ayyub ‘alaihis salam,
beliau tidak melakukan sumpahnya karena bakti dan kasih sayang istrinya yang begitu tinggi
pada Nabi Ayyub. Kemudian Allah Ta’ala memerintahkan kepada Ayyub untuk mengambil
seikat rumput yang berjumlah seratus helai, lalu dipukulkan kepada istrinya satu kali, sehingga
selesailah ia dalam menunaikan nazarnya. Ketika itu penunaian nazar diberikan keringanan
karena kafarah (tebusan) nazar di syariat Nabi Ayyub belum ada. (Lihat Tafsir Al-Qur’an
Al-‘Azhim, 6: 430-431)

Beberapa pelajaran dari kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam:

Pelajaran #01

Jadi kaya yang bersyukur dan rajin berderma, jadi miskin yang bersabar.

Dari Shuhaib, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ك لددحلد إدلش لدنلِرَم نؤدمدن إدنن أد د‬


‫صاَدبنترَه دسشرارَء دشدكدر‬ ‫دعدجةباَ لدنمدر انلرَم نؤدمدن إدشن أدنمدرهرَ رَكلِشرَه دخنيِرر دولدنيِ د‬
‫س دذا د‬
‫صدبدر دفدكاَدن دخنيِةرا دلرَه‬
‫ضشرارَء د‬ ‫دفدكاَدن دخنيِةرا دلرَه دوإدنن أد د‬
‫صاَدبنترَه د‬
“Sungguh menakjubkan keadaan seorang mukmin. Seluruhnya urusannya itu baik. Ini tidaklah
didapati kecuali pada seorang mukmin. Jika mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur. Itu
baik baginya. Jika mendapatkan kesusahan, maka ia bersabar. Itu pun baik baginya.” (HR.
Muslim, no. 2999)

Pelajaran #02

Lihatlah Nabi Ayyub ‘alaihis salam tidak jadi sombong dengan kekayaan yang ia miliki. Karena
kekayaan itu sebenarnya ujian.

Dari Al-Hasan Al-Bashri, ia berkata, “Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu pernah
menuliskan surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari yang isinya:

“Merasa cukuplah (qana’ah-lah) dengan rezeki dunia yang telah Allah berikan padamu. Karena
Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih) mengaruniakan lebih sebagian hamba dari lainnya
dalam hal rezeki. Bahkan yang dilapangkan rezeki sebenarnya sedang diuji pula sebagaimana
yang kurang dalam hal rezeki. Yang diberi kelapangan rezeki diuji bagaimanakah ia bisa
bersyukur dan bagaimanakah ia bisa menunaikan kewajiban dari rezeki yang telah diberikan
padanya.” (HR. Ibnu Abi Hatim. Dinukil dari Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 4: 696)

Pelajaran #03

Ingatlah kekayaan itu titipan ilahi. Kalau dipahami demikian, maka sewaktu-waktu ketika
kenikmatan dunia tersebut diambil, tentu kita tidak akan terlalu sedih.

Kita bisa mengambil pelajaran dari kisah Ummu Sulaim (ibu dari Anas bin Malik, yang bernama
asli Rumaysho atau Rumaisa) ketika berkata pada suaminya, Abu Thalhah. Saat itu puteranya
meninggal dunia, Rumaysho malah menghibur suaminya di malam hari dengan memberi makan
malam dan berhubungan intim. Setelah suaminya benar-benar puas, ia mengatakan,

‫ت دفدطلِدرَبوا دعاَدرديِدترَهنم أددلرَهنم أدنن ديِنمدنرَعورَهنم‬‫ت لد نو أدشن دق نوةماَ أددعاَرَروا دعاَدرديِدترَهنم أدنهدل دبنيِ ل‬
‫ديِاَ أددباَ دطنلِدحدة أددرأدنيِ د‬
‫ك‬ ‫ب انبدن د‬‫ت دفاَنحدتدس د‬ ‫دقاَدل لد دقاَدل ن‬
“Bagaimana pendapatmu jika ada suatu kaum meminjamkan sesuatu kepada salah satu
keluarga, lalu mereka meminta pinjaman mereka lagi, apakah tidak dibolehkan untuk diambil?”
Abu Tholhah menjawab, “Tidak (artinya: boleh saja ia ambil, -pen).” Ummu Sulaim,
“Bersabarlah dan berusaha raih pahala karena kematian puteramu.” (HR. Muslim, no. 2144)

Pelajaran #04

Sakit dan ujian akan menghapus dosa. Sehingga kita butuh menahan diri untuk sabar karena
mengetahui keutamaan ini.

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫صنيِرَبرَه أدةذىَ دمنن دمدر ل‬


َ‫ض دفدماَ دسدواهرَ إدلش دحشط ارَ دبده دسلُيِدئاَدتده دكدماَ دترَحتط الششدجدرةر‬ ‫دماَ دمنن رَمنسلِدلم رَيِ د‬
َ‫دودردقدها‬
“Setiap muslim yang terkena musibah penyakit atau yang lainnya, pasti akan hapuskan
kesalahannya, sebagaimana pohon menggugurkan daun-daunnya.” (HR. Bukhari, no. 5660 dan
Muslim, no. 2571)

Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

– َ‫ب ؛ دودل دهرم ؛ دودل دحدزلن ؛ دودل دغرم ؛ دودل أدةذى‬ ‫ب ؛ دودل دن د‬
‫ص ل‬ ‫ص ل‬ ‫ب انلرَم نؤدمدن دمنن دو د‬
َ‫صيِ ر‬
‫دماَ رَيِ د‬
‫دحشتىِ الشش نودكرَة ديِدشاَرَكدهاَ – إشل دكشفدر ش‬
َ‫ارَ دبدهاَ دمنن دخدطاَديِاَهر‬
“Tidaklah seorang mukmin tertimpa rasa sakit (yang terus menerus), rasa capek, kekhawatiran
(pada masa depan), sedih (akan masa lalu), kesusahan hati (berduka cita) atau sesuatu yang
menyakiti sampai pada duri yang menusuknya, itu semua akan menghapuskan dosa-dosanya.”
(HR. Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573. Lihat Syarh Shahih Muslim, 16: 118 dan Kunuz
Riyadh Ash-Shalihin, 1: 491)

Sabar bagaimana yang dilakukan?


Kata Syaikh Sa’id bin Wahf Al-Qahthani hafizahullah, sabar yang berpahala dilakukan dengan
(1) ikhlas karena Allah, (2) mengadu pada Allah, bukan mengadu pada manusia, (3) sabar di
awal musibah. (Muqowwimaat Ad-Daa’iyah An-Naajih, hlm. 201)

Pelajaran #05

Penyakit tak menghalangi dari dzikir dan menjaga hati. Lihatlah Nabi Ayyub terus menggunakan
lisannya untuk berdzikir walau sedang dalam keadaan sakit.

Dari ‘Abdullah bin Busr, ia berkata,

‫س‬ ‫ا أد ت‬
‫ىَ الشناَ د‬ ‫ دفدقاَدل أددحرَدرَهدماَ ديِاَ دررَسودل ش د‬-‫صلِىِ ا علِيِه وسلِم‬- ‫ا‬ ‫دجاَدء أدنعدرادبشيِاَدن إددلىِ دررَسودل ش د‬
‫ا إدشن دشدرادئدع الدنسلددم‬ ‫ دودقاَدل الدخرَر ديِاَ دررَسودل ش د‬.« ‫دخنيِرر دقاَدل » دمنن دطاَدل رَعرَمرَرهرَ دودحرَسدن دعدملِرَرَه‬
‫ا دعشز دودجشل‬ ‫ك درنطباَ ة دمنن دذنكدر ش د‬ َ‫ت دعلِدشىِ دفرَمنردنىِ دبأ دنملر أددتدششب ر‬
‫ دفدقاَدل » لد ديِدزارَل لددساَرَن د‬.‫ث دبده‬ ‫دقند دكرَثدر ن‬
«
“Ada dua orang Arab (badui) mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas salah
satu dari mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, manusia bagaimanakah yang baik?” “Yang
panjang umurnya dan baik amalannya,” jawab beliau. Salah satunya lagi bertanya, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya syari’at Islam amat banyak. Perintahkanlah padaku suatu amalan
yang bisa kubergantung padanya.” “Hendaklah lisanmu selalu basah untuk berdzikir pada
Allah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4: 188. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad
hadits ini hasan).

Pelajaran #06

Setiap orang diuji sesuai tingkatan iman. Lihat hadits berikut yang disebutkan dalam Musnad
Imam Ahmad,

‫س أددشتد دبلدةء دقاَدل » الدنندبديِاَرَء رَثشم‬ ‫ىَ الشناَ د‬‫ا أد ت‬ ‫ت ديِاَ دررَسودل ش د‬ َ‫ب نبدن دسنعلد دعنن أددبيِده دقاَدل قرَنلِ ر‬ ‫دعنن رَم ن‬
‫صدع د‬
‫د‬ ‫د‬
‫ب دديِدنده دفإدنن دكاَدن دفىِ دديِدنده‬‫س رَيِنبدتدلِىِ الشررَجرَل دعدلِىِ دحدس د‬ ‫صاَلدرَحودن رَثشم النمدثرَل دفاَلنمدثرَل دمدن الشناَ د‬‫ال ش‬
ِ‫ف دعننرَه دودماَ ديِدزارَل انلدبلدرَء دباَنلدعنبدد دحشتىِ ديِنمدشدى‬ ‫صلددبرة دزيِدد دفىِ دبلددئده دوإددن دكاَدن دفىِ دديِدنه درشقرة رَخلُف د‬ ‫د‬
« ‫س دعلِدنيِده دخدطيِدئرة‬ ‫ض لدنيِ د‬ ‫دعدلِىِ دظنهدر الدنر د‬
Dari Mush’ab bin Sa’ad, dari bapaknya, ia pernah berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Manusia manakah yang paling berat cobaannya?” Jawab Rasul shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Para Nabi lalu orang shalih dan orang yang semisal itu dan semisal itu berikutnya.
Seseorang itu akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Jika imannya semakin kuat, maka
cobaannya akan semakin bertambah. Jika imannya lemah, maka cobaannya tidaklah berat.
Kalau seorang hamba terus mendapatkan musibah, nantinya ia akan berjalan di muka bumi
dalam keadaan tanpa dosa.” (HR. Ahmad, 1: 172. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan
bahwa sanad hadits ini hasan)
Pelajaran #07

Kalau ingin kuatkan sabar, ingatlah cobaan yang lebih berat yang menimpa para Nabi.

Dari ‘Abdurrahman bin Saabith Al-Qurosyi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ‫ب دعننددهر‬
‫صاَدئ د‬ ‫ِهلل دفنلِديِنذرَكنر رَم د‬،‫صيِدبلة‬
‫ِهلل دفإدشندهاَ أدنعدظرَم انلدم د‬،ِ‫صيِدبدترَه دبي‬ ‫ب أددحرَدرَكنم دبرَم د‬ ‫إددذا أ رَ د‬
‫صيِ د‬
“Jika salah seorang di antara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpa
diriku. Musibah padaku tetap lebih berat dari musibah yang menimpa dirinya.” (HR.
‘Abdurrozaq dalam mushannafnya, 3: 564; Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir, 7: 167.
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 1106. Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini
shahih karena berbagai syawahid atau penguat)

Pelajaran #08

Musibah yang menimpa kita masih sangat sedikit dari nikmat yang telah Allah beri.

Coba ambil pelajaran dari apa yang dikatakan oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam pada istrinya,
“Aku telah diberi kesehatan selama 70 tahun. Sakit ini masih derita yang sedikit yang Allah
timpakan sampai aku bisa bersabar sama seperti masa sehatku yaitu 70 tahun.”

Pelajaran #09

Setan bisa saja mencelakai badan, harta dan keluarga seperti yang disebutkan dalam kisah Nabi
Ayyub dalam surat Shad,

‫ب دودعدذا ل‬
‫ب‬ ‫ب إدنذ دناَددىَ درشبرَه أدلُنيِ دمشسدنديِ الششنيِدطاَرَن دبرَن ن‬
‫ص ل‬ ‫دوانذرَكنر دعنبدددناَ أدتيِو د‬
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Rabb-nya: “Sesungguhnya aku
diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41) (Lihat pembahasan Syaikh
Asy-Syinqithi dalam Adhwa’ Al-Bayan, 4: 851)

Pelajaran #10

Lepasnya musibah dengan doa. Itulah yang terjadi pada Nabi Ayyub, ia memohon pada Allah
untuk diangkat musibah yang menimpa dirinya,

‫ت أدنردحرَم الشرا د‬
‫حدميِدن‬ ‫ضتر دوأدنن د‬
‫أدلُنيِ دمشسدنديِ ال ت‬
“(Ya Rabbku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Rabb Yang Maha
Penyayang di antara semua penyayang.” (QS. Al-Anbiya’: 83)

Dalam surat Shaad disebutkan,

‫ب دودعدذا ل‬
‫ب‬ ‫أدلُنيِ دمشسدنديِ الششنيِدطاَرَن دبرَن ن‬
‫ص ل‬
“Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan.” (QS. Shaad: 41)

Pelajaran #11

Kalau ingin mengadukan hajat dan kesusahan, adukanlah pada Allah, bukan mengadu pada
makhluk. Itulah yang dimaksud dengan ayat,

‫صنبةرا دجدميِةل‬ ‫دفاَ ن‬


‫صدبنر د‬
“Maka bersabarlah kamu dengan sabar yang baik.” (QS. Al-Ma’arij: 5). Imam Al-Qurthubi
mengatakan bahwa sabar yang baik (indah) di sini yang dimaksud adalah sabar tanpa merasa
putus harapan dan tanpa mengeluhkan pada selain Allah. (Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, 9: 180)

Pelajaran #12

Menyanjung Allah dalam doa dan bertawassul dengan asmaul husna. Lihatlah yang disebutkan
dalam isi doanya, menunjukkan bahwa ia meminta pada Allah karena sangat-sangat butuh.

Juga dalam doanya diajarkan untuk berdoa dengan asmaul husna sebagaimana yang diajarkan
pula dalam ayat,

َ‫ل انلدنسدماَرَء انلرَحنسدنىِ دفاَندرَعوهرَ دبدها‬


‫دو د ش د‬
“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-
ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam
(menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah
mereka kerjakan.” (QS. Al-A’raf: 180)

Syaikh As-Sa’di mengatakan dalam tafsirnya (hlm. 319), doa yang dimaksud mencakup doa
ibadah dan doa mas’alah. Hendaklah ketika berdoa bisa menyesuaikan asmaul husna dengan isi
permintaan. Mislanya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku dan rahmatilah aku, sesungguhnya
Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”, “Ya Allah yang Maha Menerima Taubat,
terimalah taubatku”, dan semisal itu.

Pelajaran #13

Meskipun Nabi Ayyub terus sakit, istri Nabi Ayyub tetap mengabdi pada suaminya. Maka sampai
ada nazar yang mesti ditunaikan pada istrinya dengan 100 kali pukulan, Nabi Ayyub tidak tega
melakukannya karena saking sayang pada istrinya yang benar-benar telah berbakti pada suami.

Sebagian istri kadang tidak tahan dalam hal ini, bahkan sifatnya pembangkang ketika suaminya
sehat ataukah sakit padahal taat dan mengabdi pada suami adalah jalan menuju surga.

Lihatlah hadits dari ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,

‫ت دفنردجدهاَ دوأددطاَدع ن‬
ِ‫ت دز نودجدهاَ دقيِدل دلدهاَ اندرَخدلِى‬ ‫ت دشنهدردهاَ دودحدفدظ ن‬ ‫ت انلدمنرأدةرَ دخنمدسدهاَ دو د‬
‫صاَدم ن‬ ‫صلِش د‬
‫إددذا د‬
‫ت‬‫ب انلدجشندة دشنئ د‬‫ىَ أدنبدوا د‬
ُ‫انلدجشندة دمنن أد ل‬
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan
Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat
pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam
surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad, 1: 191 dan Ibnu Hibban, 9: 471.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Lihat juga hadits dari Al-Hushoin bin Mihshan menceritakan bahwa bibinya pernah datang ke
tempat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena satu keperluan. Seselesainya dari keperluan
tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

َ‫ دماَ آلرَ نوهرَ إدلش دماَ دعدجنز ر‬:‫ت‬


:‫ دقاَدل‬.‫ت دعننرَه‬ ‫ف أدنن د‬
‫ت دلرَه؟ دقاَدل ن‬ ‫ دكنيِ د‬:‫ دقاَدل‬.‫ دندعنم‬:‫ت‬ ‫ت دز نولج أدنن د‬
‫ت؟ دقاَدل ن‬ َ‫أددذا ر‬
‫ِهلل دفإشندماَ رَهدو دجشنرَتدك دودناَرَردك‬،‫ت دمننرَه‬‫ظدرنيِ أيِدن أدنن د‬ َ‫دفاَنن ر‬
“Apakah engkau sudah bersuami?” Bibi Al-Hushain menjawab, “Sudah.” “Bagaimana (sikap)
engkau terhadap suamimu?”, tanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi. Ia menjawab,
“Aku tidak pernah mengurangi haknya kecuali dalam perkara yang aku tidak mampu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lihatlah di mana keberadaanmu dalam
pergaulanmu dengan suamimu, karena suamimu adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad, 4:
341 dan selainnya. Hadits ini shahih sebagaimana kata Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-
Targhib wa At-Tarhib, no. 1933)

Pelajaran #14

Boleh mandi telanjang. Hadits Nabi Ayyub yang mandi telanjang telah dibawakan oleh Imam
Bukhari dalam kitab shahihnya dengan membawakan judul bab,

‫ِهلل دودمنن دتدسشتدر دفاَلشتدستترَر أدنف د‬، ‫دمدن انغدتدسدل رَعنرديِاَةناَ دونحددهرَ دفىِ انلدخنلِدودة‬
‫ضرَل‬
“Siapa yang mandi dalam keadaan telanjang seorang diri di kesepian, namun siapa yang
menutupi diri ketika itu, maka lebih afdhal.”

Pelajaran #15

Nazar itu wajib dipenuhi sebagaimana sumpah. Allah Ta’ala memuji orang-orang yang
menunaikan nazarnya,

‫ب دبدهاَ دعدباَرَد ش د‬
َ‫(دعنيِةناَ ديِنشدر ر‬٥) ‫س دكاَدن دمدزارَجدهاَ دكاَرَفوةرا‬ ‫ن‬
َ‫ا رَيِدفلُجرَرودندها‬ ‫إدشن النبدرادر ديِنشدررَبودن دمنن دكأ ل‬
(٧) ‫(رَيِورَفودن دباَلشننذدر دوديِدخاَرَفودن ديِ نوةماَ دكاَدن دشترهرَ رَمنسدتدطيِةرا‬٦) ‫دتنفدجيِةرا‬
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang
campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba
Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan
nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

‫ِهلل دودمنن دندذدر أدنن ديِنع د‬، ‫ا دفنلِرَيِدطنعرَه‬


‫صديِرَه دفلد ديِنع د‬
‫صده‬ ‫دمنن دندذدر أدنن رَيِدطيِدع ش د‬
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.
Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ”
(HR. Bukhari no. 6696)

Pelajaran #16

Selalu ada jalan keluar bagi orang yang bertakwa. Kala Nabi Ayyub berat menjalankan nazar,
Allah Ta’ala memberikan jalan keluar dengan diberikan keringanan karena saat itu belum ada
syariat penunaian kafarah (tebusan untuk nazar)[1]. Dalam ayat disebutkan,

‫ب دودمنن ديِدتدوشكنل دعدلِىِ ش د‬


‫ا دفرَهدو‬ َ‫ث دل ديِنحدتدس ر‬ ‫دودمنن ديِشتدقَا ش د‬
َ‫ دوديِنررَزنقرَه دمنن دحنيِ ر‬, َ‫ا ديِنجدعنل دلرَه دمنخدرةجا‬
‫ا دباَلدرَغ أدنمدرده دقند دجدعدل ش‬
‫ارَ لدرَكلُل دشنيِلء دقندةرا‬ ‫دحنسرَبرَه إدشن ش د‬
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan
memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya
Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan
ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. Ath-Thalaq: 2-3)

Pelajaran #17

Siapa yang tidak kuat menjalani hukuman hadd karena dalam keadaan lemah, maka hukuman
tersebut tetap ditunaikan. Karena tujuannya agar pelanggaran tersebut tidak dilakukan lagi.
Hukuman tersebut tujuannya bukan untuk menghancurkan atau membinasakan. (Lihat Qishash
Al-Anbiya’ karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 229)

Pelajaran #18

Ingatlah dengan kesabaran ketika kehilangan harta, keluarga dan anak, akan mendapatkan ganti
yang lebih baik. Yang diucapkan ketika mendapatkan musibah adalah: INNA LILLAHI WA
INNA ILAIHI ROOJI’UN. ALLAHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII
KHOIRON MINHAA [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah,
berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik].

Ummu Salamah -salah satu istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– berkata bahwa beliau
pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ‫صيِدبدتى‬ ‫جرَعودن اللِشرَهشم نأرَجنردنىِ دفىِ رَم د‬ ‫صيِدبرة دفديِرَقورَل إدشناَ د ش د‬


‫ل دوإدشناَ إددلنيِده درا د‬ ‫دماَ دمنن دعنبلد رَت د‬
‫صيِرَبرَه رَم د‬
‫ دقاَلد ن‬.« َ‫ف دلرَه دخنيِةرا دمنندها‬
ِ‫ت دفلِدشماَ رَترَولُفدى‬ ‫صيِدبدتده دوأدنخلِد د‬ ‫ارَ دفىِ رَم د‬ ‫ف دلىِ دخنيِةرا دمنندهاَ إدلش أددجدرهرَ ش‬ ‫دوأدنخلِد ن‬
‫ارَ دلىِ دخنيِةرا دمننرَه‬ ‫ف ش‬ ‫ دفأ دنخلِد د‬-‫صلِىِ ا علِيِه وسلِم‬- ‫ا‬ ‫ت دكدماَ أددمدردنىِ دررَسورَل ش د‬ َ‫أدرَبو دسلِددمدة قرَنلِ ر‬
.-‫صلِىِ ا علِيِه وسلِم‬- ‫ا‬ ‫دررَسودل ش د‬
“Siapa saja dari hamba yang tertimpa suatu musibah lalu ia mengucapkan: “INNA LILLAHI WA
INNA ILAIHI ROOJI’UN. ALLAHUMMA’JURNII FII MUSHIBATII WA AKHLIF LII
KHOIRON MINHAA [Segala sesuatu adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Ya Allah,
berilah ganjaran terhadap musibah yang menimpaku dan berilah ganti dengan yang lebih baik]”,
maka Allah akan memberinya ganjaran dalam musibahnya dan menggantinya dengan yang lebih
baik.” Ketika, Abu Salamah (suamiku) wafat, aku pun menyebut do’a sebagaimana yang
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan padaku. Allah pun memberiku suami yang
lebih baik dari suamiku yang dulu yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim,
no. 918)

Pelajaran #19

Bukti sabar, masih mengucapkan alhamdulillah ketika mendapat musibah. Yang dicontohkan
oleh Nabi Ayyub ‘alaihis salam ketika mendapatkan musibah, beliau mengucapkan, “Segala puji
bagi Allah. Dialah yang memberi, Dialah pula yang berhak mengambil.”

Tingkatan orang menghadapi musibah ada empat yaitu: (1) lemah, yaitu banyak mengeluh pada
makhluk, (2) sabar, hukumnya wajib, (3) ridha, tingkatannya lebih daripada sabar, 4) bersyukur,
ketika menganggap musibah itu suatu nikmat. (‘Iddah Ash-Shabirin, hlm. 81)

Pelajaran #20

Kisah Nabi Ayyub ‘alaihis salam adalah sebagai pelajaran dan beliau bisa dijadikan teladan.
Allah memberikan kita ujian dan musibah, bukan berarti Allah ingin menghinakan kita. Nabi
Ayyub bisa dicontoh dalam hal sabar menghadapi takdir Allah yang menyakitkan. Allah menguji
siapa saja yang Allah kehendaki dan semua itu ada hikmah-Nya. (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 5:
352)

Pelajaran #21

Nabi Ayyub adalah orang penyabar, ia bersabar ikhlas karena Allah. Beliau juga adalah hamba
yang baik dalam hal ‘ubudiyah (peribadahan). Ini terlihat dari keadaan beliau ketika lapang dan
ketika berada dalam keadaan susah. Beliau juga adalah orang yang benar-benar kembali pada
Allah, beliau pasrahkan urusan dunia dan akhiratnya, beliau juga adalah orang yang rajin
berdzikir dan berdoa, serta punya rasa cinta yang besar pada Allah. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 757)

Karenanya Allah memuji Nabi Ayyub ‘alaihis salam,

‫صاَدبةرا دننعدم انلدعنبرَد إدشنرَه أدشوا ر‬


‫ب‬ ‫إدشناَ دودجنددناَهرَ د‬
“Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub) seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba.
Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhan-nya).” (QS. Shaad: 44)

Semoga jadi pelajaran berharga bagi kita semua. Nantikan lagi kisah para nabi lainnya di
Rumaysho.Com.

Referensi:
1. Adhwa’ Al-Bayan fii Iidhah Al-Qur’an bi Al-Qur’an. Cetakan ketiga, tahun 1433 H. Syaikh
Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Fawaid.
2. Al-Bidayah wa An-Nihayah. Cetakan tahun 1436 H. Al-Hafizh Ibnu Katsir. Penerbit Dar ‘Alam Al-
Kutub.

3. Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Cetakan pertama, tahun 1428 H. Muhammad bin Ahmad Al-Anshari
Al-Qurthubi. Penerbit Darul Fikr.

4. Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim. Cetakan pertama, tahun 1433 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi.
Penerbit Dar Ibnu Hazm.

5. Aysar At-Tafaasir li Kalam Al-‘Aliyy Al-Kabir. Syaikh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi. Penerbit Darus
Salam.

6. ‘Iddah Ash-Shabirin. Cetakan kedua, tahun 1429 H. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Maktabah
Ar-Rusyd.

7. Kunuz Riyadh Ash-Shalihin. Cetakan pertama, tahun 1430 H. Rais: Prof. Dr. Hamad bin Nashir bin
‘Abdurrahman Al-‘Ammar. Penerbit Dar Kunuz Isybiliya.

8. Muqowwimaat Ad-Daa’iyah An-Naajih. Cetakan pertama, tahun 1415 H. Syaikh Sa’id bin ‘Ali bin
Wahf Al-Qahthani.

9. Qishash Al-Anbiya’. Cetakan pertama, tahun 1422 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di.
Penerbit Dar Ibnu Hazm.

10. Qishash Al-Anbiya’, Al-Qashash Al-Haqq. Cetakan kedua, tahun 1422 H. Syaikh ‘Abdul Qadir bin
Syaibah Al-Hamd. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.

11. Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah. Cetakan pertama, 1422 H. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani. Penerbit Maktabah Al-Ma’arif.

12. Tafsir Al-Baghawi (Ma’alim At-Tanzil). Cetakan kedua, tahun 1427 H. Al-Husain bin Mas’ud Al-
Baghawi. Penerbit Dar Thiybah.

13. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim. Cetakan pertama, tahun 1431 H. Al-Hafizh Ibnu Katsir. Penerbit Dar
Ibnul Jauzi.

14. Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit
Muassasah Ar-Risalah.

Software

Al-Maktabah Asy-Syamilah.

[1] Kafarah nazar sama dengan kafarah sumpah seperti yang diperintahkan dalam surat Al-
Maidah ayat 89,

 Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau


 Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau

 Memerdekakan satu orang budak

Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari (tidak
mesti berturut-turut). (Lihat Surat Al-Maidah ayat 89)

Disusun selama dua hari, selesai pada 12 Jumadats Tsaniyyah 1438 H, @ Perpustakaan Darush
Sholihin, Panggang, Gunungkidul

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Sumber : https://rumaysho.com/15439-21-pelajaran-dari-kisah-nabi-ayyub-sang-penyabar.html

Bantahan

ANTARA AT & AH (Masukan untuk al-Ustadz al-Fadhil Adi Hidayat MA


hafidzohullah)

BAGIAN PERTAMA : Aqidah Qodariyah AH tentang masalah Taqdir

Beberapa waktu yang lalu sempat muncul kritikan dari seorang ustadz AT
terhadap ustadz AH. Lalu muncul komentar-komentar yang buruk dan
menganggap ustadz AT hasad dan dengki kepada ustadz AT. Tentu seseorang
berusaha untuk berprasangka baik terhadap saudaranya yang mengkritik.
Jika kritikannya baik hendaknya diterima dengan baik dan segera berusaha
memperbaiki diri. Namun jika kritikannya keliru maka silahkan kritikan
tersebut dikritiki kembali. Toh para ulama sejak dahulu hingga sekarang
saling mengkritiki, saling memperbaiki satu dengan yang lainnya, saling
mengingatkan satu dengan yang lainnya.

Alhamdulillah masing-masing baik AT maupun AH sudah memunculkan


klarifikasi atau komentar atas apa yang telah bergulir. Dan AH pun telah
menyatakan siap untuk diberi masukan.

Untuk menanggapi -sedikit kegaduhan ini- maka penulis bertekad untuk turut
berpartisipasi memberi masukan kepada al-Ustadz AH hafizohullah, semoga
bermanfaat. Dan penulis juga menyadari bahwa tidak ada yang luput dari
kesalahan, termasuk penulis yang juga tidak luput dari kesalahan, akan tetapi
hal ini tidak menghalangi punulis untuk memberi masukan dan juga diberi
masukan demi kemasalahatan umat, dan menjauhkan umat dari segala
kesalahan sejauh-jauhnya, baik kesalahan dalam aqidah atau yang lainnya.

Dalam ceramah ustadz AH yang mulia dengan judul : Perbedaan antara Taqdir
dan Qodarullah https://www.youtube.com/watch?v=p5g7e_o7dJM

Al-Ustadz AH berkata (menit 0:27) : “Yang seperti ini aliran qodariyah, semua
terserah Allah semuanya terserah Allah, bahkan tidak mungkin saya bersin
kecuali Allah berkehendak, tidak mungkin saya minum kecuali Allah
berkendak. Tapi kesimpulannya ini salah, Anda harus membendakan antara
qodar dengan taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalam
itu disebut qodar, contoh tentang ajal seseorang....”

(Komentar : AH keliru, kelompok yang seperti itu namanya bukan qodariyah


tapi jabariyah)

Beliau berkata (pada menit 1:29) :”Taqdir itu adalah ketetapan Allah yang
dikukuhkan ditetapkan berdasarkan ikhtiar makhluk. Jadi kita ikhtiar dulu
baru Allah menetapkan. Jadi bukan seketika Allah menetapkan...”

(Pada menit 2:37) “Jadi ada sesuatu yang kehendak Allah tidak mutlaq disitu,
kehendak Allah bergantung ikhtiar yang kita kerjakan...”

Dalam ceramah AH yang lain dengan judul : Apakah jodoh termasuk taqdir
(https://www.youtube.com/watch?v=anabATdqrWQ)

(pada menit : 0.50) : “Sedangkan taqdir adalah ketetapan Allah yang


dikukuhkan atas ikhtar makhluk, jadi ada usaha kita dulu, usaha baru Allah
tetapkan.... dan jodoh termasuk taqdir”

KRITIKAN :

Apa yang diutarakan oleh al-Ustadz AH adalah aqidah al-Qodariyah.


Sesungguhnya semua yang terjadi di alam semesta ini baik makan dan minum
maupun bersin, iman dan kufur, jodoh, rizki dan ajal semuanya dikehendaki
dan telah ditetapkan oleh Allah.
Allah berfirman :

‫إفلنا اكلل وشييةء وخلويقوناها بفقوودةر‬

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan taqdir (QS al-


Qomar : 49)

‫ق اكلل وشييةء فوقولدورها تويقفديررا‬


‫وووخلو و‬

dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan taqdir (segala
sesuatu)nya (QS Al-Furqon : 2)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda

‫ض بفوخيمفسيون أويل و‬
‫ف وسنوةة‬ ‫ت ووايلوير و‬ ‫ق قويبول أوين يويخلا و‬
‫ق اللسوماووا ف‬ ‫ب اا وموقافديور ايلوخولئف ف‬
‫وكتو و‬

“Allah telah mencatat taqdir para makhluq 50 ribu tahun sebelum Allah
menciptakan langit dan bumu, (HR Muslim No. 2653)

Nabi juga menjelaskan bahwa amal sholeh maupun amal buruk, masuk surga
maupun masuk neraka semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah. Tidak ada
bedanya hal ini dengan masalah rizki dan ajal yang juga telah ditaqdirkan.
Beliau bersabda :

‫ك ثالم يايروسال إفلوييفه ايلوملو ا‬


‫ك فوياينفواخ‬ ‫ضوغةر فميثول وذلف و‬‫ك ثالم يواكيوان ام ي‬ ‫طفوةر ثالم يواكيوان وعلوقوةر فميثول وذلف و‬ ‫طفن أانمفه أويربوفعييون يويورما نا ي‬ ‫إفلن أووحوداكيم يايجوماع وخيلقاها ففي بو ي‬
‫ي‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ا‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫و‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫د‬ ‫و‬
‫ب فرزقففه ووأوجلففه وووعوملففه وووشقفقي أيو وسفعييد فوو اف الفذيِ ل إفلهو وغييارها إفن أوحودكيم ليويعومال بفوعومفل أهفل‬ ‫و‬ ‫ي‬ ‫ي‬
‫ بفوكت ف‬: ‫ت‬ ‫ففييفه الصريواح وويايؤومار بفأ ويربوفع وكلفوما ة‬
‫و‬ ‫و‬ ‫و‬
‫ب فويويعومال بفوعومفل أيهفل اللنافر فويويداخلاوها ووإفلن أوحوداكيم لويويعومال بفوعومفل أيهفل اللنافر‬ ‫ي‬
‫ق وعلوييفه الفكوتا ا‬ ‫ايلوجنلفة وحلتى وما يواكيوان بويينوها ووبويينووها إفلل فذورا د‬
‫ع فويويسبف ا‬
(‫ب فويويعومال بفوعومفل أويهفل ايلوجنلفة فويويداخلاوها )رواه البخاريِ ومسلم‬ ‫ق وعلوييفه ايلفكوتا ا‬‫ع فويويسبف ا‬ ‫وحلتى وما يواكيوان بويينوها ووبويينووها إفلل فذورا د‬

Sesungguhnya (fase) penciptaan kalian dikumpulkan dalam perut ibunya


selama 40 hari (dalam bentuk) nutfah (sperma), kemudian selama itu (40 hari)
menjadi segumpal darah kemudian selama itu (40 hari) menjadi segumpal
daging, kemudian diutuslah Malaikat, ditiupkan ruh dan dicatat 4 hal:
rezekinya, ajalnya, amalannya, apakah ia beruntung atau celaka. Demi Allah
Yang Tidak Ada Sesembahan yang Haq Kecuali Dia, sungguh di antara kalian
ada yang beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) hingga antara dia
dengan jannah sejarak satu hasta kemudian ia didahului dengan catatan
(taqdir) sehingga beramal dengan amalan penduduk an-Naar (neraka),
sehingga masuk ke dalamnya (an-Naar). Sesungguhnya ada di antara kalian
yang beramal dengan amalan penduduk an-Naar, hingga antara dia dengan
an-Naar sejarak satu hasta kemudian ia didahului dengan catatan (taqdir)
sehingga beramal dengan amalan penduduk jannah (surga) sehingga masuk
ke dalamnya (jannah) (HR al-Bukhari dan Muslim)

Pernyataan AH : “Yang seperti ini aliran qodariyah, semua terserah Allah


semuanya terserah Allah, bahkan tidak mungkin saya bersin kecuali Allah
berkehendak, tidak mungkin saya minum kecuali Allah berkendak. Tapi
kesimpulannya ini salah, Anda harus membendakan antara qodar dengan
taqdir. Kehendak Allah yang tidak ada intervensi kita di dalam itu disebut
qodar, contoh tentang ajal seseorang....”

Demikian juga pernyataan AH : “Jadi ada sesuatu yang kehendak Allah tidak
mutlaq disitu, kehendak Allah bergantung ikhtiar yang kita kerjakan...”

Adalah pengingkaran terhadap taqdir. Diantaranya :


- Menganggap ada kehendak Allah yang tidak mutlaq
- Menganggap manusia bisa ikut intervensi dalam keputusan Allah, bahkan
keputusan Allah tergantung kehendak manusia

Padahal Allah berfirman :

‫وووما تووشااءوون إفلل أوين يووشاوء ل‬


‫اا إفلن ل‬
‫او وكاون وعفليرما وحفكيرما‬

Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana
(Al-Insan : 30)

‫ب ايلوعالوفميون‬ ‫وووما تووشااءوون إفلل أوين يووشاوء ل‬


‫اا ور ص‬

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam (At-Takwir : 29)

‫ك ولومون ومين ففي ايلوير ف‬


‫ض اكلصهايم وجفميرعا‬ ‫وولويو وشاوء ورصب و‬

Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di


muka bumi seluruhnya. (QS Yunus : 99)

‫ضينرقا وحوررجا وكأ ونلوما يو ل‬


‫صلعاد ففي اللسومافء‬ ‫صيدورها و‬ ‫ليسولفم ووومين يافريد أوين يا ف‬
‫ضللها يويجوعيل و‬ ‫اا أوين ويهفديوها يويشوريح و‬
‫صيدورها لف ي ف‬ ‫فوومين يافرفد ل‬

Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk,


niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan
barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan
dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. (QS Al-
AN’aam : 125)

Nabi Nuuh berkata kepada kaumnya :

‫اا يافرياد أوين يايغفويواكيم‬ ‫ت أوين أوين و‬


‫صوح لواكيم إفين وكاون ل‬ ‫صفحي إفين أووريد ا‬
‫ووول يوينفواعاكيم نا ي‬

Dan tidaklah bermanfaat kepadamu nasehatku jika aku hendak memberi


nasehat kepada kamu, sekiranya Allah hendak menyesatkan kamu, Dia
adalah Tuhanmu, dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan" (QS Huud : 34)

‫ضلفيلها ووومين يووشأي يويجوعيلها وعولى ف‬


‫صوراةط اميستوفقيةم‬ ‫ومين يووشأ ف ل‬
‫اا يا ي‬

Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya.


Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya
Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus (QS Al-An’aam : 39)

Diakhir zaman para sahabat mulailah muncul kelompok qodariyah yang sulit
menerima dengan akal mereka bahwa semuanya telah ditaqdirkan oleh Allah,
dan kelompok ini telah diingkari oleh Ibnu Umar.

Tatkala seseorang berkata kepada Ibnu Umar :

‫ٍ ووأولن ايلويمور أانا د‬،‫ ووأونلهايم يويزاعاموون أوين ول قوودور‬...‫ٍ وويوتوقوفلاروون ايلفعيلوم‬،‫س يويقوراءوون ايلقايرآون‬
‫ف‬ ‫أووبا وعيبفد اللريحومفن إفنلها قويد و‬
‫ظهوور قفبولوونا ونا د‬

“Wahai Abu Abdirrahman (Ibnu Umar), sesungguhnya telah muncul dari sisi
kami (di Iraq) sekelompok orang yang membaca al-Qur’an dan mendalami
ilmu...dan bahwasanya mereka menyangka bahwa tidak ada qodar, dan
bahwasanya perkara adalan baru”

Imam An-Nawawi menjelaskan pernyataan mereka ini :

‫اف تووعاولى ووإفنلوما يويعلوامها بويعود اواقوفعفه‬ ‫يِ اميستوأينو د‬


‫ف لويم يويسبفيق بففه قووددر ووول فعيلدم فمون ل‬ ‫أو ي‬

“Yaitu perkara baru tidak didahului oleh takdir dan tidak ada diketahui oleh
Allah, akan tetapi Allah mengetahuinya setelah terjadi” (Syarah Shahih Muslim
jilid 1 halaman 138, letaknya di bagian kanan atas kalau di cetakan milik
penulis)

Mereka menganggap bahwa perkara belum ditaqdirkan, Allah baru


mentaqdirkan (mengkukuhkan/menetapkan) kecuali setelah hamba berbuat.
Dan ini sama persis dengan pernyataan ustadz AH “Keputusan Allah baru
dikukuhkan setelah ikhtiar/perbuatan manusia”.

Karenanya qodariyah dijuluki dengan majusi umat ini, karena menganggap


ada penentu keputusan di alam semesta selain Allah. Apalagi menyatakan
bahwa kehendak manusia yang menentukan keputusan Allah?!.

Apa komentar Ibnu Umar terahadap pernyataan qodariyah di atas ?, beliau


berkata :

ٍ،‫ف بففه وعيباد اف يبان اعومور »لويو أولن فلووحفدفهيم فميثول أااحةد وذهوربا‬ ‫ت اأولوئف و‬
‫ٍ وواللفذيِ يويحلف ا‬،‫ٍ ووأونلهايم باورآاء فمنني‬،‫ك فوأ ويخبفيرهايم أونني بوفريِدء فمينهايم‬ ‫فوإ فوذا لوفقي و‬
‫ي‬ ‫ي‬ ‫ي‬ ‫و‬
‫»فوأنفوقوها وما قوبفول اا فمنها وحلتى يايؤفمون فبالقوودفر‬

“Jika engkau bertemu dengan mereka maka kabarkanlah kepada mereka


bahwasanya aku berlepas diri dari mereka, dan bahwasanya mereka berlepas
diri dariku. Dan demi Dzat Yang Ibnu Umar bersumpah denganNya,
seandainya salah seorang dari mereka memiliki emas sebesar gunung Uhud
lalu ia infaqkan maka tidak akan diterima oleh Allah hingga ia beriman dengan
taqdir” (Shahih Muslim halaman 24 hadits no 1, letaknya si bagian buku
sebelah kanan agak kiri atas)

Semoga bermanfaat, dan semoga Allah menjaga aqidah kita. Aaamiin Yang
benar dari Allah, yang salah dari kesilapan penulis, semoga Allah
menunjukkan kita semua kepada jalan yang lurus. (bersambung)

Jakarta, 01-07-1438 H / 29-03-2017


Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
Bantahan

Masukan untuk AH hafidhohullah

Oleh: Abul Jauzaa

Bagian kedua : Tafsir al-Qur’an ala Ustadz AH hafizohullah

Menafsirkan al-Qur’an tentu harus berhati-hati, berusaha merujuk


kepada tafsiran para salaf -apalagi kalau mengaku bermanhaj salaf-. Terlebih
lagi kalau menimbulkan penafsiran model baru dengan model tafsir majaz
(kiasan) dan meninggalkan dzohir (tekstual) ayat, lalu menyalahkan tafsir yang
sudah dikenal oleh salaf dan kaum muslimin.

Saya rasa hampir seluruh kaum muslimin di dunia ini -termasuk juga di
Indonesia- menafsirkan atau menerjemahkan firman Allah “Ihdinash-
Shiraathal-Mustaqiim” dengan “Tunjukanlah kami kepada jalan yang lurus”.

Namun ternyata terjemah/tafsir yang selama ini diyakini oleh kaum muslimin
dinilai salah oleh al-Ustadz AH !!? Ustadz Adi Hidayat dalam video yang
berjudul Cara Ampuh Berdoa Ketika Shalat Agar Cepat Dikabulkan saat
menjelaskan tempat dikabulkannya doa saat berdiri shalat dengan
membawakan hadits Abu Hurairah, berkata (mulai menit 06:17):

“Perhatikan, karena itulah saat berdiri diberikan oleh Allah satu tawaran,
kalau dibacakan diberikan apa yang dibutuhkan. Mau nggak ? Itulah
ihdinash-shiraathal-mustaqiim. Tunjukkan kami ya Allah, solusi terbaik dari
masalah yang kami miliki. Maaf, ihdinash-shiraathal-mustaqiim itu arti yang
tepat bukan ‘tunjukkan kami pada jalan yang lurus’. Itu bahasa kiasan. Ga
pakai oo.. bu. Itu bahasa kiasan. Ihdinaa dari kata hudan, hidayah, itu solusi
dari persoalan yang dihadapi. Jadi punya masalah apapun ya Allah, solusinya
tolong berikan. Ash-shiraathal-mustaqiim itu kata kiasan. Majaz dalam
bahasa Arab. Yang mudah tidak sulit prosesnya. Jadi berikan solusinya, tapi
mudah. Jadi ketika kita minta dalam shalat, itu minta ya Allah, saya punya
masalah, tolong berikan. Diberikan oleh Allah satu bacaan. Dibaca. Jadi yang
punya masalah di rumah tangga, diberikan solusinya. Yang punya masalah di
pekerjaan, diberikan solusinya. Dan itu bukan biasa………”

Kesimpulan tafsir ustadz AH :


1. Arti “ihdinas shirothol mustaqim” dengan “Tunjukanlah kami jalan yang
lurus” ternyata salah
2. Arti tersebut salah karena diterjemahkan secara tekstual, padahal menurut
ustadz AH susunan “Ihdinas shirothol mustaqim” adalah susunan
majaz/kiasan (tidak sesuai dzohir tekstualnya)
3. Yang benar “Tunjukanlah kami solusi terbaik dari masalah yang kami
hadapi

Adapun tafsir “ihdinas shirothol mustaqim” menurut ahli tafsir adalah :


“Tunjukanlah/anugrahkanlah/ilhamkanlah/bimbinglah/berilah kepada kami
jalan yang lurus”.

Dan as-shirot al-mustaqim menurut tafsir para ahli tafsir ada beberapa
tafirasan yaitu : Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah,
kebenaran, serta Nabi ‫ ﷺ‬dan kedua shahabatnya : Abu Bakr dan ‘Umar Ibnu
Katsiir rahimahullah berkata (tentang tafsir “ihdina”)

‫ٍ أو‬،‫ط ايلاميستوفقيوم { فتضمن معنى ألهمنا‬


‫صورا و‬
‫( } ايهفدونا ال ن‬1) ‫ٍ وقد تعدىِ الهداية بنفسها كما هنا‬،‫ الرشاد والتوفيق‬:‫والهداية هاهنا‬
‫ٍ أو اعطنا‬،‫ٍ أو ارزقنا‬،‫وفقنا‬

"Dan al-hidayah di sini maksudnya adalah bimbingan dan taufiq. Kadang kata
al-hidayah dimuta'addikan dengan dirinya sebagaimana ayat ini 'ihdinash-
shiraathal-mustaqiim'; sehingga mengandung pengertian “ilhamkanlah kepada
kami”, “Bimbinglah kami”, “Anugrahkanlah kami”, dan “Berikanlah kepada
kami”

Ibnu Katsir juga berkata (tentang tafsir as-shirot al-mustaqim) :

‫ أجمعت المة من أهل التأويل جميرعا على أن "الصراط المستقيم" هو‬:‫ٍ فقال المام أبو جعفر بن جرير‬،‫وأما الصراط المستقيم‬
‫الطريق الواضح الذيِ ل اعوجاج فيه‬.

Adapun 'ash-shiraathul-mustaqiim', Al-Imaam Abu Ja'far bin Jariir berkata :


Umat Islam dari kalangan pakar ta'wiil (mufassiriin) telah SEPAKAT bahwa
'ash-shiraathul-mustaqiim' maknanya adalah jalan yang jelas, yang tidak ada
kebengkokan padanya" [Tafsiir Ibni Katsiir 1/137].

Setelah menurunkan ragam pendapat mufassirin tentang makna ash-shiraath


al-mustaqiim (Kitabullah, tali Allah yang sangat kuat, Islam, agama Allah,
kebenaran, serta Nabi ‫ ﷺ‬dan kedua shahabatnya : Abu Bakr dan ‘Umar), Ibnu
Katsiir rahimahullah berkata:

‫ٍ فقد‬،‫ٍ واقتدىِ باللذين من بعده أبي بكر وعمر‬،‫ٍ فإن من اتبع النبي صلى ا عليه وسلم‬،‫ٍ وهي متلزمة‬،‫وكل هذه القوال صحيحة‬
ٍ،‫ٍ وصراطه المستقيم‬،‫ٍ وهو كتاب ا وحبله المتين‬،‫ٍ ومن اتبع السلم فقد اتبع القرآن‬،‫ٍ ومن اتبع الحق فقد اتبع السلم‬،‫اتبع الحق‬
‫ٍ ول الحمد‬،‫فكلها صحيحة يصدق بعضها بعضا‬.

"Semua perkataan/penafsiran ini adalah benar, yaitu saling menguatkan.


Karena, barangsiapa yang mengikuti (ittiba') Nabi ‫ﷺ‬, meneladani orang-orang
sepeninggal beliau yaitu Abu Bakr dan 'Umar, sungguh ia telah mengikuti
kebenaran. Barangsiapa yang mengikuti kebenaran, sungguh ia telah
mengikuti Islam. Barangsiapa yang mengikuti Islam, sungguh ia telah
mengikuti Al-Qur'an, yaitu Kitabullah, tali-Nya yang sangat kuat, dan jalan-
Nya yang lurus. Semuanya penafsiran ini benar dan masing-masing saling
membenarkan yang lain. Walillaahil-hamd"

Terdapat hadits marfuu’ dari Nabi ‫ ﷺ‬yang menjelaskan makna ash-shiraathul-


mustaqiim:

‫صورافط وداورافن لوهاوما‬ ‫صورا ر‬


‫طا اميستوفقيرما وعولى وكنوفوفي ال ن‬ ‫ب ومثورل ف‬
‫ضور و‬
‫او و‬ ‫ وقاول وراسوال ل‬:‫ٍ وقاول‬،‫س يبفن وسيموعاون ايلفكولبفني‬
‫ " إفلن ل‬:‫اف ﷺ‬ ‫وعفن النللوا ف‬
‫اا يويداعو إفولى ودافر اللسلفم وويويهفديِ ومين يووشااء‬‫ع يويداعو فويوقوها وو ل‬ ‫ي‬ ‫ٍ وعولى ايلويبووا ف‬،‫ب امفوتلوحدة‬‫أويبووا د‬
‫ٍ ووودا ة‬،‫صورافط‬ ‫ع يويداعو وعولى ورأ ف‬
‫س ال ن‬ ‫ٍ ووودا ة‬،‫ب اساتودر‬
‫ٍ وواللفذيِ يويداعو فمين‬،‫ف النسيتار‬
‫اف وحلتى يايكوش و‬‫ٍ فوول يوقواع أووحدد ففي احادوفد ل‬،‫ا‬‫صورافط احادواد ل ف‬
‫ب اللفتي وعولى وكنوفوفي ال ن‬ ‫ٍ ووايلويبووا ا‬،‫صوراةط اميستوفقيةم‬
‫إفولى ف‬
‫" فويوقففه ووافعظا وربنفه‬

Dari An-Nawwaas bin Sam’aan Al-Kilaabiy, ia berkata : Telah bersabda


Rasulullah ‫ ﷺ‬: “Sesungguhnya Allah ta’ala telah membuat perumpamaan ash-
shiraathul-mustaqiim dengan shirath yang di sampingnya ada dua tembok
yang mempunyai pintu terbuka. Di setiap pintu terdapat tirai, penyeru yang
menyeru di tengah shiraath, dan penyeru yang menyeru di atasnya (penyeru
pertama). ‘Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)’ (QS. Yuunus :
25). Pintu-pintu yang berada di samping shiraath adalah batasan-batasan
(larangan-larangan) Allah. Tidak ada seorangpun yang jatuh kepada larangan
Allah hingga ia menyingkap tirainya. Penyeru yang berada di atasnya adalah
penasihat (ilham) dari Rabbnya”

Dalam riwayat lain dirinci :

‫ب ل‬
‫اف وعلز وووجلل‬ ‫ي‬ ‫ب ايلامفوتلوحةا وموحافرام ل ف‬
‫ٍ ووايلويبووا ا‬،‫ا‬
‫ٍ ووالصسوورافن احادواد ل ف‬،‫صوراطا ا ي فليسولام‬
‫صورافط فكوتا ا‬ ‫ك اللدافعي وعولى ورأ ف‬
‫س ال ن‬ ‫ٍ وووذلف و‬،‫ا‬ ‫ووال ن‬
‫اف ففي قويل ف‬
‫ب اكنل اميسلفةم‬ ‫صورافط ووافعظا ل‬ ‫وواللدافعي من فويو و‬
‫ق ال ن‬

“Dan shiraath tersebut adalah Islam, kedua tembok/dinding adalah batasan-


batasan (larangan-larangan) Allah, pintu-pintu yang terbuka adalah hal-hal
yang diharamkan oleh Allah. Penyeru yang berada di tengah shiraath adalah
Kitabullah ‘azza wa jalla, sedangkan penyeru yang berada di atas shiraath
adalah penasihat Allah (ilham) yang berada di hati setiap muslim”
[Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2859, Ahmad 4/182 & 183, Ibnu Abi
‘Aashim dalam As-Sunnah no. 18-19, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-
Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 3/141].

‫طو ر‬
‫طا وعين يوفمينففه‬ ‫ٍ ثالم وخطل اخ ا‬،" ‫اف‬‫ " هووذا وسفبيال ل‬:‫ٍ ثالم وقاول‬،‫طا‬ ‫صللى اا وعلوييفه وووسللم وخ ير‬
‫اف و‬ ‫ " وخطل لوونا وراسوال ل‬:‫ٍ وقاول‬،‫اف يبفن وميساعوةد‬ ‫وعين وعيبفد ل‬
‫و‬
‫صورافطي اميستوفقيرما‬‫ ووأولن هووذا ف‬:‫ٍ ثالم قووروأ‬،" ‫طادن يويداعو إفلوييفه‬
‫ امتوفونرقوةد وعولى اكنل وسفبيةل فمينوها وشيي و‬:‫ " هوفذفه اسبادل وقاول يوفزياد‬:‫ٍ ثالم وقاول‬،‫وووعين فشومالففه‬
‫ق بفاكيم وعين وسفبيلففه‬
‫وفاتلبفاعوها وول توتلبفاعوا الصسباول فوتوفولر و‬

Dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah menggambar


untuk kami sebuah garis (di tanah), lalu bersabda : “Ini adalah jalan Allah”.
Kemudian beliau menggambar banyak garis di kanan dan kiri garis tersebut,
kemudian bersabda : “Ini adalah jalan-jalan yang lain, dimana setiap jalan
tersebut ada setan yang menyeru pada jalan tersebut”. Kemudian beliau
membaca ayat : ‘Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang
lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang
lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya’ (QS. Al-
An’aam : 153)” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/435; sanadnya hasan].

‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sendiri menafsirkan ash-


shiraathul-mustaqiim dengan perkataannya:

‫اف‬ ‫ هاوو فكوتا ا‬:‫ٍ وقاول‬،‫ط ايلاميستوفقيوم‬


‫ب ل‬ ‫صورا و‬
‫ال ن‬

“Makna ‘ash-shiraathul-mustaqiim’ adalah Kitabullah” [Diriwayatkan oleh Al-


Haakim dalam Al-Mustadrak 2/258, dan ia menshahihkannya].

‘Abdullah bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa – salah seorang pakar tafsir di


kalangan shahabat–menjelaskan:

‫اف هاوو وراسوال‬‫صوح وو ل‬ ‫ق وو ل‬


‫اف وونو و‬ ‫صود و‬ ‫ " و‬:‫ٍ فووقاول‬،‫ك لفيلوحوسفن‬ ‫اا وعلوييفه ووآلففه وووسللوم وو و‬
‫ فووذوكيرونا وذلف و‬:‫ٍ وقاول‬،" ‫صافحوباها‬ ‫صللى ل‬ ‫هاوو وراسوال ل‬
‫اف و‬
‫ضوي ل‬
‫اا وعينهاوما‬ ‫ٍ ووأوابو بويكةر وواعومار ور ف‬،‫اا وعلوييفه ووآلففه وووسللوم‬
‫صللى ل‬ ‫اف و‬ ‫" ل‬

“Ash-shiraathul-mustaqiim adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa


sallam dan dua orang shahabatnya”. Perawi berkata : Maka kami
menyebutkan hal itu kepada Al-Hasan, lalu ia berkata : “Ia benar, demi Allah,
ia telah memberikan nasihat, demi Allah. (Ash-shiraathul-mustaqiim) adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, Abu Bakr, dan ‘Umar
radliyallaahu ‘anhumaa” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim dalam Al-Mustadrak,
2/259; dan ia menshahihkannya].

Rasulullah ‫ ﷺ‬merupakan ash-shiraathul-mustaqiim (jalan yang lurus), karena


Allah ta’ala berfirman:
‫او وكفثيررا‬ ‫اف أايسووةاد وحوسنوةد لفومين وكاون يويراجو ل‬
‫او ووايليويووم الفخور وووذوكور ل‬ ‫لوقويد وكاون لواكيم ففي وراسوفل ل‬

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].

Begitu juga dengan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, karena Nabi
‫ ﷺ‬sendiri yang memerintahkan para shahabat (dan kita pada umumnya)
untuk meneladani Abu Bakr dan ‘Umar sepeninggal beliau:

‫ٍ وواعومور‬،‫ايقتوادوا فبالللوذييفن فمين بويعفديِ أوفبي بويكةر‬

“Mencontohlah kepada dua orang setelahku : Abu Bakr dan ‘Umar” [lihat :
Silsilah Ash-Shahiihah no. 1233].

So, jika penafsiran-penafsiran yang didasarkan oleh riwayat/atsar dan


perkataan as-salafush-shaalih di atas dikatakan tidak tepat karena hanya
kiasan saja; apakah kita harus membenarkan penafsiran Ustadz Adi Hidayat
di atas ? yaitu : berikanlah kami ya Allah solusi yang mudah atas persoalan
kami ?. Apakah kita mesti meninggalkan hadits, atsar sahabat dan ijmaa’
mufassiriin (sebagaimana ditegaskan Ibnu Jarir) untuk mengikuti tafsir
majaz/kiasan ala Ustadz Adi Hidayat ?.

Metode penafsiran tanpa membawakan penjelasan ulama tentu sangat


disayangkan bagi sekelas Ustadz Adi Hidayat - yang saya yakin sangat mampu
untuk membawakannya (berikut judul, juz, halaman, dan letak baris
kalimatnya) – karena rawan kesalahan.

Ingat pesan Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah:

‫ك فيها إمادم‬ ‫ك أين تتكلوم في مسألةة لي و‬


‫سل و‬ ‫إليا و‬
“Berhati-hatilah berkata dalam satu permasalahan yang engkau tidak memiliki
pendahulunya” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/296].

[abul-jauzaa’ – bogor, 31032017 – 20:02 WIB].

Janganlah Katakan: “Seandainya Aku Lakukan


Demikian
dan Demikian, pasti …”
rumaysho.com /270-janganlah-katakan-seandainya-aku-lakukan-demikian-dan-demikian-
pasti.html
Muhammad Abduh Tuasikal,
MSc
Seri terakhir dari dua tulisan Posting kali ini adalah lanjutan dari posting
sebelumnya. Semoga bermanfaat.
Jika Tidak Memperoleh Sesuai yang Diinginkan, Janganlah Katakan: “Seandainya Aku
Lakukan Demikian dan Demikian, pasti …” Lalu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika
engkau tertimpa suatu musibah, maka janganlah engkau katakan: ‘Seandainya aku lakukan
demikian dan demikian.’” Maksudnya di sini adalah setelah engkau semangat dan giat
melakukan
sesuatu, juga engkau tidak lupa meminta pertolongan pada Allah, serta engkau terus
melakukan
amalan tersebut hingga usai, namun ternyata hasil yang dicapai di luar keinginan, maka
janganlah engkau katakan:
“Seandainya aku melakukan demikian dan demikian”. Karena mengenai hasil adalah di luar
kemampuanmu. Kamu
memang sudah melaksanakan sesuatu prosedur yang diperintahkan, namun Allah pasti tidak
terkalahkan dalam
setiap putusan-Nya.
ِ‫ي‬
َ‫د‬
‫ع‬
َ‫ن‬
ِ‫ل‬
َ‫د‬
‫ﻤ‬
ََ‫ر‬
‫ﻮن‬
َ‫د‬
‫ل‬
َ‫د‬
ُ‫ل‬
‫اَس أ‬
‫الﻨ‬
َ‫د‬
َ‫د‬
‫ك‬
‫ﺮ‬
َ‫د‬
‫و‬
َ‫د‬
‫ل‬
َ‫د‬
َ‫ن‬
‫ﺜ‬
َ‫د‬
‫ﻦ‬
َ‫د‬
َ‫ل‬
‫ﻜ‬
َ‫د‬
‫أ‬
َ‫د‬
‫م‬
َ‫ن‬
‫ﺮ‬
َ‫د‬
‫ه‬
َ‫د‬
‫ع‬
َ‫د‬
ِ‫ل‬
َ‫د‬
‫ﺐ‬
َ‫ر‬
‫و‬
َ‫د‬
‫اا‬
َ‫د‬
‫ىِ غ‬
َ‫د‬
mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21)
‫اَل‬
َ‫د‬
‫ت‬
“Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada
Misalnya: Seseorang ingin melakukan perjalanan jauh dalam rangka mengunjungi saudaranya.
Namun di tengah
jalan mobil yang dia gunakan rusak. Akhirnya dia pun kembali, lalu berkata: Seandainya aku
tadi menggunakan
mobil lain tentu tidak akan seperti ini. Kami katakan: Janganlah engkau katakan demikian.
Engkau memang sudah
giat melakukan amalan tersebut. Seandainya Allah menghendakimu sampai ke tempat tujuan,
itu pun karena takdirNya.
Akan
tetapi
saat
ini,
Allah
tidak
menghendakinya.
Kenapa Tidak Boleh Mengatakan “Seandainya Aku Melakukan Demikian dan Demikian,
pasti …”? Jika
seseorang telah mencurahkan seluruh usaha untuk melakukan suatu amalan, namun hasil yang
diperoleh tidak
sesuai keinginan, maka pada saat ini hendaklah ia menyandarkan segala urusannya pada Allah
karena hanya Dialah
yang
menakdirkan
segalanya.
Oleh
karena
itu,
maksud
hadits
ini
adalah:
“Jika
engkau
telah
mencurahkan
seluruh
usahamu,
juga
tidak
lupa
meminta
pertolongan
pada
Allah,
lalu
hasilnya
tidak
tercapai,
maka
janganlah
engkau
katakan:
‘Seandainya
aku
melakukan
demikian,
maka
nanti
akan
demikian
dan
demikian’.”
Ketetapan
mengenai
hal
ini
telah
ada,
tidak
mungkin
hal
tersebut
dirubah
kembali.
Urusan
tersebut
telah
ditetapkan
di
Lauh
Al
Mahfuzh
sebelum
penciptaan
langit
dan
bumi
50.000
tahun
yang
lalu.
Apa
hikmah
tidak
boleh
mengatakan
‘Seandainya
aku
melakukan
demikian,
maka
pasti
akan
demikian
dan
demikian’?
Hal
ini
diterangkan
dalam
perkataan
Nabi
shallallahu
‘alaihi
wa
sallam
selanjutnya,
“Karena
perkataan
law
(seandainya)
dapat
membuka
pintu
syaithon.”
Maksudnya
apa?
Yaitu
perkataan
law
(seandainya)
dalam
keadaan
seperti
ini
akan
membuka
rasa
waswas,
sedih,
timbul
penyesalan,
dan
kegelisahan.
Akibatnya
karena
rasa
sedih
semacam
ini,
engkau
pun
mengatakan,
“Seandainya
aku
melakukan
demikian,
maka
pasti
akan
demikian
dan
demikian”.
Apakah Semua Perkataan Seandainya Terlarang? Kata ‘law (seandainya atau andaikata)’
biasa digunakan
dalam beberapa keadaan dengan hukum yang berbeda-beda. Berikut rinciannya sebagaimana
dijelaskan oleh
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Qoulul Mufid (2/220-221), juga oleh Syaikh
‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di dalam Bahjatul Qulub (hal. 28) dan ada beberapa contoh dari kami.
Pertama: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk memprotes syari’at, dalam hal ini
hukumnya haram.
Contohnya adalah perkataan: “Seandainya judi itu halal, tentu kami sudah untung besar setiap
harinya.”
Kedua: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk menentang takdir, maka hal ini juga
hukumnya haram.
6/4/2009
1/4
Semacam perkataan: “Seandainya saya tidak demam, tentu saya tidak akan kehilangan
kesempatan yang bagus
ini.”
Ketiga: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk penyesalan, ini juga hukumnya haram.
Semacam
perkataan: “Seandainya saya tidak ketiduran, tentu saya tidak akan ketinggalan pesawat
tersebut.”
Keempat: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk menjadikan takdir sebagai dalih
untuk berbuat
maksiat, maka hukumnya haram. Seperti perkataan orang-orang musyrik:
‫اَه‬
ََ‫ر‬
‫ﻢ‬
َ‫ن‬
‫م‬
َ‫د‬
‫اَ الﺮ‬
َ‫د‬
َ‫ل‬
‫ع‬
َ‫د‬
‫ﺒ‬
َ‫د‬
‫ﺪ‬
َ‫ن‬
‫ن‬
َ‫د‬
‫اَء‬
َ‫د‬
‫ل‬
َ‫د‬
‫ﻮ‬
َ‫ن‬
‫و‬
َ‫د‬
‫ق‬
‫ح‬
َ‫ن‬
‫ﻤ‬
َ‫د‬
‫ﻦ‬
ََ‫ر‬
‫ش‬
َ‫د‬
ََ‫ر‬
‫“ ﻮا‬Dan mereka berkata: Jikalau Allah Yang Maha Pemurah menghendaki , tentulah kami
َ‫د‬
‫اَل‬
tidak menyembah mereka (malaikat).” (QS. Az Zukhruf: 20)
Kelima: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan untuk berangan-angan, ini dihukumi sesuai
dengan yang
diangan-angankan karena terdapat kaedah bahwa hukum sarana sama dengan hukum tujuan.
Jadi, apabila yang
diangan-angankan adalah sesuatu yang jelek dan maksiat, maka kata andaikata dalam hal ini
menjadi tercela dan
pelakunya terkena dosa, walaupun dia tidak melakukan maksiat. Misalnya: “Seandainya saya
kaya seperti si fulan,
tentu setiap hari saya bisa berzina dengan gadis-gadis cantik dan elok.” Namun, apabila yang
dianggan-angankan
adalah hal yang baik-baik atau dalam hal mendapatkan ilmu nafi’ (yang bermanfaat). Misalnya:
“Seandainya saya
punya banyak kitab, tentu saya akan lebih paham masalah agama”. Atau kalimat lain:
“Seandainya saya punya
banyak harta seperti si fulan, tentu saya akan memanfaatkan harta tersebut untuk banyak
berderma.”
Keenam: Apabila ucapan ‘seandainya’ digunakan hanya sekedar pemberitaan, maka ini
hukumnya boleh. Contoh:
“Seandainya engkau kemarin menghadiri pengajian, tentu engkau akan banyak paham
mengenai jual beli yang
terlarang.” Haruslah Engkau Yakin, Semua Ini Adalah Takdir Allah Setelah kita berusaha
melakukan yang
bermanfaat, lalu tidak lupa memohon pertolongan pada Allah dan kita tidak mendapatkan
sesuatu yang diinginkan,
janganlah sampai lisan ini mengatakan: “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian,
…” Oleh karena itu,
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Akan tetapi hendaklah kau katakan: ‘Ini
sudah jadi takdir
Allah”. Maksudnya adalah ini semua sudah menjadi takdir dan ketetapan-Nya. Apa saja yang
Allah kehendaki, pasti
Dia laksanakan. ‫ﯾ‬
ُُ
‫ﺮ‬
ُِ
‫ﯾﺪ‬
ُُ
‫ﻟ‬
َُ
‫ﻌ‬
َُ
‫ﱞ‬
‫ﺎل‬
‫ر‬
ُِ
‫ﻤ‬
َُ
‫ﺎ ﻓ‬
kehendaki.”(QS. Huud: 107)
‫ﱠ‬
‫ﻚ‬
‫إ‬
ُِ
‫ن‬
َُ
ُّ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia
َُ
‫ﺑ‬
َُ
Tidak ada seorang pun yang berada di bawah kekuasaan-Nya mencegah kehendak-Nya. Jika
Dia menghendaki
sesuatu, pasti terjadi. Akan tetapi, wajib engkau tahu bahwa Allah subhnahu wa ta’ala tidak
melainkan sesuatu
melainkan ada hikmah di balik itu yang tidak kita ketahui atau pun sebenarnya kita tahu .
Yang menjelaskan
hal ini adalah firman Allah Ta’ala,
‫ح‬
َ‫د‬
‫ﻜ‬
َ‫د‬
‫ﯿﻤ‬
َ‫ة‬
‫اَ ك‬
َ‫د‬
‫ﯿﻤ‬
َ‫ة‬
‫اَ ع‬
َ‫د‬
ِ‫ل‬
َ‫د‬
‫ش‬
‫إ‬
‫اَن‬
َ‫د‬
‫اا‬
َ‫د‬
َ‫ل‬
‫اا‬
َ‫د‬
‫ن‬
َ‫د‬
َ‫د‬
‫ت‬
‫اَء‬
َ‫د‬
‫أ‬
َ‫د‬
‫ن‬
َ‫ن‬
‫إ‬
ِ‫ي‬
َ‫د‬
‫ﺸ‬
َ‫د‬
َ‫د‬
َ‫ل‬
َ‫د‬
‫ل‬
‫ت‬
َ‫د‬
‫ﺸ‬
َ‫د‬
‫اَء‬
ََ‫ر‬
‫ون‬
َ‫د‬
‫و‬
َ‫د‬
‫م‬
َ‫د‬
َ‫“ ا‬Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Insan: 30)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kehendak Allah berkaitan dengan hikmah dan ilmu. Betapa
banyak perkara yang
terjadi pada seseorang, namun di balik itu ada akhir yang baik. Sebagaimana pula Allah Ta’ala
berfirman,
‫ﻜ‬
ََ‫ر‬
‫ل‬
َ‫د‬
‫ﯿ‬
َ‫ن‬
‫ﺮ‬
َ‫ر‬
‫و‬
َ‫د‬
‫ه‬
ََ‫ر‬
‫ﻮ‬
َ‫د‬
‫ش‬
َ‫د‬
‫ﯿ‬
َ‫ن‬
‫ﺌ‬
‫ﻢ‬
َ‫ن‬
‫خ‬
َ‫د‬
‫ﺮ‬
َ‫د‬
‫ه‬
ََ‫ر‬
‫ﻮا أ‬
َ‫د‬
َ‫ة‬
‫اَ ت‬
َ‫د‬
‫ﻜ‬
َ‫ن‬
‫ن‬
َ‫ن‬
‫و‬
َ‫د‬
‫ع‬
َ‫د‬
‫ﺴ‬
َ‫د‬
ِ‫“ ى‬Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu.” (QS. Al Baqarah:
216)
Banyak cerita mengenai hal ini. Ada sebuah kejadian kecelakaan pesawat terbang di Saudi
Arabia yaitu
penerbangan Riyadh-Jeddah. Penumpang yang akan menaiki pesawat terbang tersebut adalah
lebih dari 300
penumpang. Salah satu pria yang akan menaiki pesawat tersebut pada saat itu sedang
menunggu di ruang
keberangkatan, namun ketika itu dia tertidur. Kemudian diumumkan bahwa pesawat sebentar
lagi akan berangkat.
Ketika pria yang tertidur itu terbangun, ternyata pintu pesawat telah tertutup kemudian pesawat
pun lepas landas.
Akhirnya, pria tadi sangat sedih karena ketinggalan pesawat. Kenapa dia bisa ketinggalan
pesawat? Namun, Allah
memiliki ketetapan yaitu di tengah perjalanan ternyata pesawat tersebut mengalami
kecelakaan. Subhanallah, lakilaki
tersebut
ternyat
yang
selamat.
Awalnya
dia
sedih
dan
tidak
suka
karena
ketinggalan
pesawat.
Namun
ternyata
2/4
hal itu baik baginya.
Oleh karena itu –saudaraku-, jika engkau telah mencurahkan seluruh usaha dan engkau
meminta pertolongan
pada Allah, namun hasil yang dicapai tidak seperti yang engkau inginkan, janganlah engkau
merasa sedih hati.
Janganlah engkau mengatakan, “Seandainya aku melakukan demikian dan demikian, pasti
akan …”. Jika engkau
mengatakan seperti ini, maka akan terbukalah pintu setan. Engkau pun akan merasa was-was,
gelisah, sedih, dan
tidak bahagia. Yang sudah terjadi memang sudah terjadi. Tugasmu hanyalah memasrahkan
semua urusanmu pada
Allah ‘azza wa jalla. Oleh karena itu, katakanlah, “Apa yang Allah kehendaki, pasti terlaksana”.
Mengambil Sebab
Bukan Berarti Tidak Tawakkal Hadits ini juga menunjukkan beriman kepada takdir dan
ketetapan Allah, di
samping itu kita harus melakukan usaha (sebab). Dua hal inilah yang merupakan kaedah pokok
yang ditunjukkan
dalam dalil yang amat banyak dalam Al Kitab dan As Sunnah. Keadaan agama seseorang
tidaklah sempurna
melainkan dengan meyakini takdir dan melakukan usaha. Segala macam perkara pun tidak
akan sempurna
melainkan dengan dua hal ini. Karena maksud sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Bersemangatlah dalam hal
yang bermanfaat bagimu, …”, ini maksudnya adalah perintah untuk melakukan usaha baik
dalam urusan dunia
maupun agama. Dalil yang lain yang menunjukkan hal ini adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam: Dari
Umar bin Al Khoththob radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
َ‫اَنا‬
َ‫ة‬
ِ‫دبﻄ‬
َ‫د‬
‫و‬
َ‫د‬
‫ت‬
َ‫د‬
‫ﻤ‬
َ‫د‬
َ‫اَصا‬
َ‫ة‬
‫ﺮ‬
ََ‫ر‬
‫وح‬
ََ‫ر‬
‫خ‬
َ‫د‬
‫ﺪ‬
ََ‫ر‬
ِ‫ِهلل الﻄ‬، ‫و‬
َ‫د‬
‫ت‬
َ‫د‬
‫غ‬
َ‫ن‬
َ‫ل‬
‫ﯿ‬
َ‫ن‬
‫ﺮ‬
َ‫د‬
ِ‫ي‬
َ‫د‬
‫ﺮ‬
َ‫ن‬
‫ز‬
ََ‫ر‬
‫ك‬
ََ‫ر‬
‫قَا‬
َ‫د‬
‫ﺮ‬
َ‫د‬
‫ز‬
َ‫د‬
‫ﻤ‬
َ‫د‬
‫اَ ل‬
َ‫د‬
‫ﻜ‬
ََ‫ر‬
‫ﻢ‬
َ‫ن‬
‫ت‬
َ‫د‬
‫ق‬
ُ‫ل‬
‫لِه‬
َ‫د‬
‫ﻮ‬
َ‫د‬
‫ك‬
ََ‫ر‬
َ‫د‬
َ‫ل‬
َ‫د‬
‫ح‬
َ‫د‬
‫ﻖ‬
َ‫د‬
‫ىِ ت‬
‫اا‬
َ‫د‬
‫ع‬
َ‫د‬
ِ‫ل‬
َ‫د‬
‫ﺘ‬
َ‫د‬
‫ﻮ‬
َ‫د‬
‫ك‬
َ‫د‬
‫ت‬
‫لِﻮن‬
َ‫د‬
‫أ‬
َ‫د‬
‫ن‬
َ‫د‬
‫ت‬
‫ﻜﻢ‬
َ‫ن‬
‫ل‬
َ‫د‬
‫ﻮ‬
َ‫ن‬
”Seandainya kalian betul-betul bertawakkal pada
Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rizki sebagaimana burung mendapatkan rizki.
Burung tersebut pergi
pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR.
Ahmad, Tirmidzi, dan
Al Hakim. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no.310)

Ibnu ‘Allan mengatakan bahwa As Suyuthi mengatakan, “Al Baihaqi mengatakan dalam
Syu’abul Iman:
Hadits ini bukanlah dalil untuk duduk-duduk santai, enggan melakukan usaha untuk
memperoleh rizki. Bahkan
hadits ini merupakan dalil yang memerintahkan untuk mencari rizki karena burung tersebut
pergi di pagi hari untuk
mencari rizki. Jadi, yang dimaksudkan dengan hadits ini –wallahu a’lam-: Seandainya mereka
bertawakkal pada
Allah Ta’ala dengan pergi dan melakukan segala aktivitas dalam mengais rizki, kemudian
melihat bahwa setiap
kebaikan berada di tangan-Nya dan dari sisi-Nya, maka mereka akan memperoleh rizki tersebut
sebagaimana
burung yang pergi pagi hari dalam keadaan lapar, kemudian kembali dalam keadaan kenyang.
Namun ingatlah
bahwa mereka tidak hanya bersandar pada kekuatan, tubuh, dan usaha mereka saja, atau
bahkan mendustakan
yang telah ditakdirkan baginya. Karena ini semua adanya yang menyelisihi tawakkal.” (Darul
Falihin, 1/335)

Al Munawi juga mengatakan,


”Burung itu pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali ketika sore dalam keadaan
kenyang. Namun,
usaha (sebab) itu bukanlah yang memberi rizki, yang memberi rizki adalah Allah Ta’ala. Hal ini
menunjukkan bahwa
tawakkal tidak harus meninggalkan sebab, akan tetapi dengan melakukan berbagai sebab yang
akan membawa
pada hasil yang diinginkan. Karena burung saja mendapatkan rizki dengan usaha sehingga hal
ini menuntunkan
pada kita untuk mencari rizki. (Lihat Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8)
Imam Ahmad pernah ditanyakan mengenai seorang yang kerjaannya hanya duduk di rumah
atau di masjid. Pria itu
mengatakan,”Aku tidak mengerjakan apa-apa sehingga rizkiku datang kepadaku.” Lalu Imam
Ahmad
mengatakan,”Orang ini tidak tahu ilmu (bodoh). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda,”Allah menjadikan
rizkiku di bawah bayangan tombakku.” Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda
(sebagaimana hadits
Umar di atas). Disebutkan dalam hadits ini bahwa burung tersebut pergi pada waktu pagi dan
kembali pada waktu
3/4
sore dalam rangka mencari rizki. (Lihat Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69)
Tak Pernah Usai Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, “Seandainya,
kalau kita menelusuri terus kandungan hadits ini, niscaya kita akan dapati faedah yang amat
banyak. Namun itulah manusia, terkadang mereka melanggar wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang sangat berharga ini.
Pertama, sebagian kita kurang bersemangat melakukan hal yang bermanfaat baginya, malah
semangat jika
melakukan hal yang berbahaya atau hal yang tidak ada bahaya dan manfaat. Siang dan malam
hanya dia lewati
dengan sia-sia, tanpa faedah, dan sirna begitu saja.
Kedua, jika dia memang melakukan hal yang bermanfaat, lalu dia tidak memperoleh hasil
sebagaimana yang
diinginkan, akhirnya dia akan menyesal. Perlahan-lahan keluar dari lisannya, “Seandainya saya
melakukan ini dan
ini, pasti akan …”. Sikap semacam ini tidaklah tepat. Selama seseorang sudah berusaha
melakukan yang
bermanfaat baginya dan tidak lupa meminta kemudahan dari Allah untuk menyelesaikan urusan
tersebut, maka
serahkanlah semuanya pada Allah.”
Referensi: 1. Bahjatu Qulub Al Abror wa Qurrotu ‘Uyuni Akhyar fi Syarhi Jawami’il Akhbar,
Syaikh ‘Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di, Maktabah ‘Abdul Mushowwir Muhammad ‘Abdullah, cetakan pertama 1425 H.
2. Dalilul Falihin Li Thuruqi Riyadhis Sholihin, Muhammad ‘Ali bin Muhammad bin ‘Allan Asy
Syafi’iy, Asy Syamilah
3. Qoulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Darul
‘Aqidah, cetakan pertama
1425 H.
4. Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin, Mawqi’ Jami Al Hadits
An Nabawi
5. Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jaami’ At Tirmidzi, 7/7-8, Asy Syamilah
6. Umdatul Qori Syarh Shohih Al Bukhari, 23/68-69, Asy Syamilah ****
Disusun di saat Allah memberikan rahmat hujan, d
Saat ini masjid pesantren binaan Ustadz M. Abduh Tuasikal sedang direnovasi (dijadikan dua
lantai) dan membutuhkan dana sekitar 1,5 Milyar rupiah.

Bagi yang ingin menyalurkan donasi renovasi masjid, silakan ditransfer ke: (1) BCA:
8610123881, (2) BNI Syariah: 0194475165, (3) BSM: 3107011155, (4) BRI: 0029-01-101480-
50-9 [semua atas nama: Muhammad Abduh Tuasikal].

Jika sudah transfer, silakan konfirmasi ke nomor 0823 139 50 500 dengan contoh sms
konfirmasi: Rini# Jogja# Rp.3.000.000#BCA#20 Mei 2012#renovasi masjid. Laporan donasi,
silakan cek di sini.

Sumber : https://rumaysho.com/9515-keistimewaan-hari-jumat.html

You might also like